II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kontribusi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kontribusi adalah sumbangan; sedangkan menurut Kam us Ekonomi (T Guritno, 1992) kontribusi adalah sesuatu yang diberikan bersama -sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya, atau kerugian tertentu atau bersama. Sehingga kontribusi disini dapat diartikan sebagai sumbangan yanng diberikan oleh Pajak Hotel dan Restoran terhadap Penerimaan Pendapatan Asli Daerah. 2.2. Perpajakan di Indonesia Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus
dan
berkesinambungan
yang
bertujuan
meningkatkan
kesejahteraan rakyat baik secara materil maupun spiritual. Unt uk dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan. Salah satu usaha dalam pembiayaan pembangunan yaitu dengan menggali sumber-sumber dana yang berasal dari dalam negeri yaitu pajak. Definisi atau pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH: pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur unsur: 1.
Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2.
Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarka n atau dengan kekuatan undang -undang serta aturan pelaksanaannya.
3.
Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunujuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4.
Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakaat luas. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2.3. Hubungan Antara Pajak dengan Pendapatan Dalam suatu jenis pajak kita akan mengenal istilah pajak proporsional, pajak progresif, dan pajak regresif yang tentunya berkaitan dengan masalah pendapatan. Suatu pajak akan disebut proposional jika mengenakan tarif presentase yang sama tanpa melihat pendapatan seseorang . Sehingga setiap pembayaran pajak dikenakan tarif pajak dalam proposi yang sama dari pendapatannya. Sedangkan untuk pajak progresif berbeda sama sekali dengan pajak proposional. Pajak progresif adalah pajak yang mengenakan tarif dalam presentase yang meningkat menurut bertambah tingginya pendapatan seorang. Sedangkan pajak regresif adalah pajak yang mengenakan tarif persentase yang lebih rendah pada mereka yang berpendapatan tinggi. Istilah progresif dan regresif mungkin akan menimbulkan kekacauan pengerti an. Kata-kata itu merupakan istilah teknis yang berkaitan dengan proposi pajak terhadap berbagai pendapatan. 2.4. Pendapatan Asli Daerah Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, Komponen PAD terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Lain -Lain PAD Yang Sah. Pajak daerah dan retribusi daerah diatur dalam Undang -undang Nomor 34 Tahun 2000. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
pajak daerah terbagi menjadi dua, yaitu pajak provinsi dan pajak kabupaten /kota. Pembagian ini dilakukan sesuai dengan kewenangan pengenaan dan pemungutan masing-masing jenis pajak daerah pada wilayah administrasi provinsi atau kabupaten/kota yang bersangkutan.Undang -undang tersebut menetapkan sebelas jenis pajak daerah, yait u empat jenis pajak provinsi dan tujuh jenis pajak kabupaten/kota. 1. Pajak provinsi terdiri dari: a Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; b Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; c Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan d Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 2. Pajak kabupaten/kota terdiri dari: a Pajak Hotel; b Pajak Restoran; c Pajak Hiburan; d Pajak Reklame; e Pajak Penerangan Jalan; f Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;dan g Pajak Parkir. Tarif pajak daerah yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah diatur dalam undang-undang Nomor 34 tahun 2000 yang ditetapkan dengan pembatasan tarif paling tinggi, yang berbeda untuk setiap jenis pajak daerah, yaitu:
Tarif PKB&AA diterapkan paling tinggi 5%;
Tarif BBNKB&KAA ditetapkan paling tinggi 10%;
Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi 5%;
Tarif PPPABTAP ditetapkan paling tinggi 20%;
Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi 10%;
Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi 10%;
Tarif Pajak Hiburan ditetapkan palin g tinggi 35%;
Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi 25%;
Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi 10%;
Tarif Pajak pengambilan Bahan Galian Golongan C ditetapkan paling tinggi 20%; dan
Tarif Pajak Parkir ditetapkan paling tinggi 20%.
Penetapan tarif pajak provinsi berbeda dengan penetapan tarif pajak kabupaten/kota yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Dengan memerhatikan kondisi masing -masing daerah kabupaten / kota, tarif untuk pajak kabupaten/kota dapat ditetapkan tidak seragam. Hal ini, antara lain dengan mempertimbangkan bahwa tarif yang berbeda untuk jenis -jenis pajak kabupaten/kota tidak akan memengaruhi pilihan lokasi wajib pajak untuk melakukan kegiatan yang dikenakan pajak. Undang -undang nomor 20 Tahun 2000 mengatur tarif p ajak yang paling tinggi yang dapat dipungut oleh daerah untuk setiap jenis pajak. Penerapan tarif paling tinggi tersebut bertujuan memberikan perlindungan kepada masyarakat dari penetapan tarif yang terlalu membebani sedangkan tarif paling rendah tidak dit etapkan untuk memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk mengatur sendiri besarnya tarif pajak yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang tidak mampu. Di samping itu, dalam penetapan tarif pajak juga dapat diadakan klasifikasi/penggolongan tarif berdas arkan kemampuan wajib pajak atau berdasarkan jenis objek pajak. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pr ibadi atau badan. Jasa adalah kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya, dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Retribusi daerah Sesuai undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 2 retribusi daerah dibagi atas tiga golongan, sebagai berikut: 1. Retribusi jasa umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang prib adi atau badan. 2. Retribusi jasa usaha, yaitu retibusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 3. Retribusi perizinan tertentu, yaitu retribusi atas kegiat an tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi
atau
pengaturan,
badan
yang
pengendalian
dimaksudkan dan
untuk
pengawasan
pembinaan,
atas
kegiatan
pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana,
sarana
atau
fasilitas
tertentu
guna
melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Lain-lain pendapatan yang sah, menurut penjelasan pasal 3 huruh d undang-undang No 25 Tahun 1999 adalah “lain -lain penerimaan yang sah, antara lain: hibah, dana darura t, dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dan pada penjelasan Pasal 4 huruf d dikatakan bahwa “Lain -lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain: hasil penjualan asset tetap daerah dan jasa giro”. Dengan demikian, masing-masing daerah dapat menggali sumber sumber penerimaan lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah. Penggalian sumber-sumber penerimaan ini dapat dibenarkan oleh peraturan perundangan-undangan yang berlaku. 2.5. Pajak Hotel 2.5.1. Pengertian Hotel Hotel berasal dari kata hostel, konon diambil dari bahasa Prancis kuno. Bangunan publik ini sudah disebut -sebut sejak akhir abad ke 17. Maknanya kira-kira, “tempat penampungan buat pendatang” atau bisa juga “bangunan penyedia pondokan dan makanan untuk umum”. Jadi, pada mulanya hotel memang diciptakan untuk meladeni masyarakat. Seirirng berkembangnya Zaman hotel dapat diartikan sebagai bangunan khusus yang disediakan untuk menginap atau istirahat, memperoleh pelayanan dan atau fasilitas lainnya dengan
dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran. Menurut Dirjen Pariwisata , Hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan, untuk menyediakan jasa penginapan, makan dan minum, serta jasa lainnya bagi umum, yang dikelola secara komersial. Selain itu, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan R.I No. PM 10/PW – 301/Phb. 77, tanggal 12 Desember 1977: Hotel adalah suatu bentuk akomod asi yang dikelola secara komersial, disediakan
bagi
setiap
orang
untuk
penginapan, berikut makan dan minum.
memperoleh
pelayanan
Menurut Webster Hotel
adalah suatu bangunan atau suatu lembaga yang menyediakan kamar untuk menginap, makan dan minum serta pe layanan lainnya untuk umum. Adapun jenis-jenis hotel yang dapat dijelaskan sebagai berikut (Rahmanto:2007): 1. Hotel berbintang adalah usaha yang menggunakan suatu bangunan atau sebagian bangunan yang disediakan secara khusus dan setiap orang dapat menginap, makan, serta memperoleh pelayanan dan fasilitas lainnya dengan pembayaran dan memenuhi prasyarat sebagai hotel berbintang yang telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pariwisata antara lain keadaan fisik, seperti lokasi hotel dan kondisi bangunan, pelaya nan yang diberikan, kualifikasi tenaga kerja dan kesejjahteraan karyawan, serta sarana rekreasi atau olahraga yang disediakan seperti lapangan tennis, kkolam renang dan diskotek. Ciri khusus hotel berbintang adalah mempunyai restoran yang berada dibawah ma najemen hotel tersebut. hotel berbintang dirinci menjadi bintang 1 dan bintang 2. 2. Hotel melati adalah usaha yang menggunakan suatu bangunan atau sebagian bangunan yang disediakan khusus, dimana setiap orang dapat menginap, makan serta memperoleh pelayanan serta fasilitas
lainnya
dengan
pembayaran
dan
belum
dapat
memenuhi
persyaratan sebagai hotel bintang seperti yang telah dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pariwisata tetapi telah memenuhi kriteria sebagai hotel melati yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisa ta Daerah. Hotel melati dirinci menjadi Melati 1, Melati 2, Melati 3. 3. Pondok Wisata adalah usaha jasa pelayanan penginapan bagi umum yang dilakukan perorangan dengan menggunakan sebagian dari tempat tinggalnya (dengan pembayaran harian). 2.5.2. Pengertian Pajak Hotel Pajak hotel adalah pajak atas pelayanan hotel. Pengertian hotel di sini termasuk juga rumah penginapan yang memungut bayaran. Pengenaan pajak hotel tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. hal ini, berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota. Oleh karena itu, untuk dapat dipungut pada suatu daerah kabupaten atau kota, pemerintah daerah harus terlebih da hulu menerbitkan peraturan daerah tentang pajak hotel. Peraturan itu akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak hotel di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dalam pemungutan pajak hotel terdapa t beberapa terminologi yang perlu diketahui. Terminologi tersebut dapat dilihat berikut ini: 1. Hotel adalah banguan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, te rmasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola, dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali oleh pertokoan dan perkantoran. 2. Rumah penginapan adalah penginapan dalam bentuk dan klasifikasi apa pun beserta fasilitasnya yang digunakan untuk menginap dan disewakan untuk umum.
3. Pengusaha hotel adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang jasa penginapan. 4. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan barang atau pelayanan sebagai pembayaran kepada pemilik hotel. 5. Bon penjualan (Bill) adalah bukti pembayaran, yang sekaligus sebagai bukti pungutan pajak, yang dibuat oleh wajib pajak pada saat mengajukan pembayaran atas jasa pemakaian kamar atau tempat penginapan beserta fasilitas penunjang lainnya kepada subjek pajak. 2.5.3. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hotel Pemungutan pajak hotel di Indonesia saat ini didasarkan pada dasasr hukum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemungutan pajak hotel pada suatu kabupaten atau kota adalah sebagaimana dibawah ini: 1. Undang-undang nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahab atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Da erah. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. 3. Peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur tentang pajak hotel. 4. Keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang pajak hotel sebagai aturan pelaksanaan peraturan daerah tentang pajak hotel pada kabupaten/kota dimaksud. 2.5.4. Objek Pajak Hotel Objek pajak hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk pelayanan sebagaimana di bawah ini: 1. Fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek. Dalam pengertian rumah penginapan termasuk rumah kos dengan jumlah kamar sepuluh atau lebih yang menyediakan
fasilitas seperti rumah penginapan, fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek seperti gubug pariwisata (cottage), motel, wisma pariwisata, pesanggrah an (hostel), losmen, dan rumah penginapan. 2. Pelayanan
penunjang
sebagai
kelengkapan
fasilitas
penginapan atau tempat tinggal jangka pendek yang sifatnya memeberikan kemudahan dan kenyamanan. pelayanan penunjang, antara lain: telepon, faksimili, teleks, foto copi, pelayanan cuci, setrika, taksi dan pengangkutan lainnya, yag disediakan atau dikelola hotel. 3. Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel, bukan untuk umum. Fasilitas olahraga dan hiburan antara lain: pusat kebugaran ( fitness center), kolam renang, tenis, golf, karaoke, pub, diskotik, yang disediakan atau dikelola hotel. 4. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel. Pada pajak hotel, tidak semua pelayanan yang diberikan oleh penginapan dikenakan paj ak. Ada beberapa pengecualian yang tidak termasuk objek pajak, yaitu: 1. Penyewaan rumah atau kamar, apartemen, dan atau fasilitas tempat tinggal lainnya yang tidak menyatu dengan hotel; 2. Pelayanan tinggal di asrama dan pondok pesantren; 3. Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan di hotel yang digunakan oleh bukan tamu hotel dengan pembayaran. 4. Pertokoan,
perkantoran,
perbankan,
dan
salon
yang
digunakan oleh umum di hotel; dan 5. Pelayanan perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh hotel dan dapat dimanfaatkan oleh umum.
2.5.5. Subjek Pajak dan Wajib Pajak Hotel Pada pajak hotel, yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel. Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha hotel. Sementara itu, yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha hotel, yaitu orang yang orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang menjadi yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan us aha di bidang jasa penginapan. Dengan demikian, subjek pajak dan wajib pajak pada hotel tidak sama. Konsumen yang menikmati pelayanan hotel merupakan subjek pajak yang membayar (menanggung) pajak sedangkan pengusaha hotel bertindak sebagai wajib pajak yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen (subjek pajak) dan melaksanakan kewajiban pajak lainnya. Dalam menjalankan kewajiban perpajakannya wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang -undang dan peraturan daerah tentang pajak hotel. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak terutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi ke wajiban perpajakannya. 2.5.6. Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Hotel 1. Dasar pengenaan pajak hotel Dasar pengenaan pajak hotel adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel. Jika pembayaran dipengaruhi oleh hubungan istimewa, harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar yang wajar pada saat pemakaian jasa hotel. Contoh hubungan istimewa adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa hotel dengan pengusaha hotel, baik langsung atau tidak langsung, berada di bawa h pemilikan atau penguasaan orang pribadi atau badan yang sama. Pembayaran adalah jumlah
uang yang harus dibayar oleh subjek pajak kepada wajib pajak untuk harga jual baik jumlah uang yang dibayarkan maupun penggantian yang seharusnya diminta wajib pajak s ebagai penukaran atas pemakaian jasa tempat penginapan dan fasilitas penunjang termasuk pula semua tambahan dengan nama apa pun juga dilakukan berkaitan dengan usaha hotel. 2. Tarif pajak hotel Tarif pajak hotel diterapkan paling tinggi sebesar sepuluh per sen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini, dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masing -masing daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, asalkan tidak lebih dari sepuluh persen. 3. Perhitungan pajak hotel Besarnya pokok pajak hotel ya ng terutang dihitung dengan cara megalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan pajak hotel dalah sesuai dengan rumus berikut: Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran yang Dilakukan Kepada Hotel 2.6. Pajak Restoran 2.6.1. Pengertian Restoran Menurut UU RI No. 34 Tahun 2000, r estoran adalah tempat menyantap makanan dan minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jenis tataboga ata u catering. Sedangkan, pengertian restoran menurut Marsum (1994), restoran adalah suatu tempat atau bangunan yang diorganisasi secara komersial yang menyelenggarakan pelayanan yang baik kepada semua tamunya
baik berupa makan dan minum. Menurut Marsum (1994) ada beberapa tipe restoran, yaitu: 1. Table D’ hote Restaurant adalah suatu restoran yang khusus menjual makanan menu table d’ hote, yaitu suatu susunan menu yang lengkap (dari hidangan pembuka sampai dengan hidangan penutup) dan tertentu, dengan harg a yang telah ditentukan pula. 2. Coffee Shop atau Brasserie adalah suatu restoran yang pada umumnya berhubungan dengan hotel, suatu tempat dimana tamu biasa mendapatkan makan pagi, makan siang dan makan malam secara cepat dengan harga yang relatif murah, kadang -kadang penyajiannya dilakukan dengan cara prasmanan. 3. Cafetaria atau Café adalah suatu restoran kecil yang mengutamakan penjualan cake (kue-kue), sandwich (roti isi), kopi dan teh. 4. Canteen atau kantin adalah restoran yang berhubungan dengan kantor, pabrik atau sekolah. 5. Dining Room, terdapat di hotel kecil (motel), merupakan tempat yang tidak lebih ekonomis dari pada tempat makan biasa. Dining Room pada dasarnya disediakan untuk para tamu yang tinggal di hotel itu, namun juga terbuka bagi para tamu dari luar. 6. Inn Tavern adalah restoran dengan harga murah yang dikelola o leh perorangan di tepi kota. 7. Pizzeria adalah suatu restoran yang khusus menjual Pizza, kadang kadang juga berupa spaghetti serta makanan khas Italia yang lain. 8. Speciality Restaurant adalah restora n yang suasana dan dekorasi seluruhnya disesuaikan dengan tipe khas makanan yang disajikan atau temanya. Restoranrestoran semacam ini menyediakan masakan Cina, Jepang, India, Italia dan sebagainya. Pelayanannya sedikit banyak berdasarkan tata cara negara t empat asal makanan spesial tersebut. 9. Familly Type Restaurant adalah satu restoran sederhana yang menghidangkan makanan dan minuman dengan harga yang tidak
mahal, terutama disediakan untuk tamu -tamu keluarga maupun rombongan 2.6.2. Pengertian Pajak Restoran Pajak
restoran
adalah
pajak
atas
pelayanan
restoran.
Pemungutan pajak restoran di Indonesia saat ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Semula menurut Undang -undang Nomor 18 Tahun 1997 Pajak atas Hotel disamakan dengan Restoran dengan nama Pajak Hotel dan Restoran. Akan Tetapi, berdasarkan Undang undang Nomor 34 Tahun 2000 jenis pajak tersebut dipisahkan menjadi dua jenis pajak yang berdiri sendiri, yaitu Pajak Hotel dan Pajak Restoran. Pengenaan pajak restoran tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. hal ini, berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota. Oleh karena itu, untuk dapat dipungut pada suatu daerah daerah kabupaten atau kota, pemerintah daerah harus terlebih dahulu menerbitkan peraturan daerah tentang pajak restoran yang akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan pajak restoran di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan. Dalam
pemungutan
pajak
restoran
terdapat
beberapa
terminologi yang perlu diketahui. Terminologi tersebut dapaat dilihat berikut ini. 1. Restoran adalah tempat menyantap makanan dan atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga dan katering.
2. Pengusaha restoran adalah orang pribadi atau bahan dalam bentuk apa pun, yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang rumah makan. 3. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan barang atau pelayanan, sebag ai pembayaran kepada pemilik rumah makan. 4. Bon penjualan (bill) adalah bukti pembayaran, yang sekaligus sebagai bukti pungutan pajak, yang dibuat oleh wajib pajak pada saat mengajukan pembayaran atas pembelian makanan dan atau minuman kepada subjak pajak. 2.6.3. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Restoran Pemungutan pajak restoran di Indonesia saat ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemungutan pajak redstoran pada suatu kabupat en atau kota adalah sebagaimana dibawah ini: 1. Undang-undang nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahab atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. 3. Peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur tentang pajak restoran. 4. Keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang pajak hotel sebagai aturan pelaksanaan peraturan daerah tentang pajak hotel pada kabupaten/kota dimaksud. 2.6.4. Objek Pajak Restoran Objek pajak restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran dengan pembayaran. Termasuk dalam objek pajak restoran adalah rumah makan, cafe, bar, dan sejenisnya. Pelayanan direstoran/rumah makan
meliputi
direstoran/rumah
penjualan makan,
makanan termasu k
dan
atau
minuman
penyediaan
penjualan
makanan/minuman diantar atau dibawa pulang.
Pada pajak restoran tidak semua pelayanan yang diberikan oleh restoran/rumah makan dikenakan pajak. Ada beberapa pengecualian yang tidak termasuk objek pajak, yaitu: 1. Pelayanan usaha jasa boga atau katering; dan 2. Pelayanan yang disediakan oleh restoran atau rumah makan yang peredarannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan peraturan daerah. 2.6.5. Subjek Pajak dan wajib Pajak Restoran Pada pajak restoran yang menjadi subjek pajak adal ah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran kepada restoran . Secara sederhana yang menjadi subjek pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yan g diberikan oleh pengusaha restoran. Sementara itu, yang menjadi wajib pajak adalah pengusaha restoran, yaitu orang yang orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang menjadi yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang rumah makan. Dengan demikian, subjek pajak dan wajib pajak pada restoran tidak sama. Konsumen yang menikmati pelayanan restoran merupakan subjek pajak yang membayar (menanggung) pajak sedangkan pengusaha restoran bertindak sebagai wajib pajak yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen (subjek pajak). Dalam menjalankan kewaj iban perpajakannya wajib pajak dapat diwakili oleh pihak tertentu yang diperkenankan oleh undang -undang dan peraturan daerah tentang pajak restoran. Wakil wajib pajak bertanggung jawab secara pribadi dan atau secara tanggung renteng atas pembayaran pajak t erutang. Selain itu, wajib pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. 2.6.6. Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Restoran 1. Dasar pengenaan pajak restoran Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran. Jika pembayaran dipengaruhi oleh
hubungan istimewa, harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar yang wajar pada saat pembelian makanan dan atau minuman. Contoh hubungan istimewa adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa restoran dengan pengusaha restoran, baik langsung atau tidak langsung, berada di bawah pemilikan atau penguasaan orang pribadi atau badan yang sama. Pembayaran adalah jumlah uang yang harus dibayar oleh subjek pajak kepada wajib pajak untuk harga jual baik jumlah uang yang dibayarkan maupun penggantian yang seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukaran atas pembelian makanan dan atau minuman termasuk pula semua tambahan dengan nama a pa pun juga dilakukan berkaitan dengan usaha restoran. 2. Tarif pajak restoran Tarif pajak restoran ditetapkan paling tinggi sebesar sepuluh persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini, dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang
sesuai
dengan
kondisi
masing -masing
daerah
kabupaten/kota. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten/kota diberi kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, asalkan tidak lebih dari sepuluh persen. 3. Penghitungan pajak restoran Besarnya pokok pajak restoran yang terutang dihitung dengan cara megalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan pajak restoran adalah sesuai dengan rumus berikut: Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak = Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran yang Dilakukan Kepada Hotel
2.7. Analisis Regresi dan Korelasi Berganda 2.7.1 Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda digunakan untuk menganalisis besarnya hubungan dan pengaruh variabel independen yang jumlahnya lebih dari dua. Bentuk persamaan regresi dengan dua variabel independen adalah: Y = a + b 1X1 + b2X2..............................................( 1 ) Sedangkan bentuk umum persamaan regresi untuk k variabel independen dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = a + b 1X1 + b2X2 + b3X3 + ... + bkXk...............( 2 ) Untuk memperoleh nilai koefisien regresi a, b 1, dan b2 dari persamaan tersebut dapat digunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Prinsip metode OLS adalah meminimumkan jumlah kuadrat deviasi disekitar garis regresi. Nilai koefisien regresi a, b 1, dan b2 dapat dipecahkan secara simultan dari tiga persamaan berikut: ∑ Y = a + b1= a + b1 ∑X1 + b2∑X2.........................................( 3 ) ∑ X1Y = a ∑X1 + b1∑X12 + b2 ∑X1∑X2.................................( 4 ) ∑X2Y = a ∑X2+ b1∑X1 ∑X2 + b2∑X22...................................( 5 ) 2.7.2 Koefisien Determinasi, Korelasi Berganda, dan Korelasi Parsial Koefisien korelasi (R) menunjukkan seberapa dekat titik kombinasi antara variabel dependen atau variabel terikat (Y) dengan variabel independen atau bebas (X 1 dan X2) terhadap garis dugaannya. Apabila titik kombinasi semaki n mendekati garis dugaannya, maka nilai koefisien korelasi semakin baik. Koefisien determinasi (R 2) merupakan ukuran untuk mengetahui kesesuain atau ketetapan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dalam satu persamaan regresi. Dengan kata lain, koefisien determinasi menunjukkan kemampuan variabel X (X 1, X2, ......X k), yang merupakan variabel bebas, menerangkan atau menjelaskan variabel Y yang merupakan variabel terikat. Semakin besar nilai koefisien
determinasi, semakin baik kemampuan variabel X menerangkan atau menjelaskan variabel Y. Koefisien Determinasi menunjukkan suatu proporsi dari varian yang dapat diterangkan oleh persamaan regresi ( regression of sum square – RSS) terhadap varian total (total sum of square – TSS). Besarnya koefisien determinasi dirumuskan sebagai berikut:
Sedangkan untuk menghitung
digunakan rumus sebagai
berikut.
Nilai
akan berkisar 0 sampai 1. Nilai
= 1 menunjukkan
bahwa 100% total variasi diterangkan oleh varia n persamaan regresi atau variabel bebas, baik
maupun
, mampu memnerangkan
variabel Y sebesar 100%. Sebaliknya apabila nilai
= 0
menunjukkan bahwa tidak ada total varians yang diterangkan oleh varians bebas dari persam aan regresi baik
maupun
. Menurut
Lind (2002), nilai koefisien determinasi lebih dari 0,5 menunjukkan variabel bebas dapat menjelaskan variabel terikat dengan baik atau kuat, sama dengan 0,5 dikatakan sedang atau kurang dari 0,5 realtif kurang baik. Apabila koefisien determinasi kurang dari 0,5 terdapat beberapa penyebab; salah satunya adalah spesifikasi model yang salah, yaitu pemilihan variabel yang kurang tepat atau pengukuran yang tidak akurat. Koefisien
korelasi
digunakan
unt uk
mengukur keeratan
hubungan antara variabel terikat Y dengan variabel bebas X. Semakin besar nilai koefisien korelasi menunjukkan semakin eratnya hubungan dan sebaliknya. Koefisien korelasi merupakan akar kuadarat dari koefisien determinasi dan dirumuska n sebagai berikut: R =
.
Korelasi parsial dalam regresi berganda digunakan untuk melihat besarnya hubungan antara dua variabel bebas dari variabel terikatnya. Koefisien korelasi yang menghubungkan antara dua variabel seperti
yang menggambarkan hubungan
antara hubungan antara Y dengan
, Y dengan
dan
dengan
.
Koefisien korelasi yang demikian dikenal dengan koefisisen korelasi tingkat nol. Pada regresi berganda
koefisien korelasi yang
dilambangkan R, koefissien ini menggambarkan hubungan antara Y dengan
dan
sekaligus. Korelasi parsial dilambangkan dengan
yang menyatakan hubungan antara Y dengan dianggap tetap, di mana hubungan antara
di mana
yang menyatakan hubungan antara Y dengan dianggap tetap, dan dengan
yang menyatakan
di mana Y dianggap tetap. Koefisien
parsial ini memang khusus dimaksudkan untuk melihat hubungan dua variabel, dan terbebas dari pengaruh variabel lainnya dalam regresi berganda. Berikut adalah rumus -rumus untuk menghitung koefisien korelasi parsial, melalui koefisien korelais sederhana atau k orelasi tingkat nol. Koefisien korelasi sederhana
Koefisien korelasi parsial diturunkan dari koefisien korelasi sederhana sebagai berikut:
Kesalahan baku dalam regresi berganda adalah suatu ukuran untuk melihat ketepatan antara nilai dugaan dengan nilai sebenarnya. Apabila nilai dugaan semakin mendekati nilai sebenarnya, maka persamaan yang diperoleh semakin baik dan apabila nilai dugaan semakin jauh dari nilai sebenarnya maka persamaan yang digunakan tidak baik. 2.8. Metode Deskriptif Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif yaitu metode yang digunakan dengan menggambarkan, menjabarkan dan menganalisa masalah objek yang diteliti kemudian membandingkan dengan konsep teori yang ada, metode ini bertujuan mendeskripsikan permasalahan secara sistematis dan aktual mengenai fakta-fakta serta sifat dari objek penelitian. 2.9. Pengujian Hipotesis pada Regresi Berganda Pengujian hipotesis untuk melihat apakah variabel bebas mampu secara menyeluruh bersama -sama menjelaskan tingkah laku variabel terikat adalah dengan menggunakan uji global dan uji F. Selain mengetahui kemampuan secara bersama -sama variabel bebas menjelaskan variabel terikat, juga perlu mengetahui ap akah setiap variabel bebas juga berpengaruh terhadap variabel terikatnya, untuk pengujian ini digunakan uji t.
2.9.1. Uji Global Uji global disebut juga uji signifikansi serentak atau uji F. Uji ini dimaksudkan untuk melihat kemampuan menyeluruh dari variabel bebas
dapat atau mampu menjelaska n tingkah laku atau
keragaman variabel terikat (Y). Uji global juga dimaksudkan untuk mengetahui apakah semua variabel bebas memiliki koefisien regresi sama dengan nol. Untuk melakukan pengujian secara global terdapat beberapa langkah yang diperlukan, yai tu: 1. Menyusun hipotesis Hipotesis
yang
diuji
adalah
kemampuan
variabel
bebas
menjelaskan tingkah laku variabel terikat, apabila variabel bebas tidak dapat memengaruhi variabel bebas dapat dianggap nilai koefisien regresinya sama dengan nol, sehingga berapap un nilai variabel bebas, tidak akan berpengaruh terhadap variabel bebas. Dalam menyusun hipotesis, selalu ada hipotesis nol dan hipotesis alternatif. Hipotesis nol selalu mengandung unsur kesamaan, sehingga dapat dirumuskan hipotesis nol adalah koefisien r egresi sama dengan nol. Untuk hipotesis alternatifnya adalah koefisien regresi tidak sama dengan nol. Kedua hipotesis tersebut kemudian dirumuskan sebagai berikut: H0 : B1 = B 2 = 0 H1 : B1 ≠ B2 ≠ 0 2. Menentukan daerah keputusan Penentuan daerah keputusan dilakukan dengan mencari nilai F. Untuk mencari nilai F-tabel perlu diketahui derajat bebas pembilang pada kolom, derajat bebas penyebut pada baris, dan taraf nyata. Umumnya ada 2 taraf nyata yang dipakai, yaitu 1% dan 5%, untuk ilmu pasti lebih baik menggunakan taraf nyata 1%, sedangkan ilmu sosial dapat menggunaka taraf nyata 5%. Untuk derajat pembilang, digunakan nilai k -1, yaitu jumlah variabel
dikurangi 1. Untuk derajat penyebut digunakan n-k yaitu jumlah sampel dikurangi dengan jumlah variabel. 3. Menentukan nilai F-hitung Nilai F-hitung ditentukan denga rumus sebagai berikut: ............................................. .............................(14) 4. Menentukan daerah keputus an Mentukan wilayah H 0 dan H1, serta membandingkan dengan nilai F-hitung untuk mengetahui apakah menerima H 0 atau menerima H 1.
Terima H1
Terima H0 F-tabel
5. Memutuskan hipotesis Berdasarkan gambar langkah 4, nilai F -hitung > dari F-tabel dan berada diantara terima dan berada didaerah terima H 1. Ini menunjukkan bahwa terdapat cukup bukti untuk menolak H 0 dan menerima H 1. Kesimpulan dari diterimanya H1 adalah nilai koefisisen regresi tidak sama dengan nol, dengan demikian variabel bebas dapat menerangkan vari abel terikat, atau dengan kata lain variabel bebas, yaitu X 1 dan X2 secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya (Y). 2.9.2. Uji Signifikansi Parsial atau Individual Uji signifikansi parsial atau individual digunakan untuk menguji apakah suatu variabel bebas berpengaruh atau tidak terhadap variabel terikat. Pada regresi berganda Y = a + b 1X1 + b2X2 + b3X3 + ... + bkXk, mungkin variabel X1 sampai Xk secara bersama -sama berpengaruh nyata. Namun demikian, belum tentu secara individu atau parsia l seluruh variabel dari X1 sampai Xk berpengaruh nyata terhadap variabel terikatnya (Y). Nyata atau tidaknya pengaruh suatu variabel bebas terhadap variabel terikatnya juga bergantung pada hubungan variabel tersebut dan kondisi sosial dan ekonomi masyaraka t.
Untuk mengetahui apakah suatu variabel secara parsial berpengaruh nyata atau tidak digunakan uji t atau t -student. Untuk melakukan uji t ada beberapa langkah yang diperlukan sebagai berikut: 1. Menentukan hipotesis Variabel bebas berpengaruh tidak nyata ap abila nilai koefisiennya sama dengan nol. Sedangkan variabel bebas akan berpengaruh nyata apabila nilai koefisiennya tidak sama dengan nol. Hipotesi lengkapnya adalah sebagai berikut. H 0 : B1 = 0
H 1 : B1 ≠ 0
H 0 : B2 = 0
H 1 : B2 ≠ 0
2. Menentukan daerah kritis Daerah kritis ditentukan oleh nilai t -tabel dengan derajat bebas n k, dan taraf nyata α. 3. Menentukan Nilai t-hitung Nilai t-hitung untuk koefisien b 1 dan b2 dapat dirumuskan sebagai berikut. t-hitung = nilai t - hitung untuk b 1 adalah t-hitung = sedangkan, nilai t – hitung untuk b 2 adalah t-hitung =
.
4. Menentukan daerah keputusan Daerah keputusan untuk menerima H 0 atau menolak H 0 denagn derajat bebas 7 dan taraf nyata 5% untuk uji dua arah adalah sebagai berikut. Tolak H0
Tolak H0 Terima H0
5. Menentukan keputusan nilai t-hitung untuk koefisien regresi b 1 yang berada didaerah terima H 0. Ini menunjukkan bahwa koefisien regresi tidak berbeda dengan nol atau variabel X 1 tidak berpengaruh nyata terhadap Y. Nilai t–hitung untuk koefisien regresi b 2
berada diantara di
daerah tolak H 1. Ini menunjukkan bahwa koefisien regresi berbeda dengan nol, atau variabel X 2 berpengaruh nyata terhadap Y. Dalam kehidupan sehari -hari, kita cukup memerhatikan variabel yang nyata saja sebagai dasar pe ngambilan keputusan. 2.9.3. Pengujian Asumsi Klasik Pengujian asumsi klasik diperlukan untuk mengetahui apakah hasil estimasi regresi yang dilakukan benar -benar bebas dari adanya gejala
heteroskedastisitas,
gejala
multikolinearitas
dan
gejala
autokorelasi. Model regresi akan dapat dijadikan alat estimasi yang tidak bias jika memenuhi persyaratan BLUE ( best linear unbiased estimator ). Adapun kesamaan tersebut meliputi tidak terdapat heteroskedastisitas, tidak terdapat multikolinearitas dan tidak terdapat autokorelasi ( Wahid, 2002). Jika terdapat heteroskedastisitas, maka varian tidak konstan sehingga dapat menyebabkan biasnya standar error. Jika terdapat multikolinearitas, maka akan sulit untuk mengisolasi pengaruh-pengaruh individual dari variabel, sehingga tingkat signifikansi koefisien regresi menjadi rendah. Dengan adanya autokorelasi mengakibatkan penaksir masih tetap bias dan masih tetap konsisten hanya saja tidak efisien. Oleh karena itu, uji asumsi klasik perlu dilakukan. Asumsi-asumsi klasik yang pokok digunakan dalam regresi berganda, sehingga nilai koefisisen regresi yang dihasilkan baik atau tidak bias. Beberapa asumsi dalam regresi berganda adalah sebagai berikut. 1.
Variabel terikat dan variabel bebas memiliki hubungan yang linier atau hubungan garis lurus. Untuk persamaan yang tidak linier, maka datanya harus ditransformasikan terlebih dahulu
menjadi linier, biasanya data di -log-kan terlebih dahulu sehingga menjadi linier. 2.
Variabel terikat haruslah variabel yang bersifat kontinu dan paling tidak berskala selang. Variabel kontinu ini adalah variabel yang dapat menempati pada semua titik dan biasanya merupakan data dari proses pengukuran.
3.
Nilai keragaman atau residu, yaitu selisih antara data pengamatan dan data dugaan hasil regresi harus sama untuk semua nilai Y. Asumsi ini menyatakan bahwa nilai residu bersifat
konstan
untuk
semua
data
Y.
Asumsi
ini
memperlihatkan kondisi HOMOSKEDASTISITAS, yaitu nilai residu yang sama untuk semua nilai Y, menyebar normal, dan mempunyai rata-rata 0. 4.
Pengamatan-pengamatan untuk variabel terikat dari satu pengamatan ke pengamatan lain harus bebas atau tidak berkorelasi. Hal ini penting untuk data yang bersifat deret berkala.
2.9.3.1.
Multikolinieritas Mulikolinieritas dikemukakan pertama kali oleh Ragner Frish dalam bukunya “ Stati stical Confluence Analysis by Means of Regression System”. Frish menyatakan bahwa multikolinier adalah adanya lebih dari satu hubungan linier yang sempurna . di dalam regresi berganda tidak boleh terjadi multikolinieritas karena apabila multikolinier apala gi kolinier yang sempurna (koefisien korelasi antarvariabel bebas = 1), maka koefisien regresi dari variabel bebas tidak dapat ditentukan dan standar error-nya tidak terhingga. Memang belum ada kriteria yang jelas dalam mendeteksi masalah multikolinearitas dalam model regresi linier. Selain itu hubungan korelasi yang tinggi belum tentu berimplikasi terhadap masalah multikolinearitas.
Tetapi kita dapat melihat indikasi multikolinearitas dengan tolerance value (TOL), eigenvalue, dan yang paling umum digunakan adalah varians inflation factor (VIF). Hingga saat ini tidak ada kriteria formal untuk menentukan batas terendah dari nilai toleransi atau VIF. Beberapa ahli berpendapat bahwa nilai toleransi kurang dari 1 atau VIF lebih besar dari 10 menunjukkan multikolinearitas signifikan, sementara itu para ahli lainnya menegaskan bahwa besarnya R 2 model dianggap mengindikasikan adanya multikolinearitas. Klein (1962) menunjukkan bahwa, jika VIF lebih besar dari 1/(1 – R2) atau nilai toleransi kurang dari (1 multikolinearitas
dapat
dianggap
– R2), maka
signifikan
secara
statistik. 2.9.3.2.
Heteroskedasitas Heteroskedasitas dilakukan
untuk melihat nilai
varians antarnilai y, apakah sama atau heterogaen. Data cross section, yaitu data yang dihasilkan pada suatu waktu dengan banyak responden, nilai varian antarpengamatan dapat bersifat homogen. Terdapat tiga kemungkinan hal tersebut dapat terjadi, yaitu (a) data yang bersifat cross section
memungkinkan
munculnya
banyak
variasi,
misalnya pendapatan mempunyai kisaran ratusan ribu sampai miliaran rupiah; (b) proses belajar, dengan bertambahnya ilmu dapat membuat varian lebih kecil; dan (c) teknik pengumpulan data, data yang berjumlah b anyak akan memperkecil varian. 2.9.3.3.
Autokorelasi Autokorelasi dikenalkan oleh Maurice G. Kendall dan William R. Buckland. Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota observasi yang disusun menurut urutan waktu. Ada beberapa penyebab autokorelasi, yaitu
(a) kelembamam, kelembamam biasanya terjadi dalam fenomena ekonomi dimana sesuatu akan mempengaruhi sesuatu yang lain dengan mengikuti siklus bisnis atau saling berkaitan; (b) terjadi bias dalam spesifikasi, yaitu ada beberapa variabel yang tidak termasuk dalam model; dan (c) bentuk fungsi yang digunakan tidak tepat, misalnya seharusnya bentuk nonlinier tetapi digunakan linier atau sebaliknya. 2.10 Penelitian Terdahulu Prasetyo (2006) melakukan penelitian yang berjudul “Kontribusi Pajak Reklame Terhadap Pendapatan As li Daerah Kabupaten Kudus Tahun 2000-2004”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif secara kuantitatif. Penelitian ini menyimpulakan bahwa potensi pajak reklame di Kabupaten Kudus terdiri dari potensi objek pajak dan subjek pajak. Potensi objek pajak reklame Kabupaten Kudus dapat dilihat dari dari daftar perbandingan realisasi penerimaan PAD setiap tahun anggarannya, hal ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi suatu pajak reklame terhadap PAD Kabupaten Kudus, se dangkan potensi subjek pajak reklamenya meliputi wajib pajak dan tempat pemasangan reklame. Hasil lain penelitian ini adalah besarnya kontribusi pajak reklame terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) selama lima tahun sebesar 0,97% dan masih menunjukan nilai yang relatif kecil tetapi cukup berarti dalam pembiayaan penyelenggaraan pemerintah. Adapun faktor -faktor yang mengahambat pemungutan pajak reklame di Kabupaten Kudus meliputi perlawanan pasif seperti perkembangan intelektual dan moral masyarakat, sistem perpajakan yang sulit dipahami masyarakat dan sistem kontrol tidak dapat dilakukan dan dilaksanakan dengan baik, serta perlawanan aktif misalnya tax avoidance dan tax evasion. Usaha yang ditempuh Pemerintah Daerah Kabupaten Kudus untuk meningkatkan pajak r eklame melalui intensifikasi dan ekstensifikasi.
Fatchanie (2007) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Efisiensi dan efektifitas hasil pemungutan pajak parkir di Kabupaten Sleman”. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Pemungutan pajak parkir di Kabupaten Sleman berdasarkan undang -undang No.9 Tahun 2002 tentang pajak parkir dan mulai ditargetkan dalam struktur penerimaan Daerah tahun 2003 sebesar Rp.100.000.000;. kontribusi yang diberikan pajak parkir terhadap pajak daerah masih dibawa h 1%, hal ini mengindikasikan bahwa pajak parkir merupakan bagian yang kecil dari pendapatan daerah melalui sektor pajak daerah. Selain itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa pemungutan pajak parkir yang dijalankan oleh BPKKD Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun semakin efisien dan tingkat efektifitas pemungutan pajak parkir tidak menunjukkan progress. Dorojatun (2007) melakukan penelitian tentang sistem Penerimaan “Pajak Sarang Burung sebagai Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Tegal”. metode analisis dat a yang digunakan adalah metode deskriptif naratif. Penelitian ini menyebutkan bahwa pajak daerah yang dipungut di Kabupaten Tegal meliputi pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak penggalian, pemanfaatan, dan pengelolaan galian golongan C serta pajak sarang burung dan hasil penelitian ini adalah sistem penerimaan pajak sarang burung di Kabupaten Tegal sudah baik akan tetapi dalam pelaksanaannya masih ada beberapa kendala seperti kurangnya pegawai ahli untuk penga wasan dan kurang kerjasama dari pengusaha sarang burung, wajib pajak sarang burung masih banyak yang belum sadar akan pentingnya pembayaran pajak tepat waktu, hal ini disebabkan budaya yang berlaku di masyarakat dan pendidikan masyarakat yang masih rendah, fungsi internal dan eksternal sudah berjalan dengan baik sesuai dengan tanggung jawab dan tugas masing -masing, serta pengendalian intern sudah berjalan dengan baik sesuai sistem yang ada. Hasil dari berbagai penelitian terdahulu tersebut dapat disimpulka n bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) di setiap Kabupaten merupakan salah satu penopang keuangan daerah yang penting bagi keberlangsungan pemerintahan di daerah tersebut. Pendapatan Asli Daerah (PAD) antara satu
daerah dengan daerah lainnya berbeda -beda tergantung pada potensi yang dimiliki daerah tersebut. Salah satu sumber pendapatan Asli Daerah (PAD) berasal dari pajak daerah yang terdiri dari pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak galian golongan C serta pajak sarang burung dan besarnya kontribusi masing -masing pajak daerah terhadap pendapatan asli daerah (PAD) berbeda -beda. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian untuk menganalisis kontribusi
yang
diberikan pajak hotel dan restoran terhadap penerima an pendapatan asli daerah (PAD) di Kabupaten Tegal yang merupakan daerah asal penulis.