BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi dan Konsep Umum Imunisasi adalah proses memicu sistem kekebalan tubuh seseorang secara
artifisial yang dilakukan melalui vaksinasi (imunisasi aktif) atau melalui pemberian antibodi (imunisasi pasif) (Peter, 2002). Vaksinasi adalah suatu tindakan dengan sengaja memberikan paparan pada suatu antigen berasal dari suatu patogen. Imunisasi aktif akan menstimulasi sistem imun host untuk menghasilkan antibodi dan respon imun selular untuk melindungi host dari agen penyebab. Imunisasi pasif dilakukan dengan cara memberikan antibodi yang dibentuk diluar tubuh host kedalam tubuh host (Ranuh, 2005) Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Kekebalan pasif bekerja cepat tapi tidak bertahan dalam waktu lama karena akan dimetabolisme tubuh (Matondang & Siregar, 2005)
2.2. Imunisasi Pada Remaja Pada usia sekolah dan remaja diperlukan vaksinasi ulang atau booster untuk hampir semua jenis vaksinasi dasar yang ada pada usia lebih dini. Masa tersebut sangat penting untuk dipantau dalam upaya pemerliharaan kondisi atau kekebalan tubuh terhadap berbagai macam penyakit infeksi yang disebabkan karena kuman, virus maupun parasit dalam perjalanannya menuju dewasa (Ranuh, 2005).
2.2.1.
Hepatitis B Hepatitis B adalah penyakit serius yang menyerang hati. Penyakit ini
disebabkan oleh virus Hepatitis B. Gejala Klinis yang muncul dalam jangka pendek adalah kurang nafsu makan, lelah, diare dan muntah, jaundice, sakit otot,
sendi dan perut. Gejala kronik adalah sirosis hepatis, dan kanker hati (Hadinegoro, 2005). 2.2.1.1. Jadwal Pemberian 1.
Hepatitis B tidak perlu diulang, namun ulangan hepatitis B (HepB-4) dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun, apabila titer pencegahan belum tercapai (serum anti HBs kurang dari 10 mlU/mL). Perhatikan dan catat untuk segera dilihat adanya peningkatan antibodi terhadapnya (IDAI, 2004 dalam Hadinegoro, 2005).
2.
Vaksin diberikan secara intramuskular dalam, untuk anak besar dan dewasa diberikan di regio deltoid (Pujiarto, 2005).
3.
HBIg (Hepatitis B Immune globulin) hanya diberikan pada kondisi paska paparan (needle stick injury, kontak seksual, bayi dari ibu VHB, terciprat darah ke mata atau mukosa). Pemberian HBIg ini memberikan proteksi jangka pendek 3-6 bulan (Pujiarto, 2005).
2.2.1.2. Kontraindikasi (CDC, 2007) 1.
Reaksi anafilaksis pada pemberian sebelumnya.
2.
Kehamilan dan laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB.
3.
Alergi berat terhadap Baker’s yeast atau komponen vaksin lainnya.
2.2.2.
Toksoid Difteria dan Tetanus (dT) Difteria adalah suatu penyakit akut yang bersifat toxin-mediated disease
dan disebabkan oleh kuman gram positif Corynebacterium diphteriae. Produksi toksin terjadi hanya bila kuman tersebut mengalami lisogenasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin. Tetanus adalah suatu penyakit akut, bersifat fatal disebabkan oleh eksotoksin bakteri Clostridium tetani. Clostridium tetani adalah bakteri gram positif, berbentuk batang, bersifat anaerobik, dan mampu menghasilkan spora berbentuk drumstick. Kuman ini sensitif terhadap suhu panas dan tidak bisa hidup dalam lingkungan beroksigen. Sebaliknya, spora tetanus sangat tahan panas, dan kebal terhadap beberapa antiseptik. Spora dapat tetap hidup dalam autoklaf
bersuhu 121ºC selama 10-15 menit. Kuman ini banyak tersebar dalam kotoran dan debu jalanan, usus dan tinja kuda, domba, anjing, kucing, tikus, dan lainnya. Kuman ini masuk melalui luka dan dalam suasana anaerobik, kemudian terjadi produksi toksin (tetanospasmin) dan menyebar melalui darah dan limfe. Toksin ini kemudian menempel pada reseptor sistem saraf. Gejala utama penyakit ini timbul akibat toksin tetanus mempengaruhi pelepasan neurotransmitter, yang berakibat penghambatan impuls inhibisi. Akibatnya terjadi kontraksi serta spastisitas otot yang tidak terkontrol, kejang dan gangguan sistem saraf autonom. 2.2.2.1. Jadwal Pemberian 1.
Menurut ADAI (2008), dT/TT diberikan sebanyak 1 dosis pada remaja usia 12 tahun yang sudah melengkapi vaksinasi DTP/DTaP. Dosis dT atau TT adalah 0,5 ml, diberikan secara intramuskular, pada daerah deltoid (Hadinegoro, 2005).
2.
Remaja yang memerlukan vaksin tetanus toksoid dalam manajemen luka harus diberikan dT jika remaja tersebut belum pernah mendapat dT. Jika Td tidak tersedia berikan TT (tetanus toksoid) (ACIP, 2009).
2.2.2.2. Reaksi KIPI Menurut CDC (2006) terdapat 3 jenis reaksi yang dapat dijumpai setelah vaksinasi pada remaja: 1.
Reaksi ringan berupa sakit, merah dan bengkak, demam ringan paling tidak 37ºC, sakit kepala, lelah, mual, muntah, diare, sakit perut, menggigil, sakit sendi, ruam, pembengkakan kelenjar getah bening regional.
2.
Reaksi sedang berupa demam lebih dari 38,8ºC, mual, muntah, diare, sakit perut, sakit kepala.
3.
Reaksi berat belum pernah dilaporkan terjadi pada remaja, tetapi pernah ditemukan pada orang dewasa. Reaksi ini berupa gangguan sistem saraf pusat.
4.
Selain reaksi lokal yang dijumpai pada tempat suntikan bisa juga dijumpai pembengkakan lengan yang ektensif dan reaksi Arthus. Reaksi Arthus adalah vaskulitis lokal yang terjadi karena adanya deposit
komples antigen-antibodi. Kompleks antigen-antibodi ini terjadi jika terdapat titer vaksin yang tinggi serta titer antibodi yang tinggi. Tandatanda reaksi Arthus adalah sakit, bengkak, indurasi, edema, perdarahan, dan nekrosis pada tempat suntikan. Gejala timbul 4-12 jam setelah vaksinasi (AAP, 2006).
2.2.2.3. Kontraindikasi (CDC, 2006) 1.
Reaksi anafilaksis pada pemberian sebelumnya, baik terhadap vaksin maupun komponennya.
2.
Alergi berat terhadap latex.
3.
Ensefalopati (koma atau kejang) dalam waktu 7 hari setelah vaksinasi.
4.
Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution), sebelum pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai, hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, kejang dalam 3 hari sesudahnya, reaksi Arthus, dan GuillainBarre Syndrome (Hadinegoro & Tumbelaka, 2005).
5.
Reaksi tipikal lokal yang sering dijumpai adalah sakit pada daerah injeksi, merah, indurasi, demam dan sakit kepala.
2.2.3.
Demam Tifoid Salmonella typhi, kuman patogen terhadap manusia, termasuk dalam
spesies salmonella menyebabkan infeksi invasif yang ditandai dengan deman, diare, toksemia, nyeri perut, konstipasi atau diare. Bila tidak diobati dapat menyebabkan perforasi usus, perdarahan, toksemia komplikasi lain (Rampengan, 2005). 2.2.3.1. Jadwal Pemberian 1.
Cara pemberian tiap hari 1, 3, dan 5 ditelan 1 kapsul vaksin 1 jam sebelum makan dengan minuman yang tidak lebih dari 37ºC. kapsul ke-4 diberikan pada hari ke-7 terutama bagi turis. Imunisasi ulangan dilakukan tiap 5 tahun.
2.
Jika vaksin tifus oral ini digunakan untuk booster dari vaksin parenteral yang kumannya dimatikan dengan pemanasan, maka dianjurkan pemberian lengkap 3-4 kapsul.
2.2.3.2. Efek Samping Dalam sebuah laporan yang dilakukan MMWR pada tahun 1994, ditemukan bahwa vaksin oral menimbulkan lebih sedikit reaksi ikutan daripada vaksin parenteral. Efek samping yang bisa dijumpai adalah rasa tidak nyaman pada daerah abdomen, mual, muntah, demam, sakit kepala, ruam dan urtika. 2.2.3.3. Kontraindikasi (Medline Plus, 2008) 1.
Alergi terhadap vaksin pada pemberian sebelumnya
2.
Pasien dengan sistem imun lemah tidak boleh diberikan vaksin oral, berikan vaksin parenteral. Yang termasuk dalam kategori ini adalah pasien dengan HIV, sedang menggunakan obat imunosupresan selama 2 minggu atau lebih, menderita kanker, sedang dalam pengobatan kanker dengan radioterapi atau obat-obatan.
3.
Tidak boleh diberikan dalam 24 jam setelah menggunakan antibiotik tertentu.
2.2.4.
Varisela Varisela (cacar air) adalah penyakit infeksi yang sangat menular
disebabkan oleh virus varisela-zoster. Cacar air merupakan fase akut invasi virus sedangkan herpes zoster merupakan reaktivasi fase laten (Satari, 2005). 2.2.4.1. Jadwal Pemberian 1.
Menurut (MMWR, 2010), pasien berusia 7-12 tahun dan pasien diatas 13 tahun yang belum pernah divaksin, berikan 2 dosis, atau berikan 1 dosis saja jika sebelumnya pasien sudah pernah divaksin satu kali.
2.
Untuk pasien usia 7-12 tahun, jarak minimun antara vaksinasi adalah 3 bulan. Tetapi bila vaksin diberikan sebelum 3 bulan, dengan jarak minimal 28 hari, maka tidak akan menjadi masalah (MMWR, 2010).
3.
Untuk pasien usia 13 tahun keatas, jarak minimum antara dosis adalah 28 hari (MMWR, 2010).
2.2.4.2. Reaksi KIPI (Satari, 2005) 1.
Reaksi dapat bersifat lokal, demam, dan ruam papul vesikel ringan.
2.
Pada individu imunokompromise reaksi lokal jarang terjadi, tetapi reaksi menyeluruh muncul lebih sering.
3.
Setelah penyuntikan vaksin, pada 1% individu imunokompromise dapat timbul varisela.
4.
Pada pasien leukemia yang divaksinasi dapat muncul ruam pada 40% kasus setelah vaksinasi dosis pertama, 4% diantaranya dapat terjadi varisela berat yang memerlukan pengobatan asiklovir.
2.2.4.3. Kontraindikasi (Satari, 2005) Vaksin tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung limfosit kurang dari 1200/ul atau adanya bukti defisiensi imun seluler seperti selama pengobatan induksi penyakit keganasan atau 3 tahun fase radioterapi, dan pasien yang mendapat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid (2mg/kgBB per hari atau lebih). Vaksin ini juga tidak boleh diberikan bagi pasien yang alergi pada neomisin atau gelatin. Wanita hamil tidak boleh diberikan vaksin ini, dan vaksinasi diberikan setelah melahirkan. Kehamilan harus ditunda 1 bulan setelah pemberian vaksin (CDC, 2008).
2.2.5.
Hepatitis A Infeksi virus hepatitis A (VHA) bersifat global dengan variasi demografis
sesuai dengan tingkat sanitasi dan sosial-ekonomi suatu negara. Indonesia merupakan daerah endemis virus hepatitis baik VHA maupun hepatitis B dan C (Hidayat & Pujiarto, 2005). Transmisi terjadi melalui penularan fekal-oral dalam bentuk penularan antar individu dan penularan melalui makanan dan minuman yang tercemar. Transmisi terjadi selama ekskresi virus di tinja masih berlangsung yaitu sejak 2-3 minggu sebelum sampai 8-19 hari sesudah gejala klinis muncul. Transmisi melalui kontak erat terbukti dengan penularan intrafamilial satu rumah, di tempat penitipan anak, di lembaga retardasi mental, di kalangan homoseksual. Meskipun
jarang, transmisi dapat pula terjadi di rumah sakit. Sedangkan transmisi antar anak sekolah jarang terjadi. 2.2.5.1. Jadwal Pemberian 1.
Vaksin ini direkomendasikan kepada anak berusia diatas 23 bulan yang tinggal di daerah endemis, kepada pasien resiko tinggi tertular dan pasien yang memerlukan kekebalan terhadap hepatitis A (MMWR, 2010).
2.
Vaksin diberikan sebanyak 2 dosis dengan jarak 6 bulan (MMWR, 2010). Setelah vaksinasi diperkirakan anti-HAV protektif selama≥20 tahun (Hidayat & Pujiarto, 2005).
3.
Jika pasien hanya pernah divaksin satu kali, maka vaksinasi diberikan lagi sebanyak 1 dosis pada saat pasien tersebut berkunjung (AAP, 2007).
2.2.5.2. Efek Samping Vaksin VHA cukup aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal merupakan efek samping tersering tetapi umumnya ringan. Demam dialami 4% pasien. 2.2.5.3. Kontraindikasi 1.
Tidak boleh diberikan kepada orang yang alergi terhadap komponen vaksin seperti aluminium hydroxide and phenoxyethanol.
2.
Keadaan imunokompromise bukan merupakan kontraindikasi.
2.2.5.4. Imunisasi Pasif (Hidayat & Pujiarto, 2005) Indikasi pemberian imunisasi pasif adalah 1.
Sebagai upaya pencegahan setelah kontak (kontak serumah, kontak seksual, epidemi)
2.
Upaya profilaksis paska paparan.
3.
Upaya profilaksis pra paparan atau sebelum kontak (pengunjung dari daerah non endemis ke daerah endemis)
4.
Seyogyanya diberikan tidak lebih dari 2 minggu setelah paparan.
2.2.5.5. Dosis Vaksin Normal human immune globuline (NHIG) setiap mili-meter mengandung 100IU anti-HAV, diberikan secara intramuskular dalam dengan dosis 0,002
ml/kgBB dan volume total pada anak besar dan dewasa 5 ml sedangkan pada anak kecil atau bayi tidak melebihi 3ml (Hidayat & Pujiarto, 2005).
2.2.6.
Influenza Virus influenza merupakan virus bersampul (enveloped viruses) yang
mempunyai glikoprotein dipermukaannya (surface antigen), yaitu hemaglutinin (H) dan neuramidase (N). Dijumpai 3 tipe yaitu A, B, dan C, namun strain yang penting untuk infeksi pada manusia adalah influeza A dan B saja. Influenza A dapat mengalami perubahan pada surface antigen-nya sedangkan influenza B jarang (Kartasasmita, 2005). Transmisi virus influenza melalui saluran nafas, virus melekat kemudian menembus sel epitel saluran nafas di trakea dan bronkus. Replikasi virus terjadi dan menyebabkan destruksi sel pejamu, namun tidak akan terjadi viremia. Virus akan terdapat di sekret saluran nafas selama 5-10 hari (Kartasasmita, 2005). 2.2.6.1. Jadwal Pemberian ( MMWR, 2010) 1.
Vaksin sudah dapat diberikan pada anak usia 6 bulan hingga 18 tahun.
2.
Pada anak diatas 9 tahun diberikan 1 dosis setiap tahun.
3.
Untuk pemberian pertama, harus diberikan 2 kali berturut-turut dengan selang waktu 1 bulan.
4.
Pada anak atau dewasa dengan gangguan fungsi imun, diberikan 2 dosis dengan jarak interval 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan.
2.2.6.2. Reaksi KIPI (CDC, 2009) Reaksi lokal nyeri, eritema, dan indurasi pada tempat suntikan, lamanya 1-2 hari. Gejala sistemik tidak spesifik berupa demam, lemas dan mialgia (flu-like symptom), timbul beberapa jam setelah penyuntikan, terutama pada anak yang muda. 2.2.6.3. Kontraindikasi (Kartasasmita, 2005) 1.
Reaksi alergi terhadap vaksin ataupun komponennya.
2.
Vaksin ini tidak boleh diberikan pada orang yang alergi telur.
3.
Tidak boleh diberikan pada orang yang sedang menderita penyakit demam akut sedang dan berat.
4.
Tidak boleh diberikan pada wanita hamil dan menyusui. Bila diberikan pada wanita hamil, ditakutkan setelah vaksinasi timbul demam yang akan menyebabkan perkembangan fetus terganggu.
2.2.7.
Human Papilomavirus HPV adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh virus
humanpapiloma. Insiden tertinggi ditemukan pada remaja dan orang dewasa yang aktif secara seksual. Infeksi terjadi segera setelah mereka menjadi aktif secara seksual. Sebagian besar infeksi HPV bersifat subklinis dan sembuh sendiri tanpa sekuel dalam 1-2 tahun. Infeksi yang persisten oleh HPV tipe 16 dan 18 dapat menyebabkan kanker serviks maupun lesi prakanker pada serviks, dapat juga menyebabkan lesi prakanker pada daerah anogenital pada wanita dan pria. HPV yang tidak ganas dapat menyebakan kutil pada daerah anogenital, juvenille recurrent respiratory. HPV tipe 16 dan 18 menyebabkan 70% kasus kanker serviks, sedangkan 90% kasus kutil pada daerah anogenital disebabkan oleh HPV tipe 6 dan 11. Vaksin harus diberikan sebelum wanita menjadi aktif secara seksual (AAP, 2007). 2.2.7.1. Jadwal Pemberian (AAP, 2007) 1.
Remaja perempuan usia 11-12 tahun harus diimunisasi dengan 3 dosis, yang diberikan secara intramuskular. Jarak antara dosis pertama dan kedua adalah 2 bulan, sedangkan jarak antara dosis kedua dan ketiga adalah 6 bulan. Usia minimal pemberian vaksin ini adalah 9 tahun.
2.
Perempuan usia 13-26 tahun yang belum diimunisasi atau yang belum melengkapi imunisasinya harus divaksinasi.
3.
Vaksin ini dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain.
4.
Vaksin masih dapat diberikan kepada pasien yang memiliki hasil abnormal pada pemeriksaan pap-smear, saat menyusui, dan pada pasien imunokompromise karena penyakit atau obat-obatan.
5.
Vaksin tidak direkomendasikan pada wanita hamil. Dokter harus bertanya tentang kehamilan pada pasien wanita yang aktif secara seksual. Jika wanita yang telah divaksin menjadi hamil, maka dosis berikutnya harus ditunda hingga kehamilan selesai.
2.2.7.2. Kontraindikasi (AAP, 2007) Vaksin tidak boleh diberikan pada pasien dengan reaksi anafilaksis terhadap yeast atau komponen vaksin. Vaksinasi harus ditunda pada pasien yang sakit keras.