II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia pada dasarnya telah memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat Indonesia. Namun demikian sejak krisis ekonomi pada tahun 1998, peranan UKM meningkat dengan tajam. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase jumlah UKM dibandingkan total perusahaan pada tahun 2001 adalah sebesar 99,9%. Pada tahun yang sama, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini mencapai 99,4% dari total tenaga kerja. Demikian juga sumbangannya pada Produk Domestik Bruto (PDB) juga besar, lebih dari separuh ekonomi kita didukung oleh produksi dari UKM (59,3%). Data-data tersebut menunjukkan bahwa peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan output. Meskipun peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral, namun kebijakan pemerintah maupun pengaturan yang mendukungnya sampai sekarang dirasa belum maksimal. Keadaan ini terjadi karena terdapat banyak perbedaan dalam hal mendasar mengenai UKM itu sendiri didalam pemerintahan. Selain itu, keterbatasan akses ke kredit bank/sumber permodalan lain dan akses pasar, organisasi dan manajemen yang kurang baik, maupun penguasaan teknologi yang cenderung tertinggal membuat UKM menjadi semakin sulit berkembang. 2.2. Permasalahan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Salah satu permasalahan yang seringkali dihadapi oleh UKM yaitu kurangnya keunggulan kompetitif yang dapat membuat daya saing produknya tinggi dipasaran. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keunggulan kompetitif UKM, dari akses yang sangat sulit untuk memperoleh pembiayaan, produksi yang seringkali fluktuatif dan tidak optimal hingga pemasaran yang seringkali menemui banyak hambatan karena birokrasi dan jaringan yang kurang luas. Namun, permasalahan
produksi dalam UKM itu sendiri pun jarang mendapatkan perhatian yang serius ketika UKM tersebut telah dapat membenahi sistem pemasaran produknya. Biaya produksi seringkali menjadi masalah karena banyak diantara UKM baik yang bergerak dalam bidang produksi barang maupun jasa tidak dapat dialokasikan secara optimal sesuai dengan kebutuhannya. Hingga pada akhirnya harga pokok produksi menjadi tidak efisien. Jasa pelatihan merupakan usaha memberi pelatihan kepada publik maupun perusahaan untuk memberi nilai terhadap sumber daya manusianya agar dapat berkompetisi dan mengerjakan pekerjaan dengan baik. Pengelolaan usaha ini meliputi waktu pelatihan, pengajar yang handal, tempat dan materi pelatihan dalam bentuk modul pelatihan. Tema pelatihan yang sangat menarik merupakan produk yang sangat diandalkan dalam jasa pelatihan ini. Bila tema pelatihan tidak menarik dan bukan kebutuhan saat ini, maka kerugian yang diperoleh pengelola. Pelatihan dapat dibuat berdasarkan kekhususan, misalnya pelatihan pemasaran, keuangan, sumber daya manusia (SDM), dan perbankan. Banyak pengusaha berskala UKM yang menjalani usaha ini dengan membuat seluruh produk pelatihan. Menawarkan jasa pelatihan untuk bidang yang khusus membutuhkan sumber daya andal karena ujung tombak bisnis ini adalah SDM. Untuk menjalani usaha ini, pengusaha paling tidak harus mempunyai tiga staf andal, yaitu staf pemasaran, staf perencana modul, dan staf riset yang membuat penelitian berdasarkan kebutuhan para pihak. Staf yang handal untuk membuat tema pelatihan. Buku modul produk berisi tema pelatihan dalam setahun harus dibuat. Modul tersebut sebaiknya dilakukan ada yang berulang dalam setahun agar peserta yang tidak dapat ikut pada suatu waktu dapat mengikuti modul yang sama pada waktu berikutnya. Buku modul dicetak dalam bentuk flyer atau brosur dan dikirimkan kepada konsumen yang diharapkan menjadi peserta pelatihan. Staf pemasaran membawa brosur ini ke perusahaan sebagai bahan presentasi dan harus melakukan pendekatan kepada kepala divisi SDM atau staf yang menangani pelatihan, atau staf bidang yang menginginkan pelatihan
tersebut. Pengiriman melalui surat elektronik (surat-e) juga dapat dilakukan untuk memperkenalkan produk atau menawarkan produk. (kompas.com) 2.3. Activity Based Costing (ABC) Pada umumnya, terdapat banyak sistem penghitungan biaya produksi dari suatu produk. Salah satu cara yang terbaik untuk memperbaiki sistem penghitungan biaya adalah dengan menerapkan sistem penghitungan biaya berdasarkan aktivitas (activity based costing - ABC). Dengan sistem ABC, setiap aktivitas dapat dihitung dan biaya dapat dialokasikan ke objek biaya. Biaya untuk memproduksi barang atau jasa terbagi atas biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung dapat ditelusuri secara langsung dengan melihat produknya dan mengamati jenis pekerjaannya. Sistem ABC memfokuskan pada biaya tidak langsung dengan memperbaiki cara pengalokasian biaya tidak langsung ke departemen terkait, proses, produk serta objek biaya lainnya. Selain itu, ABC mendorong identifikasi aktivitas yang bernilai tambah dan aktivitas yang tidak bernilai tambah, sehingga aktivitas yang tidak memiliki nilai tambah dapat dieliminasi. Menurut Wayne J, James R. dan Hartgraves (1991), sistem ABC dapat menelusuri biaya ke produk dengan dasar aktivitas yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut, pengalokasian kembali biaya ke objek biaya dengan dasar aktivitas yang menyebabkan biaya ABC berdasarkan premis/dasar pemikiran bahwa aktivitas menyebabkan biaya aktivitas harus dialokasikan ke objek biaya dengan dasar aktivitas biaya tersebut dikonsumsikan. Selain menelusuri objek biaya dengan penelusuran langsung maupun tidak langsung. Sistem ABC dapat digunakan untuk menemukan pemacu biaya, sehingga dapat memperkirakan biaya overhead setiap memproduksi barang atau jasa. Biaya overhead ini kemudian dapat dialokasikan ke produk dan jasa dengan dasar jumlah dari kejadian atau transaksi yang produk dan jasa hasilkan (Ray H. Garrison, 1991). Hansen dan Mowen (2004) mendefinisikan ABC sebagai suatu pendekatan di seluruh sistem dan terintegrasi yang memfokuskan perhatian manajemen pada berbagai aktivitas, dengan tujuan meningkatkan nilai pelanggan (customer value) dan laba sebagai hasilnya. Manajemen
berdasarkan aktivitas menekankan pada biaya berdasarkan aktivitas dan nilai proses.
Biaya
berdasarkan
aktivitas
meningkatkan
keakuratan
mengalokasikan biaya dengan menelusuri berbagai biaya aktivitas, dan kemudian sampai pada produk atau pelanggan yang menggunakan berbagai aktivitas tersebut. Di sisi lain, analisis nilai proses menekankan pada analisis aktivitas, yaitu mencoba untuk menetapkan mengapa aktivitas dilakukan dan seberapa baik dilakukan. Tujuannya adalah untuk menemukan cara melakukan aktivitas yang diperlukan secara lebih efisien, dan untuk menghapus aktivitas yang tidak memberikan nilai bagi pelanggan. Nilai bagi pelanggan sendiri adalah selisih antara apa yang pelanggan terima (realisasi untuk pelanggan) dengan apa yang pelanggan serahkan. Apa yang diterima disebut sebagai produk total, yaitu seluruh manfaat baik berwujud (tangible) maupun tidak berwujud (intangible) yang pelanggan terima dari produk yang dibeli. Pengorbanan pelanggan
meliputi seluruh usaha yang
dikeluarkan oleh pelanggan dalam rangka mendapatkan produk yang diinginkan. Lucy T. Dalam bukunya Management Accounting (1992) menyebutkan bahwa terdapat delapan klaim utama sebagai akibat dari penggunaan metode ABC. Diantaranya yaitu : 1. Biaya produk yang lebih nyata khususnya tersedia dalam pabrik berteknologi manufakturing yang maju (Advance Manufacturing Technology) dimana biaya overhead pendukung merupakan suatu proporsi yang signifikan dari biaya total. 2. Semakin banyak overhead dapat ditelusuri ke produk. Dalam pabrik modern, terdapat sejumlah aktivitas non lantai pabrik yang berkembang. ABC memberi perhatian pada semua aktivitas sehingga melakukan kalkulasi biaya produk diluar dasar lantai pabrik tradisional. 3. ABC mengakui bahwa aktivitas menyebabkan adanya produk, bukan produk yang mengkonsumsi aktivitas. 4. ABC memfokuskan perhatian pada sifat riil dari perilaku biaya dan membantu dalam mengurangi biaya dan mengidentifikasi aktivitas yang tidak menambah nilai terhadap produk.
5. ABC mengakui kompleksitas dari diversitas dari produksi yang modern dengan menggunakan banyak pemicu biaya (multiple cost drivers), banyak
dari
pemicu
biaya
tersebut
adalah
berbasis
transaksi
(transaction-based) dari pada berbasis volume produk. 6. ABC memberikan suatu indikasi yang dapat diandalkan dari biaya produk variable jangka panjang (long run variable product cost) yang relevan terhadap pengambilan keputusan strategik. 7. ABC cukup fleksibel untuk menelusuri biaya ke proses, pelanggan, area tanggungjawab dan biaya produk. 8. ABC memberikan tolak ukur keuangan yang berguna, misalnya tarif pemacu biaya dan tolak ukur non keuangan, misalnya volume transaksi. Widjaja (2003) menyebutkan dalam bukunya Activity Based Costing Untuk Manufakturing dan Pemasaran, bahwa terdapat beberapa perbedaan antara sistem ABC dengan sistem kalkulasi biaya tradisional, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. ABC
menggunakan
aktivitas-aktivitas
sebagai
pemicu
untuk
menentukan berapa besar setiap overhead tidak langsung dari setiap produk yang dikonsumsi. Sistem tradisional mengalokasi overhead secara arbirer berdasarkan satu atau dua basis alokasi yang non representatif, dengan demikian gagal menyerap konsumsi overhead yang benar menurut produk individual. 2. ABC membagi konsumsi overhead kedalam empat katagori : unit, batch, produk dan penopang fasilitas. Sistem tradisional membagi biaya overhead ke dalam satu unit. 3. Fokus ABC adalah pada biaya, mutu dan faktor waktu. Sistem tradisional terutama fokus pada kinerja keuangan jangka pendek seperti laba dengan cukup akurat. Apabila sistem tradisional digunakan untuk penetapan
harga
dan
untuk
mengidentifikasi
produk
yang
menguntungkan, angka-angkanya tidak dapat diandalkan/dipercaya. 4. ABC memerlukan masukan dari seluruh departemen. Persyaratan ini mengarah ke integrasi organisasi yang lebih baik dan memberikan suatu pandangan fungsional silang mengenai organisasi.
5. ABC mempunya kebutuhan yang jauh lebih kecil untuk analisis varian daripada sistem tradisional, karena kelompok biaya (cost pools) dan pemacu (driver) jauh lebih akurat dan jelas, dan karena ABC dapat menghitung biaya aktual apabila kebutuhan muncul. 6. Sistem ABC terdiri dari berbagai pusat biaya aktivitas (activity cost centers) dan pemicu tahap kedua (second stage drivers), biaya dianggarkan yang digunakan untuk melakukan studi ABC seharusnya diharapkan lebih mendekati biaya aktual daripada dengan menggunakan sistem tradisional. Keuntungan ini secara drastis mengurangi keperluan untuk melakukan analisis varian antara anggaran dan kalkulasi biaya aktual. Dari uraian mengenai sistem ABC, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua karakteristik dalam sistem ABC. Pertama, sistem ini mengidentifikasi semua biaya yang digunakan produk, baik yang sifatnya variable atau tetap dalam jangka pendek. Hal ini karena fokus sistem ABC adalah kebijakan jangka panjang, dengan lebih banyak biaya yang bisa dikelola dan lebih sedikit biaya yang bersifat tetap. Kedua, penentuan hierarki biaya merupakan hal penting dalam pengalokasian biaya ke produk. 2.4. Hasil Penelitian Terdahulu Toyyibah (2001) dalam skripsinya yang berjudul Penerapan Activity Based Costing untuk meningkatkan akurasi dalam perhitungan harga pokok konstruksi di PT ’X’ menyimpulkan bahwa Perhitungan harga pokok konstruksi pada umumnya masih menggunakan metode tradisional. Sama halnya dengan perusahaan jasa konstruksi PT. ”X” yang menjadi objek penelitian ini, perhitungan harga pokok konstruksinya masih menggunakan metode tradisional, yaitu dengan menggunakan satu pemicu biaya yang berkaitan dengan volume produksinya. Perhitungan ini memiliki kelemahan dalam pemberian informasi mengenai harga pokok konstruksi karena hanya menggunakan satu pemicu biaya tanpa memperhitungkan faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan volume produksi sehingga akan menyebabkan adanya distorsi biaya. Sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan yang disebabkan dari penggunaan metode tradisional, maka
dapat digunakan metode Activity Based Costing (ABC) dalam perhitungan harga pokok konstruksi. Dalam Activity Based Costing mempergunakan lebih dari satu pemicu biaya untuk mengalokasikan biaya overhead ke masing-masing proyek. Sehingga, biaya overhead yang dialokasikan akan menjadi lebih proporsional dan informasi mengenai harga pokok konstruksinya lebih akurat. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Penggunaan metode studi kasus dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah yang diawali dengan pertanyaan bagaimana dan mengapa dan difokuskan pada fenomena kontemporer. Data yang digunakan diperoleh melalui wawancara, dokumentasi, dan observasi. Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa PT. “X” menggunakan metode tradisional dalam perhitungan harga pokok konstruksinya dengan menggunakan jumlah hari tenaga kerja langsung sebagai dasar penentuan biaya overhead untuk masing-masing proyek. Setiap proyek yang dikerjakan oleh PT. “X” memiliki tingkat kompleksitas dan karakteristik yang berbedabeda. Pada pembahasan ditunjukkan adanya perbedaan hasil perhitungan dengan menggunakan metode tradisional dengan metode Activity Based Costing. Widiyastuti (2007) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Perhitungan Harga Pokok Produksi Tas Wanita (Studi Kasus UKM Lifera Hand Bag Collection Bogor) menyimpulkan bahwa perhitungan harga pokok produksi yang dilakukan perusahaan Lifera masih sangat sederhana. Dalam perhitungan harga pokok produksi yang dilakukan perusahaan, biaya overhead pabrik tidak dialokasikan ke masing-masing produk secara rinci dan tidak disesuaikan dengan pemakaian biaya secara nyata melainkan hanya merupakan suatu estimasi biaya yang dianggarkan dalam kelompok biaya lain-lain. Hal tersebut mengakibatkan harga pokok produksi yang diperoleh tidak sesuai dengan kaidah perhitungan harga pokok produksi yang ada.
Perhitungan
harga
pokok
produksi
dengan
metode
ABC
menghasilkan harga pokok produksi yang lebih besar dibandingkan dengan metode perhitungan harga pokok produksi yang dilakukan perusahaan, yaitu sebesar 32,74% untuk model 876 A dan 25,4% untuk model 858. hal ini disebabkan oleh banyaknya penggunaan sumber daya yang dilakukan dalam proses
produksi
dibandingkan
dengan
bila
menggunakan
metode
perusahaan karena dalam metode ABC setiap aktivitas yang berhubungan dengan proses produksi dimasukkan dalam perhitungan harga pokok produksi. Berdasarkan harga pokok produksi yang dihasilkan masing-masing metode dan harga jual yang ditetapkan perusahaan, maka margin yang diperoleh berdasarkan metode perusahaan lebih besar daripada margin yang diperoleh
berdasarkan metode ABC. Margin yang diperoleh dengan
menggunakan metode perusahaan sebesar 56,52% untuk model 876 A dan 51,42% untuk model 858. Sedangkan margin yang diperoleh dengan menggunakan metode ABC sebesar 35,36% untuk model 876 A dan 34,85 untuk model 858. Walaupun margin yang diperoleh dengan mengacu pada metode ABC lebih rendah daripada margin dengan metode perusahaan, tetapi dengan metode ABC semua biaya produksi yang diperlukan dalam proses produksi sudah diperhitungkan berdasarkan pemakaian biaya yang sesungguhnya sehingga menghasilkan harga pokok produksi yang lebih akurat.