10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.
KAJIAN TEORI
1. Analisis Wacana Kata wacana berpadanan dengan kata discourse dalam bahasa Inggris. Wacana sering digunakan selain dalam bidang bahasa dan sastra, juga dalam bidang sosiologi, antropologi, politik, dan filsafat. Di luar bidang bahasa dan sastra, lebih sering digunakan kata diskursus atau dengan kata sifat diskursif. Dalam bidang linguistik, kata diskursus jarang dipakai dibanding kata wacana sehingga discourse analysis menjadi analisis wacana. Dalam bahasa inggris dibedakan discourse dan text, yang pertama berarti spoken discourse atau wacana lisan, seperti percakapan, lelucon, dan lain-lain, yang kedua berarti written discourse atau wacana tulis seperti buku, label hasil produksi pabrik obat dan makanan, petunjuk yang dipasang di tempat umum, dan lain-lain. Bahasa Indonesia hanya mengenal wacana dan untuk membedakan satu dengan yang lainya ditambahkan kata lisan dan tulis. Selain perbedaan pada lisan dan tulis, kata discourse dan text juga menyiratkan adanya perbedaan lain, yaitu dalam discourse ada interaktif atau dialog, sementara dalam text hanya ada monolog noninteraktif. Meskipun dari segi struktur bahasa, wacana dapat berbentuk seperti sebuah frase atau kelompok kata, konteksnya telah memberikan makna yang lain dari pada makna menurut struktur bahasanya. Makna wacana sudah melebihi makna kalimat, sehingga beberapa ahli linguistik yang menggeluti wacana telah memberikan pengertian tentang wacana dengan makna melebihi kalimat. Mereka mengatakan bahwa wacana adalah suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat atau suatu rangkaian, yang bersinambung dari bahasa, yang lebih besar daripada kalimat. Wacana bukan sekadar suatu kesatuan kalimat yang padu dalam sebuah atau beberapa paragraf. Tarigan (1987: 23) menjekan dalam kamus Webster wacana berarti: (1) komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau
11
gagasan, konversi atau percakapan; (2) komunikasi secara umum terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah; (3) risalah tulisan, disertasi formal, kuliah, ceramah, kothbah. Tarigan (1987: 27) mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat
atau
klausa
dengan
koherensi
dan
kohesi
tinggi
yang
berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tulis. Menurut Badudu (2000) wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Maka dapat disimpulkan bahwa wacana adalah deretan kalimat yang berkaitan dan berkesinambungan, memiliki kohesi dan koherensi, sehingga kalimat satu dan yang lainnya menjadi padu padan, hingga membentuk satu kesatuan yang utuh dan mempunyai makna. Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Wacana dapat berbentuk sebuah karangan, yang memiliki cerita dan alur. Seperti pendapat Kridalaksana (1984: 208) bahwa wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraph, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Hal inilah yang disebut dengan analisis wacana tulis. Analisis didasarkan pada wacana dalam bentuk tulis seperti novel, karangan, buku, cerpen, dan lain sebagainya. Berbeda dengan Crystal (1987: 116) yang menganggap bahwa analisis wacana memfokuskan pada struktur yang secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam
12
wacana, seperti percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan. Analisis wacana lisan meneliti mengenai suatu percakapan yang tercipta, oleh karenanya analisis wacana lisan tidak lagi terpaku pada wacananya saja, akan tetapi juga mengaitkan konteks di luar teks tersebut. Analisis wacana lisan menjadi sangat kompleks karena tidak hanya mengkaji seputar teks, akan tetapi melibatkan hal-hal lain di sekitar teks tersebut. Wacana percakapan yang terjadi pada suatu waktu, bila dikaji akan mempertimbangkan keadaan disekitarnya, yang disebut dengan konteks, dan inilah yang mendasari bahwa analisis wacana mengkaji ujaran diatas tataran kalimat. Senada dengan hal tersebut, Stubbs (1983: 1) mengatakan bahwa analisis wacana merujuk pada upaya mengkaji pengaturan bahasa di atas kalimat atau di atas klausa dan karenanya mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas, seperti pertukaran percakapan atau teks tulis. Konsekuensinya, analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks sosial, dan khususnya interaksi atau dialog antarpenutur. Sesuai dengan pendapat Stubbs ini maka kajian analisis wacana menjadi luas cakupannya, konteks yang mengikuti ujaran dalam wacana dapat dikaitkan dengan kondisi social baik penutur maupun mitra tutur, dan dapat dijabarkan lebih rinci lagi menjadi analisis konteks dalam sebuah wacana. Analisis wacana memberikan pelajaran penting bagi masyarakat yang menekuninya, karena mempunyai dampak positif apabila masyarakat mendalami ilmu ini. Hatch dan Long (dalam Larsen-Freeman, 1980: 35) mengatakan studi analisis wacana mempunyai dampak yang penting pada masyarakat, pendidikan, dan ilmu linguistik. Studi ini dapat menghasilkan pengertian yang lebih mendalam bagaimana kita belajar bahasa (atau bahasabahasa); pengertian yang lebih mendalam bagaimana kita sebagai individuindividu (dokter, pasien, pengemudi taksi, penumpang atau apa saja) berinteraksi melalui bahasa; pengertian yang lebih mendalam mengenai wacana kelas, kurikulum-kurikulum pendidikan dan materi-materi ajar; pengertian yang lebih mendalam mengenai bagaimana makna-makna itu melekat pada kalimat-kalimat dan pengertian yang lebih mendalam lagi mengenai sintaks kalimat. Apabila analisis wacana diterapkan dalam
13
kehidupan sehari-hari maka tidak akan ada lagi kesalahpahaman antara penutur dan mitra tutur, karena dalam berbicara ternyata penutur dan mitra tutur harus memperhatikan konteks yang melatarbelakangi pembicaraan tersebut. Makna yang akan disampaikanpun akan memiliki keberterimaan dengan baik. Brown dan Yule (1996: 1) mengakui bahwa istilah analisis wacana dewasa ini digunakan untuk mengacu pada makna-makna yang luas cakupannya, dan luas pula aktivitas-aktivitasnya. Istilah tersebut digunakan dalam konteks memerikan aktivitas-aktivitas pada persimpangan disiplindisiplin dari sosiolinguistik hingga linguistik (komputasional). Brown & Yule menambahkan dalam halaman xii bahwa dalam buku mereka yang ditekankan adalah pandangan bahwa pembicara atau penulis ada di pusat komunikasi, karena merekalah yang mempunyai topik-topik yang mereka bicarakan, merekalah yang mengadakan acuan atau referensi pada hal-hal yang dibicarakan dan mereka pulalah yang menarik simpulan atau yang menginterpretasi makna-makna yang disampaikan kepada mereka. Ini suatu pandangan yang berlawanan dengan studi tentang hal-hal yang sama, tetapi yang dilihat dari sudut pandang kalimat-kalimat lepas dari konteks-konteks komunikatif.
2. Fungsi Bahasa Fungsi bahasa secara umum menurut konsep Leech (1997: 52-53) dibagi dalam beberapa jenis, yaitu fungsi informasional (informational function), fungsi ekspresif (expressive function), fungsi direktif (directive function), fungsi estetik (aesthetic function) dan fungsi fatik (phatic function). Pembagian fungsi bahasa tersebut bukanlah klasifikasi yang ideal, artinya dalam praktik berbahasa sangat dimungkinkan adanya penggabungan sejumlah fungsi bahasa yang berbeda-beda. Sepotong bahasa jarang yang murni informatif saja, murni ekspresif saja, dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk mengetahui fungsi bahasa, konteks pemakaiannya sangatlah penting. Konteks pemakaian inilah membantu menjelaskan fungsi bahasa tertentu. Fungsi informasional adalah fungsi bahasa untuk menyampaikan informasi. Dikatakan Leech (1997: 52) dalam fungsi informasional berarti
14
penutur memberikan suatu informasi kepada petutur. Fungsi ekspresif adalah fungsi bahasa untuk mengekspresikan sikap dan perasaan penutur. Sebuah karya sastra merupakan ekspresi pikiran, perasaan, sikap, dan pengalaman dari pengarang. Oleh karena itu fungsi ekspresif menekankan pada sudut pandang penutur. Fungsi direktif bahasa adalah untuk memengaruhi perilaku atau sikap orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa fungsi kontrol sosial ini dalam hal pesannya lebih menekankan pada sisi penerima dan bukan pada penutur. Dengan kata lain, orientasi fungsi direktif lebih ditekankan ke arah petutur atau pembaca. Fungsi estetis berkaitan dengan kepentingan bahasa sebagai seni. Sebuah karya sastra mempunyai nilai-nilai keindahan atau estetika, untuk itu sebuah bahasa memiliki fungsi estetis berkaitan dengan nilai seni yang terkandung di dalamnya. Fungsi fatis untuk menjaga jalur komunikasi agar berjalan dengan baik. Menurut Leech, fungsi fatis berorientasi kepada saluran yang dipakai dalam komunikasi. Saluran yang dimaksud adalah penggunaan bahasa untuk memelihara kontak antara pembicara atau penulis dengan pendengar atau pembaca. Klasifikasi fungsi bahasa oleh Leech (1997: 49) dipengaruhi oleh klasifikasi fungsi bahasa Jakobson. Fungsi bahasa menurut Leech berorientasi pada lima hal pokok situasi komunikasi. Hubungan fungsi bahasa dengan lima hal itu sebagai berikut: (1) fungsi informatif berorientasi pada pokok masalah; (2) fungsi ekspresif berorientasi pada pembicara/penulis; (3) fungsi direktif berorientasi pada pendengar/pembaca; (4) fungsi estetik berorientasi pada pesan; dan (5) fungsi fatis berorientasi pada jalur komunikasi.
3. Makna tekstual dan kontekstual Makna dalam sebuah wacana menjadi suatu hal yang sangat penting untuk diketahui, baik makna tekstual atau makna yang terkandung jelas dari segi sintaksisnya dan makna kontekstual yang melibatkan konteks yang melatarbelakangi suatu wacana. Makna tekstual erat kaitannya dengan kohesi dan koherensi, karena makna ini terkait dengan wacana tulis dan mengkaji struktur bahasa dari sebuah wacana.
15
Kohesi dan koherensi tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya. Dua istilah ini merupakan satu kesatuan yang selalu melekat. Sebuah teks terutama teks tulis memerlukan unsur pembentuk teks. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk teks yang penting. Menurut Mulyana (2005: 26) menyatakan bahwa kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan sintaktikal. Sejalan dengan hal tersebut Anton M. Moeliono (dalam Mulyana, 2005: 26) menyatakan bahwa wacana yang baik dan utuh menayaratkan kalimat-kalimat yang kohesif. Maka kohesi lebih cenderung pada kepaduan dalam hal stuktur sintaksisnya. Kohesi wacana terbagi di dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain adalah referensi, subtitusi, ellipsis, konjungsi, sedangkan yang termasuk kohesi leksikal adalah sinonimi, repetisi, kolokasi. Sejalan dengan pendapat di atas, Sudaryat (2008: 151) menyatakan bahwa kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam organisasi sintaksis, wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Sementara Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik (2006: 88) menyatakan bahwa kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa. Gutwinsky (dalam Sudaryat, 2008: 151) menyatakan bahwa kohesi mengacu pada hubungan antarkalimat dalam wacana, baik dalam tataran gramatikal maupun tataran leksikal. Agar wacana itu kohesif, pemakai bahasa dituntut untuk mengetahui pemahaman tentang kaidah bahasa, realitas, penalaran (simpulan sintaksis). Oleh karena itu, wacana dikatakan kohesif apabila terdapat kesesuaian bentuk bahasa baik dengan koteks (situasi dalam bahasa) maupun konteks (situasi luar bahasa). Konsep kohesi pada dasarnya mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Tarigan (1987: 96) mengemukakan bahwa penelitian mengenai kohesi menjadi bagian dari kajian aspek formal bahasa. Oleh karena itu, organisasi dan struktur kewacanaanya juga berkonsentrasi dan bersifat sintaktik gramatikal.
16
Menurut beberapa pengertian yang telah disebutkan, kohesi yang padu sangat mempengaruhi terbentuknya teks yang baik. Akan tetapi Brown dan Yule (1996: 191) menyatakan bahwa unsur pembentuk teks itulah yang membedakan sebuah rangkaian kalimat itu sebagai sebuah teks atau bukan teks. Hal tersebut juga diperkuat lagi dengan pendapat Anton M. Moeliono (dalam Sumarlam, dkk, 2009: 173) bahwa kohesi merupakan hubungan semantik atau hubungan makna antara unsur-unsur di dalam teks dan unsurunsur lain yang penting untuk menafsirkan atau menginterpretasikan teks; pertautan logis antarkejadian atau makna-makna di dalamnya; keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik. Maka untuk memperoleh wacana yang baik dan utuh diharapkan kalimat-kalimatnya harus utuh. Hanya dengan hubungan kohesif seperti itulah suatu unsur dalam suatu wacana dapat diinterpretasikan,
sesuai
dengan
ketergantungan
unsur-unsur
lainnya.
Hubungan kohesif dalam wacana sering ditandai oleh kehadiran penanda khusus yang bersifat lingual formal. Kohesi dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pembedaan tesebut dapat di jabarkan dalam kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal dan leksikal ini merupakan bagian dari kohesi endosentris. Kohesi dibagi menjadi dua ada kohesi endosentrsi dan kohesi eksosentris. Kohesi gramatikal terdiri atas: referensi, subtitusi, ellipsis, dan konjungsi. Kohesi leksikal terdiri atas: sinonimi, antonimi, hiponimi, kolokasi, repetisi dan ekuivalensi.
Unsur-unsur kohesi gramatikal antara lain: a. Referensi Menurut Sudaryat (2008:153) menyatakan bahwa referensi atau pengacuan merupakan hubungan antara kata dengan acuan. Kata-kata yang berfungsi sebagai pengacu disebut deiksis sedangkan unsur-unsur yang diacu disebut antesede. Referensi dapat berupa eksosentris (situasional) apabila mengacu ke anteseden yang ada di luar wacana, dan bersifat endoforis (tekstual) apabila yang diacuanya terdapat di dalam wacana. Diperkuat dengan pendapat Mulyana (2005: 27) juga menyatakan bahwa
17
referensi (penunjukan) merupakan bagian kohesi gramatikal yang berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya. b. Subtitusi Harimurti Kridalaksana (2005:28) menyatakan bahwa subtitusi (penggantian) adalah proses dan hasil penggantian oleh unsur bahasa oleh unsure lain dalam satuan yang lebih besar. Penggantian dilakukan untuk memperoleh unsur pembeda atau menjelaskan strukur tertentu. Proses subtitusi merupakan hubungan gramatikal, dan lebih bersifat hubungan kata dan makna. Sejalan dengan pendapat tersebut Sudaryat (2008: 154) menyatakan bahwa subtitusi mengacu pada penggantian kata-kata dengan kata lain. Subtitusi mirip dengan referensi. Perbedaanya, referensi merupakan hubungan makna sedangkan subtitusi merupakan hubungan leksikan atau gramatikal. Selain itu, subtitusi dapat berupa proverb, yaitu kata-kata yang digunakan untuk menunjukan tidakan, keadaan, hal, atau isi bagian wacana yang sdauh disebutkan sebelum atau sesudahnya juga dapat berupa subtitusi kalusal. c. Elipsis Sudaryat (2008: 155) mengatakan bahwa elipsis merupakan penghilangan satu bagian dari unsur kalimat. Sebenarnya elipsis sama dengan subtitusi, tetapi elipsis disubtitusi oleh sesuatu yang kosong. Elipsis biasanya dilakuakn dengan menghilangkan unsure-unsur wacana yang telah disebutkan sebelumnya. Harimurti Kridalaksana (2005:280) berpendapat bahwa elipsis (penghilangan/pelesapan) adalah proses penghilangan kata atau sataun-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan dapat diperkirakan wujudnya dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa. d. Konjungsi Sudaryat (2008: 155) menyatakan bahwa konjungsi merupakan katakata yang digunakan untuk menghubungkan unsur-unsur sintaksis (frasa, kalusa, kalimat) dalam satuan yang lebih besar. Harimurti Kridalaksana dan H. G. Tarigan dalam (2005: 29) menyatakan bahwa konjungsi atau
18
kata sambung adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung angtara kata dengan kata, frasa dengan frasa, kalusa dengan klausa, kalimat dengan kalimat dan seterusnya. Konjungsi disebut juga sarana perangkai unsur-unsur kewacanaan. Sebagai alat kohesi, berdasarkan perilaku sintaksisnya konjungsi dapat dibedakan sebagai berikut. i.
Konjungsi koordinatif yang menghubungkan unsure-unsur sintaksis yang sederajat seperti dan, atau, tetapi;
ii.
Konjungsi subordinatif yang menghubungkan unsur-unsur sintaksis yang tidak sederajat seperti waktu, meskipun, jika;
iii.
Konjungsi korelatif yang posisinya terbelah, sebagian terletak di awal kalimat, dan sebagian legi di tengah kalimat seperti baik, ….maupun, ...meskipun,…tapi…;
iv.
Konjungsi antarkalimat yang menghubungkan kalimat-kalimat dalam sebuah paragraf. Konjungsi ini selalu ada di depan kalimat seperti karena itu, oleh sebab itu, sebaliknya, kesimpulannya, jadi…
Unsur-unsur dalam kohesi leksikal antara lain: a. Sinonim Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kono, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua kata yang bersinonim. Contoh: Lastri tidak disukai oleh teman-temannya karena dia mempunyai sifat yang buruk. Dia suka merampas benda milik temannya dan berlaku curang. Selain mempunyai sikap yang buruk, wajah lastri juga jelek seperti sifatnya.
19
b. Antonim Antonim, menurut Verhaar (1978) ialah ungkapan (biasanya berupa kata-kata, tetapi dapat pula berbentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Contoh: Dalam permainan kelereng, pemain harus adil. Kalau tidak adil pasti akan dimarahi lawan mainnya. Tapi dalam permainan kelereng dengan Mita, saya sering curang, sehingga biasanya saya yang menang. Pada paragraf tersebut yang termasuk antonim adalah kata adil dan curang. c. Hiponim Hiponim adalah hubungan dalam semantik antara makna spesifik dan makna generik (Kridalaksana, 2008:83). Konsep hiponim berkaitan dengan kata umum dan kata khusus. Suwandi (2008: 142) mengatakan dalam relasi makna, kata umum mengacu ke hipernim; sedangkan kata khusus mengacu ke hiponim. Contoh: kata lele berhipomin dengan kata ikan, kata mawar berhipomin dengan kata bunga, dan lain-lain. d. Repetisi Repetisi, menurut Sumarlam (2006: 27) ialah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. e. Kolokasi Kolokasi ialah kata atau frase tertentu yang berkaitan dengan kata atau frase lain yang berada dalam satu lingkungan atau tempat. Menurut Kridalaksana (2008: 127), kolokasi adalah asosiasi hubungan yang tetap antara kata dengan kata yang lain yang berdampingan. Contoh: Misalnya pada kalimat “...aku tersingkir dari duniaku, aku teraniaya oleh lingkunganku, aku terinjak dan tersepak dari alamku, tetapi mengapa belum kujumpa engkau di luar semua itu? “(Suwandi, 2008: 144).
20
Kata-kata tersingkir, teraniaya, terinjak, dan tersepak yang merupakan kata-kata dalam satu kolokasi, satu lingkungan atau tempat (Chaer, 1990: 116). f. Ekuivalensi Ekuivalensi menurut Sumarlam (2003: 46) adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan. Secara sederhana Sumarlam (2006: 60) menjelaskan bahwa ekuivalensi adalah beberapa kata bentukan sebagai hasil proses afiksasi yang berasal dari bentuk asal sama. Ekuivalensi juga merupakan salah satu peranti untuk mendukung kepaduan wacana. Contoh: Belajar, mengajar, pelajar, pengajar, dan pengajaran berasal dari satu asal kata yang sama, yaitu kata ajar ( Tarigan, 1987: 102).
Untuk membentuk wacana yang baik dan padu tidak cukup hanya mengandalkan hubungan kohesi. Menurut Cook (dalam Adul Rani, dkk, 2006: 872) menyatakan bahwa penggunaan alat kohesi itu memang penting untuk membentuk wacana yang utuh, tetapi tidak cukup meggunakan penanda katon tersebut. Ada faktor lain seperti relevansi dan faktor tekstual luar (extratextual factor) yang ikut menentukan keutuhan wacana. Kesesuaian antara teks dan dunia nyata dapat membantu menciptakan suatu kondisi untuk membantuk wacana yang utuh. Faktor lain seperti pengetahuan budaya yang juga membantu dalam menciptakan koherensi teks. Agar wacana yang kohesif baik, maka perlu dilengkapi dengan koherensi. Menurut Abdul Rani, dkk (2006:89) yang dimaksud koherensi adalah kepaduan hubungan maknawi antara bagianbagian dalam wacana. Koherensi berati hubungan antar unsur dalam pertalian makna. Koherensi merupakan salah satu unsur pembentuk kepaduan sebuah teks. Tanpa koherensi yang baik sebuah teks bisa jadi akan rancu dan tidak memiliki tata bahasa yang baik. Mulyana (2005: 30) di dalam bukunya yang
21
berjudul “Kajian Wacana” banyak mengutip pendapat-pendapat ahli berkaitan dengan koherensi. Adapun pendapat tersebut adalah sebagai berikut, menurut Tarigan (1987: 32) istilah koherensi mengandung makna pertalian, dalam konesp kewacanaan berarti pertalian makna atau isi kalimat. Gorys Keraf (1984: 38) menyatakan bahwa koherensi juga berarti hubungan timbal balik yang serasi antarunsur dalam kalimat. Sejalan dengan pendapat tersebut Wahjudi (1989: 6) berpendapat bahwa hubungan koherensi keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya, sehingga kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh. Samiati (1989: 5) berpendapat bahwa wacana yang koheren memiliki ciri-ciri: susunanya teratur dan amanatnya terjalin rapi, sehingga muda diintepretasikan. Pendapat-pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat Brown dan Yule (1996: 224) yang menegaskan bahwa berarti keterpaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan. Dari sejumlah pendapat para ahli tersebut dapat dirangkum bahwa sebenarnya kohesi merupakan hubungan yang padu antara makna satu dengan makna yang lain dalam sebuah kalimat. keterkaitan unsur menjadi jelas sehingga bukanlah menjadi kalimat yang rumpang atau ambigu. Koherensi yang tinggi akan mewujudkan sebuah kalimat yang indah dan jelas. Dalam
sebuah
wacana
aspek
koherensi
sangat
diperlukan
keberadaannya untuk menjaga pertalian batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi antarunsur (bagian) secara semantik. Hubungan tersebut kadang terjadi melalui alat bantu kohesi, namun kadang-kadang terjadi tanpa bantuan alat kohesi. Secara keseluruhan hubungan makna yang bersifat koheren menjadi bagian dari organisasi semantis. Kepaduan dalam sebuah wacana memang dipengaruhi oleh struktur pembentuknya, baik itu dari kohesi maupun koherensi. Apabila salah satu hal dihilangkan wacana belum dapat dikatakan padu atau baik. Halliday dan Hasan (dalam Mulyana, 2005: 31) menegaskan bahwa struktur wacana pada dasarnya bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur semantik, yakni semantic kalimat yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Sebab beberapa
22
kalimat hanya akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti) di antara kalimat-kalimat itu sendiri. Keberadaan unsur koherensi sebetulnya tidak hanya pada satuan teks semata (secara formal), malainkan pada kemampuan
pembaca
atau
pendengar
dlam
menghubungkan
dan
menginterpretasikan suatu bentuk wacana yang diterimanya. Maka dari pendapat tersebut diperkuat dan disimpulkan oleh Mulyana (2005:31) hubungan koherensi adalah sutau rangkaian fakta dan gagasan yang teratur yang tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interpretasi. Pendapat tersebut juga diyakini oleh Sudaryat (2008: 152) koherensi adalah kekompakan hubungan antar kalimat dalam wacana. Meskipun begitu, interpretasi wacana berdasarkan struktur sintaksis dan leksikal bukan satu-satunya cara. Maka koherensi merupakan bagian dari suatu wacana, sebagai organisasi semantik, wadah gagasan yang disusun dalam urutan yang logis untuk mencapai maksud dan tuturan yang tepat. Begitu banyak para ahli menyampaikan pendapatnya mengenai koherensi, akan tetapi semuanya mengacu pada kebermaknaan kalimat yang padu dan utuh. Macam-macam koherensi mengacu pada hubungan koherensi menurut Kridalaksana, yakni hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah ‘hubungan semantis’. Artinya hubungan itu terjadi antarproposisi. Hubungan itu antara lain: 1) hubungan sebab- akibat, 2) hubungan sarana-hasil, 3) hubungan alasansebab, 4) hubungan sarana-tujuan, 5) hubungan latar-kesimpulan, 6) hubungan kelonggaran-hasil, 7) hubungan syarat-hasil, 8) hubungan perbandingan, 9) hubungan parafrastis, 10) hubungan amplifikatif/penjelas, 11) hubungan aditif waktu (berurutan), 12) hubungan nonwaktu, 13) hubungan identifikasi, 14) hubungan generik-spesifik, 15) hubungan ibarat (Kridalaksana dalam Tarigan, 1987:111-114). Sebuah wacana dikatakan baik apabila kalimat-kalimatnya mempunyai kesinambungan. Pemahaman mengenai wacana dapat dianalisis melalui analisis tekstual dan kontekstual. Analisis wacana tekstual meneliti aspek leksikal dan gramatikal, sedangkan analisis kontekstual meneliti konteks dalam wacana tersebut. Menurut Sumarlam (2010: 71) analisis kontekstual dalam
23
wacana dapat dilakukan dengan memahami konteks. Konteks dalam wacana dibagi menjadi dua, yaitu konteks bahasa dan konteks luar bahasa. Konteks bahasa dengan internal wacana, sedangkan konteks luar bahasa disebut dengan konteks situasi, konteks budaya atau konteks eksternal wacana. Konteks fisik yaitu tempat terjadinya pemakaian bahasa, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi, dan tindakan para partisipan dalam peristiwa komunikasi. Konteks epistemis yaitu latar belakang pengetahuan yang samasama diketahui oleh penutur dan mitra tutur. Konteks social yaitu relasi social yang melengkapi hubungan antara penutur dan mitra tutur. Dalam pemahaman mengenai konteks, inferensi harus dilakukan oleh pembaca untuk memahami maksud
penulis.
Selain
inferensi
pemahaman
konteks
dapat
mempertimbangkan berbagai prinsip penafsiran yaitu prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip penafsiran temporal, dan prinsip analogi.
4. Teks Anekdot Anekdot merupakan salah satu jenis dari humor, akan tetapi seringkali anekdot dianggap sebagai humor itu sendiri. Oleh karena itu penguraian mengenai humor akan lebih menjelaskan pengertian dari anekdot yang dimaksud. Humor menurut Encyclopaedia Britannica merupakan suatu stimulus yang mengundang rasa geli atau tertawa. Stimulus atau rangsangan tersebut dapat berupa ide, masalah yang benar lucu, peristiwa yang ada di hadapan kita, perilaku non verbal, atau berupa bentuk kebahasaan yang sengaja dikreasikan. Kata humor berasal dari bahasa Yunani, yang berarti getah (Jusuf, 1976: 5). Secara etimologi kata humor pertama kali digunakan oleh orang Yunani untuk istilah kesehatan. Menurut Suprana (1990: 27) dalam ranah medis kata humor digunakan dengan makna yang lebih khusus yaitu cairan tubuh. Banyak istilah-istilah lain yang berkaitan dengan humor seperti anekdot, komik, banyolan, lawakan, wit, dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut pada umumnya menyatakan bahwa humor itu berupa sesuatu yang lucu dan menggelikan, sedangkan tertawa adalah responnya. Sari Endahwarni
24
(1990:27) mengatakan bahwa humor dapat pula berupa kemampuan untuk merasakan, menilai, menyadari, mengerti, dan mengungkapkan sesuatu yang lucu, ganjil, jenaka, atau menggelikan. Humor sangat berkaitan dengan sesuatu hal yang lucu dan dapat memberikan respon tertawa. Menurut Raskin, suatu tindakan dapat disebut lucu jika ditunjang oleh enam faktor penunjang kelucuan yaitu partisipan, stimulus (rangsangan), pengalaman, psikologi, situasi dan keadaan, serta sosial budaya. Partisipan adalah manusia yang terlibat dalam suatu tindakan lucu. Stimulus adalah sesuatu yang dapat membuat ungkapan atau keadaan menjadi lucu. Pengalaman adalah hubungan antara penutur dan pendengar, harus ada komunikasi antara pengalaman hidup mereka. Psikologi yaitu keadaan jiwa partisipan ketika mendapatkan stimulus. Situasi dan keadaan berhubungan dengan stimulus, suatu stimulus dapat terasa lucu atau tidak tergantung pada situasi dan keadaan di sekelilingnya. Lalu Lesmana (2009: 48) menambahkan latar belakang social budaya yang sama akan memudahkan seseorang menerima makna lucu dari suatu humor. Maka respon tertawa tidak sematamata datang dengan sendirinya, ada latar belakang yang menyebabkan sesorang memberikan respon tawa. Selera humor setiap orangpun juga berbeda-beda, belum tentu seseorang menganggap lucu suatu hal, dan orang lain juga menganggap sama. Hal itu disebabkan oleh beberapa alasan yang telah dijabarkan di atas. Konsep sebuah humor tidak hanya terpacu pada satu buah konsep saja, melainkan ada beberapa konsep dari sebuah humor. Attardo (1997: 395) menjelaskan ada beberapa konsep-konsep dalam sebuah humor. Dua konsep utama dalam humor adalah incongruity ‘ketidakselarasan’ dan resolution ‘penyelesaian’. Konsep tersebeut menjelaskan bahwa suatu humor dapat dirasakan kelucuannya jika pembaca atau pendengar suatu humor dapat merasakan ketidakselarasan yang ada di dalam humor. Kemudian ketidakselarasan itu akan diselesaikan dengan cara menghubungkannya dengan makna tersembunyi dalam permainan kata atau dalam ambiguitas makna.
25
Contoh dari ketidakselarasan itu dapat dilihat dalam humor berikut: Theacer asks, “What do you know about French syntax?’ and the student answers, “Gosh, I didn’t know they had to pay for their fun.” (Shultz, Thomas R dan Maureen B. Scoot, 1974:421) Seseorang yang mendengar atau membaca humor di atas pasti akan merasakan ketidakselarasan dari jawaban yang dilontarkan oleh si murid. Kemudian untuk mengetahui ketidakselaran tersebut pembaca atau pendengar akan kembali melihat pertanyaan sang guru, lalu menemukan keambiguitasan yang terjadi pada kata syntax yang berarti salah satu ilmu tata bahasa, namun dalam konteks kalimat tersebut diselesaikan dengan arti sebagai sin tax ‘pajak dari dosa’. Oleh karena ini penyelesaian pada humor di atas didasari oleh adanya keambiguitasan fonologi pada kata syntax. Berdasarkan
teknik
pembuat
kelucuannya,
Tsvetan
Todorov
menyatakan bahwa ada dua teknik untuk membuat lelucon yakni teknik penggunaan majas dan teknik simbolisasi. Teknik penggunaan majas adalah usaha untuk menarik perhatian pendengar atau pembaca dan mendorong membuat
interpretasi
baru.
Teknik
simbolisasi
adalah
bagaimana
menyisipkan, menyiratkan, makna kedua berdasarkan makna pertama itu. Selanjutnya Todorov menjelaskan bahwa kedua makna kata dalam lelucon berada pada tataran yang berbeda. Makna pertama adalah makna yang terlihat jelas ‘makna yang disajikan’. Kedua adalah makna ‘baru’ yang bertumpang tindih dengan makna pertama yang akan muncul ketika dilakukan interpretasi ulang atau disebut juga ‘makna kejutan’ (Husen, 2001: 356-357). Dari kedua makna tersebut haruslah diketahui keduanya oleh pembaca, supaya respon tertawa dapat terlontar. Apabila pembaca hanya mengetahui salah satu maknanya disangsikan pembaca tersebut akan melontarkan tawa. Pembicaraan mengenai ankedot dan lelucon sudah lama dilakukan para ahli. Ada ahli yang menyamakan antara anekdot dan lelucon, seperti Antti Aerne dan Stitth Thompson, ada pula yang membedakannya seperti Jan Harold Brunvand. James Danandjaja (1994: 117- 118) menggabungkan sebagian dari kedua pendapat tersebut. Perbedaan antara anekdot dan lelucon terletak pada objeknya. Anekdot adalah kisah fiktif lucu seorang tokoh atau
26
beberapa tokoh yang benar-benar ada; sedangkan lelucon adalah kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif, seperti suku bangsa, golongan, bangsa, dan ras. Jadi jika anekdot dapat dianggap sebagai riwayat hidup fiktif pribadi tertentu, lelucon dapat dianggap sebagai sifat atau tabiat fiktif lucu anggota suatu kolektif tertentu. Maka anekdot dan lelucon sebenarnya tidak dapat disejajarkan, apabila menilik dari isi ceritanya. Pada buku siswa (wajib) yang berjudul Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik (2014: 99), anekdot ialah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Selain itu, anekdot merupakan cerita rekaan yang tidak harus didasarkan pada kenyataan yang terjadi di masyarakat, partisipan atau pelaku di dalamnya pun tidak harus orang penting. Teks anekdot juga berisi peristiwa yang membuat perasaan jengkel atau konyol, dimana perasaan tersebut merupakan krisis yang ditanggapi dengan reaksi dari pertentangan antara nyaman dan tidak nyaman, puas dan frustasi, serta tercapai dan gagal. Anekdot merupakan salah satu genre sastra yang biasanya untuk merefleksikan diri maupun isu-isu yang tengah hangat dan menjadi fenomena di lingkungan kehidupan bermasyarakat. Anekdot merupakan cerita singkat yang memberikan kesan lucu terhadap pembaca. Kesan tersebut dapat membuat pembaca tertawa karena isi ceritanya atau memberikan renungan terhadap suatu hal. Cerita anekdot disajikan dengan teks yang memiliki ciri khas sendiri. Jika dilihat dari struktur teksnya, anekdot dapat dibedakan dengan jenis teks lain. Fatimah (2013: 219) menjelaskan bahwa teks anekdot merupakan cerita narasi atau pun percakapan yang lucu dengan berbagi tujuan, baik hanya sekadar hiburan atau sendau gurau, sindiran, atau kritik tidak langsung. Tergambar jelas bahwa anekdot bukan semata-mata lelucon yang tidak berisi. Anekdot mempunyai pesan yang akan disampaikan disamping kelucuan atau humor yang terdapat di dalamnya. Sementara itu, Khanifatul (2013: 62) mengemukakan bahwa anekdot merupakan cerita singkat lucu yang bisa didapat dari berbagai sumber, seperti pengalaman hidup, dan cerita dalam kehidupan sehari-hari. Anekdot ialah
27
cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang penting atau terkenal dan berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Ada pengertian lain bahwa anekdot dapat merupakan cerita rekan yang tidak harus didasarkan pada kenyataan yang terjadi di masyarakat yang menjadi partisipan atau pelaku di dalamnya pun tidak harus orang penting. Beberapa ahli turut menyampaikan pendapatnya seiring anekdot yang terus berkembang memasuki Indonesia. Danandjaya (1991: 117) mengatakan bahwa
lelucon
dan
anekdot
adalah
dongeng-dongeng
yang
dapat
menimbulkan tawa bagi yang mendengar maupun yang menceritakannya. Menurut Jan Harold Brunvand (dalam Danandjaya 1991: 117) menganggap bahwa anekdot lebih baik digolongkan dalam sub golongan dari legenda perorangan (personal legend). Perbedaan antara lelucon dan anekdot adalah jika anekdot menyangkut kisah lucu fiktif pribadi seorang tokoh atau beberapa tokoh, yang benar-benar ada, maka lelucon menyangkut kisah fiktif lucu anggota suatu kolektif, seperti suku bangsa, golongan, bangsa, dan ras. Anekdot bisa saja digolongkan ke dalam dongeng karena membungkus cerita seperti fiktif atau khayalan, meskipun sebenarnya ada suatu pesan tersendiri yang ingin disampaikan. Anekdot juga dapat dianggap sebagai bagian dari riwayat hidup fiktif orang tertentu. Berdasarkan perbedaan sasaran yang dilontarkannya, lelucon dapat dibedakan menjadi dua, yaitu lelucon dan humor. Lelucon anekdot yang berfungsi sebagai proses social atau sindiran dapat juga digolongkan sebagai lelucon public. Teks anekdot adalah cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan atau dapat berisi peristiwa yang menjengkelkan atau membuat konyol bagi partisipan yang mengalaminya. Perasaan jengkel dan konyol seperti itu merupakan krisis yang ditanggapi dengan reaksi dari pertentangan antara nyaman, puas dan frustasi, serta tercapai dan gagal (Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik). Ada pengertian lain bahwa anekdot dapat merupakan cerita rekaan yang tidak harus didasarkan pada kenyataan yang terjadi di masyarakat, yang menjadi partisipan atau pelaku di dalamnya pun
28
tidak harus orang penting. Anekdot atau cerita lucu juga bisa disebut dengan humor. Kata humor selalu mengalami perkembangan mengikuti perkembangan zaman, menurut orang Yunani humor adalah getah yang terdapat dalam tubuh manusia. Perbedaan itu terlihat dengan pengertian humor pada saat ini, banyak orang mengartikan humor adalah sebuah lelucon atau tingkah laku yang lucu yang membuat orang lain tertawa. Jusuf (1976: 5) menyatakan bahwa lelucon dan anekdot masing-masing dapat dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu biasa dan cabul. Adapun yang cabul dapat dibagi menjadi biasa dan kotor, sedangkan menurut Stith Thomson dalam Jusuf (1976: 7) membagi lelucon dan anekdot sebagai berikut; a. Dongeng mengenai orang-orang pander. b. Dongeng mengenai sepasang suami istri. c. Dongeng mengenai seorang wanita atau gadis. d. Dongeng mengenai seorang laki-laki/ anak laki-laki. Dongeng ini terbagi atas: 1) Orang laki-laki cerdik. 2) Kecelakaan yang membawa keuntungan. 3) Orang laki-laki bodoh. 4) Lelucon mengenai
pejabat-pejabat
agama
dan badan-badan
keagamaan, yaitu lelucon mengenai pendeta Nasrani, dan para haji. 5) Anekdot mengenai tokoh-tokoh masyarakat atau Negara. 6) Anekdot mengenai orang laki-laki malang. Cerita anekdot atau cerita yang beraspek humor biasanya menceritakan cerita yang lucu karena tingkah laku kekonyolan, kecerdikaan, kebodohan ataupun keberuntungan pelakunya. Cerita lucu tidak hanya menyajikan cerita kehidupan manusia tetapi juga kehidupan hewan-hewan yang memiliki kecerdikaan. Setiap lelucon yang disampaikan tentu memunyai maksud dan pesan yang hendak disampaikan, sehingga lelucon yang disampaikan tidak hanya membuat orang tertawa tetapi mempunyai pesan. Anekdot biasanya mengandung unsur kritik atau lelucon di bidang layanan publik. Bidang-bidangnya di antaranya mencakup hukum, politik,
29
budaya, pendidikan, lingkungan, administrasi, transportasi, dan bidang lainnya yang ada dalam kehidupan manusia. Anekdot sering dipilih sebagai salah satu cara untuk mengungkapkan kepedulian atau kepekaan terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. Kelucuan yang menjadi ciri khas anekdot ditulis sebagai pesan yang ingin disampaikan dan akan lebih mudah dipahami bagi pengguna bahasa yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Teks anekdot merupakan teks yang memunyai struktur, struktur teks tersebut digunakan untuk mempermudah dalam membuat teks. Struktur merupakan unsur yang secara tersusun terdapat dalam teks. Berikut struktur yang terdapat dalam teks anekdot. a. Abstraksi Merupakan bagian awal yang berfungsi memberi gambaran tentang isi teks. Biasanya bagian ini menunjukan hal unik yang ada dalam teks. b. Orientasi Bagian yang menunjukan awal kejadian cerita atau latar belakang bagaimana peristiwa terjadi. c. Krisis Bagian di mana terjadi hal atau masalah yang unik atau tidak biasa terjadi pada penulis atau orang yang diceritakan. d. Reaksi Bagian bagaimana penulis atau orang yang ditulis menyelesaikan masalah yang timbul di bagian krisis tadi. e. Koda Bagian akhir cerita unik tersebut. Bisa juga dengan memberi kesimpulan tentang kejadian yang dialami penulis atau orang yang ditulis
Teks anekdot termasuk dalam sebuah karya sastra, karena unsurunsur pembentuknya. Teks anekdot merupakan sebuah karya yang memiliki keindahan dalam pemakaian bahasanya. Ada unsur seni yang melatarbelakangi teks anekdot, sedangkan seni yang bermediumkan bahasa dapat dikategorikan sebagai karya sastra. Menurut Mahsun (2014:
30
23) teks anekdot merupakan genre sastra yang termasuk dalam jenis teks tunggal. Slade (melalui Hyland, 2002: 16) mengemukakan bahwa anekdot itu terdiri atas abstrak, orientasi, krisis, reaksi, koda. Berkaitan dengan penulisan teks anekdot, ada tiga hal yang perlu digarisbawahi dan harus diperhatikan dengan seksama, yaitu: a. Tujuan Komunikatif Jenis teks ini sangat efektif untuk mengemas informasi yang berupa cerita tentang suatu kejadian konyol di masa lalu. Hal ini dimaksudkan untuk mengajak para pembaca berbagi emosi. Karena bersifat konyol, pada dasarnya anekdot memiliki karakter lucu (Pardiyono, 2007: 292). b. Struktur Retorik Anekdot memiliki elemen teks yang disusun secara retorik yakni judul, abstrak, orientasi, krisis, reaksi, koda. Berikut penjelasan mengenai unsur-unsur struktur retorik anekdot menurut Pardiyono (2007: 292). 1) Judul berbentuk frase yang berisi satu topik kejadian di masa lalu untuk dibagikan dengan para pembaca. 2) Abstrak sangat umum berupa suatu pernyataan retorik atau pernyataan yang berupa eklamasi. Bagian abstrak adalah bagian yang bisa menentukan apakah para pembaca tertarik secara emosional untuk melakukan sharing. 3) Orientasi berisi pengantar cerita, atau latar cerita. 4) Krisis berisi pemaparan kejadian puncak atau insiden yang merupakan inti dari kekonyolan cerita atau kekonyolan kejadian. 5) Reaksi berisi reaksi atau tindakan solusi yang diambil atau dilakukan oleh penulis untuk mengatasi atau menyelamatkan diri dari insiden tersebut. 6) Koda adalah penutup cerita yang merupakan akhir atas insiden tersebut. c. Kaidah Kebahasaan Menurut Pardiyono (2007), teks anekdot banyak mempergunakan kalimat deklaratif dan pernyataan kausal pada bagian abstrak. Penggunaan bentuk lampau sangat dominan karena anekdot berisi suatu
31
paparan cerita atau kejadian konyol di masa lalu. Penggunaan konjungsi sudah pasti diperlukan untuk menunjukkan urutan kejadian. Berikut uraian mengenai ciri kebahasaan dalam teks anekdot. 1) Teks anekdot menggunakan kalimat deklaratif Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar atau yang mendengar kalimat itu untuk menaruh perhatian saja, tidak usah melakukan apa-apa, sebab maksud si pengujar hanya untuk memberitahukan saja (Chaer & Agustina, 2010:50). Austin (melalui Chaer & Agustina, 2010: 51) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif. Kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka, sedangkan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. 2) Teks anekdot menggunakan pernyataan kausal 3) Teks anekdot menggunakan bentuk kalimat lampau 4) Teks anekdot menggunakan konjungsi Konjungsi adalah kata atau gabungan kata yang berfungsi menghubungkan bagian ujaran yang mungkin berupa kata dengan kata, frase dengan frase, klausa dengan klausa, maupun kalimat dengan kalimat. Umpamanya kata-kata dan, sedangkan, dan meskipun pada kalimat-kalimat berikut adalah sebuah konjungsi (Chaer, 1990:53) a) Kami berjuang untuk nusa dan bangsa. b) Tamu sudah banyak yang datang sedangkan beliau belum muncul juga. c) Meskipun kami melarat, kami tidak mau melakukan pekerjaan itu. Ada dua macam konjungsi yaitu konjungsi intrakalimat dan konjungsi
antarkalimat.
Konjungsi
intrakalimat
berfungsi
menghubungkan kata dengan kata, frase dengan frase, atau klausa dengan klausa yang berada di dalam sebuah kalimat. Konjungsi antarkalimat
adalah
kata
atau
gabungan
kata
yang
32
menghubungkan kalimat dengan kalimat atau paragraf dengan paragraf berikutnya (Chaer, 1990:53-56).
Teks anekdot merupakan suatu cerita lucu yang singkat dan bertujuan untuk menghibur, menyindir, dan mendidik. Teks anekdot memiliki bentuk yang hampir sama dengan cerita inspiratif. Berikut perbedaan teks anekdot dengan cerita inspiratif: (1) teks anekdot bertujuan menghibur
pembaca
dengan
tetap
mempertahankan
pesan
yang
disampaikan, sedangkan cerita inspiratif bertujuan menyentuh hati; (2) pada umumnya teks inspiratif lebih mudah dipahami dibandingkan teks anekdot; (3) teks anekdot biasanya berisi kejadian yang tidak biasa; dan (4) teks anekdot terdiri atas abstrak, orientasi, krisis, reaksi, dan koda. Secara umum teks anekdot mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) anekdot selalu terilhami dari kejadian nyata yang diprovokasi menjadi sebuah kelakar; (2) anekdot pada awalnya hanya melibatkan tokoh-tokoh terkenal, tetapi seiring waktu penyajian anekdot mengalami modifikasi kea rah fiktif; (3) anekdot bersifat menghibur tetapi tujuannya untuk mengungkapkan kebenaran yang lebih umum; (4) anekdot terkadang bersifat sindiran alami; dan (5) anekdot dekat dengan tradisi tamsil.
B.
PENELITIAN YANG RELEVAN
Penelitian mengenai teks anekdot sudah banyak dilakukan di kancah Internasional, karena anekdot bukanlah sesuatu hal yang baru dalam dunia Internasional. Berikut akan dijabarkan secara lebih rinci mengenai penelitian yang pernah dilakukan dalam kurun waktu lima tahun terakhir yang membahas mengenai anekdot sebagai objeknya serta penelitian mengenai analisis wacana. Penelitian Yerheen Ha dari University of California Davis tahun 2011 berjudul The Impact of Base-rate, Outcome Severity, Transportation, and Rationality on Probative Value of Threatening Anecdotes ingin membuktikan mengenai peran dari sebuah anekdot yang mengancam dan perngaruhnya terhadap rasa takut yang ditimbulkan serta persepsi realistisnya. Penelitian kuantitatif ini menilai seberapa jauh anekdot yang mengancam beresiko pada persepsi positif
33
seseorang mengenai cerita yang disajikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya pembuktian dari anekdot yang mengancam sebagai insiden fitur yang jarang terjadi dalam kenyataan. Hasil penelitian juga menggambarkan bahwa penerima pesan lebih cenderung menilai cerita berlebihan karena berimajinasi dari deskripsi yang lebih jelas. Hasil ini menyiratkan bahwa interaksi yang dinamis antara fitur pesan anekdot yang mengancam dan pengetahuan penerima pesan serta kegiatan kognitif mereka berkontribusi terhadap dampak anekdot yang mengancam pada persepsi risiko. Ada persamaan dan perbedaan dari penelitian Yerheen Ha dengan penelitian ini. Persamaannya terdapat pada penggunaan teks anekdot sebagai objek penelitian, sedangkan perbedaan dari kedua penelitian ini yakni pada jenis penelitian. Yerheen Ha menggunakan jenis penelitian kuantitatif yaitu menggunakan angka-angka untuk menguji teori sedangkan penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskrisptif yakni menggambarkan hasil penelitian menggunakan kalimat dan merupakan pengaplikasian dari sebuah teori yang telah ada. Penelitian Yerheen Ha menggunakan tiga variable yakni variable terikat dan variable bebas, sedangkan penelitian ini hanya menggunakan satu variable saja. Penelitian kuantitatif menggunakan rumus tertentu, menggunakan instrument untuk menguji, sedangkan penelitian kuantitaatif tidak membutuhkan rumus untuk menguji kebenarannya. Penelitian Yerheen Ha bisa digunakan sebagai penelitian yang relevan karena berkontribusi memberikan pengetahuan dalam dunia pendidikan mengenai fungsi teks anekdot. Penelitian tersebut bisa dijadikan acuan oleh peneliti lain untuk menganalisis teks anekdot dari sisi yang berbeda dengan menggunakan pendekatan yang berbeda pula. Penelitian lain yakni Rhea Vance-Cheng, B.A. berjudul Discourses of War and Peace in Kashmir: a Positioning Analysis di tahun 2011 meneliti tentang wacana konflik atas wilayah Kashmir. Analisis didasarkan pada teori posisi untuk mengalihkan fokus dari konflik ke wacana seputar konflik, dengan menggunakan tiga elemen teori positioning yakni kekuatan ilokusi (makna social), distribusi hak dan kewajiban, dan alur cerita yang berkembang dibentuk oleh posisi. Pemeriksaan konflik Kashmir ini menyoroti prevalensi penentuan nasib wacana
34
sendiri. Analisis ini menunjukkan bagaimana plebesit berjanji kepada orang-orang Kashmir yang merupakan elemen penting dari wacana konflik. Penelitian ini menggunakan analisis wacana untuk membedah maksud dari sebuah teks. Sama seperti penelitian Rhea yang menggunakan analisis wacana untuk mengetahui maksud tertentu dari sebuah teks. Penelitian Rhea lebih lanjut menggunakan teori positioning untuk menelaah dan mengurai konflik sebagai wacana, akan tetapi penelitian ini akan membedah kohesi dan koherensi dari sebuah teks untuk mengetahui keserasian dan kepatutan dalam sebuah teks. Inilah hal pembeda dari kedua penelitian, meskipun sama-sama menggunakan analisis wacana untuk mengetahui maksud tertentu dari sebuah teks, namun tetap menggunakan teori untuk mengetahui kedalaman maksud yang ingin dikaji. Penelitian Rhea dapat dijadikan penelitian yang relevan karena sama-sama menggunakan analisis wacana untuk mengkaji sebuah teks atau wacana sebagai objek kajiannya. Penelitian berikutnya yakni Jiayin Zhang tahun 2014 berjudul Theory and Anecdote in Chinese Poetics: the Trajectory of Remarks on Poetry in Song Dynasty China membahas mengenai Shihua yakni penjelasan/keterangan dari sebuah puisi, yang merupakan genre sastra yang muncul di awal periode Dinasti Song dan menjadi sebuah bentuk baru dari kritik sastra yang digemari. Objek penelitian ini adalah komentar atau kritik sastra yang terdapat pada puisi selama Dinasti Song. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu lahirnya genre baru sastra adalah sebuah hobi dari para kritikus yang tidak takut memunculkan sesuatu yang baru, mereka tidak takut untuk menggebrak tatanan yang ada, dari yang sebelumnya sederhana dengan ekspresi fragmentaris, tetapi tetap sistematis dan terstruktur dalam berargumen dengan penuh kedewasaan. Pada bagian narasi yang awalnya sebagian besar terdiri atas tulisan-tulisan yang bersifat anekdot, digantikan oleh tulisan yang serius dan teoritis serta pemikiran kritis terhadap fenomena sastra yang ada. Transformasi ini mencerminkan pergeseran sikap sastrawan terhadap puisi, sejarah sastra, kritik sastra, dan tanggapan mengenai reformasi social yang sedang berlangsung. Penelitian yang bergerak di bidang sastra karangan Jiayin Zhang ini bisa dimasukkan dalam penelitian yang relevan sebab menggunakan anekdot sebagai
35
objek kajiannya. Meskipun sama-sama menggunakan teks anekdot sebagai objek yang dikaji namun kedua penelitian ini mempunyai banyak perbedaan. Apabila penelitian Jiayin Zhang merupakan analisis teks sastra maka penelitian ini merupakan penelitian kependidikan, maksudnya penelitian ini bergerak dalam bidang pendidikan, yaitu teks anekdot karangan siswa SMA. Selain itu penelitian Jiayin Zhang merupakan penelitian untuk membandingkan suatu karya dari satu masa ke masa lain, tetapi penelitian ini membandingkan karya satu dengan karya yang lain dengan pengarang yang berbeda namun tetap dalam satu objek yakni teks anekdot. Penelitian Jiayin Zhang meneliti komentar atau kritikan dari sebuah karya sepanjang zaman yang melahirkan suatu genre baru, sedangkan penelitian ini membahas keserasian dan keselarasan kalimat dalam sebuah wacana agar padu dalam sebuah teks anekdot karangan siswa SMA. Penelitian berjudul A Content Analysis of Implicit Legislator Discourses Whitin the Passage of the South California Illegal Imigration Reform Act (2008): Implications for Opportunity and Access to Higher Education oleh Katie Ellen Woodlieff Smith tahun 2014 membahas mengenai wacana Undang-Undang Imigrasi Ilegal California Selatan yang membatasi peluang pendidikan yang lebih tinggi serta peluang hidup secara keseluruhan bagi siswa illegal di California Selatan. Penelitian kualitatif ini menelah lebih jauh mengenai wacana implisit dalam dioalog kebijakan yang bekerja menyebarluaskan jenis kebijakan Negara. Temuan yang disajikan didasarkan pada analisis tematik konten, memanfaatkan teks dan bentuk lain dari komunikasi yang berhubungan dengan bagian tindakan. Temuan dalam penelitian Katie yakni menguak latar belakang perubahan dan maksud tersembunyi dari reformasi Undang-Undang Imigrasi Ilegal California Selatan tahun 2008. Pertama, adanya pandangan proteksionis yakni menurut pembuat kebijakan, penduduk yang tidak terdokumentasi adalah ancaman bagi warga Carolina Selatan dan sumber daya negara. Kedua, terkait dengan kegagalan pemerintah federal dalam menangani kebijakan imigrasi. Ketiga, kebijakan umumnya menunjukkan sikap yang terbatas dalam berbahasa. Terakhir, motivasi politik kebijakan ini karena adanya imbalan politik, bukan pada pertimbangan kebenaran yang sesungguhnya.
36
Penelitian Katie Ellen sangatlah relevan dengan penelitian ini karena sama-sama penelitian kualitatif dengan analisis wacana. Apabila penelitian Katie menelaah wacana Peraturan Undang-undang, penelitian ini menelaah wacana teks anekdot karangan siswa. Persamaan lainnya yakni dengan analisis wacana peneliti ingin mengetahui maksud tersembunyi dari sebuah wacana yang ada, sehingga akan didapatkan makna sebenarnya dari sebuah wacana. Meskipun sama-sama menggunakan kajian analisis wacana, objek yang dikaji berbeda. Penelitian Katie objek kajiannya adalah wacana Peraturan Undang-undang terbaru, sedangkan penelitian ini objek kajiannya adalah teks anekdot karangan siswa SMA. Apabila objek kajian berbeda maka maksud dari sebuah wacana yang nantinya akan dikajipun juga berbeda. Penelitian selanjutnya berjudul Stereotyping of Americans in Modern International Political Jokes and Anecdotes: A New Reality or an Old Form in New Clothes? oleh Oksana Romanovna Zhernovaya, tahun 2015 berkaitan dengan salah satu isu topikal wacana politik modern - "stereotip". Penelitian ini membahas masalah stereotip etnis dan budaya Amerika dan perubahan stereotip ini karena kondisi ekonomi dan sosial-politik yang terjadi di dunia dalam beberapa dekade terakhir. Hal ini mengacu pada masalah pembaca Rusia, memahami dan menafsirkan stereotip Amerika dibandingkan dengan budaya dan bangsa lain. Sebagai gambaran pengalaman operasi dari fenomena "stereotip" dalam lelucon dan lelucon politik, persepsi fenomena Amerika melalui prisma anekdot, transformasi fenomena ini dalam beberapa dekade terakhir. Penelitian Oksana juga mengkaji soal anekdot, sehingga penelitiannya relevan dengan penelitian ini. Meskipun sama-sama mengkaji teks anekdot, penelitian Oksana terkait pula dengan permasalahan lain yakni social, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat pembuat teks anekdot. Penelitian Oksana melihat secara mendalam apa yang menjadi ciri teks anekdot dari sebuah Negara. Penelitian tersebut mengatakan bahwa teks anekdot merupakan salah satu produk budaya, maka penelitian itu mengkaji mendalam hingga masyarakat, sosialitas, ekonomi, politik, dan budaya setempat. Penelitian yang akan dilakukan ini merupakan penelitian mengenai teks anekdot siswa, yang akan dikaji dari segi stuktur, fungsi, dan makna teks anekdot tersebut.
37
Selain penelitian yang sudah dilakukan dalam kancah Internasional, penelitian terkait teks anekdot ataupun analisis wacana juga telah banyak dilakukan di dalam negeri sendiri. Penelitian yang telah dimuat dalam jurnaljurnal dalam negeri terkait dengan objek atau alat analisis yang digunakan oleh peneliti beberapa diantaranya akan dijabarkan seperti berikut ini. Penelitian Puji Astuti berjudul “Pembelajaran Memproduksi Teks Anekdot dengan Media Karikatur (Eksperimen pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Mangunjaya Pangandaran)” bertujuan untuk (1) mendeskripsikan bentuk perencanaan pembelajaran memproduksi teks anekdot dengan menggunakan media karikatur pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Mangunjaya, (2) mendeskripsikan langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan media karikatur dalam pembelajaran memproduksi teks anekdot pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Mangunjaya, dan (3) mengetahui perubahan kemampuan siswa kelas X SMA Negeri 1 Mangunjaya setelah mengikuti pembelajaran memproduksi teks anekdot dengan menggunakan media karikatur. Hasil penelitian menunjukkan (1) perencanaan pelaksanaan pembelajaran memproduksi teks anekdot dengan media karikatur terdiri atas komponen-komponen dalam bentuk perencanaan pembelajaran berdasarkan tuntutan kurikulum 2013. (1) Langkah-langkah pembelajaran memproduksi teks anekdot dengan media karikatur adalah langkah kegiatan awal, inti, dan akhir. (3) Terdapat perubahan kemampuan siswa dalam memproduksi teks anekdot dengan media karikatur. Kemampuan siswa dalam memproduksi teks anekdot dengan media karikatur mengalami peningkatan yang signifikan dari prates ke pascates. Dengan demikian, penggunaan media karikatur terbukti lebih efektif digunakan dalam pembelajaran memproduksi teks anekdot. Penelitian Puji Astuti merupakan penelitian kuantitatif sedangkan penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kuantitatif dimaksud untuk mengungkapkan gejala secara holistik-konstektual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian kuantitatif juga menitikberatkan pada pengukuran dan analisis hubungan sebab-akibat antara bermacam-macam variabel, bukan prosesnya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang pada dasarnya menggunakan
38
pendekatan deduktif-induktif. Berangkat dari suatu kerangka teori, gagasan para ahli, maupun pemahaman peneliti berdasarkan pengalamannya yang kemudian dikembangkan menjadi permasalahan-permasalahan beserta pemecahannya. Penelitian kualitatif menekankan pada prosesnya. Meskipun penelitian ini berbeda tapi dapat dikatakan penelitian ini relevan karena objek yang diteliti sama, yakni teks anekdot. Baik penelitian Puji atau peneliti sama-sama mengkaji seputar teks anekdot. Selanjutnya penelitian sejenis adalah Wayan Somodana, I.B Sutresna, dan Sri Indriani berjudul “Penerapan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) dalam Pembelajaran Menulis Teks Anekdot”. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang bertujuan (1) mendeskripsikan perencanaan model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran menulis teks anekdot siswa kelas X SMA Negeri 3 Singaraja, (2) mendeskripsikan penerapan model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran menulis teks anekdot siswa kelas X SMA Negeri 3 Singaraja, dan (3) mendeskripsikan hambatan yang ditemui guru dalam menerapkan model pembelajaran bebasis masalah dalam pembelajaran menulis teks anekdot siswa kelas X SMA Negeri 3 Singaraja. Hasil dari penelitian ini adalah (1) perencanaan model pembelajaran berbasis masalah yang dibuat oleh guru berupa RPP telah sesuai dengan komponen kurikulum 2013, (2) penerapan model pembelajaran berbasis masalah yang dilakukan guru telah sesuai dengan sintaks model pembelajaran berbasis masalah, dan (3) hambatan yang dihadapi atau ditemui guru dalam menerapkan model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran menulis teks anekdot adalah dari aspek guru dan peserta didik. Meski sama-sama menjadikan teks anekdot sebagai objek penelitian, sama-sama berupa penelitian kualitatif, akan tetapi penelitian Wayan dkk memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Penelitian Wayan merupakan jenis studi kasus penelitian tindakan kelas, sedangkan penelitian ini merupakan studi kasus meneliti teks anekdot yang dibuat oleh siswa dilihat dari segi struktur, fungsi, dan makna teks. Penelitian Wayan memberikan gambaran perencanaan dan penerapan suatu model tertentu untuk memberikan jalan keluar bagi permasalahan menulis yang masih kerap dialami oleh siswa, dan meneliti
39
kemampuan guru untuk menerapkan suatu model pembelajaran supaya siswa cepat menangkap materi dan semakin aktif. Bedanya, penelitian ini menelaah struktur, fungsi, dan makna teks anekdot hasil karya siswa yang sebelumnya telah dilatih dan dijelaskan oleh guru, sehingga peneliti memperoleh jawaban hingga sejauh mana siswa mengusai materi ini dengan dibuktikan oleh hasil karyanya. Penelitian lain yang dikatakan relevan adalah Febrianti dengan judul “Pengaruh Minat Baca terhadap Kemampuan Menyimak Teks Anekdot siswa Kelas X SMA Plus Multazam Panawangan tahun ajaran 2014-2015”. Penelitian Febrianti meneliti tingkat pengaruh dari minat baca terhadap kemampuan menyimak teks anekdot dengan menguji tingkat validitas dan reliabilitas dari item pertanyaan yang diajukan untuk selanjutnya melakukan pengujian terhadap hipotesis yang diajukan dan mencari besarnya korelasi dan regresi antara minat baca dan kemampuan menyimak teks anekdot. Penelitian Febrianti termasuk dalam penelitian kuantitatif dengan jenis korelasi, sehingga mengukur tingkat pengaruh dan besaran sumbangsih suatu hal tertentu. Berbeda dengan Febrianti, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengedepankan proses daripada hasil. Penelitian ini menjadikan teks anekdot yang telah dibuat oleh siswa sebagai objek penelitian untuk diketahui seberapa besar pemahaman siswa terhadap materi anekdot, sedangkan penelitian Febrianti hanya ingin mengetahui ada tidaknya faktor-faktor yang menyebabkan siswa memiliki kemampuan baik dalam menyimak teks anekdot. Faktor-faktor tersebut diteliti dan dicari besaran sumbangsihnya terhadap kemampuan siswa dalam menyimak teks anekdot. Penelitian lain yakni Ari Rahmawati Soimah berjudul “Analisis Tekstual dan Kontekstual dalam Novel Prawan Ngisor Kreteg karya Soetarno” juga merupakan
penelitian
yang
relevan.
Penelitian
Ari
bertujuan
untuk
mendeskripsikan (1) bentuk tekstual yang meliputi aspek gramatikal dan leksikal dalam novel prawon Ngisor Kreteg karya Soetarno, (2) bentuk kontekstual yang meliputi aspek konteks dan inferensi dalam novel Prawan Ngisor Kreteg karya Soetarno. Berdasarkan hasil analisis tekstual dan kontekstual dalam novel Prawan Ngisor Kreteg ditemukan penanda tekstual yang meliputi aspek gramatikal dan aspek leksikal. Penanda kohesi gramatikal yang dominan adalah pengacuan
40
persona I tunggal aku ‘aku’ dan persona III tunggal dheweke ‘dia’. Adapun kohesi leksikal penanda kolokasi dan hiponimi ditemukan satu penanda. Penanda leksikal yang paling dominan adalah antonimi. Analisis kontekstual Prawan Ngisor Kreteg karya Soetarno menggunakan penafsiran persona. Dalam analisis kontekstual dalam penelitian ini ditemukannya konteks fisik, konteks epistemik dan konteks sosial. Penelitian Ari menjadikan novel sebagai objek penelitian sedangkan penelitian ini menggunakan teks anekdot karangan siswa sebagai objek penelitian. Penelitian Ari hanya menganalisis dari segi tekstual dan kontekstual suatu wacana, akan tetapi penelitian ini menganalisis pula dari segi struktur, fungsi, dan makna yang terkait dengan segi tekstual dan kontekstual. Kesamaan dengan penelitian Ari adalah sama-sama menggunakan analisis wacana sebagai alat pembedah wacana, untuk melihat kepaduan suatu wacana. Analisis wacana yang digunakan juga sama-sama mengacu dari sisi gramatikal, leksikal, dan konteks serta inferensi. Terakhir, penelitian yang sudah pernah dilakukan adalah kepunyaan Dewa Gede Bambang Erawan berjudul “Analisis Bentuk, Fungsi, dan Makna Wacana Geguritan Aji Palayon. Penelitian Dewa bertujuan untuk (1) menguraikan dan menjelaskan bentuk wacana geguritan Aji Palayon, (2) menguraikan dan menjelaskan fungsi wacana gegurita Aji Palayon, (3) menguraikan dan menjelaskan makna wacana geguritan Aji Palayon, dan (4) menguraikan dan menjelaskan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam wacana geguritan Aji Palayon. Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa (1) wacana geguritan Aji palayon berbentuk puisi yang bersifat naratif dan masing-masing pupuh diikat oleh pada lingsa, (2) fungsi wacana gaguritan Aji palayon, yakni sebagai sarana pendidikan moral (etika), pendidikan ketuhanan (Widi Tatwa), dan berfungsi sebagai sarana hiburan, (3) makna wacana gaguritan Aji Palayon adalah makna estetika, karmaphala, keharmonisan alam, dan rwa bhineda, (4) nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam wacana gaguritan Aji Palayon meliputi; kecintaan terhadap Tuhan beserta segenap ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggung jawab; kejujuran/amanah, diplomatis; hormat dan santun; dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerja sama; percaya diri dan pekerja
41
keras; kepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati, dan; toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Penelitian Dewa dikatakan relevan dengan penelitian ini karena samasama menggunakan alat analisis wacana untuk membedah objek penelitian. Objek penelitian Dewa adalah geguritan sedangkan objek penelitian ini adalah teks anekdot. Persamaan lain yaitu sama-sama membedah dari sisi bentuk, fungsi, dan makna. Antara penelitian Dewa dan penelitian ini sama-sama menganalisis dari segi bentuk/struktur, fungsi, dan makna. Meskipun teori sebagai landasan teori berbeda, namun terdapat kesamaan antara keduanya. Selain itu perbedaan yang terdapat dari kedua penelitian ini adalah perbedaan objek penelitian. Objek penelitian Dewa merupakan kumpulan geguritan atau puisi dalam bahasa jawa, sedangkan objek penelitian ini adalah kumpulan teks anekdot milik siswa kelas X SMA Negeri 1 Surakarta.
C.
KERANGKA BERPIKIR
Penelitian berjudul “Wacana Teks Anekdot Siswa Kelas X SMA Negeri di Surakarta (Analisis Teks dan Konteks)” merupakan penelitian yang mengupas mengenai struktur dalam teks anekdot siswa, aspek tekstual dan kontekstual dalam teks anekdot siswa, serta mengupas mengenai makna yang terkandung dalam teks anekdot karangan siswa kelas X SMA Negeri di Surakarta. Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks memang menekankan supaya siswa menjadi terampil dalam menganalisis dan memproduksi berbagai macam jenis teks dan mengetahuinya secara mendalam. Macam-macam teks yang diajarkan pada siswa kelas X yaitu teks anekdot, teks laporan hasil observasi, teks eksposisi, teks prosedur kompleks, dan teks negosiasi. Langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti yakni mengumpulkan sampel teks ankedot yang telah dibuat oleh siswa. Dalam hal ini peneliti akan meminta bantuan guru pengampu Bahasa Indonesia untuk memberikan tugas akhir bagi siswa yaitu membuat teks anekdot yang baik. Pengerjaan tugas akhir ini harus dilaksanakan di kelas karena sebagai pengganti dari Ujian Kompetensi Akhir, guru telah selesai memberikan semua materi berkaitan tengan teks anekdot,
42
dan siswa telah banyak berlatih untuk membuat serta menentukan unsur-unsur teks anekdot yang baik. Berikutnya peneliti akan mulai meneliti hasil dari teks anekdot yang telah dibuat oleh siswa. Mulai dari struktur yang terdapat dari teks anekdot yakni abstrak, orientasi, krisis, reaksi, koda, apakah teks anekdot siswa sudah sesuai dengan struktur yang baik. Kemudian pada fungsi bahasa dalam teks anekdot yang dibuat siswa, apakah sudah memiliki unsur-unsur fungsi yang padu untuk membentuk suatu wacana. Selanjutnya, adalah makna yang terkandung dalam teks anekdot karangan siswa. Dilihat dari segi tekstual dan kontekstual. Unsur-unsur tekstual yang terdiri atas aspek gramatikal dan leksikal, serta dari segi kontekstual adalah konteks dan inferensi. Dari penjabaran di atas kerangka berpikir penelitian ini terlihat pada bagan di bawah ini.
43
TEKS EKSPOSISI
TEKS LAPORAN HASIL OBSERVASI
PEMBELAJARAN BERBASIS TEKS
TEKS NEGOSIASI
STRUKTUR TEKS ANEKDOT
TEKS ANEKDOT
FUNGSI BAHASA
TEKS PROSEDUR KOMPLEKS
ASPEK TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL