II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Ayam Broiler Ayam ras pedaging disebut juga broiler, yang merupakan jenis ras unggulan hasil persilangan dari bangsa-bangsa ayam yang memiliki daya produktivitas tinggi, terutama dalam memproduksi daging ayam. Sebenarnya ayam broiler ini baru populer di Indonesia sejak tahun 1980-an dimana pemegang kekuasaan mencanangkan panggalakan konsumsi daging ruminansia yang pada saat itu semakin sulit keberadaannya. Hingga kini ayam broiler telah dikenal masyarakat Indonesia dengan berbagai kelebihannya. Hanya 4-5 minggu sudah bisa
dipanen.
Dengan
waktu
pemeliharaan
yang
relatif
singkat
dan
menguntungkan, maka banyak peternak baru serta peternak musiman yang bermunculan diberbagai wilayah Indonesia. Ayam broiler mulai dirintis pada tahun 50-an, pada tahun 1950-1961 merupakan tahap perintisan ayam broiler di Indonesia. Usaha peternakan ayam broiler ini merupakan usaha yang paling berfluktuatif, mulai dari harga input seperti harga DOC maupun pakan ternak tersebut sampai kepada harga jual produknya yaitu daging ayam. Selain itu juga dalam proses pembudidayaannya membutuhkan perhatian yang khusus agar ayam tersebut terlindungi dari hama dan penyakit. Biasanya ayam broiler lebih membutuhkan perlakuan khusus pada saat musim penghujan tiba. Hal itu disebabkan karena pada saat musim penghujan tiba kondisi kandang juga akan dapat berubah jika tidak diperhatikan seperti kandang menjadi lembab yang dikarenakan suhu didalam kandang menurun. Sehingga diperlukan perlakuan khusus untuk menjaga kestabilan suhu di kandang. Seiring waktu berjalan ayam broiler semakin berkembang setiap tahunnya, hal tersebut diiringi dengan semakin banyaknya produsen input seperti pakan ternak, DOC, serta input lainnya yang menawarkan produk. Dengan semakin banyaknya peternak ayam broiler maka harga juga mulai bersaing terhadap peternak. Pada awal perkembangan ayam broiler tersebut harga dipeternak kecil berbeda dengan harga yang ditetapkan peternak besar, sehingga peternak kecil mengalami ketidakstabilan harga ayam dan biaya input yang dikeluaran juga terlalu tingga karena peternak kecil membeli input dengan harga satuan.
13
Dengan keadaan demikian maka pemerintah ikut serta dalam menjaga kestabilan usaha peternakan ayam broiler dengan cara membuat kebijakan yang dapat membantu meringankan dalam memproduksi usaha peternakan tersebut. Kebijakan tersebut diatur dalam Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam, yang jiwanya menganut pemerataan kesempatan usaha dengan keseragaman skala usaha. Secara keseluruhan Pembinaan Usaha Peternakan Ayam menurut Keppres No. 50 Tahun 1981 sungguh melegakan para penganut pemerataan kesempatan usaha dengan keseragaman maksimal skala usaha. Sehingga konflik antara peternak kecil dan peternak besar dapat teratasi karena mereka sudah memiliki wilayahnya masingmasing. Setelah Keputusan Presiden dibentuk tidak lama kemudian untuk menyempurnakan pembinaan peternak langsung ke lapangannya maka dilakukan dengan sistem Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Dengan kedatangan PIR ini diharapkan akan mendukung semakin membaiknya kondisi peternakan ayam broiler di Indonesia karena mendapatkan penyuluhan langsung tentang usaha peternakan ayam broiler. Pendampingan para penyuluh ini sangan membantu peternak ayam tersebut. Hal ini dikarenakan peternak ayam broiler rata-rata berskala kecil sehingga masih membutuhkan pengarahan tentang usaha peternakan ini. Keberadaan PIR ini juga sangat membantu peternak ayam sebagai plasma dalam bentuk penyediaan faktor-faktor produksi seperti DOC, pakan, obat-obatan, vaksinasi dan vitamin. Plasma mendapatkan faktor produksi tersebut dengan harga yang lebih murah dibandingkan jika peternak membelinya dengan harga eceran kepada grosir. Pemakaian faktor produksi tersebut dilakukan selama proses produksi berlangsung sampai masa panen tiba sedangkan pembayaran faktor produksi tersebut dapat dilakukan pada saat panen dipotong dari hasil panen yang telah didapat. Kegiatan tersebut lebih membantu dibandingkan dengan peternak ayam broiler mandiri, peternak mandiri merupakan peternak yang berdiri sendiri tanpa bantuan dari instansi atau lembaga lain. Semua kegiatan yang dilakukan dengan kebijakan peternak itu sendiri. Mulai kegiatan penyediaan faktor produksi sampai kepada proses pendistribusian dagingnya dilakukan dengan sendiri.
14
Usaha
peternakan
dapat
digolongkan
menjadi
beberapa
bagian.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 472/Kpts/TN.330/6/96, usaha peternakan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu Peternakan Rakyat, Pengusaha Kecil Peternakan dan Pengusaha Peternakan. Peternakan Rakyat adalah peternak yang mengusahakan budidaya ayam broiler dengan kapasitas maksimal sebesar 15.000 ekor per periode. Peternakan rakyat mempunyai beberapa karakter yaitu modal terbatas, adanya masa istrahat kandang, kandang dibangun dengan sederhana, tenaga kerja biasanya dari rumah tangga. Pengusaha kecil peternakan adalah peternak yang membudidayakan ayam broiler dengan kapasitas maksimal sebesar 65.000 ekor per periode, peternakan ini sudah mulai baik dibandingkan dengan peternakan rakyat dibidang manajemen, tenaga kerja yang sudah memiliki pengalaman dan biasanya sudah memiliki legalitas hukum berupa perseorangan. Selain itu, pengusaha peternakan adalah peternakan yang membudidayakan ayam broiler dengan kapasitas melebihi 65.000 ekor per periode. Selain kapasitas produksi, perusahaan peternakan dapat dilihat dari teknologi yang serba modern dalam melakukan budidayanya, sudah memiliki legalitas hukum berupa perusahaan, memiliki manajemen yang baik dan memiliki tenaga kerja yang ahli dalam bidangnya. Pengusaha peternakan ini memiliki kelebihan yaitu mendapatkan bimbingan dan pengawasan dari pemerintah. Hal tersebut telah ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 1977 tentang Usaha Peternakan. Peraturan Pemerintah tersebut menjelaskan bahwa menteri yang bertanggung jawab dalam bidang peternakan atau pejabat yang ditunjuk berkewajiban melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap kegiatan peternakan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan peternakan. Perundangundangan yang menjadi payung hukum bagi agribisnis usaha ayam broiler adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 1967 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Adapun tujuan umum pembentukan undang-undang ini adalah untuk pemeliharaan kesehatan hewan. Tujuan utama penambahan produksi adalah untuk meningkatkan taraf hidup peternak Indonesia dan untuk memenuhi keperluan bahan makanan yang berasal dari ternak bagi seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata.
15
2.2. Risiko Produksi Ayam Broiler Risiko produksi adalah kemungkinan peluang terjadinya penurunan produksi yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Risiko tersebut terjadi dari berbagai sumber risiko yang dapat menurunkan produksi, seperti kondisi alam yang tidak stabil yang dapat menyebabkan ayam broiler terserang penyakit dan dapat meningkatkan kematian pada ayam broiler tersebut. adanya indikasi bahwa risiko produksi adalah dengan melihat tingkat bobot ayam terhadap pakan sehingga menghasilkan produksi yang tidak stabil. Ada beberapa penelitian yang menganalisis tentang risiko produksi, diantaranya Aziz (2009) Robi’ah (2006), dan Solihin (2009). Ketiga penelitian tersebut menganalisis risiko produksi ayam broiler, Aziz di daerah Desa Tapos, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor, Solihin di daerah CV AB Farm Bojong Genteng, dan Robi’ah di Sunan Kudus Farm, Bogor. Berdasarkan analisis ketiga peneliti tersebut kondisi alam merupakan salah satu faktor risiko utama dalam risiko produksi. Kondisi alam yang tidak stabil akan dapat berdampak kondisi kandang
menjadi
mudah
penyakit
berkembang
biak
sehingga
banyak
menyebabkan ayam terkena penyakit. Penyakit yang sering muncul pada saat musim hujan tiba adalah Coccidiosis (berak darah), Newcastle Disease (tetelo), kekerdilan, kurang nutrisi serta mudah terserang penyakit. Kejadian ini juga mengakibatkan tidak efesiennya dalam hal konversi pakan terhadap bobot ayam. Hal ini dikarenakan kondisi tubuh ayam yang kedinginan sedangkan alat pemanas jauh dari jangkauan sehingga menimbulkan rangsangan terhadap keluarnya bulu ayam yang menjadikan pertumbuhan ayam terhambat. Hasil analisis Aziz, Robi’ah, dan Solihin, risiko produksi pada ayam broiler adalah tinggi. Aziz menyatakan risiko produksi sangat tinggi dengan nilai CV 1,75, risiko tersebut berasal dari risiko cuaca dan iklim yang menyebabkan tingginya tingkat kematian sampai pada 10 persen. Selain dari faktor cuaca risiko produksi berasal dari adanya fluktuasi harga yaitu harga pakan, obat-obatan, DOC, dan harga jual produksi. Tingkat risiko yang dianalisis oleh Robi’ah memiliki tingakt risiko sebesar 1,3 dan di sebabkan oleh adanya fluktuasi sapronak serta adanya kenaikan harga input maupun stabilnya harga output. Sedangkan tingkat risiko yang dianalisis oleh Solihin sangat tinggi dibandingkan
16
Aziz dan Robi’ah yaitu dengan CV 2,63. Risiko ini sangat tinggi bagi peternak, dan risiko tersebut timbul berasal dari harga sapronak (pakan, DOC, pemanas) terus meningkat sementara harga jualnya relatif tetap. Paramter kesuksesan proses produksi menurut Solihin adalah Indeks Prestasi Produksi. Solihin juga menjelaskan adanya pengaruh risiko produksi terhadap pendapatan sedangkan Aziz dan Robi’ah tidak menjelaskan dampak risiko terhadap pendapatan. Adanya risiko disebabkan karena adanya penyimpangan indeks prestasi standar dengan indeks prestasi yang telah dijalankan. Maka pendapatan untuk setiap periodenya juga berfluktuasi. Rata-rata penyimpangan yang terjadi sebesar 32,6 persen yang berisiko mengakibatkan penurunan pendapatan sebesar 157,1 persen atau Rp 342.290.546. adanya penyimpangan ini disebabkan oleh fluktuasi harga sarana produksi ternak dan fluktuasi harga jual. Sehingga perbandingan satu risiko nilainya semakin meningkat bila dikonversikan terhadap biaya. Hasil analisis Fariyanti (2008) yang berjudul “Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Sayuran Pada Kondisi Risiko Produksi dan Harga di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung”. Penelitian tersebut menggunakan model Garch untuk melihat nilai dari risiko produksi pada komoditi kubis dan kentang. Pada komoditi kentang dihasilkan error kuadrat periode sebelumnya memiliki taraf nyata dibawah satu persen, sedangkan variance error produksi musim sebelumnya mempunyai taraf nyata dibawah lima persen. Parameter tersebut bertanda positif menandakan bahwa semakin tinggi risiko produksi kentang pada musim sebelumnya, maka semakin tinggi risiko produksi pada musim berikutnya. Hubungan
penggunaan
input
dengan
variance
error
produksi
menunjukkan bahwa benih memiliki taraf nyata dibawah lima persen dan pupuk urea memiliki taraf nyata dibawah 10 persen, sedangkan lahan garapan kentang, pupuk TSP, KCL, tenaga kerja, dan obat-obatan (pestisida, insektisida,) tidak mempunyai pengaruh nyata. Dengan demikian, pada usahatani kentang, penggunaan benih, luas garapan, dan obat-obatan merupakan factor yang dapat mengurangi risiko produksi. Sedangkan pupuk urea, TSP, KCl, dan tenaga kerja merupakan faktor yang menimbulkan adanya risiko produksi. Untuk komoditas kubis dari enam parameter yang diduga terdapat empat parameter yang mempunyai taraf nyata dibawah satu persen, yaitu luas lahan garapan kubis,
17
pupuk urea, tenaga kerja, dan obat-obatan (pestisida dan insektisida). Sedangkan benih kubis mempunyai taraf nyata dibawah 15 persen, dan pupuk majemuk NPK memiliki taraf nyata dibawah 20 persen. dengan demikian luas lahan garapan kubus dan obat-obatan menjadi faktor yang menimbulkan risiko produksi. Sebaliknya, benih kubis, pupuk urea, pupuk majemuk NPK, dan tenaga kerja menjadi faktor pengurang risiko produksi. 2.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risiko Ayam Broiler Faktor-faktor produksi merupakan semua masukan atau input yang dilakukan untuk melakukan proses produksi untuk menghasilkan keluaran atau output. Faktor produksi merupakan faktor yang mempengaruhi besar kecilnya suatu produksi yang akan diperoleh. Menurut Soekartawi (2002), berdasarkan berbagai pengalaman yang menjadi faktor-faktor produksi adalah luasan lahan, modal, bibit, obat-obatan, tenaga kerja dan aspek manajemen. Penelitian yang menjelaskan tentang faktor-faktor produksi adalah Merina (2004) dan Anggraini (2003). Merina meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi risiko usaha peternakan ayam broiler di Bekasi sedangkan Anggraini meneliti tentang risiko sapi perah dengan melihat faktor-faktor penyebab risiko dari sapi perah tersebut. Anggraini menjelaskan bahwa tingkat risiko yang pada usaha ayam broiler berfluktuatif setiap periodenya, hal tersebut dapat dilihat dari tingkat CV 0,92 dan tingkat pengembaliannya yang rendah. Sehingga berpengaruh terhadap tingkat pendapatan dari perusahaan tersebut pada setiap periodenya. Keuntungan yang dihasilkan selalu bernilai positif namun hanya pada dua periode dari 12 periode yang mengalami kerugian dikarenakan adanya penyakit dan harga jual ayam turun. Berdasarkan analisis Merina risiko produksi dapat mempengaruhi tingkat pendapatan usaha ayam broiler. Variabel-variabel yang digunakan untuk melihat pengaruhnya terhadap risiko adalah fluktuasi harga DOC, pakan, obat-obatan, mortalitas, bonus karyawan, jumlah produksi, jumlah DOC yang dipelihara, harga ayam broiler, dan luas lahan. Dari hasil analisis regresi didapat tingkat kepercayaan 90,6 persen, namun tidak diikuti dengan ada variabel-variabel yang signifikan terhadap tingkat risiko tersebut. Hal ini disebabkan karena didalam variabel tersebut terdapat variabel yang memiliki multikolinier. Dan kemudian 18
dilakukan analisis regresi komponen utama 1, 2, dan 3 dengan tingkat keragaman 39,1 persen, 62,7 persen, dan 78,5 persen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fluktuasi harga DOC, pakan, obat-obatan/vitamin, harga ayam, waktu penjualan dan mortalitas merupakan variabel yang signifikan terhadap risiko usaha ayam broiler. Menurut Anggraini bahwa faktor-faktor yang memengaruhi tingkat risiko dalam usaha peternakan sapi perah di Kebon Pedes, Bogor adalah fluktuasi keuntungan di musim hujan, fluktuasi keuntungan di musim kemarau, fluktuasi harga susu, fluktuasi harga pakan, skala usaha, dan saluran pemasaran. Dan hasil analisis risiko didapat tingkat risiko sebesar 0,2 atau 20 persen dari pendapatan bersih rata-rata (return) yang diperoleh. Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Persamaan yang dimiliki adalah semua literatur menggunakan komoditas yang sama kecuali Anggraini menganalisis sapi perah dengan menggunakan analisis risiko untuk melihat tingkat risiko usaha. Sedangkan perbedaan dari penelitian sebelumnya adalah pada penelitian Aziz, Solihin, dan Robi’ah tidak menjelaskan seberapa besar faktor produksi dalam menimbulkan risiko produksi dan dalam menganalisis faktor-faktor produksinya berbeda, mereka menggunakan deskriptif sedangkan penelitian sekarang menggunakan
Cobb-Douglass.
Untuk
penelitian Merina
dan
Anggraini
menjelaskan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi pendapatan sedangkan penelitian yang sekarang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi ayam broiler. Perbedaan dengan penelitian Farianti adalah pada komoditas, penelitian ini dilakukan pada komoditas ayam broiler sedangkan Anna komoditas sayuran, penelitian ini hanya untuk menganalisis pengaruh input terhadap produksi serta melihat input-input yang dapat mengurangi atau menimbulkan risiko produksi, sedangkan penelitian Farianti sampai pada pengaruhnya terhadap ekonomi rumah tangga.
19
Tabel 6. Penelitian Terdahulu yang Berkaitan dengan Penelitian yang dilakukan Nama Metode No. Tahun Judul Penelitian Penulis Analisis
1
2
3
4
Faishal Abdul Aziz
Muhamad Solihin
Anna Fariyanti
Siti Robi’ah
5
Desi Merina
6
Puspitasri Dewi Anggraini
Analisis Risiko dalam Usaha Ternak Ayam Broiler (Studi Kasus Peternakan X di Desa Tapos, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor)
Analisis Risiko (Kuantitatif dan Kualitatif)
Risiko Produksi dan Harga Serta Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Peternakan Ayam Broiler CV AB Farm, Kecamatan BojonggentengSukabumi
Analisi Risiko, Analisis Pendapatan, Analisis R/C, Indeks Prestasi Produksi Arch-Garch
2008
Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Sayuran dalam Menghadapi Risiko Produksi dan Harga Produk di Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung
2006
Manajemen Risiko Usaha Peternakan Broiler pada Sunan Kudus Farm di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor
Analisis Risiko, dan Analisis Deskriptif
2004
Analisis Pendapatan Tunai, Risiko dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Risiko Usaha Peternakan Broiler di Perusahaan X, Bekasi
Analisis Risiko, Pendapatan Tunai, dan Regresi.
2003
Analisis Risiko Usaha Peternakan Sapi Perah (Studi Kasus di Kelurahan Kebon Pedes, Bogor)
Analisis Risiko dan Analisis Regresi
2009
2009
20