BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pakan Ternak Sumber Lignoselulosa Pakan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung perkembangan usaha peternakan di Indonesia. Pemanfaatan pakan menjadi salah satu solusi terbaik guna mengurangi biaya produksi. Disamping itu, pemanfaatan non konvensional maupun konvensional sebagai pakan akan dapat mengurangi dampak negatif dari produk utama itu sendiri. Pakan non konvensional memiliki kandungan nutrient yang cukup tinggi sebagai pakan alternatif, namun pemanfaatan pakan non konvensional sebagai pakan alternatif mempunyai berbagai keterbatasan salah satunya adalah tingkat kecernaan yang rendah akibat tingginya kandungan lignoselulosa yang mengakibatkan kandungan nutrien tidak dapat dimanfaatkan secara optimal (Krause et al., 2003). Lignoselulosa merupakan komponen utama dinding sel tanaman yang sulit untuk didegradasi (Howard et al., 2003). Lignoselulosa pada tanaman terdiri dari senyawa lignin, selulosa dan hemiselulosa yang saling berikatan (Howard et al., 2003; Perez et al., 2002). Eceng gondok dan daun apu merupakan sumber bahan pakan non konvensional yang tumbuh di rawa-rawa, danau, waduk, sungai bahkan di lahan pertanian dengan laju pertumbuhan yang sangat pesat. Mengingat laju pertumbuhannya yang sangat pesat, eceng gondok dan daun apu mempunyai potensi yang cukup tinggi sebagai sumber bahan pakan. Hasil penelitian Rianan dan Bidura (2002) melaporkan bahwa pemanfaatan eceng gondok yang terlalu tinggi akan menurunkan
pertambahan bobot badan (PBB) ternak. Adanya
kandungan serat kasar yang tinggi akan mengakibatkan tingkat kecernaan pakan menurun serta nutrien yang terkandung tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ternak. Hal ini disinyalir diakibatkan oleh kandungan serat kasar dari enceng gondok yang tinggi. Ahmed et al. (2012) melaporkan bahwa eceng gondok memiliki serat kasar yang tinggi dengan komposisi yakni 60% selulosa, 8% hemiselulosa dan 17% lignin. Hasil penelitian Radjiman et al. (1999) melaporkan bahwa kandungan nutrien eceng gondok yaitu protein kasar sebesar 13%, lemak kasar 1%, serat kasar 21,30% dan energi termetabolis 2.096,92 kkal/kg. Hasil penelitian Sumaryono (2003) melaporkan bahwa daun apu yang bersumber dari sawah mengandung protein kasar sebesar 14,00%; serat kasar 19,71%; lemak kasar 1,54%; abu 19,70% dan kandungan energi termetabolisnya 1444,47 kkal/kg. Meskipun demikian berbagai penelitian telah menunjukkan pemanfaatan serat oleh ternak menjadi lebih optimal dan mampu meningkatkan kualitas karkas melalui penurunan kadar kolesterol darah, telur maupun daging melalui aplikasi teknologi biofermentasi. Bahan pakan non konvensional yang sering digunakan sebagai pakan ternak berasal dari limbah pertanian diantaranya adalah jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, jerami kedelai, dan pucuk ubi kayu. Penggunaan hasil sampingan industri pertanian sebagai bahan pakan lokal yang murah dan mudah didapat merupakan strategi yang baik untuk menekan biaya pakan, namun bahan pakan yang berasal dari limbah pertanian atau industri tidak dapat digunakan sebagai bahan pakan tunggal dalam ransum baik untuk ternak ruminansia atau non-ruminansia.
Disamping itu, terdapat kendala dalam
pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan yaitu kualitas yang rendah dengan
kandungan serat kasar yang tinggi serta kandungan protein dan tingkat kecernaan yang rendah.
Kendala pemanfaatan bahan pakan asal limbah atau hasil sisa
tanaman dsebabkan oleh adanya kandungan berbagai senyawa kimiawi yang bersifat penghambat (inhibitor). Disamping itu, bahan pakan non konvensional asal limbah juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon/energi bagi mikroorganisme yang akan meningkatkan viabilitas dan efektivitas mikroba. Hal ini diakibatkan bahan-bahan tersebut dapat menyediakan kebutuhan nutrien bagi mikroba pendegradasi serat maupun probiotik dalam produk suplemen. 2.2. Lignoselulosa Sebagai Faktor Pembatas Pemanfaatan Pakan Lignoselulosa
merupakan
komponen
utama
tanaman
yang
menggambarkan jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa bahan ekstraktif lain (Howard et al., 2003). Semua komponen lignoselulosa terdapat pada dinding sel tanaman. Peres et al. (2002) mengungkapkan bahwa lignin secara kimia berikatan dengan komponen karbohidrat struktural (selulosa dan/atau hemiselulosa) dan secara fisik bertindak sebagai penghalang proses perombakan dinding sel bahan pakan oleh mikroba (Gambar 2.2). Semakin tinggi kandungan lignin dari suatu bahan pakan semakin sulit bahan pakan tersebut terdegradasi/tercerna (Peres et al., 2002). Tabel 2.3 menunjukkan kandungan komponen lignoselulosa beberapa bahan pakan asal limbah pertanian. Pada tabel tersebut tampak bahwa bahan pakan asal limbah pertanian mengandung lignin yang jauh lebih tinggi daripada rerumputan/dedaunan, sehingga tingkat kecernaannya juga lebih rendah (Howard et al., 2003; Toharmat, 2006).
Gambar 2.1. Hubungan antara Lignin, Selulosa dan Hemiselulosa pada Senyawa Lignoselulosa (Sumber: Boudet et al., 2003)
Gambar 2.2. Jenis Ikatan Antara Lignin dan Polisakarida. A= Bensil ester, B=Bensil ether, C=Fenil Glikosida (Sumber: Perez et al., 2002)
Lignoselulosa merupakan komponen pembangun dinding sel tanaman yang terbentuk seiring dengan perkembangan dan umur tanaman (Howard et al., 2003). Dinding sel tanaman muda terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan pektin. Perkembangan dan peningkatan umur tanaman akan diikuti dengan terjadi kristalisasi selulosa dan pengerasan fibril selulosa oleh lignin membentuk suatu senyawa lignoselulosa yang keras (Howard et al., 2003; Perez et al., 2002). Susunan dinding sel tanaman terdiri dari lamela tengah (M), dinding primer (P) serta dinding sekunder (S) yang terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan sel yang terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama (S2) dan dinding sekunder bagian dalam (S3) (Gambar 2.3). Dinding primer
mempunyai ketebalan 0,1-0,2µm dan mengandung jaringan mikrofibril selulosa yang mengelilingi dinding sekunder yang relatif lebih tebal (Chahal dan Chahal 1998). Tabel 2.1. Kandungan senyawa lignoselulosa beberapa bahan pakan Komposisi Lignoselulosa (%) No Bahan Pakan1 Selulosa Hemiselulosa Lignin 1;2 1 Jerami Padi 32-35 24-25 12-18 3 2 Sekam Padi 36 15 19 3 Jerami gandum 30 50 15 4 Tongkol jagung 45 35 15 2;3 5 Batang Jagung 15-35 15-35 8-19 6 Jerami Sorgum2 33 18 15 2 7 Serbuk Gergaji Kayu 55 14 21 8 Kulit Kacang Tanah 25-30 25-30 30-40 9 Biji Kapas 80-95 5-20 0 10 Bagas Tebu1:2 33,4 30 18,9 11 Bagas Molases2;3 33-40 24-30 25-29 12 Rumput-Rumputan 25-40 25-50 10-15 13 Dedaunan 15-20 80-85 0 4 14 Eceng Gondok 60 8 17 Sumber: 1)Howard et al,(2003),2)Saha (2003), 3)Chandel et al.(2007), 4)Ahmed (2012)
Selulosa pada setiap lapisan dinding sekunder terbentuk sebagai lembaran tipis yang tersusun oleh rantai panjang residu ß-D-glukopiranosa yang berikatan melalui ikatan ß-1,4 glukosida yang disebut serat dasar (elementary fiber). Sejumlah serat dasar jika terjalin secara lateral akan membentuk mikrofibril. Mikrofibril mempunyai struktur dan orientasi yang berbeda pada setiap lapisan dinding sel (Perez et al., 2002). Lapisan dinding sekunder terluar (S1) mempunyai struktur serat menyilang, lapisan S2 mempunyai mikrofibril yang paralel terhadap poros lumen dan lapisan S3 mempunyai mikrofibril yang berbentuk heliks. Mikrofibril dikelilingi oleh hemiselulosa dan lignin. Bagian antara dua dinding sel disebut lamela tengah (M) dan diisi dengan hemiselulosa dan lignin yang membentuk ikatan kovalen.
Selulosa secara alami terproteksi dari degradasi
dengan adanya hemiselulosa dan lignin (Gambar 2.3).
Gambar 2.3. Konfigurasi Dinding Sel Tanaman (Sumber: Perez et al., 2002) 2.2.1. Komponen Selulosa Selulosa adalah komponen utama penyusun dinding sel tanaman yang merupakan polimer linier D-glukosa yang terikat pada ikatan β-1,4 glikosida (Gambar 2.4). Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam, melainkan berikatan dengan bahan lain, yaitu lignin dan hemiselulosa membentuk suatu lignoselulosa (Lynd et al., 2002). Carboxy Methyl Cellulose (CMC) merupakan selulosa murni yang berbentuk amorphous, sehingga aktivitas enzim selulase pada substrat CMC merupakan aktivitas enzim endo-1,4-β-glukanase (Meryandini et al., 2009). Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35 – 50% dari berat kering tanaman (Perez et al., 2002 ; Lynd et al., 2002). Selulosa merupakan polimer glukosa dengan ikatan β-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung secara bersama melalui ikatan hidrogen dan gaya van der waals (Perez et al. 2002). Selulosa mengandung sekitar 50-90% bagian berkristal dan sisanya bagian amorf (Perez et al., 2002; Aziz et al., 2002).
Ikatan β-1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa dengan hidrolisis asam atau enzimatis. Kesempurnaan pemecahan selulosa pada saluran pencernaan ternak tergantung pada ketersediaan kompleks enzim selulase. Saluran pencernaan manusia dan ternak non ruminansia tidak mempunyai enzim yang mampu memecah ikatan ß-1,4 glukosida sehingga tidak dapat memanfaatkan selulosa (Perez et al., 2002).
Gambar 2.4. Bangun Dasar Selulosa (Sumber: Perez et al., 2002)
Ternak ruminansia dengan bantuan enzim yang dihasilkan mikroba rumen dapat memanfaatkan selulosa sebagai sumber energi. Pencernaan selulosa dalam sel merupakan proses yang kompleks yang meliputi penempelan sel mikroba pada selulosa, hidrolisis selulosa dan fermentasi yang menghasilkan asam lemak terbang/Vollatile Fatty Acids/VFA (Arora, 1995). Efisiensi pemanfaatan selulosa sebagai sumber energi bagi ruminansia sangat tergantung pada kemampuan ternak untuk memutus ikatan yang memproteksi selulosa dari serangan enzim selulase. Selulosa dan hemiselulosa pada lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis secara sempurna oleh enzim selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada bahan pakan limbah tersebut dilarutkan, dihilangkan atau dilonggarkan terlebih dahulu (Murni et al., 2008; Perez et al., 2002).
2.2.2. Komponen Hemiselulosa Hemiselulosa merupakan kelompok polisakarida heterogen dengan berat molekul rendah yang merupakan polimer dari pentosa (xylosa, arabinosa), heksosa (mannose, glukosa, galaktosa) dan asam-asam gula (Perez al., 2002; Saha, 2003). Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15-30% dari berat kering bahan lignoselulosa (Taherzadeh, 1999). Hemiselulosa mengikat lembaran serat selulosa membentuk mikrofibril yang meningkatkan stabilitas dinding sel. Hemiselulosa juga berikatan silang dengan lignin membentuk jaringan kompleks lignoselulosa (lignohemiselulosa) dan memberikan struktur yang kuat (Howard et al., 2003). Hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa, arabinosa dan 4-0 methyl-glukoronik, D-galacturonic dan D-glukoronik (Gambar 2.5). Gula– gula tersebut terikat oleh ikatan β-1,4 dan β-1,3 glukosida (Perez et al., 2002).
Gambar 2.5. Bangun Molekul Hemiselulosa (Sumber: Perez et al., 2002)
Berbeda dengan selulosa, hemiselulosa bukan polimer homogenous. Komponen hemiselulosa dari bahan berkayu yang keras sebagian besar terdiri dari xylan. Sedangkan bahan berkayu yang lunak, komponen hemiselulosanya lebih banyak mengandung glukomannan (Saha, 2003). Pada sebagian besar tanaman, xylan merupakan heteropolisakarida dengan rantai utama homopolimer adalah unit-unit ikatan 1,4-β-D-xylopyranosa.
Disamping xylosa, xylan juga mengandung arabinosa, asam glucoronik atau 4-0methyl ether, asetat, ferulik dan asam p-coumarin. Sedangkan xylan dari sumber yang lain, seperti rumput-rumputan, biji-bijian, kayu lunak maupun kayu keras mempunyai komposisi yang berbeda (Saha, 2003). Xylan dari dedak mengandung 46% xylosa, 44,9% arabinosa, 1,4% glukosa, dan 8,3% asam anhidrouronik (Shibuya dan Iwasaki, 1985). Arabinoxylan dari gandum mengandung 65.8% xylosa, 33.5% arabinose, 0,1 % mannose, 0,1 % galaktose, dan 0,3% glucose (Gruppen et al., 1992). Xylan serat jagung mengandung 48-54%xylosa, 33-35% arabinosa, 5-11 % galaktosa, dan 3-6% asam glucuronic (Doner dan Hicks, 1997). 2.2.3
Komponen Lignin Lignin merupakan polimer dengan struktur aromatik yang terbentuk
melalui unit-unit penilpropan (Sjorberg, 2003) yang berhubungan secara bersama oleh beberapa jenis ikatan yang berbeda (Perez et al., 2002). Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari 30% tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap serangga dan patogen (Orth et al., 1993). Howard et al., (2003) maupun Perez et al., (2002) mengungkapkan bahwa lignin merupakan faktor pembatas utama degradasi lignoselulosa suatu bahan organik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lignin juga membentuk ikatan yang kuat dengan polisakarida yang melindungi polisakarida dari degradasi mikroba dan membentuk struktur lignoselulosa. Lignin terutama terkonsentrasi pada lamela tengah dan lapisan S2 dinding sel yang terbentuk selama proses lignifikasi jaringan tanaman (Chahal dan Chahal
1998; Steffen 2003). Lignin tidak hanya mengeraskan mikrofibril selulosa, tetapi juga berikatan secara fisik dan kimia dengan hemiselulosa. Lignin terbentuk melalui polimerasi tiga dimensi derivat dari sinamil alkohol terutama ρ-kumaril, coniferil dan sinafil alkohol dengan bobot molekul mencapai 11.000 (Gambar 2.6) (Perez et al. 2002; Rahikainen et al., 2013). Lignin bersifat tahan terhadap hidrolisis karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter (Gambar 2.7) (Rahikainen et al., 2013).
Para Kumaril Alkohol Koniferil Alkohol Sinapil Alkohol Model Kerangka C Gambar 2.6. Senyawa Penyusun Lignin (Sumber: Perez et al., 2002)
Gambar 2.7. Bangun Struktur Lignin (Sumber: Perez et al., 2002)
Pembentukan lignin terjadi secara intensif setelah proses penebalan dinding sel terhenti. Pembentukan dimulai dari dinding primer dan dilanjutkan ke dinding sekunder. Pembatasan fermeabilitas dinding sel tanaman terjadi akibat adanya efek kimia dan fisik yang dihasilkan oleh lignin. Efek kimia, yaitu adanya hubungan lignin-karbohidrat serta asetilisasi hemiselulosa. Efek fisik terjadi akibat Lignin membungkus mikrofibril dalam suatu matriks hidrofobik dan terikat
secara kovalen dengan hemiselulosa. Hubungan antara lignin-karbohidrat tersebut berperan dalam mencegah hidrolisis polimer selulosa (Rahikainen et al., 2013). 2.3. Bakteri Perombak Senyawa Lignoselulosa 2.3.1. Karakteristik bakteri a. Morfologis Bakteri Ada beberapa bentuk dasar bakteri, yaitu bulat (tunggal: coccus; jamak: cocci), batang atau silinder (tunggal: bacillus, jamak: bacilli),dan spiral yaitu berbentuk batang melengkung atau melingkar-lingkar (Pratiwi, 2008). Satuan ukuran bakteri adalah mikrometer (μm), yang setara dengan 1/1000 mm atau 10 -3 mm. bakteri yang paling umum berukuran kira-kira 0,5-1,0 x 2,0-5,0 μm (pelczar, 1986). Pratiwi (2008) menyatakan bahwa struktur sel bakteri terdiri dari dua bagian yaitu struktur eksternal dan struktur internal sel bakteri. Tabel 2.2. ciri-ciri bakteri Gram positif dan Gram negatif (Pelczar, 1986) Perbedaan Relatif Ciri Gram positif Gram negatif Struktur dinding sel Tebal (15-80 mm) Tipis (10-15 mm) berlapis tunggal (mono) berlapis tiga (multi) Komposisi dinding sel Kandungan lipid rendah Kandungan lipid tinggi (1-4%) (11-22%) Peptidoglikan ada Peptidoglikan ada di sebagai pelapis tunggal; dalam lapisan kaku komponen utama sebelah dalam; merupakan lebih dari jumlahnya sedikit, 50% berat kering pada merupakan sekitar 10% beberapa sel bakteri berat kering Asam teikoat Tidak ada asam teikoat Kerentanan terhadap Lebih rentan Kurang rentan penisilin Pertumbuhan dihambat Pertumbuhan dihambat Pertumbuhan tidak oleh zat-zat warna dengan nyata begitu dihambat dasar, misalnya kristal violet Persyaratan nutrisi Relatif rumit pada Relatif sederhana banyak spesies Resistensi terhadap Lebih resisten Kurang resisten gangguan fisik
a. Struktur eksternal sel bakteri
Glikokaliks (selubung gula)/kapsul
Slime (lapisan lendir)
Flagela
Fibria (jamak: fibriae)
Pili (tunggal: pilus)
Dinding sel
b. Struktur internal sel bakteri
Sitoplasma: substansi yang menempati ruangan sel bagian dalam. Di dalam sitoplasma terdapat berbagai enzim, air (80%), protein, karbohidrat, asam nukleat, dan lipid yang membentuk sistem koloid yang secara optik bersifat homogen.
Membran plasma.(inner membrane): struktur tipis yang terdapat di sebelah dalam dinding sel dan menutup sitoplasma sel berfungsi untuk memecah nutrien dan memproduksi energi.
Daerah inti (daerah nukleoid): mengandung kromosom bakteri.
Ribosom: berperan pada sintesis protein.
Badan inklusi: organel penyimpan nutrisi.
Endospora: struktur dengan dinding tebaldan lapissan tambahan pada sel bakteri yang berbentuk disebelah dalam membran sel. Endospora berfungsi sebagai pertahanan sel bakteri terhadap panas ekstrem, kondisi kurang air, dan paparan bahan kimia serta radiasi.
b. Enzim ekstraseluler pendegradasi senyawa lignoselulosa
Enzim yang memecah makromolekul pada umumnya bersifat ekstraseluler yaitu setelah di produksi di dalam sel kemudian dikeluarkan dari sel ke substrat di sekelilingnya. Mikroba yang memproduksi enzim ekstraseluler jika ditumbuhkan pada medium pada yang mengandung substrat yang dapat dihidrolisa akan mengeluarkan enzim tersebut di sekeliling koloninya dan akan menghidrolisa substrat di sekeliling koloni. Perubahan di sekeliling koloni tersebut dapat dilihat misalnya dengan areal yang bening pada hidrolisa protein oleh enzim proteolitik, atau dapat dilihat dengan penambahan indikator yodium pada hidrolisa pati oleh enzim amilolitik (Fardiaz, 1988). Enzim enzim ekstraseluler pada umumnya bersifat terinduksi, dimana produksinya akan meningkat jika ada substrat yang sesuai di sekelilingnya. Tanpa induksi, enzim tetap diproduksi tetapi dalam jumlah kecil. Enzim ekstraseluler akan menghidrolisa makromolekul di luar sel menjadi komponen yang lebih larut, sehingga dapat diserap ke dalam sel dengan sistem transport tertentu. Komponen komponen makromolekul tersebut pada umumnya digunakan sebagai sumber karbon dan enersi (Fardiaz, 1988). Enzim ekstraseluler disintesa di dalam ribosom. Sintesa enzim ini dapat mengalami represi katabolit, yaitu produksinya dihambat jika substrat mengandung komponen komponen sumber energii dan karbon yang lebih larut dan lebih mudah dimetabolisme. Contoh enzim enzim ekstraseluler yaitu amilase, pektinase, selulase, lisozim, chitinase, proteinase, nuklease dan esterase (Fardiaz, 1988).
2.3.2. Peranan bakteri dalam perombakan lignoselulosa a. Perombakan lignin Lignin merupakan senyawa/polimer yang sulit didegradasi dan hanya sedikit mikroorganisme yang mampu mendegradasi lignin secara efektif. Degradasi lignin membutuhkan enzim ekstraseluler yang tidak spesifik karena lignin mempunyai struktur acak dengan berat molekul tinggi (Howard et al., 2003). Beberapa kelompok bakteri mempunyai kemampuan mendegradasi lignin. Bakteri dari genus Aeromonas, Bacillus, Flavobacterium, Pseudomonas maupun Streptomyces memiliki kemampuan enzimatis dalam menggunakan senyawa cincin aromatik (aromatic ring) dan rantai samping yang ada pada lignin (Hernandes et al., 1994). Disamping itu bakteri berperanan dalam perombakan lebih lanjut senyawa intermediet hasil degradasi jamur (Ruttiman et al., 1991). Degradasi lignin dari komplek lignoselulosa secara sempurna merupakan respon dari
aktivitas tiga
kelompok utama enzim
ekstraseluler yaitu
lignin-
peroksidase/Li-P, mangan-peroksidase/Mn-P, dan lakase/Lac (Perez et al., 2002). Lignin Peroksidase (EC 1.11.1.14, Li-P, Ligninase) merupakan enzim lignolitik yang bertugas mengkatalisis oksidasi sebuah elektron dari cincin aromatik lignin (fenolik dan non-fenolik) yang akan membentuk radikal kation dan fenoksi (Akhtar et al., 1997). Senyawa radikal ini secara spontan atau bertahap melepaskan ikatan antar molekul dan beberapa diantaranya melepaskan inti pada cincin aromatik. Oksidasi substruktur lignin yang dikatalisis oleh Li-P dimulai dengan pemisahan satu elektron cincin aromatik substrat donor dan menghasilkan radikal kation aril yang kemudian mengalami berbagai reaksi
postenzymatic. Li-P memotong ikatan Cα-Cβ molekul lignin (Gambar 2.8). Pemotongan ikatan pada Cα-Cβ merupakan jalur utama perombakan lignin (Gambar 2.9) (Hammel, 1997). Disamping itu, Li-P juga merupakan oksidan yang kuat yang mempunyai kemampuan mengoksidasi senyawa fenolik, amina, eter aromatik, dan senyawa aromatik polisiklik. Li-P adalah enzim peroksidase ekstraseluler yang mengandung heme yang aktivitasnya bergantung pada H2O2, yang mempunyai potensial redoks yang sangat besar dan pH optimum yang rendah (Gold dan Alic, 1993).
Gambar 2.8. Skema Sistem Degradasi Lignin (Sumber: Hammel, 1997)
Gambar 2.9. Pemotongan ikatan Cα-Cβ molekul lignin dan pembentukan senyawa intermediet (Sumber: Hammel, 1997) Enzim Mangan-Peroksidase/Mn-P (EC. 1.11.1.13, Mn-P) merupakan hemeperoksidase ekstraseluler yang membutuhkan Mn 2+ sebagai substrat
pereduksinya (Steffen, 2003). Mn-P mengoksidasi Mn2+ menjadi Mn3+ dan H2O2 sebagai katalis untuk menghasilkan gugus peroksida. Mn3+yang dihasilkan dapat berdifusi ke dalam substrat dan mengaktifkan proses oksidasi yang mengubah struktur fenolik menjadi radikal fenoksil. Mn 3+ yang terbentuk sangat reaktif dan membentuk kompleks dengan chelating asam organik seperti asam oksalat atau malat (Kishi et al., 1994). Ion Mn3+ distabilkan dan dapat menembus kedalam jaringan substrat dengan bantuan chelator (Steffen, 2003). Hal ini didukung pula oleh aktivitas kation radikal dari veratril alkohol dan enzim penghasil H 2O2. Proses ini diakhiri dengan bergabungnya O2 ke dalam struktur lignin (De Jong et al., 1994). Radikal fenoksil yang dihasilkan lebih lanjut bereaksi yang akhirnya melepaskan CO2. Siklus katalitik dari Li-P dan Mn-P hampir sama. Produk utama reaksi LiP dengan H2O2 adalah senyawa I 2-elektron (Li-P I) teroksidasi (Gambar 2.10). Li-P I direduksi kembali menjadi enzim asal melalui langkah 2 elektron tunggal dengan senyawa II (Li-P II). Perbedaan utama Li-P dan Mn-P adalah asal substrat pereduksi. Li-P mengkatalis oksidasi senyawa lignin non-fenolik serupa dengan perubahan veratril alkohol menjadi veratril aldehide (Perez et al., 2002).
Gambar 2.10. Siklus katalitik pada Li-P (Sumber: Evan dan Hedger, 2001)
Gambar 2.11. Siklus katalitik Mn-P (Sumber: Perez et al., 2002) Oksidasi lignin dan senyawa fenolik lain oleh Enzim Mn-P tergantung pada ion Mn bebas. Substrat pereduksi utama dalam siklus katalitik Mn-P adalah Mn2+ yang secara efesien mereduksi senyawa I (Mn-P compound I) menjadi senyawa II (Mn-P compound II), menghasilkan Mn3+ yang selanjutnya mengoksidasi substrat organik. Mn2+ berikatan dengan chelator asam organik untuk menstabilkan Mn3+. Siklus katalitik Mn-P dimulai dengan pengikatan H2O2 atau peroksida organik dengan enzim Ferric alami dan pembentukan kompleks besi peroksida (Gambar 2.11)(Perez et al., 2002). Pemecahan ikatan oksigen peroksida membutuhkan Fe4+-oxo-porphyrinradicalcomplex dalam pembentukan Mn-P compound I. Kemudian ikatan dioksida dipecah dan dikeluarkan satu molekul airnya. Reaksi berlangsung sampai terbentuknya Mn-P compound II. Ion Mn2+ bekerja sebagai donor 1-elektron untuk senyawa antara forfirin dan dioksidasi menjadi Mn 3+. Mn3+ merupakan oksidan kuat yang dapat mengoksidasi senyawa fenolik tetapi tidak dapat menyerang unit non-fenolik lignin (Perez et al., 2002).
Gambar 2.12. Skema pembentukan CO2 dari struktur aromatik lignin oleh MnP(Perez et al., 2002). Reaksi awal Mn3+ dengan cincin fenolik adalah suatu oksidasi 1 elektron menjadi radikal fenoksil yang terdapat dalam mesomer yang berbeda (Gambar 2.12). Secara simultan chelat asam organik dioksidasi menjadi feroksil dan radikal lain yang mungkin menghasilkan superoksida yang cendrung bereaksi dengan radikal berpusat karbon menjadi bentuk eter peroksida yang mengalami pembelahan cincin yang dihasilkan dalam pembentukan struktur alifatik. Selanjutnya sistem enzim Mn-P membelah gugus ini menjadi CO2 dan radikal alifatik yang selanjutnya mengalami reaksi dengan dioksida menghasilkan CO 2 lebih banyak dan bahan organik dengan berat molekul rendah seperti asam format(Perez et al., 2002). Enzim Laccase/Lac (EC 1.10.3.2, benzenediol:oxygen oxidoreductase) merupakan fenol oksidasi mengandung tembaga yang tidak membutuhkan H2O2 tetapi menggunakan molekul oksigen (Thurston, 1994). Laccase berperan mengoksidasi gugus fenol menjadi kuinon. Ishihara (1980) menyatakan Laccase adalah enzim pengoksidasi melalui proses demitilasi yang mengubah gugus
metoksi menjadi methanol. Disamping itu terdapat kelompok enzim fenol oksidase (laccase dan tirosinase) yang mengoksidasi gugus δ dan p-fenol serta gugus amina menjadi kuinon dan memberi perubahan warna terhadap substansi fenolik 1-naftol dan p-kresol. Kersten et al. (1990) menyatakan laccase mereduksi O2 menjadi H2O dalam substrat fenolik melalui reaksi satu elektron membentuk radikal bebas. Dengan adanya
elektron seperti
ABTS (2.2-azinobis/3-
ethylbenzthiozoline-6-sulphonate) atau HBT (Hydroxybenzotriazole), Laccase mampu mengoksidasi senyawa nonfenolik tertentu dan veratryl alcohol. b. Pendegradasi selulosa Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer anhidroglukosa menjadi molekul yang lebih sederhana. Proses ini menghasilkan oligo, tri atau disakarida seperti selobiosa, selotriosa, monomer glukosa, CO 2 dan H2O. Degradasi selulosa dapat dilakukan secara biologis (aktivitas enzim mikroba), fisik maupun kemis. Sejumlah mikroba mampu menghidrolisis selulosa sampai taraf tertentu. Maranatha (2008) menyebutkan mikroba selulolitik dari kelompok bakteri mempunyai tingkat pertumbuhan cepat dan aktivitas selulolitik tinggi. Mikroba selulolitik khususnya bakteri banyak ditemukan pada tanah tanah pertanian, hutan, jaringan hewan, saluran pencernaan herbivora baik rumen, sekum maupun kolon, rayap (air liur, sel tubuh, saluran pencernaan maupun sarangnya) serta pada tumbuhan yang membusuk/mati. Bakteri di alam yang bersifat selulolitik antara lain; Clostridium (C. acetobutylicum, C. thermocellum), Bacillus sp., Acidothermus, Pseudomonas (P. cellulosa), Rhodothermus (Anindyawati, 2010), Erwinia, Acetovibrio, Mikrobispora, Cellulomonas, Cellovibrio, Streptomyces, Sclerotium rolfisii (Duff and Murray, 1996; Indrawati
Gandjar, 2006), Fibrobacter succinogenes, Ruminococcus albus, Ruminococcus flavefaciens, Butytrivibrio fibrisolvens (Lynd et al., 2002) Aktivitas selulolitik bakteri dilakukan secara ekstraseluler melalui dua sistem, yaitu: 1) Sistem hidrolitik, melalui produksi enzim hidrolase yang merombak selulosa dan hemiselulosa, dan 2) Sistem oksidatif dan sekresi lignase ekstraseluler melalui depolimerisasi lignin (Perez et al., 2002). Lebih lanjut diungkapkan perombakan selulosa secara enzimatis berlangsung karena adanya kompleks enzim selulase yang bersifat spesifik untuk menghidrolisis ikatan β 1,4-glikosidik, rantai selulosa dan derivatnya. Sumardi et al. (2010) menyatakan bahwa faktor genetik mempengaruhi besarnya produksi enzim.
Lebih lanjut
dijelaskan bahwa gen setiap mikroorganisme berbeda-beda sehingga masingmasing mikroorganisme memiliki sifat yang berbeda dan dari tiap gen memiliki sifat yang spesifik untuk mengkode enzim-enzim tertentu. Frost dan Moss, (1987 dalam Azizah, 2013), mengungkapkan selulase sebagai enzim ekstraseluler pada bakteri umumnya berfungsi memproduksi nutrisi dari polimer-polimer yang terdapat pada substrat yang mengandung selulosa. Jenis bakteri tertentu akan menghasilkan partikel yang disebut selulosom. Partikel inilah akan terdisintegrasi menjadi enzim-enzim, yang secara sinergis mendegradasi selulosa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa umumnya isolat bakteri tidak mampu mensintesis ketiga jenis kompleks enzim selulase (CMC-ase, eksoglukanase, dan glukosidase) yang digunakan dalam pemutusan ikatan-ikatan penyusun senyawa selulosa. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan tiap isolat bakteri uji dalam mendegradasi selulosa khususnya mikrofibril penyusun serat selulosa (Belitz et al., 2008).
Lynd et al. (2002) mengungkapkan bahwa perombakan selulosa oleh kelompok bakteriselulolitik berlangsung melalui beberapa tahapan. Tahap pertama adalah menguraikan polimer selulosa secara random/acak oleh enzim carboxymethilcelulase/CMC-ase atau endo β-1,4 glukanase dengan cara memecah ikatan hidrogen yang ada di dalam struktur kristalin/amorf selulosa (ikatan internal α-1,4-glukosida) sehingga terbentuk rantai-rantai individu selulosa (oligodekstrin). Adanya sekresi enzim endo-β-1,4-glukanase (CMC-ase) yang dihasilkan oleh bakteri selulotik dapat memutuskan ikatan β-1,4 glikosida (Teather dan Wood, 1982 dalam Lema, 2008). Tahap kedua adalah penguraian selulosa dari ujung pereduksi dan non pereduksi oleh
eksoglukanase
(selodektrinase dan selobiohydrolase) melalui pemotongan ujung-ujung rantai individu selulosa (ujung pereduksi dan non-pereduksi) sehingga menghasilkan disakarida dan tetrasakarida (misal selobiosa). Hidrolisis bagian berkristal selulosa hanya dapat dilakukan secara efisien oleh enzim eksoglukanase. Tahap ketiga (terakhir) adalah tahap penguraian selobiosa menjadi glukosa oleh enzim βglukosidase/glukohydrolase (Gambar 2.13).
Gambar 2.13. Proses Degradasi Selulosa menjadi Glukosa (Lynd et al., 2002)
Kemampuan degradasi selulosa berbagai bakteri bervariasi yang dipengaruhi oleh jenis/spesies, substrat maupun lingkungan. Chen dan Weimer (2001) mengungkapkan bakteri selulolitik akan dominan dalam rumen ruminansia apabila ternak diberikan pakan hijauan atau pakan kaya serat. Lebih lanjut diungkapkan bahwa dalam kondisi jumlah substrat cukup tersedia, populasi Ruminococcus flavifaciens, Fibrobacter succinogenes dan Ruminococcus albus terdapat dalam jumlah hampir seimbang tetapi bila jumlah substrat terbatas populasi Ruminococcus flavifaciens akan lebih tinggi dibandingkan Fibrobacter succinogenes dan Ruminococcus albus. Namun hasil penelitian Berra-Maillet et al. (2004) menunjukkan bahwa populasi Fibrobacter succinogenes adalah paling besar di dalam rumen sapi dan domba. c. Pendegradasi hemiselulosa Degradasi hemiselulosa merupakan proses pemecahan polimer hetero polisakarida menjadi molekul yang lebih sederhana. Proses ini menghasilkan monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa, arabinosa dan 4-0 methyl-glukoronik, D-galacturonic dan D-glukoronik (Perez et al., 2002). Degradasi hemiselulosa dapat dilakukan secara biologis (aktivitas enzim mikroba), fisik maupun kemis. Berbagai mikroba di alam mampu menghasilkan enzim pendegradasi hemiselulosa (hemiselulase), antara lain Trichoderma, Aspergillus, Bacillus sp, Aeromonascaviae, Neurospora sitophila, Cryptococcus, Chaetomium, Humicola, Talaromyces, Clostridium sp, dll (Chandel et al., 2007; Ohara et al., 1998). Perez et al. (2002) mengungkapkan silanase bakteri umumnya lebih stabil dari pengaruh temperatur daripada jamur.
Degradasi hemiselulosa oleh bakteri hemiselulolitik merupakan hasil dari aktivitas komplek enzim hemiselulaseyang terdiri atasendo-β-1,4-xylanase, eksoβ-1,4-xylosidase,
endo-arabinase,
α-L-arabinofuranosidase,
endo-
β-1,4-
mananase, dan ekso- β-1,4-mannosidase (Gambar 2.14). Mengingat komponen utama dari hemiselulosa adalah xilan dan mannan, maka enzim yang berperanan utama mendegradasi hemiselulosa adalah kompleks enzim xylanase dan kompleks enzim mananase (Howard et al., 2003; Perez et al., 2002). a
b
Gambar 2.14. Biodegradasi Hemiselulosa (Sumber: Howard et al.,2003; Perez et al., 2002)
(a:Degradasi Xilan, b: Degradasi Mannan) Degradasi sempurna dari xilan membutuhkan enzim-enzim yang bekerja secara sinergis, seperti endo-1,4-β-xilanase, 1,4-β-xilosidase, α-glukuronidase, αL-arabinofuranosidase, asetil, furoloil, p-kumaril-esterase dan asetil-esterase (Coughlan and Hazlewood, 1993; Olempska-Beer, 2004) (Gambar 2.14a). Enzim endo-1,4-β-xylanase bertugas menghidrolisis ikatan β-1,4 dalam rantai silan menghasilkan silooligomer pendek yang selanjutnya akan dihidrolisis menjadi unit silosa tunggal oleh β-silosidase. Enzim α-D-glukorosidase menghidrolisis ikatan α-1,2-glikosidik dari asam 4-O-metil-D-glukoronik rantai samping silan. Asetil esterase menghidrolisis substitusi asetil pada silosa dan feruloil esterase yang menghidrolisis ikatan ester antara substitusi arabinosa dan asam ferulik.
Feruloil esterase dapat melepaskan hemiselulosa dari lignin dan sehingga lebih mudah didegradasi oleh hemiselulase lain. Degradasi sempurna dari senyawa mannanosa membutuhkan adanya kompleks enzim mananase yang terdiri dari; endo-β-D-mananase, ekso-β-Dmananase, α-D-manosidase, dan D-glukosidase (Gambar 2.14b). Enzim β-Dmananase menghidrolisis bagian tengah rantai manan,galaktomanan dan glukomanan, sedangkan β-D-glukosidase menghidrolisisi rantai sampingnya. Aktivitas hidrolisis dari kompleks enzim tergantung pada tife enzim dan struktur mannan sebagai substrat. 2.4. Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Sebagai Sumber Isolat Bakteri Lignoselulolitik Cacing tanah (Lumbricus rubellus) merupakan hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata) yang digolongkan ke dalam filum Annelida, ordo Oligochaeta, dan kelas Chaetopoda yang hidup dalam tanah. Penggolongan ini didasarkan pada bentuk morfologinya karena tubuhnya tersusun atas segmensegmen yang berbentuk cincin (annulus), setiap segmen memiliki beberapa pasang seta, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang substrat dan bergerak (Khairuman dan Khairul, 2009). Cacing tanah mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik (Bohlen, 2001). Kemampuan ini dikarenakan di dalam saluran pencernaannya terkandung berbagai mikroba sinergis seperti protozoa, bakteri dan mikro fungi serta terkandung berbagai enzim seperti lipase, protease, chitinase, selulase, urease dan amilase (Pathma dan Sakthivel, 2012). Saluran pencernaan cacing tanah (Lumbricus rubellus) juga terdapat mukus yang mengandung berbagai nutrien (karbohidrat, protein, bahan mineral dan bahan
organik, serta berbagai asam amino) dan hormon. Lebih lanjut dikemukakan bahwa cacing tanah (Lumbricus rubellus) juga mampu mendegradasi senyawa antinutrisi dan lignoselulosa, memproduksi antibiotika, chitinase dan glucanase, pigmen fluorescent siderophores, serta berbagai growth promotor melalui pelarutan mineral dan menekan mikroba patogen, serta memproduksi hormon 1aminocyclopropane-1carboxylate (ACC) deaminase, dan menekan mikroba patogen. Owa et al., (2013) menunjukkan dari saluran pencernaan cacing tanah Libyodrilus violaceus berhasil diisolasi bakteri Acinobacter sp, Kiebsiella sp, Bacillus sp., B. brevis, B. cereus, B. lalerosporus, B. lichenoform, P. vulgaris, Pseudomonas s, Alcaligans faecalis, Corynebacterium sp., E. cloacae, Erwinia salicie, Flavobacterium sp., F. aquartile, Micrococcus inteus, M. kristinae, M. Varians dan Proteus rennvi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2007) juga menyatakan bahwa dalam saluran pencernaan cacing tanah terdapat bakteri selulolitik. Beberapa jenis cacing tanah telah dilaporkan mengandung zat aktif yang bersifat anti bakteri patogen seperti Eisinia foetida (Lange et al., 1999 disitasi Julendra et al., 2007), Theromyzon tessulatum (Tasiemski et al., 2004 disitasi Julendra et al., 2007), Lumbricus rubellus (Cho et al., 1998 disitasi Julendra et al., 2007) dan dapat menstimulasi sistem kekebalan (Liu et al., 2004; Engelmann et al., 2005 disitasi Julendra et al., 2007). Cacing tanah jenis Allolobophora rosea juga telah dilaporkan mengandung senyawa anti bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif (Sumardi, 1998 disitasi Julendra et al., 2007). Selain memiliki daya hambat terhadap bakteri patogen, tepung cacing tanah juga
memiliki kadar protein kasar yang tinggi sekitar 48,5% - 61,9% (Resnawati, 2002), kaya akan asam amino prolin sekitar 15% dari 62 asam amino (Cho et al., 1998 disitasi Julendra et al., 2007).