2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Lahan Sawah Sistem usahatani lahan sawah di Jawa telah lama dikenal dan dipraktekkan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu (Adiningsih et al., 2004; Soemarwoto, 2008). Teknologi sistem usahatani di Jawa pertama kali diperkenalkan oleh budaya Dong Son dari Vietnam Utara pada abad ke-3 (Yokokura, 1987, dalam Poniman, 1989). Budaya Dong Son tersebut mewariskan sistem usaha tani lahan sawah dalam hal pengolahan tanah dengan kerbau (Buffalo-trampling), penanam padi tipe bulu, dan penggunaan ani-ani
untuk
panen padi. Pengaruh sistem usahatani lahan sawah budaya Dong Son ini kemudian beralkulturasi dengan budaya India pada abad ke-9.
Kedatangan
budaya India mewariskan teknologi pengolahan tanah sawah dengan sapi bajak dan penggunaan sabit untuk panen (Poniman, 1989). Lombard (1990b) mengemukakan bahwa pembukaan lahan persawahan di Jawa Tengah dan Jawa Timur diawali pada abad ke-8 dan ke-13, sedangkan di daerah – daerah Pasundan (Jawa Barat) baru dibuka secara sistimatis pada abad ke-17 dan ke-18. Sejarah awal mula persawahan di Jawa dibuktikan dengan ditemukannya prasasti tentang Tanggul Banjir Harinjing di desa Kepung, di wilayah Sungai Brantas, tertanggal 726 Tahun Caka atau 808 M (Angoedi, 1984, dalam Gani, 2006). Pada zaman Mojopahit (abad ke-14), lahan sawah di Jawa sangat dilindungi.
Perlindungan daerah persawahan ini tertuang dalam kitab
Negarakertagama yang ditulis Pangeran Wengker, paman Hayam Wuruk, yaitu: ”Anda hendaknya memperhatikan segala sesuatu yang sesuai dengan kepentingan pedesaan (pradesa), bendungan (situ), jalanan (damarga), bangunan dari batu (gerha). Semua karya karya yang berguna itu harus dirawat dengan baik”.
Pada masa itu berlaku hukum adat: Barangsiapa membiarkan sawah
terbengkelai, harus dianggap bersalah dan membayar denda sebanyak harga beras yang dihasilkan tanah seluas itu. Pada zaman Jawa kuno tersebut, sistem irigasi (pembagian air) telah diterapkan di lembah Brantas, Jawa Timur. Sistem irigasi kuno lainnya juga dikembangkan, seperti: (1) di hulu Kali Konto yang bersumber di lereng-lereng Gunung Kawi dan mengalir ke Barat sampai bermuara di kali Brantas (sebelah Utara Kertosono) yang dibangun pada tahun 804
15
(pada masa kerajaan Daha di Kediri), (2) di hulu Kali Pikatan yang mengalir dari lereng-lereng Gunung Welirang dan mengalir ke Barat Laut sampai bermuara di Kali Brangkal, satu anak sungai Kali Brantas yang dibangun pada awal abad ke10 (pada masa pemerintahan Mpu Sendok, kerajaan Singasari). Pada masa akhir kerajaan Mojopahit (tahun 1489), Raja Girindrawardana membangun sistem irigasi besar di Selatan Kali Porong di kaki Gunung Penanggungan (di sebelah Timur Mojokerto).
Gambar 5. Kekuasaan raja dan pengaturan persawahan abad ke-11 - 15 (Sumber: Lombard, 1990b) Pada masa kerajaan Mataram (akhir abad ke-16 – awal abad ke-19), lahan persawahan dikembangkan ke arah Barat, sejajar dengan jalan islamisasi di sepanjang wilayah pesisir dari Giri ke Demak, lalu dari Demak ke Cirebon dan
16
Banten. Pada masa itu, pembangunan pertanian mendapat perhatian serius. Laporan perjalanan duta Van Goens dari Semarang ke Mataram menyebutkan luasnya daerah persawahan dengan saluran irigasi yang dibuat dari batu. Di Mataram
para penguasa kebanyakan mempunyai kali kecil yang disalurkan
melintasi rumah mereka.
Nama sebuah ”bendungan” untuk mengingatkan
pentingnya pengairan dicatat di keraton Sultan Agung dan Amangkurat I, yaitu di Plered. Pada masa kesultanan, beras merupakan komoditi ekspor utama selain tembakau yang dikirim ke Sulawesi atau Penang (Malaysia). Pada masa itu pula, mulai muncul
industri pengrajin tenun, batik, pembuatan garam, gula aren,
industri ”kertas jawa” (dluwang) yang dibuat dari kulit jayu pohon rumbai tertentu. Akibatnya,
muncul kegiatan sektor ekonomi yang menggunakan mata uang
sebagai alat tukar. Sementara itu, pemerintahan terus berupaya meningkatkan pemasukan dari pajak. Kemajuan itu tampaknya mendukung perkembangan hak milik, yang membawa akibat munculnya golongan sosial baru, yaitu golongan sikep (orang-orang terkemuka yang menguasai tanah).
Golongan itu tidak
diketahui asalnya, yang jelas adalah bahwa pada akhir abad ke-18 mereka merupakan orang-orang terkemuka di desa-desa, yang mengaku sebagai pewaris dari pendiri desa (Lombard, 1990b). Pada masa Pemerintah Kolonial Belanda – Orde Lama (1965), lahan sawah di Jawa mulai tertekan karena peningkatan jumlah penduduk.
Untuk
mengatasi kepadatan penduduk di Jawa, pada awal abad 20 pemerintah Kolonial Belanda mencanangkan program transmigrasi, yaitu pemindahan penduduk Jawa ke pulau-pulau lain. Setelah kemerdekaan, kepemilikan lahan sawah di Jawa menjadi semakin terpecah-pecah karena semakin banyaknya tuan-tuan tanah. Pada tahun 1963, kepemilikan lahan sawah petani gurem di Jawa adalah 0,637 ha (Lombard, 1990b). masalah.
Pada masa orde lama,
kedaulatan pangan menghadapi
Pada masa demokrasi terpimpin itu,
pemerintah mengabaikan
ketersediaan dan keterjangkauan komoditi beras. Akibat terjadinya kelangkaan produksi beras yang dipasok oleh lahan sawah inilah yang menjadi penyebab kejatuhan rezim Soekarno pada tahun 1965 (Modjo, 2009). Pada masa Orde Baru (tahun 1966-1998), pemerintah mengintesifkan penerapan revolusi hijau, yaitu dengan mencanangkan berbagai program
17
intensifikasi usaha tani padi sawah seperti program Bimas (Bimbingan Massal), Insus (Intesifikasi khusus), Inmas (Intensifikasi Massal), Inmun (Intensifikasi Umum), Opsus (Operasi khusus), dan Supra Insus. Program intensifikasi usaha tani padi tersebut diarahkan untuk mendorong peningkatan produktivitas padi dengan pemakaian benih varietas unggul, pupuk kimia, dan obat-obatan kimia dan pestisida pemberantas hama dan penyakit tanaman. Penerapan revolusi hijau tersebut disertai pembangunan infrastruktur irigasi secara pesat. Namun demikian, sejak tercapainya swasembada beras pada tahun 1984, produksi padi cenderung semakin merosot hingga 2% (Fagi dan Kartaatmadja, 2003; Salikin, 2003). Penurunan produktivitas lahan pertanian
tersebut mengindikasikan bahwa
revolusi hijau juga membawa dampak buruk atau eksternalitas negatif, yaitu meningkatnya erosi tanah, punahnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, bahaya residu bahan kimia pada hasil pertanian, dan lain-lain (Salikin, 2003). Menurut Yansen (2008), revolusi hijau yang diterapkan saat ini juga tidak diikuti pengurangan kemiskinan. Pada masa krisis ekonomi, reformasi hingga sekarang (1997 – sekarang) , lahan pertanian sawah di Jawa semakin tertekan karena peningkatan jumlah penduduk dan buruknya infrastruktur irigasi.
Selama satu dekade terakhir,
infrastruktur irigasi yang telah dibangun secara pesat pada masa Orde Baru tidak terpelihara dengan baik (Yansen, 2008; Khudori 2008). Buruknya infrastruktur irigasi tidak disebabkan oleh tidak adanya
dana, melainkan karena para
penyelenggara dan pemutus kebijakan negeri ini masih terjebak belenggu urban bias. Misalnya, dari 24 proyek yang ditransaksikan dalam infrastruktur Summit 2005, mayoritas untuk orang kota (17 proyek jalan tol, dua proyek pipa gas, empat proyek pengadaan air, dan satu proyek pembangkit listrik, dengan total investasi enam miliar dolar AS) (Khudori, 2008).
Agar tidak berdampak lebih buruk
terhadap penduduk desa yang mayoritas pencahariannya mengandalkan usaha tani, Khudori lebih lanjut manyarankan tentang pentingnya pembangunan infrastruktur desa (jalan desa dan irigasi). Kedua infrastruktur ini berperan penting untuk menjaga keberlanjutan usaha tani pada khususnya dan kesejahteraan petani pada umumnya.
18
Agar sektor pertanian pangan tidak semakin terpinggirkan dalam perkonomian nasional, revitalisasi pertanian mutlak diperlukan, yaitu dengan mengambil tiga langkah penting: (1) pemeliharaan dan investasi pembangunan infrastruktur irigasi, (2) melaksanakan reformasi agraria agar pengurangan kemiskinan bisa dicapai, dan (3) target ekspor beras harus tetap diintegrasikan dengan target ketahanan pangan nasional (Yansen, 2008).
2.2 Karakteristik Biofisik 2.2.1 Agroklimat Berdasarkan data curah hujan selama 10 tahun pada periode 1998-2007, agroklimat pulau Jawa dapat dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) tipe iklim Oldeman, yaitu A1, B1, B2, B3, C2, C3, D3, E3, dan E4.
Klasifikasi agroklimat
Oldeman tersebut didasarkan pada lama bulan basah dan kering berturut-turut, yang disesuaikan dengan rata-rata hujan bulanan untuk menanam padi sawah (> 200 mm) dan untuk tanaman palawija (100-140 mm). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa bulan basah adalah yang hujannya lebih besar dari 200 mm, sedangkan bulan kering adalah yang hujannya kurang dari 100 mm (Oldeman, 1975). Karakteristik dan peta tipe iklim Oldeman disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 6-7. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 6-7, distribusi tipe iklim di Jawa menunjukkan bahwa bagian Barat Jawa memiliki bulan
basah lebih banyak
daripada bagian Timur atau semakin ke Timur lebih kering. Tipe iklim A1 dan B1 hanya dijumpai di provinsi Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Tipe iklim B3 dijumpai di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Cakupan tipe iklim C2, C3, dan D3 menyebar di semua provinsi, tetapi tipe C3,D3, dan E3 paling luas berada di Jawa Timur. Gambar 8 menunjukkan bahwa awal musim hujan di Jawa sangat bervariasi.
Musim hujan di Jawa Barat dan bagian Barat Jawa Tengah dimulai
pada bulan September.
Musim hujan di pantai utara provinsi Banten –DKI
Jakarta –Bekasi-Karawang dan Gresik, Probolinggo-Banyuwangi dimulai pada bulan Desember. Di sebagian besar wilayah provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, musim hujan dimulai pada bulan Oktober-November.
19
Tabel 2. Klasifikasi agroklimat Oldeman (Oldeman, 1975) Tipe Iklim
Bulan basah berturut-turut
Bulan kering berturut-turut
A1
>9
<2
A2
>9
2-4
B1
7-9
<2
B2
7-9
2-4
B3
7-9
5-6
C1
5-6
<2
C2
5-6
2-4
C3
5-6
5-6
C4
5-6
>6
D1
3-4
<2
D2
3-4
2-4
D3
3-4
5-6
D4
3-4
>6
E1
<3
<2
E2
<3
2-4
E3
<3
5-6
E4
<3
>6
2500000 Banten Jawa Barat
2000000 Luas (ha)
Jawa Tengah 1500000
D.I Yogyakarta Jawa Timur
1000000 500000 0 A1
B1
B2
B3
C1
C2
C3
D3
E3
E4
Tipe Iklim
Gambar 6.
Distribusi tipe iklim di Jawa berdasarkan data curah hujan tahun 1998-2007 (BMG, 2008)
20
Gambar 7. Peta zona agroklimat Oldeman Jawa (BMG, 2008)
21
Gambar 8. Prakiraan awal musim hujan di Jawa (BMG, 2008)
22
2.2.2 Tanah Sawah Menurut Hardjowigeno et al. (2004), tanah sawah adalah tanah kering yang diari, atau tanah rawa-rawa yang dikeringkan dengan membentuk saluran-saluran drainase. Proses pedogenesis tanah sawah tidak terlepas dari proses pedogenesis yang berlangsung sebelum tanah disawahkan (Rayes, 2000).
Gong (1986)
mengemukakan bahwa pembentukan tanah sawah meliputi 2 (dua) aspek, yaitu eluviasi dan pengaruh penanaman dan pemupukan.
Eluviasi dipercepat oleh
terjadinya perkolasi air irigasi, sementara itu kondisi reduksi memungkinkan terjadinya pencucian beberapa unsur yang tidak dapat tercuci pada kondisi lahan kering.
Pengaruh penanaman melalui pola tanam berbeda mengakibatkan
perbedaan lamanya penggenangan. Perbedaan penggenangan mengakibatkan perbedaan sifat-sifat morfologi tanah sawah. Penggenangan selama pertumbuhan padi dan pengolahan tanah pada tanah kering yang disawahkan dapat menyebabkan berbagai perubahan sifat tanah, baik sifat morfologi, fisika, kimia, mikrobiologi maupun sifat-sifat lain (Hadjowigeno et al., 2004). Pengolahan dalam keadaan tergenang menyebabkan perubahan sifat fisika tanah antara lain hancurnya agregat (struktur) tanah, pori-pori kasar berkurang sedangkan pori-pori halus meningkat, tanah menjadi melumpur sehingga partikelpartikel halus bergerak ke bawah bersama air perkolasi membentuk lapisan tapak bajak, dibawah lapisan olah, sehingga bobot isi pada lapisan ini menjadi meningkat (Moorman dan van Breemen, 1978; Kanno, 1978). Menurut Kanno (1978), tanah sawah tipikal mempunyai horison utama: horison eluviasi tereduksi (Ag) yang terdiri dari lapisan olah dan lapisan tapak bajak, horison iluviasi teroksidasi (Bg) dengan karatan besi dan mangan, dan horison iluviasi yang secara berkala tereduksi (BgG) dengan noda-noda glei dan karatan kuning kecoklatan, dan horison yang selalu tereduksi (G atau Gg). Gambar 9 memperlihatkan profil tanah sawah tipikal. Ditinjau dari penyebarannya, lebih dari 60% tanah sawah di Indonesia berada di pulau Jawa, yang secara fisiografis menyebar di dataran banjir (aluvial pantai), dan lereng bawah volkan yang berasal dari bahan-bahan piroklastik (Kawaguchi dan Kyuma, 1976; Rayes, 2000).
Tanah sawah sebagian besar
terbentuk di dataran rendah (lereng bawah), yaitu di bentuklahan berbahan aluvial
23
Holocene dan Pleistosin Atas, seperti dataran banjir (floodplain), delta, dan teras sehingga morfologi tanahnya tidak berkembang baik termasuk dalam
kategori
dan
jenis tanahnya
ordo Entisol atau Inceptisols dalam sistem Soil
Taxonomy (Kyuma, 2004). Hardjowigeno et al., (2004) menjelaskan
bahwa
pada tanah Entisols yang terbentuk di daerah dataran banjir di sekitar sungai dan delta, proses pengendapannya (geogenik) lebih cepat daripada proses horisonisasi (pedogenik). Selain itu, lambatnya perkembangan tanah disebabkan oleh kondisi yang selalu jenuh air atau tergenang. Pada tanah Inceptisols yang terbentuk di daerah lembah, perkembangan tanahnya belum begitu matang apabila dibandingkan dengan tanah matang seperti Ultisols dan Alfisols. Rayes (2000) melaporkan hasil penelitiannya tentang genesis tanah sawah berbahan volkan merapi, yang termasuk ordo Inceptisols. Hasil penelitian Rayes tersebut menunjukkan bahwa proses pedogenesis yang penting dalam lapisan olah tanah sawah bertekstur pasir berbahan volkan Merapi adalah reduksi (saat diolah dan digenangi selama pertumbuhan padi) dan oksidasi (saat kering) yang terjadi secara bergantian. Proses yang paling dominan adalah proses eluviasi dalam keaadan tereduksi, selain terjadinya pengkayaan (penambahan lumpur) dari air irigasi yang menyebabkan kandungan liat lapisan ini lebih tinggi daripada horison di bawahnya. Proses gleisasi tidak begitu nyata karena tanah bertekstur pasir dan berdrainase baik.
Gambar 9. Profil tanah sawah tipikal menurut Koenings (1950) dan Moorman dan van Breemen (1978) 24
Penggenangan tanah sawah mempengaruhi perilaku unsur hara dan pertumbuhan serta hasil padi (Prasetyo et al., 2004). Pada saat tanah sawah tergenang, oksigen yang terdapat dalam pori-pori tanah dan air dikonsumsi oleh mikroba tanah, sehingga menyebabkan terjadinya keadaan anaerob (Adiningsih et al., 2004; Prasetyo et al., 2004; Kyuma, 2004). Penggenangan tersebut mengakibatkan perubahan-perubahan kimia tanah sawah (Ponnamperuma, 1976), antara lain: •
Penurunan kadar oksigen dalam tanah
•
Penurunan potensial redoks
•
Perubahan pH tanah
•
Reduksi besi (Fe) dan mangan (Mn)
•
Peningkatan suplai dan ketersediaan nitrogen
•
Peningkatan ketersediaan fosfor.
Ketersediaan unsur pada tanah sawah berkaitan dengan distribusi oksigen pada lapisan olah (Gambar 10). Pada saat tanah digenangi air, pertukaran udara yang terjadi antara tanah, air, dan udara menjadi terhenti dan oksigen dari udara masuk ke dalam tanah melalui genangan air dengan proses difusi. Laju difusi oksigen tersebut adalah sangat rendah, yaitu 10 ribu kali lebih lambat daripada melalui pori yang berisi udara, sehingga keadaan tanah menjadi anaerob. Dalam keadaan anaerob ini, menurut Sanchez (1993), persediaan oksigen menurun sampai mencapai titik nol dalam waktu kurang dari sehari. Oksigen yang terdapat dalam pori-pori tanah dan air dikonsumsi oleh jasad mikro tanah untuk respirasi. Pada saat itu pula, kegiatan mikroba tanah aerob segera diganti oleh mikroba tanah anaerob yang menggunakan energi dari senyawa-senyawa yang mudah tereduksi seperti NO3-, SO42-, Fe3+, dan Mn4+. Senyawa-senyawa tersebut segera direduksi menjadi S2- (sulfida), NO2- (nitrit), dan Mn2+ (mangano), dan Fe2+ (ferro). Pada tanah dengan kadar besi tinggi, ion Fe2+ (ferro) yang larut dalam air dapat meracuni tanaman (Adiningsih et al., 2004).
Pengaruh positif yang
menguntungkan pada sistem sawah, seperti yang dijelaskan oleh Ponnamperuma (1976) adalah terjadinya perubahan pH tanah menjadi sekitar netral (5,5 – 7,50), ketersediaan beberapa unsur hara seperti N, P, K, Fe, Mn, Si, dan Mo. Pengaruh
25
yang merugikan adalah menurunnya kadar S, Zn, Cu yang terikat pada sulfida yang mengendap dan hilangnya NO3- karena denitrifikasi. Adiningsih (1984) mengemukakan bahwa pada tanah tereduksi, ketersediaan K menjadi meningkat karena adanya pertukaran ion K di komplek jerapan oleh ion-ion Fe2+ dan Mn2+. Meningkatnya unsur hara P, menurut Sanchez (1993), disebabkan oleh reduksi ion Fe3+ menjadi ion Fe2+ yang mengakibatkan ikatan Fe-P menjadi lepas.
Gambar 10. Pola distribusi oksigen pada tanah sawah dan bentuk unsurunsur utama mineral setelah stabilisasi ( Prasetyo et al. 2004))
Sifat-sifat fisik tanah sawah yang perlu diperhatikan dalam sistem usaha pertanian padi sawah adalah tekstur, struktur, bobot isi, ketahanan tanah, permeabilitas, dan porositas tanah (Prasetyo et al., 2004). Prihar et al. (1985) mengemukakan bahwa tekstur, tipe mineral, struktur, bahan organik tanah, dan kandungan seskuioksida menentukan pengaruh pelumpuran terhadap sifat-sifat fisik tanah. Pada tanah bertekstur halus, tanah yang terdispersi akibat pelumpuran mampu menutup pori di bawah lapisan olah. Kondisi ini akan mempercepat terbentuknya lapisan tapak bajak (plowpan) yang berpermeabilitas lambat. Menurut Prasetyo et al., (2004) kemampuan membentuk lapisan tapak bajak ini sangat penting untuk sawah irigasi, agar air irigasi tidak mudah hilang melalui
26
perkolasi ke lapisan bawah sehingga air irigasi menjadi efisien. Tanah bertekstur lempung halus, debu halus, liat halus sangat sesuai untuk disawahkan. Grant (1965, dalam Prihar et al., 1985) berpendapat bahwa
tanah-tanah dengan
kandungan liat 25-50% pada lapisan atas (olah) dan tekstur yang sama atau lebih tinggi
pada
lapisan bawah (subsoil) sangat mendukung untuk peningkatan
produksi padi. Pada tanah sawah, mikroba perombak berperan penting untuk perombakan bahan organik, seperti bakteri Nitrosomonass dan Nitrobacter berperan pada proses nitrifikasi- denitrifikasi.
Nitrifikasi adalah transformasi aerobik NH4+
(amonium) menjadi NO3- (nitrat), sedangkan denitrifikasi adalah proses reduksi biokimia nitrat atau nitrit menjadi nitrogen gas, baik sebagai nitrogen molekul (N2) atau nitrogen oksida (N2O). Nitrat hasil nitrifikasi merupakan sumber hara N utama bagi tanaman (Alexander, 1976; Mengel dan Kirkby, 1982; Prasetyo et al.,, 2004).
Proses perombakan bahan organik penting lainnya pada tanah sawah
adalah
yang
dilakukan
Metanosarcina.
oleh
kelompok
mikroba
metanogen,
seperti
Mikroba ini memiliki kemampuan untuk memproduksi gas
metan, sebagai salah satu gas rumah kaca selain CO2. Lahan sawah merupakan satu sumber gas metan atmosfer yang signifikan (Sass dan Cicerone, 1999).
2.3 Ekonomi dan Sosial-Budaya 2.3.1 Penduduk Pulau Jawa dengan luas sekitar 13.3 juta ha merupakan pusat ekonomi, sosial, politik dan budaya di Indonesia (Whitten, 1996). Pada tahun 2005, pulau Jawa dihuni oleh 128,47 juta jiwa atau 58.70% dari total penduduk Indonesia sejumlah 218. 869 juta jiwa (BPS, 2005). Selama periode 1971-2005, rata-rata laju pertambahan penduduk adalah 11.4%. Dari pertambahan penduduk yang pesat tersebut, provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang paling menderita akibat ledakan migrasi penduduk antar provinsi. Jakarta yang diserbu kaum urbanis dari provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan provinsi lainnya, malah ikut menambah penduduk provinsi Jawa Barat terakhir.
27
3.24 juta jiwa dalam lima tahun
Kepadatan penduduk merupakan cerminan dari tekanan penduduk terhadap lahan.
Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin tinggi tekanan
penduduk terhadap lahan (Giyarsih, 2005).
Berdasarkan pada data hasil Sensus
Nasional 2005, kepadatan penduduk di enam provinsi yang ada di pulau Jawa tidak merata. Secara keseluruhan, kepadatan penduduk pulau Jawa adalah 968 jiwa/km2.
Kepadatan penduduk terpadat dijumpai di provinsi DKI Jakarta
(13.605 jiwa/km2 ), kemudian menyusul provinsi D.I Yogyakarta (1.054), Jawa Barat ( 1.050 jiwa/km2), Jawa Tengah (929 jiwa/km2), Banten (965 jiwa/km2), dan Jawa Timur (755 jiwa/km2). Selama kurun waktu 5 tahun (2000-2005), kepadatan penduduk di provinsi DKI Jakarta mengalami peningkatan sangat tajam (Gambar 12). Kepadatan penduduk DKI Jakarta meningkat dari 12.837 jiwa/km2 menjadi 13.603 jiwa/km2. Peningkatan kepadatan penduduk provinsi ini diduga sebagai akibat dari arus urbanisasi penduduk dari provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan provinsi-provinsi lain dari luar Jawa. Peningkatan kepadatan penduduk di provinsi lain
yang cukup tinggi adalah
Banten dan DI. Yogyakarta. Di kedua provinsi ini selama kurun waktu 5 tahun, kepadatan penduduknya mengalami peningkatan lebih dari 100 jiwa/km2.
60,000
Jumlah Penduduk ( 000 Jiwa )
50,000
Banten
40,000
DI Yogyakarta DKI Jakarta
30,000
Jawa Barat Jawa Tengah
20,000
Jawa Timur
10,000
0 1971 1980 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 2025 Tahun
Gambar 11. Pertambahan penduduk di Jawa dari tahun 1971-2025. (1971-2005: hasil sensus, 2010 - 2025: proyeksi)
28
Jumlah penduduk di Jawa pada tahun 2005 mencapai 12.5 juta jiwa, sekitar 60% tinggal di daerah pedesaan. Sekitar 70% penduduk di pedesaan tersebut bekerja di sektor pertanian (BPS,1985-2007). Hasil Sensus Pertanian 2003 yang diperlihatkan pada Gambar 13 menunjukkan bahwa jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) di Jawa mencapai 8.46 juta, yang mana 6.84 juta (80%) mengusahakan tanaman padi sawah sedangkan sisanya 1.62 juta (20%) mengusahakan padi gogo. Jumlah RTP padi sawah sebagian besar terkonsentrasi di provinsi Jawa Barat (Jabar), Jawa Tengah (Jateng), dan Jawa Timur (Jatim).
Kepadatan (jiwa/km 2)
15,000
10,000 T ahun 2005 T ahun 2000 5,000
og ya k D
.I.
D
Y
Ja tim
ar ta
g Ja te n
ar Ja b
K
I.
Ja k
Ba n
ar ta
te n
0
Tahun
3,000 2,500 2,000
Padi
1,500 1,000
Padi Sawah Padi Gogo
500
Ja tim
DI .
Yo gy ak ar ta
Ja te ng
Ja ba r
DK I
Ja ka rta
0
Ba nt en
Jumlah RTP (Ribu)
Gambar 12. Kepadatan penduduk pulau Jawa tahun 2000 dan 2005
Provinsi
Gambar 13. Banyaknya Rumah Tangga Petani (BPS, 2004)
29
Jumlah RTP tersebut adalah 68% dari jumlah RTP padi sawah yang ada di Indonesia (10.06 juta). Selain kepemilikan lahan garapannya yang sempit, petani di Jawa umumnya juga memiliki kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) dengan tingkat pendidikan rendah. Menurut data BPS tahun 2002, tingkat pendidikan tenaga kerja pertanian yang tidak sekolah dan tidak tamat SD sebesar 35%, tamat SD 46%, tamat SLTP 13%. Dibandingkan dengan sektor non pertanian pada tahun yang sama, tingkat pendidikan tenaga kerja yang tidak sekolah dan tidak tamat SD 31%, tamat SLTP sekitar 20%, dan tamat SLTA 27%. Tingginya tingkat pendidikan di sektor nonpertanian ini sebagian besar berasal dari mereka yang melakukan urbanisasi atau yang meninggalkan sektor pertanian di pedesaan.
2.3.2 Ekonomi Selain penduduknya terbesar dan terpadat, pulau Jawa juga merupakan pusat perekonomian nasional. Selama tahun 2007, kinerja perekonomian di pulau Jawa yang digambarkan oleh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan dari provinsi DKI. Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, dan Jawa Timur
mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar
5.79%. Nilai PDRB rata-rata dari 6 provinsi tersebut mencapai
178 triliun.
Nilai PDRB tertinggi dicapai provinsi DKI Jakarta (312.71 triliun), kemudian menyusul provinsi Jawa Barat (257.54 triliun), Jawa Timur (256.37 triliun), Jawa Tengah (150.68), Banten (61.32 triliun), dan D.I Yogyakarta (29.42 triliun).
350
PDRB (trilun)
300 250 200 150 100 50 0 DKI Jakarta
Banten
Jabar
Jateng
DI. Yogyakarta
Jatim
Provinsi
Gambar 14. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2007 atas harga konstan tahun 2000
30
Penduduk di Indonesia, termasuk Jawa,
sebagian besar bekerja pada
sektor pertanian. Lebih dari 83% kabupaten/kota ekonominya berbasis kepada pertanian (Deptan, 2006).
Berdasarkan pada data PDRB tahun 2007 yang
ditampilkan pada Tabel 3, laju pertumbuhan perekonomian rata-rata dari sektor pertanian di Jawa mencapai 7,54%. Terendah dijumpai di provinsi DKI Jakarta, yaitu 0.92, sedangkan yang terbesar di provinsi Jawa Barat (35.44). Sektor pertanian tersebut meliputi tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa sekitar 9.59 juta RTP atau 70% dari 13.7 juta RTP di Jawa mengusahakan padi dan palawija. Kecilnya nilai pertumbuhan dari sektor pertanian di provinsi DKI Jakarta dapat dimengerti, mengingat provinsi ini memiliki lahan pertanian sangat sempit. Tingginya nilai pertumbuhan perekonomian dari sektor pertanian di provinsi Jawa Barat, namun demikian, tidak diikuti peningkatan kesejahteraan petani. Pada tahun 2007, tingkat kesejahteraan petani di Jawa Barat lebih rendah dibandingkan tiga provinsi lainnya yaitu Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Kondisi ini dapat dilihat dari rendahnya indeks Nilai Tukar Petani (NTP), yaitu indeks rasio harga yang
diterima
dengan
harga yang dibayar rumah tangga tani.
Rendahnya NTP disebabkan oleh harga jual petani di Jawa Barat lemah, biaya produksi tinggi, nilai tukar petani rendah, dan
produksi petani dijual ke
tengkulak. Nilai tukar petani di Jawa Barat hanya 95, sedangkan di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur secara berurutan adalah 105, 102, dan 100,3. Nilai tukar petani 96 di Jawa Barat menunjukkan bahwa
petani mengalami defisit,
kenaikan harga produksi relatif lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan harga barang konsumsinya, dan pendapatan petani di Jawa Barat cenderung turun. Nilai tukar petani di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur lebih dari 100 berarti ketiga daerah tersebut mengalami surplus, harga produksi naik lebih besar dari kenaikan harga komsumsinya dan pendapatan petani naik lebih besar dari pada konsumsinya (Swastiyani, 2008).
31
Tabel 3.
Nilai dan laju Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tahun 2006 atas harga konstan tahun 2000 (dalam triliun) Provinsi 1
Sektor Usaha
2
DKI Nilai
3
Banten LP
Nilai
Jateng4
Jabar
LP
Nilai
LP
Nilai
DIY5
LP
Nilai
Jatim6 LP
Nilai
LP
Pertanian
0.29
0.92
5.00
1.10
34.72
35.44
31.00
3.60
3.31
0.57
44.70
3.61
Pertambangan & Penggalian
0.94
0.46
0.06
3.75
7.02
-14.54
1.68
15.40
0.20
0.03
5.02
9.13
53.65
4.68
30.55
5.43
114.30
4.19
48.19
4.52
4.08
10.17
70.64
4.62
2.09
4.55
2.51
2.19
5.76
6.69
1.26
6.49
0.38
0.06
4.43
5.73
Bangunan/Konstruksi
31.17
7.62
1.66
5.18
8.11
0.19
8.45
6.10
2.87
0.73
8.90
3.49
Perdagangan, hotel, restoran
67.68
7..04
11.48
7.28
50.61
9.05
7.45
5.85
5.56
1.14
74.55
9.17
Pengangkutan dan komunikasi
26.61
14.65
5.42
10.31
11.14
-0.78
7.45
6.63
3.05
0.61
14.52
4.99
Keuangan, Persewaan
94.28
4.40
1.89
8.23
7.68
1.24
5.40
6.55
2.78
0.43
12.67
7.56
Jasa
36.12
6.07
2.74
9.44
18.20
0.38
15.44
7.89
5.90
20.95
4.29
312.71
6.61
61.32
5.53
257.54
7.27
150.68
5.33
29.42
256.37
5.84
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, Air Bersih
PDRB
Sumber: 1) BPS DKI (2008), BPS Banten (2008), BPS Jawa Barat (2008), BPS Jawa Tangeh (2008),
32
BPS DI. Yogyakarta (2008), BPS Jawa Timur (2008).
0.47
4.20
2.3.3 Sosial-Budaya Revitalisasi pertanian lahan sawah di Jawa tidak bisa terlepas dari faktor sosial-budaya. Gany (2006) mengemukakan bahwa berdasarkan pada pengalaman sejarah pengembangan teknologi irigasi di Indonesia harus memperhatikan faktor budaya, disamping faktor sosial, ekonomi, moral, etika, bahkan pertahanan dan keamanan. Budaya suku Jawa dan Sunda yang mendominasi masyarakat petani pedesaan di Jawa berperan penting terhadap kemajuan sistem pertanian padi sawah. Sistem sosial dan budaya dalam masyarakat pertanian telah berperan dalam membangun ketahanan pangan dan ketahanan sosial, seperti lumbung pangan, sistem arisan, dan lainnya (Deptan, 2006).
Gani (2006) menambahkan
bahwa budaya Sistem pertanian padi sawah yang ada di Jawa saat ini tidak terlepas dari pengaruh budaya nenek moyang kita yang telah ditanamkan oleh budaya Dong Son dari Vietnam Utara pada abad ke-3 (Yokokura, 1987, dalam Poniman, 1989) dan budaya India pada abad ke-8 hingga ke-13
(Lombard,
1996b; Poniman, 1989). Dari sistem pertanian padi sawah yang ada, Poniman (1989) mengelompokkan budaya padi di Indonesia menjadi enam wilayah, yaitu wilayah Jawa-Bali, wilayah pegunungan & perbukitan dan pantai luar Jawa, wilayah Aceh, wilayah Wallacea, dan wilayah Timur Indonesia. Budaya padi sawah di Jawa dan Bali dipengaruhi oleh kondisi tanahnya yang berbahan induk volkan. Disamping airnya yang cukup, tanaman padi di Jawa dan Bali dapat tumbuh dengan subur di tanah yang kaya akan unsur hara dari hasil pelapukan batuan volkan.
Sistem pertanian di kedua daerah ini
menggunakan sapi bajak dan cangkul untuk pengolahan tanah dan ani-ani untuk panen padi, yang merupakan warisan dari budaya India pada abad ke-8 dan budaya Dong Son pada abad ke-3 (Poniman, 1989).
Pengolahan tanah sawah
dengan teknologi yang telah diperkenalkan oleh budaya Dong Son dan India tersebut merupakan tindakan adaptif terhadap kondisi lingkungan tanah di Jawa dan Bali yang sebagian besar terbentuk dari bahan induk volkan. Pada tanah mineral yang berbahan induk volkan, unsur hara tanaman sebagai hasil pelapukan dari mineral-mineral primer umumnya berada pada kedalaman sekitar 20-30 cm. Teknologi pengolahan tanah dengan bajak merupakan upaya untuk membalik
33
tanah yang kaya unsur hara agar tanaman padi yang ditanam dapat tumbuh seperti yang diharapkan.
Soemarwoto (2008) mengemukakan bahwa pertanian padi
sawah dapat dianggap sebagai adaptasi manusia terhadap lingkungan yang banyak bergunung dengan curah hujan yang tinggi. Di Jawa Tengah, pertanian padi sawah yang mengikuti garis kontur disebut nyabuk gunung, yaitu seperti ikat pinggang yang melingkari gunung, sedangkan di Jawa Barat disebut ngais pasir, yaitu ibaratnya menggendong gunung dengan selendang. Kelangsungan sistem pertanian padi sawah dengan teknologi modern selain dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, juga dipengaruhi oleh adanya budaya yang mengagungkan Dewi Padi Sang Hyang Sri (mother rice). Budaya pengagungan Dewa Sang Hyang Sri ini masih dilestarikan di beberapa wilayah di Jawa, misalnya adanya cerita legenda burung dan Hainuwele sebagai asal mula tanaman padi (Poniman, 1989). Penerapan budaya Dewi Padi ini merupakan ikatan sakral bagi sebagain besar masyarakat petani di Jawa dan dapat berperan sebagai faktor inherent untuk menjaga keberlanjutan pertanian padi sawah. Pengolahan tanah sawah di daerah pegunungan dan perbukitan diterapkan di daerah yang memiliki tanah-tanah
berbahan induk non volkan.
Sistem
pertanian di wilayah ini umumnya dilakukan secara berpindah-pindah. Sistem pertanian padi sawah yang menetap seperti di Jawa dan Bali, namun demikian, juga masih diterapkan di beberapa daerah, seperti di Tapanuli (Sumatera Utara). Budaya menanak nasi dan memproduksi alkohol, dan pengagungan Dewa Sang Sri juga masih di terapkan di wilayah pegunungan dan perbukitan. Budaya padi wilayah pantai diterapkan di daerah pantai pantai Barat, Selatan, dan Timur Kalimantan.
Timur Sumatera,
Di wilayah-wilayah ini yang
tanahnya didominasi oleh tanah Gambut (Organosol), sistem pertaniannya masih dilakukan secara berpindah-pindah. Penyiapan lahannya menggunakan parang dan tajak, bukan menggunakan sapi bajak seperti di Jawa dan Bali. Penanaman padi dilakukan dengan menggunakan kuku kambing dan tugal, dan panen padi menggunakan ani-ani dari peninggalan budaya Dong Son
(Poniman, 1989).
Penyiapan lahan dengan parang dan tajak ini merupakan teknologi lokal (local knowledge) untuk dapat beradaptasi
dengan karakteristik tanah gambut yang
memiliki bahan beracun sulfidik. Masyarakat petani lokal di daerah Gambut ini
34
secara alami mengetahui bahaya beracun sulfidik yang terungkap di atas permukaan dapat mengakibatkan tanaman padi tidak dapat hidup. Sistem pertanian padi sawah Aceh hampir mirip dengan di Jawa dan Bali, yaitu dilakukan secara menetap, dan pengolahan tanah dengan bajak. Pengagungan dewa padi, seperti Hainuwele juga dikenal, namun legenda asal mula tanaman padi ini berjenis kelamin laki-laki, bukan perempuan seperti Sang Hyang Sri di Jawa dan Bali. Budaya padi sawah di wilayah Wallace diterapkan di daerah Lombok, Sumbawa, Sumba, dan Sulawesi. Sistem pertanian di daerah ini umumnya dilakukan dengan cara berpindah-pindah pada lahan semak belukar (bush fallow system). Namun demikian, sistem bertani dengan berpindah-pindah dan menetap juga dilakukan di sistem budaya ini. Teknologi pengolahan tanah menggunakan pak-pak, mrancah kerbau (buffalo trampling), dan kadang-kadang dengan sapi (Cattle Trampling). Seperti halnya di Jawa, pengagungan kepada Sang Hyang Sri dan legenda Hainuwele juga dikenal di beberapa wilayah. Budaya padi sawah wilayah Timur Indonesia berbeda dengan di Jawa. Sistem pertaniannya umum menggunakan ladang berpindah. Panen padi menggunakan pisau atau tangan. Ani-ani dan arit hampir tidak dikenal di wilayah budaya ini. Sistem pertanian berpindah juga diterapkan di beberapa daerah, walaupun tidak banyak.
Pengagungan kepada dewa padi tidak dikenal, namun
legenda Hainuwele tentang cerita asal mula tanaman padi dijumpai.
2.4 Multifungsi Lahan Sawah 2.4.1 Fungsi Kelestarian Sumberdaya Tanah Lahan sawah merupakan ekosistem yang stabil atau berkelanjutan. Keberlanjutan lahan sawah ini didukung oleh proses fisik, kimia, dan biologi tanah.
Dari proses fisik, terbentuknya lapisan tapak bajak karena proses
pelumpuran (Moorman dan van Breemen, 1978; Kanno, 1978) mengurangi hilangnya air melalui seepage dan perkolasi. Selain itu, pelumpuran pada tanah sawah dapat berperan untuk pengendalian gulma. Tarigan dan Sinukaban (2001) mengemukakan bahwa tanah sawah berperan sebagai filter sedimen yang datang dari lereng atas dan diendapkan pada teras-teras. Karena posisinya di lereng
35
bawah, tanah sawah sebagai tempat berakumulasinya air dan unsur hara yang terlarut maupun yang teradsorpsi koloid tanah. Irawan et al. (2004) melaporkan hasil penelitiannya bahwa peran sawah sebagai pengendali banjir dan pemasok sumberdaya air paling mudah dipahami oleh masyarakat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Irianto et al. (2001) menunjukkan bahwa areal lahan sawah di suatu DAS (Daerah Aliran Sungai) dapat berperan untuk menghambat debit aliran permukaan, sehingga air tidak cepat terbuang di outlet. Dari proses kimia tanah, seperti yang telah disebut sebelumnya, penggenangan tanah sawah mendorong perubahan pH tanah menjadi sekitar netral (5.5-7.5) yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara seperti: N, P, K, Fe, Mn, Si, dan Mo (Ponnamperuma, 1976, Adiningsih, 1984) . Menurut Adiningsih et al. (2004),
ketersediaan nitrogen pada tanah yang digenangi
lebih tinggi
daripada yang tidak digenangi. Bahan organik dimineralisasi pada tanah anaerob lebih lambat daripada tanah aerob, tetapi jumlah neto yang termineralisasi pada tanah anaerob lebih besar karena nitrogen yang termobilisasi lebih sedikit.
2.4.2 Fungsi Sosial-Budaya Pekerjaan pertanian persawahan di Jawa, menurut Sajogyo dan Sajogyo (2005), menciptakan sistem tolong-menolong atau gotong royong. Sabiham (2008) mengemukakan bahwa lahan sawah merupakan pengikat kelembagaan perdesaan sekaligus barang umum (public good) yang mendorong masyarakat pedesaan bekerjasama lebih produktif.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Nurmanaf et al. (2001) menunjukkan bahwa hubungan atau kerjasama antar petani merupakan lembaga yang tumbuh di masyarakat sejak lama dan secara luas dirasakan manfaatnya bagi petani itu sendiri. Hubungan antar petani tersebut terganggu apabila lahan sawah yang ada dialihfungsikan ke keperluan lain. Hilangnya lahan sawah yang merupakan media berinteraksi menjadikan hubungan dan kerjasama antar petani semakin berkurang dan cenderung melakukan kegiatan secara individual. Beralih fungsinya lahan sawah menjadi kawasan industri di daerah pedesaan di Kabupaten Karawang, seperti yang diteliti oleh Jamal (1997, dalam Nurmanaf et al., 2001), mengakibatkan masyarakat cenderung semakin individualis. Seperti yang ditunjukkan di desa Jagakarsa pinggiran kota Jakarta,
36
sistem kerja gotong royong telah berkurang sejak masa peralihan dari pertanian lahan sawah ke pertanian buah-buahan (Sajogyo dan Sajogyo, 2005).
2.4.3
Fungsi Ekonomi Lahan sawah merupakan sumberdaya sangat vital untuk mendorong
perekonomian masyarakat perdesaan. Anwar (2005) mendefinisikan sumberdaya sebagai segala sesuatu yang dipandang memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat baik yang mencakup nilai yang
dikonsumsi maupun nilai yang tidak
dikonsumsikan secara langsung. Dari nilai yang dikonsumsi, lahan sawah dapat menghasilkan utilitas (kepuasan) melalui proses produksi sebagai lumbung beras. Yang tidak dikonsumsi secara langsung, lahan sawah dapat menghasilkan nilai kepuasan karena memiliki panorama yang indah dan fungsi konservasi dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Lahan sawah memiliki nilai ekonomi secara langsung sebagai lapangan kerja bagi petani itu sendiri dan secara tidak langsung sebagai pendorong timbulnya aktivitas ekonomi lainnya.
Nurmanaf et al. (2001) menyimpulkan
hasil penelitiannya bahwa lahan sawah merupakan aset sangat berharga bagi ekonomi rumah tangga masyarakat petani di pedesaan. Sebagian besar petani sangat mengandalkan pendapatan sehari-hari
pada
usaha tani lahan sawah.
Usaha tani dari petani tersebut juga mendorong terciptanya lapangan kerja bagi orang lain, seperti usaha penggilingan beras, industri makanan dan minuman, industri traktor, penyewaan traktor, industri pupuk, dan lain-lain. Selain sebagai tempat lapangan pekerjaan bagi petani itu sendiri dan mendorong terciptanya lapangan kerja bagi orang lain,
nilai ekonomi lahan
sawah dapat dinilai dari biaya pengamanan lahan sawah sebagai pencegah banjir dan pengendali erosi, serta fungsi-fungsi lingkungan lainnya seperti
sebagai
penyedia sumber air, habitat berbagai satwa, tempat rekreasi, dan penyejuk suhu udara sekitar (Nurmanaf et al., 2001; Irawan et al., 2004)
2.5 Konversi Lahan Proses konversi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu (1) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat
37
dan pemerintah, dan (2) sistem non kelembagaan yang berkembang secara alami dalam masyarakat.
Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat
dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan tentang konversi lahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Sumaryanto et al. (2001) mengklasifikasikan konversi lahan sawah berdasarkan pada pelaku konversi dan prosesnya. Ditinjau dari pelaku konversi, konversi lahan dilakukan melalui dua cara: secara langsung oleh pemilik lahan dan pengalihan penguasaan. Yang dilakukan secara langsung oleh pemilik lahan didasarkan pada 3 motif tindakan: (a) untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, (b) peningkatan pendapatan melalui alih usaha, (c) kombinasi a dan b , yaitu untuk membangun rumah tinggal sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola konversi ini berdampak pada jangka panjang. Yang melalui pengalihan penguasaan, pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non sawah atau kepada makelar.
Pola konversi lahan sawah seperti ini terjadi dalam
hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi, umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi, dan dampaknya berlangsung cepat dan nyata. Apabila ditinjau prosesnya, konversi lahan sawah dapat
terjadi secara gradual dan seketika.
Konversi lahan secara gradual umumnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal akibat rusaknya saluran irigasi atau usaha tani padi tidak menguntungkan. Konversi lahan secara seketika umumnya terjadi di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi daerah permukiman atau kawasan industri.
Pasandaran (2006)
mengemukakan bahwa paling tidak ada tiga faktor sebagai penyebab terjadinya konversi lahan, yaitu kelangkaan sumberdaya lahan dan air, dinamika pembangunan, dan peningkatan jumlah penduduk.
Menurut Rustiadi et al.
(2008), konversi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent lebih tinggi. Lebih lanjut Isa (2006) menjelaskan bahwa faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian terdiri dari faktor kependudukan, kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian, faktor ekonomi (nilai sewa lahan) , faktor sosial budaya (fragmentasi lahan karena keberadaan hukum waris), degradasi lingkungan, otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih
38
tinggi
guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan lemahnya
penegakan hukum. Hingga saat ini konversi lahan baik yang direncanakan melalui sistem kelembagaan maupun non kelembagaan (secara alami) masih terus berlangsung. Dugaan ini terbukti dengan adanya rencana pembangunan jalan tol trans Jawa sepanjang 625 km dari Jawa Barat hingga Jawa Timur (Gambar 15), yang berpotensi memicu konversi lahan sawah produktif sekitar 4.264 ha (Litbang Kompas, 2008).
Konversi lahan yang semakin marak ini sulit dihindari karena
faktor ekonomi yang tercermin dari rendahnya land rent lahan untuk pertanian dibandingkan dengan kegiatan sektor lain (Irawan, 2004). Rasio land rent lahan pertanian adalah 1: 500 untuk kawasan industri dan 1: 622 untuk kawasan perumahan (Nasoetion dan Winoto, 1996). Adimihardja (2006) berpendapat bahwa rendahnya persepsi masyarakat terhadap multifungsi lahan sawah mengakibatkan lahan sawah mudah terkonversi, selain faktor eksternal, yaitu pembangunan sektor non-pertanian yang memilih lahan yang umumnya bertopografi relatif datar yang siap pakai dari karakteristik biofisik dan aksesibiltas.
Menurut Tambunan (2008), umumnya konversi lahan sawah
menjadi daerah permukiman dan industri banyak terjadi di wilayah-wilayah sentra produksi beras yang posisinya dekat dengan jalan raya atau tol, seperti di Jawa Barat
(Karawang,
Subang,
Tasikmalaya,
Cianjur,
Sukabumi,
Bandung,
Purwakarta, dan Cirebon), Jawa Tengah (Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Demak, Kudus, Pati, dan Grobogan), Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Adapun menurut Pasandaran (2006), permintaan lahan cenderung tinggi pada kawasan pertanian yang sudah berkembang dengan sasaran konsumen di daerah pinggiran kota.
Secara keseluruhan, konversi lahan sawah untuk
perumahan hampir 58.7% dan untuk industri, perkantoran, dan pertokoan sekitar 21.8%, sedangkan di luar Jawa, hampir 49% untuk perkebunan, dan 16.1% untuk perumahan. Dari hasil pemantauan penutup lahan yang diinterpretasi dari citra Landsat ETM tahun 2000 dan 2005 (Poniman dan Nurwadjedi, 2008), konversi lahan sawah menjadi permukiman dan industri mencapai 26,770.10 ha atau 5,354.02 ha/tahun.
Penyusutan lahan sawah tersebut diikuti oleh penyusutan
hutan seluas 4,975.26 ha, perkebunan 94.44 ha, dan ladang 64,707.32 ha, lahan
39
terbuka, 568.08 ha, semak belukar 544.79 ha, dan tubuh air 35,370.70 ha. Selama kurun waktu lima tahun tersebut, pertambahan lahan permukiman dan industri mencapai 104,799.10 ha atau 34.933 ha/tahun. Seperti yang diperlihatkan pada Tabel 4 dan Gambar
16,
pada masa
kejayaan Orde Baru atau era Presiden Suharto (1979-1990) berhasil mencapai prestasi swasembada pangan dan laju konversi lahan sawah di Jawa cenderung
Gambar 15. Rencana jalan tol trans Jawa (Litbang Kompas, 2008) Tabel 4. Dinamika konversi lahan sawah di Jawa Periode
Masa Pemerintahan
Nama Kabinet
Konversi Lahan (ha)
Laju (ha/tahun)
1979-1984
Orde Baru
Pembangunan III-1V
41,736
8,347
1985-1990
Orde Baru
Pembangunan IV-V
37,631
7,526
1991-1996
Orde Baru
Pembangunan V-VI
142,626
28,525
1997-2000
Krisis Ekonomi dan Reformasi
Pembangunan VI-VII 186,813
62,271
76,770
15,534
Reformasi Pembangunan Persatuan Nasional
2000-2005
Pascareformasi
Gotong Royong Indonesia Bersatu
Sumber: Data 1979-1999 dari Ilham et al. (2005), Data 2000-2005 dari Poniman dan Nurwadjedi (2008)
menurun dari 8,347 ha/tahun menjadi 7,526 ha/tahun. Pada saat itu, diperkirakan pemerintah berhasil mengendalikan konversi lahan sawah yang disertai dengan penerapan
program intensifikasi melalui panca usaha tani, yaitu teknik
pengolahan lahan pertanian, pengaturan irigasi, pemupukan (organik dan kimia), pemberantasan hama, dan penggunaan bibit unggul. Pada periode 1990-1996,
40
laju konversi lahan mulai cenderung naik dan mencapai puncaknya, yaitu sekitar 62,721 ha/tahun, pada masa krisis ekonomi atau reformasi (1997-2000). Fenomena meningkatnya konversi lahan sawah pada masa krisis ekonomi atau masa reformasi ini bisa dimaklumi karena pada masa itu pintu demokrasi dibuka sehingga masyarakat memperoleh kemudahan atau kebebasan dari pemerintah untuk menyalurkan segala aspirasinya, termasuk melakukan konversi lahan sawah menjadi penggunaan lain. Pada masa krisis itu, Pulau Jawa juga sering dilanda bencana alam banjir dan tanah longsor. Guritno (2006) mencatat bahwa sejak
Lahan Sawah Terkonversi (ha)
tahun 1997 kejadian bencana banjir di Jawa cenderung meningkat. Krisis ekonomi /masa reformasi
200,000 180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 20,000 0
Orde Baru
1979-1984
1985-1990
Pascareformasi
1991-1996
1997-2000
2000-2005
Tahun
Gambar 16. Perkembangan konversi lahan sawah di Jawa tahun 1979-2005 Pada tahun 2000-2005 (pascareformasi), laju konversi lahan sawah menjadi menurun. Pada masa itu, pemerintah dihadapkan pada masalah krisis pangan dan bencana alam (banjir dan tanah longsor). Prestasi swasembada pangan yang telah dicapai pemerintah orde baru tidak bisa dipertahankan. Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris berubah menjadi negara pengimpor beras. Simatupang dan Timmer (2008, dalam Tambunan, 2008) menjelaskan bahwa
penurunan laju
pertumbuhan produksi beras di Indonesia selama tahun 1998-2005 mencapai 1.22%. Menurunnya produksi beras tersebut tentunya dipengaruhi oleh penyusutan lahan sawah di pulau Jawa karena konversi lahan sawah, mengingat hampir 60% produksi beras nasional disuplai dari pulau ini. Masalah penurunan produksi beras ini dibarengi oleh maraknya kejadian bencana banjir dan tanah longsor hampir di setiap wilayah, termasuk di Pulau Jawa. Kedua masalah ini menyadarkan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mengendalikan konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian agar krisis
41
Gambar 17. Peta penutup lahan Pulau Jawa tahun 2000
42
Gambar 18. Peta penutup lahan pulau Jawa tahun 2005
43
Tabel 5. Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2000 (ha) Provinsi DKI Jakarta
Hutan
Perkebunan
Ladang
Sawah
Permukiman
Lahan Terbuka
Semak Belukar
Tubuh air
Lain-lain*
Total
215.21
0.00
2,778.27
3,758.25
55,989.95
777.63
127.44
720.61
750.47
65,117.83
Banten
150,657.25
37,301.63
348,124.27
248,390.49
71,198.75
12,290.47
26,538.33
16,902.61
23,647.53
935,051.33
Jawa Barat
632,770.79
185,660.35
1,294,264.04
1,183,466.80
253,383.55
47,899.26
52,927.84
91,731.23
31,139.10
3,773,242.96
Jawa Tengah
696,686.45
23,191.95
1,089,538.22
1,075,398.61
410,046.50
4,687.87
38,662.30
53,543.45
49,325.92
3,441,081.27
DI. Yogyakarta Jawa Timur
33,869.64
0.00
162,358.56
55,478.30
60,722.84
364.50
3,614.68
660.85
235.40
317,304.77
1,520,600.67
93,192.01
1,512,127.05
1,080,106.72
371,115.41
36,436.14
17,932.83
97,685.38
73,624.47
4,802,820.68
339,345.93
4,409,190.40
3,646,599.17
1,222,457.00
102,455.86
139,803.42
261,244.12
178,722.89
13,334,618.84
Total 3,034,799.99 Sumber: Poniman dan Nurwadjedi (2008)
Tabel 6 . Luasan penutup lahan di Jawa tahun 2005 (ha) Provinsi DKI Jakarta
Hutan
Perkebunan
Ladang
Sawah
Permukiman
Lahan terbuka
Semak belukar
Tubuh air
Lain-lain*
Total
215.21
0.00
2,225.30
3,288.46
57,651.51
138.85
127.43
720.60
750.47
65,117.83
Banten
152,944.36
37,240.85
353,985.74
247,644.31
80,040.71
12,259.19
26,447.99
17,045.42
7,442.76
935,051.33
Jawa Barat
637,189.46
186,061.86
1,263,299.57
1,154,815.48
259,964.26
47,849.21
52,936.67
89,717.65
81,408.80
3,773,242.96
Jawa Tengah
695,056.52
23,166.00
1,084,917.94
1,057,283.08
426,909.20
4,928.61
38,533.79
22,938.08
87,348.05
3,441,081.27
29,638.95
0.00
149,962.59
54,225.87
73,755.04
357.99
3,426.72
647.83
5,289.78
317,304.77
DI. Yogyakarta Jawa Timur
1,514,780.25
92,782.78
1,490,091.94
1,052,571.86
428,935.38
36,353.94
17,786.03
94,803.83
74,714.67
4,802,820.68
Total
3,029,824.73
339,251.49
4,344,483.08
3,569,829.06
1,327,256.10
101,887.78
139,258.63
225,873.42
256,954.53
13,334,618.84
Sumber: Poniman dan Nurwadjedi (2008) , Lain-lain : awan, rawa, tambak, pelabuhan laut, padang rumput, dan tidak ada data.
44
Tabel 7. Perubahan penutup lahan di Jawa (2000-2005) No.
Tipe Penutup Lahan
(ha)
3,034,799.99
3,029,824.73
-4,975.26
339,345.93
339,251.49
-94.44
Ladang
4,409,190.40
4,344,483.08
-64,707.32
4.
Sawah
3,646,599.17
3,569,829.06
-76,770.11
5.
Pemukiman
1,222,457.00
1,327,256.10
104,799.10
6.
Lahan Terbuka
102,455.86
101,887.78
-568.08
7.
Semak Belukar
139,803.42
139,258.63
-544.79
8.
Tubuh Air
261,244.12
225,873.42
-35,370.70
9.
Lain-lain
166,444.77
193,496.35
27,051.58
13,272,340.65
13,272,340.65
14. Perubahan penutup lahan di Jawa (2000-2005) Tahun 2000
Se m
Te rb uk a ak Be lu ka r Tu bu h Ai r La in -L ai n
Tahun 2005
La da ng
5,000,000Gambar 4,500,000 4,000,000 3,500,000 3,000,000 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 500,000 0
Hu ta n Pe rk eb un an
Luas (ha)
Total
an
3.
(ha)
uk im
Perkebunan
(ha)
La ha n
2.
Perubahan
Pe m
Hutan
Tahun 2005
Sa wa h
1.
Tahun 2000
Tipe Penutup Lahan
Gambar 19. Perubahan penutup lahan di Jawa (2000 – 2005) pangan dan bencana banjir tidak berkelanjutan. Berdasarkan pada data penutup lahan tahun 2000-2005 (Poniman dan Nurwadjedi, 2008), selama 5 tahun lahan sawah di Pulau Jawa yang beralih fungsi ke penggunaan lain adalah 76,770.11 ha dengan laju 15,354.02 ha/tahun (Tabel 8). Konversi lahan sawah ke bentuk penggunaan lain terbesar terjadi di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, yang secara berurutan adalah 28,651.32 ha dan 27,534.86 ha dengan laju 5,730 dan 5,507 ha/tahun. Apabila diasumsikan produktifitas lahan sawah yang terkonversi tersebut berkisar 5-6 ton/ha GKG (gabah kering giling), maka produksi padi yang
45
hilang setiap tahun akibat konversi lahan adalah 76,770 – 92,124 ton. Hasil penelitian Sumaryanto et al., (2001) menunjukkan bahwa di Jawa Barat sekitar 25% dari lahan sawah yang terkonversi
adalah beririgasi teknis/semi teknis,
sementara di Jawa Timur mencapai 45%. Peringkat tertinggi lahan sawah yang terkonversi terjadi di wilayah sekitar urban dengan pertumbuhan penduduk dan industri/jasa yang tinggi. Di Jawa Barat, lahan sawah yang banyak mengalami konversi lahan adalah di wilayah Botabek, Jalur Pantura, dan Kabupaten Bandung; sedangkan di Jawa Timur adalah di Gresik, Sidoarjo, Kediri, dan Mojokerto. Tabel 8. Sebaran lahan sawah di Pulau Jawa tahun 2000-2005* Provinsi
DKI Jakarta
Tahun
Tahun
2000
2005
Beralih Fungsi ke Penggunaan Lain
Laju Konversi Lahan
(ha)
(ha/tahun)
3,758.25
3,288.46
469.79
94
248,390.31
247,644.31
746.18
149
Jawa Barat
1,183,466.80
1,154,815.48
28,651.32
5,730
Jawa Tengah
1,075,398.61
1,057,283.08
18,115.53
3,623
Yogyakarta
55,478.30
54,225.87
1,252.43
250
Jawa Timur
1,080,106.72
1,052,571.86
27,534.86
5,507
Total
3,646,599.17
3,569,829.06
76,770.11
15,354
Banten
* Sumber data: Poniman dan Nurwadjedi (2008).
Seperti yang dilaporkan oleh Sumaryanto et al. (2001), konversi lahan sawah dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional,
penurunan pendapatan pertanian dan
meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal, pemubaziran investasi, pengubahan struktur kesempatan kerja dan pendapatan komunitas setempat.
Selain itu,
karena fungsinya secara hidrologis dapat menahan aliran permukaan dari daerah hulu, hilangnya lahan sawah sangat dimungkinkan dapat memicu bencana banjir di daerah hilir. Berkurangnya lahan sawah karena konversi lahan bersifat irreversibel. Tidak seperti halnya penurunan produksi yang disebabkan oleh serangan hama 46
dan penyakit tanaman, kekeringan, atau banjir; menurunnya produksi padi akibat konversi lahan sawah bersifat permanen. Hampir tidak pernah dijumpai lahan sawah yang telah terkonversi ke penggunaan lain beralih fungsi lagi menjadi lahan sawah. Kerugian yang ditimbulkan oleh konversi lahan tersebut bersifat linier dengan tingkat produktifitas lahan sawah. Semakin tinggi produktifitas lahan sawah yang terkonversi, semakin tinggi pula kerugian yang ditimbulkannya. Kajian yang dilakukan oleh Sumaryanto et al. (2001) juga menunjukkan bahwa konversi lahan sawah dapat menimbulkan hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4.5-12.5 ton/ha/tahun, tergantung pada kualitas lahan sawah, yakni ketersediaan air dan kesuburan tanah. Karena fungsinya sebagai tempat lapangan kerja bagi petani dan pendorong terciptanya banyak lapangan kerja bagi orang lain, hilangnya lahan sawah dapat berdampak negatif bagi kelangsungan ekonomi masyarakat pedesaan yang mengandalkan pada usaha tani padi sawah. Penelitian yang dilakukan oleh Soemaryanto et al. (2001) membuktikan bahwa konversi lahan dapat mengakibatkan masyarakat lokal (pemilik tanah semula dan buruh tani) banyak sekali yang tak dapat menikmati kesempatan kerja dan pendapatan dari aktivitas ekonomi yang baru. Mereka umumnya tidak dapat bersaing dengan para pendatang yang memanfaatkan lahan sawah yang terkonversi. Selain itu, konversi lahan sawah ke penggunaan lain juga berarti memubazirkan nilai investasi yang telah ditanamkan. Menurut Sumaryanto et al. (2001), nilai investasi untuk menghasilkan 1 ha lahan sawah beririgasi teknis beserta sarana pendukungnya semakin mahal seiring dengan makin tingginya harga tanah dan makin sedikitnya sumber air yang potensial. Apabila nilai yang tak terukur (intangible) diperhitungkan, konversi lahan sawah dapat diartikan mencabut budaya usahatani padi yang sejak lama telah diperkenalkan oleh nenek moyang kita.
Nilai budaya yang tercabut tersebut berdampak pada perubahan
struktur kesempatan kerja bagi petani. Bagi buruh tani (petani gurem), kondisi ini memaksa mereka beralih pekerjaan ke sektor non-pertanian atau dari budaya agraris ke budaya urban. Karena mereka tidak dapat bersaing dalam budaya urban, para buruh tani banyak yang tidak memperoleh kesempatan kerja, akibatnya kriminalitas semakin meningkat.
47
2.6 Degradasi Lahan dan Kerusakan Lingkungan Keberlanjutan lahan sawah di Jawa di hadapkan pada masalah kesuburan tanah atau kejenuhan produksi (Adiningsih et al., 2004), berkurangnya suplai air irigasi (Prabowo, 2007, dalam Tambunan, 2008), dan kejadian bencana banjir dan kekeringan sebagai akibat pemanasan global (Samhadi, 2007). Selama periode 2001-2008,
produktivitas lahan sawah
mengalami stagnasi atau pelandaian
(leveling off ) pada tingkat 5,2 ton/ha (BPS, 2008). Kejenuhan tingkat produktifitas ini,
menurut Adiningsih (1992),
disebabkan oleh degradasi
kesuburan tanah dan perubahan fisik akibat reaksi fisiko-kimia tanah sawah. Menurut Samhadi (2007), penurunan produktifitas dan produksi pertanian di Indonesia, termasuk di Pulau Jawa, sebagai akibat terganggunya siklus air karena pemanasan global. Terganggunya siklus hidrologi mengakibatkan perubahan pola hujan dan meningkatnya frekuensi anomali cuaca ekstrim, sehingga
terjadi
pergeseran waktu, musim, dan pola tanam. Akibat perubahan iklim ini, curah hujan akan meningkat sebesar 2-3% per tahun dan musim hujan akan lebih singkat.
Perubahan pola curah hujan ini dapat menambah resiko banjir dan
kekeringan. Menurut Harian Kompas seperti yang dikutip oleh Tambunan (2008), luas tanaman padi di pulau Jawa yang kebanjiran sampai akhir Desember 2007 akibat La Nina
seluas 56,034 ha, dibandingkan total luas tanaman padi yang
kekeringan (El Nino) pada musim tanam 2006-2007 seluas 66.900 ha. Selain terganggunya siklus hidrologi,
pemanasan global juga akan menaikkan
permukaan air laut, yang berpotensi menenggelamkan lahan sawah produktif di sepanjang pantai Utara Pulau Jawa. Diperkirakan produksi beras di kabupaten Karawang dan Subang akan menurun hingga 95%.
2.7 Ketimpangan Penguasaan dan Fragmentasi Lahan Selain konversi dan degradasi lahan serta kerusakan lingkungan, ketimpangan distribusi penguasaan/pemilikan dan fragmentasi lahan merupakan masalah serius yang harus diperhatikan dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Menurut Mubyarto (1978) seperti yang dikutip oleh Jamal et al. (2002), masalah penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang sudah ada sejak awal abad ke-20 pemerintah Belanda. Tidak terselesaikannya masalah ini hingga
48
saat ini disebabkan oleh tekanan penduduk yang makin tinggi yang tidak diimbangi penambahan lahan pertanian (Jamal et al. 2002). Jamal et al. (2002) lebih lanjut menjelaskan bahwa dinamika penguasaan lahan di Jawa dikelompokkan menjadi tiga masa, yaitu masa feodalisme, masa pemerintahan kolonial, dan masa kemerdekaan (Orde Lama dan Orde Baru). Pada masa feodalisme, penguasaan/pemilikan lahan pertanian dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu para petani tuna kisma (petani yang berlindung pada keluarga petani berlahan), para petani sikep atau kuli yang memiliki hak penguasaan tanah, dan para petani pamong desa yang selain menguasai lahan pribadi juga berhak menguasai sejumlah besar lahan desa (tanah lungguh dan tanah bengkok) sebagai upah mereka dalam mengatur pemerintahan. Pada masa pemerintahan kolonial, pemerintah Belanda memperkenalkan tanah komunal untuk memudahkan penarikan pajak tanah dan pelaksanaan kerja paksa dengan menggunakan lembaga desa. Kedudukan kerajaan digantikan oleh Belanda, namun struktur masyarakat pada tingkat bawah (desa) masih tetap sama. Petani tetap sebagai seorang penggarap dengan kewajiban menyerahkan sebagian hasilnya kepada pihak penguasa. Pada masa kemerdekaan (orde lama dan orde baru), penguasaan tanah ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1965. Dalam UUPA, pemerintah telah memberikan perhatian serius terhadap pentingnya permasalahan agraria sebagai landasan pokok dalam pembangunan pertanian dan pedesaan, walaupun sampai saat ini masih banyak ketentuanketentuan yang belum aplikatif. Tambunan (2008) mengemukakan bahwa pertambahan jumlah penduduk di pedesaan semakin menambah ketimpangan penguasaan lahan. Jumlah petani gurem atau petani yang tidak memiliki lahan sendiri atau dengan lahan yang sangat sempit yang tidak mungkin menghasilkan produksi yang optimal semakin bertambah. Selain itu, terbatasnya lahan pertanian menjadikan harga jual atau sewa lahan semakin mahal, sehingga hanya sedikit petani yang mampu membeli atau menyewanya. Menurut Isa (2006), keberadaan hukum waris menyebabkan terfragmentasinya lahan pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh McCulloh (2008, dalam Tambunan, 2008) menunjukkan bahwa lebih dari 75%
49
dari jumlah rumah tangga petani (RTP) di Indonesia tidak menguasai lahan sawah (Gambar 20).
Gambar 20 Distribusi rumah tangga petani dari penguasan lahan sawah (McCulloh, 2008; dalam Tambunan, 2008) Putra (2009a) menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa fragmentasi lahan atau penyusutan kepemilikan lahan yang menjadi dampak dari sistem bagi waris dan konversi lahan
menyebabkan skala usahatani terus menurun.
Lahan
pertanian petani yang sempit tidak akan dapat memberikan kesejahteraan kepada petani. Agar usahataninya menguntungkan, petani yang memiliki lahan sempit disarankan untuk dapat melakukan usaha bersama dengan pemilik lahan lain di wilayahnya. Menurut Jamal et al. (2002), masalah fragmentasi lahan dimungkinkan dapat dikurangi dengan memperbaiki sistem waris dan mengubah status kepemilikan tanah dari Hak Milik (HM) menjadi Hak Guna Usaha (HGU).
50