3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lahan, Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan Lahan merupakan sumberdaya pembangunan yang memiliki karakteristik,
yaitu (1) memiliki luas yang relatif tetap, dan (2) memiliki sifat fisik, kimia dan biologi serta jenis batuan, kandungan mineral, topografi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, lahan memerlukan arahan dalam pemanfaatannya dengan kegiatan yang paling sesuai dengan sifat fisiknya (Dardak, 2008). Menurut FAO (1976) dalam Balai Penelitian Tanah (2003) lahan merupakan bagian dari bentang alam dimana lingkungan fisik seperti iklim, topografi, tanah, hidrologi dan keadaan vegetasi alami yang meliputinya serta secara potensial akan mempengaruhi penggunaan lahan. Penggunaan lahan merupakan bentuk campur tangan manusia terhadap suatu lahan dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya, baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan secara umum dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu penggunaan lahan pertanian dan lahan non-pertanian. Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan penggunaan lahan terdiri dari faktor fisik, biologis, pertimbangan ekonomi, dan kelembagaan (Dirjen RKLS, 2008). Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi. Hal itu yang mempengaruhi
potensi
penggunaannya,
disamping
akibat-akibat
yang
ditimbulkan oleh kegiatan manusia. Kabupaten Bandung Barat sebagian besar merupakan daerah berbukit sampai bergunung. Hasil penelitian Hidayat dan Rintang (2004) menunjukkan bahwa penggunaan lahan di daerah Bandung Barat dibedakan atas sawah 13.392 ha (24,2% dari luas daerah penelitian), tegalan atau ladang 8.379 ha (51,1%), kebun campuran 12.128 ha (21,9%), kebun teh 2.048 ha (3,7%), semak belukar 6.558 ha (11,9%), dan hutan primer 5.806 ha (10,5%). Penggolongan penggunaan lahan secara umum adalah: pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Tipe pengunaan lahan merupakan penggunaan lahan yang diuraikan secara lebih terinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan
4
sosial ekonomi tertentu, yaitu menyangkut pengelolaan, masukkan yang diperlukan, dan keluaran yang diharapkan secara spesifik (Rayes, 2007). Jumlah penduduk yang meningkat berpengaruh terhadap peningkatan kebutuhan pangan dan perumahan. Kebutuhan lahan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan perumahan telah menyebabkan pergeseran pola penggunaan lahan seperti pertanian semusim di daerah-daerah yang semestinya tidak diperbolehkan. Penggunaan lahan yang tidak memperhatikan konservasi tanah dan kesesuaian lahan menyebabkan dampak lingkungan yang kurang menguntungkan, seperti terjadi erosi, menurunnya fungsi hidrologis hutan, terjadinya degradasi lahan dan meningkatnya lahan kritis serta kerusakan lingkungan (Desman, 2007).
2.2
Perubahan Penggunaan Lahan Laju perubahan penggunaan lahan akan semakin cepat seiring dengan
perkembangan pembangunan ekonomi tidak hanya pada tingkat nasional tetapi juga internasional. Meningkatnya permintaan akan sumberdaya lahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas pembangunan dan keterbatasan serta karakteristik sumberdaya lahan yang ada akan mendorong beralih fungsinya lahan-lahan pertanian ke non-pertanian (Lopulisa, 1995). Menurut Nasoetion dan Winoto (1996) ada dua faktor yang langsung menentukan proses alih fungsi lahan baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu : (1) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (2) sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan. Perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan adalah perubahan fungsi yang terjadi pada suatu lahan dalam kurun waktu yang berbeda. Beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut adalah faktor politik dan faktor ekonomi. Faktor politik dapat mempengaruhi pola perubahan terhadap suatu lahan karena adanya kebijakan yang diambil oleh pengambil keputusan. Faktor ekonomi adalah perubahan pendapatan serta pola konsumsi yang menyebabkan kebutuhan akan ruang dan tempat rekreasi meningkat sehingga terjadi perubahan penggunaan lahan.
5
Menurut Witjaksono (1996) alih fungsi lahan memiliki lima faktor sosial yang mempengaruhinya, yaitu perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Menurut (Sitorus, 2004a) perubahan status kepemilikan lahan merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan masyarakat negara-negara berkembang termasuk Indonesia bahwa sebagian kelebihan daya beli pada golongan masyarakat berpenghasilan tinggi disalurkan dalam bentuk investasi pada lahan atau tanah. Nilai keuntungan yang dimiliki suatu lahan dapat dilihat dari jenis penggunaan lahan tersebut dalam periode setahun seperti hasil penelitian (Sitorus, et al., 2007) mengenai perhitungan nilai land rent sembilan usaha dan perbandingannya terhadap nilai land rent terendah di Kecamatan Karangpandan dan Tawamangun, Kabupaten Karanganyar. Sembilan usaha yang dihitung antara lain : villa, tanaman hias, padi-padi, padi-padi-padi, padi-palawija, padi-palawijapalawija, bawang putih-wortel-bawang merah-wortel-daun bawang, wortelbawang putih-wortel-kubis-sawi, dan bawang merah-wortel-bawang putih-wortelbawang merah. Penggunaan lahan dengan pola tanaman padi-padi memiliki nilai land rent terendah karena biaya input seperti tenaga kerja, pestisida, pupuk dan pengolahan tanah yang relatif tinggi dibandingkan dengan usaha lain. Penelitian (Sitorus et al., 2007) menunjukkan bahwa di Kecamatan Sanden, Kretek, dan Srandakan, Kabupaten Bantul terjadi perubahan pola tanam yang berakibat terhadap nilai land rent. Perubahan pola tanam merupakan awal dari berubahnya komoditas padi menjadi bawang merah, yaitu semula berupa padipadi-padi atau padi-padi-palawija menjadi padi-padi-bawang merah atau padibawang merah-cabai merah-bawang merah. Perhitungan nilai land rent untuk komoditas padi pada musim tanam I dengan bawang merah pada musim tanam II dimana nilai land rent untuk komoditas bawang merah (berkisar antara Rp. 1.056Rp. 2.874 per m2) lebih besar dibandingkan dengan padi (berkisar antara Rp. 14Rp. 444 per m2). Hal ini terjadi diduga para petani cenderung untuk menanam bawang merah dengan mengubah sistem pola tanam mereka.
6
2.3
Teori Perkembangan Wilayah Wilayah didefinisikan sebagai area geografis yang mempunyai ciri tertentu
dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Berdasarkan definisi tersebut, dapat diturunkan tipologi-tipologi wilayah. Salah satu diantaranya tipologi wilayah nodal yang merupakan pengembangan dari konsep sel hidup. Wilayah ini diasumsikan sebagai sel hidup yang terdiri dari inti dan plasma, yang masing-masing mempunyai fungsi saling mendukung. Berdasarkan konsep wilayah nodal tersebut, pusat atau hinterland suatu wilayah dapat ditentukan dari kelengkapan fungsi pelayanan suatu wilayah dengan cara mengidentifikasi jumlah dan jenis fasilitas umum, industri, dan jumlah penduduknya serta aksesibilas ke fasilitas tersebut. Unit wilayah yang memiliki kelengkapan fasilitas relatif paling lengkap dibandingkan dengan unit wilayah yang lain maka wilayah tersebut mempunyai hirarki lebih tinggi. Sebaliknya, jika suatu unit wilayah memiliki kelengkapan fasilitas paling rendah maka wilayah tersebut merupakan wilayah hinterland dari unit wilayah yang lain (Panuju et al., 2008). Pada tahun 1826 teori Von Thunen untuk penggunaan lahan mulai diperkenalkan yang merupakan prinsip dasar mengenai lokasi geografi secara modern. Von Thunen menyatakan dalam teorinya bahwa pola dari penggunaan lahan terkait erat dengan perbedaan nilai atau harga komoditas pertanian. Perbedaan itu dapat dinyatakan dari harga produksi dan jarak lokasi tersebut ke pusat pasar. Pola-pola tersebut biasanya tergantung pada kehomogenan suatu wilayah. Semakin homogen suatu wilayah maka akan semakin konsentris. Sebaliknya, pola akan mengikuti batas-batas alam yang sudah ada (Smith, 1976).
2.4
Klasifikasi Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan lahan (Land Capability Classification) merupakan
penilaian lahan secara sistematik dengan pengelompokkannya kedalam beberapa kategori berdasarkan sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad, 2006). Evaluasi kemampuan lahan merupakan evaluasi lahan bagi penggunaan berbagai sistem pertanian secara luas dan tidak menyangkut pada peruntukkan jenis tanaman tertentu ataupun tindakan-
7
tindakan pengelolaannya. Klasifikasi ini merupakan pengelompokkan lahan ke dalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan secara intensif dan perlakuan yang dapat diperlukan untuk dapat digunakan berkelanjutan Klasifikasi kemampuan lahan merupakan klasifikasi yang bersifat interpretatif didasarkan atas sifat-sifat permanen lahan. Penilaian kemampuan lahan dari suatu daerah dapat berubah dengan adanya reklamasi yang mengubah secara permanen keadaan alam dan atau cakupan faktor penghambat misalnya pembuatan drainase, irigasi, dan sebagainya (Sitorus, 2004b).
2.4.1 Klasifikasi Kemampuan Lahan Menurut Sistem USDA (Amerika Serikat) Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan adalah Sistem dari United States Department of Agriculture (USDA). Sistem ini mengenal tiga kategori yaitu kelas, sub-kelas, dan unit, yang didasarkan atas kemampuan lahan tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Sifat-sifat tanah yang digunakan hanyalah sifatsifat fisik atau morfologi tanah dan lahan yang datanya dapat langsung diamati di lapangan, sedangkan untuk sifat kimia itu sendiri tidak dapat digunakan dalam sistem ini karena sifat kimia sangat mudah berubah, sehingga kurang relevan untuk digunakan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
2.4.2 Klasifikasi Kemampuan Lahan Tingkat Kelas Klasifikasi kemampuan lahan tingkat kelas menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Lahan dikelompokkan ke dalam delapan kelas, yaitu kelas I sampai VIII. Tingkatan kelas yang lebih tinggi menunjukkan kualitas lahan yang semakin buruk karena resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah, serta pilihan penggunaan lahan yang dapat diterapkan semakin terbatas. Kelas I sampai IV merupakan lahan yang sesuai untuk pertanian, sedangkan kelas V sampai VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau memerlukan biaya yang besar untuk pengelolaannya. Adapun secara ringkas klasifikasi kemampuan lahan tingkat kelas adalah sebagai berikut (Sitorus, 2004b; Arsyad, 2006):
8
a. Kelas I Lahan kelas I sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian tanpa memerlukan tindakan konservasi yang khusus. Tindakan pemupukan dan usahausaha pemeliharaan tanah yang baik diperlukan untuk menjaga kesuburan dan mempertahankan produktivitas.
b. Kelas II Lahan kelas II mempunyai beberapa penghambat yang dapat mengurangi beberapa pilihan jenis tanaman. Oleh karena itu, diperlukan usaha konservasi yang tingkatnya sedang, seperti pengolahan tanah menurut kontur, pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah atau pupuk hijau, atau guludan, dan tindakan pemupukan seperti pada kelas I.
c. Kelas III Kelas III sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian dengan hambatan yang lebih besar dari kelas II. Tindakan konservasi tanah yang diperlukan kelas ini, meliputi penanaman dalam strip, pembuatan teras, pergiliran dengan tanaman penutup tanah dimana waktu untuk tanaman tersebut lebih lama, serta tindakantindakan untuk memelihara atau meningkatkan kesuburan tanah.
d. Kelas IV Kelas IV memiliki hambatan dan ancaman yang lebih besar dari kelas III, sesuai untuk segala jenis penggunaan pertanian yang memerlukan tindakan seperti konservasi tanah yang lebih berat dan lebih terbatas waktu. Jika digunakan untuk tanaman semusim diperlukan pembuatan teras atau perbaikan drainase atau pergiliran dengan tanaman penutup tanah seperti makanan ternak atau pupuk hijau selama 3-5 tahun.
e. Kelas V Lahan kelas ini memiliki sedikit atau tanpa bahaya erosi, tetapi memiliki penghambat lain yang sukar dihilangkan, sehingga dapat membatasi penggunaan
9
lahan ini. Lahan ini juga sesuai untuk tanaman makanan ternak secara permanen atau dihutankan.
f. Kelas VI Lahan yang termasuk ke dalam kelas ini tidak sesuai untuk usaha pertanian karena memiliki penghambat yang sangat berat. Kelas ini hanya cocok untuk padang rumput atau dihutankan.
g. Kelas VII Kelas VII tidak sesuai sama sekali untuk usaha pertanian, tetapi lebih sesuai untuk ditanami vegetasi permanen. Jika Penggunaan lahan sebagai padang rumput atau hutan maka pengambilan rumput atau penebangan harus dilakukan secara hati-hati.
h. Kelas VIII Lahan kelas ini tidak sesuai untuk usaha produksi pertanian dan harus dibiarkan pada keadaan alami dibawah vegetasi hutan. Lahan ini dapat digunakan untuk cagar alam, daerah rekreasi atau hutan lindung (Arsyad, 2006). Penentuan kelas kemampuan lahan dengan sistem kategori dilakukan dengan cara menguji nilai-nilai dari sifat tanah dan lokasi terhadap semua kriteria untuk masing-masing kategori melalui proses seleksi atau penyaringan. Pertamatama diuji ke dalam kelas yang memiliki kriteria baik dan jika tidak dapat dipenuhi kriterianya maka secara otomatis akan ditetapkan ke dalam kelas yang lebih rendah, yaitu kelas yang memiliki faktor penghambat yang lebih besar dibandingkan kelas di atasnya (Sitorus, 2004b). Adapun kriteria klasifikasi kelas kemampuan lahan disajikan pada Tabel 1.
10
Tabel 1. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan Kelas Kemampuan Lahan No Faktor I II III IV V VI VII VIII Tekstur tanah (t) a. lapisan atas t2-t3 t1-t4 t1-t4 * * * * t5 1 (40 cm) b. lapisan bawah t2-t4 t1-t4 t1-t4 * * * * t5 Lereng 1530- 452 0-3 3-8 8-15 * >65 permukaan (%) 30 45 65 3 Drainase b-ab aj J Sj ** * * * Kedalaman 90504 >90 >90 * <25 * * efektif 50 25 5 Keadaan erosi T R R Sj * B Sb * Kerikil/batuan 15- 506 0-15 0-15 0-15 * * >90 (%volume) 50 90 Oi 7 Banjir Oo Oi Oii Oiii * * * v Keterangan : *) dapat mempunyai sembarang sifat faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah **) permukaan tanah selalu tergenang air Tekstur : t1 = halus; t2 = agak halus; t3 = agak kasar; t4 = kasar; t5 = sedang Erosi : t = tidak ada; r = ringan; s = sedang; b = berat; sb =sangat berat Drainase : b = baik; ab = agak baik; aj = agak jelek; j = jelek;sj = sangat jelek Sumber : Arsyad,(2006). 2.5
Perkembangan Kabupaten Bandung Barat Kabupaten Bandung Barat merupakan kabupaten hasil pemekaran
Kabupaten Bandung pada tahun 2007, berdasarkan UU No 12 Tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat. Kecamatan Ngamprah merupakan Ibu Kota dari Kabupaten Bandung Barat. Kabupaten Bandung Barat merupakan salah satu wilayah yang terdapat dalam kawasan andalan di wilayah Cekungan Bandung. Sebagai salah satu wilayah
yang
terdapat
dalam
kawasan
andalan
Cekungan
Bandung,
perkembangan dan pertumbuhan wilayahnya tidak akan terlepas dari daya dukung wilayahnya sendiri.
2.6
Studi Terdahulu terkait Perubahan Penggunaan Lahan Beberapa studi terdahulu terkait dengan penelitian ini akan diuraikan berikut
ini. Secara umum penelitian terkait konversi lahan telah banyak dilakukan di berbagai lokasi berbeda diantaranya di Kota Tangerang (Kusnitarini, 2006),
11
Babelan (Sari, 2004), Ciampea (Suparman, 2002) dan Kecamatan Lembang Parongpong, 2005) dan Serang (Munibah, 2006).
Satu per satu beberapa
penelitian tersebut akan diuraikan ringkasan hasilnya sebagai bahan perbandingan dengan penelitian ini. Hasil penelitian Kusnitarini (2006), menunjukkan bahwa luas penggunaan lahan di Kota Tangerang banyak mengalami perubahan dalam kurun waktu 1991 sampai 2005, namun perubahan luas area tersebut berbeda-beda antar wilayah. Beberapa wilayah mengalami peningkatan luas penggunaan dan sebaliknya wilayah lain mengalami penurunan pada jenis penggunaan yang sama. Konversi lahan antara kedua tahun tersebut terlihat sangat nyata dimana perubahan tersebut didominasi oleh perubahan penggunaan lahan ke arah penggunaan untuk perkotaan (urban). Pada tahun 2005 di Timur dan Utara Kota Tangerang terlihat masih banyak penggunaan lahan sawah. Wilayah Utara Kota Tangerang merupakan wilayah yang diperuntukan sebagai bandara udara Soekarno-Hatta sehingga berdasarkan RTRW yang ada, wilayah ini dibatasi penggunaannya. Penggunaan lahan yang ada lebih diperuntukan untuk penggunaan lahan yang tidak menggangu aktifitas bandara seperti penggunaan lahan sawah. Wilayah Timur merupakan wilayah dengan pertanian dan irigasi yang baik sehingga wilayah ini dipertahankan untuk penggunaan lahan sawah. Penggunaan lahan secara agregat di Kota Tangerang untuk penggunaan lahan tegalan, sawah, air, dan hutan masih relatif banyak. Pada tahun 2005 penggunaan lahan untuk sawah, tegalan, dan air mengalami penggunaan lahan dari 50%, bahkan perubahan sebesar 100% artinya telah habis terkonversi. Penggunaan lahan untuk perkotaan dari tahun 1999 sampai 2005 telah mengalami peningkatan sebesar 31,5%. Hasil penelitian Sari (2004) tentang land rent di lahan pertanian dan lahan permukiman di Kecamatan Babelan, menunjukan nilai rata-rata land rent pada lahan sawah sebesar Rp. 138,270/m2/tahun, sedangkan nilai land rent pada lahan permukiman pada kondisi semi-permanen sebesar Rp. 148,055/m2/tahun. Salah satu faktor yang menyebabkan nilai land rent lahan pemukiman lebih tinggi
12
daripada lahan sawah adalah jarak dan lokasi lahan sehingga konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian tidak dapat dihindarkan. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Suparman (2002) selama kurun waktu 1992 hingga 2000, di Kecamatan Ciampea, menunjukkan bahwa wilayah tersebut mengalami perubahan lahan sawah cukup besar. Tiap desa memiliki perubahan luas sawah yang berbeda, ada yang bertambah dan ada yang berkurang luasannya. Penambahan dan pengurangan luas sawah memiliki faktor-faktor penyebab yang bervariasi yang masih terkait dengan proses suburbanisasi. Penurunan luas sawah di Kecamatan Ciampea mengalami penurunan rata-rata sebesar 13,2% per tahun. Hal ini berarti selama kurun waktu tersebut, luas sawah di Kecamatan Ciampea menurun karena terjadi kegiatan alih fungsi lahan sawah menjadi penggunaan lainnya yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat di Kecamatan Ciampea. Berikutnya penelitian Ruswandi (2005) menunjukkan konversi lahan pertanian di Kecamatan Lembang dan Parongpong Kabupaten Bandung Barat mengalami peningkatan dalam kurun waktu 10 tahun (1992-2002) sebesar 3.134,49 ha (25%) dengan rata-rata 313,5 ha per tahun. Selama kurun waktu 10 tahun (1992-2002) lahan sawah telah menyusut sebesar 157,63 ha (62,43%), dari 252,48 ha pada tahun 1992 menjadi 94,85 ha tahun 2002. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rosnila (2004) terkait dengan penurunan situ menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1991-2001 penggunaan lahan terlantar di DTA (Daerah Tangkapan Air) Situ Jatijajar mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan sebesar 15,76% per tahun. Rata-rata laju penambahan pemukiman lebih tinggi diantara yang lainnya sebesar 7,66% per tahun dijumpai di DTA Situ Pedongkelan. Hal ini berbeda dengan tegalan dan vegetasi yang mengalami penurunan cukup besar dengan rata-rata laju penurunan luas berturut-turut sebesar -12,71% dan -12,28% per tahun. Demikian juga hal yang sama terjadi pada lahan sawah yang mengalami penurunan sebesar -586% di DTA Situ Pedongkelan. Penelitian Munibah et al. (2006) menyatakan bahwa telah terjadi perubahan penggunaan lahan pada DAS Cidanau yang berlokasi di Provinsi Banten mencakup Kabupaten Serang (Kecamatan Cinangka, Mancak, Pabuaran, Ciomas,
13
Padarincang) dan Kabupaten Pandeglang (Kecamatan Mandalawangi dan Pandeglang). Luas lahan non-pertanian dan tanaman tahunan mengalami penambahan luas pada periode tahun 1982-1994 dan 1994-2006. Penambahan lahan non-pertanian sebesar 0,4% pada tiap periode dan perubahan tersebut paling luas terjadi di sepanjang jalan yang melewati Kecamatan Padarincang dan Ciomas. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dalam penelitian ini adalah elevasi, jarak dari jalan raya, dan kepadatan penduduk.