TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Kognitif Kognitif adalah kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan (Fatimah 2006). Apabila diperlukan, pengetahuan yang dimiliki dapat dipergunakan. Banyak atau sedikitnya pengetahuan merupakan ukuran tingkat kemampuan kognitif seeorang. Menurut Fatimah (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara kecerdasan dengan kemampuan kognitif seseorang. Artinya bahwa semakin tinggi kecerdasan seseorang, semakin tinggi pula tingkat perkembangan kognitifnya. Kemampuan kognitif berkembang sebagai hasil dari kerjasama antar genetik dengan lingkungan. Kemampuan ini akan meningkat karena adanya rangsangan yang diberikan kemudian masuk ke dalam otak yang sedang berkembang. Hal ini berarti akan membantu perkembangan kecerdasan. Pembentukan kecerdasan dipengaruhi oleh proses kecerdasan dan interaksi dengan lingkungan sejak dini. Kecerdasan terbentuk dari interaksi antara faktor internal dengan lingkungan. Faktor lingkungan termasuk di dalamnya lingkungan dalam keluarga dan luar keluarga (Dariyo 2007). Menurut Khomsan (2002), terdapat tiga hal yang mempengaruhi kecerdasan seseorang, yaitu genetik, lingkungan, dan gizi. Teori perkembangan kognitif Piaget mengatakan bahwa anak secara aktif membangun pemahaman dan pengetahuan mereka tentang dunia melalui empat tahapan perkembangan kognitif (Santrock 2002). Masing-masing dari tahapan perkembangan
mempunyai
keunikan
dan
kemampuan
tersendiri,
serta
membangun pencapaian dari setiap tahapan (Ormrod 2003). Perkembangan kognitif menurut Piaget dapat digambarkan dalam Tabel 1. Elemen perkembangan kognitif menurut Piaget terdapat dua prinsip dasar yaitu akomodasi dan asimilasi. Akomodasi merupakan tahapan yang lebih tinggi dari adaptasi. Akomodasi berarti merubah organisasi mental atas informasi baru yang dimasukan. Artinya bahwa prose akomodasi mengubah pemahaman dan pengetahuan yang lama dengan menambah informasi baru yang didapatkannya.
Asimilasi
adalah
proses
dimana
anak
menerima
dan
mengintrepretasikan informasi baru disamping pengetahuan dan pemahaman yang telah ada (Turner & Helms 1991).
7
Tabel 1. Tahapan perkembangan kognitif Piaget
Umur
Tingkat
0-2 tahun
Periode Sensorimotor
2-7 tahun
Periode Pra-Operasional Konkret
7-11 tahun
11-15 tahun
Periode Operasional Konkret Periode Operasional Formal
Deskripsi Umum Menggunakan sistem penginderaan dan aktivitas motorik untuk mengenal obyekobyek di lingkungannya. Memberikan respon terhadap rangsangan melalui refleks Menggunakan pikiran dalam melihat suatu benda, untuk memahami lingkungannya dengan menggunakan simbolsimbol, meniru, mampu memahami hubungan sebab akibat, bersifat egosentris Mencapai kemampuan untuk berfikir sistematis terhadap halhal atau objek-objek yang konkrit Mencapai kemampuan untuk berfikir sistematis terhadap halhal yang abstrak dan hipotesis
Sumber : Turner dan Helms (1991)
Pada usia 2-5 tahun, anak berada pada tahap pra-operasional konkrit. Ciri khas masa ini adalah kemampuan anak dalam menggunakan symbol-simbol yang mewakili suatu konsep (Fatimah 2006). Kemampuan simbolik ini memungkinkan seorang anak melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hal-hal yang telah dilihatnya. Tahapan pra-operasional konkrit ini terbagi ke dalam tiga tahapan. Tahap tersebut diantaranya adalah : 1) egosentris, 2) artifisialisme, 3) animisme (Miller 1983). Egosentris merupakan ketidakmampuan anak dalam mengambil peran orang lain (tidak mampu memposisikan menjadi orang lain), dimana kepuasannya dilakukan dengan bertanya kepada anak lain mengenai sudut pandang yang lain tentang pegunungan. Artifisialisme adalah kemampuan anak untuk menyamakan dua benda yang berbeda substansi, berat, jumlah, isi, dan ruang. Animisme adalah kecenderungan anak menganggap benda sebagai sesuatu yang hidup (Papalia & Olds 1986). Perkembangan
kognitif
pada
anak
dipengaruhi
juga
lingkungan.
Pernyataan ini sejalan dengan inti teori Vygotsky yang menyatakan interaksi social memainkan peran dalam perkembangan kognitif. Tiga pandangan teori perkembangan kognitif social budaya adalah : 1) perkembangan kognitif anak dapat diketahui dan dimengerti ketika perkembangannya dapat dianalisis dan di intrepretasikan, 2) kemampuan kognitif digambarkan melalui kata-kata, bahasa,
8
dan pembicaraan formal, 3) kemampuan kognitif yang dimiliki mereka merupakan hubungan antara sosial dan budaya dari masing-masing. Vygotsky lebih menekankan pada pembelajaran learning context dimana anak bermain peran aktif dalam setiap proses pembelajaran (Santrock 2002). Stimulasi Psikososial Berdasarkan teori psikososial yang dikemukakan oleh Erik Erikson, psikososial merupakan proses sosialisasi yang terjadi dikarenakan budaya. Pada dasarnya teori perkembangan psikososial adalah kemampuan seseorang untuk melewati setiap rangkaian tahapan atau tahapan yang potensial dalam sepanjang kehidupannya. Perkembangan psikososial Erikson dibagi ke dalam delapan tahapan. Perkembangan kepribadian dimulai dengan kekuatan ego sejak lahir sampai meninggal, dimana kekuatan ego akan bertambah sebagai kualitas dari waktu (Turner & Helms 1991). Anak usia 2-5 tahun termasuk ke dalam dua tahapan perkembangan psikososial, yaitu otonomi vs keragu-raguan (1-3 tahun)/autonomy vs doubt dan inisiatif vs kesalahan (3-5 tahun)/initiative vs guilt. Pada waktu anak berada pada tahap otonomi vs keragu-raguan (1-3 tahun)/autonomy vs doubt, kemampuan perkembangan gerak dan mentalnya membutuhkan syarat utama berupa kesempatan seluas-luasnya untuk bebas mengeksplorasi pengalamannya. Jika pada pertumbuhan ini mendorong anak untuk mencari sesuatu, anak akan tumbuh menjadi seseorang yang percaya diri dan lebih otonomi. Akan tetapi, jika pertumbuhan hilang semangat kebebasannya, anak dapat bertanya-tanya mengenai kemampuannya dan menyembunyikan keragu-raguannya mengenai kemampuannya. Pada tahapan inisiatif vs kesalahan (3-5 tahun)/initiative vs guilt, kapasitas perkembangan kesopanan akan meningkat sehingga mendorong anak untuk mencari dan menemukan insitiatif diri sendiri. Penguatan yang diberikan oleh orangtua dapat mendorong inisitiaf dan meningkatkan tujuan. Orangtua yang membatasi anaknya seperti menunjukan kesalahan yang dilakukan ketika anak untuk mengetahui dunia dalam benak anak. Oleh karenanya, pemberian stimulasi pada anak menjadi hal yang penting dalam mengembangkan psikososial anak. Caplan dan Caplan (1984) menyatakan bahwa dalam menjalankan peran pengasuhan yang berkaitan dengan pemberian stimulasi kepada anak bukan
9
sesuatu yang didapatkan secara otomatis dan berdasarkan naluri namun merupakan rangkaian dari pengetahuan, pengalaman, keahlian yang diperoleh dan dipelajari. Agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal menurut Satoto (1999); Megawangi dan Mansour, diperlukan interaksi ibu dan anak secara timbal balik dan stimulasi yang optimal (Hastuti, 2006). Stimulasi merupakan rangsangan yang datangnya dari luar. Stimulasi psikososial merupakan salah satu cara untuk memberikan pengalaman dan pendidikan bagi anak. Menurut Dharmawan (1999) dalam Sununingsih (2006) menyatakan bahwa stimulasi psikososial diberikan diantaranya melalui aktivitas bermain, bernyanyi, dan menggambar. Depdiknas (2002) menyebutkan bahwa stimulasi psikososial adalah pendidikan dalam rangka mengembangkan kemampuan kognitif, fisik atau motorik, serta sosial emosi anak. Jalal (2002) menyatakan bahwa stimulasi psikososial tidak akan berarti apabila tidak dibarengi dengan pemberian gizi dan kesehatan yang memadai. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan otak dalam hal ini berkaitan dengan perkembangan kognitif anak ditentukan oleh cara pengasuhan, pemberian makan, dan stimulasi terhadap anak. Pengukuran stimulasi psikososial anak salah satunya dapat dilakukan dengan alat bantu HOME Inventory
(Caldwell and Bradley), dimana kualitas
lingkungan anak dilihat dari apakah orangtua memberikan reaksi emosi yang tepat, apakah orangtua memberikan dorongan positif kepada anak, apakah orangtua memberikan suasana yang nyaman kepada anak, menunjukkan kasih sayang, menyediakan sarana tumbuh kembang dan belajar bagi anak, turut berpartisipasi dalam kegiatan positif bersama anak, terlibat aktif dalam kegiatan bersama anak, dan juga apakah orangtua memberikan lingkungan fisik yang nyaman di rumah. Hasil penelitian Hartoyo dan Hastuti (2004) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara kelompok keluarga dalam hal ini adalah kelompok juragan dan kelompok buruh nelayan dalam hal stimulasi psikososial. Upaya untuk meningkatkan stimulasi psikososial, keadaan sosial ekonomi merupakan salah satu aspek yang paling penting bagi perbaikan stimulasi psikososial anak. Stimulasi psikososial yang diberikan orangtua kepada anak berhubungan dengan perkembangan kognitifnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sununingsih (2006) pada anak usia 2-4 tahun di Kota Bogor melaporkan bahwa terdapat hubungan antara pemberian stimulasi psikososial terhadap
10
perkembangan kognitif anak. Hal ini menunjukan bahwa semakin tinggi stimulasi yang diberikan maka perkembangan kognitif cenderung semakin tinggi. Fenomena yang sama terjadi pada hasil penelitian Mindasa (2006) pada anak usia 2.5-5 tahun di Kota Bogor. Nilai Anak Berry (1999) menyatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang dianut oleh masyarakat secara kolektif ataupun individu (Kartino 2006). Anak mempunyai nilai yang sangat penting dalam kehidupan seseorang atau suatu keluarga melebihi nilai harta kekayaan. Nilai anak bagi orangtua dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui antara lain adalah dengan adanya kenyataan bahwa anak menjadi tempat orangtua mencurahkan kasih sayang dan sumber kebahagian keluarga. Nilai jika dilihat dari segi sosial merupakan kualitas suatu objek yang menyebabkan objek tersebut diinginkan dan dijunjung tinggi serta dianggap penting atau berharga. Sementara itu jika dilihat dari segi ekonomi, nilai dijadikan sebagai nilai tukar (harga) dan nilai guna (utilitas). Pembentukan nilai pada anak paling efektif dan intensif terjadi dalam keluarga. Artinya bahwa nilai merupakan faktor keturunan yang dibawa sejak lahir dan dibentuk oleh lingkungan (Deacon & Firebaugh 1981). Nilai memiliki karakterisik yang berbeda-beda berdasarkan ciri-ciri tertentu. Dilihat dari segi kestabilan nilai, nilai dibedakan menjadi :1) nilai absolut, 2) nilai normatif, 3) nilai relatif. Nilai absolut merupakan nilai yang tertanam kuat dalam diri seseorang yang memiliki kecenderungan tidak dapat berubah karena faktor lingkungan. Nilai normatif merupakan acuan-acuan tertentu yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu. Nilai relatif merupakan nilai yang dianut oleh seseorang dan berbeda bagi individu maupun kelompok tergantung dari keadaan dan lingkungan tempat tinggal (Deacon & Firebaugh 1981). Menurut Joshi dan Mac Clean (1997) dalam Putri (2006), nilai anak merupakan persepsi dan harapan orangtua terhadap anak berdasarkan potensi yang dimiliki oleh anak. Hal ini terkait dengan persepsi nilai anak oleh orangtua merupakan respon dalam memahami akan adanya anak yang berwujud pendapat-pendapat sebagai pilihan untuk berorientasi pada suatu hal (Siregar 2003).
11
Becker (1955) dalam Hernawati (2002) menyebutkan bahwa anak dipandang sebagai sumberdaya yang sangat berharga dan tahan lama. Anak secara alami memiliki nilai psikis dan materi. Oleh karena itu, orangtua beranggapan bahwa anak merupakan nilai investasi di masa depan. Dalam hal ini, orangtua beranggapan bahwa anak dapat memberikan kebahagiaan dan merupakan jaminan di hari tua serta membantu perekonomian keluarga. Penilaian orangtua diwujudkan dengan pengasuhan yang baik, perawatan, sekolah dan pemenuhan makan anak. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana orangtua memperlakukan anak. Cara orangtua memperlakukan anak akan mempengaruhi penilaian anak terhadap orangtua. Pada intinya bahwa hubungan orangtua dengan anak akan bergantung pada penilaian orangtua (Hurlock 1977). Menurut Hartoyo (1998) investasi pada anak merupakan usaha atau alokasi keluarga untuk meningkatkan kualitas anak sehingga pada saat dewasa menjadi produktif. Karakteristik Keluarga Besar Keluarga Keluarga adalah lingkungan pertama dan utama bagi seorang individu. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan lingkungan eksternal pertama yang dikenal begitu bayi dilahirkan di dunia. William Bannet dalam Mindasa (2006) mengungkapkan bahwa keluarga sebagai tempat paling efektif dimana seseorang anak menerima kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan bagi hidupnya. Keluarga inti terdiri dari orangtua dan anak. Namun dalam masyarakat Indonesia masih ada kemungkinan bertambahnya jumlah keluarga sehingga menjadi keluarga luas jika ditambah dengan saudara, nenek, kakek, tante, paman. Menurut Monks, Knoers, & Haditono (2002), anak memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang sama (Mindasa 2007). Secara umum, orangtua yang berasal dari keluarga kecil dapat mencurahkan waktu dan perhatian yang cukup banyak pada anak. Semakin banyak jumlah anak dalam suatu keluarga, maka perhatian pada anak akan terbagi-bagi. Harisudin
(1997)
menyatakan
bahwa
jumlah
keluarga
akan
mempengaruhi kualitas pemenuhan kebutuhan anggota keluarga. Jumlah anak yang banyak pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang cukup akan
12
menyebabkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang diterima anak. Untuk keluarga dengan keadaan sosial ekonomi kurang, dengan memiliki anak yang banyak mengakibatkan kurangnya kasih sayang dan perhatian dan pemenuhan kebutuhan dasar baik primer, sekunder dan tersier. Pendidikan Orangtua Kemampuan seseorang untuk memahami perannya dan kemampuan seseorang untuk mengelola sumberdaya dalam suatu keluarga tergantung dari pengetahuan yang dimiliki oleh orang tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan orangtua berhubungan dengan tingkat kemajuan yang dimiliki anak-anaknya atau potensi sumberdaya yang dimiliki anak-anaknya (Pulungan dalam Kurniati 2004). Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka persepsi, pemahaman, dan kepribadian. Hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang dapat menjadi faktor penentu dalam berkomunikasi dalam keluarga. Menurut Gunarsa dan Gunarsa dalam Kurniati (2004) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan secara langsung maupun tidak mempengaruhi baik buruknya hubungan antar anggota keluarga. Tingkat pendidikan dapat dijadikan cerminan keadaan sosial ekonomi di dalam masyarakat. Semakin tinggi pendidikan atau keterampilan yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi investasi yang diperlukan (Suhardjo dalam Rahmaulina 2007). Dalam pengasuhan anak, pendidikan orangtua terutama pendidikan ibu penting untuk diperhatikan karena akan turut menentukan kualitas pengasuhan anak. Pendidikan formal yang tinggi pada ibu membuat pola pengasuhan akan bertambah baik (Amelia 2001). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang
untuk
menyerap
informasi
dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengeluaran perkapita Menurut BPS (2006), besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga dapat
menggambarkan
kesejahteraan
suatu
masyarakat.
Namun
data
pendapatan yang akurat sulit diperoleh, sehingga didekati melalui data pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga yang terdiri dari pengeluaran makanan dan bukan makanan dapat menggambarkan bagaimana rumah tangga/keluarga mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Keluarga
13
dengan tingkat ekonomi rendah (poor income level family) umumnya kurang memberikan perhatian perilaku anak. Hal ini terjadi karena kurangnya akses yang diterima terhadap wawasan dan pengetahuan umum. Berdasarkan hasil penelitian Fachrina (2005) menyebutkan bahwa karakteristik sosial ekonomi pada rumah tangga miskin antara lain: 1) secara umum tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan istri masih rendah yaitu tidak sekolah atau hanya tamat SD, 2) sebagian besar usia kepala keluarga dan istri masih dalam usia produktif antara 30-49 tahun, 3) kepala keluarga umumnya bekerja di bidang pertanian, 4) anggota rumah tangga berjumlah lima sampai tujuh orang. Keadaan kesejahteraannya.
ekonomi Sejalan
keluarga dengan
akan
hasil
menggambarkan
penelitian
Rachmawati
tingkat (2006)
menyebutkan bahwa keadaan ekonomi keluarga berperan dalam perkembangan anak dan menentukan tingkat kesejahteraan keluarga. Kondisi sosial yang serba kekurangan akan menyebabkan kondisi yang kurang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Hasil penelitian Watson dan Lidgen (1979) menyatakan bahwa orangtua dari kelas ekonomi menengah lebih menekankan pada komunikasi antara anak dan orangtua, memberi informasi yang jelas dan masuk akal dan bersifat terbuka kepada anak-anaknya (Hernawati 2002). Usia Orangtua Usia adalah indeks yang menempatkan individu-individu dalam urutan perkembangan (Hurlock 1980). Usia orangtua umumnya dimulai ketika seseorang berada pada masa dewasa (20-60 tahun). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 1981 lebih banyak laki-laki dan perempuan menikah pada usia muda, namun saat ini empat dari lima penduduk Amerika Serikat yang berusia 18 tahun telah menikah dan tinggal bersama pasangan (Duvall 1962). Karakteristik Anak Jenis Kelamin Jenis kelamin akan mempengaruhi orangtua dalam memperlakukan anaknya, misalnya anak laki-laki diberi kebebasan dibandingkan dengan anak perempuan. Disamping itu, perbedaan jenis kelamin akan mempengaruhi jenis permainan yang diberikan pada anak. Perbedaan jenis kelamin ini akan
14
mempengaruhi
bagaimana
seseorang
dalam
berpenampilan,
bermain,
mengungkapkan emosi, dan berkepribadian. Pada masyarakat Jawa kuno, anak laki-laki biasanya memperoleh pendidikan lebih tinggi dibandingkan saudara-saudaranya yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini dikarenakan pendapat yang menyatakan bahwa laki-lakilah yang harus mencari nafkah, sedangkan perempuan setelah menikah akan dibawa oleh suami. Pada masa sekarang ini, pendidikan bagi anak perempuan merupakan suatu yang biasa dan umum meskipun masih ada sedikit keterbelakangan terhadap anak laki-laki (Monks, Knoers, & Haditono 2003). Hurlock (1990) menyatakan
ada tiga alasan jenis kelamin individu
penting bagi perkembangan selama hidupnya. Pertama, setiap bulan anak mengalami peningkatan pemahaman perilaku orang tua, teman sebaya, dan masyarakat yang mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku yang dipandang sesuai dengan jenis kelamin. Kedua, pengalaman belajar ditentukan oleh jenis kelamin individu. Ketiga, adalah sikap orang tua dan anggota keluarga lainnya sehubungan dengan jenis kelamin mereka. Keinginan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu akan mempengaruhi sikap penerimaan orang tua dan keluarga terhadap anak, yang selanjutnya berpengaruh juga pada perilaku dan hubungan mereka dengan anak. Usia Menurut Hurlock (1980), usia anak mempengaruhi kualitas waktu ibu dalam memberikan stimulasi psikososial. Anak pada umur dua tahun, perhatian dan kasih sayang ibu lebih banyak tercurah kepada anak. Hal ini dikarenakan anak belum mampu mandiri dan masih membutuhkan bantuan ibu sebagai pengasuh utama. Di atas usia dua tahun, anak semakin mandiri dan mempunyai jaringan sosial lebih luas
sehingga ketergantungan terhadap ibu sebagi
pengasuh utama mulai sedikit berkurang. Piaget dalam Ormrod (2003) mengatakan bahwa anak usia prasekolah belum mampu memusatkan perhatian pada dua dimensi yang berbeda secara serempak. Anak mulai mengerti mengenai objek yang ada di lingkungannya, sehingga mulai menggunakan simbol dan kata. Fungsi simbol pada anak usia prasekolah adalah kemampuan anak untuk mewakilkan sesuatu yang tidak ada dan tidak terlihat dengan sesuatu yang lain atau sebaliknya. Fungsi simbolik ini dapat bersifat abstrak atau nyata. Anak juga mulai mengerti dasar-dasar dalam
15
mengelompokkan sesuatu. Anak pada masa prasekolah juga sudah mulai dapat melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu model tingkah laku. Anak akan memperlihatkan tingkah laku yang sama seperti tingkah laku yang diperlihatkan oleh orang lain pada waktu yang sudah lewat. Anak tidak langsung meniru model tinggkah laku, melainkan mengamati, menyimpan dan pada saat yang lain memperlihatkan sesuatu kembali (Turner & Helms 1991). Cara berpikir anak usia prasekolah sangat memusat (egosentris) dan cara pikirnya tidak dapat dibalik. Egosentrisme adalah pemusatan pada diri sendiri dan merupakan suatu proses dasar yang banyak dijumpai pada tingkah laku anak dan pengamatan anak banyak ditentukan oleh pandangan sendiri. Anak belum mampu menempatkan diri dalam keadaan orang lain (Turner & Helms 1991).