6
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka
1. Peningkatan Pembelajaran Matematika pada Siswa Kelas IV SD a. Karakteristik Siswa Kelas IV SD Usia siswa di sekolah dasar berkisar 6-12 tahun. Masa ini merupakan masa sekolah. Pada masa ini anak sudah matang untuk belajar atau sekolah. Karakteristik pertama anak SD adalah senang bermain. Guru SD seyogyanya merancang model pembelajaran yang memungkinkan adanya unsur permainan di dalamnya. Karakteristik kedua adalah senang bergerak. Oleh karena itu, guru hendaknya merancang model pembelajaran yang menungkinkan anak bergerak. Karakteristik yang ketiga adalah anak senang bekerja dalam kelompok. Karakteristik ini membawa implikasi bahwa guru harus merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak uintuk belajar atau bekerja dalam kelompok. Karakteristik
yang
keempat
adalah
anak
merasakan,
melakukan/memperagakan sesuatu secara langsung. Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam pembelajaran (Kurniawan, 2008). Karakteristik anak usia antara 10-12 tahun atau masa kelas tinggi sekolah dasar: menyenangi permainan aktif, minat terhadap olahraga kompetitif dan permainan organisasi meningkat, rasa kebanggan dan ketrampilan yang dikuasai tinggi, mencari perhatian orang dewasa, pemujaan kepahlawanan tinggi, mudah gembira kondisi emosionalnya tidak stabil, mulai memahami arti waktu dan ingin mencapai sesuatu pada waktunya (Trisna, 2011). Karakteristik siswa kelas IV sekolah dasar meliputi karakterisitik fisik, sosial-emosional, dan mental. Karakteristik fisik meliputi: perbaikan 6
7
koordinasi tubuh meningkat, ketahanan bertambah, pertumbuhan terus naik, koordinasi mata dan tangan meningkat, bentuk tubuh yang tidak baik dapat terjadi, gigi yang tetap mulai nampak, adanya perbedaan individu mulai nyata dan terang. Sedangkan karakteristik sosial-emosional meliputi: mudah terpengaruh, kemauan besar, hasrat turut serta dalam kelompok, menginginkan kebebasan tetapi masih dalam perlindungan orang dewasa, lebih senang kegiatan beregu daripada individu, ada kecenderungan membandingkan dirinya dengan anak-anak lain, mulai mengenal kebutuhan, mampu menyelesaikan problem-problem sosial yang kecil. Selanjutnya karakteristik mental meliputi: kemampuan berpikir bertambah, minat terhadap permainan yang terorganisasi bertambah, sangat berhasrat ingin menjadi dewasa, senang akan latihan-latihan aktifitas (Chusairi, 2011). Berdasarkan karakteristik di atas dalam pembelajaran matematika guru menggunakan model pembelajaran yang mengaktifkan siswa dan bekerja sama dalam kelompok, siswa hendaknya diberi kesempatan untuk pro aktif dan mendapat pengalaman langsung. Dengan demikian guru hendaknya merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Selain itu guru diharuskan memiliki
kemampuan
untuk
bisa
mengiringi,
memahami,
dan
membimbing kararakter anak usia sd agar bias tetap terkontrol dan terarah ke hal positif sesuai tujuan pembelajaran yang dilakukan.
b. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa (Winataputra, 2007: 119). Trianto (2009: 17) mendefinisikan pembelajaran adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
8
Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus untuk menghasilkan respon terhadap situasi tertentu (Sagala, 2007: 61). Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah suatu proses interaksi yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada peserta didik /siswa yang dilakukan oleh pendidik/guru dengan peserta didik/siswa melalui pemanfaatan segala sumber belajar dan mengembangkan segala potensi yang dimiliki siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan. c. Pengertian Matematika Matematika
merupakan
ilmu
universal
yang
mendasari
perkembangan teknologi modern, mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin dan menegakkan daya pikir manusia. Dalam Kurikulum 2004 (Depdiknas, 2003: 2) ditulis dengan jelas bahwa Matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sudah diterima, sehingga keterkaitan antar konsep
dalam
matematika sangat kuat dan jelas. Matematika adalah bahasa sismbol; ilmu deduktif, ilmu tentang pola keteraturan dan struktur yang terorganisir mulai dari unsur yang tidak didefinisikan ke aksioma atau postulat dan akhirnya ke dalil (Heruman, 2007: 1) Adapun pengertian matematika menurut James dan James dalam kamus matematikanya mengatakan bahwa Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu sama lainnya dengan jumlah yang banyaknya terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri. Selanjutnya Johnson dan Rising mengtakan bahwa “Matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasi pembuktian yang logis”. Reys mengatakan bahwa
9
“Matematika adalah telaahan tentang pola dan hubungan suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa, dan suatu alat”. Kemudian Kline mengatakan bahwa “Matematika itu bukanlah suatu pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk menbantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam” (Ruseffendi, 1992: 28). Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah pola berpikir, pola menggprganisasikan pengertian yang logik yang terbagi dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan social, ekonomi, dan alam. Berdasarkan pengertian matematika yang sudah dikemukakan di atas dapat diambil garis besar bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan eksak yang terorganisir secara sistematis dan memiliki aturan-aturan yang ketat serta membutuhkan penalaran logis yang terbagi dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan geometri untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai pernasalahan sosial, ekonomi, dan alam. 1) Fungsi dan Tujuan Matematika Wahyudi menyatakan bahwa, apa yang menjadi fungsi pembelajaran Matematika yaitu untuk mengembangkan kemampuan belajar melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, sebagai alat pemecah masalah melalui pola piker dan dan model Matematika serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan. Tujuan pembelajaran Matematika adalah melatih cara berpikir secara sistematis, logis, kritis, kreatif, dan konsisten (2008: 3). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Sekolah Dasar menyatakan bahwa tujuan Matematika agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
10
a) Memahami
konsep
Matematika,
menjelaskan
keterkaitan
antarkonsep dan mengaplikasi konsep atau logaritma, secara lues, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. b) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi Matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan Matematika. c) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model Matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi dan diperoleh. d) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk mempelajari keadaan atau masalah. e) Memiliki
sikap
menghargai
kegunaan
Matematika
dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tau, perhatian, dan minat dalam mempelajari Matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berdasarkan uraian di atas
bahwa tujuan Matematika
sangat kompleks, dari semuanya itu mengarahkan pada satu titik yaitu peningkatan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. 2) Materi Pembelajaran Matematika tentang Pecahan Standar Kompetensi: 6. Menggunakan masalah dalam pemecahan masalah Kompetensi Dasar: 6.1 Menjelaskan arti pecahan dan urutannya 6.2 Menyederhanakan berbagai bentuk pecahan 6.3 Menjumlahkan pecahan 6.5 Mengurangkan pecahan 6.5 Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pecahan a. Pengertian Bilangan Pecahan Pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Dalam ilustrasi gambar, bagian yang dimaksud
11
adalah bagian yang diperhatikan, yang biasanya ditandai dengan arsiran. Bagian inilah yang dinamakan pembilang. Adapun bagian yang utuh adalah bagian yang dianggap sebagai satuan, dan dinamakan penyabut (Heruman, 2007: 43). Secara umum bentuk penulisan a/b disebut dengan pecahan dengan a dan b bilangan cacah dan b ≠ 0. Dalam hal ini a disebut pembilang dan b disebut penyebut (Sa’jidah, 2001: 74). Pembilang dalam pecahan menentukan atau menunjukkan suatu bilangan dari keseluruhan bagian, sedangkan penyebut menunjukkan suatu keseluruhan bagian dari suatu bilangan. b.
Macam-macam Bilangan Pecahan (1) Pecahan biasa contoh : ½, 1/3, 3/5 (2) Pecahan campuran contoh: 3 4/5, 7 1/2 (3) Pecahan decimal contoh: 0,3 ; 0,25 (4) Persen (perseratus ) contoh: 30 % = 3/100 (5) Permil (perseribu) contoh: 20 ‰ = 20/1000
c. Operasi Hitung Bilangan Pecahan 1) Penjumlahan Pecahan Penjumlahan antara dua pecahan atau lebih dilakukan dengan cara mengalikan penyebutnya atau menggunakan KPK dari kedua atau lebih penyebutnya. a. Penjumlahan dengan penyebut sama Contoh : ½ + ½ = 2/2 = 1 b. Penjumlahan dengan penyebut tidak sama Contoh : 4/5 + 2/3 = (4x3)+(2x5) = 12+10 = 22 5x3
15
15
12
Dapat juga dengan menggunakan KPK dari kedua penyebutnya. Penjumlahan yang dilakukan dengan mengalikan kedua penyebut
maupun
dengan
mencari
KPK
dari
penyebutnya didapat hasil sama. 2) Pengurangan Pecahan Pengurangan antara dua pecahan atau lebih dilakukan dengan cara mengalikan penyebutnya atau menggunakan KPK dari kedua atau lebih penyebutmya. (a) Pengurangan dengan penyebut sama Contoh : 5/7 – 3/7 = 2/7 (b) Pengurangan dengan penyebut tidak sama Contoh : 4/5 – 2/3 = (4x3)-(2x5) = 12-10 = 2 (5x3)
15
15
Dapat juga dengan menggunakan KPK dari kedua penyebutnya. Pengurangan yang dilakukan dengan mengalikan kedua penyebut maupun dengan mencari KPK dari penyebutnya didapat hasil sama (c) Penjumlahan dengan pecahan decimal -
Penjumlahan dibuat bersusun ke bawah
-
Pecahan decimal persepuluh diubah menjadi perseratus
dengan
menambah
angka
dinbelakang. Contoh : Penjumlahan pecahan decimal persepuluh 0,4 + 0,3 = …. Penyelesaian: 0,4 0,3 + 0,7
Jadi, 0,4 + 0,3 = 0,7
nol
13
Penjumlahan pecahan decimal perseratus 0,25 + 0,13 = …. Penyelesaian: 0,25 0,13 + 0,38
Jadi, 0,25 + 0,13 = 0,38
Penjumlahan pecahan decimal persepuluh dan perseratus 0,6 + 0,25 = …. Penyelesaian: 0,6
0,60
0,25 +
0,25 +
….
0,85
Jadi, 0,6 + 0,25 = 0,85
(d) Pengurangan pecahan decimal a. Pengurangan dibuat susun ke bawah b. Pecahan decimal persepuluh diubah menjadi perseratus dengan menambah angka 0 di belakang. Contoh: Pengurangan pecahan decimal persepuluh 0,5 – 0,2 = …. Ubah menjadi bentuk tersusun 0,5 0,2 – 0,3 Pengurangan pecahan decimal perseratus 0,53 – 0,31 = …. 0,53 0,31 – 0,22
14
Pengurangan pecahan decimal persepuluh dan perseratus 0,3 – 0,24 = …. 0,3
0,30
0,24 –
0,24 –
....
0,06
d. Pengertian Hasil Belajar Di dalam istilah hasil belajar, terdapat dua unsur di dalamnya, yaitu unsur hasil dan unsur belajar. Hasil merupakan suatu hasil yang telah dicapai pebelajar dalam kegiatan belajarnya (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya), sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dari pengertian ini, maka hasil belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru. Menurut Dimyati dan Mudjiono, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesikannya bahan pelajaran. Menurut Oemar Hamalik, hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti (Munawar, 2009). Menurut Bloom (Suprijono, 2009: 6-7) hasil belajar dalam rangka studi dicapai melalui tiga kategori domain antara lain kognitif, afektif, psikomotor. Perinciannya adalah sebagai berikut: a.
Domain Kognitif
15
Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian. b. Domain Afektif Berkenaan dengan sikap dan nilai. Domain afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi. c. Domain Psikomotor Meliputi keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, manajerial, dan intelektual. Tipe hasil belajar kognitif lebih dominan daripada afektif dan psikomotor karena lebih menonjol, namun hasil belajar psikomotor dan afektif juga harus menjadi bagian dari hasil penilaian dalam proses pembelajaran di sekolah. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disintesiskan bahwa hasil belajar adalah suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah dilakukan berulang-ulang. Serta akan tersimpan dalam jangka waktu lama atau bahkan tidak akan hilang selama-lamanya karena hasil belajar turut serta dalam membentuk pribadi individu yang selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik lagi sehingga akan merubah cara berpikir serta menghasilkan perilaku kerja yang lebih baik. Hasil belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar yaitu : 1) Faktor Internal (dari dalam individu yang belajar). Faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar ini lebih ditekankan pada faktor dari dalam individu yang belajar. Adapun faktor yang mempengaruhi kegiatan tersebut adalah faktor psikologis, antara lain yaitu : motivasi, perhatian, pengamatan, tanggapan dan lain sebagainya. 2) Faktor Eksternal (dari luar individu yang belajar). Pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem lingkungan belajar yang kondusif. Hal ini akan berkaitan dengan faktor dari luar
16
siswa. Adapun faktor yang mempengaruhi adalah mendapatkan pengetahuan, penanaman konsep dan keterampilan, dan pembentukan sikap. Dari uraian di atas ternyata lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Lingkungan sekolah termasuk didalamnya guru dan metode mengajar yang digunakan dalam menyampaikan pelajaran, dengan kata lain jika metode mengajar guru bagus, tentu materi pelajaran dapat diterima dengan baik oleh siswa. Metode mengajar guru yang kurang baik akan mempengaruhi kondisi siswa yang kurang baik pula. Guru biasa mengajar dengan metode ceramah saja, siswa menjadi bosan, mengantuk, pasif dan hanya mencatat saja. Guru yang progresif berani mencoba metode-metode yang baru, yang dapat membantu meningkatkan motivasi siswa untuk belajar. Agar siswa dapat belajar dengan baik, maka metode mengajar harus diusahakan yang setepat, efisien dan efektif mungkin. e. Pembelajaran Kooperatif a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran
kooperatif
adalah
salah
satu
bentuk
pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belaum seslesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran (Isjoni, 2009: 14-15) Menurut Slavin (Isjoni, 2009: 22) menyatakan bahwa “in cooperative learning methods, students, work together in four member teams to master material initially presented by the teacher”. Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-
17
kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Menurut Nur (Isjoni, 2009: 27) pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan
pendekatan
pembelajaran
yang
berhasil
yang
mengitegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademik. Pembelajaran
kooperatif
merupakan
salah
satu
model
pembelajaran kelompok yang memiliki aturan-aturan tertentu. Prinsip dasar pembelajaran kooperatif adalah siswa membentuk kelompok kecil dan saling mengajar sesamanya untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pembelajaran kooperatif siswa pandai mengajar siswa yang kurang pandai tanpa merasa dirugikan. Siswa kurang pandai dapat belajar dalam suasana yang menyenangkan karena banyak teman yang membantu dan memotivasinya. Siswa yang sebelumnya terbiasa bersikap pasif setelah menggunakan pembelajaran kooperatif akan terpaksa berpartisipasi secara aktif agar bisa diterima oleh anggota kelompoknya (Wena, 2008: 189). Pembelajaran kooperatif adalah sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur, dan dalam sistem ini guru bertindak sebagai fasilitator (Wena, 2008: 189-190). Selanjutnya Sumantri (2009) menyatakan bahwa: “Model pembelajaran kooperatif adalah
kegiatan
pembelajaran
dengan
cara
berkelompok
untuk
bekerjasama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4-5 orang siswa heterogen (kemampuan, gender, karakter), ada kontrol dan fasilitas, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi.” Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang melalui penempatan siswa
18
dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang siswa yang heterogen (kemampuan, gender, karakter) yang mengkondisikan siswa untuk bekerja bersama- sama di dalam kelompok untuk saling membantu satu sama lain dalam mengkonstruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. b.
Unsur-unsur dan Ciri- ciri Model Pembelajaran Kooperatif Pelajaran yang menggunakan model cooperative learning memiliki ciri – ciri sebagai berikut: (1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif umtuk menuntaskan materi belajarnya; (2) Kelompok dibentukdari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah; (3) Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, bangsa, suku, dan jenis kelamin yang berbeda-beda; (4) Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok daripada individu (Trianto, 2009: 65). Tidak
semua
kerja
kelompok
bisa
dianggap
sebagai
perkembangan kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, ada 5 unsur model pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan yaitu: (1) saling ketergantungan yang positif; (2) saling interaksi tatap muka; 3) setiap individu bertanggungjawab; (4) adanya komunikasi antar anggota; (5) evaluasi proses kelompok (Lie, 2002: 31). c.
Prinsip Dasar Pembelajaran Kooperatif Lungren (Trianto, 2009: 65) menyebutkan bahwa prinsip-prinsip dasar yang perlu untuk ditanamkan kepada siswa agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan lebih efektif lagi adalah : 1) Para siswa harus memiliki persepsi sama bahwa mereka “tenggelam” atau “berenang” bersama. 2) Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam kelompoknya, di samping tanggung jawab terhadap diri sendiri , dalam mempelajari materi yang dihadapi. 3) Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semuanya memiliki tujuan yang sama.
19
4) Para siswa harus memberi tugas dan berbagi tanggung jawab sama besarnya diantara para anggota kelompok. 5) Para siswa akan diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok. 6) Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar. 7) Para siswa akan diminta mempertanggung jawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. d.
Manfaat Pembelajaran Kooperatif Manfaat pembelajaran kooperatif bagi siswa dengan hasil belajar yang rendah, antara lain adalah: (1) meningkatkan pencurahan waktu pada tugas; (2) rasa harga diri menjadi lebih tinggi; (3) memperbaiki sikap terhadap IPA dan sekolah; (4) memperbaiki kehadiran; (5) angka putus sekolah menjadi rendah; (6) penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar; (7) perilaku menggangu menjadi lebih kecil; (8) konflik antar pribadi berkurang; (9) sikap apatis berkurang; (10) kemahaman yang lebih mendalam; (11) motivasi lebih besar; (12) hasil belajar lebih tinggi; (13) retensi lebih lama; (14) meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi (Ibrahim, 2000:18).
e.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi mampu memacu keberhasilan individu melalui kelompoknya. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaktidaknya 3 tujuan pembelajaran yaitu : 1) Kemampuan akademik. 2) Penerimaan perbedaan individu. 3) Pengembangan keterampilan sosial.
f.
Keterampilan Kooperatif Pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif berfungsi
20
melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan. Lungdren (Isjoni 2009: 65-67) mengemukakan bahwa dalam pembelajaran koopertif terdapat keterampilan-keterampilan kooperatif antara lain : 1) Keterampilan kooperatif tingkat awal terdiri atas : (a) Menggunakan kesepakatan (b) Menghargai kontribusi (c) Mengambil giliran dan berbagai tugas (d) Berada dalam kelompok (e) Berada dalam tugas (f) Mendorong partisipasi (g) Mengundang orang lain untuk berbicara (h) Menyelesaikan tugas pada waktunya (i) Menghormati perbedaan individu 2) Keterampilan tingkat menengah terdiri atas: (a) Menunjukkan penghargaan (b) Mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang dapat diterima (c) Mendengarkan dengan aktif (d) Membuat ringkasan (e) Menafsirkan (f) Mengatur dan mengorganisir (g) Menerima tanggung jawab (h) Mengurangi ketegangan 3) Keterampilan tingkat mahir terdiri atas: (a) Mengelaborasi (b) Memeriksa dengan cermat (c) Menanyakan kebenaran (d) Menetapkan tujuan
21
(e) Berkompromi. g. Macam- macam Pembelajaran Kooperatif 1) Jigsaw Model Jigsaw dikembangkan oleh Eliot Aronson dan kawan-kawannya dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan kawankawannya. Seperti halnya pada m,odel STAD, pada model Jigsawpun, kelas dibagi menjadi beberapa kelompok/tim @ 4-5 orang anggotanya yang bersifat heterogen. Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks dan tiap siswa diberi tanggung jawab untuk mempelajari satu bagian dari bahan akademik tersebut. Para anggota dari berbagai kelompok/tim yang berbeda memiliki tanggung jawab untuk mempelajari satu bagian bahan akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk saling membantu mengkaji bahan tertsebut. Kelompok siswa yang dimaksud disebut ”kelompok pakar (expert
group)”.
Sesudah
kelompok
pakar
berdiskusi
dan
menyelesaikan tugas, maka anggota dari kelompok pakar ini kembali ke kelompok semula (home teams) untuk mengajar (membuat mengerrti) anggota lain dalam kelompok semula tersebut. 2)
STAD Model Student Teams Achievement (Tim Siswa Kelompok Prestasi) adalah salah satu model pembelajaran kooperatif. Model ini dikembangkan oleh Robert Slavin dan kawan-kawannya. Metode ini merupakan metode yang paling sederhana dalam pembelajaran kooperatif. Para guru menggunakan pembelajaran STAD untuk mengajarkan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu, baik melalui penyajian verbal manupun tertulis. Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompok atau tim masingmasing terdiri atas 4 atau 5 orang anggota kelompok yang bersifat heterogen (baik
jenis
kelamin,
ras,
etnik,
maupun
potensi
akademik/kemampuannya). Tiap anggota kelompok menggunakan lembar kerja akademik dan kemudian saling membantu untuk
22
menguasai bahan ajar melalui Tanya jawab atau diskusi antar sesame anggota kelompok. Secara periodik. Dilakukan evaluasi oleh guru untuk mengetahui tingkat penguasaan mereka (baik individual maupun kelompok) terhadap bahan akademik yang telah dipelajari. Setiap siswa atau tim diberi skor atas penguasaannya terhadap bahan ajar, dan kepada siswa secara individual atau tim yang meraih prestasi tinggi atau memperoleh skor sempurna diberi reinforcement. 3)
TAI (Team Assisted Individualization) TAI
(Team
Assisted
Individualization)
dibentuk
menggabungkan antara motivasi dan insentif kepada kumpulan. Program yang diberikan harusnya disesuaikan
dengan kemahiran
yang dimiliki oleh setiap pelajar. Pelajar dalam setiap kumpulan mestinya terdiri dari pelajar yang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Ahli kumpulan yang bekerja secara berpasangan akan tukar-menukar lembar jawaban kerja yang telah dibuat. Ahli kumpulan bertanggung jawab memastikan rekan-rekan dalam kumpulan bersedia untuk menduduki ujian akhir setiap unit. Skor mingguan yang diperolehi oleh kumpulan akan dijumlahkan, kumpulan yang melebihi skor yang ditetapkan akan diberikan hadiah. 4)
TGT (Times Gaes Tournament) Metode TGT dikembangkan oleh David d Vries dan Keith Edwards awalnya oleh johns Hopkins. TGT menggunakan guru dan kelompok kerja yang sama dengan STAD, tetapi menambahkan turnamen kuis mingguan, dimana siswa-siswa melakukan permainan akademik dengan anggota kelompok lain
yang pada akhirnya
mengahasilkan record atau rangking kelompok. Dalam setiap Turnamen terdiri dari 3 orang. Skor tertinggi akan menyumbangkan angka 60 bagi timnnya, selanjutnya yang kalah akan berhadapan dengan yang kalah yang menang berhadapan dengan yang menang. TGT memiliki banyak dinamika yang sama dengan STAD hanya ditambah permainan. Permainan disisipkan bersama-sama dalam
23
kelompok dan menjelaskan masalah tetapi ketika permainan berlangsung maka peserta bekerja secara individual. 5)
CIRC (Cooperative Integrated Reading and Compotition) Metode ini khusus digunakan untuk pembelajaran bahasa khususnya menulis dan membaca pada kelas atas dan menengah sekolah dasar. (Madden, Slavin dan Stevans 1986) pada metode ini guru menggunakan novel dan bahan bacaan. Bisa menggunakan kelompok membaca atau tidak dengan cara membaca tradisional, siswa ditugaskan untuk menyusun tim belajar dari 2 atau lebih level yang berbeda. Siswa-siswa belajar dengan pasangan timnya dalam aktivitas kognitif yang sama termasuk membacakan satu sama lain, menulis tanggapan, membuat ringkasan, dan praktik spelling, menguraikan dan kosa kata. Siswa juga bekerja dalam kelompoknya untuk menguasai ide pokok dan keterampilan lainnya. Selama periode ini siswa menulis kajian-kajian, draf, merevisi, dan mengedit pekerjaan satu sama lain. Dalam aktivitas CIRC siswa mengikuti rangkaian pengajaran guru, praktek kelompok, pra evaluasi team dan siswa tidak diperbolehkan mengikuti ujian sampai semua anggota team siap. Penghargaan tim dan setifikat diberikan berdasarkan ratarata penampilan semua anggota team membaca dan aktifitas menulis, karena siswa-siswa diprioritaskan pada level membaca dan mereka memiliki kesempatan yang sama.
6)
Group Investigation Metode ini dikembangkan oleh Shlamo dan Yael Sharan dari Universitas Tel Aviv. Secara umum pembelajaran direncanakan secara teratur dimana siswa bekerja dalam kelompok kecil, kelompok diskusi dan bekerja sama membuat rencana dan pekerjaan. Kegiatan pembelajaran dalam metode ini siswa membentuk kelompok– kelompok kecil 2-6 orang. Kelompok-kelompok memilih topik dari unit pembelajaran yang sedang dipelajari, memecahkannya menjadi tugas individu kemudian mempersiapkan laporan kelompok secara
24
bersama-sama, kemudian hasil kerja kelompok dipresentasikan kepada semua anggota kelas. Dasar-dasar
metode
group
investigation
(investigasi
kelompok) dirancang oleh Herbert Thelen, selanjutnya dikembangkan oleh oleh Sharan dan kawan-kawannya. Dibandingkan dengan model STAD
dan
Jigsaw,
group
investigation
merupakan
model
pembelajaran yang lebih kompleks dan paling sulit dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Pada model group investigation, sejak awal siswa dilibatkan mulai dari tahap perencanaan baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Dalam pelaksanaanya, mempersyaratkan para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam keterampilan proses kelompok. Pengelompokan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil a 5-6 orang dapat bersifat heterogen dan dapat juga didasarkan pada kesenangan berteman atau kesamaan minat.
Para
siswa
mengikuti/melakukan
memilih investigasi
topik
yang
mendalam
ingin
dipelajari,
terhadap
berbagai
subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan. 2. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw a. Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pertama kali dikembangkan oleh Eliot Aronson. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang dengan memperhatikan keheterogenan, bekerjasama positif dan setiap anggota bertanggung jawab untuk mempelajari masalah tertentu dari materi yang diberikan dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Isjoni, 2009: 79) Pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, terdapat kelompok ahli dan kelompok asal. Kelompok asal adalah kelompok awal siswa
25
terdiri dari beberapa anggota kelompok ahli yang dibentuk dengan memperhatikan keragaman dan latar belakang. Guru harus terampil dan mengetahui latar belakang siswa agar terciptanya suasana yang baik bagi setiap angota kelompok. Sedangkan kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok lain (kelompok asal) yang ditugaskan untuk mendalami topik tertentu untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal. Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut. Peran guru dalam diskusi tersebut adalah memfasilitasi dan memotivasi para anggota kelompok ahli agar mudah untuk memahami materi yang diberikan. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli. Para kelompok ahli harus mampu untuk membagi pengetahuan yang didapatkan saat melakukan diskusi di kelompok ahli, sehingga pengetahuan tersebut diterima oleh setiap anggota pada kelompok asal. Kunci tipe Jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan informasi yang diperlukan, artinya para siswa harus memiliki tanggungajawab dan kerjasama dan saling ketergantungan
yang
positif
untuk
mendapatkan
informasi
dan
memecahkan masalah yang diberikan (Chabibah, 2006). Selanjutnya, diakhir pembelajaran siswa diberi kuis secara individu yang mencakup topik materi yang telah dibahas. b. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Menurut Slavin, dalam penerapan pembelajaran kooperatif model Jigsaw ada beberapa langkah yang harus dilaksanakan, yaitu sebagai berikut: 1) Pembentukan kelompok asal
26
Setiap kelompok asal terdiri dari 4-5 orang anggota dengan kemampuan yang heterogen. 2) Pembelajaran pada kelompok asal Setiap anggota dari kelompok asal mempelajari submateri pelajaran yang akan menjadi keahliannya, kemudian masing-masing bekerja mengerjakan tugas secara individual. 3) Pembentukan kelompok ahli Ketua kelompok asal membagi tugas kepada masing-masing anggotanya untuk menjadi ahli dalam satu submateri pelajaran. Kemudian masing-masing ahli submateri yang sama dari kelompok yang berlainan bergabung membentuk kelompok baru yang disebut kelompok ahli. 4) Diskusi kelompok ahli Anggota kelompok ahli mengerjakann tugas dan saling berdiskusi tentang masalah-masalah yang menjadi tanggung jawabnya. Setiap anggota kelompok ahli belajar materi pelajaran sampai mencapai taraf merasa yakin mampu menyampaikan dan memecahkan persoalan yang menyangkut submateri pelajaaran yang menjadi tanggung jawabnya. 5) Diskusi kelompok asal (Induk) Anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal masing-masing. Kemudian setiap anggota kelompok asal menjelaskan dan menjawab pertanyaan mengenai submateri pelajaran yang menjadi keahliannya kepada anggota kelompok asal yang lain. Ini berlangsung secara bergilir sampai seluruh anggota kelompok asal telah mendapat giliran. 6) Diskusi kelas Dengan dipandu oleh guru diskusi kelas membicarakan konsepkonsep penting yang menjadi bahan perdebatan dalam diskusi kelompok ahli. Guru berusaha memperbaiki salah konsep pada siswa. 7) Pemberian kuis
27
Kuis dikerjakan secara individu. Nilai yang diperoleh masing-masing anggota kelompok asal dijumlahkan untuk memperoleh jumlah nilai kelompok. 8) Pemberian penghargaan kelompok Kepada kelompok yang memperoleh jumlah nilai tertinggi diberikan penghargaan berupa piagam dan bonus nilai (Wena, 2008: 194-195). c. Kelebihan-kelebihan
dan
Kekurangan-kekurangan
Pembelajaran
Kooperatif Tipe Jigsaw Menurut Rohman (2013) kelebihan-kelebihan metode Jigsaw antara lain : 1) Memacu siswa untuk lebih aktif, kreatif serta bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. 2) Mendorong siswa untuk berpikir kritis. 3) Memberi kesempatan setiap siswa untuk menerapkan ide yang dimiliki untuk menjelaskan materi yang dipelajari kepada siswa lain dalam kelompoknya. 4) Diskusi yang terjadi melibatkan semua siswa, sehingga semua siswa dituntut untuk menjadi aktif dalam diskusi tersebut. Sedangkan kekurangan-kekurangan metode Jigsaw antara lain : 1) Kegiatan belajar membutuhkan lebih banyak waktu dibanding metode lain 2) Metode ini bagi guru membutuhkan konsentrasi dan tenaga yang lebih ekstra, karena setiap kelompok membutuhkan penanganan yang berbeda-beda.
B. Penelitian yang Relevan Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw telah banyak digunakan dalam beberapa penelitian. Hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
28
Pada tahun 2011 Mohammad Hanif Ashidiqi melakukan penelitian dengan judul “Peningkatan Pembelajaran IPA Materi Rangka dan Indera Manusia Melalui Model Jigsaw di Kelas IV SD Negeri Watesalit 02 Batang”. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Rangka dan Indera Manusia. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata nilai hasil belajar siswa yang mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Rata-rata nilai hasil belajar siswa pada siklus I yaitu 68,83 dan pada siklus II meningkat menjadi 75,33. Penelitian lain yang juga menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ialah penelitian yang dilakukan oleh Rustim pada tahun 2012 dengan judul
“Penerapan
Model
Pembelajaran
Koopeatif
Tipe
Jigsaw
untuk
Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas V pada Materi Bilangan Bulat di SD Negeri Sindangheula 03 Banjarharja Brebes”. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II pada materi Bilangan Bulat. Rata-rata nilai hasil belajar siswa pada siklus I yaitu 59,85 dan pada siklus II meningkat menjadi 77,05. Penelitian yang telah dilakukan oleh Mohammad Hanif Ashidiqi merupakan penelitian yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti terletak pada mata pelajaran, kelas, dan materi. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Rustim merupakan penelitian yang menggunakan model pembelajaran kooperaif tipe Jigsaw dalam mata pelajaran matematika. Hal tersebut sama dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Perbedaannya terletak pada materi dan subjek yang diteliti. Peneliti mengambil materi Operasi Hitung Pecahan dan subjek yang diteliti dalam penelitian ini yaitu siswa kelas IV SD Negeri Pucangan. Berdasarkan peningkatan hasil pada penelitian tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada pembelajaran matematika kelas IV tentang Operasi Hitung Pecahan di SD Negeri Pucangan.
29
C. Kerangka Berpikir
Proses belajar seorang siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Agar hasil yang baik dapat tercapai maka harus diupayakan seluruh faktor yang ada dapat mendukung proses belajar siswa. Demikian pula halnya dengan proses belajar Matematika. Penggunakan model pembelajaran yang dapat membangkitkan kreativitas belajar Matematika sangat penting sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar Matematika siswa. Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model
pembelajaran
yang
secara
prosedural
dirancang
untuk
dapat
membangkitkan minat dan kreatifitas siswa. Model pembelajaran kooperatif yang mengutamakan kerja sama antar siswa dalam kelompok-kelompok kecil dalam mempelajari materi pelajaran melalui diskusi memungkinkan siswa mempunyai kesempatan yang luas untuk aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pemantauan yang dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran memungkinkan guru dapat lebih mengetahui siswa yang mengalami kesulitan belajar dalam memahami materi pelajaran dan guru dapat memberikan bimbingan secara langsung kepada siswa tersebut, dengan demikian akan jarang ditemukan siswa-siswa yang tidak memahami materi pelajaran ketika materi pelajaran disajikan. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw siswa diberikan beban dan tanggung jawab untuk menguasai bagian tertentu dari materi pelajaran yang selanjutnya diajarkan kembali kepada teman dalam kelompoknya akan membuat siswa lebih termotivasi untuk memahami materi pelajaran. Pada kegiatan belajar operasi hitung pecahan siswa akan melakukan kegiatan belajar secara aktif. Siswa dapat menjadi tutor sebaya bagi teman kelompoknya sehingga mereka dapat menggali dan mengandalkan kemampuan masing-masing dengan maksimal. Selain itu Dengan demikian pengggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat memungkinkan untuk meningkatkan hasil belajar Matematika siswa. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dilaksanakan secara berkesinambungan dan disesuaikan dengan karakteristik siswa kelas IV yang rata-
30
rata berusia 9-11 tahun. Pembelajaran dilakukan dengan aktif, kreatif, dan menyenangkan sehingga siswa tertarik dan fokus dalam belajar. Secara sistematis kerangka berpikir penelitian tindakan kelas ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Proses: Kondisi Awal
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw belum diterapkan dalam peningkatan pembelajaran matematika kelas IV SDN Pucangan
Siswa: a. Siswa kurang aktif dalam pembelajaran b. Hasil belajar siswa rendah
Proses: Siklus I Tindakan
Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dalam pembelajaran matematika kelas IV SDN Pucangan
Hasil: Hasil
a. Aktivitas siswa dalam pembelajaran meningkat b. Hasil belajar siswa meningkat
Gambar 2.1. Skema Kerangka Berpikir
Siklus II
31
D. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori, maka hipotesis tindakan dalam penelitian yang direncanakan ini adalah “Jika menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dengan tepat, hasil belajar Matematika pada materi Operasi Hitung Pecahan siswa kelas IV SD N Pucangan dapat ditingkatkan”.