BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan Uraian tumbuhan meliputi morfologi tumbuhan, habitat, sistematika tumbuhan, nama asing, kandungan kimia dan kegunaan dari tumbuhan. 2.1.1 Morfologi tumbuhan Morfologi tumbuhan paprika meliputi bagian-bagian yaitu memiliki batang yang keras dan berkayu, berbentuk bulat, halus, berwarna hijau gelap, dan memiliki percabangan dalam jumlah banyak. Cabang tanaman beruas-ruas dan setiap ruas ditumbuhi daun dan tunas. Daun tersebar atau 2-3 daun yang tak sama besar bergerombol, berbentuk bulat telur dengan ujung runcing dan tepi daun tidak bergerigi. Bunga tanaman paprika merupakan bunga tunggal (soliter) dan berbentuk bintang, dengan mahkota bunga berwarna putih. Benang sari dengan kepala sari yang berwarna ungu tetapi kemudian menjadi kehijau-hijauan. Buah paprika memiliki keanekaragaman bentuk, ukuran, warna, dan rasa. Pada umumnya, buah paprika berbentuk seperti tomat, tetapi lebih bulat dan pendek, dengan permukaan bergelombang besar atau bersegi-segi sangat jelas. Buah paprika berongga pada bagian dalamnya. Ukuran buah bervariasi, ada yang berukuran besar, panjang, atau pendek dengan ketebalan buah sekitar 0,5 cm. Biji paprika terdapat dalam jumlah sedikit, berbentuk bulat pipih, dan berwarna putih kekuning-kuningan. Biji tersusun berkelompok (bergerombol) dan saling melekat pada empulur. Tanaman paprika memiliki akar tunggang yang
Universitas Sumatera Utara
tumbuh lurus ke pusat bumi dan akar yang tumbuh menyebar ke samping (horizontal) (Cahyono, 2012; Tjitrosoepomo, 1994). 2.1.2 Habitat Tanaman paprika banyak tumbuh di negara-negara yang memiliki temperatur rendah seperti Eropa, Mexico, United States (Tyler, 1976). Di Indonesia, paprika dapat dibudidaya di lahan-lahan kering yaitu Jawa (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur), Sumatera (Riau, Aceh, dan Sumatera Utara) (Cahyono, 2012). 2.1.3 Sistematika tumbuhan Menurut Cahyono (2012), sistematika tumbuhan buah paprika adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Solanales
Suku
: Solanaceae
Marga
: Capsicum
Jenis
: Capsicum annum
Varietas
: Capsicum annum L. cv.group grossum
2.1.4 Nama asing Garden Pepper, Paprika, Pimiento, Mexican Chillies, Tabasco Pepper, Bell Pepper (Tyler, 1976). 2.1.5 Kandungan Kimia Buah paprika mengandung zat gizi yang cukup lengkap, antara lain protein, lemak, karbohidrat, mineral (kalsium, fosfor, dan besi), vitamin dan serat.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu terdapat juga zat-zat lain yang berkhasiat obat, misalnya oleoresin (capsaicin), minyak atsiri, flavonoid, karotenoid (capsantin, capsorubin, carotene, dan lutein). Kandungan gizi (komposisi kimia) buah paprika secara lengkap ditunjukkan dalam Tabel 2.1. Tabel 2.1 Kandungan gizi buah paprika segar dalam setiap 100 g No
Jenis Zat Gizi
Kadar
1
Kalori (kkal)
-
2
Protein (g)
0,90
3
Lemak (g)
0,30
4
Karbohidrat (g)
4,40
5
Kalsium (mg)
7,00
6
Fosfor (mg)
22,00
7
Zat Besi (mg)
0,40
8
Vitamin A (IU)
22,00
9
Vitamin B1 (mg)
540,00
10
Vitamin B2 (mg)
0,02
11
Vitamin C (mg)
160,00
12
Niasin (mg)
0,40
Sumber: Table of Representative Value of Food Commonly Used in Tropical Countries (1982) dalam Harjono, 1994. Selain itu, paprika menyediakan nutrisi lain seperti B6, tiamin dan asam folat (Dalimartha, 2002). Cabe yang berdaging buah tebal ini memiliki kandungan vitamin C yang tinggi (Cahyono, 2012). 2.1.6 Kegunaan Paprika mempunyai efek melindungi mata dari timbulnya katarak, dapat meningkatkan aliran darah, mencegah pembentukan trombus, mengurangi resiko serangan jantung dan stroke. Paprika juga bermanfaat mengatasi kadar kolesterol yang tinggi, membantu memetabolisir alkohol, peluruh dahak (ekspektoran) untuk meringankan bronchitis dan emphysema, meredakan nyeri, mencegah Penyakit
Universitas Sumatera Utara
Jantung Koroner (PJK), nyeri iskemik (ischemic rest pain), nyeri otot dan rematik (Dalimartha, 2002). Paprika merupakan tanaman hortikultura (sayuran) yang dimanfaatkan untuk keperluan pangan. Selain itu paprika juga digunakan dalam industri farmasi untuk membuat ramuan obat-obatan, kosmetik, pewarna bahan makanan, serta bahan campuran pada berbagai industri pengolahan makanan dan minuman. Selain itu, paprika juga bermanfaat sebagai obat untuk diare, sakit perut, sakit gigi, pegal-pegal, influensa, masuk angin, mencegah penggumpalan darah (Cahyono, 2012), sebagai stimulan dan sebagai bumbu masak (Tyler, 1976). 2.2 Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari jaringan tumbuhan maupun hewan. Sebelum ekstraksi dilakukan biasanya bahan bahan dikeringkan terlebih dahulu kemudian dihaluskan pada derajat kehalusan tertentu (Harborne, 1984). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Ditjen POM, 2000). Hasil dari ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995). Menurut Depkes RI (2000), ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan antara lain yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Cara dingin i. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan panambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi. ii. Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus - menerus sampai diperoleh perkolat. b. Cara panas i. Refluks Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperature titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu. ii. Digesti Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.
Universitas Sumatera Utara
iii. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel. iv. Infudasi Infudasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit. v. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit. 2.2 Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan (unpaired electron). Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron disebut oksidan (electron acceptor) yaitu suatu senyawa yang dapat menerima elektron. Reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit seperti kanker, jantung, katarak, penuaan dini, serta penyakit degeneratif lainnya (Maulida, 2010; Sudiana, 2008). Radikal bebas sangat reaktif dan dengan mudah menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol, menghasilkan ikatan silang (cross-link) pada DNA, protein, lipida, atau kerusakan oksidatif pada gugus fungsional yang penting pada biomolekul ini. Radikal bebas juga terlibat dan berperan dalam patologi dari berbagai penyakit degeneratif, yakni kanker, aterosklerosis, rematik, jantung koroner, katarak, dan penyakit degenerasi saraf seperti Parkinson (Silalahi, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul akan berlangsung sepanjang hidup. Radikal bebas yang sangat berbahaya antara lain golongan hidroksil (OH-), superoksida (O-2), nitrogen monooksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), peroksidal (RO-2), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorit (HOCl), hydrogen peroksida (H2O2), ozon (O3), dinitrogen trioksida (N2O3), lipid peroksida (LOOH) (Silalahi, 2006; Pham-Huy, et al., 2008). Secara umum tahapan reaksi pembentukan radikal bebas adalah sebagai berikut: a. Inisiasi RH + initiator → R● b. Propagasi R● + O2 → ROO● ROO● + RH → ROOH + R● c. Terminasi R● + R● → RR ROO● + R● → ROOR Tahap inisiasi adalah tahap awal terbentuknya radikal bebas. Tahap propagasi adalah tahap perpanjangan radikal berantai, dimana terjadi reaksi antara suatu radikal dengan senyawa lain dan menghasilkan radikal baru. Tahap terminasi adalah tahap akhir, terjadinya pengikatan suatu radikal bebas dengan radikal bebas yang lain sehingga menjadi tidak reaktif lagi. Ketika proses tersebut terjadi maka siklus reaksi radikal telah berakhir (Kumalaningsih, 2006). Radikal bebas dalam jumlah normal bermanfaat bagi kesehatan misalnya, mengurangi peradangan dan membunuh bakteri. Sementara dalam jumlah berlebih mengakibatkan stress oksidatif. Stress oksidatif merupakan bagian utama mengakibatkan kerusakan kronis, penyakit degeneratif seperti kanker, arthritis, penyakit autoimun, kardiovaskular, katarak, dan penuaan dini. Oleh karena itu,
Universitas Sumatera Utara
antioksidan dibutuhkan untuk dapat menunda atau menghambat reaksi oksidasi oleh radikal bebas (Widyastuti, 2010; Pham-Huy, et al., 2008). 2.3 Antioksidan Menurut Kosasih (2004), definisi antioksidan adalah zat yang dapat menetralisir radikal bebas sehingga atom dengan elektron yang tidak berpasangan mendapat pasangan elektron sehingga tidak reaktif lagi. Berkaitan dengan fungsinya, senyawa antioksidan di klasifikasikan dalam lima tipe antioksidan, yaitu: a. Primary antioxidants, yaitu senyawa-senyawa fenol yang mampu memutus rantai reaksi pembentukan radikal bebas asam lemak. Dalam hal ini memberikan atom hidrogen yang berasal dari gugus hidroksi senyawa fenol sehingga terbentuk senyawa yang stabil. Senyawa antioksidan yang termasuk kelompok ini, misalnya BHA, BHT, PG, TBHQ, dan tokoferol. b. Oxygen scavengers, yaitu senyawa-senyawa yang berperan sebagai pengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi. Dalam hal ini, senyawa tersebut akan bereaksi dengan oksigen yang berada dalam sistem sehingga jumlah oksigen akan berkurang. Contoh dari senyawa-senyawa kelompok ini adalah vitamin C (asam askorbat), askorbilpalminat, asam eritorbat, dan sulfit. c. Secondary antioxidants, yaitu senyawa-senyawa yang mempunyai kemampuan untuk berdekomposisi hidroperoksida menjadi produk akhir yang stabil. Tipe antioksidan ini pada umumnya digunakan untuk menstabilkan poliolefin resin. Contohnya: asam tiodipropionat dan dilauriltiopropionat. d. Antioxidative Enzime, yaitu enzim yang berperan mencegah terbentuknya radikal bebas. Contohnya glukose oksidase, superoksidase dismutase (SOD), glutation peroksidase, dan katalase.
Universitas Sumatera Utara
e. Chelators sequestrants, yaitu senyawa-senyawa yang mampu mengikat logam seperti besi dan tembaga yang mampu mengkatalis reaksi oksidasi lemak. Senyawa yang termasuk didalamnya adalah asam sitrat, asam amino, ethylenediaminetetra acetid acid (EDTA), dan fosfolipid (Maulida, 2010). 2.4.1 Antioksidan Alami Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidase lipid pada makanan. Meningkatnya minat untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun terakhir ini. Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur molekulnya (Kuncahyo, 2007). Bahan pangan banyak dijadikan sebagai sumber antioksidan alami, misalnya rempah rempah, teh, coklat, daun-daunan, biji-bijian dan sayur-sayuran. Kebanyakan sumber antioksidan alami adalah tumbuhan dan umumnya merupakan senyawa fenolik yang tersebar di seluruh bagian tumbuhan baik di kayu, biji, daun, buah, akar, bunga maupun serbuk sari (Zuhra, 2008). 2.4.1.1 Flavonoid Salah satu antioksidan alami yang berperan sebagai antioksidan adalah flavonoid. Senyawa ini berperan sebagai penangkap radikal bebas karena mengandung gugus hidroksil. Karena bersifat sebagai reduktor, flavonoid dapat bertindak sebagai donor hidrogen terhadap radikal bebas (Silalahi, 2006). Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang terdapat pada teh, buah-buahan, sayuran, anggur, bir dan kecap (Kuncahyo, 2007). Senyawa flavonoid merupakan salah satu senyawa polifenol yang mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya, yang tersusun dalam
Universitas Sumatera Utara
konfigurasi C6 – C3 – C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan 3 karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (Markham, 1988). Kerangka flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Kerangka flavonoid (Markham, 1988) Flavonoid pada tumbuhan terdapat dalam berbagai bentuk struktur molekul dengan beberapa bentuk kombinasi glikosida. Untuk menganalisis flavonoid lebih baik memeriksa aglikon yang telah terhidrolisis daripada dalam bentuk glikosida dengan strukturnya yang rumit dan kompleks. Flavonoid dapat berkhasiat sebagai antioksidan, antibakteri dan antiinflamasi (Harborne, 1984). Struktur dasar dan sistem penomoran untuk turunan flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur dasar flavonoid (Widyastuti, 2010) 2.4.1.2 Vitamin C Vitamin C atau asam askorbat mempunyai berat molekul 176,13 dengan rumus molekul C6H8O6. Asam askorbat mengandung tidak kurang dari 99,0% C6H8O6. Pemerian vitamin C adalah hablur atau serbuk putih atau agak kuning. Oleh pengaruh cahaya lambat laun menjadi berwarna gelap. Dalam keadaan kering stabil di udara, dalam larutan cepat teroksidasi. Melebur pada suhu lebih kurang 190ºC. Vitamin C mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol,
Universitas Sumatera Utara
praktis tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam benzen (Ditjen POM, 1995). Rumus bangun vitamin C dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Rumus Bangun Vitamin C (Ditjen POM, 1995) Vitamin C merupakan antioksidan kuat dan pengikat radikal bebas. Vitamin C juga dapat mencegah kerusakan biomolekul seperti DNA, lipid, dan protein, akibat oksidasi radikal bebas anion superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil. Vitamin C sangat dibutuhkan untuk memproduksi kolagen yang pada gilirannya dapat menghalangi pertumbuhan dan perkembangan sel kanker (Silalahi, 2006). Vitamin C dapat ditemukan di alam hampir pada semua tumbuhan terutama sayuran dan buah-buahan, terutama buah-buahan segar. Karena itu sering disebut Fresh Food Vitamin (Budiyanto, 2004). Vitamin C antara lain terdapat pada buah-buahan seperti jeruk, apel, sirsak, lemon, stroberi, melon serta sayuran seperti tomat, sayuran berdaun hijau, brokoli, kembang kol (Kosasih, 2004). 2.4.1.3 Betakaroten Betakaroten merupakan salah satu provitamin A yang berperan sebagai antioksidan dan dipercaya dapat menurunkan resiko penyakit jantung dan kanker. Betakaroten terdapat pada aprikot, wortel dan mangga dan dengan mengkonsumsi
Universitas Sumatera Utara
50 mg betakaroten tiap hari dalam menu makanan dapat mengurangi risiko terkena penyakit jantung (Kosasih, 2004). Senyawa ini bekerja sebagai antioksidan dengan cara memperlambat fase inisiasi. Pemberian vitamin A dalam dosis tinggi dapat bersifat toksis. Akan tetapi, betakaroten dalam jumlah banyak mampu memenuhi kebutuhan vitamin A dan selebihnya tetap sebagai betakaroten yang berfungsi sebagai antioksidan (Silalahi, 2006). Rumus bangun betakaroten dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Rumus bangun betakaroten (Almatsier, 2001). 2.4.1.4 Kuersetin Kuersetin (3,4-dihidroksiflavonol) merupakan senyawa flavonoid dari kelompok flavonol dan terdapat terutama pada tanaman teh, tomat, apel, kakao, anggur dan bawang yang memiliki sifat antioksidan yang sangat potensial. Dengan mengkonsumsi kuersetin dalam jumlah yang cukup (50-200 mg per hari) maka dapat bermanfaat memberi perlindungan karena berperan sebagai senjata pemusnah radikal bebas sehingga dapat mencegah penuaan dini. Kuersetin menunjukkan aktivitasnya dalam menghambat reaksi oksidasi low-density lipoprotein (LDL) secara in vitro (Kosasih, 2004), mencegah kerusakan oksidatif dan kematian sel dengan mekanisme menangkap radikal oksigen, memberi efek farmakologi sebagai antiinflamasi (Herowati, 2008). Struktur kimia kuersetin dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Struktur Kimia Kuersetin (Herowati, 2008) 2.4.2 Antioksidan Sintetik Antioksidan sintetik seperti BHA (butil hidroksianisol), BHT (butil hidroksitoluena), PG (propil galat), dan TBHQ (tert-butil hidrokuinon) dapat meningkatkan terjadinya karsinogenesis sehingga penggunaan antioksidan alami mengalami peningkatan (Rohman, 2005). Antioksidan sintetik dibuat dari bahanbahan kimia yang biasanya ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk mencegah terjadinya reaksi autooksidasi (Kumalaningsih, 2006). Rumus bangun dari BHT dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6 Rumus bangun BHT 2.4 Spektrofotometri UV-Visible Spektrofotometri merupakan suatu metode pengukuran energi radiasi atau intensitas sinar yang terserap oleh larutan. Spektrofotometri UV-Visibel adalah salah satu bentuk spektrofotometri absorbsi. Pada cara ini, cahaya atau gelombang cahaya elektromagnetik (sinar UV-Vis) berinteraksi dengan zat dan dilakukan
Universitas Sumatera Utara
pengukuran besarnya cahaya (gelombang elektromagnetik) yang diabsorbsi (Benson, 1987). Spektrofotometri pada dasarnya terdiri dari sumber sinar, monokromator, sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat. Spektrofotometri serapan merupakan metode pengukuran serapan radiasi elektromagnetik pada panjang gelombang tertentu, yang diserap zat (Ditjen POM, 1979). Spektrofotometri UV-Visibel terdiri dari sumber sinar monokromator, tempat sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat. Spektrofotometri yang sering digunakan untuk mengukur serapan larutan atau zat yang diperiksa adalah spektrofotometri ultraviolet dengan panjang gelombang antara 200-400 nm dan visibel (cahaya tampak) dengan panjang gelombang antara 400-750 nm (Rohman, 2007). 2.5 Metode Pengukuran Antioksidan Metode untuk menentukan aktivitas antioksidan ada beberapa cara, yaitu: a. BCB Method (β-Carotene Bleaching Method) atau Metode Pemutihan βkaroten, b. DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil) Radical Scavenging Method (Metode Pemerangkapan Radikal Bebas DPPH), c. TBARS Assay (Thiobarbituric Acid-Reactive Substance), d. CUPRAC Assay (Cupric Reducing Antioxidant Capacity), e. ORAC Assay (Oxygen-Radical Absorbance Capacity), dan f. FRAP Assay (Ferric Reducing Antioxidant Power) (Rafi, 2013; Rosidah, et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
Perkiraan aktifitas antioksidan bergantung kepada sistem pengujiannya. Spesifitas dan sensitifitas satu metode saja tidak dapat menguji seluruh senyawa fenol yang terdapat pada ekstrak. Oleh karena itu dibutuhkan kombinasi pengujian aktivitas antioksidan lebih dari satu (Sun dan Ho, 2005). 2.6.1 Metode BCB (β-Carotene Bleaching Method) Metode carotene bleaching atau sering dikenal metode β-karoten-asam linoleat merupakan metode untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan berdasarkan pada kemampuan antioksidan untuk mencegah peluruhan warna jingga karoten akibat oksidasi dalam sistem emulsi minyak dan karoten. Dalam pengujian aktivitas antioksidan dengan metode carotene bleaching digunakan bahan-bahan utama, seperti beta karoten sebagai indikator aktivitas antioksidan, minyak sebagai sumber radikal bebas, dan senyawa antioksidan sampel sebagai penghambat reaksi oksidasi (Utami, 2009). Pada uji aktivitas antioksidan dengan menggunakan metode β-karotenasam linoleat, radikal bebas terbentuk dari hidroperoksid yang dihasilkan oleh asam linoleat. Radikal bebas asam linoleat terbentuk karena pengurangan atom hidrogen dari satu gugus metilen dialil yang menyerang ikatan rangkap pada beta karoten sehingga terjadi oksidasi beta karoten yang menyebabkan hilangnya gugus kromofor yang memberi warna orange (Rosidah, et al., 2008). Perubahan warna ini dapat diukur secara spektrofotometri. Panjang gelombang maksimum (λmaks) yang digunakan dalam pengukuran metode β-karoten-asam linoleat menurut literatur adalah 470 nm (Rosidah, et al., 2008; Sugiastuti, 2002). Lama pengukuran metode β-karoten-asam linoleat menurut literatur yang direkomendasikan adalah 0 menit sampai 120 menit dengan interval waktu 15 menit (Rosidah, et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara
2.6.2 Metode
Pemerangkapan
Radikal
Bebas
DPPH
(1,1-diphenyl-2-
picrylhydrazil) DPPH pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh Goldschmidt dan Renn. DPPH berwarna ungu pekat seperti KMnO4, bersifat tidak larut dalam air (Ionita, 2005). DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil) merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. DPPH menerima elektron atau radikal hidrogen akan membentuk molekul diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH (Molyneux, 2004). Struktur kimia DPPH dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Struktur Kimia DPPH (Molyneux, 2004) Metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil) merupakan salah satu uji untuk menentukan aktivitas antioksidan. Metode DPPH memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil. DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet gelap. Pemerangkapan radikal bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan penghilangan warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil (Kuncahyo, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Prinsipnya adalah reaksi penangkapan hidrogen oleh DPPH dari zat antioksidan dengan reaksi sebagai berikut:
1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil
1,1-diphenyl-2-picrylhydrazine
Gambar 2.8 Reaksi antara DPPH dengan atom H dari senyawa antioksidan (Widyastuti, 2010) Ketika larutan DPPH dicampurkan dengan senyawa yang dapat mendonorkan atom hidrogen, akan dihasilkan bentuk tereduksi dari DPPH dan berkurangnya warna ungu (Molyneux, 2004). Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi efisien atau Efficient Concentration (EC50) atau Inhibitory Concentration (IC50) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan persen penghambatan sebesar 50%. Zat yang mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai harga EC50 atau IC50 yang rendah. Metode ini akan memberikan hasil yang baik dengan menggunakan pelarut metanol atau etanol dan kedua pelarut ini tidak mempengaruhi dalam reaksi antara sampel uji sebagai antioksidan dengan DPPH sebagai radikal bebas (Molyneux, 2004). 2.6.2.1 Pengukuran absorbansi – panjang gelombang Panjang gelombang maksimum (λmaks) yang digunakan dalam pengukuran sampel uji sangat bervariasi. Menurut beberapa literatur panjang gelombang Universitas Sumatera Utara
maksimum untuk DPPH antara lain 515 nm, 516 nm, 517 nm, 518 nm, 519 nm dan 520 nm. Apabila pengukuran menghasilkan tinggi puncak maksimum, maka itulah panjang gelombangnya yaitu sekitar panjang gelombang yang disebutkan di atas. Nilai absorbansi yang mutlak tidaklah penting, karena panjang gelombang dapat diatur untuk memberikan absorbansi maksimum sesuai dengan alat yang digunakan (Molyneux, 2004). 2.6.2.2 Waktu Pengukuran Lama pengukuran metode DPPH menurut beberapa literatur yang direkomendasikan adalah selama 60 menit, tetapi dalam beberapa penelitian waktu yang digunakan sangat bervariasi yaitu 5 menit, 10 menit, 20 menit, 30 menit dan 60 menit. Waktu reaksi yang tepat adalah ketika reaksi sudah mencapai kesetimbangan. Kecepatan reaksi dipengaruhi oleh sifat dari aktivitas antioksidan yang terdapat di dalam sampel (Molyneux, 2004; Rosidah, et al., 2008).
Universitas Sumatera Utara