BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Uraian Tumbuhan Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, nama daerah, nama asing,
morfologi tumbuhan, kandungan kimia dan kegunaan tumbuhan. 2.1.1 Taksonomi Tumbuhan Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas
: Hamamelidae
Order
: Urticales
Famili
: Moraceae
Genus
: Artocarpus J. R. & G. Forst
Spesies
: Artocarpus camansi Blanco
(National Plant Database, 2004) 2.1.2 Nama Daerah Kelur, kulor, kulur, kerur (Melayu, Jawa) (Ragone, 2006). 2.1.3 Nama Asing Breadnut (Inggris), Castana (Spanyol), Chataignier (Prancis), Kapiak (New Guinea), Dulugian, Kamansi, kolo, pakau, ugod (Filipina), Mei Kakano (Marquesas), Pana de Pepitas (Puerto Rico) (Ragone, 2006).
7 Universitas Sumatera Utara
2.1.4
Morfologi Tumbuhan Pohon kluwih tumbuh hingga ketinggian kurang lebih 10-15 meter (30-50
kaki) dengan diameter kurang lebih 1 meter (3,3 kaki), biasanya pohon ini tumbuh hingga 5 meter (16 kaki) sebelum bercabang. Di semua bagian tumbuhan, terdapat getah berwarna putih. Kluwih mempunyai daun dengan panjang 40-60 cm (16-24 inci) dan berwarna hijau. Daun baru pada pohon yang masih muda dapat tumbuh hingga 76 cm atau lebih dari 30 inci, dan terdapat banyak bulu berwarna putih atau putih kemerahan pada urat daun bagian atas dan bawah, permukaan daun bawah, dan tangkai daun. Buah kluwih berbentuk oval dengan panjang 13-20 cm (5-8 inci) dan diameter 7-12 cm (2,6-4,8 inci) serta memiliki berat kira-kira 800 gram. Kulit buah berwarna hijau muda atau hijau kekuningan saat matang dengan tekstur berduri, sedangkan daging buahnya berwarna kuning keputihan. Kluwih dapat dengan mudah dibedakan dari kerabatnya yaitu tumbuhan Sukun (Artocarpus altilis) berdasarkan duri pada kulit buahnya, daging buah yang lebih sedikit serta sejumlah biji besar berwarna coklat muda (Ragone, 2006). 2.1.5
Kandungan Kimia Tumbuhan Daun kluwih memiliki kandungan alkaloid, flavonoid, tannin, glikosida,
antrakuinon, dan steroid/triterpenoid (Marianne, dkk., 2011). Daun kluwih juga diketahui mengandung GABA (Gamma Amino Butyric Acid) (Indrowati dan Harlita, 2007). 2.1.6
Kegunaan Tumbuhan Buah kluwih biasanya dikonsumsi sebagai sayuran baik dengan cara
direbus atau dijadikan sup. Bunga jantannya yang sudah kering juga digunakan sebagai insektisida dengan cara membakarnya. Pohon kluwih tidak digunakan
8 Universitas Sumatera Utara
secara luas, namun kayu, getah dan kulitnya bisa digunakan seperti halnya pohon sukun sebagai bahan kerajinan tangan (Ragone, 2006). 2.2
Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes, 2000). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: Cara dingin a. Maserasi Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan perendaman menggunakan pelarut yang sesuai dengan sesekali pengadukan pada temperatur ruangan (Depkes, 2000). b. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) (Depkes, 2000). Cara panas a. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes, 2000).
9 Universitas Sumatera Utara
b. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes, 2000). c. Digestasi Digestasi adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC (Depkes, 2000). d. Infus Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit (Ditjen POM, 1979). e. Dekoktasi Dekoktasi adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada waktu yang lebih lama yaitu ± 30 menit dan temperatur sampai titik didih air (Depkes, 2000).
2.3 Stres Oksidatif Stres didefinisikan sebagai mekanisme homeostasis untuk mendukung penyesuaian terhadap tantangan dari lingkungan, yang berpengaruh terhadap perkembangan dan stimulasi ekspresi yang diinduksi perubahan plastis pada fungsi otak dan tingkah laku (Bohus, dkk., 1995). Stres dapat berupa stres psikogenik atau neurognik. Stres psikogenik berasal dari keadaan yang bersifat psikologis. Sedangkan stres neurognik melibatkan stimulus yang bersifat fisik. Stresor merupakan kondisi yang dapat menimbulkan respon stres yaitu ketika
10 Universitas Sumatera Utara
individu harus mengerahkan seluruh potensi fisiologis maupun psikologis atau situasi yang dapat menyebabkan tekanan fisik maupun mental (Anisman & Merali, 1999). Dalam
merespon
stresor,
terjadi
perubahan
dalam
perilaku,
neurokimiawi, dan imunologis tubuh sesuai kapasitas penyesuaian diri. Namun jika penyesuaian diri tersebut tidak dapat dilakukan maka stresor dapat dengan mudah melahirkan keadaan yang bersifat patologi (Pasiak, 2005).
2.3 Radikal Bebas Radikal bebas adalah atom atau gugus yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan. Radikal bebas juga dijumpai pada lingkungan, beberapa logam (contohnya besi dan tembaga), asap rokok, obat, makanan dalam kemasan, bahan aditif, dan lain-lain (Droge, 2002; Stevi, dkk., 2012). Banyak dari molekul radikal bebas adalah spesies oksigen. Radikal bebas oksigen dan produk non radikalnya dikelompokkan dalam spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species (ROS)). Radikal bebas sangat reaktif, merupakan molekul yang tidak stabil dan bereaksi dengan cepat pada biomolekul melalui banyak jenis reaksi antara lain penangkapan hidrogen, donasi elektron dan penggunaan elektron bersama. Radikal bebas akan melepaskan elektron pada molekul sekitarnya untuk menghasilkan pasangan elektron agar menjadi molekul yang stabil (Maxwell dan Lip, 1997). Secara umum, sumber radikal bebas dapat dibedakan menjadi dua yaitu endogen dan eksogen. Radikal bebas endogen dapat terbentuk melalui autoksidasi, oksidasi enzimatik, fagositosis dalam respirasi, transport elektron di
11 Universitas Sumatera Utara
mitokondria dan oksidasi ion-ion logam transisi. Sedangkan radikal bebas eksogen berasal dari luar sistem tubuh, misalnya sinar UV. Di samping itu, radikal bebas eksogen dapat berasal dari aktifitas lingkungan. Aktifitas lingkungan yang dapat memunculkan radikal bebas antara lain radiasi, polusi, asap rokok, makanan, minuman, ozon dan pestisida (Rohmatussolihat, 2009).
2.4 Antioksidan Antioksidan adalah zat yang memperlambat atau menghambat stress oksidatif pada molekul target. Antioksidan melindungi molekul target antara lain dengan cara (Priyanto, 2009): - Menangkap radikal bebas dengan menggunakan protein atau enzim (sebagai katalis) atau bereaksi langsung. - Mengurangi pembentukan radikal bebas dengan merubahnya menjadi radikal bebas yang kurang aktif atau merubahnya menjadi senyawa non radikal (SOD, GSH-Px /glutation peroksidase, katalase). - Mengikat ion logam yang dapat menyebabkan timbulnya reaksi Fenton yang menghasilkan radikal bebas (seruloplasmin, transferin). - Melindungi komponen sel utama yang menjadi sasaran radikal bebas (vitamin E dan C, sebagai donor elektron). - Memperbaiki target organ dari radikal bebas yang telah rusak. - Menggantikan sel yang rusak dengan sel baru (protease, fosfokinase). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu antioksidan primer, antioksidan sekunder dan antioksidan tersier (Winarsi, 2007).
12 Universitas Sumatera Utara
1. Antioksidan Primer Antioksidan primer disebut juga antioksidan endogenus atau antioksidan enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase (GSH-Px). Superoksida dismutase bekerja dengan cara mengkatalisis reaksi dismutasi dari radikal anion superoksida menjadi H2O2, sedangkan katalase dan glutation bekerja dengan cara mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2 (Winarsi, 2007). Tubuh dapat menghasilkan enzim antioksidan yang aktif bila didukung oleh nutrisi pendukung atau mineral yang disebut kofaktor, diantaranya tembaga, seng, selenium, mangan dan besi. Enzim ini memiliki berat molekul 30.000 atau lebih (Evans, dkk., 1991). 2. Antioksidan Skunder Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau antioksidan non-enzimatis. Perbedaan utama antioksidan primer dengan sekunder adalah antioksidan sekunder tidak mengubah radikal bebas menjadi molekul yang lebih stabil. Fungsi antioksidan sekunder adalah meningkatkan aktivitas antioksidan primer. Antioksidan sekunder berperan sebagai chelator untuk ion logam (metal deactivator), menon-aktifkan singlet oxygen, menyerap radiasi ultraviolet, atau berperan sebagai oxygen scavanger (Ayucitra, dkk., 2011). Antioksidan non-enzimatis dapat berupa antioksidan alami maupun sintesis. Senyawa antioksidan alami pada umumnya berupa vitamin C, vitamin E,
13 Universitas Sumatera Utara
karotenoid, senyawa fenolik, dan polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanol, dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain (Kumalaningsih, 2006; Prakash, 2001). Sedangkan antioksidan sintetik yang umum digunakan misalnya butil hidroksianisol (BHA), butil hidroksitoluen (BHT), propil galat (PG), and tert-butilhidrokuinon (TBHQ) yang digunakan pada konsentrasi rendah dalam makanan (Shahidi dan Zhong, 2005). 3. Antioksidan Tersier Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas (Winarsi, 2007). 2.5 Senyawa Polifenol Polifenol adalah kelompok zat kimia yang ditemukan sangat luas pada tanaman. Zat ini memiliki ciri khas yakni memiliki banyak gugus fenol pada molekulnya, dan berperan dalam memberi warna pada tumbuhan seperti warna daun saat musim gugur. Dari sejumlah penelitian pada tanaman obat dilaporkan bahwa banyak tanaman obat yang mengandung polifenol dalam jumlah besar. Efek antioksidan terutama disebabkan karena adanya senyawa fenol seperti flavonoid dan asam fenolat. Biasanya senyawa-senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan adalah senyawa fenol yang mempunyai gugus hidroksi yang tersubstitusi pada posisi ortho dan para terhadap gugus –OH dan –OR (Okawa, dkk., 2001).
14 Universitas Sumatera Utara
Flavonoid berperan dalam menghambat enzim yang bertanggung jawab dalam produksi radikal anion superoksida (O2-) seperti xantin oksidase dan protein kinase C. Disamping itu, flavonoid juga menghambat enzim siklooksigenase, lipooksigenase, monooksigenase mikrosom, glutation S-transferase dan NADH oksidase yang semuanya terlibat dalam pembentukan ROS (Pieta, 2000). 2.6 Superoksida Dismutase (SOD) SOD adalah antioksidan intraselular utama dalam sel aerobik. SOD berada di otak, hati, sel darah merah, ginjal, tiroid, testis, otot jantung, mukosa lambung, kelenjar pituitari, pankreas, dan paru-paru (Evans, 1991). SOD adalah metaloenzim yang mengkatalis dismutasi radikal anion superoksida (O2-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2) di dalam mitokondria. Selanjutnya H2O2 di dalam mitokondria akan mengalami detoksifikasi oleh enzim katalase menjadi senyawa H2O dan O2, sedangkan H2O2 yang berdifusi ke dalam sitosol akan didetoksifikasi oleh enzim glutation peroksidase (Pandey dan Rizvi, 2010).
Gambar 2.1 Mekanisme pertahanan antioksidan endogen Superoksida dismutase (SOD), Katalase (CAT), Glutation peroksidase (GPx) dan Glutation Reduktase (GR) terhadap radikal bebas (Pandey dan Rizvi, 2010).
15 Universitas Sumatera Utara
Ada 3 bentuk SOD yang terdapat pada manusia dimana ketiganya ditemukan dalam kompartemen tubuh yang berbeda. 1. Cu/Zn-SOD atau SOD1 Cu/Zn-SOD menggunakan copper atau zinc sebagai kofaktor. SOD1 ditemukan pada sitoplasma, nukleus dan intermembran mitokondria. Pada manusia, mutasi SOD1 bertanggung jawab pada penyakit neurodegeneratif (contohnya amyotrophic lateral sclerosis) yang dihubungkan dengan kerusakan oksidatif. Pada mencit, mutasi SOD1 berhubungan dengan peningkatan apoptosis dan kerusakan oksidatif protein. SOD1 mempunyai peran penting dalam pertahanan dan pertumbuhan sel dimana enzim ini terlibat dalam respon sel terhadap berbagai sumber stres (Afonso, 2007). Cu/Zn-SOD merupakan salah satu antioksidan endogen yang sangat berperan dalam mengkatalisasi radikal bebas anion superokside yang sangat reaktif menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen yang kurang reaktif. Cu/Zn-SOD dipercaya memainkan peranan utama dalam baris pertama pertahanan antioksidan (Mates, dkk., 1999). 2. Mn-SOD atau SOD2 SOD2 (Mn-SOD) menggunakan mangan sebagai kofaktor. SOD2 ditemukan dalam mitokondria dan mempunyai peran vital dalam perlindungan melawan spesies oksigen reaktif (ROS). Kekurangan SOD2 menyebabkan peningkatan kadar O2- pada mitokondria. Penurunan aktivitas SOD2 juga merupakan salah satu faktor resiko kardiomiopati (Alfonso, 2007). Pada jaringan, Mn-SOD terdapat satu setengah dari jumlah Cu/Zn SOD (Mates, dkk., 1999).
16 Universitas Sumatera Utara
3. EC-SOD (Extracellular-SOD) atau SOD3 Sama seperti Cu/Zn-SOD, EC-SOD menggunakan copper atau zinc sebagai kofaktor. SOD3 terutama ditemukan dalam kompartemen ekstraseluler (plasma, limfa, cairan serebrospinal dan cairan sendi). Mutasi SOD3 dapat meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular (Alfonso, 2007). 2.7 Histologi Histologi (Yun. Histo, jaringan, + logos, ilmu) adalah ilmu tentang jaringan tubuh dan cara jaringan ini menyusun organ-organ. Prosedur paling umum yang dipakai untuk mengamati jaringan adalah dengan membuat sediaan histologi yang dapat dipelajari dengan bantuan mikroskop cahaya. Di bawah mikroskop cahaya, jaringan diamati melalui transiluminasi (berkas cahaya yang menembus jaringan). Karena jaringan dan organ biasanya terlalu tebal untuk ditembus cahaya, jaringan tersebut harus diiris menjadi lembaran-lembaran tipis yang translusens (Junqueira dan Carneiro, 2003). Hati merupakan kelenjar terberat yang terdapat dalam tubuh yaitu sekitar 1,4 kg pada rata-rata tubuh orang dewasa dan juga merupakan organ terbesar setelah kulit.
Secara histologi, hati tersusun atas beberapa komponen yaitu
(Tortora dan Derrickson, 2011): 1. Hepatosit (hepat- = hati; -cytes = sel). Hepatosit merupakan sel fungsional utama dari hati dan melakukan beragam fungsi metabolik, sekretori dan endokrin. 2. Kanalikuli (kanal kecil) empedu (Bile canaliculi) merupakan saluran yang terletak antara hepatosit yang mengumpulkan empedu yang diproduksi oleh hepatosit.
17 Universitas Sumatera Utara
3. Sinusoid hepatika, merupakan pembuluh darah kapiler dengan permeabilitas tinggi, terletak antara deretan hepatosit yang menerima darah yang kaya oksigen dari cabang-cabang arteri hepatika dan darah yang kaya nutrisi dari vena porta hepatica.
Gambar 2.2 Histologi hati ( Tortora dan Derrickson, 2011). Sel-sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas membentuk struktur seperti labirin dan busa. Celah diantara lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebut sinusoid hati (Junquiera dan Carneiro, 2003). Kerusakan sel merupakan akibat dari ketidakmampuan adaptasi sel terhadap stres atau karena agen perusak. Kerusakan sel dapat berkembang ke
18 Universitas Sumatera Utara
tahap reversibel dan kematian sel. Kerusakan yang berkelanjutan akan berkembang ke tahap ireversibel dimana sel tidak dapat pulih dan kemudian mati. Kerusakan reversibel mempunyai dua bentuk utama yaitu pembengkakan sel dan perubahan lemak. Sedangkan kematian sel dapat berupa nekrosis dan apoptosis (Kumar, dkk., 2013). Degenerasi hidropik atau vacuolar degeneration merupakan salah satu bentuk kerusakan yang bersifat reversibel. Pada keadaan ini, sel mengalami pembengkakan karena akumulasi cairan dalam sel yang terjadi karena terganggunya pompa natrium kalium dalam pengaturan keluar masuknya ion pada sel (kurniawan, 2014). 2.8 Imunohistokimia Imunohistokimia adalah suatu teknik untuk mendeteksi keberadaan berbagai macam komponen yang terdapat di dalam sel atau jaringan dengan menggunakan prinsip reaksi ikatan antigen (Ag) dan antibodi (Ab). Teknik imunohistokimia dapat digunakan untuk mempelajari distribusi enzim spesifik serta mendeteksi keberadaan berbagai komponen aktif yang terdapat di dalam sel atau jaringan seperti protein dan karbohidrat (Furuya, dkk., 2004). Terdapat dua metode pewarnaan imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct) dan metode tidak langsung (indirect). Metode langsung hanya menggunakan satu antibodi, yaitu antibodi primer yang telah dilabel. Metode tidak langsung menggunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer tanpa dilabel dan antibodi sekunder yang telah dilabel (Polak dan VanNoorden, 2003). Namun metode tidak langsung lebih sering digunakan karena mempunyai tingkat sensitifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode langsung (Ramos dan Vara, 2005).
19 Universitas Sumatera Utara
Pada metode imunohistokimia langsung, antibodi harus diberi label yang sesuai. Sediaan jaringan diinkubasi dengan antibodi untuk beberapa waktu sehingga antibodi tersebut berinteraksi dan terikat pada protein x. Sediaan itu kemudian dibilas untuk menghilangkan antibodi. Sediaan dapat diamati dengan mikroskop cahaya atau elektron tergantung label yang dipakai (senyawa fluoresen, enzim, partikel emas muda) (Junqueira dan Carneiro, 2003). Metode imunohistokimia tak langsung lebih sensitif namun membutuhkan lebih
banyak
langkah
(Junqueira
dan
Carneiro,
2003).
Pada
metode
imunohistokimia tak langsung, antibodi yang digunakan untuk mendeteksi suatu marker pada sel tidak dilabel. Antibodi ini dikenal dengan sebutan antibodi primer. Namun pada metode ini bukan berarti tidak membutuhkan antibodi yang berlabel. Hal ini tetap dibutuhkan tetapi yang dilabel adalah anti imunoglobulin atau yang dikenal dengan antibodi sekunder (Sudiana, 2005). 2.9 Spektrofotometer visibel Prinsip kerja spektrofotometer visibel adalah sinar/cahaya dilewatkan melalui sebuah wadah (kuvet) yang berisi larutan, dimana akan menghasilkan spektrum. Sebagian dari cahaya tersebut akan diserap dan sisanya akan dilewatkan. Nilai absorbansi dari cahaya yang dilewatkan akan sebanding dengan konsentrasi larutan di dalam kuvet. Alat ini menggunakan hukum Lambert Beer sebagai acuan (Ewing, 1957). Spektrofotometer pada dasarnya terdiri atas sumber sinar monokromator, tempat sel untuk zat yang diperiksa, detektor, penguat arus dan alat ukur atau pencatat. Panjang gelombang untuk sinar ultraviolet antara 200-400 nm sedangkan panjang gelombang untuk sinar tampak/visibel antara 400-750 nm (Rohman, 2007).
20 Universitas Sumatera Utara