II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengembangan Industri dan Agroindustri Perkembangan industri di Indonesia, sebagaimana juga dibanyak negara berkembang lainnya, terutama di Amerika Latin, Asia Selatan, Asia Timur dan Asia Tenggara, diawali dengan Strategi Substitusi Impor yang berlangsung mulai akhir dekade 1960-an sampai pertengahan dekade 1980-an (Tambunan 2001). Strategi ini dicirikan antara lain dengan proteksi yang sangat tinggi, ekonomi yang tertutup dan berusaha berdikari dalam sebagian besar kebutuhan (S iahaan 2000). Proteksi yang umum dilakukan pada periode tersebut adalah pengenaan bea masuk yang tinggi untuk impor produk-produk industri manufaktur, pengenaan tata niaga atas berbagai jenis barang antara lain dalam bentuk larangan impor, kuota dan lisensi impor, dan ketentuan-ketentuan administrasi serta hambatan non tarif lainnya. Pilihan pada Strategi Substitusi Impor tersebut telah mendorong diberikannya prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas (broadbased industry) dan industri berbasis teknologi tinggi (high-tech industry) dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih diimpor, sedang industri-industri berbasis pertanian (agroindustri) kurang mendapatkan perhatian. Strategi Substitusi Impor yang berkepanjangan telah membawa dampak negatif terhadap perkembangan industri di Indonesia. Kebijakan proteksi dan tata niaga yang berlebihan telah mengakibatkan high cost economy, dan industri di Indonesia tidak didorong untuk kompetitif di pasar dunia dan tidak fokus pada pengembangan industri dengan keunggulan komparatif yang dimiliki. Melihat pengalaman yang kurang berhasil dengan Strategi Substitusi Impor, badan-badan dunia (Bank Dunia dan IMF) menganjurkan agar negara-negara berkembang menerapkan strategi industrialisasi yang berorientasi ekspor yang dikenal dengan Strategi Promosi Ekspor (Tambunan 2001). Menjelang pertengahan dekade 1980-an, Pemerintah secara bertahap mulai melakukan perubahan strategi industrialisasi dari Strategi Substitusi Impor ke Strategi Promosi Ekspor.
11 Pada era perdagangan bebas saat ini, dimana tidak dimungkinkan lagi diberikannya berbagai bentuk proteksi dan fasilitas yang selama ini dinikmati oleh industri di Indonesia, dan dihapuskannya hambatan-hambatan perdagangan internasional, maka industrialisasi perlu dilaksanakan dengan Strategi Promosi Ekspor dengan tujuan meningkatkan daya saing produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun di pasar ekspor. Krisis ekonomi yang melanda kawasan ini yang dimulai menjelang akhir dekade 1990 -an, memperlihatkan bahwa banyak industri yang telah dibangun di masa lalu dengan Strategi Substitusi Impor, dengan prioritas pada pengembangan industri berspektrum luas dan industri berbasis teknologi tinggi dengan bahan baku dan bahan pembantu yang sebagian besar masih di impor, kurang memiliki kemampuan untuk melakukan ekspor karena kurang kompetitif. Di lain pihak terlihat bahwa industri berbasis pertanian (agroindustri) merupakan sektor yang mampu mengatasi akibat-akibat negatif dari krisis tersebut karena kandungan lokalnya yang tinggi (Saragih 2001). Berdasarkan pengalaman masa lalu dan antisipasi atas perkembangan masa depan, maka ke depan, Indonesia perlu menjadikan agroindustri sebagai sektor yang memimpin (leading sector) dalam strategi pengembangan industri dengan dasar pemikiran sebagai berikut (Saragih 2001): (1) Agroindustri memiliki keterkaitan yang besar, baik ke hulu maupun ke hilir, karena agroindustri yang menggunakan bahan baku hasil pertanian memiliki keterkaitan yang kuat dengan budidaya pertanian maupun dengan konsumen akhir atau industri lain sehingga menciptakan pengaruh ganda yang besar terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini juga akan mempercepat transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke industri; (2) Kegiatan agroindustri memiliki basis pada sumber daya alam, sehingga dengan dukungan sumber daya alam Indonesia yang ada, akan semakin besar kemungkinan untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dalam pasar dunia di samping memiliki pasar domestik yang cukup terjamin; (3) Kegiatan agroindustri umumnya menggunakan input yang dapat diperbaharui sehingga kelangsungan kegiatan ini dapat lebih terjamin dan tidak menimbulkan masalah pengurasan sumber daya alam; (4) Pasar untuk produk agroindustri memiliki peluang untuk terus berkembang karena kapasitas pasarnya
12 yang masih cukup besar sehingga memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi; (5) Kegiatan agroindustri yang memiliki basis di pedesaan dapat menjadi wahana bagi usaha mengatasi kemiskinan dan akan mengurangi kecenderungan perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota; (6) Kegiatan agroindustri di pedesaan akan menghasilkan produk dengan muatan lokal yang relatif besar sehingga dapat memiliki akar yang lebih kuat pada kegiatan ekonomi desa. Dengan demikian pengembangan agroindustri tidak hanya ditujukan untuk mengembangkan
kegiatan
industri
itu
sendiri,
tetapi
sekaligus
untuk
mengembangkan kegiatan budidaya dan kegiatan lain dalam sistem agribisnis secara keseluruhan, sehingga dapat memberikan pengaruh yang besar bagi pencapaian berbagai tujuan pembangunan, seperti mengatasi kemiskinan, peningkatan pemerataan, peningkatan ekspor, pelestarian lingkungan dan lain sebagainya (Saragih 2001). 2.2 Klaster Industri 2.2.1 Pendekatan Klaster Industri Kebijakan pengembangan industri dengan pendekatan klaster telah menjadi pilihan banyak negara industri maju seperti: Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Negeri Belanda, Perancis, Finlandia, Denmark, Swiss, dan negara industri baru, seperti: Korea Selatan, Taiwan dan Singapura. Kebijakan dengan pendekatan sektor industri sudah mulai ditinggalkan. Pendekatan sektoral meletakkan fokus pada hubungan-hubungan horizontal dan persaingan interdependence (hubungan antara pesaing yang bergerak dalam bidang usaha yang sejenis dan beroperasi dalam pasar produk yang sama), sedangkan pendekatan klaster selain melakukan hal tersebut terdahulu, juga memberikan fokus pada hubungan vertikal antara perusahaan yang tidak sejenis yang berada pada rantai nilai produk tersebut (Roelandt et al. 2000). Beberapa definisi mengenai klaster industri yang banyak ditemukan dalam literatur antara lain adalah sebagai berikut : 1) Porter (1990) menjelaskannya sebagai ”A set of industries related through buyer-supplier and supplier-buyer relationship, or by common
13 technologies, common buyers or distribution channels, or common labour pools”. 2) Doeringer dan Terkla (1995) memberi definisi sebagai “Geographical concentration of industries that gain performance advantages through co-location”. 3) Porter (1998a) mendefinisikan kembali sebagai: “A cluster is a geographic concentrations of interconnected companies, specialised suppliers, service providers, firms in related industries, and associated institutions (eg. universities, standard agencies and trade associations) in particular fields that compete but also cooperate”. 4) Definisi yang digunakan oleh UNIDO (OECD 1999) adalah: “The term cluster is used to indicate a sectoral and geographical concentration of enterprises which, first, give rise to external economies (such as the emergence of specialized suppliers of raw materials and component or the growth of a pool of sector specific skills) and, second, favours the rise of specialized services in technical, administrative and financial matters. Such specialized services create a conducive ground for the development of a network of public and private local institutions which support local economic development by promoting collective learning and innovation through implicit and explicit co-ordination”. 5) Philip Cooke (2001) mendefinisikannya dengan: “Geographically proximate firms in vertical and horizontal relationships, involving a localised enterprise, support infrastructure, with a shared developmental vision for business growth, based on competition and co-operation in a specific market field”.
Dari beberapa definisi tersebut di atas kelihatan bahwa definisi mengenai klaster terus berkembang, dan pada kenyataannya pada saat ini setiap negara memiliki pengertian tersendiri mengenai konsepsi klaster ini. Banyak negaranegara OECD menggunakan definisi dari UNIDO sebagaimana dicantumkan di atas dalam pendekatan klasternya. Pada penelitian ini istilah klaster juga mengacu pada definisi yang digunakan oleh UNIDO, yang pada dasarnya menyatakan
14 bahwa istilah klaster mengindikasikan adanya konsentrasi geografis dan sektoral dari perusahaan -perusahaan yang menimbulkan
external economies
dan
menyebabkan berkembangnya jasa-jasa pelayanan khusus di bidang teknis, adminstratif dan keuangan. Menurut Doeringer dan Terkla (1995) dan Rodriguez-Clare (2005), klaster industri lahir karena terdapatnya pengaruh luar yang menguntungkan (positive externalities). Lokasi yang spesifik untuk setiap klaster terjadi secara kebetulan saja (historical accident) atau karena biaya untuk membangun perusahaan di lokasi tersebut lebih rendah dari pada membangun di tempat lain. Menurut Porter (1998b), suatu klaster dapat lahir di suatu lokasi tertentu karena di lokasi tersebut terdapat bagian dari Porter’s diamond yang dapat dimanfaatkan. Motivasi utama yang mendorong terbentuknya klaster adalah tersedianya sejumlah faktor yang mendukung, seperti: adanya permintaan pasar yang spesifik, teknologi, keahlian atau ket erampilan khusus, fasilitas riset dan pengembangan dan atau sekolah atau perguruan tinggi, lokasi yang baik atau tersedianya sumber daya dan infrastruktur yang sesuai, atau karena timbulnya kesempatan (chance factor). Enright (2000) juga menyatakan bahwa banyak klaster berawal dari terdapatnya kondisi faktor lokal yang spesifik, permintaan pasar lokal atau industri yang terkait. Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa banyak hal yang dapat menyebabkan lahirnya klaster disuatu daerah tertentu, namun kelahiran suatu klaster tidak dapat dipaksakan (Enright 2000). Porter (1990) menyampaikan argumentasinya, bahwa adanya persaingan merupakan kekuatan yang mendorong perkembangan klaster. Pembentukan klaster (clustering) merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pertumbuhan satu perusahaan yang memiliki daya saing pada klaster tersebut akan membangkitkan kebutuhan akan adanya industri terkait lainnya pada klaster dimaksud. Dengan berkembangnya klaster, akan terjadi sistem yang saling memperkuat dimana manfaatnya akan mengalir ke depan dan ke belakang pada seluruh industri yang terdapat dalam klaster. Porter (1990) berpendapat bahwa persaingan antara perusahaan dalam klaster akan mendorong pertumbuhan karena
15 persaingan akan memaksa perusahaan dalam klaster untuk lebih inovatif dan didorong untuk melakukan perbaikan serta menciptakan teknologi baru. Keadaan ini dapat mendorong terjadinya spin off, menstimulasi kegiatan penelitian dan pengembangan dan mendorong diterapkannya ket erampilan dan jenis pelayanan yang baru. Karena banyak perusahaan dalam klaster memerlukan tenaga dengan keterampilan yang sama, maka akan terjadi perpindahan tenaga kerja antar perusahaan dalam klaster yang berakibat terjadinya transfer pengetahuan kepada perusahaan yang menerima tenaga kerja tersebut. Hal ini akan meningkatkan persaingan, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan. Pertumbuhan ini dapat memperdalam integrasi vertikal dari klaster ataupun integrasi horizontal dari sektor klaster tersebut. Integrasi vertikal akan meningkat dalam hal terjadi pembagian kegiatan yang lebih spesifik, sehingga perusahaan yang baru dapat mengisi market niche yang terjadi. Clustering horizontal akan terjadi dalam hal diterapkannya teknologi baru dan keterampilan baru pada industri terkait dari berbagai sektor. Doeringer dan Terkla (1995) menekankan manfaat yang diperoleh dari aglomerasi yang juga sangat berperan dalam perkembangan klaster. Perusahaan yang berlokasi saling berdekatan, akan mendapat manfaat berupa biaya transportasi dan biaya transaksi yang lebih rendah serta mendapatkan akses yang lebih mudah untuk memperoleh tenaga kerja yang diperlukan. Aglomerasi juga akan mendorong persaingan melalui transfer dari informasi serta pengetahuan dan teknologi di antara perusahaan yang saling terkait. Transfer pengetahuan dan teknologi ini dapat memunculkan industri baru yang menyebabkan klaster menjadi lebih besar dan bertumbuh. Hal lain yang membantu perkembangan klaster adalah kesempatan untuk bertemu muka secara langsung antara para pelaku industri di dalam klaster tersebut karena lokasi yang berdekatan. Interaksi dengan cara tatap muka ini sangat membantu perusahaan kecil yang ada dalam klaster, dengan cara mana mereka bisa mendapatkan informasi mengenai market niche di klaster tersebut yang dapat mereka layani. Kedekatan dengan semua perusahaan di dalam klaster memungkinkan perusahaan-perusahaan meningkatkan teknologi dan inovasi
16 secara cepat sehingga dapat meningkatkan efisiensi keseluruhan proses produksinya. Perusahaan -perusahaan dalam klaster dapat bekerjasama untuk menyediakan pelayanan atau jasa-jasa tertentu yang diperlukan sehingga dapat mendorong perkembangan klaster lebih lanjut. Infrastruktur sosial pada klaster juga membantu memfasilitasi transfer pengetahuan dan teknologi sehingga dapat memperkuat klaster dan mendorong pertumbuhan klaster (Morosini 2004). Jadi dapat disimpulkan bahwa perkembangan klaster diakibatkan o leh beberapa faktor kunci antara lain: transfer dari teknologi, transfer dari pengetahuan, pengembangan tenaga terampil pada industri terkait, manfaatmanfaat dari aglomerasi dan infrastruktur sosial yang terbentuk (Le Veen 1998). Selain kelahiran yang secara alamiah, Bekar dan Lipsey (2001) berpendapat bahwa klaster dapat pula terbentuk melalui cara-cara : 1) Dengan membangun suatu klaster yang dikaitkan dengan klaster yang sudah ada. 2) Dengan menarik suatu perusahaan ternama ke suatu daerah, dengan harapan bahwa perusahaan tersebut akan diikuti oleh perusahaan lain yang terkait dengannya. 3) Dengan mendirikan atau mengadakan suatu fasilitas tertentu sehingga daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif, seperti: research park yang dibangun oleh Pemerintah.
Cheney (2002) menguraikan manfaat yang diperoleh dari klaster sebagai berikut : 1) Suasana persaingan antara perusahaan tertentu dalam klaster akan menjalar dan menimbulkan suasana persaingan antara perusahaan perusahaan lain dalam klaster sehingga memacu timbulnya diversifikasi, produk baru atau bahkan klaster baru. Tanpa persaingan, tidak timbul tekanan untuk perbaikan atau diversifikasi. Apabila perusahaan berhenti bersaing, maka industri tersebut akan stagnan dibandingkan dengan industri lain yang berada diluar klaster tersebut, terutama terhadap pesaing dari luar negeri.
17 2) Pendatang baru dalam klaster menyebabkan peningkatan (upgrading) melalui
diversifikasi
dalam
penelitian
dan
pengembangan
dan
memperkenalkan strategi dan keterampilan baru. 3) Informasi mengalir secara bebas dan menyebar dengan cepat kepada para pemasok, dan melalui supply chain kepada para pelanggan. Komoditi yang paling penting yang diperoleh melalui klaster adalah informasi, dan hasil dari berbagi informas i sesama anggota klaster adalah berupa pengurangan biaya, diferensiasi, kemajuan teknologi dan ruang gerak yang lebih baik dalam rantai nilai. 4) Interkoneksi di dalam klaster menghasilkan cara-cara baru untuk bersaing dan kesempatan baru untuk diversifikasi, baik melalui penghematan biaya, penururnan harga maupun melalui operasi yang lebih efektif. 5) Klaster akan mendorong pertumbuhan dan berperan dalam menimbulkan dorongan untuk diferensiasi dan membantu mengatasi sikap yang hanya berfokus ke dalam, tidak fleksibel dan sikap cepat puas dengan apa yang telah dicapai, yang merupakan ciri-ciri perusahaan yang sudah mendekati akhir kurva pertumbuhannya (maturing industries).
Menurut Rosenfeld (1995), hal yang paling dikhawatirkan dari kebijakan klaster, adalah bahwa kebijakan klaster dapat menyebabkan over-specialization dalam suatu ekonomi. Apabila industri dalam klaster tersebut mengalami kegagalan, maka seluruh ekonomi di wilayah tersebut akan mengalami pukulan dan kerusakan. Hal kedua yang menjadi bahan kritikan adalah bahwa klaster industri lebih sesuai untuk perusahaan-perusahaan yang kecil, terutama karena suksesnya suatu klaster tergantung sikap saling percaya dan kerjasama yang baik antar anggota klaster. Dalam kenyataannya, perusahaan -perusahaan multi nasional banyak mendominasi ekonomi saat ini dan perusahaan besar cenderung akan meremehkan rasa saling percaya yang diperlukan untuk suksesnya suatu klaster. Kritik ketiga adalah bahwa klaster industri hanya sesuai untuk daerah urban karena daerah pedalaman tidak memiliki skala yang diperlukan untuk berkembangnya suatu klaster. Kritik lain adalah bahwa dengan kemajuan
18 telekomunikasi saat ini, maka tidak diperlukan lagi spatial clustering. Karena itu perusahaan tidak memperoleh keunggulan kompetitif dari kedekatan geografis. Glasmeier dan Harrison (1997) menyatakan bahwa pengembangan klaster hanya sesuai untuk suatu daerah dimana sudah ada basis ekonomi yang beragam yang mampu mendukung pasar yang baru dan diversifikasi. Kritik selanjutnya adalah bahwa klaster industri hanya dapat menjawab perubahan permintaan pasar dan perubahan teknologi secara lambat dan incremental. Untuk perubahanperubahan yang besar dan cepat, Harrison dan Glasmeier menyatakan bahwa klaster cenderung akan menolaknya karena hal itu dapat berakibat perubahan drastis dari proses terdahulu yang telah pernah membawa sukses. 2.2.2 Klaster Industri di Negara Berkembang dan di Indonesia Klaster industri yang terdapat di negara-negara berkembang pada umumnya adalah klaster yang masih pada tahapan embrio dengan skala yang masih kecil dan hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah (Knorringa & Meyer-Stamer 1998). Klaster ini belum melakukan pembagian pekerjaan secara vertikal sebagaimana yang terdapat dalam suatu rantai nilai (value-chain ). Manfaat yang diperoleh dari aglomerasi baru terbatas pada kemudahan untuk dapat bertemu dengan calon pembeli dan terdapatnya pool dari tenaga kerja. Klaster dengan ciri-ciri demikan dikenal dengan istilah “survival cluster”. Survival cluster ini dapat ditemukan baik di daerah pinggiran (rural) maupun di daerah perkotaan (metropolitan). Yang berada di daerah perkotaan biasanya tumbuh karena kebutuhan pemiliknya untuk survive, kurang mempunyai akar di daerah tersebut dan beroperasi pada subsektor-subsektor yang modern. Klaster yang berada di daerah pinggiran lebih banyak beroperasi pada sektor tradisional yang pada umumnya bertumpu pada ket erampilan pekerjaan tangan, seperti: sepatu, alas kaki, barang-barang dari kulit, pakaian jadi, perabot rumah tangga dari kayu, perhiasan dan produk kerajinan tangan lainnya. Knorringa dan Meyer-Stamer (1998) berpendapat bahwa sangat sulit untuk mengembangkan survival cluster yang banyak terdapat pada negara -negara berkembang menjadi klaster dengan kinerja yang lebih tinggi, karena tidak punya kemampuan untuk memenuhi biaya, kualitas dan permintaan yang melekat pada suatu sektor yang formal.
19 Altenburg dan Meyer-Stamer (1999) dalam penelitiannya di Amerika Latin menyimpulkan bahwa pada negara-negara berkembang dik awasan tersebut terdapat bentuk-bentuk klaster yang dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1) Sebagaian besar klaster adalah berupa “survival cluster” yang terdiri dari perusahaan berskala usaha mikro dan usaha kecil, yang memproduksi barang-barang konsumsi berkualitas rendah untuk pasar lokal, yang pada umumnya “barrier to entry”-nya rendah. Pada umumnya produktivitas dan upah pada perusahaan dalam klaster tersebut juga masih rendah. 2) Beberapa klaster merupakan “klaster maju” yang menghasilkan berbagai jenis barang dengan tingkat produksi massa, yang merupakan barang substitusi impor namun tidak banyak melakukan ekspor. Perusahaan dalam klaster ini terdiri dari berbagai skala, mulai dari yang kecil sampai perusahaan yang berskala besar. 3) Beberapa diantaranya merupakan klaster perusahaan trans-nasional, yang bergerak dalam bidang produksi barang yang mengandung muatan teknologi yang tinggi, seperti elektronika dan kendaraan bermotor. Klaster ini didominasi oleh cabang dari perusahaan multi-nasional, yang melayani baik pasar dalam negeri maupun pasar internasional.
Knorringa dan Stamer-Meyer (1998) berpendapat, bahwa klaster dalam suatu negara berkembang bisa stagnan saja atau berkembang menurut suatu lintasan tertentu. Klaster stagnan akan tetap hanya berupa aglomerasi dari sekumpulan perusahaan yang menikmati external economies karena aglomerasi tersebut, namun tidak mendapatkan manfaat lain dari keberadaan klaster tersebut. Klaster yang berkembang, dapat mengalamai pertumbuhan melalui beberapa kemungkinan lintasan (trajectory) menuju salah satu bentuk klaster berikut: klaster distrik industri Italia (Italianate industrial district), klaster “hub and spoke” atau bentuk klaster satelit (satellite). Pada lintasan pertama, suatu klaster yang semula hanya berupa aglomerasi perusahaan akan mengembangkan sekumpulan ciri-ciri yang merupakan ciri-ciri dari suatu distrik industri Italia (Italianate industrial district) dan kemudian berkembang menjadi suatu klaster berbentuk “hub and spoke” dimana terdapat
20 beberapa perusahaan besar yang yang menjadi leader dengan banyak perusahaan kecil dan menengah yang menjadi subkontraktornya. Lintasan kedua, yang lebih umum terjadi dibanyak negara berkembang, adalah perubahan dari aglomerasi biasa perusahaan yang kemudian berubah langsung menjadi klaster hub and spoke tanpa melalui proses menjadi suatu Italianate industrial district terlebih dahulu. Lintasan ketiga adalah perubahan dari suatu aglomerasi biasa menjadi suatu klaster yang berupa distrik satelit (satellite district), dimana perusahaan kecil dan menengah dalam klaster berproduksi untuk memenuhi keperluan perusahaan besar yang berada diluar klaster tersebut. Walaupun sebagian besar klaster industri di negara berkembang masih berupa survival cluster, tetapi terdapat beberapa klaster-klaster yang berhasil berkembang sehingga mempunyai daya saing di pasar global. Klaster industri dan klaster agroindustri yang memenuhi definisi UNIDO (OECD 1999), yang belakangan ini banyak digunakan sebagai acuan diberbagai negara, sampai saat ini belum berkembang di Indonesia. Pada saat ini telah terdapat beberapa embrio klaster agroindustri di Indonesia. Namun hampir semuanya masih berupa survival cluster yang hanya memproduksi barang-barang konsumsi yang berkualitas rendah. Beberapa studi diagnostik mengenai klaster agroindustri di Indonesia telah dilakukan oleh UNIDO, antara lain: klaster agroindustri barang-barang dari kulit, rotan, kopi, bawang goreng (UNIDO 1998a, 1998b, 1998c, 1998d). Depperindag (2001) telah mengidentifikasi beberapa jenis agroindustri yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia menjadi klaster agroindustri sebagaimana yang terdapat di negara-negara maju, yakni: minyak kelapa sawit, pengalengan ikan, karet, kayu, tembakau, cocoa, juice buah -buahan. Masingmasing klaster agroindustri potensial ini terdiri dari beberapa perusahaan yang berlokasi dibeberapa Propinsi dan Kabupaten, bahkan ada yang tersebar dibeberapa
pulau.
Untuk
dapat
mengembangkan
masing-masing
usaha
agroindustri ini menjadi suatu klaster agroindustri yang kuat dan kompetitif maka diperlukan suatu strategi pengembangan klaster yang melintasi batas-batas propinsi.
21 Porter menyatakan bahwa biasanya klaster timbul di suatu daerah secara alamiah dan tidak dapat dipaksakan oleh Pemerintah. Begitu suatu klaster terbentuk secara alamiah, barulah Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah diharapkan berperan untuk memperkuatnya dengan memberikan fasilitasi serta menyiapkan sarana-sarana dan perangkat peraturan yang mendukung. Peranan ini dapat dilakukan Pemerintah antara lain melalui penciptaan faktor pendukung tertentu, seperti (Braga & Gerry 2002): (1) Universitas, pendidikan teknik dan pusat-pusat pelatihan; (2) Perbaikan lingkungan dan iklim usaha; (3) Pusat informasi atau bank data mengenai trend ekonomi; (4) Usaha-usaha pelayanan jasa untuk perusahaan; (5) Rangsangan bagi terbentuknya jaringan dan kerjasama antar perusahaan. Mengingat tingkat perkembangan ekonomi antara suatu daerah dengan daerah lainnya tidak sama, maka Pemerintah Daerah sesuai kewenangan yang ada padanya sebagai daerah otonomi dapat menetapkan kebijakan-kebijakan yang sesuai
untuk
daerahnya
masing-masing.
Pemerintah
Daerah
perlu
mengidentifikasi kekuatan industri unggulan di daerahnya masing-masing dan menetapkan kebijakan yang dapat mengemban gkan klaster dari industri unggulan tersebut. Dalam penetapan kebijakan Pemerintah Daerah setempat (Braga & Gerry 2002) dapat dicatat beberapa issue yang menjadi kendala, seperti: (1) Keterbatasan sumber dana yang dimiliki daerah, (2) Keterbatasan perangkat organisasi dan kemampuan teknis dari aparat daerah, (3) Adanya batasan-batasan kewenangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, (4) Artikulasi, baik teknis maupun administratif antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional sangat berbeda, (5) “Terjemah an” dari kebijakan nasional untuk pelaksanaan di daerah masih banyak tergantung pada interpretasi pejabat di tingkat nasional, (6) Sering ada celah pada peraturan tingkat nasional yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk intervensi, (7) Kemungkinan terjadinya duplikasi dari fungsi tertentu antara badan tertentu ditingkat Nasional dengan Pemerintah Daerah yang perlu diputuskan oleh Pemerintah Pusat.
22 2.2.3 Klaster Industri dan Pembangunan Ekonomi Daerah Tujuan utama pembangunan ekonomi daerah adalah untuk menciptakan tambahan ragam dan jumlah lapangan kerja yang baru bagi masyarakat setempat, dimana Pemerintah Daerah bersama seluruh komponen masyarakat bekerjasama mengelola berbagai sumber daya yang ada di daerah tersebut. Sampai saat ini belum ada teori ataupun kumpulan teori yang secara memuaskan dapat menjelaskan ihwal pembangunan ekonomi daerah (Blakely & Bradshaw 2002). Dari
berbagai
teori
yang
ada,
Blakely
dan
Bradshaw
(2002)
menggambarkannya secara sederhana sebagai berikut : Pembangunan daerah = c x r, dimana c merupakan kemampuan suatu daerah (ekonomi, sosial, teknologi dan politik), dan r merupakan sumber daya daerah (ketersediaan sumber daya alam, lokasi, tenaga kerja, investasi modal, iklim usaha, tranportasi, komunikasi, komposisi industri, teknologi, luas daerah, pasar ekspor, kondisi ekonomi internasional, dan anggaran belanja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah). Nilai c = 1 merupakan keadaan yang netral yang tidak menambah atau mengurangi sumber daya yang dimiliki masyarakat. Nilai c yang lebih besar dari 1 berarti memiliki kemampuan yang besar, yang apabila diaplikasikan terhadap sumber daya akan meningkatkan pembangunan daerah. Organisasi Pemerintah Daerah yang dapat secara efektif membentuk mitra dengan masyarakat akan dapat melipat gandakan sumber daya. Nilai c yang kurang dari 1 memperlihatkan kemampuan Pemerintah Daerah dan masyarakat yang rendah (kepemimpinan sosial, politik dan organisasi yang rendah), yang dapat disebabkan oleh praktek -praktek KKN, mementingkan kepentingan pribadi atau tindakan tidak pantas lainnya, sehingga apabila diaplikasikan terhadap sumber daya akan mengurangi nilainya dan menyebabkan terhambatnya pembangunan. Kemampuan sumber daya diukur dengan berbagai cara, dan setiap teori mengunggulkan sumber daya yang berbeda termasuk bahan baku, infrastruktur, belanja Pemerintah, besarnya pasar, akses kepada dana dan akses komunikasi. Teori-teori pembangunan ekonomi daerah secara tradisional fokus pada bagian r dari persamaan di atas (sumber daya) dan sering mengabaikan bagian c (kemampuan daerah) dari persamaan tersebut.
23 Sumber daya saja, apabila tidak diikuti dengan program pengembangannya, tidak akan menambah kemampuan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa, setiap teori pembangunan ekonomi daerah harus memperhatikan baik sumber daya maupun kemampuan yang dimiliki. Kemampuan masyarakat yang lebih besar akan dapat mengatasi keterbatasan sumber daya daerah dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah. Masyarakat yang memiliki jumlah dan ragam sumber daya yang terbatas, harus bekerja lebih keras untuk dapat memanfaatkan sumber daya yang terbatas tersebut secara efektif. Komunitas yang memiliki kemampuan yang lebih beragam, akan lebih besar kemampuannya untuk mengolah sumber daya yang ada menjadi peluang pembangunan. Misalnya, suatu komunitas memerlukan organisasi pembangunan ekonomi yang baik (a.l. asosiasiasosiasi bisnis, kamar dagang, badan pembangunan ekonomi) untuk dapat secara efektif
menanggulangi
masalah
lambatnya
perkembangan
ekonomi
dan
peningkatan pemanfaatan sumber daya yang ada. Blakely dan Bradshaw (2002) menyatakan bahwa terdapat 2 kumpulan teori yang dapat membantu memahami proses pembangunan ekonomi daerah, yaitu: teori-teori lokasi (location theories), yang fokusnya pada faktor-faktor geografi, dan teori-teori basis ekonomi (economic base theories), yang mempelajari aliran aktivitas ekonomi yang masuk dan keluar dari suatu ekonomi daerah guna mengidentifikasi dan menjelaskan perusahaan dan industri mana yang memiliki kapasitas untuk berkembang. Di samping itu, pemahaman mengenai teori ekonomi neo-classic (neoclassical economic theory) akan dapat membantu, karena prinsip-prinsip dari teori ini yang digunakan untuk ekonomi skala besar, dapat juga digunakan untuk subarea dari ekonomi skala besar tersebut. Teori lokasi menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah sangat ditentukan oleh kesesuaian daerah tersebut untuk lokasi suatu industri. Paradigma lama pemilihan lokasi adalah selalu memilih lokasi dimana biaya-biaya transportasi bahan baku dan biaya-biaya tranportasi untuk mencapai pasar adalah yang paling rendah. Variabel lain yang mempengaruhi pilihan lokasi adalah biaya tenaga kerja, biaya energi, adanya pemasok bahan -bahan baku dan bahan pembantu, komunikasi yang lancar, tersedianya fasilitas pendidikan dan pelatihan, kualitas pelayanan dari pemerintah setempat dan masalah-masalah sanitasi dan
24 pelayanan kesehatan. Karena industri yang berbeda akan memerlukan faktorfaktor yang berbeda, maka komunitas setempat perlu melakukan upaya untuk memanipulasi faktor-faktor ini agar sesuai dengan kebutuhan masing-masing industri. Upaya-upaya ini diambil untuk menggembangkan kemampuan suatu daerah melebihi kemampuan alamiahnya. Teori basis ekonomi mendalilkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah berkaitan langsung dengan permintaan daerah lain terhadap barang-barang, jasa-jasa dan hasil produksi daerah tersebut (“ekspor” keluar daerah). Pertumbuhan industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan-bahan lainnya, untuk menghasilkan produk yang di”ekspor” keluar daerah, akan menghasilkan kekayaan dan lapangan kerja untuk daerah tersebut. Berdasarkan teori ini, maka strategi pengembangan ekonomi daerah akan menekankan prioritas pada upaya menarik bisnis dan memberikan bantuan pada bisnis yang memiliki kemampuan menjual di pasar nasional dan internasional. Industri-industri yang berkemampuan ekspor ini akan menimbulkan kegiatan bagi perusahaan pemasok dan penyedia jasa lainnya yang terkait dan menambah lapangan kerja di daerah tersebut. Teori ekonomi neo-classic menawarkan dua konsepsi untuk pengembangan ekonomi daerah: keseimbangan sistem ekonomi (equilibrium of economic systems) dan mobilitas modal (mobility of capital). Teori ini menyatakan bahwa semua sistem ekonomi akan mencapai keseimbangan alamiah apabila modal dapat berpindah dan mengalir secara bebas. Berarti bahwa modal akan mengalir dari daerah dengan upah atau biaya yang tinggi ke daerah yang upah atau biayanya lebih rendah, karena yang terakhir ini akan memberi keuntungan yang lebih tinggi. Apabila model ini berjalan sempurna, maka semua daerah secara bertahap akan mencapai keadaan yang sama (equal status) dalam sistem ekonomi tersebut. Blakely dan Bradshaw (2002) berpendapat bahwa teori-teori pembangunan daerah yang ada tidak cukup untuk menjelaskan dan mengarahkan kegiatan pembangunan daerah. Karena itu mereka melakukan reformulasi konsepsikonsepsi yang penting dari berbagai teori yang ada, yaitu mengenai hal yang
25 berkaitan dengan lokasi, basis bisnis dan ekonomi, sumber lapangan kerja dan sumber daya komunitas, sebagaimana yang terdapat dalam tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1 Reformulasi Komponen Pembangunan Ekonomi Daerah Komponen Lokasi
Konsep Lama Lokasi fisik (dekat dengan sumber daya alam, transportasi, pasar) mempertinggi nilai ekonomi
Basis Bisnis dan Ekonomi
Perusahaan dan Industri berbasis ekspor menciptakan lapangan kerja dan menstimulasi peningkatan bisnis lokal
Sumber Lapangan Kerja
Makin banyak perusahaan akan menciptakan lebih banyak lapangan kerja, walaupun banyak diantaranya masih membayar upah yang rendah Pengembangan ekonomi masyarakat dilakukan oleh organisasi bisnis secara terpisah-pisah
Sumber daya Komunitas
Konsep Baru Lingkungan yang berkualitas dan kemampuan komunitas melipat gandakan keunggulan alami untuk pertumbuhan ekonomi Klaster-klaster dari industri- industri yang kompetitif yang membentuk jaringan berbagai perusahaan dapat menciptakan pertumbuhan dan pendapatan baru Pengembangan keterampilan yang komprehensif dan inovasi teknologi akan menghasilkan pekerjaan yang berkualitas dengan upah yang tinggi Kolaborasi dan kemitraan dari banyak kelompok masyarakat diperlukan untuk membangun dasar yang kuat bagi industri yang kompetitif
Sumber : Blakely dan Bradshaw (2002)
Lokasi: Teknologi telah merubah pandangan tradisional yang menyatakan bahwa lokasi merupakan faktor penentu dalam pengembangan industri. Perusahaan-perusahaan, termasuk perusahaan besar, sudah tidak lagi terikat pada suatu lokasi tertentu. Ketergantungan terhadap suatu sumber daya alam tertentu di suatu daerah telah diupayakan untuk dikurangi dan diganti dengan sumber daya pengetahuan yang lebih mobile sebagai inputnya. Pada masa ini, perusahaan lebih memilih lokasi dimana faktor fisik, sosial dan institusi bekerjasama membentuk lingkungan yang berkualitas dimana manusia dapat hidup dan melakukan kegiatan dengan lebih baik. Dengan demikian maka pandangan tradisional yang menyatakan bahwa ketersediaan sistem transportasi dan sistem pemasaran sebagai daya tarik utama ekonomi suatu daerah sudah usang. Peluang pembangunan ekonomi suatu daerah kini lebih ditentukan oleh kualitas dari sumber daya manusia yang tersedia serta jaringan sosial dan jaringan institusi yang ada di daerah tersebut (Blakely & Bradshaw 2002). Basis bisnis dan ekonomi: Teori pembangunan ekonomi daerah dibangun atas premis bahwa institusi yang ada di daerah haruslah dapat menemukan
26 masalah-masalah yang dihadapi oleh daerah itu dan menyesuaikan susunan institusi dengan kebutuhan untuk mengatasi masalah -masalah yang ada. Membangun hubungan -hubungan institusional yang baru merupakan substansi baru dalam pembangunan ekonomi. Masyarakat akan dapat mengendalikan masa depannya apabila mereka dapat memanfaatkan secara benar semua sumber daya yang dimiliki dengan menggunakan semua informasi yang diperlukan. Dalam era ekonomi baru sekarang ini, kegiatan bisnis masih tetap penting dalam melaksanakan agenda pembangunan daerah, tetapi fokusnya sudah beralih dari perusahaan yang beroperasi sendiri-sendiri kepada jaringan perusahaan atau klaster dari industri yang saling terkait dimana terdapat hubungan yang menguntungkan antara manusia, alam dan teknologi. Sebagai ganti dari pemberian insentif khusus kepada suatu perusahaan tertentu, pembangunan ekonomi adalah melakukan intermediasi diantara perusahaan -perusahaan yang membentuk suatu klaster industri untuk menjajaki bagaimana perusahaan-perusahaan tersebut dapat menghasilkan sinergi dan saling memberikan keuntungan satu terhadap yang lainnya. Sebagai contoh: dalam suatu kawasan industri dapat diatur agar limbah dari suatu perusahaan dapat menjadi input dari perusahaan lain yang berlokasi didekatnya, dan perusahaan dalam kawasan tersebut dapat secara bersama-sama menggunakan air, energi dan sumber daya lain yang ada dilokasi tersebut. Sumber lapangan kerja: Dalam model klasik, penciptaan lapangan kerja selalu terkait dengan upah yang rendah dan biaya-biaya yang rendah. Dalam model ini, maka daerah yang tingkat upahnya rendah akan berhasil menarik investasi ke daerahnya. Perusahaan -perusahaan direkrut berdasarkan berapa banyak tenaga kerja yang bisa diserapnya, walaupun tingkat upah yang dibayar masih sangat rendah dan tanpa memperhatikan tingkat ket erampilan yang dibutuhkan. Dengan kondisi ini, maka perusahaan yang datang ke daerah tersebut adalah perusahaan yang memang semata-mata mencari sumber daya manusia dengan upah yang rendah, yang pada jangka panjangnya tidak menguntungkan daerah tersebut. Dalam ekonomi yang baru, perusahaan memerlukan tenaga kerja yang sangat terampil dan bersedia membayar tingkat upah yang sesuai dengan itu. Perusahaan-perusahaan
yang
kompetitif
menyadari
sepenuhnya
bahwa
27 masyarakat dan perusahan tersebut harus secara terus menerus melakukan investasi untuk mendapatkan tenaga kerja dengan keterampilan yang tinggi. Kualitas sumber daya manusia di suatu daerah merupakan daya tarik yang besar bagi industri untuk berlokasi di daerah tersebut. Apabila sumber daya manusia di suatu daerah cukup berkualitas, maka perusahaan -perusahaan akan tertarik datang ke daerah tersebut atau akan bertumbuh perusahaan baru yang didirikan oleh tenaga terampil setempat. Jadi masyarakat tidak hanya harus menciptakan pekerjaan yang sesuai dengan penduduk yang ada, tetapi juga perlu mendirikan institusi-institusi yang dapat meningkatkan kemampuan dari penduduk. Pengembangan ekonomi daerah, baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang, akan tergantung dari kemampuan masyarakat untuk menggunakan sumber daya manusia yang berpendidikan lebih tinggi dan menggunakan institusi-institusi yang terkait dengan penelitian. Tujuan dari pembangunan ekonomi adalah untuk meningkatkan nilai dari warganya dan nilai dari daerah tersebut. Sumber daya masyarakat: Dalam model klasik, ekonomi suatu daerah dibangun oleh organisasi yang berorientasi bisnis yang mengutamakan kepentingan-kepentingan perusahaan di daerah tersebut. Dalam ekonomi yang baru,
masyarakat
memiliki
banyak
organisasi
yang
mewakili
berbagai
kepentingan. Dengan demikian maka pembangunan ekonomi hanya dapat terlaksana apabila terdapat kolaborasi dari banyak
organisasi
tersebut.
Pemerintah, asosiasi bisnis, lembaga pendidikan dan pelatihan, lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi kemasyarakatan lainnya harus bekerjasama agar prakondisi untuk pertumbuhan ekonomi dapat tercipta. Yang bertanggung jawab untuk menghasilkan suatu pertumbuhan ekonomi bukan lagi satu organisasi tertentu, melainkan suatu organisasi virtual yang terdiri dari semua organisasi yang dapat memberikan kontribusi dalam mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi didaerah tersebut. Menurut Raines (2002), studi mengenai pembangunan ekonomi daerah dalam dua dekade yang lalu telah memperlihatkan bahwa keberhasilan pembangunan suatu daerah selalu terkait dengan terdapatnya klaster industri di daerah tersebut. Klaster industri tersebut dapat berupa jaringan dari perusahaan
28 kecil berbasis keterampilan, mulai dari distrik industri seperti di Italia Utara sampai konsentrasi industri berteknologi tinggi seperti di Silicon Valley, serta dari jaringan agroindustri yang kompetitif di daerah pedalaman Denmark sampai industri perangkat lunak dan multi-media di New York. Sudah menjadi keyakinan banyak pembuat kebijakan diberbagai negara bahwa klaster industri dapat menjadi basis suatu strategi pembangunan ekonomi yang berhasil, melalui dukungan terhadap inovasi di daerah, mendorong spillover teknologi, menghasilkan economies of scale dan meningkatkan pembangunan ekonomi daerah secara berkelanjutan (Raines 2002). Dalam beberapa tahun belakangan ini terjadi perkembangan yang sangat meningkat dari kebijakan yang didesain untuk mengembangkan klaster industri. Menurut Armstrong dan Taylor (2000), secara tradisional kebijakan pembangunan daerah selalu memperlakukan perusahaan secara individual, sehingga kebijakan dikemas dalam berbagai kombinasi disesuaikan den gan kebutuhan perusahaan tertentu tersebut. Namun akhir-akhir ini kebijakan tersebut sudah mengalami perubahan mendasar, dimana kebijakan -kebijakan didesain sedemikian sehingga dapat mendorong terbentuknya klaster-klaster perusahaan di dalam daerah-daerah tertentu. Dalam beberapa keadaan, klaster ini berfokus pada perusahaan -perusahaan besar, yang ditarik masuk berinvestasi ke daerah tersebut dengan tujuan agar perusahaan tersebut dapat mendorong terbentuknya supply chains di daerah tersebut. Pemikiran baru mengenai klaster industri ini telah mempunyai
pengaruh
yang
sangat
besar
terhadap
kebijakan-kebijakan
pembangunan daerah. Brenner
(2004)
menyampaikan
tiga
faktor
yang
mempengaruhi
keberhasilan suatu daerah dalam menumbuhkan klaster yang berlokasi di daerah tersebut. Pertama, terdapatnya kondisi lokal tertentu yang harus ada, karena tanpa terdapatnya kondisi tersebut maka tidak akan ada klaster yang dapat tumbuh di daerah tersebut. Kondisi yang dimaksud adalah: 1) Terdapatnya suatu perguruan tinggi, 2) Terdapatnya lembaga penelitian, dan 3) Terdapatnya sumber daya dan lokasi yang secara geografis sesuai. Kedua, terdapatnya faktor-faktor yang memberi daya tarik bagi daerah tersebut sehingga dapat diharapkan bertumbuhnya klaster di daerah tersebut, seperti: 1) Faktor budaya (kewirausahaan dan
29 kemampuan berinovasi), 2) Kondisi politik dan hukum, 3) Lokasi geografis, 4) Tipe daerah (kota atau rural), 5) Perguruan tinggi dan lembaga penelitian, 6) Kegiatan ekonomi di b idang terkait. Ketiga, terdapat perkembangan yang tidak dapat diramalkan sejak awal, dan hanya dapat diketahui setelah terjadi, seperti: 1) Terdapatnya promotor lokal, 2) Adanya kebijakan khusus, 3) Kejadian historis tertentu, 4) Munculnya Inovasi, 5) Dibangunnya suatu perusahaan yang sangat mempengaruhi perkembangan. Kebijakan berbasis klaster industri dapat ditemukan pada tingkatan nasional, regional dan lokal di negara-negara Austria, Belgia, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Italia, Negeri Belanda, Spanyol, Swedia dan Inggris (Raines 2000). Di Amerika Serikat, kebijakan klaster sudah dijalankan oleh banyak negara bagian, baik negara bagian yang konservatif maupun yang liberal. Canada, baik negara-negara bagiannya yang sangat interventionist maupun yang moderat, juga telah memilih kebijakan klaster. Kebijakan klaster ini juga telah diadopsi oleh Australia, New Zealand, Malaysia dan Singapura. Dengan demikan banyaknya negara-negara yang mengadopsi pendekatan klaster, tidak tertutup kemungkinan bahwa pengertian, pemahaman dan praktek mengenai kebijakan klaster antara satu negara dengan negara lainnya akan ada perbedaan. Enright (1999) juga berpendapat bahwa kebijakan pembangunan daerah yang berlandaskan pengembangan klaster daerah (regional clusters) telah menjadi perhatian banyak negara. Dalam dekade terakhir ini, banyak wilayah (regions), propinsi, kabupaten, kota dan daerah-daerah yang lebih kecil telah menyusun rencana pengembangannya dengan pendekatan klaster industri daerah. Di samping itu, organisasi-organisasi internasional dan multilateral seperti World Bank, UNIDO, OECD, Komisi Eropa serta badan-badan dunia lainnya juga menggunakan strategi klaster sebagai alat untuk melakukan pembangunan daerah diberbagai negara. Alasan-alasan digunakannya strategi klater ini antara lain adalah: tekanan globalisasi dan lokalisasai dalam perekonomian dunia, hambatan hambatan yang dialami dalam pembangunan melalui perusahaan-perusahaan besar, kecenderungan outsourcing dan downsizing dari perusahaan-perusahaan besar, adanya studi-studi yang memperlihatkan keberhasilan strategi klaster
30 daerah pada berbagai negara dan adanya kecenderungan untuk menyerahkan kebijakan pembangunan ekonomi dari Pemerintah Pusat kepada daerah -daerah. Menurut Porter (1998c) peranan utama Pemerintah dalam perekonomian adalah menciptakan stabilitas di bidang ekonomi dan politik. Hal ini dapat dicapai melalui pembentukan pemerintahan yang stabil, kerangka dasar ekonomi yang konsisten dan kebijakan makro ekonomi yang sehat. Peranan kedua adalah memperbaiki kemampuan mikro ekonomi dari perusahaan dengan memperbaiki efisiensi dan kualitas dari input kepada dunia usaha yang diidentifikasi dalam Porter’s diamond (a.l. tenaga kerja yang terdidik, infrastruktur fisik yang diperlukan dan informasi yang akurat dan tepat waktu) dan institusi-institusi yang menyediakan input-input tersebut. Peranan Pemerintah yang ketiga adalah menyusun peraturan -peraturan dan insentif mikro ekonomi yang mengatur mengenai persaingan yang akan mendorong kenaikan produktivitas (a.l. peraturan mengenai persaingan, peraturan perpajakan dan Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dapat mendorong investasi, sistem hukum yang adil dan efisien, perlindungan konsumen, coporate governance yang mengatur mengenai tanggung jawab para manajer dan peraturan yang mendorong penciptaan ino vasi. Peranan keempat, yang timbul karena dirasakan adanya kebutuhan untuk itu, adalah memfasilitasi pengembangan dan peningkatan klaster industri. Pemerintah harus melakukan segala upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan klaster-klaster industri yang ada. Di samping melakukan penyesuaian kebijakan yang diperlukan, Pemerintah perlu pula memberi motivasi, melakukan fasilitasi dan memberikan insentif untuk kegiatan-kegiatan kolektif yang dilakukan oleh sektor swasta. Selanjutnya Porter (1998c) berpendapat bahwa peranan terakhir Pemerintah dalam perekonomian adalah mengembangkan dan mengimplementasikan suatu program aksi jangka panjang atau suatu proses perubahan yang memobilisasi aparat Pemerintah, dunia usaha, institusi-institusi terkait dan masyarakat untuk meningkatkan iklim usaha dan klaster-klaster industri yang berada di daerahdaerah. Peranan Pemerintah sebagaimana diuraikan di atas, juga harus dapat dilakukan pada tingkat Pemerintah Daerah. Menurut Blakely dan Bradshaw (2002), dalam melakukan pembangunan ekonomi daerah, peranan Pemerintah Daerah meliputi fungsi-fungsi sebagai:
31 wirausaha (entrepreneur), koordinator, fasilitator dan stimulator. Sebagai wirausaha, Pemerintah Daerah dapat melakukan kegiatan-kegiatan untuk mengidentifikasi dan menilai pelu ang-peluang bisnis yang mungkin dilakukan oleh Pemerintah Daerah tanpa meninggalkan tugas-tugas pokok mereka di dalam pemerintahan. Sebagai koordinator, Pemerintah Daerah mengkoordinasikan kebijakan dan strategi untuk membangun daerah, pengumpulan dan evaluasi data dan informasi ekonomi. Kegiatan koordinasi ini bertujuan agar semua sektor dan institusi terkait dan masyarakat memfokuskan pendekatan dan sumber daya masing-masing untuk mencapai tujuan yang sama dan agar sumber daya daerah yang terbatas dapat d igunakan secara efektif. Koordinasi ini juga diperlukan agar pembangunan ekonomi daerah berlangsung konsisten dengan program dan strategi Pemerintah Pusat. Sebagai fasilitator, Pemerintah Daerah dapat mendorong pembangunan melalui perbaikan lingkungan perilaku di daerahnya. Peranan ini
meliputi peningkatan kelancaran proses pembangunan, perbaikan
prosedur perencanaan dan pengaturan tata ruang. Berbagai kelompok masyarakat yang berbeda dapat membawa beragam pendekatan berbeda untuk dirumuskan menjadi suatu kebijakan pembangunan ekonomi daerah. Dengan tujuan pembangunan yang jelas maka Pemerintah Daerah dapat terfokus dalam pemanfaatan sumber daya dan tenaga yang dimilikinya. Tujuan pembangunan yang jelas akan memberi dasar yang kuat untuk melaksanakan program-program tambahan lainnya. Sebagai stimulator, Pemerintah Daerah dapat menstimulasi pembentukan bisnis baru ataupun perluasan dari bisnis yang ada melalui tindakan tindakan tertentu, yang akan mempengaruhi perusahaan -perusahaan baru untuk masuk ke daerah tersebut atau agar perusahaan-perusahaan yang sudah ada di daerah tersebut tidak pindah ke daerah lain. Berbagai fasilitas sebagai stimulasi dapat disediakan agar pengusaha tertarik untuk berlokasi di daerah tersebut, misalnya dengan membangun kawasan industri, menyediakan bangunan siap pakai dengan sewa murah dan kemudahan-kemudahan lainnya. 2.2.4 Strategi Pengembangan Klaster Industri Menurut Enright (1999) berbagai strategi pengembangan klaster biasanya mengandung beberapa elemen yang sama, antara lain: (1) Melakukan upaya memperbaiki lingkungan berusaha, dengan meninjau kembali kebijakan
32 perpajakan, meneliti kembali peraturan-peraturan yang terkait, mengurangi biayabiaya pelayanan, merampingkan administrasi dan memelihara iklim berusaha yang kondusif, (2) Menyediakan informasi dan data mengenai bisnis dan trend ekonomi umum maupun yang spesifik untuk klaster, a.l: data mengenai pasar, informasi mengenai konsumen dan pesaing, mengenai teknologi dan lain sebagainya, (3) Dibanyak negara maju, Pemerintah
juga menyediakan
infrastruktur yang diperlukan, pendidikan dan pelatihan. Untuk program berbasis klaster, maka penyediaan infrastruktur, pendidikan dan pelatihan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari klaster yang bersangkutan. Sebagai contoh kebutuhan infrastruktur spesifik tersebut: pengolahan limbah (untuk klaster kulit di Catalan), air khusus (untuk klaster elektronik di Malaysia), tenaga listrik (untuk klaster logam di Venezuela), pelabuhan khusus (untuk klaster perkapalan di Singapura), dan angkutan udara khusus (untuk klaster bunga di Negeri Belanda). Kebutuhan spesifik tersebut dapat pula berupa pendidikan dan pelatihan, seperti: pendidikan dan pelatihan di b idang perangkat lunak (untuk klaster perangkat lunak di Bengalore), di bidang perfilman (untuk klaster perfilman di Los Angeles), pembuatan minuman anggur (klaster anggur di Napa Valley) dan elektronik (klaster elektronik di Taiwan),
(4)
Membantu
mengembangkan jaringan bisnis dan kerjasama antar perusahaan melalui perkenalan,
pertemuan,
asosiasi
industri
dan
mekanisme
lainnya,
(5)
Menyelenggarakan pelayanan bisnis yang mencakup penelitian dasar, penelitian pasar, pengetesan bahan-bahan, konsultasi proses bisnis, konsultasi manajemen, akuntansi dan administrasi, (6) Melaksanakan community building, yaitu membina masyarakat agar memiliki tujuan yang sama dan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama tersebut. Walaupun berbagai strategi pengembangan klaster mengandung banyak elemen yang sama, ada beberapa hal yang menyebabkan perlu dilakukan pendekatan yang berbeda, antara lain: adanya perbedaan mengenai asal usul dari basis industri (industrial base) dan perbedaan mengenai besarnya intervensi Pemerintah (government intervention). Program pengembangan klaster daerah dapat berfokus pada perluasan dan pendalaman dari basis ekonomi yang dimiliki daerah, menarik investasi dari
33 perusahaan asing atau perusahaan dari luar daerah, atau kombinasi dari kedua hal tersebut. Oleh Enright (1999), strategi yang fokus pada perluasan dan pendalaman basis industri setempat disebut sebagai organic cluster strategy, yang berfokus pada penarikan investasi asing disebut sebagai transplant cluster strategy dan kombinasi keduanya disebut sebagai hybrid cluster strategy. Organic cluster strategy mengupayakan perluasan dan pendalaman dari basis ekonomi yang dimiliki daerah tersebut dengan melakukan identifikasi atas klaster yang ada di daerah dan kemudian mencoba mendorong pembangunan melalui perbaikan aliran informasi, meningkatkan interaksi antara perusahaanperusahaan setempat, menghilangkan hambatan atas ketersediaan infrastruktur, mengembangkan kemampuan sumber daya manusia dan mengupayakan kolaborasi antara perusahaan-perusahaan. Walaupun upaya untuk menarik perusahaan dari luar daerah tetap dilakukan, tetapi fokus tetap pada perusahaan yang sudah ada di daerah tersebut. Sebagian besar program strategi di Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Austria dan New Zealand termasuk kategori ini. Transplant cluster strategy berusaha membangun klaster dengan menarik perusahaan besar dari luar daerah dan kemudian mengembangkan atau menarik pemasok dan perusahaan terkait. Perusahaan yang ditargetkan untuk masuk ke daerah adalah perusahaan-perusahaan yang memang sesuai dengan kondisi dan perkembangan yang ada di daerah tersebut. Di samping fasilitas produksinya, perusahaan yang ditarik masuk juga diharapkan mendirikan kantor regionalnya dan membawa kegiatan lain seperti kegiatan penelitian dan pengembangan dan kegiatan lain yang memiliki nilai tambah yang tinggi. Strategi seperti in i dilakukan oleh Irlandia, Scotland, Wales, Inggris bagian Utara, Malaysia dan Singapura. Dinamakan hybrid cluster strategy apabila pengembangan organic cluster juga secara aktif melakukan usaha penarikan modal asing ke daerah itu, atau apabila transplant strategy juga berhasil menciptakan critical mass dari perusahaan yang berasal dari daerah tersebut. Negara bagian Massachusetts dan Arizona di Amerika Serikat telah menambahkan upaya promosi penanaman modal asing ke dalam kebijakan klaster mereka, sedangkan Singapura dan Irlandia berhasil menarik banyak investasi asing sehingga dapat dijadikan basis untuk
34 pengembangan klaster di negara tersebut. Masing -masing strategi ada plus dan minusnya. Organic cluster strategy yang mengandalkan fitur yang unik dari lingkungan lokal akan dapat membantu mengembangkan kelebihan yang khas dari daerah, yang sulit untuk ditiru. Organic cluster strategy hanya dapat dilaksanakan apabila terdapat basis ekonomi yang kuat di daerah tersebut. Namun dalam kenyataannya, banyak daerah yang tidak memiliki basis ekonomi yang kuat. Transplant cluster strategy dapat membantu pengembangan ekonomi daerah secara relatif lebih cepat, tetapi peluang investasi yang ada biasanya terbatas. Strategi ini juga mudah untuk ditiru oleh daerah lain sehingga akan menimbulkan persaingan yang ketat. Hybrid cluster strategy yang pada hakekatnya sangat menarik, namun dapat menimbulkan masalah dan persaingan antara kebijakan yang dibuat untuk perusahaan lokal dengan kebijakan yang dibuat untuk perusahaan asing. Organic strategy melihat bahwa pengembangan ekonomi datang dari perusahaan lokal dan kemampuan mereka menembus pasar internasional
untuk
kemudian
menjadi
perusahaan
multi nasional
atau
memperkuat kehadiran mereka di pasar internasional. Transplant strategy mengupayakan pengembangan dengan menarik kegiatan global dari perusahaan multi nasional, dan memanfaatkan kegiatan ini sebagai suatu kegiatan inti disekeliling mana akan berkembang kegiatan-kegiatan lain. Globalisasi dari persaingan dan kegiatan perusahaan multi nasional menciptakan kesempatan untuk menarik kegiatan-kegiatan ke daerah-daerah yang sudah kehilangan daya saingnya atau daerah yang belum pernah dikembangkan. 2.2.5 Analisa Klaster Industri Menurut Bergman dan Feser (1999), terdapat 3 tingkatan analisa klaster industri, yaitu : 1) Analisa klaster industri pada tingkat mikro (tingkat perusahaan ), yang fokusnya adalah analis a pada tingkat perusahaan. Pada tingkat mikro ini, klaster
dilihat
sebagai
keterkaitan
beberapa
perusahaan
yang
menghasilkan produk yang hampir sama atau mirip (Redman 2002), dan antara perusahaan-perusahaan tersebut terdapat hubungan yang formal maupun tidak formal. Dalam analisa ini, masalah rantai nilai tidak menjadi hal yang mendapatkan perhatian. Fokus pada analis a ini adalah
35 melakukan identifikasi dan penggambaran hubungan dari para produsen produk yang mirip tersebut. 2) Analisa klaster industri pada tingkat meso (tingkat industri), yang fokusnya adalah pada rantai nilai suatu produk yang ada di pasar. Analisa pada tingkatan ini mencoba mengidentifikasi komplementaritas dan potensi aliansi strategis antara industri-industri yang sudah berkembang disuatu daerah maupun antara industri yang sudah berkembang dengan industri yang masih perlu dikembangkan. Analis a ini menggunakan metode yang dapat melakukan investigasi yang mencakup semua sektor ekonomi didaerah. 3) Analisa klaster industri pada tingkat makro (tingkat nasional), yang fokusnya adalah keseluruhan kelompok industri yang terdapat dalam perekonomian suatu negara. Analisa ini biasanya fokus pada jaringan dan aliran transaksi perdagangan secara nasional. Ketiga cara analisa ini mikro, meso dan makro apabila diaplikasikan pada suatu daerah yang sama, bisa saja memberikan hasil yang berbeda (Feser dan Bergman 2000). Sampai saat ini belum ada metodologi yang baku ataupun pendekatan yang secara konsisten digunakan untuk melakukan identifikasi dan menganalisa klaster industri (Vonortas & Auger 2002). Bergman dan Feser (1999) membahas dua pendekatan umum untuk melakukan analis a klaster industri pada tingkat meso: (1) Pendekatan “top-down”
yang menggunakan teknik reduksi data untuk
mengidentifikasi klaster industri dengan menggunakan data empiris, (2) Pendekatan “bottom-up” yang dilakukan dengan mengidentifikasi suatu sektor industri tertentu yang kemudian dicari kaitan dan hubungan yang terdapat dengan sektor tersebut. Pendekatan “top-down” biasanya lebih tepat digunakan untuk suatu daerah yang memiliki banyak dan bermacam jenis industri, sedang pendekatan “bottom-up” lebih tepat digunakan untuk daerah yang industrinya tidak terlalu padat. Analis a klaster industri yang dapat digunakan mencakup analis a yang bersifat kuantitatif, kualitatif maupun kombinasi dari keduanya. Analis a dengan pendekatan kuantitatif mengolah data dengan metode antara lain: analis a input-
36 output, analisa klaster (cluster anlalysis), analisa faktor (factor analysis), analisa location quotient dan shift-share analysis. Indikator kinerja yang digunakan antara lain: jumlah tenaga kerja, nilai tambah, ekspor dan penjualan dalam negeri, data produksi, keuntungan, dan investasi. Pendekatan kualitatif mencakup: wawancara, focus group, survei, pemetaan klaster dan multi sectoral qualitative analysis (Vonortas & Auger 2002). Kombinasi dari pendekatan kuantitatif dan kualitatif dapat menggunakan cluster analysis dan discriminant analysis, analis a GEM (groundings, enterprises and market analysis) yang diintrodusir oleh Padmore dan Gibson (1998), spider diagram yang diperkenalkan oleh Stough et al. (2000) dan National Cluster Templates dari Feser dan Bergman (2000). Bergman dan Feser (1999) menyusun urutan enam metode analisa klaster industri yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian klaster yaitu: (1) Expert Opinion, yang dapat berupa wawancara, focus groups, dan teknik Delphi (2) Specialization Indicator (Location Quotient), dengan indikator berupa jumlah tenaga kerja atau jumlah perusahaan, (3) Input-Output (Trade) dengan bantuan factor analysis dan principal component analysis, (4) Input-Output (Innovation ), untuk negara-negara yang memiliki data mengenai inovasi (5) Graph Theory/Network Analysis, untuk negara dan daerah yang memiliki tabel input-output di bidang perdagangan dan inovasi dan (6) Survey, dengan mengumpulkan data di bidang industri dan perdagangan. Banyak negara, termasuk Indonesia, tidak atau belum memiliki data berupa tabel input-output yang sesuai, baik untuk tingkat nasional maupun untuk tingkat daerah sehingga analis a yang memerlukan tabel input-output ini tidak dapat digunakan di negara-negara tersebut. Menurut Feser dan Bergman (2000), identifikasi klaster pada tingkatan subnasional (misalnya: propinsi atau kabupaten) banyak menggunakan metode location quotient karena pada tingkatan subnasional tersebut tidak tersedia data yang
menggambarkan
keterkaitan
antar
industri,
institusi
bisnis
yang
dimanfaatkan bersama, jalur untuk transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dan dimensi lain dari konsepsi klaster. Sebagai metode alternatif untuk identifikasi klaster pada tingkatan subnasional, Feser dan Bergman mengajukan metode yang dinamakan National Industry Cluster Template. Metode ini menggunakan data keterkaitan industri pada tingkat nasional untuk digunakan sebagai pola
37 mengidentifikasi klas ter industri pada tingkatan subnasional. Prinsip dasar dari metode ini adalah bahwa keterkaitan industri pada tingkatan nasional yang dapat diidentifikasi dengan menggunakan data tabel input-output nasional yang tersedia, dapat diberlakukan sebagai pola untuk keterkaitan industri pada tingkat subnasional. Data dari tabel input-output berupa keterkaitan langsung dan tidak langsung antara berbagai sektor industri akan digunakan sebagai variabel dalam analisa principal component dan analisa faktor untuk dapat mengidentifikasi keberadaan suatu klaster. Pendekatan ini hanya dap at digunakan apabila data pada tabel input-output cukup tersedia dan populasi industri tersebar cukup merata diseluruh wilayah nasional. Keberhasilan strategi pengembangan suatu klaster dapat diukur dengan menggunakan indikator tertentu yang dipilih. Pemilihan indikator ini perlu disesuaikan dengan data dan informasi yang bisa diperoleh dari suatu klaster. Indikator yang mungkin dipilih antara lain: jumlah perusahaan baru yang terbentuk dalam klaster sejak diterapkannya strategi, jumlah perusahaan yang merupakan spin -off dari klaster, pertambahan tenaga kerja, peningkatan pendapatan dari perusahaan dalam klaster, peningkatan pangsa pasar produk klaster, pembentukan aliansi strategis antar perusahaan klaster, biaya-biaya untuk penelitian dan pengembangan klaster, investasi baru pada klaster, jumlah paten baru dan penjualan teknologi dari klaster. Karena klaster memerlukan waktu yang cukup panjang untuk berkembang, maka pengaruh dari penerapan strategi tidak langsung dapat dilihat dalam waktu yang singkat. Diperlukan monitoring secara berkala dan untuk monitoring ini perlu ditetapkan indikator yang perlu dipantau. Berbagai dimensi dari kegiatan suatu klaster dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok (ERC 2005): (1) Jaringan bisnis dan kemitraan, yang merupakan modal sosial (social capital) yang dicerminkan oleh indikator: jumlah perjanjian kemitraan, jumlah perjanjian kerjasama, kegiatan networking, aktivitas riset bersama, dan tingkat modal sosial, (2) Inovasi dan Litbang, yang merupakan kemampuan di bidang inovasi dan riset yang meliputi indikator: jumlah tenaga di bidang riset, pengeluaran untuk riset, jumlah spin -outs, jumlah paten yang diajukan, jumlah inovasi yang mendapat penghargaan, jumlah proses dan produk baru yang diimplementasikan, (3) Keterampilan, yang menyangkut ketersediaan
38 dan kualitas sumber daya manusia dalam klaster, yang meliputi indikator: jumlah lowongan kerja, tingkat pencapaian pendidikan, jumlah kualifikasi profesional yang diperoleh. Ketiga dimensi ini akan mempengaruhi keluaran hasil (outcome) dari klaster, antara lain: peningkatan jumlah tenaga kerja, peningkatan nilai tambah, pertumbuhan perusahaan yang sudah ada dalam klaster, jumlah perusahaan dalam klaster, peningkatan investasi, tingkat keuntungan dan nilai ekspor atau penjualan. Karena tidak semua data untuk memantau indikator ini tersedia, maka perlu dilakukan pemilihan indikator berdasarkan data yang bisa diperoleh secara berkelanjutan. Christensen et al. (2002) membuat suatu daftar dari indikator yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas dari suatu kebijakan pengembangan klaster yang meliputi: total penjualan dan profitabilitas, pangsa pasar di pasar nasional atau pasar global, penjualan keluar daerah, jumlah tenaga kerja, jumlah paten yang diperoleh, jumlah capital expenditure, jumlah perusahaan yang terkait, jumlah perusahaan baru yang terbentuk, peningkatan penjualan atau profitabilitas setiap perusahaan dalam klaster, jumlah perusahaan patungan dan kemitraan atau kerjasama dalam klaster, jumlah perusahaan yang gagal, tingkat upah, jumlah pelatihan, jumlah fasilitas yang baru atau renovasi, dan jumlah tenaga kerja baru. Data mengenai indikator ini dapat bersumber dari: data statistik resmi yang dikeluarkan Pemerintah, data dari asosiasi, riset yang dilakukan oleh perguruan tinggi dan pihak lainnya dan hasil survei dari perusahaan. Pemilihan indikator sangat ditentukan oleh data mana yang secara berkala dapat diperoleh dan diolah. 2.2.6 Agroindustri Unggulan Dalam kebijakan pengembangan industri di Indonesia sering digunakan istilah-istilah sebagai berikut: industri unggulan, industri andalan dan industri prioritas. Belum terdapat pengertian yang baku untuk istilah-istilah ini. Mengacu pada Depdiknas (2001) maka istilah tersebut dapat diartikan sebagai berikut : 1) Industri unggulan adalah industri yang diunggulkan karena industri tersebut lebih baik dari industri lainnya ditinjau dari berbagai kinerjanya.
39 2) Industri
andalan
adalah
industri
yang
diperkirakan
dapat
mempertahankan kinerjanya yang baik untuk waktu yang cukup panjang. 3) Industri prioritas adalah industri yang didahulukan dan diutamakan dari pada industri lainnya karena kinerjanya atau keandalannya atau perannya dalam pembangunan. Pengertian agroindustri unggulan dalam penelitian ini adalah agroindustri yang diutamakan pengembangannya karena berpotensi menghasilkan kinerja yang baik . Departemen Perindustrian saat ini menggunakan istilah industri prioritas untuk industri yang akan menjadi fokus pengembangan baik jangka menengah maupun jangka panjang (Depperin 2005). 2.3 Kompetensi Inti Istilah kompetensi inti (core competence) pertama sekali digunakan oleh Prahalad dan Hamel (1990). Mereka mendefinisikannya sebagai: “The collective learning in the organization, especially how to coordinate diverse production skills and integrate multiple streams of technologies”. Definisi tersebut dapat diterjemahkan menjadi: “Pembelajaran kolektif di dalam suatu organisasi, terutama mengenai bagaimana cara mengkordinasikan berbagai keahlian di bidang produksi dan mengintegrasikan berbagai perkembangan teknologi”. Konsep ini muncul bersamaan dengan berkembangnya paradigma baru di b idang strategi perusahaan yang oleh Nonaka dan Takeuchi (1995) disebut sebagai resource based approach (RBA). Paradigma baru ini dikembangkan untuk membantu perusahaan-perusahaan agar dapat bersaing secara lebih efektif dalam lingkungan global yang selalu berubah. Dalam menghadapi persaingan pada era setelah tahun 1990-an yang telah berubah secara dramatis, para pendukung RBA berpendapat bahwa kompetensi, kapabilitas, keahlian atau keterampilan dan aset strategis merupakan sumber keunggulan daya saing yang berkelanjutan. Menurut Stewart (1999) kompetensi inti adalah keahlian, keterampilan atau bakat yang tidak berwujud (intangible), yang dapat memberikan nilai tambah dan memiliki nilai strategis. Hammer (2001) menyatakannya sebagai sejumlah kegiatan yang dapat dilakukan oleh suatu perusahaan secara baik sekali sehingga perusahaan tersebut dapat berhasil dalam persaingan. Kanter (2001) secara
40 sederhana mendefinisikan kompetensi inti sebagai distinctive skill (keahlian atau keterampilan khusus) yang dimiliki perusahaan yang membedakannya dari perusahaan yang lain. Hamel dan Prahalad (1996) mendefinisikan kembali kompetensi inti sebagai “A bundle of skills and technologies that enables a company to provide a particular benefit to customers” (sekumpulan keahlian dan keterampilan yang memungkinkan suatu perusahaan menyediakan manfaat tertentu kepada pelanggannya). Semua definisi yang diuraikan di atas selalu dikaitkan dengan kegiatan suatu perusahaan. Menurut Muchdie (2000), kompetensi inti didefinisikan sebagai suatu proses pembelajaran kolektif dari suatu organisasi terutama dalam kaitannya dengan kegiatan mengkoordiasikan dan mengintegrasikan keahlian dan teknologi. Roberts dan Stimson (1998) mendefinisikan kompetensi inti suatu daerah sebagai “The critical mass of skills, technology and application of resources that a region possesses which drive its economy. Menurut Hitt, Ireland dan Hoskisson (1999), kompetensi inti suatu daerah adalah kemampuan sumber daya daerah yang merupakan sumber keunggulan bersaing daerah tersebut terhadap daerah lainnya. Dalam konteks potensi daerah, maka kompetensi inti didefinisikan sebagai kemampuan daerah untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan sektor-sektor atau subsektor-subsektor kegiatan ekonomi yang terdapat dalam suatu daerah. Semakin baik koordinasi dan integrasi diantara sektor-sektor ekonomi atau subsektor-subsektor ekonomi yang dikembangkan di suatu daerah, maka semakin baik kompetensi inti yang dimiliki daerah tersebut. Terdapat empat syarat yang perlu dinilai untuk mengetah ui kompetensi inti suatu daerah: (1) Kemampuan yang berharga (valuable capabilities), (2) Kemampuan yang langka (rare capabilities), (3) Kemampuan yang tidak dapat ditiru dengan sempurna (imperfectly imitable capabilities), dan (4) Kemampuan yang tidak dapat digantikan (non substituteable capabilities). Dengan demikian maka daerah dapat memiliki kompetensi inti dengan atribut: (1) Kemampuan untuk memberikan akses pada variasi pasar yang lebih luas, (2) Kemampuan memberikan kontribusi yang signifikan kepada pelanggan atas manfaat yang diperoleh dari barang dan jasa yang ditawarkan, (3) Kemampuan menghasilkan
41 barang dan jasa unggulan yang sangat usah untuk ditiru, (4) Kemampuan melakukan koordinasi yang kompleks dari beragam teknologi. 2.4 Pendekatan Sistem 2.4.1 Teori Sistem Dalam tahun 1940-an, Ludwig von Bertalanffy yang merupakan seorang ilmuwan biologi memperkenalkan suatu cara pandang yang baru untuk melihat struktur dari semua kehidupan di alam ini (Haines 2000). Von Bertalanffy (2003) berpendapat bahwa semua kehidupan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang komponen-komponennya saling berinteraksi. Suatu sistem juga berinteraksi dengan sistem lainnya dan dipengaruhi pula oleh hal-hal diluar sistem. Pada hakekatnya setiap sistem merupakan subsistem dari sistem yang lebih besar dilingkungannya. Keadaan ini menggambarkan bahwa sistem adalah terbuka (open system) dan selalu dipengaruhi oleh sistem lain dan lingkungan diluar sistem-sistem tersebut. Hal ini berbeda dengan anggapan yang dianut sebelumnya, dimana suatu sistem dianggap tertutup (closed system) dan tidak berinteraksi dengan sistem lainnya dan dunia diluar sistem tersebut. Dengan anggapan bahwa suatu sistem adalah tertutup, maka semua parameter yang mempengaruhi sistem sudah termasuk dalam model yang diteliti, yang memungkinkan untuk memperkirakan keadaan masa depan dengan ketelitian uang tinggi. Interaksi yang terjadi pada su atu sistem terbuka terdiri dari dua komponen : Input, yang merupakan segala sesuatu yang berasal dari luar dan masuk ke dalam sistem, dan Output, yang merupakan segala sesuatu yang keluar dari sistem dan masuk kelingkungan. Sistem dan lingkungan pada umumnya dibatasi oleh pembatas (boundary). Misalnya, pada sistem yang berupa badan manusia maka pembatas dengan lingkungannya adalah kulit manusia tersebut. Output suatu sistem adalah merupakan hasil langsung atau tidak langsung dari input. Namun biasanya output suatu sistem sang at berbeda dengan input yang masuk ke dalam sistem tersebut. Perubahan input menjadi output terjadi melalui transformasi di dalam sistem. Cara pandang sistem terbuka yang awalnya diperkenalkan oleh Von Bertalanffy dalam disiplin ilmu biologi ini selanjutnya berkembang keberbagai
42 disiplin ilmu lainnya, termasuk bidang sosial ekonomi dan soial politik, yang berpuncak pada diintrodusirnya apa yang dinamakan General Systems Theory pada tahun 1968. Teori ini merupakan doktrin interdisipliner yang mendalami prinsip dan model untuk suatu sistem tanpa harus harus memperdulikan keterlibatan elemen yang spesifik. Teori ini mencari pengertian dari keseluruhan melalui pengertian atas bagian-bagiannya (Eriyatno 1999). Gordon (1989) mendefinisikan sistem sebagai suatu agregasi atau kumpulan obyek-obyek yang terangkai dalam interaksi dan saling ketergantungan yang teratur, sedang Robert dan Michael (1991) mendefinisikannya sebagai suatu kumpulan dari elemen yang saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan dalam interaksi yang kuat maupun lemah dengan pembatas sistem yang jelas. Manetsch dan Park (1977) dalam Eriyatno (1999) dan Murdick et al. (1995) memasukkan elemen tujuan dalam definisinya dan mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau satu gugus dari tujuan-tujuan. Suryadi dan Ramdani (2000) menambahkan elemen informasi dan mendefinisikan sistem sebagai seperangkat elemen yang saling berinteraksi, membentuk kegiatan atau suatu prosedur yang mencari
pencapaian
suatu
tujuan,
atau
tujuan-tujuan
bersama,
dengan
mengoperasikan data dan barang pada waktu rujukan tertentu untuk menghasilkan informasi dan atau energi dan atau barang. Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem dan atau elemen-elemen, dan suatu subsistem terdiri dari sekumpulan elemen-elemen. Subsistem-subsistem ini sendiri dapat dilihat sebagai sistem-sistem yang lebih rendah tingkatannya, yang juga memiliki komponen sendiri yang saling berinteraksi, dan demikian seterusnya sampai pada tingkatan yang paling bawah. Subsistem merupakan unsur atau komponen fungsional suatu sistem yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Interaksi antar subsistem terjadi karena output dari suatu subsistem merupakan salah satu input bagi subsistem yang lain. Apabila interaksi antar subelemen terganggu, maka proses transformasi pada sistem secara keseluruhan juga terganggu yang dapat mengakibatkan ketidaksesuaian dari tujuan yang telah ditetapkan. Bagian terkecil dari suatu sistem adalah elemen-elemen.
43 Perkembangan teori sistem mendorong digunakannya pendekatan sistem (system approach) dalam mencari solusi dari berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupan. 2.4.2 Pendekatan Sistem Pendekatan sistem merupakan suatu kerangka berpikir yang selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh mengenai suatu permasalahan (Eriyatno 1999). Menurut Eriyatno penggunaan pendekatan sistem terutama untuk hal-hal yang memenuhi karakteristik: (1) Kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, (2) Dinamis, dalam arti faktornya ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan. (3) Probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang diawali dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan -kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Usaha pemecahan masalah dilakukan melalui dua hal, yaitu: (1) Pengkajia n terhadap semua faktor yang berpengaruh dalam rangka mendapatkan solusi untuk penyelesaian masalah, dan (2) Pembuatan suatu model untuk membantu pengambilan keputusan yang rasional. Dalam pelaksanaanya pendekatan sistem memerlukan pengetahuan lintas disip lin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensip. Dalam merancang berbagai solusi permasalahan, terdapat tiga pola pikir yang harus menjadi pegangan, yaitu: (1) Sibernetik (Cybernetic), yang berarti berorientasi pada tujuan, (2) Holistik (Holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, (3) Efektif (Effective), yaitu dapat dioperasionalkan (Eriyatno 1999). Penyelesaian persoalan dengan pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa tahapan proses. Tahapan proses tersebut mencakup: (1) Analisa sistem, (2) Rekayasa model, (3) Implementasi rancangan, (4) Implementasi dan operasi sistem. Pada setiap tahapan dalam proses tersebut, dilakukan evaluasi berulang untuk memeriksa apakah hasil dari setiap tahap telah sesuai dengan apa yang diharapkan atau belum sesuai. Apabila belum sesuai maka perlu dilakukan
44 pengulangan kembali untuk tahap tersebut (iterasi), sebelum dapat dilanjutkan ketahapan berikutnya. Pada prinsipnya metodologi untuk pendekatan sistem dilakukan melalui analisa sistem yang terdiri dari tahap -tahap berikut: (1) Analisa kebutuhan, (2) Identifikasi sistem, (3) Formulasi masalah, (4) Pembentukan alternatif sistem, (5) Determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) Penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan. Tujuan utama dari analisa sistem ialah agar para pengambil keputusan didorong untuk berfikir dengan cara yang teratur serta menyeluruh. 2.4.3 Pe modelan Sistem Dalam melakukan analis a, biasanya sistem digambarkan ke dalam suatu model. Suatu model diartikan sebagai tiruan dari kondisi sebenarnya, atau dengan kata lain, model didefinisikan sebagai representasi dari suatu sistem nyata (real world system), atau penyederhanaan dari suatu sistem nyata. Melakukan eksperimen langsung pada sistem nyata untuk memahami bagaimana perilakunya, dalam beberapa keadaan merupakan suatu hal yang mungkin saja untuk dilakukan. Namun pada kenyataannya, keadaan sistem nyata itu terlalu kompleks atau masih dalam bentuk hipotesis sehingga terlalu mahal, tidak praktis bahkan tidak mungkin dapat dilakukan jika harus bereksperimen langsung. Hal ini merupakan alasan untuk dilakukannya perancangan suatu model (Suryadi & Ramdhani 2000). Menurut Manetsch dan Park (1977), model adalah perwakilan abstrak dari suatu sistem nyata yang dalam perihal tertentu berperilaku sebagaimana sistem nyata tersebut, sedang Eriyatno (1999) mendefinisikannya sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Menurut Eriyatno, model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab-akibat, dan karena suatu model adalah suatu abstraksi dari suatu realitas, maka pada wujudnya model kurang kompleks dari realitas yang sedang dikaji. Model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pengkajian
atau
derajat
keabstrakannya.
Menurut
jenis,
model
dapat
dikelompokkan menjadi model ikonik (model fis ik), model analog (model
45 diagramatik) dan model simbolik (model matematik). Ilmu sistem pada hakekatnya memusatkan perhatian pada model simbolik sebagai perwakilan dari realitas yang dikaji, dengan format model simbolik yang berupa angka, simbol dan rumus matematik. Suatu model simbolik dapat pula diklasifikasikan menjadi model statis (mikro dan makro), model dinamis (mikro dan makro), model deterministik, model probabilistik (stokastik), model optimasi dan model simulasi. Menurut Eriyatno (1999), pada pendekatan sistem, tahap proses pemodelan cukup kompleks namun tidak banyak ragamnya ditinjau baik dari jenis sis tem ataupun tingkat kecanggihan model. Tahap-tahap pemodelan sistem diuraikan di bawah ini dan dapat dilihat pada Gambar 2.1. a.
Tahap Seleksi Konsep : Pada tahap ini dilakukan seleksi alternatifalternatif yang bermanfaat dan bernilai cukup baik untuk dilakukan pemodelan abstraknya. Hal ini akan mempengaruhi biaya dan kinerja sistem yang dihasilkan.
b.
Tahap Rekayasa Model: Pada langkah ini ditetapkan jenis model abstrak yang akan diterapkan, sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem. Pada tahap ini dilakukan pembentukan model abstrak yang realistik. Terdapat dua cara pendekatan untuk membentuk model abstrak, yaitu: (1) Pendekatan Kotak Gelap: Metode ini melakukan identifikasi model sistem dari informasi yang menggambarkan perilaku terdahulu dari sistem yang sedang berjalan, Metode ini tidak banyak berguna pada sistem yang kenyataannya belum ada, dimana tujuan sistem masih berupa konsep. (2) Pendekatan Struktur: Metode ini mempelajari secara struktur sistem dari teori-teori untuk menentukan komponen dasar dari sistem serta keterkaitannya. Pendekatan struktur ini banyak dipakai pada rancang bangun dan pengendalian sistem fisik dan non fisik.
46
Konsep-konsep yang layak
Seleksi konsep tidak Terbaik ? ya Konsep pilihan
Pemodelan dari konsep tidak Lengkap ? ya Implementasi Komputer tidak Realistik ? ya Model Komputer
Validasi dan Verifikasi tidak Diterima ? ya Model yang dapat digunakan
Analisa sensitivitas tidak Lengkap ? ya Parameter dan input terkontrol yang sensitif
Analisa stabilitas tidak Lengkap ? ya Kondisi untuk stabilitas
Aplikasi model tidak Terbaik ? ya Spesifikasi dan kebijakan yang baik dan terbaik
Gambar 2.1 Diagram Proses Pemodelan
47 Pada beberapa kasus tertentu, kedua pendekatan ini d ipakai secara bersama-sama,
sehingga
penggunaan
kedua
pendekatan
dapat
memberikan informasi yang lebih baik serta menghasilkan model yang lebih efektif dari pada hanya memakai salah satu pendekatan. Hasil dari tahap ini adalah deskripsi dari model abstrak yang telah melalui uji permulaan atas validitasnya. c.
Tahap Implementasi Komputer: Pada tahap ini, model abstrak diwujudkan pada berbagai bentuk persamaan, diagram alir dan diagram blok. Setelah program komputer dibuat untuk model abstrak dimana format input-output telah dirancang secara memadai, maka tahap selanjutnya adalah Tahap Validasi.
d.
Tahap
Validasi dan
Verifikasi:
Validasi
model
adalah
usaha
menyimpulkan apakah model sistem tersebut di atas merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji, dimana dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Validasi adalah proses iteratif yang berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model. Sering dijumpai kesulitan pada tahap ini karena kurangnya data yang tersedia ataupun sempitnya waktu guna melakukan validitas. Pada permasalahan yang kompleks dan mendesak, maka dapat dilakukan proses validasi parsial, yaitu tidak melakukan pengujian pada keseluruhan model sistem sehingga model direkomendasikan untuk pemakaian yang terbatas. Apabila model abstrak digunakan untuk merancang suatu sistem yang belum ada maka validitas model hanya bergantung pada bermacam teori dan asumsi yang menentukan struktur dari format persamaan pada model serta nilai-nilai yang ditetapkan pada parameter model. Rykiel (1996) juga menyatakan bahwa “Walaupun validasi sering merupakan hal yang penting untuk mengevaluasi kinerja suatu model, tetapi untuk modelmodel yang dimaksudkan untuk menjelaskan atau melakukan sistemisasi ilmu pengetahuan atau mengembangkan suatu teori, validasi tidak diperlukan dan tidak relevan. Verifikasi dilakukan untuk dapat menjawab
48 apakah model sudah melakukan apa yang diinginkan oleh perancang model tersebut. e.
Analisa Sensitivitas : Tujuan utama dari analisa ini adalah untuk menentukan variabel keputusan mana yang cukup penting untuk ditelaah lebih lanjut pada aplikasi model.
f.
Analisa Stabilitas: Analisa ini adalah untuk identifikasi batas kestabilan dari sistem. Hal ini diperlukan agar parameter tidak diberi nilai yang bisa mengarah pada perilaku tidak stabil apabila terjadi perubahan struktur dan lingkungan sistem.
g.
Aplikasi Model: Pada tahap ini model dioperasikan untuk mempelajari secara terperinci kebijakan yang dipermasalahkan. Hasil dari proses ini adalah gugus terperinci dari spesifikasi manajemen. Informasi yang diperoleh dari proses ini dapat merupakan indikasi akan kebutuhan untuk pengulangan kembali proses analisa sistem dan pemodelan sistem.
2.5 Sistem Penunjang Keputusan Perumusan strategi pengembangan klaster agroindustri unggulan daerah pada dasarnya merupakan keputusan yang melibatkan berbagai pelaku dan lembaga yang terkait, sehingga pengambilan keputusan perlu dilakukan dalam kerangka pemikiran secara sistem dan melalui pendekatan sistem. Pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem dikenal sebagai Sistem Penunjang Keputusan (SPK). Menurut Suryadi dan Ramdhani (2000), SPK dapat membantu pengambil keputusan memilih berbagai alternatif keputusan yang merupakan hasil pengolahan
informasi-informasi
yang
diperoleh
atau
tersedia
dengan
menggunakan model-model pengambilan keputusan . Ciri utama dan sekaligus keunggulan dari SPK adalah kemampuannya untuk menyelesaikan masalahmasalah yang tidak terstruktur. Menurut Eriyatno (1999) SPK dimaksudkan untuk memaparkan elemen-elemen sistem sehingga dapat menunjang manajer dalam proses pengambilan keputusannya. Sebelumnya, Keen dan Scott-Morton dalam Turban (1993) mendefinisikan SPK sebagai sistem yang mengawinkan kemampuan intelektual seseorang dengan kemampuan yang dimiliki komputer
49 guna memperbaiki kualitas pengambilan keputusan. SPK adalah sistem penunjang berbasis komputer yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan dalam menghadapi masalah -masalah yang bersifat semi-struktur. Little (1970) dalam Turban (1993) mendefinisikan SPK sebagai sekumpulan prosedur yang berbasis model guna memproses data dan pendapat untuk membantu para manajer dalam mengambil keputusan. Selanjutnya ia menyatakan bahwa agar suatu SPK berhasil, maka sistem tersebut harus : (1) Sederhana; (2) Robust; (3) Mudah diawasi dan dikendalikan; (4) Adaptif; (5) Lengkap untuk hal-hal penting; (6) Mudah untuk berkomunikasi. Implisit dalam definisi ini adalah bahwa sistem ini adalah berbasis komputer dan berfungsi untuk menambah kemampuan problem solving penggunanya. Dari banyak definisi mengenai SPK ini, Turban (1993) menyusun daftar karakteristik suatu SPK yang ideal. Sebagian besar SPK hanya memiliki sebagian saja dari karakteristik tersebut: (1) SPK menunjang pengambil keputusan terutama untuk masalah -masalah yang semi terstruktur dan tidak terstruktur dengan mengawinkan kemampuan otak manusia dengan informasi yang dikomputerisasi; (2) Dukungan diberikan untuk berbagai tingkatan manajemen; (3) Dukungan diberikan baik kepada individu maupun kepada kelompok; (4) SPK memberikan dukungan untuk keputusan yang saling berkaitan dan atau keputusan yang berurutan (sequential); (5) SPK memberikan dukungan pada setiap fase pengambilan keputusan; (6) SPK mendukung berbagai proses dan cara pengambilan
keputusan
dan
implementasinya;
(7)
SPK
sangat
adaptif
perkembangan situasi; (8) SPK mudah digunakan; (9) SPK cenderung lebih mengutamakan efektivitas daripada efisiensi pengambilan keputusan; (10) Pengambil keputusan memiliki kendali penuh terhadap semua langkah proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian suatu masalah; (11) SPK berperan dalam proses pembelajaran untuk peningkatan sistem; (12) SPK relatif mudah untuk dirancang; (13) SPK umumnya menggunakan model-model, sehingga pengguna dapat melakukan berbagai eksperimen; (14) SPK yang lebih canggih dilengkapi dengan komponen pengetahuan yang dapat membantu mencarikan solusi yang lebih efektif dan lebih efisien. Selanjutnya Turban (1993) menjelaskan manfaat utama dari SPK sebagai berikut: (1) Kemampuan mendukung pencarian solusi untuk masalah yang
50 kompleks; (2) Cepat tanggap terhadap perubahan situasi dan kondisi; (3) Mampu secara cepat dan obyektif mencoba berbagai strategi dalam berbagai konfigurasi; (4) Membawa pandangan dan pembelajaran baru bagi pengguna; (5) Memfasilitasi komunikasi yang lebih baik diantara para manajer; (6) Memperbaiki kemampuan pengawasan dan kinerja para manajer; (7) Menghindarkan pemborosan yang disebabkan keputusan yang salah; (8) Keputusan lebih obyektif dibandingkan
pengambilan
keputusan
yang
berdasarkan
intuisi;
(9)
Menin gkatkan efektifitas manajemen. Model konseptual SPK (Eriyatno 1999) terdiri dari tiga komponen utama penunjang keputusan, yaitu : (1) Para pengambil keputusan atau pihak pengguna (user); (2) Model; dan (3) Data. Konfigurasi dasar SPK adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 2.2. DATA
MODEL
Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)
Sistem Manajemen Basis Model (MBMS)
Sistem Pengolahan Problematik
Sistem Pengolahan DIalog
Pengguna
Gambar 2.2 Struktur Dasar SPK 2.5.1 Sistem Manajemen Basis Data Manajemen Basis Data berfungsi mengelola data yang relevan yang mencakup data eksternal dan data internal. S istem tersebut terdiri dari: (1) Sistem Manajemen Basis Data atau Data Base Management System (DBMS), yang berfungsi melakukan: penyimpanan, pengambilan, pengontrolan,dan pen ambahan data; (2) Fasilitas Query, yaitu elemen yang menyajikan dasar-dasar untuk akses data; (3) Data Directory, yang merupakan katalog semua data yang ada dalam basis data. Kemampuan yang dibutuhkan dari manajemen basis data pada dasarnya adalah (Suryadi dan Ramdhani 2000): (1) Kemampuan untuk
51 mengkombinasikan berbagai variasi data melalui pengambilan dan ekstraksi data; (2) Kemampuan untuk menambahkan sumber data secara cepat dan mudah; (3) Kemampuan untuk menggambarkan struktur data sesuai dengan pengertian pemakai sehingga pemakai mengetahui apa yang tersedia dan dapat menentukan kebutuhan penambahan dan penguran gan data; (4) Kemampuan untuk mengolah berbagai variasi data. 2.5.2 Sistem Manajemen Basis Model Model adalah adalah suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan -hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam pengertian sebab akibat (Eriyatno 1999). Sistem Manajemen Basis Model terdiri dari model-model kuantitatif yang memiliki kemampuan berbagai analis a mengenai statistik, keuangan dan aspek manajemen lainnya. Basis model dapat dibagi dalam empat kategori: model strategis, taktis dan operasional. Model strategis digunakan untuk mendukung manajemen puncak dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Model taktis digunakan oleh manajemen menengah untuk membantu mengalokasikan dan mengendalikan sumber daya organisasi, sedang model operasional adalah untuk mendukung kegiatan operasi sehari-hari organisasi. Fungsi atau kemampuan yang dimiliki sistem ini meliputi (Turban 1993): (1) Menciptakan model-model baru dengan cepat dan mudah; (2) Memungkinkan pemakai untuk memanipulasi model untuk melakukan eksperimen dan analis a sensitivitas; (3) Menyimpan dan mengelola berbagai model secara logis dan terintegrasi; (4) Mengakses dan mengintegrasikan model-model keputusan; (5) Membuat katalog dan tampilan direktori model untuk digunakan oleh anggota organisasi; (6) Mencatat pemakaian model, data dan aplikasi; (7) Saling menghubungkan model-model melalui basis data; (8) Mengelola dan memelihara basis model dengan fungsi manajemen yang analog dengan manajemen basis data (seperti: mekanisme untuk menyimpan, membuat dialog, menghubungkan, dan mengakses model).
52 2.5.3 Sistem Pengolahan Dialog Sistem Pengolahan Dialog memfasilitasi interface antara pengguna dengan SPK. Fungsi utamanya adalah menerima input dan memberikan output yang dikehendaki pengguna. Input dari pengguna ditransformasikan menjadi bahasa yang dapat dibaca oleh oleh Sistem Manajemen Basis Data (SMBD) dan Sistem Manajemen Basis Model (SMBM) dan selanjutnya output dari SMBD dan SMBM diterjemahkan ke dalam bentuk informasi yang dapat dimengerti oleh pengguna seperti: tabel, penyajian grafis dan lain sebagainya. 2.5.4 Sistem Pengolahan Problematik Subsistem ini berfungsi sebagai koordinator dan pengendali dari operasi SPK secara menyeluruh. Subsistem ini menerima input dari ketiga subsistem lainnya dalam bentuk baku, dan menyerahkan output ke subsistem yang dikehendaki dalam bentuk baku juga. Fungsi utamanya ad alah adalah sebagai penyangga untuk menjamin adanya keterkaitan antar sistem. Subsistem ini sering pula disebut sebagai subsistem pengolahan terpusat. 2.6 Penelitian Terdahulu Pada
tahun
2001,
Departemen
Perindustrian
dan
Perdagangan
(Depperindag) telah melakukan penelitian yang bertujuan untuk merumuskan pilihan-pilihan restrukturisasi di b idang teknis, kebijakan dan kelembagaan, rekomendasi dan strategi, dalam rangka mentransformasikan keunggulan komparatif beberapa kelompok agroindustri menjadi kenggulan kompetitif di pasar domestik dan pasar global (Dep perindag 2001). Penelitian dilakukan terhadap tujuh kelompok agroindustri, yang berdasarkan penelitian pendahuluan berpotensi untuk dikembangkan menjadi klaster agroindustri yang kompetitif. Kelompok agroindustri yang dipilih adalah : minyak kelapa sawit, pengalengan ikan, pengolahan karet, pengolahan kayu, pengolahan tembakau, pengolahan coklat dan pengolahan buah. Pendekatan yang dipilih untuk penelitian ini adalah pendekatan klaster industri dengan alat analisa menggunakan Porter’s Diamond dan “Determinants of national advantage” nya. Penelitian difokuskan pada pemetaan, penggolongan dan analisa yang mendalam terhadap kelompok
53 agroindustri yang yang menjadi obyek penelitian yang mencakup : industri inti, industri pendukung (hulu maupun hilir), industri terkait dan pemasok. Langkah -langkah penelitian yang dilakukan adalah: (1) Studi pustaka mengenai model-model klaster yang telah berhasil di beberapa negara, (2) Mengadopsi model klaster Porter dengan penyesuaian yang diperlukan, (3) Melakukan pertemuan dengan berbagai pihak terkait untuk melakukan appraisal mengenai kelompok agroindustri yang sedang dikaji, (4) Wawancara dan survei lapangan, termasuk penggunaan kuesioner, (5) Dialog konsultasi dengan para stakeholder mengenai pengaruh-pengaruh internal dan eksternal dan penyusunan analisa SWOT, (6) Melakukan penilaian dan analisa mengenai teknologi, rantai nilai, iklim dan lingkungan bisnis, daya saing, dan kebijakan, (7) Melakukan analisa kuantitatif mengenai daya saing global dan keuntungan rantai nilai. Metode yang digunakan untuk mengukur indikator kuantitatif dalam pendekatan klaster ini adalah: (1) Analisa rantai nilai tambah (value added chain analysis) dan analisa profitabilitas (net profitability analysis), (2) Analisa global competitive advantage dengan menggunakan price competitiveness analysis dan cost competitiveness analysis. Penelitian ini mengidentifikasi potensi pembentukan klaster agroindustri dengan industri inti: pengolahan minyak kelapa sawit, pengolahan dan pengalengan ikan, industri berbasis karet, industri berbasis kayu, industri berbasis tembakau, industri pengalahan cokelat (cocoa) dan industri minuman berasal dari buah di daerah sebagaimana dalam Tabel 2.2. Tab el 2.2 Klaster Agroindustri dan Lokasi Geografis Klaster 1 Industri Pengolahan Minyak Kelapa Sawit 2 Industri Pengolahan dan Pengalengan Ikan 3 Industri Pengolahan Berbasis Karet 4 Industri Pengolahan Berbasis Kayu 5 Industri Pengolahan Berbasis Tembakau 6 Industri Pengolahan Cacao 7 Industri Jus Buah-buahan Sumber : Depprindag (2001)
Lokasi Sumatera bagian Utara (Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi) Indonesia bagian Timur (Sulawesi, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan Bali) Sumater Selatan sebagai pusat, Sumatera dan Kalimantan Kalimantan bahan baku dan pengolahan) dan Jawa Tengah (pengolahan) Jawa Timur dan Nusa Tenggara Sulawesi Selatan Jawa Barat, Jawa Tengah
54 Pertimbangan ataupun kriteria yang digunakan dalam penyusunan opsi-opsi strategi dan usulan restrukturisasi kelompok agroindustri tersebut di atas adalah : (1) Kontribusi terhadap pembangunan sosial ekonomi nasional, (2) Kontribusi dan pemberdayaan daerah, (3) Dampak sosial dan kesejahteraan, (4) Sinergi antara industri inti, industri pendukung dan industri terkait, (5) Kebutuhan dan akses kepada
teknologi
pertanian
dan
agroindustri,
serta
kesempatan
untuk
meningkatkan nilai tambah, (6) Liberalisasi perdagangan dan investasi yang lebih luas, (7) Meningkatkan kualitas produk, (8) Meningkatkan penetrasi pasar, (9) Peningkatan kemampuan market intelligence dan promosi, (10) Pen capaian skala ekonomi dari perusahaan -perusahaan yang termasuk dalam klaster, (11) Memperbaiki iklim berusaha dan insentif untuk berusaha, (12) Mengembangkan sumber daya manusia, (13) Menjaga kelestarian lingkungan (Depperindag 2001). Dari rekomendasi yan g dihasilkan oleh penelitian ini, terlihat bahwa cakupan geografis untuk suatu klaster yang direkomendasikan meliputi wilayah antar propinsi, dan bahkan ada wilayah yang antar pulau. Dalam era otonomi daerah sekarang ini, dapat diantisipasi bahwa kordinasi yang dibutuhkan untuk pengembangan klaster jenis ini tidak akan terlalu mudah dan akan banyak mengalami kendala. Akan lebih baik apabila dapat dilakukan pengembangan klaster yang cakupan geografisnya berada dalam suatu daerah administrasi, misalnya kecamatan dan atau kabupaten. Pada awal tahun 2006 Departemen Perindustrian melakukan penelitian mengenai pengembangan industri kecil dan menengah furniture (Depperin 2006). Studi tersebut melakukan diagnosa, kajian rantai nilai dan kompetensi inti industri furn iture dan merumuskan pola pengembangan industri funiture dengan pendekatan klaster. Sebelum penelitian tersebut di atas, Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor (2000) telah pula melakukan penelitian mengenai industri rotan di Cirebon. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Melakukan diagnosa terhadap industri rotan, (2) Mengkaji rantai nilai industri rotan, (3) Perumusan strategi pengembangan klaster industri rotan di Cirebon, (4) Melakukan identifikasi langkah -langkah yang diperlukan serta tindakan yang diperlukan, (5) Merancang model kelembagaan yang mendukung klaster, (6) Merumuskan model klaster industri rotan di Cirebon.
55 Rekomendasi sebagai hasil dari penelitian ini adalah: (1) Untuk peningkatan daya saing dan kemandirian industri rotan, diperlu kan pendekatan klaster industri rotan, (2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi pengembangan klaster dengan memberikan fasilitas untuk meningkatkan daya saing, (3) Perlu dilakukan kerjasama antar Pemerintah Daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku, (4) Anggota klaster perlu membina kerjasama sesama anggota klaster untuk peningkatan produktiv itas dan pemasaran, (5) Anggota klaster perlu bekerjasama dengan pemeritah, perguruan tinggi dan lembaga lainnya untuk meningkatkan kemampuan berusaha dan penyediaan infrastruktur yang diperlukan. UNIDO juga telah melakukan beberapa studi diagnostik di Indonesia mengenai klaster industri beberapa jenis agroindustri seperti: kulit, rotan, kopi, bawang goreng (UNIDO 1998a, 1998b, 1998c, 1998d). Studi-studi ini baru pada tahapan diagnostik dan belum membahas masalah -masalah strategi. Di samping itu terdapat pula beberapa penelitian lainnya dari beberapa peneliti asing, seperti: Burger et al. (2001); Sandee dan Rietveld (2001); Weyland (1999) dan peneliti Indonesia, seperti: Kuncoro (2002), yang membahas mengenai klaster industri di Indonesia dari berbagai aspek, tetapi tidak dari aspek strategi pengembangannya. Hartmann (2002) melakukan penelitian mengenai klaster industri dan strategi pengembangannya diberbagai daerah di negara-negara di Eropa. Salah satunya adalah penelitian di wilayah Styria yang merupakan salah satu pusat industri di Austria. Styria merupakan salah satu wilayah yang pada saat ini oleh Pemerintah Austria maupun dunia internasional dianggap berhasil dalam membangun klaster industri. Keberhasilan ini merupakan fenomena yang baru belakangan ini dicapai oleh daerah tersebut. Dalam tahun delapan puluhan, Styria merupakan daerah industri yang sedang mengalami kemunduran yang parah dengan tingkat pengangguran yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Pendekatan klaster telah memberi perspektif baru kepada pemimpin-pemimpin ekonomi dan politik daerah tersebut, sehingga memberikan kontribusi terhadap munculnya filosofi baru tentang pembangunan daerah. Pendekatan klaster telah mempengaruhi strategi pengembangan ekonomi yang ditetapkan oleh para pengambil kebijakan, dimana kebijkan-kebijakan
56 sekarang lebih difokuskan pada kolaborasi antara perusahaan dan institusiinstitusi yang terkait. Menurut Hartmann (2002), pada saat ini di dalam perekonomian Styria terdapat 5 klaster industri yang sangat berperan. Kelima klaster ini diidentifikasi melalui analisa terhadap data sekunder dan survei terhadap perusahaan perusahaan dengan fokus pada perilaku inovatif dan kolaborasi perusahaan perusahaan tersebut. Salah satu dari klaster tersebut adalah klaster agroindustri kayu dan kertas. Sedang empat klaster lainnya adalah klaster industri kend araan bermotor, klaster industri kimia dan farmasi, klaster industri logam dan mesin, dan klaster industri teknologi informasi. Mulai tahun 1990-an telah berkembang filosofi baru kebijakan ekonomi di daerah ini yang timbul dari pengalaman menghadapi krisis yang dialami. Kebijakan ekonomi yang baru memiliki tiga perspektif baru: (1) Perspektif yang pertama adalah digunakannya “pendekatan lunak” sebagai ganti dari kebijakan cara lama. Yang dimaksud dengan pendekatan lunak adalah pemberian dukungan yang immaterial (barang tidak berwujud) sebagai ganti dari dukungan yang berupa modal. Kebijakan perekonomian daerah difokuskan kepada dukungan proaktif untuk melakukan kolaborasi, merangsang perilaku inovatif, alih teknologi dan pengetahuan serta penyediaan jasa konsultasi kepada perusahaan-perusahaan. Selanjutnya program-program akan ditujukan kepada jaringan perusahaan dan bukan kepada perusahaan sendiri-sendiri. (2) Perspektif kedua diarahkan kepada potensi ekonomi yang endogenous. Kalau dimasa lalu perhatian dipusatkan kepada upaya menarik investasi asing, sekarang yang menjadi tujuan dari kebijakan adalah meningkatkan potensi dari perusahaan -perusahaan di daerah dan elemen dari infrastruktur daerah yang berhubungan dengan inovasi. Dari perubahan orientasi ini, maka timbul permintaan untuk informasi mengenai keunggulan daerah tersebut. (3) Perspektif ketiga adalah mengenai konsepsi kebijakan ekonomi itu sendiri. Dimasa lalu, penetapan kebijakan merupakan proses top-down yang dilakukan oleh Pemerintah, sedang pelaku ekonomi lain semata-mata berperan sebagai pihak yang meminta bantuan. Dalam kebijakan baru, implementasi kebijakan dilakukan oleh suatu organisasi yang ramping dan
57 fleksibel, dan bukan lagi oleh oleh badan –badan Pemerintah yang cenderung lamban dalam bergerak. Perspektif baru ini membuka jalan bagi timbulnya suatu pengertian yang baru tentang kebijakan ekonomi daerah. Hal ini juga mengakibatkan perubahan yang besar pada kerangka organisasi untuk penentuan kebijakan perekonomian daerah yang memungkinkan dikeluarkannya instrumen -instrumen kebijakan yang baru. Selanjutnya akan tercipta landasan bagi pengembangan pendekatan klater industri dalam pembangunan ekonomi daerah Styria. Klaster industri kayu dan kertas di Styria berawal pada tahun 1994, ketika suatu penelitian yang dilakukan di daerah itu mengidentifikasi suatu klaster kayu dan kertas yang memiliki potensi untuh bertumbuh yang terdiri dari industri pengolahan kayu dan industri pembuatan kertas. Pemerintah Daerah Styria memutuskan untuk memfokuskan kebijakannya pada industri pengolahan kayu, karena industri ini telah memiliki asosiasi bisnis yang kuat yang dapat digunakan sebagai landasan untuk melakukan manajemen bagi klaster tersebut. Pada tahun 1997 Pemerintah setempat telah memutuskan untuk melakukan proses pengembangan klaster kayu tersebut. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengembangan klaster ini adalah sebagai berikut : 1) Tahap pertama: menyusun suatu strategi klaster yang terperinci. Pelaksanaan penyusunan strategi ini cukup sulit untuk dilaksanakan karena sektor pengolahan kayu ternyata sangat heterogen, dimana klaster ini terdiri dari perusahaan yang sangat terpisah -pisah lokasinya dan sangat berbeda produknya. Dialami kesulitan untuk merumuskan masalah yang dapat diangkat menjadi masalah bersama, di samping budaya kolaborasi serta saling percaya yang belum tumbuh sehingga perusahaan dalam kelompok ini masih bergerak sendiri-sendiri. 2) Tahapan kedua: memeriksa kesediaan melakukan kolaborasi di dalam klaster industri. Tujuan tahapan ini adalah untuk memeriksa kesediaan perusahaan-perusahaan berkolaborasi dan pengembangan kerangka organisasi untuk melakukan pengelolaan terhadap pengembangan klaster. Disepakati untuk menyusun kegiatan pengembangan klaster dalam 5
58 bidang strategis berikut ini: (1) Teknologi informasi, (2) Program penelitian dan pengembangan, (3) Kolaborasi antar perusahaan yang memproduksi kayu lembaran, (4) Implementasi pilot project diketiga bidang yang disebut di atas, (5) Pemasaran dan menumbuhkan kesadaran berklaster. 3) Tahap ketiga: merumuskan proyek inti untuk pengembangan klaster. Tahap ini bertujuan untuk menyiapkan rencana pengembangan yang terinci yang dapat diimplementasikan segera. 4) Tahap keempat: pengembangan klaster melalui asosiasi bisnis. Pada tahap ini Pemerintah tidak lagi mendanai kegiatan pengembangan klaster ini
karena
diharapkan
sudah
dapat
mandiri.
Tanggung
jawab
pengembangan klaster diserahkan pada badan usaha yang dibentuk untuk itu, yang kepemilikannya adalah Pemerintah dan asosiasi bisnis. 5) Untuk pengembangan dimasa-masa yang akan datang, maka manajemen klaster telah menetapkan 5 langkah kunci strategis : (1) Pengembangan jaringan (network) dan manjemen serta pelaksanaan proyek kerjasama, (2) Pengembangan sumber daya pada tingkatan perusahaan dan antar perusahaan, (3) Jasa konsultasi klaster: benchmarking dan ekspor, (4) Penelitian dan pengembangan, (5) Pemasaran dan lobbying untuk anggota klaster.
Dari tahapan kegiatan pengembangan yang dilakukan, ditemui banyak kesulitan dalam pengembangan klaster kertas dan kayu ini. Hal ini disebabkan karena struktur industri pengolahan kayu ini sangat ter-fragmentasi sehingga jauh dari struktur klaster menurut teori diamond dari Porter. Klaster ini terdiri dari jaringan terbatas perusahaan yang umumnya berskala kecil dan mikro yang memproduksi barang berdasarkan pesanan dan tidak memiliki kemampuan untuk melakukan flexible industrial production . Di samping itu, klaster ini kurang memiliki produk akhir yang kompetitif dan bernilai tinggi. Sebagaian besar perusahaan -perusahaan belum berpengalaman berkolaborasi dalam jaringan yang besar, sehingga pada awalnya sulit untuk bekerjasama dalam menghadapi masalah bersama yang dihadapi perusahaan-perusahaan di daerah itu. Dari hal ini dapat
59 disimpulkan bahwa upaya pengembangan klaster harus memperhatikan budaya dari perusahaan di dalam klaster dan mengambil langkah -langkah yang disesuaikan untuk itu. Pada Tabel 2.3 di bawah ini disajikan ringkasan penelitian terdahulu. Tabel 2.3 Ringkasan Penelitian Klaster Industri Terdahulu Peneliti 1. Depperindag (2001)
2. LP – IPB (2000)
3. Hartmann (2002) 4. UNIDO (1998a,1998b 1998c,1998d) 5. Sandee dan Rietveld (2001) 6. Burger et al. (2001)
7. Weijland (1999)
8. Depperin (2006)
Tujuan Penelitian - Merumuskan restrukturisasi agroindustri - Merumuskan intervensi Pemerintah - Diagnosa industri rotan - Merumus kan strategi pengembangan - Merancang model kelembagaan - Merancang strategi pengembangan klaster kayu - Diagnosa agroindustri kulit, rotan, kopi dan bawang goreng - Inovasi pada klaster genteng
- Pengaruh pasar pada interaksi anggota klaster (klaster furnitur dan gula kelapa) - Mempelajari peranan microcluster dalam perkembangan industri - Melakukan diagnosa klaster furnitur - Melakukan kajian rantai nilai dan pola pengembangan dengan pendekatan klaster
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Survei lapangan Workshop Porter’s diamond Rantai Nilai
- Model klaster agroindustri - Usulan reformasi kebijakan
- Survei lapangan - Rantai nilai - Revealed Comparative Advantage (RCA) - Kompetensi Inti
- Alternatif strategi pengembangan - Model kelembagaan
- Survei lapangan
- Merumuskan langkah kunci strategi - Identifikasi permasalahan agroindustri
-
- Survei lapangan - Workshop
- Survei lapangan
- Survei lapangan
- Survei lapangan
- Survei lapangan
- Clustering dapat meningkatkan penyerapan teknologi - Pasar ekspor sangat mempengaruhi kerjasama dalam klaster - Microcluster berperan cukup penting dalam perkembangan industri - Diperlukan penguatan kelembagaan sebagai forum komunikasi dan pemberdayaan sumber daya produksi