II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan dan Penggunaan Lahan Tanah dan lahan merupakan dua istilah yang berbeda. Tanah diartikan sebagai suatu benda alami heterogen yang terdiri atas komponen-komponen padat, cair dan gas, yang mempunyai sifat dan perilaku yang dinamik. Adapun istilah lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang (Sitorus, 2003). Sedangkan Lichfied dan Darin-Drabkin (1980) dalam Saefulhakim (1994), menyatakan bahwa dari segi geografi fisik, lahan didefinisikan sebagai terra firma yang merupakan tempat pemukiman dan ditntukan oleh kualitas fisiknya. Karena setiap bidang lahan adalah : (1) lokasi tetap, (2) tidak dapat dipindahkan, (3) tidak bertambah atau berkurang (kecuali reklamasi), dimana tanah yang hilang karena tererosi tidak dapat digantikan sehingga kebijaksanaan lahan harus berorientasi pada konservasi. Dari pengertian ekonomi, lahan merupakan sumberdaya yang tidak hanya sebagai terra firma, namun juga kandungan mineral, air disekitarnya, flora dan fauna yang yang hidup diatasnya, cahaya, udara dan lain-lain. Pengertian ini lebih luas dari pengertian geografi fisik diatasnya (Lichfied dan Darin-Drabkin, 1980) dalam (Saefulhakim, 1994). Dalam literatur ekonomi, lahan dipandang sebagai suatu sumberdaya, yaitu sumberdaya lahan (Barlowe, 1978) dalam (Saefulhakim, 1994). Dalam pengertian ini, lahan dipandang sebagai komoditas yang dapat menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi sehingga memiliki biaya, nilai dan harga. Lahan memiliki pengertian yang lebih luas dari tanah, walaupun dalam banyak hal kata tanah sering digunakan dalam makna yang setara. Lahan merupakan matrik dasar kehidupan manusia dan pembangunan (Saefulhakim, 1997), karena hampir semua aspek dari kehidupan manusia dan pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan permasalahan lahan (Saefulhakim dan Nasoetion, 1999a).
11
Mengingat fungsi lahan yang demikian penting, maka manusia harus membangun hubungan yang saling menguntungkan antara manusia dan lahan, sehingga lahan dapat digunakan dengan sebaik-baiknya. Agar tercapai hubungan tersebut, harus dilakukan berbagai upaya agar penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya (Hardjowigeno, 1983). Menurut Sitorus (1996) penggunaan lahan (land use) merupakan setiap bentuk campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan merupakan proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus sebagai hasil perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu, sehingga masalah yang berkaitan dengan lahan merupakan masalah yang kompleks (Saefulhakim dan Nasoetion, 1995b). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar yaitu : (1) penggunaan lahan pertanian; dan (2) penggunaan lahan bukan pertanian. Untuk keberhasilan penggunaan dan pemanfaatan lahan diperlukan perencanaan pengembangan sumberdaya lahan dengan baik. Menurut Soil Survey Staff dalam Adiningsih (1996), perencanaan penggunaan lahan pada dasarnya adalah inventarisasi dan penilaian keadaan (status), potensi dan pembataspembatas dari suatu daerah setempat atau dengan orang-orang yang menaruh perhatian terhadap daerah tersebut, terutama dalam menentukan kebutuhan mereka serta aspirasi dan keinginan pada masa mendatang. Menurut Hardjowigeno
dan
Widiatmaka
(2001),
perencanaan
penggunaan
lahan
merupakan rencana pemanfaatan lahan di suatu daerah agar lahan dapat digunakan secara optimal, yaitu memberikan hasil yang tertinggi dan tidak merusak lahan dan lingkungan. Tabel 1 menunjukkan luas lahan yang terdapat di empat Propinsi di Kalimantan menurut penggunaannya. Perencanaan penggunaan lahan memberikan petunjuk atau pengarahan dalam proses pengambilan keputusan untuk penggunaan lahan sehingga lebih efisien dan menguntungkan bagi manusia dan penggunaan masa yang akan datang (Jones dan Davies dalam Sitorus 1989). Oleh sebab itu, perencanan penggunaan lahan bertujuan untuk : (1) mencegah penggunaan lahan yang salah tempat dalam mengupayakan terciptanya penggunaan lahan yang optimal, (2) mencegah adanya
12
salah urus yang menyebabkan lahan rusak dalam mengupayakan penggunaan lahan yang berkesinambungan, (3) mencegah adanya tuna kendali dalam mengupayakan penggunaan lahan yang senantiasa diserasikan oleh adanya kendali, (4) menyediakan lahan untuk keperluan pembangunan yang terus meningkat, dan (5) memanfaatkan lahan sebesar-besarnya untuk kemakmuran manusia (Sandi 1984; Silalahi, 1985 dalam Sitorus, 1989).
Tabel 1 : Luas Penggunaan Lahan di Kalimantan Kalimantan No. 1
Jenis Penggunaan
Barat (ha) 251.388
Tengah (ha) 194.246
Selatan (ha) 165.675
Timur (ha) 186.743
427.632
150.400
217.405
137.419
258.987
248.739
153.225
147.492
23229
128.720
246.128
30.737
217.672
588.530
201.023
820.123
4.056
3.682
8.423
38.670
18.263
3.560
2.905
11.468
2
Pekarangan (Lahan untuk bangunan dan halaman) Lahan tegal/kebun
3
Lahan ladang/huma
4
Lahan pengembalaan/padang rumput
5
Rawa-rawa (yang tidak ditanami)
6
Tambak
7
Kolam/tebat/empang
8
Lahan sementara tidak ditanami
1.803.154
1.518.680
784.703
1.292.376
9
Lahan kayu-kayuan/hutan rakyat
1.432996
327.231
247.603
758.814
10
Perkebunan
1.743.188
975.934
480.044
585.000
11
Sawah
374.711
247.502
307.492
542.00
12
Hutan Negara
7.411.103
878.100
960.503
770.973
Sumber : Badan Pusat Statistik (2000)
Makin tinggi tingkat kegiatan manusia, makin tinggi pula kebutuhan manusia akan lahan, baik dalam arti peningkatan luas penggunaan lahan maupun dalam jenis dan intensitas penggunaannya. Jenis-jenis penggunaan lahan di luar perkotaan secara umum dapat dibagi atas : (1) hutan, meliputi hutan lebat, hutan satu jenis dan hutan belukar; (2) perkebunan; (3) kebun, terdiri dari kebun campuran dan kebun sayur; (4) tegalan dan ladang; (5) sawah satu kali setahun; (6) sawah dua kali setahun; dan (7) perkampungan, termasuk kampung, kuburan dan lainnya.
13
Dalam menentukan perencanaan penggunaan lahan haruslah disesuaikan atau tergantung dari kemampuan sumberdaya lahan itu sendiri untuk dapat diusahakan bagi suatu penggunaan tertentu. Untuk mendukung suatu kegiatan usahatani haruslah diketahui potensi dari sumberdaya lahan itu sendiri serta tindakan-tindakan konservasi yang diperlukan agar memberikan hasil yang baik secara berkesinambungan. Fungsi utama dari perencaanaan penggunaan lahan adalah untuk memberikan petunjuk atau pengarahan dalam proses pengambilan keputusan tentang penggunaan lahan sehingga sumberdaya lahan dan lingkungan tersebut ditempatkan pada penggunaan yang paling menguntungkan/efisien bagi manusia, dan dalam waktu yang bersamaan juga mengkoservasikannya untuk penggunaan pada masa yang akan dating (Dent, 1978; Jones dan Davies, 1983 dalam Sitorus, 1989). Tabel 2 menunjukkan bahwa berdasarkan luasnya, lahan kering yang tersedia di Kalimantan Barat sangat potensial untuk pengembangan pertanian baik pertanian tanaman, perkebunan dan hortikultura dengan mempertimbangkan karakteristik tanah dan agroklimatnya dalam pemilihan komoditas yang akan dikembangkan. Maka dari itu perlunya suatu perencanaan penggunaan lahan yang tepat dan memberikan hasil yang optimal tanapa merusak lahan. Tabel 2. Luas Lahan Sawah dan Lahan Kering di Propinsi Kalimantan Barat Lahan Lahan Sawah Kering Jumlah (ha) (ha) (ha) 1 Sambas 93.443 1.092.212 1.229.600 2 Pontianak 98.361 1.383.745 1.187.120 3 Sanggau 50.402 1.734.296 1.830.200 4 Ketapang 77.125 3.281.809 3.580.900 5 Sintang 29.664 3.159.624 3.227.900 6 Kapuas Hulu 25.630 2.928.289 2.984.200 7 Kota Pontianak 86 10.693 10.700 Jumlah 374.711 13.560.668 13.965.379 Sumber : Potensi Investasi Subsektor Tanaman Pangan dan Hortikultur di Kalimantan Barat, Disperta Propinsi Kalimantan Barat (2000). No.
Pada
Kabupaten dan Kota di Kalimantan Barat
tingkat
usahatani,
perencanaan
penggunaan
lahan
akan
mengemukakan kemungkinan yang paling sesuai dari bentuk pertanian dan pola tanam yang cocok, ditinjau dari keadaan lahan dan keberadaan petani itu sendiri. Sebagai langkah terakhir adalah merencanakan system pertanian yang paling
14
sesuai dengan keadaan lahan di dalam kerangka pembatas ekonomi pemakai lahan atau petani. Hal ni mencakup tata ruang seperti penentuan letak lahan pertanian, padang rumput, jalan, penyediaan air, saluran drainase, dan sebagainya. 2.2. Usahatani Lahan Kering Usahatani yang harus dikembangkan pada suatu daerah harus diarahkan pada pola usahatani terpadu yang dapat meningkatkan produksi, pendapatan, kesempatan kerja dan sekaligus mempertahankan produktivitas lahan dan menstabilkan kelestarian lingkungannya. Dalam meningkatkan produktivitas usahataninya bukan saja ditujukan untuk menghasilkan komoditas pangan bagi keluarganya, tetapi juga dapat menghasilkan surplus secara menyeluruh di daerah pertanian yang dikembangkan, sehingga usahataninya bukan lagi usahatani subsisten tetapi usahatani komersial yang menetap (Suryatna et al., 1982). Soewardi (1977) menjelaskan bahwa suatu usahatani adalah bentuk pemanfaatan sumberdaya dengan tujuan ganda dan berimbang. Seleksi jenis tanaman didasarkan pada suatu pemenuhan keseluruhan tujuan dengan memperhatikan skala prioritas. Usahatani tersebut merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdiri dari hamaparan-hamparan usahatani yang saling terkait dan berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan, yaitu keuntungan yang maksimal, sesuai dengan jumlah sumberdaya yang tersedia dan kemampuan petani dalam mengelolanya. Jones dan Egli (1984) mengemukakan bahwa usahatani yang baik untuk dikembangkan di suatu daerah harus merupakan usahatani yang memberikan keuntungan yang tinggi, sesuai dengan sumberdaya yang tersedia dan kemampuan petani dalam mengelolanya. Dengan demikian usahatani yang dilaksanakan tersebut harus sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang tersedia. Agar dalam usahanya memperoleh keuntungan maksimal atau merupakan pola usahatani yang optimal, maka harus merupakan suatu sistem yang berinteraksi, baik antar komponen usahanya maupun dengan keadaan sosial-ekonomi petani dan lingkungannya. Apabila pola usahatani ini berjalan demikian, maka diharapkan dapat memberikan keuntungan maksimal secara berkesinambungan dalam jangka panjang, sehingga merupakan pola usahatani yang mantap dan menetap.
15
Menurut Sudaryono (1997), model usahatani pilihan di lahan kering harus memenuhi asas kemantapan dan ketepatan pemanfaatan lahan menurut matra (dimensi) ruang dan waktu serta terjaminnya kelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan. Pilihan usahjatani harus bersifat rasional untuk memperbesar peluang keberhasilan sistem produksi yang berkelanjutan. Model usahatani yang dipakai di lahan kering pada dasarnya adalah penerapan asas diversifikasi. Upaya rehabilitasi yang banyak dilakukan di lahan kering antara lain perbaikan kualitas tanah, perbaikan pola tanam, dan pengendalian erosi tanah. Sejauh ini usaha tersebut belum banyak dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya produksi beberapa komoditas tanaman pangan yang ada di Kalimantan Barat, seperti tertera pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3. Rataan Produksi Panen Padi dan Palawija di Kalimantan Barat dari Tahun 1996 sampai dengan Tahun 2000. No.
Jenis Tanaman
1996
1 Padi 838.563 2 Jagung 37.307 3 Kacang Tanah 2.235 4 Kedelai 7.115 Sumber : Badan Pusat Statistik (2000)
1997 829.106 40.984 2.087 5.629
Tahun (Ton/ ha) 1998 1999 827.499 32.614 1.586 4.065
969.658 37.848 1.642 5.236
2000 876.618 30.458 1.631 2.140
Tabel 4. Luas Tanam dan Rataan Produksi Padi dan Palawija setahun terakhir di Kabupaten Pontianak. Luas Tanam (ha) 1 Padi 40.165,2 2 Jagung 2.918,0 3 Kedelai 550,4 4 Ubi Kayu 1.637,9 5 Ubi Jalar 680,8 6 Kacang Tanah 567,7 Sumber : Badan Pusat Statistik (2000) No.
Jenis Tanaman
Produksi (Ton) 57.939,3 5.803,2 134,2 17.591,2 835,0 184,2
Sebenarnya bila lahan kering diolah secara intensif akan menghasilkan produksi yang tidak kalah dengan produktivitas lahan yang beririgasi. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Suryatna et al. (1983) di Banjarjaya, Lampung yang menunjukkan bahwa pola pertanaman introduksi padi gogo, jagung, ketela pohon dan kacang tanah dapat memberikan pangan dan kalori yang cukup bagi petani
16
transmigran. Hasil kalori dan protein dari pertanaman tersebut, sebanding dengan produksi dua kali padi sawah yang baik di Jawa, dengan pemberian pupuk yang sama. Tujuan pengelolaan usahatani pada dasarnya adalah memilih berbagai alternatif penggunaan sumberdaya yang tersedia meliputi lahan, tenaga kerja, modal, waktu dan pengelolaan, dengan maksud mencapai tujuan yang sebaikbaiknya dalam lingkungan yang penuh resiko dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan usahataninya. Apabila pola usahatani ini berjalan demikian, maka diharapkan dapat memberikan keuntungan maksimal secara berkesinambungan dalam jangka panjang, sehingga merupakan pola usahatani yang mantap dan menetap.
2.3. Usahatani Berkelanjutan Ciri utama yang menonjol di lahan kering adalah terbatasnya air, makin menurunnya produktivitas lahan dan tingginya keragaman atau variabilitas: kesuburan tanah, macam spesies tanaman yang ditanam, serta aspek sosial, ekonomi dan budaya. Pendekatan sistem usahatani yang berkelanjutan adalah merupakan pendekatan yang paling sesuai untuk pengembangan lahan kering. Pada pendekatan ini keberlanjutan aspek biofisik, budaya, social-ekonomi diberi prioritas utama secara komprehensif berdasarkan keterpaduan antar disiplin ilmu secara holistik. Kata keberlanjutan sekarang ini digunakan secara meluas dalam lingkup program pembangunan. Keberlanjutan dapat diartikan menjaga agar suatu upaya terus berlangsung, kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot. Berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam (Technical Advisory Committe of the CGIAR, dalam Reijntjes et al. 1999). Menurut Amien (1999), keberlanjutan juga dapat diartikan sebagai menjaga agar suatu upaya terus berlangsung, kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot. Dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada dasarnya
berarti
kemampuan
mempertahankan basis sumberdaya.
untuk
tetap
produktif
sekaligus
tetap
17
Reijntjes et al. (1999) mengemukakan bahwa pertanian bisa dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup beberapa hal antara lain: 1) Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Kedua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologi. Sumberdaya local digunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa, dan energi bisa ditekan serendah mungkin agar tercapai efisiensi pemakaian input serta mampu mencegah pencemaran terhadap lingkungan. 2) Berlanjut secara ekonomis, yang berarti petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis ini bisa diukur bukan hanya dalam hal produk usahatani yang berlangsung, namun juga dalam hal fungsi seperti melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko. 3) Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hakhak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. 4) Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain Semaoen et al. (1991), berpendapat bahawa sistem usahatani yang berkelanjutan merupakan sistem usahatani yang dirancang dengan memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian produktivitas sumberdaya lahan. Dimensi waktu merupakan unsur yang diperhitungkan dalam usahatani berkelanjutan. Produksi dan manfaat dalam pengelolaan sumberdaya lahan mungkin tidak dapat dibuat maksimal dalam waktu pendek, karena akan berakibat pada penurunan produktivitas di masa yang akan datang. Kerusakan pada pengelolaan lahan kering biasa disebut lahan kritis. Timbulnya lahan kritis disebabkan oleh karena
18
sumberdaya lahan yang dikelola melebihi batas kemampuannya tanpa memperhatikan unsur-unsur konservasi sehingga terjadi degradasi lahan. Pertanian berkelanjutan hanya adapat dicapai apabila lahan digunakan dengan tepat dan pengelolaan yang sesuai. Penggunaan lahan yang salah sering menyebabkan kerusakan lahan, produktivitasnya akan cepat menurun dan ekosistem lahan akan terancam oleh bahaya kerusakan tersebut. Penggunaan lahan yang tidak tepat hanya akan memberikan kerugian untuk pemakai pada saat ini, juga terhadap generasi penerus di masa-masa mendatang. Reijntjes et al. (1999) mengatakan langkah pertama dalam mencari keseimbangan baru itu adalah evaluasi secara seksama terhadap kelangsungan cara usahatani yang ada. Teknikteknik usahatani yang ada harus dinilai dari segi keberlanjutan ekonomis, ekologis, dan sosiopolitiknya. 2.4. Pengembangaan Usahatani Lahan Kering Pembangunan pertanian saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan, seperti meningkatnya permintaan akan bahan pangan, menyusutnya lahan pertanian subur, pertumbuhan produktivitas beberapa komoditas pertanian yang relatif lambat, pemilikan lahan pertanian yang semakin sempit, keterbatasan investasi dan pemodalan, tingkat pendidikan petani dan nelayan yang relatif rendah, dan lambatnya penggunaan iptek maju (Karama, 1999). Namun demikian, masih terdapat peluang yang besar untuk membangun sektor pertanian yang tangguh, modern, dan efisien, misalnya masih tersedianya areal pertanian dan lahan potensial yang belum dimanfaatkan secara optimal, adanya kesenjangan hasil antara produktivitas riil dengan produktivitas potensial, masih besarnya kehilangan dan kerusakan hasil pada waktu panen dan pasca panen serta meningkatnya daya saing hasil-hasil pertanian akibat depresi nilai rupiah (Karama, 1999). Salah satu potensi lahan yang dapat dikembangkan adalah lahan kering. Lahan kering
adalah lahan yang pemenuhan kebutuhan air tanamannya
tergantung sepenuhnya dari air hujan dan tidak pernah tergenang air sepanjang tahun. Pada definisi ini lahan kering dapat berada di dataran rendah, sedang maupun dataran tinggi (Semaoen, et al., 1991).
19
Peluang pengembangan lahan kering dalam arti luas masih terbuka terutama pada lahan-lahan yang memiliki hambatan teknis tingkat sedang dan ringan. Lahan kering yang belum digunakan untuk budidaya tanaman pangan masih cukup luas, terutama di luar Jawa. Dengan demikian dalam rangka mempertahankan swasembada pangan posisi lahan kering sangat penting artinya mengingat potensi yang besar sebagai penyangga alih fungsi lahan sawah di pulau Jawa, tetapi mengingat permasalahannya yang spesifik dalam penanganannya dibutuhkan perencanaan yang matang dan komprehensif melalui koordinasi secara aktif dengan semua instansi terkait secara lintas sub sektoral maupun lintas sektoral. Dalam pengembangan usahatani
lahan kering diperlukan kebijakan,
strategi dan pola pengembangannya (Kahar, 1995). Kebijakan pengembangan usahatani lahan kering ditujukan untuk pengembangan sumberdaya manusia agar menjadi petani kreatif dan fleksibel, menerapkan ilmu dan teknologi tepat guna dalam upaya memantapkan swasembada pangan, dan pengembangan usahatani yang didasarkan atas analisis ekonomi serta berorientasi pada pasar dalam upaya meningkatkan pendapatan petani dan pengentasan kemiskinan, serta pengembangan agribisnis dan agroindustri dalam memperoleh nilai tambah dari hasil-hasil pertanian yang dapat dijadikan komoditi ekspor. Pengembangan lahan kering dilakukan dalam bentuk usaha besar, menengah atau kecil yang dibina melalui kerjasama dalam kelompok tani. Strategi pengembangan pertanian di lahan kering dalam pemantapan swasembada pangan adalah sebagai berikut : 1) pewilayahan komoditi unggulan tanaman pangan yang akan dikembangkan didasarkan atas agroklimat, sosial budaya dan secara ekonomi menguntungkan, 2) pengembangan sumberdaya manusia para petugas harus memiliki keahlian dan ketrampilan melalui pelatihan dan pendidikan, 3) menumbuh-kembangkan
penangkar/
pengusaha
benih
atau
bibit,
4)
pengembangan mekanisasi pertanian, 5) pemanfaatan teknologi, 6) pengembangan sentra produksi tanaman pangan, 7) pengembangan kemitraan antara petani dengan mitra usaha, 8) menggerakkan peran swasta/PMA dan PMDN (Kahar, 1995)
20
Untuk menjamin tercapainya sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan perlu menggunakan berbagai pola pengembangan sebagai berikut : 1) pola insus (pendekatan kelompok dengan program Bimas), 2) pola sekolah lapang (belajar sendiri dalam kelompok tani dengan bimbingan penyuluh lapangan), 3) pola sentra
(komoditi
yang
dipilih
disesuaikan
dengan
agroklimat
serta
menguntungkan petani), 4) pola kemitraan (kerjasama petani dengan pengusaha) (Kahar, 1995). Karakteristik pertanian lahan kering, terutama usahatani tanaman pangan dan hortikultura, sangat berbeda dengan pertanian lahan sawah. Misalnya, keadaan yang sangat tergantung iklim atau curah hujan, biasanya hanya ditanami sekali setahun, serangan hama dan penyakit tanaman jauh lebih sukar dikontrol, produktivitas per hektar sangat rendah, dan sebagainya. Lebih parah lagi, jika pada lahan yang memang tidak subur dan berproduktivitas rendah itu dilakukan kegiatan intensifikasi yang berlebihan, maka fenomena degradasi lahan akan senantiasa mengancam keberlanjutan pertanian lahan kering (Amien, 1999). Menurut Hikmatullah et al. (2001) dalam rangka pengembangan lahan kering menuju pembangunan berkelanjutan berbagai rakitan teknologi usahatani telah berhasil ditemukan, pola usahatani tersebut antara lain : (1) pola usahatani berorientasi pangan, (2) pola usahatani konservasi dan (3) pola usahatani terpadu.
2.5. Kendala Usahatani Lahan Kering Sumber-sumber alam yang terbatas dan jumlah penduduk yang semakin bertambah besar dengan tingkat pendapatan yang belum memadai, dapat menimbulkan masalah-masalah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Tekanan kepadatan penduduk yang terjalin erat dengan kemiskinan, telah mendorong penduduk untuk mengolah tanah dengan cara-cara yang merusak kelestarian dan kesuburannya (Haeruman, 1979). Masalah-masalah yang dihadapi dalam pengelolaan lahan kering antara lain : (1) sumber air yang sangat terbatas dan hanya tergantung dari curah hujan, (2) umumnya merupakan tanah marginal, dan (3) sangat peka terhadap erosi (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 1983).Selanjutnya Tohir (1983) mengemukakan bahwa masalah pokok yang dihadapi dalam penanganan lahan
21
kering adalah rumitnya penataan pertanaman yang beraneka ragam di samping rendahnya kesuburan tanah. Dengan penataan pertanaman diharapkan dapat meningkatakan kualitas dan kuantitas hasil panen secara rasional, efisien dan ekonomis. Apabila diperhatikan secara seksama, ternyata kemunduran kesuburan tanah, timbulnya hama penyakit, timbulnya tanah bera dan sebagainya sering disebabkan karena kesalahan dalam penataan tanaman. Untuk memahami penataan pola pertanaman ini berbagai aspek perlu diperhatikan, baik secara teknis, biologis maupun sosial ekonominya. Selain itu, kendala utama yang dihadapi dalam pengelolaan usahatani lahan kering adalah terbatasnya pemilikan modal dan tenaga kerja keluarga yang tersedia, sempitnya lahan usahatani, dan menurunnya tingkat kesuburan tanah lahan kering. Data keragaan tanah di Kalimantan Barat menunjukan bahwa, lahan Podsolik Merah Kuning (PMK) mendominasi jenis tanah di Kalimantan Barat yang luasnya mencapai 67,783 Km2. Jenis tanah ini merupakan jenis tanah yang bermasalah, sehingga perlu masukan teknologi tinggi dan khusus untuk daerah lahan kering. Jenis-jenis tanah yang lain dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis Tanah Tiap Kabupaten dan Kota di Kalimantan Barat Organosol, Gley dan Aluvial Regosol No. Kabupaten Humus (ha) (ha) (ha) 1 Sambas 1.280 3.600 2 Pontianak 6.187 3.934 3 Ketapang 7.360 4.336 448 4 Sanggau 1.056 144 5 Sintang 480 912 6 Kapuas Hulu 3.968 2.064 7 Kota Pontianak 36 72 Keseluruhan 19.935 15.112 448 Sumber : Kalimantan Barat dalam Angka (2000) Keterangan : PMK = Podsolik Merah Kuning
PMK (ha) 546 6.176 21.953 15.296 15.296 3.584 67.783
Podsolik (ha) 432 1.408 1.712 992 4.544
Litosol (ha) 1.520 416 192 2.128
Pada umumnya kondisi petani lahan kering memiliki sumberdaya yang terbatas. Mereka harus membuat keputusan dengan menggunakan sumberdaya (tanah, tenaga kerja dan modal) yang terbatas untuk memperoleh hasil yang setinggi-tingginya sesuai dengan kondisi usahataninya. Keterbatasan sumberdaya
22
tersebut terutama adalah terbatasnya modal dan rendahnya tingkat kesuburan tanah. Padahal modal merupakan unsur yang esensial dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat pedesaan itu sendiri. Menurut Hardwood (1982) faktor modal merupakan faktor pembatas dalam pengembangan pertanian. Hal ini membuat semakin sulitnya usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan dengan cepat.
2.6. Struktur Klasifikasi Lahan Evaluasi sumberdaya merupakan proses untuk
menduga potensi
sumberdaya untuk berbagai penggunaan . Dengan demikian evaluasi sumberdaya adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk penggunaan suatu sumberdaya dengan sifat yang dimiliki oleh sumberdaya tersebut. Hasil dari suatu evaluasi sumberdaya menjadi suatu dasar bagi perencanaan dan pengembangan wilayah (Saefulhakim et al., 2003). Menurut FAO dalam Sitorus (1998) struktur klasifikasi kesesuaian lahan dibagi menjadi empat kategori yaitu : Ordo, Kelas, Sub-kelas dan Unit kesesuaian lahan. Ordo kesesuaian lahan mencerminkan macam kesesuaiannya. Kelas kesesuaian lahan mencerminkan derajat kesesuaian lahan dalam Ordo, Sub-kelas kesesuaian lahan mencerminkan macam hambatan atau perbaikan utama yang dibutuhkan dalam kelas, dan Unit kesesuaian lahan mencerminkan perbedaanperbedaan minor yang dibutuhkan dalam pengelolaan Sub-kelas. Ordo kesesuaian lahan dapat dibagi menjadi dua yaitu ; Sesuai (S) dan Tidak Sesuai (N). Ordo Sesuai (S) adalah lahan yang dapat digunakan secara berkesinambungan untuk tujuan yang dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan akan memuaskan setelah dikalkulasi dengan masukan, tanpa adanya resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. Ordo Tidak Sesuai (N) adalah lahan yang apabila dikelola mempunyai kesulitan sedemikian rupa sehingga menghambat penggunaannya untuk tujuan yang direncanakan. Ordo Sesuai dapat dibagi menjadi beberapa kelas. Jumlah kelas pada ordo sesuai tidak ditentukan, tetapi diusahakan sesedikit mungkin untuk memudahkan interpretasi. Jika terdapat tiga kelas dalam ordo Sesuai (S) maka definisi masingmasing kelas dapat dijelaskan sebagai berikut :
23
Ordo S (Sesuai) terdiri atas tiga kelas : 1. Kelas S1 (Sangat Sesuai) adalah lahan yang tidak mempunyai pembatas serius dalam pengelolaannya atau hanya mempunyai faktor pembatas yang tidak berarti dan tidak berpengaruh terhadap produksinya dan tidak menaikkan masukan yang telah biasa diberikan. 2. Kelas S2 (Cukup Sesuai) adalah lahan yang mempunyai pembatas-pembatas agak berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan, sebab akan meningkatkan masukan yang diperlukan. 3. Kelas S3 (Sesuai Marjinal) adalah lahan yang mempunyai pembatas-pembatas yang sangat berat untuk penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan karena akan menaikkan masukan yang diperlukan. Order N (Tidak Sesuai) terdiri atas dua kelas : 1. Kelas N1 (Tidak Sesuai Saat Ini) adalah lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengetahuan saat ini dengan biaya yang rasional. 2. Kelas N2 (Tidak Sesuai Permanen) adalah lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat sehingga tidak memungkinkan digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari. Sub-kelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas. Tiap kelas dapat dibagi menjadi satu atau lebih sub-kelas tergantung dari jenis pembatas yang ada, tetapi untuk S1 tidak ada faktor pembatas. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang diletakkan setelah simbol kelas. Sebagai contoh, kelas S2 yang mempunyai faktor pembatas kedalaman tanah efektif (s) akan menyebabkan kelas masuk ke sub-kelas S2s. Kesesuaian lahan pada tingkat satuan lahan merupakan pembagian lebih lanjut dari sub-kelas. Semua satuan yang berada dalam sub-kelas mempunyai tingkat kesesuaian yang sama pada tingkat sub-kelas. Satuan-satuan berbeda satu dengan yang lainnya dalam sifat-sifat atau aspek-aspek tambahan pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan rincian bagi pembatasnya. Dengan diketahuinya pembatas secara rinci akan memudahkan penafsiran perencanaan pada tingkat usahatani. Tingkat kesesuaian lahan dapat berupa gambaran keadaan lahan pada saat penelitian, yang disebut kesesuaian lahan aktual, ataupun
24
kesesuaian lahan setelah dilakukan perbaikan, atau input tertentu, yang disebut kesesuaian lahan potensial (Dent dan Young, 1983). Sehubungan dengan kesesuaian lahan potensial Hardjowigeno et al.(2001) menggolongkan masukan tersebut atas tiga bagian. Pertama masukan rendah, kedua masukan sedang, dan ketiga adalah masukan tinggi, Jenis masukan dan kemungkinan perbaikan yang dapat dilakukan untuk masing-masing karakteristik lahan tertera pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 tersebut kemungkinan akan ditemui beberapa kombinasi masukan. Jika kombinasi dari beberapa tingkat masukan ditemui maka kombinasi dari dua tingkat masukan rendah akan menghasilkan tingkat masukan menengahApabila dengan kombinasi dua tingkat masukan yang ditemui memiliki tingkat yang berbeda, maka yang digunakan adalah input yang tertinggi. Perbaikan yang dilakukan akan menghasilkan peningkatan kelas kesesuaian lahan satu tingkat atau lebih dari kesesuaian lahan aktual. Penjelasan mengenai kelas kesesuaian lahan potensial ini adalah sebagai berikut : 1. Jika kelas kesesuaian lahan aktual adalah kelas S2 dan memungkinkan untuk diperbaiki, maka kelas kesesuaian lahan potensial adalah kelas S1. 2. Jika kelas kesesuaian lahan aktual adalah kelas S3 dan memungkinkan untuk diperbaiki, tapi faktor pembatas pada kelas S2 masih ada, maka kelas kesesuaian lahan potensial adalah kelas S2. 3. Jika kelas kesesuaian lahan aktual adalah kelas S3 dan memungkinkan untuk diperbaiki, dan faktor pembatas untuk kelas S3 tidak ada lagi, maka kelas kesesuaian lahan potensial adalah kelas S1. 4. Jika kelas kesesuaian lahan aktual adalah N diperbaiki, tapi faktor pembatas untuk S3 masih lahan potensial adalah kelas S3. 5. Jika kelas kesesuaian lahan aktual adalah N diperbaiki, tapi faktor pembatas untuk S2 masih lahan potensial adalah kelas S2.
dan memungkinkan untuk ada, maka kelas kesesuaian dan memungkinkan untuk ada, maka kelas kesesuaian
4. Jika kelas kesesuaian lahan aktuala adalah N dan memungkinkan untuk diperbaiki, dan tidak ditemukan faktor pembatas lain, maka kelas kesesuaian lahan potensial adalah S1. 7. Jika tidak memungkinkan untuk diperbaiki (simbol x) maka kelas kesesuaian lahan aktual dan potensial adalah sama.
25
Tabel 6. Jenis Masukan dan Kemungkinan Perbaikan yang Dapat untuk Masing-masing Karakteristik Lahan. Karakteristik Lahan Yang Dikelompokkan Berdasarkan Kualitas Lahan
Dilakukan
Perbaikan dan Simbolnya
Tingkat Input
t – Regim Temperatur 1. Rata-rata temperatur tahunan
Tidak dapat diperbaiki
w- Ketersediaan Air 2. Bulan kering 3. Curah hujan rata-rata tahunan
Irigasi (I) Irigasi (I)
Hi
Drainase buatan Tidak dapat diperbaiki Umumnya tidak dapat diperbaiki jika lapisan yang menghambat tebal dan tidak dapat ditembus, tetapi jika lapisan yang menghambat tipis dan dapat diperbaiki maka masih dapat diperbaiki (I)
Hi
Pengapuran dengan sumber disekitar Lokasi (L) Pengapuran dengan sumber jauh dari Lokasi (L)
Hi Mi
r – Keadaan Perakaran 1. Kelas drainase 2. Tekstur 3. Kedalaman perakaran
f – Retensi Unsur Hara 1. KTK me/ 100 g (subsoil) 2. pH (Lapisan atas)
Hi
-sda-
n – Ketersediaan Unsur Hara 1. Nitrogen total (Lapisan atas) 2. P2O5 tersedia (Lapisan atas) 3. K2O tersedia (Lapisan Atas)
Pemupukan (M) Pemupukan untuk kelas S2 (M) Pemupukan untuk kelas S3/N (M) -sda-
Li Li Mi
x – Toksisitas 1. Salinitas
Reklamasi untuk tanah salin kelas S2/S3 (N) Reklamasi untuk kelas N (N)
Mi Mi
s – Lahan 1. Lereng (%)
Kontruksi sawah kemiringan < 3 % (P) Kontruksi sawah kemiringan 3 - 8 % (P) Kontruksi sawah kemiringan 8 - 15 % (P) Penanaman strip rumput pada kontur kemiringan 0 – 8 % (O) Teras tanpa SPA, kemiringan > 8 % ® Teras dengan SPA, kemiringan >8 % (T)
Li Mi Hi
Pengambilan batuan untuk kelas S2/S3 (S) Tidak dapat diperbaiki
Mi Mi
2. Batuan lepas 3. Batuan tersingkap
Li Li
Sumber : Hardjowigeno et al., (2001) Keterangan : Hi = Masukan Tinggi Mi = Masukan Sedang Li = Masukan Rendah
2.7. Optimasi Penggunaan Sumberdaya Lahan Penggunaan sumberdaya lahan sering dilakukan tanpa memperhatikan kesesuaian lahan atau asas-asas konservasi tanah sehingga mempercepat kemerosotan produktivitas lahan. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya lahan dan lingkungan dapat dilakukan dengan penggunaan
26
sumberdaya lahan yang optimal dalam pengertian sumberdaya lahan dan lingkungan akan dapat memberikan manfaat yang tinggi kepada penduduk dalam jangka panjang. Dengan demikian, penggunaan sumberdaya lahan yang optimal mengandung makna azas pelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan. Optimalisasi penggunaan sumberdaya lahan atau penggunaan sumberdaya yang optimal akan memperkecil atau mencegah banjir pada musim hujan dan mencegah kekeringan pada musim kemarau, menekan kehilangan tanah (erosi), memberikan pendapatan yang tinggi kepada penduduk, serta mendukung sejumlah penduduk dalam keadaan hidup layak. Menurut Verinumbe, et al. (1984), dalam menentukan pola usahatani dapat menggunakan alat matematik, yaitu melalui perencanaan atau program linier (linier programming). Dengan metode ini kita dapat menentukan suatu pola usahatani yang optimal dan menghasilkan keuntungan yang maksimal. Metode ini juga dapat digunakan untuk memilih beberapa alternatif jika ada fungsi tujuan dan sumberdaya sebagai pembatas. Soekartawi et al. (1985) mengemukakan bahwa program linier dapat digunakan
untuk
memilih
kombinasi
beberapa
kegiatan
yang
dapat
memaksimalkan pendapatan kotor. Metode ini juga dapat memberikan tambahan informasi ekonomi yang berguna mengenai pemecahan optimal. Menurut Kasryno dalam Sumantri (1991) metode program linier untuk membahas persoalan optimasi mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode lainnya, yaitu : (1) lebih efisien dalam penggunaan waktu, biaya dan kemampuan menganalisis hasil penggunaan data, (2) analisis ekonomi dapat dikembangkan sekaligus walaupun kegiatan ekonomi dikategorikan atas dasar wilayah, sektor serta waktu, (3) solusi programasi linier dapat memberikan informasi tentang struktur kait-mengait dan keuntungan komparatif dalam sektor pertanian, potensi produksi dan kesempatan kerja, pola produksi dan konsistensi dari kebijakan pertanian. Hasil yang maksimum dapat dicapai dengan menggunakan lahan pada intensitas maksimum dan tingkat pengeluaran korbanan (input) yang rendah, diperoleh keuntungan yang optimum. Dalam hal ini perbandingan antara harga hasil dengan harga korbanan adalah tertinggi (Cooke, 1982).
27
Sumberdaya petani meliputi faktor fisik berupa tanah, sinar matahari, air dan faktor sosial ekonomi seperti uang tunai dan kredit, tenaga kerja (mekanik/hewan), dan pasar (Hardwood, 1979). Suatu sumberdaya lahan dapat digunakan untuk berbagai keperluan, sehingga pemilihan peruntukan tersebut menjadi sangat penting. Dalam hal ini perlu diperhatikan agar pemilihan peruntukan tersebut dilakukan atas dasar : (1) efisiensi dan efektivitas penggunaan yang optimum dalam batas-batas kelestarian yang mungkin, (2) tidak mengurangi kemampuan dan kelestarian sumberdaya alam lain yang berkaitan dalam suatu ekosistem, dan (3) memberikan kemungkinan untuk mempunyai pilihan penggunaan di masa depan, perombakan ekosistem tidak dilakukan secara drastis (Haeruman, 1979). Model analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan adalah model Program Linier. Model ini digunakan untuk memperoleh kombinasi optimal dari aktivitas-aktivitas produksi dan menjadi pilihan pada kondisi sumberdaya tersedia dalam jumlah terbatas.