Bab ini menyajikan informasi atau kajian mengenai kondisi lingkungan berikut kecenderungannya, yaitu meliputi aspek:
1.1
Lahan dan hutan
Keanekaragaman hayati
Air
Udara
Laut, pesisir, dan pantai
Iklim
Bencana Alam
LAHAN DAN HUTAN
Kajian mengenai tutupan lahan menyoroti 2 hal, yaitu:
Kajian tentang tutupan lahan dalam bentuk ”penggunaan lahan” di Jawa Barat secara menyeluruh.
Kajian tentang hutan.
Data tentang lahan diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Jawa Barat, sedangkan data tentang hutan diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat. Data terakhir yang tersedia adalah data tahun 2006. 1.1.1. Penggunaan Lahan Berdasarkan Buku Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2008. Jenis penggunaan lahan yang dominan di Jawa Barat tahun 2006 adalah tegalan, kebun campuran, dan sawah. Kondisi ini relative konstan sejak tahun 2001, kecuali penggunaan lahan permukiman, sawah, dan semak / alangalang mengalami sedikit kenaikan dan tegalan / kebun campuran, hutan, dan perairan tambak mengalami penurunan.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 1
Tabel 1.1 Penggunaan Lahan di Jawa Barat tahun 2001, 2005, 2006, (Ha) Jenis Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
Prosentase
2001
2005
314658
307763
319862.5
8.99%
9.11%
8.81%
1105735
956741
1080283
31.59%
28.32%
29.74%
Sawah
872043
969322
969373.3
24.91%
28.70%
26.69%
Perkebunan
250274
226807
309188.3
7.15%
6.71%
8.51%
Hutan
706344
604100
674642.8
20.18%
17.88%
18.58%
Perairan dan Tambak
78077
64637
64677.12
2.23%
1.91%
1.78%
Semak dan alang-alang
69736
85208
85207.53
1.99%
2.52%
2.35%
Permukiman, jasa, dan industri Tegalan dan kebun campuran
2006
2001
2005
2006
Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2008
Sumber : diolah dari data BPS 2008.
Sejak tahun 2001 luas hutan tidak pernah lebih dari 10 % dari luas wilayah Jawa Barat. Padahal UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mensyaratkan luas hutan dalam suatu wilayah harus lebih dari 30%.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 2
Sumber : diolah dari data BPS 2008.
Perubahan komposisi penggunaan lahan dari tahun ke tahun bukan merupakan kejadian yang murni alami, karena di dalamnya terdapat pengaruh dari faktor lain, terutama faktor kebijakan dan politik. Pada dekade yang lalu, dimana kontrol terhadap kebijakan tata ruang masih lemah, perubahan penggunaan lahan relative lebih banyak dipengaruhi oleh mekanisme pasar atau perilaku sosial-ekonomi masyarakat. Namun demikian, untuk tahun-tahun yang akan datang, dimana masyarakat dan aparat sudah lebih “peduli” terhadap tata ruang terkait dengan berlakunya UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diharapkan kontrol terhadap konversi lahan akan lebih baik sehingga komposisi penggunaan lahan menuju ke kondisi yang lebih stabil. Hal ini mulai nampak sekarang antara lain dengan adanya indikasi sebagai berikut: Diberlakukannya ketentuan larangan merubah lahan sawah di daerah sekitar perkotaan menjadi lahan terbangun. Fenomena gaya hidup masyarakat perkotaan yang sudah mulai bisa beradaptasi untuk tinggal di rumah susun, baik berupa Rusunawa untuk golongan bawah maupun apartment untuk golongan atas, sehingga sedikit mengurangi kecenderungan konversi lahan menjadi daerah permukiman. Upaya rehabilitasi lahan yang cukup gencar dilakukan, juga melalui semangat “one man one tree”, diharapkan jumlah lahan kritis akan terus berkurang dan kembali produktif, sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya konversi lahan dari lahan tertutup vegetasi menjadi lahan terbangun.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 3
Berdasarkan uraian tersebut, untuk satu tahun ke depan, nampaknya yang akan mengalami sedikit perubahan adalah berkurangnya luas lahan semak dan alang-alang, sedangkan lahan terbangun masih mengalami peningkatan walaupun tidak signifikan. 1.1.2. Hutan Hutan terdiri atas hutan darat dan hutan rawa. Hutan merupakan tutupan lahan yang paling penting dalam hal menjaga keseimbangan ekosistem dan hidrologi. Informasi mengenai hutan meliputi dua hal, yaitu luas hutan dan tutupan hutan. Kajian mengenai hutan dikelompokkan menjadi 2, yaitu hutan darat dan hutan rawa. A. Hutan Darat Berdasarkan informasi tentang hutan dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, luas hutan dalam 5 tahun terakhir mengalami kenaikan, dari 784,397.09 Ha pada tahun 2003 menjadi 847,986.74 Ha pada tahun 2008, terdiri atas 47,62 % Hutan Produksi, 31,39 % Hutan Lindung, dan 20,99 % Hutan Konservasi. Komposisi ini tidak berbeda jauh sejak tahun 2003, 2005, 2006 dan
2007.
Gambaran
mengenai
komposisi
luas
hutan
menurut
fungsinya
dan
perkembangannya bisa dilihat pada tabel dan gambar pada halaman berikut. Tabel 1.2 Perkembangan Luas Hutan Tahun 2003 - 2008 Prosentase Luas Hutan
Jenis Hutan menurut Fungsi
Luas Hutan (Ha)
2003
2005
2006
2007
2008
2003
2005
2006
2007
2008
1. Hutan Konservasi
20.00%
22.58%
21.41%
21.41%
20.99%
156,897.31
172,572.88
173,030.03
173,030.03
178,031.41
2. Hutan Lindung
30.37%
29.93%
32.22%
32.22%
31.39%
238,244.51
228,727.11
260,441.37
260,441.37
266,181.52
3. Hutan Produksi
49.62%
47.49%
46.37%
46.37%
47.62%
389,255.27
362,980.40
374,774.97
374,775.23
403,773.81
Luas Hutan Jawa Barat
100.00%
100.00%
100.00%
100.00%
100.00%
784,397.09
764,280.39
808,232.27
808,246.37 847,986.74
Proporsi luas hutan thd luas Jawa Barat
21.60%
21.04%
22.25%
22.25%
23,34%
Luas Wilayah Jawa Barat
3,631,934.15 3,631,934.15 3,631,934.15 3,631,934.15 3,631,934.15
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 4
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008.
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008.
Ditinjau dari sebarannya, area kawasan hutan lebih terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat bagian selatan yang membentang mulai dari Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, juga di Kabupaten Kuningan, serta tersebar sebagian kecil di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Subang, Kabupaten Kuningan. Demikian juga halnya dengan sebaran hutan konservasi tersebar di area yang sama, yaitu di wilayah Jawa Barat bagian selatan. Sebaran kawasan hutan bisa dilihat pada gambar berikut.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 5
Gambar 1.5 Sebaran Kawasan Hutan Di Jawa Barat 2007
Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Sumber : Perhutani Unit III Provinsi Jawa Barat
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 6
B. Hutan Rawa Pulau Jawa diperkirakan pernah memiliki hutan-hutan rawa dengan jumlah keseluruhan mencapai 72.000 hektar (Whitten et al, 1996). Menurut catatan lama, hutan rawa di Jawa Barat dapat ditemukan di Rawa Lakbok Ciamis, Rawa Bojong Pamengpeuk Garut, Rawa Sirdayah di antara Bekasi dan Bogor, dan rawa di belakang hutan pantai Cikepuh Sukabumi. Catatan pada tahun 1989 menunjukkan hutan rawa tersisa di Jawa tinggal 7.700 hektar. Demikian pula yang terjadi pada hutan rawa di Jawa Barat, hampir seluruhnya telah hilang. Hal ini dikarenakan sebagian besar rawa dikeringkan untuk kemudian dijadikan lahan persawahan.
Tidak ditemukan catatan terbaru mengenai keadaan hutan rawa, namun
bukanlah hal yang mengherankan jika ternyata hutan jenis ini telah hilang dari Jawa Barat.
1.1.3
Kecukupan Luas Hutan
Keberadaan hutan sangat menentukan kualitas dari keseimbangan ekosistem dan keseimbangan hidrologi suatu wilayah, sehingga luas minimal hutan pada suatu wilayah harus dipertahankan. Undang-undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mensyaratkan bahwa luas hutan suatu wilayah minimal adalah 30 % dari luas DAS-nya. Dalam arahan pola ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat 2010, telah ditetapkan bahwa luas hutan darat harus mencapai 22 % dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat (RTRW ini disusun sebelum diterbitkannya UU no. 26 tahun 2007), yang terdiri atas: kawasan hutan lindung 16 %, kawasan hutan konservasi 3 %, dan kawasan hutan produksi 3 %. Sementara kondisi luas hutan Jawa Barat tahun 2008 mencapai 23,35 %, terdiri atas kawasan hutan lindung 7,33%, kawasan hutan konservasi 4,90%, dan kawasan hutan produksi 11,12%. Tabel berikut menampilkan luas hutan di Jawa Barat tahun 2008 dan target yang harus dicapai sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Provinsi Jawa Barat 2010.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 7
Tabel 1.3 Luas Kawasan Hutan Jawa Barat 2008 dan Luas Kawasan Hutan menurut RTRW Provinsi Jawa Barat 2010
No I
Kawasan Kawasan Lindung
A
B II
Kondisi Tahun 2008 Luas 1.640.456,67
%
RTRW Prov. Jawa Barat 2010 Luas 1.619.496,24
% 45 %
Kawasan Hutan Kaw. Hutan Lindung
266.181,52
7,33%
575.820,88
16%
Kaw. Hutan Konservasi
178.031,41
4,90%
107.966,42
3%
Kaw. Non Hutan
1.196.243,74
32,94%
935.708,94
26%
Kawasan Budidaya
1.991.477,48
1.979.384,29
55 %
A
Kaw. Hutan Produksi
403.773,81
11,12%
107.966,42
3%
B
Kaw. Non Hutan Sawah
969.373,30
26,69%
755.764,91
21%
Budidaya Lainnya
618.330,37
17,02%
1.115.652,96
31%
3.598.880,53
100%
Total
3.631.934,15
Sumber : Hasil pengolahan dari DInas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dan Dokumen RTRW Provinsi Jawa Barat 2010.
Menurut draft RTRW Provinsi Jawa Barat 2005 - 2025, luas kawasan lindung yang akan dicapai tahun 2025 adalah sebesar 45 % dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 2008 luas kawasan hutan di Jawa Barat sudah mencapai 23,35 % yang artinya masih jauh untuk mencapai angka 45 % sebagaimana disyaratkan dalam RTRW Jawa Barat 2005 - 2025. Kawasan hutan di Jawa Barat tahun 2008 lebih banyak di dominasi oleh kawasan hutan produksi. Padahal untuk tujuan konservasi, seharusnya kawasan hutan lindunglah yang seharusnya menempati porsi terbesar. Porsi kawasan hutan produksi yang cukup luas tidak bisa menjadi jaminan bisa berperan sebagai kawasan konservasi dengan sempurna karena selain akan mengalami penebangan secara rutin pada masa-masa musim tebang, hutan produksi juga relative lebih homogen sehingga kurang optimal dalam menyerap air ataupun sebagai habitat bagi hayati. Kawasan yang bisa diandalkan bisa berperan sebagai kawasan resapan air adalah hutan lindung. Gambar berikut menampilkan proporsi kawasan hutan lindung di setiap wilayah kabupaten / kota di Jawa Barat.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 8
Gambar 1.6 Proporsi Kawasan Hutan Lindung terhadap Luas Daerah di Jawa Barat Tahun 2007
Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008.
1.1.4
Kondisi Tutupan Lahan
Kondisi tutupan hutan mencerminkan tingkat efektivitas peran hutan sebagai penyeimbang ekosistem dan hidrologi. Informasi yang menggambarkan kondisi tutupan hutan adalah luasan lahan kritis di kawasan hutan.
Secara umum kondisi lahan kritis di Jawa Barat mengalami
penurunan dari tahun ke tahun. Antara tahun 2004 -2008, luas kawasan hutan konservasi yang kritis tidak berubah, yaitu sebesar 17.328 Ha atau 10 % dari luas hutan konservasi yang ada ada di Jawa Barat. Sedangkan luas lahan kritis di kawasan hutan lindung dan hutan produksi mengalami penurunan sejak tahun 2003 sampai tahun 2006 (tidak diperoleh informasi kondisi tahun 2007 - 2008) yaitu dari 130,356 Ha atau 20,78 % pada tahun 2003 menjadi 42,967 Ha atau 6,76 % pada tahun 2006 dari luas kawasan hutan lindung dan hutan produksi. Lahan perkebunan yang kritis tahun 2003 mencapai 26,180 Ha atau 8,47 % dari luas kawasan perkebunan, tetapi pada tahun 2008 kondisinya membaik sehingga hanya tingga 12.772,56 Ha atau 4,13 % saja kawasan perkebunan yang kritis. Demikian juga halnya dengan lahan milik masyarakat yang mengalami perbaikan sejak dalam 6 tahun terakhir, dimana lahan kritis yang
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 9
semula mencapai 402,528 Ha atau sebesar 15,98% menurun menjadi 150,132.35 atau 5,95 % ari luas kawasan.
Ilustrasi Kondisi Lahan Kritis
Ilustrasi Kondisi Lahan Subur
Tabel 1.4 Luas Lahan Kritis dan Luas Rehabilitasi Lahan di Jawa Barat Tahun 2003 - 2008 Luas Lahan Kritis (Ha) Tahun
Konsevasi
Hutan Lindung & Hutan Produksi
Perkebunan
Lahan Milik Masyarakat
Luas Lahan Kritis yang Direhabilitasi (Ha)
2003
21,333.00
130,356.00
26,180.00
402,528.00
Tad
2004
17,328.00
100,698.00
26,180.00
338,425.00
97,767.00
2005
17,328.00
76,967.00
23,263.00
297,793.00
67,279.00
2006
17,328.00
42,967.00
19,682.00
230,932.65
104,441.36
2007
Tad
Tad
16,609.87
172,625.19
108,779.64
2008
Tad
Tad
12,772.56
150,132.35
26,330.15
309,188.31
2,519,403.49
Luas Kawasan2007
173,030.03
635,216.60
Sumber : Biro Bina Produksi Setda Provinsi Jawa Barat, September 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 10
Sumber: Biro Bina Produksi Setda Provinsi Jawa Barat, September 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 11
Gambar 1.8 Grafik Perubahan Luas Lahan Kritis di Dalam Kawasan Hutan di Daerah yang Memiliki Hutan 2003 - 2007 (Ha)
Sumber : diolah dari data Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 12
1.2 KEANEKARAGAMAN HAYATI 1.2.1
Kawasan Perlindungan Keanekaragaman Hayati
Pada masa lalu ketika populasi penduduk masih sedikit dan hutan masih menutupi sebagian besar Jawa Barat, lokasi-lokasi pusat keanekaragaman hayati kemungkinan tersebar luas dimana-mana. Seiring dengan pertambahan populasi penduduk dan laju pembangunan, banyak lokasi-lokasi alami seperti hutan atau rawa dikonversi menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Kini konsentrasi keanekaragaman hayati, hanya tersisa di kawasan lindung terutama daerah yang memang salah satu fungsinya diperuntukkan untuk pengawetan keanekaragaman hayati yaitu kawasan konservasi. Terdapat dua macam kawasan konservasi yaitu, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. Kewenangan pengelolaan kedua kawasan ini berada ditangan pemerintah pusat yaitu Departemen Kehutanan. 1.2.2
Kawasan Konservasi Kawasan pelestarian alam (konservasi) adalah kawasan dengan memiliki fungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, kawasan pengawet keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan untuk pemanfaatan lestari sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya. Kegiatan yang diperbolehkan berada di kawasan ini meliputi kegiatan perlindungan
dan
pengamanan,
inventarisasi,
pembinaan habitat dan populasi satwa, penelitian dan pengembangan, serta pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, pariwisata dan penunjang budidaya. Kawasan ini terdiri dari 3 macam yaitu taman nasional, taman wisata alam dan taman hutan raya. Sampai tahun 2008, Jawa Barat memiliki kawasan konservasi sebanyak 46 lokasi, terdiri dari: Taman Nasional
: 3 lokasi
Cagar Alam
: 25 lokasi
Suaka Margasatwa
: 2 lokasi
Taman Wisata Alam
: 6 lokasi
Taman Wisata Alam yang menyatu dengan Cagar Alam
: 7 lokasi
Taman Buru
: 1 lokasi
Taman Hutan Raya
: 1 lokasi.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 13
Sebagaimana telah dibahas pada sub-bab sebelumnya luas total kawasan konservasi ini 130.030,03 hektar atau 4 % dari luas Jawa Barat. Adapun sebaran kawasan konservasi ini hampir seluruhnya berada pada wilayah tengah dan selatan Jawa Barat, seperti terlihat pada gambar berikut. Gambar 1.9 Peta Lokasi Kawasan Konservasi di Jawa Barat
1
CA Arca Domas
11
TWA Situ Gunung
21
CA Gunung Malabar
32
CA/TWA Telaga Bodas
2
CA Yan Lanpa
12
CA Bojonglarang Jayanti
22
CA Junghuhn
33
CA Gunung Jagat
3
CA/TWA Telaga Warna
13
CA Cadas Malang
23
SM Gunung Masigit
34
TB Masigit Kareumbi
4
TWA Gunung Pancar
14
CA Gunung Simpang
24
CA/TWA Tangkuban Perahu
35
TWA Gunung Tampomas
5
CA Dungus Iwul
15
CA Takokak
25
CA/TWA Telaga Patengang
36
SM Sindangkerta
6
CA Cibanteng
16
TN Gn. Gede – Pangrango
26
THR Ir. H. Djuanda)
37
CA Laut Pangandaran
7
CA T. Tanggupan.Perahu-
17
KR Cibodas
27
TWA Cimanggu
38
CA Panjalu / Koordes
Pelabuhan. Ratu 8
CA/TWA Sukawayana
18
TWA Jember
28
CA Leuweng Sancang
39
CA/TWA P. Pangandaran
9
SM Cikepuh
19
CA Burangrang
29
Laut Leuweung Sancang
40
SM Gunung Sawal
10
TN Gn Halimun-Salak
20
CA Gunung Tilu
30
TA/TWA Gunung Papandayan
41
CA/TWA Linggar Jati
31
CA/TWA Kawah Kamojang
42
TN Gunung Ceremay
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2007
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 14
Tabel 1.5 Penilaian Lokasi Taman Nasional di Jawa Barat No
Lokasi
Kondisi Ekologis
Pengelolaan
Keterlibatan Masyarakat
Total
1
TN Gede Pangrango
3,7
3,65
3,3
10,65
2
TN Halimun-Salak
3,4
4,2
2,55
10,15
3
TN Ciremay
-
-
-
-
Keterangan
Nilai kondisi ekologis : (1) rusak sekali, (2) rusak, (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali Nilai pengelolaan & masyarakat : (1) kurang sekali, (2) kurang, , (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali Sumber : Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005
Taman nasional merupakan bentuk kawasan konservasi yang dikelola dengan menggunakan sistem zonasi. Dalam tiap zona memiliki fungsi dan batasan aktifitas yang boleh dilakukan. Diantara kawasan konservasi lainnya, taman nasional merupakan bentuk paling mantap karena berukuran cukup luas dan memiliki badan pengelola tersendiri. Di Jawa Barat terdapat 3 taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Taman Nasional Gunung HalimunSalak (sebagian di Propinsi Banten) dan Taman Nasional Gunung Ciremai. Berdasarkan penilaian lokasi konservasi dalam dokumen Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005 (Tabel 1.5), kondisi ekologis dua taman nasional pertama tergolong cukup baik, demikian pula halnya dengan pengelolaannya. Hanya saja Taman Nasional Halimun-Salak masih kurang dalam hal keterlibatan masyarakat. Untuk Taman Nasional Gunung Ciremay belum ada penilaian karena saat itu sedang dalam masa transisi. Taman Wisata Alam (TWA) adalah bentuk kawasan
konservasi
yang
mempunyai
potensi dan daya tarik bagi kegiatan pariwisata. Pengelolaan 13 taman wisata ini dilakukan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat (BBKSDA). Namun
untuk
pengusahaan
pariwisata
alamnya sebagian telah diserahkan ke pihak ke tiga dalam hal ini adalah Perum Perhutani. Kondisi taman wisata alam ini beragam, ada yang terkelola dengan cukup baik seperti TWA Linggarjati, tapi ada juga yang masih kurang seperti
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 15
TWA Tampomas. Berdasarkan penilaian lokasi konservasi dalam dokumen Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005, sebanyak 8 TWA memiliki kondisi ekologis cukup baik sementara hanya 5 TWA yang memiliki tingkat pengelolaan cukup baik (Tabel 1.6). Hampir seluruh TWA dinilai kurang dalam melibatkan masyarakat ke dalam pengelolaan lokasi. Tabel 1.6 Penilaian Lokasi Taman Wisata Alam di Jawa Barat No
Lokasi
1
TWA Linggarjati
2
TWA Pangandaran
3
Kondisi Ekologis
Pengelolaan
Keterlibatan Masyarakat
Total
3,7
3,75
2,65
10,1
3
2,75
3,45
9,2
TWA Situ Gunung
2,85
3,35
2,25
8,45
4
TWA Gunung Pancar
3,45
2,8
1,75
8
5
TWA Cimanggu
2,15
3,15
2,27
7,75
6
TWA Telaga Warna
2,3
2,6
2,55
7,45
7
TWA Papandayan
3,25
2,15
1,95
7,35
8
TWA Tangkuban Prahu
2,95
2
1,75
6,7
9
TWA Patenggang
2,75
1,8
1,5
6,05
10
TWA Kamojang
2,85
1,35
1,55
5,75
11
TWA Jember
2
2
1,75
5,75
12
TWA Telaga Bodas
2,15
1,65
1
4,8
13
TWA Tampomas
1,75
1,45
1
4,2
Sumber : Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005 Keterangan Nilai kondisi ekologis : (1) rusak sekali, (2) rusak, (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali Nilai pengelolaan & masyarakat : (1) kurang sekali, (2) kurang, , (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali
Taman Hutan Raya biasanya berupa lokasi memiliki ciri khas asli maupun buatan dan memiliki luas yang memungkinan untuk membangun koleksi tumbuhan atau satwa baik asli maupun tidak. Hanya ada satu taman hutan raya di Jawa Barat yaitu Ir.H.Djuanda. Sayangnya menurut penilaian lokasi konservasi dalam dokumen Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005, tempat ini dinilai kurang baik dari aspek kondisi ekologis, pengelolaan maupun keterlibatan masyarakat. Kawasan konservasi lainnya adalah kawasan suaka alam yang terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa. Kawasan ini memiliki fungsi yang sama dengan kawasan pelestarian alam namun kegiatan yang dapat dilakukan di sini lebih terbatas. Bahkan untuk di
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 16
cagar
alam
perlindungan inventarisasi,
hanya dan
kegiatan
pengamanan,
penelitian
dan
pengembangan yang diperbolehkan di sini. Cagar
Alam
(CA)
merupakan
kawasan dengan keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Terdapat 25 cagar alam di Jawa Barat dengan kewenangan
pengelolaan berada di BBKSDA. Sebagian kondisinya masih cukup baik seperti Pangandaran dan Panjalu, namun ada juga yang memprihatikan seperti CA laut Pangandaran dan Cadas Malang. Berdasarkan penilaian lokasi konservasi dalam dokumen Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005, sebanyak 13 CA memiliki kondisi ekologis cukup baik, sebaliknya hanya 4 CA yang memiliki tingkat pengelolaan cukup baik dan hampir seluruhnya kurang melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya. Suaka Margasatwa (SM) adalah kawasan dengan ciri khas berupa keanekaragaman atau keunikan satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Di Jawa Barat ada 2 suaka margasatwa yaitu Gunung Sawal dan Cikepuh. Kondisi ekologis kedua SM ini masih cukup baik, tetapi tidak demikian halnya dengan pengelolaan dan keterlibatan masyarakat yang dinilai masih kurang. Satu lagi kawasan konservasi adalah taman buru yang diperuntukan bagi aktifitas perburuan satwa tertentu. Hanya ada satu taman buru di Jawa Barat yaitu Masigit Kareumbi. Kondisi taman ini masih cukup baik, baik aspek ekologis maupun pengelolaannya namun kurang dalam melibatkan masyarakat.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 17
Tabel 1.7 Penilaian Lokasi Cagar Alam di Jawa Barat No
Lokasi
Kondisi Ekologis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
CA Panjalu CA Pangandaran CA Cibanteng CA Gunung Simpang CA Telaga Warna CA Papandayan CA Burangrang CA Gunung Tilu CA Tangkuban Prahu CA Junghuhn CA Takokak CA Patenggang CA Kamojang CA Sukawayana CA Tangkuban Prahu Pel Ratu CA Gunung Malabar CA Bojonglarang Jayanti CA Laut Sancang CA Talaga Bodas CA Leuweng Sancang CA Yanlapa CA Dungsu Iwul CA Gunung Jagat CA Cadas Malang CA Laut Pangandaran
3 3 3,3 3 2,3 3,25 4 3,55 2,95 3,3 2,2 2,75 2,85 1,7 2,3 2,3 2,3 2,9 2,15 2,3 2,3 2,3 1,3 1,3 1,6
Pengelolaan
Keterlibatan Masyarakat
3 2,75 3,05 2,4 2,6 2,15 1 1,4 2 1,6 2 1,8 1,35 2 1 1,25 1,25 1 1,65 1 1,4 1,2 1,75 1,55 1,2
3,5 3,45 2,1 2,4 2,55 1,95 2,05 1,85 1,75 1,6 1,75 1,5 1,55 1,55 1,7 1,4 1,4 0,9 1 1,4 1 1 1,4 1,35 1,3
Total 9,5 9,2 8,45 7,8 7,45 7,35 7,05 6,8 6,7 6,5 6,15 6,05 5,75 5,25 5 4,95 4,95 4,8 4,8 4,7 4,7 4,5 4,45 4,2 4,1
Sumber : Keanekaragaman Flora Fauna Jawa Barat 2005 Keterangan Nilai kondisi ekologis : (1) rusak sekali, (2) rusak, (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali Nilai pengelolaan & masyarakat : (1) kurang sekali, (2) kurang, , (3) cukup baik, (4) baik, (5) baik sekali
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 18
1.2.3 Di
Kawasan Lindung Lainnya luar
kawasan
konservasi,
sebenarnya masih terdapat lokasi-
Kebun Raya Cibodas
lokasi lainnya yang dapat menjadi tempat
perlindungan
dan
pengawetan bagi keanekaragaman hayati. Di antara lokasi tersebut Hutan
Lindung
adalah
yang
terpenting. Kawasan ini memiliki areal hutan terbesar di Jawa Barat bahkan lebih luas dari kawasan konservasi,
yaitu
mencapai
236.601,12 hektar. Meskipun secara umum tingkat keanekaragaman hayatinya lebih rendah dibandingkan kawasan konservasi dan tidak memiliki fungsi sebagai tempat pengawetan keanekaragaman hayati, beberapa areal hutan lindung menjadi habitat bagi beberapa satwa penting. Misalnya hutan lindung di wilayah Garut antara Papandayan - Pamengpeuk, hasil survai pendahuluan yang dilakukan oleh lembaga konservasi KONUS pada tahun 2007, menunjukkan tempat ini masih menjadi tempat tinggal jenis Owa Jawa. Sayangnya pengelolaan hutan lindung, tidak lah seintensif pengelolaan kawasan konservasi. Hutan lindung di Jawa Barat disatukan pengelolaannya dengan kawasan hutan produksi di bawah Perum Perhutani. Keterbatasan aktifitas pengelolaan membuat terjadinya degradasi kondisi hutan lindung mencapai 23.840 ha pada tahun 2007, sebagaimana telah dibahas pada sub bab 1.1. Kawasan lainnya yang menjadi tempat perlindungan keanekaragaman hayati adalah kawasan n Raya Cibodas
perlindungan plasma nutfah secara ex-situ seperti kebun raya, kebun binatang dan pusat rehabilitasi satwa. Di antara lokasi tersebut, kebun raya relatif memiliki pengelolaan yang baik. Jawa Barat memiliki dua kebun raya yaitu Kebun Raya Bogor dengan luas 80 hektar dan Kebun Raya Cibodas seluas 120 hektar dengan pengelolaan dilakukan oleh LIPI. Sampai tahun 2008, Kebun Raya Bogor menyimpan koleksi tumbuhan dataran rendah baik asli maupun pendatang sebanyak 3.443 jenis umum dan 519 jenis anggrek. Sedangkan Kebun Raya Cibodas memiliki koleksi mewakili tumbuhan pegunungan baik asli maupun pendatang mencapai 1.689 jenis umum (termasuk kaktus dan lumut) dan 232 jenis anggrek.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 19
1.3 AIR 1.3.1
Kuantitas Air
Jawa Barat yang beriklim tropis memiliki lahan yang subur berasal dari endapan vulkanis dan memiliki banyak daerah aliran sungai. Ketersediaan air yang berasal dari air di musim penghujan potensinya sangat besar (81,4 milyar m3/tahun) namun di musim kemarau hanya 8,1 milyar m3/tahun. Kondisi badan penerima seperti sungai ataupun waduk mengalami banyak penurunan kualitas. Secara kuantitas beberapa situ telah beralih fungsi, begitu pula dengan rawa sebagai tempat parkir air telah banyak beralih fungsi sejak dari tahun 1970-an. Lokasi Jawa Barat sangat strategis merupakan wilayah yang berdampingan sangat dekat dengan ibukota sehingga percepatan pembangunan ekonomi dan daya tarik urbanisasi menjadi sangat besar. Alih fungsi lahan menjadi lahan permukiman di beberapa wilayah di Jawa Barat menjadi salah satu penyebab menurunnya kuantitas air yang tersedia, hal ini diperparah dengan meningkatnya aktivitas industri yang berperan besar dalam mengurangi kualitas air. Namun kecenderungan penurunan kualitas air diperparah pula oleh aktivitas domestik, dimana pada beberapa sungai utama di bagian hulu mulai mengalami penurunan kualitas berhubungan dengan indikator biologis. Sebagai gambaran, tingkat pelayanan pengelolaan limbah domestik hingga akhir tahun 2007 masih sangat rendah. Sesuai dengan data Suseda 2007, terdapat 49,01% rumah tangga yang menggunakan tangki/septik tank sebagai tempatk pembuatan tinja dan sisanya menggunakan kolam /sawah /kebun /sungai /lubang tanah /lainnya. Kondisi prasarana pengelolaan limbah domestik menunjukkan bahwa dari 17 unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) hanya 11 unit yang beroperasi dengan baik dan baru 4 kabupaten / kota yang memiliki sistem penyaluran air limbah domestik perkotaan yaitu Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Bogor dan Cirebon (2008). 1.3.1.1
Kondisi Ketersediaan Air
A. Air Permukaan A.1 Sungai Berdasarkan data Puslitbang Pengairan tahun 2001, sungai-sungai di Jawa Barat dibagi menjadi 40 DAS dimana 18 DAS mengalir ke utara dan 22 DAS mengalir ke selatan.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 20
Gambar 1. 10 Pengelompokan DAS di Jawa Barat
Sumber: Puslitbang Pengairan
Ketersediaan aliran rata-rata adalah potensi air yang ada pada suatu DAS yang dihitung berdasarkan curah hujan tahunan dan luas DAS dan kebutuhannya. Ketersediaan aliran dasar adalah debit aliran sungai yang diharapkan selalu ada meskipun pada musim kemarau dan dihitung berdasarkan penggunaan lahan (land use) yang ada, dimana untuk setiap land use dapat ditentukan nilai run off (base flow index) masing-masing.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 21
Gambar 1.11 Debit Maksimum dan Minimum Beberapa Sungai Besar di Jawa Barat tahun 2009 (m3/det)
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2008
Gambar diatas memperlihatkan kondisi debit maksimum dan minimum sungai yang diwakili oleh tiga sungai yaitu sungai Citarum, sungai Citanduy dan sungai Cisadane. Disini terlihat bahwa sungai Citarum memiliki debit yang sangat besar namun memiliki baseflow yang kecil bila dibandingkan dengan dua sungai lainnya. Gambar 1.12 Data Panjang Sungai di Jawa Barat (km)
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 22
Peranan sungai Citarum dan Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur, sangatlah penting bagi pembangunan Jawa Barat dan kesejahteraan penduduknya, antara lain untuk air rumah tangga, air irigasi pertanian (300.000 ha di pantura), peternakan, perikanan dan air industri. Bahkan tenaga listrik yang dihasilkan PLTA Saguling, Cirata dan Jatiluhur sangat penting sebagai sumber daya listrik nasional (sekitar 2.000 MW total kapasitas terpasang untuk interkoneksi Jawa-Bali). Waduk Jatiluhur juga mengalirkan air baku dan air penggelontor ke DKI Jakarta (3.000 m3/detik). A.2 Waduk / Situ Data waduk yang tersedia adalah data tentang waduk/situ tahun 2002 - 2007 yang memperlihatkan kondisi naiknya luas tangkapan air serta jumlahnya. Jumlah situ dan waduk pada tahun 2007 meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun 2002, dan hal ini berdampak terhadap peningkatan luasnya mengalami kenaikan sampai 3,7 kali lipat namun potensi debitnya berkurang menjadi 10.303 juta m3 pada tahun 2007. Data yang ada mengasumsikan pada tahun 2007 beberapa wilayah tidak mengalami perubahan berarti dan sesuai dengan data pada tahun 2006. Gambar 1.13 Trend Potensi Situ / Waduk tahun 2002 - 2007
Sumber : Dinas PSDA Jawa Barat, 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 23
B. Air Tanah Air tanah merupakan sumberdaya alam yang potensinya, menyangkut kuantitas dan kualitasnya, tergantung pada kondisi lingkungan tempat proses pengimbuhan (groundwater reacharge), pengaliran (groundwater flow), dan pelepasan air tanah (groundwater discharge) berlangsung pada suatu wadah yang disebut cekungan air tanah. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor 716.K/40/MEM/2003 tentang Batas Horizontal Cekungan Air Tanah di Pulau Jawa dan Madura, bahwa di wilayah Jawa Barat terdapat 27 buah cekungan air tanah yang terdiri dari 8 cekungan lokal, 15 cekungan lintas kabupaten/kota dan 4 cekungan lintas provinsi. Total luas cekungan airtanah di Jawa Barat sekitar 26.307 km2, sedangkan jumlah total potensi airtanah bebas (Q1) sekitar 15,377 milyar m3/tahun, sedangkan jumlah airtanah tertekan sekitar 985 juta m3/tahun. Sebaran CAT di wilayah Jawa Barat dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 1.14 Peta Cekungan Air Tanah Jawa Barat
Sumber : Pusat Lingkungan Geologi Bandung, 2007
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 24
Berdasarkan kondisi geologi dan morfologi serta dikaitkan dengan sistem CAT-nya, Jawa Barat dapat dikelompokkan ke dalam beberapa mandala Air Tanah (AT) (groundwater province) sebagai berikut di bawah ini (DGTL, 2000). Mandala AT Dataran : Umumnya menempati daerah pantai utara dan bagian selatan, dan setempat pada daerah bantaran banjir (flood plain). Secara hidrogeologi, daerah ini umumnya menunjukkan kandungan air tanah bebas (free groundwater) atau air tanah tidak tertekan (unconfined groundwater) yang cukup potensial. Mandala AT Kerucut Gunungapi: Sebaran umumnya di bagian tengah Jawa Barat. Secara umum pola aliran air tanah secara radial dari arah puncak menuju kaki gunungapi, dengan produktivitas akuifer semakin meninggi ke arah bagian kaki gunungapi tersebut. Mandala AT Perbukitan: Pada mandala ini air tanah dijumpai secara terbatas, misal di daerah lembah. Daerah dengan timbulan tajam mencerminkan tingkat resistensi yang tinggi sehingga aliran permukaan (surface run-off) lebih dominan dibandingkan proses peresapan. Gambar 1.15 Peta Hidrogeologi Jawa Barat
Sumber : Pusat Lingkungan Geologi, Bandung, 2007
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 25
1.3.1.2 Kondisi Penggunaan Air dan Statusnya A. Kebutuhan akan Air Berdasarkan data laporan penanganan ijin pengambilan dan pemanfaatan air permukaan, pada tahun 2009 terjadi peningkatan pemanfaatan air, baik melalui PDAM, non PDAM, ataupun untuk Industri, pertanian, dan niaga dengan rincian sebagai berikut. Gambar 1.16 Pemakaian air permukaan per Das di Jawa Barat Tahun 2006 - 2009
Sumber : Diolah dari Laporan Penanganan Ijin Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan Dinas Pengendalian Sumber Daya Air Jawa Barat Tahun 2009
Dari data delapan sungai diatas terlihat bahwa sungai Citarum merupakan sungai dengan pemakaian terbesar oleh berbagai keperluan. Untuk sungai Ciliwung-Cisadane penggunaan air terlihat merata dari tahun ke tahun begitu pula untuk sungai Cimanuk-Cisanggarung. Peningkatan penggunaan air sangat signifikan pada sungai Cisadea-Cimindi dimana pada tahun 2008 dan 2009 memperlihatkan penggunaan air yang besar dibandingkan tahun sebelumnya. Sungai Citarum memperlihatkan kondisi penggunaan air yang berkurang pada tahun sekarang dibanding tahun sebelumnya. Namun dari kondisi seluruh sungai yang dipantau terhadap pemanfaatannya jelas terlihat bahwa trend penggunaan air tetap meningkat, walaupun laju peningkatan penggunaan air pada tahun 2009 menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Dapat dibayangkan bila kondisi air yang secara kuantitas terus menerus meningkat kebutuhannya namun secara kualitas kondisinya mengkhawatirkan.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 26
Peningkatan kebutuhan air merupakan salah satu tekanan dalam berlanjutnya suplai air ke berbagai pemanfaatan di Jawa Barat. Namun dari grafik di bawah dapat terlihat bahwa untuk keperluan industri dan pertanian baik dari SIPA maupun irigasi kebutuhan air semakin menurun (2004 - 2009). Hal ini dapat disebabkan oleh dua hal yaitu telah berkurangnya aktivitas industri di Jawa Barat, dimana kebutuhan biaya operasional baik untuk bahan baku dan operasional tenaga kerja yang semakin meningkat sedangkan harga jual semakin bersaing baik dengan produk China maupun Vietnam. Beberapa pemilik industri tekstil di Bandung yang ada telah banyak beralih usaha pada jasa lainnya seperti pariwisata dan perhotelan. Sedangkan penggunaan air pertanian maupun irigasi penggunaannya menurun yang dapat disebabkan oleh banyaknya alih guna lahan pertanian menjadi perumahan serta mulai tidak berfungsinya sarana irigasi yang ada. Gambar 1.17 Trend Kebutuhan Air untuk Industri dan Pertanian di Jawa Barat
Sumber : Distamben Jawa Barat 2009
B. Sumber Air, Daerah Tangkapan Air dan Pengaliran Air Curah Hujan Intensitas curah hujan di Jawa Barat tahun 2008 belum terdata dengan lengkap (bulan Mei), namun kondisinya pada bulan Mei 2008 Jawa Barat mengalami curah hujan rendah atau kurang dari 150 mm/bulan. Sedangkan curah hujan tertinggi pada tahun 2008 tercatat pada bulan April sebesar 327,1 mm/bulan begitu pula pada tahun sebelumnya sebesar 462 mm/bulan. Sebagian besar wilayah Jawa Barat mengalami curah hujan kurang dari 75 mm/bulan. Bahkan di wilayah Pantura dan bagian Selatan
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 27
Jawa Barat mempunyai curah hujan dibawah 10 mm/bulan. Ini semua sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air dalam bentuk debit sungai. Perubahan Tata Guna Lahan Perubahan tata guna lahan merupakan tekanan terhadap kontinuitas ketersediaan air permukaan. Perubahan ini berkaitan erat dengan tingkat penyerapan air oleh tanah dan kondisi terbangun diatasnya. Dari data tata guna lahan seperti yang disebutkan pada subbab sebelumnya terjadi sedikit peningkatan pada proporsi permukiman, sawah, dan semak / alang-alang. Penurunan penggunaan lahan walaupun sedikit adalah tegalan / kebun campuran, hutan, dan perairan tambak (data tahun 2006). 1.3.2
Kualitas Air di Jawa Barat
Data yang tersedia terkait dengan kualitas air hanya untuk air permukaan saja. Sejauh ini tidak diperoleh data / informai mengenai kualitas air tanah. 1.3.2.1 Kualitas Air Sungai menurut DAS Berikut akan diuraikan kondisi kualitas air sungai di 7 DAS utama di Jawa Barat yang perlu mendapat perhatian, yaitu : DAS Citarum, Ciliwung, Cileungsi-Bekasi, Cimanuk, Citanduy, Cisadane, dan Cilamaya. Parameter pencemar kemudian akan dibandingkan dengan baku mutu kelas II PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air untuk beberapa parameter wajib. Pertimbangan tersebut dilakukan mengingat hingga saat ini Pemerintah Jawa Barat belum menetapkan klasifikasi dan kriteria mutu air sungai untuk masing-masing DAS di Jawa Barat. Berdasarkan hasil pemantauan, terlihat bahwa semua parameter kualitas air di sungai-sungai tersebut menunjukkan nilai atau konsentrasi yang meningkat dan melebihi baku-mutu dari hulu ke hilir dan dari tahun ke tahun (walaupun tidak seluruh lokasi selalu dipantau dari hulu ke hilir) terutama untuk parameter COD dan DO di DAS Cimanuk dan DAS Ciliwung serta DAS Cisadane. Kondisi kualitas air sungai yang sangat parah terjadi di DAS Citarum dimana tidak menunjukkan kecenderungan membaik meski di sungai ini terdapat tiga waduk, yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur karena sungai Citarum melalui daerah-daerah yang padat penduduk dan padat industri, sehingga keberadaan waduk yang berukuran besar pun tidak mempengaruhi penurunan konsentrasi bahan-bahan pencemar. Kemungkinan ini juga menunjukkan
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 28
terlewatinya ambang-batas atas (upper threshold) kemampuan sungai Citarum untuk menurunkan konsentrasi bahan-bahan pencemar karena terlalu beratnya beban pencemar yang dibuang dan kemudian dibawa oleh sungai tersebut. Kondisi sangat parah terdapat pula di DAS Cileungsi - Bekasi yang semakin ke hilir semakin buruk terutama di Cileungsi, Cikarang dan Babelan Bekasi. 1. DAS Citarum a. Kondisi DAS Citarum merupakan DAS terbesar di Jawa Barat dan paling dieksploitasi di Indonesia, mempunyai luas 7.061,77 km2 dan panjang 269 km. DAS ini melewati beberapa wilayah seperti Kab. Sumedang, Kab. Garut, Kab. Bandung, Kota Bandung,
Kota Cimahi, Kab. Cianjur,
Kab.
Purwakarta, dan Kab. Karawang. Di bagian hulunya, DAS ini terdiri atas beberapa anak sungai seperti S. Citarik, S. Cikeruh, S. Cikapundung, S. Cipamokolan, dll yang bermuara ke bagian utara Jawa Barat. DAS Citarum berada pada beberapa wilayah administrasi kabupaten dan kota, yaitu : Lokasi
Daerah Pengaliran
Dominan
beban pencemar DAS Citarum hulu sampai berada pada Kabupaten menampung beban Waduk Saguling Sumedang, pencemaran air Kabupaten akibat limbah Bandung, industri, Kabupaten penduduk dan Bandung Barat, pertanian Kota Bandung, dan Kota Cimahi Waduk Cirata dan Waduk berada pada Kabupaten beban pencemaran air jatiluhur Bandung, akibat limbah Kabupaten perikanan Cianjur, dan keramba jaring Kabupaten apung Purwakarta Citarum Hilir dari Bendung berada pada Kabupaten Beban pencemaran akibat Curug sampai Karawang dan industri dan muara sungai Kabupaten domestik Bekasi Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 29
Anak Sungai Citarum mengalir sebagian besar melalui daerah Kabupaten Bandung dan terkumpul pada Waduk Saguling dan Waduk Cirata. Aktivitas yang dialiri anak sungai adalah limbah domestik dari perkotaan, pedesaan, industri dan persawahan sehingga kualitasnya sangat terpengaruh oleh kegiatan pada daerah aliaran sungai (DAS), khususnya pada wilayah Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Banjir merupakan kondisi yang terjadi tiap tahun pada musim hujan namun, debit sungai selama musim kering sangat rendah dan tingkat pencemarannya sangat tinggi, terutama induk Sungai Citarum Hulu. b. Kualitas Sungai Pada tahun 2009, beberapa parameter yang diukur menuju kearah perbaikan. Parameter tersebut adalah BOD, COD, Nitrit, TSS serta Deterjen. Parameter yang mengalami kenaikan adalah Fecal Coli yang meningkat tajam sampai 10-15 kali lipat serta DO dimana hanya dua lokasi yang masih memenuhi dan berada pada daerah hulu. Trend BOD dan COD dari tahun 2002 - 2009 sangat fluktuatif namun tetap stagnan. Walaupun seluruh lokasi (10 lokasi) yang dipantau melebihi baku mutu, namun bila dibandingkan tahun 2008 mengalami penurunan konsentrasi. Nilai COD pada 50% masih diatas baku mutu sama seperti tahun 2008, namun konsentrasinya mulai mengalami kearah perbaikan. Bila lebih detail dilihat maka kategori pencemaran dari parameter COD terlihat dari mulai kondisi tengah (Cijeruk, Dayeuhkolot, Burujul, Nanjung dan Bdg. Curug) sedangkan pada Hulu (wangisagara, Majalaya & Sapan) dan Hilir (Bd. Walahar dan Tanjung Pura) relatif dari tahun 2002 - 2009 berada pada kondisi stabil dan dibawah baku mutu. Bila diindentifikasi maka pencemaran dari limbah industri sangat mendominasi. Setelah dari hulu (wangisagara dan majalaya), sungai Citarum terus mengalami penurunan konsetrasi DO. Penyebab menurunnya DO disebabkan oleh kandungan zat organik dalam air seperti kandungan zat organik, deterjen ataupun buangan industri serta padatan tersuspensi (limbah domestik dan pengaruh erosi) yang bila terlalu tinggi dapat mempengaruhi kehidupan akuatik, mengurangi proses fotosintesis, meningkatkan kebutuhan oksigen dan turbiditas yang secara alami terjadi dalam kondisi sungai. Indikasi dari menurunnya DO ini di DAS Citarum sangat terlihat sekali dan berasal dari berbagai faktor pencemar mulai dari pencemar domestik (fekal koli, deterjen), industri
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 30
(logam berat, BOD, COD), pertanian (fosfat, nitrit, sulfida), peternakan (fosfat, nitrit, sulfida) serta erosi (TSS dan turbiditas). pH yang sangat basa terdapat di lokasi Sapan dengan nilai 9,5 maka hal ini dapat berpengaruh terhadap hewan akuatik serta penggunaan air untuk keperluan domestik. Umumnya nilai pH tinggi bersinergi dengan tingginya nilai nitrit yang merupakan produk antara sebelum menjadi nitrat dan hal tersebut sesuai dengan kondisi eksisting yang terjadi di Sapan. Pengaruh aktivitas perikanan dan pertanian berasosiasi terhadap kedua parameter. Konsentrasi Fenol sangat memprihatinkan di DAS Citarum. Dari mulai sekitar hulu (Wangisagara) sudah terdapat konsentrasi fenol yang melebihi baku mutu yaitu 20 ug/l, disamping BOD dan Sulfida. Konsentrasi fenol terdeteksi pula di semua daerah pemantauan, dan umumnya 20 kali lebih besar. Fenol diatas 1 ug/l dapat mempengaruhi hewan akuatif yang menyebabkan kematian, serta kondisi ini mempengaruhi manusia,karena bersifat racun dan karsinogenik. Zat tersebut biasanya berasal dari zat organik terutama minyak, plastik serta dari aktivitas industri. Paramater yang tinggi dan tidak memenuhi baku mutu terdapat juga pada konsentrasi Fosfat Total, Zat Tersuspensi, Sulfida, BOD, COD dan DO yang rata-rata melebihi di hampir seluruh titik pemantauan. Unsur logam berat seperti seng yang melebihi baku mutu terdeteksi di Sapan, selain itu terdeteksi juga konsentrasi boron di sekitar Nanjung. Gambar 1.18 Kondisi Kualitas Air Sungai Citarum Tahun 2002 - 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 31
Sumber : Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 - 2009, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 32
Tabel 1.8 Kualitas Air Sungai Citarum Tahun 2009 DAS Citarum 2009
BOD (mg/L) <3 3.2 4.3
COD (mg/L) < 25 8.8 12.4
DO (mg/L) >4 7.9 4.4
deterjen (µg/L) < 200 57 20
Nitrit (mg/L) < 0.06 0.003 0.002
Sulfida (mg/L) < 0.002 0.04 0.04
Koli Tinja (jml/100 mL) < 1000 26000 450000
TSS (jml/100 mL) < 50 48 86
Fosfat total (mg/L) < 0.2 0.022 0.595
Seng (mg/L) < 0.05 0.007 0.007
Sapan
19.6
62
0
348
0.077
0.04
0
70
2.8
0.007
Cijeruk
16.2
48
0
249
0.021
0.04
0
60
0.974
0.054
16
42
0.39
118
0.013
0.04
280000
52
1.33
0.007
Burujul
14.8
46
0
236
0.013
0.04
0
30
1.42
0.007
Nanjung
15.6
48
0
184
0.05
0.04
0
60
0.359
0.007
Bdg. Curug
8.42
19.9
1.3
28
0.129
0.04
63000
24
0.911
0.007
Bdg. Walahar
5.72
13.8
1.9
20
0.003
0.04
38000
22
0.175
0.007
Tanjungpura (hilir)
10.3
24.2
3.8
20
0.002
0.04
120000
60
0.584
0.007
BM KLS II Wangisagara(hulu) Majalaya
Dayeuhkolot
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 3,2 – 19,6 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend turun. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 8,8 – 48 mg/L, 50% sesuai Baku Mutu mengalami kenaikan, trend turun. DO (Baku Mutu > 4 mg/L). Berkisar antara 0 – 48 mg/L, 80% lokasi melebihi baku mutu yang ditetapkan, trend naik Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar antara 0 – 450000 mg/L, 60% lokasi melebihi baku mutu, trend fluktuatif. Detergen (Baku Mutu = 200 µg/L). Berkisar antara 20 – 348 mg/L, 20% tidak sesuai Baku Mutu, trend menurun. H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik Fosfat (Baku Mutu = 0,2 mg/L). Berkisar antara 0,022 – 1, 42 mg/L, 80% melebihi Baku Mutu, trend fluktuatif. Nitrit (Baku Mutu = 0,06 mg/l). Berkisar antara 0,017 – 0,117 mg/L, sebagian memenuhi Baku Mutu, trend menurun. TSS (Baku Mutu 50 mg/L). Berkisar antara 22 – 86 mg/l, 60% lokasi tidak memenuhi baku mutu, trend menurun. seng (Baku Mutu 0,05 mg/L). Berkisar antara 0,006 – 2,56 mg/l, sebagian lokasi tidak memenuhi baku mutu, trend menurun.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 33
2. DAS CILIWUNG a. Kondisi Fisik Secara administratif, bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kec. Megamendung, Cisarua, dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Bogor (Kec. Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan. Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 300 m sampai 300 m dpl. DAS ini bermuara ke bagian utara Jawa Barat. Bagian tengah DAS Ciliwung mencakup areal seluas 94 km2, merupakan daerah bergelombang dan berbukit dengan variasi elevasi antara 100 - 300 m dpl. Penggunaan lahan di bagian tengah DAS Ciliwung masih didominasi penggunaan lahan pertanian dan perkebunan (73%).
Secara administratif pemerintahan, bagian tengah DAS Ciliwung
termasuk wilayah Kabupaten Bogor, Kota Bogor, serta Kota Depok. Sedangkan bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah DKI Jakarta. b. Kualitas Hasil pemantauan Prokasih menunjukkan kualitas air Sungai Ciliwung saat ini dalam kondisi tercemar sejak dari hulunya di Puncak, Kabupaten Bogor, untuk parameter fecal koli, fosfat total dan sulfida. BOD di hulu (Masjid Atta’awun) dibanding tahun 2008 mengalami penurunan dimana sekarang tidak melebihi baku mutu yang ditetapkan. Trend dari tahun 2004 - 2009 kualitas air semakin memburuk dan mengalami kenaikan konsentrasi yaitu sejak dari Katulampa semakin ke hilir di Jembatan Panus. Di samping beban pencemaran yang makin tinggi, kawasan hilir di sepanjang daerah aliran sungai makin berkembang untuk aktivitas domestik. Secara umum kualitas air DAS Ciliwung untuk parameter fecal coliform cenderung menurun setiap tahunnya, hal ini terkait dengan semakin meningkatnya permukiman di wilayah hulu maupun tengah di DAS Ciliwung sehingga tidak memenuhi baku mutu kelas II.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 34
Gambar 1.19 Kualitas Air Sungai Ciliwung Tahun 2004 - 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 35
Sumber : Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 2009, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Pada tahun 2009, beberapa parameter seperti fosfat total, H2S, Nitrit dan logam berat Zn terpantau melebihi baku mutu pada beberapa wilayah seperti untuk fosfat total di daerah hulu yang lebih tinggi 7,6 kali dari Baku Mutu yang ditetapkan (Masjid Atta’awun) dan lebih besar dibandingkan lokasi lainnya hal ini patut ditindaklanjuti lebih dalam berkaitan dengan aktivitas peternakan ataupun pertanian yang terdapat di lokasi tersebut ataupun industri yang menggunakan fosfat sebagai bagian dari proses produksinya. Parameter H2S disemua lokasi dari hulu ke hilir. Dari parameter H2S disemua lokasi yang sangat tinggi (200 kali dari BM) seharusnya mengisyaratkan kondisi oksigen terlarut yang rendah namun hal ini tidak terjadi karena nilai DO sangat optimum bagi kondisi akuatik yaitu berkisar antara 6,2 - 6,6 mg/L O2. Tabel 1.9 Kualitas Sungai Ciliwung Tahun 2009 DAS Ciliwung 2009 BM Kelas II Mesjid Attaawun (Hulu) Cisampay Pasir Angin/Bd Gadog Cisarua Katulampa Kebun Raya/Sempur Kedung Halang Pondok Rajeg Jembatan Panus (Hilir)
BOD (mg/L) <3 2.9 1.4 2.1 2 3.5 3.2 4.6 3.2 4.9
COD (mg/L) < 25 8.6 5 5.2 5.2 9.5 8.6 10.4 7.5 10.4
DO (mg/L) >4 6.6 6.6 6.4 6.6 6.6 6.2 6.4 6.4 6.2
Fecal Coli (jml/100mL) < 1000 4800 2600 1200 7400 1400 1350 9000 8400 11000
Fosfat total (mg/L) < 0.2 1.52 0.445 0.409 0.386 0.903 0.22 0.075 0.088 0.092
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Sulfida (mg/L) < 0.002 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Hal - 36
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 2 – 4,9 mg/L, dari satu lokasi yang melebihi BM (2008) pada tahun 2009 naik menjadi 5 lokasi, trend naik. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 5 –10,4 mg/L, semua sesuai Baku Mutu, trend turun. Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar antara 1200 –11000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend fluktuatif. H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik
3. DAS CILEUNGSI-BEKASI a. Kondisi Fisik Hulu daerah aliran sungai Cileungsi berada di daerah kabupaten Bogor, sedangkan hilirnya berada di daerah Bekasi. Pengambilan sampel air di DAS Cileungsi ini dilakukan di 8 lokasi, yaitu
Pekapuran,
Cileungsi,
Jonggol,
Cikeas/Citeureup, Cikeas Hilir sebelum Bekasi, Cikarang, Babelan, dan Marga Jaya. Hasil analisis pada beberapa lokasi tersebut terdapat parameter yang tidak memenuhi nilai baku mutu sesuai PP No. 82 Tahun 2001 kelas 2 sebagai dasar pelaksanaannya serta beberapa ilustrasi dari tahun 2002 sampai 2008 yang memperlihatkan trend yang semakin memburuk dan tidak memenuhi baku mutu untuk kelas 3. Sungai Cileungsi-Bekasi merupakan salah satu sungai besar yang berhulu di bagian tengah Jabodepunjur. Di Bojongkulur, Sungai Cileungsi bertemu dengan Sungai Cikeas dan akhirnya berlanjut menjadi bagian dari Sungai Bekasi yang bermuara di Laut Jawa. Baik Sungai Cileungsi maupun Sungai Cikeas bersumber dari Gunung Kencana yang berada di Wilayah Kabupaten Bogor. Panjang sungai Bekasi mulai dari hulu sungai Cikeas adalah 118 km sedangkan jika dari sungai Cileungsi, panjang sungai adalah 102 km, dengan luas daerah aliran sungai sekitar 521,45 km2. DAS Cileungsi-Bekasi meliputi wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi. Pada bagian hulu sungai terdapat hutan lindung, hutan produksi, pertanian, tanaman
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 37
hortikultura dan tanaman pangan. Di sebagian besar hilir sungai terdapat persawahan dan tambak ikan. Pada DAS Bekasi terdapat daerah industri dengan jumlah industri sekitar 170 buah yang berada di sepanjang daerah aliran sungai Cikeas, Citeureup, Cileungsi di Kabupaten Bogor serta di sepanjang Bekasi di Kabupaten Bekasi. DAS ini bermuara ke bagian utara Jawa Barat. Pengambilan sampel air di DAS Cileungsi ini dilakukan di 8 lokasi, yaitu Pekapuran, Cileungsi, Jonggol, Cikeas/Citeureup, Cikeas Hilir sebelum Bekasi, Cikarang, Babelan, dan Marga Jaya. Hasil analisis pada beberapa lokasi tersebut terdapat parameter yang tidak memenuhi nilai baku mutu sesuai PP No. 82 Tahun 2001 kelas 2 sebagai dasar pelaksanaannya serta beberapa trend dari tahun 2002 sampai 2008 yang memperlihatkan kualitas yang semakin memburuk dan tidak memenuhi baku mutu untuk kelas 3. b. Kualitas Sejak tahun 2002, DAS Cileungsi-Kali Bekasi telah menjadi prioritas DAS yang dipantau dalam program Prokasih. Berdasarkan hasil pemantauan Prokasih sungai Cileungsi - Bekasi kualitas air sungai tersebut sudah tercemar sangat berat, kondisi ini ditunjukkan dengan adanya kecenderungan beberapa parameter penting (BOD, Nitrit, Fecal Coliform dan Logam lainnya) dimana setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan. Gambaran kualitas air DAS Cileungsi Bekasi tersaji pada tabel dan gambar dibawah ini. Trend peningkatan BOD dari tahun 2002 - 2009 terlihat pada gambar dibawah ini dimana mulai dari hulu sampai hilir terjadi peningkatan untuk baku mutu kelas II dan III hal ini untuk menunjukkan bahwa beberapa segmen sungai sudah tidak terdapat kehidupan akuatik yang aerobik dan menjurus pada kondisi dekomposisi anaerob. Parameter fenol dan sulfida diseluruh lokasi sudah tidak memenuhi baku mutu kelas II. Fenol merupakan gugus hidroksil yang umumnya bila bersenyawa dengan chlor akan mengakibatkan karsinogenik. Fenol berasal dari sumber limbah industri baik plastik, kimia, minyak ataupun limbah domestik seperti pemutih pakaian dan pewarna. Parameter COD sebanyak 50% lokasi diatas baku mutu yang ditetapkan dimana daerah hilir mulai mengalami kenaikan konsentrasi. Naiknya konsentrasi terjadi di daerah Cileungsi, Cikarang serta Babelan, karena daerah tersebut merupakan lokasi beberapa
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 38
industri yang membuang limbahnya pada badan air di DAS Cileungsi. Daerah Cileungsi merupakan daerah terparah kondisinya dimana lima parameter berada diatas baku mutu (BOD, COD, DO, H2S, Fecal coli dan Nitrit), setelah itu berturut turut Cikarang dan Babelan. Gambar 1.20 Kondisi Kualitas Air Sungai Cileungsi - Bekasi Tahun 2002 - 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 39
Sumber : Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 - 2009, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Tabel 1.10 Kualitas Sungai Cileungsi Tahun 2009 DAS Cileungsi / Bekasi 2009 BMA Kelas II Pekapuran (hulu) Cileungsi Jonggol Cikarang Babelan (hilir) Cikeas-Citeureup Bojongkulur Margajaya
BOD (mg/L) <3 3.64 21.4 5.22 15.2 15.8 8.88 6.44 17.6
COD (mg/L) < 25 7.8 56.2 12.1 36.3 36.6 21.6 14.7 44.1
DO (mg/L) >4 7.64 3.43 5.38 1.78 1.2 1.83 3.6 1.37
Koli Tinja (jml/100 mL) < 1000 32000 31000 48000 120000 54000 180000 58000 580000
Deterjen (µg/L) < 200 20 20 20 25 86 20 20 61
Sulfida (mg/L) < 0.002 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Nitrit (mg/L) < 0.06 0.068 0.275 0.2 0.008 0.033 0.018 0.004 0.004
Minyak (µg/L) < 1000 50 50 800 50 800 400 50 800
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 3,64 – 21,4 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 7,8 – 56,2 mg/L, 50% yang sesuai Baku Mutu, trend naik. Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar antara 31000 – 580000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. Detergen (Baku Mutu = 200 µg/L). Berkisar antara 31 – 362 mg/L, mayoritas tidak sesuai Baku Mutu, trend meningkat. H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 20 mg/L, seluruh tempat dibawah Baku Mutu. Trend turun Nitrit (Baku Mutu = 0,06 mg/l). Berkisar antara 0,004 – 0,275 mg/L, sebagian besar memenuhi Baku Mutu, trend naik. Minyak & lemak (Baku Mutu 1000 µg/L). Berkisar antara 50 – 800 mg/l, seluruh lokasi memenuhi baku mutu, trend menurun.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 40
Fenol (µg/L) 1 20 20 20 20 20 20 20 20
4. DAS CIMANUK a. Kondisi Fisik DAS Cimanuk membujur dari selatan ke utara, berhulu di Kab. Garut dan Kab. Sumedang dan bermuara di Kab. Indramayu (bagian utara Jawa Barat). DAS Cimanuk merupakan sungai ketiga terbesar di Provinsi Jawa Barat yang merupakan gudang padi setelah DAS Citarum. Saat ini DAS Cimanuk yang memiliki luas sekitar 3.483,66 km2 dengan potensi aliran rata-rata tergolong kritis. Debit sungai dirasakan menurun yang dipantau di bendung Rentang atau pencatat tinggi muka air di pos Monjot. b. Kualitas Pada tahun 2009, hasil pemantauan Prokasih menunjukkan konsentrasi yang semakin baik, walaupun beberapa parameter masih tinggi tidak memenuhi baku mutu kelas II PP No. 82 Tahun 2001 seperti H2S dan Fecal Coli serta BOD (kecuali daerah hilir di Wado). Pada tahun 2008 untuk parameter BOD yang terpantau dalam grafik mengalami trend kenaikan di arah hulu (Bayongbong) sedangkan di hilir cenderung menurun, namun di semua titik pantau tingkat BOD sangat tinggi, artinya konsentrasi reduktor tinggi dan umumnya didominasi oleh pencemar industri dan buangan domestik, namun pada tahun 2009 terjadi penurunan konsentrasi walaupun masih diatas baku mutu kecuali di hilir. Untuk parameter koli tinja, kandungannya di semua lokasi sangat tinggi. Parameter seng pada tahun 2008 terpantau di lokasi sebelah hiilir Sukaregang dan Tomo, kemungkinan disebabkan oleh limbah industri yang terdapat di daerah Sukaregang Garut, namun pada tahun 2009 tidak terpantau sama sekali. Sulfida di semua lokasi konsentrasi di atas baku mutu kelas II, namun lebih merupakan dekomposisi aerobik dimana parameter DO yang masih optimum (7,6 - 7,8) untuk pertumbuhan akuatik.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 41
Gambar 1.21 Kondisi Kualitas Air Sungai Cimanuk Tahun 2003 - 2009
Sumber : Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 - 2009, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 42
Tabel 1.11 Kualitas Sungai Cimanuk Tahun 2009 DAS Cimanuk 2009 BM KLS II Bayongbong Garut Setelah Sukaregang Tomo Jatibarang Sasakbeusi Wado
BOD (mg/L) <3 3.2 3.6 3 4.8 4.2 2.6
COD (mg/L) < 25 8.6 9.4 8.6 12.8 11.3 6.9
Koli Tinja (jml/100 mL) < 1000 320000 290000 7000 18000 50000 22000
DO (mg/L) >4 7.7 7.8 7.8 7.6 7.8 7.7
Seng (mg/L) < 0.05 0.007 0.007 0.007 0.007 0.007 0.007
Sulfida (mg/L) < 0.002 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Zat tersuspensi (mg/L) < 50 54 72 46 20 44 50
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 2,6 – 4,8 mg/L, empat tempat melebihi baku mutu, trend membaik (menurun). COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 6,9 – 12,8 mg/L, semua lokasi sesuai Baku Mutu, trend membaik (menurun). DO (Baku Mutu = 4 mg/L). Berkisar antara 7,6 – 7,8 mg/L, sesuai Baku Mutu, trend turun Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar 7000 – 320000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. Seng (Baku Mutu = 0,05 mg/L). 0,007 mg/L, semua lokasi sesuai Baku Mutu, trend turun (membaik). H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik Zat tersuspensi (Baku Mutu = 50 mg/l). Berkisar antara 20 – 72 mg/L, empat lokasi memenuhi Baku Mutu, trend fluktuatif.
5. DAS CITANDUY a. Kondisi Fisik DAS Citanduy dengan luas 2.590,54 km2, merupakan satu dari 18 DAS di Jawa Barat yang mengalir ke selatan.
Curah hujan di DAS
tersebut tergolong tinggi, yaitu 2.932,00 mm/tahun
sehingga
aliran
rata-ratanya
3
mencapai 144,16 m /detik, sedangkan aliran mantap DAS Citanduy pada tahun 2001 mencapai 67,37 m3/detik. DAS ini memiliki tingkat erosi yang tinggi sehingga dikategorikan sebagai DAS dengan tingkat erosi yang kritis. b. Kualitas Hasil pemantauan kualitas air sungai Citanduy selama Program Prokasih yang dimulai sejak tahun 2003 menunjukkan bahwa status mutu Sungai Citanduy sudah tercemar berat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya parameter pencemar yang tidak memenuhi baku mutu
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 43
kelas II (PP No. 82 Tahun 2001). Begitu juga pada tahun 2009, hampir setiap tahun di semua lokasi, parameter BOD, COD, Fecal Coliform dan H2S selalu saja terdapat segmen yang tidak memenuhi baku mutu. Namun, kondisi kearah perbaikan mulai terlihat, kecenderungan jumlah parameter yang tidak memenuhi baku mutu terus menurun, pada tahun 2006 pernah muncul parameter Fluorida, Timbal, Belerang, Air Raksa dan Sianida, pada tahun 2008 logam berat yang terpantau adalah seng di Panumbangan dengan konsentrasi 0,13 mg/L namun pada tahun 2009 tidak terdeteksi logam berat yang mencemari seluruh titik pantau yang ada. Dari data terakhir terlihat bahwa sumber pencemar limbah domestik serta aktivitas pertanian dan perikanan mempengaruhi kualitas air di DAS CItanduy ini, terlihat dari naiknya konsentrasi fenol, sulfida, koli tinja dan koli total. Konsentrasi nitrit pada tahun 2009 mulai memenuhi baku mutu dimana parameter ini merupakan produk antara sebelum ke bentuk stabilnya berupa nitrat dengan kondisi pH yang alkali. Gambar 1.22 Kondisi Kualitas Air Sungai Citanduy Tahun 2005 - 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 44
Sumber : Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 2009, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Tabel 1.12 Kualitas Sungai Citanduy Tahun 2009 DAS Citanduy 2009 Baku Mutu Kelas II Panumbangan Bendung Pataruman Tunggilis
BOD (mg/L) <3 2.4 3.8 3.6
COD (mg/L) < 25 6.4 10.4 9.8
DO (mg/L) >4 7.9 7.8 7.6
Seng (mg/L) < 0.05 0.008 0.007 0.007
Koli Tinja (jml/100 mL) < 1000 14000 20000 9000
Sulfida (mg/L) <0.002 0.04 0.04 0.04
nitrit (mg/L) < 0.06 0.005 0.009 0.002
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 2,4 – 3,8 mg/L, dua lokasi melebihi baku mutu, trend fluktuatif. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 6,4 – 10,4 mg/L, semua lokasi sesuai Baku Mutu, trend menurun. DO (Baku Mutu = 4 mg/L). Berkisar antara 7,6 – 7,9 mg/L, sesuai Baku Mutu, trend menurun Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar antara 9000 – 14000 mg/L, melebihi baku mutu, trend naik. seng (Baku Mutu = 0,05 mg/L). Berkisar antara 0,007 – 0,008 mg/L, sesuai Baku Mutu, trend naik. H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 45
6. DAS Cilamaya a. Kondisi Fisik Sungai
Cilamaya
membentang
memisahkan
Kabupaten Karawang dengan Kabupaten Subang. Sebagaimana
DAS-DAS
sebelumnya,
data
pemantauan kualitas air sungai dari tahun 2002 untuk daerah aliran sungai Cilamaya juga dilakukan pada beberapa lokasi sampling dengan frekuensi pengambilan tiga kali kecuali untuk tahun 2008 karena masih dilakukan pemantauan (satu kali). Lokasi pengambilan sampel air sungai untuk DAS Cilamaya adalah Wanayasa, Bendung Baru gbug, dan Cilamaya Hilir. Seperti halnya daerah aliran sungai sebelumnya, DAS ini merupakan salah satu sumber alternatif irigasi bagi berbagai lahan sawah di wilayah Purwakarta, Subang, serta sebagian Karawang. b. Kualitas Kondisi DAS ini semakin ke hilir konsentrasi pencemar menjadi meningkat. Tahun 2009, parameter yang melebihi baku mutu air kelas II yaitu BOD, COD, Fecal Coli, dan H2S juga fosfat total pada beberapa segmen melebihi baku mutu. Kondisi ke arah perbaikan mulai terlihat dimana pada tahun 2009 tidak ditemukan unsur logam, tidak seperti tahun sebelumnya (2008) yang ditemukan parameter logam seperti Cd, Cu, Pb dan Zn. Namun untuk daerah hulu di Wanayasa trend BOD mengalami perbaikan dimana dari hasil uji parameter tersebut mengalami penurunan dan dibawah baku mutu yang ditetapkan begitu pula untuk COD dan DO namun patut diwaspadai karena konsentrasinya mulai meningkat dibandingkan tahun 2008. Kondisi memprihatinkan terdapat di titik pemantauan Barugbag (tengah) dan Sasak Beusi (hilir) dimana dari parameter wajib yang dipantau mengalami peningkatan seperti BOD, COD, DO, total coliform,Fecal Coli, H2S, fenol dan Fosfat. Pengaruh berbagai aktivitas baik industri, limbah domestik dari pencucian dan tinja, pemutih pakaian, limbah pertanian sangat berpengaruh terhadap lokasi-lokasi tersebut.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 46
Gambar 1.23 Kondisi Kualitas Air Sungai Cilamaya 2005 - 2009
Sumber : Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 2009, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 47
Tabel 1.13 Kualitas Sungai Cilamaya Tahun 2009 DAS Cilamaya 2009 Baku Mutu Kelas II Wanayasa Barugbug Blanakan Bongas Cilamaya stlh BMP Gempol Haji
BOD (mg/L) <3 2.22 12.5 12.7 12.7 12.8 11.4
COD (mg/L) < 25 5.2 32.8 32.8 32.8 33.7 27.6
DO (mg/L) >4 7.3 3.88 0.5 2.1 1.1 2.1
Fecal Coli (jml/100 mL) < 1000 4400 36000 510000 12000 360000 410000
Nitrit (mg/L) < 0.06 0.004 0.003 0.004 0.013 0.007 0.004
Seng (mg/L) < 0.05 0.007 0.007 0.007 0.007 0.007 0.007
Sulfida (mg/L) < 0.002 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 2,22 – 12,8 mg/L, 90% melebihi baku mutu, trend menurun. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 5,2 – 33,7 mg/L, 90% melebihi Baku Mutu, trend menurun. DO (Baku Mutu = 4 mg/L). Berkisar antara 0,5 – 7,3 mg/L, 90% melebihi Baku Mutu, trend naik Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar antara 4400 – 510000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. seng (Baku Mutu = 0,05 mg/L). 0,007 mg/L, seluruh lokasi sesuai Baku Mutu, trend fluktuatif. H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik Nitrit (Baku Mutu = 0,06 mg/l). Berkisar antara 0,003 – 0,013 mg/L, semua lokasi memenuhi Baku Mutu, trend menurun.
7. Das Cisadane a. Kondisi Hulu Sungai Cisadane berasal dari Kabupaten Bogor, dan masuk ke wilayah Kabupaten Tangerang melalui Kecamatan Cisauk, Serpong dan ke wilayah Kota Tangerang dan akhirnya bermuara di teluk Jakarta. Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai lintas provinsi yang melalui wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten. Menurut peruntukannya (PP No. 82 Tahun 2001) sungai Cisadane harus memenuhi baku mutu kelas 2, yaitu untuk prasarana atau sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan air untuk mengairi pertanaman. Pada kondisi saat ini di sekitar sungai cisadane telah banyak
berdiri
kawasan
pemukiman
dan
industri/pabrik yang sangat mempengaruhi kualitas air sungai tersebut.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 48
Di daerah aliran sungai Cisadane selain terdapat sebaran penduduk, industri, juga terdapat lahan pertanian yang berpotensi menyumbang limbah. Oleh karena itu, disetiap lokasi pengambilan sampel air DAS Cisadane berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 sampai tahun 2009 terdapat parameter uji yang tidak memenuhi baku mutunya berkaitan dengan pengaruh aktivitas di DAS tersebut. Nilai parameter uji air DAS Cisadane yang berada di atas baku mutu tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah. b. Kualitas Titik sampel dilakukan pada delapan lokasi sampling dari hulu ke hilir yaitu, Cisalopa, Muara Jaya, Jembatan Pancasan, Jembatan Karya Bhakti, Jembatan Jasmin, Batu Beulah, Karihkil, dan Rumpin. Parameter Koli Tinja dan Koli Total, Sulfida dan Nitrit merupakan parameter yang sering kali tidak memenuhi nilai baku mutunya pada beberapa wilayah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Tahun 2009, terjadi penurunan kualitas air yang diindikasikan oleh naiknya konsentrasi beberapa parameter dibandingkan tahun sebelumnya. Sebagai contoh konsentrasi BOD dan COD yang naik pada tahun 2009 dibandingkan tahun sebelumnya sehingga berada pada kondisi tercemar (diatas baku mutu kelas 2). Trend pada DAS ini untuk parameter tersebut diatas mengalami penurunan (2009) sehingga diperlukan upaya perbaikan dari hulu sampai hilir DAS Cisadane. Secara umum, jenis polutan penyebab menurunnya kualitas di beberapa lokasi DAS Cisadane dikarenakan adanya limbah domestik, limbah pertanian, peternakan, serta adanya limbah cair industri yang terlarut dalam air sungai. Jembatan Karya Bhakti merupakan lokasi dengan tingkat pencemaran tertinggi dibanding lokasi lain. Beberapa parameter diatas baku mutu seperti BOD, zat tersuspensi,fenol, Fosfat, Nitrit, Sulfida dan fecal coli. Polutan penyebab tingginya konsentrasi ini perlu mendapatkan perhatian.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 49
Gambar 1.24 Kondisi Kualitas Air Sungai Cisadane Tahun 2006 - 2009
Sumber : Laporan Kegiatan Pengendalian Pencemaram Air Pada DAS Prioritas Melalui PROKASIH Tahun 2002 2009, BPLHD Provinsi Jawa Barat.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 50
Tabel 1.14 Kualitas Sungai Cisadane Tahun 2009 DAS Cisadane 2009 Baku Mutu Kelas II Cisalopa Muara Jaya Jbt. Pancasan Jbt. Karya Bhakti Jbt. Yasmin Batubeulah Karihkil Rumpin
BOD (mg/L) <3 2.2 4.9 5.8 6.6 5.8 3.5 4.4 6.4
COD (mg/L) < 25 6 12.1 13.0 12.1 14 15 10.4 17
DO (mg/L) >4 6.8 6.8 6.4 6.7 6.8 6.8 6 5.7
Koli Tinja (jml/100 mL) < 1000 7000 6500 9000 11000 10000 9000 14000 18000
Nitrit (mg/L) < 0.06 0.002 0.005 0.002 0.106 0.003 0.037 0.004 0.0012
Sulfida (mg/L) < 0.002 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
Keterangan : BOD (Baku Mutu = 3 mg/L). Berkisar antara 2,2 – 6,6 mg/L, 90% melebihi baku mutu, trend naik. COD (Baku Mutu = 25 mg/L). Berkisar antara 6 – 13 mg/L, sesuai Baku Mutu, trend naik. DO (Baku Mutu = 4 mg/L). Berkisar antara 5,7 – 6,8 mg/L, seluruhnya sesuai Baku Mutu, trend turun Fecal Coliform (Baku Mutu = 1000 jml/100mL). Berkisar antara 6500 – 18000 mg/L, seluruh tempat melebihi baku mutu, trend naik. H2S (Baku Mutu =0,002 mg/L). 0,04 mg/L, seluruh tempat melebihi Baku Mutu. Trend naik Nitrit (Baku Mutu = 0,06 mg/l). Berkisar antara 0,0012 – 0, 106 mg/L, 90% memenuhi Baku Mutu, trend menurun.
1.3.2.2 Kualitas Air Sungai Berdasarkan wilayah Kabupaten / Kota A. Kondisi Sungai di Kota Depok Dari data yang diambil tahun 2009, maka dapat terlihat bahwa seluruh parameter BOD pada sungai, saluran serta kali yang ada di kota Depok melebihi baku mutu yang ditetapkan dengan konsentrasi dari 11,56 - 53,41 mg/l. Untuk COD maka 68,75% melebihi baku mutu yang ditetapkan. Parameter wajib lainnya masih memenuhi baku mutu kecuali untuk lokasi pemantauan Kali Angsana dimana residu tersuspensinya mencapai 622 mg/l dan perlu mendapatkan perhatian. Tabel 1.15 Kondisi Sungai, Saluran dan Kali di Kota Depok 2008 Temperatur
Residu Terlarut
Residu Tersuspensi
pH
BOD
COD
DO
Lokasi Pemantauan
o
C
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
Baku Mutu Kelas II
±3
1000
400
6_9
6
50
>3
Kali Ciliwung
23,5
102
22
6,84
34,12
72,06
7,09
Kali Baru
24,2
104
83
7,34
14,78
32,16
6,77
25
214
14
6,73
48,58
100,32
7,73
Kali Sugutama
26,2
216
14
7,53
43,78
98,03
6,61
Kali Laya
27,1
218
15
7,29
26,67
125,06
6,69
Kali Angke
25,1
128
60
6,91
16,39
42,06
6,93
Kali Grogol
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 51
Temperatur
Residu Terlarut
Residu Tersuspensi
pH
BOD
COD
DO
Lokasi Pemantauan
o
C
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
Baku Mutu Kelas II
±3
1000
400
6_9
6
50
>3
Sal. Sekunder Cab. Barat
23,5
98
10
7,54
30,89
64,12
6,93
Kali Angsana
27,5
92
622
6,82
32,14
75,06
6,61
Kali Krukut
24,7
100
14
6,51
56,76
125,06
7,13
Sal. Sekunder Cab. Barat
23,9
202
62
7,31
11,56
38,16
6,00
Kali Caringin
25,3
62
12
6,92
25,70
76,12
5,96
25
104
37
6,42
13,17
42,16
6,81
Sal. Sekunder Cab. Barat
25,2
306
233
7,45
19,58
43,32
7,33
Kali Ciliwung ( Juanda)
26,1
312
18
6,75
53,41
102,72
7,81
Kali Manggis
23,5
92
17
7,35
29,41
64,12
7,21
Kali Cipinang
24,3
166
20
6,58
30,89
72,25
6,61
Kali Kumpa
Sumber : SLHD Kota Depok 2008
B. Kota Banjar Terdapat empat sungai yang dipantau di kota Banjar yaitu sungai Citanduy yang bermuara ke Pangandaran, sungai Ciroas, sungai Cijolang dan sungai Ciseel. Kondisi keempat sungai rata-rata memiliki nilai BOD yang tinggi hal ini dapat dimengerti mengingat sungai-sungai yang ada melalui permukiman, peternakan serta sarana irigasi pertanian. Namun sungai Ciroas dan sungai Cijolang perlu mendapat perhatian lebih mengingat nilai COD melebihi ambang yang ditetapkan. Parameter wajib yang lain masih dalam kondisi normal. Tabel 1.16 Kondisi Sungai di Kota Banjar 2008 Sungai
Residu Terlarut
Residu Tersuspensi
pH
BOD
COD
mg/L
(mg/L)
mg/L
mg/L
mg/L
1000
400
6_9
6
50
Hulu
111
48
7,98
6
24
Tengah
76
20
7,6
4
12
Hilir
91
65
7,57
10
39
Hulu
155
98
7,17
20
60
Tengah
157
27
7,07
5
25
Hilir
122
27
6,87
3,58
21
Hulu
102
177
7,85
12
47
Tengah
107
24
7,07
7
22
Hilir
124
302
6,89
17
66
Hulu
82
87
7,45
4,25
17
Tengah
80
63
7,51
11
38
Hilir
79
94
7,5
6
20
Lokasi
Baku Mutu Kelas II Sungai Citanduy
Sungai Ciroas
Sungai Cijolang
Sungai Ciseel
Sumber : SLHD Kota Banjar 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 52
C. Kabupaten Karawang Terdapat 23 titik pantau di Karawang, yang dilakukan pemantauan. Namun tidak diketahui sungai-sungai apa saja yang terdiri dari titik-titik pantau yang ada. Dari data pemantauan maka BOD masih menjadi parameter yang perlu mendapatkan perhatian (47,8% melebihi baku mutu). Titik 17 merupakan sungai dengan kondisi parameter wajib yang perlu diperbaiki karena lima parameter melebihi ambang yang diberlakukan terutama residu terlarut. Selain itu perlu diperhatikan sungai lain seperti pada titik 15 dan 18. Tabel 1.17 Kondisi Sungai di Kab. Karawang 2008 Lokasi Pemantauan
Temperatur o
Residu Terlarut
pH
BOD
COD
DO
C
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
±3
1000
6_9
6
50
>3
Bendungan Walahar
28,7
330
6,8
3,48
8,06
6,7
Warung Bambu
29,9
550
7,1
16,27
44,35
4,9
Irigasi PDAM
29,7
180
6,5
3,77
9,07
5,8
Gintungkerta
30,6
100
6,9
7,34
19,15
6,2
Telukjambe
30,1
450
6,8
13,79
37,3
6,4
Tunggaljati
30,9
430
7,6
11,61
31,25
3,1
Batujaya
31,1
400
7,4
3,77
9,07
4,2
Jatisari-Ciherang
30,7
190
7,8
1,54
<5
5,7
Jatisari-Cilamaya
31,9
170
6,6
9,23
24,19
5,6
Bendungan Barugbug
33,3
320
7,1
6,94
18,14
4,8
Sibalonggandu
31,4
110
7,3
3,77
9,07
5,3
Sibenggala
26,6
30
6,7
5,56
14,11
3,5
Cikalongsari
28,3
160
6,9
3,75
9,07
4,2
Sb. ABB
30,3
240
6,8
7,44
19,15
6,1
St. ABB
28,1
240
6,8
19,84
54,43
1,5
Kamojing
Baku Mutu Kelas II
27,3
130
6,3
17,76
48,48
3,7
Pawarengan
31
1680
10,1
28,57
77,62
2,5
Rawameneng
30,9
400
6,6
12,79
34,27
1,4
Cilamaya
29,7
660
6,4
5,95
15,12
7,1
Loji-Pangkalan
31,5
380
6,8
4,96
12,1
7,6
Kobak Baru
29,8
620
6,5
6,35
16,13
7,2
Sb. Bendungan Cibeet
29,2
260
6,9
1,53
<5
8,2
St. Bendungan Cibeet
29,7
400
6,7
26,78
72,58
6,8
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 53
Sumber : SLHD Kab Karawang 2007
D. Kabupaten Sukabumi Terdapat 15 sungai yang dipantau yang dibagi menjadi 25 titik pantau. Parameter BOD dan COD menjadi parameter yang melebihi ambang batas dengan kisaran nilai BOD sebesar 5 178 mg/l serta 8,3 - 215, 47 mg/l untuk parameter COD untuk 70 - 90 % titik pantau. Parameter lain yang tinggi adalah residu tersuspensi di sungai Cipelang 1 dan Cipelang 2 pada kisaran 762 - 778 mg/l. Kondisi DO serta residu terlarut masih dalam taraf yang baik. Tabel 1.18 Kondisi Sungai di Kota Sukabumi 2008 Temperatur (oC)
Residu Terlarut (mg/L)
Residu Tersuspensi (mg/L)
pH (mg/L)
BOD (mg/L)
COD (mg/L)
DO (mg/L)
±3
1000
400
6_9
6
50
>3
S.Cipada
24,6
81
24
7,66
20
34,36
4,51
S.Ciwalung
24,5
79
16
7,36
5
8,3
5,07
S.Cipelang1
23,1
42,5
762
7,35
95
134,36
3,79
S.Cipelang2
23,3
48,5
778
7,46
178
215,47
3,5
S.Cipelang3
25,2
66,5
164
7,08
15
20,91
6,31
S.Cigunung1
22,7
140,5
38
6,73
150
199,5
3,66
S.Cigunung2
25,2
80
74
7,66
89
123,02
3,67
S.Cibandung1
25
82
42
7,28
6
13,77
6,65
Lokasi Pemantauan
Baku Mutu Kelas II
S.Cibandung2
25
85
2
7,45
18,5
25,95
3,15
S.Cimencrang1
23,7
103,5
22
7,4
48
61,67
5,95
S.Cimencrang2
24,4
95,5
4
7,81
16
23,85
6,75
S.Cigunung
25,4
78
116
7,75
68
90,67
4,05
S.Terusan Parigi
24,2
76,5
158
7,34
30
46,96
6,55
S.Citamiang
24,6
165,5
30
7,35
56
73,44
5,47
S.Cipanengah1
25,4
104
22
7,75
28,5
47,81
4,05
S.Cipanengah2
25,5
100,5
154
7,75
85
116,72
3,72
S.Cisarua1
26,1
63
30
7,39
30
54,53
3,97
S.Cisarua2
25,5
55
242
7,32
32
57,05
3,49
S.Ciparay
24
41
20
6,76
30
42,76
3,62
S.Ciandam
22,8
44
350
7,51
60
87,64
3,28
S.Cisuda
25,6
61
274
7,59
98
152,02
6,12
Muara Sungai Cisaray
26,3
76
44
7,8
20
39,4
6,41
S.Cisarua3
24,2
56
220
7,43
80
117,14
3,19
S.Cisarua4
24,5
65
158
7,8
100
172,61
3,91
S.Cimandiri
25,5
63,5
234
7,83
29
58,31
6,17
Sumber : SLHD Kota Sukabumi 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 54
E. Kabupaten Cirebon Terdapat tujuh sungai yang dipantau dengan rata-rata tiga titik pantau tiap sungai yang mewakili hulu, tengah dan hilir. Dari hasil yang didapatkan maka seluruh sungai memiliki nilai BOD yang melebihi ambang batas dengan kisaran 6,6 - 20, 6 mg/l. Parameter lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah residu terlarut terutama pada sungai Ciberes (Jembatan Gebang), sungai Cimanis (Jembatan Bangkaderes), sungai Cipager (Jembatan Pekik), sungai Jamblan (Jembatan Bondet), serta sungai Winong (Jembatan Karangreja). Residu terlarut yang melebihi baku mutu berada pada kisaran 2800 - 11.000 mg/l atau 2,8 sampai 11 kali lipat dari nilai batas yang diijinkan. Tabel 1.19 Kondisi Sungai di Kab. Cirebon 2008 Nama Sungai
Lokasi Pemantauan
C ±3 27
Residu Terlarut mg/L 1000 255
31
352,4
suhu o
Baku Mutu Kelas II Ciberes
Cimanis
Singaraja
Cipager
Jamblang
Winong
Kumpul Kuista
Sungai Ciberes Bendung Ambit Jembatan Ciberes Desa Cikulak Jembatan Gebang Desa Gebang Bendung Panongan Ds Panongan Jemb. Cimanis Ds Karang
Residu Tersuspensi mg/L 400
pH
BOD
COD
DO
mg/L 6_9
mg/L 6
mg/L 50
mg/L >3
30
7,38
10,8
34,32
4,2
36
7,59
12,6
36,34
5,6
48
6,57
20,6
52,34
4,6
22
7,56
8,2
26,34
5,6
26
7,3
10,2
32,28
5,2
20
6,64
12,6
32,28
6,2
18,6
7,18
10,6
36,42
5,2
22,2
6,53
12,6
40,52
4,8
16,32
6,65
12,8
36,21
5,6
30 25
9000 180
29
312
Jembatan Bangkaderes Jembatan Singa Raja Ds Sampih Jembatan Singa Ratu Ds Lemah Agung Jembatan Pangarengan Ds Pangerangan Desa Nanggela Kec. Madirancan
30 28
11000 214
27
210
28 29
2800 70
12,6
7,11
6,6
20,32
6,2
Jembatan Batembat
30
202
18,4
7,02
12,6
36,21
5,2
Jembatan Pekik Jembatan Cikahalang
29 27
9800 92
20,6
6,72
16,4
40,21
5,8
10,8
7,7
8,6
26,34
5,2
Jembatan Jamblang
28
120
12,4
7,11
10,2
30,41
5,2
Jembatan Bondet Jembatan Kedung Bunder Desa Jungjang Kec. Arjawinangun Jemb. Karangreja Ds Karangreja Jembatan Pamulihan Desa Kedongdong
28 27
10200 210
20,6
6,67
16,4
40,21
4,8
12,6
8,02
10,6
30,42
5,2
30
520 18,4
8,12
12,6
36,21
4,8
31 27
7700 190
20,6
6,13
16,4
40,21
4,8
8,6
7,76
8,2
20,42
5,2
Jembatan Jaga Pura Jembatan Kedaton Desa Kedaton
31
210
10,2
7,38
10,6
26,31
5,2
31
240
16,2
7,98
12,2
32,45
4,6
Desa
Sumber : SLHD Kab. Cirebon 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 55
1.3.2.3 Kualitas Air Waduk dan Situ Informasi mengenai kualitas air waduk ialah yang berada di dalam DAS Citarum, yaitu Waduk Saguling, Waduk Jatiluhur, dan Waduk Cirata. Kualitas air waduk yang lainnya adalah waduk Darma serta situ di Depok. 1. Waduk Saguling Tabel 1.20 Analisa Lapangan Kualitas Waduk Saguling 2008 Suhu
LOKASI
o
PH
C
DO
BOD
HCO3
DHL
TDS
Sulfida
Transparasi
mg/l
mg/l
mg/l
mho/cm
mg/l
mg/l
m 0,30m
Sgl 1 A
MA
28
7,1
3,3
6,5
168
436
283
tt
Sgl 1 B
20m
24
6,0
1,7
9,8
171
569
370
tt
Sgl 1 C
37m
23
5,4
0,2
12,6
180
575
372
1,2
Sgl 2 A
MA
28
7,1
7,4
3,8
122
394
260
tt
Sgl 2 B
20m
25
5,9
1,7
9,2
134
465
310
tt
Sgl 2 C
38m
24,3
5,0
0,66
10,4
146
573
380
1,0
Sgl 3 A
MA
28
7,3
7,4
3,5
106
233
158
tt
Sgl 3 B
15m
25
6,0
3,0
6,4
116
266
170
tt
Sgl 3 C
28m
23
5,0
0,17
13
128
326
214
1,2
Sgl 4 A
MA
25
7,1
7,4
3,8
122
328
188
tt
Sgl 4 B
25
24
5,9
0,33
7,0
134
354
240
tt
Sgl 4 C
50
22
5,0
0
14
146
446
290
1,6
Sgl 5 A
MA
25
7,0
6,7
2,1
189
521
340
tt
Sgl 5 B
15
24
5,8
0,50
6,8
195
591
390
tt
Sgl 5 C
30
21
5,9
0
15
564
970
640
1,0
1.0m
0,70m
1.0m
0.80m
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 2 mg/L kls 1). Berkisar antara 1,6 – 3,2 mg/L, sebagian tempat melebihi baku mutu DO (Baku Mutu = 6 mg/L). Berkisar antara 7,2 – 8,2 mg/L, diatas Baku Mutu pH (6 - 9). Berkisar 6,9 – 7,2, berada pada rentang TDS (1000 mg/l). 88 -90 mg/l masih dibawah baku mutu DHL (1520 umhos/cm). 135 – 136 umhos/cm masih dibawah baku mutu
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 56
Berdasarkan data yang didapat tidak dijelaskan mengenai lokasi tepat dari saguling ini, hanya diberikan segmen-segmen 1 sampai 5. Untuk parameter DO, maka yang paling buruk kualitasnya adalah pada segmen 1 dan yang paling baik kondisinya pada segmen 2, hal ini dikuatkan oleh nilai BOD yang memiliki karakteristik sama. Sulfida di semua lokasi terdeteksi pada kedalaman diatas 30 meter yang berkisar 1 - 1,6 mg/l. Tabel 1.21 Analisis Statistik Waduk Saguling 2008 Waduk Saguling Min Max Rata-rata MA Rata-rata 15 -20 m Rata-rata 28 - 50 m
DO mg/l 0 7,4 6,44 1,45 0,206
BOD mg/l 2,1 15 3,94 7,84 13
HCO3 DHL mg/l mho/cm 106 233 564 970 141,4 382,4 150 449 232,8 578
TDS mg/l 158 640 245,8 296 379,2
Sumber : BPLHD Jawa Barat 2009
Di semua lokasi Waduk (11 lokasi titik sampling dari Nanjung sampai Bandar Caringin), kualitas air waduk tidak memenuhi Baku Mutu Golongan C (perikanan). Baku mutu golongan C untuk phenol sebesar 0,001 mg/L sedangkan untuk raksa sebesar 0,002 mg/L. Dari hasil pemantauan pada ketinggian 0,2 m dan 5 meter (2006), beberapa parameter seperti Air Raksa, Khlorin Bebas, Senyawa Phenol, Seng (Zn), Amonia (NH3-N) kecuali di Nanjung & Citarum Trash Batujajar, semuanya berada di atas Baku Mutu Golongan C pada parameter. Tabel 1.22 Pemantauan Air Raksa dan Senyawa Phenol (2006) Pemantauan Air Raksa Senyawa Phenol
tinggi 0,2 m 5m 0,2 m 5m
1 0.18 0.046
2 0.12 0.039 0.005 0.039
3 0.18 0.017 0.013 0.017
4 0.24 0.007 0.008 0.007
5 0.18 0.005 0.009 0.005
6 0.18 0.004 0.003 0.004
7 0.24 0.003 0.003 0.003
8 0.18 0.002 0.002 0.002
9 0.06 0.002 0.002 0.002
10 0.12 0.003 0.002 0.003
Keteranga Lokasi Pemantauan Air Waduk: 1. Nanjung
4. Cimerang
7. Ciminyak
10. Intake
2. Citarum Trash Batujajar
5. Muara cihaur
8. Cijere
11. Bantar Caringin
3. Kampung Cipeundeuy
6. Muara cipatik
9. Cijambu
Sumber : Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Air Waduk Saguling, Dinas Pengendalian Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat Tahun 2002 - 2006
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 57
11 0.18 0.004
2. Waduk Cirata Parameter DO mulai berkurang pada kedalaman 12 - 22 meter, dengan turunnya DO, maka BOD menjadi lebih besar dimulai dari ketinggian 12 sampai 43 meter. DHL masih berada dalam batas normal begitu pula dengan TDS. Tabel 1.23 Analisis Statistik Waduk Cirata 2008 Waduk Cirata min max Rata-rata MA Rata-rata 12 - 22 m Rata-rata 23 - 43 m
DO
BOD
HCO3
DHL
TDS
Sulfida
mg/l
mg/l
mg/l
mho/cm
mg/l
mg/l
0 7,7 7,0 0,9 0,0
2 8,4 2,2 5,8 8,2
73 98 73,0 90,3 98,0
213 328 218,3 275,0 302,0
140 220 145,5 185,0 204,5
tt 0,8 tt tt 0,7
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Konsentrasi Sulfida terdeteksi pada kedalaman diatas 23 meter, hal ini sangat wajar mengingat pada kondisi tersebut penetrasi cahaya matahari kurang terhalangi disolved solid dan terjadi pembusukan / dekomposisi di dasar waduk. Tabel 1.24 Analisa Lapangan Kualitas Waduk Cirata 2008 Suhu LOKASI
Tgl
Jam
DO
BOD
HCO3
DHL
TDS
Sulpida
Transparasi
PH
Crt 1 A Crt 1 B Crt 1 C
MA 20m 38m
10/7/2008 9.45 10/7/2008 10.15 10/7/2008 11.00
C 28 26 25
7,1 6,0 5,5
mg/l 7,0 1,0 0
mg/l 2,0 5,0 8,2
mg/l 73 85 98
mho/cm 213 306 328
mg/l 140 200 220
mg/l tt tt 0,80
m 0,80m
Crt 2 A Crt 2 B Crt 2 C
MA 17m 33m
10/7/2008 11.25 10/7/2008 11.55 10/7/2008 12.50
28 26 25
7,3 6,0 5,0
6,2 0,62 0
2,2 6,1 8,0
73 92 98
214 254 278
142 170 190
tt tt 0,62
1,30m
Crt 3 A Crt 3 B Crt 3 C
MA 22 43
10/7/2008 11.30 10/7/2008 13.30 10/7/2008 13.55
30 26 25
7,2 6,0 5,8
7,7 1,0 0
2,4 6,0 8,4
73 92 98
213 300 300
140 200 208
tt tt 0,60
0,90m
Crt 4 A Crt 4 B Crt 4 C
MA 12m 23m
10/7/2008 14.20 10/7/2008 14.50 10/7/2008 15.20
29 2,6 25
7,1 6,0 5,0
7,2 1,0 0
2,0 6,1 8,0
73 92 98
233 240 302
160 170 200
tt tt 0,70
1,0m
o
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 58
3. Waduk Jatiluhur Tabel 1.25 Analisis Statistik Waduk Jatiluhur 2008 Waduk Jatiluhur
DO
BOD
HCO3
DHL
TDS
Sulfida
mg/l
mg/l
mg/l
mho/cm
mg/l
mg/l
min
0,3
2,4
98,0
254,0
166,0
0,7
max
7,4
9,0
116,0
269,0
182,0
0,8
Rata-rata MA
7,2
2,7
98,0
255,0
167,3
tt
Rata-rata 5 m
5,7
5,0
98,0
257,5
170,0
tt
Rata-rata 15 - 30 m
2,2
7,4
108,0
260,3
172,0
tt
Rata-rata 22 - 60 m
0,7
8,4
116,0
265,3
178,7
0,8
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Waduk Jatiluhur dibebani limbah sisa pakan dari aktivitas Jaring Apung. Berdasarkan penelitian hanya sekitar 15 - 30 % pakan yang terpakai sedang sisanya terbuang. Namun umumnya para petani ikan melakukan intensifikasi untuk ikan berdasarkan optimum kehidupannya. Pertumbuhan Keramba Jaring Apung (KJA) di Jatiluhur tahun 2008, hanya sejumlah 5%
kegiatan jaring apung yang berijin. Padahal PAD yang diperoleh tidak
sebanding dengan rusaknya lingkungan akibat sisa pakan yang terbuang. Tabel 1.26 Analisa Lapangan Kualitas Waduk Jatiluhur 2008 LOKASI
Suhu o C 29,7 28,6 27,3 27,1
PH 7,2 6,5 5,8 5,2
DO mg/l 7,0 5,4 2,1 0,33
BOD mg/l 2,8 4,0 7,2 8,4
HCO3 mg/l 98 98 104 116
DHL mho/cm 256 258 264 269
TDS mg/l 166 170 172 180
Sulpida mg/l tt tt tt 0,80
Transparasi m 1,30m
1,45m
Jtl 1 A Jtl 1 B Jtl 1 C Jtl 1 D
MA 5m 25m 50m
Jtl 2 A Jtl 2 B Jtl 2 C Jtl 2 D
MA 5m 30m 6m
30,4
7,1
7,2
3,0
98
255
170
tt
28,3 27,5
6,3 5,6
2,7 1,0
6,9 7,8
110 116
260 269
172 182
tt 0,70
Jtl 3 A Jtl 3 B Jtl 3 C Jtl 3 D
MA 5m 15m 22m
30 28 27,1 26
7,0 6,5 6,0 5,2
7,4 5,9 1,7 0,67
2,4 6,0 8,2 9,0
98 98 110 116
254 257 257 258
166 170 172 174
tt tt tt 0,,75
1,35m
Dari parameter wajib yang dipantau maka dapat dilihat bahwa semua lokasi pemantauan melebihi baku mutu untuk BOD dan beberapa nilai COD, namun untuk kehidupan akuatik situ ini masih dapat digunakan karena memiliki nilai DO yang tinggi. Sebaiknya beberapa parameter
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 59
lain seperti ammonia, nitrit serta phenol dilakukan pemeriksaan sehingga dapat diketahui kemungkinan peruntukannya. 4. Waduk Darma Tabel 1.27 Analisa Lapangan Kualitas Air Waduk Darma 2008 LOKASI Drm 1 A Drm 1 B Drm 1 C
MA 4m 7m
Drm 2 A Drm 2 B Drm 2 C
MA 2,5m 5,0m
Suhu o C 24 23 22
PH 7,0 6,9 6,8
DO mg/l 8,2 7,4 7,2
BOD mg/l 1,8 2,4 3,0
HCO3 mg/l 79 79 82
DHL mho/cm 136 136 136
23 22 20
7,2 7,2 7,0
8,2 7,8 7,2
1,6 2,2 3,2
79 79 82
135 135 136
TDS mg/l 88 90 90 88 90 90
Sulpida mg/l tt tt tt
Transparasi m 1,0m
tt tt tt
1,0m
Keterangan: BOD (Baku Mutu = 2 mg/L kls 1). Berkisar antara 1,6 - 3,2 mg/L, sebagian tempat melebihi baku mutu DO (Baku Mutu = 6 mg/L). Berkisar antara 7,2 - 8,2 mg/L, diatas Baku Mutu pH (6 - 9). Berkisar 6,9 - 7,2, berada pada rentang TDS (1000 mg/l). 88 -90 mg/l masih dibawah baku mutu DHL (1520 umhos/cm). 135 – 136 umhos/cm masih dibawah baku mutu
Berdasarkan data diatas maka Waduk Darma memiliki kualitas air yang dapat digunakan sebagai air baku air minum (kelas 1) dengan pemrosesan dan pengambilan air pada ketinggian tertentu. Namun beberapa ketentuan lain menyangkut logam berat dan kimia organik seperti fenol tetap harus dipantau. Total disolved solid yang berkisar 88 - 90 mg/l termasuk garamgaram anorganik seperti senyawa besi, mangan, natrium dan garam-garam lainnya perlu mendapatkan perhatian. Namun bila konsentrasi DO sangat tinggi biasanya kadar besi dimungkinkan sedikit. Biasanya analisa TDS digunakan dalam pertimbangan penggunaan kembali air proses.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 60
1.4 UDARA Kualitas udara sangat ditentukan oleh beragam aktivitas baik antropogenik maupun alami. Jawa Barat merupakan suatu contoh lengkap dari perubahan terhadap kualitas udara dimana beragam aktivitas baik itu transportasi, kegiatan domestik, persampahan dan pengaruh alam dari gunung-gunung berapi (vulkanik) memberikan pengaruh terhadap kualitas udara Jawa Barat. Pemantauan kualitas udara di Jawa Barat yang kontinu dilakukan di kota besar yaitu kota Bandung. Kegiatan serupa dilakukan pada kota besar lainnya di Indonesia yang tergabung dalam program AQMS (air quality monitoring system). Kegiatan pemantauan selain oleh kota Bandung sendiri, secara nasional dilakukan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika salah satunya memantau kondisi atmosferik terutama pH. Pemantauan dilakukan pula oleh badan di Provinsi atau badan serta dinas lingkungan hidup sesuai dengan prioritas dan kemampuan masing-masing kabupaten dan kota. Ketersediaan dan perolehan data kualitas udara menentukan hasil evaluasi kondisi udara ambien baik di kota Bandung ataupun pada kabupaten dan kota di Jawa Barat. Pada tahun 2009, data pemantauan yang dipantau di kota Bandung hanya terdiri dari data 3 stasiun pemantauan otomatis.
Terbatasnya
anggaran
untuk
pengoperasian dan perawatan stasiun pemantau sering menjadi kendala yang menyebabkan pemantauan tidak berlangsung optimal, misalnya hanya sebagian parameter yang diukur atau beberapa stasiun tidak dioperasikan. Secara umum kualitas udara di Jawa Barat khususnya kota-kota besar cenderung menurun walaupun pada beberapa daerah terdapat peningkatan kualitas udara yang semakin membaik, yang sangat disayangkan data series selalu tidak lengkap. Penurunan kualitas udara diindikasikan dengan meningkatnya nilai beberapa parameter pencemaran kualitas udara. Agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui Pengendalian Pencemaran Udara (PP 41/ 1999).
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 61
1.4.1
Pemantauan Udara Ambien di daerah Perkotaan
Pengukuran udara ambien merupakan pendekatan yang umum dilakukan untuk mengukur besar dampak pencemaran udara yang terjadi pada reseptor, melalui pengukuran konsentrasi pencemar tersebut diudara. Perkiraan besarnya dampak yang terjadi diprediksi dengan mengukur hubungan statistik antara konsentrasi udara ambien dan respon gangguan kesehatan berdasarkan studi dosis-respon. Oleh sebab itu, pemantauan pencemaran di udara ambien sangat penting untuk mengevaluasi tingkat konsentrasi yang terpajan pada reseptor. 1.4.1.1 Kualitas Udara Ambien untuk PM10 A.
Pengukuran udara ambien PM10 di Kota Bandung Pada tahun 2009, di kota Bandung dilakukan pengamatan untuk 3 lokasi yaitu Cisaranten Wetan (BAF5), Batununggal (BAF4) dan Tirtalega (BAF3). Ketiga lokasi ini mewakili berturut-turut kawasan industri, perumahan dan perkotaan. Dari hasil pemantauan kontinu ini, PM10 belum menjadi parameter kritis di kota Bandung.
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Dapat dilihat pada gambar diatas konsentrasi PM10 masih berada di bawah baku mutu ambien yang ditetapkan 150 ug/m3 untuk semua lokasi. Kecenderungan peningkatan tiap tahun tidak dapat terlihat berkaitan dengan data lokasi yang berubah. Namun PM10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pernafasan; pada konsentrasi 140 ug/m3 dapat menurunkan fungsi paru-paru pada anakanak, sementara pada konsentrasi 350 ug/m3 dapat memperparah kondisi penderita bronkhitis.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 62
Selain pemantauan kontinu, kota Bandung juga melaksanakan pengukuran sesaat secara rutin di 16 lokasi pada tahun 2002 - 2005. Di beberapa lokasi ambang batas baku mutu harian untuk PM10 telah dilampaui yaitu dilokasi perumahan (TPA Pasir Impun, Perumahan KPAD sarijadi), perkantoran dan perdagangan (Jl. Diponegoro, Jl. Wastukencana, Alun-alun, Jl. Buah Batu), ruang terbuka hijau (Jl. Soekarno Hatta) dan terminal (Leuwipanjang, Ledeng). Kontribusi sumber transportasi terhadap emisi total PM10 diperkotaan berkisar 40% - 55% yang berasal dari kendaraan bermotor. B.
Informasi kualitas udara parameter PM10 di Kabupaten dan Kota lainnya Untuk parameter PM10, maka semua titik pantau di Kabupaten Bekasi melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan. Nilai PM10 rata-rata selama dua bulan semuanya berada diatas ambang batas dan nilai rata-rata tertinggi yaitu sebesar 259 µg/Nm3 melebihi 1,6 kali diatas baku mutu pada lokasi pemantauan di depan Pasar Serang. Berikut lokasilokasi yang melebihi batas partikulat yang ada yang berlokasi di : 1.
Pertigaan Jl. Kawasan Industri Hyundai dengan Jl. Raya Serang
2.
Perempatan Kawasan Lippo Cikarang dengan Kawasan EJIP
3.
Depan Pasar Serang
4.
Pertigaan Keluar Tol Cikarang
5.
Pertigaan Kawasan Industri Jababeka
6.
Pertigaan Jl. Industri dan Jl. Pasir Gombong
7.
Depan Stasiun Kereta Api Lemah Abang
8.
Fly Over Cikarang
9.
Terminal Lama Cikarang/Depan SGC
Semua lokasi yang melebihi nilai ambang batas tersebut berada di lokasi padat lalu lintas dan umumnya merupakan jalan penghubung utama untuk aktivitas industri. Perlu penanganan segera menyangkut penerapan sistem transportasi dan pengelolaan lalu lintas yang efektif seperti kegiatan rekayasa arus lalu lintas satu arah unutk menurunkan volume kendaraan bermotor pada ruas jalan tertentu dan waktu tertentu (jam puncak) dengan menerapkan lalu lintas satu arah. Sedangkan untuk pemantauan di Kabupaten Majalengka tidak melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan. Namun perlu diantisipasi di wilayah kecamatan Kadipaten dimana pada tahun 2009 konsentrasinya mulai naik sebesar 200%. Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 63
Gambar 1.26 Konsentrasi Parameter PM10 di Kabupaten Bekasi 2009
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Tabel 1.28 Konsentrasi Parameter PM10 di Bekasi Tahun 2009 selama dua bulan PARAMETER Debu, PM-10 (µg/m3)
Lokasi Pemantauan
Oktober
Pertigaan Jl. Kawasan Industri Hyundai dengan Jl. Raya Serang Perempatan Kawasan Lippo Cikarang dg Kawasan EJIP Depan Pasar Serang Pertigaan Keluar Tol Cikarang Pertigaan Kawasan Industri Jababeka Pertigaan Jl. Industri dan Jl. Pasir Gombong Depan Stasiun Kereta Api Lemah Abang Fly Over Cikarang Terminal Lama Cikarang/Depan SGC
223
November 210
172
184
178,00
150
289 238 261 208 206 229 241
229 152 118 176 214 166 -
259,00 195,00 189,50 192,00 210,00 197,50 241,00
150 150 150 150 150 150 150
Rata2 BM Kelas II 216,50 150
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 64
Gambar 1.27 Kualitas Udara Ambien Parameter PM10 di Kabupaten Majalengka Tahun 2009
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Tabel 1.29 Perbandingan Data Konsentrasi Parameter PM10 di Kabupaten Majalengka Lokasi Pemantauan
2008
2009
BM Kelas II
Kec. Kadipaten
18,67
42,06
150
Kec. Kertajati
18,81
18,81
150
Kec. Jatitujuh
36,02
36,02
150
Kec. Jatiwangi
28,87
28,87
150
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Pada tahun 2007, kota Depok merupakan kota terbanyak melebihi nilai ambang batas dengan kisaran 139 -301 ug/m3. Berturut-turut dari yang tertinggi : 1. Terminal Depok Jl. Margonda Raya, Depok 2. Mall Cinere Jl. Cinere Raya, Pangkalan Jati Limo No.1 Depok 3. Kecamatan Sawangan Depok 4. Depan Kantor PT.Mutuagung Lestari, Jl. Raya Bogor
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 65
Lokasi Pemantauan PM10 1. Kec. Sawangan Depok, Jl.Sawangan 2. Kel. Sukamaju Depok, Jl. Raya Bogor 3. Mall cinere, Jl. Cinere Raya 4. TPA Cipayung Kampung Bulak, Desa Kapuran 5. RS.Meilia, Jl. Arternatif Cibubur 6. Depan Kantor PT.Mutuagung Lestarai, Jl. Raya Bogor 7. Terminal Depok Jl. Margonda Raya, Depok
2007 186 268 262 231 139 301 -
2008 152,0 128,64 175,54 136,0 152,0 240
BM Kelas II 150 150 150 150 150 150 -
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Pada tahun 2008, seluruh lokasi pemantauan di kota Depok mengalami penurunan konsentrasi PM10 secara signifikan. Perubahan konsentrasi ini, salah satunya merupakan upaya dari pihak pengelolaan lingkungan kota Depok dalam mengelola lingkungan hidup khususnya kualitas udara. 1.4.1.2 Kualitas Udara Ambien untuk CO Gas CO adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau dan tidak menyebabkan iritasi. Gas CO memasuki tubuh melalui pernafasan dan diabsorpsi ke dalam darah. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin sebesar 240 kali lipat kemampuannya mengikat oksigen. Konsentrasi rendah (< 400 ppm ambien) dapat menyebabkan pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi (>2000 ppm) dapat menyebabkan kematian. Kualitas udara ambien untuk parameter CO di bawah ini memperlihatkan kondisi yang masih jauh berada dibawah ambang batas. Dari ketiga lokasi tidak terdapat satu lokasi pun yang berada diatas ambang yang ada. Rata-rata konsentrasi CO selama satu tahun berada pada level 0,89 mg/m3. Dari hasil pemantauan, konsentrasi harian CO masih berada di bawah ambang batas baku mutu nasional (10.000 ug/m3/24 jam). Walaupun demikian, CO dapat menyebabkan masalah pencemaran udara dalam ruang pada ruang-ruang tertutup seperti garasi, tempat parkir bawah tanah, terowongan dengan ventilasi yang buruk, bahkan dalam mobil berpenyejuk ruangan yang berada ditengah lalu lintas. Konsentrasi rata-rata CO di BAF3 (Tirtalega) lebih tinggi dibandingkan dengan di lokasi lain. Ini mengindikasikan pengaruh kendaraan bermotor terhadap tingkat emisi dan konsentrasi CO. Konsentrasi terendah berada dipermukiman yaitu di lokasi Batununggal.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 66
Gambar 1.28 Parameter CO di kota Bandung
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Konsentrasi rata-rata harian CO di Kabupaten Majalengka berada dibawah ambang batas yang ditetapkan. Dari data 2009 yang didapatkan, telah terjadi penurunan konsentrasi rata-rata sebesar 86,13%. Hal ini perlu dianalisis apakah karena telah terjadi perbaikan kualitas lingkungan khususnya mengurangi pencemaran udara atau hal-hal lain yang mempengaruhi penurunan konsentrasi yang terjadi.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 67
Gambar 1.29 Parameter CO di Kabupaten Majalengka
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Tabel 1.30 Parameter CO Tahun 2008 dan 2009 CO (ug/m3) Kec. Kadipaten Kec. Kertajati Kec. Jatitujuh Kec. Jatiwangi
2008 696 54 500 390
2009 42,1 18,8 36 28,9
BM Kelas II 10000 10000 10000 10000
% -93,95 -65,19 -92,8 -92,59
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Kualitas udara ambien di kabupaten Bekasi berada pada lima belas lokasi pada tahun 2008. Sedangkan pada tahun 2009 lokasinya pemantauan berkurang menjadi
sembilan
lokasi.
Hasil
pengukuran
mengindikasikan perbaikan kualitas udara ambien untuk parameter CO karena terjadi penurunan di 8 lokasi dimana rata-rata sebesar 95,4 %. Namun terdapat satu lokasi yang mengalami kenaikan paramater CO yaitu pertigaan keluar tol Cikarang, dimana meningkat sebesar 97,3 %. Semua lokasi merupakan lokasi pertigaan atau pun perempatan di daerah industri dan pasar.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 68
Lokasi
2008
2009
BM Kelas II
%
Pertigaan Jl. Kaw. Industri Hyundai Jl. Raya Serang
4.697
216,50
10000
-95,39
Perempatan Kaw. Lippo Cikarang dg Kaw. EJIP
4.926
178,00
10000
-96,39
Depan Pasar Serang
4.363
259,00
10000
-94,06
Pertigaan Keluar Tol Cikarang
5,27
195,00
10000
97,3
Pertigaan Kaw. Industri Jababeka
4.239
189,50
10000
-95,53
Pertigaan Jl. Industri dan Jl. Pasir Gombong
4.926
192,00
10000
-96,10
Depan Stasiun Kereta Api Lemah Abang
5.041
210,00
10000
-95,83
Fly Over Cikarang
4.926
197,50
10000
-95,99
Terminal Lama Cikarang/Depan SGC
5.041
241,00
10000
-95,22
Terminal Baru Cikarang
4.926
-
10000
-
Perempatan Pintu Tol Cibitung - Kalimalang
4.697
-
10000
-
Depan Pasar Pertigaan Warung Bongkok
4.926
-
10000
-
Pertigaan Jl. Teuku Umar & Jl. Arteri Cibitung
4.812
-
10000
-
Depan Pasar Cibitung
4.812
-
10000
-
Depan Pasar Tambun
4.239
-
10000
-
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Gambar 1.30 Parameter CO pada beberapa wilayah di Kabupaten Bekasi 2009
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 69
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa pada tahun 2009, konsentrasi CO berada dibawah ambang batas. Telah terjadi penurunan konsentrasi parameter CO pada tahun 2009 dengan rata-rata 95,4% dibanding pada tahun 2008. Namun demikian terdapat satu lokasi yang mengalami kenaikan yaitu di pertigaan keluar tol Cikarang sebesar 97,3% dari tahun sebelumnya. Sebaiknya dilakukan analisis lebih lanjut mengingat perubahan kualitas udara sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kecepatan angin, kelembaban serta arah angin serta aktivitas manusia. 1.4.1.3 Informasi kualitas udara parameter O3 Ozon termasuk pencemar sekunder yang terbentuk di atmosfer dari reaksi fotokimia Nox dan HC. Ozon bersifat oksidator kuat, sehingga merugikan kesehatan manusia. Laporan badan kesehatan Dunia menyatakan konsentrasi ozon yang tinggi (>120 ug/m 3) selama 8 jam atau lebih dapat menyebabkan serangan jantung dan kematian atau pun gangguan pada sistem pernafasan. Paparan pada konsentrasi 160 ug/m3 selama 6,6 jam dapat menyebabkan gangguan fungsi paru-paru akut pada orang dewasa yang sehat dan pada populasi yang sensitif. Kota Bandung sebagai pusat kota memantau tiga lokasi parameter O3. Tidak terlihat perbedaan konsentrasi di daerah pusat kota dan di hilir (permukiman dan daerah industri), rata-rata berada pada kisaran 17,06 - 47,91 ug/m3 dibandingkan didaerah hilir, yang berada pada kisaran 14,77 - 34,18 ug/m3 pada lokasi industri (Cisaranten) dan 14,72 - 24,92 ug/m3 pada lokasi permukiman di Batununggal. Namun ketiga lokasi tersebut tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan selama satu jam (235 ug/m3). Bila merata-ratakan selama satu tahun didapatkan bahwa konsentrasi di ketiga wilayah ini mendekati baku mutu yang ditetapkan oleh DKI Jakarta (30 ug/m 3) yang berada pada konsentrasi 20,25 ug/m3 (Cisaranten), 19,24 ug/m3 (Batununggal) serta 22,9 ug/m3 (lokasi Tegalega). Untuk mengetahui hubungannya dengan aktivitas di lokasi tersebut maka sebaiknya mengetahui nilai NO2 serta HC di lokasi yang ada sebagai prekursor terjadinya O3 namun sayang parameter tersebut tidak dipantau sehingga tidak memiliki data.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 70
Gambar 1.31 Parameter O3 pada beberapa wilayah di Kota Bandung 2009
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Umumnya konsentrasi ozon tinggi di daerah luar kota atau hilir dari sumber prekursor ozon (daerah perkotaan dengan kepadatan lalu lintas tinggi). Pembentukan ozon
dipengaruhi
oleh
radiasi
sinar
matahari, sehingga konsentrasi maksimum terjadi
pada
saat
radiasi
matahari
maksimum (pengukuran jam 11.00 - 15.00 akan menghasilkan ozon maksimum). Ini artinya, tingginya ozon di lokasi-lokasi tersebut kemungkinan karena lokasi-lokasi industri terletak di hilir pusat kota dengan faktor arah angin yang mendukung terdispersinya pencemar ozon ke lokasi-lokasi industri. Jika dilihat konsentrasi yang rendah di daerah hilir berarti bahwa faktor transportasi ozon dari lokasi perkotaan lebih berpengaruh dibandingkan dengan faktor pembentukan ozon di lokasi-lokasi industri. Pada lokasi Kabupaten Majalengka, hasil pengukuran masih memperlihatkan kondisi yang memenuhi baku mutu, yang tertinggi berada pada lokasi Kecamatan Kadipaten dibandingkan kecamatan lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena wilayah kadipaten merupakan wilayah
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 71
dengan jumlah penduduk kota yang terkonsentrasi pada wilayah yang relatif lebih padat dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Gambar 1.32 Konsentrasi Rata-rata Ozon di Kabupaten Majalengka
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Di Kabupaten Bekasi, beberapa wilayah berada di atas baku mutu ambien yang ditetapkan, yaitu di depan pasar Serang, pertigaan keluar tol Cikarang, pertigaan kawasan industri Jababeka serta terminal lama Cikarang. Tingginya ozon dilokasi tersebut kemungkinan karena lokasi-lokasi industri yang terletak di hilir pusat kota dengan faktor arah angin yang mendukung terdispersinya pencemar ozon ke lokasi-lokasi industri.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 72
Gambar 1.33 Konsentrasi Rata-rata ozon di Kabupaten Bekasi
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Gambar 1.34 Konsentrasi Rata-rata SO2, NO2, HC, Pb dan Debu di Kabupaten Bekasi
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 73
Dari gambar tersebut diatas dapat terlihat bahwa konsentrasi SO2 masih berada dibawah nilai ambang batas (NAB 900 ug/m3), begitu pula dengan NO2 (NAB 400 ug/m3). Untuk parameter debu (NAB 230 ug/m3) sebanyak 13 dari 15 lokasi diatas ambang batas yang telah ditentukan, hal ini umumnya disebabkan karena pengaruh partikel debu yang diterbangkan oleh kendaraan bermotor begitupula dengan HC yang merupakan parameter yang disebabkan oleh kendaraan bermotor semuanya melebihi nilai ambang batas yang ditentukan (160 ug/m3). 1.4.1.4 Kualitas Udara untuk Parameter Lainnya A. SO2, NO2, Debu, dan Ozon di kota Bekasi Berdasarkan gambar dibawah dapat dilihat hanya parameter debu saja yang melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan (230 ug/m3), sebesar 48% wilayah melebihi nilai ambang batas. Wilayah-wilayah tersebut adalah sebanyak 12 lokasi yang berada di persimpangan, perempatan, terminal, dan perumahan. Gambar 1.35 Parameter SO2, NO2 dan Debu di Kota Bekasi
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 74
Parameter lainnya seperti SO2 dan NO2 masih dalam kondisi yang baik, sangat jauh dibawah baku mutu yang ditetapkan. Untuk parameter debu, maka dapat dilihat bahwa beberapa titik pemantauan berada diatas baku mutu yang ditetapkan terutama hal ini berada pada lokasi jalan raya atau persimpangan. Gambar 1.36 Parameter Ozon di Kota Bekasi
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 75
B. Pb di Kota Bandung Data tahun 2007 - 2009 tidak terdapat data mengenai pengukuran timbal (Pb), data mengenai pengukuran timbal yang ada adalah data tahun 2006 yang mengukur parameter timbal (Pb) pada 15 lokasi (Data BPLH Kota Bandung).
Data
ini
sebetulnya
akan
berkurang
konsentrasinya pada tahun sekarang mengingat bensin bebas timbal sudah diimplementasikan pada beberapa kilang di Jawa Barat dan Jakarta. Hasil pengukuran pada tahun 2006 memperlihatkan konsentrasi Pb yang mencapai atau melebihi ambang batas baku mutu harian (2µg/m3) di 6 lokasi (Terminal Leuwipanjang, Terminal Cicaheum, Terminal Ledeng, Jl. Soekarno Hatta, Jl. Elang, dan Jl. Ahmad Yani). Sumber utama Pb berasal dari kendaraan bermotor dari bensin bertimbal Gambar 1.37 Konsentrasi Rata-rata Pb di Kota Bandung 2007
Untuk parameter Pb dari semua yang dipantau, hanya satu lokasi yang melebihi nilai ambang batas yaitu di kota Depok yang berlokasi di depan kantor PT. Mutu Agung Lestari Jl. Raya Bogor. Untuk itu, perlu pengaturan dan pengelolaan yang mampu menurunkan pencemar udara khususnya transportasi di lokasi yang melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan seperti di kota Depok khususnya di Jl. Raya Bogor (depan PT. Mutu Agung Lestari).
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 76
C. SO2, CO, serta NO2 di Kota-kota Lainnya Dari hasil pengukuran udara ambien di beberapa kabupaten dan kota di Jawa Barat pada tahun 2007 maka dapat dilihat bahwa parameter sulfur dioksida (SO2) dan karbon monoksida (CO) masih menunjukan nilai rata-rata dibawah baku mutu yang ditetapkan baik nasional maupun daerah. Hasil pengukuran parameter NO2, dari kabupaten dan kota yang dipantau, hanya satu titik pantau di Kota Bekasi yang melebihi baku mutu yang ditentukan yaitu pada konsentrasi 874,49 µg/Nm3 hampir 6 kali diatas baku mutu ambien yang ditetapkan pada titik pantau yang berlokasi di Jl. Raya Narogong (perbatasan Kota Bekasi - Kab. Bekasi). Gambar dibawah merupakan isoplet SO2 dan NO2 di wilayah kota Bandung, kabupaten Bandung Barat, kabupaten Bandung dan kota Cimahi yang diamati pada tahun 2006 (sumber LAPAN). Gambar 1.38 Isoplet SO2 di Wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi 2006
Sumber : Lapan, Bandung 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 77
Gambar 1.39 Isoplet NO2 di Wilayah Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi 2006
Sumber : Lapan, Bandung 2008
Konsentrasi rata-rata tahunan SO2 dan NO2 dari 2004 sampai 2006 terlihat lebih tinggi di kota dibandingkan daerah luar kota Bandung, kecuali Padalarang yang merupakan lintasan transportasi dan mulai berkembang menjadi daerah industri di Cekungan Bandung Barat. Daerah padat transportasi seperti Cipedes, Kebon Kalapa dan Martadinata di kota Bandung mendominasi tingginya kandungan gas-gas polutan tersebut, yaitu dalam kisaran 3,8-4,3 ppbv untuk SO2 dan dalam kisaran 7,8-8,8 ppbv untuk NO2. Selain daerah transportasi, konsentrasi SO2 yang tinggi di Cekungan Bandung terlihat juga di Lembang dan Ciater. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh dari sumber alam gunung berapi Tangkubanperahu di Ciater. Gunung berapi sebagai sumber sulfur yang besar berupa gas SO 2. Konsentrasi SO 2 maksimum adalah 4,033 ppbv terdapat di Padalarang dan konsentrasi NO 2 maksimum yaitu 8,451 ppbv terdapat di Martadinata. Kondisi polutan SO2 dan NO2 di Cekungan Bandung masih dibawah nilai ambang batas dalam pengukuran tahunan secara berurutan yaitu 22,8 ppbv untuk SO2 dan 53 ppbv NO2.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 78
Tabel 1.31 Hasil Pengukuran Kualitas Udara Menurut Jenis Parameter Tahun 2007 SO2 NO
LOKASI
Kisaran SO2 (µg/Nm3) 365
NO2
Jumlah Pengukura SO2
Jumlah yang > BM SO2
%
Kabupaten Majalengka
5,63 - 8,9
4
0
2
Indramayu
2,91 - 20,13
7
0
3
Cirebon
223,5
12
0
4
Bogor
1,06 - 19,03
7
0
Kota
2
Tasikmalaya Cirebon
LOKASI
Jumlah Pengukura NO2
Jumlah yang > BM NO2
%
Kabupaten
1
1
NO
Kisaran NO2 (µg/Nm3) 150
14,71 - 40,5 1,84 - 3,02
3 10
0 0
3
Sukabumi
0,83 - 2,91
5
0
4
Depok
0,07 - 13,2
10
0
5
Bekasi
26,24 - 62,67
22
0
0
1
Majalengka
29,8 - 104,3
4
0
0%
0
2
Indramayu
9,8 - 33,87
7
0
0%
3
Cirebon
32,62
12
0
0%
0
4
Bogor
7.,46 - 50,99
7
0
0%
1
Tasikmalaya
17,5 - 31,43
3
0
0%
2
Cirebon
8.27 - 22.56
10
0
0%
3
Sukabumi
16.8 - 20.39
5
0
0%
4
Depok
7,61 - 74,6
10
0
0%
5
Bekasi
24,78 - 874.49
22
1
5%
0
0 0 0
Kota
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2008
0 0
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 79
CO NO
LOKASI
PM10 Jumlah Pengukura
Kisaran CO (µg/Nm3) 10000
Jumlah > BM CO
%
No
Lokasi
CO
Kabupaten
Kisaran pm10 (µg/nm3) 150
Jumlah Pengukura
Jumlah > BM PM10
%
PM10
Kabupaten
1
Majalengka
1,53 - 1,75
4
0
0%
1
Majalengka
209,1 - 214,6
4
0
0%
2
Indramayu
687.12 - 926,76
7
0
0%
2
Indramayu
9,86 - 920
7
1
14%
3
Cirebon
1404
12
0
0%
Kota
4
Bogor
1.49 - 50,28
7
0
0%
Kota 1
Tasikmalaya
919,06 - 1703,49
3
0
0%
2
Cirebon
139 - 1349.2
10
0
0%
3
Sukabumi
0.32 - 0.69
5
0
0%
4
Depok
29,53 - 449,9
10
0
0%
5
Bekasi
14,7 - 5827
22
0
0%
1
Tasikmalay
8,197 - 42,59
3
0
0%
2
Sukabumi
9.36 - 66,6
5
0
0%
3
Depok
139 - 301
6
5
83%
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2008
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2008
Pb
NO LOKASI Kabupaten 1 Cirebon 2 Indramayu Kota 1 Depok
Kisaran Pb 3 (µg/Nm ) 2
Jumlah Pengukuran Pb
Jumlah > BM Pb
0,44 < 0,03
12 7
0 0
0,01 - 2,56
10
1
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 80
D. Parameter pH di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kab. Bandung Barat dan Cimahi, Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang. Pada gambar dibawah, pH daerah Bandung meliputi administrasi Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Sumedang atau disebut pula Cekungan Bandung / Greater Bandung. Data merupakan data tahun 2007-2009 yang dicuplik pada bulan januari (sumber LAPAN). Terdapat 13 lokasi pemantauan, disini terlihat kecenderungan pH asam menyebar di semua wilayah cekungan Bandung terdapat di wilayah kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat (Padalarang, Lembang), Kabupaten Bandung (Ciparay), Subang dan Kabupaten Sumedang. Wilayah yang memiliki pH asam merupakan wilayah dengan konsentrasi aktivitas transportasi sangat tinggi, terutama di daerah industri, terminal dan pusat perbelanjaan. Dari tahun ke tahun terjadi fluktuasi perubahan parameter pH air hujan, namun beberapa daerah seperti Tanjung Wangi, Ciparay, Padalarang, Riau dan Tanjung Sari tetap berada pada kondisi asam. Pada tahun 2009, daerah yang pada tahun sebelumnya tidak dalam kondisi asam, sekarang telah mulai menunjukkan kondisi asam ialah daerah Cipedes, Kebon Kalapa, Riau, Dago dan Cikadut. Gambar 1.40 Lokasi titik pantau pH di Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Cimahi, Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Subang (sumber LAPAN).
Sumber : Lapan, Bandung 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 81
Gambar 1.41 Grafik pH di Kota Bandung Tahun 2007 - 2009
Sumber : Lapan, Bandung 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 82
Dalam periode tahun 2005 sampai 2006, hujan asam telah terjadi di daerah padat transportasi Martadinata, Cipedes, Kebon Kalapa dan Kopo di Bandung. Daerah transportasi seperti Martadinata di timur Bandung terkena hujan asam dengan pH dalam kisaran 5-5,2 yaitu paling parah di kota Bandung. Daerah kota yang bebas dari hujan asam adalah Dago dan Cikadut dengan pH 5,8-6,0. Hal ini tentunya berhubungan dengan pengaruh lokal aktivitas manusia. Berbeda dengan hujan asam di Kabupaten Subang (Ciater) dan Kabupaten Bandung (Lembang) yang sangat kuat dipengaruhi oleh gunung Tangkuban Perahu, dengan pH 5,4-5,6. Wilayah tepi cekungan Bandung atau Kabupaten Bandung seperti Kabupaten Bandung Barat (Padalarang, Cililin), Kabupaten Bandung (Soreang dan Ciparay) belum terkena hujan asam dengan pH 6,0-6,4. Hal ini dikarenakan sumber-sumber transportasi masih relatif lebih sedikit dibandingkan Bandung juga tidak terdapat penyebaran polutan dari Bandung. Kecuali Tanjungsari perlu diwaspadai karena terkena hujan asam dengan pH 5,2-5,4. Gambar 1.42 Penyebaran angka pH rata-rata tahunan (2005-2006) di Cekungan Bandung
Sumber :Lapan, Bandung 2007
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 83
1.4.2
Pemantauan Udara Ambien di Kawasan Industri Pengukuran Udara Ambien di Lokasi Industri pada tahun 2004 telah dilakukan di Kota Bandung. Dari lima lokasi yang dipantau 4 lokasi melebihi nilai ambang batas untuk oksidan (ozon), sedangkan dua lokasi melebihi ambang batas PM10 dan debu. Dari kelima lokasi tersebut lokasi 3 dan 4 perlu mendapat perhatian lebih karena 3 parameter telah melebihi baku mutu yang ditetapkan. Namun tidak dijelaskan tepatnya lokasi yang ada, dari peta dapat terlihat kondisi sebaran industri di Kota Bandung sebagai berikut. Tabel 1.32 Hasil Pengukuran Udara Ambien di 5 Lokasi Industri di Kota Bandung, 2004
Parameter NAB*) Satuan Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3 Lokasi 4 Lokasi 5 3 NO2 400 µg/m (1 jam) 24,97 36,56 26,3 26,16 29,27 3 SO2 900 µg/m (1 jam) 8,85 15,99 20,91 68,79 13,14 3 CO 30.000 µg/m (1 jam) 329,08 377,04 344,01 576,5 328,01 3 O3 235 µg/m (1 jam) 329,08 377,04 344,01 576,5 328,01 3 HC 160 µg/m (1 jam) 12,53 19 14,53 15,54 15,11 3 PM10 150 µg/m (1 jam) 63,86 80,51 191,16 231,39 67,77 3 Debu 230 µg/m (1 jam) 117,31 160,37 314,11 340,34 111,95 3 NH3 2 µg/m (1 jam) 0,001 0,0075 0,047 0,021 0,007 3 H2S 3,45 µg/m (1 jam) 2,95 2,85 3,12 2,88 3,99 Bising 70 dBA 63,15 59,85 59 68,1 55 NAB = Nilai Ambang Batas Sumber : Laporan Kegiatan Pemantauan Sumber Pencemar Udara Bergerak dan Tidak Bergerak BPLH Kota Bandung, 2004
Gambar 1.43 Sebaran Lokasi Industri di Kota Bandung
Sumber : Atlas Kualitas Udara Kota Bandung, 2004
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 84
Ambang batas yang ditetapkan Kualitas udara yang memburuk umumnya diakibatkan oleh beberapa tekanan sebagai berikut : - sumber pencemaran udara bergerak - sumber pencemaran udara tidak bergerak - atmosferik Sumber pencemaran udara bergerak berasal dari kendaraan bermotor. Di kota-kota besar, kontribusi gas buang kendaraan bermotor terhadap polusi udara mencapai 60 - 70%. Sedangkan dari sumber tidak bergerak berasal dari cerobong asap industri sebesar 10 -15%, sisanya berasal dari sumber pembakaran lain misalnya dari rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran hutan dan lain sebagainya. 1.4.3
Sumber Pencemaran Udara Bergerak (Transportasi)
A. Kualitas Gas Buang Kendaraan Bermotor Alat transportasi yang memberikan kontribusi terbesar pada pencemaran udara adalah kendaraan bermotor, baik roda empat maupun sepeda motor. Dari tahun ke tahun jumlah kendaraan bermotor di Jawat Barat terus meningkat. Jika perlakuan terhadap kendaraan masih tetap seperti saat ini, hal ini tentu saja diikuti dengan meningkatnya volume gas buang yang berarti pencemaran udara semakin meningkat. Dari hasil pemeriksaan BPLHD Jawa Barat, maka untuk kendaraan berbahan bakar bensin pada 5 lokasi yang memenuhi paling tinggi adalah Kabupaten Bogor (71%) disusul Kota Bogor (64%) dan kabupaten serta kota lainnya.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 85
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat Tahun 2009
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat Tahun 2009
Gambar diatas memperlihatkan persentase pemenuhan BME di beberapa lokasi, dimana hanya kota Bekasi saja yang memiliki nilai terendah (40%) sedangkan sisanya mengalami kenaikan pemenuhan BME seperti yang akan diuraikan dibawah. B. Persentase Pemenuhan Baku Mutu Emisi Hanya beberapa wilayah saja yang secara rutin dilaksanakan kegiatan uji emisi kendaraan bermotor,
umumnya
strategi
yang
dilaksanakan adalah melaksanakan pada lokasi yang berbeda pada tahun anggaran berikutnya sebagai
bagian
dari
pelayanan
kepada
masyarakat, sehingga hal ini dapat merugikan kita dalam menganalisis seberapa besar pengaruhnya dari tahun ke tahun.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 86
Sebagai contoh disini diperlihatkan pemenuhan BME di Kabupaten Bogor yang pada tahun 2008 tidak dilaksanakan pengukuran. Perbaikan persentase pemenuhan BME dapat terlihat disini, dimana pada dua tahun sebelumnya untuk kategori pengguna bahan bakar solar sebesar 21% menjadi 70%, hal yang sama terjadi pada kategori pengguna bahan bakar bensin walaupun tidak terlalu naik signifikan. Gambar 1.46 Persentase Pemenuhan BME di Kabupaten Bogor
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat Tahun 2009
Sedangkan di Kota Bogor dari tahun 2008 ke 2009 untuk kategori pengguna bahan bakar solar mengalami peningkatan kearah perbaikan dari sebesar 39,7% pada tahun sebelumnya akhirnya menjadi 70% pada tahun 2009. Sedangkan pada kategori bensin, pemenuhan BME mengalami penurunan dari sebesar 72,8% pada tahun 2008 menurun menjadi 64%.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 87
Gambar 1.47 Persentase Pemenuhan BME di Kota Bogor
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat Tahun 2009
Berdasarkan hasil tahun 2009, maka dari yang tidak memenuhi BME, sebesar 73,25% merupakan tidak memenuhi untuk kadar CO, dan sebesar 16,05% tidak memenuhi kadar HC.
Sumber : BPLHD Provinsi Jawa Barat Tahun 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 88
1.4.4
Sumber Pencemaran Tidak Bergerak
1.4.4.1 Aktivitas Industri Industri yang dominan berpotensi memberikan kontribusi terhadap
pencemaran
udara
adalah
industri
yang
melakukan proses pembakaran pada proses produksi atau aktivitas industrinya. Walaupun kontribusi gas buang dari cerobong asap industri hanya berkisar 10 -15% namun sumber pencemar dari industri dapat dengan mudah diamati karena posisinya tidak bergerak (point source of pollution). Bagian paling besar yang dibebaskan oleh industri adalah padatan renik atau debu. Debu ini memberikan dampak negatif yang nyata bagi lingkungan biotik dan fisik. Hal ini lebih menampilkan dampak negatif industri bagi masyarakat, sedangkan senyawa-senyawa pencemar yang lain dalam fasa gas tidak akan tampak langsung, meskipun tingkat bahaya senyawa-senyawa ini tidak lebih rendah daripada tingkat bahaya yang diakibatkan oleh debu. A. Pemantauan Emisi Industri Meningkatnya penggunaan energi batubara sebagai boiler dalam industri tekstil di Jawa Barat akhirnya memunculkan permasalahan baru yang berasal dari limbah hasil pembakaran yang berupa fly ash dan bottom ash. Dari 173 industri tekstil yang terdata dalam API maka sebanyak 73 industri telah menggunakan batu bara sebagai sumber energinya (data Desember 2005) yang berlokasi di Kota Bandung, Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat dan Kota Cimahi. Tabel 1.33 Kualitas emisi dan udara dari cerobong asap industri tahun 2005 (sebagai ilustrasi) Parameter Total partikulat SO2 NO2 Opasitas CO CO2 Efisiensi pembakaran Kapasitas boiler batu bara
Satuan 3 µg/nm 3 µg/nm 3 µg/nm % 3 µg/nm 3 µg/nm % ton/jam
Rentang nilai 8 - 2025 96 - 1477 90 - 393 10 - 20 23 - 1593 73.79 -153.88 98.22 -99.99 10 - 30
Rata-rata 310,9 601,5 202,9 12 407,3 130,41 99,63 15,56
Sumber : Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi 2005
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 89
Dari studi industri tekstil di Bandung Raya (GTZ -ProLH-Lab. B3 Dept.Teknik Lingkungan ITB) pada Desember 2005 terindikasi bahwa industri tekstil mendominasi jenis industri yang berada di Bandung Raya (63%) dengan sebaran :
84% industri berada di Kabupaten Bandung, Bandung Barat dan Kota Cimahi
13% berada di Kota Bandung
3% berada di Kabupaten Sumedang
Akibat kenaikan Tarif Dasar Listrik dan harga bahan minyak mengakibatkan banyak industri yang beralih menggunakan energi alternatif seperti batu bara merupakan salah satu pemecahan masalah. Penggunaan energi batu bara akan memunculkan limbah padat yang dihasilkan berupa fly-ash (FA) dan bottom-ash (BA).
Limbah ini digolongkan limbah B3
menurut PP18/99 jo PP85/99, yang terdapat dalam daftar lampiran 1 Tabel 2 dengan kode D223 dan D-230. Masuknya limbah dalam regulasi tersebut berarti segala aktivitas pengelolaannya termasuk upaya pemanfaatannya harus memiliki izin khusus dari Kementrian Lingkungan Hidup Pusat. Menurut informasi, di wilayah Bandung terdapat lebih dari 300 perusahaan tekstil yang tersebar di tiga wilayah yaitu Kabupaten Bandung (Kab. Bandung Barat masih bersatu), Kota Bandung dan Kota Cimahi. Namun dari jumlah tersebut hanya 173 buah perusahaan yang terdapat dalam daftar Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). 73 buah industri sampai Desember 2005 telah menggunakan batubara sebagai sumber energinya. 31,14% yang menggunakan batu bara tersebut dilakukan penjaringan data menggunakan kuesioner (22 buah). Dari hasil suatu penelitian diperoleh jawaban sebagai berikut :
Menjawab 57,14% 61,90%
Limbah Fly Ash Bottom Ash
Jumlah batu bara yang dihasilkan (ton/hari) 0,2-20 ton/hari 0,08 - 7 ton/hari
Sumber : Laporan academic considerations in FA & BA in Greater Bandung, 2005
Sebagai gambaran jumlah penggunaan batubara oleh industri di beberapa wilayah di Jawa Barat sebagai berikut :
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 90
Pencemaran udara akibat penggunaan batu bara adalah yang paling sering dikeluhkan masyarakat sekitar. Sekitar 60% responden menjawab bahwa pengendalian partikulat khususnya dengan cyclone merupakan upaya yang digunakan untuk mengurangi pencemaran udara, data terlampir. Tabel 1.34 Pengendali Pencemaran Udara dari Boiler Batu Bara Menjawab (60%)
Pencemaran udara dari Boiler (%) Pengendalian partikulat 88,24 Gravity settler Cyclone 86,67 Bag house filter 13,33 Electrostatic presipitator lainnya 6,67 Sumber : Laporan academic considerations in FA & BA in Greater Bandung, 2005
1.4.4.2 Aktivitas Pengelolaan Sampah Domestik (TPA) Permasalahan limbah padat dan sampah domestik dewasa ini menjadi cukup serius mengingat volume dan laju timbulan makin meningkat seiring dengan peningkatan biaya penanganannya yang makin tinggi. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi di Jawa Barat, timbulan sampah yang dihasilkan setiap hari menjadi semakin meningkat jumlahnya sedangkan penanganannya banyak menghadapi kendala karena keterbatasan biaya dan fasilitas.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 91
Pada Gambar dibawah diperlihatkan emisi metan dan CO2 dari sampah di kota Bandung. Dari gambar ini terlihat bahwa emisi metan lebih besar dari pada CO2, dan dari tahun ke tahun emisi kedua GRK tersebut berfluktuasi. Baik di kota Jakarta maupun di kota Bandung, emisi metan bila dibandingkan dengan emisi CO2 dari sampah adalah lebih besar. Ini dikarenakan sampah mengemisikan 50-60 % metan dan 40-50 % CO2. Data yang digunakan dalam penelitian ini ádalah data produksi sampah dari kota-kota besar yang diperoleh dari Badan Pusat statistik (1996-2008), statistik Potensi desa Indonesia. Data lainnya berupa volume sampah yang diproduksi per hari dikonversi ke massa yang mana 1 m 3 = 300 kg sampah [Widyatmoko, Mei, 2002). Gambar 1.49 Emisi Metan dan CO2 dari Sampah di Kota Bandung
Emisi GRK dari sampah Bandung
Emisi [Ton / tahun]
35000 30000 25000 20000
CH4
15000
CO2
10000 5000 0 1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
Tahun [-]
Sumber : Lapan, Bandung, 2008
Limbah padat dan sampah domestik yang tidak tertangani setiap hari, saat ini umumnya tertumpuk di beberapa lokasi penampungan sementara berupa timbulan dalam jumlah yang besar. Persoalan pengelolaan sampah tidak hanya berakibat pada pencemaran udara akibat titik sumber kebakaran tapi juga pencemaran air, pencemaran tanah serta bau. Titik sumber kebakaran yang terjadi di TPA ini berdasarkan dari karakteristik sumber limbah padat yang memiliki sifat yang berhubungan dengan nilai kalor bahan heating value. Sebagai ilustrasi pada survey yang dilaksanakan di kota Bandung (Irsyad et al, 2005) sekitar 29% dari rumah tangga yang tidak terlayani oleh sistem pengangkuta sampah perkotaan
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 92
melakukan pembakaran sampah secara individual di sekitar tempat tinggal mereka, rata-rata sebanyak 63 kali dalam 100 minggu. Tabel 1.35 Pengelolaan Sampah Kota Bandung No
Pengelolaan Sampah
1
Dikumpulkan & diangkut petugas Ditimbun/dibakar, dibuang ke kali, dibuang sembarang tempat Dikompos & daur ulang
2 3
Total volume sampah/hari
2003 4.531 1.294 647 6.743
Volume m3/hari Peningkatan 2004 2005 5.310 4.836 17,2 %- (-2,5%) 1.517 758 7.585
2.418
17,2% - 60%
806 17,1% - 6,3% 8.060 17,2% - 6,2%
Sumber : PD Kebersihan Kota Bandung, 2005
Jawa Barat memiliki TPA yang umumnya beroperasi dengan sistem control landfill dan open dumping Dari 25 kabupaten dan kota yang ada di Jawa Barat sebesar 52 % memiliki TPA yang beroperasi dengan sistem open dumping di tiap kotanya. Hanya sebesar 48 % di kabupaten dan kota yang mengoperasikan TPA-nya dengan sistem control landfill sementara sisanya merupakan dengan sistem open dumping atau pun campuran. Dari kedua sistem ini yang berpengaruh besar terhadap potensi pencemaran udara adalah sistem open dumping.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 93
1.5 Laut, Pesisir dan Pantai 1.5.1
Terumbu Karang
Terumbu Karang merupakan bentukan tumpukan zat kapur di perairan laut dangkal, terbentuk oleh aktifitas hewan kar ang
dan hewan serta tumbuhan lainnya yang
mengandung zat kapur melalui proses biologi dan geologi dalam kurun waktu lama (Lilley, 1999). Tumpukan zat kapur ini dilekatkan satu dengan yang lainnya oleh alga yang mengeluarkan zat kapur juga. Alga ini menjadi penyumbang aneka
warna
yang ditemukan pada terumbu karang. Perairan hangat dengan suhu 200-300 C dan air jernih tembus cahaya matahari dapat sampai ke dalam dasar laut adalah tempat terumbu karang dapat berkembang dengan baik (Allen, 2000). Disamping suhu, penyebaran terumbu karang juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti salinitas, arus dan subtrat. Terumbu karang mendukung keanekaragaman flora dan fauna laut dan dinyatakan sebagai ekosistem laut paling tinggi keanekaragamannya di dunia. Di tempat ini hidup berbagai jenis karang batu berpadu dengan karang lunak, karang kipas dan karang api; menjadi tempat tinggal bagi berbagai jenis moluska, ekinodermata, udang-udangan, porifera, cnidaria, cacing laut, ikan karang dan tumbuhan laut berupa makroalga. Selain itu ekosistem ini memiliki manfaat jasa lingkungan sangat penting. Terumbu karang tidak hanya menjadi tempat tinggal tetapi sekaligus sebagai daerah pemijahan dan asuhan bagi banyak jenis ikan yang penting bagi industri perikanan. Disamping sebagai sumber pangan dan bahan kimiawi, keindahan terumbu karang juga bernilai tinggi bagi industri pariwisata. Ekosistem ini juga berperan penting dalam melindungi pantai dari erosi akibat gelombang dan badai tsunami melalui fungsinya sebagai pemecah gelombang. Walaupun demikian terumbu karang adalah ekosistem yang rapuh dan sensitif. Perubahan lingkungan yang sangat kecil akan mempengaruhi kondisinya. Tipe terumbu karang di perairan laut Jawa Barat, seperti halnya di Indonesia, umumnya adalah karang tepi (fringing reef), yaitu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai. Pada pesisir selatan di Samudra Hindia, pertumbuhan karang didominasi oleh bentuk “branching”(bercabang), “encrusting”(kerak) dan “massive”(padat), mengindikasikan besarnya tekana n fisik perairan seperti arus dan gelombang di daerah ini. Contoh situasi seperti ini dapat dijumpai pada terumbu karang di Pangandaran dengan karang batu yang ditemukan di
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 94
sini didominasi bentuk-bentuk di atas dari jenis-jenis Acropora dan Monticora (BPLHD, 2006). Studi terbaru oleh KMPP dan Indecon (2008) di Pangandaran memperlihatkan
jenis
yang
diumum
di
daerah
bergelombang besar adalah Goniastrea retformis, G. Pectinata. G. Favulus, Platygyra pini, P. Lamelina, Montastrea curta, M. Annuligera, M. Magnistellata, Leptastrea. Tranversa, Cyphastrea serailia, C. Chalcidium, Echinopora lamellosa, E. Gemmacea, dan E. Hirsitussima. Sementara di daerah bermbak kecil banyak di jumpai Acropora polifera, A. Grandis, A. Digifera, A. cerealis, Montipora stellata, M. Danae, dan M. Aequituberculata. Di dalamnya hidup jenis-jenis ikan karang yang masih umum dijumpai seperti ikan Bannerfish (Heniochus sp.), ikan kepe-kepe (Chaetodon sp.), ikan angelfish (Pomacanthus sp.), ikan moris (Heniochus sp.), ikan buntal (Diodontidae), ikan kerapu (Serranidae), ikan parrotfish (Scaridae), ikan sersan mayor (Abudefduf sp.), ikan dokter (Diproctacanthus xanthurus), ikan kepe-kepe biru kuning (Chaetodontoplus sp.), ikan wrassefish (Labridae) dan ikan Pomacanthidae (Amasya, 2005). Tidak banyak terumbu karang yang tersisa di Jawa Barat. Menurut Atlas Pesisir Utara Jawa Barat (2001), pantai utara hanya tersisa di beberapa tempat di Karawang, Subang dan Indramayu, sedangkan di pantai selatan masih dapat terlihat di pesisir Ciamis, Tasikmalaya, Garut dan Sukabumi. Perkiraan luas terumbu karang tersebut bisa dilihat pada tabel 7.1 pada bab 7 mengenai Pesisir. Hampir seluruh terumbu karang tersebut ditemukan dalam kondisi rusak. Pengamatan di Pangandaran oleh Amasya (2005) memperlihatkan terumbu karang di sini telah mengalami kerusakan. Persentase tutupan karang hidup maksimal hanya mencapai 30%, dengan keadaannya sangat buruk sehingga dikategorikan very poor abundance Situasi ini diperparah dengan kondisi perairan yang keruh sehingga jarak pandang pun sangat terbatas. Kerusakan terumbu karang ini membawa konsekuensi pada penurunan keanekaragaman biota laut penghuninya termasuk jenis-jenis ikan karang (lihat kotak 6.2). Hasil studi terbaru di Pangandaran (KMPP dan Indecon, 2008) menunjukan hasil tidak berbeda jauh, tutupan terumbu karang hidup berkisar 11,49%-40,39%. Berdasarkan kriteria baku Kementerian Lingkungan Hidup, kondisi terumbu karang ini di kategorikan dalam keadaan rusak.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 95
1.5.2
Padang Lamun dan Rumput Laut
A. Karakteristik Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air tingkat tinggi yang beradaptasi hidup di bawah permukaa n air laut, mempunyai akar dan daun-daun yang menyerupai rumput di darat. Hampir semua jenis lamun tumbuh baik pada perairan tenang, dengan dasar berlumpur atau berpasir halus. Di Indonesia terdapat 12 jenis lamun,
tersebar di beberapa perairan
dangkal di berbagai pulau. Ekosistem ini mempunyai fungsi sebagai penyaring, dapat menangkap unsur-unsur hara dan mencegah zat-zat kimia berbahaya agar tidak terbawa ke laut. Padang lamun juga berfungsi menjadi tempat tinggal, mencari makan dan pemijahan bagi ikan, kerang, udang dan kepiting. Lamun juga sumber makanan bagi spesies langka seperti penyu hijau dan ikan duyung. Jasa lingkungan lainnya yang diberikan oleh ekosistem ini adalah menghambat sedimentasi dan mencegah erosi pantai. Rumput laut (seaweed) atau makroalga adalah tumbuhan tingkat rendah, -tidak memiliki akar, batang dan daun- yang hidup di laut. Rumput laut dapat hidup pada pada lamun, hamparan terumbu karang atau hutan mangrove. Tumbuhan ini memiliki nilai ekonomi cukup penting karena beberapa jenis telah dibudidayakan, seperti Eucheuma dan Gracilaria,
menghasilkan
berbagai
macam
produk.
Makroalga
secara
umum
dikelompokkan berdasarkan kandungan klorofil yang dimilikinya, yaitu alga hijau (chlorophyta), alga merah (rhodophyta) dan alga coklat (phaeophyta). B. Sebaran dan Kondisi Terkini Data mengenai padang lamun di Jawa Barat sangatlah terbatas. Hasil kajian PKSPL-IPB (2004), menunjukkan adanya ekosistem padang lamun di perairan Kabupaten Sukabumi. Lamun di sini hanya hidup di beberapa daerah yang dangkal, berarus tenang, terlindung dan banyak di antara dataran karang (coral flat). Pada Pantai Ujung
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 96
Genteng misalnya ditemukan jenis yang dominan adalah adalah Thalassia sp. Tidak ada data bagaimana kondisi terkini padang lamun baik di Sukabumi maupun di tempat lainnya di Jawa Barat. Sementara untuk rumput laut, hanya sedikit saja yang dapat dijumpai di pantai utara, yaitu di gugusan karang Sedulang di Karawang, itupun dalam jumlah terbatas. Sedangkan di pantai selatan penyebaran rumput laut lebih luas yaitu di pesisir kabupaten Ciamis, Garut dan Sukabumi. Menurut Atlas Pesisir Selatan Jawa Barat (2001) spesies yang ditemukan di sekitar Pangandaran yaitu Acanthophora spp, Amantia spp dan Gracilaria spp dari jenis alga merah, Sargassum spp, Padina spp, Hydroclathrus spp dan Turbinaria spp dari jenis alga coklat, serta Halimeda spp, Caulerpa spp dan Ulva spp dari jenis alga hijau. Pengamatan pada tahun 2006 di pesisir selatan Kabupaten Ciamis (BPLHD,2006) berhasil menjumpai sebanyak 48 jenis rumput laut. 1.5.3
Mangrove
A. Karakteristik Hutan mangrove merupakan ekosistem dari berbagai tipe tumbuhan dengan karakteristik khusus sehingga dapat bertahan hidup pada perairan mempunyai kadar garam tinggi dan persediaan
oksigen
terbatas.
Ciri-ciri
tumbuhan
mangrove
tersebut
meliputi
bentuk akar berupa akar nafas atau lutut yang keluar dari permukaan tanah sehingga memungkinkan mengambil oksigen dalam kondisi tumbuhan terendam air. Selain itu bentuk daunnya ummnya tebal untuk menampung air lebih banyak, mentoleransi kadar garam tinggi dari lingkungan sekitar. Bahkan
be
berapa
jenis
tumbuhan
mangrove dapat menghasilkan kelenjar garam, berfungsi membuang kelebihan kadar garam. Mangrove tumbuh di daerah pasang surut di sepanjang garis pantai termasuk tepi laut, muara sungai, laguna dan tepi sungai. Hutan mangrove luas dapat ditemukan di daerah tepian pantai berlumpur yang terlindung dari angin dan arus laut
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 97
yang kuat. Hutan ini dapat tumbuh subur jika terdapat tambahan sedimen halus dan air tawar. Mangrove juga dipengaruhi oleh keadaan air. Pada beberapa tempat mangrove dapat menunjukkan zonasi, yaitu jenis-jenis penghuni cenderung berubah dari tepian air hingga menuju ke daratan. Hutan mangrove memiliki manfaat besar sebagai tempat tinggal jenis-jenis burung, ular dan mamalia sekaligus lokasi pemijahan dan pembesaran berbagai jenis udang, kepiting dan ikan. Akar-akar mangrove juga membantu menangkap lumpur sehingga mengurangi sedimentasi, memerangkap polutan dan mencegah abrasi daerah pesisir. Selain itu pohonpohon bakau yang tinggi dan rapat dapat berfungsi sebagai penahan angin besar. Jenis-jenis tumbuhan mangrove yang di jumpai di Jawa Barat umumnya tidak berbeda jauh dengan tempat lain di Indonesia. Menurut Atlas Pesisir Selatan Jawa Barat (2001) jenisjenis yang umum dijumpai di pantai selatan adalah Rhyzophora mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Xylocarpus granatum, Avicennia marina , Sonneratia alba, Aegiceras corniculata, Lumnitzera racemosa, Heritiera litoralis dan Nypa fruticans. B. Sebaran dan Kondisi Terkini Luas hutan mangrove yang berada di wilayah pesisir Utara Jawa Barat sekitar 39.918 ha, tersebar di Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon. Sementara di pesisir Selatan diketahui bahwa sangat jarang diketemukan ekosistem mangrove, hanya terdapat di estuarin beberapa sungai dengan luasan sempit yaitu masing-masing kurang dari 1 ha. Areal tidak terlalu luas ini menyebabkan ekosistem mangrove tersebut tidak tumbuh secara optimal dengan keanekaragaman yang rendah dan tidak dapat membentuk zonasi. Gambaran lengkap mengenai sebaran dan luasan mangrove di Jawa Barat bisa dilihat pada tabel SD-21. Terlihat dari data tahun 2007 pada tabel tersebut, kerusakan mangrove di Jawa Barat telah mencapai 15.000 hektar atau 38% dari total luas mangrove yang ada. Sedangkan sisanya berada dalam kondisi sedang, tidak ada hutan mangrove yang ditemukan dalam kondisi baik.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 98
1.6 IKLIM Data mengenai iklim merupakan data cuaca seperti kelembaban, suhu, tekanan, dan angin dalam deskripsi pola jangka panjang. Sehingga untuk menganalisis iklim memerlukan data dekade, abad atau milenia. Sebagai contoh perubahan temperatur menyangkut perubahan iklim global (pemanasan global) tidak dapat menggunakan data hanya 5 atau 10 tahun saja, karena trend yang ada sangat kecil kisarannya. Iklim adalah deskripsi pola jangka panjang di suatu daerah tertentu. Cuaca dan iklim penting karena bukan hanya mempengaruhi aktivitas manusia tapi juga menentukan distribusi bioma dan ekosistem dunia. Data tahunan mengenai curah hujan dan suhu, kurang dapat menggambarkan perubahan suatu iklim. Umumnya skala waktu 30 tahunan dalam menganalisis data curah hujan dan suhu dipakai untuk menggambarkan perubahan iklim. Data yang ditampilkan dalam laporan ini adalah data dari tahun 2004 - 2008. Temperatur hanya salah satu indikator perubahan iklim di planet bumi. Curah hujan menjadi komponen yang sama pentingnya dalam perubahan iklim global. Secara global curah hujan total berkurang sekitar 2 sampai 3 % (Hulme and Sheard, 1999). Indikasi terjadinya perubahan curah hujan juga disampaikan oleh United State EPA (Environment Protection Agency, http://www.epa.gov/oar/,
2006),
Australian
Bureau
of
Meteorology
(http://www.bom.gov.au/), 2006), serta Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC Report, 2001). Perubahan temperatur dan curah hujan yang disebutkan di atas adalah perubahan yang bersifat global. Perubahan tersebut mempunyai dampak terhadap banyak aspek kehidupan manusia, misalnya pertanian, pariwisata, perikanan dan lain-lain. Karena itu perubahan global tersebut perlu dikonfirmasi untuk skala meso dan lokal.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 99
Gambar 1.50 Curah Hujan Rata-rata Bulanan (mm) di Jawa Barat tahun 2007
Sumber : BMG Provinsi Jawa Barat (BPS Jawa Barat 2008) Sumber : BMKG, Provinsi Jawa Barat 2008
Dari data BMG diatas hanya terdapat delapan kabupaten / kota yang terdapat data curah hujan. Dari data diatas Monitoring Curah Hujan Bulanan Mulai Bulan April, di mana transisi dari musim hujan ke musim kemarau mulai berlangsung, sebagian besar wilayah Indonesia begitu pula di Jawa Barat akan mengalami penurunan jumlah curah hujan. Kabupaten Sukabumi memiliki rata-rata curah hujan tertinggi di Jawa Barat selama satu tahun (367 mm/bln) atau 4.669 mm/tahun. Tabel 1.36 Curah Hujan di Jawa Barat berdasarkan Stasiun Pengamat No
Lokasi
Rata-rata (mm/tahun)
1
Kab. Sukabumi
367
2
Kab.Bandung
230
3
Kab.Bekasi
221
4
Kab.Majalengka
191
5
Kab.Sumedang
254
6
Kota Bandung
203
7
Kota Bekasi
181
8
Kota Sukabumi
220
Sumber : BMKG, Provinsi Jawa Barat 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 100
Berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan yang terdapat di Jawa Barat, maka dianalisis menggunakan peta isoplet akhirnya didapatkan gambar seperti dibawah. Bila kita lihat prediksi Lapan mengenai curah hujan dimana kecenderungan terjadinya curah hujan diatas 200 mm di daerah barat, maka hal ini telah sesuai dengan peta isoplet dimana kecenderungan curah hujan tinggi lebih dominan ke arah barat. Gambar 1.51 Peta isoplet curah hujan rata-rata bulanan di Jawa Barat, 2009
Sumber : BMG Provinsi Jawa Barat (BPS Jawa Barat 2008)
Jawa Barat secara umum mengalami Pola curah hujan Moonson yang dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah (biasanya disebut musim kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 101
Gambar 1.52 Pola Curah Hujan (mm/th) di Indonesia
Sumber: Tjasyono 1999
Sumber: E.Aldrian dan Susanto (2003)
Curah hujan tiap tahun di Jawa Barat seperti pada gambar di bawah ini diwakili oleh delapan kabupaten / kota. Beberapa data yang ada memperlihatkan kondisi normal dan relatif stabil.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 102
Gambar 1.53 Curah Hujan (mm/th) di Jawa Barat
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Provinsi Jawa Barat, BPS Provinsi Jawa Barat 2008
Curah hujan rata-rata tiap tahun di Jawa Barat berkisar mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya (3.063 mm/tahun) dengan kisaran curah hujan antara 2.123 - 4.669 mm/tahun. Gambar 1.54 Curah Hujan Minimum, Maksimum dan Rata-rata
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Provinsi Jawa Barat 2008 BPS Provinsi Jawa Barat 2008
Kondisi suhu pada beberapa daerah di Jawa Barat dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Temperatur pada tahun 2007 berkisar antara 19,9 - 27,4 ºC. Temperatur rata-rata terpanas berlokasi di kabupaten Majalengka dan terendah berada di kabupaten Bandung.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 103
Gambar 1.55 Suhu Udara di Jawa Barat
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika Provinsi Jawa Barat, BPS Provinsi Jawa Barat 2008
1.6.1 Prediksi Curah Hujan Bulanan September 2009 - Januari 2010 Prediksi iklim bulanan di Jawa Barat dapat dilihat dalam prediksi iklim bulanan di Indonesia yang dikeluarkan oleh LAPAN yang berupa prediksi Outgoing Longwave Radiation (OLR) dan estimasi curah hujan di wilayah Indonesia hingga 3-4 bulan ke depan telah dikembangkan berdasarkan input anomali suhu permukaan laut di Samudera Pasifik. Peningkatan/penurunan anomali OLR yang berkaitan dengan penurunan/peningkatan curah hujan diperoleh dari selisih nilai bulanan dengan nilai rata-rata bulanan selama 22 tahun (1982 - 2003). Hasil prediksi iklim berdasarkan suhu permukaan laut Pasifik Tropik bulan Agustus 2009 untuk bulan Oktober 2009 sampai dengan Januari 2010 di Indonesia dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 104
Sumber : Lapan, Bandung 2009
Sumber : Lapan, Bandung 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 105
Sumber : Lapan, Bandung 2009
Sumber : Lapan, Bandung 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 106
Sumber : Lapan, Bandung 2009
1.6.2 Perubahan iklim dan Pemanasan Global Perubahan iklim merupakan fenomena global yang mulai menjadi topik perbincangan dunia sejak diadakannya konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janiero, Brazil tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations Framework Covention on Climate Change (UNFCC) merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam Agenda 21 dan telah disahkan pada konferensi tersebut. Konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undangundang no. 6 Tahun 1994. Untuk mencapai tujuan konvensi tersebut, sebuah protokol diadopsi di Kyoto tahun 1997 yang dikenal dengan Protokol Kyoto, dan Indonesia telah meratifikasinya melalui UU no. 17 tahun 2004. Perubahan iklim atau lebih tepatnya perubahan beberapa variabel iklim seperti suhu udara, curah hujan dan musim merupakan sebuah akibat dari efek rumah kaca (peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang tidak terkendali sehingga menyebabkan pemantulan radiasi kembali ke bumi). Efek ini menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer. Akibatnya suhu rata-rata di seluruh permukaan bumi meningkat atau disebut juga dengan pemanasan global. Pemanasan global pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim yang berubah pada gambar dibawah ini adalah perubahan temperatur yang terus meningkat.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 107
Perubahan iklim terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang antara 50 100 tahun. Namun dampak yang ditimbulkan sangat besar terhadap manusia. Sebagian besar wilayah di dunia akan semakin panas dan sebagian lainnya akan berubah menjadi dingin. Dampak perubahan iklim yang terjadi sebagai berikut : 1. Mencairnya es dikutub 2. Pergeseran musim (musim kemarau semakin lama dan musim hujan semakin singkat dengan intensitas tinggi yang umumnya menyebabkan banjir dan tanah longsor) 3. Peningkatan muka air laut 4. Dampak lainnya seperti kekeringan yang mengakibatkan krisis pangan, krisis air bersih, meluasnya penyebaran penyakit tropis seperti malaria, demam berdarah dan diare, kejadian kebakaran hutan dan hilangnya spesies flora dan fauna karena tidak beradaptasi dengan perubahan suhu bumi. Dampak yang terjadi di Indonesia : 1. Kenaikan temperatur dan berubahnya pola musim Di Indonesia telah terjadi peningkatan suhu udara sebesar 0,3ºC sejak tahun 1990. Sementara tahun 1998, suhu udara mencapai titik tertinggi, yaitu sekitar 1ºC diatas suhu rata-rata tahun 1961-1990 (M. Hulme, 1999).
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 108
Pada gambar dibawah memperlihatkan kondisi perubahan pola hujan pada kondisi musim kemarau selama lima tahun terakhir. Gambar 1.56 Curah Hujan Bulanan di Indonesia, Juli 2003-2004
Gambar 1.57 Curah Hujan bulanan di Indonesia, Juli 2005-2006
Sumber : Susandi et al., spatial map NCEP Reanalysis, 2009
2. Naiknya permukaan air laut Berbagai studi IPCC memperlihatkan bahwa telah terjadi kenaikan permukaan air laut sebesar 1-2 meter dalam 100 tahun terakhir. Menurut IPCC, pada tahun 2030 permukaan air laut akan bertambah antara 8-29 cm dari permukaan air laut. Bila skenario IPCC terjadi
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 109
maka Indonesia akan kehilangan 2.000 pulau. Daerah rawan dampak kenaikan muka air laut terdapat di daerah Pantai Timur Sumatera. 3. Dampak pada sektor perikanan Memanasnya air laut mengakibatkan turunnya jumlah terumbu karang (coral bleaching) di Indonesia yang memiliki 14.000 unit terumbu karang atau 14% dari jumlah yang ada di dunia (WRI, 2002). 4. Kebakaran hutan Kebakaran karena faktor alam akibat meningkatnya suhu udara dilingkungan sekitar hutan. Musim kemarau tahun 1994, telah menyebabkan hutan Indonesia seluas 5 juta ha habis terbakar (Bapenas, 1999). Sementara pada peristiwa El-Nino tahun 1998, kawasan yang rusak akibat kebakaran hutan hampir seluas 10 juta ha, termasuk didalamnya pertanian dan padang rumput (Fwi/GFW, 2001). Peristiwa kebakaran tahun 1997 mengakibatkan sekitar 12,5 juta populasi (delapan provinsi) terpapar asap dan debu (PM 10). Diduga kebakaran juga menghasilkan racun dioksin yang menyebabkan kanker dan kemandulan pada wanita. 5. Dampak lainnya Krisis air bersih perkotaan yang saat ini terjadi sebenarnya sudah mulai dialami. Hal ini disebabkan terutama karena adanya perubahan pola curah hujan sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim, dimana frekuensi curah hujan menjadi sangat tidak menentu. Sehingga persediaan air tanah semakin menipis. Selain itu kenaikan permukaan air laut juga menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis air bersih. Intrusi air laut yang semakin meluas akan semakin memperburuk kondisi air tanah di perkotaan. Kerawanan pangan sebagai akibat dari menurunnya produktivitas pertanian. Perubahan suhu dan pola hujan akan mengurangi produktivitas pertanian. Naiknya curah hujan akan mempercepat erosi tanah, sehingga mengurangi hasil dari tanaman dataran tinggi. Selain itu musim kemarau yang panjang dan banjir akan menyebabkan gagal panen. Meningkatnya frekuensi penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Sebuah model analisis penyakit menular menunjukkan bahwa kasus malaria di Indonesia akan meningkat dari 2.705 kasus di tahun 1989 menjadi 3.246 kasus di tahun 2070. Sementara itu, kasus demam berdarah akan meningkat lebih dari 4 kali dari 6 kasus menjadi 26 kasus per 10.000 orang.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 110
Upaya pencegahan serta sosialisasi mitigasi dan adaptasi mulai dilakukan sejak tahun 2003 yang diawali oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup melalui pembuatan bookletbooklet serta penyebaran informasi dalam menurunkan Gas Rumah Kaca (GRK). Jenis gas rumah kaca yang dominan memberikan sumbangan pada peningkatan emisi GRK adalah CO2, CH4 dan N2O. Gas-gas ini terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil di sektor energi, transportasi dan industri. Sementara gas seperti HFCs, PFCs dan SF6, yang dihasilkan terutama dari industri pendingin (freon) dan penggunaan aerosol menyumbang 1% total emisi GRK. Salah satu ketentuan dalam Protokol Kyoto terdapat sebuah mekanisme yang disebut dengan flexibility mechanism atau disebut mekanisme yang fleksibel. Mekanisme ini memungkinkan bagi negara maju untuk melakukan penurunan emisi di luar negaranya, yaitu melalui usaha penurunan emisi di negara lain. Usaha penurunan emisi di negara lain dapat dilakukan melalui tiga mekanisme berikut : 1. Joint Implementation (JI) 2. Clean Development Mechanism (CDM) 3. Emission Trading (ET)
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 111
1.7 BENCANA ALAM Bencana Alam merupakan suatu peristiwa / kejadian yang terjadi pada alam yang berakibat buruk terhadap kehidupan manusia. Bencana alam bisa merusak atau mengacaukan keteraturan komponen alam seperti kegeologian, system tata air, angin, keanekaragaman hayati, dan lain-lain. Antara tahun 2003 sampai 2007 di Jawa Barat telah terjadi beragam bencana alam. Bencana alam yang paling sering terjadi adalah banjir, kekeringan, dan longsor. Bencana alam yang terjadi sepanjang tahun 2008 - 2009 antara lain adalah banjir, kekeringan, longsor, dan gempa bumi. Tabel 1.37 Jumlah Kejadian Bencana Alam di Jawa Barat 2003 - 2007 Jenis Bencana Alam
2003
2004
2005
2006
2007
Angin topan
13
6
7
16
19
Banjir
19
30
28
43
41
Epidemi
14
1
1
0
0
Gelombang pasang/abrasi
0
0
0
1
5
Gempa bumi
1
0
1
5
4
Hama tanaman
1
0
0
0
0
Kebakaran permukiman
20
4
1
7
2
Kekeringan
25
56
27
48
48
Konflik sosial
0
0
0
0
0
Letusan gunung api
0
0
0
0
0
Longsor
44
17
10
35
52
Tsunami
0
0
0
3
0
Sumber: Badan Geologi, Bandung 2009
Sumber: Badan Geologi, Bandung 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 112
1.7.1. Banjir Bencana banjir disebabkan oleh 3 faktor, yaitu curah hujan yang tinggi, rendahnya tingkap resapan air tanah atau tingginya air larian, dan rendahnya daya tamping saluran / badan air. Sedangkan kejadian banjir bisa disebabkan oleh ketiganya sekaligus ataupun salah satu dari ketiga faktor tersebut. Tabel 1.38 Bencana Banjir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 No
Kabupaten/Kota
Total Area Terendam (ha)
Korban
1
Bandung
184
Mengungsi 212
Meninggal 0
2
Bekasi
7231
144866
2
3
Bogor
0
220
0
4
Ciamis
422
0
0
5
Cianjur
0
0
0
6
Cirebon
729
5578
1
7
Indramayu
1742
71388
0
8
Karawang
0
112717
0
9
Kota Bekasi
0
36055
4
10
Kota Depok
0
5071
0
11
Kuningan
1
0
0
12
Majalengka
0
0
0
13
Subang
71509
9
14
Sukabumi
55
0
0
15
Sumedang
106
0
0
16
Tasikmalaya
2
0
0
447616
16
1957
Total
12429
Sumber : Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat 2008
Pada tahun 2008, sekitar 12.429 Ha wilayah di Jawa Barat sempat mengalami banjir dalam waktu yang berlainan. Kejadian ini telah mengakibatkan 447 ribu orang mengungsi dan 16 orang diantaranya meninggal. Kejadian banjir yang cukup besar terjadi di daerah Pantura seperti Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Subang.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 113
Sumber : Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat 2008, Badan Geologi, Bandung 2009
1.7.2. Kekeringanan Kekeringan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah rendahnya curah hujan, menurunnya debit mata air akibat rendahnya tingkat resapan air ke dalam tanah, dan tingginya tingkat penguapan akibat tingginya penyinaran matahari, menurunnya vegetasi tutupan lahan,meinipisnya lapisan ozon, dll. Bencana kekeringan yang terjadi di Jawa Barat tahun 2008 disebabkan oleh faktor-faktor tersebut secara bersama-sama dengan besaran yang berlainan. Bencana ini telah mengakibatkan gagal panen di sejumlah daerah. Daerah yang paling parah mengalami kegagalan panen adalah Indramayu.
Sumber : Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat 2008
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 114
1.7.3. Tanah Longsor Kejadian tanah longsor cukup sering terjadi di Jawa Barat, terutama di daerah Jawa Barat bagian selatan. Pada tahun 2007, Kabupaten Sukabumi mengalami 4 kali kejadian tanah longsor, sedangkan Kota Cirebon mengalami 3 kali kejadian. Daerah lainnya yang mengalami tanah longsor pada tahun 2008 adalah Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Purwakarta masing-masing 1 kali. Tabel 1.39 Bencana Tanah Longsor di Jawa Barat Tahun 2007
No
Kabupaten/Kota
Jumlah Korban Meninggal (Jiwa)
1
Kab. Bandung
0
2
Kab. Bogor
0
3
Kab. Ciamis
0
4
Kota Cianjur
0
5
Kab. Garut
0
6
Kota Cirebon
3
7
Kab. Kuningan
0
8
Kab. Majalengka
0
9
Kab. Purwakarta
1
10
Kab. Subang
0
11
Kab. Sukabumi
4
12
Kab. Sumedang
0
13
Kab. Tasikmalaya
1
Total
9
Sumber: Badan Geologi, Bandung 2009
Pada Bulan September tahun 2009, terjadi tanah longsor cukup besar di Kabupaten Cianjur sebagai bencana ikutan sesaat setelah terjadinya gempa berskala 7,3 SR yang berpusat di Samudera Hindia selatan Kabupaten Tasikmalaya. Tanah longsor di Kabupaten Cianjur ini menewaskan sejumlah orang dan menimbun sejumlah rumah. Sampai akhir evakuasi, masih ada 34 orang terkubur dan tidak berhasil dievakuasi.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 115
1.7.4. Gempa Bumi Pada tanggal 2 September telah terjadi gempa bumi besar berskala 7,3 Skala Richter yang berpusat di 142 kilometer barat daya Tasikmalaya. Gempa
ini terasa di seluruh wilayah Jawa Barat, bahkan juga terekam sampai ke Pulau Bali. Gempa ini mengakibatkan 63.717 rumah rusak berat, 131.216 Bangunan runtuh di Kab. Tasikmalaya
rumah rusak ringan, 81 orang meninggal,
1254
orang luka berat, 34 orang hilang, dan 210.292 orang mengungsi. Daerah yang paling parah menderita akibat gempa ini adalah di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, serta Kecamatan Cibinong Kabupaten Cianjur yang mengalami tanah longsor yang terjadi sesaat sesaat setelah gempa terjadi. Total kegurian material ditaksir mencapai 303,12 milyar rupiah. Tabel 1.40 Jumlah Korban Manusia Akibat Gempa Tasikmalaya 2 September 2009 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kabupaten/Kota
Meninggal
Luka**
Hilang
Pengungsi
Kab. Tasikmalaya Kota Tasikmalaya Kab. Ciamis Kab.Garut Kab. Sumedang Kab. Bandung Kab. Bandung Barat Kota Bandung Kab. Cianjur Kab. Bogor Kota Bogor Kab. Sukabumi
7 5 7 9 0 17 1 0 31 2 0 2
90 tad 207 135 tad 158 tad tad tad tad tad 18
0 0 0 0 0 0 0 0 34* 0 0 0
142.577 tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad
Jumlah
81
1.254
34
210.292
Keterangan: *)terkubur longsoran tebing batu di Kampung Babakan Caringin Desa Cikangkareng Kecamatan Cibinong Kabupaten Cianjur. Sumber: Diunduh dari situr Departemen Sosial di internet. ** Badan Geologi, Bandung 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 116
Tabel 1.41 Jumlah Rumah Akibat Gempa Tasikmalaya 2 September 2009 No.
Kabupaten/Kota
1
Kab. Tasikmalaya
2
Kab. Sukabumi
3
Rumah Rusak Berat
Rumah Rusak Ringan
11939
30997
839
1362
Kabupaten Bandung
8585
11748
4
Kabupaten Ciamis
9105
14505
5
Kabupaten Lainnya
33249
72604
Total Jawa Barat
63717
131216
Sumber: Badan Geologi, Bandung 2009
Gambar 1.62 Proporsi Tingkat Kerusakan Rumah Akibat Gempa Jawa Barat 2 September 2009
Sumber: Badan Geologi, Bandung 2009
Tabel 1.42 Jumlah Bangunan Publik yang Rusak Akibat Gempa Tasikmalaya 2 September 2009 No. 1 2
Kabupaten/Kota Kab. Tasikmalaya Kabupaten Lainnya * Total Jawa Barat
Kantor
Fasilitas Pendidikan
Fasilitas Peribadatan
87
665
1553
420 507
929 1594
2346 3899
Keterangan * tidak ada perincian Sumber: Hasil pencarian di berbagai situs internet.
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 117
Tabel 1.43 Jumlah Kerugian Akibat Gempa Tasikmalaya 2 September 2009 No.
Kabupaten/Kota
Kerugian Material (Milyar Rupiah) 120,57
1
Kab. Tasikmalaya
2
Kabupaten Lainnya *
182,55
Total Jawa Barat
303,12
Keterangan * tidak ada perincian Sumber: Hasil pencarian di berbagai situs internet.
Gambar 1.63 Perbandingan Tingkat Kerusakan Akibat Gempa 7,3 SR Tanggal 2 September 2009
Sumber: Hasil pencarian di berbagai situs internet.
Gambar 1.64 Peta Kawasan Rawan Bencana Gempabumi wilayah Jawa Bagian Barat
Sumber: Badan Geologi, Bandung 2009
Kondisi Lingkungan Hidup Dan Kecenderungannya
Hal - 118