2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri Kemasan Kertas Industri Kemasan Kertas merupakan industri hilir dari industri pulp dan kertas. Rantai industri pulp dan kertas dimulai dari industri pengolahan kayu menjadi pulp, dilanjutkan dengan pengolahan pulp menjadi kertas, dan akhirnya pengolahan kertas menjadi bermacam-macam produk hilir, termasuk kemasan yang terbuat dari karton. Seiring dengan peningkatan permintaan terhadap produk-produk kertas baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Departemen Perindustrian Republik Indonesia telah menjadikan upaya untuk mendorong perkembangan industri hilir kertas sebagai salah satu rencana aksi pada tahun 2010 sampai 2014. Adanya tekanan internasional di bidang lingkungan hidup telah mendorong tumbuhnya upaya untuk memanfatkan kertas bekas sebagai bahan baku industri kertas hilir. Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong semakin bertumbuhnya industri kertas hilir yang memproduksi karton gelombang dan kertas-kertas daur ulang. Karton gelombang dan kertas-kertas daur ulang merupakan bahan baku yang cukup penting untuk industri kemasan kertas (Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, 2009). Industri kemasan kertas menggunakan bahan baku berbagai macam jenis kertas, antara lain papan kertas (cardboard), karton gelombang (corrugated board), kertas kraft, kertas medium dan karton seni (art carton). Kertas dan papan kertas adalah lembaran material yag dibuat dari jalinan serat selulosa yang dihasilkan dari kayu. Material ini dapat dicetak dan memiliki karakteristik fisik yang memungkinkan untuk dijadikan kemasan kaku atau fleksibel dengan cara memotong, melipat, membentuk, mengelem dan sebagainya. Dewasa ini terdapat banyak tipe kertas dan papan kertas, dimana perbedaannya terletak dalam hal tampilan (appearance), kekuatan dan beberapa karakteristik lainnya, tergantung kepada jumlah serat yang digunakan dan bagaimana serat tersebut diproses menjadi kertas dan papan kertas.
Appearance berkaitan dengan penampakan
visual kemasan dan diekspresikan dalam kriteria warna, kehalusan dan kilap pada permukaan kemasan (Coles et al, 2003).
8
Jenis kemasan kertas sangat banyak, mulai dari kertas tissu sebagai pembungkus teh dan kopi celup hingga kemasan karton tebal yang digunakan dalam proses distribusi dan pengangkutan. Menurut Kirwan (2005) kertas dan papan kertas ini antara lain digunakan untuk mengemas : 1) produk-produk makanan kering, seperti sereal, produk-produk roti, teh, kopi, gula, tepung, dan makanan kering, 2) produk makanan beku, chilled food dan es krim, 3) makanan dan minuman cair seperti juice, susu dan produk-produk turunan dari susu, 4) produk makanan yang mengandung coklat dan gula, 5) makanan cepat saji (fastfoods), dan 6) makanan segar seperti buah-buahan, sayuran, daging dan ikan, 7) produk-produk farmasi dan kesehatan, 7) produk-produk untuk keperluan olah raga dan bersantai, 8) mesin-mesin dan alat-alat elektronik, 9) produk-produk untuk keperluan pertanian dan perkebunan, dan 10) alat-alat militer. Dalam memilih suatu kemasan, perlu dipertimbangkan kesesuaian antara produk yang dikemas dengan kemasannya.
Faktor-faktor yang menentukan
kesesuaian ini adalah tampilan (appearance) dan performansi. Faktor performansi berkaitan dengan tingkat efisiensi proses manufaktur yang terdiri dari proses printing, pemotongan (cutting), pelipatan, pengeleman dan pengepakan. Kemasan kertas dan papan kertas diklasifikasikan berdasarkan desain bagian permukaan (desain grafis) dan desain struktural. Desain grafis dilihat dari warna, teks, gambar, dekorasi dan tekstur permukaan. Desain tersebut diwujudkan dengan memberikan perlakuan terhadap bahan dasar kertas dan papan kertas berupa proses laminasi, pelapisan (coating), penempelan kertas timah (hot foil stamping), desain atau hiasan timbul (embossing), pencetakan (printing) dan pengkilapan (varnishing).
Desain struktural antara lain menyangkut bentuk
kemasan dan desain bukaan kemasan. Kemasan kertas dan papan kertas memiliki banyak sekali variasi karena faktor-faktor : 1) banyaknya alternatif warna dan finishing kertas yang tersedia, 2) banyaknya pilihan kekuatan kemasan kertas, tergantung kepada tipe serat, ketebalan, dan cara produksi, 3) banyaknya alternatif cara coating, laminating, dekorasi dan printing, 4) kemudahan konversi desain kemasan melalui proses pemotongan, tekukan, pelipatan, pengeleman,
cara
mengunci (locking) dan cara menutup/merapatkan (sealing), dan 5) banyaknya inovasi mesin untuk kemasan dan proses pengepakan.
9
Menurut Kirwan (2005) jenis-jenis kemasan kertas yang banyak digunakan saat ini adalah : 1) kantong kertas celup dari bahan tissue (untuk teh dan kopi), 2) kantong kertas dan kertas pembungkus (paper bags dan wrapping papers), 3) kemasan fleksibel yang mengkombinasikan kertas, plastik dan alumunium foil, 4) kantong kertas multi lapis (multiwall paper sacks), 5) kotak karton lipat (folding carton), 6) kemasan karton untuk makanan cair, 7) kotak karton kaku (rigid boxes), 8) tabung dari kertas komposit (tube & composite containers), 9) drum kertas (fibre drum), 10) kemasan karton gelombang (corrugated boxes), dan 11) kontainer pulp yang dicetak (moulded pulp containers). Menurut Dirjen Industri Menengah dan Kecil (2007), secara umum kemasan yang terbuat dari kertas dan karton dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: 1.
Kemasan fleksibel (Flexible packaging). Kemasan jenis ini bersifat lentur dan fleksibel, biasanya digunakan untuk kemasan makanan, dan snack food.
2.
Kemasan kaku (Rigid packaging). Kemasan ini bersifat kaku dan lebih tebal. Biasanya digunakan sebagai kontainer (kemasan bagian luar) untuk produk-produk makanan.
3.
Kemasan kotak (Box packaging) yang terbuat dari karton gelombang dan karton duplex. Biasanya digunakan sebagai wadah untuk memindahkan produk (carried box), tempat pajangan produk (display box),
dan tempat
makanan (food box).
2.2 Kemasan Karton Lipat Kemasan karton lipat terbuat dari papan kertas yang dikirimkan ke mesin pengepakan berbentuk lembaran (sheet). Pilihan papan kertas yang digunakan untuk karton lipat tergantung kepada kebutuhan produk selama pengepakan, distribusi, penyimpanan dan penggunaan. Juga tergantung kepada desain grafis dan desain struktural yang diinginkan. Jenis papan kertas yang digunakan antara lain solid bleached board (SBB), solid unbleached board (SUB), folding box board (FBB) dan white lined chip board (WLC).
10
Sebagian besar karton lipat berbentuk persegi empat. Jenis produk yang akan dikemas, metode pengisian dan cara karton didistribusikan, dipajang dan digunakan akan mempengaruhi dimensi dan rancangan karton.
Karton lipat
dibuat dengan tahapan: pertama, desain permukaan karton diprint pada lembaran papan kertas, selanjutnya setiap karton dipotong dan ditekuk menurut pola yang sudah dibuat. Kemasan karton yang sudah dipotong dan berbentuk lembaran bisa dikirim langsung ke pengepakan, atau sebagian dari lembaran dilipat (pada bagian sisinya) dan dikirimkan dalam bentuk lipatan. Terdapat proses tambahan yang digunakan dalam membuat karton lipat, tergantung kepada desain kemasan. Proses tambahan ini antara lain pengkilapan (varnishing), pelapisan dengan panas (heat seal coating), embossing, pembubuhan timah panas (hot foil stamping) dan pembuatan jendela pada kemasan (window patching) (Coles et al, 2003).
2.3 Kotak Karton Gelombang (Corrugated Box) Jenis kemasan ini adalah kemasan kertas yang berukuran paling besar dan biasanya digunakan untuk proses pengangkutan dan penyimpanan. Pada sektor retail, kotak atau landasan (tray) yang terbuat dari karton gelombang digunakan sebagai kemasan kedua (yang mewadahi kemasan pertama). Demikian juga pada industri makanan, jenis kemasan ini digunakan untuk mewadahi kemasan pertama yang terdiri dari 6 atau 12 unit. Katon gelombang bisa terbuat dari kertas kraft asli yang tidak mengalami proses pemutihan (unbleached virgin kraft liner), 100% terbuat dari kertas/serat daur ulang atau campuran antara keduanya. 2
kemasan berkisar antara 115 sampai 400 g/m .
Berat
Proses manufaktur kemasan
karton gelombang memiliki model matematik yang didasarkan kepada material standar, tipe gelombang, dimensi dan berat kandungan yang dapat memprediksi kekuatan tekan kemasan (Coles, Dowell dan Kirwan, 2003). Kotak karton gelombang sejauh ini merupakan kemasan kertas yang terbanyak digunakan dihitung dari tonase pemakaiannya. Berdasarkan susunan (konstruksinya), menurut TAPPI (2001) terdapat 4 (empat) jenis lembaran (sheet) yang merupakan bahan baku dari karton gelombang, yaitu : Single face. Single face merupakan lembaran kertas gelombang yang dilapisi oleh satu lembar kertas datar (flat).
Single face biasa diproduksi dalam
11
bentuk gulungan dan kadang-kadang digunakan sebagai bantalan bagi produk yangmudah pecah seperti bola lampu. Single wall. Single wall terdiri tiga lapis kertas dimana satu lapis kertas gelombang dilapisi oleh dua lembar kertas pada kedua sisinya. Double wall. Jenis sheet ini memiliki lima lapis kertas yang terdiri dari dua lembar kertas gelombang yang dilapisi oleh tiga lembar kertas pada bagian luar dan diantara kedua kertas gelombang. Triple wall. Terdiri dari tujuh lapis kertas, yang terdiri dari tiga lembar kertas gelombang yang dilapisi oleh empat lembar kertas flat. Jenis kertas yang biasa digunakan sebagai bahan baku karton gelombang adalah kertas kraft dan kertas medium. Kertas kraft digunakan sebagai kertas pelapis bagian luar dan di antara kertas yang bergelombang, sedangkan kertas medium digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat lembaran bergelombang. Kertas kraft atau biasa disebut liners terdiri dari beberapa macam warna, yaitu kertas kraft coklat, putih atau lurik. Kertas kraft bisa terbuat dari 100 persen pulp (serat asli), campuran antara pulp dengan kertas daur ulang, atau 100 persen kertas daur ulang. Kertas kraft yang paling banyak digunakan adalah kertas kraft coklat. Kertas kraft coklat merupakan kertas kraft yang belum mengalami proses pemucatan (unbleached) untuk menghilangkan warna, sedangkan kertas kraft putih adalah kertas kraft yang mengalami proses pemucatan (bleached). Kertas kraft lurik merupakan campuran antara kertas kraft yang mengalami proses pemucatan dengan yang tidak (Kirwan, 2005; TAPPI, 2001). Kertas medium sebagai bahan dasar karton gelombang terbuat dari serat kertas hasil daur ulang yang melalui proses mekanikal dan kimia. Karakteristik karton gelombang ditentukan oleh konfigurasi gelombang yang terdiri dari tinggi gelombang dan jumlah gelombang per satuan panjang kertas (flute). Di samping jenis kertas dan jumlah lapisan, faktor lain yang tidak kalah penting dalam menentukan karakteristik karton gelombang adalah profil atau konfigurasi gelombang yang terdapat pada karton tersebut. Jenis-jenis flute yang terdapat pada karton gelombang diklasifikasikan berdasarkan huruf. Flute A, B dan C merupakan jenis flute yang umum terdapat pada karton gelombang dan memiliki ukuran tinggi gelombang antara 2,0 sampai 4,8 mm. Flute jenis E, F, G, N dan O
12
merupakan flute yang biasa terdapat pada karton gelombang yang lebih tipis dengan tinggi flute berkisar antara 0,3 sampai 1,8 mm (ICG, 2003). Di Indonesia jenis flute yang lazim digunakan adalah flute jenis B, C dan E. Proses pembuatan karton gelombang dilakukan pada mesin yang disebut corrugator.
Suatu lini mesin corrugator yang modern mampu menghasilkan
karton gelombang dengan kecepatan 1000 ft/menit.
2.4 Sistem Pemrosesan Pesanan Pemrosesan pesanan adalah suatu aktivitas pertukaran informasi yang dibutuhkan di antara para anggota dari suatu rantai pasok (supply chain) yang terlibat dalam distribusi atau jual beli suatu produk.
Aktivitas utama dari
manajemen pemesanan adalah meneliti dan menentukan kualifikasi dari setiap pesanan yang masuk (Bowersox et al. 2002). Sistem pemrosesan pesanan merupakan salah satu bagian penting dari sistem logistik. Pesanan yang datang dari konsumen akan menggerakkan seluruh bagian dalam perusahaan untuk dapat memenuhi pesanan tersebut dalam waktu yang tepat dengan spesifikasi dan kualitas produk yang sesuai dengan permintaan konsumen. Untuk bisa memenuhi permintaan konsumen, dibutuhkan suatu sistem komunikasi dan informasi yang efisien.
Sistem informasi dan pemrosesan
pesanan yang efisien memainkan peranan penting dalam upaya memenuhi dan melayani kebutuhan konsumen dengan biaya yang kompetitif. Menurut Stock dan Lambert (2001), siklus proses pemesanan dimulai sejak diberikannya pesanan (order) dan berakhir ketika diterimanya pesanan oleh konsumen. Siklus pemesanan terdiri dari beberapa tahap, yaitu : (1) persiapan dan penawaran pesanan, (2) Penerimaan dan input pesanan, (3) pemrosesan pesanan, (4) pengambilan dan pengepakan di gudang, (5) pengiriman pesanan, dan (6) penerimaan dan pembongkaran (unloading) pesanan oleh konsumen (Gambar 2). Ketika suatu perusahaan menerima pesanan dan menginputnya ke dalam sistem pemrosesan pesanan, sistem harus mampu membuat beberapa pengecekan untuk menentukan : (1) apakah produk yang diminta tersedia dalam jumlah yang dipesan, (2) apakah batas kredit konsumen mencukupi untuk sejumlah pesanan
13
yang diminta, dan (3) apakah jadwal produksi memungkinkan untuk memenuhi pesanan, jika inventory tidak tersedia. Siklus pemrosesan dan pengiriman pesanan konsumen juga merupakan faktor yang menentukan performansi dari proses distribusi pemasaran. Bowersox et al. (2002) menyatakan performansi proses distribusi pemasaran ditentukan oleh aktivitas-aktivitas : (1) penyampaian pesanan (order trasmission), (2) pemrosesan pesanan (order processing), (3) seleksi pesanan (order selection), (4) pemrosesan pesanan, dan (5) pengiriman pesanan.
Pesanan Konsumen
Transportasi pesanan konsumen
Penerimaan oleh konsumen
Penempatan pesanan Back Order
Invoice
Cek batas kredit
File persediaan
Proses Pesanan
Pegambilan dari gudang
Jadwal produksi
Produksi
Dokumentasi pengiriman
Jadwal transportasi/ pengiriman
Inventory yang tersedia
Memasukkan pesanan konsumen
Gambar 2
Siklus Proses Pemesanan (Stock dan Lambert, 2001)
Autri et al. (2008) dalam penelitiannya yang merumuskan suatu taxonomi dari strategi logistik mengklasifikasikan sistem pemrosesan pesanan menjadi: pengecekan kredit (credit checking), penomoran (pelabelan) pesanan, pengecekan pesanan secara internal (order checking), menginput order (order entry), pelaksanaan pesanan (order picking/assembly) dan pengepakan pesanan untuk dikirim (palletization). Dari uraian dan gambaran mengenai aktivitas-aktivitas proses pemesanan di atas dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaannya, proses pemesanan tidak bisa dipisahkan dengan bagian lain yang terdapat dalam suatu perusahaan.
Dari
14
Gambar 1 terlihat bahwa agar bisa memproses suatu pesanan yang masuk, perlu adanya informasi dan jaminan mengenai ketersediaan bahan baku dan kemampuan memenuhi jadwal produksi yang merupakan wewenang bagian produksi. Di sisi lain, agar perusahaan mampu memproses pesanan yang masuk, perlu adanya informasi dan jaminan dari bagian keuangan mengenai batas kredit modal kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi pesanan tersebut.
Proses
pengiriman pesanan yang merupakan bagian dari aktivitas pemrosesan pesanan juga tidak bisa dilepaskan dari peran bagian produksi serta bagian-bagian lain dalam perusahaan yang menjamin pesanan dapat dikirimkan pada waktunya. Hal ini menyebabkan perlu adanya suatu sistem pemrosesan pesanan yang handal dan dapat meningkatkan kepuasan konsumen. Sistem pemrosesan pesanan tidak bisa terlepas dari karakteristik dan tipe industri dimana sistem pemrosesan pesanan tersebut diimplementasikan. Secara umum, terdapat dua kelompok utama dalam suatu sistem manufaktur, yaitu sistem manufaktur yang berbasiskan pesanan (make-to-order/MTO) dan sistem manufaktur yang berbasiskan stok atau persediaan (make-to-stock/MTS). Kingsman (1996) menjelaskan bahwa perbedaan utama antara kedua kelompok perusahaan manufaktur tersebut terletak pada waktu penerimaan pesanan dan waktu produksi dilakukan.
Pada perusahaan MTS, produksi sudah selesai
dilakukan ketika permintaan dari konsumen datang dan permintaan konsumen tersebut dipenuhi dari stok yang tersedia. Pada perusahaan MTO, pesanan tidak bisa diketahui kapan waktu kedatangannya, dan seringkali produksi baru dilakukan setelah pesanan datang. Hal ini membuat perusahaan MTO memiliki karakteristik pemrosesan pesanan yang sedikit berbeda dengan perusahaan MTS. Pada perusahaan MTO, setiap pesanan yang masuk tidak bisa langsung dipenuhi seperti pada perusahaan MTS, melainkan memerlukan penelaahan atau evaluasi lebih lanjut apakah pesanan tersebut akan dipenuhi dan perusahaan memiliki kemampuan untuk memenuhinya.
2.5 Model Operasional Pada Industri Make to Order dan Mass Customization Industri atau perusahaan yang berproduksi berdasarkan pesanan (MTO) merupakan jenis sistem produksi yang telah lama ada.
Berbagai produk
15
kebutuhan manusia seperti pakaian dan sepatu secara tradisional dibuat setelah pesanan diterima. Akan tetapi produksi pada waktu itu sebagian besar dilakukan secara manual dan dalam jumlah terbatas sehingga lebih tepat diistilahkan sebagai sistem operasi berdasarkan keahlian manual (craft production) (Nicholas, 1998). Adanya revolusi industri dan kemajuan teknologi, lambat laun merubah sistem produksi berdasarkan pesanan ini menjadi sistem produksi massal (make-tostock/MTS) yang sebagian besar proses produksinya telah menggunakan bantuan teknologi.
Selama hampir dua abad sistem produksi massal telah mampu
memenuhi produk-produk kebutuhan manusia dalam jumlah besar dan kapanpun diperlukan tanpa perlu melalui proses pemesanan dan waktu menunggu selama produk diproduksi. Paradigma yang terjadi dalam dua dekade terakhir telah memunculkan adanya pergeseran kebutuhan manusia.
Sistem produksi MTS untuk produk-
produk tertentu dipandang tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan spesifik dari manusia.
Sekarang, dengan semakin banyaknya produk membanjiri pasaran,
pembeli dihadapkan dengan banyak sekali pilihan sehingga mereka mempunyai posisi tawar yang semakin tinggi. Tingkat persaingan di antara perusahaan sejenis telah mendorong terjadinya proses jual beli yang berorientasi pelanggan (customer-driven-market).
Dengan semakin banyaknya keinginan spesifik
pembeli yang harus dipenuhi oleh produsen, dalam beberapa tahun terakhir, sistem produksi dengan karakteristik MTO mulai banyak diaplikasikan pada beberapa jenis produk. Namun karakteristik sistem produksi MTO dewasa ini sedikit berbeda dengan sistem MTO pada masa sebelumnya, dimana sistem produksi MTO yang berkembang dewasa ini juga mengakomodasi kemampuan untuk tetap berproduksi secara massal dengan tidak lagi mengandalkan produksi manual. Sistem produksi dengan karakteristik seperti ini juga disebut sebagai sistem produksi mass customization (MC). Sistem Produksi MC secara singkat diartikan sebagai produksi massal barang-barang atau jasa yang dibuat secara khusus (spesifik)
untuk satu
pelanggan (Anderson, 1998). Dalam kenyataannya suatu perusahaan seringkali mengadaptasi lebih dari satu sistem produksi dalam proses produksinya. Di samping berproduksi secara MTO untuk beberapa variasi produk, perusahaan juga
16
bisa saja menghasilkan variasi produk lainnya yang diproduksi berdasarkan sistem MTS. Industri kemasan karton adalah salah satu industri yang menerapkan prinsip MTO dalam proses produksinya. Seringkali pembeli industri kemasan karton merupakan pembeli perorangan atau perusahaan yang ingin memesan kemasan dengan desain khusus untuk produk mereka yang dijual secara massal, sehingga produk kemasan karton juga dikategorikan sebagai produk mass customization. Pada beberapa industri kemasan besar, pendekatan MTO maupun MTS bisa digunakan secara bersamaan. Pendekatan MTS digunakan untuk proses pembuatan karton gelombang tanpa cetak dengan bentuk yang standar, sedangkan pendekatan MTO digunakan untuk mengerjakan pesanan produk-produk dengan desain spesifik yang berasal dari konsumen. Walaupun cukup banyak perusahaan menjalankan sistem produksi yang berorientasi MTO, namun belum banyak tulisan yang mengulas secara lengkap model dan sistem pengambilan keputusan untuk industri MTO ini. Olvera (2009) membuat model referensi untuk operasi manufaktur pada industri yang berorientasi MTO (Gambar 3).
Model ini mengklasifikasikan
aktivitas manufaktur menjadi empat aktivitas, yaitu mempersiapkan order yang akan diproduksi (A1), mengirimkan dan menjadwalkan order yang akan diproduksi ke lantai produksi (A2), pelaksanaan produksi (A3) dan menutup order (A4). Setiap aktivitas kemudian didekomposisi menjadi sub-aktivitas - subaktivitas.
Model juga menggambarkan input dan output dari masing-masing
aktivitas serta aliran informasi yang dibutuhkan dan diolah pada setiap aktivitas maupun sub-aktivitas.
Informasi ataupun data yang dipertimbangkan dalam
pelaksanaan aktivitas manufaktur pada model ini antara lain daftar bahan baku (Bill of Material, BOM), urutan proses, kebutuhan dan ketersediaan kapasitas, ketersediaan material, produk yang selesai diproduksi, dan kendala waktu penyelesaian. Hasil validasi menunjukkan bahwa model ini cukup valid dalam menggambarkan aktivitas manufaktur dan aliran informasi pada industri yang berbasiskan MTO. Kekurangan dari model ini adalah pada strukturnya yang masih bersifat generik dan sangat umum untuk berbagai macam industri, sehingga dibutuhkan
17
proses
adaptasi
untuk
diaplikasikan/dikembangkan
pada
suatu
industri.
Kekurangan lainnya adalah bahwa model ini terlalu menekankan pada aktivitas manufaktur (setelah order diterima) dan tidak ada suatu prosedur untuk mengevaluasi dan menguji kelayakan order yang akan diproduksi. Model juga tidak menguraikan bagaimana cara mengorganisasikan order yang cukup bervariasi sehingga bisa menimbulkan kesulitan dalam proses penjadwalan dan pengaturan sumberdaya untuk proses produksinya.
Info BOM
Info kendala waktu
Info urutan proses Status/ update kejadian
Info material / kapasitas
Kendala biaya Rencana pesanan
Buat Pesanan
Perintah jadwal ulang/WIP
Pesanan yg akan diproduksi
Perintah pelaksanaan pesanan (release production order
Status/ update kejadian
Pesanan yg dikerjakan
Pelaksanaan / pengerjaan Pesanan
Pesanan yg telah diproses
Menutup / mengakhiri pesanan
Gambar 3 Model Referensi Operasi Manufaktur Pada Perusahaan MTO (Olvera, 2009). Egri et al. (2004) mengusulkan model sistem produksi yang terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap perencanaan produksi dan tahap penjadwalan pada industri manufaktur MTO. Pada model ini setiap order produk dianggap sebagai suatu proyek, di mana setiap proyek memiliki batas waktu kapan harus mulai dan selesai. Setiap order pekerjaan memerlukan satu atau lebih sumberdaya, akan tetapi intensitas pelaksanaan aktivitas bisa bervariasi sepanjang waktu dan pelaksanaan suatu aktivitas dapat disisipi aktivitas lain (preemptive). Input dari tahap perencanaan produksi adalah daftar pesanan pelanggan dalam bentuk master production schedule (MPS), BOM, routing (urutan proses, waktu proses dan sumberdaya yang dibutuhkan) untuk setiap operasi, dan jadwal
Pesanan selesai
18
detail ketersediaan sumberdaya. Output yang dihasilkan pada tahap ini adalah rencana produksi mingguan, rencana kebutuhan kapasitas mingguan dan rencana kebutuhan material tiap minggu. Pada tahap penjadwalan dilakukan penjabaran rencana produksi menjadi jadwal detail yang siap dilaksanakan. Jadwal ini harus mampu
menentukan
urutan
operasi
dan
alokasi
sumberdaya
dengan
mempertimbangkan keterbatasan teknologi, kecepatan dan kapasitas. Model Egri et al. (2004) secara lebih detil menjelaskan bagaimana setiap tahapan dapat dijalankan dan pendekatan (metode) yang digunakan untuk setiap aktivitas. Sayangnya model ini juga memulai tahapan sistem produksi dari daftar pesanan yang sudah tersusun dalam bentuk MPS tanpa menjelaskan bagaimana MPS tersebut bisa terbentuk. Hal ini membuat model sistem produksi MTO yang dibuat tidak terlalu berbeda dari segi struktur, urutan aktivitas maupun aliran informasinya. Ciri sistem MTO mungkin hanya bisa diidentifikasi dari horizon waktu perencanaan dan penjadwalan yang lebih pendek dibandingkan sistem MTS dan adanya proses penentuan routing (urutan proses) untuk setiap order yang diterima. McCarthy et al. (2003) mengemukakan suatu konsep model operasi untuk industri dengan karakteristik MC (Gambar 4). Model ini menjelaskan bahwa terdapat enam proses operasi yang mendasar untuk industri dengan karakteristik MC, yaitu : 1.
Penerimaan pesanan dan koordinasi Ini meliputi kegiatan mengelola komunikasi dengan konsumen, menerima dan menterjemahkan keinginan konsumen, menemukan solusi produk dan membuat detail pesanan untuk konsumen.
2.
Perancangan dan pengembangan produk Kegiatan ini mencakup proses perancangan produk dan menyesuaikan dengan standar internal maupun eksternal yang berlaku untuk produk tersebut.
3.
Validasi produk dan rekayasa manufaktur Yakni mengkonfirmasi kemampuan manufaktur untuk desain yang dibuat dan menterjemahkan desain tersebut menjadi serangkaian proses dan aturan manufaktur. Tahap ini mencakup pembuatan daftar bahan baku/BOM untuk produk customized dan mengeluarkan urutan dan instruksi proses produksi
19
4.
Manajemen Pemenuhan Pesanan Mengelola pesanan dan rantai pasoknya, melakukan koordinasi proses, menginformasikan kapan pesanan dapat diselesaikan dan mengontrol aktivitas pemenuhan pesanan.
5.
Realisasi pemenuhan / pelaksanaan pesanan Melaksanakan aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan pesanan, termasuk aktivitas pemasok, proses manufaktur internal dan aktivitas pengiriman.
6.
Proses setelah pesanan selesai Aktivitas yang dilakukan setelah pesanan dikirimkan, mencakup service dan pemeliharaan, menerima klaim, memberikan petunjuk teknis dan sebagainya.
Penerimaan Pesanan / koordinasi Dengan konsumen
Konsumen
Post order process
Perancangan / pengembangan produk
Manajemen Pemenuhan / pelaksanaan pesanan
Realisasi pemenuhan / pelaksanaan pesanan
Validasi produk / Rekayasa manufaktur
Bahan baku
Gambar 4 Model Operasional pada Sistem Produksi Mass Customization (MacCharty et al. 2003).
Soman et al (2004) menyatakan bahwa issue operasional yang penting bagi perusahaan MTO adalah perencanaan kapasitas, penerimaan atau penolakan pesanan dan kemampuan untuk memenuhi batas waktu pengiriman pesanan (duedate). Menurut Stevenson et al. (2005) terdapat beberapa kriteria yang dibutuhkan bagi sistem perencanaan dan pengendalian produksi pada industri berbasis MTO, yaitu :
20
1.
Adanya tahap evaluasi permintaan pelanggan untuk kepentingan penentuan waktu penyerahan pesanan dan perencanaan kapasitas.
2.
Adanya tahap masuknya suatu pesanan (job entry stages) dan tahap pelepasan pesanan untuk diproduksi (job release stages) yang difokuskan terhadap upaya pemenuhan batas waktu pengiriman pesanan.
3.
Kemampuan untuk menerima dan memproduksi produksi yang tidak berulang (untuk produk-produk yang sangat customized).
4.
Kemampuan untuk melakukan proses perencanaan dan kontrol ketika urutan proses di lantai produksi sangat bervariasi, seperti pada lantai produksi dengan tipe general flow dan job shops.
5.
Dapat diaplikasikan pada perusahaan skala kecil dan menengah. McCarthy et al. (2003), Stevenson et al. (2005), dan Olvera (2009),
menyiratkan pentingnya memberikan perhatian khusus terhadap tahapan penerimaan dan evaluasi suatu pesanan yang masuk pada suatu perusahaan MTO dan MC, karena pada tahap inilah akan terjadi kesepakatan antara perusahaan dengan konsumen yang menentukan tingkat produksi dan keberhasilan suatu perusahaan selanjutnya.
2.6
Model Penerimaan Pesanan Pada Industri Berbasis MTO dan MC Kingsman et al (1996) menguraikan empat tahapan yang dilalui oleh
perusahaan berbasis MTO pada saat menerima permintaan pesanan dan pertanyaan dari konsumen, yaitu : 1) evaluasi awal untuk menentukan apakah perusahaan mampu mengerjakan suatu pesanan, 2) mendefinisikan bagaimana estimasi biaya akan dilakukan, 3) mempersiapkan estimasi biaya dan bagaimana pesanan akan dikerjakan, dan 4) menetapkan harga serta waktu penyelesaian pekerjaan (lead time) untuk ditawarkan kepada konsumen. keempat tahapan ini bisa dilihat pada Gambar 5.
Secara lengkap
21
Informasi lebih lanjut Mungkin diperlukan
Menerima pertanyaan dan permintaan keterangan dari konsumen (customer enquiry)
Variabel yang mempengaruhi proses
1. Evaluasi awal Apakah perusahaan akan menerima tawaran konsumen
Kemampuan dan strategi perusahaan
2. Mendefinisikan bagaimana mempersiapkan estimasi biaya
Berhubungan dengan produk
Mencek apakah dapat dimasukkan dalam rencana diproduksi
3. Mempersiapkan estimasi biaya
Menentukan harga dan waktu penyelesaian (lead time) untuk ditawarkan ke konsumen
Berkaitan dengan konsumen
Persaingan pasar / industri sejenis
negosiasi Merespon konsumen
Produksi dan pengiriman
Gambar 5 Proses Penerimaan Pesanan dari Konsumen (Kingsman et al, 1996).
Lebih lanjut Xiong at al (2006) mengemukakan suatu Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System/DSS) untuk merespon permintaan konsumen pada tahap penerimaan pesanan (customer enquiry stage) dalam ruang lingkup perusahaan berskala kecil dan menengah. Model yang diberi catatan oleh Framinan dan Leisten (2007) ini difokuskan pada proses evaluasi kemampuan perusahaan untuk memenuhi batas waktu pengiriman (delivery date/DD) yang diinginkan konsumen.
Jika suatu pesanan lolos dari evaluasi DD maka
selanjutnya dilakukan perhitungan waktu DD yang sebenarnya dengan menggunakan suatu model heuristik dan model optimasi. Evaluasi kemampuan memenuhi DD dilihat dari jumlah persediaan material yang masih masih ada
22
untuk memproduksi dan memenuhi pesanan dalam jangka waktu satu minggu (available to promise). Odouza dan Xiong (2009) memperbaiki model sebelumnya dengan menambahkan klasifikasi pesanan dalam perumusan model evaluasi DD. Pada model ini pesanan diklasifikasikan menjadi pesanan dengan DD yang fleksibel dan tidak fleksibel, sehingga kemungkinan untuk menolak pesanan lebih kecil. Di samping batasan DD yang dihitung menggunakan kriteria ATP, tiga kriteria lainnya yang dipertimbangkan dalam menerima atau menolak pesanan adalah kapasitas dan material yang tersedia, dan profit yang dihasilkan dari pesanan tersebut. Dua penelitian terakhir telah menggunakan kerangka pemikiran dan diagram alir yang sesuai untuk mengevaluasi pesanan pada perusahaan dengan karakteristik MTO, namun penggunaan variabel ATP sebagai dasar untuk mengevaluasi DD tidak selalu sesuai untuk semua karakteristik perusahaan. Model evaluasi ATP ini kurang sesuai untuk diterapkan pada industri kemasan karton yang beroperasi berdasarkan MC. Hal ini karena variasi bahan baku utama (lembaran karton) sangat banyak, kondisi harga kertas yang berfluktuasi dan sifat bahan yang mudah rusak menyebabkan sebagian besar industri kemasan karton tidak menyimpan stok bahan baku dalam jumlah besar. Penelitian ini juga belum mengusulkan suatu model untuk mengestimasi biaya pesanan yang diterima. Cakravastia dan Nakamura (2002) mengembangkan suatu model penentuan harga dan negosiasi mengenai batas waktu penyerahan antara produsen dengan beberapa pemasoknya dalam upaya untuk memenuhi suatu pesanan tunggal dari pelanggan dalam suatu ligkungan industri yang bersifat MTO. Model ini lebih menekankan kepada penentuan harga dan tanggal penyerahan antara perusahaan dengan pemasoknya, dan bukan model negosiasi waktu penyerahan dan harga antara perusahaan dengan pelanggan, walaupun model ini tetap memiliki tujuan akhir untuk dapat memenuhi batas waktu penyerahan yang telah ditetapkan pelanggan. Model yang menekankan pada evaluasi pesanan yang datang dari konsumen secara lebih lengkap dikemukakan oleh Ebadian et al. (2008). Tujuan pembuatan model ini adalah untuk mengatur pesanan yang datang agar sistem
23
MTO hanya memproses pesanan yang layak dan menguntungkan bagi sistem. Keputusan untuk menerima atau menolak pesanan ditentukan berdasarkan dua kriteria, yaitu batas waktu penyerahan produk dan kendala kapasitas. Sistem pemesanan ini terdiri dari beberapa tahapan. Pada dua tahap pertama, keputusan penerimaan atau penolakan pesanan didasarkan pada batas waktu pengiriman yang ditentukan pembeli. Batas waktu pengiriman ini bisa juga dinegosiasikan. Pada tahap ketiga, harga optimal untuk pesanan yang diterima ditentukan dengan menggunakan model mixed integer.
Pada tahap berikutnya, setelah pembeli
menyetujui harga yang ditawarkan, dilakukan pemilihan supplier dan subkontraktor yang sanggup menyediakan bahan baku atau menerima limpahan pesanan dengan menggunakan model mixed integer yang lain. 2.7 Sistem Penunjang Keputusan Cerdas Sistem Penunjang Keputusan Cerdas (Intelligent Decision Support System/IDSS) adalah suatu sistem penunjang keputusan (SPK) yang telah diintegrasikan dengan basis pengetahuan yang berasal dari pakar atau diintegrasikan dengan teknik-teknik kecerdasan buatan (artificial intelligent). Dengan adanya integrasi ini, maka suatu SPK menjadi meningkat kemampuannya atau menjadi lebih cerdas (Turban, Aronson dan Liang, 2005). Wren et al. (2006) menguraikan beberapa karakteristik dari sistem penunjang keputusan cerdas (Intelligent Decision Making Support System/iDMSS) sebagai berikut :
1) mencakup beberapa tipe pengetahuan yang
merupakan bagian terpilih dari disiplin si pembuat keputusan, 2) memiliki kemampuan untuk menangkap dan menyimpan pengetahuan deskriptif dan pengetahuan lainnya, 3) mampu memproduksi dan menampilkan pengetahuan tersebut dalam berbagai cara, 4) dapat memilih pengetahuan untuk ditampilkan atau menghasilkan pengetahuan baru, dan 5) dapat berinteraksi langsung secara cerdas dengan pengambil keputusan. i-DMSS merupakan pengembangan dari SPK tradisional dengan menggabungkan teknik-teknik untuk mengaplikasikan cara berpikir cerdas dan menggunakan kemampuan teknologi komputer modern untuk membantu proses pengambilan keputusan.
24
Input
Proses
Output
Umpan balik input
Mengorganisasikan Parameter masalah Data Base Data untuk pengambilan Keputusan Strukturkan keputusan untuk tiap masalah Knowledge Base Pengetahuan tentang masalah Simulasikan setiap kebijakan dan kejadian Model Base Model Keputusan Metode Pencarian Solusi Tentukan solusi masalah terbaik
Laporan status
Parameter dan keluaran (outcome) Solusi yang direkomendasikan
Penjelasan mengenai outcome
Teknologi komputer
Pengambil keputusan
Gambar 6
Umpan balik output
Arsitektur Sistem Penunjang Keputusan Cerdas (Forgionne et al, 2006).
Forgionne et al (2006) menggambarkan arsitektur dan komponen penyusun i-DMSS yang dapat dilihat pada pada Gambar 6. Komponen input dari i-DMSS dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu basis data (database), basis pengetahuan (knowledge base), dan basis model (model base).
2.7.1 Sistem Penunjang Keputusan Sistem Penunjang Keputusan (SPK) adalah salah satu bangunan utama dari sistem penunjang keputusan cerdas. Turban, Aronson dan Liang (2005) menyatakan bahwa SPK adalah suatu pendekatan (metodologi) untuk mendukung proses pengambilan keputusan. SPK menggunakan sistem informasi berbasis
25
komputer yang interaktif, fleksibel dan adaptatif untuk mencari solusi dari suatu masalah manajemen tertentu (spesifik) yang tidak terstruktur. Turban, Aronson dan Liang (2005) mendefinisikan SPK sebagai sistem berbasis komputer yang terdiri dari interaksi tiga komponen, yaitu: sistem bahasa (mekanisme untuk membantu komunikasi antara pengguna dan komponen lain dalam SPK), sistem pengetahuan (tempat penyimpanan pengetahuan yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan), dan sistem pemrosesan masalah (penghubung antara dua komponen terdahulu yang memiliki kemampuan untuk memanipulasi masalah untuk keperluan pengambilan keputusan). Suryadi dan Ramdhani (2002) menguraikan sepuluh karakteristik dasar SPK yang efektif, yaitu : 1) mendukung proses pengambilan keputusan dan menitikberatkan pada
management by perception, 2) adanya interface
manusia/mesin dimana manusia tetap mengontrol pengambilan keputusan, 3) mendukung
pengambilan
keputusan
untuk
membahas
masalah-masalah
terstruktur, semi terstruktur dan tidak terstruktur, 4) menggunakan model-model matematis dan statistik yang sesuai, 5) memiliki kapabilitas dialog untuk m emperoleh informasi sesuai dengan kebutuhan (model interaktif), 6) output ditujukan untuk personil organisasi dalam semua tingkatan, 7) memiliki subsistem-subsistem yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi sebagai kesatuan sistem, 8) membutuhkan struktur data komprehensif yang dapat melayani kebutuhan informasi seluruh tingkatan manajemen, 9) mudah untuk digunakan, dan 10) memiliki kemampuan untuk beradaptasi secara cepat. Pengembangan
suatu
Sistem
Pendukung
Keputusan
memerlukan
persyaratan awal, yaitu adanya pemahaman terhadap sistem yang akan dikembangkan.
Pemahaman terhadap sistem ini dapat dicapai melalui suatu
upaya yang sistematis untuk melakukan identifikasi dan analisa terhadap sistem melalui praktek berpikir sistem, yang disebut dengan pendekatan sistem (sistem approach). Pendekatan sistem diperlukan karena semakin lama makin dirasakan saling ketergantungan antara berbagai bagian dalam suatu organisasi atau komunitas dalam mencapai tujuan sistem. Masalah-masalah yang dihadapi saat ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan dari satu disiplin saja,
26
tetapi memerlukan perangkat yang lebih komprehensif, yang dapat memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan solusi suatu masalah secara menyeluruh (Marimin, 2004). Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem dilakukan melalui lima tahapan, yaitu: 1) analisa sistem, 2) rekayasa model, 3) rancang bangun implementasi, 4) implementasi rancangan, dan 5) operasi sistem (Eriyatno, 2003 dan Marimin, 2005). Selanjutnya Suryadi dan Ramdhani (2002) mengemukakan tiga tahapan dalam merancang bangun suatu sistem penunjang keputusan, yaitu : 1) identifikasi tujuan rancang bangun untuk menentukan arah dan sasaran yang hendak dicapai, 2) perancangan pendahuluan, guna merumuskan kerangka dan ruang lingkup SPK, dan 3) perancangan sistem, yang diawali dengan analisis sistem guna merumuskan spesifikasi SPK, dilanjutkan dengan perancangan konfigurasi SPK beserta tiga komponen (subsistem) pendukungnya. Lebih lanjut Suryadi dan Ramdhani (2002) menyatakan bahwa tiga subsistem (komponen) utama pendukung dan yang menentukan kapabilitas teknik SPK, yaitu: subsistem manajemen basis data, subsistem manajemen basis model dan subsistem perangkat lunak penyelenggara dialog.
2.7.2 Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligent) Kecerdasan buatan (AI) merupakan salah satu bagian ilmu komputer yang membuat agar mesin (komputer) dapat melakukan pekerjaan seperti dan sebaik yang dilakukan oleh manusia (Kusumadewi, 2003; Turban et al. 2005). Kecerdasan buatan adalah cabang dari ilmu komputer yang dihubungkan dengan metode pengambilan keputusan yang bersifat simbolik dan non algoritmik. Walaupun pemrosesan simbolik adalah inti dari bidang kecerdasan buatan, tidaklah berarti bahwa kecerdasan buatan tidak menggunakan ilmu matematik, tapi penekanan kecerdasan buatan adalah pada manipulasi simbolsimbol. Metoda non algoritmik yang digunakan pada AI lebih banyak bersifat heuristik. Pendekatan heuristik terdiri dari pengetahuan intuitif atau aturan-aturan yang dipelajari atau diperoleh dari pengalaman. Peran pendekatan heuristik ini
27
dalam HI berkaitan dengan defisinisi AI, yakni cabang dari ilmu komputer yang berkaitan dengan cara mempresentasikan pengetahuan menggunakan simbolsimbol yang digambarkan dalam bentuk aturan atau metode heuristik untuk memproses informasi (Encyclopedia America) Area (lingkup) utama dalam kecerdasan buatan di antaranya adalah (Kusumadewi, 2003; Turban et al, 2005) : 1) sistem pakar (expert sytem), 2) Pengolahan Bahasa Alami (Natural Language Processing), 3) Pengenalan Ucapan (Speech Recognition), 4) Robotika dan Sistem Sensor, 5) Computer Vision, 6) Game Playing, 7) penerjemahan bahasa (Language Translation), 8)
jaringan
syaraf (neural computing network), 9) Logika Fuzzy, 10) Algoritma Genetika, dan 11) Agen Cerdas (Intelligent Agents). AI memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan kecerdasan manusia: 1) AI bersifat lebih permanen (komputer tidak akan melupakan pengetahuan yang telah diperolehnya), 2) AI menawarkan kemudahan duplikasi dan diseminasi, 3) AI lebih murah daripada kecerdasan manusia, 4) AI sebagai salah satu teknologi komputer bersifat konsisten dibandingkan kecerdasan manusia, 5) AI dapat didokumentasikan, 6) AI dapat melaksanakan tugas-tugas tertentu lebih cepat dari manusia, dan 7) AI dapat melaksanakan tugas-tugas tertentu lebih cepat dari manusia. Namun demikian AI juga memiliki kekurangan yakni tidak kreatif seperti manusia yang dapat memikirkan dan menciptakan ilmu pengetahuan yang baru. Untuk dapat melakukan aplikasi kecerdasan buatan ada dua bagian utama yang sangat dibutuhkan, yaitu: 1. Basis Pengetahuan (Knowledge Base), berisi fakta-fakta, teori, pemikiran dan hubungan antara satu dengan lainnya. 2. Motor Inferensi (Inference Engine), yaitu kemampuan menarik kesimpulan berdasarkan pengalaman.
2.7.3 Sistem Pakar (Expert System) Sistem
pakar
adalah
sistem
informasi
berbasis
komputer
yang
menggunakan pengetahuan dari para pakar untuk memperoleh keputusan tingkat tinggi di dalam lingkup masalah yang sempit. Pakar adalah orang yang memiliki
28
pengetahuan, pertimbangan dan pengalaman serta metode-metode kusus dan kemampuan untuk mengaplikasikan kemampuannya ini dalam memberikan nasehat dan memecahkan suatu persoalan. Sistem pakar mencakup beberapa fitur yaitu kepakaran (expertise), alasan-alasan simbolik ( symbolic reasoning), pengetahuan mendalam (deep knowledge) dan pengetahuan sendiri (self knowledge) (Turban et al, 2005) Terdapat beberapa alasan mengapa sistem pakar diperlukan yaitu: 1) seorang pakar di suatu perusahaan atau organisasi akan pensiun atau meninggalkan perusahaan sehingga diperlukan suatu alat untuk menyimpan pengetahuan dari pakar tersebut untuk kelangsungan suatu organisasi, 2) pengetahuan tertentu perlu didokumentasikan dan diperbaiki di mana sistem pakar adalah sesuatu alat yang sangat baik untuk mendokumentasikan pengetahuan profesional supaya bisa diuji dan diperbaiki kembali, 3) pendidikan dan latihan adalah sesuatu yang penting tetapi sulit dilakukan, dimana sistem pakar merupakan perangkat yang bagus untuk membantu proses latihan/training dan mendistribusikan pengetahuan baru kepada pekerja baru di dalam suatu organisasi. 4) pakar seringkali langka dan mahal. Sistem pakar memungkinkan pengetahuan ditransfer dengan lebih mudah dan biaya yang lebih rendah. Beberapa keterbatasan sistem pakar adalah: 1) pengetahuan tidak selalu tersedia, 2) kadang-kadang sulit untuk menyerap pengetahuan dari manusia, 3) pendekatan yang digunakan oleh beberapa pakar kadang-kadang berbeda-beda untuk situasi yang sama, 4) kadang-kadang sulit bahkan untuk pakar yang sangat ahli untuk menyarikan pengetahuan yang berkaitan dengan situasi tertentu, 5) sistem pakar bekerja dengan baik hanya untuk area pengetahuan terbatas, yang 6) sebagian besar pakar tidak memiliki cara yang bebas untuk menguji apakah kesimpulan mereka masuk akal, 7) kosakata atau jargon yang digunakan para pakar untuk mengekspresikan pengetahuan seringkali terbatas dan tidak dimengerti oleh orang lain, 8) untuk memindahkan pengetahuan dari para pakar dibutuhkan knowledge engineer yang langka dan mahal sehingga membuat biaya konstruksi sistem pakar menjadi sangat mahal, dan 9) tidak adanya kepercayaan pengguna akhir (end users) untuk menggunakan sistem pakar tersebut (Turban et al, 2005).
29
Marimin (2005) menguraikan tahapan-tahapan dalam pembentukan sistem pakar adalah sebagai berikut : 1) identifikasi masalah, 2) mencari sumber pengetahuan, 3) akuisisi pengetahuan, 4) representasi pengetahuan, 5) pengembangan mesin inferensi, 6) implementasi, dan 7) pengujian. Sistem
pakar
terdiri
dari
beberapa
komponen-komponen
yang
menyusunnya, yaitu : 1) Fasilitas akuisisi (penembahan) pengetahuan, 2) basis pengetahuan (knowledge based system), 3) mesin inferensi (inference engine), 4) faisilitas untuk penjelasan dan justifikasi, dan 5) penghubung antara pengguna dan sistem pakar (user interface). Sumber pengetahuan yang berasal dari para pakar perlu memenuhi beberapa kriteria tertentu tentang yang dimaksud dengan ahli (pakar). Menurut Marimin (2005), ahli bisa berupa praktisi atau ilmuwan. Praktisi adalah orang yang bekerja dan berpengalaman dalam bidang tertentu, sedangkan ilmuwan adalah orang yang mempelajari dan mendalamai suatu pengetahuan lewat jalur formal (akademis). Beberapa alat untuk representasi pengetahuan yang diperoleh dari para pakar atau sumber lainnya seperti literatur atau bacaan adalah : 1) Ekspresi logika, 2) jaringan semantik, 3) kaidah produksi, 4) frame, 5) obyek-atribut nilai, 6) script, 7) jaringan neural, 8) representasi fuzzy, 9) tabel keputusan, dan 10) pohon keputusan (Marimin, 2005 ; Turban et al, 2005). Pohon keputusan (decision tree) merupakan salah satu alat representasi pengetahuan yang sering digunakan pada sistem pakar.
Solusi pada pohon
keputusan dihasilkan dari serangkaian solusi yang mungkin melalui serangkaian keputusan atau pertanyaan yang akan memangkas (mengurangi) area pencarian solusi. Masalah yang sesuai menggunakan pohon keputusan adalah masalah yang telah menyediakan jawaban untuk masalah tersebut dari satu set atau beberapa alternatif jawaban yang mungkin (Giarratano dan Riley, 2005). Pohon keputusan terdiri dari sejumlah simpul (nodes) dan cabang (branch) yang menghubungkan simpul orang tua (parents) ke simpul anak (child) dari bagian atas sampai bagian bawah dari pohon keputusan. Simpul paling atas disebut juga sebagai akar (roots). Akar tidak memiliki parents, sedangkan setiap simpul yang di bawahnya hanya memiliki satu parent. Simpul paling bawah yang
30
tidak memiliki anak disebut sebagai simpul daun (leaf).
Simpul daun
merepresentasikan semua solusi (keputusan) yang diturunkan melalui pohon keputusan. Secara umum pohon keputusan menggunakan beberapa kriteria untuk memilih mana cabang yang akan dilalui sehingga nantinya hanya terpilih satu cabang yang menghasilkan keputusan (Giarratano dan Riley, 2005). Teknik penalaran untuk membangun suatu pohon keputusan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu : 1) Penalaran maju (forward chaining) dan 2) penalaran mundur (backward reasoning) (Kusumadewi, 2003 ; Marimin, 2005). Pohon keputusan kemudian dapat dikonversi menjadi serangkaian aturan (rules) yang direpresentasikan oleh jalur (path) yang berbeda-beda pada pohon keputusan. Aturan yang dihasilkan dari pohon keputusan selanjutnya digunakan sebagai basis pengetahuan yang diperlukan pada sistem pakar. Attar (2005) menyebutkan bahwa representasi pengetahuan menggunakan pohon keputusan memiliki beberapa kelebihan sebagai berkut : 1) bersifat kompak dengan tampilan grafis yang mudah dipahami dan diimplementasikan, 2) proses penalaran (inference) melalui pohon keputusan lebih cepat daripada inferensi langung dari aturan-aturan karena tidak membutuhkan proses pencarian yang rumit,
dan 3) strategi penalaran yang kompleks jauh lebih mudah untuk
diimplementasikan dengan menggunakan pohon keputusan dibandingkan menggunakan teknik lainnya.
2.8 Model Penjadwalan Flowshop Penjadwalan adalah suatu rencana pengaturan urutan
kerja serta
pengalokasian sumber, baik berupa waktu maupun fasilitas yang ada untuk menyelesaikan sekumpulan tugas dalam jangka waktu tertentu. Penjadwalan bisa dikatakan sebagai suatu fungsi pengambilan keputusan, yaitu suatu proses untuk menentukan jadwal yang mengalokasikan aktifitas pada sumber daya (Baker 1974). Selanjuttnya Fogarty et al (1991) menyatakan penjadwalan adalah suatu penentuan saat memulai suatu tugas atau order dan saat penyelesaian tugas-tugas atau order tersebut, termasuk kapan saat tugas tersebut masuk dan keluar dari setiap setasiun kerja atau departemen.
31
Definisi yang lain menyatakan bahwa penjadwalan pesanan (job) berkaitan dengan bagaimana mengalokasikan job pada mesin-mesin yang tersedia dalam urutan tertentu sehingga tujuan penjadwalan dapat tercapai dan kendala-kendala yang ada dapat diatasi dengan memuaskan (Kusiak, 1990; Pinedo dan Chao, 1999; Yandra dan Tamura, 2007). Menurut Bedworth (1987) beberapa tujuan dari aktifitas penjadwalan adalah: 1) memanfaatkan kemampuan dari sumber yang ada semaksimal mungkin dengan mengurangi waktu menganggur dari sumber sehingga dapat meningkatkan produktivitas mesin, 2) mengurangi persediaan barang setengah jadi dalam proses, 3) mengurangi keterlambatan setiap pekerjaan, dan 4) membantu pengambilan keputusan mengenai perencanaan kapasitas fabrik dan jenis kapasitas yang dibutuhkan. Berdasarkan pola aliran proses yang terdapat pada suatu lantai produksi, masalah penjadwalan pesanan (job) dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: flow shop dan job shop. Pada proses flow shop, semua komponen atau unit produk yang akan diproses mengalir pada arah yang sama dari satu mesin ke mesin lainnya, sedangkan pada proses job shop, komponen-komponen atau unit produk yang akan diproses bisa mengalir pada arah yang berbeda-beda dari satu mesin ke mesin lainnya, dan juga bisa terjadi satu mesin dilewati lebih dari satu kali oleh komponen yang sama (Kusiak, 1990).
P1 P2
M1
M2
M3
M4
P3
Gambar 7 Pola Aliran Proses Flow Shop (Kusiak, 1990).
Pada tipe flow shop yang sederhana (pure / simpe flow shop), semua komponen (job) diproses pada semua mesin dengan urutan yang persis sama untuk setiap job. Pola aliran flow shop mempunyai beberapa variasi yaitu:
32
1.
Flexible flow-shop Kondisi flexible flow shop disebut juga Skip flow shop (Morton dan Pentico, 1993) atau General flow shop. Pada flexible flow shop, tugas (job) yang datang tidak harus diproses pada semua mesin, tetapi dapat melompati beberapa mesin (Gambar 7)
2.
Hybrid flow shop Pada hybrid flow shop (compound flow shop), terjadi kombinasi antara proses produksi flow shop dengan proses produksi dengan mesin paralel (multiple processor). Setiap tahapan proses yang pada tipe pure flow-shop atau general flow-shop terdiri dari satu mesin, sekarang terdiri dari beberapa mesin.
Stage 1
Stage 3 Stage 2
Gambar 8 Hybrid Flow shop (Adaptasi dari Morton & Pentico, 1990).
Pola aliran hybrid flow-shop memiliki beberapa variasi yang antara lain ditentukan oleh (Jin et al, 2002; Kurz & Askin, 2003; Ruiz dan Maroto, 2006). 1.
Jumlah tahapan (stage) Penelitian tentang penjadwalan flowshop dengan beberapa tahapan (multiple stage) sudah banyak dilakukan. Semakin banyak tahapan yang terdapat pada suatu kasus penjadwalan, semakin kompleks model penjadwalan yang dihasilkan.
2.
Karakteristik mesin pada satu stage Mesin-mesin paralel yang terdapat pada suatu stage bisa bersifat identik atau tidak. Pada stage dengan mesin-mesin yang bersifat identik, suatu job bisa diproses pada mesin mana saja yang terdapat pada stage tersebut, namun pada
33
stage dengan mesin tidak identik, suatu job mungkin hanya bisa dikerjakan pada mesin tertentu yang terdapat pada stage tersebut 3.
Fleksibilitas aliran Pada penjadwalan hybrid flowshop dengan aliran yang fleksibel (flexible flow lines), setiap job tidak harus melalui setiap tahapan proses. Beberapa karakteristik proses dan kendala yang dihadapi pada lantai
produksi juga dapat meningkatkan kompleksitas model penjadwalan flow-shop, seperti yang diuraikan oleh Pinedo dan Chao, 1999: 1.
Pengurutan pekerjaan yang dipengaruhi oleh waktu setup (sequence dependent setup times). Kondisi yang terjadi jika antara dua pekerjaan yang berurutan pada suatu mesin dibutuhkan waktu setup, dimana lamanya waktu setup ini tergantung kepada urutan job yang diproses pada mesin tersebut (Kurs dan Askin, 2003).
2.
Interupsi Pekerjaan (Preemptions) Model penjadwalan yang mempertimbangkan adanya interupsi (masuknya job baru) pada jadwal yang sedang dilaksanakan. Hal ini terjadi jika terdapat job dengan prioritas yang tinggi dan harus diproses segera.
3.
Adanya peruntukan mesin untuk suatu job (machine eligibility) Kondisi dimana suatu job tidak dapat diproses pada mesin mana saja yang tersedia pada suatu stage, melainkan hanya bisa diproses pada mesin tertentu. Situasi ini terjadi jika mesin-mesin paralel yang terdapat pada satu stage tidak sama (identik), misal terdapat perbedaan kecepatan atau spesifikasi lain. Tantangan dalam penjadwalan flowshop adalah bagaimana menentukan
urutan pemrosesan job yang optimum sehingga ukuran performansi penjadwalan seperti makespan, total flowtime atau ukuran performansi lainnya dapat diminimasi (Yandra dan Tamura (2007). Pinedo dan Chao (1999) menjelaskan bahwa beberapa tujuan yang menjadi ukuran dari performansi penjadwalan adalah: 1.
Keluaran (Throughput) dan Makespan Meningkatkan atau memaksimasi keluaran (tingkat output) merupakan salah satu tujuan yang penting bagi banyak perusahaan. Upaya untuk meminimasi makespan berkaitan erat dengan tujuan untuk meningkatkan output.
34
Algoritma heuristik yang bertujuan untuk meminimasi makespan pada lingkungan mesin dengan jumlah job terbatas akan cenderung untuk memaksimasi tingkat output. Makespan (Cmax) adalah waktu ketika job terakhir meninggalkan sistem (selesai diproses), di mana: Cmax = max (C1, ..., Cn) untuk Cj = 1, ........, n ......................
(1)
Cj = waktu job j selesai diproses (completion time dari job j) 2.
Batas waktu yang ditetapkan (Due Date) Upaya untuk menepati batas waktu yang ditetapkan (due date) pada suatu model penjadwalan merupakan salah satu tujuan penting yang biasanya dilihat dari keterlambatan (lateness) dari suatu job. Keterlambatan biasanya diukur dari keterlambatan maksimum (maximum lateness), jumlah pesanan (job) yang terlambat (number of tardy jobs) , rata-rata keterlambatan, dan total keterlambatan yang berbobot (total weighted tardiness). Keterlambatan dari suatu job j (Lj) didefinisikan sebagai: Lj = Cj – dj ..........................................................................
(2)
Dimana : dj= due date dari job j. Salah satu tujuan penjadwalan adalah meminimasi keterlambatan maksimum (Lmax) yang didefinisikan: Lmax = max (L1, ... Ln) .............................................................. (3) Keterlambatan (tardiness) dari suatu job j didefinisikan sebagai Tj = max (Cj – dj, 0) ................................................................. . (4) Fungsi tujuan adalah untuk meminimasi total tardiness sebagai berikut : ...........................................................................................
(5)
Jika job-job yang dijadwal memiliki prioritas yang berbeda-beda, maka digunakan fungsi tujuan meminimasi total weighted tardiness sebagai berikut: ......................................................................................
(6)
Dimana wj = bobot dari job j 3.
Biaya Setup Upaya untuk memaksimasi throughput atau meminimasi makespan seringkali sejalan dengan upaya untuk meminimasi waktu setup. Namun pada beberapa
35
kondisi, biaya setup tidak tergantung kepada waktu setup. Misalnya terdapat beberapa mesin yang proses setupnya bisa menghasilkan banyak buangan (waste) sehingga meningkatkan biaya setup.
Pada situasi ini upaya
meminimasi biaya setup merupakan suatu tujuan yang berbeda dengan upaya untuk meminimasi waktu setup 4.
Persediaan Barang Setengah Jadi (Work-in-Process Inventory) Ukuran performansi yang dapat mewakili Work-in Process (WIP) adalah ratarata waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu output (throughput time). Waktu output (throghput time) adalah waktu yang diperlukan suatu job berada di dalam sistem.
Upaya untuk meminimasi waktu output akan
meminimasi tingkat WIP.
Minimasi waktu output berkaitan erat dengan
minimasi jumlah waktu peyelesaian setiap job (completion time), sehingga fungsi tujuannya menjadi : .....................................................................
(7)
Jika setiap job memiliki prioritas yang berbeda, maka tujuan untuk meminimasi WIP diukur melalui minimasi jumlah weighted completion time sebagai berikut : .....................................................................
(8)
2.9 Algoritma Genetika untuk Penjadwalan Flowshop Algoritma Genetika (Genetic Algorithm/GA) merupakan metode pencarian global stokastik yang meniru fenomena proses evolusi biologi yang berlangsung secara alamiah dan teori-teori genetika (Michalewicz, 1996). Algoritma pencarian dengan menggunakan GA berbasiskan mekanisme seleksi alamiah terhadap populasi yang ada dan berusaha untuk melakukan perbaikan terhadap populasi tersebut menggunakan prinsip bertahan untuk anggota populasi yang terbaik (Goldberg, 1989). GA telah cukup sukses digunakan untuk memecahkan masalah optimasi dalam bidang pencarian rute, penjadwalan (scheduling), adaptive control, model kognitif, masalah transportasi, traveling salesman problem, masalah optimal control dan optimasi pencarian database.
36
Selanjutnya Goldberg (1989) menjelaskan bahwa GA berbeda dengan teknik optimasi atau teknik pencarian lain dalam hal: 1) algoritma genetik bekerja dengan serangkaian solusi yang telah diberi kode, bukan pada solusi itu sendiri, 2) algoritma genetik melakukan pencarian solusi pada sekumpulan kromosom (pada suatu populasi) sehingga didapatkan banyak solusi, bukan hanya pada satu solusi, 3) algoritma genetik menggunakan informasi mengenai hasil (fungsi fitness) dan bukan menggunakan suatu fungsi turunan atau fungsi bantuan lainnya, dan 4) algoritma genetik menggunakan aturan transisi/pertukaran yang probabilistik, bukan deterministik. Menurut Michalewicz (1996) dan Kusumadewi (2003) pemecahan masalah dengan menggunakan GA harus memiliki 6 ( enam) komponen, yaitu: 1) Representasi genetik untuk solusi potensial pada masalah yang akan dipecahkan. Representasi genetik ini digambarkan dalam bentuk populasi dimana pencarian akan dilakukan, dan individu-individu dalam populasi tersebut yang disebut sebagai kromosom. Representasi kromosom dalam GA umumnya menggunakan single –level binary string (digit yang terdiri dari angka 0 dan 1). 2) Cara untuk menghasilkan populasi awal (initial population) dari solusi potensial. 3) Fungsi evaluasi yang berperan dalam melakukan peringkat terhadap solusi yang dihasilkan. Fungsi evaluasi ini terdiri dari fungsi tujuan (objective function) dan fungsi kesesuaian (fitness function). 4) Fungsi seleksi yang bertujuan untuk memilih anggota populasi yang akan menjadi orang tua (parents) dari proses operasi genetika. 5) Operator genetik yang melakukan operasi genetika. Pencarian solusi dilakukan dengan memanipulasi kromosom orang tua (parents) dengan menggunakan operator pindah silang (crossover) dan mutasi. 6) Nilai beberapa parameter yang digunakan oleh GA (seperti ukuran populasi, probabilitas penerapan operator genetik, dan lain-lain) Selanjutnya Rajkumar dan Shahabudeen (2009) menjelaskan bahwa secara umum algoritma genetika terdiri dari beberapa langkah, yaitu:
37
Langkah 1 : Menetapkan atau membangkitkan populasi awal yang terdiri dari sejumlah kromosom. Langkah 2 : Mengevaluasi nilai fitness setiap kromosom Langkah 3 : Menghasilkan populasi baru dan kromosom baru dengan menjalankan operator genetika seperti crossover dan mutasi terhadap kromosom yang ada sekarang. Langkah 4 : Mengevaluasi nilai fitness kromosom-kromosom yang terdapat pada populasi yang baru dan terus memperbaiki nilai fitness populasi tersebut melalui operator genetika. Langkah 5 : Jika kondisi penghentian tercapai (hasil sudah memuaskan), berhenti dan tetapkan kromosom terbaik, jika tidak, kembali ke langkah 3.
Representasi Kromosom Proses untuk menggambarkan/merepresentasikan gen-gen yang terdapat pada suatu kromosom disebut juga dengan representasi kromosom/pengkodean (encoding). Tiga skema yang paling umum digunakan dalam representasi kromosom, yaitu (Sivanandam dan Deepa, 2008; Suyanto, 2005) : String bit (Binary encoding) Setiap sel atau gen hanya bernilai 0 atau 1. Contoh : 10011, 01101 Permutasi (real number encoding) Setiap gen merupakan bilangan string atau bilangan real/integer yang merepresentasikan nomor dari suatu urutan. Contoh : 1 5 3 2 6 4 7 9 8 Discrete decimal encoding Setiap gen bisa bernilai salah satu bilangan bulat dalam interval [0,9]
Seleksi Kromosom Seleksi kromosom adalah metode untuk memilih kromosom-kromosom yang akan dipindah-silangkan dari populasi yang ada sekarang. Proses seleksi kromosom secara acak memilih kromosom berdasarkan nilai fitness dari fungsi evaluasinya. Semakin besar nilai fitness suatu kromosom semakin besar
38
kesempatan kromosom tersebut untuk dipilih (Sivanandam dan Deepa, 2008; Rajkumar dan Shahabudeen, 2009). Ada beberapa operator yang dapat digunakan untuk memilih kromosom. Dua di antaranya adalah metode roda rolet (roulette wheel selection) dan metode seleksi turnamen (tournament selection). Pada metode roda rolet kromosom orang tua (parents) yang akan dipindah-silangkan dipilih berdasarkan nilai fitnessnya. Nilai fitness dari masing-masing kromosom dibagi dengan total nilai fitness seluruh kromosom yang ada pada populasi. Setiap kromosom dianggap merupakan potongan/bagian dari roda rolet dengan ukuran potongan yang proporsional dengan nilai fitnessnya. Suatu nilai target antara angka nol
dan
angka satu ditetapkan secara acak. Kemudian roda rolet diputar sebanyak N kali, dimana N adalah jumlah individual atau kromosom dan populasi. Dari setiap putaran, kromosom dengan nilai fitness yang berada di bawah nilai target dipilih untuk menjadi parents bagi generasi berikutnya. Berbeda dengan seleksi roda rolet, seleksi turnamen memilih kromosom dengan cara mengadakan kompetisi/turnamen di antara individu-individu yang menjadi anggota populasi.
Individu terbaik dari hasil turnamen adalah yang
memiliki nilai fitness terbesar, yang disebut sebagai pemenang (winner). Pemenang diletakkan pada kolam kompetisi (mating pool). Turnamen diulang hingga mating pool untuk menghasilkan generasi baru penuh. Mating pool akan berisi pemenang-pemenang turnamen dengan nilai fitness tertinggi (Sivanandam dan Deepa, 2008).
Pindah Silang (Cross Over) Terdapat beberapa operator pindah silang yang digunakan pada masalah penjadwalan hybrid flowshop.
Di antaranya adalah Two Point Crossover,
Partially Mapped Crossover (PMX), dan Similar Job Order Crossover (SJOX). Operator pindah silang yang digunakan pada penelitian ini adalah Partially Mapped Crossover (PMX) dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1.
Tentukan dua titik secara random untuk membagi parents. Area yang terletak antara dua titik pada kromosom orang tua (parents) disebut area pemetaan (mapping)
39
Gambar 9 Pindah Silang dengan Metode PMX
2.
Pertukarkan area mapping dari dua parent untuk diturunkan kepada anak (child). Area mapping dari parent pertama dicopy untuk diturunkan pada child ke 2, sedangkan area mapping dari parent ke 2 dicopy untuk diturunkan pada child pertama.
3.
Definisikan pemetaan pada area mapping antara dua parent. Pada contoh kasus ini pemetaan gennya adalah sebagai berikut :
4.
Isi offspring dengan gen yang dicopy secara langsung dari parent secara berurutan dari kiri ke kanan. Jika gen tersebut sudah terdapat pada area mapping yang dicopykan sebelumnya, lakukan pengisian gen dengan melakukan pemetaan.
Mutasi Mutasi merupakan suatu cara untuk menghasilkan kromosom anak (offspring) bukan dengan cara pindah silang, melainkan dengan cara memodifikasi fitur/gen-gen orang tua (parents).
Mutasi mencegah upaya
pencarian dengan algoritma genetika menghasilkan nilai lokal optimum. Mutasi juga berperan dalam mengembalikan gen-gen bagus yang hilang akibat proses genetik, namun sebaliknya juga bisa merusak informasi genetik yang sudah ada (Sivanandam dan Deepa, 2008; Rajkumar dan Shahabudeen, 2009). Selanjutnya Rajkumar dan Shahabudeen (2009) menjelaskan tiga di antara beberapa operator mutasi yang sering digunakan, sebagai berikut :
40
1.
Pertukaran tiga gen (job) secara acak Tiga gen dipilih secara acak, dan dipertukarkan lokasinya di antara ketiga gen secara acak.
2.
Pertukaran dua gen (job) secara acak Dua gen dipilih secara acak, kemudian lokasinya dipertukarkan
3. Pertukaran Shift (Shift Mutation) Suatu gen yang berada pada posisi yang dipilih secara acak diambil dan kemudian dimasukkan (di insert) pada posisi lain secara acak juga.
Gen dan Cheng (1997) menyatakan terdapat tiga kelebihan utama algoritma genetika ketika menerapkan algoritma genetika untuk mencari optimasi suatu masalah yaitu: 1) algoritma genetika tidak menggunakan banyak persamaan matematik untuk mengoptimalkan solusi suatu masalah, 2) ergodicity dari operator genetika membuat algoritma genetika sangat efektif untuk melakukan pencarian global sehingga solusi yang dihasilkan bukan solusi yang bersifat lokal, dan 3)
algoritma genetika memberikan fleksibilitas yang lebih besar untuk
41
digabungkan dengan metode heuristik lain guna menghasilkan tahapan implementasi yang lebih efisien untuk suatu masalah tertentu. Penelitian
penjadwalan
untuk
lantai
produksi
flowshop
dengan
menggunakan algoritma genetika telah banyak dilakukan. Namun tidak banyak yang khusus meneliti mengenai penjadwalan pada lantai produksi dengan tipe hybrid flowshop atau flexible flowshop dengan menggunakan algoritma genetika. Jin et al (2002) meneliti kasus penjadwalan hybrid flowshop yang terdiri dari tiga stages dimana setiap stages terdiri dari mesin-mesin yang bersifat paralel. Penelitian ini menggunakan kriteria makespan, dan membuat banyak eksperimen yang merubah-rubah jumlah mesin pada setiap stages dengan tujuan memperoleh penjadwalan dapat meminimasi bottleneck disamping meminimasi makespan. Penjadwalan yang diselesaikan dengan algoritma genetika ini membuktikan bahwa algoritma genetika dapat menyelesaian kasus yang cukup kompleks seperti pada penelitian ini. Lantai produksi yang diteliti berbentuk hybrid flowshop, namun tidak ada fleksibilitas dalam melalui urutan produksi. Penelitian penjadwalan hybrid flowshop lainnya dilakukan oleh Ruiz dan Maroto (2006) yang menyatakan bahwa kasus penjadwalan flowshop yang terdiri dari dua stages sudah merupakan kasus yang sulit untuk diselesaikan secara manual. Penelitian Ruiz dan Maroto difokuskan pada penjadwalan pekerjaan pada lantai produksi hybrid flowshop dengan multiple processor dan waktu set up yang tergantung pada urutan job (sequence dependents set up time/SDST). Penelitian yang dilakukan pada pabrik keramik ini diselesaikan menggunakan algoritma genetika dengan kriteria meminimasi makespan. Kompleksitas kasus ini semakin bertambah dengan
karakteristik mesin-mesin yang tidak paralel pada setiap
stages, dan adanya kendala peruntukan mesin untuk
setiap job (machine
eligibility constraint). Penelitian ini menunjukkan bahwa algoritma genetika dapat memecahkan masalah penjadwalan yang kompleks ini dengan baik. Di sisi lain kekurangan dari riset ini adalah adanya keharusan setiap job untuk melewati setiap stages, sehingga penjadwalan ini bukan termasuk kasus fleksible flowshop.
42
2.10 Sistem Perhitungan Biaya dan Harga Pesanan Harga produk merupakan salah satu informasi penting yang diperlukan oleh produsen maupun konsumen dalam proses penawaran dan pemasaran suatu produk. Tanpa adanya sistem kalkulasi harga yang tepat, baik pihak produsen ataupun konsumen bisa menderita kerugian dalam membuat suatu penjanjian jual beli produk. Sebelum menetapkan harga jual suatu produk, perlu dihitung terlebih dahulu biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi atau mengadakan produk tersebut. Dalam menghitung biaya suatu produk, perlu diketahui komponen-komponen atau kelompok biaya apa saja yang perlu diperhitungkan. Tunggal (2011) menyatakan bahwa klasifikasi biaya yang paling umum digunakan didasarkan atas hubungan biaya terhadap : 1) produk (satu lot, batch, atau unit barang atau jasa), 2) volume produksi, 3) departemen, proses, pusat biaya, atau sub-divisi manufaktur lain, 4) periode akuntansi, dan 5) keputusan, tindakan atau evaluasi yang diusulkan. Menurut Horngren, Datar dan Foster (2006), klasifikasi biaya yang biasa digunakan dalam menggambarkan biaya manufaktur adalah: 1.
Biaya bahan langsung (direct material cost) Biaya perolehan semua bahan yang pada akhirnya akan menjadi bagian dari objek biaya. Biaya perolehan bahan langsung mencakup beban angkut, pajak penjualan serta bea masuk.
2.
Biaya tenaga kerja manufaktur langsung (direct manufacturing labor cost) Mencakup kompensasi atas seluruh tenaga kerja manufaktur yang dapat ditelusuri ke objek biaya dengan cara yang ekonomis.
3.
Biaya manufaktur tidak langsung (indirect manufacturing cost) Seluruh biaya manufaktur yang terkait dengan objek biaya, namun tidak dapat ditelusuri ke objek biaya dengan cara yang ekonomis. Biaya ini juga disebut sebagai biaya overhead manufaktur (manufacturing overhead cost) atau biaya overhead pabrik (factory overhead cost). Selanjutnya Tunggal (2011) menyatakan bahwa dalam usaha manufaktur,
total biaya operasi terdiri atas biaya manufaktur dan biaya komersial dengan rumusan perhitungan biaya sebagai berikut:
43
.................... (9)
......................... (10) ...... (11) ............... (12)
Terdapat beberapa cara atau pendekatan untuk menghitung/mengkalkulasi biaya (costing systems) di dalam disiplin akuntansi biaya.
Tunggal (2011)
mengklasifikasikan pendekatan untuk perhitungan biaya berdasarkan dua sudut pandang, yaitu pengklasifikasian biaya dilihat dari sudut pandang proses produksi, dan dari sudut pandang penyerapan (absorbtion) biaya. Dari sudut pandang atau penekanan terhadap proses produksi, sistem kalkulasi biaya dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu : Job-order Costing dan Process Costing.
Dari
sudut pandang atau penekanan terhadap penyerapan biaya, sistem kalkulasi biaya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : absorbtion (full) costing, variable (direct) costing, dan activity-based costing (ABC). Dari berbagai sistem atau metode kalkulasi biaya di atas, perhitungan biaya berdasarkan aktivitas
(ABC) merupakan pendekatan yang relatif baru.
Menurut Mulyadi (1993), sistem ABC dirancang atas dasar landasan pikiran bahwa produk memerlukan aktivitas dan aktivitas mengkonsumsi sumber daya. Dengan perdekatan ABC biaya perlu dirinci lebih lanjut menurut perilaku biaya dalam hubungannya dengan berbagai tipe aktivitas.
Lebih lanjut Mulyadi
menguraikan bahwa biaya pada sistem ABC diklasifikasikan menjadi 4 macam, yaitu : biaya pada level unit (unit-level activity cost), biaya yang berkaitan dengan batch (batch-level activity cost), biaya yang berkaitan dengan produk (product sustaining activity cost) dan biaya yang berkaitan dengan fasilitas (facility sustaining activity cost). Tunggal (2011) menguraikan tahapan-tahapan yang dilakukan untuk melakukan estimasi biaya berdasarkan sistem ABC sebagai berikut : 1. Mendefinisikan proses, yaitu menelusuri flow dari input dan output melalui setiap langkah proses untuk setiap produk.
44
2. Menganalisis aktivitas dalam proses, dengan mengidentifikasi aktivitas dimana produk mengalir dan memisahkan aktivitas dari departemen asal mereka. 3. Membuat cost pools, yaitu dengan menyamakan cost pools dengan aktivitas sehingga setiap aktivitas mempunyai cost pool
yang dapat diidentifikasi
sendiri untuk pengalokasian. 4. Mengidentifikasi pemicu biaya (cost drivers) Menganalisis setiap aktivitas yang merupakan penyebab utama dari variabilitas. Pemicu biaya adalah faktor apapun yang menyebabkan timbulnya biaya dalam aktivitas yang dipilih. Beberapa pemicu biaya mudah ditelusuri, seperti jam kerja mesin yang dapat dipergunakan untuk menelusuri bahan baku langsung dari aktivitas mesin sampai produk. Sistem ABC tidak mengembangkan penelusuran bahan baku langsung dan tenaga kerja langsung pada produk, tapi mengembangkan ketepatan pengalokasian biaya tidak langsung (indirect costs), yang dapat ditelusuri secara langsung pada produk, tetapi tidak dapat ditelusuri pada aktivitas. Pemicu biaya memberikan hubungan timbal balik (causal relationship) antara total costs dari aktivitas dengan produk yang melewati aktivitas. Kirche, Kadipasaoglu dan Humawala (2005) membuktikan kelebihan penerapan sistem kalkulasi biaya ABC di dalam industri manufaktur yang berbasiskan MTO. Dalam laporan penelitiannya, Kirche, Kadipasoglu dan Humawala menyatakan bahwa dalam industri manufaktur dimana proporsi biaya manufaktur relatif kecil terhadap total biaya keseluruhan maka penerapan sistem kalkulasi biaya ABC akan lebih menguntungkan dibandingkan sistem kalkulasi biaya lainnya. Pada penelitian ini biaya yang berkaitan dengan pesanan (order) digunakan sebagai pengganti biaya aktivitas pada level produk yang terdapat pada teori ABC.