15
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Industri Kecil Industri kecil adalah bagian dari UKM (Usaha Kecil dan Menengah), sehingga pengklasifikasiannyapun sesuai dengan pengklasifikasian UKM. Klasifikasi industri kecil berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing instansi/lembaga yang terkait dengan industri kecil. Asian Development Bank, dalam hasil penelitiannya di berbagai negara menyebutkan, bahwa kebanyakan negara mengklasifikasikan populasi dunia usahanya sebagai bagian dari proses mempersiapkan statistik ekonomi, administrasi sistem perpajakan, dan sebagai dasar untuk memberikan dukungan dan promosi khusus (biasanya bagi usaha kecil). Walaupun telah diupayakan selama puluhan tahun, tidak ada rumusan definisi global yang baku untuk usaha mikro, kecil atau menengah. Kebanyakan negara memberikan definisi yang berbeda, dengan berbagai variasi penting antar satu dan lain negara maupun di dalam negara itu sendiri. Definisi yang digunakan bervariasi menurut konteks dan tujuan penggunaannya, tetapi biasanya didasarkan pada ukuran jumlah tenaga kerja, omzet penjualan, dan nilai aset atau struktur kepemilikan. Penting disadari, bahwa definisi UKM pada dasarnya merupakan suatu instrumen administrasi atau birokrasi dan tidak harus merefleksikan realitas pasar, perilaku organisasi atau pandangan perusahaan tentang dirinya. Dalam konteks promosi yang dibiayai pemerintah untuk usaha kecil, perlunya definisi UKM terutama untuk
16
penetapan alokasi. Tindakan seperti pemberian kredit bersubsidi, perlakuan istimewa perpajakan kepada UKM memang harus dibatasi dengan cara tertentu, agar jangan sampai pemerintah akhirnya “mendukung” semua populasi dunia usaha. Definisi tersebut tidaklah digunakan secara kaku dan sewenang-wenang, mungkin terdapat justifikasi tertentu untuk mendefinisi yang berbeda untuk maksud yang berbeda dan hampir dapat dipastikan, bahwa perlu adanya monitoring secara terus-menerus mengenai relevansi definisi tersebut sesuai dengan perubahan pasar. Industri menurut Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Peridustrian, didefinisikan sebagai berikut : "Industri adalah kegiatan ekonomi yang merubah bahan baku, barang setengah jadi dengan atau barang jadi menjadi barang yang mempunyai nilai lebih tinggi dalam kegunaannya termasuk rekayasa dan rancang bagian industri". Di Indonesia, menurut Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, didefinisikan sebagai berikut : "Industri kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun suatu badan bertujuan untuk meproduksi barang ataupun jasa untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai kekayaan bersih sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan nilai penjualan pertahun sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau kurang". Upaya pembinaan terhadap kegiatan usaha industri tersebut telah sesuai dengan
Surat
Keputusan
Memperindag
Nomor:
590/MPP/Kep/IX/1999
menyebutkan, bahwa jenis usaha industri dengan nilai investasi seluruhnya sampai dengan Rp. 200.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
17
usaha, wajib memperoleh Ijin Usaha Industri Kecil. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk memberi suatu keadilan perlakuan terhadap industri kecil yang berada di desa maupun di kota akibat perbedaan harga nilai investasi termasuk tanah.
2.2 Peranan Industri Kecil Industri kecil merupakan salah satu sub sektor dari perekonomian nasional yang pada saat ini merupakan tumpuan utama pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja baru terutama pasca krisis ekonomi yang sampai saat ini masih dirasakan dampaknya. Industri dapat tumbuh dalam berkembang dalam situasi apapun, baik dalam keadaan krisis maupun dalam keadaan stabil/normal pada negara-negara berkembang ataupun negara-negara maju. Hal ini disebabkan oleh kondisi industri kecil yang memang mudah untuk menyesuaikan diri. Aliran pemikiran ini dikenal dengan tesis fleksible specialization. Beberapa Negara Eropa barat seperti Jerman, Italia dan Negara – Negara Scandinavia membuktikan dengan jelas, bahwa industri kecil sangat banyak dan berkembang dengan cepat. Pada saat Eropa barat mengalami krisis ekonomi pada dekade 80-an, industri kecil dan menegah terbukti survive, sementara industri besar mengalami kesulitan. Negara Asia seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura telah banyak memiliki industri yang "go global". Hal terpenting adalah, usaha industri kecil harus mampu merubah produk dalam jenis maupun kualitas, mengikuti perubahan selera masyarakat atau strategi lain, yaitu dengan merubah pola
18
produksi dari final goods menjadi intermediate goods seperti komponen – komponen atau sub komponen seperti mesin dan barang modal lainnya untuk keperluan proses produksi pada industri menengah dan besar melalui sistem sub contracting. Pengalaman menunjukkan, industri kecil mempunyai kedudukan yang penting dalam perekonomian Negara – Negara ASEAN, yang disebabkan oleh manfaat sosial yang diberikan oleh industri kecil sangat berarti dalam perekonomian (Utama, 2002 : 1). Manfaat pertama industri kecil dapat menciptakan peluang berusaha yang luas dengan pembiayaan relatif murah. Manfaat kedua industri kecil turut mengambil peranan dalam meningkatkan mobilitas tabungan domestik. Manfaat ketiga industri kecil mempunyai kedudukan komplementer terhadap industri besar, karena menghasilkan produk relatif murah dan sederhana yang biasanya tidak dihasilkan oleh industri menengah dan besar. Selain uraian di atas, khusus di Indonesia, industri kecil berperan dalam penyerapan tenaga kerja, pelestarian budaya, dan penghasil devisa melalui kegiatan ekspor. Anderson (1982) menyatakan, bahwa ciri khas dari industri di berbagai negara, bahwa semakin maju suatu negara maka semakin kecil peranan industri kecil pada perekonomian di negara tersebut. Salah satu faktor utama penyebab berkurangnya peranan industri kecil terutama di tingkat industri rumah tangga di negara – negara maju dengan tingkat pendapatan yang tinggi, adalah akibat pergeseran fungsi konsumsi masyarakat. Sesuai Teori Engel, bahwa kelompok masyarakat kaya dengan pendapatan riil yang tinggi membelanjakan sebagian besar dari pendapatannya untuk membeli barang – barang non makanan yang sebagian besar adalah barang – barang impor atau produk – produk dalam negeri
19
buatan industri menengah atau besar yang lebih specificated, kualitasnya lebih baik, lebih indah bentuk dan warnanya, dan lebih bagus penampilannya dibanding dengan barang – barang serupa buatan industri kecil (Thoha, 2002 : 216). Menurut Anderson (1982), pengaruh faktor tersebut akan lebih nyata pada tingkat industrialisasi yang lebih tinggi, karena resources yang semakin terbatas, sementara jumlah pelaku ekonominya semakin banyak dan kebutuhan konsumsi serta industri semakin besar. Hal ini akan menimbulkan persaingan antara pelaku – pelaku bisnis dengan cara – cara yang tidak fair. Sementara itu, dengan tujuan meningkatkan pendapatan atau laju pertumbuhan output yang tinggi, sedangkan input – input produksi (seperti tenaga kerja berpendidikan tinggi, modal, teknologi, dan sumber daya alam) yang diperlukan semakin terbatas. Pemerintah terpaksa membuat prioritas, yakni hanya mendukung sektor – sektor atau industri – industri tertentu yang menghasilkan nilai tambah atau pertumbuhan output yang besar. Kondisi ini akan menimbulkan ketidakmerataan dalam distribusi input – input produksi antar sektor dan antar industri atau antara ekonomi perkotaan dengan ekonomi pedesaan, yang semua ini lebih merugikan daripada menguntungkan industri skala kecil (Thoha, 2002 : 217-218). Teori Anderson tersebut memandang secara pesimis perana industri kecil di negara – negara yang penduduknya memiliki pendapatan yang lebih tinggi dan perekonomian yang sudah maju. Teori – teori tersebut dibantah oleh suatu aliran pemikiran yang dikenal dengan tesis Flexible Specialization yang beranggapan bahwa justru industri kecil akan semakin penting peranannya dalam
20
proses ekonomi, bahkan hal tersebut terbukti pada negara yang telah maju perekonomiannya.
2.3 Industri Genteng Tanah Liat Industri genteng tanah liat merupakan salah satu dari 61 jenis industri yang ada dan berkembang di Kabupaten Tabanan. Kecamatan Kediri merupakan wilayah terbesar tempat usaha industri genteng tanah liat di Kabupaten Tabanan seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 1.4. Bahan baku utama yang diperlukan dalam industri ini adalah tanah liat yang masih bisa didapatkan di wilayah Kabupaten Tabanan termasuk di Kecamatan Kediri. Industri genteng tanah liat di Kabupaten Tabanan memproduksi berbagai jenis produk olahan bahan baku tanah liat seperti genteng press, pengubug, util, swastika dan berbagai kelengkapan
genteng
dan
pemasangannya
(Disperindagkop
dan
UKM
Kabupaten Tabanan, 2007 : 1 ).
2.4 Fungsi Produksi Hasil akhir dari suatu proses produksi adalah produk atau output, sedangkan faktor produksi yang disebut input sering pula disebut korbanan produksi, karena faktor produksi dikorbankan untuk produksi. Faktor – faktor produksi menurut Soekartawi (2003 : 167) adalah : (a). Tenaga kerja, merupakan faktor produksi yang penting dan perlu diperhitungkan dalam proses produksi dalam jumlah yang cukup, bukan hanya dilihat dari tersedianya tenaga kerja tetapi juga kualitas dan macam tenaga kerja perlu juga diperhitungkan. (b). Modal, dalam proses produksi modal dibedakan menjadi dua macam, yaitu
21
modal tetap dan modal tidak tetap, dimana perbedaan tersebut disebabkan karena ciri – ciri yang dimiliki oleh modal tersebut. Faktor produksi seperti tanah, bangunan, dan mesin – mesin dimasukkan ke dalam modal tetap dan sering disebut investasi. Jadi, modal tetap adalah biaya yang dilakukan dalam proses produksi dan tidak habis dalam sekali proses produksi. Modal tidak tetap adalah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi dan habis dalam satu kali proses produksi, misalnya modal yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku penolong dan yang dibayarkan untuk pembayaran tenaga kerja. (c). Manajemen, dalam suatu usaha peranan manajemen menjadi sangat penting dan strategis. Manajemen terdiri dari kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan serta evaluasi suatu proses produksi. Dalam praktek, faktor manajemen banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek antara lain tingkat pendidikan, tingkat keterampilan, skala usaha, besar kecilnya kredit, macam komoditas serta teknologi yang digunakan. Untuk menghasilkan suatu produk, maka diperlukan pengetahuan hubungan antara faktor produksi (input) dengan output. Menurut Sudarsono (1995 : 121), bahwa materi pokok dari teori produksi berkisar pada fungsi produksi. Fungsi produksi adalah hubungan teknis yang menghubungkan antara faktor produksi atau input dan hasil produksinya. Disebut faktor produksi, karena adanya bersifat mutlak agar produksi dapat dijalankan untuk menghasilkan produk. Dua faktor produksi yang paling penting adalah modal dan tenaga kerja (Mankiw, 2000 : 42). Modal adalah seperangkat sarana yang dipergunakan oleh para pekerja. Tenaga kerja adalah orang yang menghabiskan waktu untuk bekerja. Teknologi produksi yang ada menentukan berapa banyak output produksi dari jumlah modal dan tenaga kerja tertentu.
22
Fungsi produksi mencerminkan teknologi yang digunakan untuk merubah modal dan tenaga kerja menjadi output. Jika ditemukan cara yang lebih baik untuk memproduksi barang, hasilnya adalah lebih banyak output dari jumlah modal dan tenaga kerja yang sama. Perubahan teknologi juga mempengaruhi produksi. Dalam keadaan teknologi tertentu imbangan antara input dan outputnya tercermin dalan rumusan fungsi produksinya. Miller dan Meiners (2000 : 236) menyebutkan, bahwa fungsi produksi adalah hubungan antara output fisik dengan input fisik. Konsep tersebut didefinisikan sebagai persamaan matematika yang menunjukkan kuantitas maksimum output yang dihasilkan dari serangkaian input Cateris Paribus. Cateris Paribus disini mengacu pada berbagai kemungkinan teknis atau proses yang mungkin ada untuk mengolah input menjadi output (singkatnya teknologi). Dalam pengertian yang paling umum fungsi produksi dapat ditunjukkan dengan rumus : Q f K .L ……………………………………………………………….(2.1)
Keterangan : Q = Tingkat output per unit periode K = Arus jasa dari cadangan atau sediaan modal per unit periode L = Arus jasa dari pekerja perusahaan per unit periode Persamaan ini menunjukkan, bahwa kuantitas output secara fisik ditentukan oleh kuantitas inputnya secara fisik yang dalam hal ini adalah modal dan tenaga kerja. Miller dan Meiners (2000 : 263) menyebutkan, bahwa semua fungsi produksi pada dasarnya hanya merupakan ungkapan mekanis atau tranformasi fisik dari input menjadi output. Tidak ada fungsi produksi yang cukup gamblang didalam menjelaskan nilai – nilai input dan output itu. Dari
23
input yang tersedia setiap perusahaan ingin memperoleh hasil yang maksimal sesuai dengan tingkat teknologi tertinggi pada saat itu. Nicholson (2001 : 180), mengatakan, bahwa fungsi produksi (yang mentransformasikan sejumlah input menjadi output) bisa diperoleh dengan banyak cara untuk menghasilkan sejumlah output tertentu. Misalnya untuk memperoleh sejumlah produksi beras, bisa digunakan teknik labour intensive (menggunakan lebih banyak tenaga manusia seperti di Indonesia) atau teknik capital intensive (menggunakan lebih banyak kapital dan mesin seperti yang dilakukan di Amerika Serikat). Di Jepang dan Inggris, orang berusaha memanfaatkan tanah yang sedikit jumlahnya dengan teknik pertanian modern yang banyak menggunakan mesin canggih dan fertilizer. Masalah yang terpenting adalah bagaimana perusahaan memilih tingkat produksi, modal, dan tenaga kerja. Sudarsono (1995 :122) menyatakan, bahwa biasanya untuk menghasilkan satu satuan produk digunakan lebih dari satu metode atau satu proses produksi. Metode produksi adalah kombinasi dari faktor – faktor produksi yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu satuan produk. Faktor produksi memang banyak, namun dapat disederhanakan menjadi dua dimana prilakunya berbeda dan dapat segera dikontraskan. Dalam jangka pendek, faktor tenaga kerja dapat dianggap sebagai faktor produksi variabel yang penggunaannya berubah – ubah sesuai dengan perubahan volume produksi. Faktor modal dianggap sebagai faktor produksi yang tetap dalam arti, bahwa jumlahnya tidak berubah dan tidak berpengaruh terhadap perubahan volume produksi. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Sukirno (2001 :199).
24
Miller dan Meiners (2000 : 260) mengemukakan, bahwa modal dianggap sebagai biaya tetap sedangkan tenaga kerja dianggap sebagai biaya variabel. Tetapi ditegaskan, bahwa perbedaan kedua kategori itu sendiri bersifat arbitrer atau tanpa pola yang pasti dan semata – mata tergantung pada lamanya periode perusahaan harus mengambil keputusan. Faktor produksi tetap atau baku diartikan sebagai suatu input yang tidak bisa diubah – ubah dalam jangka panjang. Persoalan yang muncul adalah berapa lama suatu periode dianggap sebagai jangka pendek dan berapa lama suatu periode bisa dianggap jangka panjang. Kemudian apa yang dimaksud tidak dapat diubah – ubah, nampak disini, bahwa apa yang dikategorikan sebagai faktor produksi tetap ternyata bersifat relatif. Apa yang disebut jangka panjang aneka teknik penelitian sudah diupayakan untuk mengembangkan keberadaan dan karakteristik fungsi-fungsi produksi tersebut. Para ahli statistika yang menangani data mengalami kesulitan dalam pengerjaannya. Input modal seringkali sulit dihitung menurut periode karena modal perusahaan sendiri terdiri dari barang modal dengan berbagai variasi usia, baik masa pakai maupun produktivitasnya. Begitu pula dengan input tenaga kerja dimana perusahaan mempekerjakan orang-orang dengan kualitas yang bervariasi. Akibatnya, para peneliti terfokus mengandaikan fungsi produksi, dengan konsep yang lazim disebut dengan fungsi produksi Cobb Douglas. Secara umum formulasinya adalah : Q A. a .Lb ……………………………………………………………….(2.2)
25
Keterangan : Q = output A = konstanta K = kuantitas jasa modal L = kuantitas tenaga kerja a = koefisien modal b = koefisien tenaga kerja Menurut Soekartawi (2003 : 97), bahwa ada tiga alasan utama mengapa fungsi produksi Cobb-Douglas lebih sering dipergunakan. 1)
Alasan pertama, penyelesaian relatif mudah dibandingkan dengan fungsi produksi yang lain
2)
Alasan kedua, hasil pendugaan garis melalui fungsi produksi CobbDouglas akan menghasilkan koefisien regresi yang sekaligus menunjukkan besaran elastisitas
3)
Alasan ketiga, besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran returns to scale.
Persamaan 2.2 di atas, menurut Gujarati (1999 : 99), dapat dinyatakan dalam bentuk logaritma sebagai berikut :
LnQ ln A a ln K b ln L ………………………………………………(2.3) a dan b menunjukkan elastisitas output capital dan elastistas output tenaga kerja. Fungsi produksi Cobb-Douglas ini sangat popular dalam penyelidikan empiris karena kedua parameter a dan b bisa digunakan untuk mengukur pengembalian terhadap skala (returns to scale) yaitu dengan mengamati penjumlahan a dan b (Nicholson, 2001 : 204).
26
2.5 Economic of Scale dan Sifat Produksi Economic of scale atau return to scale menunjukkan hubungan perubahan input secara bersama-sama terhadap perubahan output. Fungsi jangka panjang yang paling umum dipakai adalah fungsi produksi Cobb-Douglas dengan persamaan : Q = A Ka.Lb …………………………………………………………
(2.4)
Jumlah pangkat a + b pada fungsi ini mempunyai signifikansi ekonomi, yaitu menunjukkan skala pengembalian (return to scale). Menurut Sudarsono (1995 : 143), bahwa jumlah tersebut menunjukkan jenis hukum produksi yang berlaku apakah kenaikan produksi lebih dan sebanding terhadap skala (law of increasing returns to scale) ataukah kenaikan produksi sebanding terhadap skala (law of constant returns to scale) ataukah kenaikan produksi kurang sebanding terhadap skala (law of decreasing returns to scale). Jika nilai a + b sama dengan 1, skala pengembalian fungsi produksi tersebut adalah konstan (constant returns to scale). Jika nilai a + b lebih besar dari 1, skala pengembalian fungsi produksi tersebut adalah meningkat (increasing returns to scale). Jika nilai a + b lebih kecil dari 1, skala pengembalian fungsi produksi tersebut adalah menurun (decreasing returns to scale), yang menunjukkan persentase kenaikan output lebih kecil dari persentase penambahan inputnya. Parameter a dan b juga menggambarkan hubungan antar faktor produksi K dan L. Bila nilai a > b fungsi produksinya bersifat padat modal, dan apabila sebaliknya, maka fungsi produksinya bersifat padat karya. Soekartawi (2003 : 168-170) mengemukakan tiga tahapan produksi yang dikaitkan dengan hukum produksi sebagai berikut.
27
a. Tahapan I : keadaan dimana berlaku anggapan increasing returns to scale b. Tahapan II : keadaan dimana berlaku anggapan decreasing returns to scale c. Tahapan III : keadaan dimana berlaku anggapan negative returns to scale Tahapan tersebut tahapan simetris dari suatu fungsi produksi dengan menggunakan asumsi sebagai berikut. a. Fungsi produksi tersebut mempunyai homogenitas sama dengan satu b. Fungsi produksi tersebut mempunyai pengembalian yang negatif terhadap faktor produksi c. Fungsi produksi tersebut mempunyai produksi fisik marjinal dan produksi fisik rata – rata yang positif. Dari Gambar 2.1 dapat dilihat, bahwa pada Tahapan I PFT berbentuk cekung ke atas yang menandakan bahwa tenaga kerja dan modal yang digunakan masih sedikit, dibandingkan faktor produksi lain seperti tanah dianggap konstan. Pada kondisi ini PFML bertambah tinggi sampai pada posisi maksimum dan PFRL bertambah tinggi sampai pada posisi maksimum di awal Tahapan II. PFRK juga bertambah tinggi dan PFMK negatif sampai mencapai posisi nol pada awal Tahapan III, L positif dan K negatif.
28
a.
PFT
Gambar 2.1 Tahapan Simetris Fungsi Produksi yang Homogen PFT
I
III II
L/K 0
PFML dan PFRL
b.
PFRL L
0
c.
PFMK dan PMRK
PFML III
II
PFRK I 0
K PFMK
Keterangan : PFT PFRK PFRL PFMK PFML
: Produksi fisik total : Produksi fisik rata – rata K : Produksi fisik rata – rata L : Produksi fisik marjinal K : Produksi fisik marjinal L Sumber : (Sukirno, 2001 : 199).
29
Awal Tahapan II ditandai dengan PFT yang mengalami kenaikan lebih lambat sebagai akibat pertambahan faktor produksi sampai menempati posisi maksimum di akhir Tahapan II, Kurve PFML dan PFRL yang berpotongan dimana PFRL berada pada posisi maksimum dan pada akhir Tahapan II PFML berada pada posisi nol dengan PFRL yang semakin menurun. Kurve PFMK berjalan mulai dari titik nol, dan PFRK mengalami posisi maksimum sampai pada akhir Tahapan II PFMK berpotongan dengan PFRK, dimana K dan L bernilai positif. Tahapan III dimulai saat kurve PFML memotong sumbu horisontal dan menurun sampai negatif. PFT sendiri mulai menurun begitu juga dengan PFRL. PFMK mulai bertambah tinggi sampai posisi maksimum dan mulai menurun. PFRK mulai menurun pada Tahapan I. Tambahan faktor produksi tenaga kerja hingga batas efisien mengakibatkan penurunan PFT, PFM L dan PFRL. Tambahan faktor produksi modal juga mengalami hal yang sama namun bedanya terletak pada Tahapan – tahapan yang berlaku pada gambar kelandaian kurve.
dan
30
2.6 Efisiensi Pada dasarnya ada dua konsep efisiensi, yaitu efisiensi teknis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknis adalah suatu tingkat pemakaian faktor produksi dikatakan lebih efisien dari tingkat pemakaian yang lain apabila dapat memberikan produksi rata – rata lebih besar. Efisiensi ekonomis adalah suatu keadaan yang menunjukkan pemakaian faktor produksi tertentu dapat menghasilkan keuntungan maksimal (Sugiarto, 2002 : 206). Pengertian efisiensi dari Samuelson adalah efficiency is if there are no waste, artinya bahwa dalam pengendalian suatu organisasi ekonomi dinyatakan tidak efisien apabila ada residu (Samuelson, 1995:44). Pengertian lain dari efisiensi adalah upaya penggunaan input tertentu untuk mendapatkan produksi yang sebesar – besarnya. Efisiensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah efisiensi ekonomis yang akan terjadi apabila nilai produksi marginal (NPMx) untuk suatu input X sama dengan harga inputnya (Px). Menurut Soekartawi (2003 : 41) dan Suyana Utama (2008 :77), secara matematis efisiensi ekonomis dapat ditulis sebagai berikut.
NPMx Px , atau Ef
NPMx Px
NPMx MPx Q Pg .................................................................................(2.5) Px Xi Px
Keterangan : NPMx = Nilai produk marginal X MPx = Koefisien regresi input X Q = Produksi rata - rata per tahun Pg = Harga satuan per jenis output genteng Xi = Mean (rata – rata) input X Px = Price (harga) input X
31
Apabila : a. NPMx/Px > 1 Artinya, penggunaan input belum efisien input X perlu ditambah (kondisi Increasing Return to Scale) b. NPMx/Px < 1 Artinya, penggunaan input tidak efisien input X perlu dikurangi (kondisi Decreasing Return to Scale) c. NPMx/Px = 1 Artinya, perubahan penggunaan input memberikan hasil yang konstan (kondisi Constant Return to Scale)