18
II 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Sumberdaya Lahan Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa sumberdaya adalah
unsur lingkungan
hidup yang terdiri atas sumberdaya manusia, sumberdaya alam, baik hayati maupun non hayati,
dan sumberdaya buatan. Menurut
Sitorus (2004)
sumberdaya alam dapat dikelompokkan ke dalam : (1) Sumberdaya lahan atau tanah (2) Sumberdaya hutan (3) Sumberdaya air (4) Sumberdaya laut, dan (5) Sumberdaya mineral. Tanah merupakan suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen padat, cair dan gas serta mempunyai sifat serta perilaku yang dinamik (Arsyad 1989). Sitorus (2003) mendefinisikan tanah (soil) sebagai suatu benda alami, bagian dari permukaan bumi yang dapat ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan dan mempunyai sifat-sifat sebagai hasil kerja faktor–faktor iklim dan jasad hidup (organisme) terhadap bahan induk yang dipengaruhi oleh keadaan topografi dalam jangka waktu tertentu. Ilmu tanah memandang tanah dari dua pendekatan yaitu pendekatan Pedologi dan Edafologi. Pendekatan Pedologi menelaah tanah sebagai hasil hancuran bio fisiko kimia dan mempelajari proses-proses dan reaksi bio fisiko kimia yang berperanan, jenis tanah dan penyebarannya. Sedangkan Edafologi mempelajari tanah sebagai media tempat tumbuh-tumbuhan. Dalam pendekatan ini Edafologi mempelajari berbagai sifat-sifat tanah yang ada hubungannya dengan pertumbuhan dan produksi tanaman, sehingga perlu diidentifikasi dan dijelaskan : -
Mengapa terdapat produktivitas dan kemampuan penggunaan tanah yang berbeda ?
-
Bagaimana mengembangkan cara-cara peningkatan produktivitas tanah ?
-
Bagaimana memelihara kelestarian fungsi tanah dan memperbaiki tanahtanah yang rusak ? Menurut Sitorus (2003) lahan (land) adalah lingkungan fisik yang terdiri
dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan juga mengandung pengertian ruang dan tempat.
19 Sumberdaya Lahan/Tanah menggambarkan gabungan antara sifat sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, yang tidak dapat diperbaharui serta sumberdaya biologis (Sitorus, 2004). Sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbarui, kesuburan tanah, yang sangat erat berhubungan dengan organisme , sifat kimia alami tanah dan aktivitas akar tanaman, dapat diperbaiki dengan pemberian kapur agar hara tanah dapat diserap tanaman. Sifat fisik tanah, misalnya tekstur tanah, sulit dirubah sehingga merupakan sifat seperti sumberdaya alam yang tidak dapat diperbarui. Apabila sumberdaya lahan/tanah digunakan, ditingkatkan atau dipertahankan sehingga kesuburannya bertambah atau berkurang sebagai akibat dari pengaruh manusia maka merupakan sifat sumberdaya biologis. Pada dasarnya perbedaan antara sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dan yang dapat diperbaharui hanya tergantung pada derajat keberadaannya.
2.2
Kaitan Pertambahan Penduduk dengan Sumberdaya Lahan Penggunaan sumberdaya alam berarti melakukan suatu perubahan
dalam suatu ekosistem, yang dampaknya akan mempengaruhi sistem kehidupan. Homer-Dixon et al. (1993) dalam Mitchel et al. (2003) menjelaskan bahwa kegiatan manusia dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan atau
kelangkaan sumberdaya dalam tiga cara yaitu : 1
Kegiatan manusia dapat
menyebabkan penurunan
jumlah dan kualitas
sumberdaya 2
Penurunan
atau kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan
penduduk dan 3
Akses terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang juga akan menyebabkan banyak persoalan. Jumlah sumberdaya alam tidak bertambah atau terbatas, sehingga
pertambahan penduduk yang cepat dalam suatu wilayah menurut Lastario (2001) dapat menyebabkan lebih besar dari daya tampungnya, sehingga akan terjadi tekanan pada sumberdaya alam tersebut. Gejalanya dapat terlihat dari kurangnya penyediaan lapangan kerja dan pendapatan yang rendah dan jumlah penduduk miskin yang terus bertambah besar. Pierce dan Lal (1997) menyatakan bahwa secara global, dua masalah paling penting yang dihadapi pada abad 21, pertama adalah kecukupan sumberdaya tanah/lahan dunia untuk memenuhi permintaan pangan dan serat
20 akibat dari pertambahan penduduk dunia dan kedua adalah kualitas lingkungan baik udara, air dan tanah/lahan. Sitorus (2004) juga mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk yang
sedemikian besarnya dalam beberapa dekade
terakhir ini mengakibatkan permasalahan penyediaan pangan dan kebutuhan pokok lainnya menjadi sangat menonjol sehingga memerlukan pendekatan permasalahan yang sifatnya lebih menyeluruh. Proses tersebut
dapat membahayakan fungsi hidrologi, produksi
pertanian, pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi di daerah lingkungan pengaruhnya. Selanjutnya dinyatakan bahwa kelangkaan sumberdaya lahan bersangkut paut dengan pertumbuhan penduduk dan persaingan permintaan (competiting demand) terhadap lahan. Sebagian masyarakat berpenghasilan tinggi akan menyalurkan kelebihan daya belinya dalam bentuk investasi pada tanah/lahan, sehingga nilai harga tanah cenderung naik. Pergeseran pemilikan tanah sering terjadi karena adanya jual beli tanah oleh pemilik kepada pihak lain yang bermodal sehingga terjadi akumulasi dan pemusatan lahan di tangan segolongan orang yang dapat menimbulkan gejala tanah guntai (absentee ownership) atau para pemilik tanah semula, kini statusnya menjadi penggarap atau buruh tani di atas tanah yang secara hukum menjadi milik orang lain. Perimbangan hubungan antara pemilikan, penguasaan dan penggarapan tanah terutama yang menyangkut pembagian hasil dan imbalan jasa antara pihak pemilik tanah, pihak yang menguasai tanah dan pihak penggarap tanah merupakan masalah
dengan implikasi luas dan berantai. Suripin (2002)
menyatakan bahwa kepemilikan lahan per kapita di dunia semakin menurun dan jika penurunan tersebut diikuti pula dengan penurunan tingkat produktivitas lahan (akibat degradasi), maka umat manusia akan menemui kesulitan besar dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan maupun lahan untuk tempat tinggal.
2.3
Degradasi Tanah Sumberdaya alam utama, tanah dan air, mudah mengalami kerusakan
atau degradasi yang disebabkan oleh kehilangan unsur hara dan bahan organik, terkumpulnya garam dan racun, penjenuhan tanah oleh air dan erosi (Riquier dalam Arsyad, 1989). Sitorus (2003b) menyatakan bahwa degradasi adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan tanah dan kehilangan atau perubahan kenampakan (features) tanah yang tidak dapat diganti. Sedangkan menurut FAO degradasi adalah proses yang menguraikan fenomena yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung
21 suatu kehidupan.
Menurut
Dariah et al. (2004) degradasi lahan adalah proses
penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap. Akibat lanjut dari dari proses degradasi lahan adalah timbulnya areal-areal yang tidak produktif atau dikenal sebagai lahan kritis. Sitorus (2003b) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya degradasi lahan adalah : -
Bahaya alami (Natural hazard)
-
Perubahan populasi
-
Marginalisasi
-
Kemiskinan (Poverty)
-
Masalah kepemilikan Lahan
-
Kestabilan politik dan salah administrasi (Mal administration)
-
Aspek sosial ekonomi
-
Kesehatan
-
Pertanian tidak tepat (Inappropriate agriculture)
-
Aktivitas pertambangan dan industri. Menurut Sitorus (2003b) ada dua kategori proses degradasi tanah yaitu :
1
Berhubungan dengan pemindahan bahan/material tanah, seperti erosi oleh kekuatan air dan angin
2
Merupakan deteriorasi (kerusakan tanah) insitu yang dapat merupakan proses degradasi kimia atau fisika tanah. Sumberdaya lahan/tanah yang dikelola tanpa memperhatikan kaidah-
kaidah konservasi tanah dan air akan tererosi. Erosi menurut Arsyad (1989) adalah hilangnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ketempat lain oleh suatu media alami (air atau angin). Erosi menurut Asdak (1996) dalam Vadari et al. (2004) merupakan tiga proses
yang
berurutan
yaitu
pelepasan
(detachment),
pengangkutan
(transportation) dan pengendapan (deposition) bahan-bahan tanah oleh penyebab erosi. Dua peristiwa utama erosi yaitu pelepasan dan pengangkutan merupakan penyebab erosi tanah yang penting. Erosi dapat memberikan dampak langsung maupun tidak langsung serta dampak di tempat kejadian erosi ataupun di luar tempat kejadian yang sangat merugikan negara. Daerah yang tererosi dapat menjadi Daerah Kritis (Critical Zone) yaitu suatu keadaan dimana sumberdaya alam telah menurun dan secara ekonomis tidak dapat dikembalikan lagi dengan teknologi yang ada pada saat itu. Menurut
22 Sitorus (2004) sumberdaya alam yang memiliki daerah kritis dapat menimbulkan masalah ekonomi dan sosial yang mengkhawatirkan. Permasalahan sumberdaya lahan menurut Barlowe (1986) sangat penting bagi pemerintah dan bila sumberdaya lahan dikhawatirkan rusak maka sumberdaya lahan tersebut perlu dikelola secara berkelanjutan seperti dikatakan Greenland (1994) : “ When land tenure is less secure, or is vested in the state, an appropriate policy change on land ownership may well be the most important step needed to promote Sustainable Land Management ”. Degradasi lahan yang terjadi di Indonesia umumnya disebabkan oleh erosi air hujan karena tingginya jumlah dan intensitas curah hujan (Dariah et al., 2004). Faktor utama yang mendorong kritisnya kawasan DAS menurut Fagi (1997) adalah karena terdorongnya petani untuk menggarap lahan-lahan di perbukitan bagian hulu akibat tingginya laju pertumbuhan penduduk. Ciri kritisnya suatu kawasan DAS adalah mengeringnya aliran sungai di musim kemarau dan keruhnya air sungai di musim hujan karena
membawa lumpur dan
mengakibatkan terjadinya banjir di hilir. Hidayat dan Mulyani (2002) menyatakan di Indonesia potensi bahaya erosi terdapat pada usahatani tanaman pangan di lahan kering berlereng karena 77,4% mempunyai kemiringan lebih dari 3%.
2.4
Pengelolaan Sumberdaya Lahan Munandar (1995) dalam Dariah et al. (2004) menyatakan bahwa salah
satu masalah pokok yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya petani, adalah bagaimana sumberdaya alam tersebut dapat dimanfaatkan secara efisien dan lestari baik bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Usahatani dapat dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, bila penerapan teknik konservasi tanah senantiasa menjadi prioritas. Menurut Sitorus (2004) pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut secara berkesinambungan, yang secara garis besar bertujuan fisik dan ekonomi. Sistem pengelolaan lahan mencakup lima unsur yaitu : - Perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya - Tindakan-tindakan konservasi tanah dan air - Menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang baik - Menggunakan sistem pergiliran tanaman yang tersusun baik - Menyediakan unsurhara yang cukup dan seimbang bagi pertumbuhan tanaman
23 2.4.1
Perencanaan Penggunaan Lahan. Rencana penggunaan lahan (Land use planning) harus sesuai dengan
kemampuan sumberdaya lahan tersebut untuk dapat diusahakan bagi suatu penggunaan tertentu, sehingga perlu diketahui potensi untuk dapat mendukung suatu kegiatan usahatani tertentu serta tindakan-tindakan yang diperlukan agar lahan tersebut dapat memberikan hasil yang baik secara berkesinambungan. Barlowe (1986) menetapkan 10 tipe penggunaan lahan yaitu : - Lahan Permukiman
- Lahan Tambang
- Lokasi Komersial dan Industri
- Lahan Rekreasi
- Lahan Pertanaman
- Lahan Transportasi
- Lahan Rumput dan Padang Penggembalaan
- Area Pelayanan
- Lahan Hutan
- Lahan Gundul.
Lahan pertanaman mencakup areal budidaya yang memproduksi makanan, pakan, serat, dan tanaman lain, yang tidak hanya mencakup lahan tanaman yang dapat dipanen tetapi juga yang berfungsi mencegah kegagalan tanaman dan areal yang kadang-kadang diberakan atau merupakan lahan kosong. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan sumberdaya lahan untuk dapat diusahakan yaitu
keadaan lereng, kedalaman efektif,
tekstur, tingkat
kesuburan, permeabilitas tanah dan keadaan drainase. Menurut Sitorus (2004) untuk mengevaluasi kemampuan atau kesesuaian sumberdaya lahan bagi keperluan pertanian dapat digunakan sistem klasifikasi kemampuan lahan atau kesesuaian lahan sehingga diperoleh hasil evaluasi berupa peta kemampuan atau kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu. Hasil evaluasi inilah yang kemudian akan digunakan sebagai dasar dalam penyusunan rencana penggunaan lahan sampai pada sistem pengelolaannya. Oleh karena itu penggunaan lahan harus berdasarkan atas kemampuan atau kesesuaian lahan dan penggunaannya harus memenuhi persyaratan yang diperlukan agar lahan tersebut dapat terus berproduksi serta tidak mengalami kerusakan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. 2.4.2
Konservasi Tanah dan Air Tanah–tanah di Indonesia
tergolong peka terhadap erosi, karena
terbentuk dari bahan-bahan yang relatif mudah lapuk dan tanah menjadi semakin peka karena curah hujannya umumnya tinggi, berkisar 1.500-3.000 mm atau lebih setiap tahunnya dengan intensitas hujan yang juga tinggi (Dariah
24 et al.,
2004). Teknik konservasi tanah di daerah bercurah hujan tinggi menjadi
sangat spesifik, karena penerapannya tidak hanya untuk mengendalikan erosi melainkan juga harus ditujukan untuk memanen hujan atau aliran permukaan. Tindakan
Konservasi Tanah adalah usaha untuk menempatkan tiap
bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Tujuan
usaha konservasi tanah adalah
mencegah kerusakan tanah dan memperbaiki tanah-tanah yang rusak agar dapat tercapai produksi yang setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas. Faktor-faktor yang sering menyebabkan terjadinya kerusakan tanah adalah erosi, pencucian unsur hara (leaching), timbulnya
senyawa-senyawa beracun dan
penjenuhan air (Dariah et al., 2004). Rowland (1993) menyatakan bahwa tingkat konservasi tanah dan air oleh petani dapat dilihat
dari cara pengelolaan
usahataninya. Menurut Dariah et al. (2004) penerapan teknik konservasi tanah dengan mengurangi derajat kemiringan lahan dan panjang lereng merupakan salah satu cara terbaik mengendalikan erosi. Hal ini dapat ditempuh dengan menggunakan metode konservasi tanah secara mekanik atau vegetatif. Pada prakteknya metode
konservasi mekanik dan vegetatif sulit dipisahkan.
Penerapan metode konservasi mekanik akan lebih efektif dan efisien bila disertai dengan penerapan metode vegetatif dan penerapan metode vegetatif masih memerlukan perlakuan fisik mekanis seperti bangunan saluran pembuangan air (SPA), atau bangunan terjunan (drop structure) dll. 2.4.3. Pengolahan Tanah Pengolahan tanah merupakan komponen penting dalam usahatani tanaman semusim. Tujuannya untuk menyiapkan media tanam yang baik untuk pertumbuhan sehingga tanaman dapat berproduksi secara optimum. Menurut Gill dan Van den Berg (1967) dalam Rachman et al. (2004) pengolahan tanah dapat diartikan sebagai kegiatan manipulasi mekanik terhadap tanah. Tujuannya adalah untuk
mencampur dan menggemburkan tanah, mengontrol tanaman
pengganggu, mencampur sisa tanaman dengan tanah dan menciptakan kondisi kegemburan tanah yang baik untuk pertumbuhan akar. Tanah pertanian berfungsi sebagai media dimana air, udara, hara dan energi ditranslokasikan ke biji dan tanaman itu sendiri. Oleh karena itu sifat-sifat tanah yang mempengaruhi penyimpanan dan translokasi parameter tersebut
25 memainkan peran sangat penting.
Pertumbuhan akar
akan menyebabkan
terjadinya perubahan susunan tanah (soil decomposition) dan perubahan bentuk (soil deformation) di zona sekitar ujung akar. Untuk dapat tumbuh dan berkembang, akar harus menciptakan suatu sistem tenaga yang memberinya kemampuan untuk menembus tanah di sekitarnya. Oleh karena itu, kekuatan tanah yang berkaitan dengan fleksibilitas tanah untuk merubah susunannya dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar. Setiap
upaya pengolahan tanah akan menyebabkan terjadinya
perubahan sifat-sifat tanah. Tingkat perubahan yang terjadi sangat ditentukan oleh jenis alat pengolah tanah yang digunakan. Namun demikian pengolahan tanah secara berlebihan dapat menimbulkan
berbagai dampak negatif,
diantaranya terjadinya penghancuran struktur tanah. Pengolahan tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan air tanah pada saat mengolah. Konstante Atterberg dapat digunakan untuk menentukan batas-batas waktu pengolahan tanah yang terbaik. Keadaan olah yang baik dapat dinyatakan sebagai suatu keadaan dimana terbentuk struktur remah sehingga akan terjadi perbaikan–perbaikan sirkulasi udara dalam tanah, biasanya tercapai
apabila tanah diolah dalam
keadaan lembab (Sitorus, 2004). Olah tanah konservasi (c onservation tillage) merupakan suatu metode pengolahan tanah dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah, sehingga dampak negatif dari pengolahan tanah dapat ditekan sekecil mungkin. Menurut Wagger dan Denton (1991) dalam Rachman, Daríah dan Husen (2004) olah tanah konservasi dapat mempertahankan produktivitas tanah tetap tinggi. 2.4.4
Pergiliran Tanaman (Crop rotation) Erosi dapat terjadi salah satunya karena terbukanya lahan. Oleh karena
itu
dengan meningkatkan
intensitas tanaman, selain dapat meningkatkan
produktivitas lahan sekaligus juga merupakan
tindakan konservasi vegetatif.
Tertutupnya lahan hampir sepanjang tahun akan mengurangi erosi serta menghasilkan sisa tanaman sebagai bahan organik. Menurut Sitorus (2004) Sistem Pergiliran Tanaman (crop rotation) merupakan sistem penanaman berbagai tanaman secara bergilir dalam urutan waktu tertentu pada sebidang lahan. Keuntungannya adalah dapat mencegah erosi, dapat berfungsi dalam pemberantasan hama, penyakit dan tanaman pengganggu serta dapat berfungsi untuk memperbaiki atau memelihara sifat-sifat fisik dan kesuburan tanah.
26 Pergiliran tanaman sangat tergantung pada jenis tanah, iklim, topografi, dan pemasaran hasil. Lahan dengan kemiringan < 8% dapat mendukung usaha tanaman pangan sebagai tanaman utama. Sedangkan lahan dengan kemiringan > 8% , pertanaman diusahakan searah kontur atau teras dan tanaman pangan tidak lagi berfungsi sebagai
tanaman utama, melainkan sudah beralih ke
tanaman tahunan (Effendi 1984 dalam Santoso et al., 2004). Dalam pergiliran tanaman juga dapat dilakukan dengan memasukkan unsur tanaman penutup tanah. Menurut Sitorus (2004) tanaman yang dianggap lebih sesuai untuk dijadikan tanaman penutup tanah dan pupuk hijau adalah tanaman leguminoceae,
karena
dapat
menambah
nitrogen
tanah
dan
mempunyai sistem perakaran yang tidak memberikan kompetisi yang berat terhadap tanaman pokok/utama. Tujuan dari penanaman tanaman penutup tanah menurut Santoso et al. (2004) adalah : - melindungi permukaan tanah dari erosi percikan (splash erosion)
akibat
jatuhnya tetesan air hujan - meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia tanah - menekan pertumbuhan gulma sehingga mengurangi biaya perawatan tanaman - meminimumkan perubahan-perubahan iklim mikro dan suhu tanah sehingga dapat menyediakan lingkungan hidup yang lebih baik bagi tanaman. 2.4.5 Penyediaan Unsur Hara Dalam sedimen tanah yang terbawa aliran permukaan terdapat sejumlah unsur hara yang sangat berguna untuk pertumbuhan tanaman. Unsur-unsur hara yang terbawa aliran permukaan, terutama N dan P, akan masuk ke dalam badan air atau sungai sehingga lahan dan lahan pertanaman akan mengalami penurunan kesuburan tanah (Kurnia et al., 2004) Menurut Sitorus (2004) hilangnya unsur hara pada tanah menyebabkan perlunya penyediaan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi pertumbuhan tanaman, yang dapat dilakukan dengan pemupukan dan usaha-usaha perbaikan sifat-sifat fisik tanah agar produksi optimum suatu tanaman dapat dicapai. Namun demikian pemupukan tidak akan berhasil dan menguntungkan sebelum dilakukan usaha-usaha pencegahan erosi, perbaikan keadaan udara dan air, usaha pemeliharaan bahan organik tanah, perbaikan tanah-tanah yang telah rusak atau perbaikan drainase tanah.
27 Menurut Kurnia et al. (2004) pemupukan yang berlebihan akan mengakibatkan banyak residu pupuk yang masuk ke dalam badan
air atau
sungai sehingga terjadi eutrofikasi, akibatnya pemupukan yang dilakukan pada budidaya tanaman menjadi tidak efisien. Selain itu, Nitrat (NO 3) atau Nitrit (NO 2) yang terbawa aliran permukaan dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan sekitar seperti berkurangnya kualitas air permukaan dan air tanah. Beberapa hal penting yang harus dipertimbangkan dalam pemupukan yaitu jenis pupuk yang akan diberikan, besar dan jumlahnya serta saat pemberian pupuk. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan sifat-sifat fisik dan kimia tanah serta meningkatkan ketahanan tanah terhadap erosi adalah dengan pemberian tanaman pupuk hijau. Tanaman pupuk hijau dapat digunakan untuk memperbaiki tanah berpasir, tanah liat berat atau tanah-tanah lain yang tidak produktif (Santoso et al., 2004) Pupuk Hijau dapat ditanam secara khusus, misalnya ditanam diantara barisan tanaman yang sudah ada, atau pada lahan yang bera sebelum ditanami tanaman utama. Kandungan nitrogen pupuk hijau tertinggi terdapat pada masa awal pembentukan bunga, waktu tanaman masih lunak dan mudah dilapuk. Oleh karena itu sebaiknya tanaman pupuk hijau dipangkas pada waktu itu dan dibenamkan ke dalam tanah waktu masih berwarna hijau. Tanaman pupuk hijau yang baik antara lain turi (Sesbania grandiflora) dan gamal (Gliricideae sepium). 2.5
Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan Dua hal yang menandai kelahiran paradigma baru sistem pertanian
berkelanjutan (Manguiat 1995 dalam Salikin, 2003) adalah : 1
Laporan Komisi Bruntland
yaitu
Komisi Dunia tentang Lingkungan dan
Pembangunan (World commission on Environment and Development) pada tahun 1987, yang mendefinisikan dan berupaya mempromosikan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Menurut Komisi Dunia tersebut : “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generation to meet their own needs“. 2
Konferensi dunia di Rio de Janeiro pada tahun 1992 yang membahas Agenda 21 dengan mempromosikan program Sustainable Agriculture and Rural Development (SARD) yang membawa pesan moral kepada dunia bahwa
“without better environmental
undermined”.
stewardship, development will be
28 Beberapa agenda penting dalam konferensi tersebut yang termasuk dalam pembahasan bidang pertanian yaitu : 1
Menjaga kontinuitas produksi dan keuntungan usaha di bidang pertanian dalam arti yang luas (pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan) untuk jangka panjang, bagi kelangsungan kehidupan manusia
2
Melakukan perawatan dan peningkatan sumberdaya alam yang berbasis pertanian
3
Meminimalkan dampak negatif aktivitas usaha pertanian yang dapat merugikan bagi kesuburan tanah dan kesehatan manusia
4
Mewujudkan keadilan sosial antar desa dan antar sektor dengan pendekatan pembangunan pertanian berkelanjutan. Mitchel et al. (2003) menyatakan
bahwa dalam Komisi Dunia tentang
Lingkungan dan Pembangunan terdapat pernyataan yang jarang dikutip tentang dua konsep pembangunan berkelanjutan sebagai berikut : 1
Kebutuhan, khususnya kebutuhan para fakir miskin di negara berkembang,
2
Keterbatasan dari teknologi dan organisasi sosial yang berkaitan dengan kapasitas lingkungan untuk mencukupi kebutuhan generasi sekarang dan masa depan.
Dengan demikian pembangunan berkelanjutan sebagaimana diinterpretasikan oleh Komisi Bruntland, sesungguhnya berangkat dari konsep
antroposentrik,
yang menjadikan manusia sebagai tema sentralnya. Memasuki abad 21, kesadaran akan pertanian yang ramah lingkungan semakin meningkat, sejalan dengan tuntutan era globalisasi dan perdagangan bebas. Pengelolaan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan
menjadi penting bagi
para ahli lingkungan, peneliti pertanian, petani, politikus dan masyarakat lainnya, dimana semua setuju pentingnya menjamin sistem produksi pertanian dapat lestari, dilaksanakan dengan suatu cara yang kualitas outputnya dapat dikelola setiap tahun tanpa mengalami degradasi lingkungan. Menurut Reijntjes et al. (2003) berkelanjutan memiliki arti kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot. Kaitannya dengan pertanian maka
Pertanian berkelanjutan adalah pertanian
dengan pengelolaan
sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah, sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam.
29 Produksi optimum suatu lahan dapat dicapai dengan pengelolaan yang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Pengelolaan lahan yang meliputi kegiatan penyusunan rencana penggunaan tanah, konservasi tanah dan pengelolaan tanah berlangsung terus selama tanah digunakan untuk pertanian sehingga berkaitan erat dengan sistem usahatani. Sistem usahatani yang baik akan dapat
mengurangi kerusakan kawasan hutan dan sekaligus dapat
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Gips (1986) dalam Reijntjes et al. (2003) menilai secara lebih luas yaitu pertanian dikatakan pertanian berkelanjutan bila mencakup : 1
Mantap secara ekologis, artinya kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan–dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah–ditingkatkan
2
Bisa berlanjut secara ekonomis, artinya petani bisa cukup menghasilkan untuk
pemenuhan kebutuhan
dan/atau pendapatan sendiri, serta
mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan 3
Adil, artinya sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hakhak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin
4
Manusiawi,artinya semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihargai
5
Luwes, artinya masyarakat perdesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya perubahan penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain. Sitorus (2004) menyatakan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan
adalah untuk selalu memperbaiki kualitas hidup manusia atas berbagai aspek kehidupan, sehingga konsep pembangunan berkelanjutan merupakan upaya untuk mengintegrasikan tiga aspek kehidupan yaitu aspek ekonomi, sosial dan ekologi dalam satu hubungan yang sinergis. Ketiga aspek tersebut oleh Siitorus (2004) dapat digambarkan dalam bentuk segitiga yang tertera pada Gambar 3. Sistem Pembangunan Pertanian Berkelanjutan menurut Liu et al. (1999) mencakup empat tingkat subsistem yaitu ekonomi, teknologi, ekologi dan masyarakat. Berdasarkan cakupan tersebut maka tujuan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan tidak sederhana, namun secara keseluruhan tujuan dari
30 sistem Pembangunan Pertanian Berkelanjutan adalah
suatu pengaruh
komprehensif yang semuanya merupakan sub koordinat tujuan masing-masing sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Ekonomi -
Pertumbuhan Berkelanjutan - Efisiensi
Sosial -
Ekologi
Kesetaraan Kohesi Sosial Partisipasi Pemberdayaan
- Keterpaduan Ekosistem - Sumberdaya Alam - Keanekaragaman Hayati - Daya Dukung
Gambar 3 Dimensi Pembangunan Berkelanjutan. Tujuan Ekonomi
Tujuan Teknologi
Tujuan Total
Tujuan Ekologi
Tujuan Sosial
Gambar 4 Tujuan Sistem Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Menurut
Herdt
berkelanjutan semua
dan
Steiner
(1995)
dalam
pengelolaan
pertanian
perhatian harus ditujukan pada ketersediaan pangan
dimasa datang, sehingga pertanian berkelanjutan harus berkaitan dengan kemampuan sistem pertanian agar tetap produktif sepanjang masa. Lynam dan Herdt (1989) dalam Herdt dan Steiner (1995) menyatakan bahwa keberlanjutan harus didefinisikan dengan respek terhadap sistem, tidak hanya sekedar input dan tanaman, sebab input dan varietas tanaman dalam keadaan terisolasi tidak menghasilkan apapun. Keberlanjutan merupakan hasil hubungan antara teknologi, input dan manajemen dari penggunaan dasar sumberdaya dalam kondisi sosial ekonomi yang tertentu. Konsep keberlanjutan juga harus mempertimbangkan aspek :
31 - ruang
: ruang tidak terbatas baik global, regional, lahan usahatani, tanaman individu dan mikroskopis.
- waktu
: waktu tidak hanya berkaitan dengan konteks periode waktu yang tertentu
- dimensi : dimensinya mencakup dimensi biologi/fisik, ekonomi dan sosial. Kebijakan pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan di Indonesia yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana Pembangunan Berkelanjutan
yang
berwawasan lingkungan hidup didefinisikan sebagai upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan,
dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan. Gagasan pembangunan berkelanjutan kemudian dituangkan dalam bentuk program dan strategi pengelolaan lingkungan dalam Agenda 21 Indonesia dengan rumusan sebagai berikut : 1
Pelayanan masyarakat
2
Pengelolaan limbah
3
Pengelolaan sumberdaya tanah, dan
4
Pengelolaan sumberdaya alam. Empat sub agenda yang dirumuskan dalam pengelolaan sumberdaya
tanah/lahan yaitu : 1
Penata gunaan sumberdaya tanah
2
Pengelolaan hutan
3
Pengembangan pertanian dan perdesaan, dan
4
Pengelolaan sumberdaya air. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan
sumberdaya lahan menurut Mitchel et al. (2003) adalah : 1
Sehubungan dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan serta runtuhnya unit-unit industri yang mengandalkan bahan baku impor, maka proses eksploitasi sumberdaya tanah di Indonesia akan semakin meningkat
2
Berbagai
upaya pengelolaan sumberdaya tanah harus dilakukan secara
terpadu 3
Setiap daerah di Indonesia mempunyai tingkat
persoalan yang berbeda,
sehingga pilihan-pilihan pengelolaannya juga mungkin berbeda
32 4
Berbagai upaya pengelolaan proses-proses
penataan dan
sumberdaya tanah akan berkaitan dengan perijinan ruang sebagaimana telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Upaya-upaya terpadu pengelolaan lingkungan hanya mungkin dilakukan apabila difasilitasi dengan rencana tata ruang yang jelas. Di Indonesia Pengelolaan Lingkungan dapat dilakukan lebih efektif apabila terdapat sistem informasi dasar yang baik dan sistematis, bukan pembangunan tanpa rencana yang melanggar hukum ekologi dan hukum manusia yang ditentang oleh para ahli pelestarian sumberdaya alam pada umumnya (Odum, 1993).
32 32
2.6
Usahatani Sayuran Dataran Tinggi
2.6.1 Kondisi Lahan Tabel 1 Luas Lahan Kering Yang Sesuai dan Yang Tersedia Untuk Pengembangan Hortikultura Dataran Tinggi No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Pulau/Propinsi Aceh Sumut SumBar Riau Jambi Bengkulu SumSel Lampung Sumatera Jabar Jateng Jatim Bali Jawa + Bali Sulut SulTeng Sultra Sulsel Sulawesi Kalbar Kalsel Kalteng Kalsel Kalimantan NTB NTT Maluku Papua NT, Maluku,Papua Indonesia
Lahan Yang Sesuai (ha) 160.000 890.000 63.000 24.000 235.000 160.000 70.000 50.000 1.652.000 9.000 50.000 9.000 68.000 21.000 25.000 46.000 13.000 66.000 79.000 160.000 127.000 1.972.000
Lahan Yang Tersedia Untuk Pengembangan (ha) 64.000 178.000 63.000 21.000 141.000 112.000 4.500 20.000 603.500 0 0 0 0 4.000 0 4.000 13.000 54.000 67.000 64.000 32.000 706.500
33 33 Berdasarkan kesesuaian lahan, lahan kering dataran tinggi yang sesuai dan yang tersedia untuk pengembangan pertanian hortikultur dataran tinggi masih sangat luas, yaitu lahan sesuai sekitar 2 juta hektar, dan lahan tersedia sekitar 700 ribu hektar, seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil penelitian Suryani et al. (2003) menunjukkan bahwa hasil evaluasi kesesuaian lahan kentang dan wortel di daerah Tondano, Sulawesi Utara menunjukkan cukup sesuai (S2), sesuai marginal (S3) dan tidak sesuai (N). Usahatani sayuran yang
tergolong tidak sesuai pada umumnya karena
diusahakan di lereng curam. Carson (1989) dalam Adimihardja et al. (2000) berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan mengemukakan beberapa jenis tanaman yang diusahakan petani di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara berdasarkan ketinggian tempat, komoditas yang paling sesuai di lahan kering dataran tinggi adalah : - Kelompok sayuran : kentang, bawang daun, dan kubis - Kelompok buah-buahan dan perkebunan : apel, alpokat, dan kopi arabika - Kelompok kehutanan : Casia siamea, kasuarina, Accasia decurens dan - Kelompok pakan ternak : kaliandra, rumput gadjah, Erithrina sp. Pada saat ini alih fungsi lahan produktif terus berlanjut. Menurut Sumaryanto et al. (2002) dalam Suharta et al. (2003) pola penggunaan lahan sangat terkait dengan kepadatan penduduk. Di Jawa dan sentra-sentra produksi dengan kepadatan penduduk tinggi, usaha pertanian tanaman pangan dan hortikultura yang paling berkembang, sedangkan di wilayah dengan kepadatan penduduk rendah berkembang usahatani perkebunan tanaman tahunan. Kondisi demikian telah menimbulkan ketimpangan penggunaan lahan antara tanaman pangan dengan tanaman tahunan. Tanaman pangan memerlukan kualitas lahan yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman perkebunan.
Untuk
mengantisipasi
ketimpangan
tersebut
maka
dalam
penyusunan penataan ruang pertanian perlu adanya skala prioritas dalam pemilihan komoditas yang akan dikembangkan untuk satu wilayah disamping perlu adanya pencadangan lahan untuk tanaman pangan. Kurnia et al. (2004) mengatakan bahwa daerah-daerah sayuran dataran tinggi secara umum berada dalam wilayah pengaruh aktivitas gunung berapi baik yang masih aktif maupun tidak. Jenis-jenis tanah yang umum dijumpai adalah Andisol dan Entisol, pada ketinggian > 1.000 m dpl
dan Inceptisol pada
ketinggian 700–1.000 m dpl. Sifat-sifat tanah ini, umumnya baik yaitu struktur
34 34 tanah remah/gembur (friable) sampai lepas (loose) dengan kedalaman tanah (solum) dalam, drainase baik dan porositas tinggi. Kesuburan tanah pada lahan sayuran dataran tinggi lebih baik dari jenis tanah mineral lainnya dan tergolong tinggi. Hal tersebut karena tanahnya terbentuk dari bahan volkan dengan bahan organik dan kandungan fosfor tinggi dan secara umum kapasitas tukar kation (KTK) tanah Andisol biasanya tinggi ditandai dengan nilai C organik yang tinggi. Tanah Andisol mempunyai sifat tiksotropik (tanah licin dan berair bila dipirid) mengindikasikan tekstur tanahnya mengandung fraksi debu lebih banyak dibandingkan dengan tanah mineral lainnya. Menurut Morgan (1979) dalam Kurnia et al. (2004) tanah dengan kandungan debu tinggi mempunyai kepekaan terhadap erosi lebih tinggi atau rentan terhadap erosi. Tanah di daerah sayuran dataran tinggi umumnya mempunyai sifat-sifat fisik tanah yang baik dengan posisi lahan yang umumnya terletak pada topografi berlereng dengan curah hujan tinggi, sehingga tanahnya tergolong rentan terhadap erosi dan mudah mengalami kerusakan. Basri (2003) menyatakan bahwa jenis tanah lahan kering terluas
di
Indonesia adalah Podsolik Merah Kuning, yang menurut Hardjowigeno (1991) dapat dimasukkan kedalam beberapa ordo tanah yaitu Entisol, Inceptisol, Alfisol, Ultisol dan Oxisol. Menurut Rangkuti dan Prawiradiputra (1997) di sebagian besar kawasan barat Indonesia terdiri-dari tanah-tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut seperi Ultisols dan Oxisols yang memiliki tingkat kesuburan rendah. Mengingat curah hujan yang tinggi maka pada saat hutan dibuka untuk lahan pertanian, kandungan bahan organik akan berkurang atau hilang sama sekali sehingga mengakibatkan tingkat kesuburan tanahnya menurun dengan cepat (Nugroho 2002). Permasalahan jenis tanah Ultisols dan Oxisols karena : - teksturnya relatif berat, struktur gumpal, permeabilitas lambat, agregasi lemah, - kandungan bahan organik, kejenuhan basa dan pH rendah (masam) 4,2-4,8. Partohardjono et al. (1990) menyatakan bahwa lahan kering beriklim basah yang tersebar luas, umumnya berjenis tanah masam yang memiliki berbagai kendala unsur hara, peka erosi dan cepat mengalami degradasi bila diusahakan tanpa usaha-usaha konservasi yang tepat. Sejalan dengan pendapat tersebut Kurnia et al. (2004) juga mengatakan bahwa berbagai jenis tanaman sayuran dataran tinggi
diusahakan pada lahan kering
berlereng di tanah
Andisol, Inceptisol, atau Entisol di DAS bagian hulu yang secara umum tanahtanah tersebut peka terhadap erosi.
35 35 Sitorus (2003) menyatakan bahwa kendala dalam pemanfaatan lahan kering dataran tinggi untuk pertanian tanaman pangan adalah : 1
Kendala Fisik : - relief dengan lereng curam (berbukit sampai bergunung), peka terhadap erosi dan longsor - berkurangnya kesuburan tanah karena erosi sehingga terjadi kemunduran produktivitas lahan
2
Kendala
Sosial
Budaya keluarga petani
adalah sulitnya mengajak
kebersamaan dan individualisme tinggi. Walaupun memiliki banyak permasalahan, daerah lahan kering dataran tinggi juga memiliki peluang pengembangan berkelanjutan berbagai komoditas pertanian terutama hortikultura. Manwan (1988) mengatakan bahwa prospek pengembangan buah-buahan dan sayuran di lahan kering nampak cukup bagus karena semakin meningkatnya permintaan pasar terutama di kota-kota besar. Kecocokan suatu jenis komoditi di daerah tertentu tergantung pada faktor agroklimat dan pemasaran. Hasil studi menunjukkan bahwa pengembangan tanaman hortikultura dapat dilakukan di semua zone lahan kering. Di dataran tinggi dapat dikembangkan sistem usaha pertanian yang mempunyai keunggulan komparatif bagi komoditas bernilai ekonomi tinggi. Menurut Adimihardja et al. (2000) dataran tinggi merupakan tempat tumbuh yang ideal bagi berbagai komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan atau merupakan sumber devisa kopi, teh, makadamia dan kina, selain komoditas hortikultura yang sangat diperlukan pasar seperti jeruk manis, jeruk keprok, apel, sayuran, bunga-bungaan. 2.6.2
Kondisi Agroklimat untuk Tanaman Sayuran Di dataran tinggi, usahatani yang banyak dilakukan petani adalah
sayuran. Tanaman sayuran diusahakan mulai dari daerah berombak sampai bergunung dengan lereng 3–45% pada ketinggian tempat > 800 m dpl. Tanaman kentang banyak diusahakan pada lereng > 25% dan ditanam menurut kontur, sedangkan wortel diusahakan dalam bedengan pada berbagai kondisi lereng, dengan atau tanpa teknik konservasi (Suryani et al. 2003) Sentra
produksi sayuran dataran tinggi umumnya terletak pada
ketinggian 700-2.500 m dpl, dengan suhu udara rata-rata relatif sejuk (sekitar 220 C) sampai dingin. Menurut Gunadi (1998) dalam Kurnia et al. (2004) suhu udara rata-rata di beberapa sentra produksi sayuran dataran tinggi di Jawa Barat
36 36 berkisar 18,10 C - 19,90 C. Suhu udara rata-rata di bawah 220 C merupakan kondisi yang ideal untuk pertumbuhan tanaman sayuran dataran tinggi. Kondisi suhu udara yang sejuk di dataran tinggi merupakan persyaratan utama dan sangat diperlukan serta sangat memungkinkan untuk perkembangan bagi komoditas pertanian dataran tinggi. Dengan demikian wilayah dataran tinggi yang berhawa sejuk dan memiliki panorama yang indah mempunyai peluang untuk pengembangan agrowisata sehingga terbuka peluang pasar bagi beberapa komoditas hortikultura. Menurut Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (2003) curah hujan di daerah sayuran dataran tinggi antara 2.500 – 4.000 mm. Kondisi curah hujan di beberapa sentra sayuran dataran tinggi di Pulau Jawa tertera pada Tabel 2. Tabel 2 Kondisi Curah Hujan di beberapa Daerah Sentra Sayuran Dataran Tinggi di Pulau Jawa No Daerah Sentra Sayuran Dataran Tinggi
2.6.3
Curah Hujan (mm)
1.
Campaka, Cianjur, Jabar
2.898
2.
Pacet, Cianjur, Jabar
3.063
3.
Dieng , Wonosobo, Jateng
3.917
4
Tawangmangu, Karang Anyar, Jateng
3.329
Pola Usahatani Sayuran Sistem Usahatani menurut Partohardjono et al. (1990) adalah suatu
penataan
yang mantap dan unik dimana keluarga petani mengelola
usahataninya berdasar tanggapannya terhadap faktor-faktor lingkungan fisik, biologi dan sosial ekonomi sesuai dengan tujuan dan sumberdaya petani sendiri. Hasil penelitian Arief (1996) di Pacet-Cianjur menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi teknologi tanaman sayuran dataran tinggi oleh kelompok tani sangat dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi petani yang terdiri dari intensitas penyuluhan, hubungan sosial dan pendapatan petani. Menurut Basuki dan Santoso (1990) dalam Guritno et al. (1997) usahatani sayuran (kentang) di DAS mengalami keterbatasan lahan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya lahan dataran tinggi, disamping di daerah tersebut terjadi persaingan usahatani dengan komoditas lain seperti bawang putih, kubis, wortel, bunga-bungaan maupun buah-buahan bahkan terdapat pemukiman baru yang semakin mendesak lahan pertanian. Berbagai masalah yang dihadapi dalam usahatani di DAS bagian hulu menurut Sukmana et al. (1990) adalah sebagai berikut :
37 37 1 Pembangunan
pertanian
di masa
lampau dipusatkan pada padi sawah
sehingga daerah lahan kering (daerah hulu) kurang mendapat keuntungan 2 Di daerah lahan kering, sulit dibangun sawah beririgasi karena lereng yang curam dan ketersediaan air terbatas, sehingga pertaniannya tergantung pola hujan yang dapat menimbulkan risiko besar 3
Di daerah lahan kering bagian hulu potensi erosi cukup tinggi karena intensitas hujan yang cukup tinggi, tanah peka terhadap erosi, lereng curam, dan pola tanam yang kurang baik
4
Masalah kekeringan di musim kemarau dan erosi di musim hujan
5
Keterbatasan modal dan motivasi subsisten yang berkaitan dengan rendahnya pendapatan dan produktivitas yang disebabkan oleh karena sempitnya pemilikan lahan dan sistem bagi hasil/sewa
6
Kegiatan penyuluhan dihadapkan pada kendala sosial budaya, prasarana /sarana
perhubungan,
kurangnya
program
penyuluhan,
rendahnya
ketrampilan petani dan kurangnya penekanan pada partisipasi petani. Aktivitas budidaya sayuran yang sangat intensif berpengaruh tidak baik terhadap lahan pertanian yaitu terjadinya pemadatan permukaan tanah yang dapat meningkatkan volume aliran permukaan akibat menurunnya laju infiltrasi, sehingga dapat memperbesar konsentrasi sedimen dalam aliran permukaan. Sungai-sungai di daerah sayuran dataran tinggi merupakan bagian hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS), berlereng curam dan dasarnya berbatu-batu. Aliran sungai biasanya deras karena perbedaan tinggi antara hulu dan hilir sungai cukup besar. Akibatnya
kemungkinan terjadinya pengendapan (sedimentasi)
pada badan sungai sangat kecil. Namun karena aktivitas budidaya sayuran di bagian hulu DAS sangat intensif dan tanahnya peka erosi maka sungai-sungai ikut berperan mengalirkan air aliran permukaan yang mengandung sedimen tanah yang tinggi ke dalam sungai yang lebih besar di bagian hilir DAS. Di sentra sayuran Rurukan, Tondano, Sulawesi Utara, usahatani sayuran yang diusahakan adalah kentang, wortel, bawang daun, kubis, cabe, dan tomat yang ditanam baik secara monokultur maupun tumpangsari, dengan atau tanpa teknik konservasi (Suryani et al., 2003). Jenis-jenis sayuran yang memiliki nilai jual lebih baik bisanya ditanam dalam pola tanam monokultur dan ada juga dalam pola tanam campuran. Pola tanam campuran biasanya dilakukan untuk mengurangi risiko kegagalan komoditas sayuran, baik kegagalan secara agronomis maupun ekonomis.
38 38 Berbagai jenis sayuran di dataran tinggi ditanam dalam bedengan atau guludan. Bedengan adalah gundukan tanah yang sengaja dibuat oleh petani untuk menanam tanaman hortikultura dengan lebar dan tinggi tertentu serta panjang disesuaikan dengan panjang petakan lahan. Ukuran bedengan bervariasi mulai dari lebar 70–120 cm dan tinggi bedengan 20-30 cm dengan panjang bervariasi mengikuti ukuran petakan.
Berbagai macam sistem
bedengan yang digunakan oleh petani yaitu : -
bedengan searah lereng
-
bedengan diagonal terhadap lereng (menyerang)
-
bedengan dengan mulsa plastik
-
bedengan dalam teras bangku
-
bedengan searah kontur. Diantara bedengan dipisahkan oleh saluran air atau parit drainase yang
berguna untuk mengalirkan kelebihan air agar aerasi tanah atau kelembaban tanah dalam bedengan tetap terjaga. Disamping itu pembuatan bedengan dimaksudkan untuk memudahkan penanaman, pemeliharaan dan panen. Akhir-akhir ini pada usahatani hortikultura banyak dijumpai bedengan yang ditutupi dengan plastik berwarna perak. Penggunaan mulsa plastik ini dilakukan terutama oleh petani bermodal
tinggi karena memerlukan biaya.
Penggunaan mulsa plastik memberikan keuntungan yaitu : -
dapat mengkompensasi pengeluaran untuk biaya penyiangan
-
menghambat tumbuhnya gulma
-
menjaga kelembaban tanah
-
mencegah terkikisnya dan penghancuran permukaan tanah sehingga tidak ada erosi. Petani sayuran dataran tinggi umumnya menggunakan pupuk anorganik
dan pupuk organik dalam takaran lebih tinggi dari takaran anjuran sehingga dengan kondisi ekosistem lahan hortikultura yang rentan terhadap erosi diperkirakan banyak unsur-unsur hara dari pupuk tersebut hilang terbawa aliran permukaan dan erosi. Upaya pemupukan akhirnya menjadi tidak efisien sehingga diperlukan tindakan pencegahan erosi dan kehilangan unsur-unsur hara dari daerah perakaran tanaman agar tercipta sistem usahatani hortikultura yang berkelanjutan. Produktivitas beberapa komoditas hortikultura di lahan kering dataran tinggi seperti tertera pada Tabel 3.
39 39 Pada Tabel 3
terlihat produktivitas beberapa komoditas hortikultura di
lahan kering dataran tinggi telah mengalami penurunan. Hal ini diduga sebabkan karena adanya erosi yang menimbulkan penurunan tingkat kesuburan tanah ditambah tanah umumnya bereaksi masam, masalah gulma dan hama penyakit sehingga produktivitas lahan kering menjadi rendah. Tabel 3 Produktivitas Beberapa Jenis Sayuran Dataran Tinggi Tahun 2002 No.
Jenis Sayuran
1.
Kentang
Produktivitas (t/ha) 1998 2002 16,6 14,9
2.
Kubis
22,1
20,9
3.
Wortel
15,9
15,5
Berdasarkan Tabel 3 tersebut terlihat bahwa produktivitas kentang menurun cukup tajam yaitu > 1 ton per ha, kubis sekitar 1 ton per ha dan wortel menurun sekitar 0,5 ton per ha. 2.6.4
Degradasi Lahan Sayuran Sebagian besar lahan kering terletak pada daerah dengan topografi
bergelombang sampai berbukit, terutama di Indonesia barat. Dari 30 juta ha luas lahan kering dataran tinggi 25,4 juta ha bertopografi berbukit hingga bergunung. Menurut Kurnia et al. (2000) tingkat kesuburan tanah lahan kering di dataran tinggi lebih baik daripada di dataran rendah. Berhubung terletak di dataran tinggi yang disertai dengan intensitas dan curah hujan yang tinggi maka kemungkinan bahaya erosi dan penurunan tingkat kesuburan tanah sangat besar. Hasil evaluasi erosi oleh Suryani et al. (2003) pada lahan kentang dan wortel di daerah Tondano, Sulawesi Utara menunjukkan jumlah tanah yang hilang akibat penggunaan lahan kentang mencapai 17,2-828,0 ton/ha/th dengan tingkat bahaya erosi ringan (R) sampai sangat berat (SB). Pada lahan wortel jumlah tanah yang hilang mencapai 5,2-138,0 ton/ha/th dengan tingkat bahaya erosi sangat ringan (SR) sampai sedang (S). Penggunaan mulsa plastik dalam budidaya sayuran
juga dianggap menjadi penyebab kerusakan lingkungan
karena bila hujan, seluruh air hujan yang jatuh diatas permukaan tanah akan mengalir sebagai aliran permukaan yang akhirnya masuk kedalam sungai dan dapat menyebabkan banjir.
40 40 Akibat banjir terjadilah Lahan kritis yang menurut Sitorus (2004) adalah lahan yang pada saat pertanian
karena
ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan
pengelolaan
dan
penggunaannya
tidak
atau
kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Berdasarkan faktor penghambatnya maka lahan kritis dikelompokkan
menjadi kritis secara fisik,
sosial-ekonomi dan kritis secara hidro-orologis. Data dari
Departemen Kehutanan (1985) menunjukkan bahwa luas
lahan kritis 43 juta ha, dimana 20 juta ha diantaranya kritis hidro-orologis. Menurut BPS mencapai 6,8 juta ha dimana 72% (4,9 juta ha) terletak diluar kawasan hutan. Data Pusat Penelitian tanah memperlihatkan luas areal lahan kritis seluas 10,9 juta ha, diantaranya 66,7% (7,1 juta ha) termasuk semi kritis, kritis dan sangat kritis. Walaupun terdapat perbedaan data luas lahan kritis namun terlihat bahwa lahan kritis di Indonesia sangat luas dan meningkat terus setiap tahun sehingga memerlukan penanganan. Mengingat adanya perbedaan data lahan kritis yang disebabkan oleh karena perbedaan definisi, kriteria dan penafsiran lahan kritis maka Irawan et al (2003) menawarkan istilah Lahan terdegradasi sebagai pengganti isitilah lahan kritis yang konteks atau pemahamannya tidak selalu sama oleh berbagai instansi. Lahan terdegradasi adalah lahan yang telah mengalami proses kemunduran kualitas, sehingga produktivitasnya menurun dan pada akhirnya tergolong pada tingkat kekritisan tertentu. Penentuan tingkat lahan terdegradasi ditelaah dari faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan lahan (land degradation) baik aspek sumberdaya lahan maupun cara pengelolaannya, sehingga terdapat dua tahap penetapan lahan terdegradasi yaitu : 1
Menilai kondisi biofisik sumberdaya lahan (natural assessment) : bahan induk tanah, curah hujan, kemiringan lereng, dan solum tanah
2
Menilai kondisi yang terkait dengan pengaruh dan interaksi manusia (anthropological assessment) : jenis vegetasi, tingkat penutupan vegetasi, kondisi penerapan teknik konservasi tanah dan air. Tingkat degradasi lahan berdasarkan sistem skoring yang ditetapkan
adalah : - terdegradasi rendah bila skor - terdegradasi sedang - terdegradasi berat
> 25 16 - 25 < 16.
41 41 2.7
Persepsi dan Partisipasi Petani dalam Usahatani Berkelanjutan Persepsi menurut
Sattar (1985) dapat didefinisikan sebagai suatu
penilaian, penglihatan atau pandangan seseorang melalui proses psikologi yang selektif terhadap suatu obyek atau segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya, yang dipengaruhi antara lain oleh pendidikan, keadaan sosial, ekonomi dan budaya serta penyuluhan. Menurut Mubyarto (1984) partisipasi dapat didefinisikan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri berkorelasi positif dengan kemampuannya untuk berpartisipasi dan meningkatkan taraf hidupnya. Partisipasi mencakup semua proses pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai tahap pemberian umpan balik. Ife (1995)
menyatakan bahwa
masyarakat akan berpartisipasi bila memenuhi 5 kondisi yaitu (1) bila mereka merasa bahwa aktivitasnya penting, (2) kegiatannya dapat memberikan hal yang berbeda, (3) bentuk partisipasi yang berbeda tersebut diakui dan bernilai, (4) masyarakat mampu dan didukung dalam berpartisipasi, (5) struktur dan prosesnya tidak dapat diabaikan. Ndraha (1990 ) menyatakan bahwa sasaran pembangunan, yang meliputi peningkatan taraf hidup masyarakat, pembangunan partisipasi dan penumbuhan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri, merupakan suatu paket usaha karena saling berkaitan seperti tertera pada Gambar 5. Penumbuhan Kemampuan Masyarakat Untuk Berkembang Secara Mandiri
Perbaikan Kondisi Dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat
Pembangkitan Partisipasi Masyarakat
Gambar 5 Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembangunan. Pemanfaatan lahan kering di dataran tinggi sangat bervariasi, tetapi yang umum adalah komoditi yang bernilai ekonomis tinggi seperti hortikultura. Namun demikian pada areal tanaman semusim eksploitasi lahan belum sepenuhnya menerapkan upaya-upaya pelestarian sumberdaya tanah, sehingga rawan terhadap erosi.
42 42 Beberapa kendala yang dihadapi dalam adopsi teknologi konservasi terutama tanaman lorong menurut Basri (2003) adalah : 1 Ketersediaan
jenis legume sesuai kebutuhan petani, status pemilikan dan
penguasaan lahan yang relatif kecil, modal terbatas, ketersediaan saprodi yang relatif terbatas karena faktor aksesibilitas fisik wilayah yang kurang memadai dan sikap mental petani yang enggan mengadopsi teknologi 2 Status pemilikan tanah sangat berpengaruh terhadap adopsi teknologi, pemilik lahan tidak begitu tanggap dengan kegiatan konservasi, perhatiannnya hanya pada jumlah sewa lahan yang akan diperoleh. Persepsi petani berbeda-beda, misalnya petani di zona vulkanis tinggi tidak menganggap erosi yang terjadi sebagai masalah utama untuk keberlanjutan usahataninya. Hasil penelitian Saefuddin et al. (1988) menunjukkan bahwa di zone vulkanis telah terjadi erosi parit sehingga banyak umbi kentang yang muncul ke permukaan tanah atau bahkan hanyut karena hujan. Apabila terjadi erosi parit, petani segera memperbaikinya setelah hujan selesai atau pada akhir musim hujan, namun apabila tanaman tidak rusak, petani tidak memperdulikan erosi parit tersebut. Banyak petani yang telah membuat parit memotong lereng namun karena kualitas bangunan parit dan jarak antar parit tidak memadai, menyebabkan banyak parit yang tidak berfungsi dan rusak. Kondisi yang hampir sama terjadi di zone bukit lipatan dimana petani tampaknya kurang begitu peduli dengan bahaya erosi. Mereka mengusahakan tanaman dengan pengelolaan lahan sistem gulud memotong
arah
lereng
karena
tujuannya
untuk
peningkatan
efisiensi
penggunaan pupuk yaitu agar pupuk yang diberikan tidak hanyut. Kondisi yang berbeda terjadi di zona kapur dimana petani sadar akan ancaman bahaya erosi dan mereka dapat menunjukkan contoh nyata berupa lahan yang telah tererosi hebat sehingga tinggal lapisan tanah bawahnya. Padahal 40 tahun yang lalu lahan tersebut sangat bagus dan produktif. Mereka menyadari bahwa pembuatan teras bangku pada lahan pertanian sangat perlu namun mereka enggan menerapkannya pada lahan garapan yang bukan miliknya (Saefuddin et al., 1988).
43 2.8
Pengembangan Kawasan Agropolitan
2.8.1 Agropolitan Kata Agropolitan berasal dari kata Agro yang berarti pertanian dan politan yang berarti
kota. Konsep pengembangan Agropolitan pertama kali
diperkenalkan oleh Friedmann dan Douglass pada tahun 1975 sebagai siasat untuk pengembangan kawasan. Konsep ini
pada dasarnya memberikan
pelayanan perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain menurut Friedmann adalah “kota di ladang”. Agropolitan adalah “kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di desa-desa hinterland dan desa-desa wilayah sekitarnya”. Petani atau masyarakat desa tidak perlu harus pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik dalam pelayanan masalah produksi (teknik budidaya pertanian), kredit modal kerja,
pemasaran/informasi pasar maupun
masalah kebutuhan sosial, budaya dan kehidupan setiap hari. Pusat pelayanan diberikan pada setingkat desa, sehingga sangat dekat dengan permukiman petani. Besarnya biaya produksi dan biaya pemasaran dapat diperkecil dengan meningkatkan faktor-faktor kemudahan pada kegiatan produksi dan pemasaran. Faktor-faktor tersebut menjadi optimal dengan adanya kegiatan pusat Agropolitan. Peran Agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian di sekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani setempat. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk memberikan kemudahan produksi dan pemasaran antara lain berupa input sarana produksi (pupuk, bibit, obat-obatan, peralatan, dll), sarana penunjang produksi (lembaga perbankan, koperasi, listrik, dll), serta sarana pemasaran (pasar, terminal angkutan, sarana transportasi). Dalam konsep Agropolitan juga diperkenalkan adanya Distrik agropolitan (Agropolitan district) yang merupakan suatu daerah perdesaan yang mempunyai kepadatan minimal 200 jiwa/km 2. Dalam distrik ini biasanya akan dijumpai kota berpenduduk 10-50 ribu, dan batas-batas wilayahnya adalah “ commuting “ radius (lingkar pulang pergi) antara 5-10 km (atau kira-kira 1 jam naik sepeda). Ukuran ini menjadikan penduduk distrik umumnya berkisar antara 50 – 150 ribu jiwa, dan sebagian besar pada mulanya bekerja dibidang pertanian (Friedmann dan Douglass, 1976)
44 Jasa-jasa dan pelayanan yang disediakan disesuaikan dengan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial budaya setempat. Distrik Agropolitan perlu mempunyai otonomi lokal yang memberi tatanan terbentuknya pusat-pusat pelayanan di kawasan perdesaan. Pusat-pusat pelayanan tersebut dicirikan dengan adanya pasar-pasar untuk pelayanan masyarakat perdesaan yang volume permintaan dan penawarannya masih terbatas dan jenisnya berbeda.
2.8.2 Kawasan Agropolitan Dalam Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dibedakan pengertian wilayah dengan kawasan. Kawasan dibedakan antara kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional, sedangkan Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian dengan susunan fungsi
kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan
sosial dan kegiatan ekonomi.
Kawasan Agropolitan merupakan kawasan tertentu yang terdiri dari Kota Pertanian (Kota Menengah/Kota Kecamatan/Kota Perdesaan) dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada di sekitarnya, dengan batasan yang lebih ditentukan oleh skala ekonomi. Dengan demikian Kawasan Agropolitan adalah “Kawasan
yang terdiri atas
satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah
perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis”.
45 Pengembangan Kawasan Agropolitan adalah pembangunan ekonomi berbasis pertanian di kawasan agribisnis, yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah (Deptan, 2002). Pengertian Sistem Agribisnis yaitu pembangunan pertanian yang dilakukan secara terpadu, tidak saja dalam budidaya (on farm) tetapi juga meliputi pembangunan agribisnis hulu (penyedia sarana pertanian), agribisnis hilir (pengolahan dan pemasaran hasil pertanian) dan jasa-jasa pendukungnya . Inti dari sistem agribisnis adalah usaha agribisnis yang dilakukan oleh masyarakat terutama petani dan pengusaha (swasta dan BUMN) baik pengusaha pelaku penyedia agroinput, pengolahan hasil, pemasaran maupun penyedia jasa (Deptan, 2002). Batasan kawasan agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintah, tetapi lebih ditentukan oleh skala ekonomi (bisa satu kecamatan atau lintas kecamatan atau lintas kabupaten) Menurut Deptan (2003) suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan Agropolitan bila memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1
Memiliki
sumberdaya
lahan
dengan
agroklimat
yang
sesuai
untuk
mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan (memiliki komoditi unggulan) 2
Memiliki sarana prasarana agribisnis yang memadai (pasar, lembaga keuangan, kelembagaan petani, Balai Penyuluhan Terpadu, kaji terap teknologi, aksesibilitas dan sarana pertanian)
3
Memiliki sarana dan prasarana sosial yang memadai (Puskesmas, Sekolah dan lain lain )
4
Memiliki sarana dan prasarana umum yang memadai (transportasi, listrik, telepon, air bersih)
5
Kelestarian lingkungan yang terjamin. Kawasan agropolitan haruslah merupakan suatu sistem yang terdiri dari
subsistem sumberdaya pertanian dan komoditi unggulan, subsistem sarana prasarana agribisnis, subsistem sarana prasarana umum, subsistem prasarana kesejahteraan sosial dan subsistem kelestarian lingkungan seperti terlihat pada Gambar 6.
46
Sumberdaya Pertanian dan Komoditi Unggulan
Sarana dan Prasarana Agribisnis
Sarana dan Prasarana Umum
Sarana dan Prasarana Kesejahteraan Sosial
Kelestarian Lingkungan
Gambar 6 Sistem dalam Kawasan Agropolitan. Suatu kawasan Agropolitan yang sudah berkembang memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Deptan, 2003) : 1
Sebagian pendapatan masyarakat berasal dari pertanian (agribisnis)
2
Kegiatan di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian/agribisnis (ada komoditi unggulan), termasuk di dalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian, perdagangan agribisnis hulu, agrowisata dan jasa pelayanan
3
Hubungan kota dan desa di kawasan agropolitan bersifat interdependensi /timbal balik yang harmonis
4
Kehidupan masyarakat di Kawasan Agropolitan mirip dengan suasana desa modern. Melalui upaya-upaya pengembangan wilayah diharapkan tercapai
agropolis (Kota Pertanian Pusat Pertumbuhan) yang menurut Rustiadi et al. (2005) kriterianya adalah : 1
Sentra pemukiman dengan aksesibilitas tertinggi secara internal ( dengan seluruh bagian di kawasan agropolitan) dan secara eksternal (dengan pusatpusat perkotaan lainnya)
2
Pusat aktivitas pengolahan dan atau pusat distribusi hasil pertanian yang dicirikan dengan pemusatan fasilitas-fasilitas dan institusi sistem agribisnis.
47 2.9
Analisis Sistem
2.9.1
Ilmu Sistem Penelaahan tentang sistem telah lama dilakukan dalam pemikiran
manusia. Dalam arti luas visi kesisteman adalah pola pikir ilmiah untuk pengkajian yang memerlukan telaah berbagai hubungan yang relevan, komplementer dan terpercaya (Brocklesby dan Cummings, 1995 dalam Eriyatno, 1998).
Misi dari kesisteman bertujuan untuk menghubungkan berbagai
pekerjaan dan keahlian yang beragam menuju kepada kebutuhan suatu sistem yang definitif. Menurut Marimin (2004) sistem didefinisikan sebagai suatu kesatuan usaha
yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang
berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan yang kompleks. Sementara itu Muhammadi et al. (2001) mengatakan sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan. Definisi lain dikemukakan oleh Manetsch dan Park, 1979 dalam Eriyatno (1998), sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan. Untuk mengembangkan sistem memerlukan waktu. Menurut Whitten et al., (2004) pengembangan sistem tidak terjadi dalam sekejap dan walaupun dapat menguasai keahlian, namun
penerapan yang lengkap dan konsisten masih
merupakan seni tersendiri. Pengembangan sistem harus memahami sifat-sifat dasar dari suatu sistem yang menurut Marimin (2004) mencakup : 1
Pencapaian tujuan, yang memberikan sifat dinamis kepada sistem
2
Kesatuan usaha, yang memberikan konsep sinergi
3
Keterbukaan terhadap lingkungan, yang membuat penilaian terhadap suatu sistem menjadi relatif (equifinality)
4
Transformasi, yang merupakan proses perubahan input menjadi output yang dilakukan oleh system
5
Hubungan antar bagian, yang memberikan analisis sistem sebagai suatu dasar pemahaman yang lebih luas
6
Sistem ada berbagai macam, yaitu sistem tertutup, terbuka dan sistem dengan umpan balik
7
Mekanisme
pengendalian, yang memungkinkan
informasi pada sistem
mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau pemecahan persoalan yang dihadapi.
48 Menurut Marimin (2005) ditinjau dari komponen input, proses dan output suatu sistem dapat diklasifikasikan ke dalam sistem analisis, sistem desain dan sistim kontrol.
Sistem analisis bila input dan prosesnya dapat diidentifikasi
sedangkan outputnya perlu dianalisis, sistem desain apabila komponen input dan outputnya sudah jelas tapi prosesnya masih perlu direkayasa, dan sistim kontrol apabila karakteristik proses dan outputnya sudah jelas diidentifikasi sedangkan inputnya perlu diatur sehingga target outputnya tercapai. Eriyatno (1998) mengatakan bahwa dilihat dari strukturnya maka pendekatan kesisteman merupakan totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional dan ukuran dimensional (ruang dan waktu).
2.9.2 Pendekatan Sistem Menurut Eriyatno (1998) kata sistem bisa berarti tatanan, seperti dalam sistem pemilu, atau prosedur seperti dalam sistem penganggaran, tata cara seperti pada sistem pabrikasi,
mekanisme operasional seperti pada sistem
transportasi, atau aturan teknis seperti dalam sistem pendingin lemari es. Dalam mendalami gejala keilmuan, para pemikir kesisteman menggunakan konsep sistem sebagai upaya pencarian kebersamaan struktural dari bermacam ilmu pengetahuan. Persoalan aktual adalah kompleksitas, dimana unitnya adalah keragaman, sehingga pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh sehingga diperlukan
kerangka berfikir yang
disebut pendekatan sistem (system approach). Menurut Marimin (2004) pendekatan sistem adalah pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis dan pendekatan sistem ditandai dua hal yaitu : 1
Mencari semua faktor penting yang ada, untuk mendapatkan solusi yang baik dalam menyelesaikan masalah, dan
2
Dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk dapat bekerja secara sempurna
suatu pendekatan sistem
memerlukan delapan unsur yaitu (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan (2) suatu tim yang multidisipliner (3) pengorganisasian (4) disiplin untuk bidang yang non kuantitatif (5) teknik model matematik (6) teknik simulasi (7) teknik optimasi dan (8) aplikasi komputer. Suatu perihal yang dikaji juga seyogyanya memenuhi persyaratan : 1
Kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit
49 2
Dinamis, dalam arti
faktornya ada yg berubah menurut waktu
dan ada
pendugaan ke masa depan 3
Probabilistik yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Dalam aplikasi manajemen, teknik sistem dipersyaratkan menggunakan
beberapa teori dasar yang bersifat kuantitatif yang meliputi model matematik, analisis fungsi, teori kontrol, teori estimasi, dan teori keputusan. Metode untuk penyelesaian persoalan yang dilakukan dengan pendekatan sistem terdiri dari tahapan proses yaitu (1) analisis, (2) rekayasa (sintesa) model, (3) implementasi rancangan, (4) implementasi dan (5) operasi sistem tersebut. Tahapan pendekatan sistem menurut Eriyatno (1998) seperti tertera pada Gambar 7. Menurut Eriyatno (1998) analisis sistem meliputi 6 tahap yaitu analisis kebutuhan, identifikasi sistem, formulasi masalah, pembentukan alternatif sistem, determinasi dari realisasi fisik, sosial politik dan penentuan kelayakan ekonomi dan keuangan (finansial). Analisis Sistem didasarkan pada penentuan informasi yang terinci yang dihasilkan tahap demi tahap proses sebagaimana terlihat pada Gambar 8. Bila hal ini dikembangkan, maka perlu diupayakan agar sistem dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan yang telah ditentukan, dimana jumlah output yang spesifik dapat ditentukan, serta jalannya sistem yang spesifik agar mencapai suatu optimasi.
Tiga prinsip dasar yang dapat membantu dalam
menentukan batasan-batasan yang sesuai dengan sistem dan lingkungan yaitu : 1
Antara sistem dan lingkungan dibatasi oleh suatu hubungan sebab akibat yang lemah sehingga faktor kondisi lingkungan dapat diabaikan
2
Agar dapat membantu dalam penggunaan operasional, konstruksi sistem dilakukan sedemikan rupa sehingga antara faktor dengan faktor lainnya ada jarak dan memungkinkan dilakukan kontrol.
3
Luasnya dari batasan suatu sistem diperjelas, sehingga mempengaruhi ketepatan dalam analisis. Menurut Eriyatno (1998) untuk menentukan tingkat pemanfaatan dari
analisis sistem perlu dikaji : 1
Nilai hasil fisik dan non fisik dari konsep sistem ini bagi pengguna
2
Sama atau lebih dari biaya untuk menghasilkan produk pengkajian sistem
3
Kemampuan dan minat dari institusi/individu yang akan menunjang sistem
4
Konsep mana yang mempunyai peluang tinggi secara ekonomi untuk dilaksanakan dengan menggunakan analisis biaya dan manfaat.
50 Analisis Kebutuhan. Analisis kebutuhan
merupakan permulaan peng-kajian
suatu sistem yang dilakukan dengan hati-hati agar dapat menentukan kebutuhan yg ada dan dapat dipenuhi yaitu komponen-komponen berpengaruh dan berperan dalam sistem. Analisis kebutuhan menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Kebutuhan
Analisa Sistem Tidak Lengkap? Ya Gugus Solusi Yang Layak
Pemodelan Sistem
Tidak Cukup Ya Model Abstrak Optimal
Rancang Bangun Implementasi Tidak Cukup Ya Spesifikasi Sistem Detail Implementasi Tidak Puas Ya Sistem Operasional
Operasi Tidak Puas Re-evaluasi dari Penampilan
Gambar 7 Tahap Pendekatan Sistem.
51
Kebutuhan Dasar
Analisa Kebutuhan
Absah Lengkap?
Tidak
Ya Persyaratan Kebutuhan
Formulasi Permasalahan Tidak Cukup Ya Identifikasi Sistem - Diagram Lingkar - Diagram Kotak Gelap Tidak Lengkap Ya Input out put Parameter Rancang Bangun
Rekayasa Awal Model TIdak OK ?
Ya
Diagram alir Deskriptif
Gambar 8 Tahapan Analisis Sistem.
52 Identifikasi Sistem. Identifikasi
sistem merupakan rantai hubungan antara
pernyataan-dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Hal ini sering dinyatakan dengan diagram lingkar sebab akibat (causal loop). Gambar 9 memperlihatkan
simplifikasi diagram lingkar sistem
pengendalian Ekosistem Kawasan Industri.
+ +
Jenis Industri
-
Investasi + Biaya Industri
Jumlah Industri
Pendapatan Wilayah
+
-
+
+ +
+
Lapangan Kerja
+
+
+ Jumlah dan Jenis Industri
Daya Dukung Lingkungan +
Teknologi Penangan Limbah
Gambar 9 Simplifikasi Diagram Lingkar Sistem Pengendalian Ekosistem Kawasan Industri. Muhammadi et al. (2001) mengatakan
gabungan simpal-simpal umpan
balik menjelaskan kompleksitas. Semakin banyak simpal menggambarkan semakin banyak variabel (unsur) dan parameter (waktu) yang berarti semakin rinci dan semakin dinamis. Kompleksitas rinci dan dinamis ini dapat disederhanakan kedalam empat tipe yang saling berhubungan dengan dominansi dan atau kombinasi simpal tertentu yang menghasilkan perilaku sistem yaitu non linieritas, pembelajaran, emergensi dan ko-evolusi.
53 Non linieritas adalah perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas proses pengubahan yang tidak berbanding lurus. Pembelajaran adalah perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas kemampuan sistem untuk menciptakan keluaran berdasarkan proses sebelumnya. Emergensi adalah perilaku hasil penyederhanaan dari kompleksitas pemunculan realitas baru yang tidak terduga dalam
sistem.
Ko-evolusi
adalah
perilaku
hasil
penyederhanaan
dari
kompleksitas perilaku mikro yang dapat mempengaruhi perilaku makro (biasanya memerlukan waktu tunda). Kegiatan yang penting yaitu menginterpretasi diagram lingkar kedalam kotak gelap (black box). Para analis harus mampu mengkonstruksi diagram kotak sehingga identifikasi sistem dapat menghasilkan spesifikasi yang terinci tentang peubah yang menyangkut rancangan dan proses kontrol. Identifikasi sistem ditentukan dan ditandai oleh adanya determinasi kriteria jalannya sistem yang akan membantu dalam evaluasi alternatif sistem. Kriterianya meliputi penentuan output yang diharapkan dari sistem dan perhitungan rasio biaya dan manfaat.
2.9.3 Pemodelan Sistem Menurut Muhammadi et al. (2001) perilaku dinamis bersumber dari keunikan struktur model, yang dapat dikenali dari hasil simulasi model, sehingga sangat penting untuk memahami perilaku model hasil simulasi berdasarkan penelusuran terhadap struktur model. Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Tujuan simulasi adalah untuk memahami proses, membuat analisis dan peramalan perilaku proses tersebut di masa depan. Tahapan simulasi adalah : 1
Penyusunan konsep Gejala atau proses yang akan ditirukan perlu dipahami yaitu dengan
menentukan unsur-unsur yang berperan dalam gejala atau proses tersebut. Berdasarkan
unsur-unsur dan keterkaitannya, dapat disusun
gagasan atau
konsep mengenai gejala atau proses yang akan disimulasikan. 2
Pembuatan model Gagasan tersebut selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk
uraian, gambar atau rumus. Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikelompokkan sebagai model kualitatif, kuantitatif dan model ikonik.
54 Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram, atau matriks yang menyatakan hubungan antar unsur. Dalam model ini tidak digunakan rumus-rumus matematik, statistik atau komputer. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematik, statistik atau komputer. Model ikonik adalah model yang memiliki bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil, sehingga dapat dilakukan percobaan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses yang ditirukan. 3
Simulasi Simulasi dapat dilakukan dengan menggunakan model yang telah dibuat
dengan cara sebagai berikut : 1) Simulasi model kualitatif dilakukan dengan menelusuri dan mengadakan analisis hubungan sebab akibat antar unsur dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses. 2) Simulasi model kuantitatif dilakukan dengan memasukkan data
kedalam
model, dimana perhitungan dilakukan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses. 3) Simulasi Model ikonik dilakukan dengan mengadakan percobaan secara fisik dengan menggunakan model tersebut untuk mengetahui perilaku model dalam kondisi yang berbeda. Perilaku model ini dianggap menirukan gejala atau proses yang diamati. 4
Validasi hasil simulasi Validasi dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi
dengan proses atau gejala yang ditirukan. Model dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil. Hasil simulasi digunakan untuk memahami perilaku gejala atau proses serta mengetahui kecenderungannya di masa mendatang. Pemahaman ini berguna untuk memperoleh solusi yang terbaik mengenai masalah yang dihadapi dalam manajemen dan memperkirakan kecenderungan keadaan di masa mendatang. Pendekatan sistem menurut Marimin (2004) memiliki keunggulan yaitu : 1. Sangat diperlukan karena semakin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem 2. Dapat memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan menggunakan peralatan yang multidisiplin dan komprehensif
dapat
55 3. Dapat mengidentifikasi
dan memahami berbagai aspek
dari suatu
permasalahan serta dapat mengarahkan permasalahan secara menyeluruh 4. Sangat menonjolkan tujuan yang ingin dicapai
dan tidak terikat pada
prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendir 5. Berguna sebagai cara berpikir dalam suatu kerangka analisis yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya. Kelemahan dari pendekatan sistem adalah : 1. Menambah
kompleksitas
analisis
yang kadang pendekatan sistem
mengakibatkan kebingungan terutama bagi peneliti atau pemakai pemula 2. Tidak bisa memberikan resep yang langsung bisa diterapkan karena harus melakukan pengolahan lebih jauh lagi 3. Menghendaki seseorang untuk bersikap kritis dan mempunyai kemampuan diagnostik yang dapat memahami setiap permasalahan dalam kaitannya dengan lingkungan yang dihadapi. Doppelt (1987) mengatakan bahwa suatu rancangan sistem yang kompleks sangat tergantung pada partisipasi dan kontribusi banyak orang.
2.9.4 Teknik Pengambilan Keputusan Berbasis Indeks Kinerja Suatu persoalan yang sulit dan kompleks yang diekspresikan secara sistemik dapat diselesaikan dengan alat bantu teknik keputusan (Marimin, 2004). 1
Permasalahan Keputusan Marimin (2004) mengatakan seseorang
seringkali dihadapkan
pada
berbagai keadaan dalam pengambilan keputusan antara lain : 1) Unik, yaitu tidak mempunyai preseden dan mungkin tidak berulang lagi di masa depan
2) Tidak pasti, yaitu faktor-faktor yang diharapkan mempengaruhi dan memiliki kadar ketahuan atau informasi yang sangat rendah
3) Jangka panjang, yaitu implikasinya memiliki jangkauan yang cukup jauh kedepan dan melibatkan sumber-sumber usaha yang penting.
4) Kompleks, yaitu dalam pengertiannya preferensi pengambilan keputusan atas risiko dan waktu memiliki peranan yang besar, serta sifat komponen dan keterkaitannya sering bersifat dinamik.
56 2
Lingkup Keputusan Marimin (2004) mengatakan bahwa dalam pengambilan keputusan terdapat
dua basis yaitu berdasarkan
intuisi dan berdasarkan keputusan rasional.
Komponen dan langkah pengambilan keputusan rasional mirip dengan intuisi kecuali pada tahap analisis keputusan secara normatif. 3
Tahapan Keputusan Mengambil keputusan
adalah suatu proses yang dilaksanakan orang
berdasarkan pengetahuan dan informasi yang ada padanya pada saat tersebut dengan harapan bahwa sesuatu akan terjadi. Keputusan dapat diambil dari alternatif-alternatif keputusan yang ada. Alternatif keputusan tersebut dapat dilakukan dengan adanya informasi yang diolah dan disajikan dengan dukungan sistem penunjang keputusan. Informasi terbentuk dari adanya data yang terdiri dari bilangan dan terms yang disusun, diolah, disajikan dengan dukungan sistem informasi manajemen. Keputusan yang diambil perlu ditindak lanjuti dengan aksi yang dalam pelaksanaannya
perlu mengacu pada standar prosedur operasi dan akan
membentuk kembali data. 4 Teknik Pengambilan Keputusan Beberapa teknik pengambilan keputusan antara lain teknik pengambilan keputusan berbasis indeks kinerja seperti Teknik Perbandingan Indeks Kinerja (Comparative Performance Index, CPI) dan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process, AHP) merupakan teknik pengambilan keputusan yang efektif terhadap suatu persoalan yang kompleks, yang
akan dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang
terorganisir. Teknik Perbandingan Indeks Kinerja (Comparative Performance Index, CPI). Menurut Marimin (2004) Teknik Perbandingan Indeks Kinerja merupakan indeks gabungan (composite index) yang dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif (i) berdasarkan beberapa kriteria (j). Cara pengambilan keputusannya
adalah dengan membuat matriks awal penilaian
alternatif yang disusun berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan kemudian dilakukan transformasi dengan menggunakan
Teknik Perbandingan Indeks
Kinerja. Hasil transformasi dapat digunakan untuk pengambilan keputusan yang didasarkan pada peringkat yang diperoleh.
57 Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Menurut Marimin (2004) Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak. Teknik ini digunakan untuk membantu pengambil keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) memiliki keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis karena nilai skor yang menggambarkan urutan prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) sehingga urutan prioritas alternatif keputusan menjadi lebih nyata. Penggunaan teknik ini harus mengikuti tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Menyusun alternatif-alternatif keputusan yang akan dipilih 2. Menentukan kriteria/perbandingan kriteria keputusan penting untuk dievaluasi 3. Menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria 4. Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada kriteria 5. Menghitung skor atau nilai total setiap alternatif 6. Menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing-masing alternatif. Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan
cara
wawancara dengan pakar atau melalui kesepakatan curah pendapat, sedangkan penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing-masing alternatif keputusan akan relatif berbeda secara nyata karena adanya fungsi eksponensial. Proses Hierarki Analitik/PHA (Analytical Hierarchy Process/AHP). Lahan sebagai sumberdaya merupakan suatu sistem yang kompleks dari berbagai unsur yang saling berinteraksi sehingga dapat menimbulkan suatu permasalahan yang kompleks pula. Pengambil keputusan harus dapat mengembangkan suatu cara untuk mengevaluasi sumberdaya potensial secara dinamis. Dalam penanganan permasalahan tersebut harus dilakukan pengambilan keputusan dan AHP merupakan metode yang praktis (Saaty, 1991). Dasar pemikiran AHP adalah memandang suatu permasalahan dalam kerangka yang terorganisir tetapi
kompleks, yang memungkinkan adanya
interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun tetap dapat memikirkan faktor-faktor secara sederhana.
58 Dengan demikian AHP dapat digunakan untuk : 1
Memutuskan apakah akan melaksanakan proyek tertentu
2
Melaksanakan aktivitas yang paling produktif dengan rasio manfaat/biaya tertinggi
3
Memilih suatu proyek yang manfaatnya dapat didistribusikan diantara penduduk dengan cara khusus
4
Memaksimumkan manfaat total dalam kendala tertentu (misalnya anggaran)
5
Meninjau ulang seperangkat proyek yang ada, untuk melihat kemungkinan untuk menghapus atau merealokasikan sumberdaya. Metode AHP dilaksanakan
dengan memecah suatu persoalan yang
kompleks, tidak terstruktur kedalam bagian-bagian komponennya, menata bagian dalam suatu susunan hierarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel, dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut. Manfaat AHP adalah dapat mengambil keputusan secara berkelompok, efektif dan cepat, dapat memperbaiki konsistensi pertimbangan
serta dapat
meningkatkan keandalan sebagai alat pengambilan keputusan. Menurut Marimin (2004) prinsip kerja AHP meliputi empat ide dasar yaitu: 1
Penyusunan Hierarki Persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi kriteria dan alternative, lalu disusun menjadi hierarki, dimana alternatif terdapat pada level bawah.
2
Penilaian Kriteria dan Alternatif Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Skala 1 sampai 9 merupakan skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat.
3
Penentuan Prioritas Setiap kriteria dan alternatif dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dan nilai perbandingan relatifnya diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Kriteria kualitatif dan kuantitatif dapat dibandingkan sesuai judgement
untuk menghasilkan bobot dan prioritas,
yang dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik. 4
Konsistensi Logis Semua elemen
dikelompokkan
secara logis dan diperingkatkan secara
konsisten sesuai dengan kriteria yang logis.
59 2.10
Program Pembangunan Pertanian Terpadu
2.10.1 Konsep Pertanian Terpadu Integrasi Pertanian Tanaman dengan Peternakan. Pembangunan pertanian khususnya pertanian tanaman pangan dan hortikultura serta perkebunan harus didukung oleh peternakan karena memiliki peran yang sangat besar dalam penyediaan pupuk organik baik dari feces maupun urine ternak. Ternak bagi bagi masyarakat pedesaan memilki peranan strategis karena dapat digunakan sebagai tabungan hidup, sebagai sumber tenaga kerja dan sebagai penghasil pupuk organik serta meningkatkan status sosial. Sustainable mixed farming atau Mixed farming. Menurut Sofyadi memecahkan keterbatasan dilematis yaitu dengan sistem pertanian yang
untuk
kondisi kepemilikan lahan sempit
mengandalkan input produksi tinggi perlu
membangun paradigma baru, yaitu sistem pertanian yang berwawasan ekologis, ekonomis dan berkesinambungan, atau juga disebut sustainable mixed farming atau mixed farming. Sistem mixed-farming, diarahkan pada upaya memperpanjang siklus biologis dengan mengoptimalkan pemanfaatan hasil samping pertanian dan peternakan atau hasil ikutannya, dimana setiap mata rantai siklus menghasilkan produk baru yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu pengembangan sustainable mixed–farming sangat menjanjikan, walaupun
harus tetap
memperhatikan aspek agroeko-sistem wilayah dan sosiokultur masyarakatnya, karena dapat mengantisipasi tantangan pasar global, otonomi daerah dan dapat menciptakan lapangan kerja. Pertanian Terpadu dan Organik. Laporan Persatuan Bangsa-Bangsa tahun 2005
berjudul
“Millenium
Ecosystem
Assessment
Synthesis
Report”,
memperkirakan permintaan pangan akan meningkat 70-85 % dalam 50 tahun ke depan dan permintaan air bersih meningkat antara 30-85 %. Sehubungan dengan hal tersebut menurut Diah (2007) ketersediaan energi dan perubahan iklim menjadi tantangan baru dalam dunia pertanian. Menurut Kirschenmann, kita perlu menjalankan sistem pertanian yang lebih hemat energi, dan
lebih
adaptif terhadap perubahan iklim, mempertahankan keanekaragaman hayati dan menerapkan pertanian diversifikasi, agar dapat mencapai produksi optimum melalui diversifikasi produk meski dalam lahan yang terbatas.
60 Menurut Noviansyah, pertanian terpadu dan organik lebih baik karena lebih hemat energi dan menjaga rantai energi agar tidak terputus mulai dari budidaya, panen dan pasca panen, namun syaratnya adalah tidak ada energi yang terbuang, tidak ada proses pembakaran limbah dan limbah tidak boleh keluar dari usaha tani, dan harus kembali ke tanah. Standar dasar pertanian organik yang dikeluarkan oleh International Federation of Organic Agriculture Movements (IFOAM) adalah: -
Menghasilkan pangan yang kualitas gizinya baik dan dalam jumlah yang cukup
-
Melaksanakan interaksi secara konstruktif dan meningkatkan taraf hidup dengan memperhatikan kondisi lingkungan
-
Mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah
-
Membantu dan melaksanakan usaha konservasi tanah dan air
-
Sedapat mungkin bekerja dengan bahan dan senyawa yang dapat didaur ulang atau digunakan kembali
-
Menekan semua bentuk polusi yang diakibatkan kegiatan pertanian
-
Mempertahankan
keanekaragaman genetik
sistem
pertanian
dan
sekelilingnya termasuk perlindungan habitat tanaman dan hewan. Pertanian terpadu untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan. Menurut Safuan et al. (2002) konsep pertanian berkelanjutan selain memperhatikan pemenuhan kebutuhan manusia juga harus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam. Tiharso (1992) menyatakan dua tujuan harus tetap sejalan dan seimbang yaitu peningkatan produktivitas dan produksi di satu pihak dan pencapaian keberlanjutan sistem produksi, peningkatan kesejahteraan petani dan pelestarian lingkungan di pihak lain. Berbagai bentuk pendekatan yang dapat diterapkan, diantaranya adalah (a) sistem tanam ganda (Multiple cropping), (b) komplementari hewan ternak dan tumbuhan, (c) usaha terpadu peternakan dan perkebunan, (d) agroforestry; (e) pemeliharaan dan peningkatan sumberdaya genetik; dan (f) pengelolaan hama terpadu. Berbagai pendekatan tersebut dilaksanakan secara terpadu, dan untuk mendukung keberkelanjutannya, harus di dukung oleh inovasi teknologi yang dirancang berdasarkan kesesuaian dengan
kondisi wilayah baik bio-fisik
maupun sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal.
61 Pertanian Terpadu dengan peran utama
agribisnis/agroindustri. Sa'id
(2002) mengatakan bahwa peranan pertanian secara luas terutama peran agribisnis/agroindustri dalam pengembangan sektor pertanian nasional, harus diberdayakan. Konsep pertanian modern, yang merujuk pada lingkup agribisnis dan agroindustri merupakan paradigma pertanian terpadu, yang memberikan perhatian tinggi pada sisi pengolahan dan pemasaran hasil pertanian disamping sangat memperhatikan peranan IPTEK di sisi hulu dan hilir, sehingga pertanian tidak lagi dianggap sebagai kegiatan ekonomi yang tradisional dan tertinggal. Pertemuan manajemen agribisnis di Chiang Mai, Thailand tahun 2000 sepakat bahwa penggerak perubahan struktural pada agribisnis adalah : - Terjadinya globalisasi; - Faktor keamanan pangan dan keinginan konsumen; - Penjual
eceran
menjadi salah satu elemen terpenting pemasaran dan
distribusi produk agribisnis; - Perlunya dilakukan integrasi dan konsolidasi rantai agribisnis; - Pertimbangan skala ekonomi dan ruang lingkup usaha; - Kemajuan teknologi dan inovasi; - Aksesibilitas terhadap informasi. Agrobisnis Industrial Pedesaan (AIP) dan Sistem Usaha Tani Intensifikasi dan Diversifikasi (SUID). Menurut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali, untuk mempercepat pembangunan pertanian, pola yang dianggap paling tepat adalah pola pertanian terpadu dengan model pertanian berbasis teknologi inovatif yang mengintegrasikan sistem inovasi dan kelembagaan dengan sistem agrobisnis. Hal ini karena penerapan model pertanian terpadu dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, serta memberi darnpak positif terhadap lingkungan sekitarnya. Integrated atau Mixed Farming.
Beberapa model ekonomi rakyat menurut
Ismangil dan Dipta (2001) yaitu Industri di desa, Industri pedesaan, Integrated atau mixed farming, Pola PIR, Cluster industry, Inkubator bisnis dan teknologi yang berbasis pada IPTEK. Integrated atau mixed farming, yaitu pertanian terpadu yang antara lain meliputi ternak ayam, kambing/domba dan sapi, kolam ikan dikombinasikan dengan tanaman padi, jagung, dan sayur mayur lainnya untuk menghasilkan organic farming, sedangkan Inkubator bisnis dan teknologi yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menghasilkan pengusaha-pengusaha yang tangguh.
62 Sistem Pertanian Terpadu melalui Pemasaran Agribisnis. Menurut Sonson, pemerintah selama ini lebih banyak mengurusi
budidaya, sarana jalan,
membangun irigasi dan kegiatan intensifikasi, kurang
memfasilitasi petani
dengan sarana dan prasarana pemasaran produk pertanian. Padahal, sarana dan prasarana pemasaran produk sangat penting guna mengembangkan dan merealisasikan sistem pertanian agribisnis terpadu di Jabar. Kunci agribisnis di era globalisasi
adalah sarana pemasaran yang
memiliki manfaat yaitu (a) membantu petani melakukan pengolahan hingga mencapai final produk (b) mendekatkan jarak transaksi perdagangan antara produsen dengan konsumen serta membantu memenuhi standar konsumen (c) membantu ketepatan waktu pesanan dengan mengandalkan fasilitas pergudangan, dan (d)mempermudah kesepakatan pembiayaan serta pembayaran transaksi antara petani dengan konsumen. Program ” terminal agribisnis ” yang diluncurkan pemerintah akan dapat berhasil baik apabila memenuhi empat unsur tersebut, namun apabila hal tersebut tidak dilaksanakan, maka banyak rantai ekonomi (perantara) yang memakan high cost production. Sistem Pertanian Terpadu berkelanjutan
dengan
dengan LEISA. Pertanian organik, pertanian
konsep
LEISA
(Low
External
Input
Sustainable
Agriculture), dan pertanian terpadu memberikan harapan baru. Pertanian organik menawarkan produksi ramah lingkungan, bebas bahan kimia,hasilnya dijamin menyehatkan,tidak berbahaya bagi manusia,namun produksi rendah dan input tenaga kerja besar. LEISA menawarkan produksi tinggi dan ramah lingkungan namun masih menggunakan bahan kimia,
sedangkan pertanian terpadu
menawarkan rantai yang tak terputus dari pertanian hingga peternakan namun perlu manajemen yang cukup rumit dan masih belum dipraktekkan secara luas. Sistem pertanian terpadu yang dikembangkan dengan prinsip dasar Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) menyediakan semua bahan lokal secara lebih murah dan berkelanjutan serta semua limbah yang dihasilkan dapat didaur ulang sehingga tidak tergantung pada bahan baku impor. Pengelolaan DAS . Pengelolaan Daerah Aliran Sungai /DAS(Catchment area), secara terpadu merupakan sebuah pendekatan holistik dalam mengelola sumberdaya alam yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam secara berkesinambungan. Untuk tujuan pengelolaan dan perlindungan,
DAS dibagi menjadi DAS bagian hulu, DAS
bagian tengah dan DAS bagian hilir.
63 DAS memiliki aspek sosial yang sedikit kompleks, yang sangat berperan dalam pembentukan sebuah lembaga yang mengelola program DAS. Program pengelolaan DAS terpadu adalah sebuah paket yang menyatukan semua komponen DAS berdasarkan prioritas penduduk. Komponen mencakup : (a)
pengembangan sumber daya alam,
degradasi dan perbaikan
program ini
(b) pengendalian
sumber daya alam serta (c) pengelolaan dan
perawatan sumber daya alam. Maksud pengelolaan DAS terpadu adalah suatu pendekatan yang melibatkan teknologi tepat guna dan strategi sosial untuk memaksimalkan pengembangan tanah, tanaman, air dan sumber daya manusia di suatu DAS, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara berkesinambungan. Pengelolaan DAS bertujuan agar generasi masa depan dapat menikmati sumber daya alam yang lebih sehat dan lebih produktif dari generasi sekarang. Dimasa mendatang penduduk tidak hanya sebagai penerima manfaat, tetapi ikut berpartisipasi aktif mulai dari perencanaan, pembuatan anggaran dan pelaksanaan di lapangan. 2.10.2 Penerapan Pembangunan Pertanian Terpadu di Indonesia Beberapa negara telah mengembangkan pertanian terpadu secara sukses seperti Cina dan Ekuador karena sistem pertanian terpadu telah mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi.
Beberapa model pertanian
terpadu juga telah diterapkan di Indonesia. Agrotechnopark (ATP). Kementerian Ristek mulai tahun 2002 telah mendirikan Agro Techno Park (ATP) sebagai kawasan percontohan pertanian, peternakan, perikanan dan pascapanen terpadu dengan menerapkan teknologi siklus hidup petanian. Tujuannya adalah untuk meningkatkan alih teknologi yang layak teknis dan ekonomi serta ramah lingkungan, membangun kawasan percontohan yang dapat memfasilitasi upaya peningkatan produktifitas, efisiensi dan nilai tambah produk pertanian melalui penerapan agroteknologi terpadu, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang terampil, handal, dan mandiri. ATP merupakan kawasan percontohan penerapan teknologi pertanian, peternakan, perikanan dan pasca panen secara terpadu dari hulu (budidaya) sampai ke hilir (pasca panen) dalam skala yang besar dengan menerapkan teknologi bio-cyclo farming (BCF) sehingga tanpa limbah (zero waste farming). ATP pertama (kini menjadi Balai Agroteknologi terpadu) berlokasi di Sumatera
64 Selatan tepatnya di Indralaya - Ogan Ilir, dan Gedung Buruk - Muara Enim seluas 1.037 ha, selanjutnya dikembangkan dua ATP baru di Cianjur, Jawa Barat dan di Jembrana Bali. Penerapan Pertanian Terpadu di Daerah Transmigrasi. Pembangunan transmigrasi di Indonesia bukan
untuk
merusak lingkungan, tetapi justru
memanfaatkan sumberdaya alam sesuai kaidah yang benar
dan secara
berkelanjutan, sehingga memenuhi kriteria clear-clean (baik secara sosial dan kultural) serta kriteria catur layak (layak huni, layak usaha, layak berkembang dan layak lingkungan). Menurut Achsin (2001) penerapan teknologi pertanian terpadu memberikan indikasi peningkatan produktivitas lahan menjadi beberapa kali lipat dengan sistem pola tanaman mengikuti siklus biologi dan dapat berlangsung sepanjang tahun silih berganti sekaligus menyuburkan tanah dengan memasukkan pupuk organik cair limbah peternakan ke lahan pertanian. Selain simbiose yang bersifat biologis, juga dirancang proses multiple cropping yang terdiri atas : a. Panen harian, yaitu panen telur unggas dan susu sapi setiap hari. b. Panen bulanan dari budidaya ikan dan sayur mayur (hortikultura). c. Panen musiman dari budidaya padi, kedelai dan jagung. d. Panen tahunan dari budidaya sapi dan kambing/domba. e. Panen winduan dari budidaya jati/tanaman keras lainnya. Teknologi pertanian terpadu dapat diaplikasikan pada berbagai ukuran lahan dari mulai lahan sempit (hemat lahan) sampai lahan yang luas. Unit usaha dipilih berdasar kesesuaian dan daya dukung lingkungan. CD's Integrated Farming. Program pemberdayaan masyarakat (community development/CD) oleh PT. Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) di Riau, dilaksanakan dengan menanami lahan pertanian dengan sayur-mayur dan diusahakan secara sistem pertanian terpadu yang menggabungkan pertanian, peternakan, dan perikanan. Produk Pertanian Terpadu tersebut
selanjutnya
diekspor ke Singapura dan Malaysia. PT. RAPP selanjutnya mengembangkan jaringan dan kinerjanya dengan bekerja sama dengan pihak lain dan membuka empat Balai Pelatihan dan Pengembangan Usaha Terpadu (BPPUT) di Kabupaten Siak, Pelalawan, Kuantan Singingi, Rokan Hulu, dan Kabupaten Siak.
Kabupaten
65 Pertanian Terpadu di Daerah Pasang Surut. Dalam rangka mempersiapkan Barito Kuala (Batola) menjadi kawasan agropolitan, telah dilakukan berbagai upaya untuk menyiasati sejumlah kendala bertani di lahan pasang surut, agar penghasilan petani menjadi lebih tinggi. Konsep pertanian terpadu yang dikembangkan Badan Litbang Pertanian pada tahun 2003 telah diterapkan oleh Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Kalsel
dengan mengubah lahan marginal (lahan Pasut)
menjadi lahar pertanian yang subur. Petani tidak hanya menanam jeruk, namun juga padi sebagai tanaman utamanya di samping tanaman lain seperti sayur mayur, hortikultura, melon ataupun mangga. Sedangkan di saluran air (kanal tersier) yang mengairi lahan pertanian, mereka memasang karamba ikan,
sehingga penghasilan petani
menjadi berlipat ganda. Disamping itu telah disiapkan Pasar induk sebagai terminal agribisnis untuk mendukung pengembangan Agropolitan, sehingga Batola berpotensi menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi. Agrobisnis dengan LEISA dan Tanpa Limbah (Zero waste). Bisnis besar di bidang pertanian dan peternakan dapat dikelola secara terpadu dan usaha tanpa limbah. Prinsip LEISA, dapat dilakukan optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal dan memaksimalisasi daur ulang sehingga diperoleh usaha tanpa limbah (zero waste), semua hasil pertanian dapat digunakan kembali. Usaha seperti itu telah dilakukan oleh perusahaan agrobisnis CV. Lembah Hijau Multifarm di Sragen dan dikembangkan Suharto
tahun 1985
di Desa
Trijayan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah, dengan mengembangkan sistem pertanian terpadu antara peternakan (sapi perah), pertanian (pembibitan tanaman hortikultura, dan padi organik), perikanan (ikan patin),
dan usaha
pendukung bioteknologi yaitu Starbio dan pupuk kompos. Produk-produknya mulai diekspor ke Malaysia. 2.10.3 Program Pembangunan Pertanian Terpadu di Indonesia T ahun 2008. Program pembangunan pertanian terpadu di Indonesia tahun 2008 telah disusun oleh Bappenas antara lain meliputi : (a) Peningkatkan produksi dan produktivitas pertanian
serta pengembangan
kawasan sentra produksi dan agropolitan termasuk 100.000 ha sayuran
66 (b) Pengembangan pertanian terpadu tanaman-ternak, kompos, biogas dengan sasaran sistem terpadu hortikultura; sistem ternak, kompos, biogas; sistem pertanian terpadu ternak dan kebun (kopi, kelapa sawit, kakao), Batamas (Biogas ternak bersama masyarakat),Mesin Pembuat Pupuk Organik (MPPO) (c) Pengembangan pertanian organik dan lingkungan hidup dengan sasaran kebun buah organik, lingkungan hidup (DAS), sayuran organik, sertifikasi pertanian organik; sistem informasi dan layanan teknis jaminan mutu; tersedianya
aparat pembina mutu daerah berkualifikasi auditor HACCP;
berkembangnya usaha pengolahan kompos, biogas;
kopi organik; Alat
Pengolah Pupuk Organik (APPO) (d) Pengembangan agroindustri perdesaandengan sasaran industri olah berbasis tepung lokal; pengolahan hasil hortikultura; pengolahan hasil perkebunan; pengolahan hasil ternak; pengolahan pakan di daerah sentra unggas (e) Pengembangan kegiatan pemasaran komoditas pertanian dengan sasaran kemitraan pemasaran hasil pertanian antara keltan dan industri pengolahan; kelembagaan farm gate market berbasis mutu (grading & packaging) komoditas
horti
dan
kombun,
revitalisasi
pasar
ternak,
kerjasama
internasional produk pertanian.
2.11
Berbagai Studi Terkait Terdahulu
2.11.1 Pengelolaan Berkelanjutan Pahl-Wostl (2004) dalam Monticino et al (2005) mengatakan bahwa hanya sebagian kecil ekosistem yang bebas dari pengaruh manusia. Pengaruh manusia yang terbesar terhadap ekosistem hutan adalah untuk pembangunan permukiman,industri dan perdagangan.Interaksi kompleks antara keputusan pem bangunan dan ekosistem serta bagaimana konsekuensinya terhadap pengambilan keputusan,merupakan lapangan studi yang penting.Analisis interaksi ini dapat mengarahkan kepada pemahaman konsekuensi lingkungan dari pilihan individu dan kebijakan masyarakat. Markowski dan Murakowski (1999) menyatakan bahwa dasar ilmiah dari suatu proses telah diperkaya oleh adanya model teoritis. Monticino et al (2005) yang mengadakan studi tentang interaksi antara sistem alam dan keputusan manusia
yang mengarah keberlanjutan jangka
panjang dari ekosistem hutan di Dallas-Forth Worth (Texas, USA) menghasilkan tataguna lahan yang berubah dinamis karena perbedaan strategi pengelolaan pertumbuhan di wilayah dengan pembangunan permukiman yang intensif.
67 Suatu penelitian tentang pengaruh dukungan sumberdaya usahatani terhadap pembangunan berkelanjutan telah dilaksanakan oleh Dogliotti et al. (2004) di Canelon Grande, Uruguay . Hasilnya adalah terdapat pengaruh yang sangat kuat dari dukungan sumberdaya usahatani terhadap pembangunan berkelanjutan terutama sinergi antara buruh, lahan dan area
irigasi pada
penggunaan sumberdaya skala usahatani secara efisien. Keberlanjutan suatu sistem pertanian di dataran tinggi sebelah selatan Haiti juga telah didiagnosis dan hasilnya menunjukkan bahwa dengan menambahkan tanaman kubis yang dipupuk
ke dalam rotasi ternyata dapat
memperpendek periode bera dalam pertanaman, meningkatkan frekuensi Bean Maize Intercrop (BMI), memperkenalkan pemupukan NPK, meningkatkan produksi tanaman dalam jangka pendek, walaupun perubahan ini tidak mengarah kepada keuntungan yang berkelanjutan. Dalam rangka pertanian berkelanjutan maka Huang et al. (2004) telah melakukan AMDAL terhadap usahatani sayuran skala kecil di wilayah Delta Sungai Yangtze dan hasilnya menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kandang sapi dalam jumlah besar terhadap tanaman sayuran di Nanjing, suatu daerah sayuran di China, telah menimbulkan akumulasi N, P, Cu, Zn dan tersedianya Cd di dalam tanah, sehingga sayuran mengandung Cd tinggi dan terjadinya konsentrasi N dan P di dalam air permukaan. Sedangkan di Wuxi, suatu daerah industri, akumulasi N dan P kurang dalam tanah, tetapi ketersedian Cd tinggi sehingga pH tanah menjadi rendah, dan karena penggunaan pupuk anorganik cukup tinggi menyebabkan kandungan Cd dalam sayuran juga cukup tinggi. El-Swaify et al. (1982) dalam Sudirman et al. (1986) menyatakan bahwa penurunan produktivitas lahan ditentukan oleh tipe dan kedalaman tanah, topografi, status kesuburan tanah dan jenis tanaman. Untuk mengurangi erosi yang dapat mengakibatkan penurunan produktivitas tanah, Thorne dan Thorne (1978) dalam Hafif et al. (1992) menyatakan bahwa ada 5 praktek pengelolaan lahan yaitu vegetasi, sisa tanaman, pengelolaan tanah, efek sisa dari rotasi tanaman dan praktek pendukung mekanik. Sutrisno et al. (2002) mengatakan bahwa kerusakan tanah di tempat terjadinya erosi berupa kerusakan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang dapat mengakibatkan turunnya produktivitas lahan. Hasil penelitian Hafif et al. (1992) menunjukkan bahwa
sistem pertanaman lorong asal disertai dengan
pemupukan, cukup efektif dapat menekan erosi (0,6-1,1 ton/ha/2 musim tanam).
68 Sedangkan pengolahan tanah secara
biasa, pengadukan sisa tanaman ke
dalam tanah dan pembakaran sisa tanaman merupakan perlakuan-perlakuan yang tidak menunjang untuk pengendalian erosi pada lahan berlereng. Mulsa sisa tanaman dapat mengurangi laju erosi, akan tetapi tidak selalu mengurangi aliran permukaan sedangkan teras bangku dan teras gulud dapat mengurangi erosi dan aliran permukaan Abdurachman et al. (1985).
2.11.2 Kawasan Agropolitan Konsep Agropolitan dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan Tiebout (1957), Isard (1966), Moses (1966), Hoover (1968), Friedmann dan Douglass (1976), namun penelitian yang berkaitan dengan Agropolitan relatif masih kurang. Di Indonesia penelitian tentang Agropolitan mulai banyak dilakukan sejak tahun 2004, namun aspek yang banyak diteliti adalah aspek ekonomi sedangkan penelitian yang bersifat komprehensif, yaitu yang mencakup aspek sosial, ekonomi, teknologi dan lingkungan, relatif masih kurang. Penelitian yang telah dilakukan tersebut menunjukkan hasil yang beragam tergantung pada aspek yang diteliti dan lokasi penelitian. Pada tahun 2004 dilakukan penelitian tentang “Aplikasi Penerapan Konsep Agropolitan di beberapa Kawasan“ yang memperoleh hasil positif bahwa penerapan konsep
agropolitan menyiratkan telah tercapainya
efektivitas
kelembagaan (Institutional Effectiveness), dan efektivitas kelompok sasaran (Target Group Effectiveness) serta efektivitas lingkungan (Enviromental Effectiveness ) sehingga diperoleh manfaat bagi masyarakat luas di luar sasaran program ini (Ernalia et al., 2004). Hasil penelitian Ella et al. (2004) di Sulawesi Selatan tentang “Sistem Usaha Tanaman-Ternak di Kawasan Agropolitan Barru melalui Pola Bantuan Langsung Masyarakat“ juga menunjukkan hasil positif dimana Kawasan Pertanian yang handal, berwawasan lingkungan dan berkelanjutan akan tercapai bila didukung oleh prasarana jalan, sistem irigasi, lembaga keuangan perdesaan, sumberdaya manusia yang memadai. Rusastra et al. (2004) yang melakukan penelitian tentang “Kinerja dan Perspektif Pengembangan Model Agropolitan dalam mendukung Pengembangan Ekonomi Wilayah Berbasis Agribisnis“ juga memperoleh beberapa hasil penelitian yang cukup positif yaitu : 1 Keberhasilan pengembangan program agropolitan di lapangan sangat ditentukan oleh kinerja Kelompok Kerja (PokJa), fasilitas pemerintah dan metode pelaksanaan program agropolitan
69 2 Tiga indikator
utama sebagai representasi dari sasaran/target yang
mengindikasikan keberhasilan pengembangan program agropolitan adalah pengembangan infrastruktur, sistem, usaha agribisnis, dan pengembangan sumberdaya manusia Hasil yang berbeda dikemukakan Saptana et al. (2004) yang melakukan penelitian di Sumatera Utara tentang “Integrasi Kelembagaan Forum Kawasan Agribisnis Sayuran Sumatera (KASS) dan Program Agropolitan dalam rangka Pengembangan Agribisnis Sayuran Sumatera“ dimana disimpulkan bahwa : 1
Belum ada keterpaduan program antara kelembagaan forum KASS dengan Program Agropolitan
2
Integrasi kedua program tersebut akan dapat memenuhi empat faktor penggerak pengembangan agribisnis sayuran
yaitu
sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, teknologi dan kelembagaan. Penelitian di Jawa Barat, termasuk di Kawasan Agropolitan Cianjur oleh Anugrah et al. (2004) tentang “Pengembangan Sub Terminal Agribisnis (STA) dan Pasar Lelang Komoditas Pertanian dan Permasalahannya“ menyimpulkan: 1
STA merupakan salah satu struktur
kelembagaan yang cukup penting
dimasa yang akan datang, dalam upaya mendorong pemasaran komoditas pertanian yang dihasilkan di berbagai wilayah yang semakin beragam, sekaligus menjadi kelembagaan pertanian yang dapat menjamin kepastian harga produk pertanian yang dipasarkan oleh petani sebagai produsen, sehingga harga yang diterima dapat menguntungkan para petani 2
Konsep STA melalui sistem pasar lelang sebagai konsep baru dalam pelaksanaannya masih dihadapkan pada beberapa kendala, khususnya perubahan sistem serta perilaku dari para pelaku kegiatan usaha pertanian di berbagai daerah sentra produksi. Pranoto (2005)
Perdesaan Berkelanjutan
yang melakukan penelitian tentang “Pembangunan melalui Model Pengembangan Agropolitan“ juga
memperoleh kesimpulan yang cukup menarik yaitu : 1
Bila didasarkan pada kelengkapan lembaga penunjang sistem usahatani, keragaan usahatani komoditas unggulan dan potensi keruangan ternyata di setiap wilayah agropolitan terdapat perbedaan kemajuan
2
Secara umum pengembangan agropolitan
menghadapi kendala lahan
garapan yang terbatas, alih fungsi lahan, degradasi lingkungan, permodalan, kualitas sumberdaya manusia, kelembagaan dan pemasaran.