2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Belut Klasifikasi belut (Monopterus albus) menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut: Filum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Synbranchoidea
Famili
: Synbranchoidae
Genus
: Monopterus
Spesies
: Monopterus albus Secara taksonomi, belut termasuk kedalam Kelas Pisces, akan tetapi ciri
fisiknya sedikit berbeda dengan Kelas Pisces lainnya. Tubuh belut hampir menyerupai ular, yaitu gilig (silindris) memanjang, tidak bersisik, hanya dilapisi kulit yang hampir mirip dengan plastik. Kulit belut berwarna kecoklatan, mulut dilengkapi dengan gigi-gigi runcing kecil-kecil berbentuk kerucut dengan bibir berupa lipatan kulit yang lebar di sekitar mulut. Belut merupakan hewan karnivora, oleh karena itu memiliki lambung yang besar, palsu, tebal, dan elastis. Panjang tubuhnya mencapai 90 cm. Belut hidup di perairan dangkal dan berlumpur, tepian sungai, kanal, serata danau dengan kedalaman kurang dari 3 meter. Belut di habitat aslinya hidup pada media berupa 80% lumpur dan 20% air (Roy 2009). Morfologi ikan belut dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Belut sawah (Monopterus albus)
Belut merupakan kelompok air breathing fishes, yaitu ikan yang mampu mengambil oksigen langsung dari udara selama musim kering tanpa air di sekelilingnya. Belut memiliki alat pernapasan tambahan yakni berupa kulit tipis
4
berlendir yang terdapat di rongga mulut. Alat tersebut berfungsi menyerap oksigen secara langsung dari udara (Sarwono 2003). Belut
beraktivitas pada
malam hari (nocturnal) dan cenderung
bersembunyi di lubang atau di celah-celah tanah liat. Belut memangsa berbagai jenis serangga dan merupakan predator bagi berbagai jenis hewan kelas ikan, cacing-cacingan, siput, dan hewan kecil yang hidup di perairan (Roy 2009). Belut termasuk hewan hemaprodit protogini, yaitu sebutan bagi ikan yang mengalami masa hidup sebagai betina pada awalnya dan kemudian berubah menjadi jantan. Belut memiliki kelenjar kelamin (gonad) yang mampu melakukan proses diferensiasi, dari fase betina ke fase jantan. Kelamin belut saat muda adalah betina namun ketika berumur 9 bulan (fase dewasa) belut akan mengalami pergantian kelamin menjadi jantan (Bahri 2000). Belut yang masih muda memiliki gonad testes dan ovarium, setelah jaringan ovariumnya berfungsi dan dapat mengeluarkan telur, kemudian terjadi masa transisi yaitu membesarnya jaringan testes dan ovariumnya mengecil. Belut yang telah tua, telurnya telah tereduksi sehingga sebagian besar gonadnya terisi oleh jaringan testes (Effendie 1997). Komposisi gizi belut (Monopterus albus) tidak kalah jika dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya. Belut memiliki kandungan protein, lemak, mineral, dan vitamin terutama vitamin A yang tinggi. Komposisi zat gizi belut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi zat gizi belut Zat Gizi
Belut
Protein (g)
14,0
Lemak (g)
27,0
Karbohidrat (g)
0,0
Kalori (kal)
303
Kalsium (mg)
20
Fosfor (mg)
200
Besi (mg)
1,0
Vitamin A (SI)
1600
Kadar Air (g)
58,0
Sumber: Sarwono (2003)
5
2.2 Protein Protein adalah molekul makro yang mempunyai berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino yang terikat dalam ikatan peptida (Almatsier 2006). Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat. Molekul protein mengandung pula fosfor, belerang, dan ada jenis protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga. Protein sebagai pembentuk energi akan menghasilkan 4 kalori tiap gram protein. Fungsi protein di dalam tubuh adalah sebagai enzim, alat pengangkut, alat penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, pertahanan tubuh, media perambatan impuls saraf, dan pengendalian pertumbuhan (Budiyanto 2002). Protein terdapat dalam bentuk serabut, globular, dan konjugasi. Protein dalam bentuk serabut terdiri dari beberapa rantai peptida berbentuk spiral yang terjalin satu sama lain seperti batang yang kaku. Karakteristik protein serabut adalah rendahnya daya larut, mempunyai kekuatan mekanis yang tinggi, dan tahan terhadap enzim pencernaan. Protein jenis ini adalah kolagen, elastin, keratin, dan myosin. Protein globular berbentuk bola, terdapat dalam cairan jaringan tubuh, larut dalam larutan garam dan asam encer, mudah berubah di bawah pengaruh suhu, serta mudah mengalami denaturasi. Protein jenis ini adalah albumin, globulin, histon dan protamin. Protein konjugasi adalah protein sederhana yang terikat dengan bahan-bahan non asam amino. Gugus non asam amino ini disebut gugus prostetik. Protein ini terdiri dari nukleoprotein, lipoprotein, fosfoprotein, dan metsloprotein (Almatsier 2006) Protein sebagai salah satu komponen penyusun bahan pangan mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan mutu produk pangan. Protein mampu berinteraksi dengan senyawa-senyawa lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga berpengaruh pada aplikasi proses, mutu, dan penerimaan produk. Sifat-sifat inilah yang disebut sifat fungsional protein, seperti water binding, kelarutan, viskositas, pembentukan gel, flavor binding, dan aktivitas permukaan. Protein dari berbagai sumber dapat dikembangkan menjadi produk yang mempunyai sifat-sifat fungsional tinggi menjadi emulsifier, flavor enhancer, texturizer stabilizer, dan pembentuk gel (Subagio et al. 2004).
6
Kebutuhan manusia terhadap protein dapat diketahui dengan jumlah nitrogen yang hilang (obligatory nitrogen). Setiap harinya nitrogen yang keluar dari tubuh rata-rata 54 mg/kg berat badan. Terbuangnya protein bervariasi tergantung individu, ukuran badan, jenis kelamin, dan umur (Budiyanto 2002). Secara umum, kebutuhan protein adalah 0,8 sampai 1,0 g/kg BB/hari, tetapi bagi mereka yang bekerja berat kebutuhan protein bertambah (Irianto 2006). 2.3 Asam Amino Asam amino merupakan komponen penyusun protein yang dihubungkan oleh ikatan peptida (Sitompul 2004). Awal pembentukan protein hanya tersusun dari 20 asam amino yang dikenal sebagai asam amino dasar atau asam amino baku. Struktur asam amino secara umum adalah satuan atom C yang mengikat empat gugus, yaitu gugus amina (NH2), gugus karboksil (COOH), atom hidrogen (H) dan satu gugus sisa (R dari residu) atau disebut juga gugus rantai samping yang membedakan satu asam amino dengan asam amino lain (Winarno 2008). Asam amino memiliki atom C pusat yang mengikat empat gugus yang berbeda, maka asam amino memiliki dua konfigurasi yaitu konfigurasi D dan konfigurasi L. Molekul asam amino mempunyai konfigurasi L apabila gugus –NH2 terdapat disebelah kiri atom karbon alfa dan bila posisi gugus NH2 disebelah kanan (Lehninger 1982). Molekul asam amino dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur umum asam amino Sumber: Winarno (2008)
Asam amino biasanya larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organik non polar yaitu eter, aseton dan kloroform (Sitompul 2004). Berdasarkan sifat kimia rantai sampingnya, asam amino dapat dibedakan menjadi empat kelompok, yaitu asam amino yang bersifat basa lemah, asam lemah, hidrofilik jika polar dan hidrofobik jika nonpolar (Almatsier 2006).
7
Terdapat tiga jenis asam amino yang menyusun protein yaitu asam amino esensial, semi esensial dan non-esensial (Kartasapoetra dan Marsetyo 2008). Asam amino esensial merupakan asam amino yang tidak dapat disintesa oleh tubuh
sehingga
harus
dimasukkan
dari
luar
tubuh
manusia
(Suryaningrum et al. 2010). Asam amino jenis ini yaitu leusin, isoleusin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, lisin, dan valin (DGKM et al. 2009). Asam amino semi esensial yaitu asam amino yang dapat menjamin proses kehidupan jaringan orang dewasa, tetapi tidak mencukupi untuk masa pertumbuhan anak-anak. Terdapat 6 asam amino semi esensial yaitu arginin, histidin, tirosin, sistin, glisin dan serin (Kartasapoetra dan Marsetyo 2008). Asam amino non esensial adalah asam amino yang dapat disintesa oleh tubuh manusia dengan bahan baku asam amino lainnya (Suryaningrum et al. 2010). Asam amino jenis ini adalah alanin, asparagin, asam aspartat, sistin, asam glutamat, glutamin, glisin, hidroksi prolin, prolin, serin, dan tirosin (DGKM et al. 2009). Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung dalam protein tersebut. Protein yang mengandung asam amino esensial menyamai kebutuhan manusia, memiliki mutu yang lebih baik daripada protein yang kekurangan satu atau lebih asam amino esensial. Jumlah asam amino non-esensial tidak dapat digunakan sebagai pedoman karena asam amino tersebut dapat disintesis oleh tubuh. Asam amino yang biasanya sangat kurang dalam bahan makanan disebut asam amino pembatas (Budiyanto 2002). 2.4 Mineral Mineral merupakan bagian dari tubuh yang memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme,
terutama
sebagai
kofaktor
dalam
aktivitas
enzim-enzim.
Keseimbangan ion-ion mineral di dalam cairan tubuh diperlukan untuk pengaturan pekerjaan enzim-enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu transfer ikatan-ikatan penting melalui membran sel dan pemeliharaan kepekaan otot dan saraf terhadap rangsangan (Almatsier 2006). Sifat keasaman dan kebasaan suatu bahan makanan tergantung jumlah dan jenis mineral yang dikandungnya. Bahan makanan yang banyak mengandung
8
mineral Na, K, Ca, Fe, dan Mg yang di dalam tubuh akan membentuk komponen basa (basa forming foods). Mineral Cl, P, dan S membentuk sifat asam (acid forming foods) (DGKM et al. 2009). Mineral digolongkan kedalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari. Jumlah mineral mikro dalam tubuh kurang dari 15 mg (Almatsier 2006). 2.3.1 Mineral makro Mineral makro adalah unsur mineral yang dibutuhkan dalam jumlah besar, yaitu lebih dari 100 mg sehari. Kelompok mineral makro terdiri dari natrium, kalium, kalsium, magnesium, sodium, potassium, dan fosfor. Kebutuhan harian mineral makro dalam tubuh. Mineral makro berperan sebagai zat pembangun tubuh, selain itu mineral ini juga berperan dalam mempertahankan tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa tubuh (DGKM et al. 2009). a.
Kalsium (Ca) Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh,
yaitu 1,5-2% dari berat badan orang dewasa atau kurang lebih sebanyak 1 kg. Berdasarkan jumlah tersebut, 99% berada dalam jaringan keras, yaitu tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit dan sisanya tersebar di dalam tubuh (Almatsier 2006). Kalsium berperan dalam proses pembentukan gigi dan tulang, selain itu kalsium yang berada dalam sirkulasi darah dan jaringan berperan dalam transmisi impuls syaraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, pengaturan permeabilitas membran sel, serta keaktivan enzim (Winarno 2008). Konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap absorpsi kalsium. Konsumsi fosfor dan protein yang tidak seimbang dengan kalsium cenderung akan menurunkan penyerapan kalsium. Konsumsi serat dan lemak yang berlebihan juga akan menurunkan absorpsi kalsium jika dikonsumsi bersamaan dengan kalsium. Sumber kalsium utama adalah susu dan produk olahannya, yaitu keju, yoghurt, es krim, serta ikan. Beberapa sayur, brokoli dan bayam juga mengandung kalsium, namun absorpsinya tidak setinggi kalsium pada susu karena sayur umumnya berserat tinggi (DGKM et al. 2009).
9
b. Natrium (Na) Natrium dan klorida biasanya berhubungan sangat erat baik sebagai bahan makanan maupun fungsinya dalam tubuh. Sebagian besar natrium terdapat dalam plasma darah dan cairan di luar sel (ekstraseluler), beberapa diantaranya juga terdapat dalam tulang. Jumlah natrium dalam tubuh manusia diperkirakan 100-110 g (Winarno 2008). Natrium merupakan bagian terbesar dari cairan ekstraseluler dan berfungsi mengatur tekanan osmotik, yaitu menjaga cairan tidak keluar dari darah dan masuk ke dalam sel-sel. Natrium juga berfungsi menjaga keseimbangan asam basa tubuh, transmisi saraf, kontraksi otot, absorpsi glukosa, dan alat angkut zat gizi lain melalui membran (Almatsier 2006). Tanda pertama kekurangan natrium adalah rasa haus. Kekurangan natrium juga menyebabkan kejang dan kehilangan nafsu makan. Kelebihan natrium akan menyebabkan hipertensi (tekanan darah tinggi). Kasus hipertensi banyak ditemukan pada masyarakat Asia yang sudah terbiasa mengkonsumsi natrium dalam jumlah besar pada makanannya (7,6-8,2 g/hari) (Winarno 2008). c.
Magnesium (Mg) Magnesium merupakan kation nomor dua paling banyak setelah natrium
dalam cairan ekstraseluler. Kurang lebih 60% dari 20-28 mg magnesium dalam tubuh terdapat pada tulang dan gigi, 26% di dalam otot, dan sisanya di jaringan lunak lainnya serta cairan tubuh (Almatsier 2001). Magnesium merupakan aktivator enzim peptidase dan enzim lain yang berfungsi memecah dan memindahkan gugus fosfat (fosfatase) (Winarno 2008). Sumber magnesium diantaranya sayuran hijau, daging, susu dan turunannya, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Kekurangan magnesium terjadi apabila kurangnya konsumsi protein dan energi, yang dapat mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan, kurangnya nafsu makan, kejang, gangguan sistem saraf pusat, koma, dan gagal jantung. Kelebihan magnesium biasanya terjadi pada penyakit gagal ginjal (Almatsier 2006). d. Kalium Kalium memegang peranan penting dalam pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam basa. Kalium berperan dalam transmisi saraf dan relaksasi otot. Kalium berfungsi sebagai katalisator dalam
10
reaksi biologi didalam sel, terutama dalam metabolisme energi dan sintesis glikogen dan protein. Kalium banyak terdapat dalam bahan makanan baik tumbuh-tumbuhan maupun hewan. Kebutuhan minimum akan kalium ditaksir sebanyak 2000 mg sehari (Almatsier 2006). 2.3.2 Mineral mikro Mineral mikro adalah unsur mineral pada tubuh manusia yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Mineral mikro dibutuhkan tubuh dalam jumlah kurang dari 100 mg sehari. Kelompok mineral mikro terdiri dari besi, seng, tembaga, selenium, iodium, mangan, seng, kobalt, dan fluor. Mineral mikro berfungsi dalam proses metabolisme tubuh serta merupakan bagian dari enzim, hormon dan vitamin (DGKM et al. 2009). a. Besi (Fe) Besi adalah mineral mikro yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia. Besi merupakan bagian penting dari hemoglobin, mioglobin, dan enzim. Besi tergolong zat gizi essensial sehingga harus disuplai dari makanan. Sumber utama besi adalah pangan hewani terutama berwarna merah, yaitu hati, daging, ayam, dan ikan, sedangkan sumber lain adalah sayuran berdaun hijau (DGKM et al. 2009). Besi mempunyai beberapa fungsi penting di dalam tubuh, yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terjadi, baik di negara maju maupun negara berkembang. Defisiensi gizi secara klasik selalu dikaitkan dengan anemia gizi besi. Kelebihan besi jarang terjadi karena makanan, tetapi karena konsumsi suplemen besi. Kelebihan besi dapat menyebabkan muntah,
diare,
sakit
kepala,
denyut
jantung
meningkat,
dan
pingsan
(Almatsier 2006). Zat besi dapat diabsorpsi sekitar 5-15% dari makanan oleh tubuh dalam kondisi normal, sedangkan dalam kondisi kekurangan zat besi dapat mencapai 50%. Absorpsi besi dalam pencernaan dipengaruhi oleh simpanan serta hal-hal lain terkait dengan cara besi dikonsumsi. Zat penghambat absorpsi besi diantaranya adalah tanin (teh), phitat (serelia), dan serat. Zat peningkat absorpsi
11
besi adalah sistein (daging), vitamin C, sitrat, malat, dan laktat yang umum terdapat dalam buah-buahan (DGKM et al. 2009). b. Seng (Zn) Seng memiliki peranan penting dalam banyak fungsi tubuh, diantaranya dalam
berbagai
aspek
metabolisme,
sintesis
dan
degradasi
kolagen,
pengembangan fungsi reproduksi laki-laki serta berperan dalam fungsi kekebalan tubuh (Almatsier 2006). Dalam tubuh, zat gizi ini terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit dan banyak tersimpan di dalam pankreas, hati, ginjal, paru, otot, tulang, dan mata. Seng dapat diperoleh dari pangan hewani, terutama daging, telur, kerang, dan serelia (DGKM et al. 2009). Kekurangan seng dapat terjadi pada golongan rentan, yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui serta orang tua. Kekurangan seng dapat menyebabkan fungsi pencernaan terganggu, gangguan pertumbuhan dan kematangan seksual, gangguan sistem saraf dan fungsi otak serta gangguan pada fungsi kekebalan tubuh. Kelebihan seng dapat menurunkan absorpsi tembaga serta mempengaruhi metabolisme kolesterol (Almatsier 2006). c. Tembaga (Cu) Tembaga dalam tubuh manusia umumnya terdapat pada hati, ginjal, dan rambut. Tembaga berperan dalam beberapa kegiatan enzim pernapasan, yaitu sebagai kofaktor enzim tiroksinase dan sitokrom oksidase. Tembaga juga diperlukan dalam proses pertumbuhan sel-sel darah merah yang masih muda (Winarno 2008). Kekurangan tembaga pernah dilihat pada anak-anak kekurangan protein dan menderita anemia kurang besi serta pada anak-anak yang mengalami diare. Kelebihan tembaga secara kronis menyebabkan penumpukan tembaga di dalam hati yang dapat mengakibatkan nekrosis hati atau serosis hati (Almatsier 2006). 2.5 Penggorengan Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai pengantar panas. Tujuan proses penggorengan adalah untuk melakukan pemanasan pada bahan pangan, pemasakan, dan pengeringan. Menggoreng dengan minyak atau lemak mampu meningkatkan cita rasa dan tekstur makanan dan jumlah kalori akan meningkat
12
setelah digoreng. Bahan yang digoreng akan menghasilkan produk yang kering, renyah, dan tahan lama. Jenis makanan yang digoreng tidak mudah dicerna karena adanya lemak yang terserap dalam makanan (Winarno 1999). Bahan mengalami perubahan fisik, kimia dan sensoris selama proses penggorengan. Penggorengan pada teanan atmosfir dengan suhu tinggi akan mengakibatkan kerusakan pada bahan (Sutarsi et al. 2009). Jenis minyak yang umum dipakai untuk menggoreng adalah minyak nabati seperti minyak sawit, minyak kacang tanah, dan minyak wijen. Minyak merupakan campuran dari ester asam lemak dan gliserol. Minyak goreng jenis ini mengandung 80% asam lemak tak jenuh jenis asam oleat dan linoleat, kecuali minyak kelapa. Proses penyaringan minyak kelapa sawit sebanyak 2 kali (penegambilan lapisan jenuh) menyebabkan kandungan asam lemak tak jenuh menjadi lebih tinggi. Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan minyak mudah rusak oleh proses penggorengan., karena selama proses menggoreng minyak akan dipanaskan terus menerus pada suhu tinggi serta terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar yang memudahkan terjadinya oksidasi pada minyak (Khomsan 2003 diacu dalam Sartika 2009). Makanan yang digoreng mempunyai struktur yaitu lapisan permukaan, lapisan tengah, dan lapisan dalam. Lapisan dalam makanan masih mengandung air, lapisan tengah makanan adalah bagian luar makanan yang merupakan hasil dehidrasi saat menggoreng. Minyak yang diserap untuk mengempukkan makanan sesuai dengan jumlah air yang menguap pada makanan saat digoreng. Jumlah yang terserap tergantung dari perbandingan antara lapisan tengah dan lapisan dalam. Semakin tebal lapisan tengah maka semakin banyak minyak yang akan terserap. Lapisan permukaan merupakan hasil reaksi Maillard yang terdiri dari polimer yang larut, dan tidak larut dalam air serta berwarna coklat kekuningan. Biasanya senyawa polimer ini terbentuk bila makanan jenis gula dan asam amino, protein serta senyawa yang mengandung nitrogen digoreng secara bersamaan (Sartika 2009). 2.6 High Performance Liquid Chromatography (HPLC) Metoda HPLC menggunakan kolom C18 dan sistem deteksi UV. HPLC merupakan suatu metode yang sensitive dan akurat untuk penentuan kuantitatif
13
dan pemisahan senyawa yang tidak mudah menguap seperti asam amino dan protein. HPLC diopersikan pada suhu kamar, dimana senyawa yang tidak tahan panas dapat ditentukan dengan mudah dan sifat fase gerak dapat diubah dengan merubah komposisi dari fase gerak yang digunakan (Nurhamidah 2005). Teknik HPLC memerlukan pre-collum derivatization untuk analisis asam amino, biasanya dengan menggunakan densil klorida. Turunan densil fluoresens dapat dipisahkan oleh sebuah reverse phase column dengan menggunakan multistep non linear elution. Asam amino dianalisis dengan fluorescene detector. Bahan yang digunakan dalam kolom ialah gel silika yang mengandung gugus fungsional nonpolar hidrokarbon sebagai fase stasioner, dan cairan elusi digunakan campuran asetonitril dan air. Cara fluoresens mampu mendeteksi sampai kisaran psikogram (Budiyanto 2002). Pemisahan dengan HPLC mempunyai beberapa keuntungan yaitu waktu analisis cepat, biaya rendah, mudah dioperasikan, kepekaan tinggi, mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran, dapat menghindari kerusakan bahan yang dianalisis, resolusi yang baik, dapat digunakan bermacam-macam detektor, kolom dapat digunakan kembali dan kemungkinan untuk menganalisis sampel yang tidak stabil (Putra 2004). Analisis dengan HPLC, fase gerak yang digunakan harus bebas dari gas, sehingga perlu dilakukan proses penghilangan gas (degassing) terlebih dahulu sebelum alat dioperasikan. Proses penghilangan gas ini diperlukan untuk menghindari noise pada detektor terutama fasa organik berair. Proses penghilangan gas ini juga diperlukan untuk menghindari terbentuknya gelembung udara jika pelarut yang berbeda dicampurkan. Degassing dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti pemakuman diatas fasa gerak, pemanasan sambil diaduk, ultrasonik, dan lain-lain (Nurhamidah 2005). Komponen-komponen penting yang harus ada dalam HPLC adalah pompa, injektor, kolom, detektor, elusi gradien, pengolahan data, dan fase gerak. Suatu larutan dapat digunakan sebagai fase gerak jika memenuhi syarat murni, tidak bereaksi dengan wadah, sesuai dengan detektor, melarutkan sampel, dan memiliki viskositas rendah. Penentuan fase gerak juga dapat dilihat dari kelarutan sampel. Sampel yang larut air, dapat menggunakan air sebagai fase gerak, bila
14
dapat larut dalam pelarut organik maka digunakan pelarut organik sebagai fase gerak (Putra 2004). Komponen-komponen dalam HPLC dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Komponen-komponen dalam HPLC Sumber: Putra (2004)
2.7 Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Atomic absorption spectrophotometer (AAS) merupakan salah satu teknik analisis untuk mengukur jumlah unsur berdasarkan jumlah energi cahaya yang diserap oleh unsur tersebut dari sumber cahaya yang dipancarkan (Arifin 2008). atomic absorption spectrophotometer merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengukur kandungan logam dan metalloid. Metode ini sangat tepat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah. Instrumen ini dapat mendeteksi hingga satuan ppm. Khusus untuk logam-logam yang mudah menguap (mempunyai titik didih yang lebih rendah) sulit dianalisa dengan AAS (Cahyady 2009). Prinsip kerja alat ini berdasarkan penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengabsorbsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda (hallow cathode lamp) yang mengandung unsur yang akan dianalisis. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu (Arifin 2008). Komponen-komponen penting yang terdapat pada AAS adalah sumber radiasi untuk memancarkan spektrum atom dari unsur yang ditentukan, nyala untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi bentuk uap atomnya, system pembakar-pengabut yang mengubah larutan uji menjadi atomatom dalam bentuk gas, monokromator berfungsi memisahkan garis resonansi dari
15
semua garis yang tak diserap yang dipancarkan oleh sumber radiasi, detektor untuk mengubah intensitas radiasi yang dating menjadi arus listrik, dan read out merupakan sistem pencatat hasil (Cahyady 2009). Gangguan pada AAS secara luas dikelompokkan menjadi gangguan spektral dan gangguan kimia. Gangguan spektral disebabkan terjadinya tumpang tindih absorbsi antara apesies pengganggu dengan yang diukur. Adanya hasil pembakaran pada nyala dapat menyebabkan gangguan spektral. Gangguan kimia dapat berupa pembentukan senyawa volatilitas rendah, dan kesetimbangan disosiasi ionik dalam nyala. Biasanya anion membentuk senyawa dengan volatilitas rendah dan menurunkan laju atomisasi. Pembentukan senyawa yang stabil menyebabkan tidak sempurnanya disosiasi zat yang akan dianalisa. Gangguan tersebut dapat dieliminasi dengan meningkatkan temperatur nyala, pemakaian reagensia pelepas, dan ekstraksi analit unsur-unsur pengganggu (Cahyady 2009).