8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1
Audit Auditing adalah Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan
sistematis oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut (Agoes, 2004). Arens dan Loebbecke (2003) menyatakan auditing sebagai suatu proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang independen dan kompeten. Menurut Mulyadi (2002), Auditing merupakan suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataanpernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.
9
Suatu proses sistematis, artinya audit merupakan suatu langkah atau prosedur yang logis, berkerangka dan terorganisasi. Auditing dilakukan dengan suatu urutan langkah yang direncanakan, terorganisasi dan bertujuan. Untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif, artinya proses sistematik ditujukan untuk memperoleh bukti yang mendasari pernyataan yang dibuat oleh individu atau badan usaha serta untuk mengevaluasi tanpa memihak atau berprasangka terhadap bukti – bukti tersebut. Pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi, artinya pernyataan mengenai kegiatan dan kejadian ekonomi merupakan hasil proses akuntansi. Menetapkan tingkat kesesuaian, artinya pengumpulan
bukti
mengenai
pernyataan
dan
evaluasi
terhadap
hasil
pengumpulan bukti tersebut dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan. Tingkat kesesuaian antara pernyataan dengan kriteria tersebut kemungkinan dapat dikuantifikasikan, kemungkinan pula bersifat kualitatif. Mulyadi (2002) menyatakan kriteria yang telah ditetapkan, artinya kriteria atau standar yang dipakai sebagai dasar untuk menilai pernyataan (berupa hasil akuntansi) dapat berupa: 1. Peraturan yang ditetapkan oleh suatu badan legislatif, 2. Anggaran atau ukuran prestasi yang ditetapkan oleh manajemen, dan 3. Prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) di Indonesia.
Penyampaian hasil (atestasi), dimana penyampaian hasil dilakukan secara tertulis dalam bentuk laporan audit (audit report). Pemakai yang berkepentingan, pemakai yang berkepentingan terhadap laporan audit adalah para pemakai
10
informasi keuangan, misalnya pemegang saham, manajemen, kreditur, calon investor, organisasi buruh dan kantor pelayanan pajak. Jenis audit telah berkembang mencakup berbagai bidang atau fungsi yang ada dalam organisasi, antara lain audit manajemen, audit operasional, audit mutu, audit keuangan, audit sistem informasi, audit komunikasi, audit lingkungan, audit pemasaran, dan audit sumber daya manusia. Semua audit tersebut dapat dikategorikan sebagai audit manajemen, yang pada hakekatnya merupakan instrumen bagi top management untuk membantunya dalam pemastian pencapaian visi – misi dan tujuan organisasi secara keseluruhan. Menurut Susilo (2002) pengertian masing-masing jenis audit dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut: 1. Audit Manajemen adalah audit terhadap manajemen suatu organisasi secara keseluruhan untuk menilai unsur – unsur manajemen apakah yang telah direncanakan, dijalankan dan dikendalikan dengan prinsip-prinsip manajemen yang baik dan benar sehingga organisasi melalui fungsi-fungsinya dapat mencapai tujuan yang direncanakan yang mencakup dimensi PQCDSME – Productivity (produktivitas) – Quality (mutu) – Cost (biaya) – Delivery (waktu penyampaian) – Safety (keselamatan) – Morale (etos kerja) – Environment (lingkungan) secara efektif dan efisien. 2. Audit Operasional adalah audit internal yang secara lebih khusus dan mendalam menyoroti aspek pengendalian pada kegiatan operasional dengan cara mengkaji, mengevaluasi kegiatan operasional dalam organisasi sebagai
11
upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas serta kesesuaian terhadap kebijakan setiap operasi yang dilakukan. 3. Audit Keuangan adalah pengujian/ verifikasi secara objektif atas laporan keuangan yang telah disiapkan/ disusun oleh unit pengelola keuangan perusahaan untuk kurun waktu tertentu dan membandingkannya dengan azasazas manajemen keuangan/ standar akuntansi yang berlaku dan menilai kebenaran dan kewajarannya serta melaporkan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan. 4. Audit Pemasaran adalah evaluasi secara sistematik, objektif dan komprehensif tentang kebijakan, tujuan dan strategi pemasaran dengan tujuan untuk melaksanakan tindakan perbaikan/ mengambil keputusan. 5. Audit Mutu adalah penilaian secara sistematik, objektif dan independen untuk memastikan bahwa kegiatan (manajemen) mutu telah sesuai dengan pengaturan/ sistem yang telah dirancang dan hasilnya efektif sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. 6. Audit
Lingkungan
adalah
pemeriksaan/
evaluasi
secara
sistematis,
terdokumentasi, periodik, dan objektif terhadap pengelolaan lingkungan, perangkat pengelolaan lingkungan serta pengaturan – pengaturan pengelolaan lingkungan yang bertujuan mengendalikan dampak serta melindungi lingkungan dan memastikan semua aspek yang dijalankan memenuhi persyaratan regulasi dan kebijakan organisasi serta secara efektif mencapai tujuan yang direncanakan.
12
7. Audit Komunikasi adalah kajian mendalam dan menyeluruh tentang pelaksanaan sistem komunikasi keorganisasian yang bertujuan meningkatkan efektivitas organisasi. Menurut Susilo (2002) Audit juga dapat dibedakan berdasarkan siapa pelakunya, menjadi audit internal dan audit eksternal. 1. Audit eksternal adalah audit yang dilakukan oleh auditor eksternal dari pihak eksternal atau dari institusi independen. Audit dilaksanakan berdasarkan azasazas formal/ standar kriteria tertentu yang digunakan sebagai acuan untuk menilai. Hasil penilaian dikeluarkan dikeluarkan oleh institusi independen tersebut berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari proses audit. Pernyataan auditor eksternal itu adalah kesimpulan yang dijadikan dasar bagi perusahaan maupun pihak – pihak lain yang berkepentingan untuk mengambil keputusan. Contoh lembaga audit eksternal adalah akuntan publik, lembaga sertifikasi indepneden dsb. Auditor eksternal juga bisa dilakukan oleh seorang konsultan yang diminta oleh top management untuk melakukan audit sesuai lingkup permasalahan yang telah ditentukan. 2. Audit internal adalah audit yang dilaksanakan di dalam suatu organisasi oleh auditor internal yang juga karyawan perusahaan sendiri. Auditor internal tidak memiliki tanggung jawab hukum kepada publik atas apa yang dilakukannya dan dilaporkannya sebagai temuan karena hasil kerja auditor internal organisasi atau perusahaan sendiri. Auditor internal bisa berbentuk unit khusus yang dibentuk oleh pucuk pimpinan perusahaan secara permanen, bisa juga ditunjuk individu dengan penugasan secara khusus dan penuh untuk
13
melaksanakan fungsi audit, bisa juga penunjukan auditor internal dalam bentuk kepanitiaan untuk melaksanakan audit baik secara incidental maupun secara periodis.
2.1.2
Sistem Pengendalian Intern
2.1.2.1 Pengertian Sistem Pengendalian Intern Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) sistem merupakan seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan hingga membentuk suatu totalitas. Pengertian sistem menurut James A Hall (2007) adalah kelompok dari dua atau lebih komponen atau sub sistem yang saling berhubungan yang berfungsi dengan tujuan yang sama. Pengendalian
intern
menurut
COSO
(Committee
of
Sponsoring
Organizations of the Treadway Commission) adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen, dan personil lain dari suatu entitas, yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai mengenai pencapaian sasaran dalam keefektifan dan keefisienan operasi, keandalan pelaporan keuangan dan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. International Organization of Supreme Audit Institutions menyatakan bahwa pengendalian intern sebagai suatu proses integral yang dipengaruhi oleh manajemen dan pegawai, yang dirancang untuk menghadapi risiko-risiko, serta memberikan keyakinan memadai utnuk mencapai misi dengan mencapai tujuan umum, antara lain: 1. Melaksanakan kegiatan dengan tertib, etis, ekonomis, efisien, dan efektif,
14
2. Menyajikan laporan keuangan yang akurat dan handal, 3. Mentaati ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, 4. Mengamankan sumber daya dari kehilangan, penyalahgunaan, dan kerusakan aset. Rumusan sistem pengendalian intern yang digunakan oleh IAI saat ini yang dimuat dalam buku Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) tahun 2001, adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan personal lain entitas, yang didesain untuk memberikan keyakainan memadai tentang pencapaian tiga golongan tujuan yaitu: 1. Keandalan laporan keuangan, 2. Efektivitas dan efisiensi operasi, dan 3. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Arens et. al (2008) berpendapat bahwa sistem pengendalian intern terdiri atas kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk memberikan kepastian yang layak terhadap manajemen bahwa organisasi telah mencapai tujuan dan sasarannya. Kebijakan dan prosedur ini seringkali disebut pengendalian dan secara kolektif membentuk pengendalian entitas tersebut. Dapat disimpulkan bahwa sistem pengendalian intern merupakan kumpulan-kumpulan dari bagianbagian yang tidak terpisah yang dijalankan oleh semua pihak yang ada di dalam organisasi tersebut sehingga tujuan akhir yang ditetapkan bersama berjalan efektif dan efisien. Berdasarkan definisi yang telah dikemukan di atas, bahwa suatu perusahaan atau lembaga menginginkan tercapainya tujuan tersebut dan untuk
15
mencapainya diperlukan pengendalian intern. Pengendalian intern merupakan alat untuk meletakkan kepercayaan auditor mengenai bebasnya laporan keuangan dari kemungkinan kesalahan dan kecurangan. Pemerintah berusaha untuk membuat struktur pengendalian intern dengan baik, melaksanakan, dan mengawasinya agar efektivitas perusahaan bisa tercapai, pengendalian intern yang balk akan menjamin ketelitian data akuntansi yang dihasilkan sehingga data tersebut dapat dipercaya. 2.1.2.2 Tujuan Sistem Pengendalian Intern Pengendalian intern mempunyai tujuan untuk mendapatkan data tepat dan dapat dipercaya, melindungi harta atau aktiva perusahaan atau lembaga, dan meningkatkan efektivitas dari seluruh anggota perusahaan atau lembaga sehingga perusahaan dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Pengendalian intern disusun berdasarkan tujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia. Manajemen merancang sistem pengendalian intern yang efektif dengan empat tujuan pokok berikut ini (Mulyadi, 2001):
1.
Menjaga harta kekayaan perusahaan. Bila sistem pengendalian intern berjalan dengan baik maka akan dapat mengantisipasi teriadinya kecurangan, pemborosan, ketidakefisienan, dan penyalahgunaan terhadap aktiva perusahaan.
16
2.
Mengecek keakuratan data akuntansi Keandalan data/informasi akuntansi. Digunakan
oleh
manajemen
dalam
pengambilan
keputusan
untuk
meningkatkan ketelitian dan dapat dipercayanya data akuntansi. 3.
Mendorong efisiensi. Kebijakan perusahaan mampu memberikan manfaat tertentu dengan memantau setiap pengorbanan yang telah dikeluarkan guna mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya.
4.
Mendorong dipatuhinya kebijakan manajemen. Untuk mencapai tujuan perusahaan maka kebijakan, prosedur, system pengendalian intern yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai
bahwa
kebijakan,
prosedur
yang
ditetapkan
perusahaan
akandipatuhi oleh seluruh karyawan.
2.1.2.3 Perkembangan Sistem Pengendalian Intern Berdasarkan modul sistem pengendalian intern yang diterbitkan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Tahun 2009 dijabarkan bahwa usaha pengembangan atas pengertian sistem pengendalian intern, tidak terlepas dari peranan berbagai organisasi profesi akuntan dan auditor di Amerika Serikat, yaitu American Institute of Certified Public Accountants (AICPA), American Accounting Association (AAA), The Institute of Intern Auditors (IIA), Institute of Management Accountants (IMA), dan Financial Executives Institute (FEI). Pada awalnya sistem pengendalian intern dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya statis. Tahun 1949, Securities and Exchange Commision (SEC)
17
mensyaratkan perlunya suatu sistem yang dapat memberikan keyakinan yang memadai terhadap penyajian laporan keuangan yang bebas dari penyimpangan dan kesalahan saji yang material. Tahun 1958, The Committee on Auditing Procedure (CAP) dalam Statement of Auditing Procedures (SAP) No. 29, mendefinisikan sistem pengendalian intern dengan karakteristik rencana organisasi dan semua metode dan prosedur yang terbagi menjadi accounting controls yang secara langsung ditujukan untuk menjaga aset dan keandalan pencatatan keuangan dan administrative controls yang ditujukan untuk efisiensi operasional dan kepatuhan kepada kebijakan manajemen. Kemudian ada juga yang mendefinisikan pengendalian intern sebagai kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur yang diciptakan oleh manajemen untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa tujuan organisasi dapat dicapai. Konsep ini terakhir dikembangkan oleh American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) melalui Statement of Auditing Standard (SAS) No. 55 Tahun 1988. Dalam konsep ini dikenal tiga komponen struktur pengendalian intern sebagai berikut: 1.
Lingkungan pengendalian,
2.
Sistem Akuntansi, dan
3.
Prosedur pengendalian. Perkembangan selanjutnya, sistem pengendalian intern dipandang sebagai
suatu hal yang bersifat dinamis. Pengendalian intern mengalami perubahan konsep yang tidak hanya mencakup rangkaian kegiatan dan prosedur, namun suatu proses integral yang dipengaruhi oleh setiap orang di dalam organisasi sebagai upaya manajemen organisasi mengantisipasi ketidakpastian dalam rangka
18
mencapai tujuan organisasi. Konsep ini dikembangkan oleh Committe of Sponsoring Organizations of the Treadway Commision (COSO) tahun 1992 yang tertuang dalam “Intern Control-Integrated Framework”. Karakter pengendalian intern bergeser dari hard control menuju soft control. Hal ini ditandai dengan peningkatan produktifitas, efisiensi, dan efektivitas tidak hanya melalui prosedur dan mekanisme pengendalian tetapi juga dengan meningkatkan kompetensi, kepercayaan, nilai etika, dan penyatuan pandangan atas visi, misi, dan strategi organisasi. Ciri yang paling berpengaruh pada efektivitas pengendalian adalah proses itu sendiri, sehingga membawa konsekuensi bahwa kesadaran akan pentingnya pengendalian tidak boleh hanya menjadi tanggung jawab top management namun tersebar kepada seluruh anggota organisasi, tidak hanya sampai kepada unit dan bagian organisasi terkecil, tetapi sampai ke individu. Seluruh anggota organisasi harus memandang pengendalian sebagai alat untuk mencapai tujuan sehingga tanggung jawab atas penerapan pengendalian intern ini menjadi kewajiban bersama. Dengan suatu pemahaman bahwa pengendalian dirancang untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka bentuk luas, dan kedalaman pengendalian tergantung pada tujuan dan ukuran organisasi. Pada tahun 2001, International Organization of Supreme Audit Instituitions (INTOSAI), suatu Komite Internasional di bidang pengembangan internal control sektor publik yang beranggotakan Bolivia, Perancis, Hongaria, Lithuania, Belanda, Rumania, United Kingdom, United States of America, dan Belgia sebagai ketua komite, serta negara-negara berkembang membuat exposure. Draft
19
yang berjudul “Guidelines for Intern Control Standars for the Public Sector” yakni penerapan konsep pengendalian intern untuk sektor publik. Menurut INTOSAI (Budapest, 2004), sistem pengendalian intern bersifat menyeluruh, tidak terpisahpisah, dengan pengertian bahwa dalam pelaksanaannya tidak hanya dipengaruhi oleh manajemen, tetapi seluruh pegawai yang ada dalam organisasi tersebut memiliki tanggung jawab yang sama untuk menciptakan pengendalian intern, dengan tujuan untuk mengatasi risiko yang telah terjadi maupun untuk menekan kemungkinan terjadinya risiko di masa yang akan datang. Pengendalian intern juga bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai terhadap pencapaian tujuan organisasi yang efisien dan efektif, pemenuhan akuntabilitas, kepatuhan terhadap peraturan dan hukum yang berlaku, serta pengamanan asset dari kehilangan dan kerusakan. Selain definisi di atas, General Accounting Office (GAO) tahun 1999 mendefinisikan sistem pengendalian intern dengan 3 objektif yang harus dipenuhi sebagai berikut: 1.
Effectiveness and efficiency of operation,
2.
Reliability of financial reporting, and
3.
Compliance with applicable laws and regulations. Dalam US GAO juga mengemukakan cara atau alat yang digunakan untuk
melaksanakan fungsi pengendalian dalam mencapai tujuan organisasi antara lain organisasi, personil, kebijakan, perencanaan, prosedur, pencatatab, pelaporan, dan review intern yang bersifat integral dan saling mendukung antara komponen yang satu terhadap yang lainnya.
20
2.1.3
Key Performance Indicators Parmenter (2010) menyatakan banyak organisasi yang bekerja dengan KPI
namun sangat sedikit organisasi yang benar-benar memantau KPI mereka yang sesungguhnya. Terdapat empat tipe ukuran kinerja seperti berikut ini: 1.
Key Result Indicator (KRI) memberitahu bagaimana kinerja dari satu perspektif atau faktor keberhasilan kritis.
2.
Result Indicator (RI) memberitahu apa yang telah dilakukan.
3.
Performance Indicator (PI) memberitahu apa yang harus dilakukan.
4.
KPI memberitahu apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja secara dramatis. Parmenter (2010) menyatakan banyak ukuran kinerja yang digunakan oleh
organisasi ternyata merupakan kombinasi yang kurang sesuai dari keempat tipe ini. Apabila dianalogikan dengan sebuah bawang untuk menjelaskan hubungan dari keempat ukuran ini, kulit terluar menjelaskan kondisi keseluruhan dari sebuah bawang, jumlah sinar matahari, air, dan nutrisi yang telah diterima; bagaimana ia ditangani mulai dari proses panen hingga mencapai rak supermarket. Namun, semakin kita mengupas lapisan-lapisan bawang, kita akan menemukan lebih banyak informasi. Lapisan-lapisan tersebut mewakili berbagai indicator kinerja, dan yang menjadi intinya adalah KPI. 2.1.3.1 Key Result Indicator (KRI) Parmenter (2010) menjelaskan KRI adalah ukuran yang sering tertukar dengan KPI. KRI mencakup: 1. Kepuasan pelanggan,
21
2. Laba Bersih sebelum pajak, 3. Profitabilitas atas pelanggan, 4. Kepuasan karyawan, dan 5. Tingkat pengembalian atas modal yang digunakan. Karakteristik umum dari ukuran-ukuran ini adalah bahwa ukuran ini merupakan hasil dari banyak tindakan. KRI memberi gambaran nyata apakah anda berjalan ke arah yang benar. Namun, ukuran tersebut tidak memberitahukan apa yang diperlukan untuk meningkatkan hasil. Jadi, KRI menyediakan informasi yang ideal bagi anggota dewan direksi (yaitu mereka yang tidak terlibat dalam manajemen sehari-hari). KRI umumnya mencakup periode yang lebih lama daripada KPI. Tidak seperti KPI yang ditinjau secara mingguan atau harian, KRI ditinjau menggunakan siklus bulanan atau tiga bulanan. Memisahkan KRI dari ukuran lain berdampak sangat besar pada pelaporan, yaitu pemisahan ukuran kinerja menjadi dua bagian. Pertama adalah ukuran kinerja yang berdampak pada kebijakan (tata kelola) dan yang kedua adalah ukuran kinerja yang berdampak pada pengelolaan (manajemen). Pemilihan ini menyebabkan organisasi harus memiliki dua jenis laporan. Pertama adalah laporan tata kelola (idealnya dalam format dashboard) yang terdiri ukuran yang jumlahnya mencapai sepuluh berupa KRI tingkat tinggi untuk dewan direksi. Kedua adalah laporan berdasarkan Balance Scorecard (BSC) yang mencakup hingga 20 ukuran (gabungan dari KRI dan PI) untuk manajemen.
22
Di antara KRI dan KPI terdapat banyak jenis indikator kinerja dan indikator hasil. Indikator – indikator ini melengkapi KPI dan ditampilkan bersama di scorecard organisasi dan scorecard setiap divisi, departemen, dan tim.
2.1.3.2 Performance Indicator dan Result Indicator Puluhan atau lebih ukuran kinerja yang terletak di antara KRI dan KPI adalah indikator hasil (Result Indicator/ RI) dan indikator kinerja (Performance Indicator/ PI). Performance Indicators meskipun penting, bukanlah yang utam dalam bisnis. PI dapat membantu tim untuk menyelaraskan mereka dengan strategi organisasi. PI adalah ukuran nonfinansial dan merupakan pelengkap KPI; finansial – indikator tersebut ditunjukkan bersama KPI pada scorecard (kartu nilai) masing-masing organisasi, divisi, departemen, dan tim. Performance Indicators (Indikator Kinerja) yang berada di bawah KRI dapat mencakup: 1. Persentase kenaikan penjualan dari pelanggan teratas, 2. Jumlah saran karyawan yang diterapkan dalam 30 hari terakhir, 3. Keluhan pelanggan dari pelanggan utama, dan 4. Keterlambatan pengiriman kepada pelanggan utama.
RI merangkum aktivitas, dan semua ukuran kinerja finansial adalah RI (misalnya analisis penjualan harian atau mingguan merupakan ringkasan yang sangat bermanfaat, tetapi ini merupakan hasil dari upaya banyak tim). Untuk memahami seutuhnya apa yang harus ditingkatkan atau diturunkan kita perlu melihat pada aktivitas – aktivitas yang dapat menciptakan penjualan (hasil).
23
Result Indicators yang terdapat di bawah KRI dapat mencakup: 1. Keuntungan bersih pada lini produk utama, 2. Penjualan kemarin, 3. Keluhan pelanggan dari pelanggan utama, dan 4. Pemanfaatan tempat tidur rumah sakit tiap minggunya.
Berdasar kesimpulan diatas, Parmenter (2010) menyatakan KPI adalah seperangkat ukuran yang fokus terhadap aspek kinerja organisasi yang paling kritis bagi kesuksesan organisasi saat ini mau pun di masa mendatang.
2.1.4
Kinerja Auditor Pelaksanaan penilaian kinerja (performance appraisal)
mempunyai
peranan penting dalam pengambilan keputusan manajemen. Menurut Hasibuan (2002) manfaat penilaian kinerja karyawan antara lain untuk mengukur sejauh mana karyawan sukses dalam pekerjaannya dan sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan di dalam perusahaan. Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance). Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2007) bahwa istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas
24
maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok (Mangkunegara, 2007). Gibson et al. (1996)
menyatakan bahwa kinerja
karyawan merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang diberikan oleh organisasi pada periode tertentu dan relatif dapat digunakan untuk mengukur prestasi kerja atau kinerja organisasi. Menurut As’ad (2000) kinerja merupakan hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Kinerja pada dasarnya merupakan sutu keberhasilan dalam bekerja, untuk meraih keberhasilan tersebut diperlukan kemampuan yang berhubungan dengan bidang pekerjaan sesuai standar penilaian yang berlaku di perusahaan. Kemampuan yang dimaksud menyangkut pengetahuan dan keterampilan, dalam hal ini kemampuan saja tidaklah cukup, oleh karenanya perlu didukung dengan keyakinan dan motivasi yang tinggi. Komitmen (keyakinan) dapat mendorong seseorang untuk lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugas pekerjaannya, keadaan ini membawa pengaruh pada perilaku seseorang untuk mencapai tujuan. Mangkunegara (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian prestasi kerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge dan skill). Hal ini diartikan bahwa kemampuan yang memadai untuk jabatan tertentu dapat memudahkan pegawai untuk mencapai prestasi kerja sesuai yang diharapkan. Motivasi terbentuk dari
25
sikap pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian prestasi kerja seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kemampuan saja tetapi harus didukung dengan adanya motivasi. Pengertian kinerja auditor menurut Mulyadi dan Puradiredja (2001) adalah auditor yang melaksanakan penugasan pemeriksaan obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan. Trisnaningsih (2007) untuk mengukur kinerja auditor dapat dinilai empat dimensi yaitu kemampuan, komitmen profesi, motivasi, dan kepuasan kerja. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan,
pengalaman
dan
kesungguhan
waktu
yang
diukur
dengan
mempertimbangkan kuantitas, kualitas dan ketepatan waktu. Kinerja (prestasi kerja) dapat diukur melalui pengukuran tertentu (standar) dimana kualitas adalah berkaitan dengan mutu kerja yang dihasilkan, sedangkan kuantitas adalah jumlah hasil kerja yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu, dan ketepatan waktu adalah kesesuaian waktu yang telah direncanakan.
26
Kaitannya dengan penelitian ini pengertian kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu tertentu yang dapat dinilai dengan KPI.
2.1.5
Kualitas Audit Kualitas audit seperti dikatakan oleh De Angelo (1981) dalam Alim et. al.
(2007), yaitu sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Christiawan (2005) mengungkapkan, kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu independensi dan kompetensi. Dari definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa auditor yang kompeten adalah auditor yang “mampu” menemukan adanya pelanggaran sedangkan auditor yang independen adalah auditor yang "mau" mengungkapkan pelanggaran tersebut. Jelas
terlihat bahwa independensi dan
kompetensi seperti dikatakan Christiawan (2005) dan merupakan faktor penentu kualitas audit dilihat dari sisi auditor. Menurut Sukriah et al. (2009) kualitas hasil pemeriksaan adalah kualitas kerja auditor yang ditunjukkan dengan laporan hasil pemeriksaan yang dapat diandalkan berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sukriah et al. (2009) kualitas hasil pemeriksaan dapat diukur dengan menggunakan indikator: kesesuaian pemeriksaan dengan standar audit dan kualitas laporan hasil pemeriksaan.
27
2.2 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan hasil review dan pengamatan penulis, KAP Rachmad Wahyudi memiliki 40 Key Performance Indicators yang berbeda. Penulis menyadari bahwa setiap KAP mempunyai indikator kinerja yang berbeda namun secara garis besar setiap KAP memiliki tujuan yang sama yakni untuk menghasilkan kualitas audit yang baik, maka dalam penelitian ini penulis akan menggunakan 40 KPI tersebut untuk menjadi variabel dalam penelitian ini. Key Performance Indicators yang ditentukan oleh pimpinan KAP Rachmad Wahyudi adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Key Performance Indicators
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Key Performance Indicators Tuntas. Tepat Waktu. Sesuai SOP. Kelengkapan Kertas Kerja. Kelengkapan personil. Kuantitas Personil. Kualitas Personil. Pelatihan karyawan. Ketertiban arsip. Integritas Klien. Karakter Klien. Komitmen kewajaran
No. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Key Performance Indicators Kompetensi Bukti Audit. Kecukupan Bukti Audit. Penilaian Bukti Audit. Review Bukti Audit. Relevansi Laporan. Materialitas Bukti Audit. Keandalan Bukti Audit. Kepatuhan Auditor. Komunikasi Audit. Independensi Auditor. Kapabilitas Auditor. Kejujuran Auditor.
laporan keuangan. Design system informasi. Struktur Organisasi. Proses Supervisi. Proses monitoring. Pengendalian Supervisi. Sifat Bisnis Klien. Lingkungan Bisnis Klien. Mutu Test of Control.
33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40.
Pemantauan Mutu Audit. Resiko Audit. Otorisasi Kertas Kerja. Professional Fee. Perencanaan Audit. Koresponden Audit. Materialitas Audit. Profil Resiko Klien.
28
Variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini akan dikembangkan dalam sebuah kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:
Key Performance Indicator (X)
Kualitas Audit (Y)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 2.3 Pengembangan Hipotesis Berdasarkan kerangka teoritis diatas maka diuraikan hubungan antar variabel yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 2.3.1
Kualitas Audit De Angelo (1981) menyatakan kualitas audit sebagai probabilitas dimana
seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam
sistem
akuntansi
kliennya.
Pada
penelitian
Christiawan
(2005)
mengungkapkan, kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu independensi dan kompetensi. 2.3.2
Hubungan Kualitas Audit dengan Kinerja Auditor Kode Etik Akuntan Indonesia pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa setiap
anggota harus mempertimbangkan Integritas, Objektivitas dan Independensi dalam melaksanakan tugasnya. Independensi merupakan faktor yang menentukan dari kualitas audit, hal ini dapat dipahami karena jika auditor benar-benar
29
independen maka tidak akan terpengaruh oleh kliennya, kualitas audit yang baik menandakan bahwa auditor memiliki kinerja yang baik (Wati, 2010). Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Putri et. al (2013), kinerja auditor memiliki pengaruh yang signifikan terhadap independensi dan kompetensi auditor, dan pada penelitian Agusti et. al (2013) kompetensi, independensi dan profesionalisme memiliki pengaruh terhadap kualitas audit, sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas audit memiliki pengaruh tidak langsung terhadap kinerja auditor. 2.3.3
Hubungan Key Performance Indicator dengan Kinerja Pada penelitian Iveta (2011) menyatakan Key Performance Indicator dapat
mencerminkan kinerja organisasi saat ini, pada penelitian Sawang (2011) menyimpulkan bahwa KPI dapat digunakan untuk mengukur kinerja, hal tersebut berhubungan dengan penelitian Velimirovic (2011) yang menyatakan bahwa KPI digunakan untuk membantu organisasi dalam mengukur kinerja, KPI juga digunakan untuk memperkirakan kesuksesan organisasi dalam meraih tujuan yang ditetapkan dalam jangka panjang. Perumusan Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh KPI terhadap kualitas audit. Berdasarkan hubungan antar variabel diatas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H1:
KPI berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit di KAP wilayah Surakarta dan Yogyakarta.
30