BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Uraian tumbuhan Uraian tumbuhan
meliputi habitat
tumbuhan,
morfologi tumbuhan,
sistematika tumbuhan, nama daerah, nama asing, kandungan kimia dan kegunaan tumbuhan. 2.1.1 Habitat tumbuhan Sargassum tersebar luas di Indonesia, tumbuh di perairan yang terlindung maupun yang berombak besar pada habitat batu. Beberapa jenis atau varietas dari Sargassum terdapat dalam jumlah besar di laut Sargasso. Alga di laut ini berasal dari daerah pantai. Saat mereka patah dari induknya, mereka hanyut ke laut lepas dan berkembang biak disana (Romimohtarto, 2009). 2.1.2 Morfologi tumbuhan Morfologi Sargassum polycystum tidak jauh berbeda dengan ciri-ciri umum Phaeophyta. Talus silindris berduri-duri kecil merapat, holdfast membentuk cakram kecil dan di atasnya terdapat perakaran/stolon yang rimbun berekspansi ke segala arah. “Batang” pendek dengan percabangan utama tumbuh rimbun. Mempunyai gelembung udara (bladder) yang umumnya soliter (berkelompok), panjangnya mencapai 7 meter,warna talus umumnya coklat (Aslan, 1991). 2.1.3 Sistematika tumbuhan Divisi
: Phaeophyta
Kelas
: Phaeophyceae
Bangsa
: Fucales
Universitas Sumatera Utara
Suku
: Sargassaceae
Marga
: Sargassum
Spesies
: Sargassum polycystum C. Agardh
2.1.4 Nama daerah Nama daerah tumbuhan ini di Kepulauan Seribu adalah oseng (Aslan, 1991). 2.1.5 Kandungan kimia Sargassum polycystum mengandung alginat, vitamin C, vitamin E (αtokoferol), mineral, karotenoid, klorofil, florotanin, polisakarida sulfat, asam lemak, dan asam amino (Matanjun, 2008 ; Raghavendran, 2005). Sargassum polycystum juga mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu steroid/ triterpenoid (Anggadiredja, 2009). 2.1.6 Kegunaan Sargassum polycystum memiliki potensial dalam penyembuhan penyakit kantung kemih, gondok, kolesterol, digunakan sebagai kosmetik, sumber alginat, antioksidan (Anggadiredja, 2009; Matanjun, 2008). 2.2 Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahanbahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1987). Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam berbagai penelitian antara lain yaitu:
Universitas Sumatera Utara
A. Cara dingin 1. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan panambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi. 2. Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaman bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terusmenerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan. B. Cara panas 1. Refluks Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 2. Digesti Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi daripada temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.
Universitas Sumatera Utara
3. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 4. Infundasi Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit. 5. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit. 2.3 Radikal bebas Radikal bebas adalah setiap molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas bertendensi kuat memperoleh elektron dari atom lain, sehingga atom lain yang kekurangan satu elektron ini menjadi radikal bebas pula yang disebut radikal bebas sekunder (Kosasih, 2004). Radikal bebas sangat reaktif dan dengan mudah menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol menghasilkan ikatan silang (cross-link) pada DNA, protein, lipida, atau kerusakan oksidatif pada gugus fungsional yang penting pada biomolekul. Perubahan ini akan menyebabkan proses penuaan. Radikal bebas juga terlibat dan berperan dalam patologi dari berbagai penyakit degeneratif, yakni kanker, aterosklerosis, rematik, jantung koroner, katarak, dan penyakit degenerasi saraf seperti parkinson (Silalahi, 2006). Mekanisme reaksi radikal bebas merupakan suatu deret reaksi-reaksi bertahap yaitu: (1) permulaan (inisiasi, inisiation) suatu radikal bebas, (2) perambatan
Universitas Sumatera Utara
(propagasi, propagation) reaksi radikal bebas; (3) pengakhiran (terminasi, termination) reaksi radikal bebas. Tahapan mekanisme reaksi radikal bebas dapat di lihat pada contoh di bawah ini (Fessenden, 1986). Tahap 1 (Inisiasi): UV
Cl-Cl
2Cl. (Radikal bebas)
Tahap 2 (Propagasi): CH4
+
Cl.
.CH3
+ HCl
.CH3
+
Cl2
CH3Cl +
Cl. (dapat bereaksi dengan CH4)
Tahap 3 (Terminasi): .CH3 + .CH3
+
Cl.
CH3Cl
.CH3
CH3CH3
2.4 Antioksidan Antioksidan atau reduktor berfungsi untuk mencegah terjadinya oksidasi atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen dan atau elektron (Silalahi, 2006). Atas dasar fungsinya antioksidan dapat dibedakan menjadi 5 (lima) seperti berikut. a.
Antioksidan Primer Antioksidan ini berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas yang
baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya. b.
Antioksidan Sekunder Antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap radikal
bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan
Universitas Sumatera Utara
yang lebih besar. Contoh yang populer, antioksidan sekunder adalah vitamin E, vitamin C, dan betakaroten yang dapat diperoleh dari buah-buahan. c.
Antioksidan tersier Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan
jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas, biasanya yang termasuk kelompok ini adalah jenis enzim misalnya metionin sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel. Enzim tersebut bermanfaat untuk perbaikan DNA pada penderita kanker. d. Oxygen Scavanger Antioksidan yang termasuk oxygen scavanger mengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi, misalnya vitamin C. e.
Chelators atau Sequesstrants Mengikat logam yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi misalnya asam
sitrat dan asam amino (Kumalaningsih, 2006). 2.4.1 Antioksidan alami Sayur-sayuran dan buah-buahan kaya akan zat gizi (vitamin, mineral, serat pangan) serta berbagai kelompok zat bioaktif lain yang disebut zat fitokimia. Zat bioaktif ini bekerja secara sinergis, meliputi mekanisme enzim detoksifikasi, peningkatan sistem kekebalan, pengurangan agregasi platelet, pengaturan sintesis kolesterol dan metabolisme hormon, penurunan tekanan darah, antioksidan, antibakteri, serta efek antivirus (Silalahi, 2006).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Vitamin C Rumus bangun Vitamin C dapat dilihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Rumus bangun vitamin C Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan rumus molekul C6H8O6. Asam askorbat mengandung tidak kurang dari 99,0% C6H8O6. Pemerian vitamin C adalah hablur atau serbuk putih atau agak kuning. Oleh pengaruh cahaya lambat laun menjadi berwarna gelap. Dalam keadaan kering stabil di udara, dalam larutan cepat teroksidasi. Melebur pada suhu lebih kurang 190o. Kelarutan vitamin C mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol, praktis tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam benzene (DepKes RI, 1995). Vitamin C berkhasiat sebagai antiskorbut maka dinamakan asam skorbut atau vitamin C. Vitamin C berkerja sebagai suatu koenzim dan pada keadaan tertentu merupakan reduktor dan antioksidan. Vitamin C berperan juga dalam proses pembentukan kolagen. Angka Kecukupan Gizi (AKG) vitamin C adalah sekitar 35 mg untuk bayi dan 60 mg pada orang dewasa ( Tjay, 2002). 2.4.3 Betakaroten Betakaroten dipercaya dapat menurunkan resiko penyakit jantung dan kanker. Betakaroten berperan sebagai antioksidan. Betakaroten terdapat pada aprikot,
Universitas Sumatera Utara
wortel dan mangga. Dengan mengkonsumsi 50 mg betakaroten tiap hari dalam menu makanan dapat mengurangi risiko terkena penyakit jantung (Kosasih, 2004). Sebagai antioksidan betakaroten bekerja dengan cara memperlambat fase inisiasi. Betakaroten merupakan salah satu provitamin A. Pemberian vitamin A dalam dosis tinggi dapat bersifat toksis. Akan tetapi, betakaroten dalam jumlah banyak mampu memenuhi kebutuhan vitamin A, dan selebihnya tetap sebagai betakaroten yang berfungsi sebagai antioksidan. Rumus bangun betakaroten dapat dilihat pada Gambar 2.2 (Silalahi, 2006).
Gambar 2.2 Rumus bangun betakaroten 2.4.4 Florotanin Florotanin adalah jenis tanin yang ditemukan pada rumput laut coklat seperti kelp dan rockweed atau suku Sargassaceae. Florotanin ini berbeda dengan tanin yang terhidrolisa atau pun yang terkondensasi. Senyawa ini merupakan oligomer dari floroglusinol ( Anonima, 2011). Florotanin memiliki aktivitas sebagai antibakteri, inhibitor spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Spesies). Rumus bangun dari florotanin dapat dilihat pada Gambar 2.3 (Skibola et al, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Rumus bangun florotanin 2.4.5 Fukosantin Fukosantin adalah bagian dari karotenoid yang memiliki rumus C42H58O6. Fukosantin berwarna oranye, termasuk kelompok xantofil dari karotenoid. Pigmen ini banyak ditemukan pada beberapa spesies alga coklat. Fukosantin mampu mengabsorbsi energi warna hijau-biru dan melewatkannya ke klorofil untuk proses fotosintesis, aktivitas tersebut ditunjukkan dengan sifat absorbsi pada panjang gelombang 400-540 nm. Rumus bangun fukosantin dapat dilihat pada Gambar 2.4 (Anonimb, 2011).
Gambar 2.4 Rumus bangun fukosantin Fukosantin memiliki aktivitas sebagai antioksidan, antikarsinogenik, dan antimutagenik (Yan, et al., 1999). Fukosantin juga dapat digunakan sebagai antiobesitas, antidiabetes dan dapat meningkatkan DHA (Docosahexaenoic acid) di hati. DHA merupakan komponen bioaktif yang efektik mengurangi resiko
Universitas Sumatera Utara
penyakit kardiovaskular yang disebabkan oleh obesitas dan diabetes (Maeda, et al., 2008). 2.5 Spektrofotometri UV-Visibel Absorbansi energi oleh suatu zat dalam larutan yang homogen dapat diidentifikasi dan diukur secara kuantitatif menggunakan spektrofotometri visible pada panjang gelombang 380 nm sampai 760 nm dan spektrofometri ultraviolet pada panjang gelombang di atas 200 nm (Levie, 1997). Ahli kimia telah lama menggunakan warna sebagai bantuan dalam mengenali zat-zat kimia. Spektrofotometri dapat dianggap sebagai perluasan suatu pemeriksaan visual, yaitu dengan menggunakan alat untuk mengukur absorpsi energi radiasi macam-macam zat kimia dan memungkinkan dilakukannya pengukuran kualitatif dari suatu zat dengan ketelitian yang lebih besar (Day, 1994). Spektrofotometer UV/Visibel terdiri dari beberapa komponen antara lain: sumber sinar, monokromator, tempat sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat (Levie, 1997). 2.6 Penentuan aktivitas antioksidan dengan metode DPPH Pada tahun 1922, Goldschmidt dan Renn menemukan senyawa berwarna ungu radikal bebas stabil DPPH, yang sekarang digunakan sebagai reagen kolorimetri untuk proses redoks. DPPH sangat berguna dalam berbagai penyelidikan seperti inhibisi atau radikal polimerisasi kimia, penentuan sifat antioksidan amina, fenol atau senyawa alami (vitamin, ekstrak tumbuh-tumbuhan, obat obat-obatan) dan untuk menghambat reaksi homolitik. DPPH berwarna sangat ungu seperti KMnO4 dan bentuk tereduksinya yaitu 1,1-difenil-2-
Universitas Sumatera Utara
picrylhydrazine (DPPH-H) yang berwarna oranye-kuning. DPPH tidak larut dalam air (Ionita, 2003). DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen akan membentuk molekul diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan radikal bebas dari DPPH dan membentuk DPPH tereduksi. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm akan hilang. Perubahan ini dapat diukur sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat reduktor (Molyneux, 2004). Molyneux (2004) menyatakan bahwa suatu zat mempunyai sifat antioksidan bila nilai IC50 kurang dari 200 ppm. Bila nilai IC50 yang diperoleh berkisar antara 200-1000 ppm, maka zat tersebut kurang aktif namun masih berpotensi sebagai zat antioksidan. Rumus molekul DPPH dapat dilihat pada Gambar 2.3.
a
b
Gambar 2.5 Rumus Bangun DPPH
Universitas Sumatera Utara
Keterangan: a. bentuk radikal DPPH b. bentuk nonradikal (DPPH-H) Senyawa antioksidan mempunyai sifat yang relatif stabil dalam bentuk radikalnya. Senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai antioksidan dapat diprediksi dari golongan fenolat, flavonoida dan alkaloida, yang merupakan senyawa-senyawa polar. Aktivitas antioksidan merupakan kemampuan suatu senyawa atau ekstrak untuk menghambat reaksi oksidasi yang dapat dinyatakan dengan persen penghambatan (Brand-Williams, 1995). Resonansi DPPH dan reaksi DPPH dengan atom H netral yang berasal dari senyawa-senyawa yang bersifat antioksidan dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5.
Gambar 2.6 Resonansi DPPH (1,1- diphenyl-2-picrylhydrazyl)
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7 Reaksi antara DPPH dengan atom H netral yang berasal dari antioksidan Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi efisien
atau
efficient
concentration
(EC50)
atau
Inhibition
Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan % penghambatan 50%. Zat yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai harga EC50 atau IC50 yang rendah (Brand-Williams, 1995). 2.6.1 Pelarut Metode ini akan bekerja dengan baik menggunakan pelarut metanol atau etanol dan kedua pelarut ini tidak mempengaruhi dalam reaksi antara sampel uji sebagai antioksidan dengan DPPH sebagai radikal bebas (Molyneux, 2004). 2.6.2 Pengukuran absorbansi – panjang gelombang Panjang gelombang maksimum (λmaks) yang digunakan dalam pengukuran uji sampel uji sangat bervariasi. Menurut beberapa literatur panjang gelombang maksimum untuk DPPH antara lain 515 nm, 516 nm, 517 nm, 518 nm, 519 nm dan 520 nm. Pada prakteknya hasil pengukuran yang memberikan peak maksimum itulah panjang gelombangnya yaitu sekitar panjang gelombang yang
Universitas Sumatera Utara
disebutkan diatas. Nilai absorbansi yang mutlak tidaklah penting, karena panjang gelombang dapat diatur untuk memberikan absorbansi maksimum sesuai dengan alat yang digunakan (Molyneux, 2004). 2.6.3 Waktu reaksi Pada metode sebelumnya waktu reaksi yang direkomendasikan adalah 30 menit, dan sudah sering dilakukan. Waktu yang paling cepat yang pernah digunakan, 5 menit atau 10 menit. Kenyataannya waktu reaksi yang benar adalah ketika reaksi sudah mencapai kesetimbangan. Kecepatan reaksi dipengaruhi oleh sifat dari aktivitas antioksidan yang terdapat di dalam sampel (Molyneux, 2004).
Universitas Sumatera Utara