5
TINJAUAN PUSTAKA Strategi Pengembangan Agroindustri Strategi menurut Simatupang (1997) adalah suatu pola atau perencanaan yang mampu mengintegrasikan sasaran, kebijakan, dan tindakan-tindakan organisasi secara komprehensif. Sedangkan pengembangan agroindustri adalah segala bentuk pengusahaan yang dilakukan ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.
Hasil kajiannya menyebutkan bahwa agroindustri terbukti telah
berhasil memberikan nilai tambah sekitar 20.7%, penyerapan tenaga kerja 30.8% dan penyerapan bahan baku 89.9% dari total industri yang ada, hal tersebut mengindikasikan perlunya perhatian pemerintah dalam menetapkan kebijakan ke arah pengembangan agroindustri menjadi sistem unggulan. Agroindustri sebagai sistem unggulan Pembangunan ekonomi Indonesia kini dan kedepan harus mengarah kepada era liberisasi perdagangan yang ditandai dengan adanya perubahan term of trade, sehingga perdagangan lambat laun semakin hilang subsidi, tarif, dan arus lalu lintas modal antar negara semakin meningkat, sehingga menimbulkan adanya Foreign direct invesment (Devaragan at.al. 1990). Berdasarkan kondisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kinerja industri di Indonesia akan mengalami hal-hal berupa : 1) Industri yang mendapat perlindungan dari pemerintah melalui subsidi atau tarif akan tertekan pada posisi yang tidak diuntungkan. 2) Industri yang padat modal dan tergolong industri berat yang selama ini memiliki tingkat keunggulan komparatifnya rendah akan dihadapkan pada tantangan produk-produk impor ataupun dari investasi asing langsung. 3) Industri yang monopoli akan dipaksa bersifat kompetitif. 4) Industri yang padat modal dan teknologi dihadapkan pada ketidak patuhan konsumen dalam mengkonsumsi, karena cepatnya arus informasi berlebihan yang hanya ditujukan untuk kelanggengan produk. 5) Sebaliknya industri yang intensif sumberdaya lokal, tampaknya berada dalam posisi yang aman dalam era liberisasi perdagangan.
6 Berdasarkan kondisi kinerja seperti tersebut di atas maka, kemajuan peningkatan industri Indonesia hanya dapat diatasi melalui dua cara yaitu; (1) efisiensi dalam proses produksi dan (2) memprioritaskan pada pengembangan agroindusri yang berbasis pada sumberdaya lokal, terintegrasi dan bersinergi. Apabila agroindustri dibangun berbasis sumberdaya lokal, maka dalam era globalisasi prospeknya sangat cerah, sehingga dimungkinkan akan menjadi sistem unggulan dengan alasan bahwa: 1) Kenyataan menunjukkan, di pasar Internasional hanya industri yang berbasiskan sumberdaya lokal yang mempunyai keunggulan komparatif dan mempunyai
kontribusi
terhadap
ekspor
terbesar,
dengan
demikian
pengembangan agroindustri di Indonesia akan menjamin perdagangan yang lebih kompetitif. 2) Kegiatan agroindustri mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang sangat besar (Backward dan forward linkages). Simatupang (1997) secara ekstrim menggambarkan keterkaitan berspektrum luas bahwa agroindustri sebetulnya tidak hanya dengan produk sebagai bahan baku, tapi juga dengan konsumsi, investasi dan fiskal. 3) Besarnya keterkaitan ke depan dan ke belakang bagi kegiatan agroindustri, sehingga apabila dihitung berdasarkan impact multiplier secara langsung dan tidak langsung terhadap perekonomian diprediksi akan sangat besar. Hal inilah yang menjadi pendekatan dalam memposisikan agroindustri berpeluang besar menjadi sistem unggulan (Simatupang 1997). 4) Produk agroindustri umumnya mempunyai elastisitas yang tinggi, sehingga makin tinggi pendapatan seseorang makin terbuka pasar bagi produk agroindustri (Sutawi 2002). 5) Kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input yang bersifat renewable, sehingga pengembangan agroindustri tidak hanya memberikan nilai tambah, tetapi juga dapat menghindari pengurangan sumberdaya sehingga lebih menjamin sustainability. 6) Teknologi agroindustri sangat fleksibel, sehingga dapat dikembangkan dalam padat modal dan padat karya, mulai dari manajemen sederhana sampai modern, dari skala kecil sampai besar, sehingga Indonesia yang penduduknya
7 padat berpeluang dilakukan pengembangan agroindustri dari berbagai segmen usaha. Sesuai
dengan
amanat
pembangunan
Nasional,
bahwa
landasan
pembangunan Nasional Indonesia adalah Trilogi (pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas)
dengan
penekanan
pada pemerataan.
Jika dikaitkan
dengan
pembangunan sektor industri, maka definisi trilogi dapat dioperasionalkan menjadi pertumbuhan dalam arti pertumbuhan produksi, pendapatan tenaga kerja, dan jenis industri. Pemerataan dalam arti pemerataan mendapatkan kesempatan berusaha, pendapatan, kesempatan kerja. Jenis industri meliputi stabilitas dalam arti strategi yang menyangkut produk, pendapatan, kesempatan kerja, dan kelestarian usaha. Agroindustri adalah perusahaan (enterprise) yang mengolah hasil tanaman dan hewan. Pengolahan mencakup transformasi dan pengawetan produk melalui perubahan fisik atau kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi (Austin 1992). Pengembangan agroindustri berkelanjutan adalah pengembangan agroindustri yang memperhatikan aspek manajemen dan konservasi sumber daya alam dengan menggunakan teknologi dan kelembagaan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, tidak menimbulkan degradasi atau kerusakan, secara ekonomi menguntungkan dan secara sosial dapat diterima oleh masyarakat (Soekartawi 2000). Beberapa ciri utama agroindustri berkelanjutan yaitu (1) produktivitas dan keuntungan dapat dipertahankan atau ditingkatkan dalam waktu yang relatif lama, sehingga dapat memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang dan masa mendatang, (2) sumber daya alam khususnya sumber daya pertanian terpelihara dengan baik karena salah satu aspek keberlanjutan agroindustri adalah tersedianya bahan baku, (3) tingginya kepedulian terhadap lingkungan yang dicirikan oleh rendahnya dampak lingkungan. Pengembangan agroindustri biodiesel Pardamean (2008) menyatakan, minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit dengan kandungan asam lemak yang bervariasi baik dalam panjang dan struktur rantai karbon. Panjang rantai karbon dalam minyak kelapa sawit berkisar pada atom karbon C12 – C20. Komposisi asam
8 lemak dalam minyak kelapa sawit menurut Hui (1996) sangat menentukan sifat fisik dan kimia minyak kelapa sawit. Pada Tabel 1. ditampilkan komposisi asam lemak minyak kelapa sawit, sementara sifat fisik dan kimia minyak kelapa sawit disajikan pada Tabel 2. Tabel 1 Komposisi asam lemak minyak kelapa sawit ASAK LEMAK Asam Kaprilat Asam Kaproat Asam Miristat Asam Palmitat Asam Laurat Asam Stearat Asam Palmitoleat Asam Oleat Asam Linoleat Sumber : Hui (1996)
JUMLAH (%) 0.9 – 1.5 41.8 – 46.8 0.1 – 1.0 4.2 – 5.1 0.1 – 0.3 37.3 – 40.8 9.1 – 11.0
Tabel 2 Sifat fisik kimia minyak kelapa sawit SIFAT Bilangan penyabunan (mg KOH/g oil) Bilangan iod (wij) Melting point (oC) Indeks refraksi (50o) Sumber : Hui (1996) Minyak
sawit
JUMLAH 190.1 – 201.7 50.6 – 55.1 31.1 – 37.6 1.45 – 1.45
mengandung
sejumlah
kecil
komponen
non – trigliserida. Karotenoid, tokopherol, tokotrienol, sterol, phospatida, triterpenic,
dan
alkohol
alipatik
merupakan
beberapa
komponen
non – trigliserida yang terkandung dalam minyak sawit dan selanjutnya disebut sebagai komponen minor. Jumlah komponen minor dalam minyak sawit kurang lebih sekitar 1%. Produksi minyak sawit Indonesia sejak tahun 2006 mengalami perubahan menjadi lebih baik dari Malaysia seperti terlihat pada Tabel 3. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia sangat berpotensi menghasilkan minyak sawit yang dapat menjadi berbagai macam komoditi selain bahan bakar biodiesel minyak sawit, sehingga hal ini merupakan kesempatan emas bagi sentra-sentra kelapa sawit untuk mandiri dalam energi. Indonesia selayaknya melihat potensi
9 pengembangan biodiesel sebagai suatu alternatif yang segera dapat dengan cepat diimplementasikan, dilihat dari berbagai pertimbangan diantaranya melimpahnya bahan baku pembuatan biodiesel berbasis CPO, serta kemudahan teknologi pembuatan biodiesel, dan tentunya aspek terpenting berupa independensi Indonesia terhadap energi. Tabel 3 Produksi minyak sawit Indonesia vs Malaysia Produksi (juta Ton)
Estimasi 2005
2006
2007
Indonesia
13.0
16.0
17.2
2008 18.8
2009 20.2
Malaysia
13.8
14.9
15.8
16.5
17.5
Sumber : Oil World (2007) Hambali et al. (2007) menyatakan bahwa tiga komponen minor pertama kelapa sawit memiliki peranan penting dalam mempertahankan stabilitas minyak. Di dalam minyak sawit kasar (CPO), karoten, tokoperol, dan tokotrienol merupakan agen antioksidan alami yang menjaga stabilitas minyak terhadap kerusakan akibat
oksidasi.
Minyak kelapa sawit
mengandung sekitar 500 – 700 ppm karoten, 600 – 1 000 ppm tokotrietanol dan tokoferol. Karoten dalam minyak sawit pada umumnya hadir dalam bentuk ά dan β – karoten. Kombinasi kandungan karoten, tokoperol, tokotrienol, dan 50% asam lemak tidak jenuh menyebabkan minyak sawit memiliki stabilitas oksidatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Disamping sebagai anatioksidan alami, karoten, tokoperol, dan tokotrienol minyak kelapa sawit memiliki peranan penting bagi kesehatan manusia. Kompon en ά
dan β – karoten memiliki peranan penting sebagai
sumber vitamin A sedangkan tokotrienol dan tokoperol memiliki peranan penting sebagai sumber vitamin E.
Selanjutnya dinyatakan bahwa kelapa
sawit merupakan sumber bahan baku penghasil minyak paling efisien dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Secara garis besar, buah kelapa sawit terdiri dari daging buah yang dapat diolah menjadi CPO, dan inti (kernel) yang dapat diolah menjadi PKO.
Hui (1996)
10 menyatakan bahwa minyak CPO dan PKO memiliki perbedaan baik dalam komposisi asam lemak yang terkandung seperti terlihat pada Tabel 4 maupun sifat fisik kimia yang disajikan pada Tabel 5. Komponen asam lemak terbesar penyusun PKO yaitu asam laurat. Karakteristik ini menjadikan PKO memiliki karakteristik yang mirip dengan minyak kelapa. Tabel 4 Komposisi asam lemak CPO, PKO, Fraksi CPO Olein, CPO Stearin dan PFAD
ASAM LEMAK
JUMLAH (%) CPO
PKO
RBD Olein
RBD Stearin
PFAD
0.2
47-53
0.1-0.5
0.1-0.6
0.1-0.3
Asam Miristat Asam Palmitat Asam Laurat
1.1
15-19
0.9-1.4
1.1-1.9
0.9-1.5
44.0
8-11
37.9-41.7
47,2-73,8
42.9-51.0
Asam Stearat
4.5
1-3
4.0-4.8
4.4-5.6
4.1-4.9
-
-
0.1-0.4
0.05-0.2
-
39.2
12-19
40.7-43.9
15.6-37.0
32.8-39.8
2-4
10.4-13.4
3.2-9.8
8.6-11.3
Asam Palmitoleat Asam Oleat
Asam 10.1 Linoleat Sumber : Hui (1996)
Tabel 5 Sifat fisik kimia CPO, PKO, RBD Olein, RBD Stearin dan PFAD JUMLAH CPO -
PKO -
RBD -
RBD Stearin -
PFAD 72.3-89.4
Bilangan Asam
-
225
-
-
-
Kandungan Air % wt Bilangan Penyabunan (mg KOH/g oil)
-
-
-
-
0.03-0.15
224-250
256
194-20
193-21
-
-
15
-
-
51.2-57.4
21-24
-
-
-
-
Indeks Refraksi (40 C)
36-37.5
-
1.45-1.45
-
-
Indeks Refraksi (60oC) Sumber : Hui (1996)
-
-
-
1.44-1.45
-
SIFAT Kadar asam lemak bebas
Bilangan Iod (wijs) Melting Point (oC) o
11 Secara umum proses pengelolaan minyak sawit dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% PFAD (Palm Fatty Acid Distillate) dan 0.5% bahan lainnya. Pada umumnya PFAD digunakan industri sebagai bahan baku sabun ataupun makanan ternak. PFAD memiliki kandungan FFA (free fatty acid) sekitar 81.l7%, gliserol 14.4%, squalane 0.8%, Vitamin E 0.5%, sterol 0.4% dan lain-lain 2.2% (Sastrosayono 2003). Oil word (2007) menyatakan bahwa saat ini pasokan bahan baku minyak sawit sudah cukup melimpah karena perkebunan kelapa sawit sudah lama diusahakan dalam skala besar dan berkembang dengan baik. Pengembangan tetap perlu dilakukan karena selama ini minyak sawit yang merupakan edible oil yaitu sebagai bahan baku industri pangan seperti minyak goreng dan non pangan seperti oleokimia, sehingga penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel akan mengganggu ketersediaan minyak sawit untuk pangan dan oleokimia masa yang akan datang.
Ketika kebutuhan
biodiesel semakin meningkat, maka kebutuhan bahan baku akan semakin meningkat. Sesuai
hukum
permintaan
dan
penawaran
ketika
permintaan
meningkat sedangkan suplai bahan baku tetap, maka harga akan meningkat. Produksi kelapa sawit (CPO dan PKO) dari tahun 2002 hingga tahun 2008 terus mengalami peningkatan (Direktorat Jenderal Perkebunan 2008) (Tabel 6 dan Tabel 7). Hambali et al. (2007) menyatakan bahwa produk dari tanaman sawit baik dari daun, tangkai bunga, bunga, buah, batang maupun akarnya, memiliki manfaat yang dapat digunakan untuk mendapatkan nilai tambah, seperti terlihat pada pohon industri (Gambar 1) Analisa pasar Produk utama dari tanaman kelapa sawit adalah minyak kelapa sawit (palm oil), minyak inti sawit (palm kernel oil) dan biomasa, namun sementara ini di Indonesia baru dua produk minyak yang banyak di eksploitasi sedangkan produk biomassa seperti kompos, serabut (fiber) belum banyak di manfaatkan (sedang dalam proses pengkajian) (Pardamean 2008). Selanjutnya dinyatakan bahwa tahun 1991-2000, total konsumsi 17 minyak nabati utama adalah minyak kedelai, minyak biji lobak, minyak bunga matahari, minyak biji kapas, minyak
12 kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, minyak kacang tanah, minyak jagung, minyak wijen, minyak zaitun, minyak ikan, minyak linseed, minyak castor, butter, tallow dan lard bertambah dengan laju 3,01% per tahun dan mencapai 110 juta ton pada tahun 2000. Tabel 6. Produksi CPO Indonesia menurut pengusahaan komoditas kelapa sawit Tahun 2002 – 2008
PRODUKSI CPO (Ton) Perkebunan Perkebunan Besar Perkebunan Besar Rakyat Negara Swasta 3 426 740 1 607 734 4 587 871 3 517 324 1 750 651 5 172 859 3 745 264 1 981 576 6 079 710 3 873 677 2 049 849 6 528 455 5 783 088 2 313 729 9 254 031 5 805 125 2 313 976 9 254 101 5 805 207 2 314 209 8 990 185 32.87% 15.03% 52.10% 10.37% 6.40% 12.76% Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2008)
Jumlah 9 622 345 10 440 834 11 806 550 12 451 981 17 350848 17 373 202 17 109 601 100.00% 10.83%
Tabel 7. Produksi PKO Indonesia menurut pengusahaan komoditas kelapa sawit Tahun 2002 – 2008 PRODUKSI PKO (Ton) Tahun Perkebunan Perkebunan Perkebunan Rakyat Besar Negara Besar Swasta 2002 621 346 313 390 896 333 2003 668 292 350 130 1 086 300 2004 730 960 355 895 1 180 416 2005 855 146 318 836 1 300 550 2006 974 821 425 882 1 391 356 2007 1 031 908 432 084 1 486 511 2008 1 115 419 453 338 1 581 666 Share 33.97% 14.92% 51.11% Growth 10.31% 7.15% 10.04% Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2008)
Jumlah 1 831 069 2 104 722 2 267 271 2 474 532 2 792 059 2 950 503 3 150 423 100 00% 9.52%
13 Produktivitas minyak sawit adalah sekitar 3.5 - 4 ton/ha/tahun sedangkan untuk minyak kedelai adalah 0,4 ton/ha/tahun dan minyak lobak 0.57 ton/ha/tahun. Dengan demikian lahan yang diperlukan untuk memenuhi peningkatan permintaan minyak dunia dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit akan lebih efektif dibandingkan dengan kedelai dan lobak (Prihandana et al. 2006). Minyak kelapa sawit dan minyak inti sawit dapat dikembangkan menjadi berbagai produk turunannya yang berupa produk pangan dan oleochemical,
untuk
produk
pangan
yang
pada
umumnya
sudah
dikembangkan di Indonesia adalah minyak goreng dan mentega sedangkan untuk oleochemical berupa fatty acid, fatty alcohol, stearin dan glycerin (Timnas BBN 2008). Perkembangan pasar minyak sawit untuk keperluan pangan dan non pangan (oleochemical) ditentukan oleh faktor yang berbeda. Perkembangan pasar untuk keperluan pangan sangat ditentukan oleh populasi dan pendapatan sedangkan perkembangan pasar oleochemical sangat ditentukan oleh perkembangan tuntutan dan kemauan
masyarakat.
Keadaan ini
menyebabkan permintaan minyak sawit untuk pasar olechemical datang dari negara maju sedangkan untuk permintaan keperluan pangan datang dari negara maju maupun negara sedang berkembang.
Jumlah produksi negara
penghasil CPO di dunia pada tahun 2008 sebesar 43 ribu ton. Indonesia tercatat sebagai produsen CPO nomor satu di dunia dengan produksi CPO mencapai 19 juta ton, mengalahkan produksi CPO Malaysia yang hanya sebesar 17.35 juta ton (Tabel 8). Hasil persentase produksi CPO Indonesia menurut Direktorat Jenderal Perkebunan (2008) mencapai 42.84% dari total produksi CPO dunia, kemudian diikuti oleh Malaysia sebesar 42.67% sisanya negara-negara lainnya (Gambar 2). Dengan demikian hampir 85.5% produksi CPO dunia dikuasai oleh Indonesia dan Malaysia.
14
POHON INDUSTRI KELAPA SAWIT
Tangkai Bunga
Daun
Bahan Kerajinan
Estragol
Gula Merah Anggur Sawit Vitamin B komplek Cuka Kelapa
Nutrien Organik Lipid Isoenzim
Buah
Bunga
Nira
Tokoferol
KELAPA SAWIT
Biji/Inti Kelapa Sawit (PK)
Daging Buah
Cangkang Sawit
Testa
Pangan
Bungkil Inti Sawit
Tepung Inti Sawit
Minyak Inti Sawit (PKO)
Minyak Sawit (CPO) Selulosa
Glukosa Kue-kue Inti Sawit
Minyak Kelapa Sawit Kasar (CPO)
Media Pertumbuhan Kapang Makanan ternak Bahan Vernis, Minyak Rengas Bahan Bakar
Arang
Karbon Aktif
Arang
Limbah cair
Limbah Padat
Pelet Karbon Selulosa
Pelet
Lignin
Bahan Bangunan
Silose
Alkohol
Silitol
Bungkil Makanan Ayam Makan Ternak Ruminansia
Media Pengembangbiaka n Cacing Media Pertumbuhan kapang
Tambang/ Tali
Pasta Pati
Gasbio
Metan
Metan
Akar
Pulp
AsetonButanolEtanol
Absorber Polipot TKS (Pot Tanaman) Biogas
Bahan Kerajinan Kayu Kelapa Sawit
Enzim Ekstra Sekunder
Media Pertumbuhan
Pulp Poliblen Karbon Aktif Lignin
Digliserida
Lignin
Surfaktan
Abu Janjang
Campuran Pupuk
Briket Arang Asam Organik
Silitol Silose
Es krim
Non Pangan
Tepung Tempurung
Mono Gliserida
Ransum Ternak
Asam Amino
Tandan Kosong
Daging Buah
Pakan Domba
Pulp
Lumpur Kelapa Sawit
Batang
Asam Lemak
Minyak Goreng
Karoten
Trigliserida, Digliserida, Monogliserida
Surfaktan
Protein Sel Tunggal
Vitamin A
Stearin
Lipase
Olein
Soap stock
Sabun Fatty alkohol
Metalic soap
Polyethoxylated Derivates
Fatty amines
Ester Dibasic Acid
Fatty Acide Amides
Fatty Alkohol
Margarine Cocoa Butter Substitute
Gambar 1 Pohon industri kelapa sawit (Sumber : Hambali at al. 2000)
Margarine
Shortening
Vegetables Ghee
Minyak Salad
15 Tabel 8 Jumlah produksi negara produsen CPO dunia Tahun 2004-2008 ( x1000 ton) Tahun 2004 2005 2006 Indonesia 12.350 13.80 16.05 Malaysia 13.97 14.96 15.88 Thailand 668 685 860 Nigeria 790 800 815 Kolombia 632 655 713 Lainnya 2.48 2.61 2.80 Jumlah 30.89 33.51 37.12 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2008) Negara
Nigeria, 2.24%
Colombia, 1.95%
Lainnya, 7.91%
2007 17.10 15.82 1.02 830 738 2.99 38.51
2008 19.00 17.35 1.12 850 832 3.55 42.71
Indonesia, 42.84%
Thailand, 2.38%
Malaysia, 42.67%
Gambar 2 Presentase produksi negara produsen CPO dunia (Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 2008) Total volume ekspor negara produsen CPO dunia diperkirakan mencapai 33.27 juta ton. Pada Tabel 9 disajikan jumlah ekspor negara produsen CPO dunia terhadap jumlah volume ekspor CPO dunia, Indonesia dan Malaysia merupakan kontributor eksportir CPO terbanyak yaitu sebesar 42.0 % dan 49.4 % (Gambar 3). Tabel 9. Volume ekspor negara produsen CPO dunia Tahun 2004-2008 (x 1000 ton) Tahun 2004 2005 2006 Indonesia 9 000 10 300 12 540 Malaysia 12 580 13 440 14 423 Kolombia 214 225 214 PNG 339 320 Lainnya 1 307 1 945 273 Jumlah 23 440 26 230 27 450 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2008) Negara
2007 12 650 13 747 316 368 2 798 29 879
2008 14 430 15 100 305 396 3 043 33 274
16
PNG; 1,27% Colombia; 0,91%
Lainnya; 6,68%
Indonesia; 42,00%
Malaysia; 49,40%
Gambar 3 Persentase volume ekspor negara produsen CPO dunia (Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan 2008) Pada tahun 2008 volume impor negera-negara mencapai 33.17 juta ton.
konsumen CPO dunia
Konsumen terbesar CPO Indonesia adalah China
(17.77%), negara-negara Eropa (15.95%) dan India (13.34%). China mengimpor tidak kurang dari 6.06 juta ton CPO, kemudian negara-negara Eropa mengimpor sebanyak 5.16 juta ton dan India mengimpor sebanyak 4.90 juta ton. Oleh negaranegara tersebut CPO digunakan selain untuk bahan pangan juga digunakan sebagai bahan baku oleokimia. Volume impor negara konsumen CPO dunia dapat dilihat pada Tabel 10. sedangkan persentase volume impornya dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 10 Volume impor negara konsumen CPO dunia tahun 2004-2008 (x 1000 ton) Tahun 2004 2005 2006 China 3 570 4 320 5 462 Negara Eropa 3 690 4 180 4 653 India 3 570 3 340 3 198 Pakistan 1 432 1 646 1 768 USA 273 415 629 Mesir 702 765 770 Bangladesh 644 960 887 Lainnya 9 469 10 444 10 213 Jumlah 23 350 26 070 27 580 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2008) Negara
2007 5 499 4 683 3 688 1 711 788 720 709 11 680 29 478
2008 6 061 5 160 4 909 1 801 960 690 843 13 293 33 717
17
China, 17.77% Negara Eropa, 15.95%
Lainnya, 39.30%
Bangladesh, 2.88%
India, 13.34%
Mesir, 2.60% USA, 2.19%
Pakistan, 5.96%
Gambar 4 Persentase volume impor negara konsumen CPO dunia (Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 2008) Kebutuhan, pemenuhan dan peluang pasar Nasional Sekitar 61.28 % dari produk CPO Indonesia di ekspor ke luar negeri, sementara sisanya diserap untuk konsumsi di dalam negeri. Untuk penggunaan lokal, industri minyak goreng merupakan penyerap CPO dominan, mencapai 31.0% dari total produksi, sedang sisanya dikonsumsi oleh industri oleokimia (3.73%), sabun (2.05%) dan margarine atau shortening (1.95%). Pola pemakaian CPO di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.
Minyak Goreng 31,0%
Margarine 1,9%
Sabun 2,0%
Oleokimia 3,7%
Ekspor 61,3%
Gambar 5 Pola konsumsi CPO di Indonesia ( Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 2008) Produksi minyak sawit (CPO) Indonesia tahun 2008 sebesar 17.1 juta ton, dimana terjadi peningkatan rata-rata 12% per tahun dibandingkan tahun-tahun
18 sebelumnya. Peningkatan prouksi CPO diikuti dengan pengingkatan produksi PKO. Pada tahun 2008 produksi minyak inti sawit (PKO) Indonesia sebesar 3.2 juta ton dengan peningkatan sebesar 10% per tahun Perkembangan produksi minyak sawit dan minyak inti sawit Indonesia dapat dilihat pada Tabel 11, Tabel 12 dan pada Gambar 6. Tabel 11
Produksi CPO indonesia menurut pengusahaan komoditas kelapa sawit tahun 2002 – 2008 PRODUKSI CPO (Ton)
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006) 2007 2008 Share Growth
Perkebunan Rakyat 3 426 740 3 517 324 3 745 264 3 873 677 5 783 088 5 805 125 5 805 207 32.87% 10.37%
Perkebunan Besar Negara 1 607 734 1 750 651 1 981 576 2 049 849 2 313 729 2 313 976 2 314 209 15.03% 6.40%
Perkebunan Besar Swasta 4 587 871 5 172 859 6 079 710 6 528 455 9 254 031 9 254 101 8 990 185 52.10% 12.76%
Jumlah 9 622 345 10 440 834 11 806 550 12 451 981 17 350 848 17 373 202 17 109 601 100.00% 10.83%
Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2008) Tiga propinsi yang mempunyai produksi CPO paling besar di Indonesia berada di Pulau Sumatera, yaitu Propinsi Riau, Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Produksi CPO di Propinsi Riau sebesar 4.7 juta ton (27.39%), kemudian diikuti oleh Sumatera Utara 3,2 juta ton (18.71%), dan Sumatera Selatan 1.6 juta ton (9.45%). Maryadi et.al (2004) menyatakan bahwa harga kelapa sawit sangat tergantung kepada harga minyak fosil. Jika, harga minyak fosil naik, maka harga kelapa sawit juga akan mahal. Selanjutnya dinyatakan bahwa dengan harga crude palm oil (CPO) di pasar lokal sebesar Rp. 4 500 per kg dan harga tandan buah segar (TBS) yang hanya Rp 500-600 per kg, biodiesel bisa dijual dengan harga Rp 6 500 per kg, karena biaya produksinya sekitar Rp 700 - Rp.1 000,- per liter. Harga ini jauh lebih murah dari harga BBM industri yang saat ini rata-rata diatas Rp 8 000 per liter.
19 Tabel 12
Produksi pko indonesia menurut pengusahaan komoditas kelapa sawit tahun 2002 – 2008
PRODUKSI PKO (Ton) Tahun Perkebunan Perkebunan Perkebunan Rakyat Besar Negara Besar Swasta 2002 621 346 313 390 896 333 2003 668 292 350 130 1 086 300 2004 730 960 355 895 1 180 416 2005 855 146 318 836 1 300 550 2006 974 821 425 882 1 391 356 2007 1 031 908 432 084 1 486 511 2008 1 115 419 453 338 1 581 666 Share 33.97% 14.92% 51.11% Growth 10.31% 7.15% 10.04% Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan (2008)
Jumlah 1 831 069 2 104 722 2 267 271 2 474 532 2 792 059 2 950 503 3 150 423 100.00% 9.52%
18,0
Produksi (Ribu ton)
16,0 14,0 12,0 10,0 8,0 6,0 4,0 2,0 -
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
CPO
5,9
6,5
7,0
8,4
9,6
10,4
11,8
12,5
17,4
17,4
17,1
PKO
1,2
1,3
1,4
1,7
1,8
2,1
2,3
2,5
2,8
3,0
3,2
Tahun
Gambar 6 Grafik perkembangan produksi minyak sawit Indonesia 1998-2008 (Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan 2008) Untuk peningkatan produksi dan mutu CPO, perlu dilakukan usahausaha perbaikan melalui aspek budidaya dan produksi, aspek pengolahan, aspek tataniaga atau pemasaran, serta aspek kelembagaan yang ditunjang
dengan
pengadaan permodalan dan lembaga keuangan dengan dukungan peran dari pemerintah.
Mutu CPO,
harus terjamin sesuai dengan klon unggulannya
20 sehingga diperoleh keseragaman mutu. Dari aspek penanganan dan pengolahan minyak CPO sampai menjadi biodiesel, diperlukan penanganan khusus. Adapun proses pembuatan biodiesel berbasis kelapa sawit ditunjukkan melalui diagram alir seperti pada Gambar 7.
CPO (Crude Palm Oil)
PEMURNIAN
METANOL
KOH
PFAD
PENCAMPURAN RBDPL
FRAKSINASI
OLEIN
STEARIN
PEMANASAN
TRANSESTERIFIKASI
SEPARASI
GLISEROL
CRUDE BIODIESEL Recovery Metanol
SLUDGE PURIFIKASI PURIFIKASI
RIFINED GLISEROL
PURIFIKASIBIOD IESEL Recovery Metanol
Gambar 7 Diagram alir proses produksi biodiesel dari CPO (Sumber: Hambali at al. (2007)
21 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengembangan risiko agroindustri telah dilakukan diantaranya seperti terlihat pada Tabel 13: Tabel 13. Berbagai Penelitian Terdahulu Berkaitan Dengan Risiko Agroindustri No
Nama
Judul Penelitian
Metodologi
Hasil Penelitian
1
Lukitasari (2003)
Analisis Manajemen Risiko Terhadap Peningkatan Laju Produksi Budidaya Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Implementasi Praktis
2
Adinarmiharja (2003)
Analisis Manajemen Risiko Pada Industri Kecil Nata De Coco di Bogor, Jawa Barat
Faktor-faktor analisis manajemen risiko mempengaruhi laju produksi pada proses budidaya tiram putih Faktor-faktor risiko yang tidak dapat dihindari dalam peningkatan omzet penjualan IK Nata De Coco
3
Jayaprawira (2009)
4
Koemadji (2004)
Pendekatan EVT (Extreme Value Theory) Untuk Penentuan Ukuran Risiko Nilai VAR
5
Fitrianto (2007)
Rancang Bangun Sistem Pakar Manajemen Risiko Untuk Perencanaan Agroindustri Rumput Laut
Metode GEVD (generalized extreme value distribution) dan GPD (generalized pareto distribution) Perancangan Model Simulasi Fortopolio Risiko Montecarlo Korporasi Agroindustri dan Analisa Kelapa Sawit Probabilistik
Metode Pendekatan EVT (extreme value therry) yaitu metode untuk menilai ukuran risiko Expert System
Kebijakan: Segera memperbaiki sarana jalan Produksi dan Membuat Penampungan Air Metode EVT yang dapat digunakan dalam menghitung nilai VAR Didapatkan suatu model seaRisk
22 Penelitian yang berkaitan langsung dengan pengembangan agroindustri kelapa sawit khususnya tentang manajemen risiko agroindustri biodiesel, secara holistik di Indonesia hingga saat ini belum pernah dilakukan. Untuk itu, merujuk penelitian-penelitian tentang manajemen risiko agroindustri tersebut di atas, belum cukup untuk merepresentasikan model yang akan dikembangkan dalam penelitian ini secara langsung.
Penelitian ini lebih menekankan pada kajian
sistem penunjang keputusan menajemen risiko agroindustri biodiesel berbasis kelapa sawit. Untuk itu maka penelitian tentang manajemen risiko agroindustri biodiesel berbasis kelapa sawit ini
perlu dilakukan dengan harapan dapat
membantu pengguna dalam mengambil keputusan yang bersifat dinamis, sibernetik dan efektif, serta memberi masukan bagi pengembangan agroindustri biodiesel di Indonesia. Manajemen Risiko Manajemen risiko menurut Herman (2004) merupakan suatu usaha untuk mengetahui, menganalisis serta mengendalikan risiko dalam setiap kegiatan perusahaan dengan tujuan untuk memperoleh efektifitas dan efisiensi yang lebih tinggi. Sementara Djojosoedarso (1999) memberi pengertian tentang manajemen
risiko
yaitu
pelaksanaan
fungsi-fungsi
manajemen
dalam
penanggulangan risiko, terutama risiko yang dihadapi oleh organisasi/ perusahaan, keluarga dan masyarakat, jadi mencakup kegiatan merencanakan, mengorganisir,
menyusun,
memimpin/mengkoordinasi
dan
mengawasi
(termasuk mengevaluasi) program penanggulangan risiko. Dalam pengembangan agroindustri terdapat sejumlah risiko dalam setiap rantai produksi mulai dari penyediaan bahan baku, proses pengolahan dan pemasaran. Selain itu, juga perlu diperhatikan risiko finansial dan aspek sosial kelembagaan. Untuk keberhasilan pengembangan agroindustri diperlukan suatu manajemen risiko yang dapat meminimasi risiko sehingga agroindustri dapat dikembangkan. Dalam lingkungan pengambilan keputusan yang terkait dengan risiko, terdapat empat keadaan dasar yaitu kepastian, risiko, ketidakpastian dan konflik. Teori keputusan sangat berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam keadaan risiko dan ketidakpastian. Suatu keadaan yang pasti terjadi jika semua
23 informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan diketahui dan tersedia. Keadaan risiko terjadi jika informasi akurat dan lengkap tidak tersedia, sedangkan probabilitas hasil (outcomes) tertentu yang akan terjadi dapat diperkirakan
(Mulyono
1991).
Risiko
menggambarkan
informasi
yang
mengidentifikasikan bahwa setiap rangkaian keputusan mempunyai sejumlah kemungkinan. Risiko adalah suatu karakteristik dari situasi atau kegiatan yang didalamnya terdapat dua atau lebih keluaran yang mungkin, sebagian keluaran yang akan terjadi tidak diketahui dan setidaknya satu dari kemungkinan keluaran tersebut tidak dikehendaki (Covello & Merkhofer 1993). Risiko mempunyai dua komponen utama yaitu (1) kemungkinan terjadinya suatu risiko (2) tingkat kekerasan. Risiko dapat juga didefinisikan sebagai fungsi dari kemungkinan dan tingkat
kekerasan
risiko,
yang
dapat
diformulasikan
yaitu
risiko
=
f (kemungkinan kejadian, tingkat kekerasan). Risiko sebagai fungsi dan komponennya disajikan pada Gambar 8. Risiko dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis. Berdasarkan kemungkinan terjadinya, risiko dibedakan menjadi risiko murni dan risiko spekulatif. Risiko murni adalah risiko yang hanya terdapat kemungkinan terjadinya kerugian atau tidak terjadinya kerugian. Risiko spekulatif adalah risiko
Kemungkinan Kejadian
yang memungkinkan mendapatkan profit atau mengalami kerugian.
Risiko Tinggi Risiko Sedang
Risiko Rendah
Tingkat Kekerasan
Gambar 8 Risiko sebagai fungsi kemungkinan kejadian dan tingkat kekerasan Sumber: Covello & Merkhofer (1993)
24 Covello dan Merkhofer (1993) menyatakan, analisis risiko meliputi identifikasi risiko, penilaian risiko dan evaluasi risiko. Identifikasi risiko adalah proses untuk mengetahui penyebab risiko, kondisi dan kejadian yang secara potensial menghasilkan dampak merugikan. Penilaian risiko adalah proses yang sistematis untuk mendeskripsikan dan mengkuantifikasi risiko. Evaluasi risiko yaitu membandingkan dan menentukan tingkat risiko. Tujuan dari analisis risiko adalah memberikan informasi penting yang dibutuhkan dalam penangan risiko, terdiri dari (1) pengumpulan alternatif yaitu mengidentifikasi alternatif strategi dalam proses manajemen risiko, (2) evaluasi alternatif yaitu menilai dan membandingkan alternatif yang tersedia, (3) seleksi alternatif adalah memilih satu atau beberapa alternatif untuk diimplementasikan, dan (4) implementasi yaitu pelaksanaan dan monitoring alternatif terpilih (Gambar 9). Estimasi peluang atau kemungkinan terjadinya risiko dapat dilakukan dengan salah satu atau kombinasi dari empat metode dasar yaitu (1) logika, (2) frekuensi, (3) model statistika, dan (4) penilaian (judgment). Pemilihan dan penerapan metode-metode tersebut tergantung jenis persoalan yang akan diselesaikan.
ANALISIS Iifikasi Risiko
Penilaian Risiko
Evaluasi Risiko
MANAJEMEN RISIKO
Pengumpulan alternatif solusi
Evaluasi alternatif
Seleksi alternatif
Implementasi & monitoring
Informasi lain (teknik, politik, ekonomi, dan sebagainya Gambar 9 Analisis dan pengendalian risiko untuk manajemen risiko (Sumber: Covello & Merkhofer 1993)
25 Beberapa peneliti telah melakukan studi manajemen risiko untuk berbagai kasus. Metode penilaian risiko probabilistik (probabilistic risk assessment=PRA) dilakukan untuk mendeskripsikan kerusakan potensial dari sistem yang kompleks dan tidak terstruktur. Penerapan metode PRA yang diintegrasikan dengan evaluasi biaya bermanfaat untuk mengetahui efektivitas risiko
biaya
beberapa
alternatif teknologi
pengelolaan
limbah
dalam
pengusahaan ternak perah (Johnson et al. 1998). Penilaian risiko yang diintegrasikan dengan analisis ekonomi juga digunakan untuk mengelola risiko mikroorganisme patogen dalam makanan bagi kesehatan manusia (Morales & McDowel 1998). Penerapan analisis risiko probabilistik yang diintegrasikan dengan analisis ekonomi dan aplikasi teknik simulasi pada beberapa kasus analisis risiko menunjukkan metode tersebut cukup efektif memberikan informasi risiko ditimbulkan. Informasi tersebut berguna dalam manajemen risiko perusahaan. Metode fuzzy risk analysis (FRA) dengan perangkat analisis risiko yang dapat membantu dalam dua problem utama yaitu kompleksitas dan ketidakpresisian yang melekat (inherent imprecision). Aplikasi dalam penelitian awal menunjukkan terjadi peningkatan keakuratan hasil analisis risiko sebesar 20 % pada studi kasus risiko lingkungan.
Sistem fuzzy dan aplikasinya mengalami
perkembangan yang pesat, dari yang bersifat numerik, ke semi numerik dan nonnumerik. Aplikasi teknik fuzzy non-numerik telah diaplikasikan pada pengambilan keputusan seperti penentuan jenis media periklanan (Marimin et al. 1997) dan penentuan produk olahan apel unggulan (Santoso & Marimin 2001). Teknik fuzzy non-numerik untuk analisis risiko masih sangat terbatas yang telah dipublikasikan. Risiko bahan baku merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kajian risiko agroindustri, karena selain kelangsungan produksi tergantung pada ketersediaan bahan baku, juga karena ketersediaan tersebut tergantung pada sektor pertanian yang diliputi oleh adanya risiko dan ketidak pastian usaha. Johnson et al. (1998) menyatakan bahwa potensi risiko dari produksi hasil pertanian yang berpengaruh terhadap pengadaan bahan baku yaitu :
26 1) sifat produk seperti bersifat musiman, mudah rusak, bervariasi dan bervolume besar (bulk),
2) Sifat produsen (petani) seperti resisten terhadap inovasi,
3) Karakteristik pasar komoditas seperti tersebar secara geografis, memiliki jaringan kerja dan hubungan yang kompleks dengan unit-unit kecil dalam jumlah besar. Risiko kualitas dapat diminimasi dengan memenuhi spesifikasi bahan baku yang dipersyaratkan, melalui pengembangan standar spesifikasi bahan baku yang dibutuhkan industri, penentuan kapasitas produser dapat memenuhi standar dan penyediaan insentif bagi produser yang dapat memenuhi standar produksi dan pengiriman (Austin 1992). Masalah mutu akan sangat dipengaruhi oleh faktor onfarm.
Pengelolaan pada tingkat on-farm yang baik diharapkan mutu CPO akan
baik. Pemilihan pengolahan merupakan faktor penting dalam manajemen risiko pengolahan. Kriteria utama untuk pemilihan teknologi proses adalah kualitas produk, biaya investasi, kebutuhan energi, efek teknologi, biaya proses produksi, biaya sosial ekonomi, penentuan kapasitas, kapabilitas manajemen dan pengaruhnya terhadap mutu produk.
Potensi risiko dalam proses pengolahan
antara lain kurang tepatnya pemilihan jenis proses pengolahan, kerusakan peralatan dan pengolahan mesin/peralatan, faktor kualitas keahlian dan prilaku SDM. Adanya risiko proses pengolahan dapat menyebabkan terjadinya kualitas produk tidak memenuhi SNI Austin (1992) menyatakan bahwa upaya meminimalisasi risiko variasi proses dapat dilakukan melalui tahapan kegiatan yaitu : 1
Melakukan pengujian kemampuan produksi dari suatu proses pengolahan untuk menentukan berfungsi atau tidaknya proses produksi secara baik. Pengujian ini dilakukan dengan melakukan simulasi kondisi operasi aktual secara beragam, termasuk pengujian dengan beban lebih.
2
Menelaah terjadinya perbedaan kualitas dan penyebab terjadinya perbedaan tersebut
3 Menentukan alternatif perbaikan atau penyempurnaan yang difokuskan pada penghilangan
atau
pengurangan
menurunkan kualitas biodiesel.
faktor
penyebabnya
sehingga
dapat
27 Risiko utama pemasaran pada bidang agroindustri adalah tidak tercapainya penjualan akibat beberapa faktor yang dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terjadi karena kurang siapnya pihak perusahaan dalam memasuki pasar, seperti tidak tepatnya program bauran pemasaran yang diterapkan. Faktor eksternal terjadi karena adanya situasi yang tidak dapat dikendalikan melalui program pemasaran perusahaan, misalnya nilai tukar rupiah, situasi sosial, ekonomi dan harga CPO. Manajemen risiko pemasaran menurut Kotler (1997) dilakukan dengan beberapa tahapan kegiatan yaitu; 1 Menganalisa dan mendiagnosa masalah 2 Menentukan sumber masalah 3 Membuat, menerapkan dan mengendalikan rencana pemasaran, dan 4 Mengevaluasi hasil penerapan rencana pemasaran. Risiko pemasaran dapat dikurangi dengan melakukan pengendalian secara efektif terhadap kegiatan pemasaran. Pengendalian pemasaran tersebut meliputi pengendalian rencana tahunan, pengendalian profitabilitas, pengendalian efisiensi dan pengendalian strategis Risiko finansial merupakan indikator penting bagi seorang pengusaha yang dipergunakan untuk mengetahui sejauh mana modal yang telah diinvestasikan dapat memberi keuntungan dan seberapa besar resiko yang harus ditanggung dari investasi yang dilakukan. Secara spesifik, batasan risiko suatu usaha adalah variablitas pendapatan sebagai dampak dari suatu arus kas masuk dan keluar selama umur investasi yang bersangkutan.
Variasi ini erat
hubungannya dengan ketidaktepatan dalam menentukan prakiraan seperti penyerapan pasar atas produk yang dihasilkan,
kemajuan teknologi di masa
depan, tingkat harga, kualitas dan kuantitas peralatan dan lain-lainnya. Tujuannya adalah mencari keseimbangan yang paling baik antara tingkat keuntungan yang akan diperoleh dan resiko yang dihadapi. Risiko finansial dilakukan untuk mengetahui tingkat risiko yang harus ditanggung perusahaan dibanding dengan keuntungan yang diperoleh. Hubungan antara risiko dan keuntungan diukur dengan koefisien variasi (cv) yang merupakan perbandingan antara risiko yang harus ditanggung perusahaan dengan
28 besarnya keuntungan yang akan diperoleh sebagai hasil. Semakin besar nilai cv, risiko yang ditanggung semakin besar pula.
Asumsi-asumsi yang digunakan
dalam analisis risiko yaitu : jika nilai cv ≤ 0.5 berisiko rendah; jika 0.5 < cv ≤ 0.8 berisiko sedang ; jika 0.8 < cv ≤ 1.8 berisiko tinggi dan jika nilai cv > 1.2 berisiko sangat tinggi (Soeharto 2002). Husein (2001) menyatakan bahwa untuk mengkaji seberapa besar kemampuan proyek untuk memenuhi kewajiban finansial dan mendatangkan laba, diperlukan tiga macam daftar keuangan, yaitu prakiraan rugi laba, perkiraan mutasi kas dan neraca proyek yang bersangkutan selama masa proyek berlangsung.
Di dalam aspek finansial tersebut hal yang sangat menentukan
antara lain: 1) Jumlah kebutuhan dana modal tetap dan modal kerja awal 2) Struktur permodalan, yaitu perbandingan antara modal pinjaman dan modal sendiri; sumber pinjaman yang diharapkan beserta persyaratannya. 3) Kemampuan proyek untuk memenuhi kewajiban finansialnya dan mendatangkan laba. Selanjutnya dinyatakan bahwa pada dasarnya, struktur permodalan proyek dapat berasal dari modal sendiri maupun penjaman dari bank atau lembaga keuangan. Pada proses pengembalian pinjaman, pengusaha akan mengembalikan modal pokok ditambah bunga.
Pada proses pengembalian modal sendiri,
pengusaha tidak dikenakan bunga melainkan modal pokoknya saja. Semakin besar persentase modal sendiri maka semakin besar pendapatan yang diperoleh pengusaha. Persentase total utang terhadap modal sendiri disebut debt to equity ratio (DER).
Rasio ini merupakan gambaran sejauh mana modal sendiri
menjamin seluruh utang.
Selain itu rasio ini dapat juga dibaca sebagai
perbandingan antara dana pihak luar dengan dana pemilik perusahaan. Semakin besar rasio maka makin besar resiko kreditor. Sejumlah alasan untuk pembenaran pengambilan bunga diantaranya teori abstinence, sebagai imbalan sewa, opportunity cost dan teori kemutlakan produktivitas modal. Namun demikian sejumlah teori ini bertentangan dengan teori ekonomi konvensional sendiri dan tidak sesuai dengan kondisi prakteknya.
29 Teori abstinence menyatakan kreditor yang menahan diri untuk memenuhi keinginannya dengan meminjamkan uangnya kepada orang lain dianggap wajar mendapatkan sewa atas uang yang dipinjamkan.
Dalam
kenyataan, karena kreditur hanya akan meminimkan uang yang tidak digunakan sendiri, namun juga tidak ada standar yang dapat digunakan untuk mengukur unsur penundaan konsumsi dari teori tersebut. Kalaupun ada, sulit menentukan suku bunga yang adil antara kedua belah pihak. Teori bunga sebagai imbalan sewa juga bertentangan dengan disiplin ilmu ekonomi barat yang menyatakan rent (sewa) hanya digunakan untuk kapital baik aset tetap maupun aset bergerak, sedangkan interest (bunga) digunakan untuk uang. Uang memiliki karakter yang berbeda dengan barang dan komoditas lain baik menyangkut daya tukar, kepercayaan masyarakat maupun posisi hukumnya. Karim (2003) menyatakan, kreditor menunggu atau menahan diri tidak menggunakan modalnya sendiri dan memberikan modalnya kepada peminjam sehingga berhak mendapatkan sebagian keuntungan peminjam. Pandangan ini berbenturan dengan kenyataan bahwa tidak ada kepastian modal yang digunakan untuk berusaha akan selalu untung. Teori bunga juga tidak dapat menjelaskan secara rasional dan adil mengenai peminjam yang akan secara pasti memperoleh keuntungan setiap bulan atau setiap tahun sehingga harus selalu membayar bunga tertentu. Menurut Karim (2003) dalam ekonomi konvensional, ketidakpastian pengembalian dikonversi menjadi suatu kepastian melalui premium for uncertainty. Dalam setiap investasi selalu ada probabilitas untuk mendapatkan positive return (pengembalian positif), negative return (pengembalian negatif) dan no return (impas). Adanya probabilitas pengembalian negatif dan impas ini dipertukarkan dengan sesuatu yang pasti yakni premium for uncertainty.
Konsep ini
bertentangan dengan teori keuangan sendiri yang menjelaskan adanya hubungan antara risiko dan pengembalian (return goes along with risk). Pada bank konvensional kepentingan pemilik dana (deposan) adalah memperoleh imbalan berupa bunga simpanan yang tinggi sedangkan kepentingan pemegang saham diantaranya memperoleh spread yang optimal antara suku
30 bunga simpanan dan suku bunga pinjaman atau mengoptimalkan perbedaan tingkat suku bunga, di pihak lain, kepentingan pemakai dana (debitur) adalah memperoleh tingkat bunga yang rendah. Dengan demikian pada ketiga kepentingan dari para pihak tersebut terjadi antagonis yang sulit diharmoniskan. Dalam penentuan suku bunga yang mengandung unsur ketidak adilan dan ketidak sederajatan diantaranya adalah : 1) Penentuan suku bunga dibuat pada waktu akad dengan pedoman harus selalu untung untuk pihak bank, walaupun dalam kenyataan peminjam mengalami kerugian dalam usahanya. 2) Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal)
yang
dipinjamkan. 3) Jumlah pembayaran bunga tetap tanpa mempertimbangkan proyek
yang
dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi. Menurut Zulkifli (2003), penerapan sistem bunga (internal rate mechanism) pada perbankan konvensional menjadi salah satu penyebab krisis ekonomi berkepanjangan akibat adanya negative spread yakni kondisi dimana biaya bunga yang harus dibayar oleh bank kepada deposan lebih besar dari pendapatan bunga yang diterima bank. Hal ini sebagai konsekuensi sistem bunga yang dianutnya sehingga diwajibkan untuk membayar bunga kepada deposan meskipun usaha yang dibiayainya mengalami kerugian. Sistem bunga yang diterapkan perbankan konvensional menganaktirikan usaha sektor riil. Dengan penerapan sistem bunga, bank berusaha untuk meraih keuntungan dengan cenderung memilih jenis usaha yang memiliki risiko kecil atau bahkan tidak ada risiko sama sekali, oleh karena itu beberapa bank konvensional lebih memfokuskan diri untuk bermain di pasar uang atau menyimpannya di Bank Indonesia. Bank konvensional hanya akan membiayai sektor riil jika tingkat keuntungannya melebihi suku bunga SBI ditambah dengan risk premium tertentu. Sektor riil menjadi alternatif terakhir bagi bank konvensional untuk berusaha. Bagi sektor riil sendiri tingkat suku bunga yang tinggi menjadikan iklim usaha tidak menarik karena ketika usaha mengalami kerugian masih diharuskan membayar bunga kepada bank.
31 Sistem Penunjang Keputusan (SPK) Dasar pengambilan keputusan dilakukan dengan tranformasi informasi menjadi alternatif. Pendekatan sistem dalam pengambilan keputusan dikenal sebagai Sistem Penunjang Keputusan atau Decision Support Sistem (DSS). Sprague dan Hugh (1996) mendefinisikan sistem penunjang keputusan sebagai suatu sistem yang berbasis komputer, membantu dalam membuat keputusan, berhubungan dengan problem yang tidak terstruktur, interaksi langsung dengan data dan analisis model. Millet dan Mawhinney (1992) menyatakan bahwa fokus Decision Support Sistem (DSS) adalah masalah keputusan spesifik ataupun kumpulan masalah-masalah yang saling berhubungan. Singh (1990) menyatakan bahwa Decision Support Sistem (DSS) merupakan suatu paket program yang mampu menggabungkan hardware dan software untuk membantu dalam membuat keputusan pada manajemen tingkat tinggi. Decision Support Sistem (DSS) merupakan penunjang atau pendukung keputusan yang dilakukan melalui pemanfaatan keunggulan
manusia dan
perangkat teknologi komputer, sehingga memungkinkan pengguna dapat melakukan pengambilan keputusan dengan sistem yang lebih cepat dan akurat. Model konsepsional dari DSS menurut Eriyatno (1999) adalah merupakan gambaran hubungan abstrak tiga komponen utama penunjang keputusan, yaitu para pengambil keputusan, basis model, dan basis data. Hubungan antara komponen Decision Support Sistem (DSS) dapat ditunjukkan pada Gambar 10.
32 Data
Sistem Manajemen Basis Data Statis
Pengetahuan
Model
Sistem Manajemen Basis Pengetahuan Dinamis
Sistem Manajemen Basis Model
Sistem Pengolahan Terpusat Sistem Manajemen Dialog
user Gambar 10 Hubungan antara komponen Decision Support Sistem (DSS) (Sumber : Eriyatno (1999) Komponen manajemen data merupakan basis data yang mengandung data yang relevan untuk situasi yang dihadapi. Pada komponen ini dapat ditambah, dihapus, diganti atau disunting agar tetap relevan jika dibutuhkan. Manajemen model merupakan basis model yang dapat berupa model-model finansial, statistik atau model kuantitatif lainnya yang disiapkan untuk sistem analitik. Sedangkan sistem manajemen dialog merupakan sub sistem yang berkomunikasi dengan pengguna, sehingga tugas utama manajemen dialog adalah menerima masukan dan memberikan keluaran yang dikehendaki pengguna. Sistem pengolahan terpusat adalah koordinasi dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Sistem ini menerima masukan dari ketiga sub sistem lainnya dalam bentuk baku serta menyerahkan keluaran sub sistem yang dikehendaki dalam bentuk yang baku pula. Teknik Simulasi Model (SM) Model adalah suatu perwakilan atau abstraksi dari obyek atau situasi aktual dan deskripsi dari sistem (Eriyatno 1999). Gasperzs (1992) menyatakan bahwa pada dasarnya model terdiri dari dua aspek, yaitu representasi dan abstraksi. Representasi merupakan pemetaaan dari karakteristik sistem konkrit
33 yang dipelajari, sedangkan abstraksi merupakan proses transformasi karakteristik sistem konkrit ke dalam konsep. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik. Dengan demikian model adalah diskripsi atau abstraksi dari suatu sistem, karena wujudnya diskripsi atau abstraksi maka wujud dari model sering kurang kompleks dari sistem yang dimodelkan. Kriteria kelengkapan suatu model adalah model yang benar-benar dapat mewakili berbagai aspek dari sistem yang dikaji. Keberhasilan model sangat ditentukan oleh kemampuan seorang model di dalam mendifinisikan sejumlah elemen pada sistem nyata. Hal penting dalam pengembangan model adalah mencari peubah-peubah utama yang sangat erat hubungannya dengan pengkajian yang terdapat pada peubah-peubah. Untuk mempelajari keterkaitan antara peubah dalam sebuah model dapat digunakan teknik simulasi tahap pertama pemodelan adalah pengembangan tujuan yang didasari oleh perumusan masalah. Untuk kinerja yang diinginkan dan alternatif rancangan harus dimasukkan ke dalam model untuk evaluasi. Penilaian alternatif rancangan ukuran kinerja spesifik disebut sebagai output model. Dan apabila rekomendasi telah dapat dibuat berdasarkan penilaian dari alternatif, maka fase implementasi siap dimulai (Eriyatno 1999). Kategori umum model pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi (1) model ikonik (objek fisik), (2) model analog atau representasi grafis (model visual) dan (3) model simbolik atau model abstrak disebut juga model matematik. Namun ilmu sistem lebih memusatkan perhatian pada model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji. Format model simbolik dapat berupa bentuk angka, simbol dan rumus. Proses simulasi memfokuskan pada formula dan pemecahan masalah dengan membuat suatu model kemudian dianalisis dalam bentuk simulasi yang dilakukan secara iteratif, karena tindakan dalam pemodelan menyatakan satu demi satu informasi yang penting. Tahapan yang sebaiknya dilakukan dalam suatu proses simulasi menurut Simatupang (1994) adalah sebagai berikut : 1
Formulasi masalah; mendefinisikan masalah yang akan dipelajari dan memuat suatu pernyataan tujuan pemecahan masalah
34 2
Formulasi dan spesifikasi model ; merupakan abstraksi dari sistem ke dalam hubungan-hubungan logic mathematic sesuai dengan formulasi masalah
3
Akuisisi data ; memuat spesifikasi dan pengumpulan data
4
Penterjemahan model ; menyiapkan model untuk pengolahan komputer
5
Verifikasi proses pembuktian
bahwa program komputer yang dijalankan
sesuai dengan yang diharapkan 6
Validasi ; proses pembuktian bahwa kesesuaian dan akurasi antara model simulai dan sistem nyata
7
Perencanaan strategis dan taktis, proses pembuktian kondisi percobaan untuk penggunaan model
8
Penggunaan model ; eksekusi model simulasi untuk mendapatkan nilai-nilai hasil
9
Analisa hasil; proses menganalisa hasil-hasil simulasi untuk menarik kesimpulan
10 Implementasi ; merupakan proses mengimplementasikan keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh simulasi 11 Dokumentasi ; proses mendokumentasikan model dan penggunaannya Model simulasi idealnya dilakukan untuk pendekatan pemecahan masalah yang kompleks seperti halnya rekayasa model pengembangan agroindustri biodiesel karena melibatkan banyak komponen yang saling terkait sehingga penerapan model simulasi akan sangat membantu dalam menilai alternatif keputusan yang akan diambil. Teknik Interpretative Structural Modeling (ISM) Teknik ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) untuk menghasilkan model struktural memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis atau kalimat. Menurut Saxena (1992) tujuan utama dari teknik ISM adalah untuk mengkaji suatu sistem atau kelompok, tetapi lebih dari itu juga dapat dipakai oleh seorang peneliti. Eriyatno (1999) menyatakan bahwa metodologi teknik ISM dibagi dalam dua bagian yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub-elemen. Prinsip dasar ISM adalah proses mengidentifikasi struktur di dalam suatu sistem
35 yang dapat memberi nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dalam pengambilan keputusan yang lebih baik. Penyusunan hierarki dilakukan untuk menentukan tingkat penjenjangan struktur dari suatu sistem, sehingga memberikan kejelasan dalam memahami suatu
hal
yang
sedang
dikaji.
Sedangkan
struktur
digunakan
untuk
menggambarkan pengaturan dari elemen-elemen serta hubungan antar elemen yang turut membentuk sistem. Program yang sedang dikaji penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen, kemudian setiap elemen diuraikan menjadi sub-elemen. Saxena (1992) menyatakan bahwa program dapat dibagi menjadi sembilan elemen yaitu : (1) sektor masyarakat yang terpengaruh, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama, (4) perubahan yang dimungkinkan, (5) tujuan dari program, (6) tolak ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Selanjutnya setiap elemen dari program yang dikaji digambarkan menjadi sejumlah sub-elemen, kemudian ditetapkan hubungan
kontekstual
sub-elemen.
Atas
dasar
pertimbangan
hubungan
kontekstual kemudian disusun Struktural Self-Interaction Matrix (SSIM) dengan menggunakan simbol V, A, X dan O atau (VAXO) yaitu : V adalah e ij = 1 dan e ij = 0 A adalah e ij = 0 dan e ij = 1 X adalah e ij = 1 dan e ij = 1 O adalah e ij = 0 dan e ij = 0 simbol 1 berarti terdapat atau ada hubungan kontekstual antara elemen “i” dan “j” dan simbol 0 berarti tidak terdapat hubungan kontekstual antara elemen i dan j dan sebaliknya. Setelah SSIM terbentuk, selanjutnya dibuat tabel Reachablity Matrix (RM) dengan mengganti V,A,X dan O menjadi bilangan 1 dan 0. selanjutnya dilakukan perhitungan menurut Aturan Transivity dengan membuat koleksi terhadap SSIM hingga terbentuk matrik yang tertutup yang kemudian diproses lebih lanjut. Untuk keperluan revisi dapat dilakukan transformasi matriks dengan menggunakan program komputer. Pengolahan lebih lanjut dari tabel RM yang telah memenuhi
36 Aturan Transivity adalah penetapan pilihan jenjang. Selanjutnya dinyatakan bahwa untuk keperluan klasifikasi sub-elemen dapat dipaparkan dalam empat sektor dan sekaligus sebagai hasil akhir dari teknik ISM yakni elemen kunci diagram struktur dan matriks berupa : DP-D (Driver Power - Dependence) yang menggambarkan klasifikasi sub-elemen yaitu : Sektor 1 : Week driver-week dependent variables (Autonomous) pada sektor ini peubah umumnya tidak berkaitan dengan sistem, tetapi mungkin saja mempunyai hubungan sedikit, namun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2 : Week driver-strongly dependent variables (dependent), pada sektor ini umumnya peubah tidak bebas. Sektor 3 : Strong driver-strongly dependent variables (lingkage), peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati karena hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut memberikan dampak terhadap peubah yang lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Sektor 4 : Strong driver-week dependent variables (independent), pada sektor ini peubah merupakan bagian sisa dari sistem yang selanjutnya disebut peubah bebas. Analytical Hierarchy Process (AHP) AHP merupakan suatu analisis yang digunakan pengambilan keputusan untuk dapat memahami kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Dalam penerapannya sedapat mungkin dihindari adanya penyederhanaan termasuk membuat asumsi-asumsi agar diperoleh model-model kualitatif, tetapi sebaiknya tetap mempertahankan model yang kompleks seperti semula (Saaty 1986). AHP merupakan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi secara logis dimana proses ini dilakukan berdasarkan pertimbangan imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hierarki. Jadi hasil pertimbangan terhadap suatu masalah didasarkan pada logika , intuisi dan pengalaman. Prinsip yang harus dipahami dalam menyelesaikan persoalan dengan menggunakan teknik AHP adalah : decomposition adalah proses memecah permasalahan yang utuh menjadi beberapa unsur sehingga diperoleh beberapa tingkatan (hierarki) dari persoalan yang dikaji; comperative judgment adalah proses dalam kaitannya dengan tingkat diatasnya; synthesis of periority adalah prosedur untuk melakukan sintesa dan berbeda menurut bentuk hierarki; Logical
37 consistency, pengelompokkan dan tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria yang ada. Teknik AHP digunakan untuk menemukan pemecahan masalah yang bersifat strategi dengan tahapan berupa : (1) identifikasi sistem, (2) penyusunan hierarki, (3) penyusunan matriks gabungan, (4) pengolahan vertikal, dan (5) perhitungan vektor prioritas. Konsistensi pendapat merupakan persyaratan dalam AHP yang dapat diketahui dengan menggunakan rumus eigen value sebagai berikut : n
VE i (Vektor Eigen)
∑a
=
j=1
VP i (Vektor Prioritas)
,I = 1, 2, …..n ………(1)
ij
VE i
=
……………………(2)
n
∑ VE i =1
VA (Vektor Antara)
=
a ij x VP
…………………………(3)
VB (Nilai Eigen)
=
VA VP
…………………………(4)
λ maks (Nilai Eigen mkas )
=
CI (Indeks konsistensi)
=
λ maks - n)/(n - 1)
CR (Rasio Konsistensi)
=
(CI/RI)
n
∑ Vbi / n
………………………(5)
i =1
………………(6)
…………………………(7)
RI = Random Konsistensi Indeks Matrik pendapat gabungan n
g ij (Matrik gabungan)
=
∑a i =1
ij
(k)
…………………………(8)
Pendapat responden dinyatakan konsisten jika CR ≤ 0.10
38 Sistem Pakar (Expert System) Pakar adalah orang yang memiliki pengetahuan, penilaian, pengalaman dan metode khusus, serta kemampuan untuk menerapkan bakat ini dalam memberi nasehat dan memecahkan persoalan.
Sistem pakar adalah program-
program yang memodelkan keahlian (pengetahuan) dan kemampuan menalarkan suatu bidang khusus tertentu dalam wilayah sempit yang jelas (diagnosis sakit jantung, evaluasi kredit dan lain sebagainya). Sistem fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik. Sistem ini mampu untuk mengembangkan sistem intelejen dalam lingkungan yang tidak pasti, dan tidak tepat. Sistem ini menduga suatu fungsi dalam logika fuzzy. Logika fuzzy merupakan bagian dari logika fuzzy menangani konsep kebanaran, yaitu nilai kebenaran antara benar dan salah. Logika fuzzy sering menggunakan informasi linguistik dan verbal. Dalam logika fuzzy terdapat beberapa proses, yaitu penentuan gugus fuzzy, penerapan aturan if-then, serta proses inferensi fuzzy (Marimin 2005). Sistem fuzzy dapat untuk menganalisis kelayakan atau untuk menemukan investasi yang baik pada permasalahan
yang tidak pasti dan dalam lingkungan yang samar-samar
(Tsoukalas at al. 1997). Dalam hal ini data fuzzy, berupa kelayakan usaha yang bersifat kabur, namun harus terdapat ukuran terhadap suatu kelayakan usaha meliputi : (1) terdapat daftar kelayakan untuk mengevaluasi suatu kelayakan, kumpulan kelayakan yang terseleksi disebut dengan benchmark, (2) menetapkan faktor-faktor kompensasi yang akan menentukan harga relatif dari suatu kelayakan, faktor kompensasi ini hendaknya bervariasi antara satu kelayakan dengan kelayakan yang lainnya, (3) menetapkan level untuk tiap-tiap faktor dalam tiap-tiap kelayakan, nilai level dalam satu faktor hendaknya juga berbeda, (4) menetapkan batas bawah untuk jumlah level terendah dan batas atas untuk jumlah level tertinggi, dan (5) menetapkan batas bawah selisih antar level dalam setiap faktor (Kusumadewi 2002). Fuzzy inference system (FIS) merupakan suatu proses perumusan pemetaan dari input ke output menggunakan logika fuzzy (Marimin 2005). Secara umum FIS terdiri dari lima Fungsi, yaitu : 1. Kaidah/Aturan yang berisikan sejumlah aturan fuzzy if-Then. 2. Database yang mendifinisikan member function yang digunakan
39 3. Decision-making unit yang menunjukkan operasi inference. 4. Fuzzyfication yang mengubah input tunggal ke nilai linguistik yang sesuai 5. Defuzzyfication yaitu mengubah output fuzzy ke output yang bernilai tunggal (crisp) Multi Expert-Multi Criteria Decision Making (ME-MCDM) Analisis pengambilan keputusan Non Numeric-Multi Criteria Multi Person dikembangkan oleh Yager (1993).
Model keputusan kelompok fuzzy
merupakan model yang direkayasa untuk memeperoleh agregat pendapat atau penilaian dari pakar terhadap suatu alternatif atau keputusan. Terdapat dua sub model yang direkayasa, yaitu
(a)
Sub-model Multi Expert-Multi Criteria
Decision Making (ME-MCDM). Sub model ini direkayasa untuk memperoleh keputusan atau alternatif program (kegiatan) berdasarkan kriteria pencapaian tujuan yang diharapkan, dalam lingkungan keputusan yang bersifat fuzzy, dan (b) Sub-model gabungan pendapat. Sub-model ini direkayasa untuk memperoleh agregasi pendapat atau penilaian pakar tentang keterkaitan atau hubungan antara sub elemen sistem dalam proses strukturisasi sistem. Penyelesaian sub-model ME-MCDM dilakukan dua tahapan sebagaimana dikemukakan oleh
Yager (1993) yaitu (a) membanguan matriks gabungan
pendapat untuk setiap kegiatan dan kreteria tujuan, dan kemudian (b) menetapkan tingkat kepentingan setiap kegiatan (alternatif) bedasarkan kriteria tujuan.
gabungan semua
Dimana pada tahap ini dilakukan proses agregasi penilaian
berdasarkan kriteria yang ditetapkan maupun berdasarkan pakar. Multi Expert-Multi Criteria Dececsion Making (ME-MCDM), merupakan metode pengambilan keputusan yang menggunakan independent preference ini, setiap
pengambil keputusan (yang diberi simbul dj ) memberikan evaluasi
penilaian terhadap masing-masing alternatif (si) untuk tiap-tiap kriteria (ak) secara bebas (independent). Salah satu karakteristik dari metode analisis ini yaitu hasil penilaian (V) merupakan himpunan linguistic label dari setiap kriteria, dimana penilaian ini terdiri atas lima sampai tujuh skala penilaian yakni :
SP =
Sempurna, ST = Sangat Tinggi, SD = Sedang, R = Rendah, SR = Sangat Rendah, dan PR = Paling Rendah.
40 Agregasi penilaian berdasarkan kriteria dilakukan dengan cara mencari skor tiap-tiap alternatif ke-i oleh setiap pengambil keputusan k-j (Vij) pada semua kriteria (ak), dengan menggunakan formula sebagai berikut : Vij = Min [Neg (Wak) Vij (ak)] ;
................................................
(9)
Dimana : Vij
= Nilai alternatif ke-i oleh pakar ke-j
Wak
= Bobot kriteria ke-k,
Neg (Wak)
= WQ-1+i
Vij (ak)
= Nilai alternatif ke-i oleh pakar ke-j pada kriteria ke-k,
dan k
= indek (1,2, 3, . . . .i)
Penentuan Negasi Tingkat Kepentingan Kriteria digunakan, rumus : Neg (Wak)
= WQ-1+i ................................................................
Dimana : k
= indeks, dan q = jumlah skala.
Sedangkan penentuan bobot
(10)
faktor nilai pengambilan keputusan
menggunakan rumus : Q(k)
= Int [1 + k * (q-1)/r]
............................................
(11)
Dimana : Q(k) = bobot untuk pakar ke-j, R
= jumlah pakar,
k
= indeks, dan
q
= jumlah skala penilaian .
Penentuan nilai gabungan menggunakan metode OWA (Ordered Weight Average) dengan menggunakan rumus : Vi = f (Vj) = Max [Qi ^ bj]
........................................................ (12)
Dimana : Vi = nilai total alternatif ke-i, Qj = bobot nilai pakar ke-j bj = urutan skor alternatif terkecil ke skor terbesar ke-i oleh pakar ke-j Analisis Finansial Evaluasi finansial dapat dilakukan apabila diperoleh hasil analisis pasar dan teknis yang menunjukkan positif. Adapun faktor-faktor penting yang perlu
41 dikaji dalam analisis finansial adalah : kebutuhan dana, sumber dan biaya modal, penyusunan cash-flow, kriteria penilaian investasi, dan analisis sensitivitas. (Didu 2000). Brown (1994) menetapkan langkah-langkah analisis finansial perusahaan agroindustri sebagai berikut : (1) menentukan pola penghasilan yang mungkin, (2) memperkirakan kapasitas dan harga untuk tiap-tiap produk dan pasar, (3) menyiapkan prakiraan awal biaya investasi dan operasi, (4) menentukan suplai potensial bahan baku termasuk harga, (5) melakukan penilaian awal kelayakan finansial, (6) melakukan penilaian finansial yang lengkap dari beberapa alternatif, (7) melakukan analisis sensitivitas melalui identifikasi variabel-variabel kunci dalam kinerja finansial perusahaan yang diusulkan, (8) membandingkan hasil analisis dan kriteria investasi, dan (9) mengidentifikasi kondisi dimana perusahaan yang diusulkan tidak memenuhi kriteria investasi. Evaluasi finansial dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil analisis biaya manfaat usaha Agroindustri biodiesel. Analisis risiko finansial ini berguna dalam mengelola data analisis model kelayakan argoindustri biodiesel berbasis kelapa sawit. Data masukan meliputi data kebutuhan dan biaya pengadaan bahan baku dan bahan pembantu, jumlah dan jenis tenaga kerja, spesifikasi dan biaya sewa tanah dan bangunan, biaya utilitas dan sebagainya. Seluruh input data dapat dikelompokkan menjadi biaya investasi, biaya tetap dan biaya variabel. Biaya investasi meliputi biaya sewa tanah dan bangunan, pembelian mesin dan peralatan proses, fasilitas kantor dan penunjang dan biaya pra-investasi. Biaya tetap terdiri dari biaya tenaga kerja tetap, biaya perawatan, penyusutan, asuransi dan pajak. Biaya variabel meliputi biaya bahan baku utama, biaya bahan penunjang, utilitas dan gaji tenaga kerja langsung. Data mengenai harga jual produk, kapasitas produksi maksimal, presentase produksi per tahun, persentase pemenuhan kebutuhan bahan baku, persentase gagal mutu, persentase produk terjual, tingkat suku bunga, persentase bagi hasil, lama pengembalian, dan rasio dana pinjaman dapat diinput dan dirubah melalui skenario dan asumsi pada tampilan model.
42 Metode Analisis Kelayakan Usaha Metode analisis kelayakan usaha suatu perusahaan agroindustri sama dengan yang diterapkan pada perusahaan komersial, demikian pula kriteria yang menentukan keputusan manajemen dan investasi (Eriyatno 1999). Teknik analisis dilakukan dengan menggunakan indikator finansial berupa : Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) Net B/C adalah perbandingn antara present value
total dari hasil
keuntungan bersih terhadap present value dari biaya bersih. Metode ini sering disebut Rasio Manfaat Biaya. Untuk menghitung Net B/C dapat digunakan formula Gaspertsz (1992) sebagai berikut : n
∑ t =1
Bt − Ct (1+ i ) t
…………………….(13)
Net B/C = n
∑ t =i
C1 + C0 (1 + i )t
dimana : Bt : Penerimaan bruto pada tahun t Ct : Biaya bruto pada tahun t C 0 : Biaya bruto pada tahun 0 n : Periode investasi pada tahun n i : Tingkat suku bunga t : Periode investasi (t = 0, 1, 2, .....n) Dalam evaluasi, keputusan layak jika Net B/C > 1 Net Present Value (NPV) Metode ini mendiskontokan seluruh aliran kas, baik aliran kas masuk maupun aliran kas keluar pada basis waktu sekarang. Untuk keperluan perhitungan diperlukan pendiskon, yaitu biaya modal. NPV adalah jumlah seluruh aliran kas yang telah didiskontokan dengan menggunakan formula matematik sebagai berikut : n
NPV= ∑ t =1
bt − Ct bt (1 + i )t
............................................................... (14)
43 Keterangan : n t bt Ct C0
= Periode investasi pada tahun n = Periode investasi (t = 0, 1, 2, ..... n) = Penerima bruto pada tahun ke – t = biaya bruto investasi pada tahun t = investasi awal
Kriteria kelayakannya adalah : Jika nilai NPV ≥ 0 berarti investasi layak untuk dijalankan Internal Rate of Return (IRR) Metode ini digunakan untuk menghitung pada tingkat bunga berapa seluruh pengeluaran proyek akan sama dengan seluruh penerimaan sepanjang proyek. Untuk perhitungan digunakan formula matematik sebagai berikut : n
∑ t =1
bt − Ct =0 (1 + IRR)t
Keterangan : bt = Ct = n = IRR = t =
.............................................................(15)
Penerimaan brutto pada tahun t Biaya bruto pada tahun t Periode investasi pada tahun n Internal Rate of Return Periode investasi (t = 0, 1, 2, ......n)
Dalam evaluasi, keputusan layak jika nilai IRR ≥ tingkat suku bunga pada tahun t Pay Back Period (PBP) Metode ini digunakan untuk menilai investasi yang didasarkan pada lamanya waktu yang diperlukan untuk melunasi biaya investasi (cost) oleh net benefit. Oleh karena itu PBP sering juga dinyatakan sebagai jumlah periode (tahun) yang diperlukan untuk mengembalikan (menutup) ongkos investasi awal dengan tingkat pengembalian tertentu. Perhitungan PBP didasarkan pada aliran kas baik tahunan maupun yang merupakan nilai sisa. Untuk mengetahui periode pengembalian pada suatu tingkat tertentu digunakan formula matematik sebagai berikut :
44 Nt
PBP =P+{ ∑ At ( P / F ,1%, t ) } .......................................................................(16) t =1
Keterangan : At Nt P F
= = = =
aliran kas yang terjadi pada periode “t” periode pengembalian yang akan dihitung nilai sekarang. nilai yang akan datang
Semakin pendek periode pengembalian akan semakin baik Break Event Point (BEP) Break event point dinyatakan dengan jumlah unit penjualan dimana keuntungannya adalah nol (Brown 1994). BEP juga merupakan analisis peluang pokok dan dapat digunakan untuk analisis perencanaan laba. Rumus umum volume penjualan pada titik BEP adalah : FC *
..
Q =
............................................................................... (17)
P–v
Keterangan : Q* FC P V Analisis BEP
= kuantitas penjualan pulang pokok = total biaya tetap = harga pokok per unit produk = biaya variabel per uit produk juga dapat digunakan dengan formula untuk menentukan
harga produk minimun untuk mencapai titik impas dengan formula matematik sebagai berikut : FC + vQ *
P =
…………………………. .......................................... (18) Q
Keterangan = P* Q
= harga jual pulang pokok = kuantitas produk yang dihasilkan
Analisa BEP juga dapat digunakan untuk menentukan harga jual produk minimum dalam mencapai titik impas
45 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas merupakan suatu teknik untuk menunjukkan seberapa besar perubahan kriteria investasi yang diakibatkan oleh perubahan masukan dengan asumsi bahwa hal lain tidak terjadi perubahan (Sutoyo 1993). Selanjutnya dinyatakan
bahwa
analisis
sensitivitas
diperlukan
untuk
mengantisipasi
kemungkinan kesalahan perkiraan nilai biaya atau manfaat serta mengantisipasi kemungkinan terjadinya perubahan suatu harga saat proyek sedang dilaksanakan sehingga mengubah asumsi-asumsi yang ditetapkan di awal proyek.
Pada
umumnya analisis sensitivitas dilakukan pada kisaran 10-50 % dari nilai yang berlaku saat ini. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sitem sebagai titik tolak analisis.
Dengan demikian,
manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai ciri dengan sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem.(Marimin 2005). Manetsch dan Park (1977) mendefinisikan sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuantujuan. Visi kesisteman dalam arti luas adalah pola pikir ilmiah untuk pengkajian yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya. Oleh karena itu pemikiran kesisteman selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka pikir yang dinamakan pendekatan sistem (Eriyatno 1999). Pendekatan sistem mulai doperkenalkan oleh Von Bertalanffy dengan gagasannya yang dinamakan General System Theory (GST) yang didasari oleh pemikiran perlunya keahlian generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien. Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno 1999). Namun mengingat keterbatasan tenaga, waktu dan biaya maka
46 tidak setiap persoalan manajemen harus diselesaikan dengan pendekatan sistem. Pengkajian dan pemecahan permasalahan yang menggunakan pendekatan sistem sebaiknya dikhususkan hanya bagi permasalahan yang mempunyai karakteristik: (1) kompleks, yaitu interaksi antar elemen cukup rumit, (2) dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, (3) probabilistik, yaitu diperlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi.
Dalam menerapkan pendekatan sistem harus dipegang
teguh tiga pola pikir dasar yaitu: (1) sibernetik (cibernetic), artinya berorientasi pada tujuan.
Bahwasanya pendekatan sistem dimulai dengan menetapkan
sekumpulan tujuan yang ditampilkan melalui analisa kebutuhan, (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, yang berarti segmentasi atau cara pandang yang parsial dipandang mereduksi hasil kajian, (3) efektif (effectiveness), yaitu konsepsi yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan (Eriyatno (1999). Tahapan pendekatan sistem, sebagaimana ditemukan oleh Menetch & Park (1977), mengandung tiga unsur utama sistem yaitu data dan pengetahuan dasar, keandalan model matematik, dan penerapannya. Pendekatan sistem dicirikan oleh adanya metodologi perencanaan atau pengelolaan, bersifat multidisiplin, terorganisir, penggunaan model matematika, kemampuan berpikir secara kualitatif, penggunaan teknik simulasi dan optimasi serta dapat diterapkan dengan komputer. Pendekatan sistem menggunakan model, yaitu suatu abstraksi dari keadaan nyata atau penyederhanaan sistem nyata dalam rangka memudahkan pengkajian suatu sistem yang dipelajari atau diamati (Marimin 2004). Paparan tersebut lebih merujuk kepada apa yang sekarang dikenal sebagai hard system appoach. Saat ini, pendekatan sistem berkembang menjadi berbagai macam tipe, yaitu hard system approach, soft system approach, dan critical system approach (Midgley 2000; Goede 2005). Eriyatno (1999) menyatakan bahwa metode penyelesaian persoalan dengan pendekatan sistem harus dilakukan dalam beberapa tahapan proses yaitu :
47 1) Analisis 2) Rekayasa model 3) Implementasi rancangan 4) Implementasi 5) Operasi sistem Setiap tahapan dalam proses tersebut diikuti oleh suatu evaluasi berulang untuk mengetahui apakah hasil dari suatu tahapan telah sesuai atau dapat mencakup apa yang diharapkan.
Apabila ternyata belum sesuai, maka harus
dilakukan pengulangan kembali (iteratif) pada tahap tersebut, sebelum melangkah ke tahap berikutnya. Metodologi sistem dimaksudkan untuk mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak mencakup kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasikan dan diseleksi. Tahap ini dimulai dengan berusaha memahami kebutuhan sistem yang harus dicukupi. Metodologi sistem dilakukan melalui enam tahapan analisis sebelum sampai pada tahapan sintesa (rekayasa), yaitu : 1) Analisa kebutuhan, 2) Identifikasi sistem, 3) Formulasi masalah, 4) Pembentukan alternatif sistem, 5) Determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik , 6) Penentuan kelayakan finansial. Langkah pertama sampai ke enam umumnya dilakukan dalam satu kesatuan kerja yang dikenal sebagai Analisis Sistem. (Gambar11) MULAI IDENTIFIKASI SISTEM
KEBUTUHAN DASAR
ANALISIS KEBUTUHAN
Lengkap ?
Lengkap ?
Tidak
Pernyataan Kebutuhan
Tidak
INPUT- OUTPUT PARAMETE R
Rekayasa awal model Tidak
FORMULASI PERMASALAHAN
CUKUP ?
CUKUP ?
Tidak
DIAGRAM ALIR DESKRIPTIF
SELESAI
Gambar 11 Tahapan analisis sistem (Sumber: Eriyatno 1999)
METODOLOGI
48 Kerangka Pemikiran Penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran sistemik, dengan memfokuskan pada rancang bangun sistem penunjang keputusan (SPK) manajemen risiko usaha agroindustri biodiesel berbasis kelapa sawit. Aspek yang secara khusus dikaji meliputi pengadaan bahan baku, proses pengolahan, pemasaran, dan finansial. Biodiesel adalah bahan bakar substitusi solar/diesel yang berasal dari pengolahan (transesterifikasi) minyak nabati. Biodiesel pada dasarnya dapat dibuat dari minyak nabati apapun seperti crude palm oil (CPO), olein, minyak jarak pagar, minyak kelapa, bahkan biodiesel dapat dihasilkan dari minyak jelantah. Indonesia mempunyai potensi bahan baku yang besar berupa sumber daya hayati yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang dapat digunakan sebagai sumber bahan baku biodiesel didukung ketersediaan lahan yang luas. Dari aspek teknologi, pembuatan biodiesel relatif sederhana dan dapat dikembangkan oleh berbagai lembaga Litbang dan sejumlah industri permesinan / rekayasa dalam negeri. Dari aspek lingkungan, bahan bakar biodiesel lebih ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Dari aspek ekonomi, dengan meningkatnya harga BBM, pengembangan biodiesel cukup menjanjikan karena sekaligus dapat meningkatkan pasokan energi dalam negeri. Permasalahan dalam perkembangan biodiesel berbasis kelapa sawit diantaranya adalah berfluktuatif harga CPO sebagai bahan baku utama dan harga bahan pembantu seperti metanol dan katalis (KOH), sumber daya manusia yang menguasai teknologi proses produksi biodiesel masih kurang, faktor kelembagaan belum maksimal, harga biodiesel dalam negeri harus bersaing dengan harga minyak fosil yang disubsidiI, ketergantungan yang sangat besar terhadap keberhasilan produksi bahan baku menjadi faktor kritis sehingga perlu dilakukan analisis dan manajemen risiko pengadaan bahan baku.
Risiko
pengadaan bahan baku terdiri atas risiko ketidaktepatan waktu pengadaan (ketersediaan), kekurangan jumlah yang tersedia, adanya harga yang kompetitif serta fluktuasi harga bahan baku, kualitas bahan baku dan biaya dalam pengadaan bahan baku cukup tinggi. Selain faktor risiko tersebut diatas, harga biodiesel ysng masih rendah dibandingkan dengan solar bersubsidi sangat
49 mempengaruhi kelangsungan produksi agroindustri biodiesel, hingga pada akhirnya dapat mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan. Selain risiko pada bahan baku proses pengolahan perlu juga di perhatikan karena proses pengolahan bahan baku sangat mempengaruhi mutu produk agroindustri.
Jika risiko pengadaan bahan baku dapat diminimumkan,
maka aspek proses pengolahan menjadi faktor penting dalam pencapaian mutu produk yang diinginkan. Kegagalan proses dan ketidaktepatan aspek pengolahan dapat menyebabkan tidak tercapainya mutu dan keamanan produk yang akan berpengaruh terhadap kepuasan konsumen dan pada akhirnya mempengaruhi kinerja pemasaran. Risiko lain yang tidak boleh diabaikan adalah risiko pemasaran berupa tidak tercapainya target pemasaran, yang disebabkan oleh faktor internal perusahaan dalam menghadapi kondisi pemasaran yang dinamis, kebijakan pemerintah dan harga biodiesel, sedangkan faktor ekstemal terkait dengan tingkat persaingan yang makin ketat dan adanya perubahan selera konsumen yang sangat cepat, harga bahan mentah minyak fosil, dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar. Risiko pemasaran berimplikasi langsung terhadap kinerja keuangan perusahaan, sehingga diperlukan manajemen risiko pemasaran secara tepat. Apabila dilihat dari kondisi keuangan perusahaan, maka hal tersebut tergantung pada banyak faktor dari aspek bahan baku, proses pengolahan dan pemasaran. Faktor-faktor tersebut antara lain harga bahan baku dan komponen produksi lainnya, biaya proses pengolahan, jumlah produk terjual dan harga jual produk. Selain itu, juga tergantung pada kondisi makro yang bersifat spekulatif seperti nilai tukar rupiah, tingkat inflasi, suku bunga bank dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut mengandung risiko sehingga memberikan implikasi pada risiko finansial, sehingga perlu diperhatikan dalam melaksanakan manajemen risiko agroindustri sehingga industri bisa berkelanjutan. Aspek kelembagaan juga menjadi faktor penting yang tidak boleh diabaikan dengan pengembangan agroindustri berkelanjutan. Hal ini karena hubungan kerja dan permasalahan yang relatif kompleks dan dinamis antara petani, pedagang perantara, perusahaan agroindustri, lembaga pembiayaan konvensional dan pemerintah daerah.
50 Upaya harmonisasi hubungan antara lembaga terkait dalam menunjang manajemen risiko untuk pengembangan agroindustri diperlukan manajemen pengendalian kelembagaan. Berdasarkan uraian di atas diperlukan suatu penelitian manajemen risiko agroindustri biodiesel yang komprehensif dengan menggunakan pendekatan sistem karena terdapat sejumlah permasalahan yang kompleks, dinamik dan probabilistik. Kerangka pemikiran penelitian manajemen risiko agroindustri disajikan dalam Gambar 12.
Permasalahan Penelitian : . Minat investasi agroindustri Biodiesel sangat kurang - Komplain kualitas dan Keamanan produk meningkat - Biaya produksi meningkat - Kerusakan lingkungan meningkat - Kredit usaha macet
Potensi Pengembangan Kelapa Sawit : Sumber daya alam Indonesia sangat baik seperti iklim sesuai untuk pertumbuhan dan pengembangan kelapa sawit. Indonesia tercatat sebagai produsen CPO nomor satu di dunia dengan produksi CPO sebesar 19 juta ton
MANAJEMEN RISIKO Analisis Risiko Bahan Baku, Proses Pengolahan, Pemasaran, Finansial
Pengendalian Risiko Tidak Risiko Teridentifikasi ? Ya Kelembagaan Alternatif Kebijakan
Strategi Pengendalian (Rule-Base) Resume Hasil Konsultasi Pakar
Risiko Terkendali
Selesai
Gambar 12 Kerangka pemikiran penelitian manajemen risiko agroindustri Biodiesel Tata Laksana Penelitian Tempat dan waktu penelitian
51 Penelitian ini diadakan di Propinsi Riau dan di Pabrik Biodiesel di Tanggerang. Dipilihnya lokasi studi kasus pada perusahaan agroindustri biodiesel tersebut adalah karena perusahaan sudah memproduksi biodiesel dengan kapasitas produksi rata-rata 60 000 ton per tahun. Penelitian ini berlangsung selama 5 bulan (Desember 2007 – April 2008) Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dan akusisi pengetahuan pakar dilakukan atas dasar kebutuhan sistem. Studi pustaka dilakukan untuk memperoleh informasi tentang luas areal produksi kelapa sawit sebagai bahan baku, kondisi produksi bahan baku, faktor yang mempengaruhi produksi bahan baku, potensi risiko produksi bahan baku, penanganan panen dan pasca panen, teknologi proses pengolahan biodiesel dan mutu produk biodiesel serta permintaan pasar terhadap produk biodiesel. Survai pakar dilakukan untuk mendapatkan data primer terutama data utama yang tidak diperoleh dari studi pustaka. Data primer dikumpulkan dari hasil survey di industri biodiesel, pekebun sawit, dan hasil wawancara dengan pakar, baik secara langsung maupun melalui kuisioner.
Proses akusisi pengetahuan dan proses
pembobotan dilakukan melalui Focus Group Discusion (FGD) Tahapan Penelitian Penelitian ini didahului dengan melakukan pengumpulan dan pengolahan data yang didasarkan atas kebutuhan sistem dan dikelompokkan sebagai berikut : 1) Tahap pendahuluan, meliputi kajian literatur dan sumber informasi yang dapat menunjang pelaksanaan penelitian, melalui survai pakar. 2) Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara diskusi, wawancara, FGD dan pengisian kuesioner di lokasi penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. 3) Melakukan strategi manajemen risiko yaitu menganalisis risiko pada aspek bahan baku, proses pengolahan, pemasaran dan finansial. 4) Menentukan tingkat risiko menggunakan ME-MCDM selanjutnya melakukan agregasi nilai risiko agroindustri biodiesel pada aspek bahan baku, proses pengolahan dan pemasaran dengan menggunakan teknik
52 operasi OWA (Ordered Weighted Average), sementara penilaian risiko finansial menggunakan koefisien variasi (CV).
AHP digunakan untuk
mengetahui risiko yang sangat berpotensi untuk diatasi dalam usaha agroindustri biodiesel. 5) Melakukan analisis kelayakan finansial dengan kegiatan meliputi penentuan kapasitas produksi, perhitungan biaya tetap dan biaya variabel, perhitungan kelayakan finansial (NPV, Payback period, Net B/C rasio, dan BEP). 6) Melakukan analisis sensitivitas melalui pembangkitan bilangan acak terhadap tingkat pemenuhan kebutuhan bahan baku, dan persentase produk terjual. 7) Membuat
strategi
penanganan
risiko
dengan
manajemen
risiko
agroindustri biodiesel, melalui pengembangan model kelembagaan untuk mendapatkan alternatif kebijakan dalam mengatasi risko dengan menggunakan teknil ISM (interpretative structural modelling) dan menyusun alternatif kebijakan melalui mekanisme protokol atau rulebase untuk menghasilkan resume hasil konsultasi pakar pada usaha agroindustri biodiesel 8) Merekayasa sistem penunjang keputusan (SPK) manajemen risiko agroindustri biodiesel dan selanjutnya dikembangkan suatu perangkat lunak. Tahapan penelitian manajemen risiko agroindustri dapat dilihat pada Gambar 13.
53 Mulai
Studi Pustaka dan Survey Pakar Agroindustri Biodiesel Berbasis Kelapa sawit
Manajemen Risiko
Analisis Risiko Bahan Baku ME-MCDM -
Analisis Risiko Proses Pengolahan ME-MCDM –
Analisis Risiko Pemasaran ME-MCDM -
Analisis Risiko Finansial Coefficient of variance (cv)
Agregasi Agregasi Tingkat TingkatRisiko RisikoOperator OperatorOWA OWA Pengendalian Risiko ( AHP )
Tidak
Risiko Teridentifikasi?
Analisis Kelayakan Finansial ( NPV, IRR, PBP, dan Net b/c ratio)
Tidak
Ya
Strategi StrategiPengendalian Pengendalian (Mekanisme (MekanismeProtokol Protokolatau atau Role Role-base) -base)
Kelembagaan ( ISM )
Kebijakan
Tidak VALIDASI VALIDASI Ya IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Selesai
Gambar 13 Tahapan penelitian manajemen risiko
Resume Hasil Konsultasi Pakar