BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kecemasan Pada Anak-Anak Pembedahan dan anestesi dapat menimbulkan stres emosional pada anak dan orang tua. Hal ini dapat terjadi pada saat preoperatif dan post operatif. Untuk meminimalisasi stres emosional anestesi dan pembedahan, anestesiologis harus memahami perkembangan mental anak dan bagaimana caranya untuk mengatasi hal ini. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan pengertian pada saat preoperatif sehingga dapat menilai kadar kecemasan anak dan orang tua dan juga dengan memberikan sedasi pada saat preoperatif 1-6. Prevalensi kecemasan pada anak-anak sewaktu preoperatif sangat sulit untuk diperkirakan. Hal ini berhubungan dengan pengukuran dan perkembangan mental anak bervariasi. Namun, dapat diperkirakan lebih dari 75% anak-anak dilaporkan timbul kecemasan selama periode preoperatif 1. Kecemasan pada saat preoperatif merupakan keadaan dimana ditemukan perasaan yang subjektif berupa ketegangan, cemas, sedih, gelisah yang berhubungan dengan peningkatan aktifitas saraf otonom. Anak-anak dapat diatasi dengan antisipasi terhadap pemisahan dengan orang tua, nyeri, ketidaknyamanan, ataupun kehilangan kontrol. Pada anak-anak yang lebih muda lebih difokuskan terhadap pemisahan dari orang tua, sedangkan anak yang lebih tua lebih cemas terhadap proses anestesi dan operasi 2,3,7. Kecemasan akan melepaskan katekolamin terutama epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin (noradrenalin) di berbagai organ sehingga dapat mengakibatkan peningkatan laju jantung, kontraksi otot jantung, vasokonstriksi arteri, peningkatan kadar gula darah, dan lain sebagainya. Hal ini seperti yang dimuat pada Gambar 1 dan Gambar 2 di bawah ini.
9
Gambar 1: Inervasi organ sistem simpatis dan parasimpatis 4.
10
Gambar 2: Respon fisiologis terhadap kecemasan 4.
11
Terdapat faktor-faktor resiko terhadap kecemasan sebelum operasi, yaitu meliputi: 1 a. Berhubungan dengan anak. i.
Anak usia dini (1-5 tahun).
ii.
Ketidaktahuan tentang prosedur pengobatan dan penyakit.
iii.
Anak-anak dengan perilaku yang terganggu.
iv.
Terhambatnya perkembangan kematangan dan adaptasi sosial.
v.
Tingkat kognitif yang tinggi.
vi.
Tidak adanya aturan dalam keseharian.
b. Berhubungan dengan orang tua. i.
Tingkat kecemasan yang tinggi.
ii.
Orang tua yang bercerai.
iii.
Orang tua yang sering dilakukan tindakan pembedahan.
c. Berhubungan dengan lingkungan. i.
Rasa sensorik yang berlebihan.
ii.
Adanya konflik lingkungan. Konsep psikologis untuk pencegahan rasa kecemasan anak-anak dan orang
tua terhadap pembedahan telah diperkenalkan sekitar 50 tahun yang lalu. Dimana model program ini termasuk penggunaan buku ilustrasi meskipun keefektifan program ini untuk menurunkan kecemasan masih dipertanyakan. Selain konsep psikologis tersebut, pada saat premedikasi dapat diberikan obat farmakologis untuk mencegah kecemasan pada saat preoperatif yang dapat menimbulkan efek sedasi ringan dan tidak menimbulkan depresi nafas serta disfungsi jantung. Salah satunya dengan golongan benzodiazepin dan alpha-2 adrenoseptor agonis oral sebagai obat sedasi pre operatif 1,4,6. Tingkat sedasi pada anak dapat diukur dengan Simple Pediatric Analog Sedation Score (PASS). Pengukuran tingkat sedasi ini dapat terlihat seperti Gambar 3 dibawah ini: 8
12
Gambar 3: Simple Pediatric Analog Sedation Score (PASS) PASS mempunyai skor 0 = tidak tersedasi, 1 = sedikit tersedasi, 2 = tersedasi sedang, 3 = tersedasi baik, dan 4 = tersedasi dalam.
2.2. Klonidin Klonidin mempunyai rumus bangun seperti pada Gambar 4 berikut ini:
Gambar 4: Rumus bangun klonidin.
Klonidin merupakan obat anti hipertensi yang merupakan alpha-2 agonis yang sudah diperkenalkan sejak tahun 1960. Obat ini merangsang adrenoseptor alpha-2 di susunan saraf pusat ( SSP ) maupun di perifer. Efek anti hipertensi merupakan perangsangan adrenoseptor alpha-2 di SSP. Dalam perkembangannya klonidin digunakan sebagai sedasi, anti cemas, dan anti nyeri. 12,14
13
Alpha-2 adrenergik dibagi menjadi tiga grup: imidazolin, feniletilamin, dan oksalozepin. Alpha-2 adrenergik dibagi menjadi 3 reseptor alpha-2 reseptor, yaitu: a. Alpha-2 a : memberikan efek sedasi, analgesi, dan simpatolitik. b. Alpha-2 b : vasokonstriksi dan anti menggigil. c. Alpha-2c : memberikan respon stimulus yang tiba-tiba contohnya pergerakan cepat dekat wajah atau reflek suara. Klonidin atau N-( 2,6 dichlorophenyl )-4,5-dihydro-1H-imidazol-2-amine termasuk grup imidazol dengan rumus bangun C9H9Cl2N3 yang bekerja selektif agonist terhadap reseptor alpha-2 adrenergik dengan perbandingan rasio alpha2/alpha-1 sekitar 200:1. Klonidin menghambat aliran keluar simpatis sentral melalui aktivasi reseptor adrenergik alpha-2 dalam vasomotor medulla. Pre sinap reseptor alpha-2 adrenoseptor di nerve ending simpatis dan neuron noradrenergik susunan saraf pusat. Post sinaps alpha-2 adrenoseptor keluar ke berbagai jaringan seperti hati, pankreas, ginjal, dan jaringan lemak. Klonidin juga dapat menurunkan tekanan darah, nadi, dan curah jantung dan menimbulkan reaksi tergantung dosis yang diberikan seperti yang tertera pada Gambar 5 17.
Gambar 5: Respons fisiologis reseptor alpha-2 adrenoseptor 17 14
2.2.1. Farmakokinetik Klonidin per oral dapat diabsorpsi secara sempurna dengan bioavaibilitas 100%. 20% - 40% terikat plasma, volume distribusi 1,7 – 2,5 / kg. Konsentrasi puncak dalam plasma terjadi dalam 1-3 jam. Konsentrasi efektif maksimal dalam plasma terjadi pada dosis 0,3 mg. Klonidin sangat larut dalam lemak dan mudah menembus SSP. Hampir setengah dosis oral klonidin didegradasi dalam hepar, metabolit yang dihasilkan tidak mempunyai aktivitas farmakologi yang bermakna. Sisa dari obat yang ada diekskresikan dalam urin tanpa perubahan. Pada penderita dengan disfungsi ginjal meningkat sampai 18-41 jam sehingga dosis obat perlu dikurangi. Waktu paruh klonidin berkisar 6 sampai 24 jam dengan rata-rata berkisar 12 jam. Sekitar 50% dari dosis yang dimetabolisme di hati menjadi metabolit inaktif. 26,30 Klonidin pada umumnya digunakan untuk pengobatan antihipertensi arterial, namun dalam perkembangan selanjutnya digunakan untuk premedikasi, suplemen sedasi dan hipnosis. Dosis dan cara pemberian klonidin tertera pada Tabel 1 dan total dosis sehari yang digunakan 0,2-0,8 mg. Penggunaan klonidin pada anak pertama kali dipublikasikan pada tahun 1973. Dokter anak dan ahli psikiatri anak menggunakan klonidin untuk anak dengan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) dengan sukses dengan dosis 3-10 mcg/kg. 26,31 Klonidin dapat digunakan untuk mencegah agitasi emergensi, PONV, shivering setelah operasi, sebagai adjuvan pada anestesi regional dan juga digunakan sebagai sedasi pada anak di ruang intensif.
15
Tabel 1: Cara dan dosis pemberian klonidin 27.
2.2.2. Farmakodinamik Farmakodinamik terhadap klonidin akan dibahas dalam hal: a. Sistem Pembuluh Darah Klonidin pertama kali dikenal sebagai obat anti hipertensi yang bekerja dengan mekanisme kompleks. Kerjanya meliputi agonis reseptor alpha-2 sentral dengan kombinasi penurunan transmisi adrenergik perifer yang mengakibatkan hipotensi. 27 b. Sistem saraf pusat Klonidin juga menstimulasi alpha-2 adrenergik di pontin locus coeruleus yang menurunkan aktivasi adenyl cyclase dan defosforilasi reseptor alpha-2 yang mengaktivasi kanal kalium sehingga kalium keluar sel dan 16
hiperpolarisasi membran sel sehingga menimbulkan efek sedasi dan analgesi. Flacke melaporkan hanya 2 dari 10 pasien yang mendapatkan premedikasi klonidin yang memerlukan tambahan sedasi dibanding 9 dari 10 pasien kontrol. Wright mencatat tidak hanya terjadi peningkatan sedasi dengan premedikasi klonidin 300 mcg per oral, tetapi level ansietasnya signifikan berkurang dibandingkan placebo 26,27. c. Sistem Pernafasan Klonidin tidak menimbulkan depresi nafas pada dosis yang dianjurkan. Klonidin juga digunakan pada pasien di ruangan intensif untuk mencegah agitasi dan respons hiperdinamik. d. Sistem ginjal dan endokrin Pada hewan percobaan diperoleh hasil bahwa klonidin menimbulkan efek diuresis.
2.2.3. Efek Samping Obat Efek samping yang sering timbul adalah xerostomia, kemerahan kulit (rash), konstipasi atau colonic pseudo obstruction ( ogilive’s syndrome ). Efek samping yang lain adalah kepala pusing, mulut kering. Kadang-kadang dapat terjadi hipotensi, bradikardi berat, aritmia walaupun hal ini jarang terjadi. Efek samping ini masih kontroversial. Tekanan darah dan laju jantung tak berbeda bermakna pada pasien yang diterapi dengan klonidin 3 mcg/kgBB dibanding plasebo. Sebaliknya pemberian 5 mg/kg BB klonidin menurunkan laju jantung dan tekanan darah. Bradikardi berat dan aritmia yang bermakna jarang didapatkan pada terapi klonidin. Klonidin juga dapat mengurangi tahanan renovaskular tanpa perubahan aliran darah ginjal atau laju filtrasi glomerulus. Efek dosis yang berlebihan dapat menimbulkan pucat, bradikardi, hipotensi, miosis, tidak sadar, depresi nafas. Klonidin juga dapat meningkatkan kadar gula darah karena dapat menghambat pelepasan insulin 26. Sindroma withdrawal dapat menimbulkan krisis hipertensi yang dapat mengancam kehidupan. Sindroma ini dapat terjadi jika pemakaian dosis klonidin 17
lebih dari 0,6 mg/hari. Dosis yang dianjurkan pada anak usia 4 tahun kebawah tidak lebih dari 0,1 mg/hari, anak usia 5 – 8 tahun tidak lebih dari 0,2 mg/hari, dan anak usia diatas 8 tahun tidak lebih dari 0,4 mg/hari. Angka kejadian over dosis atau keracunan klonidin (lebih dari 3 mg) pada anak-anak telah dilaporkan. Bradikardi dan hipotensi intraoperatif jarang terjadi selama pemakaian klonidin 26,27
.
2.2.4. Interaksi Obat Klonidin dapat berpotensiasi terhadap obat anestesi. Premedikasi dengan oral klonidin 2mcg/kg atau 4 mcg/kg pada anak-anak usia 7-12 tahun berhasil menurunkan dosis barbiturat intra vena untuk induksi anestesi. Pada perbandingan oral klonidin 4 mcg/kg pada anak-anak (5-11 tahun) pada operasi bedah minor juga menurunkan penggunaan halothan sebagai maintenance anestesi. Klonidin oral sebagai premedikasi juga menurunkan MAC ( minimal alveolar concentration ) sevofluran untuk intubasi trakea pada anak-anak. 27
18
2.3. Diazepam Diazepam mempunyai rumus bangun seperti pada Gambar 6 berikut ini:
Gambar 6: Rumus bangun diazepam. 2.3.1. Farmakokinetik Diazepam
(N-demethylated) merupakan golongan benzodiazepin yang larut
dalam lemak. Diazepam cepat diabsorbsi dari saluran gastrointestinal pada saat pemberian secara oral ( penyerapan diazepam lebih dari 90% ), dengan konsentrasi puncak sekitar 60-90 menit pada dewasa tetapi lebih cepat 15 sampai 30 menit pada anak-anak. Masa kerja diazepam tidak berhubungan dengan reseptor tetapi ditentukan laju metabolisme dan eliminasi obat. Diazepam pada prinsipnya dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati dengan menggunakan jalur N-demethylasi. Dua metabolit utama diazepam adalah desmethyldiazepam dan oxazepam. Desmethyldiazepam dimetabolisme lebih lambat dibandingkan oxazepam. Pengaruh metabolit ini seperti mengantuk sekitar 6-8 jam setelah pemberian diazepam.
Resirkulasi
enterohepatik dapat
mengakibatkan terjadinya efek sedasi yang berulang. Konsentrasi plasma diazepam secara klinis signifikans dan dapat diperkirakan cepat perubahannya sebagai konjugat asam glukoronat. 32,33 Masa paruh eliminasi diazepam lambat sekitar 21 sampai 37 jam. Sirosis hati berhubungan dengan peningkatan masa paruh eliminasi diazepam. Masa paruh eliminasi diazepam juga meningkat cepat dengan penambahan usia karena peningkatan sensitivitas pasien terhadap efek sedasi obat. Perpanjangan masa paruh eliminasi diazepam dengan sirosis hati berhubungan dengan penurunan 19
ikatan protein obat dan
peningkatan
volume distribution serta
penurunan
clearance hati akibat aliran darah hati yang menurun. Perpanjangan masa paruh eliminasi pada pasien usia tua merupakan akibat dari peningkatan volume distribution, dimana peningkatan lemak tubuh berhubungan dengan usia yang mengakibatkan peningkatan volume distribution obat yang larut dalam lemak. Clearance hati tidak berubah dengan penuaan. Dibandingkan dengan lorazepam, diazepam mempunyai masa paruh yang lebih lama tetapi masa kerja yang lebih singkat daripada lorazepam dan berdisosiasi lebih terhadap reseptor GABAA
32
(Gambar 7). Waktu paruh dan metabolit aktif
benzodiazepin dimuat pada Tabel 2.
Gambar 7: Reseptor protein benzodiazepin 32. 20
Tabel 2: Waktu paruh dan metabolit aktif benzodiazepin 32
21
Secara farmakologi, metabolit yang aktif dapat menumpuk di plasma dan jaringan pada saat penggunaan diazepam yang kronis. Efek mengantuk yang berkepanjangan berhubungan dengan dosis diazepam yang besar dan pemecahan ulang metabolit aktif sehingga kembali sirkulasi darah. 32,33 Diazepam diindikasikan pada pasien dengan gangguan cemas. Diazepam juga digunakan pada pasien untuk pencegahan agitasi, tremor, delirium akut, halusinasi, ataupun spasme otot dengan dosis yang sesuai seperti tertera pada Tabel 3. Tabel 3: Dosis penggunaan diazepam 32
22
2.3.2. Farmakodinamik Farmakodinamik terhadap diazepam akan dibahas dalam hal: a. Sistem pembuluh darah Diazepam dengan dosis 0,5-1 mg/kg iv untuk induksi anestesi memberikan efek minimal terhadap penurunan tekanan darah sistemik, curah jantung, dan tahanan pembuluh darah sistemik yang dipantau pada saat pasien tertidur. Meskipun efek hipotensi jarang terjadi, pemberian diazepam harus hati-hati pada pasien dengan tekanan darah rendah dan pasien usia tua 32. b. Sistem saraf pusat Diazepam berikatan dengan gamma-amino butyric acid (GABA) reseptor sehingga menurunkan aktifitas neuron di sistem limbik, thalamus dan hipotalamus yang mengakibatkan efek sedasi dan anti cemas. c. Sistem Pernafasan Diazepam, sama seperti golongan benzodiazepin yang lain, memberikan efek minimal terhadap ventilasi dan sirkulasi sistemik. Diazepam mengakibatkan efek depresan yang minimal pada ventilasi dengan peningkatan PaCO2. Efek depresan ini tidak terjadi pada pemakaian obat sampai dosis 0,2 mg/kg intra vena. Kombinasi diazepam dengan obat depresan CNS lain (opioid, alkohol ) atau pada pasien dengan penyakit obstruksi saluran nafas kronis dapat mengakibatkan perpanjangan depresi ventilasi 32.
2.3.3. Efek Samping Obat Efek samping yang dapat timbul berupa konstipasi, hipotensi, mual, skin rash, retensi urin, vertigo, dan mata kabur. Intoksikasi susunan saraf pusat dapat terjadi pada konsentrasi plasma lebih dari 1.000 ng/mL Overdosis yang massif dapat mengakibatkan koma atau sekuele yang serius dan pada neonatus dapat mengakibatkan hiperbilirubinemia akibat defisiensi G6PD karena pemberian diazepam 33,34.
23
2.3.4. Interaksi Obat Cimetidin dapat menghambat P-450 enzim mikrosom hati dan dapat memperpanjang waktu paruh eliminasi diazepam. Efek sedasi dapat meningkat pada pemberian cimetidin dengan diazepam dibandingkan pemberian tunggal diazepam. Cimetidin juga memberikan efek clearance
yang terlambat
mencetuskan inhibisi terhadap enzim mikrosomal yang penting terhadap oksidasi diazepam. Penggunaan
diazepam
bersamaan
dengan
nitrous
oxide
dapat
mengakibatkan depresi otot jantung dan menurunkan tekanan darah sistemik. Diazepam juga memperpanjang efek obat anti epilepsi lain seperti fosfofenitoin 32,34
.
24
2.4. Kerangka Teori Penelitian ini mempunyai kerangka teori seperti pada Gambar 8 berikut ini:
Gambar 8: Kerangka teori.
25
2.5. Kerangka Konsep Kerangka konsep pada penelitian ini dimuat pada
Gambar 9 berikut ini:
Gambar 9: Kerangka konsep.
26