KANDUNGAN ASAM LEMAK, KOLESTEROL, DAN DESKRIPSI JARINGAN DAGING BELUT (Monopterus albus) SEGAR DAN REBUS
REZKI KAMILA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kandungan Asam Lemak, Kolesterol, dan Deskripsi Jaringan Daging Belut (Monopterus albus) Segar dan Rebus adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013 Rezki Kamila NIM C34090074
ABSTRAK REZKI KAMILA. Kandungan Asam Lemak, Kolesterol, dan Deskripsi Jaringan Daging Belut (Monopterus albus) Segar dan Rebus. Dibimbing oleh AGOES MARDIONO JACOEB dan PIPIH SUPTIJAH Belut (Monopterus albus) merupakan biota perairan yang diduga memiliki kandungan gizi tinggi, misalnya kandungan asam lemak dan kolesterol. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi kimia, asam lemak, kolesterol serta struktur jaringan belut segar dan rebus. Asam lemak dapat dibagi menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh (SFA) terbanyak pada belut segar adalah asam palmitat sebesar 13,79 %, asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) terbanyak adalah asam oleat sebesar 19,45 %, asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) terbanyak adalah asam linoleat sebesar 7,42 %. Kandungan asam lemak dan kolesterol pada belut mengalami perubahan secara keseluruhan akibat proses perebusan. Kandungan kolesterol sebesar 60 mg/100 gram (belut segar) dan berubah menjadi 56,32 mg/100 gram (setelah perebusan). Struktur jaringan daging belut mengalami perubahan akibat proses perebusan. Kata kunci: asam lemak, belut (Monopterus albus), kolesterol, struktur jaringan
ABSTRACT REZKI KAMILA. The Contents of Fatty Acid, Cholesterol, and Description of Tissue in Fresh dan Boiled Eel (Monopterus albus). Supervised by AGOES MARDIONO JACOEB and PIPIH SUPTIJAH Eel (Monopterus albus) is an aquatic biota that have a high nutrient content such as fatty acids and cholesterol. The purpose of this research was to determine the chemical composition, fatty acid, cholesterol, and description of tissue in fresh dan boiled eel. Fatty acids can be divided into saturated fatty acids and unsaturated fatty acids. The highest content of saturated fatty acids (SFA) in fresh eel was palmitic acid 13.79 %, the highest content of monounsaturated fatty acid (MUFA) was oleic acid 19.45 %, the highest content of polyunsaturated fatty acid (PUFA) was linoleic acid 7.42 %. The content of fatty acid and cholesterol in eel has changed overall due to the boiling process. The content of cholesterol were 60 mg/100 gram (in fresh eel) and 56.32 mg/100 gram (in boiled sample). The structure of eel’s tissue changed due the boiling process. Keywords: fatty acid, eel (Monopterus albus), cholesterol, tissue structure
KANDUNGAN ASAM LEMAK, KOLESTEROL, DAN DESKRIPSI JARINGAN DAGING BELUT (Monopterus albus) SEGAR DAN REBUS
REZKI KAMILA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Kandungan Asam Lemak, Kolesterol, dan Deskripsi Jaringan Daging Belut (Monopterus albus) Segar dan Rebus : Rezki Kamila Nama : C34090074 NIM Program Studi : Teknologi Hasil Perairan
Disetujui oleh
Dr. Ir. Agoes M Jacoeb, Dipl.-Biol. Pembimbing r
-
Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA Pembimbing T1
M Phil.
Tanggal Lulus:
1 1 SEP 20n
Judul Skripsi : Kandungan Asam Lemak, Kolesterol, dan Deskripsi Jaringan Daging Belut (Monopterus albus) Segar dan Rebus Nama : Rezki Kamila NIM : C34090074 Program Studi : Teknologi Hasil Perairan
Disetujui oleh
Dr. Ir. Agoes M Jacoeb, Dipl.-Biol. Pembimbing I
Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA Pembimbing II
Diketahui oleh
Dr. Ir. Ruddy Suwandi MS, M Phil. Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 hingga Mei 2013 dengan judul Kandungan Asam Lemak, Kolesterol, dan Deskripsi Jaringan Daging Belut (Monopterus albus) Segar dan Rebus. Terima kasih penulis ucapkan kepada: 1. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.- Biol. dan Dr. Dra. Pipih Suptijah, MBA. selaku dosen pembimbing serta Dr. Ir. Nurjanah, MS. selaku dosen penguji tamu. 2. Dr. Ir . Ruddy Suwandi, MS, M. Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 3. Staf dosen dan administrasi Departemen Teknologi Hasil Perairan. 4. Bapak Ranta, Mba Ani, Mba Mala serta staf dari Laboratorium Terpadu Pascasarja IPB atas bantuan yang diberikan kepada penulis. 5. Keluarga tercinta yaitu Mamah Yamsih, Ayah Yudin, dan adikku tersayang Maya dan seluruh keluarga atas semangat, doa, dan kasih sayangnya yang diberikan. 6. Widya, selaku teman seperjuangan serta teman THP 46 (Always Together). 7. Kakak dan adik kelas THP 44, 45, 47 atas kebersamaan, saran, do’a, kritik serta motivasi yang diberikan kepada penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2013 Rezki Kamila
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
2
Bahan
2
Alat
2
Prosedur Analisis Penelitian
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Karakteristik Bahan Baku
5
Rendemen Belut (M. albus)
6
Komposisi Kimia Belut (M. albus)
7
Kandungan Asam Lemak Belut (M. albus)
8
Kandungan Asam Lemak Bebas Belut (M. albus)
13
Kandungan Kolesterol Belut (M. albus)
13
Deskripsi Jaringan Daging Belut (M. albus)
14
KESIMPULAN DAN SARAN
15
Kesimpulan
15
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
16
LAMPIRAN
19
RIWAYAT HIDUP
23
DAFTAR TABEL 1 Ukuran dan berat sampel belut (M. albus) 2 Komposisi kimia belut (M. albus) 3 Kandungan asam lemak pada belut (M. albus)
5 7 9
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Diagram alir penelitian Diagram pie rendemen belut (M. albus) Kandungan asam lemak jenuh pada belut Kandungan asam lemak tak jenuh tunggal pada belut Kandungan asam lemak tak jenuh jamak pada belut Struktur jaringan kulit belut segar Struktur jaringan daging belut segar Struktur jaringan daging belut rebus
3 6 10 11 12 14 14 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Dokumentasi penelitian Pengukuran morfometrik dan bobot total belut Kromatogram standar asam lemak Kromatogram asam lemak belut segar Kromatogram asam lemak belut rebus
19 19 20 20 21
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Belut merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Saat ini budidaya belut sudah cukup berkembang. Permintaan belut terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 volume ekspor belut mencapai 2.676 ton meningkat dibandingkan tahun 2007 yang hanya 2.189 ton. Tahun 2009 ekspor belut terus meningkat menjadi 4.744 ton atau meningkat 77,2 % dibandingkan tahun 2008 (WPI 2010). Hal ini membuktikan bahwa minat masyarakat terhadap biota perairan ini cukup tinggi. Belut merupakan salah satu biota perairan yang diduga memiliki kandungan gizi tinggi. Salah satu kandungan gizi yang terdapat pada belut adalah asam lemak. Asam lemak merupakan asam organik berantai panjang yang mempunyai gugus karboksil (COOH) di salah satu ujungnya dan gugus metil (CH3) di ujung lainnya (Almatsier 2006). Biota perairan banyak mengandung asam lemak tak jenuh majemuk atau lebih dikenal dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA). Omega 3-PUFA, Eicosapentaenoic acid (EPA) dan Docosahexaenoic acid (DHA) memegang peranan penting terhadap penyakit kardiovaskular, meningkatkan kemampuan belajar dan peningkatan sistem imun tubuh (Freije and Awadh 2010). Belut juga memiliki kandungan kolesterol, sebagai elemen penting dari membran sel yang menyediakan dukungan struktural dan berfungsi sebagai antioksidan pelindung. Kolesterol merupakan bahan antara pembentukan sejumlah steroid penting, yaitu asam empedu, asam folat, hormon-hormon adrenal korteks, estrogen, androgen, dan progesterone. Kolesterol diproduksi dalam tubuh terutama oleh hati tetapi jika produksi kolesterol berlebihan dapat meningkatkan risiko penyumbatan pembuluh arteri (Colpo 2005). Umumnya masyarakat Indonesia mengolah belut dengan cara digoreng tetapi dengan menggunakan metode penggorengan kandungan gizi pada belut mengalami banyak penurunan dibandingkan dengan perebusan. Oleh karena itu, pengolahan belut dengan perebusan dapat dijadikan alternatif sebagai salah satu pengolahan belut yang lebih baik dibandingkan dengan penggorengan. Informasi mengenai perubahan komposisi asam lemak dan kolesterol belut akibat perebusan belum tersedia, sehingga diperlukan penelitian mengenai hal tersebut.
Perumusan Masalah Beberapa studi menunjukkan proses pengolahan terhadap produk perikanan dapat mempengaruhi kadar air, protein, lemak, dan karbohidrat yang terdapat dalam ikan. Proses pengolahan dapat mempengaruhi komposisi gizi, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh metode pengolahan berupa perebusan terhadap kandungan asam lemak, kolesterol, dan jaringan belut.
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi kimia, asam lemak, kolesterol serta struktur jaringan belut segar dan rebus.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai komposisi kimia, asam lemak, kandungan kolesterol serta struktur jaringan belut.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah pengambilan contoh, analisis jaringan, komponen kimia, asam lemak, kolesterol, analisis data, serta penulisan laporan.
METODE Penelitian ini dilaksanakan dari Februari 2013 sampai Mei 2013. Preparasi dilakukan di Laboratorium Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis proksimat, asam lemak, serta kolesretol di Laboratorium Terpadu Pascasarjana IPB, Baranangsiang, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan preparat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengamatan jaringan belut di Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah belut (M. albus) yang didapat dari Pasar Anyar, Bogor, Jawa Barat. Bahan yang digunakan meliputi NaOH 0,5 N dalam metanol, BF3 20%, larutan NaCl jenuh, n-heksana, Na2SO4 anhidrat, etanol, petroleum benzen, alkohol, H2SO4 pekat, FeCl3.6H2O, K2SO4, parafin, kain kasa, pewarna hematoksilin-eosin, alkohol, xilol dan larutan BNF. Alat Alat yang digunakan homogenizer, evaporator, erlenmeyer, corong pisah, botol vial, vortex, botol film, mikrotom, waterbath, mortar, syringe 10 μL, penangas air, pipet mikro, tabung bertutup teflon, neraca analitik, kromatografi gas Shimadzu 2010 Plus, mikroskop Olympus CX 41, spektrofotometer Shimadzu UV-1700.
3 Prosedur Analisis Penelitian Penelitian diawali dengan pengamatan ukuran belut, rendemen tubuh (daging, kepala, tulang, kulit, dan jeroan), selanjutnya dilakukan analisis proksimat, asam lemak, kolesterol, dan pengamatan jaringan belut. Pengumpulan data berupa asal, ukuran, dan pengukuran rendemen belut dilakukan pada kondisi segar. Analisis proksimat, asam lemak, kolesterol, dan pengamatan jaringan daging ikan belut dilakukan pada kondisi segar dan setelah perebusan. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Belut (M. albus)
Pengukuran morfometrik
Preparasi sampel (pemisahan jeroan, kulit, kepala, daging, dan tulang)
Analisis rendemen
Segar
Perebusan, suhu 100 oC, 20 menit
Analisis proksimat, asam lemak, kolesterol, dan pengamatan jaringan Gambar 1 Diagram alir penelitian Preparasi Bahan Baku Sampel belut (M. albus) diukur morfometrik dan beratnya. Bahan baku dipreparasi dengan memisahkan daging, kepala, jeroan, tulang, dan kulit untuk dihitung rendemennya. Proses Perebusan Perebusan belut dilakukan selama 20 menit pada suhu 100 ˚C, kemudian belut didinginkan pada suhu ruang selama 5 menit. Penelitian pendahuluan sebelumnya telah dilakukan untuk menentukan lamanya waktu perebusan yang paling baik. Belut yang telah direbus dihaluskan, selanjutnya dimasukkan ke dalam aluminium foil lalu dimasukkan ke dalam plastik yang telah ditutup rapat serta diberi kode. Analisis Proksimat Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan. Analisis proksimat meliputi analisis
4 kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat dengan metode by difference. Analisis proksimat yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada SNI 012891-1992 (BSN 1992). Analisis Asam Lemak (AOAC 2005 butir 996.06) Metode analisis yang digunakan memiliki prinsip mengubah asam lemak menjadi turunannya, yaitu metil ester sehingga dapat terdeteksi oleh kromatografi gas. Lemak diekstraksi dari bahan lalu dimetilasi sehingga terbentuk metil ester dari masing-masing asam lemak yang didapat. Tahap awal yaitu tahap ekstraksi (diperoleh asam lemak dengan metode soxhlet dan ditimbang sebanyak 0,02-0,03 gram lemak dalam bentuk minyak). Tahap kedua pembentukan metil ester (metilasi), yakni dengan merefluks lemak di atas penangas air dengan menambahkan 1 mL NaOH 0,5 N ke dalam metanol dan dipanaskan pada suhu 80 °C selama 20 menit. Selanjutnya ditambah 2 mL BF3 20 % kemudian dipanaskan kembali pada suhu 80 °C selama 20 menit dan didinginkan dengan cara didiamkan pada suhu ruang. Tahap selanjutnya, 2 mL NaCl jenuh dan 1 mL isooktan ditambah pada sampel, dihomogenkan, lalu dipipet lapisan heksana ke dalam tabung reaksi yang berisi 0,1 gram Na2SO4 anhidrat dan dibiarkan 15 menit. Larutan disaring dengan mikrofilter untuk memisahkan fase cairnya sebelum diinjeksikan ke dalam kromatografi gas. Sebanyak 1 μL sampel diinjeksikan ke dalam gas chromatography. Asam lemak yang ada dalam metil ester akan diidentifikasi oleh flame ionization detector (FID) atau detektor ionisasi nyala dan respon yang ada akan tercatat melalui kromatogram (peak). Identifikasi jenis asam lemak sampel dilakukan dengan membandingkan antara peak larutan standar dan peak larutan sampel. Analisis Asam Lemak Bebas (SNI 01-3555-1994) Analisis asam lemak bebas mengacu pada SNI 01-3555-1994 (BSN 1994). Sampel ditimbang 2-5 gram contoh ke dalam Erlenmeyer 250 mL kemudian tambah 50 mL etanol 95% netral. Sebanyak 3-5 tetes indikator PP dan titer dengan larutan standar NaOH 0,1 N hingga warna merah muda tetap (tidak berubah selama 15 menit), selanjutnya dilakukan penetapan duplo lalu hitung kadar asam lemak bebas dalam contoh. Analisis Kadar Kolesterol (Bohac et al. 1988) Analisis kadar kolesterol dilakukan menggunakan metode Bohac. Sampel ditimbang sebanyak ± 0,1 gram dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah dengan 5 mL larutan petroleum benzen dan 3 mL akuades, dikocok selama 10-15 menit kemudian didiamkan hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan atas dipindahkan dengan menggunakan mikropipet ke tabung reaksi lain, kemudian diuapkan dalam air panas. Sampel ditambah FeCl3.6H2O, dan H2SO4 pekat, dikocok hingga homogen. Absorbansi sampel diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Kadar kolesterol dihitung sebagai berikut: Kadar kolesterol = Absorbansi contoh x Konsentrasi standar Absorbansi standar
Bobot contoh
5 Pembuatan preparat dengan metode parafin (Angka et al. 1984) Pembuatan preparat dilakukan dengan metode parafin, yang terdiri dari fiksasi, dehidrasi, clearing, impregnasi, embedding, blocking, trimming, pemotongan jaringan, pewarnaan, serta perekatan jaringan menggunakan mounting agent. Fiksasi dilakukan dalam larutan BNF (Buffer Normal Formalin) selama 3 hari, setelah itu larutan fiksasi dibuang, kemudian didehidrasi melalui perendaman jaringan dalam alkohol pada suhu ruang. Proses clearing dimulai dari perendaman sampel dalam clearing agent. Jaringan direndam dalam alkohol:xilol (1:1) selama 30 menit yang dilanjutkan dengan tahap impregnasi dan embedding. Jaringan yang telah dibenam dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair kemudian dibekukan. Setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu ditrimming menggunakan silet. Pemotongan jaringan dilakukan menggunakan mikrotom putar setebal 4 μm. Pita-pita parafin yang terbentuk diambil dengan jarum kemudian diletakkan di permukaan air hangat (45 oC-50 oC). Pita-pita parafin kemudian direkatkan pada gelas obyek dan dibiarkan hingga mengering. Proses pewarnaan dilakukan menggunakan hematoksilin dan eosin. Pewarnaan diawali dengan perendamaan gelas obyek ke dalam xilol I dan xilol II masing-masing selama 2 menit, dilanjutkan perendaman dalam alkohol absolut selama 2 menit. Setelah itu, obyek dibilas dengan akuades selama 2 menit. Obyek dimasukkan ke dalam pewarna hematoksilin selama 7 menit dan dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak diserap. Obyek direndam kembali dalam pewarna eosin selama 3 menit dan dicuci kembali dengan akuades. Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol, xilol I, xilol II masing-masing selama 2 menit. Proses selanjutnya adalah penutupan gelas obyek dengan pemberian mounting agent atau Canada Balsam pada gelas obyek dan ditutupi dengan gelas penutup kemudian dikeringkan selama 24 jam. Pengamatan preparat awetan dilakukan dengan mikroskop Olympus CX 41.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Bahan Baku Sampel belut yang digunakan didapat di Pasar Anyar, Bogor, merupakan belut budidaya yang dibudidayakan di dalam tong besar. Ukuran dan berat belut (M. albus) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Ukuran dan berat sampel belut (M. albus) Parameter Satuan Panjang cm Diameter cm Lingkar Badan cm Berat gram
Nilai Rata-Rata 37,8 ± 3,55 1,33 ± 0,22 4,66 ± 0,38 52,09 ± 13,02
Keterangan: sampel 10 ekor belut
Tabel 1 menunjukkan data belut (M. albus) yang terdiri dari beberapa parameter yaitu panjang, diameter, lingkar badan, dan berat. Berdasarkan hasil
6 pengukuran, diperoleh data belut (M. albus) yang terdiri dari beberapa parameter yaitu panjang, diameter, lingkar badan, dan berat. Nilai rata-rata panjang total belut adalah 37,8 ± 3,55 cm, diameter rata-rata 1,33 ± 0,22 cm, lingkar badan rata-rata 4,66 ± 0,38 cm dan berat total rata-rata adalah 52,09 ± 13,02 gram. Berdasarkan data dari 10 sampel (Lampiran 2), diketahui bahwa semakin besar nilai panjang, diameter, lingkar badan belut maka semakin berat belut tersebut, mengingat di dalam proses pertumbuhan ikan, panjang dan lebar berkolerasi dengan berat ikan. Menurut Rahayu et al. (2009), kecepatan pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu umur, lingkungan, pakan, iklim, fisiologis, dan genetik. Faktor-faktor ini bekerja secara simultan dalam mengontrol kecepatan tumbuh yang saling berinteraksi sehingga proses pertumbuhan dapat berjalan dengan baik.
Rendemen Belut (M. albus) Rendemen merupakan bagian dari suatu bahan baku yang dapat diambil dan dimanfaatkan (biasanya dinyatakan dalam persen). Tubuh belut terdiri atas beberapa bagian yaitu daging, kulit, jeroan, kepala dan tulang. Rendemen masing-masing bagian tubuh belut disajikan pada Gambar 2.
Tulang 15% Jeroan 8% Kepala 9%
Badan (daging dan kulit) 68%
Gambar 2 Diagram pie rendemen belut (M. albus). Gambar 2 menunjukkan bahwa persentase rendemen badan yang meliputi daging dan kulit mempunyai rendemen terbesar yaitu sebesar 68 %, jeroan sebesar 8 %, kepala sebesar 9 % dan tulang sebesar 15 %. Hal ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Suryani (2012), yang menunjukkan bahwa belut memiliki rendemen badan (daging dan kulit) sebesar 65,48 %, jeroan sebesar 9,69 %, kepala sebesar 10,12 % dan tulang sebesar 14,72 %.
7 Komposisi Kimia Belut (M. albus) Hasil analisis komposisi kimia memberikan informasi tentang kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan karbohidrat belut yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia belut (M. albus) Parameter Segar Basis basah Basis kering (%) (%) Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Kadar Protein Kadar Karbohidrat
74,08 1,62 0,82 16,04 7,44
0 6,25 3,16 61,88 28,70
Rebus Basis basah Basis kering (%) (%) 76,64 1,29 0,56 12,56 8,95
0 5,52 2,40 53,77 38,31
Kadar Air Semua jenis makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda. Kandungan kadar air dalam bahan makanan menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan pangan (Winarno 2008). Kandungan air dalam produk perikanan diperkirakan sebesar 70-85 % (Nurjanah dan Abdullah 2010). Kadar air pada belut segar dan belut yang telah direbus mengalami perubahan. Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air belut segar sebesar 74,08 % mengalami perubahan menjadi 76,64 % setelah perebusan. Perubahan kadar air belut setelah direbus terkait dengan sifat air yang mudah menguap apabila dipanaskan, selain itu berhubungan dengan tipe air berdasarkan sifat dan letaknya pada bahan (Winarno 2008). Penelitian Gladyshev et al. (2006) menunjukkan bahwa proses perebusan ikan trout (Salmo trutta) naik sebesar 0,5 % . Kadar Abu Kadar abu belut segar dan rebus berdasarkan basis basah adalah 1,62 % menjadi 1,29 %, sedangkan berdasarkan basis kering adalah 6,25 % menjadi 5,52 % setelah perebusan. Perubahan nilai tersebut kemungkinan karena sebagian komponen lemak dan protein keluar dari jaringan karena proses pemanasan sehingga perubahan nilai lebih bersifat proposional. Pengolahan dengan panas mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi terutama zat-zat yang labil misal mineral yang bersifat stabil dan tidak rusak karena pengolahan, namun pengolahan dapat menyebabkan penyusutan mineral pada bahan pangan tidak lebih dari 3 % (Harris dan Karmas 1989). Kadar Protein Kadar protein belut segar dan rebus berdasarkan basis basah adalah 16,04 % menjadi 12,56 %, sedangkan berdasarkan basis kering 61,88 % menurun menjadi 53,77 %. Selama proses perebusan atau pengolahan, terjadi perubahan terhadap protein, lemak, dan karbohidrat. Menurut Harikedua (1992) perlakuan pemanasan pada suatu bahan pangan menyebabkan protein terkoagulasi dan terhidrolisis
8 secara sempurna. Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu yang moderat (60-90 oC) selama satu jam atau kurang sehingga dapat menurunkan kandungan protein yang dibutuhkan oleh manusia karena asam amino yang bertindak sebagai penyusunnya merupakan prekursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial untuk kehidupan (Almatsier 2006). Kadar lemak Kadar lemak belut segar sebesar 3,16 % (bk) dan mengalami perubahan pada belut rebus menjadi 2,40 % (bk). Proses pengolahan dengan panas dapat menyebabkan lemak yang terdapat pada belut mencair. Hal ini didukung oleh penelitian Prabandari et al. (2005) tentang pengaruh perebusan dari dua jenis udang yang berbeda yang menunjukkan bahwa lemak akan mencair menghasilkan senyawa aldehid, keton, alkohol, asam, dan hidrokarbon yang akan menguap saat pemanasan. Karbohidrat Kandungan karbohidrat belut segar dan rebus berdasarkan basis kering adalah 28,70 % (bk) dan pada belut rebus berubah menjadi 38,31 % (bk). Dalam bahan pangan, keberadaan karbohidrat kadangkala tidak sendiri, melainkan berdampingan dengan zat gizi lain, misal protein dan lemak. Penelitian Ningsih (2011) menunjukkan bahwa karbohidrat pada produk perikanan tidak mengandung serat, kebanyakan dalam bentuk glikogen, terdiri atas glukosa, fruktosa, sukrosa, dan monosakarida lainnya.
Kandungan Asam Lemak Belut (M. albus) Nilai asam lemak yang terdapat pada daging belut segar dan goreng didapatkan dengan cara membandingkan retention time standar asam lemak dengan retention time sampel yang diuji. Menurut Mcnair and Bonelli (1988), retention time adalah waktu sejak penyuntikan sampai mencapai puncak maksimum. Asam lemak merupakan asam organik yang terdiri atas rantai hidrokarbon lurus yang pada satu ujungnya mempunyai gugus hidroksil (COOH) dan pada ujung lainnya memiliki gugus metil (CH3) (Almatsier 2006). Struktur asam lemak tersebut menyebabkan hampir semua lipid tampak berminyak dan tidak larut dalam air. Karakteristik asam lemak tergantung pada panjang rantai dan jumlah ikatan rangkapnya (Hames and Hooper 2005). Analisis asam lemak belut (M. albus) menunjukkan adanya 31 jenis asam lemak yang terindentifikasi, yang tergolong dalam asam lemak jenuh (SFA), asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA), asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) seperti dapat dilihat pada Tabel 3. Kromatogram asam lemak dan standar yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 3,4, dan 5.
9 Tabel 3 Kandungan asam lemak belut (M. albus) Asam lemak (%) Belut Belut segar rebus Asam Lemak Jenuh (SFA) 1) Asam Kaprat (C10:0) 2) Asam Undekanoat (C11:0) 3) Asam Laurat (C12:0) 4) Asam Tridekanoat (C13:0) 5) Asam Miristat (C14:0) 6) Asam Pentadekanoat (C15:0) 7) Asam Palmitat (C16:0) 8) Asam Heptadekanoat (C17:0) 9) Asam Stearat (C18:0) 10) Asam Arakidat (C20:0) 11) Asam Heneikosanoat (C21:0) 12) Asam Behenat (C22:0) 13) Asam Trikosanoat (C23:0) 14) Asam Lignoserat (C24:0) Total Asam Lemak Tak Jenuh Tunggal (MUFA) 1) Asam Miristoleat (C14:1) 2) Asam Palmitoleat (C16:1) 3) Asam Elaidat (C18:1n9t) 4) Asam Oleat (C18:1n9c) 5) Asam Cis-11-Eikosanoat (C20:1) 6) Asam Erukat (C22:1n9) 7) Asam Nervonat (C24:1) Total Asam Lemak Tak Jenuh Jamak (PUFA) 1) Asam Linoleat (C18:2n6c) 2) γ- Asam Linolenat (C18:3n6) 3) Asam Linolenat (C18:3n3) 4) Asam Cis-11,14-Eikosadienoat (C20:2) 5)AsamCis-11,14,17-Eikosatrienoat (C20:3n3) 6) Asam Cis-8,11,14-Eikosatrienoat (C20:3n6) 7) Asam Arakidonat (C20:4n6) 8) Asam Cis-13,16-Dokosadienoat (C22:2) 9) EPA (C20:5n3) 10) DHA (C22:6n3) Total Total Asam Lemak a
Sumber: Weber et al. (2007)
Lele perak (Rhamdia quelen) segara
Lele perak (Rhamdia quelen) rebusa -
0,03 1,36 0,09 2,02 0,37 13,79 0,48 5,38 0,21 0,05 0,13 0,04 0,11 24,06
0,03 0,02 0,98 0,10 1,69 0,42 12,88 0,55 4,95 0,22 0,06 0,14 0,05 0,13 22,22
1,34 24,6 8,38 0,66 34,98
1,27 25 8,67 0,43 0,77 36,14
0,03 2,76 0,21 19,45 0,47 0,07 0,09 23,08
0,03 2,86 0,23 16,64 0,42 0,06 0,09 20,33
5,39 29,8 0,95 36,14
5,50 27,5 0,96 0,46 34,42
7,42 0,73 0,46 0,59
6,22 0,60 0,42 0,60
19,2 1,41 -
17,6 1,26 -
0,11
0,10
-
-
1,03
0,94
-
-
1,75 0,06
1,60 0,06
3,25 -
4,16 -
0,22 2,12 14,49 61,63
0,21 1,68 12,43 54,98
3,90 3,90 98,88
4,89 4,89 98,47
10 Hasil analisis pada Tabel 3 menunjukkan bahwa asam lemak yang paling banyak terdapat pada daging belut adalah asam lemak jenuh (SFA) dengan jumlah sebesar 24,06 % pada belut segar dan 22,22 % pada belut rebus, diikuti dengan asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) dengan jumlah sebesar 23,08 % pada belut segar dan 20,33 % pada belut rebus, asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) sebesar 14,49 % pada belut segar dan 12,42 % pada belut rebus. Jumlah asam lemak yang tidak teridentifikasi pada analisis sebesar 38,37 % pada belut segar dan 45,02 % pada belut rebus. Peneltian Oku et al. (2009) menunjukkan bahwa kandungan asam lemak sidat Jepang (Anguilla japonica) segar yang terbesar adalah asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) dengan jumlah sebesar 35 % dan asam lemak yang paling sedikit adalah asam lemak tak jenuh jamak (PUFA) sebesar 2,4 %. Variasi asam lemak pada organisme perairan dapat dipengaruhi oleh pergantian musim, letak geografis, salinitas lingkungan (Ozyurt et al. 2006), dan perlakuan yaitu hidup bebas di alam atau dibudidayakan (Kandemir and Polat 2007). Asam lemak jenuh adalah asam lemak yang hanya memiliki ikatan tunggal pada rantai hidrokarbonnya. Hasil analisis menunjukkan kandungan asam lemak jenuh yang paling banyak ditemukan pada belut adalah asam palmitat, stearat dan miristat. Kandungan asam palmitat, stearat, dan miristat pada belut segar maupun setelah direbus dapat dilihat pada Gambar 3. 16 13,79
14
12,88
asam lemak (%)
12 10 8 5,38 4,95
6 4 2
2,02 1,69
0 miristat
palmitat
stearat
Gambar 3 Kandungan asam lemak jenuh pada belut
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa asam palmitat merupakan asam lemak jenuh (SFA) dengan kadar tertinggi, baik pada daging belut segar maupun belut rebus. Belut segar mengandung palmitat sebesar 13,79 % dan mengalami perubahan setelah proses perebusan menjadi 12,88 %. Hal ini sesuai dengan penelitian Rahman et al. (1994) yang menyatakan bahwa asam palmitat merupakan asam lemak jenuh paling banyak pada belut segar. Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh (SFA) yang paling banyak ditemukan pada bahan pangan, yaitu sebesar 15-50 % dari seluruh asam-asam lemak yang ada (Winarno 2008). Osman et al. (2007) menyatakan penurunan kandungan asam
11 lemak juga dapat disebabkan oleh terbentuknya kembali kristal lemak saat proses pendinginan setelah perebusan yang menempel pada bagian luar belut. Asam lemak tak jenuh tunggal adalah asam lemak yang memiliki satu ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya. Berdasarkan hasil analisis yang tertera pada Tabel 3 menunjukkan asam lemak tak jenuh tunggal yang paling banyak ditemukan pada belut antara lain asam oleat, asam palmitoleat, dan asam cis-11eikosanoat. Kandungan asam oleat, palmitoleat, dan asam cis-11-eikosanoat pada belut baik segar maupun setelah direbus dapat dilihat pada Gambar 4. 25 19,45
asam lemak (%)
20
16,64 15 10 5
2,76
2,86 0,47
0,42
0 palmitoleat
oleat
cis-11-eikosanoat
Gambar 4 Kandungan asam lemak tak jenuh tunggal pada belut
Asam lemak tak jenuh yang paling dominan pada belut adalah asam oleat yaitu sebesar 19,45 % pada kondisi segar dan berubah menjadi 16,64 % pada kondisi setelah direbus. Penelitian Weber et al. (2007) menunjukkan adanya perubahan nilai asam oleat pada ikan lele perak (R. quelen) setelah perebusan, dari 29,8 % (segar) menjadi 27,5 %. Perebusan menyebabkan perubahan yang tidak nyata terhadap kandungan asam lemak oleat. Asam oleat merupakan asam lemak esensial. Fungsi asam oleat di dalam tubuh adalah sebagai sumber energi, dan zat antioksidan untuk menghambat kanker, menurunkan kadar kolesterol, dan media pelarut vitamin A, D, E, K. Kekurangan asam oleat dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada penglihatan, menurunnya daya ingat serta gangguan pertumbuhan sel otak pada janin dan bayi (Peddyawati 2008). Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh jamak (PUFA). Kandungan asam lemak tak jenuh jamak belut segar adalah sebesar 14,49 % dan berubah menjadi 12,43 %. Data Tabel 3 menunjukkan beberapa jenis asam lemak tak jenuh jamak yang terdeteksi pada belut diantaranya asam linoleat, asam arakidonat, EPA, dan DHA. Kandungan PUFA pada belut dapat dilihat pada Gambar 5.
12
8
asam lemak (%)
7
7,42
6,22
6 5 4 3
2,12
1,75 1,60
2 1
1,68
0,22 0,21
0 linoleat
arakidonat
EPA
DHA
Gambar 5 Kandungan asam lemak tak jenuh jamak pada belut
Gambar 5 menunjukkan bahwa kandungan asam lemak tak jenuh jamak terbanyak adalah asam linoleat dengan nilai sebesar 7,42 % kemudian berubah menjadi 6,22 % setelah perebusan. Penelitian Weber et al. (2007) menunjukkan bahwa terjadi perubahan asam linoleat pada lele perak (R. quelen) yaitu 19,2 % pada kondisi segar dan 17,6 % pada kondisi setelah direbus. Asam linoleat banyak ditemukan dalam jaringan kulit manusia, berperan memelihara kelembaban epidermis kulit dan meminimalisir hilangnya penguapan air dari epidermis. Asam linoleat dalam tubuh berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan membran sel, pengaturan metabolisme kolesterol dan menurunkan tekanan darah. Defisiensi asam linoleat dapat menyebabkan kemampuan reproduksi menurun, gangguan pertumbuhan dan rentan terhadap infeksi (Iskandar et al. 2010). Kandungan asam arakidonat pada analisis belut segar sebesar 1,75 % dan berubah menjadi 1,60 %. Hal ini sesuai dengan penelitian Turkkan et al. (2008) tentang pengaruh pengolahan terhadap komposisi kimia dan kandungan asam lemak Dicentrachus labrax, yang menyatakan bahwa asam arakidonat mengalami penurunan setelah diberikan perlakuan panas. EPA dan DHA merupakan asam lemak tak jenuh yang berperan penting dalam kesehatan tubuh manusia serta merupakan komponen struktural terbesar dalam membran fosfolipid yang mengatur fluiditas membran dan transport ion (Chapkin et al. 2008). Menurut penelitian Sidhu (2003), mengonsumsi pangan hasil laut yang kaya akan asam lemak tak jenuh jamak, yaitu EPA dan DHA dapat menurunkan resiko penyakit jantung koroner, menurunkan hipertensi, penyakit diabetes, dan meredakan gejala radang sendi (rheumatoid arthritis). Gambar 5 menunjukkan kandungan EPA dan DHA dalam kondisi segar berturut-turut 0,22 % dan 2,12 %. Kadar EPA berubah menjadi 0,21 % dan pada kadar DHA menjadi 1,68 % setelah belut direbus. Hal ini sesuai dengan penelitian Fried et al. (1992) yang menyatakan bahwa kandungan DHA pada gastropoda Helisoma trivolvis sebesar 2,00 % (segar) dan berubah menjadi 1,98 % (rebus).
13 Menurut Gladyshev et al. (2006) perubahan akibat pemanasan umumnya terjadi pada ikatan rangkap dari asam lemak pada gliserida. Hal ini menyebabkan penurunan DHA pada belut yang diberi perlakuan perebusan.
Kandungan Asam Lemak Bebas Belut (M. albus) Hasil analisis menunjukkan terjadi penurunan kandungan asam lemak bebas pada belut yang direbus yaitu sebesar 21,86% (segar) berubah menjadi 8,24% (rebus). Penurunan kandungan asam lemak bebas ini disebabkan oleh proses pemanasan yang terjadi saat perebusan. Hal ini sesuai dengan penelitian Al-Saghir et al. (2004) yang menyatakan terjadi penurunan kandungan asam lemak bebas pada fillet ikan salmon baik yang dikukus maupun ditumis. Asam lemak bebas adalah asam lemak yang berada sebagai asam bebas tidak terikat sebagai trigliserida. Pembentukan asam lemak bebas terjadi karena adanya proses hidrolisis dan oksidasi minyak yang disebabkan oleh keberadaan radikal bebas serta penguraian ikatan rangkap selam pemanasan (Paul dan Mittal 1997). Aminah dan Isworo (2010) manyatakan bahwa asam lemak bebas terbentuk karena proses oksidasi dan hidrolisis enzim selama pengolahan dan penyimpanan. Kandungan asam lemak bebas pada bahan baku segar lebih tinggi bila dibandingkan dengan setelah pemasakan yang disebabkan oleh terjadinya proses deaktivasi enzim selama pemanasan. Hal ini akan mencegah pelepasan sam lemak bebas akibat aktivitas lipase pada bahan yang dimasak (Aro et al. 2000).
Kandungan Kolesterol Belut (M. albus) Hasil analisis menunjukkan kandungan kolesterol pada belut segar sebesar 60 mg/100 gram dan berubah menjadi 56,32 mg/100 gram. Penelitian Oku et al. (2009) menyatakan kandungan kolesterol pada sidat Jepang (Anguilla japonica) segar memperoleh nilai sebesar 67,9 mg/100 gram. Hasil analisis membuktikan bahwa metode pengolahan berupa perebusan berpengaruh terhadap kandungan kolesterol belut. Hal inilah yang menyebabkan kandungan kolesterol belut yang telah direbus menurun. Menurut Riyanto et al. (2007) penurunan kandungan kolesterol dapat disebabkan pemberian panas pada ikan yang menyebabkan kolesterol larut bersamaan dengan terlepasnya air dari bahan dan menguapnya senyawa volatil yang dihasilkan, meliputi alkohol dan hidrokarbon. Kolesterol merupakan komponen membran struktural sel dan komponen sel otak maupun syaraf (Colpo 2005). Kolesterol diperlukan dalam pembentukan asam empedu, asam folat, dan progesteron. Kolesterol dalam darah berasal dari dua sumber, yaitu makanan dan hasil sintesis oleh tubuh. Variasi kolesterol dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain spesies, ketersediaan makanan, umur, seks, suhu air, lokasi geografis, dan musim (Sampaio et al. 2006). Kolesterol dalam tubuh mempunyai fungsi untuk membangun dan memperbaiki membran-membran sel, sintesa asam empedu dan vitamin D. Kolesterol bila terdapat dalam jumlah banyak dalam darah dapat membentuk endapan pada dinding pembuluh darah sehingga menyebabkan penyempitan disebut aterosklerosis (Almatsier 2006).
14 Federal dietary guidelines merekomendasikan untuk membatasi asupan kolesterol kurang dari 300 mg per hari (Samaha 2003).
Deskripsi Jaringan Daging Belut Pengamatan daging belut dilakukan untuk melihat perbedaan struktur daging sebelum dan sesudah perebusan. Penyiapan preparat dilakukan dengan menggunakan metode parafin. Deskripsi jaringan belut dapat dilihat pada Gambar 6, Gambar 7 dan Gambar 8.
Gambar 6 Struktur jaringan kulit belut segar perbesaran 40 x 10
Gambar 7 Struktur jaringan daging belut segar perbesaran 40 x 10
Gambar 8 Struktur jaringan daging belut rebus perbesaran 40 x 10
15
Histologi merupakan suatu ilmu yang mempelajari struktur dan sifat jaringan secara detail menggunakan mikroskop pada sediaan jaringan yang dipotong tipis. Gambar 6 menunjukkan struktur jaringan kulit belut yang terdiri atas lapisan epidermis, kromatofor (basal membran), dan lapisan dermis yang tersusun rapi, padat, dan kompak. Pada lapisan epidermis terdapat sel mukus yang berupa bulatan berwarna putih. Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa tipe jaringan belut merupakan tipe jaringan longitudinal. Perbedaan jaringan daging belut segar dan sesudah direbus terlihat jelas pada Gambar 7 dan Gambar 8. Hasil pengamatan memperlihatkan struktur jaringan daging belut segar terdiri atas serabut-serabut otot (myomere) yang dikelilingi septum (myoseptum) yang cukup lebar dan bervariasi dalam ketebalannya. Gambar 8 memperlihatkan jaringan daging belut rebus lebih kompak dan menyatu dibandingkan dengan kondisi segar, hal ini terlihat pada myomere-myomere yang terdapat pada belut rebus lebih kompak dan menyatu dibandingkan dengan belut segar dan jarak antar myomere (myoseptum) lebih sempit. Perebusan menyebabkan keluarnya air dan sebagian kolagen pada myoseptum sehingga septum akan lebih menyempit. Proses perebusan menyebabkan kulit terkelupas sehingga merusak jaringan epidermis dan hanya terdapat lapisan dermis pada belut rebus. Belut memiliki myomere yang cukup panjang. Pemanasan yang terjadi pada proses perebusan menyebabkan air dalam daging belut rebus merembes keluar, sehingga struktur jaringan menjadi lebih kompak. Perubahan struktural suatu bahan pangan yang disebabkan oleh panas dapat memperngaruhi tekstur dan parameter lain yang berhubungan dengan kualitas daging (Hurling et al. 1996).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Komposisi kimia belut setelah direbus mengalami perubahan. Kandungan asam lemak jenuh tertinggi pada belut adalah asam palmitat dan mengalami penurunan sebesar 0,91 %, kandungan asam lemak tak jenuh tunggal tertinggi adalah asam oleat dan mengalami penurunan sebesar 2,81 %, kandungan asam lemak tak jenuh jamak paling tinggi adalah linoleat dan mengalami penurunan sebesar 1,2 %. Kandungan kolesterol rata-rata belut segar adalah 60 mg/100 gram dan berubah pada belut rebus menjadi 56,32 mg/100 gram. Struktur jaringan pada daging belut sebelum dan sesudah proses perebusan berbeda. Struktur jaringan pada daging belut rebus lebih kompak dan menyatu jika dibandingkan dengan belut segar. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan asam lemak serta kolesterol belut dengan pengolahan yang berbeda seperti pemanggangan dan pengovenan. Perlu dilakukan identifikasi asam-asam lemak lain yang terdapat
16 pada kromatogram serta perlu penelitian lebih lanjut untuk menilai perubahanperubahan data asam lemak yang ada.
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. Cara Uji Minyak dan Lemak. Jakarta: Standar Nasional Indonesia 01-2891-1992. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1994. Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta: Standar Nasional Indonesia 01-3555-1994. [WPI] Warta Pasar Ikan. 2010. Belut dan Sidat Permintaanya Semakin Meningkat. Edisi April Vol. 80. Jakarta: Direktorat Pemasaran Dalam Negeri. Al-Saghir S, Thurner K, Wagner KH, Frisch G, Luf W. 2004. Effects of different cooking procedures on lipid quality and cholesterol oxidation of farmed salmon fish (Salmo salar). Journal of Agricultural and Food Chemistry. 52: 5290–5296. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Aminah S, Isworo JT. 2010. Praktek penggorengan dan mutu minyak goreng sisa pada rumah tangga di RT V RW III Kedungmundu Tembalang Semarang. Proseding Seminar Nasional Alumnus 2010. Angka SL, Mokoginta I, Dana D. 1984. Pengendalian Penyakit Ikan Histologi dan Hematologi Ikan-ikan Air Tawar yang Dibudidayakan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Aro T, Tahvonen R, Mattila T, Nurmi J, Sivonen T, Kallio H. 2000. Effects of season and processing on oil content and fatty acids of Baltic herring (Clupea harengus membras). Journal of Agricultural and Food Chemistry. 48: 6085–6093. Bohac CE, Rhee KS, Cross HR, Ono K. 1988. Assessment of methodologies for colorimetric cholesterol assay of meats. J Food Sci 53(6):1642-1647. Chapkin R, McMurray D, Davidson L, Patil B, Lupton J. 2008. Bioactive dietary long-chain fatty acids: emerging mechanisms of action. British Journal of Nutrition. 100:1152-1157 Colpo A. 2005. LDL Cholestrerol: bad cholesterol science cholesterol. Journal of American Physiciansand Surgeons. 10(3):83-89. Fried B, Rao KS, Shermas J. 1992. Fatty acid composition of two strains of Helisoma trivolvis (gastropoda). Biochemical Systematics and Ecology 6(20): 553-557. Freije AM, Awadh MN. 2010. Fatty acid compositions of Turbo coronatus Gmelin 1791. British Food Journal. 112 (10):1049-1062 Gladyshev M, Sushchik NN, Gubanenko G, Demirchieva S, Kalachova G. 2006. Effect of way of cooking on content of essestial polyunsaturated fatty acid in muscle tissue of humback salmon (Oncorhynchus gorbuscha). Food Chem. 96:446-451.
17 Hames D, Hooper N. 2005. Biochemistry third . London: Taylor & Francis Group. Harris RS, Karmas E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bhan Pangan Edisi ke-2. Bandung: ITB Press. Harikedua JW. 1992. Pengaruh perebusan terhadap komponen zat gizi ikan layang (Decapterus ruselli) khususnya asam lemak tidak jenuh Omega-3 [tesis]. Bogor (ID). Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hurling R, Rodell JB, Hunt HD. 1996. Fibre diameter and fish texture. J. Texture Stud. 27: 679– 685. Iskandar Y, Surilaga S, Musfiroh I. 2010. Penentuan kadar asam linoleat pada tempe secara kromatografi gas. Jurnal Farmasi. Vol. 3 (2): 15-20. Kandemir S, Polat N. 2007 Seasonal variation of total lipid and total fatty acid in muscle and liver of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss W 1792) reared in derbent dam lake. Tukish Journal of Fisheries and Aquatic Science. 7: 27-31. McNair HM, Bonelli EJ. 1988. Dasar kromatografi gas. Kosasih Padmawinata, penerjemah. Ed Ke- 5. Basic Gas Chromatography. Bandung: ITB Press. Ningsih SG. 2011. Analisis Asam Lemak dan Pengamatan Jaringan Daging Fillet Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus) Akibat Penggorengan. [skripsi]. Bogor (ID). Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nurjanah, Abdullah A. 2010. Cerdas Memilih Ikan dan Mempersiapkan Olahannya. Bogor: IPB Press. Oku T, Sugawara A, Choudhury M, Komatsu M, Yamada S, Ando S. 2009. Lipid and fatty acid compositions differentiate between wild and cultured Japanese eel (Anguilla japonica). Food Chemistry. 115: 436-440. Okuzumi M, Fujii T. 2000. Nutritional dan Functional Properties of Squid dan Cuttle fish. Japan: National Cooperate Associztion of Squid. Osman F, Jaswir I, Khaza’ai H, Hashim R. 2007. Fatty acid profiles of fin fish in Langkawi Island, Malaysia. J. Oleo Sci. 56:107-113. Ozyurt G, Duysak O, Akamca E, Tureli C. 2006. Seasonal changes of fatty acid of cuttlefish Sepia officinalis . (Mollusca: Chepalopoda) in the north eastern Mediterranean sea. Food Chem. 95:382-385. Paul S, Mittal GS. 1997. Regulating the use of degraded oil/fat/in deep-fat/oil food frying. Critical Rev in Food Science and Nutrient. 37(7): 635-662. Peddyawati E. 2008. Lemak, kawan yang bisa jadi lawan. http:// benih.net/lemakkawan-yang-bisa-jadi-lawan [21 April 2013]. Prabandari R, Mangalik A, Achmad J, Agustiana. 2005. Pengaruh waktu perebusan dari dua jenis udang yang berbeda terhadap kualitas tepung limbah udang putih (Penaeus indicus) dan udang windu (Penaeus monodon). EnviroScieniteae. 1(1):24-28. Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantri S, Fardiaz S. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB Rahman SA, Huah TS, Hassan O, Daud NM. 1994. Fatty acid composition of some malaysian fresh water fish. Food Chemistry. Vol. 54: 45-49. Riyanto R, Priyantono N, Siregar T. 2007. Pengaruh perebusan, penggaraman dan penjemuran pada udang dan cumi terhadap pembentukan 7-ketokolesterol. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan 2(2): 147151.
18 Samaha FF. 2003. A low carbohydrate as compared with a low fat diet in severe obesity. England Journal Medicine. 348: 2074-2081. Sampaio GR, Bastos D, Soares R, Queiroz Y, Torres E. 2006. Fatty acid and cholesterol oxidation in salted and dried shrimp. Food Chem 96: 344-351. Sidhu KS. 2003. Health benefits and potential risks related to consumption of fish or fish oil. Regulatory Toxycology and Pharmacology 38: 336-344. Suryani AA. 2012. Komposisi Asam Lemak dan Kolesterol Belut Sawah (Monopterus albus) Akibat Penggorengan. [skripsi]. Bogor (ID). Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Turkkan AU, Cakli S, Kilinc B. 2008. Effect of cooking methods on the proximate composition and fatty acid composition of Seabass (Dicentrarchus labrax, Linnaeus, 1758). J. Food and Bioproduct Processing. 86:163-166. Weber J, Bochi VC, Ribeiro C, Victorio AM, Emanuelli T. 2007. Effect of different cooking methods on the oxidation, proximate and fatty acid composition of silver catfish (Rhamdia quelen) fillets. Food Chemistry. 106:140-146. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.
19 Lampiran 1 Dokumentasi penelitian
Hasil ekstraksi lemak
Alat kromatografi gas
Beberapa alat yang digunakan untuk pengamatan jaringan daging belut
Lampiran 2 Pengukuran morfometrik dan bobot total belut Panjang (cm) 43,5 45 37,5 38 36 35 36,5 36 35 35,5
Lebar (cm) 1,5 1,8 1,3 1,4 1,2 1,2 1,2 1,5 1,1 1,1
Tinggi (cm) 2,1 2,5 1,7 2 1,9 1,7 1,5 1,7 1 1,3
Lingkar Badan (cm) 5 5,3 4,6 4 4,8 4,9 4,5 4,3 4,8 4,4
Bobot Total (gram) 66,23 79,57 47,25 63,36 44,5 46,78 43,31 40,29 47,25 42,33
37,8 ± 3,55
1,33 ± 0,22
1,74 ± 0,42
4,66 ± 0,37
52,09 ± 13,02
20 Lampiran 3 Kromatogram standar asam lemak
Lampiran 4 Kromatogram asam lemak belut segar Ulangan 1
21 Ulangan 2
Lampiran 5 Kromatogram asam lemak belut rebus Ulangan 1
22 Ulangan 2
23
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 1991 dari ayah bernama Mahyudin dan ibu yang bernama Yamsih. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan formal dimulai dari TK Ashshofi’iah melanjutkan ke SD Negeri 06 Menteng Atas, Jakarta dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di SMP IT RPI, Jakarta dan lulus pada tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 3 Jakarta dan lulus pada tahun 2009. Penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2009 melalui jalur UTMI dan mengambil progam studi Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjalani pendidikan akademik di Institut Pertanian Bogor penulis pernah akrif dalam organisasi Leadership and Entrepreneurship School IPB (LES) (tahun 2009-2010), Fisheries Processing Club (2010-2012), dan aktif dalam kepanitian berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor.