9
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori
Sikap peduli lingkungan merupakan penentu baik buruknya kondisi suatu lingkungan. Sikap peduli lingkungan menjadi penting untuk dibiasakan pada generasi muda sebagai bekal untuk mengelola lingkungan hidup. Sikap peduli lingkungan berada dalam ranah afektif yang dapat diinduksi melalui pendidikan. EfSD sebagai konsep pendidikan
dengan tujuan utama memberikan dukungan terhadap upaya
pengembangan berkelanjutan, dapat digunakan sebagai acuan untuk menginduksi sikap peduli lingkungan. Sikap peduli siswa terhadap lingkungan dapat diukur dengan menggunakan instrumen NEP dari Dunlap yang terdiri dari lima belas pernyataan untuk mengukur kecenderungan siswa pro atau anti lingkungan. SSP sebagai perangkat mengajar yang spesifik dapat dikembangkan dalam mengajarkan materi bertemakan lingkungan dengan pemilihan model yang sesuai karakteristik siswa dan materi ajar. Model PBL dianggap sesuai dengan karakteristik siswa dan materi ajar bertemakan lingkungan sehingga digunakan sebagai basis pengembangan SSP. Kajian teori pada Bab II membahas tentang sikap peduli lingkungan, EfSD, NEP, SSP dan Model Pembelajaran PBL.
1. Sikap Peduli Lingkungan Sikap peduli merupakan kesediaan untuk beraksi (disposition to react) secara positif (ravorably) atau secara negatif (untavorably) terhadap objek-objek tertentu (Sarlito, 2000). Soetarno (1994) memiliki persepsi yang sama bahwa sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap objek tertentu,
sikap
peduli
lingkungan
berarti
kecenderungan
untuk
bertindak
menghiraukan lingkungan. Pengertian sikap yang lain dikemukakan oleh Azwar (2012), bahwa sikap merupakan keteraturan dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran
10
(kognisi), dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap aspek di lingkungan sekitarnya. Sikap peduli lingkungan merupakan kesediaan yang muncul dari dorongan internal untuk menyatakan aksi peduli terhadap lingkungan, sehingga dapat meningkatkan atau memelihara kualitas lingkungan hidup. Sikap peduli terhadap lingkungan menurut Wesnawa (2004) merupakan kondisi yang muncul jika motivasi terhadap kondisi lingkungan cukup kuat. Motivasi muncul dengan adanya minat dan perhatian terhadap bukti-bukti perlakuan manusia terhadap lingkungan. Sikap peduli lingkungan akan berpengaruh terhadap perilaku ramah lingkungan, sebagaimana yang dijelaskan Ajzen (2001) dalam Theory of Planned Behaviour bahwa perilaku ramah lingkungan muncul karena dorongan kesiapan untuk berperilaku. Kesiapan tersebut dipengaruhi oleh sikap, norma subyektif dan perceived behavioral control yang diartikan sebagai hambatan atau kemudahan yang dirasakan dalam melakukan perilaku tertentu.
Sikap Norma subyektif
Kesiapan berperilaku
Perilaku Ramah Lingkungan
perceived behavioral control Gambar 2.1. Skema Theory of Planned Behavior
Sikap tidak dapat diperoleh secara serta merta, melainkan harus melalui beberapa tahapan meliputi pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habbit) (Holil et al, 2011). Pengetahuan menjadikan seseorang menyadari adanya rangsangan atau menyadari keberadaan suatu objek. Respon berupa rasa tertarik atau mengabaikan muncul terhadap rangsangan yang datang, diikuti dengan kecenderungan untuk memilih respon terbaik dari rangsangan, dan diakhiri dengan
11
bertindak sesuai kecenderungan dari respon yang dipilih. Tindakan yang dilakukan secara terus menerus menjadi wujud dari perilaku baru sesuai dengan pengetahan, kesadaran dan sikap terhadap respon. (Ho lil, Handoy o, Mustika K S, Jatin ingsih, Wasis, & Soery anto, 2011).
2. Education for Sustainable Development (EfSD) Education pendidikan
for
dengan
Sustainable tujuan
utama
Development memberikan
(EfSD)
merupakan
dukungan
terhadap
konsep upaya
pengembangan berkelanjutan melalui pendidikan (Sancayaningsih, 2012). EfSD istilah aslinya adalah Education Sustainable Development (ESD). Penambahan kata for yang berarti untuk, menegaskan bahwa EfSD akan menghasilkan sesuatu atau menegaskan adanya tujuan yang hendak dicapai. Development diterjemahkan sebagai pengembangan bukan pembangunan, karena pembangunan sering dimaknai pembangunan fisik atau infrastruktur (Hastuti, 2009). Pengembangan berkelanjutan (sustainable development) adalah sebuah pengembangan meliputi kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan yang berkesinambungan hingga menghasilkan kondisi tentram, aman, nyaman baik dimasa sekarang maupun masa mendatang. Pengembangan berkelanjutan diartikan sebagai pengembangan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa menghilangkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Pengembangan berkelanjutan harus memperhatikan aspek pemanfaatan sumber daya alam sebijak mungkin, kesinambungan ekonomi, keadilan sosial (termasuk kultur dan budaya) dan kelestarian lingkungan. EfSD merupakan salah satu bentuk implementasi dari Agenda 21 sebagai program aksi dunia untuk program pengembangan berkelanjutan pada Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992. Menurut Santa (2012) EfSD adalah proses pembelajaran sepanjang hayat dalam rangka mewujudkan warga negara berpengetahuan, kreatif dalam pemecahan masalah, memiliki pengetahuan dan kepekaan sosial, serta memiliki komitmen dan tanggung jawab. Menurut Sancayaningsih (2009) EfSD merupakan paradigma baru dibidang pendidikan yang mempertimbangkan 3 dimensi yaitu kesinambungan ekonomi, keadilan sosial
12
(termasuk kultur dan budaya) dan kelestarian lingkungan. EfSD juga diartikan sebagai konsep dinamis yang mencakup visi baru pendidikan yang mengupayakan pemberdayaan individu untuk turut bertanggungjawab dalam menciptakan masa depan yang berkelanjutan. Pendidikan yang menjadi konsep EfSD merupakan instrumen yang efektif untuk melakukan komunikasi, memberikan informasi, penyadaran, pembelajaran dan untuk menggerakkan individu kearah pengembangan berkelanjutan (Hastuti, 2009).
3. New Ecological Paradigm (NEP) New Ecological Paradigm (NEP) merupakan paradigma baru dalam ekologi. NEP pada mulanya merupakan singkatan dari New Environmental Paradigm, tapi kemudian diubah menjadi New Ecological Paradigm untuk menegaskan dasar ekologis masyarakat. Teori NEP menjelaskan bahwa manusia adalah bagian dari ekologi yang saling bergantung dengan spesies lain. Setiap tindakan manusia akan berdampak pada lingkungan hidup. Dunlap (2000) mengembangkan New Ecological Paradigm Scale untuk mengukur kepedulian manusia terhadap lingkungan hidup. Skala NEP dirancang untuk mengidentifikasi lima kemungkinan komponen ekologi atau yang disebut dengan dimensi dalam NEP (Kopnina, 2011), antara lain : a. Limit to growth, komponen NEP yang melihat pandangan seseorang akan adanya batasan untuk tumbuh dan memunculkan tiga pernyataan tentang lingkungan yang memiliki keterbatasan dalam menampung populasi dan eksploitasi manusia. b. Anti-anthropocentrism,
komponen
NEP
yang
melihat
pandangan
seseorang tentang sikap pro-lingkungan apabila tidak mengedepankan ego sebagai manusia, yang diungkapkan dalam tiga pernyataan dalam NEP. c. Balance of nature, komponen NEP yang melihat pandangan seseorang mengenai rentannya keseimbangan alam yang dimunculkan dalam tiga pernyataan bahwa alam rentan terhadap kerusakan dan manusia terkadang berkontribusi dalam kerusakan alam.
13
d. Anti-exemptionalism, komponen NEP yang melihat pandangan seseorang mengenai penolakan terhadap pemikiran yang mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk yang unik dan dituangkan dalam tiga pernyataan tentang keunikan manusia yang tidak mengeluarkannya dari tanggungjawab terhadap lingkungan. e. Eco-crisis, komponen NEP yang melihat pandangan seseorang terhadap krisis ekologi atau kerusakan alam yang juga diungkapkan dalam tiga pernyataan tentang kemungkinan alam mengalami kerusakan sangatlah besar apabila manusia terus bertindak tidak ramah terhadap lingkungan. Berdasarkan lima komponen ekologi tersebut, dijabarkan menjadi lima belas pernyataan, dimana masing-masing komponen memunculkan tiga pernyataan yang berskala likert. Lima belas pernyataan tersebut yang digunakan untuk mengukur derajat kepedulian individu terhadap lingkungan. Semakin tinggi skor yang diperoleh, semakin tinggi pula kepedulian terhadap lingkungan.
4. Subject Specific Pedagogy (SSP) a. Pengertian Subject Specific Pedagogy (SSP) Subject Specific Pedagogy (SSP) merupakan perangkat mengajar yang spesifik pada subjek materi tertentu. Pembelajaran spesifik bidang studi/ SSP merupakan pembelajaran yang didasarkan pada perencanaan materi spesifik bidang studi yang dikembangkan dengan tujuan spesifik, melalui
pendekatan, strategi,
model atau teknik yang mendukung (Ogawa, 1995). Subject berkaitan dengan sasaran materi yang akan disampaikan yaitu Biologi pada tema atau pokok bahasan tertentu. Spesific berarti berlaku khusus untuk materi yang akan diberikan. Pedagogy berarti cara mengajarkan materi tersebut (Susilowati et al, 2013). SSP sangat berkaitan dengan penggunaan srategi, pendekatan, model, media, cara penilaian dan bahan ajar/modul. (Susilowati, Maryati, Dwi, & Raisa, 2013)
14
Menurut California Teaching Performance Assessment (CalTPA) (2014) menyebutkan bahwa SSP terdiri dari empat prinsip yang perlu dikembangkan, yaitu pengembangan pedagogi; pengembangan penilaian; penyesuaian isi materi; dan cara mengajar yang khas dengan kebutuhan spesifik siswa. Keempat prinsip ini berlaku untuk semua pendidik dan untuk semua tingkatan serta materi. SSP menjadi perangkat pembelajaran yang diperlukan guru ketika mengajar yang mencakup silabus, RPP, modul, LKS, dan instrumen evaluasi. Menurut Prasetyo (2004) tugas guru tidak hanya mengajar dan mendidik siswa melainkan juga menilai, memahami bagaimana cara menilai dan mengevaluasi hasil kegiatan pembelajaran. Dengan evaluasi maupun penilaian dapat diketahui seberapa besar kemampuan siswa dalam menguasai dan mengimplementasikan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. b. Komponen Subject Specific Pedagogy (SSP) 1) Silabus Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/ pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian (BSNP, 2006). Silabus sebagai rencana pembelajaran pada kelompok mata pelajaran/ tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/ pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar. Berdasarkan silabus inilah guru dapat mengembangkannya dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sebagai sebuah skenario pembelajaran yang dilaksanakan pada Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di kelas. Silabus dijabarkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran, dilaksanakan, dievaluasi, dan ditindak-lanjuti oleh masing-masing guru. Komponen silabus yang dikembangkan menurut BSNP (2006) mencakup keseluruhan ranah kompetensi (kognitif,afektif dan psikomotor). Pengembangan silabus dapat dilakukan oleh para guru secara mandiri atau berkelompok dalam
15
sebuah sekolah atau beberapa sekolah, misalnya kelompok Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau pada Kelompok Kerja Guru (KKG), dan Dinas Pendidikan Silabus yang dijelaskan di atas memiliki langkah-langkah baku dalam pengembangannya, meliputi mengkaji standar komptensi, mengkaji kompetensi dasar, menidentifikasi materi pokok/ pembelajaran, mengembangkan kegiatan pembelajaran, merumuskan indikator pencapaian kompetensi, penentuan jenis penilaian, menentukan alokasi waktu dan menentukan sumber belajar.
2) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pembelajaran pada dasarnya merupakan proses yang ditata dan diatur sedemikian rupa, menurut langkah-langkah tertentu agar dalam pelaksanaannya dapat mencapai hasil yang diharapkan. Pengaturan tersebut menurut Niron (2009) dituangkan dalam bentuk perencanaan pembelajaran yang biasa disebut sebagai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Pelaksanaan pembelajaran di kelas tidak selamanya dapat berjalan sesuai persis dengan RPP yang telah dibuat, karena pembelajaranpun bersifat situasional, namun apabila penyusunan RPP telah dilakukan dengan matang sebagai persiapan guru sebelum KBM, maka proses dan hasil pembelajaran tidak akan jauh berbeda dengan apa yang sudah direncanakan. Desain awal RPP yang telah dikembangkan menurut Azizahwati (2015) meliputi beberapa komponen seperti, identitas, kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator, materi pokok, pendekatan, metode, media, alat pembelajaran, sumber pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran dan penilaian. RPP pada dasarnya merupakan kurikulum mikro yang menggambarkan tujuan/ kompetensi, materi/ isi pembelajaran, kegiatan belajar, dan instrumen evaluasi yang digunakan. Efektivitas RPP menurut Niron (2009) sangat dipengaruhi beberapa prinsip perencanaan pembelajaran yang meliputi, perencanaan pembelajaran harus berdasarkan kondisi siswa, perencanaan pembelajaran harus berdasarkan kurikulum yang berlaku, perencanaan pembelajaran harus memperhitungkan waktu yang tersedia, perencanaan pembelajaran harus merupakan urutan kegiatan pembelajaran
16
yang sistematis, perencanaan pembelajaran bila perlu dilengkapi dengan lembaran kerja/ tugas dan atau lembar observasi, perencanaan pembelajaran harus bersifat fleksibel, perencanaan pembelajaran harus berdasarkan pada pendekatan sistem yang mengutamakan keterpaduan antara tujuan/ kompetensi, materi, kegiatan belajar dan evaluasi.
3)
Modul
Modul merupakan seperangkat bahan ajar yang disusun secara sistematis yang terdiri atas standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator pada suatu mata pelajaran yang dirancang untuk mempermudah siswa dalam memahami materi pelajaran yang dipelajarinya. Modul pembelajaran menurut Winkel (2009) merupakan satuan program belajar mengajar
terkecil, yang dipelajari oleh siswa
sendiri secara perseorangan atau diajarkan oleh siswa kepada dirinya sendiri (selfinstructional). Pendapat lain dikemukakan oleh Vembriarto (1975), modul adalah paket pengajaran yang memuat unit program belajar-mengajar terkecil yang secara terperinci menegaskan tujuan, topik, pokok-pokok materi, peranan guru, alat-alat dan sumber belajar, kegiatan belajar, lembar kerja, dan program evaluasi. Siswa melalui modul biologi diharapkan mampu menguasai produk sains seperti konsep-konsep, menggunakan metode ilmiah untuk menyelesaikan masalah-masalah sains, dan memiliki sikap positif terhadap sains (Toharudin dkk, 2011).
(Toharudin, Hendrawati, & Ru staman, 2011)
Modul memiliki karakteristik self contained, artinya dikemas dalam satu kesatuan yang utuh untuk mencapai kompetensi tertentu, self instructional yaitu membantu dan mendorong pembacanya untuk mampu membelajarkan diri sendiri dan self alone yaitu tidak bergantung pada media lain
(Suryantoro, 2011). Menurut
Sukiman (2012) bahwa karakteristik untuk pengembangan modul antara lain self instructional, self contained, stand alone, adaptive, dan user friendly. Self instructional menurut Suryantoro (2011) menjelaskan bahwa melalui modul siswa mampu belajar mandiri dan tidak bergantung pada pihak lain, sehingga modul yang dikembangkan harus merumuskan standar isi dan kompetensi dasar
17
dengan jelas, mengemas materi menjadi spesifik sehingga memudahkan siswa belajar secara tuntas. Self contained menjelaskan bahwa seluruh materi pembelajaran yang spesifik terdapat dalam satu modul secara utuh. Stand alone berarti modul yang dikembangkan tidak bergantung pada media lain. Adaptive yang berarti modul memiliki daya adaptasi tinggi terhadap perkembangan ilmu. User friendly berarti modul mudah untuk digunakan siswa. Modul sebagai sarana pembelajaran yang disusun secra sistematis, memuat materi pembelajaran, tujuan pembelajaran berdasarkan (KI, KD dan indikator pencapaian kompetensi), metode, petunjuk kegiatan belajar mandiri dan evaluasi melalui latihan soal atau sejenisnya (Hamdani, 2011). Pembuatan modul bertujuan memperjelas dan mempermudah penyajian materi yang diajarkan (Chosim & Jasmadi, 2008), dan menyediakan bahan ajar yang sesuai tuntutan kurikulum dengan memperhatikan kebutuhan siswa, yaitu bahan ajar yang sesuai karakteristik materi ajar dan karakteristik siswa (Hamdani, 2011). Modul diharapkan membantu siswa lebih aktif untuk belajar mandiri sesuai dengan kemampuannya. Penggunaan modul dalam pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan, baik bagi guru maupun siswa. Kelebihan penggunaan modul antara lain dapat memotivasi siswa untuk belajar mandiri,membantu siswa memahami materi dengan kecepatan belajar masing-masing,membantu dalam mencapai ketuntasan belajar secara individual dan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi guru untuk memberikan pengayaan. Sejalan dengan pendapat Indriyanti dan Susilowati (2012) keuntungan yang diperoleh dari pembelajaran dengan menerapkan modul adalah meningkatkan motivasi siswa, memudahkan guru menilai keberhasilan belajar siswa, dan membantu siswa mencapai hasil sesuai dengan kemampuannya. Kekurangan penggunaan modul menurut Suparman (1993) diantaranya biaya pengembangan modul yang mahal, membutuhkan waktu yang lama dalam pengembangan modul, menentukan disiplin belajar yang tinggi, membutuhkan ketekunan yang tinggi dari fasilitator untuk memantau proses belajar siswa.
18
Pengembangan
modul
pada
dasarnya
menggunakan
prosedur
riset
sebagaimana diungkapkan oleh Akbar (2013), yang meliputi, identifikasi masalah pembelajaran yang terjadi di kelas melalui review buku ajar atau modul yang ada, analisis kurikulum dengan menganalisis standar kompetensi, kompetensi dasar, merumuskan indikator dan merumuskan tujuan pembelajaran, menyusun draft modul dan validasi ahli dengan menggunakan instrument validasi serta revisi draft modul berdasarkan validasi ahli. Modul yang dikembangkan diharapkan dapat digunakan guru dari waktu ke waktu terus ditingkatkan kualitasnya sehingga menjadi perangkat yang baik untuk keperluan pembelajaran.
4) Lembar Kerja Siswa (LKS) Lembar Kerja Siswa (LKS) adalah lembaran yang berisikan pedoman bagi siswa untuk melaksanakan kegiatan yang terprogram. Lembaran ini berisi petunjuk, tuntunan pertanyaan dan pengertian agar siswa dapat memperluas serta memperdalam pemahaman terhadap materi yang dipelajari (Depdiknas, 2008). Menurut Widyantini (2013), LKS (student work sheet) adalah lembaran-lembaran berisi tugas siswa yaitu petunjuk dan langkah-langkah untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru kepada siswa. Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa dapat berupa tugas teori atau tugas praktik. LKS merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dikembangkan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran. LKS yang disusun dapat dirancang dan dikembangkan sesuai dengan kondisi dan situasi kegiatan pembelajaran. LKS juga merupakan media pembelajaran, karena dapat digunakan secara bersama dengan sumber belajar atau media pembelajaran yang lain (Widjayanti, 2008). LKS merupakan jenis hand out yang digunakan untuk membantu siswa belajar secara terarah. Penggunaan LKS diharapkan mampu menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar siswa. Pengalaman belajar siswa dapat diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksplorasi lingkungan melalui interaksi aktif dengan teman, lingkungan, atau nara sumber lain.
19
Pengembangan LKS perlu memperhatikan beberapa langkah sebagaimana yang dikemukakan oleh Prastowo (2011) yaitu didahului dengan analisis kurikulum, menyusun peta kebutuhan LKS, menentukan judul-judul LKS dan dilanjutkan dengan penulisan LKS. LKS yang baik memenuhi persyaratan dikdatik, konstruktif dan teknis (Ranedyo, 2012). Dikdatik berarti pembuatan atau pengembangan LKS harus mengikuti asas-asas belajar mengajar yang efektif. Konstruktif berkenaan dengan penggunaan bahasa, susunan kalimat, kosa-kata yang jelas sehingga mudah dimengerti oleh siswa. Teknis yang menitik beratkan pada proses pembuatan LKS itu sendiri.
5) Evaluasi Evaluasi merupakan proses yang berhubungan dengan pengumpulan informasi. Evaluasi hasil belajar memungkinkan evaluator menemukan tingkat kemajuan pengajaran, ketercapaian tujuan pembelajaran dan perbaikan pada waktu mendatang. Evaluasi hasil belajar dapat dilakukan mengunakan tes untuk melakukan pengukuran hasil belajar. Tes dapat didefinisikan sebagai seperangkat pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi terkait hasil belajar, dimana setiap butir pertanyaan atau tugas yang disusun mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar. Pengukuran diartikan sebagai pemberian angka pada karakteristik tertentu yang dimiliki oleh orang, hal, atau obyek tertentu. Penilaian adalah proses mengambil keputusan dengan menggunakan informasi yang diperoleh melalui pengukuran hasil belajar. Penilaian dimaksudkan mengukur hasil belajar sebagai prestasi belajar, dalam hal ini adalah penguasaan kompetensi oleh setiap siswa. (LPP, 2007). Tujuan dilaksanakannya evaluasi proses dan hasil pembelajaran adalah untuk mengetahui keefektifan pelaksanaan pembelajaran dan pencapaian hasil pembelajaran oleh setiap siswa, sehingga dengan adanya evaluasi diharapkan muncul masukan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran. Tahapan pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran adalah penentuan tujuan, menentukan desain evaluasi, pengembangan instrumen evaluasi, pengumpulan
20
informasi/data, analisis dan interpretasi dan tindak lanjut (LPP, 2007). Tujuan evaluasi proses pembelajaran dapat dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan. Desain evaluasi mencakup rencana evaluasi proses dan pelaksana evaluasi. Rencana evaluasi proses pembelajaran berbentuk matriks dengan kolomkolom berisi nomor urut, informasi yang dibutuhkan, indikator, metode yang mencakup teknik dan instrumen, responden dan waktu. Instrumen evaluasi proses pembelajaran digunakan untuk memperoleh informasi yang dapat berupa lembar pengamatan untuk mengumpulkan informasi kegiatan belajar siswa, kuisioner yang dijawab siswa berkenaan dengan strategi , metode dan media pembelajaran yang digunakan guru, minat dan persepsi siswa terhadap pembelajaran yang telah terlaksana. Pengumpulan informasi dilaksanakan secara obyektif dan terbuka agar diperoleh informasi yang dipercaya dan bermanfaat bagi peningkatan mutu pembelajaran. Analisis informasi berupa deskripsi hasil evalusi yang berkaitan dengan proses pembelajaran, sedangkan interpretasi merupakan penafsiran terhadap deskripsi hasil analisis proses pembelajaran. Tindak lanjut merupakan kegiatan menindak lanjuti hasil analisis dan interpretasi.
5. Problem Based Learning (PBL) Pembelajaran berbasis masalah atau Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran inovatif yang memberikan kondisi aktif kepada siswa. PBL merupakan model pengajaran yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan ketrampilan pemecahan masalah, materi, konten dan pengendalian diri (Ibrahim, 2000). Model pembelajaran PBL menghadapkan siswa pada
permasalahan-permasalahan
praktis
sehingga
siswa
belajar
melalui
permasalahan yang ada (Primarinda et al, 2014). Menurut Tan (2003) pembelajaran berbasis masalah merupakan pendekatan efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi, karena pada pembelajaran tersebut kemampuan berpikir siswa betulbetul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sitematis,
21
sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan (Rusman, 2012). Pendidikan lingkungan hidup menurut Khanafiyah (2013) ditekankan pada perubahan sikap, maka langkah pembelajaran yang dapat ditempuh adalah dengan menghadapkan siswa pada permasalahan lingkungan yang ada. Model PBL merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa, siswa dihadapkan pada berbagai masalah yang nyata dan diharapkan dapat menanggapi atau memecahkan masalah tersebut dengan pengetahuan yang dimiliki. Hasil belajar yang diperoleh siswa dalam model PBL yaitu inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah,belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors),dan keterampilan belajar mandiri (skills for independent learning ) (Arends, 2008). Keterlibatan siswa dalam model PBL meliputi kegiatan kelompok dan kegiatan perorangan. Siswa melakukan kegiatan membaca kasus, menentukan masalah yang relevan dengan tujuan pembelajaran, membuat rumusan masalah,membuat hipotesis, mengidentifikasi sumber informasi,
pembagian tugas,
mendiskusikan penyelesaian
masalah,
melaporkan kemajuan yang dicapai setiap anggota kelompok, dan presentasi di kelas (Rusmono, 2012). PBL berfungsi sebagai landasan penyelidikan siswa, sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa serta meningkatkan kepercayaan diri (Arends, 2008). Manfaat PBL untuk membantu siswa mengembangkan pola pikir, pemecahan masalah dan keterampilan intelektual. Siswa dapat menjadi pembelajar yang mandiri dan otonom melalui pengalaman nyata (Ibrahim & Nur, 2005). Pembelajaran berdasar masalah terdiri dari lima langkah utama, sebagaimana tampak pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
22
Tahap PBL Tahap 1 Meeting the problem
Tabel lanjutan Tahap 2 Problem analysis and learning issue
Tahap 3 Discovery and reporting
Tahap 4 Solution presentation and reflection Tahap 5 Overview, integration and evaluation
Kegiatan Pembelajara Siswa menemukan permasalahan berdasarkan pengamatan fenomena yang dapat memberikan stimulus dan pemikiran realistik. Siswa menyampaikan pendapat berdasarkan fakta-fakta yang dapat diidentifikasi menjadi dasar permasalahan. Siswa menganalisis permasalahan untuk merangsang pengetahuan dasar, membangkitkan gagasan yang mendukung pengetahuan lebih lanjut, dan mengidentifikasi permasalahan dengan pokok pembelajaran. Siswa mencari dan menemukan cara-cara penyeleseian masalah melalui berbagai sumber informasi dan melaporkan setiap informasi yang ditemukan kepada kelompok. Siswa mempresentasikan hasil penyelesaian masalah. Siswa berinteraksi melalui penemuan dari pembelajaran, pelaporan, peer teaching dan Tanya jawab. Siswa meninjau lagi proses pembelajaran , mengintegrasi proses penting dari pengetahuan baru yang didapat dan mengevaluasi fase yang telah dilakukan selama proses pembelajaran.
Sumber : (Tan, 2003)
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan dan berkaitan dengan penelitian pengembangan SSP berbasis PBL menjadi dasar dan bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya. Penelitian yang relevan dan pernah dilakukan antara lain: 1. Husna dkk. (2013) menyatakan bahwa penerapan model PBL dapat meningkatkan sikap peduli lingkungan siswa sebesar 0,61 termasuk kriteria sedang dengan persentase N-gain ternormalisasi.
(Husna, Abdullah, & Nurmaliah, 2013)
2. Yulianti (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sikap peduli lingkungan siswa sebelum dan sesudah pembelajaran dengan menggunakan modul berbasis
23
PBL mengalami peningkatan sebesar 0,12 dengan kriteria rendah berdasarkan rumus N-gain ternormalisasi. (Yulianti, 2014) 3. Rohmah (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penerapan model PBL dapat meningkatkan sikap peduli lingkungan siswa sebesar 18,76 %. 4. Handriani (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa model problem based learning dapat meningkatkan sikap peduli lingkungan dari pra siklus hingga siklus II sebesar 28,125%. (Handriani, 2014) 5. Saputri (2015) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa model PBL dapat
meningkatkan sikap peduli lingkungan sebesar 0,16 termasuk kriteria sedang dengan persentase N-gain ternormalisasi. (Saputri, 2015) 6. McGuire (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pendidikan berbasis lingkungan dapat menguatkan tanggungjawab individu dalam berperilaku peduli lingkungan. 7. Scott (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pendidikan dapat memberikan dampak berkelanjutan.
pemahaman pada publik tentang pengembangan
24
C.
Kerangka Berpikir
Sikap peduli lingkungan perlu dimiliki generasi muda sebagai bekal mengelola lingkungan hidup. ●Sikap peduli lingkungan dapat diukur dengan instrumen NEP dari Dunlap ●Kondisi fakta : Data menunjukkan skor rata-rata sikap peduli lingkungan siswa sebesar 47,92 ●Kondisi ideal : Kriteria sikap peduli lingkungan yang baik (skor ≥ 60) Sikap peduli lingkungan berada pada ranah afektif yang dapat diinduksi dalam pembelajaran (Gage & Berliner, 1983).
Desain Pembelajaran Spesifik pada materi Perubahan Lingkungan.
●Kondisi fakta : Karakteristik siswa pasif dengan model pembelajaran konvensional ●Kondisi ideal : Siswa aktif dengan model pembelajaran aktif
Materi pembelajaran yang bertemakan lingkungan, memungkinkan adanya penyajian beragam masalah. PBL sebagai model pembelajaran inovatif yang memberikan kondisi aktif pada siswa, melatihkan ketrampilan berpikir,menyelesaikan masalah dan intelektual (Arends, 2008).
Pengembangan SSP berbasis PBL
SSP berbasis PBL
Penerapan SSP berbasis PBL dalam pembelajran
Penguatan sikap peduli lingkungan siswa
Gambar 2.2. Diagram Kerangka Berpikir