2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. LAMUN Dalam dunia tumbuhan, lamun dipandang sebagai kelompok flora yang unik. Dianggap demikian, karena lamun merupakan satu-satunya kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang mampu beradaptasi sepenuhnya untuk hidup di dalam perairan dengan salinitas yang tinggi. Lamun (seagrass) tergolong tumbuhan tingkat tinggi karena memiliki akar, batang/rhizoma (terbenam di dasar substrat), daun dan bunga sejati. Selain itu, batang lamun juga dilengkapi dengan jaringan pembuluh yang mengangkut sari-sari makanan serta berbiak dengan tunas dan biji (Hemminga dan Duarte, 2000). Lamun umumnya tumbuh di perairan dangkal yang agak berpasir. Sering pula dijumpai di daerah terumbu karang. Kadang-kadang membentuk komunitas yang lebih besar hingga menyerupai padang (seagrass bed) dalam dimensi yang cukup luas. Lamun dapat pula membentuk suatu sistem ekologi yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik yang disebut ekosistem lamun (seagrass ecosystem) (Nontji, 2002). Sebagai hasil dari proses adaptasi terhadap faktor lingkungan, ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologi yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem lainnya yang ada di wilayah pesisir.
Beberapa ciri khusus dari
ekosistem lamun antara lain: 1. Terdapat di daerah perairan pantai yang landai, terutama di dataran berpasir/berlumpur; 2. Dapat tumbuh dengan baik hingga batas terendah dari daerah pasang surut yang berada dekat hutan bakau atau di daerah rataan terumbu karang; 3. Dapat bertahan hidup hingga kedalaman 30 meter di daerah perairan yang tenang dan terlindung; 4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan; 5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam ke dalam air (termasuk daur generatif); 6. Dapat hidup di dalam media air bersalinitas tinggi; 7. Memiliki sistem perakaran yang berkembang baik.
2.1.1 Karakteristik Morfologi Bentuk vegetatif lamun umumnya hampir serupa dan memperlihatkan tingkat keseragaman yang tinggi. Hampir semua genera mempunyai rhizome yang berkembang baik dan bentuk daun yang memanjang (linear) dan berbentuk sangat panjang seperti ikat pinggang, kecuali pada genus Halophila yang berbentuk bulat telur (Gambar 1). Bentuk pertumbuhan, sistem percabangan dan struktur anatomi memperlihatkan keanekaragaman yang jelas dan menjadi ciri yang digunakan untuk membedakan antara jenis lamun yang satu dengan jenis lamun yang lain. Lamun juga memiliki sistem pembuluh sebagaimana halnya dengan rumput yang tumbuh di darat. Hanya saja, lamun tidak memiliki stomata.
Gambar 1. Morfologi Lamun (Sumber: den Hartog, 1970)
Akar Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antara jenis lamun yang dapat digunakan untuk taksonomi. Bila dibandingkan dengan tumbuhan darat, akar dan akar rambut lamun tidak berkembang dengan baik. Namun, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa akar dan rhizoma lamun memiliki fungsi yang sama dengan tumbuhan darat. Akar-akar halus yang tumbuh di bawah permukaan rhizoma, dan memiliki adaptasi khusus (misalnya:
aerenchyma, sel epidermal) terhadap lingkungan perairan. Semua akar memiliki pusat stele yang dikelilingi oleh endodermis. Stele mengandung phloem (jaringan transport nutrien) dan xylem (jaringan yang menyalurkan air) yang sangat tipis. Karena akar lamun tidak berkembang baik untuk menyalurkan air maka dapat dikatakan bahwa lamun tidak berperan penting dalam penyaluran air. Di antara banyak fungsi, akar lamun merupakan tempat menyimpan oksigen untuk proses fotosintesis yang dialirkan dari lapisan epidermal daun melalui difusi sepanjang sistem lakunal (udara) yang berliku-liku. Sebagian besar oksigen yang disimpan di akar dan rhizoma digunakan untuk metabolisme dasar sel kortikal dan epidermis seperti yang dilakukan oleh mikroflora di rhizospher. Beberapa lamun diketahui mengeluarkan oksigen melalui akarnya (Halophila ovalis), sedangkan spesies lain (Thallassia testudinum) terlihat menjadi lebih baik pada kondisi anoksik. Larkum et al. (1989) menekankan bahwa transport oksigen ke akar mengalami penurunan tergantung kebutuhan metabolisme sel epidermal akar dan mikroflora yang berasosiasi. Melalui sistem akar dan rhizoma, lamun dapat memodifikasi sedimen di sekitarnya melalui transpor oksigen dan kandungan kimia lain. Kondisi ini juga dapat menjelaskan jika lamun dapat memodifikasi sistem lakunal berdasarkan tingkat anoksia di sedimen. Dengan demikian pengeluaran oksigen ke sedimen merupakan fungsi dari detoksifikasi yang sama dengan yang dilakukan oleh tumbuhan darat. Kemampuan ini merupakan adaptasi untuk kondisi anoksik yang sering ditemukan pada substrat yang memiliki sedimen liat atau lumpur. Karena akar lamun merupakan tempat untuk melakukan metabolisme aktif (respirasi) maka konsentrasi CO2 di jaringan akar relatif tinggi. Rhizoma dan Batang Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung dari susunan saluran di dalam stele. Rhizoma, bersama sama dengan akar, menancapkan tumbuhan ke dalam substrat. Rhizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar serta berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga. Pada buku tumbuh pula akar dan rhizoma sehingga tumbuhan tersebut dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut sehingga tahan terhadap hempasan gelombang dan arus.
Daun Meskipun memiliki bentuk umum yang hampir sama, spesies lamun memiliki morfologi khusus dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat tinggi. Beberapa bentuk morfologi sangat mudah terlihat yaitu bentuk daun, bentuk puncak daun, keberadaan atau ketiadaan ligula. Sebagai contoh puncak daun Cymodocea serrulata berbentuk lingkaran dan berserat, sedangkan Cymodocea rotundata datar dan halus. Daun lamun terdiri dari dua bagian yang berbeda yaitu pelepah dan daun. Pelepah daun menutupi rhizoma yang baru tumbuh dan melindungi daun muda. Tetapi genus Halophila yang memiliki bentuk daun petiolate tidak memiliki pelepah. Pada daun lamun ketiadaan stomata digantikan oleh tipisnya lapisan kutikula pada permukaan daun. Kondisi ini mempermudah penyerapan nutrisi yang terdapat di dalam air dapat langsung disalurkan kepada sel-sel fotosintesa tanpa harus melalui sistem perakaran. 2.1.2 Jenis Lamun Pemilahan
untuk klasifikasi jenis-jenis lamun lebih ditekankan pada
karakteristik dari daun, rimpang dan akarnya. Selain itu, genera di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda sehingga pembedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi. Klasifikasi jenis lamun yang ada di Indonesia (den Hartog, 1970) adalah sebagai berikut : Divisi : Anthophyta Kelas : Monocotyledonae Suku : Potamogetonaceae Marga : Cymodoceae, Halodule, Syringodium, Thalassodendron Suku : Hydrocharitaceae Marga : Enhalus, Halophila, Thalassia Menurut Kiswara (1997) di dunia ada 58 jenis lamun yang terdiri dari empat suku (family) yaitu Cymodoceae (17 jenis), Posidoniaceae (9 jenis), Hydrocharitaceae (15 jenis) dan Zosteraceae (17 jenis). Dari seluruh jenis lamun di dunia, di perairan Indonesia dijumpai 13 jenis lamun yang termasuk ke dalam 2
suku yaitu Potamogetonaceae (6 jenis), dan Hydrocharitaceae (6 jenis). Satu spesies
diantaranya
hanya
terdapat
di
Indonesia
Timur,
yaitu
jenis
Thallassodendron ciliatum dan dua spesies lainnya yaitu Halophila spinulosa hanya terdapat di kepulauan Riau, Anyer, Baloran Utara dan Irian, sedangkan Halophila decipiens hanya terdapat di Teluk Jakarta, Teluk Sumbawa dan Kepulauan Aru (den Hartog, 1970). Berbagai bentuk pertumbuhan berbagai jenis lamun terlihat mempunyai kaitan dengan perbedaan habitatnya (Den hartog, 1977 dalam Kiswara, 1985). Parvososterid dan Halophylid dapat ditemukan pada hampir semua habitat, mulai dari dasar pasir kasar sampai lumpur yang lunak, mulai dari daerah pasang surut sampai ke tempat yang cukup dalam dan mulai dari laut terbuka sampai estuaria. Bahkan Halophila telah didapatkan dari kedalaman 90 meter. Magnozosterid dapat dijumpai pada berbagai habitat, tetapi lebih terbatas pada daerah sublitoral. Lamun tersebut memasuki daerah dangkal tetapi lebih terbatas sampai batas air surut rata-rata perbani. Batas kedalaman sebagian besar spesiesnya yaitu 10 sampai 12 meter, tetapi pada perairan yang sangat jernih dapat dijumpai pada tempat yang lebih dalam. Enhalid dan Amphibolid juga terbatas pada bagian atas dari sublitoral, tetapi dengan beberapa perkecualian. Posidonia oseania dapat mencapai kedalaman paling sedikit 60 meter. Kisaran kedalaman dimana phyllospadix hidup agak besar; dia hidup mulai litoral bawah sampai kedalaman 30 meter. Thalassodendron ciliatum dilaporkan pernah ditemukan tumbuh pada kedalaman 30 meter. Enhalid dan Amphibolid hidup pada substrat pasir dan karang, kecuali Enahalus acoroides. Hal serupa dikatakan oleh Romimohtarto dan Juwana (2001) bahwa ada tiga marga yang banyak kita jumpai di perairan pantai yaitu Halophila, Enhalus dan Cymodocea. Halophila ovalis banyak terdapat di pantai berpasir, di paparan terumbu, dan di dasar pasir dari paras pasut rata-rata sampai batas bawah dari mintakat pasut. Enhalus acoroides adalah tumbuhan lamun yang banyak terdapat di bawah air surut rata-rata pada pasut purnama pada dasar pasir lumpuran. Enhalus tumbuh subur pada tempat yang terlindung di pinggir bawah dari mintakat pasut dan di batas atas mintakat bawah-litoral, sedangkan Cymodocea rotundata merupakan jenis lamun yang banyak di temukan pada daerah di bawah
air surut rata-rata pada pasut purnama pada pantai pasir dan pasir lumpuran (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Berdasarkan potensi sistem padang lamun dalam ekosistem perairan yang begitu baik, maka tentu saja sistem ini perlu dilindungi dari semua faktor yang mempengaruhinya. Ada beberapa faktor yang diketahui sangat mempengaruhi kelangsungan hidup tumbuhan laut, diantaranya adalah penetrasi cahaya matahari, suhu air dan salinitas (Supriharyono, 2000). Dahuri et al. (2001) menambahkan bahwa distribusi dan stabilitas ekosistem padang lamun bergantung pada beberapa faktor seperti kecerahan, temperatur, salinitas, substrat dan kecepatan arus perairan. 2.1.3 Fungsi dan Peran Lamun Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem di laut dangkal yang paling produktif, karena dapat berperan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan jasad hidup di laut dangkal. Menurut beberapa hasil penelitian diketahui bahwa peranan lamun di lingkungan perairan laut dangkal sebagai berikut. 2.1.3.1 Produktivitas Primer Lamun mempunyai tingkat produktivitas primer tertinggi di ekosistem pesisir. Produktivitas primer lamun dapat mencapai 2,7 gC m¯2hr¯¹ (Hemminga dan Duarte 2000). Di Pulau Barrang Lompo, produktivitas total lamun Enhalus acoroides mencapai 12,083 g m¯2hr¯² dan Thalassia hemprichii sekitar 16,391 gC m¯2hr¯¹ (Supriadi, 2002). Tingginya produktivitas lamun berkaitan erat dengan tingginya laju produktivitas organisme yang berasosiasi dengan padang lamun. Di lamun terdapat sejumlah hewan herbivora atau detrivora. Organisme yang berasosiasi dengan lamun memberikan kontribusi yang berbeda-beda. Menurut Asmus dan Asmus (1985) produktivitas primer kotor lamun sekitar 473 gCm¯2th¯¹ terdiri atas 1,79% berasal dari epifit dan 19% mikrofitobentos. Gacia et al. (2003) mengatakan bahwa partikel tersuspensi yang terendap di lamun rata-rata <200 gCm¯2hr¯¹ dan mengandung bahan organik sekitar <18%. Danovaro et al. (2002), sedimen di lamun mengandung bahan organik, konsentrasi kloropigmen dan
biomassa bakteri yang tinggi. Lamun dapat memproduksi sekitar 65-85 % bahan organik dalam bentuk detritus dan disumbangkan ke perairan sebanyak 10-20% (Fachruddin, 2002). Di ekosistem lamun, konsumen umumnya polikhaeta dan moluska (kerangkerangan), yang bertindak sebagai herbivora dan dekapoda (kepiting) yang bertindak sebagai karnivora. Keberadaan organisme tersebut memungkinkan ekosistem lamun mempunyai potensi yang cukup besar dalam menunjang produksi perikanan di wilayah pesisir. Dengan demikian, lamun merupakan habitat yang baik bagi beberapa jenis biota laut khususnya nekton, dan merupakan stok bagi daerah fishing ground. Rantai makanan dalam padang lamun dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Rantai makanan dalam ekosistem lamun (Fortes, 1989). Mekanisme lamun dalam mempertahankan produktivitasnya yang tinggi di perairan oligotrofik dimulai dengan peningkatan pengendapan dan retensi sedimen, diikuti dengan peningkatan mineralisasi, setelah itu barulah dimulai penyerapan nutrisi oleh lamun (Evrald et al. 2005). Oleh karena itu, peningkatan kepadatan kanopi lamun sangat penting guna meningkatkan kemampuan lamun memerangkap partikel tersuspensi (seston) dan memyiapkan penyimpanan biomassa yang akan digunakan (Baron et al. 2006). Menurut Agawin dan Duarte (2002), dari sekitar 70% partikel tersuspensi yang terperangkap di lamun, sekitar
5% secara fisik menempel pada permukaan daun. Partikel tersebut juga berasal dari pencernaan protozoa (ciliata dan amuba) yang tinggal di permukaan daun. 2.1.3.2 Mengurangi Gerakan Air Lamun dapat pula berperan untuk mengurangi gerakan air, sehingga di bagian bawah air menjadi tenang. Kemampuan lamun dalam mengurangi gerakan air tergantung pada kepadatan dan ketinggiannya. Sebagaimana pendapat Komatsu et al. (2004) bahwa Enhalus acoroides lebih besar berperan dalam mengurangi gerakan air dibandingkan dengan Thallasia hemprichii. Pendapat tersebut diperkuat oleh Folkard (2005) bahwa bentuk lamun dapat mengurangi gerakan air. Penelitian untuk melihat pengaruh kerapatan lamun dalam mengurangi gerakan arus telah banyak dilakukan. Salah satunya dengan menggunakan lamun buatan (artifisial). Jika dibandingkan antara lamun alami dan artifisial, maka padang lamun
artifisial mempunyai persamaan dengan padang lamun alami
dalam proses sedimentasi, dimana keduanya dapat meredam gerakan air dan menjebak bahan-bahan yang tersuspensi dalam massa air, sehingga dapat mengendapkan bahan tersuspensi tersebut, dan lama-kelamaan pengendapan bahan tersuspensi ini dapat menimbulkan akumulasi sedimen yang berukuran halus pada areal padang lamun. Perbedaan antara padang lamun alami dan padang lamun artifisial dalam proses sedimentasi adalah terletak pada adanya kemampuan padang lamun alami mengakumulasi material-material yang terendapkan menjadi substrat sekaligus menstabilkannya, sebab padang lamun alami mempunyai struktur perakaran yang berkembang dan saling menyilang. Padang lamun artifisial sekalipun mampu mengakumulasi material-material yang mengendap, tetapi tidak mampu menstabilkannya, karena lamun artifisial tidak mempunyai sistem perakaran, sehingga diduga bahwa akumulasi sedimen pada dasar perairan di padang lamun artifisial lebih kecil. Hal ini disebabkan bahan-bahan yang telah mengendap di padang lamun artifisial dapat terangkut lagi oleh gerakan air. Jadi, peran lamun alami dalam mengurangi kecepatan arus dan proses pengendapan partikel tersuspensi sangat penting.
Peran lamun dalam mengurangi gerakan air sangat menguntungkan lamun itu sendiri dan organisme yang hidup di dalamnya. Umumnya gerakan air mempunyai pengaruh yang kuat terhadap metabolisme dan daya tahan fisik lamun terhadap lingkungan serta berpengaruh pula pada sedimentasi dan resuspensi (Gacia dan Duarte 2001). Resuspensi berkurang dan perairan menjadi jernih, sehingga dapat dikatakan bahwa lamun dapat mengurangi erosi di wilayah pesisir. 2.1.3.3 Habitat Organisme Tingginya produktivitas organik dan perairan di sekitarnya yang menjadi tenang, mengakibatkan banyak organisme yang menjadikan lamun sebagai tempat tinggal sementara (juvenil) maupun dewasa. Ada pula beberapa organisme memanfaatkan lamun sebagai tempat mencari makan, tumbuh besar dan memijah. Organisme yang ditemukan di lamun, antara lain berbagai ikan herbivora, ikan karang, penyu, dugong, gastropoda, krustasea, polikhaeta, dan ekhinodermata. Sistem rhizoma dan akar lamun dapat mengikat dan menstabilkan permukaan sedimen, sehingga lamun tumbuh kokoh di dasar perairan. Dasar perairan yang stabil sangat menguntungkan bagi organisme yang hidup di dasar, seperti makrozoobentos. Adapun daun lamun yang ada di kolom air dapat menjadi tempat berlindung dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (alga) serta dapat menutupi organisme yang ada di lamun dari panas matahari. Betapa besar manfaat yang diperoleh organisme yang hidup di lamun. Hal ini didukung oleh Fredriksen et al. (2010) yang mengatakan bahwa organisme yang ditemukan di padang lamun dua kali lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang tidak memiliki lamun. Keterkaitan lamun dengan populasi ikan menjelaskan tentang peranan lamun sebagai tempat ikan mencari makan. Dalam hal ini lamun di lingkungan pesisir dalam kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan plankton yaitu: mensuplai makanan dan zat hara ke ekosistem perairan, membentuk sedimen dan berinteraksi dengan terumbu karang, memberikan tempat untuk berasosiasinya berbagai flora dan fauna dan mengatur pertukaran air (Fortes 1989). Selain ikan bernilai ekonomi, banyak pula organisme lain yang ditemukan di lamun.
Ikan-ikan karang yang berada di padang lamun adalah penghuni sementara/transit untuk mencari makan. Sementara ikan-ikan yang merupakan penghuni penuh di padang lamun dan menjadikan padang lamun sebagai tempat tinggal, yaitu jenis ikan dari famili Gerreidae dan Siganidae 2.2. PERIFITON Perifiton adalah komunitas organisme yang
hidup di atas atau sekitar
substrat yang tenggelam. Menurut Weitzel (1979) perifiton terdiri dari mikroflora yang tumbuh pada semua substrat tenggelam. Struktur komunitas perifiton dari setiap perairan dapat beragam. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan antara lain intensitas cahaya matahari, tipe substrat, kondisi lokasi, kedalaman dan arus. Selain itu, dipengaruhi juga oleh struktur komunitas lamun itu sendiri. Kerapatan dan penutupan lamun mempengaruhi keberadaan dan kepadatan perifiton. Hal ini disebabkan karena berhubungan erat dengan kestabilan substrat (daun lamun) dari pengaruh pencucian dan sirkulasi air serta kebebasan perifiton dalam memperoleh cahaya matahari untuk kebutuhan fotosintesis. Berdasarkan cara tumbuhnya, perifiton dibedakan menjadi epi-, bila perifiton menempel pada substrat dan endo- bila perifiton tersebut menembus substrat. Berdasarkan substrat penempelannya, perifiton dapat dibedakan atas (Weitzel, 1979): a.
Epipelik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan sedimen.
b.
Epilitik, yang menempel pada permukaan batuan.
c.
Epizoik, yang menempel pada permukaan hewan
d.
Epifitik, yang menempel pada permukaan tumbuhan
e.
Episamik, yang hidup dan bergerak di antara butir-butiran pasir. Keberadaan dan kepadatan perifiton sangat dipengaruhi oleh kerapatan dan
penutupan lamun, karena berhubungan erat dengan kestabilan substrat (daun lamun) dari pengaruh pencucian dan sirkulasi air serta kebebasan perifiton dalam memperoleh cahaya matahari untuk kebutuhan fotosintesis. Panjang dan kerapatan lamun dapat mempengaruhi sebaran dan kelimpahan biota yang berasosiasi
dengan lamun, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan padang lamun sangat menentukan distribusi dan kelimpahan biotanya. Komposisi perifiton pada daun lamun sangat dipengaruhi oleh morfologi, umur dan letak atau tempat hidup lamunnya. Lamun dengan tipe daun yang besar akan lebih disukai daripada lamun yang mempunyai daun lebih kecil, karena lamun dengan morfologi yang lebih besar (kuat) akan mempunyai kondisi substrat yang lebih stabil. Juga dengan umur lamun, pada lamun yang lebih tua komposisi dan kepadatan perifiton akan berbeda dengan lamun yang lebih muda karena proses penempelan dan pembentukan koloni perifiton memerlukan waktu yang cukup lama (Borowitzka dan Lethbridge, 1989; Russel, 1990 dalam Zulkifli, 2000). Linkeus (1963), Borowitzka dan Lethbridge (1989) dan Russel (1990) dalam Zulkifli (2000) menyatakan adanya hubungan antara penyebaran algae epifit dengan tegakan permukaan pada lamun. Koloni algae epifit yang lebih besar terdapat pada lamun yang dapat berasosiasi dengan cahaya, sedangkan adanya perbedaan koloni pada sisi daun dan lamina mungkin dapat dihubungkan dengan pergerakan air di sekitar lamun tersebut. 2.3. PARAMETER FISIKA-KIMIA LINGKUNGAN 2.3.1 Derajat Keasaman (pH) Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasahan. Nilai pH dipengaruhi oleh kapasitas penyangga (buffer), yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat yang di kandungnya. Perairan dengan pH kurang dari 6 akan menyebabkan organisme bentik dan larva tidak dapat hidup dengan baik, bahkan jika mencapai pH 4 dapat mematikan organisme yang hidup di perairan normal. Menurut Odum (1973) perubahan pH pada perairan laut biasanya sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh adanya turbulensi massa air yang selalu menstabilkan kondisi perairan. 2.3.2 Suhu Suhu merupakan faktor amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena
suhu
dapat
mempengaruhi
aktivitas
metabolisme
ataupun
perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut. Kisaran suhu optimal bagi
spesies lamun adalah 28⁰C-30⁰C. bagi lamun suhu mempengaruhi proses-proses fisiologis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Proses-proses fisiologi ini akan menurun tajam bila suhu lingkungan di luar kisaran di atas (Dahuri et al. 2001). 2.3.3 Kecepatan Arus Kecepatan arus perairan berpengaruh pada produktivitas primer padang lamun. Aliran air akan meningkatkan uptake CO2 dan nutrien pada permukaan melalui modifikasi turbulensi oleh kanopi padang lamun (Larkum et al., 1989). Menurut Welch et al. (1980) dalam Erina (2006) dari segi biomassa dan produksi perifiton, akumulasi biomassa lebih cepat pada perairan berarus cepat, tetapi total biomassa cenderung seimbang baik pada perairan berarus cepat maupun lambat. Kecepatan arus dapat pula mempengaruhi fotosintesis dan penyerapan nutrien di sekitar padang lamun (Abdelrhman, 2003). Albeson dan Danny (1997) menambahkan bahwa kecepatan arus dapat mempengaruhi sukses tidaknya propagul dan larva menetap 2.3.4 Salinitas Perubahan salinitas akan mempengaruhi keseimbangan di dalam tubuh organisme melalui perubahan berat jenis air dan perubahan tekanan osmosis. Semakin tinggi salinitas, semakin besar tekanan osmosis, sehingga organisme harus memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan salinitas sampai batas tertentu melalui mekanisme osmoregulasi. Lamun memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar terhadap salinitas antara 10-40%o. Penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan
fotosintesis
lamun.
Penurunan
salinitas
menyebabkan
laju
fotosintesis dan pertumbuhan lamun menurun dan berpengaruh terhadap perkecambahan dan pembentukan bunga lamun (MacRoy dan McMillan, 1977 dalam Zulkifli, 2000). Peningkatan salinitas dapat menurunkan kelimpahan perifiton (Kendrick, 1987 dalam Borowitzka dan Lethbridge, 1989).
2.3.5 Nitrat dan Orthofosfat
Perkembangan perifiton sebagai komponen biota autotrof, dipengaruhi oleh ketersediaan unsur-unsur hara di perairan. Unsur-unsur hara yang penting di perairan adalah nitrat dan fosfat. Peningkatan kandungan nitrogen bersama-sama dengan fosfor akan meningkatkan pertumbuhan algae dan tumbuhan air (Horner dan Welch, 1981 dalam Erina, 2006). Menurut Hamid (1996) dalam Erina (2006) di daerah perairan tropis khusunya Indonesia, perairannya sangat jernih dan penetrasi cahaya sampai ke dasar perairan sehingga pertumbuhan dan produksi lamun di perairan ini sangat ditentukan oleh ketersediaan unsur N dan P, perkembangan lamun ditentukan oleh ketersediaan nitrogen. Phillips dan Menez (1988) menyatakan bahwa di air nitrogen tersedia dari 3 sumber, yaitu nitrogen yang terdapat pada sedimen, nitrogen di kolom air, dan hasil fiksasi nitrogen. Lamun sebagian besar memanfaatkan unsur N dan P di air antara, sebaliknya fitoplankton, epifit, mikro dan makro alga serta bakteri bentik hanya memanfaatkan N dan P dalam kolom air, maka komponen produksi primer padang lamun tersebut bukan merupakan saingan bagi lamun dalam memanfaatkan unsur hara N dan P. 2.4. Gambaran Umum Pulau Pari Gugus Pulau Pari merupakan salah satu bagian dari Kepulauan seribu dan tersusun dari lima buah pulau kecil, yaitu Pulau Pari, Pulau tengah, Pulau Kongsi, Pulau Tikus, dan Pulau Burung masing-masing dipisahkan oleh beberapa buah Goba. Pulau Pari merupakan pulau terbesar dari ke lima pulau penyusun Gugus pulau Pari. Panjangnya sekitar 2,5 km dan lebar bagian terpendek sekitar 60 m dan bagian terpanjangnya sekitar 400 m (Kiswara, 1992). Secara geografis, Gugus Pulau Pari terletak pada posisi 5⁰50’20” LS - 5⁰50’25” LS dan 106⁰34’30” BT 106⁰38’20” BT. Perairan gugus Pulau Pari memiliki tipe perairan dangkal pesisir dengan kedalaman berkisar antara 15-40 meter. Termasuk perairan pedalaman semi terbuka yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan pesisir di sepanjang Teluk Jakarta dan Utara Banten serta gerakan massa air dari Laut Cina selatan dan Timur Indonesia. Tipe perairan ini sangat dipengaruhi oleh substrat dasar
perairan, kondisi lokal geologisnya dan pengaruh aktifitas pengembangan di daratan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Tipe perairan gugus Pulau Pari telah memberikan karakteristik pola oseanografi secara lokal antara lain pola arus, gelombang dan pasut serta kondisi oseanografi lainnya. Pola arus secara umum menjadi bagian pola arus Perairan Indonesa yaitu sangat terpengaruh oleh Musim yaitu Musim Barat dan Musim Timur dan peralihan di antaranya. Secara umum arus yang melewati perairan Pulau Pari memiliki kecepatan rata-rata 20-40 cm s¯¹ dan dipengaruhi oleh musim baik kecepatan maupun arahnya. Pada Musim Barat kecepatan arus cenderung lebih tinggi sedangkan pada Musim Timur terjadi penurunan berkisar antara 12-64 cm s¯¹. Pasang surut merupakan gerakan massa air secara teratur yang disebabkan oleh adanya gaya tarik bulan dan matahari. Tipe pasut di Pulau Pari adalah diurnal (tipe harian tunggal) dimana daerah ini mengalami satu kali pasang tinggi dan satu kali surut rendah dalam satu hari (Pariwono et al., 1996). Salinitas berkisar 30,2‰–36,7‰ dan temperatur berkisar 26,7⁰C–32,9⁰C, sehingga dari data lingkungan di atas menunjukkan kualitas perairan di Pulau Pari termasuk ke dalam kisaran optimum bagi spesies lamun (Azkab, 1994). Substrat dasar di perairan Pulau Pari berupa pasir, pasir berlumpur dan pasir berkarang dan kedalaman yang dangkal di perairan Pulau Pari memungkinkan kecerahan perairan dapat mencapai 100% (Kiswara, 1992). Vegetasi lamun tersebar di wilayah Gugus Pulau pari dengan kedalaman kurang dari 2 meter dengan kondisi arus yang tenang (Kiswara, 1992). Perairan Pulau Pari dikelilingi oleh padang lamun dengan jenis yang bermacam-macam, seperti : Cymodoceae rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Thallassia hemprichi. Penelitian dilakukan di ekosistem lamun Pulau Pari bagian utara dan selatan. Jenis lamun yang mendominasi di bagian utara adalah Enhalus acoroides yang tumbuh sampai ke rataan terumbu Pulau Pari. Keadaan dasar dari daerah rataan terumbu umumnya berupa pasir lumpur. Sedangkan di bagian selatan ditemukan jenis lamun Cymodoceae rotundata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, dan Thallassia hemprichi.