13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1.1 Pengertian Kualitas Audit Russel (2010) menyebutkan bahwa kualitas audit merupakan fungsi jaminan dimana kualitas tersebut akan digunakan untuk membandingkan kondisi yang sebenarnya dengan seharusnya. Kompetensi dan independensi yang dimiliki oleh internal audit dalam penerapannya adalah untuk menjaga kualitas audit dan terkait dengan etika. Trisnainingsih (2011) menyatakan bahwa pengukuran kualitas proses audit terpusat pada kinerja yang dilakukan oleh internal audit dan kepatuhan pada standar yang ditetapkan. Standar auditing merupakan pedoman audit atas laporan keuangan historis agar hasil audit yang dilakukan oleh internal audit agar laporan audit yang dibuatnya berkualitas.
Menurut Herawati (2007) menyatakan bahwa seorang internal audit dituntut untuk dapat menghasilkan kualitas pekerjaan yang tinggi karena internal audit
14 mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan suatu perusahaan termasuk masyarakat. Lebih lanjut dinyatakan bahwa tidak hanya bergantung pada klien saja, internal audit merupakan pihak yang mempunyai kualifikasi untuk memeriksa dan menguji apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
De Angelo dalam Trisnainingsih (2011) menyatakan bahwa kualitas audit didefinisikan sebagai kemungkinan (joint probability) dimana seorang internal audit akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Probabilitas dimana internal audit akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman internal audit, sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi dalam menjalankan fungsinya sebagai internal audit. Sementara itu Rotter (1966) mendefinisikan bahwa seorang internal audit yang berkompeten adalah orang yang dengan keterampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang membuat kesalahan.
Kualitas pelaksanaan audit selalu mengacu pada standar yang ditetapkan, yang meliputi standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan (IAI, 2001:001.02). Kualitas audit adalah probabilitas dimana seorang internal audit dapat menemukan dan melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi perusahaannya. Probabilitas penemuan penyelewengan bergantung pada kemampuan teknis internal audit seperti
15 pengalaman kerja, pendidikan, profesionalisme, dan struktur audit perusahaan. Probabilitas internal audit untuk melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi perusahannya bergantung pada independensi internal audit itu sendiri.
2.1.2 Independensi Pickett (2010:340) dalam Institute of Internal Auditee (IIA) sebagai ikatan internal auditor di Amerika sejak tahun 1941 merumuskan definisi sikap independensi seorang internal audit perbankan sebagai berikut:
Independence is the freedom from conditions that threaten the ability of the internal audit activity to carry out internal audit responsibilities in an unbiased manner. To achieve the degree of independence necessary to effectively carry out the responsibilities of the internal audit activity, the chief audit executive has direct and unrestricted access to senior management and the board. This can be achieved through a dualreporting relationship. Threats to independence must be managed at the individual internal audit, engagement, functional, and organizational levels. (IIA, 2011; Pickett, 2010:340).
Sebagaimana di atur dalam Standar Audit 1100 (IIA,201;Hiro,2006:24), aktivitas audit internal harus independen dan internal audit internal harus bersikap objektif dalam melaksanakan pekerjaan pemeriksaan. Independensi yang menjadikan internal audit dapat bersikap obyektif. Demikian pula sebaliknya, sikap obyektif mencerminkan independensi internal audit. Internal audit tidak dibenarkan melakukan pemeriksaan atau evaluasi atas
16 kegiatan-kegiatan dimana internal audit ikut berperan sebagai pelaksana kegiatan tersebut (Sawyer et.al.2005).
Menurut IIA (2011); Cohen and Sayag (2010); Hiro (2006:20-26); Standar Audit APIP (2008) independensi internal audit internal terdiri dari: (1) Organizational Independence, (2) Individual/internal audit Objectivity
Selanjutnya menurut Pickett (2010:346-347); Mautz dan Sharaf (1993:207); Lawrence B. Sawyer (2005:35) independensi internal audit dalam melaksanakan aktivitasnya meliputi, (1) Independensi dalam program audit, (2) Independensi dalam verifikasi dan investigasi, (3) Independensi dalam pelaporan.
Dalam melaksanakan pemeriksaan, internal audit harus menjaga independensi baik independence in fact dan independence in appearance (IIA, 2011). Internal audit harus independen agar dapat memberikan pendapat dan kesimpulan yang apa adanya tanpa ada pengaruh dari pihak-pihak yang berkepentingan. Independensi internal audit dapat mempengaruhi kualitas pemeriksaan internal audit (Annuar, et.al.2001; Halimah et.al.2009; Cohen and Sayag, 2010).
17 Penelitian yang dilakukan oleh Cohen and Sayag (2010) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa organizational independence berpengaruh terhadap internal audit quality. Independensi adalah sikap internal audit tidak memihak kepada kepentingan siapapun dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan yang dibuat oleh pihak manajemen. Internal audit mempunyai kewajiban untuk bersikap jujur tidak saja kepada pihak manajemen, tetapi juga terhadap pihak ketiga sebagai pemakai laporan keuangan seperti kreditor, pemilik maupun masyarakat. Di dalam standar umum kedua, disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas profesional, internal audit harus selalu mempertahankan sikap mental independen dimana tidak mudah dipengaruh oleh pihak lain dan bebas dari suatu kepentingan dengan perusahannya.
Arens dan Loebbecke (2011) mengkategorikan independensi ke dalam dua aspek, yaitu independensi dalam kenyataan (independence in fact) dan independensi dalam penampilan (independence in appearance). Independensi dalam kenyataan ada apabila internal audit berhasil mempertahankan sikap yang tidak bias selama audit, adapun independensi dalam penampilan adalah hasil persepsi pihak lain terhadap independensi internal audit.
Independence in fact menurut Arens dan Loebbecke (2011) adalah sebagai berikut: Independen dalam kenyataan akan ada apabila pada kenyataan internal audit mampu mempertahankan sikap yang tidak memihak sepanjang pelaksanaan auditnya. Artinya sebagai suatu kejujuran yang tidak memihak
18 dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya, hal ini berarti bahwa dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang di pakai sebagai dasar pemberiaan pendapat, internal audit harus objektif dan tidak berprasangka.
Selain mengalami perbedaan kepentingan dengan pihak eksternal, internal audit juga harus mengahadapi kepentingan-kepentingan pihak internal organisasi yang tidak jarang pula berbeda-beda, bahkan bertentangan. Dalam kondisi ini, internal audit berpotensi dijadikan alat tunggangan konflik kepentingan pihak-pihak tertentu. Disinilah sikap objektif internal audit akan mencerminkan independensinya. Internal audit harus menjaga agar tidak muncul prasangka atau pendapat dari pihak manapun bahwa internal audit berpihak pada kepentingan tertentu, inilah yang disebut independen dalam penampilan.
Independence in appearance menurut Arens dan Loebbecke (2011) adalah sebagai berikut: Independen dalam penampilan merupakan hasil interpretasi pihak lain mengenai independensi ini. Internal audit akan dianggap tidak independen apabila internal audit tersebut memiliki hubungan tertentu (misalnya hubungan keluarga) dengan perusahaan yang dapat menimbulkan kecurigaan bahwa internal audit tersebut akan memihak perusahaannya atau tidak independen. Adapun pengertian Independensi menurut Sukrisno dan Ardana (2009:146) adalah Independensi mencerminkan sikap tidak memihak serta tidak dibawah pengaruh atau tekanan pihak tertentu dalam mengambil keputusan dan tindakan.
19 Donald dan Chnider (2006) mengkategorikan independensi internal audit mencakup dua aspek, yaitu independensi dalam sikap mental berarti adanya kejujuran dalam diri internal audit untuk mempertimbangkan yang objektif, tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya; independensi penampilan berarti adanya kesan masyarakat bahwa internal audit independen bertidak bebas atau independen, sehingga internal audit harus menghindari keadaan atau faktor yang menyebabkan masyarakat meragukan kebebasannya. Independensi dapat diartikan sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain.
Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri internal audit dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya. Dengan demikian internal audit internal tidak dibenarkan untuk memihak dan bebas dari suatu kepentingan. Internal audit internal harus melaksanakan kewajiban untuk sikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas hasil pengujian laporan keuangan. Pada penelitian ini, sikap independensi di ukur dengan menggunakan proksi yang dikembangkan oleh peneliti Harhinto (2004) yaitu independensi internal audit dalam sikap mental yang berarti adanya kejujuran dalam diri internal audit internal untuk mempertimbangkan secara objektif sesuai dengan prosedur pemeriksaan audit yang benar.
20 2.1.3 Komitmen Profesi Komitmen profesi diartikan sebagai intensitas identifikasi dan keterlibatan individu dengan profesinya. Identifikasi ini membutuhkan beberapa tingkat kesepakatan antara individu dengan tujuan dan nilai-nilai yang ada dalam profesi termasuk nilai moral dan etika. Komitmen profesi adalah tingkat loyalitas individu pada profesinya seperti yang dipersepsikan oleh individu tersebut, (Larkin, 2000). Semenjak awal tenaga professional telah diberikan pelatihan untuk menjalankan tugas-tugas yang kompleks secara independen dan memecahkan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan tugas-tugas dengan menggunakan keahlian dan dedikasi mereka secara profesional. Komitmen profesi dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) Sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai dari profesi, (2) Sebuah kemauan untuk usaha sungguh-sungguh guna kepentingan profesi, (3) Sebuah kepentingan untuk memelihara keanggotaan dalam profesi, Menurut Aranya et.al.( 1981) yang menguji hubungan antara komitmen profesi, pemahaman etika dan sikap ketaatan terhadap aturan. Hasilnya menunjukkan bahwa internal audit dengan komitmen profesi yang kuat maka perilakunya lebih mengarah kepada ketaatan terhadap aturan dibandingkan dengan internal audit dengan komitmen profesi yang rendah. Windsor dan Ashkanasy (1995) mengungkapkan bahwa asimilasi keyakinan dan nilai organisasi yang merupakan definisi komitmen profesi mempengaruhi integritas dan idependensi internal audit.
21 2.1.4 Pengalaman Audit Menurut Trisnainingsih (2011) pengalaman audit didefinisikan sebagai lamanya waktu dalam bekerja dibidangnya. Pengalaman ini sering kali digunakan oleh peneliti-peneliti sebagai alternatif dalam pengukuran keahlian seseorang. Karena pengalaman diasumsikan dengan mengerjakan sesuatu pekerjaaan berulang kali maka akan memberikan kesempatan mengerjakannya dengan lebih baik. Trisnainingsih (2011) meneliti bahwa peningkatan pengalaman yang dimulai dari level staf, menghasilkan memory structure yang kaya akan lebih berkembang. Pengalaman bagi seorang internal audit merupakan elemen penting dalam menjalankan profesinya selain dari pendidikan. Mengingat fungsi internal audit sebagai pemeriksa yang harus mampu memberikan masukkan ataupun pendapat.
Pengalaman internal audit akan semakin berkembang dengan bertambahnya pengalaman audit, diskusi mengenai audit dengan rekan sekerja, pengawasan dan review oleh internal audit senior, mengikuti program pelatihan dan penggunaan standar auditing. Kidwell, Stevens and Bethke (1987) dalam Budisusetyo et.al. (2005) melakukan penelitian mengenai perilaku manajer dalam menghadapi situasi dilema etika, hasil penelitiannya adalah bahwa manajer dengan pengalaman kerja yang lebih lama mempunyai hubungan yang positif dengan pengambilan keputusan etis.
22 Hasil penelitian ini juga di dukung oleh penelitian Larkin (2000) dan Glover et.al. (2002). Larkin (2000) melakukan penelitian yang melibatkan internal internal audit di lembaga keuangan dan menyatakan bahwa internal internal audit yang berpengalaman cenderung lebih konservatif dalam menghadapi situasi dilema etika. Menurut Glover et.al. (2002) yang melakukan penelitian pada beberapa mahasiswa program bisnis dan menyatakan bahwa mahasiswa yang senior lebih berperilaku etis dibandingkan yang lebih junior.
2.1.5 Kepuasan Kerja Kepuasan kerja adalah suatu sikap seseorang terhadap pekerjaan sebagai suatu perbedaan antara banyaknya ganjaran yang diterima pekerja dan banyaknya kesenangan yang seharusnya diterima (Robbins, 2009). Adapun Luthans (1995) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai suatu yang dapat memberikan kesenangan atau suatu pernyataan emosional positif sebagai hasil dari penilaian terhadap suatu pekerjaan. Setiap organisasi akan selalu berusaha agar produktivitas kerja dari para pegawainya dapat ditingkatkan.
Alasan utama mempelajari kepuasan kerja adalah untuk menyediakan gagasan bagi para manajer tentang cara meningkatkan sikap karyawan. Mengukur kepuasan kerja memang tidak sederhana. Banyak faktor yang perlu mendapatkan perhatian, misalnya kerja yang secara mental menantang, tidak monoton, bayaran atau kompensasi yang sesuai dengan harapan pekerjaan serta iklim pekerjaan yang kondusif mempunyai dampak tertentu pada seseorang, sehingga yang bersangkutan merasa puas dalam bekerja.
23
Menurut Luthans (1995) dalam Sari (2010) berpendapat bahwa kepuasan kerja adalah perasaan seseorang yang berhubungan dengan pekerjaannya, yaitu merasa senang atau tidak senang. Adapun menurut Robbins (2009) dalam Sari (2010) untuk faktor–faktor yang menentukan kepuasan kerja yaitu, pekerjaan yang secara mental menantang, gaji atau upah yang pantas, kondisi kerja yang mendukung, rekan sekerja yang mendukung, dan kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan. Hasibuan (2005) berpendapat bahwa kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: balas jasa yang adil dan layak, penempatan yang tepat sesuai keahlian, kerja yang secara mental menantang, suasana dan lingkungan pekerjaan (kondisi kerja mendukung), peralatan yang menunjang pelaksanaan pekerjaan, sikap pimpinan dalam kepemimpinannya, dan sifat pekerjaan apakah monoton atau tidak.
Menurut Luthans (1995) dalam Sari (2010) menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki tiga dimensi, yang pertama, bahwa kepuasan kerja tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat di duga. Kedua, kepuasan kerja sering ditentukan oleh sejauh mana hasil kerja memenuhi atau melebihi harapan seseorang. Ketiga, kepuasan kerja mencerminkan hubungan dengan berbagai sikap lainnya dari para individual. Menurut Luthans (1995) yang meneliti tingkat kepuasan kerja internal audit di lima wilayah, yaitu pekerjaan secara umum, supervisi, rekan kerja, promosi, dan gaji. Hasil dari studi ini mengindikasikan bahwa meskipun secara umum internal audit tampak puas terhadap aspek
24 lingkungan kerjanya, kepuasan yang terendah bagi mereka adalah gaji rendah dan kesempatan promosi yang tersedia sangat terbatas.
2.2 Rerangka Konseptual Salah satu peran dan fungsi dari internal audit adalah sebagai penilai independen yang dijalankan dalam perusahaan dan digunakan untuk menguji serta mengevaluasi sistem pengendalian internal perusahaan. Auditing yang berkualitas akan meningkatkan kualitas hasil kerja audit yang merupakan salah satu faktor kunci dalam pencapaian kinerja perusahaan. Hal ini berarti internal audit juga mempunyai peranan penting dalam pencapaian kinerja suatu perusahaan. Oleh karena itu laporan internal audit harus menghasilkan pemeriksaan audit yang berkualitas sehingga dapat mengurangi ketidakberhasilan kinerja yang merupakan kunci kesuksesan suatu pekerjaan. Untuk dapat memenuhi kualitas audit yang baik, maka internal audit dalam menjalankan profesinya harus berpedoman pada standar profesi audit yang telah ditetapkan. Munculnya skandal keuangan di sektor perbankan, sebagian besar juga berasal dari laporan internal audit. Oleh karena itu, pengembangan model yang komprehensif mengenai kualitas audit internal perlu dilakukan, sehingga model tersebut dapat menangkap kompleksitas kualitas internal audit yang dapat dipercaya oleh semua pihak. Pembentukan dan pengembangan kualitas internal audit, dalam penelitian ini di ukur dari variabel independensi, komitmen profesi, pengalaman audit, dan kepuasan kerja.
25 2.2.1 Teori Kualitas Teori kualitas yang menurut Kotler dan Keller (2003) adalah keseluruhan dari kelengkapan fitur suatu produk atau jasa yang memiliki kemampuan untuk memberi kepuasan terhadap kebutuhan. Menurut Tjiptono (2001) kualitas adalah kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk dan jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Tantangan utama yang dihadapi industri jasa adalah bagaimana memadukan kualitas pelayanan prima dengan apa yang diharapkan konsumen atau nasabah. Kualitas sangat penting bagi sebuah produk, baik berupa produk barang maupun jasa. Kualitas tidak boleh dipandang sebagai suatu ukuran sempit hanya dari kualitas produk dan jasa semata namun kualitas meliputi keseluruhan aspek organisasi. Menurut Parasuraman dan Berry (1988) dalam Hasibuhan (2005) terdapat lima dimensi yang menentukan kualitas jasa ditinjau dari sudut pandang pelanggan, yaitu: 1) realibility; kemampuan untuk memberikan jasa dengan segera dan memuaskan. 2) responsiveness; kemampuan untuk memberikan jasa dan tanggap. 3) assurance; kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh para staf, bebas dari bahaya, risiko dan keraguan. 4) emphaty; kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pelanggan. 5) tangibles; fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi.
26 2.2.2. Teori Kepuasan Klien Menurut Band dalam Harhinto (2004) kepuasan perusahaannya merupakan tingkat dimana kebutuhan, keinginan dan harapan klien yang terpenuhi akan mengakibatkan terjadinya pembelian ulang atau kesetiaan berlanjut. Tingkat kepuasan klien telah dikritik sebagai indikator dari kualitas jasa manusia karena mereka mencerminkan harapan yang tidak realistis. Ketika kritik ini telah valid dalam beberapa contoh riset dengan klien dari jasa mendukung bahwa mereka dapat secara efektif terdiskriminasi diantara jasa yang berbeda dalam kualitas.
Kepuasan klien penting dikarenakan beberapa alasan. Pertama, kepuasan klien adalah satu prediktor yang baik terhadap hasil perlakuan klien, penghentian prematur, kemampuan menerima program baru, dan seberapa efektif intervensi nasehat untuk masalah khusus klien. Kedua, data kepuasan klien menyediakan beberapa sisi informasi terhadap profesi berbeda (misalnya, konseling, administrator, koordinator, dan resepsionis), berdasarkan tingkat klien terhadap penerimaan intervensi psikologis dan prosedur administratif. Data kepuasan klien menyediakan informasi untuk penilaian dari jaminan kualitas dalam pusat konseling.
27 2.3. Pengembangan Hipotesis Berdasarkan teori dan rerangka pemikiran tentang pengaruh oerientasi etika, komitmen profesi, pengalaman audit, motivasi dan kepuasan kerja terhadap kualitas internal audit, maka dapat dikembangkan hipotesis dengan penjelasan sebagai berikut:
2.3.1. Independensi dan Kualitas Pemeriksaan Internal Audit Setiap internal audit harus mempertahankan integritas dan objektifitas dalam menjalankan tugas profesinya dengan bertindak jujur, tegas, tanpa ragu sehingga ia dapat bertindak adil, tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu. Apabila seorang internal audit memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi sesuai dengan norma dan etika yang berlaku, maka akan memberikan kepuasan kerja tersendiri pada dirinya. Internal audit yang independen adalah internal audit yang tidak memihak atau tidak dapat diduga memihak kepada pihak-pihak tertentu sehingga tidak merugikan pihak manapun (Pusdiklatwas BPKP, 2005).
Menurut penelitian Harhinto (2004) mengenai pengaruh keahlian dan independensi terhadap kualitas internal audit, dimana keahlian diproksikan dengan pengalaman dan pengetahuan, adapun independensi diproksikan dalam lama ikatan dengan klien, tekanan dari klien dan telaah dari rekan auditor. Adapun untuk mengukur kualitas pemeriksaan audit digunakan indikator antara lain:
28 (1) Internal audit harus mampu bertanggung jawab atas temuan auditnya, (2) Pemahaman terhadap sistem informasi akuntansi menjadikan kualitas audit lebih baik, (3) Pelaksanaan audit berdasarkan Standar Pemeriksaan Fungsi Audit Internal Bank (SPFAIB), (4) Internal audit mampu melaporkan temuan audit yang bersifat fraud dan memiliki nilai matrealitas, (5) Internal audit memulai pengujian dari struktur pengendalian yang lemah, (6) Selama proses audit, internal audit tidak mudah percaya dengan pernyataan auditee. (7) Internal audit harus berhati-hati dalam pengambilan keputusan audit.
Selain itu Harhinto (2004) mengklasifikasikan pertanyaan mengenai independensi ke dalam lima pertanyaan sebagai berikut: (1) Apakah internal audit bersikap independen dalam melakukan proses pemeriksaan audit, (2) Apakah internal audit dapat mempertahankan sikap jujur dan objektif dalam melakukan pemeriksaan audit, (3) Apakah proses pemeriksaan telah dilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur pemeriksaan audit yang benar (quality assurance), (4) Apakah internal audit berupaya meningkatkan pemahaman independensinya dalam menelaah temuan auditnya, dan (5) Apakah fasilitas yang diterima seorang internal audit membuatnya ragu dalam melakukan prosedur pemeriksaan audit secara jujur.
29 Hasil penelitian Trisnaningsih (2007) juga mengindikasikan bahwa internal audit yang hanya memahami good governance tetapi dalam pelaksanaan pemeriksaan tidak menegakkan independensinya maka tidak akan berpengaruh terhadap kinerjanya. Menurut Cristiawan dan Alim (2007) menemukan bahwa independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Hasibuan (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Keadaan yang menyenangkan dapat dicapai jika sifat dan jenis pekerjaan yang harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang dimilikinya. Maka berdasarkan uraian diatas penelitian ini mempunyai hipotesis sebagai berikut: H1: Independensi berpengaruh positif terhadap Kualitas Pemeriksaan internal audit .
2.3.2. Komitmen Profesi dan Kualitas Pemeriksaan Internal Audit Profesionalisme merupakan suatu tanggung jawab untuk berperilaku lebih dari sekedar memenuhi tanggung jawab yang dibebankan kepadanya, dan lebih dari sekedar memenuhi undang-undang dan peraturan masyarakat (Arens, 2010). Irwansyah (2010) berpendapat bahwa profesionalisme dapat dicerminkan kedalam lima hal, yaitu: pengabdian pada profesi, pemenuhan kewajiban sosialnya, sikap kemandiriannya, keyakinan terhadap peraturan profesi, dan kualitas hubungannya dengan sesama profesi. Sikap profesionalisme seseorang internal audit sangat penting dalam menghasilkan audit yang berkualitas. Hal ini karena internal audit yang profesional akan
30 mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang dimilikinya yaitu berdasarkan pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan dengan sesama profesi. Jeffrey et.al.. dalam Harhinto (2004) mengklasifikasikan pertanyaan mengenai komitmen profesi ke dalam lima pertanyaan sebagai berikut: (1) Apakah internal audit wajib meningkatkan keahlian auditingnya dan keahlian audit forensiknya dalam mengungkap temuan audit, (2) Apakah internal audit telak melaksanakan pemeriksaan audit dengan standar pengetahuan audit yang benar, (3) Apakah internal audit dalam melakukan pekerjaannya sebagai internal audit melakukannya secara professional, (4) Dalam melakukan pemeriksaan, apakah internal audit menggunakan alat bukti yang sah (bukti-bukti appraisal yang sah), (5) Apakah internal audit berkomitmen telah melakukan pemeriksaan auditnya secara sah dan benar.
Penelitian lain mengenai komitmen profesi internal audit juga dilakukan oleh Widagdo (2002) yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dianggap mempengaruhi sikap dan perilaku etis (komitmen profesi) internal audit serta faktor yang dianggap paling dominan pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku tidak etis internal audit. Hasil yang diperoleh dari kuesioner menunjukkan bahwa terdapat sepuluh faktor yang dianggap oleh sebagian besar internal audit mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Sepuluh faktor tersebut adalah religiusitas, pendidikan, organizations, emotional quotient,
31 komitmen profesi, lingkungan keluarga, pengalaman hidup, imbalan yang diterima, hukum, dan posisi atau kedudukan. Adapun hasil yang diperoleh dari kuesioner menunjukkan bahwa terdapat dua puluh empat faktor dianggap berpengaruh terhadap sikap dan perilaku etis internal audit dimana faktor komitmen profesi merupakan faktor yang dominan, maka berdasarkan uraian diatas penelitian ini mempunyai hipotesis sebagai berikut: H2: Komitmen Profesi berpengaruh positif terhadap Kualitas Pemeriksaan internal audit.
2.3.3. Pengalaman Audit dan Kualitas Pemeriksaan Audit Internal Audit menuntut keahlian dan profesionalisme yang tinggi. Keahlian tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan formal tetapi banyak faktor lain yang mempengaruhi antara lain adalah pengalaman. Menurut Tubbs dalam Sari (2010) bahwa internal audit yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal: (1) Mendeteksi kesalahan, (2) Memahami kesalahan secara akurat, (3) Mencari penyebab kesalahan.
Menurut Murphy dan Wright dalam Sari (2010) pengalaman menciptakan struktur pengetahuan yang terdiri atas suatu sistem dari pengetahuan yang sistematis dan abstrak. Pengetahuan ini tersimpan dalam memori jangka panjang dan dibentuk dari lingkungan pengalaman langsung masa lalu.
32 Teori ini menjelaskan bahwa melalui pengalaman internal audit dapat memperoleh pengetahuan dan mengembangkan struktur pengetahuannya. Internal audit yang berpengalaman akan memiliki lebih banyak pengetahuan dibandingkan internal audit yang belum berpengalaman.
Menurut Libby dalam Hernadianto (2012) mengatakan bahwa seorang internal audit menjadi ahli terutama diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman. Seorang internal audit yang lebih berpengalaman akan memiliki skema yang lebih baik dalam mendefinisikan keliruan-keliruan daripada internal audit yang kurang berpengalaman. Selain itu bahwa internal audit yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem internal audit yang mendasari (Libby et.al. dalam Sari (2010).
Penjabaran pertanyaan mengenai pengalaman audit menurut Larkin et.al. dalam Harhinto (2010) dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Apakah internal audit telah mengikuti pelatihan audit yang dipersyaratkan misalnya wajib mengikuti pelatihan CIA dan BSMR. (2) Seiring bertambahnya pengalaman audit, apakah seorang internal audit mampu memberikan petunjuk operasional yang benar kepada auditee. (3) Seiring bertambahnya pengalaman audit, apakah internal audit mampu menjadi media penyambung komunikasi yang baik, antara pihak top manager dengan pihak cabang.
33 (4) Apakah dengan bertambahnya usia, seorang internal audit mampu meningkatkan pengetahuan auditnya. (5) Apakah internal audit selalu mampu menjaga koordinasi yang baik antar sesama internal audit.
Harhinto (2004) menghasilkan temuan bahwa pengalaman internal audit berhubungan positif dengan kualitas audit. Adapun Kartika (2006) memperkuat penelitian tersebut yang menghasilkan temuan bahwa semakin berpengalamanya internal audit, maka semakin tinggi tingkat kesuksesan dalam menghasilkan kualitas audit. Berdasarkan uraian diatas penelitian ini mempunyai hipotesis sebagai berikut: H3: Pengalaman Audit berpengaruh positif terhadap Kualitas Pemeriksaan internal audit.
2.3.4. Kepuasan Kerja dan Kualitas Pemeriksaan Audit Internal Kepuasan kerja merupakan seperangkat perasaan pegawai tentang menyenangkan atau tidak mengenai pekerjaan mereka, atau suatu perasaan pegawai senang atau tidak senang dari pemikiran obyektif dan keinginan perilaku. Menurut Jensen and Meckling dalam sari (2010) berpendapat tentang faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja adalah: (1) Pertama, faktor hubungan antar karyawan, antara lain hubungan antara manajer dengan karyawan, faktor fisik dan kondisi kerja, hubungan sosial diantara karyawan, sugesti dari teman sekerja.
34 (2) Kedua, faktor individual yaitu yang berhubungan dengan sikap orang terhadap pekerjaannya, umur orang sewaktu bekerja dan jenis kelamin. (3) Ketiga, adalah faktor-faktor luar yang berhubungan dengan keadaan keluarga karyawan, rekreasi dan pendidikan.
Adapun pendapat lain dikemukakan oleh Brownell dalam Sari (2010) mengemukakan ada lima faktor yang menimbulkan kepuasan kerja yaitu antara lain kedudukan, pangkat atau golongan, umur, jaminan financial dan jaminan sosial serta mutu pengawasan. Alasan utama mempelajari kepuasan kerja adalah untuk menyediakan gagasan bagi para manajer tentang cara meningkatkan sikap karyawan. Seseorang yang tidak punya kemampuan mengaktualisasikan secara profesional menjadi tindakan puas dalam bekerja.
Internal audit internal dalam menjalankan tugas profesinya akan mendapatkan konflik ketika harus melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak menguntungkan kinerja manajemen. Konflik terjadi ketika internal audit internal dan auditee tidak sepakat terhadap beberapa aspek dan tujuan pemeriksaan. Untuk itu internal audit dihadapkan kepada pilihan-pilihan keputusan yang saling berlawanan terkait dengan aktivitas pemeriksaannya. Karena internal audit secara profesional dilandasi oleh kode etik profesi dan standar pemeriksaan juga, maka internal audit internal berada dalam sebuah dilema. Memenuhi tuntutan auditee berarti melanggar standar pemeriksaan dan kode etik profesi.
35 Pelanggaran standar pemeriksaan dan kode etik mempunyai implikasi terhadap kualitas audit internal yang dihasilkan oleh internal audit. Oleh karena itu, internal audit secara profesional juga harus dapat mempertahankan sikap kode etik dan standar pemeriksaan yang telah ditetapkan. Penjabaran mengenai pertanyaan mengenai kepuasan kerja menurut penelitian Hasibuhan (2005) dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) Apakah tantangan pekerjaan audit sesuai dengan minat dan keahlian yang dimiliki oleh seorang internal audit perbankan dalam pekerjaannya. (2) Apakah seorang internal audit menyukai apabila diberikan tugas kepercayaan oleh atasannya dalam melakukan pemeriksaan audit khusus. (3) Apakah kompensasi yang diterima oleh seorang internal audit sudah memadai sesuai dengan tingkat resiko pekerjaannya. (4) Apakah internal audit lebih mendukung tindakan atasan yang melindungi bawahannya (internal audit) apabila menemukan audit fraud. (5) Apakah internal audit menyukai penerimaan penghargaan atas usaha kinerjanya yang baik.
Hasibuan (2005) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap emosional yang menyenangkan dan mencintai pekerjaannya. Keadaan yang menyenangkan dapat dicapai jika sifat dan jenis pekerjaan yang harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai yang dimilikinya. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa apabila dalam pekerjaannya seseorang mempunyai otonomi untuk bertindak, terdapat variasi, memberikan sumbangan penting dalam organisasi dan memperoleh umpan balik dari hasil
36 pekerjaan yang dilakukannya, dan yang bersangkutan akan merasakan kepuasan dan perasaan puas akan menimbulkan dorongan untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik, maka berdasarkan uraian diatas penelitian ini mempunyai hipotesis sebagai berikut: H4: Kepuasan Kerja berpengaruh positif terhadap Kualitas Pemeriksaan Internal Audit.
Dari uraian penjelasan diatas, maka rerangka pemikiran yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 1. Rerangka Konseptual Hipotesis
Independensi Komitmen Profesi Pengalaman Audit Kepuasan Kerja
Kualitas Pemeriksaan Audit