II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan Lamun Tumbuhan lamun merupakan tumbuhan angiospermae yang memiliki
bunga, buah, daun, dan rhizoma. Bastyan and Cambridge (2008) menyatakan bahwa lamun ialah tumbuhan laut yang hidup pada ekosistem padang lamun terutama pada daerah subtropis dan tropis. Tumbuhan lamun merupakan tumbuhan yang produktif di laut dangkal dan bersih, tumbuhan tersebut juga dapat tumbuh pada substrat yang berpasir, berlumpur ataupun yang berbatu. Tumbuhan lamun memiliki habitat biasanya di rawa payau (estuari), terumbu karang dan hutan mangrove (Mann, 2000; Short and Coles, 2003). Tumbuhan lamun tidak memiliki stomata, namun memiliki lapisan kutikula yang tipis pada permukaan daun yang dapat menggantikan fungsi stomata sebagai tempat keluar masuknya udara dan adanya terjadinya transfer zat terlarut (Hemminga and Duarte, 2000; Romimohtarto dan Juwana, 2001). Tumbuhan lamun memiliki peranan yang penting bagi biota laut untuk tempat berlindung ataupun sebagai sumber makanan juga dapat mendukung aktifitas perikanan (Short and Coles, 2003; Dorenbosch et al., 2004 ). Parameter lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan lamun adalah temperatur atau suhu, salinitas, kedalaman dan substrat (Dahuri, 2003). Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan lamun. Perubahan suhu dapat berpengaruh terhadap metabolisme penyerapan unsur hara, fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan kelangsungan hidup lamun. Lamun dapat tumbuh pada kisaran suhu antara 5-35˚C dan tumbuh baik pada kisaran suhu 28-30˚C (Marsh et al, 1986; Hutomo, 1999). Erftemeijer (1993) menemukan Enhalus acoroides hidup pada suhu 26,5-32,5oC di perairan yang dangkal, Enhalus acoroides dapat mentolerir suhu 38˚C saat air surut pada siang hari. Lamun akan mengalami stress bahkan dapat mengalami kematian apabila suhu perairan di atas 40˚C (McKenzie, 2008). Tumbuhan lamun dapat bertahan hidup pada daerah estuari dan perairan laut (Mckenzie, 2008). Lamun memiliki toleransi terhadap salinitas yang berbeda-
5
beda, lamun dapat hidup pada kisaran salinitas 10–45‰ dengan salinitas optimum 35‰, namun dapat ditemukan juga hidup pada salinitas 35-60‰ dengan waktu toleransi yang singkat (Hemminga and Duarte, 2000; Dahuri 2003). Lamun akan mengalami kerusakan jaringan hingga dapat mengalami kematian apabila berada di luar batas toleransinya (Hemminga and Duarte, 2000). Intensitas cahaya diperlukan oleh tumbuhan lamun untuk melakukan proses fotosintesis (Dahuri, 2003). Lamun hidup di daerah perairan dangkal, namun lamun juga masih dapat dijumpai hingga kedalaman 1-10 meter, lamun juga dapat tumbuh pada zona intertidal hingga kedalaman 30 m atau selama masih adanya penetrasi cahaya yang baik (Hemminga and Duarte, 2000; Patiri, 2013). Aktivitas seperti membuang sampah ke laut, tempat pariwisata, aktivitas kapal, dan lain sebagainya dapat meningkatkan sedimentasi pada badan air yang mengakibatkan kekeruhan pada perairan, sehingga dapat mengurangi penetrasi cahaya yang akan berdampak buruk terhadap produktivitas primer ekosistem lamun (Dahuri, 2003). Substrat merupakan media bagi tumbuhan untuk memperoleh nutrien. Lamun dapat hidup pada substrat lumpur, pasir, pasir berlumpur, puing karang dan batu karang, namun umumnya tumbuhan lamun hidup pada substrat pasir berlumpur yang tebal (Tuwo, 2011). Lamun Enhalus acoroides ditemukan pada substrat yang memiliki sedimen halus hingga berlumpur, pasir berlumpur, tetapi pada sedimen kasar tetap tumbuh karena akar-akarnya panjang dan kuat sehingga mampu menyerap makanan dengan baik (Dahuri, 2001). Tumbuhan lamun di Indonesia terbagi menjadi 7 genus yakni Enhalus, Thalassia, Halophila, Halodule, Cymodocea, Syringodium, dan Thalassodendron (Nontji, 1987). Terdapat 12 jenis yang terdapat di Indonesia, yaitu Halodule uninervis, H. pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, H. minor, H. decipiens, dan H. Spiulosa (Hutomo, 1985). 2.1.1. Enhalus acoroides Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang memiliki ukuran yang paling besar dari lamun lainnya. E. acoroides tersebar hampir di seluruh perairan laut
6
Indonesia yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua (Kuriandewa, 2009).
Daun E. acoroides sangat panjang berbentuk seperti pita (panjangnya 1023 cm dan lebar 2-3 cm), tepi daun berbentuk seperti lidi yang keras, memiliki helaian daun yang lurus(Susetiono, 2004). Rhizomanya tebal (minimal 1 cm) dan
panjangnya lebih dari 1 cm, tanpa sisik, tetapi ditutupi seperti rambut-rambut hitam yang panjang (Lanyon, 1985). Akar yang memiliki banyak cabang dengan panjang antara 10 cm-20 cm, akarnya tertutup dengan rambut-rambut akar, akar berwarna putih dan kaku. Gambar 1 menunjukkan morfologi dan bagian-bagian E. acoroides. Memiliki sistem reproduksi seksual dengan biji dan reproduksi aseksual dengan tunas. Tempat hidup Enhalus acoroides yakni pada perairan yang terlindung dengan substrat lumpur atau pasir (Azkab, 1988; Philips and Menez, 1998).
Gambar 1. Morfologi Enhalus acoroides. Bagian a. daun, b. batang dan pelepah,c. rhizoma, d. akar, e. sabut hitam (Wagey dan Webi, 2013) 2.2.
Pantai Tongkeina dan Pantai Samama Pantai Tongkeina terletak di Kelurahan Tongkeina Kecamatan Bunaken,
Kota Manado. Penelitian yang pernah dilakukan di pantai tersebut adalah struktur komunitas gastropoda di hamparan lamun daerah intertidal Kelurahan Tongkeina Kota Manado (Saripantung dkk., 2013) dan keanekaragaman lamun di Pantai Tongkeina Kecamatan Bunaken Kota Manado (Ngongira dkk., 2014) terdapat 7 jenis lamun yang ditemukan yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii,
7
Halophila ovalis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium. Jenis lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii memiliki penyebaran terluas, karena ditemukan di seluruh transek pada lokasi penelitian. Jenis yang jarang dijumpai adalah Halophila ovalis dan Halodule pinifolia (Ngongira dkk., 2014). Pantai Samama terletak di Pulau Samama, Kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kepulauan Derawan memiliki beberapa pulau yakni Pulau Kakaban, Pulau Sangalaki, Pulau Samama, Pulau Derawan dan Pulau Panjang, pantai-pantai di sekitar Kepulauan Derawan didominasi oleh pasir yang berwarna putih yang diselingi pecahan karang dan bongkahan karang mati, lamun yang dijumpai tumbuh dalam jumlah yang sangat sedikit dan tidak merata, sering dijadikan wisata bahari, sering ditemukan penyu dengan populasi yang cukup besar (Cappenberg, 2006). Penelitian yang pernah dilakukan ialah pengamatan komunitas moluska di perairan Kepulauan Derawan (Cappenberg, 2006) dan sumberdaya ikan di daerah padang lamun Pulau-Pulau Derawan, Kalimantan Timur (Marasabessy, 2010). Padang lamun di Pulau Samama dapat di temukan di sekeliling pulau. Spesies yang dapat di temukan adalah Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, dan Halophila ovalis, dengan spesies dominan Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis (Susanto, 2012). 2.3.
DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA merupakan polimer dari asam nukleat yang tersusun dari nukleotida-
nukleotida dan mengandung informasi genetik. DNA memiliki struktur kimia berupa makromolekul kompleks yang terdiri atas 3 macam molekul, yaitu gula pentosa (deoksiribosa), asam fosfat, dan basa nitrogen. DNA terdiri atas dua utas benang polinukleotida yang saling berpilin membentuk heliks ganda (double helix) (Susanti, 2003). Menurut Stryer (1988) basa nitrogen yang menyusun nukleotida yaitu purin dan pirimidin. Purin adalah basa nitrogen yang strukturnya berupa dua cincin, yang termasuk purin
ialah adenin (A) dan guanin (G),
8
sedangkan pirimidin ialah basa nitrogen yang strukturnya berupa satu cincin, yang termasuk pirimidin ialah citosin (C) dan timin (T). 2.4.
Ekstraksi DNA Tumbuhan Tiga langkah utama ekstraksi DNA ialah perusakan dinding sel (lisis),
pemurnian DNA dan pemisahan DNA dari bahan padat seperti protein dan selulosa (Nicholl, 1993; Surzycki, 2000). CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium) dalam ekstraksi merupakan metode yang paling sering digunakan untuk tanaman yang banyak mengandung senyawa polifenol dan polisakarida (Lumaret et al.,1998; Jose andUsha, 2000). CTAB merupakan detergen yang dapat mendenaturasi protein, memisahkan karbohidrat dan dapat mendegradasi dinding sel (Santoso, 2005). Saat ini teknologi di bidang biologi telah mengalami perkembangan sehingga ekstraksi DNA dapat menggunakan kit. MenurutCoyle et al. (2003) ekstraksi DNA QIAGEN Dneasy Kit untuk tanaman merupakan salah satu cara yang efektif untuk ekstraksi DNA dan dapat diperoleh DNA yang berkualitas tinggi dari sampel yang segar dan kering. DNeasy Kit tanaman memiliki prosedur ekstraksi DNA total (DNA genomik termasuk DNA mitokondria dan DNA kloroplas) dengan teknik isolasi DNA yang sederhana. Metode spin column memberikan hasil PCR yang berkualitas dalam waktu kurang dari 1 jam tanpa menggunakan pelarut kimia atau presipitasi etanol. 2.5.
Elektroforesis DNA Teknik yang digunakan untuk pemisahan dan pemurnian suatu
makromolekul khususnya seperti asam nukleat dan protein berdasarkan perbedaan ukurannya disebut dengan elektroforesis. Metode elektroforesis ini adalah metode yang paling sering digunakan dalam percobaan biologi molekuler dan biokimia (Magdeldin, 2012). Menurut Jean and Francois (2010) elektroforesis gel agarosa ialah teknik yang paling baik dan paling sering digunakan di laboratorium untuk menganalisis DNA dan protein. Elektroforesis gel dapat memisahkan makro molekul berdasarkan laju perpindahannya yang melewati suatu gel yang berada dalam
9
pengaruh medan listrik, sehingga elektroforesis gel dapat memisahkan suatu campuran molekul DNA menjadi pita-pita yang masing-masing terdiri dari molekul DNA yang panjangnya sama (Campbell, 2002). Prinsip kerja elektroforesis ialah molekul DNA yang bermuatan negatif dilewatkan melalui suatu medium yaitu gel agarosa dan dialiri arus listrik sehingga molekul tersebut bermigrasi melalui matriks gel menuju ke kutub yang positif. Apabila makin besar ukuran molekulnya, maka makin rendah laju migrasinya. Berat molekul suatu fragmen DNA dapat diperkirakan dengan membandingkan laju migrasinya dengan laju migrasi fragmen molekul DNA standar (DNA marker) yang telah diketahui ukurannya. Visualisasi DNA dapat dilakukan di bawah paparan sinar ultraviolet setelah terlebih dahulu saat pembuatan gel ditambahkan dengan larutan etidium bromide atau dapat juga melihat visualisasi DNA dengan gel direndam dalam larutan etidium bromide sebelum dipaparkan diatas sinar ultraviolet (Dwidjoseputro, 1998; Tarigan, 2011).
2.6.
PCR (Polymerase Chain Reaction) PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan proses penggandaan DNA
secara in vitro dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target. Reaksi PCR dibantu oleh enzim polimerase dan oligonukleotida yang berperan sebagai primer. Selain enzim polimerase juga dibutuhkan dNTPs (Deoxynukleotide Triphosphates) yang terbagi atas dATP (nukleotida berbasis Adenin), dCTP (nukleotida berbasis Sitosin), dGTP (nukleotida berbasis Guanin) dan dTTP (nukleotida berbasis Timin) (Muladno, 2002). Kusuma (2010) menyatakan bahwa proses amplifikasi PCR melibatkan variasi suhu yang akan mendekati titik didih air, maka diperlukan enzim polimerase yang tetap stabil dalam temperatur tinggi. Pada proses PCR, enzim polimerase yang digunakan ialah dari bakteri Thermophillus aquaticus (Taq) yang dapat hidup pada suhu 90˚C. Proses PCR terdapat tiga siklus, yaitu denaturasi, penempelan (annealing) primer dan pemanjangan (extension). Pada tahap denaturasi molekul DNA dipanaskan sampai suhu 94˚C yang dapat menyebabkan terjadinya pemisahan
10
untai ganda DNA menjadi untai DNA tunggal. Untai DNA yang tunggal inilah yang akan menjadi cetakan bagi untai DNA baru yang akan dibuat (Kusuma, 2010). Siklus selanjutnya adalah penempelan (annealing) primer. Pada tahap ini suhu diturunkan hingga mencapai suhu tertentu sehingga primer dapat menempel pada daerah tertentu dari target DNA (Handoyo dan Ari, 2001).Suhu untuk penempelan primer yakni berkisar antara 36˚C-72˚C, namun suhu yang biasa digunakan yaitu antara 50˚C-60˚C. Waktu annealing yang digunakan yaitu 30-45 detik (Yusuf, 2010). Pada tahap pemanjangan (extension), enzim DNA polimerase akan memanjangkan sekaligus membentuk DNA yang baru dari gabungan antara primer, DNA cetakan dan nukleotida (Kusuma, 2010). Ketiga tahap tersebut dilakukan pengulangan, sehingga untai DNA baru yang dibentuk kembali akan mengalami proses denaturasi, penempelan dan pemanjangan untai DNA menjadi untai DNA yang baru. Pengulangan proses PCR tersebut akan menghasilkan amplifikasi DNA cetakan baru secara eksponensial (Kusuma, 2010). 2.7.
Penanda DNA Mikrosatelit Fungsi penanda molekuler ialah untuk menyeleksi sifat yang diinginkan
dari keturunan pada hasil persilangan, tingkat polimorfisme dan kekerabatan antar spesies (Widodo, 2003). Mikrosatelit atau Simple Sequence Repeats (SSRs) merupakan salah satu penanda DNA yang berbasiskan PCR (Polymerase Chain Reaction) (Varshney et al., 2005). Mikrosatelit memiliki kemampuan yang tinggi untuk mendeteksi perbedaan urutan pasang basa dan memiliki utasan DNA yang terdiri dari beberapa kali pengulangan basa yaitu sepanjang 1 sampai 8 pasang basa (Mullis, 1990; Bredemeijer et al.,1998; Narvel et al., 2000). Melalui teknik PCR DNA yang telah di ekstraksi dapat diperbanyak secara invitro dengan menggunakan urutan dari nukleotida yang disebut sebagai primer (potongan DNA sintetis) dengan menggunakan alat yang dinamakan DNA Thermal Cycler (Mullis, 1990).
11
Analisis genetik menggunakan mikrosatelit terdiri dari PCR untuk memperbanyak DNA dengan menggunakan primer (Powell et al., 1996), PCR menggunakan gel dan analisis fragmen (Rahman dkk., 2000). Metode yang digunakan untuk mendeteksi produk PCR dalam penanda mikrosatelit ini ialah elektroforesis gel agarose, elektroforesis gel poliakrilamid atau menggunakan mesin genetic analyzer yang menggunakan sistem deteksi laser secara otomatis (Diwan and Cregan, 1997; Bredemeijer et al., 1998; Narvel et al., 2000). 2.8.
Analisis Fragmen Daerah yang teramplifikasi oleh primer mikrosatelit disebut sebagai lokus
dan variasi panjang produk PCR dinyatakan sebagai alel (Narvel et al., 2000). Metode yang digunakan untuk mendeteksi produk PCR mikrosatelit yaitu dengan menggunakan mesin genetic analyzer yang berbasiskan sistem laser otomatis, elektroforesis gel agarosa dan gel poliakrilamid. Pada deteksi PCR mikrosatelit menggunakan mesin genetic analyzer diperlukan pelabelan primer dengan label fluoresen di salah satu dari sepasang primer pada ujung 5’ (Diwan dan Cregan, 1997; Bredemeijer et al., 1998; Narvel et al., 2000). Amplifikasi PCR primer berlabel fluoresen dapat menghasilkan sejumlah kopi alel yang berlabel warna pada salah satu ujungnya. Label fluoresen mengeluarkan emisi fluoresen pada panjang gelombang tertentu yang dideteksi oleh mesin genetic analyzer berdasarkan sinar laser yang ditembakkannya. Informasi panjang gelombang dianalisis dan disimpan oleh software yang diterjumahkan sebagai puncak-puncak grafik (elektroforegram) (Chaerani dkk, 2006). Ukuran alel dapat ditentukan secara otomatis berdasarkan DNA ukuran standard yang membawa label fluoresen keempat dan ditambahkan ke dalam sampel. Kelebihan metode deteksi dengan genetic analyzer jika dibandingkan dengan metode analisis elektroforesis gel manual adalah dapat mendeteksi perbedaan ukuran alel hingga satu pasang basa (pb), efisien dalam pengerjaan karena tidak memerlukan pemrosesan gel labih lanjut dan set panel multipleks terdiri dari paling sedikit tiga primer mikrosatelit pembawa tiga label warna
12
fluoresen yang berbeda dapat dianalisis secara bersamaan dalam satu kali proses lanjut (Diwan dan Cregan, 1997). 2.9.
Mekanisme Perubahan DNA Karena Faktor Lingkungan Lingkungan yang berubah akan berpengaruh terhadap kehidupan makhluk
hidup dan dapat menimbulkan perubahan DNA (mutasi). Berubahnya DNA berlangsung lama karena makhluk hidup tersebut akan beradaptasi dengan lingkungan yang baru (Siregar, 2002). Hasil penelitian Varesa dkk. (2011) mengenai variasi genetik beberapa populasi Amomum apiculatum didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara perbedaan genetik dengan kondisi geografis di antara masing-masing populasi. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi geografis memiliki peranan penting dalam penentuan perbedaan genetik di tiga lokasi penelitian yaitu di Padang (HPPB Limau Manis) terletak 312-355 m dpl, Lembah Anai terletak 383548 m dpl dan Pasaman (Malampah) terletak 601-614 m dpl di Sumatera Barat. Varietas baru dapat muncul karena adanya faktor lingkungan yang disebabkan oleh adanya mutasi dan variasi genetik seperti adanya penyerbukan silang. Persamaan dan perbedaan morfologi suatu tanaman dapat digunakan untuk mengetahui jauh dekatnya hubungan kekerabatan. Penanda DNA dapat digunakan untuk menunjukkan adanya mutasi pada suatu spesies, kekerabatan antarspesies atau intraspesies dan keragaman genetik suatu tumbuhan, sehingga DNA dapat dipilih untuk menentukan sebaran populasi suatu jenis hewan atau tumbuhan dalam skala yang luas (Suskendriyati dkk., 2000). 2.10.
Perbedaan dalam Satu Spesies (Intraspesies) Satu spesies dikatakan bervariasi apabila dalam satu spesies terdapat pada
populasi yang terpisah secara geografis maupun di antara individu-individu dalam satu populasi. Individu yang sama dalam suatu populasi dikatakan berbeda apabila memiliki perbedaan genetik walaupun secara fenotip sama karena diantara individu satu dengan individu lainnya memiliki perbedaan genetik dan memiliki genetik yang khas. Variasi genetik dapat meningkat apabila keturunan yang
13
dihasilkan dari reproduksi seksual menerima kombinasi unik gen dan kromosom dari induknya sehingga akan meningkatkan variasi genetik sehingga memiliki gen yang lebih beragam (Indrawan dkk, 2007). 2.11.
Manfaat DNA Berhubungan dengan Sebaran Makhluk Hidup Penanda DNA digunakan sebagai sumber informasi genetik yang bersifat
akurat dan potensial. DNA ditemukan hampir di semua sel makhluk hidup. Penanda DNA ini memiliki manfaat untuk mengetahui kemampuan hidup (survival) makhluk hidup dengan lingkungannya, sifat produksi suatu tanaman, ketahanan suatu makhluk hidup terhadap hama dan penyakit, sifat toleran terhadap stress lingkungan, membedakan antara satu spesies dengan spesies lainnya atau membedakan dalam spesies intraspesies dan menganalisis hubungan kekerabatan suatu spesies yang berada pada geografi yang berbeda (Zulfahmi, 2013). 2.12.
Garis Wallace dan Garis Weber Garis Wallace ditemukan oleh Alfred Russel Wallace yang mengadakan
penelitian mengenai penyebaran flora dan fauna di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya perbedaan flora dan fauna di Indonesia bagian barat dengan yang di bagian timur. Batas Garis Wallace mulai dari Selat Lombok sampai Selat Makasar, batas tersebut juga sebagai batas penyebaran flora dan fauna di Asia ke Indonesia. Wilayah yang termasuk kedalam Garis Wallace adalah Sunda Besar yang meliputi Pulau Sumatra, Jawa, Bali, dan Kalimantan, serta pulau-pulau kecil di sekitarnya yang memiliki fauna tipe asiatis (Ekadjati, 1995). Garis Weber ditemukan oleh Max Carl Wilhelm Weber. Garis Weber merupakan garis pembatas antara flora dan fauna di paparan sahul dan di bagian lebih barat Indonesia. Wilayah yang termasuk GarisWeber adalah Pulau Sulawesi, Timor, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku yang memiliki fauna tipe peralihan (Tipe Asia-Australis) (Miksic, 1990).
14
Wallace menemukan keunggulan fauna bercorak Asia di Sulawesi, Wallace juga menegaskan bahwa Garis Weber tidak tunggal, akan bisa berbedabeda untuk setiap jenis fauna. Garis Weber berkorelasi dengan Garis Wallace bukan sebagai pembatas bagian barat dari penyebaran fauna bercorak Australia (Miksic, 1990). Pada zaman pertengahan sampai akhir zaman Eosin terjadi apungan yang menjadi cikal bakal Pulau Sulawesi, bergerak ke arah barat menuju Borneo (Kalimantan). Proses tumbukan akibat apungan lempeng benua itu menyebabkan kedua daratan itu terkumpul menjadi satu daratan baru, saat terjadi pemekaran dasar samudera di laut antara Kalimantan dan Sulawesi yang menyebabkan Pulau Sulawesi bergerak ke arah timur menjauhi Kalimantan. Bagian pinggiran sebelah barat Laut Sulawesi, lembah-lembah membentuk lereng (slope) kontinental Kalimantan (Hamilton, 1979).
15