II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kebutuhan Kertas di Indonesia Kertas adalah lembaran tipis yang terdiri dari serat selulosa alam atau
buatan yang telah mengalami penggilingan ditambah beberapa bahan penolong yang saling menempel dan jalin menjalin ( Yani, 1993). Proses pembuatan kertas dibagi menjadi dua tahap, yaitu pembuatan pulp dan pembuatan kertas dari pulp. Berdasarkan penggunaanya kertas digolongkan atas tiga yaitu cultural paper (kertas budaya), yang terdiri dari jenis kertas koran, kertas cetak, tulis dan keperluan bisnis. Kertas industri yang sering digunakan terdiri dari pembungkus, kemasan dan kraft, papan, kertas rokok dan kertas khusus. Kertas untuk pemanfaatan lainnya misalnya tisu (Departemen Perindustrian, 1982). Di dunia industri kertas terdapat tiga macam proses pembuatan pulp, yaitu proses mekanis, proses semi-kimia, dan proses kimia. Pada proses mekanis, tidak digunakan bahan-bahan kimia. Bahan baku kayu digiling dengan mesin sehingga didapat serat selulosa. Proses semi-kimia dilakukan seperti proses mekanis, tetapi dibantu dengan bahan kimia untuk lebih melunakkan, sehingga serat selulosa mudah terpisah. Proses kimia dilakukan melalui pemasakan bahan baku dengan bahan kimia untuk menghilangkan zat lain yang tidak perlu dari serat selulosa. Permintaan pulp dan kertas di Indonesia secara keseluruhan cukup besar, namun kalau dilihat dari pemakaian kertas perkapita (Tabel 1) masih relatif kecil dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura dan Jepang. Kebutuhan pulp pada periode 2004-2007 meningkat dari 3,63 juta ton menjadi 4,20 juta ton atau naik rata-rata 4,98% per tahun. Sedangkan permintaan terhadap komoditi kertas pada periode yang sama meningkat dari 5,47 juta ton menjadi 6,0 juta ton atau naik rata-rata 3,13% pertahun. Namun pada tahun 2008, permintaan terhadap pulp dan kertas di dalam negeri sedikit turun dibandingkan tahun 2007, yaitu masing-masing untuk pulp permintaanya turun menjadi 4,14 juta ton dan untuk kertas menjadi 5,10 juta ton, sebagai akibat dari terjadinya krisis finansial global (Departemen Perindustrian, 2009). Saat ini pemakaian kertas di Indonesia sekitar 26 kg perkapita pertahun. Angka tersebut jauh dibawah Singapura (197,7 kg perkapita pertahun), Malaysia
4
(110,8 kg perkapita pertahun), dan Jepang (245,5 kg perkapita pertahun). Perbandingan konsumsi kertas perkapita di beberapa Negara di dunia akan ditunjukan pada Tabel 1 sebagai berikut : Tabel 1. Konsumsi Kertas Perkapita di beberapa Negara di Dunia No
Negara
1 Finlandia 2 Amerika Serikat 3 Jepang 4 Kanada 5 Italia 6 Taiwan 7 Singapura 8 Malaysia 9 Indonesia 10 Mesir 11 Philippina Sumber: Departemen Perindustrian, 2009
Konsumsi (kg perkapita pertahun) 368,6 288 245,5 206 204,6 204 197,7 110,8 26 20 17,4
Berdasarkan data Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI, 2005), peran (share) industri pulp dan kertas dalam total nilai ekspor hasil industri dan ekspor non- migas masing-masing adalah 1,99% dan 1,68% untuk pulp dan 4,12% dan 3,48% untuk kertas. Di sisi lain, Indonesia sebagai salah satu produsen pulp dan kertas dunia juga memiliki potensi pengembangan yang cukup baik. Ditinjau dari peringkatnya, Indonesia mengalami peningkatan peringkat dari 20 pada tahun 1992 menjadi peringkat 9 untuk produsen pulp dan peringkat 12 untuk produsen kertas pada tahun 2004 (PPI, 1993 dan 2005 dalam Situmorang, 2009).
2.2
Ketersedian bahan Baku Perkembangan industri pulp dan kertas Indonesia dihadapkan selain pada
peluang pengembangan yang cukup baik, juga terhadap kendala-kendala, diantaranya kendala bahan baku dan penanganan lingkungan. Menurut Joedodibroto (1992) dalam Situmorang (2009), kertas dunia dewasa ini 93% berasal dari bahan kayu. Untuk Indonesia, rata-rata bahan pembuatan pulp kertas adalah 68% berasal dari kayu, 26% daur ulang (kertas bekas) dan sekitar 6%
5
berasal dari serat lainnya. Sumber bahan baku kayu tersebut berasal dari hutan alam, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan limbah kayu. Dalam
menjaga
kelestarian
hutan
tropis
Indonesia,
pemerintah
menggalakan forest base industry dengan menyelenggarkan Hutan Tanaman Industri (HTI). Akan tetapi dalam pelaksanaannya, HTI membutuhkan dana yang cukup besar dan lahannya masih ada yang bermasalah sehingga sulit direalisasikan ( Ibnusantosa, 2000).
Peningkatan konsumsi kertas berdampak pada peningkatan permintaan
bahan baku kayu dan peningkatan sampah kertas. Komposisi sampah di Indonesia terdiri dari sampah organik sekitar 65%, kertas 13%, plastik 11%, dan 11% lain-lain (BPS dalam Wibowo, 2009). Sampah kertas menduduki peringkat ke-2 dari komposisi total sampah di Indonesia dan merupakan jenis sampah yang dapat didaur ulang. Seiring dengan makin terbatasnya pasokan kayu, dan makin tingginya kesadaran dunia terhadap masalah lingkungan, maka pada dekade terakhir berkembang pesat penggunaan kertas bekas sebagai bahan baku industri kertas (daur ulang). Disamping itu, pemakaian kertas bekas sebagai bahan baku industri juga berdasarkan pertimbangan harganya yang relatif murah serta adanya dukungan teknologi yang dapat dipakai untuk membuat kertas dari kertas bekas dengan kualitas yang lebih baik. Kebutuhan kertas bekas untuk industri kertas nasional pada saat ini sekitar enam juta ton pertahun, sekitar tiga juta ton dipasok dari pengumpulan kertas bekas lokal, sisanya sekitar tiga juta ton masih diimpor (Departemen Perindustrian, 2009).
2.3
Proses Deinking Menurut Altierie dan Wendel (1960), proses deinking adalah suatu proses
penghilangan tinta dan bahan-bahan non-selulosa dari kertas bekas. Penghilangan tinta dapat diterapkan pada berbagai kertas bekas tetapi mutu produk yang dihasilkan sangat bervariasi. Tujuan proses deinking adalah untuk mendapatkan pulp baru yang lebih murah dari pada pulp kayu yang ada di pasar. Proses penghilangan tinta terdiri dari dua tahap yaitu tahap pelarutan tinta secara kimia dan tahap pemindahan tinta dari pulp secara mekanis (Hyness, 1952
6
dalam Yani, 1993). Sedangkan menurut Yani (1993) secara umum proses deinking terdiri dari dua tahap penting yaitu penggilingan dan penghilangan tinta yang dapat dilakukan dengan cara flotasi atau pencucian. Bahan kimia yang ditambahkan pada penggilingan merupakan faktor penting dalam proses deinking karena bahan kimia tersebut berperan dalam memisahkan tinta dari serat yang telah terurai. Bahan kimia yang digunakan adalah NaOH, Na2SiO3, dan H2O2. NaOH dapat berfungsi sebagai pembasah tinta karena terjadi proses penyabunan pigmen dari vehicle atau binder tinta sehingga komponen tinta mudah terpisah. Na2SiO3 berfungsi sebagai pendispersi tinta, buffer pH dan penyetabil peroksida. Peroksida berfungsi sebagai pemutih untuk meningkatkan derajat putih kertas dan pemecah tinta terutama offset. Menurut Altierie dan Wendel (1960), komposisi tinta cetak terdiri dari zat pewarna, zat pembawa pigmen dan aditif (berupa formula-formula bahan pengering dan senyawa-senyawa yang akan memperbaiki operasi pencetakan). Zat pewarna dalam tinta cetak selalu menggunakan pigmen-pigmen seperti pada pigmen-pigmen pencelupan tetapi pigmen pada pencelupan kurang resisten terhadap cahaya, bahan kimia dan cenderung berpindah ke dalam kertas. Bahan anorganik yang berfungsi sebagai bahan pengisi yang sering digunakan antara lain tanah liat, dolomit, alumunium hidrat, kalsium karbonat, dan magnesium karbonat. Pigmen putih yang sering digunakan adalah titanium dioksida, seng oksida dan litpon (Yani, 1993). Proses pendaurulangan kertas bekas melalui proses deinking akan menghasilkan limbah yang disebut sludge. Sludge deinking tersebut digolongkan ke dalam B3 (bahan berbahaya dan beracun) karena mengandung logam berat yang melalui proses deinking. 2.4
Pencemaran logam-logam di tanah Pengolahan kertas bekas menjadi suplemen bahan baku kertas melalui
proses deinking menyebabkan pencemaran logam berat. Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya dalam proses deinking penghilangan tinta dari kertas bekas dengan cara melarutkan tinta secara kimia dan memisahkan tinta dari pulp
7
secara mekanis mengakibatkan komponen logam yang terdapat dalam tinta tertinggal dalam sludge yang menjadi limbah. Logam berat adalah logam yang mempunyai berat lima gram atau lebih untuk setiap cm3 yang beratnya lima kali dari bobot air dan dapat menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada makhluk hidup, hal ini terjadi jika sejumlah logam mencemari lingkungan. Logam-logam tertentu sangat berbahaya jika ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan karena logam tersebut mempunyai sifat yang merusak jaringan tubuh makhluk hidup ( Darmono, 1995). Toksisitas (daya racun) logam berat tergantung dari jenis, kadar, efek sinergi-antagonis dan sifat fisik-kimianya. Semakin besar kadar logam berat maka daya toksisitasnya semakin besar. Urutan daya racun logam berat adalah sebagai berikut: Hg> Cd> Ag> Ni> Pb> As> Cr> Sn> Zn (Darmono, 1995). Diantara beberapa jenis logam yang telah ditemukan ternyata hanya beberapa logam yang sangat berbahaya yang dalam jumlah kecil sudah dapat menyebabkan keracunan fatal. Ada lima logam yang berbahaya bagi manusia yaitu: merkuri (HgO), kadmium (Cd), perak (Ag), timbal (Pb), dan Arsen (As). Selain itu ada tiga logam yang kurang beracun yaitu tembaga (Cu), selenium (Se), seng (Zn) (Gossel dan Bricker, 1984 dalam Lesmono, 2005). Timbal dapat menimbulkan keracunan pada sistem saraf, hematologik, hematotoksik dan mempengaruhi kerja ginjal. Toksisitas logam tembaga (Cu) pada manusia ditandai dengan beberapa gejala keracunan yaitu sakit perut, mual, muntah, diare dan beberapa kasus yang parah dapat menyebabkan gagal ginjal dan kematian (Darmono, 2001 dalam Ayu, 2002). Penyakit Wilson merupakan penyakit dimana sejumlah tembaga terkumpul dalam jaringan dan menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Penyakit ini menyebabkan hati tidak dapat mengeluarkan tembaga ke dalam darah atau ke dalam empedu. Sedangkan Krom (Cr) dapat membahayakan lingkungan walaupun hanya terdapat dalam jumlah kecil, krom bersifat stabil dan terakumulasi dalam tubuh, sehingga lama– kelamaan dapat memicu sel-sel kanker (karsinogenik) yang dapat membahayakan kesehatan (Haryani,2007).
8
2.5
Baku mutu air / tanah / limbah Kontaminasi logam berat di lingkungan merupakan masalah besar saat ini.
Konsentrasi logam berat yang melebihi batas mutunya dapat menyebabkan keracunan terhadap tanah dan air. Berikut adalah data baku mutu logam berat menurut Suhendrayataman (2001) yang disajikan pada Tabel 2 Tabel 2. Kriteria Mutu Air berdasarkan Kelas Parameter
Mangan
Satuan
mg/ l
I 0,1
Kelas* II III
IV
-
-
-
Seng
mg/ l
0,05
0,05
0,05
Sianida
mg/ l
0,02
0,02
0,02
Timbal
mg/ l
0,03
0,03
0,03
Keterangan
2
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Zn ≤ 5 mg/l
1
Bagi pengolahan air minum secara konvensional, Pb ≤ 0,1 mg/l
-
Khrom mg/ l 0,05 0,05 0,05 0,01 Sumber : Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 *Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum. b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Tabel diatas menunjukan bahwa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, menjelaskan bahwa konsentrasi logam berat yang bisa ditolerir dalam air dibagi atas beberapa kelas. Berikut data baku mutu air terhadap logam berat menurut Suhendrayatama (2001).
9
Tabel 3. Baku Mutu Konsentrasi Logam Berat yang masih bisa ditolerir dalam air Parameter
Satuan
Konsentrasi
Nikel (Ni)
ppm
0,005-0,05
Tembaga (Cu)
ppm
<1
Timbal (Pb)
ppm
0,5-3
Kadmiun (Cd)
ppm
<1
Sumber : Suhendrayatama (2001)
2.6
Bioremediasi logam Bioremediasi
adalah
suatu
proses
pemulihan
polutan
dengan
memanfaatkan jasa makhluk hidup seperti mikroba (bakteri, fungi, khamir), tumbuhan hijau atau enzim yang dihasilkan dalam proses metabolisme mereka (Alexander, 1977 dalam Widyati, 2008). Tiga teknik dasar yang digunakan yaitu stimulasi aktivitas mikroorganisme asli dengan penambahan nutrien, pengaturan kondisi redoks, mengoptimalkan kondisi pH, dan lainnya. Inokulasi in situ dengan mikroorganisme yang memiliki kemampuan biotransforming tertentu, dan aplikasi enzim untuk mengimobilisasikan logam dengan cara menggunakan mikroorganisme dan penggunaan tanaman (fitoremediasi) untuk menghilangkan, membatasi atau mengubah polutan (Turco and Sadowsky, 1995). Menurut Turco and Sadowsky (1995), beberapa metode spesifik yang telah dan sedang dikembangkan untuk bioremediasi tanah dan air yang terkontaminasi
yaitu
termasuk
di
dalamnya
pengomposan, landfarming,
bioreaktor, fase-padat, dan perlakuan in situ. Pengomposan merupakan proses bioremediasi
dimana material
yang mudah dirombak digabungkan dan
ditumpukan untuk pertumbuhan mikroorganisme termofilik. Landfarming adalah degradasi polutan ditingkatkan dengan penambahan nutrien dan oksigen pada tanah, kemudian kadar air dijaga untuk menciptakan lingkungan untuk aktivitas mikrobiologi dan untuk meningkatkan kemungkinan kontak antara kontaminan dan mikroorganisme. Bioreaktor adalah biodegradasi dalam bejana (kontainer) atau reaktor, digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry) sedangkan bioremedisasi in situ melibatkan penggunaan organisme untuk menghilangkan
10
polutan di lokasi kontaminasi. Organisme yang digunakan berasal dari lingkungan tersebut dan bahkan mungkin disesuaikan untuk pertumbuhan pada kontaminan kimia dalam lingkungan tertentu. Keberhasilan bioremediasi di tanah dipengaruhi tiga faktor independen namun saling terkait yaitu kontaminan, mikroorganisme, dan lingkungan (Skipper and Turco, 1994). Menurut Suhendrayatama (2001), proses bioremediasi ion logam berat umumnya terdiri dari dua mekanisme yaitu pengambilan aktif (active uptake) dan penyerapan pasif (passive uptake). Mekanisme kedua penyerapan tersebut diuraikan oleh Suhendrayatama (2001) sebagai berikut: Passive uptake dikenal dengan proses biosorpsi. Proses ini terjadi ketika ion logam berat diikat dinding sel mikroba dengan dua cara yang berbeda, yaitu pertama pertukaran ion seperti ion monovalen dan divalen yang ada pada dinding sel oleh ion-ion logam berat, dan kedua yaitu formasi kompleks antara ion-ion logam berat dengan gugus-gugus fungsional. Active uptake dapat terjadi pada berbagai tipe sel hidup. Mekanisme ini terjadi sejalan dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan mikroorganisme. Logam berat diendapkan pada proses metabolisme dan eksresi. Proses ini dipengaruhi energi yang terkandung di sel dan parameter-parameter lingkungan seperti pH, suhu, kekuatan ikatan ionik, cahaya dan lain-lain.
2.7
Wastetreat™ dan EM4® (Effective Microorganism – 4) Wastetreat™ merupakan nama produk dari jepang yang merupakan
produk pengendali limbah yang berisikan mikroba dan enzim. Produk ini telah diaplikasikan untuk penanganan sungai tercemar dimana ini terbukti dari jernihnya air sungai yang tercemar selama delapan minggu. Di pasaran Indonesia telah beredar produk multi mikroba yang memiliki banyak fungsi yaitu effective mikcroorganism atau yang dikenal dengan merek dagang EM4®. Oleh produsennya produk ini dapat juga dimanfaatkan dalam proses bioremediasi limbah. Produk EM4® ini berisikan mikroorganisme fermentasi, dan merupakan kultur campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan
bagi
pertumbuhan
tanaman.
Penggunaan
jenis
EM4®
diaplikasikan pada bidang pertanian sebagai inokula untuk meningkatkan
11
keragaman dan populasi mikroorganisme tanah dan tanaman yang selanjutnya dapat menguraikan proses pengomposan sampah dan limbah organik ( Lestari, 2008). Setiyani (2000) dalam Lestari (2008) menerangkan bahwa effective microorganism (EM) adalah campuran dari beberapa jenis mikroorganisme baik aerob maupun anaerob yang hidup bersimbiosis satu sama lain secara artifisial. Komposisi mikroorganisme penyusunan EM4® adalah bakteri asam laktat, ragi, aktinomisetes dan bakteri fotosintesis. Menurut Indriani (1999) jumlah mikroorganisme di dalam EM4® sangat banyak sekitar 80 jenis yang termasuk dalam empat golongan pokok yaitu : 1. Bakteri laktat adalah bakteri gram positif, tidak membentuk spora dan berfungsi menguraikan bahan organik dengan cara fermentasi membentuk asam laktat dan glukosa, asam laktat akan bertindak sebagai sterilizer atau menekan mikroorganisme yang merugikan serta meningkatkan perombakan bahan-bahan organik dengan cepat. 2. Ragi (yeast) berfungsi mengurai bahan organik dan membentuk zat anti bakteri, dapat pula membentuk zat aktif (substansi bioaktif) dan enzim yang berguna untuk pertumbuhan sel dan pembelahan akar. 3. Simbiosis yang menguntungkan antara Actynomicetes dan Lactobacillus sp. Actynomicetes merupakan bentuk peralihan antara bakteri dan jamur, mempunyai filamen, berfungsi mendekomposisikan bahan organik kedalam bentuk sederhana. 4. Bakteri fotosintesis terdiri dari bakteri hijau dan ungu. Bakteri hijau mempunyai pigmen hijau (bakteri viridin atau bakterio klorofil), sedangkan bakteri ungu memiliki pigmen ungu, merah dan kuning (bakterio purpurin). Bakteri fotosintesis ini merupakan bakteri bebas yang dapat mensintesis senyawa nitrogen, gula dan substansi bioaktif lainnya. Hasil metabolik yang diproduksi dapat diserap langsung oleh tanaman dan tersedia sebagai substrat untuk perkembangan mikroorganisme yang menguntungkan.