TINJAUAN PUSTAKA
Industri Kecil Kerajinan Rumah Tangga Atribut “kecil” pada industri kecil memiliki arti yang berbeda dalam berbagai konteks dan lembaga yang menggunakannya, dan hal ini seringkali menimbulkan kekeliruan interpretasi bagi yang mencoba mengadopsi kebijakan atau pengalaman negara lain dalam pengembangan industri kecil. Departemen Perindustrian dan Perdagangan mendefinisikan industri kecil berdasarkan asset dan kepemilikan, yaitu perusahaan yang memiliki asset sampai Rp 600 juta di luar tanah dan bangunan yang ditempatinya dan dimiliki oleh warga negara Indonesia. Kriteria industri kecil yang ditetapkan oleh Undangundang Usaha Kecil No. 9 tahun 1995 yang digunakan oleh Departemen Koperasi adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih maksimum Rp 200 juta di luar tanah dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 milliar dan dimiliki oleh warga negara Indonesia. Konsep usaha kecil menurut Kamar Dagang dan Industri (KADIN) adalah sektor usaha yang memiliki asset maksimal Rp.250 juta, tenaga kerja paling banyak tiga orang dan nilai penjualan di bawah Rp.100 juta perbulan. BPS (1995) membagi empat kriteria tentang industri: (1) industri kerajinan dan rumah tangga yaitu perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 1-4 orang, (2) industri kecil yaitu perusahaan dengan tenaga kerja 5-19, (3) industri sedang atau menengah yaitu perusahaan dengan tenaga kerja 20-99 orang, dan (4) industri besar adalah perusahaan dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang. Apabila dilihat dari sifat dan bentuknya, menurut Haeruman (2001), industri kecil bercirikan: (1) berbasis pada sumber daya lokal sehingga dapat memanfaatkan potensi secara maksimal dan memperkuat kemandirian, (2) dimiliki dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal sehingga mampu me-ngembangkan sumberdaya manusia, (3) menerapkan teknologi lokal (indigenous technology) agar dapat dilaksanakan dan dikembangkan oleh tenaga lokal, dan (4) tersebar dalam jumlah yang banyak sehingga merupakan alat pemerataan pembangunan yang efektif.
Berdasarkan pada penjelasan tersebut di atas, pengertian industri kerajinan yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengacu pada industri rumah tangga yang mencakup semua perusahaan/usaha yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual. Yang termasuk dalam kategori tersebut jika dilihat dari jumlah tenaga kerjanya memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang, memiliki asset maksimal Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan harta tak bergerak.
Konsep Pengrajin Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengrajin = perajin adalah subyek melakukan suatu kegiatan yang menghasilkan kerajinan. Kata “kerajinan” menurut ilmu asal usul bahasa adalah berasal dari kata dasar “rajin” yang mendapat imbuhan ke-an, menunjuk kata benda yang dihasilkan melalui proses yang membutuhkan sifat rajin, teliti, cermat dan kreatif dari pembuatnya. Jadi pengrajin adalah orang yang bekerja membuat barang kerajinan yang memiliki sifat-sifat rajin, teliti, cermat dan kreatif. Karsidi (1999) membagi tiga jabatan pengrajin yaitu : (1) tenaga kerja terampil industri kecil, (2) pengrajin industri kecil, dan (3) pengrajin pengusaha industri kecil. Wijaya (2001) menemukan pengelompokan pengrajin dalam industri kerajinan seni ukir dalam tiga kelompok yaitu: (1) buruh pengrajin atau yang tergolong semi terampil dalam kegiatan produksi, (2) pengrajin yang tergolong terampil dalam kegiatan produksi, dan (3) pengusaha hiasan seni ukir yang keterampilan dalam kegiatan produksi dan perdagangan. Sigito (2001) menemukan dua kelompok pengrajin di Industri Kecil Tas yaitu: (1) pengrajin sekaligus pedagang dan (2) pengrajin tukang. Nadvi dan Barientoss (2004) mengelompokkan pekerja sektor industri kecil menjadi tiga yaitu: (1) small producers, yang memiliki buruh, beberapa asset dan memiliki keuntungan kecil tetapi rentan terhadap kebangkrutan; (2) subcontractor, orang-orang yang tergantung pada broker (middle man) yang menghubungkan ke pasar, bahan baku dan kredit, mereka memiliki pendapatan
yang rendah; dan (3) homeworker and casual day labourer, yang memiliki pendapatan sangat rendah yaitu 1 dollar per hari. Berdasarkan penjelasan di atas, maka konsep pengrajin dalam penelitian ini adalah orang yang bekerja di bidang kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual, yang memiliki ketrampilan produksi dan perdagangan. Kelompok ini memiliki fungsi-fungsi usaha yang masih sangat sederhana dan masih terikat dengan middle man atau menjadi subkontrak (Wijaya, 2001; Sigito, 2001) dalam mengakses pasar, bahan baku dan kredit sehingga perlu dikembangkan kemandirian usahanya. Aspek informalitas, masih banyak ditemui di kalangan pengrajin. Meskipun terdapat beberapa industri kecil yang memiliki badan hukum, namun sebagian besar pelaku bekerja diluar kerangka legal dan pengaturan (legal and regulatory framework) yang ada. Informalitas Industri kecil ini menyebabkan mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa harus berhubungan dengan sumber pinjaman informal. Ketidakformalan industri kecil dapat membawa konsekuensi tiadanya jaminan keberlanjutan aktivitas yang dijalani. Berbagai kebijakan pemerintah dapat secara dramatis mempengaruhi keberlangsungan suatu aktifitas industri kecil. Dalam merespon kondisi yang demikian, sektor industri kecil menjadi sektor yang relatif mudah dimasuki dan ditinggalkan. Apabila pada aktifitas ekonomi tertentu terdapat banyak peluang maka dengan segera akan banyak pelaku yang menerjuninya; sebaliknya, apabila terjadi perubahan yang mengancam keberlangsungan jenis usaha tertentu maka dengan segera para pelakunya akan berpindah ke jenis usaha yang lain. Hal yang perlu dilakukan adalah memperbaiki posisi pengrajin yang lebih banyak memilih berusaha untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Sebagaimana digambarkan oleh Getz (2005) yang menggambarkan pengrajin dan pengusaha kecil sebagai seorang seniman, wirausahawan yang bergaya hidup (lifestyle entrepreneur), usahanya dikelola secara kekeluargaan. Para pengrajin ini sering diasumsikan sebagai pihak yang menolak resiko atas usahanya karena mereka
lebih memprioritaskan keselamatan keluarga daripada meningkatkan pertumbuhan usahanya. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pengrajin merasa nyaman dengan kondisi saat ini dan kurang senang menghadapi tantangan demi kemajuan usahanya. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk mengarahkan pengrajin pada peningkatan daya saing dan kualitas usahanya. Sebagaimana hasil penelitian Getz (2005) yang menemukan adanya kelompok wirausahawan yang berorientasi pada pertumbuhan (growth). Kelompok ini akan diarahkan untuk memaksimumkan daya saing, meningkatkan kualitas dan nilai tambah. Selain itu, ada kelompok wirausahawan yang berorientasi pada laba dan pertumbuhan (profit and growth) akan diarahkan pada peningkatan inovasi produk dan pemasaran.
Karakteristik Individu Pengrajin Kegiatan usaha kerajinan digerakkan oleh individu yang sebagian besar adalah pemilik usaha tersebut. Pengrajin tersebut selain sebagai pemilik usaha, tenaga produksi / pekerja, pengelola keuangan juga sebagai tenaga pemasar. Melihat posisi individu yang multi fungsi tersebut, maka perlu mendapatkan pengetahuan yang lebih dari pada seorang manajer yang spesialis dalam bidangbidang tertentu sesuai dengan fungsinya. Konteks individu menjadi pembahasan yang menarik dalam berbagai riset tentang SDM, dengan karakteristik yang bersifat multiple, terkait dengan interaksi sosial yang didasarkan pada aspek-aspek kondisi genetik dan lingkungan prenatal (seperti karaktersitik biologis, neurologist, dan fisiologis) (Salkind, 1989). Haber dan Reichel (2006) mengukur SDM pengusaha kecil berdasarkan: tingkat pendidikan, pengalaman dan ketrampilan. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan kinerja usaha kecil, serta pengalaman usaha menjadi prediktor yang bagus untuk memulai usaha yang beresiko dan kesuksesan penguatan jejaring. Sedangkan ketrampilan managemen pengusaha sangat kondusif bagi kinerja dan pertumbuhan usaha. Stewart Jr et al. (1998) memfokuskan penelitiannya pada individu wirausahawan yang didasarkan pada teori-teori psikologi. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa faktor-faktor individu yaitu: umur, pendidikan, gender,
suku (race). Faktor individu tersebut
menjadi faktor penentu keberhasilan
kegiatan kewirausahaan. Adapun kegiatan kewirausahaan tersebut diawali dari perumusan tujuan, pembentukan usaha, perencanaan strategis sampai dengan dihasilkannya kinerja. Dalam konteks wirausaha, menururt Bird (1996), faktor individu wirausaha merupakan individu yang menjalankan usaha, faktor-faktor yang ada pada individu tersebut adalah: (1) karakteristik biologis meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, (2) latar belakang wirausaha yaitu: pengalaman usaha, alasan berusaha, pekerjaan orang tua dan keluarga, dan (3) motivasi. Stewart Jr (1998) menemukan bahwa faktor kepribadian memberikan pengaruh signifikan terhadap kemajuan usaha seorang wirausahawan. Meskipun faktor sosial dan faktor situational merupakan komponen yang terintegrasi dalam proses kewirausaahan, tetapi tidak semua wirausahawan mampu mengkombinasikan kedua komponen tersebut, sebab masih ada satu faktor lain yang cukup penting bagi pengembangan proses kewirausahaan yaitu faktor kepribadian wirausahwan tersebut. Menurut Sen (Nadvi dan Barientoss (2004)), kemampuan dan kesungguhan individu berhubungan dengan kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Sen cenderung mendefinisikan kemiskinan sebagai deprivasi terhadap kemampuan individu daripada rendahnya pendapatan. Oleh karena itu, untuk memberdayakan masyarakat miskin perlu ditingkatkan kemampuan individu terlebih dahulu yang kemudian akan mendorong peningkatan pendapatan secara berkelanjutan. Berdasarkan pendapat di atas, maka faktor individu adalah ciri-ciri yang melekat pada pribadi pengrajin yang membedakan dirinya dengan orang lain berdasarkan waktu tertentu. Menurut Rakhmat (2001) faktor internal individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan sosiopsikologis. Untuk mengetahui perilaku masyarakat terhadap sesuatu obyek tertentu, maka karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting untuk diketahui. Azwar (2003), menyebutkan bahwa karakteristik individu meliputi variabel sepert motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling
berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Umur Pada usaha pertanian, umur petani akan sejalan dengan pengalaman dan pengetahuannya sesuai dengan pertumbuhan biologis dan perkembangan psikisnya. Petani yang lebih tua tampaknya cenderung lebih berhati-hati, sehingga ada kesan mereka relatif kurang responsif atau lambat. Sebenarnya bukan berarti mereka tidak mau menerima perubahan, tapi mereka mungkin punya pertimbangan praktis seperti kesehatan, kekuatan fisik yang kurang mengizinkan, atau ingin menikmati masa tua mereka (Soekartawi, 1988). Robbins (1996) memberikan pendapat tentang efek yang ditimbulkan oleh usia pada pergantian karyawan, kemangkiran, produktivitas dan kepuasan. Terdapat beberapa hasil penelitian yang menyebutkan bahwa: (1) makin tua seseorang maka makin kecil kemungkinannya berhenti dari pekerjaan, (2) usia memiliki hubungan terbalik dengan kemangkiran, orang dengan usia yang lebih tua memiliki kemampuan yang lebih tinggi dengan masuk kerja yang lebih teratur, (3) tidak terbukti bahwasanya semakin tua usia maka produktivitas semakin menurun akibat menurunnya kecekatan, kecepatan, kekuatan dan koordinasi, jika ada penuruan karena usia, maka akan diimbangi dengan pengalaman, (4) pada individu yang profesional kepuasan cenderung meningkat dengan meningkatnya usia, pada individu yang non profesional kepuasan cenderung menurun dengan meningkatnya usia pada setengah baya dan akan naik lagi pada tahun-tahun berikutnya. Bird (2001) mencatat beberapa hasil penelitian tentang usia wirausahawan yaitu: (1) kronologis umur memulai usaha berkontribusi terhadap keberhasilan jangka panjang, wirausahawan muda akan memiliki karir yang lebih lama, (2) terdapat usia-usia tertentu yang dianggap sebagai titik tumpu untuk memulai usaha yang akan berkontribusi terhadap motivasi untuk benar-benar akan memulai usaha, (3) semakin awal seseorang me-mulai karir wirausaha, semakin lama mereka akan tinggal di dalamnya. Penelitian yang dilakukan oleh Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) tentang keberhasilan usaha kecil menengah di Thailand juga menemukan adanya
hubungan yang positif dan memimiliki signifikansi tinggi antara umur dengan keberhasilan usaha kecil. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, umur mempengaruhi perilaku pengrajin dalam melaksanakan aktivitas usaha dan dalam konteks usaha kecil umur mempunyai pengaruh positif terhadap kemajuan usaha. Pendidikan Pendidikan, baik formal maupun non formal adalah sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Pada umumnya seseorang yang berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak, akan lebih mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik Semakin tinggi pendidikan formal akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring dan menerapkan inovasi yang dikenalkan kepadanya. Bird (2001) mengumpulkan beberapa fakta yang menyatakan bahwa pendidikan adalah penting bagi kebanyakan wirausahawan sehingga upaya pengembangan kompetensi melalui pendidikan penting untuk keberhasilan usaha. Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) menemukan semakin lama tahun menempuh pendidikan maka semakin besar kesuksesan yang dapat diraih. Pendidikan formal ditujukan untuk memperkuat dan mendorong kreatifitas, keingintahuan (curiosity), open mindedness, dan ketrampilan yang bagus, hal tersebut berkontribusi terhadap keinovatian dan kemampuan mengelola sumberdaya dalam kehidupannya. Selain itu, pelatihan teknis penting bagi karir dan usaha yang menggunakan teknologi dan produksi yang maju. Pendidikan juga dapat mempengaruhi motivasi, pelatihan profesional dapat memperkuat nilai dan posisi karir yang mantap. Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas pengetahuannya. Gonzales (Jahi, 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan derajat ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang.
Wirausahawan yang bekerja dengan pendidikan rendah dapat menghadapi kesulitan dalam memperoleh materi-materi pendidikan selanjutnya. Seringkali sulit untuk menentukan gaji seseorang yang berpendidikan lebih baik, lebih berpengalaman dan lebih pandai. Pendidikan yang diperoleh pada usia muda (sebagian besar wirausahawan tidak mau kembali sekolah formal) memiliki kontribusi yang penting terhadap kemampuan wirausahawan dan menunjang keberhasilan usaha karena lebih kritis dalam mengakses informasi. Tanggungan Keluarga Usaha kecil dilaksanakan dengan mengandalkan anggota keluarga. Menurut
Soekartawi
(1988)
anggota
keluarga
sering
dijadikan
bahan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan suatu inovasi. Konsekuensi penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem keluarga, mulai dari isteri, anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Besarnya keluarga sangat terkait dengan tingkat pendapatan seseorang. Jumlah keluarga yang semakin besar menyebabkan seseorang memerlukan tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi untuk membiayai kehidupannya. Sehingga dibutuhkan tingkat aktifitas yang lebih tinggi dalam memenuhi kebutuhan (Azwar, 2003). Pengalaman Usaha Pengalaman berusaha perlu dijadikan salah satu pertimbangan, karena menentukan mudah tidaknya bagi wirausahawan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan biofisik, sosial ekonomi, dan teknologi. Pengalaman memiliki kontribusi terhadap perkembangan skill, kemampuan dan kompetensi, yang memiliki fungsi untuk menggerakkan ide-ide usaha, sama pentingnya dengan nilai (value), kebutuhan (need) dan insentif. Hal-hal yang telah kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah-satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Sehubungan dengan itu Azwar (2003) mengatakan bahwa tidak adanya
pengalaman sama sekali dengan suatu obyek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut. Pengalaman merupakan salah satu cara kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indera. Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh penyebab masa lalu (Rakhmat 2001). Menurut Bird (2001), pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman memberikan kemampuan (ability) bagi seseorang untuk: (1) belajar dari pengalaman yang berasal dari kegagalan dan keberhasilan, (2) merefleksikan pengalaman dengan melibatkan ego, emosi dan asumsi untuk melihat apa yang akan terjadi, (3) mengabstraksi pengalaman yang dialami dan menghubungkan dengan pengalaman orang lain, kemudian membuat prediksi apa yang akan dilakukan, (4) mencoba sesuatu yang baru pada masa yang akan datang. Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) menemukan pengalaman usaha memiliki pengrauh yang signifikan terhadap keberhasilan usaha kecil menengah. Jadi pengalaman usaha menjadi prediktor yang baik bagi pengambilan keputusan, keberhasilan usaha dan perilaku wirausahawan. Motivasi berusaha Semua kegiatan manusia selalu berhubungan dengan motivasi. Motivasi berasal dari dua kata, yaitu motif dan asi (action). Motif berarti dorongan, dan asi berarti usaha. Sehingga motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Setiap tindakan manusia, pasti memiliki motif atau dorongan. Dorongan atau motif ini ada di belakang setiap tindakan manusia.
Motif adanya di dalam tubuh manusia.
Yang terlihat pada kita adalah tindakan. Motif ada dibelakang tindakan. Motif mendorong timbulnya tindakan.
Namun demikian, timbulnya motif bisa
dilakukan dari luar diri manusia atau dari dalam diri manusia. Oleh karena itu kita mengenal dua bentuk motivasi yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang menunjukkan bahwa timbulnya dorongan pada diri seseorang berasal dari kesadarannya sendiri. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang menunjukkan bahwa timbulnya dorongan berasal dari luar atau orang lain (Padmowihardjo 2001).
Usaha yang dilakukan oleh seseorang karena adanya motivasi, dimana Luthans (Thoha, 1988) menyebutkan ada tiga unsur motif yang saling berinteraksi, yaitu kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goal). Motivasi seseorang tergantung pada kekuatan motivaasinya (motifnya), yakni semua unsur penggerak atau alasan-alasan dalam diri manusia yang menyebkan ia berperilaku tertentu (Gerungan, 1999 dan Thoha, 1988), seperti: kebutuhan, dorongan, keinginan dan aspirasi. Orang berusaha dalam situasi tertentu dapat dilihat dari pendekatan kognitif, yaitu: adanya kebutuhan, keinginan, hasrat, nilai, dan harapan serta pendekatan non kognitif, yaitu: pengaruh atau konsekuensi yang mengikutinya seperti hadiah dan hukuman (Kast dan Rozenzweig, 1995). Dikemukakan pula bahwa, motivasi dapat didekati dari dua dimensi, yaitu (1) apa yang menggerakkan orang (isi), teori isi berfokus pada variabel spesifik yang mempengaruhi usaha seseorang, seperti kebutuhan internal atau kondisi eksternal, dan (2) bagaimana perilaku itu dihasilkan (proses), teori proses berfokus pada insentif, dorongan (drive), penguatan (reinvocement), dan harapan (expectations). Hiks dan Gullet (1996) mengemukakan bahwa, berbagai kebutuhan, keinginan, harapan yang terdapat di dalam diri seseorang dapat membentuk motivasi internal, sedangkan upah/gaji, keadaan kerja, penghargaan, tanggung jawab membentuk motivasi eksternal. Pemenuhan Kebutuhan Kebutuhan dalam teori motivasi Maslow merupakan hirarki kebutuhan (hierarchi of need), yaitu: kebutuhan fisik, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Kebutuhan tersebut bisa dicapai secara bertahap tapi bisa juga melompat pada kebutuhan yang lebih tinggi (Thoha, 1988), sedangkan Aldefer mengenalkan tiga kelompok inti kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan keberadaan (existence), kebutuhan berhubungan (relatedness), dan kebutuhan untuk berkembang (growth). Keberhasilan melakukan usaha agribisnis adalah suatu prestasi, demiian juga produktivitas adalah sebuah prestasi. Kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) dari McClelland juga merupakan suatu motif yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan budaya (McClelland, 1987) dan seseorang dikatakan
mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang lebih baik dari prestasi karya orang lain. Karakteristik orang-orang berprestasi tinggi adalah: suka mengambil resiko yang moderat, memerlukan umpan balik yang segera, lebih memperhitungkan keberhasilan,
dan
menyatu
dalam
tugas-tugasnya
(McClelland,
1987).
McClelland (1987) mengemukakan bahwa masyarakat yang memiliki n-Ach tinggi
menghasilkan wiraswatawan-wiraswastawan yang lebih giat, dan pada
gilirannya menghasilkan pembangunan ekonomi yang lebih pesat. Orang yang mempunyai n-Ach tinggi akan berprestasi lebih tinggi serta bekerja lebih efisien. Insentif dapat menjadi dorongan bagi pengrajin, seperti: perbandingan harga yang menguntungkan, pembagian hasil, tersedianya barang dan jasa yang ingin dibeli, dan penghargaan masyarakat terhadap prestasi (Mosher, 1987), motif mencari laba menurut Ricardo (McClelland, 1987), harapan untuk memperoleh penghargaan (keuangan) disebut juga insentir (Thoha, 1988).
Kast dan
Rosenzweig (1995) mengemukakan bahwa pekerjaan itu sendiri (yang benarbenar menarik, menguntungkan dan memuaskan) serta tanggung jawab pribadi terhadap pekerjaan itu dapat menjadi motivator. Informasi di atas memberi gambaran bahwa motivasi dapat membentuk upaya yang dilakukan seseorang, yang terdiri atas: (1) motif kebutuhan (needs), yakni
kebutuhan
akan
keberadaan
(exixtence),
kebutuhan
berhubungan
(relatedness), kebutuhan untuk berkembang (growth), dan kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach), dan (2) motif dorongan, yakni dorongan karena adanya desakan atau rangsangan dari luar (eksternal). Komunikasi Pada
dasarnya
komunikasi
merupakan
proses
penyampaian
dan
penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti. Dalam komunikasi yang penting adalah pengertian bersama dari lambang-lambang tersebut, dan karena itu komunikasi merupakan proses sosial. Bila komunikasi itu berlangsung terusmenerus antara pengrajin dengan pihak lain, maka akan terjadi interaksi yaitu proses saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan yang lain. Terdapat beberapa hal yang terkait dengan kegiatan komunikasi diantaranya adalah: aksesibiltas terhadap sumber informasi dan sifat kosmopolitansi.
Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibandingkan dengan orang-orang pasif apalagi yang sekalu skeptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang baru (Lionberger, 1964). Menurut Lionberger (1964), golongan
yang inovatif, biasanya banyak
memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas yang terkait, media masa, tokoh-tokoh masyarakat,
sesama pengrajin, maupun dari lembaga-lembaga komersial
(pedagang). Berbeda dengan golongan inovatif, golongan masyarakat yang kurang inovatif umumnya hanya memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh (pengrajin) setempat, dan relatif sedikit memanfaatkan informasi dari media masa. Menurut Mardikanto (1996), sifat kekosmopolitan adalah tingkat hubungannya dengan “dunia luar” di luar sistem sosialnya sendiri.
Sifat
kekosmopolitan dicirikan oleh fekwensi dan jarak perjalanan yang dilakukan, serta pemanfaatan media masa.
Bagi warga masyarakat yang relatif lebih
kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung cepat. Tetapi, bagi yang lebih “localit” (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih “baik” seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya sendiri. Sifat kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang-orang lain di dalam komunitasnya, yaitu memiliki status sosial yang lebih tinggi, partisipasi sosial yang lebih tinggi, lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, lebih banyak menggunakan media massa, dan memiliki hubungan lebih banyak dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya. Aspek Gender Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Berdasarkan Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000, Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Pada konteks pembangunan masyarakat pengrajin, diperlukan kesetaraan gender dalam seluruh aspek kegiatan usaha guna meningkatkan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hal ini dapat menunjang keberhasilan usaha kerajinan dan meningkatkan kesejahteraan perempuan dan laki-laki secara adil.
Faktor Lingkungan Usaha Kerajinan Lingkungan merupakan suatu tempat dimana suatu unit usaha memulai atau menjalankan usahanya untuk meraih peluang dan kesempatan serta kemungkinan akan memperoleh ancaman dari pesaing. Menurut Kotler (1995), terdapat ada enam kekuatan utama yang membentuk lingkungan usaha yaitu : (1) Lingkungan demografi, misalnya: pertumbuhan penduduk, perubahan angka harapan hidup, adat istiadat, tingkat pendidikan, pola berumah tangga, perubahan dari satu mass market ke beberapa micromarkets. (2) Lingkungan ekonomi, kekuatan membeli konsumen dari sudut ekonomi akan dipengaruhi oleh: distribusi pendapatan, harga, tabungan, pinjaman, dan ketersediaan kredit. (3) Kondisi alam, perusahaan harus waspada terhadap kecenderungan kondisi : ketersediaan bahan mentah, kenaikan biaya sumber daya energi, kenaikan tingkat polusi serta perubahan peraturan pemerintah tentang proteksi lingkungan. (4) Lingkungan teknologi, kecenderungan teknologi berikut ini harus dicermati oleh perusahaan : pengakselerasian perubahan teknologi, kesempatan inovasi yang tidak terbatas, keanekaragaman anggaran riset dan develompent, peningkatan aturan perubahan teknologi. (5) Lingkungan politik, perkembangan lingkungan politik berpengaruh secara kuat terhadap keputusan pemasaran. Lingkungan ini terdiri dari hukum, lembaga pemerintah dan kelompok yang berkuasa. (6) Lingkungan budaya, kehidupan masyarakat tidak bisa terlepas dari kepercayaan, nilai dan norma-norma. Berikut ini beberapa karakteristik budaya yang ada dalam masyarakat : nilai-nilai kebudayaan murni yang memiliki persistensi yang tinggi, di dalam kebudayaan terdapat sub kebudayaan. Senada dengan enam kekuaatan tersebut, Badri et al, (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor lingkungan yang penting dicermati pengusaha yaitu trend ekonomi, perubahan teknologi, kondisi politik, perubahan sosial, ketersediaan sumberdaya vital dan kekuatan kolektif konsumen dan supplier.
Haber dan Reichel (2006) menginventarisasi beberapa dukungan yang diperoleh dari lingkungan luar untuk kemajuan usaha kecil pada masa yang akan datang, yaitu: (1) bimbingan keuangan (financial assistance), usaha kecil biasanya memiliki keterbatasan dalam hal mengakses sumber pendanaan. Untuk itu peran pemerintah sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan usaha pada jangka pendek, dan pada jangka panjang akan berkontribusi pada pembangunan ekonomi daerah; dan (2) bimbingan inkubator, diperlukan untuk memperkecil gap dalam keuangan dengan meningkatkan kualitas talenta wirausaha berbasis lokal dan pembangunan perusahaan berbasis kearifan lokal (indigenous companies). Secara singkat, Heizer dan Render (1993) menyebutkan variabel lingkungan usaha kecil meliputi: ekonomi, budaya. Teknologi, demografi dan hukumpolitik. Wirausahawan perlu melakukan kontak dengan lingkungan, sebagaimana dikemukakan oleh Zhao dan Aram (1995), bahwasanya kontak personal antara wirausahawan dengan orang lain akan dapat memberi dua manfaat yaitu: (1) meningkatkan dukungan sosial, jaring pengaman (safety net) yang menghindarkan wirausahawan melanggar norma sosial dalam proses pengambilan resiko, (2) dapat menjadi alat untuk mengakses sumber daya lingkungan dan sebagai wadah untuk mewujudkan misi organisasi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka faktor lingkungan dalam penelitian didefinisikan sebagai individu-individu lain, lembaga, atau sistem yang melingkupi pengrajin dan usahanya, yang memberikan dukungan sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin.
Potensi Industri Kecil Kerajinan Industri kecil kerajinan merupakan salah satu alternatif usaha yang dipilih oleh masyarakat pada negara-negara berkembang disamping sektor pertanian. Di Indonesia, usaha kecil banyak ditekuni masyarakat di pedesaan dan di perkotaan dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal berupa bahan baku, tenaga kerja, peralatan, metode, atau seni dan budaya lokal. Usaha kecil berbasis pada sumber daya lokal dan menerapkan indigenous technology ini memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan secara partisipatif.
Industri kecil memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi goncangan
ekonomi.
Mardhuki
(APO,
2000)
menyatakan:
“massive
unemployment, falling unemployment benefits and other welfare transfers and scarcity of job opportunities in transition economies, have led to a growing movement towards self-employment and a small business creation.” Permasalahan di bidang ekonomi yang timbul akibat krisis mendorong manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri melalui kreasi di bidang usaha kecil. Selain itu, Nadvi dan Barientos (2004 mengemukakan bahwa terdapat banyak industri kecil pedesaaan dan pinggiran perkotaan (peri-urban) di Indonesia yaitu: kuningan dan perabot (furniture) mampu bertahan dalam kondisi krisis, bahkan industri ukiran dari Jepara yang didukung koperasi yang kuat dan jaringan pemasaran global tetap bertahan mengekspor produknya ke beberapa pasar luar negeri. Bahkan ketika kondisi krisis menyebabkan beberapa perusahaan besar mengurangi tenaga kerjanya, industrikecil ini masih mampu mempertahankan tenaga kerjanya dan tingkat upah mereka lebih baik daripada tingkat upah regional. Industri kecil memiliki kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan eknomi lokal maupun nasional. Belajar dari pengalaman China yang memiliki pertumbuhan ekonomi sangat cepat. Menurut Gibb dan Jun Li (2003), pada dua dekade terakhir pertumbuhan eknomi cina yang cepat diperoleh keberhasilan usaha kecil baik di pedesaan maupun perkotaan, usaha kecil tersebut diantaranya berupa, usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah yang dikenal dengan istilah Micro, Small and Medium-Sized Entreprisess (MSME), usaha kecil ini dikelola oleh masyarakat lokal dan dikontrol oleh pemerintah daerah. Di Indonesia, industri kecil dilaksanakan secara padat karya sehingga menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Hal ini memberikan kontribusi terhadap permasalahan pengangguran. Dalam konteks pembangunan lokal, hal ini dapat menjadi sarana pemerataan kesejahteraan masyarakat baik sebagai penyedia tenaga di bidang produksi, penyedia input bahan baku atau penyedia jasa lainnya, sebagai efek dari munculnya usaha di tingkat lokal. Meskipun industri kecil
memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi, beberapa permasalahan masih banyak dihadapi oleh mereka. Pola kebijakan sosial ekonomi lokal dan nasional banyak dipengaruhi oleh ide-ide dan konsep pembangunan internasional. Peningkatan penggunaan teknologi komunikasi telah memfasilitasi transfer pengetahuan dan ide-ide kepada dunia usaha secara cepat, tanpa ada batas skala nasional lagi. Trend model bisnis dan produk terbaru lebih mudah diadopsi dalam skala global. Kebijakan makro ekonomi memiliki peran terbesar bagi keberhasilan pembangunan industri kecil. Menurut Ismawan (2002), pergeseran orientasi pembangunan sudah mulai diarahkan untuk melihat industri kecil sebagai stakeholder penting yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth), dahulu industri besar menjadi lokomotif pembangunan berubah ke strategi pertumbuhan yang berbasis luas (broad based growth) atau yang oleh Bank Dunia disebut pertumbuhan yang berkualitas (the quality of growth). Dharmawan (2000) menyatakan bahwa istilah pertumbuhan masih memberi kesan adanya bias pengukuran kekayaan dan berkembangnya budaya korupsi. Apabila kebijakan makro telah dapat mengapresiasi sektor industri kecil maka akan tercipta lingkungan yang mendukung (enabling environment). Oleh kartena itu, upaya pengembangan kapasitas sektor industri kecil dan penyediaan berbagai akses yang dibutuhkan oleh sektor industri kecil dapat dilaksanakan. Pembinaan terhadap industri kecil telah dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, perusahaan, LSM, Perguruan Tinggi dan sebagainya. Diharapkan pembinaan dapat ditujukan untuk: (1) meningkatkan kemampuannya agar kuat dan tahan terhadap perubahan-perubahan ekonomi, (2) meningkatkan posisi tawamya (bargaining position) terhadap konsumen/pasar di dalam kondisi persaingan yang semakin meningkat, dan (3) meningkatkan motivasi untuk mencapai kemajuan berusaha di dalam wadah kebersamaan dalam bentuk koperasi. Dari beberapa kebijakan tersebut dapat dikritisi bahwa kebijakan pengembangan industri kecil di Indonesia masih perlu penekanan pada aspek pengembangan sumber daya manusianya. Kelemahan utamanya adalah aspek
sumber daya manusianya kurang mendapat sentuhan, khususnya berkaitan dengan kepribadian.
Pelatihan-pelatihan
maupun
insentif
yang
diberikan
perlu
mempertimbangkan aspek keberlanjutannya sehingga akan meningkatkan efektivitasnya. Peningkatan kapasitas sektor industri kecil hanya bisa dilaksanakan secara efektif manakala satu elemen kunci dimasukkan yaitu pendampingan yang berkelanjutan. akses pada pelayanan keuangan, informasi, dan pasar. Dalam hal akses terhadap pelayanan keuangan jelas kiranya pendekatan keuangan mikro menjadi jawaban yang efektif. Selain itu informasi dan pasar yang disediakan melalui berbagai pihak seringkali diluar kapasitas pengrajin untuk dapat mengapresiasi dan memenuhinya. Karena itu, akan lebih bijak apabila penyediaan akses informasi dan pasar dilakukan seiring dengan pengembangan kapasitasnya, kemitraan perlu dijadikan salah satu oroientasi kebijakan sehingga interdependesi pengrajin dapat tercapai.
Pembangunan Industri Kecil Berkelanjutan Pembangunan ialah suatu perubahan yang berguna menuju suatu system sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu negara (Rogers,1976). Pembangunan menurut Todaro (1998) diartikan sebagai proses perubahan dan pertumbuhan (change and growth) ke arah yang lebih baik dan berhubungan dengan masalah ekonomi, kelembagaan dan transformasi sosial. Banyak teori-teori pembangunan pada saat ini tidak mampu untuk menunjukkan arah yang pasti pembangunan itu sendiri, sehingga setiap bangsa mempunyai caracara sendiri untuk melaksanakan pembangunan tidak terkandung oleh salah satu teori pembangunan tertentu. Kerangka berpikir pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa harus menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Sesuatu yang dimaksud kebutuhan sekarang, cara untuk dapat memenuhinya, dan cara agar pemenuhan kebutuhan masa datang tidak terganggu, merupakan permasalahan yang bisa berlainan dan beraneka untuk setiap tempat.
Menurut Serageldin (Setiana, 2001) pada tahap perkembangan berikutnya, para
pakar
mengidentifikasikan
tiga
pandangan
tentang
pembangunan
berkelanjutan yang berkembang dari tiga disiplin ilmu pengetahuan yaitu: (1) pandangan dari sudut ekonomi yang meletakkan pusat perhatiannya pada upaya peningkatan kemakmuran semaksimal mungkin dalam ketersediaan modal dan kemampuan teknologi; (2) pandangan dari sudut ekologi yang melihat terjaganya keutuhan ekosistem alami sebagai satu syarat mutlak untuk menjamin keberlanjutan perkembangan kehidupan; dan (3) pandangan dari segi sosial yang menekankan kepada pentingnya demokratisasi, pemberdayaan, peran serta, transparansi dan keutuhan budaya, sebagai kunci untuk melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan pendapat tersebut kita bisa mencermati bahwa dalam pembangunan
berkelanjutan
disamping
memfokuskan
pada
peningkatan
kesejahteraan masyarakat juga perlu memperhatikan aspek ekologi dan tidak meninggalkan aspek sosial yang menenkankan pada pentingnya partisipasi masyarakat. Dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan, suatu bisnis yang berkelanjutan adalah bisnis yang sangat mampu memproduksi yang terbaik (producing better) bukan memproduksi yang biasa-biasa saja (producing less), memenuhi kebutuhan konsumen yang lain dari yang lain (consumer differently) bukan kebutuhan yang biasa-biasa saja (consumer less), dan pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth) bukan pertumbuhan yang terbatas (limits to growth) (Young, 2006). Faktor-faktor penentu kinerja dan daya tahan usaha kecil menjadi domain penelitian yang sangat penting, penelitian di bidang kewirausahaan mulai merubah fokus penelitiannya dari manajemen strategis tradisional ke arah studi tentang pengujian penciptaan usaha baru yang bermanfaat bagi kesejahteraan sosial. Penemuan tentang teori-teori dan variabel dependen operasional yang cocok akan berperan bagi penciptaan usaha baru bagi kesejahteraan sosial.. Hal ini tentu menjadi tantangan yang berat bagi seluruh stake holder pembangunan industri kecil karena perlu peningkatan motivasi dan kemampuan SDM untuk
mencipatkan suatu inovasi yang tentunya perlu dukungan teknologi dan lingkungan yang kondusif. Variabel
dependen
yang
sesuai
dengan
kebutuhan
usaha
yang
berkelanjutan harus bersifat multifaceted (beraneka segi) dan membutuhkan ukuran yang kompleks, tidak hanya kinerja keuangan, tetapi juga ukuran kesejahteraan
sosial
yang
meliputi:
ekonomi,
sosial
dan
lingkungan.
Sebagaiamana telah diungkapkan di atas bahwa bahwa ketiga segi tersebut penting bagi pembangunan industri kecil yang berkelanjutan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat diketahui perlunya diadopsi konsep pembangunan berkelanjutan dalam membangunan industri kecil. Hal ini menjadi tantangan bagi peneliti yang dimulai dari mengkarakterisasikan variabel usaha berkelanjutan berdasarkan sudut pandang yang komplek, global, interdependent, dam memiliki titik pandang ke depan. Tantangan bagi usaha berkelanjutan tidak hanya menyediakan laba dan lapangan pekerjaan tetapi aktivitas kewirausahaan yang mengarahkan pada cara hidup yang lebih berkelanjutan (sustainable ways of living (Cohen dan Winn, 2005).
Keberdayaan Pengrajin Secara etimologis, istilah pemberdayaan merupakan terjemahan dari kata empowerment, yang berasal dari kata empower yang mengandung dua pengertian: (i) to give power to (memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas pada pihak lain), dan (ii) to give ability, to enable (usaha untuk memberi kemampuan) (Oxfort English Dictionary). Istilah ini menunjukkan adanya dua pihak atau lebih yang saling berinteraksi yang mengakibatkan salah satu pihak memiliki kekuatan yang lebih dari kondisi sebelumnya. Terminologi pemberdayaan berkembang terus seiring dengan perubahan yang ada pada masyarakat, Oxaal dan Baden (1997)
mendefinisikan
pemberdayaan berasal dari asal-usul kata “power” yang dapat dipahami sebagai: (1) power over, yang terkait dengan kekuatan untuk menghindari dominasi dan subordinasi, ancaman kejahatan dan intimidasi, (2) power to, yaitu kekuatan yang berhubungan dengan kemampuan mengambil keputusan, otoritas, pemecahan masalah dan kreativitas, (3) power with, kekuatan untuk bekerjasama dalam
rangka mencapai tujuan bersama, dan (4) power within, kekuatan dalam diri individu berupa kepercayaan diri, kesadaran, dan ketegasan (assertiveness). Ife (1995), mengartikan pemberdayaan sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi kehidupan masa depannya dengan memberikan sumberdaya, peluang, pengetahuan dan ketrampilan. Berdasarkan sudut pandang ilmu penyuluhan, Slamet (2003) menyatakan bahwa istilah pemberdayaan masyarakat merupakan ungkapan lain dari tujuan penyuluhan, yang berarti mampu = berdaya = tahu, mengerti, faham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerjasama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi dan mampu bertindak sesuai situasi. Dalam konteks pengembangan masyarakat, Sumodiningrat (1999) menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat memerlukan persiapan penguatan kelembagaan masyarakat. Dengan kelembagaan masyarakat yang kuat diharapkan menjadi wadah bagi pengembangan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan. Sejalan dengan konteks pengembangan masyarakat tersebut, Ndraha (1987) memberi ciri-ciri pemberdayaan: (1) meningkatkan kemampuan, (2) mendorong tumbuhnya kebersamaan, (3) kebebasan memilih dan memutuskan (4) membangkitkan kemandirian, dan (5) mengurangi ketergantungan serta menciptakan hubungan yang saling menguntungkan. Berdasarkan pengertian tentang pemberdayaan di atas, maka dalam konteks pengrajin makna pemberdayaan diartikan sebagai proses pembelajaran yang berkesinambungan yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat agar: (1) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan dalam seluruh segi kehidupannya; (2) mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, berkreasi dalam usaha kerajinannya; (3) mampu bekerjasama dan membina hubungan dalam lingkungan usaha dan lingkungan sosialnya; dan (4) mampu mengakses sumberdaya, informasi, peluang, pengetahuan dan ketrampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang dengan lebih baik.
Pengrajin yang berdaya adalah pengrajin yang memiliki ciri-ciri yang ada pada perilaku wirausaha dan kemandirian. Pengrajin yang berdaya dengan berperilaku wirausaha dan mandiri dalam berusaha secara gigih berupaya melakukan kombinasi dari sumberdaya ekonomi yang tersedia, mereka mampu menciptakan produk dan teknik usaha baru (inovatif), mampu mencari peluang baru (opportunistis), bekerja dengan metode kerja yang lebih efektif dan efisien, cepat mengambil keputusan dan berani mengambil resiko, berdayasaing, tidak terdeprivasi dan tersobordinasi oleh pihak lain. Melalui proses pemberdayaan masyarakat diharapkan akan dapat berkembang lebih jauh dengan berkembangnya pola pikir yang kritis dan sistematis sehingga masyarakat pengrajin lebih mampu melakukan kegiatan secara berdaya dan partisipatif.
Peranan Penyuluhan dalam Memberdayakan Pengrajin Seperti yang telah dinyatakan di atas, garis besar upaya pemberdayaan adalah proses pembelajaran yang merupakan usaha terencana dan sistematis yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Istilah penyuluhan pertama kali digagas oleh James Stuart dari Trinity College (Canbridge) pada tahun 1967-68, sehingga kemudian Stuart dikenal sebagai Bapak Penyuluhan (Van Den Ban dan Hawkins, 1999) Berbagai istilah digunakan pada berbagai negara menggambarkan prosesproses belajar penyuluhan (extention), seperti’ (1) voorichting (Bahasa Belanda) yang berarti memberi penerangan untuk menolong seseorang menemukan jalannya, (2) beratung (Bahasa Inggris dan Jerman) yang mengandung makna sebagai seorang pakar memberikan petunjuk kepada seseorang tetapi seseorang tersebut yang berhak untuk menentukan pilihannya, (3) erzeiehung (mirip artinya dengan pendidikan di Amerika Serikat) yang menekankan tujuan penyuluhan untuk mengajar seseorang sehingga dapat memecahkan sendiri masalahnya, (3) fordering (Bahasa Austria) yang diartikan sebagai menggiring seseorang ke arah yang diinginkan (Van Den Ban, 1999). Secara harfiah penyuluhan berasal dari kata suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dari asal perkataan tersebut
dapat diartikan bahwa penyuluhan dimaksudkan untuk memberi penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang disukai, agar tidak lagi berada dalam kegelapan mengenai suatu masalah tertentu (dalam Rejeki dan Herawati, 1999) Van Den Ban, A.W. dan H.S Hawkins (1999) mengartikan penyuluhan sebagai keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar.
Secara sistematis pengertian penyuluhan
tersebut adalah proses yang; (1) membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan, (2) membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut, (3) Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimikili petani, (4) membantu
petani memperoleh pengetahuan yang khusus
berkaitan dengan cara pemecahan masalah yang dihadapi serta akibat yang ditimbulkannya sehingga mereka mempunyai berbagai alternatif tindakan, (5) membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal, (6) meningkatkan motivasi petani untuk dapat menerapkan pilihannya, (7) membantu petani untuk mengevaluasi dan meningkatkan keterampilan mereka dalam membentuk pendapat dan mengambil keputusan. Menurut Slamet (2003), penyuluhan merupakan pendidikan luar sekolah yang bertujuan: (a) memberdayakan sasaran, (b) meningkatkan kesejahteraan secara mandiri, dan (c) membangun masyarakat madani. Pengertian penyuluhan bukanlah sekedar penerapan tentang kebijakan penguasa, bukan hanya diseminasi teknologi, bukan program charity yang bersifat darurat, dan bukan program untuk mencapai tujuan yang tak merupakan kepentingan pokok kelompok sasaran. Tetapi adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan kesejahteraaan sasaran secara mandiri dan membangun masyarakat madani; sistem yang berfungsi secara berkelanjutlan dan tidak bersifat adhoc, serta program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya. Sehingga secara singkat penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu pendidikan yang bersifat non formal yang bertujuan untuk membantu
masyarakat/petani merubah perilakunya dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mereka dapat memecahkan masalah dan mampu menolong dirinya sendiri menuju peningkatan kesejahteraan. yang dihadapinya guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Peran penyuluh adalah menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahanperubahan, memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran. Menurut Lippit (1956) peran penyuluh dapat dikembangkan menjadi beberapa peran yaitu: (1) Pengembangan kebutuhan untuk melakukan perubahan-perubahan yang mencakup:diagnosa masalah yang benar-benar diperlukan masyarakat sasaran, pemilihan obyek yang tepat, analisis tentang motivasi dan kemampuan masyarakat sasaran untuk melakukan perubahan, sehingga upaya perubahan yang direncanakan mudah diterima dan dapat dilaksanakan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki masyarakat sasaran, analisa sumberdaya yang tersedia dapat digunakan oleh penyuluh untuk perubahan seperti yang direncanakan (2) Menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan . Kegiatan yang harus dilakukan
penyuluh meliputi menjalin hubungan yang akrab
dengan masyarakat sasaran, menunjukkan kepada masyarakat sasaran tentang pentingnya perubahan-perubahan yang harus dilakukan, bersamasama
masyarakat,
menentukan
sumberdaya
(mengumpulkan
membentuk
dan
prioritas
dana,
mengembangkan
kegiatan
memobilisasi
menyelenggarakan kelembagaan)
dan
pelatihan, memimpin
perubahan yang direncanakan (3) Memantapkan hubungan dengan masyarakat sasaran, melalui upayaupaya yaitu, terus menerus menjalin kerjasama dan hubungan baik dengan masyarakat sasaran, terutama tokoh-tokohnya, bersama-sama tokoh masyarakat memantapkan upaya-upaya perubahan dan merancang tahapan-tahapan
perubahan
yang
direncanakan,
terus
menerus
memberikan sumbangan terhadap perubahan yang profesional melalui kegiatan penelitian dan rumusan-rumusan konseptual. Berdasarkan hal tersebut kita melihat bahwasanya pemberdayaan merupakan salah satu tujuan dari penyuluhan. Asngari (2001) menggambarkan
proses penyuluhan dalam rangka pemberdayaan sumber daya manusia pembangunan terlihat pada Gambar 1, sebagaimana dicontohkan di bidang pertanian. Tujuan jangka pendek Penyuluhan Pembangunan
Mengubah perilaku : 1. Pengetahuan 2. Sikap mental 3. Ketrampilan
SDM Klien
Tahu Mau Mampu memanfaatkan IPTEK, dll
SDM Klien
Bertani lebih baik (Better farming) Berusahatani lebih baik (Better business)
Ditunjang
Sarana usaha yang memadai (agro support) Iklim usaha yang kondusif (agroclimate)
Pendapatan meningkat Tujuan jangka panjang Hidup lebih baik
Hidup lebih sejahtera
Masyarakat lebih makmur
Gambar 1. Tujuan Penyuluhan Pembangunan (Asngari, 2001) Penyuluhan dilakukan secara berkelanjutan, hal ini sesuai dengan “falsafah kontinyu“; yang dimulai dengan tujuan agar klien tahu, mau dan mampu untuk melakukan perubahan atas dirinya. Untuk itu, harus dimulai dari proses penyadaran. Industri kecil kerajinan banyak ditekuni masyarakat pedesaan, namun kesejahteraan pengusahanya masih belum meningkat. Untuk itu perlu penyadaran agar mereka tahu masalah yang dihadapi, mau untuk berubah dan mampu memecahkan masalah. Perubahan perilaku yang menjadi penentu kemajuan usaha pengrajin adalah terkait dengan kualitas SDM pengrajin, kemandirian usaha dan perilaku wirausahanya. Oleh karena itu, perlu disusun suatu program penyuluhan yang dapat merubah perilaku wirausaha, dengan pelatihan terhadap materi-materi tersebut, pendampingan (fasilitasi), kredit/modal (misalnya: bantuan langsung masyarakat), networking untuk membantu memasarkan produk kerajinannya.
Proses ini berjalan secara kontinyu sampai terjadi perubahan usaha yang lebih baik (better business). Kegiatan penyuluhan tidak hanya sampai pada peningkatan usaha tetapi sampai pada membuat pengrajin berdaya; berdaya dalam konteks industri kecil kerajinan ini adalah: (1) berdaya dalam usaha/memproduksi, (2) berdaya dalam mengambil keputusan (tidak terdeprivasi oleh pihak lain), dan (3) berdaya dalam keberlanjutan usaha. Keberdayaan akan mengarahkan mereka mencapai kehidupan yang lebih baik dan makmur sejahtera. Didalam kegiatan penyuluhan menggunakan prinsip-prinsip pendidikan orang dewasa, yakni terdapat tujuh falsafah-falsafah yang dapat menyukseskan keberhasilan penyuluhan (Asngari, 2001) yaitu: (1) Falsafah Pendidikan, (2) Pentingnya Individu, (3) Falsafah Demokrasi, (4) Falsafah Bekerjasama, (5) Falsafah Membantu Klien untuk Membantu Dirinya Sendiri, (6) Falsafah Kontinyu, dan (7) Falsafah membakar sampah secara tradisional yaitu membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi klien dengan memilah-milahkan keadaan individu klien.
Faktor Perilaku dalam Konteks Keberdayaan
Perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis dan psikologis (Kast dan Rosenzweig, 1995) dan pola perilaku dikatakan sebagai tingkah laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Menurut Skinner (Salkind, 1989), perilaku adalah fungsi dari konsekuensi. Perilaku timbul karena ada stimulus, kualitas dan karakteristik stimulus yang mengikuti
perilaku
adalah
sangat
penting.
Konsekuensi
perilaku
akan
menyebabkan peningkatan, penurunan atau tidak adanya perubahan dalam probabilitas timbulnya perilaku yang terjadi kemudian. Berdasarkan pada studi dan analisis konsekuensi Skinner ini, maka pengaruh lingkungan terhadap perubahan perilaku sangat penting. Perilaku merupakan fungsi dari interaksi antara sifat individu dengan lingkungannya, Lewin (Hersey, Blanchard dan Johnson, 1996) membuat
persamaan dasar perilaku manusia : B = f P,S, B adalah perilaku individu, f berarti fungsi atau disebabkan oleh, P adalah Persons dan S adalah Situations. Persamaan Lewin ini diartikan bahwa perilaku adalah fungsi yang ada dalam diri individu dan di luar individu yaitu situasi. Sesuatu yang berasal dari dalam diri inidvidu digerakkan oleh motif atau kebutuhan yang kemudian direfleksikan dalam sikap (cara individu merasakan sesuatu hal) dan dimainkan oleh kepribadian (kecenderungan seseorang untuk bertindak). P dan S tidak independen tetapi interdependen. Seseorang dipengaruhi oleh situasi dimana dia temukan diri mereka, dan situasi dipengaruhi oleh orang tersebut. Menurut Gibson, Ivancevich dan Doonely (1994), terdapat beberapa faktor penting yang menyebabkan perbedaan individu dalam perilaku (Gambar 2).
Stimulus
Orang Perilaku Variabel Fisiologis Variabel Lingkungan Variabel Psikologis
Frustasi Konflik
Tujuan
Kegelisahan
Umpan balik
Gambar 2. Model Dasar Perilaku (Gibson, Ivancevich dan Doonely, 1995). Model Dasar Perilaku disajikan sebagai titik pangkal untuk memahami perilaku individu. Hal penting yang dapat dipetik dari model tersebut adalah: (1) proses perilaku adalah serupa bagi semua orang; (2) perilaku yang sebenarnya dapat berbeda karena variabel fisiologis, lingkungan dan psikologis, dan karena faktor-faktor seperti frustasi, konflik dan kegelisahan; dan (3) banyak variabel yang mempengaruhi perilaku terbentuk sebelum orang memasuki organisasi pekerjaan. Proses yang mendasari perilaku seseorang adalah sama, dengan empat asumsi penting mengenai perilaku manusia yaitu: (1) perilaku timbul karena sesuatu sebab (caused), (2) perilaku diarahkan kepada tujuan, (3) perilaku yang terarah pada tujuan dapat diganggu oleh frustasi, konflik dan kegelisahan, dan (4) peri-laku timbul karena motivasi. Berdasarkan empat asumsi tersebut, maka dapat
diketahui bahwa seseorang berperilaku tidak dapat secara spontan dan tanpa tujuan, tetapi harus ada sasaran secara eksplisit maupun implisit dan timbul sebagai reaksi atas sasaran. Pola perilaku bisa saja berbeda tetapi proses terjadinya adalah hal yang mendasar bagi semua individu, yakni terjadi karena disebabkan, digerakkan dan ditunjukkan pada sasaran (Kast dan Rosenzweig, 1995). Berdasarkan teori perilaku dan asumsi di atas, perilaku itu tidak dapat spontan dan tanpa tujuan, sehingga harus ada sasaran baik eksplisit maupun implisit. Perilaku kearah sasaran timbul sebagai reaksi terhadap rangsangan (penyebab) yang dapat berupa jarak antara kondisi sekarang dan kondisi baru yang diharapkan, dan perilaku yang timbul adalah untuk menutup jarak tersebut. Unsur perilaku terdiri atas perilaku yang tak tampak seperti pengetahuan (cognitive) dan sikap mental (affective), serta perilaku yang tampak seperti keterampilan (psychomotoric) dan tindakan nyata (action). Gabungan dari atribut biologis, psikologis dan pola perilaku aktual menghasilkan kepribadian (character) yakni kombinasi yang kompleks dari sifat-sifat mental, nilai-nilai, sikap kepercayaan, selera, ambisi, minat, kebiasaan, dan ciri-ciri lain yang membentuk suatu diri yang unik (unique self) (Kast dan Rosenzweig, 1995) Untuk mengetahui proses perilaku ini terbentuk dan berkembang, komponen kognitif, afektif dan psikomotorik, menurut Mar’at (1982), dikaitkan dengan hal-hal berikut: (1) Kognisi berhubungan dengan belief, ide dan konsep. Kepercayaan datang dari apa yang pernah kita lihat atau apa yang telah kita ketahui. Setelah kepercayaan terbentuk, ia dapat memprediksi masa datang, termasuk didalamnya pengalamn pribadi yang cenderung membentuk stereotip. Ranah/domain kognisi akan menjawab pertanyaan sesuatu yang dipkirkan atau dipersepsikan tentang obyek. (2) Afeksi, menyangkut
kehidupan emosional
seseorang. Secara umum
disamakan dengan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Reaksi emosional ditentukan oleh kepercayaan.
(3) Konasi/Psikomotor, merupakan kecenderungan bertingkah laku, berkaitan dengan obyek yang dihadapi. Kecenderungan berperilaku secara konsisten. Selaras dengan kepercayaan dan perasaan yang membentuk perilaku individu. Dalam penelitian ini perilaku adalah cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi pengetahuan, sikap dan ketrampilannya. Perubahan perilaku lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor biologi. Faktor lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan internal dan eksternal. Menurut Kast dan Rosenzweig (1995), terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap perilaku individual dalam suatu situasi kerja (Gambar 3). Faktor-faktor tersebut dikelompokkan menjadi tiga konteks yaitu: konteks individual yang berhubungan dengan konteks organisasi kerja dan konteks umum yang berada di luar konteks individual dan konteks organisasi kerja.
Konteks Organisasi Kerja Sasaran Harapan dan peranan Kebijakan prosedur & peraturan Norma-norma formal dan informal Sistem imbalan: Ekonomi dan non ekonomi Tugas Sistem perencanaan dan pengawasan Teknologi Struktur Dinamika kelompok Kepemimpinan
Konteks Perorangan Sifat dan kemampuan bawaan & kemampuan diperoleh Pengalaman masa lampau Kebiasaan Nilai dan sikap Kepercayaan
Konteks Umum Kebudayaan Ekonomi Masyarakat Keluarga Hukum Pengaruh lain
Diri atau keprobadian yang unik (kecenderungan untuk berpikir atau bertindak dg n cara tertentu)
Situasi sekarang (persepsi & kognisi) Motivasi (kebutuhan, hasrat, ambisi, dan harapan yang menggerakkan, mengarahkan dan mempertahankan) PERILAKU
Gambar 3. Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Perilaku dalam Situasi Kerja (Kast dan Rosenzweig, 1995) Menurut Bird (1996), terdapat empat elemen yang membentuk perilaku wirausaha yaitu: (1) faktor individu, (2) faktor organisasi, (3) faktor lingkungan, dan (4) faktor proses sebagaimana tercantum pada Gambar 4.
Individual(s) (Characteristics & motivations
Environment (context)
Organizations (Outcomes)
Process (behaviors & relationships)
Gambar 4. Elemen-elemen yang Membentuk Perilaku Wirausaha (Bird, 1996) Faktor individu yang menjalankan usaha adalah karakteristik biologis, latar belakang wirausaha, dan motivasi. Faktor organizational outcomes, adalah unit usaha, kekayaan, produk dan sebagainya. Faktor lingkungan mencakup kekuatan yang lebih besar yaitu : faktor sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung atau menghambat wirausaha. Konteksnya meliputi hak cipta, modal, keyakinan dan nilai-nilai dalam hal usaha, teknologi, sumber daya lokal, inkubator, jejaring, teman sesama pengusaha, mitra dan dukungan keluarga. Faktor perilaku adalah proses yang dijalankan oleh wirausaha dalam kegiatan usahanya meliputi: pemahaman usaha (conceiving), kreasi (creating), pengelolaan (organizing), dan promosi (promoting). Berdasarkan uraian di atas, maka setidak-tidaknya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku wirausaha dapat digolongkan menjadi dua yaitu: faktor internal yang merupakan faktor yang ada dalam diri pribadi dan faktor eksternal yang terdiri dari lingkungan dan faktor pendukung kegiatan usaha.
Perubahan Perilaku melalui Proses Belajar Belajar merupakan salah satu proses fundamental yang mendasari perilaku. Gibson, Ivancevich dan Doonely (1995) mendefinisikan belajar sebagai proses terjadinya perubahan yang relatif tetap dalam perilaku sebagai akibat dari
praktek. Menurut Robbins (1996), terdapat tiga hal yang perlu mendapat penjelasan mengenai perubahan perilaku dan belajar yaitu: (1) belajar melibatkan perubahan, (2) perubahan itu harus relatif permanen, dan (3) belajar berlangsung dimana ada suatu perubahan tindakan. Suatu perubahan proses berpikir atau sikap seseorang individu jika tidak diiringi dengan perubahan perilaku, itu bukan merupakan pembelajaran. Beberapa ilmuwan yang berperan dalam perkembangan Aliran Behavioristik mengembangkan beberapa teori belajar, diantaranya adalah: Ivan Pavlov dengan teori Classical Conditioning, John Watson dengan teori Stimulus-Respon, Skinner dengan Teori Operant Conditioning, Albert Bandura dengan teori Social Learning, Carl rogers dengan Teori Belajar Bebas, dan lain-lain. Menurut Gibson, Ivancevich dan Doonely (1995), terdapat tiga teori yang mendasari pola-pola perilaku, yaitu: (1) Teori Classical Conditioning, (2) Teori Operant Conditioning dan (3) Teori Observational Learning. Robbins (1996) menambahkan satu teori belajar dari Albert Bandura, yaitu: Teori Social Learning. Berdasarkan teori-teori tersebut, dapat dirumsukan empat metode pembentukan perilaku yaitu: lewat penguatan positif, penguatan negatif, hukuman dan pemunahan. Aliran behavioristik merujuk pada sebuah set teori tentang proses perkembangan pada diri manusia. Atribut teori-teori ini adalah bahwa individu berkembang karena lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor biologi. Asumsi-asumsi dasar paham perilaku ini adalah; (1) Perkembangan adalah suatu fungsi pembelajaran. Robert Gagne (Salkind, 1989) mendefinisikan perkembangan sebagai kumpulan efek pembelajaran. Pembelajaran merupakan perubahan perilaku jangka pendek dan jika perubahan ini digabung dan diorganisir secara hirarkis akan menghasilkan perkembangan. Jadi perkembangan adalah hasil akumulasi pengalaman yang terkait satu sama lain. Perkembangan berasal dari pembelajaran dan pembelajaran bukan hasil perkembangan. Bijou (Salkind, 1989) juga berpendapat sama tentang perkembangan. Dia mendefinisikan pembelajaran sebagai hubungan antara penguatan dan
pelemahan fungsi stimulus dan respon. Dalam paradigma ini reinforcement dan punishment dikontrol oleh perilaku. (2) Perkembangan adalah hasil dari tipe-tipe belajar yang berbeda. Mempelajari tipe-tipe belajar yang mengatur perkembangan adalah penting. Tipe-tipe pembelajaran ini diasosiasikan dengan terori-teori lain. (3) Perbedaan-perbedaan
individu
dalam
perkembangan
menggambarkan
perbedaan-perbedaan dalam sejarah dan pengalaman sebelumnya. Perbedaan dalam perkembangan individu dihasilkan dari pengalaman masa lalu yang berbeda-beda. Pengalaman dan sejarah masa lalu menjadi dasar perkembangan. Cara pengalaman-pengalaman tersebut disimpan, diambil dan kemudian ditransfer ke dalam situasi baru merupakan elemen penting dalam perspektif perilaku. (4) Perkembangan adalah hasil dari pengorganisasian perilaku-perilaku. Perkembangan adalah proses pengorganisasian perilaku-perilaku sederhana yang terpisah-pisah (yang dihasilkan dari pengalaman sebelumnya) menjadi perilaku yang lebih kompleks. (5) Faktor-faktor biologis membentuk batasan-batasan umum pada jenis perilaku yang dikembangkan, tetapi lingkungan menentukan perilaku-perilaku dimana organisme berada. Meskipun proses biologis menghasilkan framework perilaku, faktor lingkungan akan menentukan jenis-jenis perilaku yang dihasilkan. Lingkungan menentukan perilaku-perilaku yang diperoleh. Kesehatan kandungan, kematian ibu, merokok, minum alkohol, dapat mempengaruhi perkembangan, input lingkungan mempengaruhi perkembangan. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa perubahan perilaku pada individu tidak terlepas dari proses pembelajaran yang terjadi. Dengan dukungan dari lingkungan pembelajaran yang terjadi secara formal maupun informal maka akan terjadi perubahan perilaku.