3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Pemanfaatan Tanaman Obat di Indonesia Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati. Negara ini memiliki 262 spesies tanaman obat yang sudah tervalidasi oleh Tim CODATA Indonesia pada tahun 2000 (CODATA 2002). Tanaman obat adalah tanaman yang mengandung bahan yang dapat digunakan untuk pengobatan. Di Indonesia, tanaman obat dimanfaatkan sebagai bahan jamu gendong, obat herbal, makanan penguat daya tahan tubuh, kosmetik serta bahan baku industri makanan dan minuman. Perkembangan industri berbahan baku tanaman obat dalam lima tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan yang signifikan dan omset produksinya selama kurun waktu tersebut meningkat sebesar 2.5-3.0% per tahun. Pasokan tanaman obat saat ini diperoleh dari dua sumber, yaitu hasil budidaya dan pemanenan langsung dari alam atau disebut juga hasil penambangan dari hutan (Pribadi 2009). Ayam pedaging merupakan ternak yang penting dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat. Permintaan terhadap daging ayam semakin bertambah seiring dengan meningkatnya penghasilan dan kesadaran penduduk akan pentingnya protein hewani. Dalam mengembangkan usaha ternak ayam pedaging, pada umumnya peternak memberikan ransum komersil karena ransum komersil telah memenuhi standar kebutuhan zat–zat makanan yang telah ditetapkan selain itu ransum komersil banyak tersedia di pasaran dan mudah didapat, di dalamnya sudah terkandung bahan pakan tambahan (feed additive) seperti tetracycline, procaine, penicilin, teramycin dan tylosin. Walaupun harganya relatif mahal, karena beberapa bahan penyusunnya masih diimpor. Pencampuran feed additive ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya simpan ransum dan memacu pertumbuhan ternak. Namun penggunaan feed aditive yang terus menerus akan mengakibatkan terdapatnya produk metabolit berupa residu antibiotik seperti tylosin, penicillin, oxytetracyeline dan kanamycin (Rusiana dan Iswarawanti 2004). Oleh karena itu penggunaan feed additive alami merupakan alternatif untuk mengurangi akumulasi residu feed additive dalam daging (Ahmad dan Elfawati 2008).
3
4
2.2. Adas (Foeniculum vulgare)
Gambar 1 Tanaman dan biji Adas (Foeniculum vulgare) (Sumber : Gunawan S 2001) Tanaman Adas (Foeniculum vulgare Mill.) adalah tanaman herba tahunan dari famili Umbelliferae dan genus Foeniculum (Gambar 1). Tanaman ini berasal dari Eropa Selatan dan daerah Mediterania, kemudian tanaman ini menyebar cukup luas di berbagai negara seperti Cina, Meksiko, India, Itali, India, dan termasuk negara Indonesia. Genus Foeniculum mempunyai tiga spesies yaitu F. vulgare (adas), F. azoricum (adas bunga digunakan sebagai sayuran) dan F. dulce (adas manis digunakan juga sebagai sayuran). F. vulgare mempunyai sub spesies yaitu F. vulgare var. dulce dan F. vulgare var. vulgare. Di Indonesia dikenal dua jenis adas yang termasuk ke dalam famili Umbelliferae, yaitu adas (F. vulgare) dan adas sowa (Anetum graveolens). Kedua jenis ini telah banyak dibudidayakan di Indonesia, terutama adas (F. vulgare) Sedangkan A. graveolens lebih banyak dibudidayakan di daerah dataran rendah dan daunnya dimakan sebagai lalap (Anonim b 2009). Berdasarkan Anonim b (2009),
tanaman adas memiliki nama yang
berbeda-beda di berbagai daerah dan negara seperti Hades (Sunda); adas, adas londa, adas landi (Jawa); adhas (Madura); adas (Bali); wala wunga (Sumba); das pedas (Aceh); adas, adas pedas (melayu); adeh, manih (Minangkabau); paapang,
5
paampas (Menado); Popoas (Alfuru); denggu-denggu (Gorontalo); Papaato (Buol); porotomo (Baree); Kumpasi (Sangir Talaud); Adasa, rempasu (Makasar); adase (Bugis); Hsiao hui (China); phong karee, mellet karee (Thailand); Jintan Manis (Malaysia); Barisaunf, madhurika (India/Pakistan); Fennel, commaon fennel, sweet fennel, fenkel, spigel (Inggris) (Anonim b 2009). Adas merupakan satu
dari sembilan tumbuhan obat yang dianggap
berkhasiat di Anglo Saxon. Di Indonesia telah dibudidayakan dan kadang digunakan sebagai tanaman bumbu atau tanaman obat. Tumbuhan ini dapat hidup dari dataran rendah sampai ketinggian 1.800 m di atas permukaan laut, namun akan tumbuh lebih baik pada dataran tinggi. Tanaman ini berasal dari Eropa Selatan dan Asia, karena memiliki banyak manfaat maka tanaman ini banyak ditanam di Indonesia, India, Argentina, Eropa dan Jepang. Adas merupakan terna berumur panjang dengan tinggi 50cm - 2m dan tumbuh merumpun. Satu rumpun biasanya terdiri dari 3-5 batang (BALITRO 2009). Batang tanaman adas berwarna hijau kebiru-biruan, beralur, beruas, berlubang, bila memar baunya wangi. Letak daun berseling, majemuk menyirip ganda dua dengan sirip-sirip yang sempit, bentuk jarum, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, berseludang warna putih, seludang berselaput dengan bagian atasnya berbentuk topi. Perbungaan tersusun sebagai bunga payung majemuk dengan 6-40 gagang bunga, panjang ibu gagang bunga 5-10 mm, panjang gagang bunga 2-5 mm, mahkota berwarna kuning, keluar dari ujung batang. Buah lonjong, berusuk, panjang 6-10 mm, lebar 3-4 mm, masih muda hijau setelah tua cokelat agak hijau atau cokelat agak kuning sampai sepenuhnya cokelat (BALITRO 2009). Adas menghasilkan minyak adas, yang merupakan hasil sulingan serbuk buah adas yang masak dan kering. Ada dua macam minyak adas, manis dan pahit. Keduanya digunakan dalam industri obat-obatan. Adas juga dipakai untuk bumbu atau digunakan sebagai bahan yang memperbaiki rasa (corrigentia saporis) dan mengharumkan ramuan obat. Menurut Gunawan et al. (2001), biasanya adas digunakan bersama-sama dengan kulit batang pulosari, sehingga dapat dikategorikan sebagai zat tambahan (korigen). Daunnya bisa dimakan sebagai sayuran. Perbanyakan dengan biji atau dengan memisahkan anak tanaman (BALITRO 2009).
6
Tanaman adas merupakan salah satu tanaman yang mempunyai peranan penting dalam industri obat tradisional di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari laju permintaan dalam negeri terhadap simplisia adas yang terus meningkat. Pada tahun 1984 pemakaian adas sebesar 10.498 ton/tahun, pada tahun 1993 meningkat menjadi 321.520 ton/tahun. Laju permintaan yang tinggi ini tidak diimbangi dengan budidaya secara intensif sehingga negara Indonesia mengimpor adas pada tahun 2000 sebesar 3.000 ton dari negara India, Mesir dan Iran, karena produksi lokal hanya berkisar 300 ton/tahun. Melihat kegunaannya yang beragam dan kebutuhan dalam negeri yang belum terpenuhi maka tanaman ini cukup potensial untuk dikembangkan. Untuk mendukung pengembangan tanaman adas perlu diketahui informasi tentang tanaman adas mulai dari kegunaan, syarat tumbuh, penanganan benih dan teknik budidayanya (Anonim b 2009). Buah dari tanaman adas yang terletak di tengah-tengah payung umumnya mengandung minyak atsiri yang lebih tinggi dan baunya lebih tajam dibandingkan dengan buah yang terletak di bagian lain. Iklim dan waktu panen sangat menentukan kandungan minyak atsiri. Minyak atsiri yang paling utama dari varietas dulce mengandung anethol (50-80%), limonene (5%), fenchone (5%), estragol (methyl-chavicol), safrol, alpha-pinene (0,5%), camphene, beta-pinene, beta-myrcene dan p-cymen. Sebaliknya varietas vulgare tidak dibudidayakan, kadang-kadang mengandung lebih banyak minyak atsiri, tetapi karena dicirikan oleh fenchone yang pahit (12- 22%) sehingga harganya lebih murah dari varietas dulce (BALITRO 2009). Estragol merupakan senyawa kimia golongan terphenoid ether dan dengan efek toksik yang sangat kecil (relatif tidak toksik). Senyawa ini adalah salah satu senyawa yang penting dalam pengobatan tradisional. Bahan aktif tanaman ini dapat digunakan untuk aroma terapi serta potensial sebagai anastetik lokal (Cardoso JH 2004). Infusa buah adas setara dengan serbuk 7.3mg/100g berat badan dapat menghambat fase estrus sehingga dapat dikembangkan sebagai bahan kontrasepsi oral alternatif (Sa’roni 1999 dalam Gunawan et al. 2001). Pada dosis 910 mg/kg berat badan mempunyai daya analgetik, sebanding dengan parasetamol dosis 145 mg/kg berat badan pada mencit jantan yang mendapat rangsang panas dengan daya analgetik sebesar 96.99% (Susantini 1998 dalam Gunawan et al. 2001). Perlakuan infus adas-pulosari mempunyai daya analgetik sebesar 97.44% (Widadiningsih 1998 dalam Gunawan
et al. 2001). Pemberian ekstrak buah
7
Foeniculum vulgare pada mencit dan tikus jantan dengan dosis 2g/kg berat badan menunjukkan peningkatan aktivitas motorik dan rasa ingin tahu secara nyata, mengurangi efek hipnotik barbiturat, memproteksi efek pitosis yang diinduksi dengan reserpin dan meningkatkan lamanya berenang ( Astuti et al. 1998 dalam Gunawan et al. 2001). Menurut Yushadi (1997), minyak atsiri buah adas dapat menghambat kontraksi trakeal marmot yang disebabkan oleh histamin. Ekstrak n-heksana dan ekstrak etanol memiliki aktivitas ketoksikan tertentu dengan metode pengujian Brain Shrimp Test (BST). Ekstrak etanol buah adas menunjukkan efek diuretik, analgesik, antipiretik, antimikroba dan mempengaruhi sekresi empedu (Tanira et al. 1996 dalam Gunawan et al. 2001). Minyak Adas yang terkandung pada adas berfungsi sebagai bakterisida, desinfektan dan antiseptik. Pada beberapa kasus penggunaan adas mengakibatkan terjadinya alergi kulit dan saluran pernapasan (Bisset 1994 dalam Gunawan et al. 2001). Minyak atsiri dalam bentuk murni dapat menyebabkan kekakuan (spasmus) saluran pernapasan pada anak kecil dan juga peradangan usus akibat iritasi (Wagner 1993 dalam Gunawan et al. 2001).
2.3. Temu Ireng (Curcuma aeruginosa) Temu Ireng terdapat di Burma, Kamboja, Indocina, dan menyebar sampai ke Pulau Jawa. Selain ditanam di pekarangan atau di perkebunan, temu hitam juga banyak ditemukan tumbuh liar di hutan jati, padang rumput, atau di ladang pada ketinggian 400-750 m dpl. Terna tahunan (Gambar 2) ini mempunyai tinggi 1-2 m, berbatang -semu yang tersusun atas kumpulan pelepah daun, berwarna hijau atau cokelat gelap. Terna ini berdaun tunggal, bertangkai panjang, 2-9 helai. Helaian daun bentuknya bundar memanjang sampai lanset, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, warnanya hijau tua dengan sisi kiri - kanan ibu tulang daun terdapat semacam pita memanjang berwarna merah gelap atau lembayung, panjang 31-84 cm, lebar 10-18 cm. Bunganya bunga majemuk berbentuk bulir yang tandannya keluar langsung dari rimpang, panjang tandan 20-25 cm, bunga mekar secara bergiliran dari kantong-kantong daun pelindung yang besar, pangkal daun pelindung berwarna putih, ujung daun pelindung berwarna ungu kemerahan. Mahkota bunga berwarna kuning.
8
Rimpangnya cukup besar dan merupakan umbi batang. Rimpang juga bercabangcabang. Jika rimpang tua dibelah, tampak lingkaran berwarna biru kehitaman di bagian luarnya. Rimpang temu hitam mempunyai aroma yang khas. Perbanyakan dengan rimpang yang sudah cukup tua atau pemisahan rumpun (Anonim d 2011). Secara empiris temu ireng atau temu hitam, digunakan untuk mengobati kolik, mengobati luka lambung dan usus, menambah nafsu makan, asma, batuk, mempercepat pengeluaran lochia (setelah melahirkan), mencegah obesitas, rematik, antelmintikum dan sebagai substitusi sumber tepung. Temu ireng mengandung minyak atsiri turmerone, zingiberene, kurkuminoid (kurkumin I, II dan III) dan alkaloid, saponin, pati, damar, lemak. Kurkuminoid juga diketahui memiliki efek anti sitokin. Kadar sitokin pada penderita infeksi virus termasuk Avian Flu (H5N1) meningkat. Sitokin dapat menyebabkan perubahan oksigen (O2) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) yang merusak sel-sel paru.
Gambar 2 Tanaman dan Umbi Temu Hitam (Curcuma aeruginosa R.) (Sumber: www.deptan.go.id dan rempahputri.web.id)
Menurut Setiyono et al. (2009), kandungan bahan aktif yang paling tinggi dari temu ireng adalah 1,8,8-trimethylfuro [3,4-c] bicycle dengan kadar 19.51% dan diikuti oleh
Epicurzerenone dengan kadar 9.39%.
Bahan aktif yang
bermanfaat dalam temu ireng adalah carpaine walaupun memiliki kadar dibawah 1%. Limananti dan Triratnawati (2003) menyatakan bahwa temu ireng mengandung zat pahit (carpaine atau alkaloida pahit) yang dapat merangsang lambung agar berfungsi dengan baik sehingga akan timbul nafsu makan. Dengan
9
nafsu makan yang baik maka pertumbuhan dan performan yang akan dicapai juga menjadi lebih baik.
2.4 Sirih Merah (Piper crocatum) Sirih memiliki beberapa jenis, antara lain Piper betle, crocatum crocatum, dll. termasuk keluarga Piperceae.
Diantara jenis sirih, yang saat ini sedang
populer adalah sirih merah (P. crocatum) pada gambar 3 dan sirih hitam. Secara empiris sirih telah dimanfaatkan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Tanaman sirih merah memiliki daun yang berwarna merah keperakan dan mengkilap saat terkena cahaya (Gambar 3). Pada tahun 1990
sirih merah
difungsikan sebagai tanaman hias oleh para hobis, karena penampilannya yang menarik. Permukaan daunnya merah keperakan dan mengkilap. Pada beberapa tahun terakhir tanaman ini ramai dibicarakan dan dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Farida et al. 2009). Tanaman sirih merah menyukai tempat teduh, berhawa sejuk dengan sinar matahari 60-75%, dapat tumbuh subur dan bagus di daerah pegunungan. Bila tumbuh pada daerah panas, sinar matahari langsung, batangnya cepat mengering. Selain itu, warna merah daunnya akan pudar ( Manoi 2007).
Gambar 3 Tanaman Sirih Merah (Piper crocatum) (Sumber : http://langitlangit.com)
Secara empiris sirih merah dimanfaatkan untuk menurunkan kadar gula darah, antitumor, jantung koroner, asam urat, hipertensi, peradangan organ tubuh
10
(paru, hati, ginjal, pencernaan) serta luka yang sulit sembuh.
Sirih merah
mengandung flavonoid, polevenolad, alkaloid, tanin dan minyak atsiri. Senyawa flavonoid dan polevenolad bersifat anti kanker, antioksidan, antidiabetik, antiseptik dan antiinflamasi. Sirih memiliki khasiat sebagai anti mikroba, sehingga telah dimanfaatkan untuk mengatasi keputihan, bau badan, penyakit infeksi dll (Dalimartha 1999). Zat kimia yang terkandung pada sirih terutama adalah minyak atsiri dan piperin. Disamping itu, pada sirih merah mengandung flavonoid, polevenolad, alkaloid yang berpotensi sebagai antioksidan (Atta-ur-rahman dan Choudory 2001) dan tanin. Senyawa flavonoid dan polevenolad bersifat anti kanker, anti oksidan, antidiabetik, antiseptik dan anti-inflamasi. Menurut Suratmo (2007), secara keseluruhan aktivitas antioksidan sirih merah masih dibawah aktivitas antioksidan sintesis BHT dan asam askorbat karena ekstrak daun sirih merah bukan merupakan senyawa murni tetapi masih mengandung senyawa-senyawa lain yang kemungkinan tidak mempunyai aktivitas antioksidan. Berdasarkan analisis menggunakan metode Gas Cromatography-Mass Spectophotometry (GCMS) dari ekstrak etanol, senyawa dengan kadar yang paling tinggi pada sirih merah adalah Phenol, 2-methoxy-4-(2-Propenyl) dengan kadar 41.44% tetapi zat ini belum diketahui memiliki fungsi yang spesifik (Setiyono 2009). Phytol merupakan diterpene alkohol alami yang dimanfaatkan dalam pembuatan Vitamin E dan K, dan merupakan hasil dekomposisi khlorofil (Anonim a 2007). Menurut Farida et al. (2009) sirih merah memiliki bahan aktif alkaloid, tanin dan minyak atsiri yang diduga mempunyai efek anti bakterial.
2.5. Sambiloto (Andrographis paniculata) Hampir semua daerah di Indonesia dan beberapa negara mengenal jenis tanaman obat ini dengan nama yang berbeda-beda, yaitu : Ki Oray, Ki Peurat, Takilo (Sunda); bidara, sadilata, sambilata, takila (Jawa); pepaitan (Sumatra); Chuan xin lian, yi jian xi, lan he lian xu, yen tam lien (China); cong cong (Vietnam); kirata, mahatitka (India/Pakistan); Creat, green chiretta, halviva, kariyat (Inggris).
11
Gambar 4 Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata) (Sumber: www.deptan.go.id dan rempahputri.web.id)
Sambiloto (Gambar 4) tumbuh liar di tempat terbuka, seperti di kebun, tepi sungai, tanah kosong yang agak lembab, atau di pekarangan. Tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 700 m dpl, terna semusim dengan tinggi 50-90 cm. Batang tanaman ini memiliki banyak cabang berbentuk segi empat (kwadrangularis) dengan
nodus yang membesar. Perbungaan berbentuk
rasemosa yang bercabang membentuk malai, keluar dari ujung batang atau ketiak daun dengan bunga berbentuk tabung kecil-kecil berwarna putih dengan noda ungu (Balitro 2009). Kandungan kimia sambiloto yang utama adalah lakton diterpen (bentuk bebas dan bentuk glukosida) meliputi: Andrografolid, deoksiandrografolid, 11,12didehidroksi-14-deoksiandrografolid,
neoandrografolid,
andrografisid,
deoksiandrografisid dan andropanoside. Menurut hasil analisis GC-MS pada sampel ekstrak etanol dari daun sambiloto, senyawa dengan kadar tertinggi adalah 6-Octadecenoic acid, methyl ester yang mencapai lebih dari 30 %, diikuti oleh Hexadecanoic acid, methyl ester dan Stigmast-5-en-3-ol, (3.beta.,24S) masingmasing sekitar 16% dan 14% (Setiyono 2009). Sambiloto juga mengandung vitamin E sebesar 5%. Menurut Efrizanti (2005), sambiloto mengandung zat aktif yang dapat mengakibatkan perubahan patologis hati. Zat aktif itu antara lain saponin dan androgapholide.
12
Gambar 5 Struktur Kandungan Kimia Utama Sambiloto (BALITRO 2009)
Berdasarkan aspek toksikologi, sambiloto mempunyai dosis toksik akut (LD 50) sebesar 71.27 mg/kg BB pada manusia (Darmansjah 1995). Pemberian androgapholide pada tikus atau kelinci secara oral sebanyak 1g/kg berat badan tidak menimbulkan efek gangguan pada fungsi hati dan ginjal (Anonim 2006). Sambiloto dengan konsentrasi lebih tinggi dari 2.5mg/ml bersifat toksik (Wibudi 2006). Menurut Jarukamjorn dan Nemoto (2008), Andrographis paniculata memiliki sifat hepatoprotektif, immunological potential, anti inflamasi, dapat bekerja pada sistem pernapasan, antimalaria, antidiare dan berefek baik pada jantung.
2.6. Hati Hati merupakan kelenjar tubuh yang paling besar dan khas karena mempunyai multifungsi yang sangat kompleks misalnya ekstraksi (metabolit), sekresi (empedu), penyimpanan (lipid, vitamin A, vitamin B, dan glikogen), sintesis (fiksinogen, globulin,albumin dan protrombin), fagositosis (benda asing), detoksifikasi (obat yang larut dalam lipid), konjugasi (zat beracun, hormon steroid), esterifikasi (asam lemak bebas menjadi gliserida), metabolisme (protein, hidrat arang, lemak, hemoglobin, obat) dan hemopoesis (Delman HD & Brown EM 1992).
13
Menurut Amrullah (2002), hati ayam berwarna coklat atau coklat tua dan terdiri dari dua lobus. Struktur umum mirip dengan hati mamalia, hanya saja lobulasinya kurang jelas di daerah segitiga Kiernan. Limfosit dan leukosit banyak terdapat pada stoma hepatic. Susunan sel yang radier dalam lobus kurang jelas, tetapi jalinannya cukup jelas (Hartono 1992). Menurut Delman HD dan Brown EM (1992), keistimewaan hati terdapat pada sirkulasinya yang berlainan dengan alat tubuh lain. Hati mendapat pemberian darah ganda. Vena porta hepatica membawa darah penuh makanan yang diserap usus dan organ tertentu, sedangkan arteri hepatica menyalurkan darah ke sel-sel hati dengan darah bersih yang kaya oksigen (Delman HD & Brown EM 1992). Menurut Hartono (1992), di daerah hubungan antara tiga lobules, jaringan ikat interlobularis meluas dan membentuk segitiga Kiernan yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: -
arteri lobularis cabang dari arteri hepatica
-
vena interlobularis cabang vena porta
-
duktus interlobularis
-
pembuluh limfe dan saraf otonom.
Unit fungsional hati adalah asinus hati. Asinus hati memiliki tiga gambaran daerah yang samar. Zona pertama adalah daerah yang dekat dengan kerangka vaskular. Hepatosit adalah yang pertama kali menerima darah dan nutrisi, serta yang pertama mengalami regenerasi. Zona ketiga adalah daerah sekitar vena sentralis. Di daerah ini terdapat sel-sel hati yang paling toleran dan paling cepat mati karena menerima darah dengan mutu yang paling rendah. Zona kedua adalah daerah antara zona pertama dan ketiga. Zona ini mendapat suplai darah berkualitas sedang (Dellman HD & Brown EM 1992). Salah satu fungsi hati adalah menghasilkan cairan empedu. Cairan lengket berwarna kuning kehijauan ini mengandung asam-asam empedu. Asam-asam ini jika masuk ke bagian ujung bawah duodenum membantu pencernaan lemak. Cairan empedu tidak mengandung enzim pencernaan. Fungsi utamanya adalah menetralkan kondisi asam dari saluran usus dan mengawali pencernaan lemak dengan membentuk emulsi. Ayam memiliki saluran empedu, tetapi ada unggas lain yang tidak memilikinya. Dua saluran empedu menyalurkan empedu dari hati ke usus. Saluran sebelah kanan membesar membentuk kantung empedu, dimana sebagian besar
14
empedu dilewatkan dan sementara disimpan. Saluran bagian kiri tidak membesar dan lebih sedikit empedu yang melewatinya (Amrullah 2002). 2.7. Farmakokinetika Obat Ekstrak tanaman obat yang diberikan pada ayam memiliki bahan aktif yang akan diproses dalam tubuh melalui kinetika obat. Menurut Lu FC (1995), farmakokinetika merupakan aspek farmakologi yang mencakup proses-proses yang akan dialami obat dalam tubuh yaitu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya (ADME).
Gambar 6 Berbagai proses farmakokinetika obat (Lu FC 1995) Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam tubuh. Proses yang terjadi setelah obat masuk kedalam tubuh adalah: 1) Absorpsi dan Bioavailabilitas Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai
15
sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sestemik. Sebagian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding usus pada pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual (misalnya nitrogliserin), rektal atau memberikannya bersama makanan (Lu FC 1995). 2) Distribusi Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas dua fase berdasarkan penyebarannya di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal dan otak. Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit dan jaringan lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama. Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena adanya defisiensi protein (Lu FC 1995).
16
3) Biotransformasi / Metabolisme Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir (Lu FC 1995). Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan plasma. 4) Ekskresi Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting (Lu FC 1995).
2.8. Patologi hati Hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia dan sering menjadi organ sasaran utama dari efek racun zat kimia. Oleh karena itu, hati merupakan organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan. Menurut Lu FC (1995), hal ini disebabkan sebagian besar toksikan yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap oleh usus halus dibawa ke hati oleh vena porta hati. Melihat fungsi hati tersebut, maka dapat dipahami bahwa hati merupakan organ yang mudah terkena efek toksik senyawa asing. Peristiwa tersebut dapat terjadi karena: 1) Senyawa kimia yang diberikan secara oral akan diabsorbsi dari saluran cerna ke dalam hati melalui vena porta dapat meracuni hati; 2) Senyawa kimia yang
17
dimetabolisme di dalam hati dieksresikan ke dalam empedu dan kembali lagi ke duodenal; 3) Senyawa asing yang dimetabolisme di dalam hati sebagian dilokalisir di dalam hati. Dengan demikian hati merupakan organ yang banyak berhubungan dengan senyawa kimia sehingga mudah terkena efek toksik. Menurut Linawati et al. (2006), ada tiga macam kerusakan hati, antara lain : kerusakan hati akut, subakut dan kronis. Pada hakekatnya dapat dibedakan tiga macam kerusakan hati akut, yaitu: (1) sitotoksik (hepatoseluler) yang berhubungan dengan kerusakan parenkim sel hati. Luka ini dapat berupa steatosis (degenerasi melemak) dan atau nekrosis sel-sel hati. (2) kolestatik berupa hambatan aliran empedu dengan sedikit atau tanpa kerusakan
sel-sel
hati,
baik
karena
luka
pada
kanalikuler
(hepatokanalikuler) atau luka pada saluran empedu (kolangia destruktif) dan dapat pula tanpa adanya luka (kanalikuler). (3) campuran berupa kombinasi dari kedua macam kerusakan sitotoksik dan kolestatik. Perubahan-perubahan histopatologi pada organ hati yang dapat terjadi diantaranya: degenerasi hidropis, degenerasi lemak, apoptosis atau nekrosa dan lain-lain. Degenerasi hidropis merupakan perubahan yang bersifat sementara ditandai dengan kehadiran vakuol-vakuol di sitoplasma. Sel membutuhkan ATPase untuk mengaktifkan pompa sodium potasium dalam pengaturan keluar dan masuknya ion. Infeksi akut sel akan menyebabkan air dan protein tetap berada pada sitoplasma. Pompa lapisan membran akan memindahkan ion air dengan cepat keluar dari sitosol dan masuk ke reticulum endoplasma. Hal ini akan mengakibatkan kebengkakan sel yang disebut degenerasi hidropis. Kebengkakan RE akan menghambat sintesa protein, sehingga ribosom terlepas dari Rough Endoplasmic Reticulum (RER). Karena sel gagal memperoleh energi yang bersumber dari mekanisme aerobik, untuk sementara sel berusaha memperoleh energi dari sumber mekanisme anaerobik (glikolisis). Tanda-tanda tersebut merupakan tanda lesio sel yang bersifat sementara (reversible) (Cheville 1999). Penggunaan energi dari suatu sel bersumber dari glikolisis dan akan menghasilkan produk asam laktat. Produk asam laktat terus
18
menerus akan menyebabkan penurunan pH intraseluler, yang mengakibatkan penggumpalan kromatin inti (kematian sel). Selain degenerasi hidropis juga terdapat degenerasi lemak hepatosit. Akumulasi lemak dalam sel biasanya terjadi karena terlalu banyak asupan lemak bebas kedalam sel hati. Peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat toksin yang merusak jalur metabolisme lemak atau hipoksia kronis yang mengganggu kerja enzim pada metabolisme lemak. Secara mikroskopis, akumulasi lemak intraseluler menyebabkan sel membesar berisi vakuola-vakuola lemak bundar yang jernih di dalam sitoplasma. Terkadang vakuol-vakuol kecil bergabung membentuk vakuol yang lebih besar sehingga inti terdesak ke tepi (Darmawan 1996; Saleh 1996). Menurut Maclachlan dan Cullen (1999), secara histopatologi lemak atau lipid di dalam sitoplasma terlihat sebagai rongga bulat tidak berwarna. Degenerasi bisa bersifat menetap (irreversible). Pada keadaan ini akan terjadi kematian sel (apoptosis atau nekrosa). Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram, melibatkan satu atau sekelompok sel tanpa sel radang dan dapat terjadi pada kondisi normal (fisiologis) maupun abnormal (patologis). Nekrosa melibatkan sekelompok sel hingga pada sebagian jaringan dapat ditemukan sejumlah sel radang. Nekrosa dapat terjadi akibat bahan beracun, aktivitas mikroorganisme, defisiensi pakan dan kadang-kadang gangguan metabolisme termasuk hipoksia. Perubahan sel nekrosa terjadi pada inti dan sitoplasma. Jika nekrosa masih baru terjadi, sitoplasma sel akan lebih banyak mengambil warna eosin, lebih merah dari sel normal jika terjadi autolisis (kematian akibat enzimnya sendiri), sel lebih sedikit mengambil warna eosin. Inti menjadi mengecil dan berwarna biru (piknosis) akibat penggumpalan kromatin inti atau warna inti terlihat tidak jelas atau tidak terjadi sama sekali seolah-olah menghilang (karyolisis) atau inti pecah menjadi bagian-bagian kecil (karyohexis) (Cheville 1999; Jubb et al.1993). Kongesti adalah terjadinya pembendungan darah pada hati yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi. Pada sel hati, kongesti didahului dengan pembengkakan sel hati sehingga sel hati membesar yang mengakibatkan sinusoid menyempit sehingga aliran darah terganggu. Hal ini menyebabkan terjadinya pembendungan darah pada beberapa tempat.
19
Hemoragi adalah keluarnya darah dari sirkulasi kardiovaskuler dan biasanya terdapat kerusakan pada susunan kardiovaskuler tersebut (arteri, vena dan kapiler) (Sudiono 2003). Nekrosis adalah terjadinya kematian sel hati.Kematian sel terjadi bersama dengan pecahnya membran plasma. Perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5% atau telah terjadi penimbunan lipid dalam hati. Atrofi adalah menurunnya ukuran ukuran jaringan yang disebabkan berkurangnya jumlah sel atau ukuran sel.Tingkat kerusakan hati menurut Darmono (1995), dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Perlemakan hati termasuk dalam tingkat ringan yang ditandai dengan pembengkakan sel. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat adalah kematian sel atau nekrosis. Hepatotoksin didefinisikan sebagai senyawa kimia yang memiliki efek toksik pada sel hati. Dengan dosis berlebihan (dosis toksik) atau pemejanan dalam jangka waktu yang lama senyawa bersangkutan dapat menimbulkan kerusakan hati akut, subakut maupun kronis. Terdapat dua macam senyawa hepatotoksin yaitu hepatotoksin hakiki (hepatotoksin teramalkan) dan hepatotoksin tak teramalkan. Hepatotoksin hakiki adalah golongan senyawa yang memiliki sifat dasar toksik terhadap hati, misalnya
karbon tetraklorida (CCl ), kloroform, 4
etionin dan parasetamol. Senyawa-senyawa tersebut dapat menyebabkan kerusakan hati pada semua individu. Hepatotoksin tak teramalkan adalah golongan senyawa yang bersifat toksik terhadap hati, tetapi hanya dapat mengakibatkan hepatitis (Linawati et al. 2006).
2.9. Ayam broiler Ayam broiler merupakan jenis ayam yang telah mengalami pemuliaan sehingga menjadi ayam unggul, mempunyai bentuk ukuran serta warna yang seragam (Muchtadi dan Sugiono 1992). Ayam broiler jantan atau betina merupakan sumber daging dan dipotong pada umur 5-6 minggu. Umur potong ayam ini masih sangat muda sehingga dagingnya masih lunak (Hardjosuwono dan Rukmiasih 2000). Ukuran berat karkas ayam broiler berumur 6 minggu sama besarnya dengan ayam kampung dewasa yang dipelihara selama 8 bulan. Pada umumnya, ayam broiler di Indonesia sudah mulai dipasarkan mulai umur 5-6 minggu dengan
20
berat 1.3-1.6 kg walaupun laju pertumbuhan belum mencapai maksimum. Pemeliharaan ayam broiler pada umur diatas enam minggu dapat memperbesar biaya produksi (biaya pakan) karena jumlah biaya yang dikeluarkan tidak seimbang dengan tambahan daging yang dihasilkan. Ayam broiler merupakan ayam pedaging yang mengalami pertumbuhan sangat pesat pada umur 1-5 minggu (Rasyaf 1999). Cuaca yang selalu berubah-ubah akan membuat ayam mudah terserang penyakit. Oleh karena itu disamping pakan yang baik, ayam broiler perlu diberi vitamin , antibiotika dan vaksin agar hidup sehat sampai usia panen (Suharsono 2002).