2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Industri Kecil dan Menengah Industri Kecil Menengah di Indonesia merupakan bagian penting dari sistem
perekonomian nasional karena peranannya dapat mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi melalui misi penyediaan lapangan usaha dan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan ikut berperan dalam memperoleh devisa serta memperkokoh struktur industri nasional (Hubies, 1997). Definisi Usaha Kecil menurut Undang- undang No. 20 tahun 2008 adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha, dan memiliki kriteria usaha Kecil yaitu: a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Definisi Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha dan miliki
jumlah kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan sebagai berikut: a) memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha;
atau
b)
memiliki
hasil
penjualan
tahunan
lebih
dari
Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah). Menurut Biro Pusat Statistik (1998), definisi industri rumah tangga adalah unit usaha dengan pekerja paling banyak 4 orang termasuk pengusaha, sedangkan industri kecil adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang dan paling banyak 19 orang. Industri menengah adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling sedikit 20 dan paling banyak 99 orang. Menurut Keppres RI No. 99 Tahun 1998 pengertian usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara
5
mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat. Menurut Departemen Perindustrian dan Perdagangan, IKM adalah kelompok industri kecil modern, industri tradisional, dan industri kerajinan yang mempunyai investasi modal untuk mesin-mesin dan peralatan sebesar Rp 70 juta ke bawah dan usahanya dimiliki oleh warga Negara Indonesia (Hubeis, 1977). Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 yang termasuk industri rumah tangga pangan (IRTP) adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Berdasarkan data BPS tahun 2009, jumlah industri kecil / menengah di Indonesia sebesar 3.755.238 juta unit usaha, sedangkan industri besar berkisar 2.867 unit usaha . Laju pertumbuhan industri mikro dan kecil pada akhir tahun 2011 telah mencapai 1,48% (BPS, 2011). Perkembangan struktur industri di Indonesia seperti terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Struktur industri Indonesia tahun 2005 – 2009 N O
Uraian
Satu an
2005
2006
2007
2008*
2009**
1
Unit Usaha/Unit
Unit
2.811.468,0
3.220.061,0
3.442.306,0
3.545.100
3.758.105
1.1
Industri Kecil
Unit
2.795.237,0
3.200.620,0
3.422.672,0
3.526.420
3.739.507
1.2
Industri Menengah
Unit
13.712,0
16.886,0
15.782,0
15.709
15.731
1.3
Industri Besar
Unit
2.519,0
2.555,0
3.852,0
2.971
2.867
2
Tenaga Kerja
Orang
10.971.630,0
12.597.214,0
13.223.776,0
13.424.341
13.987.659
2.1
Industri Kecil
Orang
6.745.086,0
7.195.356,0
7.441.995,0
7.800.576
7.871.888
2.2
Industri Menengah
Orang
140.992,0
175.901,0
190.936,0
190.696
201.966
2.3
Industri Besar
Orang
4.085.552,0
5.011.535,0
5.590.844,0
5.433.069
5.913.805
3
PDB (adhk2000)
Mil Rp
491.422,0
514.192,0
538.078,0
557.766
570.629
3.1
Industri Kecil
Mil Rp
64.073,1
66.271,5
69.350,0
71.887
73.545
3.2
Industri Menengah
Mil Rp
59.726,0
62.034,7
64.916,4
67.292
68.843
3.3
Industri Besar
Mil Rp
367.622,8
385.886,0
403.811,5
418.587
428.241
Sumber: BPS diolah Kemenperin (2009) * ) Angka Sementara, ** ) Perkiraan
Kontribusi industri selama ini masih disumbang sebesar 75% dari industriindustri yang berada di Pulau Jawa dan sisanya di luar Pulau Jawa dan Bali. Hal ini dapat dimengerti karena penyebaran masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Lokasi industri untuk Pulau Jawa, berada di Jawa Tengah sebesar 38.71%, diikuti Jawa Timur 31,05% dan Jawa Barat sebesar 21,29%. 6
Sesuai Rencana Kerja Jangka Panjang pada tahun 2011-2014, Kementerian Perindustrian memfokuskan 6 kelompok industri yang berpeluang dikembangkan salah satunya adalah industri kecil dan menengah makanan karena mempunyai kedudukan strategis dalam perekonomian nasional. Industri kecil dan menengah berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja yang banyak, membuka peluang usaha secara luas dengan produk bervariasi dan beragam, mampu mengolah sumberdaya lokal baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Data pertumbuhan industri makanan minuman cenderung naik dari tahun 2004 sampai tahun 2009, dimana pada tahun 2009 mencapai 11,29%. Sukarman (2007) mencirikan bahwa karakteristik usaha mikro kecil dan menengah di Indonesia secara umum yaitu: a) tradisional, b) perorangan, c) sarat penggunaan sumber daya lokal, d) menghasilkan produk sederhana, e) teknologi yang digunakan tepat guna, f) usaha lebih fleksibel dan padat karya, g) khusus usaha mikro terutama berada pada golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Kendala umum yang dihadapi oleh usaha mikro kecil dan menengah di Indonesia sebagai berikut a) kualitas SDM rendah (94,7% SLTP ke bawah ), b) akses pasar terbatas, c) manajemen sederhana atau tradisional, d) sistem pembukuan / administrasi keuangan belum baik, e) belum terdaftar secara formal,
f) tidak memenuhi persyaratan bank teknis, g) kurang akses
informasi dan pemanfaatan teknologi, h) kurang menjaga kualitas produk, i) permodalan untuk mengembangkan usahanya. Sedangkan menurut Hubeis (1997), kendala pengembangan industri kecil dapat disebabkan oleh faktor kemampuan yang bersifat alamiah (mental dan budaya kerja), tingkat pendidikan SDM, terbatasnya keterampilan dan keahlian, keterbatasan modal dan informasi pasar, volume produksi yang terbatas, mutu yang beragam, penampilan yang sederhana, infrastruktur dan peralatan yang usang, beberapa kebijaksanaan dan tingkah laku dari pelaku bisnis yang bersangkutan. Hal ini menyebabkan produk yang dihasilkannya sangat beragam, baik dalam mutu, ukuran, warna maupun bentuk/desain, yang pada akhimya berdampak terhadap harga jual yang kurang kompetitif. Menurut Departemen Perindustrian (2008), keadaan spesifik industri makanan di Indonesia antara lain kurang memperhatikan aspek higienis; masih 7
ada penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) tidak benar/bahan tambahan yang dilarang; pengelolaan/manajemen usaha masih sederhana; mutu sangat beragam dan masih banyak yang belum memenuhi standar; kemasan sangat sederhana, tidak menarik, dan label tidak sesuai dengan isi; masuknya produk-produk makanan dari negara lain yang mempunyai daya saing cukup tinggi. Selain itu industri kecil belum memiliki bentuk organisasi yang mampu untuk menghadapi perubahan dengan cepat, karena struktur organisasi internalnya masih sederhana (mendekati organisasi lini), yaitu manajer umum (pemilik) merangkap jabatan pengawas, dan bagian lain (produksi, penjualan dan pemasaran, serta pembelian) diserahkan kepada orang tertentu di lingkungan keluarga atau pegawai yang telah dipercayai. Struktur tersebut pada dasarnya telah mencerminkan adanya lalu lintas wewenang dan tanggung jawab secara vertikal, serta hubungan antar bagian secara horisontal, tetapi yang menjadi persoalan masil dominannya keterlibatan pemilik dalam segala kegiatan usaha (one man show). Untuk memperbaiki situasi tersebut diperlukan peningkatan. kemampuan personil (komunikasi, kerja kelompok, inovasi dan leadership) dan kemampuan manajerial (kepemimpinan dan penerapan manajemen fungsional), serta gaya kerja, baik secara mutlak (necessary condition) maupun tambahan (sufficient condition) dalam mencapai kompetivitas secara spesifik maupun global (Hubeis, 1997). 2.2
Keamanan Pangan
2.2.1 Definisi Keamanan Pangan Menurut Undang-undang RI No.7 tahun 1996 tentang Pangan, mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman. Berdasarkan pengertian tersebut, mutu pangan tidak hanya mengenai kandungan gizi tetapi mencakup keamanan pangan dan kesesuaiannya dengan standar perdagangan yang berlaku. Definisi keamanan pangan menurut Codex adalah jaminan bahwa makanan tidak akan mengakibatkan bahaya bagi konsumen ketika itu dipersiapkan dan atau dimakan menurut pemakaian yang dimaksudkan atau dikehendaki (Hariyadi, 2007). Joint Expert Committee of Food Safety (JECFA) menyatakan keamanan 8
pangan sebagai semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama produksi, pengolahan, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan makanan untuk memastikan bahwa makanan tersebut aman, bebas dari penyakit, sehat, dan baik dikonsumsi manusia. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Aman untuk dikonsumsi dapat diartikan, bahwa produk pangan tidak mengandung bahan yang dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia, yaitu menimbulkan penyakit atau keracunan. Disamping itu produk pangan juga harus layak untuk dikonsumsi, yaitu harus dalam keadaan normal, tidak menyimpang misalnya busuk, kotor dan menjijikkan. Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya biologi atau mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik. Menurut Lawley (2008), secara sederhana aplikasi keamanan pangan diartikan sebagai praktik-praktik untuk memastikan bahwa produk pangan tidak menyebabkan kerugian bagi konsumen. Definisi tersebut mencakup topik-topik keamanan pangan secara luas mulai dari pengetahuan dasar dan higiene personal sampai prosedur teknis yang kompleks untuk menghilangkan kontaminan dari produk pangan dan bahan-bahan yang diolah dengan teknologi canggih. Pada dasarnya, praktik keamanan pangan dapat dikelompokan atas tiga dasar operasi: 1. Perlindungan rantai suplai pangan dari bahaya kontaminasi; 2. Pencegahan dari perkembangan dan penyebaran bahaya kontaminasi; dan 3. Penghilangan dampak kontaminasi dan zat-zat kontaminan secara efektif. 2.2.2 Sumber Bahaya Keamanan Pangan Bahaya keamanan pangan tertuju pada faktor-faktor dalam bahan pangan yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Sumber-sumber bahaya keamanan pangan digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu fisik, kimia, dan mikrobiologi. Bahaya yang bersifat fisik, contohnya serpihan batu dan logam; bersifat kimia, contohnya toksin yang diproduksi selama proses pengolahan pangan dan zat-zat alergenik; dan bersifat mikrobiologi, contohnya bakteri 9
patogen, virus, parasit, prion, protozoa, dan gejala infeksi serta intoksikasi (Lawley 2008). Menurut Rahayu (2008), kasus sumber kontaminan bahan pangan terdiri dari kontaminan biologi / mikrobiologi, kimia, dan kontaminan fisik. Kontaminan tersebut dapat mencemari pangan sejak masih berupa bahan mentah sampai siap dikonsumsi. Menurut FAO (1979) sebagian besar terjadinya keracunan makanan dan penyakit yang ada kaitannya dengan konsumsi pangan disebabkan oleh mikroorganisme dan toksin yang diproduksinya. Lebih dari 90% kasus keracunan pangan disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme yang berasal dari air, tanah, udara, peralatan, bahan, dan tubuh manusia. Sisanya sekitar kurang dari 10% disebabkan oleh bahan kimia, baik yang berasal dari alam seperti aflatoksin, zat warna, monomer plastik, obat dan hormon pada tanaman dan ternak, maupun dalam bentuk kontaminan lingkungan seperti pestisida, logam berat seperti Pb, Arsen, Kadmium (Winarno, 1993). Adanya bahaya atau cemaran pada pangan seringkali ditemukan karena rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya praktek sanitasi dan higinitas yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja maupun produsen yang menangani pangan tradisional (Dewanti & Nuraida, 2001). Hasil penelitian Sapers et al. (2006) menyimpulkan ada empat faktor yang menjadi penyebab utama kasus keracunan pangan antara lain, praktik yang meragukan terhadap penggunaan air yang diklaim aman, lemahnya tindakan dalam manajemen hama atau hewan pengganggu, fasilitas dan peralatan yang tidak saniter, serta kurangnya penerapan praktik-praktik yang sehat dan higiene. 2.2.3 Permasalahan Keamanan Pangan Data kinerja produk Indonesia untuk menembus pasar AS (tahun 20012005), dilihat dari aspek keamanan pangan masih sangat memprihatinkan. Sekitar 33-80% (rata-rata 62%) produk pangan ditolak karena alasan "filthy". Secara umum, filthy dapat diartikan bahwa pada produk tersebut mengandung "sesuatu yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut". Penyebab adanya filthy adalah karena masih kurang diterapkannya prinsip-prinsip penanganan dan pengolahan yang baik. Dengan kata lain, kepada produsen produk pangan dan 10
hasil pertanian Indonesia masih perlu diperkenalkan, disosialisasikan. dan diawasi untuk menerapkan good practices (Hariyadi & Dewanti, 2003). Peredaran produk pangan yang tercemar mikroba, tercemar logam, yang menggunakan bahan tambahan pangan (BTP) yang dilarang atau melebihi batas yang diperbolehkan (terutama zat pewarna, pengawet dan pemanis), adanya residu pestisida yang masih tinggi pada produk-produk hortikultura masih banyak ditemukan. Disamping itu banyak pula ditemukan peredaran produk pangan yang komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk pangan yang tidak mencantumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997). Berdasarkan data inspeksi 2001-2006 menunjukan bahwa beberapa jenis pelanggaran produk pangan yang sering terjadi adalah penggunaan pemanis buatan TMS, pengawet TMS, formalin, boraks, pewarna bukan untuk makanan, cemaran mikroba TMS, dan lain-lain. Persentase berbagai jenis pelanggaran produk pangan tahun 2001-2006 ditunjukkan pada Gambar 1. Penggunaaan pemanis buatan TMS merupakan pelanggaran dengan persentase relatif terbesar. Pada tahun 2001, pelanggaran jenis ini merupakan 15,65% dari keseluruhan jenis pelanggaran produk. Persentase tersebut meningkat menjadi 26,50% atau meningkat rata-rata 11,1% per tahun selama 2001-2006 (Hanani, 2009).
Sumber : Hanani (2009)
Gambar 1 Persentase pelanggaran produk pangan (%).
11
Pada kenyataannya Indonesia harus menanggung beban ganda keamanan pangan yaitu masih belum diaplikasikannya prinsip GMP dengan baik dan khusus berkaitan dengan industri pangan berorientasi ekspor harus menghadapi berbagai isu keamanan pangan baru yang selalu bermunculan dari waktu ke waktu, berubah-ubah dan berbeda dari satu negara ke negara lainnya. Penyebab permasalahan beban ganda keamanan pangan di Indonesia ini adalah beium dipahami dan disadarinya arti strategis keamanan pangan. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian yang layak pada (i) pembenahan infrastruktur keamanan pangan, (ii) program pendidikan pada produsen dan konsumen, (iii) prioritas alokasi dana untuk pembangunan keamanan pangan dan (iv) pembinaan dan fasilitasi prasarana untuk industri kecil dan menengah (Hariyadi, 2008). Penanggulangan terhadap keamanan pangan sangat dibutuhkan, salah satunya yaitu dengan melakukan GAP (good agricultural practices) pada usaha produksi di farm, terutama untuk penggunaan pestisida, pupuk buatan, hormone pertumbuhan, pencemaran lingkungan, sedangkan dipabrik perlu diperhatikan penerapan GMP (good manufacturing practices) dan HACCP (hazard analysis critical control point) untuk mencapai mutu dan standar yang diperlukan, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor (Bintoro, 2009). Hasil inspeksi BPOM tahun 2007 menunjukan bahwa dari 4.007 sarana produksi yang diperiksa terdapat 2.271 (57%) sarana yang tidak memenuhi ketentuan, sehingga tidak mampu menerapkan GMP (good manufacturing practices) secara konsisten. Bahkan pada industri rumah tangga pangan (IRTP), sebesar 76% dari total sarana tidak memenuhi ketentuan. Masalah utama yang perlu segera dipecahkan pemerintah adalah memfasilitasi IRTP mampu melengkapi dirinya dengan sarana dan prasarana sanitasi dan higienitas sehingga melaksanakan proses produksi pangan sesuai dengan kaidah GMP (Hariyadi, 2008). Penelitian Sudibyo et al. (2001) menunjukkan bahwa dari sebanyak 80 sampel industri pangan yang digunakan dalam penelitian hanya sekitar 35-40% industri
pangan
berskala menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung
jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau dari aspek penerapan GMP, sanitasi dan higiene serta SOP. 12
Penyebab masalah keamanan pangan di Indonesia antara lain karena masih kurangnya pengawas makanan (food inspector), adanya technical barrier terhadap berbagai kemampuan deteksi kimiawi atau mikrobiologis di daerah (masalah sumber daya manusia, equipment dan dana), standar mutu, isu lingkungan, dan data-base tentang pangan (Bintoro, 2009). 2.2.4 Kelembagaan dan Regulasi Keamanan Pangan Keamanan pangan merupakan prasyarat bagi suatu produk pangan, yang harus ditangani secara terpadu, melibatkan berbagai stake holder baik dari pemerintah, industri, dan konsumen. Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO, 1999). Pengawasan pangan merupakan kegiatan pengaturan wajib baik oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan menjamin bahwa semua produk pangan sejak produksi, penanganan, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi adalah aman, layak dan sesuai untuk konsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan mutu pangan, dan telah diberi label dengan jujur dan tepat sesuai hukum yang berlaku (FAO, 2003). Menurut Bintoro (2009) stakeholder bidang pangan antara lain pemerintah, produsen (on-farm mapun off-farm), konsumen, peneliti, distributor, dan fihak lain. Keterlibatan stake holder tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan. Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 pasal 3 menegaskan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan bertujuan untuk: 1) tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia, 2) terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab, dan 3) terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Indonesia menganut multiple agency system (sistem berbagai lembaga) dalam pengorganisasian pengawasan mutu pangan. Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2004 mengatur tanggung jawab badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut atas keamanan pangan 13
yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan tersebut dalam Pasal 41 ayat (1). Tanggung jawab industri pangan diatur dalam pasal 41, 42 dan 43. BPOM merupakan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengawasan pangan bersama-sama dengan tiga kementrian, yakni Kementrian Kesehatan, Kementrian Pertanian, dan Kementrian Perikanan dan Kelautan. Kementerian Perindustrian juga menangani pengawasan keamanan pangan khusus dalam hubungannya dengan industri dan perdagangan pangan. Tanggung jawab masing-masing instansi telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 pasal 22. Penanggulangan masalah keamanan pangan harus didukung adanya regulasi yang komprehensif, tegas dan mencakup berbagai pihak yang terlibat. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri pangan mampu dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa peraturan itu antara lain : Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang Pangan; Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Peraturan Pemerintah
No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan; Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan; PerMenKes
No. 23/MenKes/SK/I/1978
tentang
pedoman
cara produksi
pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP); PerMenKes No. 722/MenKes/IX/1988 tentang bahan
tambahan
pangan
(BTP)
dan
penggunaannya; Permenkes RI No. 329/Menkes/Per/VII/76 tentang Produksi dan Peredaran pendaftaran
Makanan; makanan;
Permenkes
RI
Kepmenkes
No.382/Menkes/Per/VI/1989 RI
No.02912/B/SK/IX/1986
tentang tentang
penyuluhan bagi perusahaan makanan industri rumah tangga; Keputusan Kepala Badan POM Nomor : HK. 00.05.5.1640 Tata cara penyelenggaraan SP-PIRT; Keputusan Kepala Badan Pengawas
Obat
dan
Makanan
No.
Nomor
HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT). Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan dengan tujuan 14
dan pertimbangan supaya : (1) Setiap industri pangan memberi informasi mengenai pangan yang disampaikan kepada masyarakat adalah benar tidak menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan mengetahui bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai di hilirnya baik
menyangkut
aspek
gizi,
mutu
dan
keamanan
pangan
maupun
lingkungannya. Sesuai Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang serta jaminan yang dijanjikan. Hal tersebut berimplikasi konsumen pangan di Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan keamanan pangan dari setiap produsen/industry pangan yang memperdagangkan produk pangannya di Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala menengah maupun skala kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses produksi/pengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Makanan berlabel diawasi dan dikendalikan BPOM, sedang makanan tidak berlabel oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Ijin produksi, pengawasan proses produksi, dan hasil produksi yang sepenuhnya wewenang BPOM adalah untuk industri obat, kosmetika, obat tradisional, narkotika, alat kesehatan, minuman keras. Melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 23/Menkes/SK/I/1978 telah diatur Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau yang dikenal GMP, sedang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPBIRT) diatur melalui Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012. 2.3 Cara Produksi Pangan Yang Baik/ Good Manufacturing Practices Menurut Fardiaz (1992) Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Pengolahan Makanan yang Baik (CPMB) merupakan suatu pedoman cara produksi makanan yang memiliki tujuan untuk menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen. GMP sebagai persyaratan sanitasi dan proses minimum yang harus diaplikasikan oleh industri pangan. 15
Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 dalam Pasal 3 huruf c adalah cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara : a. mencegah tercemarnya pangan olahan oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan; b. mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen,serta mengurangi jumlah jasad renik lainnya; dan c. mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan. GMP untuk pengolahan pangan di AS tercantum di dalam Seksi 21 dari Kode Peraturan Federal, bagian 110 (21 CFR 110) yang secara umum menggambarkan kebutuhan pengaturan untuk personel dan manajemen (personel dan manajemen yang terlatih baik), bangunan dan fasilitas yang dirancang dengan baik, terpelihara dan bersih, Standard operating procedures (SOPs) tertulis, serta adanya unit mutu yang independent (seperti unit kendali dan/atau jaminan mutu). Codex Allimentarius Commission telah menerbitkan persyaratan acuan The Codex General Principles of Food Hygiene yang mengidentifikasi prinsipprinsp food higien yang dapat diterapkan di seluruh rantai pangan (termasuk produksi primer hingga konsumsen akhir), untuk mencapai tujuan dalam menjamin pangan yang aman dan layak untuk dikonsumsi (CAC, 2003) . Pengendalian dalam The Codex General Priciples of Food Hygiene ini diakui oleh internasional sebagai cara penting untuk menjamin keamanan dan kelayakan pangan yang dikonsumsi manusia. Acuan yang digunakan oleh industri dibidang pangan di Indonesia adalah Pedoman Penerapan Cara Produksi Makanan Yang Baik (CPMB) yang dibuat oleh Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan (1996) yang sekarang berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pada dasarnya, program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP) dan
standard
prosedur
oprasional
sanitasi
atau
sanitation standard
operating procedure (SSOP). GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum 16
higiene pangan dan peraturan perundang-undangan yang
mengatur
mengenai
produksi pangan. SSOP juga merupakan salah satu unsur / komponen program persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan
dan
menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses; bahkan SSOP yang sudah tertulis dan terdokumentasi dengan baik telah direkomendasikan untuk diimplementasikan secara wajib dalam industri pangan. Tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen, baik konsumen domestik maupun internasional. Sedang tujuan khusus penerapan GMP adalah: (1) Memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman dan layak untuk dikonsumsi; (2) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas, peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan penyimpanan dan distribusi; dan (3) Mengarahkan pendekatan dan penerapan sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan (Ditjen POM, 1996). Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Sedang bagi industri pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak bagi konsumen; (2) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk mengenai cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat 17
melindungi pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan pangan, yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik; dan (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap pangan yang diproduksinya (Ditjen POM, 1996). Menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC (2003)
General
Principles of Food Hygiene mencakup : desain bangunan, fasilitas dan peralatan produksi;
pengendalian
proses
produksi
(pengendalian
bahaya,
pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah, pengemasan, air, manajemen dan supervisi, dokumentasi
sistem
pengolahan
dan rekaman, prosedur penarikan
produk); pemeliharaan dan sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan, program pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular, pengelolaan dan pengolahan limbah dan keefektifan pemantauan); higiene/kebersihan personil/ karyawan (status kesehatan karyawan, kebersihan personil, tingkah laku personil, prosedur penerimaan tamu/pengunjung); transportasi (persyaratan, penggunaan dan pemeliharaannya); informasi
produk dan kesadaran (identifikasi lot,
informasi produk, labelling); pendidikan konsumen; serta pelatihan. Cakupan secara umum dari penerapan pedoman cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga (CPPB-IRT) berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor : HK. 00.05.5.1639 tahun 2003 yang diperbaharui dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 adalah sebagai berikut: 1.
Lokasi dan lingkungan produksi. Untuk menetapkan lokasi industri perlu dipertimbangkan keadaan dan kondisi lingkungan yang mungkin dapat merupakan sumber pencemaran potensial dan telah mempertimbangkan berbagai tindakan pencegahan yang mungkin dapat dilakukan untuk melindungi pangan yang diproduksinya.
2.
Bangunan dan fasilitas. Bangunan dan fasilitas industri dapat menjamin bahwa pangan selama dalam proses produksi tidak tercemar oleh bahaya fisik, biologis dan kimia serta mudah dibersihkan dan disanitasi.
3.
Peralatan produksi. Tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak terjadi kontaminasi silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan pangan seharusnya didesain, dikonstruksi dan diletakkan sedemikian untuk
18
menjamin mutu dan keamanan pangan yang dihasilkan. 4.
Suplai air atau sarana penyediaan air. Air yang digunakan selama proses produksi harus cukup dan memenuhi persyaratan kualitas air bersih dan atau air minum.
5.
Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi. Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi diperlukan untuk menjamin agar bangunan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan mencegah terjadinya kontaminasi silang dari karyawan.
6.
Kesehatan dan higiene karyawan. Kesehatan dan higiene karyawan yang baik dapat menjamin bahwa pekerja yang kontak langsung maupun tidak langsung dengan pangan tidak menjadi sumber pencemaran.
7.
Pemeliharaan dan program hygiene sanitasi karyawan. Pemeliharaan dan program sanitasi terhadap fasilitas produksi (bangunan, mesin/ peralatan, pengendalian hama, penanganan limbah dan lainnya) dilakukan secara berkala untuk menjamin terhindarnya kontaminasi silang terhadap pangan yang diolah.
8.
Penyimpanan. Penyimpanan bahan yang digunakan dalam proses produksi (bahan baku, bahan penolong, BTP) dan produk akhir dilakukan dengan baik sehingga tidak mengakibatkan penurunan mutu dan keamanan pangan.
9.
Pengendalian proses. Untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman, proses produksi harus dikendalikan dengan benar. Pengendalian proses produksi pangan industri rumah tangga dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : (1) Penetapan spesifikasi bahan baku; (2) Penetapan komposisi dan formulasi bahan; (3) Penetapan cara produksi yang baku; (4) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi kemasan; (5) Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa.
10. Pelabelan pangan. Label pangan harus jelas dan informatif agar memudahkan konsumen memilih, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi pangan. Kode produksi pangan diperlukan untuk penarikan produk, jika diperlukan. 11. Pengawasan oleh penangungjawab pangan. Seorang penanggung jawab diperlukan
untuk
mengawasi
seluruh
tahap
proses
produksi
serta
19
pengendaliannya untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang bermutu dan aman. 12. Penarikan produk. Penarikan produk pangan adalah tindakan menghentikan peredaran pangan karena diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit atau keracunan pangan. Tujuannya adalah mencegah timbulnya korban yang lebih banyak karena mengkonsumsi pangan yang membahayakan kesehatan. 13. Pencatatan dan dokumentasi. Pencatatan dan dokumentasiyang baik diperlukan untuk memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan proses produksi. 14. Pelatihan karyawan. Pimpinan dan karyawan harus mempunyai pengetahuan dasar mengenai prinsip–prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses pengolahan pangan yang ditanganinya agar dapat memproduksi pangan yang bermutu dan aman. Salah satu cara pemerintah menjamin agar industri pangan kecil dan menengah memenuhi cara produksi pangan yang baik adalah melalui penerbitan sertifikat produksi pangan industri rumah tangga. Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat SP-PIRT. Pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga wajib memiliki sertifikat produksi pangan industri rumah tangga diterbitkan oleh Bupati/Walikota didasarkan atas dipenuhinya persyaratan cara produksi yang baik (good manufacturing practices) untuk industri rumah tangga yang meliputi antara lain persyaratan sanitasi, penggunaan bahan tambahan pangan dan label. 2.4 Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT) Dalam rangka produksi dan peredaran pangan oleh IRTP, Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan mengamanatkan bahwa pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga wajib memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Kepala Badan POM menetapkan pedoman pemberian SP-PIRT. Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengamanatkan bahwa 20
pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga merupakan urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. SP-PIRT adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh Bupati/Walikota terhadap pangan produksi IRTP di wilayah kerjanya yang telah memenuhi persyaratan pemberian SP-PIRT dalam rangka peredaran Pangan Produksi IRTP. Nomor P-IRT adalah nomor pangan IRT yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari SP-PIRT dan wajib dicantumkan pada label pangan IRT yang telah memenuhi persyaratan pemberian SP-PIRT. SP-PIRT berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. Tata cara pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga (SPPIRT) diatur melalui Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga. Tata cara memperoleh SP-PIRT yaitu dengan mengajukan berkas permohonan secara tertulis kepada Bupati/Walikota c.q. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota disertai kelengkapannya. Pemilik atau penanggung jawab IRTP diharuskan mengikuti penyuluhan keamanan pangan yang diselenggarakan oleh Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota.
Sertifikat
diberikan
kepada
pemilik/
penanggung jawab yang telah lulus mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan dengan hasil evaluasi minimal nilai cukup (60). Pemeriksaan sarana dilakukan setelah pemilik atau penangungjawab telah memiliki sertifikat penyuluhan keamanan pangan. Pemeriksaan sarana produksi pangan IRT dilakukan oleh tenaga pengawas Pangan (District Food Inspector) Kabupaten/Kota. Pemeriksaan sarana produksi IRTP sesuai dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tentang Tata Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. Jika hasil pemeriksaan sarana produksi berdasarkan tatacara penyelenggaraan SP-PIRT menunjukkan hasil IRTP masuk level I – II maka diberikan SP-PIRT . SPP-IRT dicabut apabila terjadi salah satu dari hal-hal berikut: 1) Pemilik dan atau penanggung jawab perusahaan melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku; 2) Pangan terbukti sebagai penyebab KLB keracunan pangan; 3) Pangan mengandung Bahan Berbahaya; 4) Sarana terbukti tidak sesuai dengan kriteria IRTP. 21
2.5 Industri Roti Berdasarkan Surat Keputusan BPOM Nomor HK.00.05.52.4040 tahun 2006 tentang kategori pangan, produk bakeri termasuk dan produk roti tawar dan produk roti istimewa yang manis, asin maupun gurih. Produk bakeri antara lain roti, cake, donat, biskuit, roll, kraker, dan pie. Secara garis besar produk bakeri bisa dikelompokkan menjadi kelompok roti dan kelompok biskuit. Roti adalah produk makanan yang terbuat dari tepung terigu yang difermentasikan dengan ragi roti ( Saccharomyces cerevisiae ), air dan atau tanpa penambahan
bahan makanan lain dan dipanggang. Kedalam adonan dapat
ditambahkan gula, garam, susu atau susu bubuk, lemak, pengemulsi dan bahanbahan pelezat seperti cokelat, keju, kismis dan lain-lain. Produk roti mempunyai struktur berongga-ronga dan produk akhirnya bersifat plastis, elastis karena kadar air tinggi. Produk biskuit terdiri dari berbagai bentuk dan mempunyai struktur lebih padat dengan tektur mulai dari rapuh atau renyah sampai relatif keras, serta kadar airnya rendah sehingga lebih awet. Selain kedua kelompok bakeri tersebut ada jenis lain yaitu cake, yang merupakan produk hasil pemanggangan yang dikembangkan dengan pengembang kimia. Sel-sel udara yang terbentuk dihasilkan dengan cara pengocokan (terutama putih telur) yang menyebabkan udara terperangkap dalam adonan, serta adanya pembentukan gas dari bahan pengembang dan terbentuk uap air pada waktu pemanggangan (Wibowo, 2009). Prinsip pembuatan roti adalah mencampurkan tepung terigu dan bahan penyusun lainnya mejadi adonan, kemudian difermentasikan lalu dipanggang. Proses produksi meliputi tahap penimbangan, pencampuran dan pengadukan, fermentasi awal, penimbangan bahan, pembulatan (rounding), fermentasi kedua (intermediate peloyangan
proofing), (panning),
penipisan pemolesan,
(sheeting), fermentasi
pembentukan akhir
(final
(moulding), proofing),
pemanggangan (baking), pembongkaran dari loyang ( depanning), pendinginan (cooling) dan pengemasan (Tarigan, 2010). Berdasarkan formulasi adonan roti dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu adonan roti manis, roti tawar dan adonan soft rolls. Adonan roti manis adalah adonan yang dibuat dari formulasi yang banyak menggunakan gula, lemak dan telur. Adonan roti tawar adalah adonan roti yang mengunakan sedikit/tanpa gula, 22
susu skim dan lemak. Adonan soft roll adalah adonan roti yang dibuat dari formula yang menggunakan gula dan lemak relatif lebih banyak dari adonan roti tawar. Kualitas roti secara umum disebabkan karena variasi dalam penggunaan bahan baku dan proses pembuatannya. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan roti dapat digolongkan bahan utama dan bahan pembantu. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan roti adalah tepung terigu, air, ragi roti dan garam. Bahan pembantu adalah bahanbahan yang menyertai bagian utama dalam pembuatan roti untuk mendapatkan aroma, rasa dan tekstur yang diinginkan. Bahan pembantu ini terdiri darishortening, bread improver, susu skim, telur, gula, bahan pengisi serta flavoring. Pemberian antioksidan (asam askorbat, bromat ), dan anti kapang seperti kalium propionat dan kalsium pospat ditambahkan untuk memperpanjang keawetan roti (Wibowo, 2009). Syarat mutu produk roti juga mengacu ke Peraturan Kepala Badan POM RI No. Hk.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Ambang batas cemaran mikroba pada produk roti
1
Karakteristik Roti dan produk roti tawar dan premiks (termasuk tepung panir)
2 Produk roti istimewa (manis, asin, gurih)
Syarat Mutu ALT (30oC, 72 jam) 1 x 104 koloni/g APM Escherichia coli 10/g negatif/25 g Salmonella sp. 1x102 koloni/g Bacillus cereus Kapang dan khamir 1 x 104 koloni/g ALT (30oC, 72 jam) APM Koliform APM Escherichia coli Salmonella sp. Staphylococcus aureus Bacillus cereus Kapang dan khamir
1 x 104 koloni/g 20/g <3 /g negatif/25 g 1 x102 koloni/g 1x102 koloni/g 2 x 104 koloni/g
Ambang batas maksimum cemaran logam berat pada produki roti untuk cemaran arsen adalah 0,5 ppm atau mg/kg; cadmium yaitu 0,2 ppm atau mg/kg ; merkuri (Hg) yaitu 0,05 ppm atau mg/kg ; timah (Sn) adalah 40 ppm atau mg/kg ; timbal (Pb) adalah 0,5 ppm atau mg/kg . 23
2.6 Manajemen Strategis Menurut David (2006), manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai seni dan ilmu untuk memformulasi, mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai tujuannya. Proses manajemen strategis terdiri dari tiga tahap, yaitu formulasi strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. 1) Formulasi Strategi. Hal-hal yang termasuk dalam formulasi strategi antara lain mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menentukan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan tujuan jangka panjang, merumuskan alternatif strategi dan memilih strategi tertentu yang akan dilaksanakan 2) Implementasi Strategi. Implementasi strategi sering disebut sebagai tahap pelaksanaan dalam manajemen strategis. Implementasi strategi membutuhkan disiplin
pribadi,
komitmen,
dan
pengorbanan.
Implementasi
strategi
mensyaratkan perusahaan untuk menetapkan tujuan tahunan, membuat kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang telah diformulasikan dapat dijalankan. Implementasi strategi termasuk mengembangkan budaya yang mendukung strategi, menciptakan struktur organisasi yang efektif dan memberdayakan sistem informasi, serta menghubungkan kinerja karyawan dengan kinerja organisasi. 3) Evaluasi Strategi. Evaluasi strategi merupakan tahap final dalam manajemen strategis. Tiga aktivitas dasar evaluasi strategi adalah meninjau ulang faktor eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi saat ini, mengukur kinerja, dan mengambil tindakan korektif. Salah satu cara yang digunakan untuk mempelajari dan mengaplikasikan proses manajemen strategis adalah dengan sebuah model, dimana setiap model mempresentasikan semacam proses. Model manajemen strategis menurut David (2006) seperti pada Gambar 2. Menurut Rangkuti (1999) proses analisis, perumusan dan evaluasi strategi disebut sebagai perencanaan
strategis. Tujuan utama perencanaan
strategis adalah agar organisasi atau perusahaan dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal.
24
Wahyudi (1996) menyatakan bahwa strategi adalah suatu alat untuk mencapai tujuan perusahaan. Strategi memiliki sifat antara lain : menyatu (unified), yaitu menyatukan seluruh bagian-bagian dalam perusahaan; menyeluruh (comprehensive), yaitu mencakup seluruh aspek dalam perusahaan; integral (integrated), yaitu seluruh strategi akan cocok/sesuai dari seluruh tingkatan (corporate, business dan functional).
Melakukan audit eksternal
Menetapkan Tujuan Jangka Panjang
Membuat Pernyataan Visi & Misi
Melakukan audit internal
Formulasi Strategi
Merumuskan Mengevaluasi dan Memilih Strategi
Implementasi Strategi Isu-isu Manajemen
Implementasi Strategi Isuisu Pemasaran, Keuangan, Akuntasi, Penelitian & Pengembangan Sistem Informasi Manajemen
Mengukur dan Mengevalu asi Kinerja
Evaluasi
Implementasi Strategi S
Gambar 2 Model komprehensif manajemen strategis (David, 2006). Pokok perumusan strategi bersaing adalah menghubungkan perusahaan dengan lingkungannya. Walaupun lingkungan yang relevan sangat luas, meliputi kekuatan-kekuatan sosial sebagaimana juga kekuatan-kekuatan ekonomi, aspek utama dari lingkungan perusahaan adalah industri dimana perusahaan tersebut bersaing (Porter, 1995). Perumusan strategi sangat diperlukan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan sehingga membentuk industri yang berdaya saing. Agar strategi yang dijalankan tepat, maka perusahaan harus mengetahui faktor internal dan eksternalnya sehingga kombinasi strategi yang digunakan tepat dengan posisi perusahaan saat ini (Marimin, 2004). Hal terpenting dalam perumusan strategi yang baik adalah bahwa strategi yang dibuat harus berpijak pada situasi riil di 25
lingkungan eksternal dan internal perusahaaan Untuk melakukan hal ini dapat digunakan alat bantu berupa matriks SWOT. Analisis lingkungan merupakan suatu proses yang digunakan perencana strategis untuk memonitor sektor lingkungan dalam menentukan peluang-peluang ataupun ancaman-ancaman terhadap perusahaan (Jauch dan Glueck, 1995). Lingkungan perusahaan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan eksternal dan lingkungan internal. 2.6.1 Analisis Lingkungan Internal Analisis lingkungan internal merupakan tahap pengkajian faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan dalam suatu perusahaan. Kekuatan merupakan suatu kelebihan khusus yang memberikan keunggulan komparatif di dalam suatu industri yang berasal dari organisasi. Sedangkan kelemahan merupakan keterbatasan dan kekurangan dalam hal sumber daya, keahlian dan kemampuan yang secara nyata menghambat aktivitas keragaan organisasi. Menurut David (2006), terdapat beberapa faktor yang diidentifikasi dalam lingkungan internal perusahaan, yaitu : 1) Manajemen. Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan proses penggunaan semua sumberdaya organisasi untuk tercapainya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Ada lima fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian, pemberian motivasi, pengelolaan staf, dan pengendalian. 2) Pemasaran. Pemasaran dapat dideskripsikan sebagai proses mendefinisikan, mengantisipasi, menciptakan, serta memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan atas barang dan jasa. Menurut Kotler (1999), terdapat empat macam bauran pemasaran, yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi. 3) Keuangan / Akuntansi. Dana dibutuhkan dalam operasional perusahaan. Oleh karena
itu,
faktor-faktor
yang
harus
diperhatikan
dalam
aspek
keuangan/akuntansi, adalah kemampuan perusahaan memupuk modal jangka pendek dan jangka panjang, beban yang harus ditanggung perusahaan sebagai upaya memperoleh modal tambahan, hubungan baik dengan penanam modal dan pemegang saham, pengelolaan keuangan, struktur modal kerja, harga jual
26
produk, pemantauan penyebab inefisiensi, dan sistem akunting yang andal (Umar, 2008). 4) Produksi/Operasi. Fungsi produksi/operasi dari suatu bisnis terdiri atas semua aktivitas yang mengubah input menjadi barang dan jasa. Menurut David (2006), manajemen produksi/operasi terdiri atas lima area keputusan atau fungsi yaitu proses, kapasitas, persediaan, tenaga kerja, dan kualitas. 5) Sumber Daya Manusia. Manusia merupakan sumber daya terpenting bagi perusahaan. Oleh karenaitu, manajer perlu berupaya agar terwujud perilaku positif di kalangan karyawan perusahaan. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada aspek sumber daya manusia, antara lain langkah yang jelas mengenai manajemen SDM, keterampilan dan motivasi kerja, produktivitas, dan sistem imbalan (Umar, 2008). 6) Penelitian dan Pengembangan. Perusahaan yang menjalankan strategi pengembangan produk khususnya harus memiliki orientasi litbang yang kuat. Pengeluaran litbang ditujukan pada pengembangan produk baru sebelum pesaing melakukannnya untuk memperbaiki kualitas produk atau untuk memperbaiki proses produksi untuk menurunkan biaya. 2.6.2 Analisis Lingkungan Eksternal Analisis lingkungan eksternal diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat memberikan peluang dan ancaman bagi perusahaan. Pada umumnya lingkungan eksternal berada di luar kontrol perusahaan. Menurut Pearce dan Robinson (1997), lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan jauh dan lingkungan industri. Lingkungan jauh terdiri dari faktor-faktor yang bersumber dari luar dan biasanya tidak berhubungan dengan situasi operasional suatu perusahaan tertentu, yaitu : a) Faktor Ekonomi. Dalam perencanaan strategiknya, setiap perusahaan harus mempertimbangkan
kecenderungan
ekonomi
di
segmen-segmen
yang
mempengaruhi industri yang bersangkutan tersebut, misalnya pola konsumsi, ketersediaan kredit secara umum, tingkat penghasilan yang siap dibelanjakan (disposable income), kecenderungan belanja masyarakat (propensity to spend), suku bunga primer, laju inflasi, dan kecenderungan pertumbuhan PNB (Pearce dan Robinson, 1997). 27
b) Faktor Sosial. Faktor sosial yang mempengaruhi suatu perusahaan meliputi kepercayaan, nilai, sikap, opini, dan gaya hidup dari orang-orang di lingkungan ekstern perusahaan. Faktor sosial ini biasanya dikembangkan dari kondisi kultural, ekologi, demografi, agama, pendidikan, dan kondisi etnik. c) Faktor Politik. Arah dan stabilitas faktor-faktor politik merupakan pertimbangan penting bagi para manajer dalam merumuskan strategi perusahaan. Faktor-faktor politik menentukan parameter legal dan regulasi yang membatasi operasi perusahaan. d) Faktor Teknologi. Untuk menghindari keusangan dan mendorong inovasi, perusahaan
harus
mewaspadai
perubahan
teknologi
yang
mungkin
mempengaruhi industrinya. Adaptasi teknologi yang kreatif dapat membuka kemungkinan terciptanya produk baru, penyempurnaan produk yang sudah ada, atau penyempurnaan dalam teknik produksi dan pemasaran (Pearce dan Robinson, 1997). Lingkungan industri dapat berupa persaingan antar perusahaan sejenis, kemungkinan masuknya pesaing baru, potensi pengembangan produk substitusi, kekuatan tawar-menawar penjual/pemasok, dan kekuatan tawar-menawar pembeli/konsumen (Porter, 1997). 2.7
Metode Analisis SWOT Analisa SWOT merupakan salah satu alat analisis kualitatif yang digunakan
untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dalam melakukan suatu kegiatan dengan
mengacu
pada
kekuatan
dan
kelemahan
yang
dimiliki oleh
perusahaan (Pearce dan Robinson, 1997). Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Oportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Analisis
SWOT adalah
alat
perencanaan
strategis terdiri
dari
dua
bagian (FAO, 2006) : 1.
Analisis kekuatan dan kelemahan internal: setiap asset atau kekurangan internal
28
(seperti
ketrampilan
staf,
peralatan,
keuangan,
prosedur,
koordinasi, dan lainnya) yang memungkinkan atau mencegah pemerintah untuk melaksanakan tugasnya atau tujuan. 2.
Analisis lingkungan eksternal (peluang dan ancaman): setiap keadaan eksternal atau kecenderungan (seperti kerjasama internasional, peningkatan kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan, perdagangan global) yang bisa positif atau negatif mempengaruhi peran dan tugas pemerintah. Menurut Marimin (2004), tahapan analisa SWOT adalah :
1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal. Tahapan ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi perusahaan yang dilakukan dengan wawancara terhadap ahli dari perusahaan yang bersangkutan ataupun analisis secara kuantitatif misalkan neraca, laba rugi dan lain-lain. 2. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal (matriks IE) dan matriks SWOT. Matriks IE merupakan hasil dari penggabungan matriks IFE dan matriks EFE. Matriks IFE dan EFE akan memberikan gambaran tentang posisi perusahaan. Matriks SWOT dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan. Matriks
ini
dapat
memberikan
gambaran secara
jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan. 3. Tahap pengambilan keputusan. Tahap pengambilan keputusan dalam matriks SWOT merujuk pada matriks internal eksternal yang menghasilkan posisi perusahaaan. Strategi yang dirumuskan merujuk pada kuadran dari perusahaan yang bersangkutan sehingga dapat diketahui kombinasi strategi yang paling tepat. Matriks evaluasi faktor internal (Internal Factor Evaluation/IFE) digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal perusahaan berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting. Sedangkan matriks evaluasi faktor eksternal (EFE) digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor eksternal perusahaan. Matriks IFE dan EFE merupakan salah satu teknik perumusan strategi yang penting dan merupakan langkah pertama dari kerangka kerja perumusan yang disebut tahap input, yaitu tahap meringkas informasi dasar yang diperlukan untuk merumuskan strategi. Matriks ini beserta pernyataan misi 29
yang
jelas menyediakan
informasi
dasar
yang
diperlukan
untuk
merumuskan strategi bersaing secara sukses dengan syarat alat ini harus disertai dengan penilaian intuitif yang baik (David, 2006). 2.8 Metode ISM (Interpretive Structural Modeling ) Kelembagaan adalah suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya dan sekaligus mengatur hubungannya (Nasution, 2002). Menurut Hennxsy (2003), kelembagaan berperan pada penggelolaan mutu industri pangan misalnya aplikasi teknologi alat pengeringan, pemanenan, pengangkutan dan pengemasan. Menurut Bintoro (2009) stake holder bidang pangan antara lain pemerintah, produsen (on-farm mapun off-farm), konsumen, peneliti, distributor, dan fihak lain. Analisa kelembagaan dilakukan dengan teknik Interpretive Structural Modeling (ISM). Analisis kelembagaan/pelaku ini bertujuan untuk memetakan peran dan fungsi masing-masing lembaga dan aktor pelaku dalam kegiatan ini, yaitu pemerintah, produsen, konsumen, peneliti. Metodologi dan teknik ISM menghasilkan : 1) struktur hirarki elemen sistem dan 2) klasifikasi sub-elemen kunci. Informasi dari suatu sistem yang dikaji distrukturisasi dalam bentuk matriks yang disebut structured self interaction matrix (SSIM) yang menggambarkan hubungan kontekstual antar subelemen dan elemen-elemen sistem. Selanjutnya SSIM ditransformasi menjadi reachability matriks (RM), yaitu matriks bilangan biner yang menyatakan hubungan secara matematis antar elemen di dalam sistem yang dikaji memiliki sifat transivitas dan reflektivitas.
Struktur sistem dalam bentuk hirarki dan
hubungan antar elemen selanjutnya dibangun berdasarkan RM. Teknik ISM yang dikembangkan oleh Warfield (1973) diarahkan untuk memperoleh struktur hirarki sub-elemen di dalam elemen-elemen sistem berdasarkan hubungan kontekstual dalam bentuk simbol V, A, X, O (ISM VAXO).
Hubungan kontekstual antar sub-elemen di dalam ISM VAXO
menunjukan hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Simbol VAXO antar sub-elemen pada matriks SSIM akan tergantung dari sifat hubungan antar elemen tersebut sebagai berikut : 30
V:
eij = 1 dan e ji = 0
A:
eij = 0 dan e ji = 1
X:
eij = 1 dan e ji = 1
O:
eij = 0 dan e ji = 0
Simbol angka 1 menunjukan adanya hubungan kontekstual dan simbol 0 menunjukan tidak terdapat hubungan kontekstual antar sub elemen. SSIM selanjutnya ditransformasi menjadi RM yang merupakan matriks bilangan biner. Saxena
(1992)
mengembangkan
metode
klasifikasi
sub
elemen
yang
distrukturisasi berdasarkan tingkat driver power dan dependence, serta menentukan elemen kunci dari sistem yang dikaji. Klasifikasi sub-elemen dikasi sub-elemen dibagi dalam empat sektor : Sektor 1 : Weak driver – weak dependent variables (autonomous). Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai hubungan kecil, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2 : Weak driver – strongly dependence variables (dependent). Umumnya peubah di sektor ini adalah peubah tak bebas Sektor 3 : Strong driver –strong dependence variables (linkages). Peubah di sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Sektor 4 : Strong driver – weak dependent variables (independent). Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Nilai driver power untuk sub elemen ke-i,
DP
i
=
n
∑
j=1
e ij
untuk setiap i = 1,
2, … n, dimana eij adalah entri pada matriks RM. Sedangkan nilai dependence untuk sub elemen ke-i,
D
j
=
n
∑e j =1
ij
untuk setiap i = 1, 2, … n, dimana eij adalah
entri pada matriks RM. Elemen kunci adalah sub elemen yang memiliki driver power paling tinggi atau maksimum DPi. Klasifikasi sub elemen ke dalam empat sektor dilakukan atas dasar posisi sub elemen pada sumbu absis nilai dependence dan sumbu ordinat driver power dengan aturan sebagai berikut :
31
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok autonomous jika: n
DP i ≤
∑ DP j =1
n
i
2
dan
DP j ≤
∑D j =1
j
2
untuk i, j = 1, 2,…, n
(1)
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok dependent jika: n
DPi ≤
n
∑ DP
i
j =1
2
dan
DPj ≥
∑D j =1
j
2
untuk i, j = 1, 2,…, n
(2)
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok linkage jika: n
DPi ≥
n
∑ DP
i
j =1
2
dan
DPj ≥
∑D j =1
j
2
untuk i, j = 1, 2,…, n
(3)
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok independent jika: n
DPi ≥
n
∑ DP
i
j =1
2
dan
DPj ≤
∑D j =1
2
j
untuk i, j = 1, 2,…, n
(4)
2.9 Penelitian Terdahulu
Sarter et al. (2010) melakukan penelitian implementasi HACCP dan Good Handling Practices di Madagaskar menggunakan analisa SWOT. Hasil analisa SWOT menunjukkan kekuatan yang teridentifikasi meliputi penerapan kebijakan pemerintah, pengetahuan ilmiah resiko pangan, legislasi dan enforcement regulasi pemerintah, kekuatan dari lembaga masyarakat. Kelemahan yang teridentifikasi meliputi tidak ada strategi untuk penerapan HACCP dan GHPs, tidak ada fasilitas bagi industri untuk melaksanakan HACCP dan GHPs, sistem manajemen yang dibangun tidak berdasarkan analisa resiko, tidak didukung penelitian analisis resiko, kurangnya kapabilitas laboratorium uji pangan, kurangnya standar dan pedoman bagi operator pangan, lemahnya penegakan regulasi, kurang jelasnya dan duplikasi wewenang dan tanggung jawab lembaga pemerintah terkait. Peluang yang teridentifikasi meliput bantuan keuangan dan teknis dari lembaga internasional, ketersediaan laboratorium dan lembaga sertifikasi terakreditasi, pengalaman komunikasi yang sukses untuk masalah kesehatan masyarakat 32
(vaksin). Ancaman meliputi permintaan pemerintah asing dalam kualitas dan keamanan makanan yang diproduksi dalam negeri , terbatas tingkat pendidikan stakeholder dan konsumen , sangat terbatas pengetahuan tentang kebersihan makanan di antara operator dan konsumen makanan , daya beli konsumen tidak mendorong operator untuk berinvestasi ke dalam kualitas yang lebih mahal (kebersihan, HACCP rencana, jaminan kualitas). Ada empat faktor utama yang disimpulkan menjadi penghalang dalam penerapan HACCP pada UKM yaitu 1) adanya persepsi bahwa HACCP tidak cocok untuk perusahaan, 2) skala dan ruang lingkup perubahan yang diperlukan untuk menerapkan pengendalian keamanan pangan, 3) HACCP bukan menjadi program prioritas perusahaan, 4) kendala keuangan (Herath et al., 2005). Hasil penelitian Yapp et al. (2006) menggambarkan hambatan UKM di United Kingdom dalam mematuhi regulasi keamanan pangan HACCP yaitu: 1) kurangnya pengetahuan; 2) kurangnya kepercayaan; 3) faktor eksternal seperti ketidakmampuan menemukan tenaga kerja yang cakap; 4) keuangan dalam hal investasi dalam struktur bangunan, peralatan dan staf pelatihan; 5) kurangnya waktu untuk menerapkan sistem yang sesuai; 6) kurangnya kesadaran terhadap masalah keamanan pangan; 7) kurangnya motivasi dan 8) kurangnya manajemen yang efektif. Hal serupa juga ditemukan Bass et al. (2007) pada penelitiannya di Turki, bahwa hambatan utama industri pangan dalam menerapkan HACCP yaitu kurangnya pengetahuan tentang HACCP dan kurang terpenuhinya program prasyarat serta kondisi fisik fasilitas yang tidak memadai.
Wilcock, et al. (2011)
juga meneliti faktor yang mempengaruhi penerapan HACCP pada SME’s di Southwestern Ontario yaitu 1) komitmen manajemen puncak sebagai prioritas pertama, 2) dukungan dari eksternal seperti tingkat kepedulian aparat pemerintah , 3) keterlibatan karyawan, 4) komunikasi yang efektif, 5) memiliki karyawan yang tepat. Kepedulian aparat pemerintah dapat dalam bentuk program keamanan pangan
maupun
keuangan
kepada
industri,
program
pelatihan
bagi
manajer/coordinator keamanan pangan, pelatihan bagi pekerja produksi, pedoman dan manual dari pemerintah / lembaga tehnologi pangan lokal, bantuan konsultasi, bantuan insentif keuangan.
33
Di Indonesia, hasil penelitian Sudibyo dan Sumarsi (2004) menggambarkan tingkat kesadaran IKM yang masih rendah terhadap aspek keamanan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase industri pangan yang tidak mengimplementasikan higiene pangan pada perusahaannya mencapai 2-5 kalinya dibandingkan dengan industri kecil pangan yang mengimplementasikan higiene pangan (Tabel 3). Industri pangan berskala menengah yang memiliki kesadaran, tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman
ditinjau
dari
aspek
penerapan sistem manajemen HACCP secara
komulatif baru mencapai 40%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan sistem manajemen HACCP dalam industri pangan berskala menengah-kecil relatif masih rendah dan terdapat hambatan dalam pengembangan dan penerapannya. Tabel 3 Persentase penerapan h y g i e n e p a d a i ndustri kecil pangan No. 1.
Aspek Kegiatan
Pelatihan terhadap karyawan yang menangani pangan 2. Pengendalian bahan baku dan bahan pembantu lain yang dipakai 3. Pengendalian penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) 4. Pengendalian kebersihan pribadi karyawan (higiene personil) 5. Pengendalian proses produksi dan peralatan produksi yang digunakan 6. Pengendalian dalam penanganan dan penyimpanan pangan untuk mencegah kontaminasi 7. Pengendalian alat-alat pembersih (sapu, alat pengepel, cairan deterjen, dan lainlain) 8. Pengendalian hama 9. Pengendalian catatan/dokumen Sumber : Sudibyo dan Sumarsi (2004)
Persentase (%) implementasi higine pada Industri Kecil Pangan Ya
Tidak
15,5
84,5
25,5
74,5
30,0
70,0
30,0
70,0
40,0
60,0
45,5
55,5
40,0
60,0
35,0 20,0
65,0 80,0
Untuk merancang strategi beberapa penelitian telah menggunakan metode analisis SWOT, ISM, AHP. Erlina (2011) menyusun formulasi stategi pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung dengan menggunakan pendekatan analisis MPE, ISM, IFE/EFE SWOT, AHP dan analisis finansial. Jaya et al. (2011) mengaplikasikan metode Interpretive Stuctural Modeling (ISM) 34
dan pengambilan keputusan kriteria dan pakar majemuk fuzzy (FuzzyMEMCDM) dalam perbaikan sistem kelembagaan dan mutu kopi di Dataran Tinggi Gayo. Machfud (2001) antara lain menggunakan metode ISM-VAXO dalam rekayasa
model
penunjang
keputusan
kelompok
untuk
pengembangan
agroindustri minyak atsiri. Elemen dan sub elemen struktur sistem pengembangan dikaji melalui identifikasi lingkungan sistem yaitu elemen pendukung sistem, penghambat sistem, elemen strategi, elemen pelaku dan elemen kebutuhan sistem. Mirah (2007) menggunakan metode I’SWOT dalam penelitian manajemen stratejik pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah antara lain menggunakan elemen pendukung sistem dengan sub elemen yang dikaji dari hasil identifikasi SWOT yang merupakan paduan dari kekuatan dan peluang; serta elemen penghambat pengembangan dengan sub elemen yang dirumuskan dari identifikasi SWOT yang merupakan paduan dari kelemahan dan ancaman. Sagheer et al. (2009) menggunakan analisis ISM dalam mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor kritis / elemen yang mempengaruhi pemenuhan standar dan tingkat pengaruhnya dalam industri pangan negara berkembang dengan studi kasus di India. Faktor mekanisme pengawasan yang kuat untuk pemenuhan standar harus didahului dengan dukungan langkah-langkah seperti menghubungkan
pasar
domestik
dan
internasional,
konsolidasi
struktur
kelembagaan, penguatan sistem hukum / peraturan, dan lainnya. Jharkharia (2011) menggunakan ISM untuk menganalisis faktor kristris penyebab kegagalan dalam menerapkan Enterprise Resource Planning (ERP). Hasil penelitian dari Siregar (2009) menunjukan bahwa salah satu strategi untuk peningkatan mutu dan keamanan pangan pada produk olahan markisa di PT Pintu Besar Selatan dengan cara perbaikan penyimpangan GMP serta penerapan HACCP. Metode yang digunakan adalah QFD, Matriks IFE, Matriks EFE,Analisis SWOT, Matriks TOWS. Penelitian Girsang (2007) bertujuan untuk membuat suatu formulasi strategi pengendalian mutu berdasarkan Sistem Manajemen Mutu dan Sistem Manajemen Keamanan Pangan.Metode penelitian dengan QFD , Self Assessment dan SWOT.
35
Nababan (2007) meneliti tentang analisis strategi pemasaran produk home industry roti
Marinda, Kelurahan Gunung Batu, Bogor. Alat analisis yang
digunakan untuk merumuskan strategi adalah matriks IFE, matriks EFE, matriks CPM, matriks IE, dan matriks SWOT. Posisi home industry Marinda berada pada sel V. Strategi yang dapat diambil adalah hold and maintain berupa strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk. Berdasarkan analisis SWOT, diperoleh tujuh alternative strategi yaitu (1) meningkatkan kualitas dan jaringan distribusi, (2) melakukan promosi produk home industry Marinda, (3) kerjasama distributor yang potensial, (4) menekan biaya operasional tanpa mengurangi nilai produk, (5) melakukan kerjasama dengan investor untuk mengatasi permodalan, (6) diversifikasi dengan produk baru, dan (7) koordinasi internal dalam menghadapi persaingan. Purnawan (2010) melakukan penelitian mengenai kajian pengembangan usaha IKM pangan komoditi roti dan kue di Kota Bogor (studi kasus di industri Elsari). Alat analisis yang digunakan yaitu analisa sensitivitas empat kriteria investasi yaitu NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), B/C ratio (Benefit/Cost Ratio) dan Payback Period. Penentuan strategi menggunakan matriks IFE, matriks EFE, matriks IE, matriks SWOT, dan matriks QSPM. Posisi perusahaan berada pada posisi V, yaitu tahap hold and maintain. Strategi yang disarankan adalah melakukan strategi penetrasi pasar berupa memperluas wilayah jaringan pemasaran dengan sasaran utama pada tempat-tempat yang sudah dikenal sebagai tempat wisata kuliner terpilih dan di daerah wisata di luar Bogor, dengan cara menjalin kerjasama dengan counter yang telah ada di tempat tersebut atau membuka cabang baru. Strategi pengembangan produk yang disarankan adalah memperbanyak produk kue kering/brownies kering('broker').
36