BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Belajar dan Pembelajaran a. Pengertian Belajar dan Pembelajaran Menurut Mulyati (2005), dalam perkembangan hidup manusia, ada dua hal yang menyebabkan manusia mengalami peningkatan kemampuan, yakni kematangan dan belajar. Keduanya sering terjadi bersama-sama dalam kehidupan manusia. Perubahan yang disebabkan kematangan disebut pertumbuhan atau growth, sedangkan perubahan karena belajar disebut perkembangan atau development (Hilgard dalam Mulyati, 2005). Belajar menurut W.S Winkel (2005) yaitu suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas. Hasil dari belajar tidak hanya sekadar perubahan tingkah laku secara permanen dimana meliputi aktivitas fisik dan proses internal seperti berfikir, bersikap, dan emosi. Motivasi juga merupakan bagian di dalamnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses atau kegiatan yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik. Sedangkan pembelajaran menurut Ilham, Romly, dan Arya (2010) adalah proses, cara, dan perbuatan mempelajari. Dengan kata lain pembelajaran merupakan upaya menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar. Sedangkan menurut Hamdani (2008), pembelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Secara prinsip, kegiatan pembelajaran merupakan proses
7
8 pendidikan yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi mereka menjadi kemampuan yang semakin lama semakin meningkat dalam sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dirinya untuk hidup dan untuk bermasyarakat, berbangsa, serta berkontribusi pada kesejahteraan hidup umat manusia (Permendikbud No 81A, 2013). Definisi lain dari pembelajaran, juga disampaikan oleh Walter Dick dan Lou Carey dalam Pribadi (2009), yaitu sebagai rangkaian peristiwa atau kegiatan yang disampaikan secara terstruktur dan terencana dengan menggunakan sebuah
atau beberapa jenis
media, dimana proses
pembelajaran mempunyai tujuan agar siswa dapat mencapai kompetensi seperti yang diharapkan. Selain itu, Rombepajung dalam Thobroni dan Mustofa (2013) berpendapat bahwa pembelajaran adalah pemerolehan suatu mata pelajaran atau pemerolehan suatu keterampilan melalui pelajaran, pengalaman, atau pengajaran. Mata pelajaran kimia termasuk dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
alam
yang
secara
spesifik
diberikan
kepada
siswa
SMA/MA/SMALB. Menurut Jespersen dalam Krisnawati, dkk. (2013), kimia adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang materi yang meliputi komposisi, sifat, perubahan-perubahan yang terjadi dan energi yang menyertai perubahan tersebut. Pembelajaran kimia berbeda dengan pembelajaran mata pelajaran lain. Hal ini karena mata pelajaran kimia memiliki beberapa karakteristik, seperti: (1) sebagian besar konsepnya bersifat abstrak, sederhana, berjenjang, dan terstruktur; (2) merupakan ilmu untuk memecahkan masalah serta mendeskripsikan faktafakta dan peristiwa-peristiwa (Kean & Middlecamp dalam Mentari, dkk., 2014), sedangkan menurut Ozmen dalam Purtadi dan Sari (2008), konsepkonsep kimia bersifat abstrak dan kata-kata yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari memiliki arti berbeda dalam kimia. Hal inilah yang menyebabkan mata pelajaran kimia dianggap sebagai pelajaran yang sulit bagi siswa oleh guru kimia, peneliti, dan pendidik pada umumnya.
9 Menurut BSNP (2006), kimia merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang selalu berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga kimia bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Siswa yang mempelajari kimia akan dapat menanamkan metode ilmiah, mengembangkan kemampuan dalam mengajukan gagasangagasan, serta ketelitian dalam bekerja (Delhita & Suyono, 2012). Dalam ilmu kimia terdapat dua jenis pemahaman yang harus dikuasai oleh siswa, yaitu pemahaman konseptual dan pemahaman algoritmik. Pemahaman konseptual merupakan pemahaman tentang hal-hal yang berhubungan dengan konsep, yaitu arti, sifat, dan uraian suatu konsep dan juga kemampuan dalam menjelaskan teks, diagram, dan fenomena yang melibatkan konsep-konsep pokok yang bersifat abstrak dan teori-teori dasar sains. Pemahaman algoritmik merupakan pemahaman tentang prosedur atau serangkaian peraturan yang melibatkan perhitungan matematika untuk memecahkan suatu masalah (Mustofa, 2010). Pemahaman konsep dalam ilmu kimia menurut Johnstone dalam Chandrasegaran, dkk. (2007), mengacu pada pemahaman konsep yang tersaji dalam tiga kategori yaitu makroskopik, submiskroskopik, dan simbolik, atau dapat digambarkan seperti berikut: Submikroskopik
Makroskopik
Simbolik
Kategori makroskopik menggambarkan kejadian atau fenomena sehari-hari yang dapat dilihat dan diamati oleh mata, misalnya adanya perubahan warna, munculnya gelembung udara, dan terbentuknya endapan pada beberapa reaksi kimia. Selanjutnya pada tingkatan submikroskopik, memberikan gambaran atau penjelasan pada tingkat partikel dimana materi-
10 materi yang terlibat digambarkan dalam bentuk atom, molekul, atau ion, sedangkan representasi simbolik dalam kimia misalnya penggunaan lambang-lambang unsur kimia, rumus, dan persamaan reaksi kimia. Contohnya yaitu, persamaan reaksi pembentukan H2O adalah: 2H2(g) + O2(g) 2H2O(g). Sebagian besar materi kimia yang diajarkan di sekolah tersaji dalam tingkatan simbolik, misalnya lambang-lambang unsur dan persamaan reaksi. Siswa yang pemahamannya masih bersandar pada pengalaman panca indera cenderung mengalami kesulitan dalam memahami konsep kimia yang tersaji pada tingkatan submikroskopik, sehingga rawan terjadi miskonsepsi (Metianing dalam Zidny, dkk., 2013). Konsep kimia pada tingkatan submikroskopik dan simbolik ini lebih banyak menyebabkan miskonsepsi dibandingkan pada tingkatan makroskopik. b. Pembelajaran Efektif Interaksi antara guru dan peserta didik harus mampu berjalan dengan baik. Bukan hanya antara guru dengan peserta didik, namun antara peserta didik yang satu dengan peserta didik yang lain juga harus berjalan dengan baik. Hal ini diperlukan untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, sehingga peserta didik merasa nyaman dan proses pembelajaran dapat
berlangsung
dengan
baik.
Menurut
Susanto(2013),
proses
pembelajaran dikatakan efektif apabila seluruh peserta didik dapat terlibat secara aktif, baik mental, fisik, maupun sosialnya, sebab dalam proses pembelajaran aktivitas yang menonjol adalah peserta didik. Kualitas pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan segi hasil. Dari segi proses, pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau sebagian besar peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, disamping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan percaya pada diri sendiri. Dari segi hasil pembelajarn dikatakan efektif apabila terjadi perubahan tingkah laku yang positif, tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Lebih lanjut, proses pembelajaran dikatakan berhasil dan berkualitas apabila masukan merata, menghasilkan output yang banyak dan
11 bermutu tinggi,serta sesuai dengan kebutuhan, perkembangan masyarakat, dan pembangunan. Pembelajaran dikatakan tuntas apabila telah mencapai angka ≥ 75% (Depdiknas dalam Susanto, 2013) Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan agar terwujud pembelajaran yang efektif, diantaranya: 1) Guru harus membuat persiapan mengajar yang sistematis 2) Proses belajar mengajar (pembelajaran) harus berkualitas tinggi yang ditunjukkan dengan adanya penyampaian materi oleh guru secara sistematis, dan menggunakan berbagai variasi di dalam penyampaian, baik itu media, metode, suara maupun gerak. 3) Waktu selama proses belajar mengajar berlangsung digunakan secara efektif. 4) Motivasi mengajar guru dan motivasi belajar siswa cukup tinggi. 5) Hubungan interaktif antara guru dan siswa dalam kelas bagus sehingga setiap terjadi kesulitan belajar dapat segera diatasi (Susanto, 2013). Pembelajaran yang efektif ini erat kaitannya dengan pengkondisian kelas. Menurut Seifert (2012), pengkondisian kelas merujuk pada pengetahuan dimana sebuah perilaku yang semula mengikuti sebuah peristiwa diminta untuk mengikuti peristiwa lain yang berbeda. Jadi, pembelajaran yang efektif dapat terjadi apabila bukan hanya interaksi antara guru dengan siswa yang baik, akan tetapi interaksi siswa dengan siswa yang lainnya juga harus dibangun dengan baik sehingga tercipta suasana kelas yang menyenangkan. 2. Konsep dan Belajar Konsep a. Konsep 1) Pengertian Flavell (1970), yang dikutip Dahar dalam Mulyati (2005), menyebutkan bahwa konsep memiliki tujuh dimensi yang berbedabeda, yakni atribut, struktur, keabstrakan, keinklusifan, generalitas atau keumuman, ketepatan, dan kekuatan. Dahar menyimpulkan
12 bahwa konsep adalah suatu abstraksi mental yang mewakili satu kelas stimulus-stimulus. Chaplin dalam Mulyati (2005) menyebutkan bahwa pengertian konsep meliputi: a) Satu ide atau pengertian umum yang disusun dengan kata, simbol, dan tanda. b) Satu ide yang mengkombinasikan beberapa unsur sumber-sumber berbeda ke dalam satu gagasan tunggal. Menurut Dorothy J. Skeel dalam Susanto (2013), konsep merupakan sesuatu yang tergambar dalam pikiran, suatu pemikiran, gagasan, atau suatu pengertian. Jadi, konsep ini merupakan sesuatu yang telah melekat dalam hati seseorang dan tergambar dalam pikiran, gagasan, atau suatu pengertian. Orang yang telah memiliki konsep berarti telah memiliki pemahaman tentang suatu konsep atau citra mental tentang sesuatu. Sesuatu tersebut dapat berupa objek konkret ataupun gagasan yang abstrak. Menurut Moh. Amien dalam Lestari (2012), konsep adalah suatu ide atau gagasan yang digeneralisasikan dari pengalaman tertentu yang relevan. Dengan demikian untuk membentuk suatu konsep diperlukan pengalaman dan generalisasi serta abstraksi dan ciri-ciri suatu objek untuk mempermudah komunikasi manusia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan sesuatu yang mewakili abstraksi dan ciri-ciri sesuatu untuk mempermudah komunikasi orang dan yang memungkinkan manusia berpikir ilmiah. 2) Bentuk Setiap konsep dapat dibedakan menurut bentuknya. Menurut Moh. Amien dalam Lestari (2012), konsep dapat dibedakan berdasarkan bentuknya menjadi tiga yaitu: a) Konsep klasifikasional Bentuk konsep ini didasarkan atas klasifikasi fakta-fakta ke dalam bagan-bagan yang terorganisir. Dengan kata lain fakta
13 tertentu diorganisir untuk menerangkan suau objek atau suatu gejala. Contoh: insekta adalah hewan berkaki enam dan tubuhnya terdiri dari kepala, dada, dan perut. b) Konsep korelasional Konsep ini dibentuk dari kejadian-kejadian khusus yang saling berhubungan atau observasi-observasi yang terdiri dari dugaan. Konsep ini terdiri dari suatu dimensi yang menyatakan adanya hubungan antara dua variabel yang dirumuskan dengan jika...maka.... Contoh: apabila udara di dalam sebuah botol tertutup dipanasi, maka tekanan udara di dalamnya akan naik. c) Konsep teoritik Bentuk konsep ini mempermudah penjelasan terhadap fakta atau kejadian-kejadian dalam sistem yang terorganisir. Konsep ini menyangkut proses pengembangan mulai dari yang diketahui sampai yang tidak diketahui. Contoh: zat terbentuk dari partikel-partikel yang disebut atom, sebuah atom materi terdiri dari elektron, proton, neutron dan partikel-partikel lain. 3) Pembentukan atau Cara Memperoleh Konsep Dahar dalam Mulyati (2005) memaparkan cara seseorang memperoleh konsep-konsep, yakni cara formasi konsep dan asimilasi konsep, dimana penjelasannya adalah sebagai berikut: a) Cara formasi konsep, merupakan perolehan konsep sebelum anak masuk sekolah atau belajar konsep konkret karena pengalaman. Pengalaman konsep terjadi dengan proses induktif, belajar penemuan, dan mengikuti pola engrule atau pola contoh, misalnya konsep ayam, burung, anjing, kucing, roda, lingkaran, dan lainnya. Ketika siswa dihadapkan pada rangsangan lingkungan, ia mengabstraksi sifat-sifat atau atribut-atribut tertentu yang sama dari berbagai stimulus. Pembentukan konsep ini juga ditunjukan oleh
14 orang-orang lebih tua dalam situasi kehidupan nyata dan di dalam laboratorium tetapi dengan tingkat yang lebih tinggi. b) Cara asimilasi konsep, merupakan perolehan konsep selama dan sesudah sekolah, umumnya belajar konsep abstrak. Perolehan konsep terjadi dengan proses deduktif, belajar sajian, dan belajar konsep sebagai aturan atau contoh atau rule-eg. Siswa yang belajar akan menghubungkan atribut-atribut dengan gagasan yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif mereka. b. Belajar Konsep 1) Pengertian Bruno dalam Mulyati (2005) menyebutkan bahwa teori belajar konsep tidak terlepas dari Jerome Bruner, yang telah mengadakan riset mengenai
pembentukan
konsep,
dimana
penemuan-penemuan
pentingnya antara lain: a) Manusia menerapkan rencana dan hipotesis secara sadar agar mengurangi waktu perumusan konsep b) Pembentukan konsep merupakan proses aktif dan berorientasi ke masa depan. Mulyati (2005) menyatakan bahwa pikiran dasar Bruner terletak pada pentingnya struktur untuk mentransfer prinsip-prinsip dan sikap umum atau konsep umum yang merupakan dasar untuk mengenal
permasalahan
lain
sebagai
masalah
khusus,
yang
berhubungan dengan prinsip umum yang telah dikuasai. Bruner dalam Uno & Hamzah (2006) mengusulkan teorinya yang disebut Free Discovery Learning, dimana menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contohcontoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya.
15 Belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan karena untuk memecahkan masalah, seseorang siswa harus mengetahui aturan-aturan yang relevan, dan aturan-aturan ini didasarkan pada konsep-konsep
yang
diperolehnya.
Belajar
konsep
menuntut
kemampuan untuk menemukan ciri-ciri yang sama pada sejumlah obyek. Konsep-konsep merupakan batu-batu pembangun berpikir. Konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objekobjek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-hubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama. Oleh karena orang mengalami stimulus-stimulus yang berbeda-beda, orang membentuk konsep sesuai dengan pengelompokan stimulus-stimulus dengan cara tertentu (Dahar dalam Delhita dan Suyono, 2012). Contohnya yaitu apabila udara di dalam sebuah botol tertutup dipanasi, maka tekanan udara di dalamnya akan naik (Amien dalam Lestari, 2012). 2) Beberapa Teori Belajar Konsep a) Teori Belajar Konsep Menurut Hulse Hulse dalam Mulyati (2005:57) menyebutkan teori-teori belajar konsep berdasarkan berbagai pendapat ahli sebagai berikut: (1)Teori Asosiasi, ciri-cirinya: (a) Belajar merupakan proses menaruh perhatian (b)Belajar adalah semuanya atau tidak satu pun (c) Contoh-contoh khusus dihubungkan dengan suatu respons (2) Teori Pengujian Hipotesis, ciri-cirinya: (a) Seluruh kompleks stimulus dihubungkan dengan respons (b)Belajar secara bertahap atau pertambahan sedikit demi sedikit (c) Belajar memperhitungkan variasi sistematik dari suatu percobaan ke percobaan lain
16 (3) Teori Model Proses Informasi atau Belajar sebagai Suatu Intelek Buatan Hal ini berhubungan dengan kemampuan “intelek komputer”, maksudnya yaitu ada kemungkinan memprogram digit untuk mengerjakan sesuatu yang dikerjakan manusia, namun teori belajar konsep berdasarkan pada proses informasi kurang berlaku. Menurut Mulyati (2005:58) teori belajar konsep asosiasi dan uji hipotesis umumnya digunakan secara murni dan diterapkan masing-masing model konsep. b) Teori Belajar Konsep Menurut Retno Wilis Dahar Dahar dalam Mulyati (2005:58) mengemukakan teori belajar konsep sebagai berikut: (1) Pendekatan Perilaku Teori berdasarkan pada asosiasi stimulus dan respons, yakni memberikan satu respons terhadap sejumlah stimulus berbeda. Dengan menggunakan prinsip conditioning sama dan respons terhadap asosiasi sejumlah respons pada satu stimulus, maka konsep akan tetap. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pendekatan
perilaku
adalah:
pola
reinforcement dan umpan balik, contoh-contoh positif dan negatif, serta banyaknya atribut. (2) Teori atau Pendekatan Kognitif Teori memusatkan pada proses perolehan, sifat dan bagaimana konsep-konsep disajikan dalam struktur kognitif. Belajar konsep dengan pendekatan kognitif mempunyai sifat menarik, yaitu konsep-konsep konjungtif lebih mudah dipelajari daripada konsep-konsep disjungtif atau relasional dan belajar akan lebih mudah dengan menggunakan pola selektif daripada pola reseptif.
17 3) Pentingnya Belajar Konsep Keuntungan belajar konsep seperti yang dipaparkan Dahar dalam Mulyati (2005) adalah sebagai berikut: a) Mengurangi beban berat memori karena kemampuan manusia dalam mengategorisasikan berbagai stimulus terbatas. b) Konsep-konsep merupakan batu-batu pembangunan berfikir. c) Konsep-konsep merupakan dasar proses mental yang lebih tinggi. d) Konsep-konsep diperlukan untuk memecahkan masalah. 3. Miskonsepsi a. Pengertian Setiap peserta didik mempunyai pemahaman atau pengetahuan awal yang menjadi bekal baginya untuk menghadapi proses pembelajaran selanjutnya, yang disebut sebagai prakonsepsi. Prakonsepsi ini dapat terbentuk dari pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan, maupun dari konsep yang telah didapatkan sebelumnya, mengingat ilmu kimia saling berkaitan satu sama lain. Mariawan dalam Sastradi (2013) juga menyampaikan bahwa sebelum siswa mempelajari suatu konsep, siswa sudah memiliki konsepsi terhadap konsep yang akan dipelajari. Konsepsi tersebut terus berkembang dari pengalaman belajar mereka sehari-hari dalam memahami gejala atau fenomena alam, maupun dari pengalaman belajar mereka pada jenjang pendidikan sebelumnya. Menurut Duit dalam Sastradi (2013), konsepsi adalah representasi mental mengenai ciri-ciri dunia luar atau domain-domain teoritik. Konsepsi merupakan perwujudan dari interpretasi seseorang terhadap suatu obyek yang diamatinya yang sering bahkan selalu muncul sebelum pembelajaran, sehingga sering diistilahkan konsepsi prapembelajaran. Konsepsi pra pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu prakonsepsi
(preconception)
dan
miskonsepsi
(misconception).
Prakonsepsi adalah konsepsi yang berdasarkan pengalaman formal dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan miskonsepsi adalah salah pemahaman yang disebabkan oleh pembelajaran sebelumnya dan kesalahan yang
18 berkaitan dengan prakonsepsi pada umumnya. Prakonsepsi ini bersumber dari pikiran siswa sendiri atas pemahamannya yang masih terbatas pada alam sekitarnya atau sumber-sumber lain yang dianggapnya lebih tahu akan tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya (Sastradi, 2013). Menurut
Suparno
dalam
Salirawati
dan
Wiyarsi
(2012),
miskonsepsi menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Sebagai contoh, peserta didik berpendapat bahwa ketika suatu reaksi mencapai kesetimbangan, konsentrasi zat dalam reaksi akan tetap dan reaksi terhenti. Pemahaman konsep tersebut salah, karena konsentrasi zat dalam reaksi kesetimbangan selalu berubah-ubah, hanya perubahan ini dalam skala yang sangat kecil (mikroskopis), tetapi dalam skala makroskopis atau dalam perhitungan, konsentrasi zat yang dapat diamati dianggap tetap dan reaksi dianggap terhenti. Menurut Brow dalam Shen (2013), mendefinisikan:”miskonsepsi sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima”. Sedangkan Fowler dalam Shen (2013), memandang miskonsepsi “sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkhis konsepkonsep yang tidak benar”. Contoh penerapan konsep tentang air mengalir sebagian pengajar di SD yang memberikan konsep bahwa air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Padahal pada air mancur, air mengalir dari bawah ke atas. Pengajar perlu menyampaikan konsep tentang aliran air bahwa air dipengaruhi tekanan, agar konsep dari SD tidak terbawa sampai jenjang pendidikan berikutnya (Shen, 2013). Menis & Frase dalam Suwarto (2013) menyatakan miskonsepsi siswa dapat diartikan sebagai refleksi pemikiran siswa atau kegagalan dalam menerapkan kurikulum. Sedangkan menurut Modell, Michael, dan Wenderoth menyatakan bahwa miskonsepsi merupakan pemahaman suatu
19 konsep atau prinsip yang tidak konsisten dengan penafsiran atau pandangan yang berlaku umum tentang konsep tersebut (Suwarto, 2013). Sedangkan menurut Barke dalam Krisnawati, dkk. (2013), miskonsepsi adalah gagasan yang tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan pandangan masyarakat ilmiah. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah pemahaman yang tidak sesuai dengan konsep yang dimiliki oleh para ahli di bidang itu. Jadi, miskonsepsi ini bisa terjadi pada siapapun, termasuk guru atau tenaga pendidik lainnya. b. Penyebab Miskonsepsi Menurut Gabel dalam Suwarto (2013), miskonsepsi yang dimiliki siswa dapat disebabkan oleh (1) hasil pengamatan terhadap penomena alam di sekitar siswa, kadang-kadang perasaan dapat menipu mereka dalam memahami fenomena tersebut, dan (2) konsep yang diajarkan tidak terjangkau oleh perkembangan mental siswa. Artinya, informasi yang berasal dari luar dan dalam kelas berpotensi sebagai sumber miskonsepsi, jika informasi yang dicandra siswa tidak menjadikan gambaran mental siswa menjadi benar. Suparno dalam Sastradi (2013) menjelaskan, ada lima faktor yang merupakan penyebab miskonsepsi pada siswa, yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar. 1) Siswa Menurut Eis, Edy, dan Syukran (2012), miskonsepsi yang berasal dari siswa dapat dikelompokkan dalam 8 kategori, sebagai berikut: a) Prakonsepsi atau konsep awal siswa. Banyak siswa sudah mempunyai konsep awal sebelum mereka mengikuti pelajaran di sekolah. Prakonsepsi sering bersifat miskonsepsi karena penalaran seseorang terhadap suatu fenomena berbeda-beda. b) Pemikiran asosiatif yaitu jenis pemikiran yang mengasosiasikan atau menganggap suatu konsep selalu sama dengan konsep yang lain.
20 Asosiasi siswa terhadap istilah yang ditemukan dalam pembelajaran dan kehidupan sehari-hari sering menimbulkan salah penafsiran. c) Pemikiran humanistik yaitu memandang semua benda dari pandangan manusiawi. Tingkah laku benda dipahami sebagai tingkah laku makhluk hidup, sehingga tidak cocok. d) Reasoning atau penalaran yang tidak lengkap atau salah. Alasan yang tidak lengkap diperoleh dari informasi yang tidak lengkap pula. Akibatnya siswa akan menarik kesimpulan yang salah dan menimbulkan miskonsepsi. e) Intuisi yang salah, yaitu suatu perasaan dalam diri seseorang yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu tanpa penelitian secara obyektif dan rasional. Pola pikir intuitif sering dikenal dengan pola pikir yang spontan. f) Tahap perkembangan kognitif siswa. Secara umum, siswa yang dalam proses perkembangan kognitif akan sulit memahami konsep yang abstrak. Dalam hal ini, siswa baru belajar pada hal-hal yang konkrit yang dapat dilihat dengan indera. g) Kemampuan siswa. Siswa yang kurang mampu dalam mempelajari kimia akan menemukan kesulitan dalam memahami konsep-konsep yang diajarkan. Secara umum, siswa yang tingkat matematikalogisnya rendah akan mengalami kesulitan memahami konsep kimia, terlebih konsep yang abstrak. h) Minat belajar. Siswa yang memiliki minat belajar yang besar akan sedikit mengalami miskonsepsi dibandingkan siswa yang tidak berminat. Selain
itu,
juga
disebutkan
bahwa
menurut
kelompok
konstruktivisme, paling tidak ada empat hal yang dapat menimbulkan miskonsepsi yang berasal dari siswa, yaitu pengalaman, hasil pengamatan, Sementara,
kemampuan menurut
berfikir,
teori
dan
kemampuan
perkembangan
berbahasa.
intelektual
Piaget,
miskonsepsi akan terjadi jika struktur mental yang ada tidak cukup
21 akurat untuk mengakomodasi pengetahuan yang baru. Struktur mental merupakan cara berfikir menghadapi dunia. Sesaat setelah terbentuk, struktur mental ini akan dipakai berulang-ulang dari waktu ke waktu dalam menghadapi pengetahuan yang baru. Kemungkinan juga akan dihasilkan struktur mental yang baru, maka siswa akan membuat hubungan antara masing-masing struktur mental satu dengan struktur mental yang lain. 2) Guru Guru yang tidak menguasai bahan atau tidak memahami konsep dengan benar juga merupakan salah satu penyebab miskonsepsi siswa. Guru terkadang menyampaikan konsep yang kompleks secara sederhana dengan tujuan untuk mempermudah pemahaman siswa. Misalnya
dalam
mengutamakan
pembelajaran
penyampaian
fisika,
rumusan
kadang-kadang matematis
guru
sedangkan
penyampaian konsep fisisnya dikesampingkan. Pola pengajaran guru masih terpaku pada papan tulis, jarang melakukan eksperimen dan penyampaian masalah yang menantang proses berpikir siswa. Miskonsepsi siswa akan semakin kuat apabila guru bersikap otoriter dan
menerapkan
metode
ceramah
dalam
mengajar.
Hal
ini
mengakibatkan interaksi yang terjadi hanya satu arah, sehingga semakin besar peluang miskonsepsi guru ditransfer langsung pada siswa. 3) Buku Teks Buku teks yang dapat mengakibatkan munculnya miskonsepsi siswa adalah buku teks yang bahasanya sulit dimengerti dan penjelasannya tidak benar. Buku teks yang terlalu sulit bagi level siswa yang sedang belajar dapat menumbuhkan miskonsepsi karena mereka sulit menangkap isinya. Kesalahan yang kiranya perlu mendapat perhatian dan penekanan dalam buku diktat adalah soal, gambar, grafik, skema, tabel, penulisan rumus dan konstanta. 4) Konteks
22 Konteks yang dimaksud di sini adalah pengalaman, bahasa seharihari, teman, serta keyakinan dan ajaran agama. Bahasa sebagai sumber prakonsepsi pertama sangat potensial mempengaruhi miskonsepsi, karena bahasa mengandung banyak penafsiran. Menurut Irawan (2012), diskusi kelompok yang tidak efektif, misalnya kelompok didominasi oleh beberapa orang dan diantara mereka ada yang mengalami miskonsepsi, maka dia akan mempengaruhi teman-temannya yang lain. 5) Metode Mengajar Metode mengajar guru yang tidak sesuai dengan konsep yang dipelajari akan dapat menimbulkan miskonsepsi. Guru yang hanya menggunakan satu metode pembelajaran untuk semua konsep akan memperbesar peluang siswa mengalami miskonsepsi. Cara mengajar yang dapat menjadi penyebab khusus miskonsepsi diantaranya yaitu hanya menggunakan metode ceramah dan menulis, langsung ke bentuk matematis, tidak mengungkapkan miskonsepsi siswa, tugas tidak dikoreksi, model analogi, model praktikum dan diskusi yang tidak sesuai langkah-langkah yang ditentukan. Metode mengajar yang hanya menekankan salah satu segi dari kebenaran yang diajarkan dan kefanatikan terhadap salah satu jenis metode mengajar perlu dihindari karena akan membatasi cara pandang kita terhadap masalah pengetahuan. Selain itu metode mengajar yang tidak tepat terhadap situasi, kondisi materi yang diajarkan dapat memunculkan miskonsepsi pada diri siswa, sehingga guru harus memilih dan menggunakan metode mengajar yang tepat agar penyampaian konsep dapat dipahami siswa. Metode ceramah yang tidak memberikan kesempatan siswa untuk bertanya dan juga untuk mengungkapkan gagasannya sering kali meneruskan dan memupuk miskonsepsi. Penggunaan analogi yang tidak tepat juga merupakan salah satu penyebab timbulnya miskonsepsi. Metode praktikum yang sangat membantu dalam proses pemahaman, juga dapat menimbulkan miskonsepsi karena siswa hanya dapat
23 menangkap konsep dari data-data yang diperoleh selama praktikum. Metode diskusi juga dapat berperan dalam menciptakan miskonsepsi. Bila dalam diskusi semua siswa mengalami miskonsepsi, maka miskonsepsi mereka semakin diperkuat. Menurut Salirawati dan Wiyarsi (2012), ketika peserta didik mengikuti proses pembelajaran dan menerima konsep baru, ia akan berusaha menyelaraskan konsep baru tersebut dengan konsep yang telah dimilikinya. Dalam proses penyelarasan ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu kemungkinan Pertama, guru menyampaikan konsep tetapi konsep tersebut salah dan peserta didik mengontruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya sudah benar. Kedua, guru menyampaikan
konsep
dengan
benar
dan
peserta
didik
tidak
mengonstruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya salah. Ketiga, guru menyampaikan konsep dengan benar dan peserta didik mengonstruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya salah. Jika kemungkinan pertama dan kedua yang terjadi, maka dalam diri peserta didik sebenarnya telah terjadi miskonsepsi yang disebabkan oleh sekolah (school made misconception) dan dibuat peserta didik itu sendiri. Jika hal ini tidak terdeteksi secara dini oleh guru, maka miskonsepsi akan berlarutlarut dan berakibat fatal pada pemahaman konsep kimia yang salah secara keseluruhan. Jika kemungkinan ketiga yang terjadi, berarti aliran konstruktivistik telah terbentuk dalam diri peserta didik tersebut, dan inilah yang diharapkan dalam proses pembelajaran. Menurut Ozmen dan Greenbowe dalam Eis, Edy, dan Syukran (2012), hal-hal lain yang dapat menyebabkan timbulnya miskonsepsi adalah:
a)
pemisahan
ilmu
fisik
dalam
mental
mereka
(compartmentalization), kimia dan fisika dianggap sebagai ilmu yang terpisah yang tidak saling terkait sehingga mereka menggunakan istilah yang berbeda untuk menjelaskan fenomena yang sama, b) tidak tersedianya pengetahuan yang tepat, c) penggunaan bahasa sehari-hari
24 yang salah dalam kimia, d) penggunaan definisi dan model ganda, dan e) penggunaan hafalan. Kemudian berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muchtar dan Harizal (2012) menunjukkan bahwa sebagian besar miskonsepsi disebabkan karena pengetahuan siswa yang terpisah (tidak mengaitkan konsep yang satu dengan yang lain) dan kesulitan siswa dalam memahami simbol-simbol dalam kimia maupun rumus matematis. c. Cara Mendeteksi Miskonsepsi Menurut
Katu
dalam
Sastradi
(2013),
untuk
mendeteksi
miskonsepsi dapat dilakukan sebagai berikut: 1) Memberi tes diagnostik pada awal perkuliahan atau pada setiap akhir pembahasan. Bentuknya dapat berupa tes objektif pilihan ganda atau bentuk lain seperti menggambarkan diagram fisis atau vektoris, grafik, atau penjelasan dengan kata-kata. Bentuk tes objektif pilihan ganda biasanya dilengkapi dengan alasan, baik itu alasan yang bersifat terbuka ataupun tertutup. Bentuk tes diagnostik miskonsepsi ini telah berhasil dikembangkan oleh Suandi Sidauruk, yaitu tes diagnostik miskonsepsi pada materi pokok stoikiometri. Tes diagnostik ini berupa soal pilihan ganda dengan empat pilihan jawaban yang dilengkapi dengan alasan tertutup. Derajat pemahaman siswa atau untuk membedakan siswa yang tidak paham konsep, paham konsep, dan siswa miskonsepsi dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1. Tingkat Pengetahuan dan Pasangan Jawaban – Alasan Tingkat Pengetahuan
Pasangan Jawaban – Alasan
Siswa tidak memahami
tidak memilih
Siswa miskonsepsi
salah – salah salah - benar benar – salah
Siswa memahami
benar – benar (Sumber: Sidauruk, 2005)
Contoh: Pada 1 senyawa magnesium klorida terdapat atom sebanyak....
25 a) 1 b) 2 c) 3 d) L (bilangan Avogadro) Alasan: a) Setiap 1 mol senyawa magnesium klorida setara dengan 1 mol atom b) Senyawa magnesium klorida disusun oleh 2 jenis atom yang berbeda c) Senyawa magnesium klorida disusun oleh 2 atom magnesium dan 1 atom klorida d) Senyawa magnesium klorida disusun oleh 1 atom magnesium dan 2 atom klorida Jawaban yang tepat dari soal tersebut adalah 3, dengan alasan karena senyawa magnesium klorida disusun oleh 1 atom magnesium dan 2 atom klorida. Berdasarkan pedoman pada Tabel 2.1. siswa dikatakan memahami konsep dengan baik apabila ia memilih jawaban C dan alasan D. Apabila siswa tidak memilih jawaban atau alasan, atau tidak memilih keduanya, maka dapat dikategorikan ke dalam siswa yang tidak memahami konsep, sedangkan siswa dikategorikan miskonsepsi, apabila siswa memilih jawaban yang salah, atau memilih alasan yang salah, maupun memilih jawaban dan alasan yang salah. Bentuk soal yang terdiri dari dua bagian, yaitu pilihan jawaban dan alasan ini disebut two-tier multiple-choice test. Bentuk tes ini mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya yaitu melalui tes ini kita dapat mengetahui 2 informasi sekaligus. Pada bagian pertama siswa ditanya mengenai kejadian dalam kimia, lalu bagian kedua menanyakan penjelasan dari siswa. Bentuk tes two-tier ini juga mudah digunakan oleh guru dan terbukti efektif digunakan untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa (Tüysüz, 2009). Penelitian serupa juga dilakukan oleh Pabuçcu dan Geban (2012) terhadap siswa di Turki,
26 dimana bentuk tes two-tier ini efektif digunakan untuk mengetahui miskonsepsi pada materi pokok ikatan kimia. 2) Dengan memberikan tugas-tugas terstruktur misalnya tugas mandiri atau kelompok sebagai tugas akhir pengajaran atau tugas pekerjaan rumah. 3) Dengan memberikan pertanyaan terbuka, pertanyaan terbalik (reverse question) atau pertanyaan yang kaya konteks (context-rich problem). 4) Dengan mengoreksi langkah-langkah yang digunakan siswa atau mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal esai. 5) Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka secara lisan kepada siswa atau mahasiswa. Misalnya dengan diskusi kelas ataupun mengajukan pertanyaan yang langsung ditujukan kepada siswa. 6) Dengan
mewawancarai
misalnya
dengan
menggunakan
kartu
pertanyaan. Misalnya memberikan kartu soal yang berisi soal tentang suatu reaksi, siswa diminta menentukan persamaan reaksinya. Setelah itu mewawancarai siswa mengenai alasan atau teori yang digunakan untuk menjawab soal tersebut. Menurut Peterson dan Treagust dalam Artdej, dkk. (2010), wawancara mampu memberikan data yang kaya, yang dibutuhkan oleh guru maupun peneliti. Hal ini karena dengan wawancara seorang peneliti dapat mengklarifikasi konsep secara langsung kepada siswa, siswa dapat menjelaskan, menggambarkan, maupun mendiskripsikan konsep selama wawancara berlangsung. Selain itu, menurut Salirawati dan Wiyarsi (2012), cara untuk menentukan, mengidentifikasi dan mendeteksi terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik, dapat melalui: (1) peta konsep (concept maps); (2) tes (pilihan ganda maupun esai); (3) wawancara diagnosis; (4) diskusi dalam kelas; dan (5) praktikum disertai tanya jawab. d. Reduksi Miskonsepsi Miskonsepsi merupakan sesuatu yang sulit untuk dihilangkan, namun upaya dan langkah untuk mereduksi atau mengurangi miskonsepsi
27 pada siswa harus tetap di tempuh. Pendapat Berg dalam Shen (2013): “cara yang tepat untuk mereduksi miskonsepsi jika telah terjadi adalah melakukan remediasi dengan memanfaatkan aliran konstruktivis”... Beberapa ciri dalam mengajar secara konstruktivis, yaitu : 1) Orientasi, siswa diberi kesempatan dalam mengembangkan motivasi dan observasi terhadap topik yang akan dipelajari. 2) Elicitasi, siswa dibantu untuk mengungkapkan ide dengan jelas dengan diskusi, menulis, membuat poster, dll. 3) Restrukturisasi, meliputi : a) klasifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain melalui diskusi; b) membangun ide baru, ini akan terjadi ketika ide siswa berbenturan dengan ide yang lain; c) mengevaluasi ide baru dengan eksperimen. 4) Penguatan ide dalam banyak situasi, untuk melengkapi pengetahuan siswa. 5) Review, bagaimana ide itu berubah, ide seseorang perlu diubah untuk menjadi lebih lengkap. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dahsah, dkk. (2008), ada beberapa aktivitas yang dapat diterapkan guru untuk mengurangi miskonsepsi diantaranya yaitu: 1) Menggali pengetahuan siswa melalui beberapa soal atau pertanyaan, permainan, maupun demonstrasi. 2) Saling bertukar fikiran dengan siswa melalui diskusi dengan siswa maupun diskusi kelas. 3) Membentuk pengetahuan siswa melalui kegiatan yang lebih bervariasi seperti eksperimen, demonstrasi, diskusi, permainan, peta konsep dan lain-lain. 4) Menghubungkan materi pelajaran dengan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dari guru juga merupakan strategi yang baik dalam membantu siswa membangun konsep dalam dirinya.
28 4. Materi Stoikiometri a. Massa Atom Penentuan
massa
isotop
atom
dilakukan
dengan
cara
membandingkan massa isotop atom yang yang akan ditentukan terhadap massa isotop atom unsur tertentu yang massanya telah ditetapkan (Sunarya, 2010). 1) Massa Atom Relatif Menurut konvensi IUPAC, massa atom suatu unsur ditentukan berdasarkan massa isotop dan kelimpahan dari masing-masing isotop yang terdapat di alam. Penentuan dengan cara ini dinamakan massa atom relatif, disingkat dengan Ar. Istilah relatif merujuk pada kelimpahan isotop di alam yang sifatnya relatif satu dan yang lainnya. Massa atom relatif (Ar) suatu unsur didefinisikan sebagai jumlah total massa isotop dikalikan dengan kelimpahannya di alam. Massa atom relatif unsur dapat dihitung dengan rumusan: Ar = m1Z1 + m2Z2 + ... + mnZn Oleh karena massa atom relatif sudah mempertimbangkan jumlah isotop dan kelimpahannya, maka untuk perhitungan dan pengukuran massa unsur-unsur dalam suatu zat di laboratorium didasarkan pada massa atom relatif ini. Dengan kata lain, tidak didasarkan pada massa salah satu isotop (Sunarya, 2010). 2) Massa Molekul Relatif dan Massa Rumus Relatif Massa molekul relatif (Mr) suatu senyawa adalah jumlah total dari massa atom relatif unsur-unsur penyusunnya. Misalnya, massa molekul relatif sukrosa yang memiliki rumus kimia C12H22O11 dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: Molekul sukrosa terdiri dari 12 atom C, 22 atom H, dan 11 atom O, karena itu massa molekul relatif sukrosa adalah: Mr C12H22O11
= (12 x Ar C) + (22 x Ar H) + (11 x Ar O) = [(12 x 12,01) + (22 x 1,01) + (11 x 16,00)] = 342,340
29 Tidak semua senyawa berbentuk molekul, tetapi ada juga senyawa yang tersusun dari ion-ion, misalnya NaCl. Senyawa NaCl tesusun dari ion Na+ dan ion Cl-. Oleh karena itu, massa senyawa NaCl dinyatakan dengan massa rumus relatif, sebagai pengganti istilah massa molekul relatif. Perhitungan massa rumus relatif sama seperti pada penentuan massa molekul relatif senyawa (Sunarya, 2010). b. Konsep Mol Pada sistem SI, mol (mole) adalah banyaknya suatu zat yang mengandung entitas dasar (atom, molekul, atau partikel lain) sebanyak jumlah atom yang terdapat dalam tepat 12 g (atau 0,012 kg) isotop karbon12. Jumlah atom sebenarnya di dalam 12 g karbon-12 ditentukan melalui percobaan. Jumlah ini disebut bilangan Avogadro (Avogadro’s number) (NA), untuk menghormati ilmuwan Italia, Amedeo Avogadro. Nilai yang diterima saat ini adalah: NA = 6,0221367 x 1023 (Chang, 2004). Satu mol setiap zat mengandung 6,022 x 1023 partikel penyusun zat itu, baik atom, molekul, maupun ion. Misalnya, dalam 1 mol besi terdapat 6,022 x 1023 atom besi; dalam 1 mol air terdapat 6,022 x 1023 molekul air; dalam 1 mol ion x terdapat 6,022 x 1023 spesi ion x (Sunarya, 2010). Terdapat hubungan yang teratur antara massa zat, massa atom relatif atau massa molekul relatif dengan jumlah partikel zat itu. -Massa satu mol setiap zat sama dengan massa zat yang jumlahnya sebanyak bilangan Ar (untuk atom) atau Mr (untuk molekul) zat. -Nilai Ar atau Mr suatu zat menunjukkan massa zat yang mengandung jumlah partikel sebanyak 6,022 x 1023 atau sebesar satu mol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, massa (gram) suatu zat yang besarnya sama dengan massa atom relatif untuk zat berupa atom, atau sebesar massa molekul relatif untuk zat berupa molekul atau senyawa ion adalah besarnya massa (gram) untuk satu mol zat. Massa satu mol zat dinamakan massa molar, disingkat Mm (Sunarya, 2010).
30 c. Hukum-hukum Tentang Gas 1) Hukum Boyle Pada abad ke-17, Robert Boyle, seorang filsuf alami dan teologiwan Inggris, mengkaji sifat gas dalam wadah. Ia mengamati bahwa gas cenderung kembali ke volume asalnya setelah dimampatkan atau dimuaikan, yang selanjutnya ia menemukan bahwa hasil kali tekanan dan volume adalah konstan pada suhu tertentu untuk suatu sampel gas. Hukum Boyle ini menyatakan bahwa apabila temperatur dibuat tetap atau konstan, volume suatu gas dengan massa tertentu berbanding terbalik dengan tekanannya. Secara matematis dapat dituliskan: ∝
V
1 P
Atau dapat dikatakan bahwa perkalian tekanan dan volume adalah konstan, PV = konstan. Apabila dinyatakan secara matematis dengan cara lain diperoleh: V
P1V1 = P2V2 atau V1 = 2
P2 P1
, dimana V1 dan P1 masing-masing adalah
volume dan tekanan awal, sedangkan V2 dan P2 adalah volume dan tekanan pada kondisi baru atau telah diubah (Keenan, et al., 1984). 2) Hukum Charles Volume gas dapat berubah bukan saja akibat perubahan tekanan, melainkan juga dapat diakibatkan oleh perubahan suhu. Volume gas berbanding lurus dengan suhu mutlak gas bersangkutan, dapat 𝑉
dituliskan dengan persamaan: V ∞ T (P tetap) atau 𝑇 = tetapan Persamaan di atas dikenal dengan hukum Charles, yang menyatakan bahwa: “Pada tekanan tetap, volume sejumlah gas dengan massa tertentu berbanding lurus dengan suhu mutlaknya”. Jika suhu dihubungkan dengan tekanan pada volume tetap dikenal dengan hukum Gay Lussac dan Amontons. Hubungan ini diungkapkan oleh persamaan berikut: P ∞ T atau adalah:
𝑃 𝑇
= tetapan. Pernyataan yang setara
31 P1 T1
=
P2 T2
atau
P1 P2
=
T1
(Keenan, et al., 1984).
T2
3) Hukum Gas Ideal Seperti dinyatakan sebelumnya, terdapat empat variabel yang mempengaruhi sejumlah tertentu gas, yaitu m, V, T, dan P. Banyaknya gas yang ada dapat juga dinyatakan dalam banyaknya mol atau n, sebagai ganti massa (m). Volume suatu gas berbanding langsung dengan banyaknya mol yang ada, n, dan pada temperatur mutlak T, dan berbanding terbalik dengan tekanan, P. Gabungan dalam satu pernyataan dari hukum Boyle, Charles, Gay Lussac dan Amonton, serta Avogadro ini disebut hukum gas ideal. Secara matematis: 1
1
V ∝ n T P atau V = R.n.T. P, atau lazim ditulis PV = nRT Persamaan di atas disebut persamaan hukum gas ideal, dimana dalam persamaan ini, tetapan kesebandingan yang diberi lambang R disebut tetapan gas ideal. Dalam kasus khusus mengenai satu contoh gas pada dua kondisi (tekanan, temperatur, dan volume), dengan n konstan, dapat dituliskan: PV T
= 𝑛R = suatu tetapan, atau
P1 V1 T1
=
P2 V2 T2
(Oxtoby, et al., 2001) 4) Hukum Avogadro Teori Avogadro menyatakan setiap gas yang memiliki volume sama pada suhu dan tekanan sama mengandung jumlah molekul yang sama. Atau dengan kata lain, pada suhu dan tekanan konstan, hukum Avogadro dinyatakan secara matematis: V ∝ n. Atau V/n = suatu tetapan. Menurut hukum Avogadro, gas-gas tersebut harus mengisi volume yang sama pada suhu dan tekanan tertentu. Volume satu mol gas ini dikenal dengan volume molar gas. Pada keadaan standar (0oC dan 1 atm), volume satu mol gas ditemukan sebesar 22,4 liter. Volume 1 mol gas pada tekanan dan temperatur standar ini disebut volume Avogadro atau volume gas molar (Keenan, et al., 1984).
32 5) Hukum Dalton (Tekanan Parsial Gas) Untuk gas multi komponen, yaitu campuran yang terdiri dari dua atau lebih gas, hukum gas ideal masih dapat digunakan, dengan catatan harus memperhitungkan komposisi campurannya. Andaikan terdapat campuran gas ideal yang menempati sejumlah volume V pada suhu T, dan jika tiap komponen dari campuran gas diberi tanda dengan i = 1, 2, 3, ..., dst, maka persamaan gas ideal ditulis sebagai berikut: P 1 = n1
𝑅𝑇 𝑉
,
P2 = n2
𝑅𝑇 𝑉
; .....;
Pi= ni
𝑅𝑇 𝑉
Pi disebut tekanan parsial untuk komponen ke-i, yaitu tekanan yang dihasilkan jika masing-masing komponen menempati volume total. Jadi hukum Dalton membahs tentang tekanan parsial, bunyinya: tekanan total dalam suatu wadah sama dengan jumlah tekanan dari masing-masing komponen gas. Komposisi campuran gas, selain diungkapkan dalam bentuk tekanan parsial gas, juga dapat diungkapkan dalam bentuk fraksi mol komponen gas. Fraksi mol
komponen gas adalah fraksi mol dari
komponen gas dalam satuan mol total campuran gas. Karena tekanan gas sebanding dengan mol, untuk volume dan suhu yang dibuat tetap, maka fraksi mol juga sama dengan tekanan parsial dibagi oleh tekanan total. Fraksi mol zat X =
𝑛𝑥 𝑛
=
𝑃𝑥 𝑃
(Sunarya, 2010).
d. Interkonversi Mol – Gram – Volume Jumlah mol suatu zat A dari massa zat A dapat ditentukan dengan menggunakan massa molar: 1 mol A
Mol zat A = massa A x massa molar A 1 mol A
Massa zat A = mol A x massa molar A Sementara itu, kerapatan atau massa jenis didefinisikan sebagai massa per volume. Persamaan tersebut dapat disusun ulang guna mencari massa suatu zat dari kerapatan dan volume yang diketahui; atau mencari volume yang massa dan kerapatannya diketahui.
33 massa
Massa = kerapatan x volume atau volume = kerapatan (Sunarya, 2010). e. Perhitungan Kimia Masalah stoikiometri dalam reaksi kimia, apapun jenis informasi yang diketahui dan jenis informasi yang ditanyakan, dapat diselesaikan dengan menggunakan empat langkah sebagai berikut: 1) Menuliskan persamaan kimia setara 2) Mengubah besaran yang diketahui ke satuan mol 3) Menggunakan nisbah stoikiometri (NS) dari persamaan kimia setara untuk menentukan besaran yang tidak diketahui dalam satuan mol 4) mengubah satuan mol menjadi besaran yang ditanyakan, misalnya dalam satuan gram atau jumlah partikel. Contoh: Jika dalam gelas kimia terdapat 35,00 mL larutan 0,175 M H2SO4, banyaknya volume NaOH 0,25 M yang harus ditambahkan agar reaksinya sempurna dengan H2SO4 dapat dihitung dengan cara sebagai berikut: Tahap 1: Menuliskan persamaan kimia setara H2SO4 (aq)
+
2NaOH(aq)
2H2O(l)
+ Na2SO4(aq)
Tahap 2: Mengubah besaran yang diketahui ke dalam satuan mol 0,175 mol 1,00 L larutan
x 35,00 x 10−3 L H2 SO4 = 6,125 x 10-3 mol H2SO4
Tahap 3: Menentukan nisbah stoikiometri untuk menentukan jumlah mol yang dicari dengan menggunakan koefisien reaksi pada persamaan kimia setara 2 mol NaOH 1 mol H2 SO4
x 6,125 x 10−3 mol H2 SO4 = 12,25 x 10-3 mol NaOH
Tahap 4: Mengubah jumlah mol ke dalam satuan yang ditanyakan dengan menggunakan kemolaran NaOH 1,00 L
Volume NaOH = 0,25 mol x 12,25 x 10−3 mol NaOH = 0,049 L (Sunarya, 2010).
34 f. Perhitungan Kimia dalam Persamaan Reaksi Dalam persamaan reaksi kimia, kita mengenal istilah reaktan, produk, pereaksi pembatas, dan hasil reaksi. Reaktan yaitu material awal dalam reaksi kimia. Sedangkan produk merupakan substansi yang terbentuk sebagai hasil dari suatu reaksi kimia. Pereaksi pembatas merupakan reaktan yang pertama kali habis digunakan pada reaksi kimia. Pereaksi berlebih yaitu pereaksi yang terdapat dalam jumlah lebih besar daripada yang diperlukan untuk bereaksi dengan sejumlah tertentu pereaksi pembatas. Contoh soal: Urea [(NH2)2CO] dibuat dengan mereaksikan amonia dan karbon dioksida menurut reaksi sebagai berikut: 2NH3(g) + CO2(g) (NH2)2CO(aq) + H2O(l) Jika 637,2 g NH3 bereaksi dengan 1142 g CO2, kita dapat menentukan reaktan yang merupakan pereaksi pembatas, yaitu dengan cara pertamatama mengubah massanya menjadi jumlah mol. Massa molar NH3 dan CO2 berturut-turut adalah 17,03 g dan 44,01 g. Jadi, 1 mol NH
Mol NH3
= 637,2 g NH3 x 17,03 g NH3 = 37,42 mol
Mol CO2
= 1142 g CO2 x 44,01 g CO2 = 25,95 mol
3
1 mol CO
2
Selanjutnya, kita hitung jumlah mol (NH2)2CO yang terbentuk dari jumlah NH3 dan CO2 yang diketahui. Dari persamaan yang setara, kita lihat bahwa 2 mol NH3≈ 1 mol (NH2)2CO dan 1 mol CO2 ≈1 mol (NH2)2CO. Dimulai dengan 37,42 mol NH3 kita dapatkan 37,42 mol NH3 x
1 mol (NH2 )2 CO 2 mol NH3
= 18,71 mol (NH2)2CO
dan dari 25,95 mol CO2 25,95 mol CO2 x
1 mol (NH2 )2 CO 1 mol CO2
= 25,95 mol (NH2)2CO
Karena itu, NH3 adalah pereaksi pembatas karena menghasilkan jumlah (NH2)2CO yang lebih sedikit. Selain itu, kita juga dapat menghitung massa (NH2)2CO yang terbentuk, dengan cara sebagai berikut:
35 Jumlah (NH2)2CO yang dihasilkan ditentukan oleh jumlah pereaksi pembatas yang ada. Jadi kita tuliskan: Massa (NH2)2CO = 37,42 mol NH3 x
1 mol (NH2 )2 CO 2 mol NH3
x
60,06 g (NH2 )2 CO 1 mol (NH2 )2 CO
= 1124 g (NH2)2CO Kita juga dapat menghitung banyaknya pereaksi berlebih (dalam gram) yang tersisa dengan cara: Jumlah mol pereaksi berlebih (CO2) yang tersisa: 1 mol CO
29,95 mol CO2 – (37,42 mol NH3 x 2 mol NH2 ) = 7,24 mol CO2 3
Dan, massa CO2 tersisa= 7,24 mol CO2 x
44,01 g CO2 1 mol CO2
) = 319 g CO2 (Chang, 2004).
B. Kerangka Berfikir Kurikulum 2013 mendorong siswa untuk belajar aktif, sehingga pembelajaran bersifat student centered, bukan teacher centered. Siswa didorong untuk membangun pemahamannya sendiri. Dengan demikian, pengetahuan maupun pengalaman peserta didik sangat dibutuhkan guna dapat membangun pemahaman tersebut. Peserta didik mempunyai pengetahuan awal yang digunakan sebagai bekal untuk menghadapi materi selanjutnya, yang disebut prakonsepsi. Pemahaman awal ini sangat diperlukan, apalagi dalam ilmu kimia karena konsepnya yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Prakonsepsi yang dikembangkan oleh peserta didik ini kadang-kadang berbeda dengan konsep yang sebenarnya menurut para ahli kimia. Selain itu, dalam memahami konsep baru yang disampaikan oleh guru, tidak semua siswa mempunyai pemahaman dan penafsiran yang sama. Ada siswa yang benar-benar memahami konsep yang disampaikan guru sesuai dengan konsep para ahli, ada juga kemungkinan siswa yang mengalami miskonsepsi, bahkan ada juga siswa yang tidak memahami konsep sama sekali. Konsep-konsep yang ada pada materi pokok stoikiometri saling berkaitan satu sama lain, misalnya konsep mol digunakan untuk menentukan pereaksi pembatas maupun perhitungan kimia dalam persamaan reaksi. Tidak
36 hanya itu, konsep yang ada di dalamnya juga sangat berkaitan erat dengan materi sebelumnya, seperti hukum-hukum dasar kimia maupun dalam tata nama senyawa. Stoikiometri dapat dikatakan sebagai dasar dari materi-materi kimia yang lain, seperti laju reaksi, kesetimbangan kimia, dan lain-lain. Misalnya, konsep mol dan persamaan reaksi kimia digunakan sebagai dasar dalam menentukan entalpi reaksi pada materi termokimia. Konsep mol dan perhitungan kimia atau stoikiometri reaksi juga sangat diperlukan pada materi pokok laju reaksi, penentuan harga tetapan kesetimbangan pada materi kesetimbangan kimia, penentuan pH suatu larutan, maupun dalam penentuan harga kelarutan dan tetapan hasil kali kelarutan pada materi kelarutan dan hasil kali kelarutan. Hukum-hukum tentang gas juga sangat diperlukan untuk memahami
pengaruh
pergeseran
kesetimbangan.
Dengan
demikian,
pemahaman konsep yang benar sangat dibutuhkan untuk memahami materi kimia yang lain. Adanya konsep-konsep baru yang disampaikan oleh guru dan prakonsepsi yang sudah dimiliki siswa, serta kemampuan setiap siswa yang berbeda-beda dalam menerima konsep dari guru, dapat menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi pada siswa. Apalagi dengan semakin berkembangnya teknologi, membuat sumber belajar semakin luas, seperti internet, blog, dan lain-lain. Materi pelajaran menjadi semakin mudah diperoleh siswa, sehingga siswa akan semakin berpeluang untuk menafsirkan apa yang diperolehnya tanpa bimbingan dari guru atau ahli kimia. Hal ini semakin mendukung terjadinya miskonsepsi pada siswa. Miskonsepsi yang terjadi pada siswa harus segera dideteksi dan diketahui agar tidak berlarut-larut, karena jika hal ini didiamkan maka miskonsepsi akan berlanjut bahkan pada materi kimia yang lain. Cara mendeteksi miskonsepsi ini diantaranya dengan tes diagnostik miskonsepsi dan wawancara. Berdasarkan tes diagnostik dan wawancara tersebut juga dapat diketahui sumber atau penyebab miskonsepsi siswa, sehingga dapat segera dicarikan solusinya.
37
Prakonsepsi Siswa
Konsep Stoikiometri
Tes Diagnostik Miskonsepsi
Respon Siswa
Memahami
Miskonsepsi
Konsep
Tidak Memahami
Wawancara
Penyebab
Solusi
Gambar 2.1. Bagan Kerangka Berfikir