6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Lahan dan Penggunaan Lahan Konsep lahan memiliki arti yang berbeda untuk setiap orang, tergantung
pada pandangan dan ketertarikan mereka pada suatu waktu. Konsep lahan yang paling banyak diterima adalah bagian padat dari permukaan bumi, dan secara lebih luas lagi konsep lahan meliputi semua permukaan bumi termasuk air dan es sebagaimana tanah yang terdapat pada permukaan bumi (Barlowe, 1986). Lebih lanjut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyatakan bahwa lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk didalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan, dan akibatakibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam. Faktor-faktor sosial dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini. Terdapat 2 (dua) jenis penggunaan lahan yaitu pengunaan lahan secara umum (major kind of land use) dan penggunaan lahan secara terperinci (tipe penggunaan lahan atau land utilization type). Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, kehutanan atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara terperinci adalah tipe penggunaan lahan yang dirinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan penting untuk berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan permukaan bumi. Istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis penampakan yang ada di permukaan bumi sedangkan istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Dengan demikian, pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan menjadi hal yang penting untuk perencanaan lahan dan kegiatan pengelolaan tanah (Lillesand dan Kiefer, 1990). Penggunaan lahan (land use) dari suatu lokasi dipengaruhi dari land rent tertinggi dari lokasi tersebut. Konsep land rent dilahirkan oleh Von Thunen
7
dimana land rent merupakan sewa ekonomi tanah yang ditentukan oleh biaya angkut produk. Dalam mekanisme pasar, kegiatan yang mempunyai nilai land rent yang lebih tinggi menggeser kegiatan dengan nilai land rent yang lebih rendah dikarenakan land rent yang lebih tinggi mempunyai posisi tawar lebih tinggi pula sehingga terbentuk land rent gradient. Dalam penggunaan lahan, land rent gradient akan mempengaruhi dinamika penggunaannya. Aktivitas industri mempunyai nilai land rent paling besar disusul perdagangan, pemukiman, pertanian internal, pertanian eksternal dan kehutanan (Rustiadi et al., 2009). Konsep lain yang terkait dengan konsep land rent adalah konsep kapasitas penggunaan lahan (land use-capacity) yang mengukur potensi produktif setiap unit lahan yang digunakan untuk penggunaan tertentu pada waktu tertentu dengan kondisi teknologi dan produksi tertentu. Land use-capacity meliputi kemampuan relatif pada unit sumberdaya lahan tertentu untuk memproduksi surplus hasil dan atau tingkat kepuasan di atas biaya dari penggunaan lahan yang memiliki 2 (dua) komponen utama yaitu aksesibilitas dan kualitas sumberdaya. Aksesibilitas meliputi kenyamanan, waktu, dan penghematan biaya transportasi terkait dengan lokasi spesifik yang berkaitan dengan pasar, fasilitas pengiriman, dan sumberdaya lainnya, dengan kata lain terkait dengan optimasi biaya transportasi dan komunikasi serta pertimbangan jarak dan waktu. Kualitas sumberdaya meliputi kemampuan relatif lahan untuk menghasilkan produk yang diinginkan, keuntungan atau kepuasan dapat berupa kesuburan alami atau kemampuan untuk merespon input pupuk, iklim dan unsur estetika. Konsep Land use-capacity digunakan dalam ekonomi lahan untuk membedakan kemampuan komparatif dari setiap unit sumberdaya lahan untuk menyediakan keuntungan bersih dan kepuasan lain. Secara keseluruhan, konsep ini meliputi semua faktor yang mempengaruhi kemampuan sumberdaya lahan untuk memproduksi keuntungan bersih apabila dibandingkan dengan unit lahan yang lain. Kerusakan kota atau habisnya sebuah tambang dapat menurunkan land use-capacity sedangkan program pembangunan dapat meningkatkan land usecapacity. Mengubah peluang dan pergeseran ke penggunaan yang baru seperti perubahan dari lahan pertanian ke permukiman memiliki dampak terhadap kapasitas penggunaan relatif dari tanah milik perorangan. Suatu sumberdaya lahan
8
dapat digunakan untuk beragam penggunaan dimana alokasi penggunaannya didasarkan pada konsep highest and best use yang terdiri dari economic highest and best use serta social highest and best use sehingga dapat memberikan hasil yang optimum kepada pengguna atau masyarakat. Economic highest and best use terkait dengan beragam penggunaan dalam dunia komersial sedangkan social highest and best use terkait dengan beragam aspirasi, tujuan, dan penilaian dari individu atau kelompok berbeda (Barlowe, 1986).
2.2.
Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Menyebabkan Perubahan Penggunaan Lahan Salah satu sifat intrinsik yang melekat pada sumberdaya lahan yaitu
struktur kelangkaannya yang terdiri dari dua bentuk yaitu kelangkaan mutlak dan kelangkaan relatif. Kelangkaan mutlak disebabkan sifat persediaan lahan yang tetap sedangkan kelangkaan relatif disebabkan adanya distribusi lahan yang tidak merata. Sifat persediaan lahan yang tetap (fixed) itulah yang dapat menimbulkan persaingan dalam penggunaannya (Rustiadi dan Wafda, 2007). Selain itu, Budiyanto
(2011)
menyatakan
bahwa
fenomena
dikorbankannya
suatu
pemanfaatan lahan untuk pemanfaatan lainnya ditimbulkan oleh sifat lahan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan dimana pola pemanfaatannya dapat berubah sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan kebudayaan manusia. Proses alih fungsi lahan pada dasarnya suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang, yang tercermin dari (1) pertumbuhan aktivitas pemanfaaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap penggunaan lahan sebagai dampak peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita dan (2) adanya pergeseran kontribusi sektorsektor pembangunan dari sektor-sektor primer (khususnya sektor pertanian dan pengolahan sumber daya alam) ke aktivitas sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa) (Rustiadi dan Wafda, 2007). Perubahan penggunaan lahan juga dapat diakibatkan oleh perubahan kualitas sumberdaya lahan, perubahan teknologi dan perubahan dari permintaan lahan (Barlowe, 1986). Alih fungsi lahan juga merupakan bentuk dan konsekuensi logis dari perkembangan potensial land rent di suatu lokasi yang mengarah pada
9
penggunaan lahan dengan land rent tertinggi. Namun konversi atau pergeseran penggunaan lahan berlangsung searah dan bersifat tidak dapat balik (irreversible). Sebagai contoh lahan sawah yang sudah terkonversi menjadi pemukiman hampir tidak mungkin kembali menjadi sawah kembali (Rustiadi et al., 2009). Selanjutnya Rustiadi dan Wafda (2007) menyatakan bahwa nilai land rent untuk penggunaan pertanian adalah 1 : 500 terhadap penggunaan lahan untuk sektor industri, 1 : 622 terhadap penggunaan lahan untuk perumahan, dan 1 : 14 terhadap penggunaan lahan untuk pariwisata sehingga konversi lahan pertanian ke bentuk lain tidak dapat dihindarkan. Kota merupakan sistem kompleks yang dibentuk oleh manusia yang dicirikan 2 (dua) karakteristik utama yaitu sifat dinamik dan pertumbuhan (Barredo et al., 2003) sehingga perubahan termasuk perubahan penggunaan lahan merupakan hal yang sangat wajar. Hal ini terkait pula dengan hukum Geografi pertama Tobler menyatakan makna utama dari dinamika perkotaan yaitu “Segala sesuatu terkait dengan segala sesuatu yang lain, namun hal-hal yang lebih berdekatan lebih terkait dibandingkan dengan hal-hal yang lebih jauh”. Menurut Barredo et al. (2003), terdapat 5 (lima) faktor yang mempengaruhi alokasi penggunaan lahan yaitu (1) karakteristik lingkungan; (2) karakteristik tetangga pada skala lokal; (3) karakteristik ruang perkotaan (contohnya aksesibilitas); (4) kebijakan perencanaan perkotaan dan regional; dan (5) faktor yang terkait dengan preferensi individual, tingkat perkembangan ekonomi, sosial ekonomi dan sistem politik. Salah satu metode untuk deteksi perubahan tutupan maupun penggunaan lahan adalah dengan menggunakan data penginderaan jauh (Abd. El-Kawy et al., 2011) dimana data tutupan lahan/penggunaan lahan yang kontinyu dan tepat menjadi kriteria masukan yang utama bagi program pembangunan berkelanjutan. Rekomendasi kebijakan bagi pengelolaan penutupan/penggunaan lahan yang lebih baik dibuat berdasarkan hasil indentifikasi penyebab perubahan. Terdapat beberapa metode analisis faktor penyebab perubahan penggunaan lahan diantaranya adalah model logit baik binomial maupun multinomial yang digunakan oleh Carolita (2005) dalam analisis perubahan penggunaan lahan di Jabotabek, Andriyani (2007) dalam analisis perubahan penggunaan lahan di
10
Kabupaten Serang, Muiz (2009) dalam analisis perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi dan Gunadi (2011) dalam analisis perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Ciamis. Variabel respon pada regresi logistik bersifat kategorikal sedangkan variabel bebas dapat berupa variabel kategorik maupun interval. Untuk variabel bebas berupa variabel mengelompokkan dapat digunakan analisis Hayashi Kuantitatif Tipe II (Saefulhakim, 2006). Metode kuantifikasi ini dikembangkan dan diteliti untuk analisis data kualitatif. Pada kuantifikasi tipe II, perhatian utamanya adalah menganalisis hubungan antara variabel respon dengan variabel tujuan serta untuk mendiskriminankan kategori variabel penjelas. Penggunaan metode Hayashi Tipe II antara lain untuk mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi petani dalam memilih komoditas yang akan dibudidayakan di lahan usahanya di Kabupaten Bantul (Sitorus et al, 2006) serta kajian pengaruh permukaan lahan terhadap terjadinya badai debu di Mongolia, China ( Li et al., 2005). Dari penelitian yang dilakukan Munibah di DAS Cidanau (2008), faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian adalah bentuk lahan, kemiringan lereng, jenis tanah dan jarak dari jalan raya sedangkan faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi pemukiman adalah elevasi, jarak dari jalan raya, dan kepadatan penduduk. Adapun faktor jarak dari jalan raya merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kedua tipe perubahan tersebut. Hasil penelitian Muiz (2008) menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi disebabkan oleh kerapatan jalan, pemekaran kecamatan, elevasi, jenis tanah, kemiringan lereng, dan perubahan hirarki kecamatan. Kelembagaan juga diindikasikan menjadi salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam alih guna lahan. Pada penelitian mengenai konversi lahan di sekitar jalur tol Cikampek, Trisasongko et al. (2009) menyatakan bahwa dengan adanya keputusan pengembangan kawasan tertentu, petani menjual lahan pertanian mereka dimana lahan pertanian tersebut akan dijadikan pemukiman maupun pembangunan industri.
11
2.3.
Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi lahan merupakan proses komprehensif yang membutuhkan
informasi lingkungan yang luas dan dikembangkan dari klasifikasi awal berdasarkan sifat fisiknya dan dilakukan dengan merangking lahan dalam kategori yang mencerminkan pembatas yang bertambah terhadap penggunaan (Rustiadi et al., 2009). Selain itu, evaluasi lahan merupakan proses penilaian suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007) yang menghasilkan klasifikasi kemampuan dan kesesuaian lahan (Rustiadi et al., 2009).
Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam
proses perencanaan penggunaan lahan (landuse planning) dimana hasilnya memberi
alternatif
penggunaan
lahan
dan
batas-batas
kemungkinan
penggunaannya serta tindakan-tindakan pengelolaan yang diperlukan agar lahan dapat digunakan secara lestari. Klasifikasi kemampuan lahan merupakan salah satu bentuk evaluasi lahan (Arsyad, 2010). Inti evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Klasifikasi kesesuaian lahan atau kemampuan lahan adalah pengelompokkan lahan berdasarkan kesesuaiannya atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Kemampuan lahan adalah kemampuan suatu lahan untuk
tujuan penggunaan secara umum. Beberapa ahli mengartikan
kemampuan (capability) lahan sebagai kapasitas suatu lahan untuk berproduksi tanpa menimbulkan kerusakan dalan jangka waktu panjang. Kemampuan lahan juga diartikan sebagai klasifikasi lahan yang didasarkan pada faktor-faktor penghambat yang merusakkan. Sedangkan kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian dan kehutanan di berbagai Negara pada dasarnya mengacu pada Klasifikasi Kemampuan Lahan USDA atau Klasifikasi Kemampuan Lahan FAO. Klasifikasi Kemampuan Lahan USDA sangat praktis untuk digunakan di Indonesia karena sangat sederhana, hanya
12
memerlukan data tentang sifat-sifat fisik/morfologi tanah dan lahan yang dapat diamati di lapang tanpa memerlukan data tentang sifat-sifat kimia tanah yang harus dianalisis di laboratorium. Sistem USDA mengenal 3 kategori yaitu kelas, sub-kelas, dan unit berdasarkan kemampuan lahan tersebut untuk memproduksi pertanian secara umum, tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Sifat kimia tanah tidak digunakan sebagai pembeda karena sifat kimia tanah sangat mudah berubah sehingga kurang relevan untuk digunakan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam Kelas I sampai Kelas VIII, dimana semakin tinggi kelas (kelas VIII), kualitas lahan semakin rendah dan resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan yang dapat diterapkan semakin terbatas (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2009). Rustiadi et al., (2009) menyatakan bahwa lahan dengan kemampuan paling tinggi memungkinkan penggunaan yang intensif dari tujuan yang sangat luas. Arsyad (2010) memodifikasi sistem USDA dan mengemukakan cara yang dapat diterapkan di Indonesia dimana karakteristik lahan pencirinya adalah faktor-faktor penghambat yang bersifat permanen atau sulit diubah seperti tekstur tanah, lereng permukaan, drainase, kedalaman efektif tanah, tingkat erosi yang terjadi, liat masam, batuan di permukaan tanah, ancaman banjir atau genangan air yang tetap dan iklim. Hasil dari evaluasi kemampuan lahan dapat digunakan untuk revisi alokasi pemanfaatan ruang saat ini yang dilakukan dengan membandingkan penggunaan lahan saat ini dengan hasil analisa kemampuan lahan. Rekomendasi diberikan pada lahan yang penggunaannya tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan tersebut yang dapat berupa perubahan penggunaan lahan atau penerapan teknologi sesuai syarat yang diperlukan dalam penggunaan lahan tersebut agar lahan dapat dipergunakan secara berkelanjutan (Permen LH Nomor 17 Tahun 2009).
2.4.
Integrasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
13
dengn suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer, 1990).
Sedangkan Sistem Informasi Geografis
mencakup pengertian sebagai suatu sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan, dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional (Barus dan Wiradisastra, 2000). Kedua teknologi ini bersifat komplementer, dimana penginderaan jauh dapat merekam data/informasi permukaan bumi lebih cepat dan baru, yang manfaatnya dapat lebih ditingkatkan dalam SIG. Dalam hal ini kemampuan SIG memadukan data dijital penginderaan jauh dengan data lain berupa peta maupun data tabular lainnya setelah dikonversi ke data dijital. Beberapa topik yang menonjol tentang gabungan data inderaja dengan SIG antara lain dalam studi data multitemporal yang memerlukan penggabungan data dijital dengan data analog atau data tabular. Citra satelit sebagai data penginderaan jauh merupakan informasi yang memberikan gambaran mengenai tutupan (coverage) wilayah secara luas, cepat, konsisten dan terkini (up to date) sehingga dapat digunakan dalam evaluasi pemanfaatan ruang aktual (existing land use and land cover) untuk menggambarkan kondisi fisik wilayah secara aktual (Rustiadi et al., 2009) serta menunjang studi perubahan wilayah perkotaan serta arah perubahannya (Wentz et al., 2006). Menurut Treitz and Rogan (2004) penggunaan lahan adalah sebuah konsep yang abstrak, merupakan campuran dari faktor sosial, budaya, ekonomi dan kebijakan serta memiliki hubungan terbatas dengan penginderaan jauh. Data penginderaan jauh merekam sifat spektral permukaan bahan, sehingga lebih erat terkait dengan tutupan lahan. Seringkali, data klasifikasi penginderaan jauh, terutama untuk deteksi perubahan dalam konteks monitoring, digunakan dalam GIS. Analisis terpadu dalam kerangka basis data spasial sering diperlukan untuk menetapkan penutupan lahan untuk menjadi penggunaan lahan yang sesuai. Hasil analisis citra satelit dan SIG akan memberikan beragam informasi spasial seperti sebaran sumberdaya hutan, kawasan terbangun (built up area), perairan umum, kondisi pencemaran, kawasan kritis, dan sebagainya. Berdasarkan hasil evaluasi, maka dapat dilakukan berbagai analisis untuk perencanaan wilayah dan analisis kebijakan pembangunan (Rustiadi et al., 2009). Hal ini senada dengan
14
yang dikemukakan Treitz and Rogan (2004) bahwa terjadi peningkatan kebutuhan data penginderaan jauh dan teknik analisis yang terkait dengan deteksi dan monitoring perubahan terutama dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya serta
digunakan
dalam
perumusan
kebijakan,
mengkaji
pola
penutupan/penggunaan lahan dan kecenderungannya antar waktu. Di Indonesia sendiri, data penginderaan jauh yang disertai dengan analisis spasial dalam sains informasi geografi menjadi tumpuan utama dalam analisis perubahan penggunaan lahan dikarenakan kurang baiknya ketersediaan informasi riwayat penggunaan lahan (Trisasongko et al., 2009).
2.5.
Penataan Ruang Barlowe (1986) mengemukakan salah satu sudut pandang penting
mengenai lahan sebagai ruang. Dalam sudut pandang ini lahan diandaikan sebagai ruang (kamar/room) dan permukaan tempat hidup, yang memiliki jumlah yang tetap dan tidak dapat dirusak. Lahan diandaikan seperti ruang kubus yang meliputi ruang di bawah permukaan dimana mineral ditemukan, ruang tempat kehidupan manusia sehari-hari (permukaan), dan ruang diatasnya (udara). Lebih lanjut Rustiadi et al. (2009) mengemukakan bahwa istilah “ruang” lebih dilihat sebagai tempat kehidupan, dengan demikian pengertian ruang tidak lain adalah biosphere yang terdiri atas sebagian dari geosphere (permukaan kulit bumi hingga kedalaman kira-kira 3 m dalam tanah dan 200 m di bawah muka laut) dan sebagian atas atmosphere (hingga kira-kira 30 m di atas permukaan tanah). Konsep ruang kehidupan (biosphere) ini belakangan diubah (disesuaikan) batasnya menjadi ruang yang didasarkan pada kemampuan teknologi manusia dalam mengakses dan memanfaatkan sumberdaya yang ada di alam sehingga menjangkau ruang yang jauh melebihi batasan-batasan alamiah sebelumnya. Hal ini sejalan dengan pengertian ruang sebagaimana yang dimaksud dalam Undangundang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dimana dalam pasal 1 disebutkan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
15
Secara alamiah, hukum alam telah menyebabkan terdistribusinya segala sumberdaya alam dengan suatu keteraturan dinamis yang berpola dan terstruktur secara spasial maupun waktu. Aktivitas manusia sebagai mahluk yang memanfaatkan sumberdaya alam juga memiliki kecenderungan-kecenderungan yang berpola dan terstruktur secara spasial. Secara keseluruhan, berbagai konfigurasi spasial tersebut yang membentuk keseimbangan pola dan struktur ruang disebut sebagai tata ruang. Istilah pola pemanfaatan ruang dicerminkan dengan gambaran pencampuran atau keterkaitan spasial antar sumberdaya dan pemanfaatannya sedangkan struktur pemanfaatan ruang dicerminkan dengan gambaran mengenai hubungan (linkages) antara aspek-aspek aktivitas-aktivitas pemanfaatan ruang (Rustiadi et.al, 2009). Ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan air. Ruang merupakan bagian dari alam yang dapat pula menimbulkan suatu pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengembangannya (Rustiadi et al., 2009). Beberapa perencanaan penting perlu memasukkan unsur sumberdaya lahan karena kesejahteraan setiap orang dalam masyarakat bergantung pada bagaimana kita menggunakan basis sumberdaya lahan (Barlowe, 1986). Oleh karena itu, urgensi atas penataan ruang timbul sebagai akibat dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya intervensi publik terhadap kegagalan mekanisme pasar dalam menciptakan pola dan struktur ruang yang sesuai dengan tujuan bersama (Rustiadi et. al , 2009). Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam pasal 17 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang. Dimana rencana struktur ruang meliputi rencana sistem pusat pemukiman dan rencana sistem jaringan prasarana sedangkan rencana pola ruang meliputi peruntukkan kawasan lindung dan kawasan budidaya sehingga penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antar wilayah, antar fungsi kawasan, dan antar kegiatan kawasan. Namun demikian, aspek pengendalian dalam sistem penataan ruang di Indonesia memiliki kelemahan karena regulasi dan instrumen yang mengatur serta
16
mengorganisasikan aspek tersebut sangat miskin dan lemah (Rustiadi dan Wafda, 2007). Hal tersebut menyebabkan produk perencanaan seperti Rencana Tata Ruang Wilayah menjadi dokumen perencanaan yang tidak menjadi acuan yang kuat dan tidak terimplementasi dengan baik. Selain itu, terdapat beberapa bias dalam penataan ruang sebagai berikut : (1) Administration Bias, yaitu rencana tata ruang disusun terkotak-kotak dalam batas wilayah administratif sehingga mempersulit pengelolaan sumberdaya alam yang melintasi batas administrasi seperti Daerah Aliran Sungai; (2) Urban Bias, dalam pengertian lebih berpihak dan mementingkan perkotaan; (3) Terestrial Bias, yaitu makna NKRI sebagai negara kepulauan tidak tercermin dalam ketentuan perundangan maupun di dalam sistem penataan ruang secara keseluruhan; (4) Government Bias, penataan ruang diidentikkan dengan domain otoritas pemerintah; dan (5) Planning bias, yaitu kuatnya pandangan bahwa unsur perencanaan tata ruang lebih kuat dibandingkan unsur lainnya yakni unsur implementasi (pemanfaatan) dan unsur pengendalian.