II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Pengusahaan Yoghurt di Indonesia Industri pengolahan susu baik berskala kecil maupun berskala besar memiliki peranan penting dan strategis bagi perkembangan agribisnis persusuan di Indonesia. Industri pengolahan susu tersebut sangat berperan dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat akan gizi yang baik dan seimbang. Adanya kemajuan teknologi mempengaruhi kecenderungan masyarakat dalam gaya hidup dan pola konsumsinya. Menurut Risman (2009) “pola kecenderungan konsumen dalam mengkonsumsi susu lebih memilih produk susu olahan dibandingkan dengan susu segar”. Hal ini dikarenakan produk susu olahan lebih praktis, memikili daya simpan yang lebih lama dibanding susu segar, memiliki pilihan rasa yang disukai konsumen, terbatasnya jangkauan susu segar dalam pemasaran karena bersifat perishable food serta harga susu segar relatif lebih mahal daripada susu olahan. Di Indonesia, industri pengolahan susu salah satunya mengolah susu segar menjadi yoghurt. Keunggulan dari yoghurt yaitu mengandung bakteri probiotik yang berguna bagi pencernaan makanan dalam usus manusia. Seiring dengan berjalannya waktu bisnis pengolahan susu menjadi yoghurt berkembang cukup pesat dan banyak produk yoghurt dalam berbagai bentuk serta kemasan yang dijual di pasaran. Menurut Kurniasari (2010), Perkembangan industri pengolahan itu tidak hanya dilihat dari bertambahnya jumlah industri pengolahan secara keseluruhan, tetapi juga dilihat dari bertambahnya jumlah industri pengolahan bedasarkan indikator tertentu seperti penggunaan jumlah tenaga kerja, kapasitas produksi, modal, dan teknologi. Dengan meningkatnya industri yang bergerak di bidang pengolahan yoghurt, dilihat dari perbedaan indikator tersebut skala usaha produksi yang menjalankan industri yoghurt semakin beragam meliputi industri rumah tangga, kecil, menengah, dan besar. Dilihat dari sisi penggunaan tenaga kerja, Badan Pusat Statistik (2011) mengelompokkan perusahaan industri pengolahan secara umum, termasuk industri yoghurt ke dalam industri rumah tangga bila mempekerjakan kurang dari lima orang tenaga kerja, industri kecil bila memperkerjakan kurang dari dua puluh orang tenaga kerja, industri menengah bila memperkerjakan kurang dari seratus 12
orang tenaga kerja, dan industri besar bila memperkerjakan seratus atau lebih orang tenaga kerja. Selain itu, dilihat dari sisi kapasitas produksinya, industri yoghurt juga dapat dikelompokkan menjadi industri rumah tangga, kecil, menengah, dan besar. Kapasitas produksi yoghurt pada industri yoghurt skala rumah tangga dan kecil kurang dari 50.000 liter per tahun. Industri yoghurt skala menengah kapasitas produksi terpasang dari 50.000 liter hingga 100.000 liter per tahun, dan industri yoghurt skala besar kapasitas produksi terpasang lebih 100.000 liter per tahun (diacu dalam Syafrul, 2010). Bedasarkan penggunaan modal dan teknologi, menurut Sucherly (1983), pengelompokkan industri kecil adalah perusahaan industri yang mempunyai ciriciri investasi modal untuk mesin dan peralatan tidak lebih dari Rp 70 juta dan umumnya menggunakan teknologi yang sederhana. Sedangkan industri besar dicirikan dengan padat modal dan menggunakan teknologi modern. Untuk menentukan besar skala produksi industri yoghurt memang dapat didekati dengan berbagai hal seperti penggunaan tenaga kerja, kapasitas produksi, dan penggunaan modal serta teknologi. Namun, semua indikator tersebut membuat industri yoghurt menjadi empat skala produksi yaitu skala rumah tangga, kecil, menengah, dan besar. Perkembangan industri yoghurt di Indonesia pada akhirnya akan mengarah pada perkembangan jumlah industri yoghurt berdasarkan skala produksi tersebut. Perkembangan jumlah industri yoghurt berdasarkan skala produksi dikarenakan proses produksi pembuatan yoghurt yang mudah dan sederhana membuat bisnis yoghurt dapat dilakukan oleh siapa saja. Menurut Dewi (2009) dengan bertambahnya jumlah produsen yoghurt maka akan bertambah pula jumlah pesaing dalam industri yoghurt sehingga berimplikasi terhadap tingkat persaingan antar produsen yoghurt yang semakin tinggi. Tingginya tingkat persaingan antar produsen yoghurt dilihat dari kemampuan perusahaan dalam menguasai proses produksi, kepemilikan modal, kemampuan manajemen, dan keberhasilan dalam pemasaran hasil produksi. Uraian di atas menunjukkan bahwa pengolahan susu segar menjadi yoghurt dapat dilakukan oleh skala usaha produksi rumah tangga, kecil,
13
menengah, dan besar sebagai upaya untuk meningkatkan keuntungan dan nilai tambah dari produk susu segar. Selain memberikan dampak positif bagi industri pengolahan dan masyarakat, yoghurt juga dapat membawa dampak pada perkembangan agribisnis persusuan di Indonesia. Proses pembuatan yang mudah, harga jual yang relatif murah, serta kandungan gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu segar, membuat usaha yoghurt memiliki prospek kedepan yang semakin baik.
2.2 Pengaruh Job Order Terhadap Produksi di Perusahaan Pengembangan industri pengolahan susu yang dilakukan oleh koperasi maupun perusahaan pada umumnya menerapkan sistem produksi berdasarkan pesanan (job order) dalam memproduksi produknya. Sistem produksi job order merupakan sebuah kontrak kerjasama antara perusahaan dengan distributor. Sistem job order dilakukan untuk menjamin kontinuitas produksi dan meminimalisir produk yang tidak laku terjual. Penelitian Wardhani (2010) dan Meisya (2011) menyatakan koperasi menerapkan sistem job order bertujuan untuk menjamin kontinuitas permintaan pasar akan produknya, sehingga dapat meminimalisir kerugian dengan tidak terjualnya produk yang dihasilkan. Penerapan sistem job order cenderung mengalami kerugian, karena dengan diberlakukannya sistem tersebut baik koperasi maupun perusahaan kehilangan keleluasaan kapasitasnya dalam berproduksi. Penelitian Risman (2009) menyatakan perusahaan memproduksi produk dengan melakukan sistem job order dinilai merugikan karena proses produksi yang dilakukan tidak maksimal dan cenderung bersifat pasif karena hanya menunggu pemesanan. Keputusan produksi sistem job order bergantung pada jumlah pesanan permintaan distributor yang belum tentu sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Menurut Wardhani (2010) dan Meisya (2011) dengan diterapkannya sistem job order baik koperasi maupun perusahaan berproduksi di bawah kapasitas yang dimiliki serta tidak dapat mengoptimalkan pemanfaatan dan penggunaan seluruh bahan baku utama karena jumlah produksi ditentukan oleh pemesanan dalam kontrak. Namun, koperasi maupun perusahaan tetap memilih sistem job order
14
karena pada umumnya koperasi maupun perusahaan tersebut belum dapat menguasai pasar dan adanya tingkat persaingan yang tinggi.
2.3 Model Optimalisasi Produksi Optimalisasi produksi diperlukan oleh perusahaan dalam rangka mengoptimalkan sumberdaya yang digunakan agar suatu produksi dapat menghasilkan produk dalam kuantitas dan kualitas yang diharapkan sehingga perusahaan dapat mencapai tujuan. Jenis persoalan optimalisasi dibagi menjadi dua yaitu tanpa kendala dan dengan kendala. Pada optimalisasi tanpa kendala, faktor yang menjadi kendala terhadap fungsi tujuan diabaikan. Sedangkan, pada optimalisasi dengan kendala, faktor yang menjadi kendala pada fungsi tujuan diperhatikan dalam menentukan titik maksimum atau titik minimum dari fungsi tujuan. Salah satu teknik optimalisasi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah optimalisasi berkendala adalah dengan menggunakan teknik linear programming (LP). LP merupakan metode yang digunakan untuk memecahkan masalah optimalisasi berkendala dimana semua fungsi tujuan atau kendala merupakan fungsi linier. Halim (2009), Ramadani (2009), Yusup (2009), dan Wardhani (2010) menggunakan metode LP dalam penelitiannya untuk menyelesaikan masalah optimalisasi berkendala. Penentuan fungsi tujuan dalam metode LP terdiri dari maksimisasi keuntungan dan minimisasi biaya. Penelitian Halim (2009), Ramadani (2009), Yusup (2009), dan Wardhani (2010) membentuk fungsi tujuan perusahaan dengan cara maksimisasi keuntungan pada kendala sumberdaya yang terbatas. Penelitian Halim (2009), Ramadani (2009), dan Yusup (2009) merumuskan model fungsi tujuan dengan keuntungan yang dimaksimalkan merupakan selisih antara total peneriman dengan total biaya produksi. Sedangkan Wardhani (2010) merumuskan model fungsi tujuan yang diperoleh dari hasil perhintungan perkembangan keuntungan penjualan saja. Pada dasarnya optimalisasi produksi berkendala merupakan persoalan dalam menentukan nilai variabel suatu fungsi menjadi maksimum atau minimum dengan memperhatikan keterbatasan atau kendala sumberdaya yang ada.
15
Sumberdaya yang membatasi pada setiap komoditi yang dioptimalkan di perusahaan umumnya meliputi faktor-faktor produksi seperti modal, bahan baku, tenaga kerja, dan mesin yang merupakan input serta ruang dan waktu. Halim (2009), Ramadani (2009), dan Yusup (2009) juga menambahkan keterbatasan lainnya mengenai kendala permintaan pasar untuk mengetahui batasan produksi yang dihasilkan dalam memenuhi permintaan pasar dan Wardhani (2010) juga memasukkan kendala permintaan pasar yang digambarkan melalui pesanan distributor atau sistem job order. Keterbatasan sumberdaya dalam dimensi waktu terhadap analisis optimalisasi produksi juga dilakukan dalam penelitian Ramadani (2009), Yusup (2009), dan Wardhani (2010). Ketiga penelitian tersebut melihat pengaruh variabel waktu produksi setiap bulan untuk melihat perbedaan bulan terhadap jumlah produk yang dijual atau permintaan produk yang akan berpengaruh terhadap perbedaan keuntungan. Dalam teknik optimalisasi, upaya memperoleh solusi dari suatu permasalahan yang dihadapi jarang diperoleh suatu solusi yang terbaik. Meskipun setiap perusahaan berusaha mencapai keadaan optimal dengan memaksimumkan keuntungan atau dengan meminimumkan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Penelitian Halim (2009), Ramadani (2009), dan Yusup (2009) menunjukkan masih adanya perbedaan antara produksi pada kondisi aktual dengan
kondisi
optimalnya,
sedangkan
Wardhani
(2010)
menunjukkan
perbandingan kombinasi produksi pada kondisi optimal hampir mendekati pada kondisi aktualnya. Bedasarkan ketiga penelitian tersebut, penggunaan model LP atau asumsi-asumsi belum mampu menggambarkan secara tepat dalam menghasilkan model pada kondisi optimal sama dengan model pada kondisi aktual. Hal ini dikarenakan adanya berbagai kendala yang bersifat fisik, teknis, dan kendala lainnya yang berada di luar jangkauan pelaku kegiatan dalam perusahaan serta adanya unsur biaya dan keuntungan yang terdapat dalam fungsi tujuannya.
16