14
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Kebijakan Agribisnis Ayam Ras Perkembangan perunggasan Indonesia dari tahun 1965 hingga sekarang berjalan dengan tingkat pertumbuhan yang cukup berhasil. Misi penyediaan pangannya telah mampu ikut menyumbang dan membangun
sumber daya
manusia. Tidak kurang dari 200 juta penduduk Indonesia telah mampu mengkonsumsi rata-rata 11 kg/kapita/tahun hasil unggas dari hasil sebesar 2.5 trilyun kg/tahun. Berarti pula, di bidang ekonomi, tidak kurang dari 20 trilyun rupiah uang masyarakat beredar untuk membelanjakan hasil-hasil unggas dan ini semua berarti hasil dari investasi, teknologi, kesepakatan kerja/kesempatan berusaha yang tumbuh di dalam masyarakat (Oetoro, 2002). Program pemerintah dalam mengembangkan peternakan ayam ras terlihat dari adanya program Bimbingan Massal (Bimas) ayam yang dimulai pada 1976. Program ini dilakukan mirip dengan Bimas padi yang ditujukan untuk swasembada beras. Program dimulai dengan membangun paket proyek di Bogor dan Yogyakarta. Mengingat proyek percontohan ini dinilai berhasil, maka program ini dilanjutkan untuk daerah-daerah lain. Sampai dengan 1977/1978, program Bimas ini telah meluas ke 18 lokasi dengan jumlah proyek mencapai 2 325 paket dengan nilai kredit sebesar Rp. 813.75 milyar. Hasil analisis memperlihatkan bahwa program pemberian kredit Bimas ayam ras tersebut ternyata menguntungkan bagi petani. Oleh karena itu, program tersebut kemudian dilanjutkan dengan program Bimas broiler (ayam ras pedaging) sejak tahun 1980. Pada program Bimas ayam broiler ini para peternak kecil yang
14
15
dinilai layak, mendapatkan kredit dan diberi jatah paket berupa 500 ekor ayam/ periode atau 2 500 ekor ayam/tahun (tiap periode terdiri dari 7- 8 minggu). Program Bimas ayam ras broiler maupun ayam ras petelur ini ternyata berkembang dengan baik karena dapat mendatangkan keuntungan dengan baik yang menarik bagi peternak peserta Bimas. Walaupun demikian, dalam perjalanan lebih lanjut, program ini mulai menemui sejumlah masalah di lapangan, terutama mulai memasuki pelita III (1979-1984), seiring dengan munculnya masalah pemasaran daging dan telur ayam. Masalah mulai timbul karena dalam kurun waktu tersebut peternak yang mengelola ayam ras ternyata bukan hanya peserta Bimas, tetapi meluas ke peternak mandiri yang lahir dari unsur wiraswasta murni tanpa bantuan kredit dan fasilitas lainnya dari pemerintah. Banyak di antara peternak mandiri ini memelihara ayam ras dalam jumlah besar yang mencapai puluhan hingga ratusan ribu dan jutaan ekor. Masalah utama yang timbul adalah kurangnya bahan baku pakan ternak, terutama pada saat musim kemarau tiba. Pada saat itu harga pakan ternak menjadi mahal sementara harga jual daging dan telur ayam relatif stagnan. Dilain pihak, karena manajemennya yang lebih baik, peternak skala besar mampu menjual produk daging dan telur ayam dengan harga yang lebih murah dibanding peternak kecil. Akibatnya, mulai timbul kemelut berupa pertentangan antara peternak kecil dengan peternak besar. Sebagai respon terhadap kemelut tersebut, maka pemerintah kemudian menetapkan sebuah Keputusan Presiden, yakni Keppres No. 50/1981 tanggal 2 November 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras dengan inti materi sebagai berikut:
16
1.
Perorangan atau badan hukum yang menjalankan usaha peternakan ayam petelur hanya diperkenankan mengelola jumlah ayam dewasa sebanyakbanyaknya 5 ribu ekor, sedangkan untuk ayam pedaging maksimum 750 ekor per minggu
2.
Perorangan atau badan hukum yang mengelola ayam petelur atau pedaging melebihi jumlah yang telah ditentukan, harus mengurangi secara bertahap sampai dengan batas jumlah yang ditentukan
3.
Untuk menjamin tersedianya produksi telur dan daging ayam ras, maka dilakukan usaha-usaha sebagai berikut: a. Meningkatkan usaha peternakan ayam ras yang sudah ada untuk mencapai skala usaha peternakan kecil yang maksimal b. Mendorong terbentuknya peternakan-peternakan ayam ras baru, baik melalui Bimas maupun non Bimas. Keppres No 50/1981 ini pada hakekatnya merupakan upaya restrukturisasi
dan stabilisasi di bidang perunggasan setelah terjadinya ketimpangan struktur usaha dan munculnya pertentangan antara peternak kecil dengan peternak besar. Namun demikian, pelaksanaan Keppres ini tenyata tidak terlalu sesuai dengan yang diharapkan. Akibat banyaknya pelanggaran yang terjadi, maka Menteri Pertanian RI kemudian menerbitkan SK Mentan No. TN 406/Kpts/5/1984 tertanggal 28 Mei 1984. SK Mentan tersebut pada intinya mengatur pola kerjasama tertutup yang saling menguntungkan antara perusahaan peternakan sebagai inti dengan peternak sebagai plasma, yang kemudian dikenal sebagai pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR).
17
Dalam perkembangannnya, pola PIR ini ternyata belum juga mampu meredam gejolak di lapangan sehingga dengan berbagai upaya konsolidasi dengan masyarakat perunggasan, pada tahun 1990, Keppres No 50/1981 dicabut dan diganti dengan Keppres No 22/1990, yang berisi tentang Kebijakan Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras. Untuk mendukung pelaksanaannya, diterbitkan pula SK Menteri Pertanian No 362/Kpts/TN/120/1990 tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Pemberian Izin dan Pendaftaran Usaha Peternakan. Keppres No 22/1990 pada hakekatnya merupakan upaya deregulasi tentang bidang perunggasan. Skala usaha yang pada Keppres sebelumnya dibatasi maka pada Keppres yang baru tersebut tidak lagi diatur. Pengaturan skala usaha hanya dilakukan pada SK Mentan No 362/1990, yang berisi tentang tatacara perizinan, bukan pembatasan. Dalam SK Mentan tersebut dinyatakan bahwa untuk usaha peternakan yang jumlahnya 10 ribu ekor petelur dewasa atau dibawahnya, maka dimasukkan sebagai kategori peternakan rakyat, yang pendiriannya
tidak
memerlukan
izin,
melainkan
hanya
cukup
dengan
mendaftarkannya saja. Sedangkan untuk ayam pedaging, jumlah maksimum 15 ribu ekor per siklus, dikategorikan sebagai peternakan rakyat, dan bila melebihi jumlah tersebut, maka dikategorikan sebagai perusahaan peternakan. Perubahan peraturan perundang-undangan ini menjadi pemicu bagi berkembangnya agribisnis perunggasan di Indonesia, terutama ayam ras karena pada saat itulah siapapun boleh mengusahakan peternakan ayam ras, asal memenuhi persyaratan yang ditentukan. Dengan diberlakukannya Keppres No. 22/1990, maka muncul banyak peternakan ayam ras dalam skala besar yang dikelola dengan cara-cara modern, baik dalam hal budidaya maupun dalam pemasarannya.
18
2.2. Keterkaitan Agroindustri Pakan Ternak dengan Budidaya Ayam Ras Industri pakan ayam ras mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan kaitan ke depan (forward linkage) yang cukup panjang. Kaitan ke belakang dari industri pakan ayam ras adalah kebutuhan akan hasil-hasil pertanian tanaman pangan sebagai masukan (input), baik yang sudah terolah maupun belum. Selain daripada itu, industri pakan ayam ras juga memerlukan hasil-hasil industri lain sebagai pelengkap (supplement) bagi pakan ayam ras. Sedangkan kaitan ke depan berhubungan dengan penggunaan hasil produksi pakan bagi institusi berikutnya. Dalam hal ini hasil olahan industri pakan digunakan oleh institusi budidaya ayam ras yang dikelola secara komersial. Selanjutnya hasil budidaya ayam ras digunakan sebagai masukan bagi industri lain atau dikonsumsi langsung oleh konsumen. Dengan demikian apabila industri pakan ayam ras didudukkan dalam sistem agribisnis tanaman pangan ia berada pada posisi sebagai sub-sistem agroindustri dan bila didudukkan dalam sistem agribisnis ayam ras ia berada pada posisi sebagai sub-sistem penyediaan sarana produksi ternak (sapronak). Keterkaitan ini secara sederhana dapat digambarkan sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Dari Gambar 1 nampak bahwa industri pakan ayam ras sangat tergantung pada beberapa hasil pertanian tanaman pangan. Sedangkan hasil pertanian tanaman pangan tergantung pada tingkat kesuburan dan kecocokan lahan serta musim. Apabila produksi tanaman pangan terganggu oleh musim atau oleh hama, maka harga dari tanaman pangan tersebut akan bergejolak. Gejolak harga bahan baku pakan akan berpengaruh terhadap harga pakan ayam ras dan pada gilirannya akan mempengaruhi biaya produksi budidaya ayam ras. Apabila harga pakan
19
Jagung Kuning
Industri Obat2 an
Bungkil Bungkil Kc. Kedele Kc.Tanah
Dedak DOC
Dedak
Tepung Ikan
Industri Pakan A. Ras
Usaha Ternak Ayam Ras
Agroindustri Hasil Budidaya Ayam Ras
a
s
a
r
Gambar 1. Sistem Agribisnis Ayam Ras Sumber : Alim, 1996
Rapeseed Meal
Industri Peralatan Kandang
Poultry Shop
P
Wheat Pollard
20
bergejolak naik dan tidak diikuti oleh kenaikan harga hasil ternak ayam ras, maka para peternak akan menderita rugi. Selain daripada itu, Gambar 1 memperlihatkan pula bahwa ada empat pola usaha ternak (budidaya) ayam ras, yakni : (1) usaha ternak ayam ras menyediakan sendiri seluruh sapronaknya baik langsung maupun melalui perusahaan afiliasi, (2) usaha ternak ayam menyediakan sendiri sebagian sapronaknya, misalnya usaha ternak menghasilkan sendiri pakan ayam ras tetapi tidak menyediakan DOC atau sebaliknya, (3) usaha ternak yang membeli sendiri langsung
dari
pabrik, dan (4) usaha ternak
seluruh
sapronaknya
ayam ras yang membeli
seluruh sapronaknya melalui poultry shop. Dari empat pola usaha ini, pola satu dan dua mempunyai peluang yang lebih baik dalam berbagai kondisi pasar. Sedangkan usaha ternak pola empat berada pada posisi bersaing yang lemah dan sangat peka terhadap perubahan harga sapronak. Dalam keadaan harga sapronak naik, sedangkan harga produk ayam ras tidak naik, maka usaha ternak pola keempat ini akan sangat menderita. Peternakan Rakyat (usaha ternak ayam ras skala kecil) pada umumnya termasuk dalam kategori usaha ternak pola keempat. Dengan demikian, sesungguhnya Peternakan Rakyat pada umumnya berada pada kondisi pasar yang rentan terhadap perubahan harga. Kerumitan-kerumitan yang dialami oleh dunia usaha ayam ras bersumber dari dua arah, yakni dari luar dan dari dalam dunia usaha ayam ras sendiri. Yang bersumber dari luar setidak-tidaknya ada tiga sumber yang dominan, yaitu : (1) berasal dari goncangan harga bahan baku utama pakan ayam ras, (2) berasal dari goncangan harga produk (daging dan telur) ayam ras, dan (3) berasal dari
21
pola konsumsi masyarakat (selera konsumen). Sedangkan yang bersumber dari dalam dunia usaha ayam ras sendiri, sekurang-kurangnya ada tiga . yaitu: (1) mutu sarana produksi budidaya ayam ras, (2) pola tataniaga ayam ras, dan (3) kemitraan secara padu antara semua sub-sistem dalam sistem agribisnis ayam ras.
2.3. Perkembangan Industri Pakan Ternak Perkembangan industri pakan ternak, khususnya pakan ayam ras, tidak terlepas dari budidaya ayam ras itu sendiri. Korelasi antara keduanya sangat kuat, sebab output dari industri pakan dikonsumsi oleh ayam ras sebagai sumber utama kebutuhan gizi. Disisi lain kemampuan produksi ayam ras tergantung pula pada unsur-unsur gizi yang dikonsumsinya. Ketika ayam ras mulai memasyarakat di Indonesia dirasakan perlu untuk mendirikan pabrik pakan. Tahun 1972 dipandang sebagai titik awal berdirinya usaha ternak ayam ras secara serius, dan pada tahun ini didirikanlah pabrik-pabrik pakan skala menengah di Jakarta. Pabrik-pabrik pakan kala itu memasarkan hasil produksinya pada kalangan peternak ayam ras yang masih terbatas. Namun demikian, tahun 1976 peranan pabrik-pabrik pakan semakin jelas dan mencapai puncaknya pada tahun 1980-1981 dengan berdirinya puluhan pabrik pakan, diantaranya banyak yang berskala besar. Salah satu faktor penyebab berhentinya banyak usaha dalam industri unggas nasional adalah karena ketergantungan bahan baku pakan dan bibit serta pinjaman modal pada impor. Dalam krisis moneter dan ekonomi, harga bahan baku impor melambung, pengembalian utang membengkak, dan pengadaan impor terpaksa dihentikan. Setelah krisis, ternyata pabrik pakan belum pulih ke posisi semula. Produksi pakan terpaksa diturunkan sebesar 60 persen, dan akibat lebih
22
jauh harga pakan melambung sehingga banyak perusahaan yang terpaksa menghentikan usahanya. Perkembangan jumlah pabrik pakan, kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai pabrik pakan di Indonesia periode 1990-2001 disajikan pada Tabel 1. Dalam periode tersebut, rata-rata jumlah pabrik pakan ternak di Indonesia sebanyak 61 buah, dengan rata-rata total kapasitas 6.3 juta ton atau 102.1 ribu ton per pabrik. Tabel 1. Perkembangan Jumlah dan Kapasitas Pabrik Pakan Indonesia Tahun 1990-2001
Tahun
Jumlah Pabrik (unit)
1990
59
2 945
49.9
54.26
1991
59
2 945
49.9
64.07
1992
68
2 949
43.4
61.07
1993
56
3 305
59.0
76.73
1994
56
4 785
85.4
69.80
1995
58
5 278
91.0
63.47
1996
59
6 839
115.9
62.82
1997
63
8 250
131.0
53.88
1998
67
9 089
135.7
22.95
1999
67
9 089
135.7
30.52
2000
61
10 019
164.2
44.88
2001 Rataan r (%/th)
61 61.20 0.63
10 019 6 293 12.52
164.2 102.1 11.91
44.84 54.12 -5.22
Terpasang (000 ton)
Kapasitas Rataan Terpasang (000 ton/pabrik)
Terpakai (%)
Sumber: Statistik Peternakan (diolah) dalam Kariyasa, 2003
Walau jumlah pabrik pakan terbanyak berada pada tahun 1998 dan 1999 (67 buah), namun demikian ternyata total kapasitas terpasang justru terbesar berada pada tahun 2000 dan 2001, dimana jumlah pabrik pada tahun tersebut hanya sebanyak 61 buah. Kalau dilihat dari perkembangannya, baik jumlahnya,
23
total kapasitas maupun rata-rata kapasitas per pabrik pakan periode 1990-2001 mengalami peningkatan berturut-turut 0.63 persen, 12.52 persen dan 11.91 persen per tahun (Kariyasa, 2003). Sementara itu, rata-rata kapasitas terpakai dari pabrik pakan selama periode 1990-2001 hanya sekitar 54.12 persen, itu pun terjadi kecenderungan menurun sebesar 5.22 persen per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa hampir sekitar 45.88 persen terjadi idle capacity, sehingga hal ini diduga sebagai salah satu kenapa biaya produksi pakan di Indonesia relatif masih tinggi. Tabel 2. Perkembangan Produksi Pakan dan Penggunaannya di Indonesia, Tahun 1992-2003 Tahun
Produksi (000 ton)
Kebutuhan Ternak ayam ras Lainnyaa (%) Jumlah (000 ton) Pangsa (%)
1992
1 806
1 774
98.23
1.77
1993
2 536
2 409
94.99
5.01
1994
3 340
2 841
85.06
14.94
1995
3 350
3 145
93.88
6.12
1996
4 296
3 448
80.26
19.74
1997
4 445
3 017
67.87
32.13
1998
2 086
1 665
79.82
20.18
1999
2 774
1 526
55.01
44.99
2000
4 497
2 497
55.53
44.47
2001
4 991
3 598
72.10
27.90
2002
5 511
2 577
46.80
53.20
2003 Rataan r (%/th)
10 026 4 138 41.40
5 382 2 823 18.50
53.70 73.60 -4.10
46.30 26.40 228.70
Keterangan: a termasuk untuk kebutuhan selain ternak ayam ras dan stok Sumber : Statistik Peternakan (2004)
Perkembangan produksi pakan dan penggunaannya di Indonesia periode 1992-2003 menunjukkan bahwa selama periode tersebut rata-rata produksi pakan
24
di Indonesia mencapai 4.1 juta ton, dimana setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan sebesar 41.40 persen (Tabel 2.). Dari segi penggunaannya, tampak bahwa pada tahun 1992-1995 lebih dari 93 persen dari total produksi pakan digunakan untuk memenuhi permintaan peternak ayam ras, sisanya sekitar 6 persen untuk memenuhi permintaan lainnya. Dalam periode 1992-2003 rata-rata penggunaan pakan untuk ternak ayam ras 2.8 juta ton atau sekitar 73.60 persen. Walaupun dari segi jumlah permintaan pakan dari peternak ayam ras mengalami peningkatan sebesar 18.50 persen per tahun, namun dari sisi pangsanya terhadap total penawaran mengalami penurunan sebesar 4.10 persen per tahun. Sementara itu, pangsa permintaan lainnya (peternakan lainnya dan stok) mengalami peningkatan tajam sekitar 228.70 persen pertahun. Kecenderungan pertumbuhan industri pakan menuju bentuk monopoli dapat pula dilihat dari porsi produksi pakan dari sekelompok pabrik pakan dalam industri. Porsi produksi pakan dari pabrik pakan yang hanya berjumlah 12 persen atau secara absolut berjumlah 8 pabrik pakan memiliki pangsa pasar sebesar 65 sampai 83 persen. Dengan demikian, ke delapan pabrik pakan tersebut dapat dikatakan sebagai pengendali pasar pakan. Pada kenyataannya ke delapan pabrik pakan tersebut bergabung dalam organisasi GPMT yang mempertegas adanya kartel diantara mereka. Hasil kajian Yusdja dan Saptana (1995) mengungkapkan bahwa ada kecenderungan pertumbuhan pabrik pakan ke arah bentuk monopoli, yang sampai saat ini sudah dalam bentuk oligopoli. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh : (1) proporsi produksi pakan dari pabrik pakan berskala besar yang berjumlah 8 buah (12 persen) memiliki pangsa pasar sebesar 65-83 persen, (2) hasil estimasi
25
keuntungan pabrik pakan (1993) Rp. 265/kg pakan petelur dan Rp. 287/kg pakan broiler atau sekitar 42-44 persen dari harga jual pakan, (3) bahkan beberapa perusahaan peternakan skala besar melakukan integrasi vertikal, seperti perusahaan PT. Japfa Comfeed, PT. Charoen Phokphand, PT. Cargill, PT. Anwar Sierad, Group Subur, PT. Multi Breeder, dll, dan (4) pada kenyataannya ke delapan pabrik pakan skala besar ini berada dalam satu organisasi GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) yang mempertegas adanya kartel di antara mereka. GPMT (Gabungan Pengusaha Makanan Ternak) dikenal sebagai media yang memperjuangkan nasib pabrik pakan dan mengadakan persekutuan dalam mengatur harga pakan. Menurut analisis pasar Warta Pertanian (1996) terdapat dua perusahaan besar yang menguasai lebih setengah pangsa pasar pakan unggas yang tersedia. Diperkirakan mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan harga pakan selama ini. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2000 terdapat 61 perusahaan pakan ternak seluruh Indonesia dengan kapasitas produksi 10 018 791 ton. Semakin dominannya perusahaan skala besar dapat ditunjukkan bahwa ditahun 1999 PT. Charoen Pokphand Indonesia (CPI) mempunyai kapasitas
produksi
pakan sebesar 2 410 000 ton pertahun. Selanjutnya
dikemukakan oleh pihak PT. CPI bahwa pangsa pasarnya saat ini mencapai 38 persen untuk pakan unggas. Suatu pangsa pasar yang sangat potensial untuk menjadi leader dalam perusahaan oligopoli.
2.4. Permasalahan dan Tantangan Industri Pakan Ternak Tingkat keuntungan pabrik pakan ditentukan oleh biaya bahan baku makanan ternak yang digunakan (dan bagaimana meramunya menjadi pakan yang
26
memenuhi syarat), biaya produksi pakan, dan biaya pemasaran. Keberhasilan pabrik pakan memperoleh keuntungan yang maksimum ditentukan oleh banyak faktor. Yusdja dan Pasandaran (1996) memperlihatkan bahwa biaya bahan baku makanan ternak merupakan biaya terbesar bagi pabrik pakan, yakni 78.8 persen dari total biaya. Sedangkan biaya memproduksi adalah 7.8 persen dan pemasaran 4.4 persen. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa biaya produksi pakan sangat rendah. Dengan kata lain, biaya investasi relatif kecil sehingga sebenarnya perusahaan baru tidak akan menghadapi kesulitan jika ingin mendirikan pabrik pakan. Masalahnya adalah kemampuan dalam menguasai bahan baku. Sekitar 85-90 persen produksi pakan di Indonesia ditujukan untuk membuat pakan unggas, yaitu ayam ras pedaging (broiler) dan ayam ras petelur (layer). Dengan meningkatnya produksi unggas maka produksi pakan juga terus meningkat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya produksi pakan di awal tahun 1970an ketika ayam ras pertama kali dimasukkan ke Indonesia. Industri pakan ayam ras memerlukan bahan baku lebih dari 15 jenis. Dari sekian banyak jenis bahan baku yang diperlukan, yang paling sering menimbulkan gejolak harga pakan adalah jagung kuning, bungkil kacang kedele dan tepung ikan. Dalam komposisi pakan ayam ras, pihak pabrik memperkirakan kontribusi jagung kuning berkisar antara 30-55 persen, bungkil kedele antara 10-18 persen dan tepung ikan sebesar 5 persen. Melihat komposisi pakan sebagaimana diperkirakan oleh pihak pabrik, jelaslah bahwa jagung kuning mengambil porsi terbesar dalam formula pakan ayam ras, kemudian disusul dengan bungkil kedele. Hal ini jelas dikarenakan pakan ayam membutuhkan sumber energi yang diperoleh dari jagung. Memang
27
sumber energi bisa diperoleh dari bahan lain seperti sorgum, singkong maupun minyak. Akan tetapi dengan keterbatasan jumlah, harga dan nilai gizi, maka jagung masih merupakan bahan baku utama untuk membuat ransum ayam. Dengan demikian tidak mengherankan apabila terjadi guncangan harga dari kedua bahan baku utama ini harga pakan ayam ras pun ikut terguncang. Oleh karena itu produksi dan tataniaga kedua bahan baku ini perlu dicermati. Kebutuhan bahan baku jagung kuning dari sisi kuantitas belum dapat dipenuhi dari dalam negeri dan kekurangan ini seringkali cukup besar. Pengalaman menunjukkan bahwa untuk mengatasi kekurangan pasokan jagung dari dalam negeri dilakukan impor, yang kadang-kadang jumlahnya cukup besar dan dengan harga yang relatif tinggi dibanding harga jagung domestik. Tabel 3. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Indonesia
Impor Jagung di (ton) Permintaan Jagung
Tahun
Produksi Jagung
Ekspor Jagung
Impor Jagung
Net Impor
1993
6 459 737
52 090
494 446
442 356
6 902 093
1994
6 868 885
28 880
1 109 253
1 080 373
7 949 258
1995
8 245 902
74 879
969 145
894 266
9 140 168
1996
9 307 423
17 505
587 603
570 098
9 877 521
1997
9 161 362
18 956
1 098 353
1 087 397
10 248 759
1998
10 169 488
632 515
313 463
-319 052
9 850 436
1999
9 204 036
90 647
618 060
527 413
9 731 449
2000
9 677 000
28 066
1 264 575
1 236 509
10 913 509
2001
9 347 192
90 474
1 035 797
945 323
10 292 515
2002
9 654 105
14 285
1 149 844
1 135 559
10 789 664
2003
10 886 442
34 172
1 371 126
1 336 954
12 223 396
2004
11 225 243
51 479
1 115 093
1 063 614
12 288 857
Sumber : Statistik Pertanian (2005)
28
Tabel 3 menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan jagung ini dalam beberapa tahun terakhir tidak sejalan dengan laju peningkatan produksi di dalam negeri, sehingga mengakibatkan diperlukannya impor jagung yang makin besar. Hal yang menjadi kendala untuk meningkatkan produksi jagung Indonesia adalah produktivitas yang masih rendah, yaitu sekitar 2.4 – 2.9 ton/ha. Secara umum penggunaan jagung di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu : (1) konsumsi langsung, (2) bahan baku pakan ternak, (3) bahan baku industri pangan dan (4) kebutuhan lainnya. Perkembangan penggunaan jagung di Indonesia periode 1993-2003 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Penggunaan Jagung di Indonesia, Tahun 1993-2003 Konsumsia Tahun
Pakanb
Industri Pangan dan lainnya Volume Pangsa (000 ton) (%)
Volume (000 ton)
Pangsa (%)
Volume (000 ton)
Pangsa (%)
1993
864
13.45
2 298
35.77
3 261
50.78
1994
723
9.67
2 359
31.56
4 392
58.76
1995
567
6.60
2 420
28.18
5 601
65.22
1996
416
4.47
3 315
35.61
5 578
59.92
1997
460
4.96
3 075
33.16
5 738
61.88
1998
516
5.57
1 294
13.96
7 461
80.47
1999
563
6.15
1 717
18.77
6 868
75.07
2000
573
5.57
2 285
22.23
7 421
72.20
2001
582
6.12
2 518
26.47
6 414
67.41
2002
823
7.63
6 538
60.60
3 428
31.77
2003
718
5.88
6 942
56.80
4 562
37.32
Rataan
619
6.91
3 160
33.01
5 520
60.07
r (%/th)
-1.69
-5.63
20.20
5.88
3.99
-2.65
a
Sumber : SUSENAS (diolah) b Statistik Peternakan berbagai series (diolah)
29
Rata-rata penggunaan jagung untuk konsumsi langsung relatif sedikit yaitu 619 ribu ton per tahun atau hanya 6.91 persen dari total penggunaan jagung, bahkan cenderung mengalami penurunan masing-masing 1.69 persen dan 5.63 persen per tahun menurut volume dan pangsa. Seperti dikutip dalam Kariyasa (2003), sampai dengan tahun 2001, penggunaan jagung terbesar adalah untuk kebutuhan industri pangan. Namun setelah tahun 2001, penggunaan jagung terbesar beralih untuk kebutuhan industri pakan. Sementara itu, rata-rata penggunaan jagung untuk industri pakan periode 1993-2003 sekitar 3.1 juta ton atau 33.01 persen dari total penggunaan jagung. Baik dari segi volume maupun pangsa, penggunaan jagung untuk bahan baku pakan mengalami peningkatan masing-masing 20.20 persen dan 5.88 persen per tahun. Tujuan utama dilakukan impor jagung adalah dalam upaya untuk memenuhi kekurangan kebutuhan jagung dalam negeri khususnya untuk bahan baku pakan. Sementara itu, penggunaan jagung impor untuk bahan baku industri makanan dan non makanan masih relatif terbatas, diperkirakan hanya sekitar 15 persen. Pada Tabel 5 disajikan perkembangan komposisi penggunaan jagung impor dan produksi domestik periode 1993-2003. Pada tahun 1993 dari total jagung yang digunakan dalam pembuatan pakan ternak, pangsa penggunaan jagung impor masih sangat kecil yaitu hanya 18.29 persen. Artinya hampir sekitar 81.71 persen masih menggunakan jagung domestik sehingga dapat dikatakan bahwa jagung impor hanya sebagai pelengkap saja. Mulai tahun 1994, ketergantungan pabrik pakan Indonesia terhadap jagung impor sangat tinggi, dimana pada tahun tersebut sekitar 40.29 persen dipenuhi dari jagung impor, bahkan tahun 2000 penggunaan jagung impor dan jagung
30
domestik dalam pembuatan pakan ternak hampir berimbang (47.04 persen dan 52.96 persen). Kondisi ini menunjukkan bahwa ketergantungan pabrik pakan yang semakin tinggi terhadap jagung impor kurang menguntungkan bagi perkembangan industri pakan dan peternakan di Indonesia, apalagi dalam sepuluh tahun terakhir volume jagung yang diperdagangkan dalam pasar dunia sangat kecil (Kasryno, 2002). Tabel 5. Komposisi Penggunaan Jagung Impor dan Domestik dalam Pembuatan Pakan Ternak di Indonesia, Tahun 1993-2003 (%) Tahun
Komposisi Jagung Impor
Domestik
1993
18.29
81.71
1994
40.29
59.71
1995
34.04
65.96
1996
15.82
84.18
1997
30.36
69.64
1998
20.59
79.41
1999
30.60
69.40
2000
47.04
52.96
2001
34.97
65.03
2002
7.60
92.40
2003
11.60
88.40
Rataan
26.47
73.53
r (%/th)
-3.66
0.82
Sumber : Tabel 3 dan 4, dimana penggunaan jagung impor untuk non pakan sebesar 15% (diolah)
Namun mulai tahun 2002 penggunaan jagung impor dalam pakan mengalami penurunan yang signifikan. Pada Tabel 5 juga terlihat bahwa selama periode 1993-2003 pangsa penggunaan jagung impor mengalami penurunan yaitu 3.66 persen per tahun, sebaliknya pangsa penggunaan jagung produksi domestik cenderung mengalami peningkatan sebesar 0.82 persen per tahun. Keadaan ini
31
memperlihatkan bahwa produksi jagung Indonesia mulai meningkat dengan gencarnya penanaman jagung hibrida varietas unggul, karena dari data luas panen jagung sampai dengan tahun 2005 tidak ada peningkatan signifikan pada luas panen tanaman jagung. Jagung hibrida varietas unggul sendiri diperkirakan produktivitasnya berkisar 6 – 8 ton per hektar, yang jika dibandingkan dengan produktivitas jagung varietas biasa yang hanya berkisar 3 ton per hektar. Lain halnya dengan kedelai. Indonesia hanya menghasilkan sedikit tanaman keluarga kacang-kacangan yang satu ini. Buktinya, produksi kedelai Indonesia, bahkan Asia secara keseluruhan, tergolong rendah dan hampir semua negara Asia mengandalkan pasokan impor untuk kebutuhan kedelainya. Impor kedelai Indonesia mencapai lebih dari dua juta ton per tahunnya. Belum lagi bungkil kedelai yang merupakan by product kedelai dan komponen penting kedua dalam penyusunan ransum pakan ternak. Sejak tahun 2000, impor bungkil kedelai tercatat diatas 1 juta ton per tahun. Perkembangan produksi, ekspor dan impor kedelai Indonesia dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perkembangan Produksi, Konsumsi, Ekspor dan Impor Kedelai Indonesia
Tahun
Ekspor Kedelai
1998
1 305 640
0
343 124
343 124
1 648 764
1999
1 382 848
16
1 301 755
1 301 739
2 684 587
2000
1 018 000
521
1 277 685
1 277 164
2 295 164
2001
826 932
1 188
1 136 419
1 135 231
1 962 163
2002
673 056
0
1 325 833
1 325 833
1 998 889
2003
672 000
13 624
2 773 667
2 760 043
3 432 043
2004
723 000
18 381
2 881 735
2 863 354
3 586 354
Sumber: Statistik Pertanian (2005)
Impor Kedelai
Net Impor
(ton) Permintaan Kedelai
Produksi Kedelai
32
Sementara itu, Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Fenni Firman Gunadi mengatakan bahwa kenaikan harga pakan dari Rp. 2 300/kg menjadi Rp. 2 750/kg disebabkan naiknya harga bahan baku pakan ternak selama periode
Januari hingga Maret 20041. Misalnya jagung dari
Rp. 1 100/kg menjadi Rp. 1 200/kg, bungkil kedelai dari 310 menjadi 390 dollar AS/ton, meat bone meal (MBM) dari 300 menjadi 405 dollar AS/ton. Kenaikan harga MBM lebih banyak disebabkan berhentinya impor dari AS dan Kanada karena wabah Mad Cow, sehingga pasokan terbatas dan impor hanya dari Australia dan Selandia Baru. Selama semester I 2004 produksi pakan ternak mengalami penurunan sekitar 20 persen hanya 3.6 juta ton dibandingkan semester I (satu) 2003 sebanyak 3.8 juta ton. Penurunan tersebut karena turunnya konsumsi pakan ternak akibat wabah Avian Influenza (AI). Selanjutnya diakui bahwa industri pakan ternak kesulitan mencari bahan baku pakan ternak, terutama jagung, setelah Cina menghentikan ekspor jagung mereka. Saat ini negara yang menjadi tujuan impor lainnya adalah Thailand dan India. Sebenarnya industri pakan lebih menyukai jagung lokal karena mutunya lebih baik yaitu kadar betakaroten dan proteinnya lebih tinggi. Namun, meski produksi jagung nasional mencapai 9.8 juta ton masih sulit untuk memenuhi kebutuhan industri pakan ternak yang mencapai 300 ribu ton/bulan. Alasannya, panen yang tidak berlangsung kontinu dalam setahun dan daerah sentra produksi jagung tidak berdekatan dengan industri pakan ternak sehingga harga jagung impor lebih murah dibandingkan jagung lokal karena mahalnya transportasi. ________________ 1
Bali Post (2004). Harga Pakan Melonjak, Peternak Demo : Dikaji Dewan Peternakan Ayam. Kamis, 29 April 2004.
33
2.5. Kebijaksanaan Integrasi Vertikal Industri unggas nasional terdiri atas beberapa segmen kegiatan yang satu sama lain memiliki ketergantungan yang sangat besar karena menyangkut kebutuhan biologis. Segmen pertama adalah budidaya, kemudian segmen pabrik pakan, pembibitan, farmasi, industri rumah potong, dan selanjutnya pengemasan. Menurut Nesheim (1979), urutan segmen produksi terintegrasi berada dalam satu unit perusahaan, bahkan juga berada dalam satu lokasi perusahaan. Transfer output intermediate sangat hemat dalam biaya angkutan, kemasan, resiko kematian/ kerusakan dalam perjalanan, resiko penghematan tenaga kerja, dan tidak ada margin keuntungan pada setiap segmen. Dengan demikian struktur produksi vertikal semacam itu memberikan hasil akhir yang lebih efisien dibandingkan jika segmen tersebut berserakan, baik menurut perusahaan maupun berdasarkan lokasi perusahaan. Indonesia memiliki corak perkembangan industri unggas yang banyak didorong oleh pengaruh kebijaksanaan pemerintah. Sebelum tahun 1970, seluruh rangkaian produksi berada dalam satu unit usaha tetapi dalam ukuran skala kecil yakni usaha rakyat. Tetapi kemudian perkembangan industri unggas tumbuh menurut segmen-segmen tersendiri, maka kita mengenal adanya perusahaan pabrik pakan yang menghasilkan pakan untuk perusahaan pembibitan dan perusahaan budidaya. Demikian juga kita memiliki perusahaan pembibitan untuk menghasilkan bibit untuk perusahaan peternakan. Sehingga apa yang dimaksud dengan peternakan adalah terbatas pada budidaya itu sendiri. Akibatnya konsumen hasil akhir harus membayar mahal biaya-biaya ekonomi yang ditimbulkannya.
34
Kemudian setelah tahun 1990 ada kecenderungan industri nasional membentuk integrasi vertikal, tetapi baru dalam bentuk kesatuan finansial yang terdiri atas beberapa perusahaan yang tidak terintegrasi baik dalam satu perusahaan, apalagi dalam satu lokasi. Saat ini kita mengenal beberapa grup yang memiliki 5 sampai 7 perusahaan yang keseluruhannya merupakan segmen-segmen agribisnis unggas. Berbagai sumber informasi melaporkan antara lain Bisnis Indonesia (1994), Business Survey and Report (1995), dan Poultry Indonesia (1994) serta didukung oleh data statistik Direktorat Peternakan (1993, 1994 dan 1995) bahwa beberapa perusahaan pabrik pakan skala besar melakukan integrasi secara vertikal dalam satu kesatuan finansial meskipun dalam bentuk anak-anak perusahaan. Bahkan beberapa diantaranya melakukan integrasi secara sempurna dari hulu sampai ke hilir. Contoh perusahaan yang melakukan integrasi sempurna ini adalah Charoen Pokphand grup, Cargill, Sierad dan terakhir Grup Subur yang cikal bakalnya adalah perusahaan pakan, pada tahun 1997 meresmikan perusahaan ketujuh yang bergerak dalam bidang industri peternakan (Poultry Indonesia, 1997) Secara nasional usaha semacam ini tidak efisien karena hanya menguntungkan bagi pemilik modal tetapi biaya produksi menjadi lebih tinggi dan menjadi beban bagi konsumen. Dalam sistem peternakan yang terintegrasi, semestinya keuntungan perusahaan diperoleh dari pengolahan lebih lanjut (further processing), bukan dari pemeliharaan ayam. Ukuran pemeliharaan ayam per peternaknya menjadi semakin besar. Djarsanto (1997) menyatakan bahwa masingmasing sub-sistem dalam industri peternakan mau menang sendiri, tidak mau berpadu. Keadaan ini sama sekali tidak memberikan dampak positif terhadap penurunan biaya, malah meningkat. Dengan kata lain harga output tidak
35
berubah antara sebelum dan sesudah integrasi. Seharusnya, dengan integrasi, harga output akan lebih rendah. Integrasi seperti ini telah memberikan keuntungan secara akumulasi dari setiap sub-sistem, sehingga memberi keuntungan yang besar bagi pemilik modal. Apalagi, dengan menguasai pangsa pasar yang besar, maka perusahaan induk finansial dapat mengatur pasar sehingga menimbulkan suatu integrasi yang merugikan peternak yang berada diluar integrasi tersebut. Kini ada masalah pokok yang timbul kepermukaan yakni integrasi vertikal semu. Integrasi vertikal yang terjadi saat ini masih jauh dari sempurna. Pada sisi lain integrasi semu ini cenderung tumbuh membentuk monopoli atau oligopoli. Thailand negara Asia yang sudah maju dalam industri broilernya, telah sejak semula membangun secara terintegrasi, tetapi terjerumus kedalam bentuk monopoli (Panayotou, 1989 dalam Yusdja et al, 2000). Sekalipun integrasi tidak saja merupakan suatu keharusan, tetapi memang harus begitu, namun tidak harus disertai watak monopoli. Salah satu faktor pendorong terjadinya integrasi yang ada saat ini adalah karena struktur perizinan. Struktur perizinan usaha yang ada saat ini tidak menguntungkan sektor pertanian. Sebagai contoh, jika seorang pengusaha bermaksud mendirikan usaha peternakan ayam, pabrik pakan untuk kebutuhan sendiri, dan pembibitan, maka dia harus memiliki tiga buah surat izin. Hasilnya adalah terciptanya tiga buah perusahaan yang terintegrasi secara semu. Sebagaimana telah diperlihatkan bahwa integrasi semu ternyata mendorong terjadinya peningkatan biaya. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya segera melakukan deregulasi dalam bidang perizinan usaha peternakan. Sistem perizinan
36
per sektor dan per komoditas yang berlaku saat ini tidak sesuai bagi membangun industri ayam ras yang efisien.
Pasar RT, Hotel, Rumah Makan, Konsumen Khusus
Pasar Eceran Modern
Pasar Eceran Tradisional
Ekspor
Koperasi Pemasaran
Peternak Skala Menengah
Koperasi Produksi
Pabrik Pakan
Pembibitan
Pabrik Obat
Sumber Bahan Baku Pertanian
Gambar 2. Urutan Segmen Produksi Terintegrasi Sumber : Yusdja et al, 2000
Lainnya
37
2.6. Pendekatan Ekonomi Kelembagaan Terhadap Perilaku Industri Kajian terhadap perilaku suatu lembaga ekonomi sangat tergantung pada konsep pemikiran ekonomi yang mendasarinya. Saat ini terdapat dua aliran pemikiran besar yang mewarnai hampir setiap kajian ekonomi mikro modern (Spechler, 1990), yaitu pendekatan neo-klasik dan pendekatan ekonomi kelembagaan (institusional). Pendekatan neo-klasik menekankan pada asumsiasumsi dasar yang telah mapan dan berbagai perangkat teori yang telah lengkap dan mantap, terutama dalam menjelaskan berbagai perilaku perusahaan, perilaku konsumen, perilaku pasar, dan hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat; sebagai hasil dari proses berbagai kajian yang panjang. Neo-klasik mendasari pemikiran tentang perilaku ekonomi pada beberapa perspektif dasar yaitu : (a) adanya keseimbangan pasar bersaing sempurna dan ketidaksempurnaan pasar hanya merupakan pengecualian, (b) faktor (produksi) mendapat imbalan sesuai dengan nilai dan kontribusi marjinalnya terhadap produksi, hal yang dapat mempengaruhi kondisi tersebut umumnya diabaikan, (c) selera diasumsikan tetap dan universal, (d) faktor organisasi dan manajemen diabaikan, (e) pengaruh politis dan sosial dianggap minimal, dan (f) masalah pemerataan ditangani secara terpisah dari efisiensi. Dilain pihak pendekatan ekonomi kelembagaan justru berusaha untuk mendalami hal-hal yang dinilai sebagai kelemahan dalam pendekatan neo-klasik. Berangkat dari pemikiran Thorstein Veblen (1857-1929), dan dalam pengaruh pemikiran beberapa guru ekonomi dan sosiolog Eropa, seperti Gustav Schmoller (1839-1917), Max Weber (1864-1920) dan Werner Sombart (1883-1941); pemikiran ekonomi kelembagaan justru berkembang di Amerika, walaupun salah
38
satu penulis kelembagaan terkemuka, yaitu John Kenneth Galbraith (1908-....) menolak untuk dikatakan sebagai “orang kelembagaan”. Walaupun beberapa bentuk mekanisme kajian yang dilakukan mungkin juga menggunakan teknik yang dikembangkan oleh neo-klasik, perspektif ekonomi kelembagaan yang dikembangkan para pemikir di atas menegaskan pentingnya beberapa hal yang tidak terdapat pada pendekatan neo-klasik (Spechler, 1990). Pertama, fokus kajian ekonomi kelembagaan ditujukan pada lembaga atau organisasi sebagai unit analisa. Dalam hal ini yang dimaksud kelembagaan adalah pengaturan-pengaturan sosial tentang hubungan antar individu dan kelompok. Ekonomi kelembagaan menempatkan norma, peraturan, kesepakatan dan berbagai bentuk serupa; yang kemudian tercermin dalam bentuk struktur hak (property rights) dan hal-hal yang diakui bersama (common denominator), sebagai faktor penentu dalam pengambilan keputusan ekonomi. Perbedaan unsur kelembagaan tersebut akan membedakan kriteria pencapaian tujuan suatu kegiatan ekonomi. Hal berbeda dengan pendekatan neo-klasik yang umumnya memandang rasionalitas dari pencapaian keuntungan maksimum dan kriteria hedonistik lainnya. Kedua, kegiatan ekonomi dipandang sebagai suatu proses evolusi yang berkelanjutan menuju pencapaian tujuan tertentu (bukan sekedar hanya mencari keseimbangan), dan tujuan tersebut bukan hanya keuntungan maksimum. Proses evolusi dari lembaga ekonomi tersebut mirip dengan proses evolusi berdasarkan teori Darwin. Kondisi lembaga pada tahap berikut ditentukan oleh kemampuan lembaga
yang
bersangkutan
beradaptasi
dengan
perkembangan
kondisi
lingkungan. Ketiga, setiap lembaga dan aktivitas ekonomi dapat memiliki tujuan yang berbeda atau memiliki beberapa tujuan. Dan keempat, ekonomi
39
kelembagaan menekankan pentingnya memperhatikan berbagai orientasi normatif (sosial, politik, dan sebagainya) yang dapat mempengaruhi tujuan atau perilaku suatu kegiatan ekonomi. Salah satu pendekatan yang dikembangkan oleh pendekatan ekonomi kelembagaan adalah bahwa kelembagaan memandang perilaku sebagai bagian dari rangkaian Struktur – Perilaku - Kinerja (Structure – Conduct - Performance). Struktur dianggap akan menentukan pola perilaku, dan pola perilaku akan mempengaruhi kinerja, serta pada akhirnya kinerja akan mempengaruhi kondisi struktur kelembagaan ekonomi yang bersangkutan (Cook, 1995; Schmid, 1987 dalam Krisnamurthi, 1998). Oleh sebab itu kajian terhadap perilaku usaha perlu dimulai dengan memahami struktur kelembagaan atau dapat pula diartikan sebagai berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku; yang kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi pola perilaku lembaga serta berbagai penjelasan mengapa perilaku tersebut terbentuk; serta dilanjutkan dengan usaha untuk memahami keterkaitan perilaku dengan keragaan yang ditimbulkannya. Dalam satu sistem yang berkelanjutan (proses), kinerja pada gilirannya kemudian akan mempengaruhi struktur kelembagaan karena unsur-unsur dari struktur berkembang sebagai akibat tingkat kinerja yang diperoleh. Jika seluruh proses tersebut mengarah kepada tujuan yang telah disepakati oleh unsur-unsur dalam lembaga maka kegiatan yang dilakukan oleh lembaga dinilai menunjukkan kemajuan. Dalam konteks struktur, terdapat satu aspek yang dinilai oleh para pemikir ekonomi kelembagaan memiliki pengaruh yang besar, yaitu aspek hak (rights atau property rights). Perbedaan atau perubahan struktur hak-hak pelaku dalam setiap
40
kelembagaan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku, dengan memperhatikan karakteristik interdepedensi dan karakteristik sumberdaya (Schmid, 1987 dalam Krisnamurthi, 1998).
2.7. Tinjauan Studi Terdahulu 2.7.1. Studi Mengenai Industri Pakan Ternak Hasil penelitian Rusastra et al (1990) tentang keunggulan komparatif produksi pakan ternak di Lampung dan Jawa Barat menemukan bahwa dinamika harga pakan ternak sangat dipengaruhi oleh gejolak harga bahan baku, bahkan pakan mempunyai pangsa antara 70-80 persen dari biaya produksi, sehingga pembenahan dalam industri perunggasan maupun peternakan akan sangat dipengaruhi oleh keberhasilan dalam pembenahan sub-sektor tanaman pangan. Temuan serupa juga diperoleh dari hasil kajian Hutabarat et al (1993) di empat propinsi (DKI, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan) dan Sajuti (2001), dimana jagung merupakan bahan baku utama, dengan pangsa 40-60 persen dari bahan baku pabrik pakan ternak. Besarnya komponen jagung dalam bahan baku pakan ternak disebabkan karena harganya relatif murah, mudah diproduksi dalam jumlah banyak, mengandung kalori yang tinggi dan sangat disukai ternak. Oleh sebab itu upaya untuk mengganti jagung dengan bahan lain belum berhasil hingga saat ini. Temuan ini juga diperkuat oleh hasil kajian Tangendjaja et al (2002) yang menunjukkan bahwa peranan jagung dalam produksi pakan ternak sangat penting dan posisinya belum bisa digantikan secara sempurna oleh bahan baku lainnya.
41
Pada tahun 1996, Alim meneliti tentang efisiensi skala usaha pabrik pakan dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas dan pendugaan laba dengan metode SUR (Seemingly Unrelated Regression). Penelitian ini memanfaatkan pool data, yang terdiri dari data penampang lintang dari tiga pabrik yang berlokasi di wilayah Bogor dan Bekasi, serta data bulanan selama tiga tahun (1992-1994), sehingga jumlah pengamatan adalah 108 titik data. Kesimpulan dari penelitian ini menyatakan bahwa harga jagung kuning sangat dominan dalam mempengaruhi tingkat 1aba dan efisiensi usaha. Hal ini disebabkan jagung kuning mempunyai pangsa yang relatif tinggi dalam penyusunan pangsa pakan ternak dan belum tersedia bahan substitusi yang mempunyai kandungan gizi yang setara. Penelitian Yusdja dan Pasandaran (1996) dengan menggunakan metode linear programming menghasilkan temuan yang sangat mendukung hasil-hasil penelitian di atas. Penelitian ini menyimpulkan bahwa jagung merupakan bahan baku utama dari industri pakan ternak. Pangsa jagung sebagai bahan baku utama pakan ternak mencapai 56-62 persen dari keseluruhan bahan baku pakan ternak. Sementara biaya pakan mencapai 87.8 persen dari keseluruhan biaya produksi daging ayam. Hasil penelitian Purba (1999) tentang keterkaitan pasar jagung dan pakan ternak ayam ras di Indonesia : suatu analisis simulasi dengan menggunakan data deret waktu periode 1969-1996 dengan sistem persamaan simultan dengan menggunakan metode 2SLS menunjukkan bahwa produksi pakan ternak sesuai dengan teori ekonomi secara nyata dipengaruhi oleh peubah selisih harga pakan dan jagung, tingkat suku bunga dan populasi ayam ras. Akan tetapi, baik jangka pendek maupun jangka panjang produksi pakan ternak kurang respon terhadap
42
perubahan dari peubah-peubah tersebut. Sementara itu, peubah-peubah yang berpengaruh nyata terhadap permintaan pakan ternak adalah rasio harga pakan terhadap harga ayam ras dan populasi ayam ras. Selain itu, Yusdja et al (2000) meneliti struktur industri unggas nasional yang meliputi produksi, peternak dan struktur industri pakan. Adapun responden yang diteliti selain peternak adalah pedagang, pabrik pakan, pengolahan, kelembagaan dan instansi pemerintah terkait di tiga propinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Lampung. Pengkajian ilmiah teoritis dilakukan untuk melihat perubahan struktur industri sebelum dan sesudah krisis moneter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran struktur produksi dari waktu ke waktu. Dikemukakan bahwa pada periode 1970-an, usaha peternakan ayam ras 100 persen dikuasai oleh peternakan rakyat dengan dukungan kebijakan PMA. Namun pada periode 1990-an sebagian besar pangsa produksi dikuasai oleh perusahaan peternakan skala besar (60 persen), skala menengah (20 persen) dan skala kecil tinggal menguasai 20 persen. Sejalan dengan Purba, Kariyasa (2003) meneliti perilaku dan keterkaitan pasar jagung, pakan dan daging ayam ras di Indonesia, mengevaluasi dampak kebijakan domestik dan faktor eksternal terhadap kesejahteraan para pelaku pasar serta melakukan proyeksi produksi dan permintaan domestik terhadap ketiga komoditi tersebut. Penelitian ini menggunakan data sekunder deret waktu 19802001 dan dianalisis melalui pendekatan ekonometrika. Hasil pendugaan menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara pasar jagung, pakan dan daging ayam domestik, serta antara pasar domestik dan dunia lewat harga jagung (domestik, impor dan dunia), harga pakan domestik, harga daging ayam (domestik, impor
43
dan dunia). Kebijakan subsidi suku bunga kredit usahatani dan harga pupuk disarankan sebagai alternatif utama dalam pengembangan pasar jagung, pakan dan daging ayam domestik.
2.7.2. Studi Mengenai Structure-Conduct-Performance Salah satu penelitian mengenai kinerja ekonomi dengan menggunakan pendekatan Structure Conduct Performance (SCP) dilakukan oleh Acharya (1998) pada pasar produk-produk pertanian di India. Penekanan dalam penelitian ini adalah keterkaitan antara sektor on farm dan off farm yang dihubungkan oleh sebuah sistem pemasaran produk pertanian. Sistem pemasaran diyakini memegang peranan penting dalam menentukan harga yang merupakan sinyal bagi produsen dan konsumen, dan kemudian kinerja sistem ini sangat ditentukan oleh perilaku dan struktur pasar itu sendiri. Variabel-variabel yang diteliti adalah pengukuran regulasi, infrastruktur sistem pemasaran, harga yang ditetapkan oleh pemerintah, agen-agen dalam pasar, ekspor-impor dan kebijakan ekonomi makro. Hasil yang didapatkan adalah keseluruhan variabel yang diteliti berpengaruh nyata terhadap dinamika pasar produk pertanian. Karakteristik struktural pasar produk pertanian menunjukkan dominasi lembaga-lembaga yang terorganisasi atas lembaga-lembaga yang tidak terorganisasi dengan konsekuensi timbulnya potensi terciptanya praktek monopoli atau oligopoli. Saran sebagai hasil dari penelitian ini adalah perlunya meningkatkan linkages antara petani dengan sektor ritel, pembangunan infrastruktur di pedesaan dan perlunya perhatian pada proses grading dan pengontrolan kualitas untuk meningkatkan kinerja pasar.
44
Viaenne and Gellynck (1995) menggunakan SCP untuk mengevaluasi pertumbuhan dan situasi terkini industri makanan di Eropa, terutama perusahaanperusahaan yang berada di Belanda, Jerman, Inggris dan Perancis. Penelitian ini menggunakan variabel konsentrasi industri dan intensitas penggunaan tenaga kerja sebagai indikator struktur, nilai tambah dan investasi sebagai indikator perilaku, serta produktivitas, tingkat pertumbuhan dan profitabilitas sebagai indikator kinerja. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan variabel-variabel didalam structure, conduct, performance. Hasil penelitian menunjukkan Perancis memiliki struktur industri yang paling terintegrasi dibandingkan dengan negara yang lain, sementara Inggris dan Jerman mengalami pertumbuhan yang negatif. Namun Belanda dan Jerman memiliki tingkat profitabilitas yang tertinggi di antara negara yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pasar makanan Eropa sangat ditentukan oleh keterkaitan struktur usaha, perilaku dan kinerja dalam industri tersebut. Vlachvei and Oustapassidis (1998) melakukan penelitian untuk membuat hipotesis mengenai hubungan antara struktur, perilaku dan kinerja pada industri makanan di Yunani. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengestimasi parameter tingkat profitabilitas yang dipengaruhi oleh konsentrasi industri dan iklan pada 38 manufaktur dalam industri pangan dengan menggunakan metode estimasi 3SLS. Indikator struktur diwakili oleh indeks konsentrasi perusahaan, indikator perilaku diwakili oleh rasio antara pengiklanan dengan total penjualan, dan tingkat profitabilitas sebagai indikator kinerja. Hasil yang didapatkan adalah bahwa intensitas pemasangan iklan dan ekspor berpengaruh nyata dalam meningkatkan tingkat profitabilitas. Selanjutnya kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh tingkat
45
konsentrasi perusahaan, dan pada sebelumnya konsentrasi tersebut sangat dipengaruhi oleh economies of scale perusahaan yang bersangkutan. Rekomendasi yang dinyatakan oleh peneliti adalah bahwa pengiklanan dan diferensiasi produk merupakan variabel utama yang sangat mempengaruhi profitabilitas. Hubungan antara pemasangan iklan dan tingkat konsentrasi menunjukan bahwa perusahaan yang memiliki pangsa produk yang besar lebih efektif untuk menggunakan media periklanan dibandingkan dengan perusahaan dengan pangsa yang kecil. Krisnamurthi (1998) menggunakan SCP untuk mengetahui perilaku usaha KUD pada setiap tingkat perkembangan kelembagaan KUD. Analisis hubungan struktur, perilaku dan kinerja koperasi menggunakan pendekatan ekonometrika dengan persamaan simultan. Penelitian ini menggunakan variabel modal dan volume usaha sebagai indikator struktur, orientasi usaha dan kegiatan usaha utama serta penggunaan modal luar sebagai indikator perilaku serta produktivitas, SHU dan volume usaha total sebagai indikator kinerja. Disimpulkan bahwa tingkat perkembangan koperasi sangat ditentukan oleh orientasi usaha, pengembangan usaha utama yang berbasis agribisnis pada subsistem produksi dan pemasaran terutama yang non program dan mampu menciptakan integrasi usaha serta dengan mencapai tingkat jumlah anggota yang optimal. Sayaka (2003) menganalisis struktur pasar, perilaku dan kinerja industri benih jagung di provinsi Jawa Timur, menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan dari perusahaan-perusahaan milik pemerintah dan swasta serta distributor benih jagung. Dimensi dari struktur pasar adalah derajat konsentrasi penjual dan pembeli, diferensiasi produk, barriers to entry and exit serta pengetahuan pasar. Perilaku pasar dievaluasi menggunakan pendekatan
46
kelembagaan dan fungsional. Kinerja pasar mencakup efisiensi teknis, efisiensi harga dan progressiveness. Analisis deskriptif dan statistik digunakan untuk menentukan struktur, perilaku dan kinerja dari industri. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa struktur industri benih jagung di Jawa Timur adalah sangat oligopolistik. Tiga perusahaan multinasional mendominasi industri. Investasi yang besar dan terus menerus penemuan varietas baru merupakan hambatan masuk yang dominan di industri benih jagung meskipun laba tinggi mencegah produsen meninggalkan industri. Iklan dan jasa servis konsumen merupakan faktor utama pilihan konsumen terhadap benih. Produsen benih mendapat laba tinggi disamping resiko dari produk yang banyak tidak terjual. Di tingkat pedagang besar, pasar benih jagung adalah sangat oligopolistik yang ditandai dengan konsentrasi lebih dari 40 persen. Disisi lain pedagang pengecer relatif kompetitif. Pedagang besar membeli dan menjual benih pada harga yang lebih rendah dan mendapat laba yang lebih tinggi dibanding pedagang pengecer. Secara umum, pasar benih jagung tidak efisien. Selanjutnya Hakobyan (2004) meneliti jaringan pemasaran susu sapi di Armenia,
menggunakan
analisis
structure-conduct-performance.
Analisis
sebagian besar terkonsentrasi pada rantai pemasaran yaitu koperasi dan pengolah (pabrik susu). SCP digunakan untuk mengidentifikasi faktor yang menentukan daya saing dari suatu pasar, meneliti perilaku dari perusahaan dan menaksir sukses dari suatu industri dalam pencapaian tujuan. Penelitian menggunakan data dan informasi dari dokumen internal USDA Marketing Assistance Project (USDA-MAP), wawancara personal dan data publikasi. Indikator structure diwakili oleh struktur kepemilikan, ukuran distribusi dan konsentrasi, serta
47
integrasi dan kerjasama. Conduct diwakili oleh aktivitas pemasaran, kebijakan harga dan kebijakan produk. Sementara performance dilihat dari pendapatan peternak, pencapaian dan problem yang dihadapi. Adapun masing-masing komponen di dalam SCP dibahas secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa masalah utama yang menghalangi peningkatan lebih lanjut dari pabrik susu adalah ketiadaan modal untuk modernisasi dari peralatan yang ketinggalan zaman dan mutu dari susu mentah. Problem banyak terdapat di area pemasaran, diantaranya yang utama menghambat kemajuan dari susu yang dipasarkan koperasi adalah rendahnya harga susu mentah serta ketiadaan ransum dan bibit berkualitas tinggi. Resende (2005) meneliti keterkaitan hubungan SCP dalam konteks industri manufaktur di Brazil tahun 1996. Untuk tujuan itu, dipertimbangkan suatu sistem dengan empat persamaan yaitu konsentrasi, iklan, R&D, dan tingkat keuntungan yang diestimasi menggunakan model persamaan simultan. Sebagai tambahan untuk explanatory variabel, diproksi dari barriers to entry dan kondisikondisi permintaan, juga memasukkan variabel skema insentif dan praktek organisatoris. Dari hasil penelitian mengindikasikan suatu peran penting untuk variabel yang berhubungan dengan barriers to entry dalam mempengaruhi struktur pasar, suatu efek non linear dan penting dari konsentrasi periklanan, suatu dampak relevan dari firm-size terhadap penggunaan R&D dan akhirnya suatu dampak positif yang signifikan dari konsentrasi terhadap tingkat keuntungan dan hasil yang sama dengan sebelumnya pada negara maju. Sebagai tambahan, tidak ada peran penting yang terdeteksi untuk praktek organisatoris dan skema insentif pada hubungan SCP.
48
Penelitian yang dilakukan ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, karena variabel-variabel yang ada di dalam masing-masing komponen struktur, perilaku dan kinerja dari industri pakan ternak ayam dianalisis secara simultan untuk melihat keterkaitan antar komponen tersebut. Selain itu dilakukan analisis simulasi untuk melihat perkembangan industri pakan serta merumuskan kebijakan bagi pemerintah untuk mendorong perkembangan industri pakan di Indonesia.