TINJAUAN PUSTAKA Potensi Keanekaragaman Hayati Tumbuhan di Indonesia Hutan tropika Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi di dunia. Indonesia termasuk dalam daftar negara megabiodiversiti, yang hanya tertandingi oleh Afrika dan Zaire, dan sebagian dari kekayaan hayati tersebut banyak diantaranya tidak dijumpai di belahan bumi manapun. Kekayaan Spesies Indonesia tercatat dalam urutan kesatu untuk mamalia (436 spesies, 51 % endemik), kupu-kupu (121 spesies, 44 % endemik), palem (477 spesies, 47 % endemik), keempat untuk reptil (512 spesies, 29 % endemik), kelima untuk burung (1.519) spesies, 28 % endemik), keenam untuk amphibi (270 spesies, 37 % endemik), dan ketujuh tumbuhan berbunga (29.375 spesies, 59 % endemik) (Dirjen PHKA, 2007). Keanekaragaman hayati yang sangat tinggi ini apabila dikelola dengan baik tentunya akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan bangsa indonesia bahkan dunia dimasa depan.
Tumbuhan Obat Terdapat sekitar 1260 jenis tumbuhan yang sudah diketahui bermanfaat sebagai bahan baku obat-obatan. Tumbuhan berkhasiat obat ini dikelompokan menjadi tiga kelompok sebagai berikut ( Zuhud, Ekarelawan, dan Riswan, 1994) : 1. Tumbuhan obat tradisional merupakan spesies tumbuhan yang diketahui atau dipercayai masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional, 2. Tumbuhan obat modern merupakan spesies tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis, 3. Tumbuhan obat potensial merupakan spesies tumbuhan yang diduga mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara ilmiah-medis sebagai bahan obat.
Suku-suku bangsa di Indonesia memiliki pengetahuan yang berbeda-beda tentang pengobatan tradisional.
Buah-buahan Buah-buahan merupakan
kelompok komoditas yang besar dan
beranekaragam. Verheij dan Coronel (1991) adalah jenis buah-buahan tahunan yang dapat dimakan baik dalam keadaan segar maupun yang telah dikeringkan yang umumnya dikonsumsi mentah. Buah-buahan terutama mengandung vitamin dan mineral untuk menyeimbangkan menu makan. Jenis-jenis buah-buahan tersebut diantaranya
adalah salak (Zalacca salacca Bl.), pisang (Musa
paradisiaca L.), rambutan (Nephelium lappaceum L.), Durian (Durio zibethinus Murr.), mangga (Mangifera indica L.) dan lain sebaginya.
Sayuran Merupakan komoditas tumbuhan yang biasanya mengandung air atau dikonsumsi sebagai bahan makanan yang mengandung zat tepung dan kadang digunakan sedikit pada makanan untuk menambah rasa dan kelezatan makanan (Siemonsma dan Piluek, 1994). Jenis sayuran yang biasa dikonsumsi untuk makanan diantaranya adalah selada (Lactuca sativa L.), Katuk (Sauropus androgynus (L.) Merr. ), jenis-jenis kobis, kol (Brassica oleraceae L.), kangkung (Ipomea aquatica Forsk), dan sebagainya. Sayuran yang digunakan sebagai penambah rasa pada makanan diantaranya adalah, bawang merah (Allium cepa L.), bawang putih (Allium sativum L.), daun bawang (Allium ampeloprasum L.), seledri (Apium graveolens L.). Sedangkan jenis tumbuhan yang fungsi sekundernya sebagai sayuran antara lain pepaya (Carica papaya L), daun ubi jalar (Ipomea batatas L), jagung muda (Zea mays L), daun singkong (Manihot utillisima Pohl). Sayuran ini biasanya ditanam intensif dalam kebun dan merupakan tanaman hortikultura.
Hutan dan Fungsi Hutan Definisi Hutan Hutan merupakan satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU No. 41 Tahun 1999). Menurut Soerianegara (1977) suatu masyarakat hutan adalah sekelompok tumbuh-tumbuhan yang dikuasai pohon yang menempati suatu tempat tumbuh atau habitat, dimana terdapat hubungan timbal balik antara tumbuh-tumbuhan itu satu sama lain dan dengan lingkungannya. Berdasarkan uraian di atas kawasan hutan lindung Sungai Wain merupakan kawasan hutan yang masih baik, hal ini dapat dilihat dari kondisinya yang masih menyimpan potensi flora dan fauna yang besar dan terjaga pada kondisi alaminya. Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) merupakan sebuah contoh unik dan khas atas tipe hutan Dipterocarpa dataran rendah, yang dulunya menutupi hampir seluruh wilayah antara Balikpapan – Samarinda. Hutan ini merupakan kawasan hutan hujan tropis yang masih tersisa di Balikpapan.
Fungsi Hutan Berdasarkan fungsi pokoknya pemerintah menetapkan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.
Hutan konservasi adalah kawasan hutan
dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekargaaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. (Budiman et al., 2004). Menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999, hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi.
Pada
Undang-Undang tersebut juga disebutkan bahwa penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjadikan hutan, kawasan hutan dan
lingkungannya agar memiliki fungsi lindung, fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimum dan lestari. Ketergantungan masyarakat sekitar hutan terhadap sumberdaya hutan Masyarakarakat yang hidup disekitar hutan pada umumnya memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya hutan. Terdapat 30 juta penduduk yang secara langsung mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan ( FWI/GFW 2001). Sebagian besar masyarakat tersebut hidup dengan perladangan berpindah, memancing, berburu, menebang dan menjual kayu seta mengumpulkan hasil hutan non kayu. Jutaan orang juga menggunakan tumbuhan hutan yang diketahui khasiatnya untuk pengobatan (FWI/GWF, 2001). Masyarakat di Papasena memanfaatkan keanekaragaman hayati untuk bahan pondok, anyaman, obat-obatan, rekreasi, masa depan, bahan berburu, dijual, pekakas, bahan perahu, bahan bangunan, lat berburu, kayu bakar, tempat berburu, makanan dan hiasan (Boissiere et al., 2004). Sedangkan Purwanto dan Walujo (1992) mengelompokan tumbuhan sebagai bahan sandang, pangan, bangunan, alat rumah tangga dan alat pertanian, tali-temali, anyam-anayaman, pelengkap upacara adat, obat-obatan dan kosmetika, sosial dan lain-lain. Masyarakat Rimba di Kawasan Hutan Bukit Dua Belas, Jambi telah berabad-abad dari dulu sampai sekarang memanfaatkan sumberdaya hutan di kawasan tersebut. Hasil penelitian Anwar (2001) memperlihatkan pemanfaatan yang mereka lakukan diiringi dengan memperhatikan aspek konservasi sumberdaya hutan yang dilakukan melalui mekanisme denda terhadap pihak yang mengambil/memanfaatkan hasil hutan yang tidak boleh ditebang atau milik pribadi pihak lain. Pelanggaran ditebus dengan membayar denda berupa kain sarung atau kain panjang, dimana jumlah denda disesuaikan dengan tingkat pelanggaran. Mekanisme denda ini berlaku bagi semua pihak yang melanggar (masyarakat rimba maupun bukan). Masyarakat Kasepuhan di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun memiliki mata pencaharian pokok sebagian besar sebagai petani, berladang dan mengumpulkan hasil hutan ikutan (Adimihardja, Kramadibrata dan Abdullah, 1994). Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan masyarakat Kasepuhan antara lain
daun patat ( Halopegia blumei) digunakan untuk penutup padi, tepus (Achasma megalochelios) untuk bahan pembuatan atap rumah. Jenis tanaman yang dipakai sebagi lalaban dan buah-buahan diantaraya ela (Languas galanga), pakis benyeur (Eugenia cupprea), seuhang (Ficus grossularoides), kecapi (Sandoricum koetjapi) dan ceuri (Garcinia diocia). Tanaman untuk obat adalah Harereus (Rubus moluccanus) untuk obat kencing batu, hadangan (Melodorum latifolium) untuk obat diuratikum. Pemanfaatan jenis-jeis tumbuhan ini sebagian besar dipakai untuk kebutuhan keluarga dan harang yang dijual (Aritonang, 1999). Etnobotani Etnobotani memiliki banyak definisi akan tetapi secara umum dan ringkas Evans (1994) mendefinisikan bahwa etnobotani adalah suatu studi tentang pengetahuan dan penggunaan tumbuhan dalam masyarakat primitif dimasa lalu dan masa sekarang. Lebih lanjut Evans juga menjelaskan definisi yang lebih spesifik bahwa etnobotani merupakan studi tentang penggunaan, manipulasi teknologi, klasifikasi, sistem pertanian, konsep religi, teknik konservasi dan ekonomi secara umum serta nilai pentig sosial dari tumbuhan dalam masyarakat primitif. Indeks Kepentingan Budaya (Index of Cultural Significance) Indeks
kepentingan
budaya
tumbuhan
dalam
kaian
etnobotani
merupakan suatu langkah penting dalam berbagai tipe penelitian. Kajian ini dapat membantu mengkonservasi keragaman spesies dan habitat dan memberi pengetahuan keragaman hubungan antara manusia dan tumbuhan. Spesies tumbuhan yang dianggap memiliki beberapa kaitan budaya berdasarkan pelibatannya dalam inventarisasi etnobotani menunjukan nilai sangat penting hingga tidak penting dalam suatu kebudayaan (Kartikawati, 2004). Tumbuhan yang digunakan dalam suatu budaya baik sebagai makanan, material, obat-obatan, mitologi, ritual dan lain sebagainya harus dipertimbangkan sebagai kegunaan. Semakin luas atau intensif penggunaan suatu tumbuhan semakin besar nilai budayanya. Seperti yang ditunjukan oleh Turner (1988),
konsekuensinya adalah semakin banyak penggunaan suatu jenis tumbuhan daripada jenis lain, semakin besar nilainya. Turner (1988) menyatakan bahwa untuk mengukur atau mengevaluasi nilai budaya harus mempertimbangkan nilai kualitas, intensitas dan eksklusivitas. Ilmu ini dikembangkan oleh Turner untuk mengukur informasi subyektif sehingga dapat dianalisis. Lebih lanjut, keragaman individu dalam persepsi mengenai nilai budaya suatu tumbuhan harus dipertimbangkan pula. Mungkin suatu tumbuhan mempunyai relevansi dan utilitas bagi suatu kelompok orang atau individu tertentu dalam suatu kebudayaan, meskipun tumbuhan tersebut tidak diketahui dan tidak digunakan oleh populasi secara umum. Misalnya, para ahli herbal, dukun, pemburu, pembuat kerajinan dan yang lainnya mungkin memiliki pengetahuan yang khusus dan terbatas mengenai tumbuhan tertentu. Dalam beberapa kasus, tumbuhan tersebut kadangkala memiliki nilai budaya yang jauh lebih tinggi daripada yang disadari oleh populasi tersebut, karenanya bahkan tumbuhan yang diketahui oleh sedikit anggota suatu kebudayaan harus dipertimbangkan memiliki nilai. Lebih lanjut Turner (1988) menyatakan bahwa selain faktor kualitas, intensitas dan eksklusivitas, terdapat faktor keluaran yang mempengaruhi nilai budaya suatu spesies tumbuhan, yaitu pengenalan, penandaan bahasa dan reputasi. Pengenalan suatu tumbuhan secara luas oleh anggota suatu kelompok budaya dianggap sebagai indikasi derajat nilai budaya yang tinggi; sebaliknya, tumbuhan yang memiliki nilai rendah akan sedikit sekali dikenali oleh anggota populasi secara keseluruhan. Konservasi Tumbuhan Penyebab Kelangkaan dan Kepunahan Tumbuhan Laju berkurangnya keanekaragaman hayati pada masa kini, diperkirakan sama cepatnya dengan pada masa kepunahan dinosaurus, yaitu sekitar 65 juta tahun yang lalu. Tingkat kepunahan yang paling parah diperkirakan terdapat di hutan tropis, sekitar 10 juta spesies yang hidup di bumi diperkirakan 50% hingga 90% berada di hutan tropis. Dengan tingginya deforestasi maka antara 5% sampai 10% jenis di hutan tropis akan punah dalam waktu 30 tahun mendatang. Hal ini
berarti kita akan mengalami kehilangan spesies tumbuhan tropis yang beragam jenisnya dan memiliki aneka keunikan dan kegunaan bagi manusia (UNEP 1995). Menurut UNEP (1995), penyebab utama kepunahan keanekaragaman hayati yang juga menjadi penyebab punahnya spesies tumbuhan antara lain disebabkan oleh: 1. Peningkatan laju populasi manusia dan konsumsi sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan 2. Penyempitan spektrum produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan. Ekonomi global yang berdasarkan prinsip persaingan dan spesialisasi telah meningkatkan keseragaman dan saling ketergantungan 3. Sistem kebijakan ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan kepada lingkungan dan sumberdayanya. 4. Kurangnya pengetahuan dan penerapannya. Ketidak tahuan ini terjadi akibat erosi kebudayaan tradisional yang mempunyai pemahaman tersendiri mengenai alam. 5. Sistem hukum dan kelembagaan yang mendorong eksploitasi
Strategi Konservasi Keanekaragaman Hayati Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Konservasi ini bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumbedaya alam hayati serta keseimbangan ekosistem, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 13 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, menyebutkan bahwa pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilakukan di dalam maupun di luar kawasan suaka alam. Konservasi jenis tumbuhan dan satwa di dalam kawasan (insitu) dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya. Sedangkan konservasi jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan (exsitu) dilakukan dengan cara menjaga dan mengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa untuk menghindari bahaya kepunahan. Prioritas utama untuk memepertahankan ragam hayati diarahkan pada konservasi insitu, baik didalam kawasan konservasi maupun di lautan, hutan, lahan-lahan serbaguna dan lahan-lahan pertanian. Sedangkan konservasi exsitu dapat menjadi pelengkap untuk perlindungan spesies di dalam ekosistem alami dan untuk mengawetkan keragaman genetik dalam sistem pertanian. Prioritas konservasi exsitu diberikan pada spesies yang habitatnya telah rusak atau tidak bisa diamankan lagi, konservasi exsitu juga harus digunakan untuk meningkatkan spesies lokal yang hampir punah menjadi tersedia kembali di alam (Zuhud, 1999).