PERBANDINGAN KLASIFIKASI MAXIMUM LIKELIHOOD DAN OBJECT ORIENTED PADA PEMETAAN PENUTUPAN/PENGGUNAAN LAHAN (Studi Kasus Kabupaten Gayo Lues NAD, HTI PT. Wirakarya Sakti Jambi dan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah)
MUHAMMAD RUSDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005
ABSTRAK MUHAMMAD RUSDI. Perbandingan Klasifikasi Maximum Likelihood dan Object Oriented pada Pemetaan Penutupan/Penggunaan Lahan (Studi Kasus Kabupaten Gayo Lues Aceh, HTI PT. Wirakarya Sakti Jambi dan Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah). Dibimbing oleh M. ARDIANSYAH dan ABUBAKAR KARIM. Permasalahan dalam klasifikasi menggunakan data penginderaan jauh digital adalah pemilihan metode klasifikasi citra, karena ketelitian diskriminasi objek pada citra tergantung dari pendekatan klasifikasi. Salah satu pendekatan klasifikasi yang baru dikembangkan adalah metode Object Oriented Classification (OOC). Perbedaan mendasar dari pendekatan ini terhadap Maximum Likelihood Classification (MLC) terletak pada unit dasar proses analisis citra berupa objek citra atau segmen, bukan piksel tunggal. Segmen atau objek ini dibentuk karena region terkecil memiliki luasan yang lebih besar dari piksel citra. Dalam studi ini, dilakukan perbandingan klasifikasi MLC dan OOC dari citra Landsat ETM+ Kabupaten Gayo Lues Aceh, HTI PT. Wirakarya Sakti Jambi dan citra QuickBird Toro Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Penelitian ini bertujuan memetakan, membandingkan hasil dan ketelitian klasifikasi kelas penutupan/penggunaan lahan dari MLC dan OOC. Hasil penelitian menunjukan penggunaan klasifikasi OOC menghasilkan kelas penutupan/penggunaan lahan lebih tinggi dan detil yang berhirarki dengan akurasi tinggi pada setiap level kelas klasifikasi, sehingga hasilnya lebih logis diterima secara kontektual di lapangan dibandingkan dengan sistem klasifikasi berbasis piksel.
PENDAHULUAN Latar Belakang Teknologi Penginderaan Jauh mengalami perkembangan yang sangat pesat sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan komputer. Saat ini Penginderaan Jauh berorientasi pada teknologi satelit sebagai wahana pembawa sensor Penginderaan Jauh tersebut. Sebagai sarana pengindera, sensor satelit pada masa sekarang ini juga telah berkembang dengan kemampuan yang jauh diatas kemampuan mata manusia. Sensor tersebut merekam objek, area atau kejadian-kejadian di atas permukaan bumi, yang digunakan untuk inventarisasi dan pemetaan sumberdaya alam di permukaan bumi. Teknologi Penginderaan Jauh tersebut akan memberikan efisiensi pada banyak segi seperti perolehan data yang cepat, akurat dengan biaya dan tenaga operasional yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan teknologi konvensional. Metoda untuk memperoleh informasi dari data Penginderaan Jauh yang paling sering digunakan ialah klasifikasi multispektral berdasarkan analisis terhadap sifat reflektansi. Klasifikasi diartikan sebagai proses mengelompokkan piksel ke dalam kelas-kelas atau kategori-kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan (brightness value/BV atau digital number) piksel yang bersangkutan. Dasar klasifikasi data Penginderaan Jauh adalah perhitungan statistik terhadap nilai-nilai spektral (digital number). Mengingat metode klasifikasi citra yang digunakan sangat menentukan hasil klasifikasi citra, oleh karena itu salah satu persoalan pemetaan menggunakan data Penginderaan Jauh digital adalah pemilihan metode klasifikasi yang akan digunakan dalam klasifikasi citra. Klasifikasi citra biasanya dilakukan menggunakan dua metoda yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Klasifikasi tidak terbimbing memiliki kelemahan, karena analis hanya memiliki sedikit kontrol terhadap kelas-kelas citra, yang menyebabkan kesulitan dalam perbandingan antar data. Disamping itu, penciri spektral selalu berubah sepanjang waktu, sehingga hubungan antara respon spektral dengan kelas informasi tidak konstan, karena itu diperlukan pengetahuan detil mengenai spektral permukaan (Richard 1993).
2
Dalam klasifikasi terbimbing, identitas dan lokasi beberapa tipe penutup lahan seperti pemukiman, pertanian atau lahan basah diketahui secara a priori melalui kombinasi orientasi wilayah, analisis foto udara, peta dan pengalaman pribadi. Analis berusaha untuk menempatkan site spesifik ke dalam data Penginderaan
Jauh
yang
merepresentasikan
contoh-contoh
tipe
penutup/penggunaan lahan yang homogen. Berbagai algoritma klasifikasi terbimbing dapat digunakan untuk mengelompokkan piksel yang tidak diketahui kedalam salah satu kelas informasi. Diantara prosedur klasifikasi terbimbing, yang paling sering digunakan adalah maximum likelihood classification (MLC). Pendekatan ini memiliki kelemahan, yaitu banyak kesalahan klasifikasi yang muncul dalam bentuk poligon salt and pepper, terutama ketika piksel berada di luar area spesifik atau diantara area yang bertumpang tindih, yang dipaksakan untuk diklasifikasi. MLC banyak digunakan pada citra beresolusi rendah sampai menengah seperti Landsat dan hanya memperhatikan nilai spektral. Perkembangan citra satelit saat ini telah mengarah ke citra resolusi tinggi seperti IKONOS, QuickBird yang menyajikan informasi bentuk, pola, dan tekstur lebih baik dari citra yang beresolusi rendah atau menengah. Sejalan dengan peningkatan resolusi juga telah
berkembang
metode
klasifikasi
lain
untuk
mengklasifikasikan
penutup/penggunaan lahan yang tidak hanya memperhatikan nilai spektral, tetapi juga bentuk, pola dan tekstur. Salah satu metode yang baru dikembangkan adalah object oriented classification (OOC). Proses klasifikasi dalam metode ini menggunakan prosedur segmentasi dengan sistem hirarki, sehingga suatu karakteristik objek dapat ditambahkan
dengan
kumpulan
informasi
tambahan
dari
objek
yang
diklasifikasikan seperti bentuk, tekstur, konteks dan informasi lain yang terkait dengan objek yang diklasifikasikan. Penggunaan informasi tambahan ini akan memperkaya
informasi
dalam
klasifikasi,
sehingga
dapat
menghasilkan
pengelompokan yang lebih spesifik dan akurat. Perbedaan mendasar pada pendekatan ini dibandingkan dengan klasifikasi konvensional terletak pada unit dasar proses analisis citra berupa objek citra atau segmen, bukan piksel tunggal, serta tindakan klasifikasi yang harus diterapkan pada objek citra (Baatz and Shape, 2000).
3
Berdasarkan kendala dan keterbatasan pada klasifikasi MLC yang disebutkan sebelumnya, dilakukan penelitian dengan menerapkan metode baru yaitu OOC dengan menggunakan citra beresolusi sedang dan tinggi.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Memetakan penutupan/penggunaan lahan dengan metode maximum likelihood classification (MLC) dan object oriented classification (OOC).
2.
Membandingkan hasil dan ketelitian pemetaan penutupan/penggunaan lahan dengan metode maximum likelihood classification (MLC) dengan object oriented classification (OOC).
TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990). Data Penginderaan Jauh memiliki keunggulan
dalam
hal
waktu
pengamatan
dibandingkan
dengan
cara
konvensional. Data Penginderaan Jauh khususnya data satelit mempunyai peran yang sangat penting karena memberikan informasi menggenai penggunaan lahan yang sesuai dengan keadaan sebenarnya. Data yang didapatkan dari satelit biasanya sudah merupakan data digital (Hornby 1974 dalam Sutanto 1994) Pada dasarnya objek dipermukaan bumi ini dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu tanah, air dan vegetasi. Ketiga objek tersebut secara alami mempunyai bentuk dan sifat berbeda, sehingga apabila direkam dengan mengunakan panjang gelombang tertentu akan menghasilkan karakteristik reflektan yang berbeda-beda. Karakteristik reflektan dari objek permukaan bumi (tanah, air dan vegetasi) dapat digunakan sebagai dasar dalam pemilihan citra Penginderaan Jauh yang digunakan dan dasar dalam interpretasi objek. Kurva karakteristik reflektan dari objek tanah, air dan vegetasi secara umum dapat diketahui dari Gambar 1. Dalam penerapan teknik Penginderaan Jauh, ketelitian dan luas wilayah terliput, ditentukan oleh jenis dan skala citra yang digunakan, karena setiap jenis citra tertentu dengan skala tertentu menggambarkan dan bahkan menonjolkan objek-objek tertentu sesuai dengan panjang gelombang yang digunakan untuk merekam data di lapangan. Suatu hal yang perlu dipakai sebagai dasar pemikiran dalam setiap penerapan teknik Penginderaan Jauh bahwa pada prinsipnya kamera/sensor Penginderaan Jauh hanya merekam objek-objek di permukaan bumi, sehingga objek-objek di bawah permukaan bumi atau yang tertutup oleh tumbuh-tumbuhan, dinterpretasi berdasarkan objek-objek yang tampak pada permukaan bumi (Sutanto 1987, Lillesand dan Kiefer 1990).
5
Tanah
Vegetasi Air
Gambar 1
Kurva karakteristik reflektan dari obyek tanah, air, vegetasi serta posisi band spektral sensor beberapa jenis satelit.
Citra Satelit Citra Landsat ETM+ Citra ini merupakan sebutan untuk citra yang dihasilkan oleh Landsat 7. Landsat 7 merupakan program lanjutan dari seri Landsat sebelumnya, yang diluncurkan ke orbit pada tanggal 15 April 1999. Landsat 7 mengelilingi bumi pada ketinggian sekitar 705 km dengan sudut inklinasi 98 derajat dan waktu lintas khatulistiwa jam 10 pagi. Orbit satelit diprogram dengan siklus 16 hari sesuai Landsat Worlwide Reference System (NASA 2000). Landsat 7 membawa satu sensor yaitu Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+). Sensor tersebut merupakan duplikasi dari sensor TM pada Landsat TM 4, 5 yang mendapat tambahan satu saluran pankromatik dengan resolusi spasial 15 m, sedangkan pada infra merah thermal resolusinya spasialnya meningkat dari 120 meter pada Landsat TM menjadi 60 meter (Landsat, 2000). Pada saat ini Landsat 7 mengalami perbaikan pada respon detektor sensornya, sehinga citra yang dihasilkan mengalami efek line dropout, striping dan noise.
6
Karakteristik Landsat ETM+ dan fungsi masing-masing saluran disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik Landsat ETM+ dan kegunaan masing-masing band Sistem Resolusi
Band
Spektral (µm)
Spasial (m)
Temporal (hari)
Radiometri (bit)
1
Biru
0.450-0.515 30x30
16
8
2
Hijau
0.525-0.605
30x30
16
8
3
Merah
0.630-0.690
30x30
16
8
4
Infra merah dekat
0.750-0.900
30x30
16
8
5
Inframerah gelombang pendek (menengah I) Inframerah thermal
1.550-1.750
30x30
16
8
10.40-12.50
60x60
16
8
2.090-2.350
30x30
16
8
0.520-0.900
15x15
16
8
6
7 Inframerah
gelombang pendek (menengah II) 8 Pankromatik
Kegunaan Utama Penetrasi tubuh air, analisis penggunaan lahan, pembedaan vegetasi dan tanah Pengamatan puncak pantulan vegetasi, untuk membedakan jenis vegetasi dan untuk membedakan antara tanaman sehat dan tidak sehat Untuk membedakan jenis vegetasi, untuk membedakan jenis tanaman, memudahkan perbedaan antara lahan terbuka dengan lahan bervegetasi Saluran yang peka terhadap biomassa vegetasi, juga untuk identifiaksi jenis tanaman, memudahkan perbedaan tanah dan tanaman serta lahan dan air Saluran penting untuk pembedaan jenis tanaman, kandungan air tanaman, kelembaban tanah Untuk membedakan formasi batuandan untuk pemetaan hidrotermal Berfungsi untuk memisahkan formasi batuan dan dapat digunakn untuk pemetaan hdrotermal Klasifikasi vegetasi, analisis ganguan vegetasi, pembedaan kelembaban tanah dan keperluan lain yang berhubungan dengan gejala termal
Sumber : Landsat 2000
Citra QuickBird Digital Globe telah berhasil meluncurkan satelit QuickBird dengan menggunakan mesin pendorong Boeing Delta II pada tanggal 18 Oktober 2001. Pada Desember 2000, DigitalGlobe telah menerima lisensi dari NOAA untuk mengoperasikan sistem satelit dengan resolusi 0.5 meter. Perusahaan ini telah berhasil
memodifikasi
QuickBird
untuk
meningkatkan
resolusi
sistem
pengambilan citra satelit yang pada awalnya adalah 1 meter menjadi 61 centimeter untuk panchromatic dan 4 meter menjadi 2.44 meter untuk multispectral melalui pengaturan orbit satelit. QuickBird telah didesain untuk dapat terbang rendah dan satelit ini membawa bahan bakar yang cukup agar masa misinya dapat sesuai dengan jadwal misi. Sejak diluncurkan dan
7
pengambilan gambar pertama kali, QuickBird merupakan satelit komersial yang mempunyai resolusi tertinggi di dunia hingga saat ini (Pandhito 2004). Tabel 2 Spesifikasi QuickBird Waktu Peluncuran Lokasi Peluncuran Mesin peluncur Ketinggian waktu orbit Inklinasi Lebar nominal swath Area target Sensor Resolusi
18 Oktober 2001, Pangkalan Udara Vandenberg, California Boeing DELTA II 450 km 93.5 menit , lewat garis katulistiwa 10:30 am (descending) 97.2 derajat Sun-Synchronous 16.5 km di nadir Single scene: 16.5 km x 16.5 km Panchromatic Multi-spectral Basic: 0.61 meter di nadir Basic: 2.44 meter di nadir 0.72 meter di off-nadir 25o 2.88 meter di off-nadir 25o Standard & Orthorectified Standard & Orthorectified Resampled ke 0.7 meter GSD resampled ke 2.8 meter GSD
Spectral Bandwidth
450 – 900 nanometer
Biru: 450 – 520 nanometer Hijau: 520 – 600 nanometer Merah: 630 – 690 nanometer Near-IR: 760 – 900 nanometer
11 bits per piksel
11 bits per piksel
Dynamic Range Sumber: Pandhito (2004)
Klasifikasi Manual Prinsip pengenalan objek pada citra mendasarkan atas pengenalan karakteristik atau atributnya pada citra. Karekteristik objek yang tergambar pada citra dan digunakan untuk mengenali objek disebut unsur interpretasi citra.Unsur interpretasi citra terdiri dari sembilan unsur (sembilan kunci interpretasi), yaitu rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi. Sembilan unsur interpretasi citra ini disusun secara berjenjang atau secara hirarki seperti yang disajikan pada Gambar 2. Rona (tone/color tone/grey tone) ialah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan objek pada citra. Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan atau kerangka suatu objek (Lo 1996). Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak objek yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. Ukuran ialah atribut objek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Ukuran objek pada citra merupakan fungsi skala. Tekstur ialah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Tekstur sering dinyatakan dengan kasar, halus. (Lillesand dan Kiefer 1990, Estes dan Simonett 1975 dalam Sutanto 1986)
8
Pola atau susunan keruangan merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek bentukan manusia dan bagi beberapa objek alamiah. Bayangan bersifat menyembunyikan detail atau objek yang berada di daerah gelap. Objek atau gejala yang terletak di daerah bayangan pada umumnya tidak tampak sama sekali atau kadang-kadang tampak samar-samar. Meskipun demikian bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang penting bagi beherapa objek yang justru lebih tampak dari bayangannya. Situs bukan merupakan ciri objek secara langsung melainkan dalam kaitannya dengan lingkungan sekitarnya, sedangkan asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara objek yang satu dengan objek lain. Karena adanya keterkaitan ini maka terlihatnya suatu objek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya objek lain.
Gambar 2 Susunan hirarki unsur interpretasi citra. Secara umum proses interpretasi visual dilakukan dengan tiga tahapan yaitu identifikasi, delineasi dan interpretasi akhir. Indentifikasi adalah orientasi awal terhadap citra yang akan diinterpretasi, selanjutnya proses pemisahan objek kenampakan dari citra (delineasi). Delineasi dilakukan sesuai dengan kunci interpretasi, yakni menggunakan elemen-elemen/unsur-unsur seperti pada Gambar 2 yaitu : warna/tone, ukuran/size, bentuk/shape, tekstur/texture, pola/pattern,
tinggi/high,
bayangan/shadow,
situs(sebaran)/distribusi
dan
asosiasi. Deliniasi dimulai dari kunci interpreter yang paling mudah diinterpretasi pada citra dan paling umum. Proses ketiga adalah interpretasi akhir dimana hasil delineasi sudah disesuaikan untuk tujuan tertentu. Hasil identifikasi dan pengenalan ialah suatu daftar objek dan kenampakan dalam daerah itu. Hasil ini merupakan dasar untuk delineasi daerah yang memiliki pola dan karakteristik homogen yang dapat diamati. Setiap daerah yang didelineasi harus diklasifikasikan melalui proses induksi (pengertian umum
9
dari hal-hal khusus) dan deduksi (pengertian khusus dari pengamatan umum). Klasifikasi
manual
mempunyai
keunggulan
dimana
interpreter
dapat
mempertimbangkan cukup informasi terhadap hasil klasifikasi melalui proses induksi dan deduksi. Adapun kelemahan klasifikasi manual adalah tidak mampu menangani jumlah data citra yang besar dalam waktu yang singkat serta keterbatasan kemampuan mata manusia yang hanya sensitif 30 skala warna.
Klasifikasi Digital Klasifikasi merupakan suatu proses dimana semua piksel dari citra yang memiliki pengenalan spektral yang sama diidentifikasi. Fungsi utama klasifikasi adalah untuk melakukan pemisahan dari suatu populasi yang kompleks ke dalam kelompok-kelompok yang disebut kelas, yang dianggap sebagai unit-unit homogen untuk tujuan tertentu (Malingreau dan Cristiani 1982). Wiradisastra (1982) juga menjelaskan bahwa klasifikasi penutup lahan merupakan pembagian wilayah ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil dan homogen agar deskripsinya lebih sederhana. Klasifikasi citra digital menggunakan asumsi bahwa variasi pola peubah ganda (multivariate) dari DN pada suatu areal mempunyai hubungan yang erat dengan kondisi penutupan Iahannya. Juga diasumsikan bahwa penutupan lahan yang sama akan mempunyai sifat-sifat reflektansi atau nilai DN) yang sama pula, sehingga karakteristik statistika dari sekumpulan piksel yang mewakili suatu penutupan lahan dapat digunakan untuk mendefinisikan decision rule yang mampu membedakan antar penutupan lahan yang satu dengan yang lainnya (Jaya 2002) Secara umum terdapat dua metode klasifikasi, yaitu klasifikasi terbimbing (supervised
classification)
dan
klasifikasi
tak
terbimbing
(unsupervised
classification). Klasifikasi terbimbing adalah klasifikasi dimana analis mempunyai sejumlah piksel yang mewakili dari masing-masing kelas atau kategori yang diinginkan. piksel-piksel penciri tersebut sering disebut dengan training data, sementara kegiatan mengidentifikasinya pada citra dan selanjutnya digunakan untuk membuat class signature disebut dengan training area. Class signature (ciri kelas) tersebut akan berbeda-beda tergantung kepada metoda yang digunakan. Untuk metoda parallelepiped, class signature-nya adalah ambang atas dan ambang bawah dari DN, sementara pada metoda jarak minimum adalah vektor rata-rata (mean vector) dari training area untuk setiap kelas. Pada metoda
10
maksimum likelihood, maka class signature-nya adalah vektor rata-rata dan matrik ragam-peragam (variance-covariance matrix) dari masing-masing kelas (Jaya 2002). Berbeda dengan klasifikasi terbimbing, klasifikasi tak terbimbing secara otomatis dilakukan oleh komputer dengan mencari group berdasarkan kelompok spektral piksel yang bersangkutan (cluster). Gugus grouping dari spektral yang terbentuk kemudian ditandai
sebagai objek tertentu oleh analis (Danoedoro
1996)
Maximum Likelihood Clasification (MLC) Metode ini merupakan metode klasifikasi terbimbing yang paling banyak digunakan untuk data Penginderaan Jauh. Sebelum melakukan klasifikasi, penguna menentukan training area yang digunakan untuk melihat ciri-ciri statistika masing-masing calon kelas (Richard 1993). Klasifikasi MLC didasarkan pada perkiraan densitas probabilitas untuk setiap tutupan/penggunaan lahan. Perhitungan probabilitas disini memungkinkan untuk menemukan sebuah piksel dari kelas i pada vektor X yang didefinisikan oleh persamaan : P(i|X) = P(X|i)P(i)/P(X) Dimana : P(i|X) = Probabilitas bersyarat dari kelas i, dihitung mengingat bahwa vektor X ditetapkan secara apriori (tanpa syarat). Probabilitas ini juga disebut likelihood. P(X|i) = Probabilitas bersyarat (conditional) dari vektor X, dihitung mengingat bahwa kelas ditetapkan secara apriori P(i)
= Probabilitas kelas i muncul didalam sebuah citra
P(X)
= Probabilitas dari vektor X Lillesand dan Kiefer (1994) menyatakan bahwa klasifikasi MLC
mengevaluasi secara kuantitatif variance dan co-variance pola tanggapan spektral kategori ketika mengklasifikasi piksel yang tidak dikenal. Untuk melakukan ini, dibuat asumsi bahwa distribusinya normal. Untuk alasan matematik, suatu distribusi normal multivariate dapat digunakan sebagai fungsi densitas probabilitas. Dalam kasus distribusi normal, kemungkinan nilai X masuk ke dalam kelas k dapat diexpresikan sebagai berikut:
11
Lk ( X ) = dimana : n X
1 n 2
(2π ) / ∑ k / 1 / 2
−1 ⎧1 ⎫ exp⎨ − ( X − μ k )∑k ( X − μ k ) t ⎬ ⎩2 ⎭
: banyaknya band : vektor piksel dari citra n band
Lk(X) : kemungkinan dari X masuk kedalam kelas k µk
: vektor rataan dari kelas k
∑k
: matrik varian kovarian dari kelas k
/∑k/
: determinan dari ∑k
Object Oriented Clasification (OOC) Kebanyakan algoritma pengolahan citra yang dikembangkan untuk analisis citra resolusi rendah (20 – 1000 m) berbasis piksel. Pendekatan ini mempunyai keterbatasan, yang pada satu sisi tidak mempertimbangkan cukup informasi, dan pada sisi lain teori yang melatar belakangi tidak sesuai dengan baik persepsi manusia maupun dunia objektif, sehingga hasil yang diharapkan dari
interpretasi
atau
pemaknaan
citra
kurang
memuaskan.
Dengan
mengintegrasikan informasi spektral, struktur, topologi dan informasi konteks lain melalui kombinasi pengolahan citra, pengenalan obyek, computervision, kecerdasan buatan dan sistem pakar diharapkan hasil-hasil yang akan dicapai lebih baik. Oleh karena itu dikembangkanlah klasifikasi yang menambahkan suatu input pengetahuan kontektual kedalam segmentasi, yang dikenal dengan sebutan klasifikasi yang berorientasi objek (OOC). Segmentasi adalah suatu metoda untuk pengelompokan objek ke dalam region-region yang ditentukan oleh suatu ukuran kehomogenan. Metode ini menghasilkan gambaran objek suatu ukuran yang sama dalam struktur dan resolusi yang berbeda (Definiens Imaging 2004). Segmentasi menggunakan tiga parameter yaitu skala (scale), warna (color) dan bentuk (form). Parameter skala (scale parameter) adalah nilai abstrak yang
menentukan
heterogenitas
maksimum
yang
diperbolehkan
untuk
menghasilkan objek tanpa korelasi langsung dengan ukuran piksel yang terukur. Parameter ini lebih bergantung pada heterogenitas material data. Parameter warna menyeimbangkan homogenitas warna dari segmen dan homogenitas dari bentuk. Parameter bentuk mengontrol bentuk kenampakan dari objek dengan
12
menyeimbangkan
antara
kriteria
kehalusan
(smoothness)
dan
kriteria
kekompakan (compactness) dari objek (Hildebrant 1996 dalam Willhauck 2000). Parameter warna dihitung dengan menggunakan rumus :
h color =
∑ w (n c
f = w . hcolor + (1 − w ) . h shape merge
(
. σ cmerge − n obj 1 . σ cobj 1 + n obj 2 .σ cobj 2
(
c
))
)
h shape = w cmpct .h cmpct + 1 − w cmpct .h smooth hsmooth dan hcmpct diperoleh dihitung dengan :
h smooth = n merge . hcmpct = n merge .
l merge b merge l merge n merge
⎛ l obj 1 l obj 2 − ⎜ n obj 1 . + n obj 2 . ⎜ b obj 1 bobj 2 ⎝
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
⎛ l obj 1 l obj 2 − ⎜ n obj 1 . + n obj 2 . ⎜ n obj 1 n obj 2 ⎝
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
f adalah nilai fusi penggabungan total, h adalah heterogenitas, wc dan wcmpct adalah bobot dari parameter warna dan kekompakan, n adalah ukuran objek, l adalah perimeter panjang objek, b adalah perimeter batas. (Definiens Imaging 2004). Segmentasi tidak memiliki suatu nilai tertentu. Objek citra yang dihasilkan dari prosedur segmentasi dimaksudkan untuk menjadi objek citra awal, yang menyediakan atau pembawa informasi dan kerangka klasifikasi lebih lanjut atau proses segmentasi lain. Dalam hal ini, hasil terbaik segmentasi adalah hasil yang mampu menyediakan informasi optimal untuk proses lebih lanjut. (Hofman 1998 dalam Wong et al 2003). Algoritma segmentasi tidak hanya mengandalkan nilai piksel tunggal, tetapi juga spasial piksel seperti tekstur, topologi dan bentuk serta posisinya dalam network hirarki. (Humano 2000, Manakos 2001)
Gambar 3 Konsep Segmentasi dalam object oriented clasification.
13
Gambar 3 menunjukkan konsep segmentasi, dimana terdapat level objek citra yang berbeda yang diciptakan dengan merepresentasikan skala yang berbeda. Semua objek gambar yang terhubung secara otomatis dengan sebuah network (jaringan) setelah proses segmentasi. Setiap objek citra mengenal tetangganya, yang memberikan konteks informasi penting untuk analisis berikutnya. Kemudian, pengulangan segmentasi dengan skala parameter yang berbeda menghasilkan jaringan objek citra yang berhirarki. Tiap objek citra mengenal super-objek dan sub-objeknya (Wong et al 2003). Segmen-segmen yang ada, akan diklasifikasi menggunakan sistem klasifikasi fuzzy. Menurut Baatz (2001) klasifikasi fuzzy adalah suatu teknik yang sederhana dalam mengklasifikasi dengan dasar memberikan nilai penampakan dari area dengan nilai fuzzy antara 0 dan 1 (yang mengindikasikan derajat keanggotaan) kedalam masing masing kelas. Untuk mengubah selang dari nilai feature yang berbeda-beda kedalam ekspresi logis digunakan dua macam pengklasifikasian yaitu fungsi keanggotaan (membership function) dan klasifikasi tetangga terdekat (nearest neigbour). Semua ekspresi dari satu kelas harus dikombinasikan untuk memperoleh hasil yang diinginkan dengan menggunakan operator logis seperti and (max), and (mean), or, if and else (Mayer et al 1993 dalam Willhauck, 2000). Aturan fuzzy yang digunakan adalah “if – then” yang berarti apabila kondisi terpenuhi maka terklasifikasi dalam kelas tersebut. Aturan fuzzy ini dapat dikembangkan dan dikombinasi dengan menggunakan operator logis. Fungsi keanggotaan merupakan suatu batasan terhadap kelas yang akan diklasifikasi fungsi keanggotaan ini meliputi rata-rata (CL), standar deviasi (δL) dan ratio (rL). Rata-rata (CL) adalah jumlah nilai digital (DN) dalam objek (CL i) dibagi dengan jumlah piksel dalam objek (n).
CL =
1 n ⎛ ⎞ σL = ⎜ C Li − C L ⎟ ∑ n − 1 i =1 ⎝ ⎠
1 n ∑ C Li n i =1
2
Standar deviasi ( σ L ) dihitung dari layer value dari semua piksel (n) dari objek yang dibentuk dalam citra. sedangkan ratio ( rL ) adalah nilai rata-rata dari objek dalam band dibagi dengan jumlah semua spektral band dalam objek.
rL =
CL nL
∑C i =1
i
14
selain fungsi keanggotaan ekspresi yang lain adalah nearest neighbor (NN). Fungsi ini membutuhkan sejumlah training area dimana jarak kedekatan antara objek contoh dengan objek citra dihitung dengan rumus :
⎛ v (f s ) − v (fo ) ⎞ ⎟ d = ∑⎜ ⎜ σ ⎟ f ⎝ f ⎠
2
dimana d = jarak antara objek contoh dengan objek dalam citra
v (sf ) = feature value dari objek contoh v (of ) = feature value dari objek dalam citra
σ f = standar deviasi Prinsip NN adalah menetapkan training area yang reseprentatif untuk masing-masing kelas, kemudian algoritma OOC mencari objek terdekat dalam ruang feature pada masing-masing objek citra, seperti yang disajikan pada Gambar 4. Jika sebuah objek citra (A) lebih dekat dengan objek (B) yang temasuk dalam kelas biru, maka objek citra (A) akan dimasukkan kedalam kelas biru (Gao 2003).
Gambar 4 Konsep nearest neighbor.
15
Akurasi Klasifikasi Penutupan/Penggunaan Lahan Evaluasi akurasi bertujuan untuk melihat persentase ketelitian hasil klasifikasi
dalam
mengkelaskan
suatu
areal
menjadi
kelas-kelas
penutupan/penggunaan lahan dengan cara menghitung jumlah piksel area contoh (training area) yang diklasifikasikan dengan benar dan salah. Akurasi dievaluasi dengan membuat matriks contingency, yang lebih dikenal dengan matriks kesalahan (confusion matrix) seperti yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Matrik kesalahan (confusion matrix) Diklasifikasi Ke- Kelas A B … D
Data Training Area A
Xii
Total Baris
Producer’s
Xk+
Xkk/Xk+
B … D
Xkk N
Total Kolom
X+k
User’s
Xii/X+k
Berdasarkan matrik kesalahan, maka nilai akurasi yang didapat adalah adalah user’s accuracy, producer’s accuracy, dan overall accuracy. Nilai akurasi yang paling banyak digunakan adalah akurasi Kappa (KHAT), karena nilai ini memperhitungkan semua elemen (kolom) dari matriks. Secara matematis akurasi kappa dinyatakan sebagai berikut : r
Kappa Accuracy =
r
N ∑ X i − ∑ X i + X +i
i =1
i =1
r
N 2 − ∑ X i + X +i i =1
Dimana : N r
= jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan = jumlah baris/ lajur pada matriks kesalahan (sama dengan jumlah kelas)
ki+ = k+j =
∑X ∑X
IJ
ij
(jumlah semua kolom pada baris ke-i) (jumlah semua kolom pada baris ke-j)
16
Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) telah mensyaratkan tingkat akurasi/ ketelitian sebagai kriteria utama bagi sistem klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan yaitu tingkat akurasi klasifikasi terhadap data Penginderaan Jauh harus tidak kurang dari 85 %, dan ketelitian klasifikasi harus lebih kurang sama untuk beberapa katagori/kelas. Sistem Klasifikasi Penutupan/penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan
perwujudan
fisik
obyek-obyek
yang
menutupi
lahan
tanpa
mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan pemetaan penutupan/penggunaan lahan terletak pada pemilihan sistem klasifikasi yang tepat, yang dirancang untuk suatu tujuan dimaksud. Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan
lahan
adalah
upaya
pengelompokan
penutupan/penggunaan lahan dalam penyajian data spasial yang akan dijadikan pedoman atau acuan dalam proses interpretasi . Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang digunakan di Indonesia umumnya disesuaikan dengan tujuan masing-masing pengguna baik individu maupun organisasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam pemetaan lahan. Beberapa klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang telah ada, diuraikan di bawah ini. a) Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN 1977 dalam Surlan 2002), membagi wilayah pedesaan dan perkotaan
sebagai
dasar
klasifikasi
penggunaan
lahan.
Klasifikasi
penutupan/penggunaan lahan pedesaan disajikan dalam berbagai skala, yakni skala 1 : 200.000 s/d 1 : 250.000; skala 1 : 25.000 s/d 1 : 100.000; dan skala 1 : 5.000 s/d 1 : 12.500. Masing-masing klasifikasi disajikan secara terpisah, yakni bukan merupakan klasifikasi penggunaan lahan yang berjenjang. b) Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan untuk Indonesia menurut Malingreau (1982), didasarkan pada kombinasi sistem physiognomik dan sistem fungsional. Cara penyajian masing-masing kiasifikasi dilakukan secara bertingkat, dengan empat tingkat klasifikasi, yaitu jenjang I hingga jenjang IV. Klasifikasi penggunaan lahan jenjang berikutnya merupakan rincian dari
17
jenjang sebelumnya. c) Klasifikasi penutupan/penggunaan lahan menurut Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPPRoT 1987) dibangun dengan menggunakan data Penginderaan Jauh sebagai sumber utama datanya. Peta penutup/penggunaan lahan disajikan pada skala 1 : 250 000, ditujukan untuk evaluasi lahan, dimana peta penutup/penggunaan lahan sebagai salah satu masukan datanya. d) Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan menurut United States Geologi Survey (USGS 1992 dalam Jansen 2000), dikembangkan berdasar penggunaan
citra
Penginderaan
Jauh
sebagai
sumber
data
dalam
pemetaannya. Sistem klasifikasinya merupakan sistem klasifikasi berjenjang, yaitu dari tingkat I (umum) hingga tingkat IV (rinci). e) Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang dikembangkan pada proyek CORINE landcover (ITC 2001), sistem klasifikasi ini berdasarkan penggunaan
citra
Penginderaan
Jauh
sebagai
sumber
data
dalam
pemetaannya dan partisipatif data lokal. Sistem klasifikasinya merupakan sistem klasifikasi berlevel, yaitu dari level I (umum) hingga level III(rinci). f)
Sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan menurut Bakosurtanal (2000) merupakan rekomendasi untuk pemetaan tematik Dasar di Indonesia. Sistem klasifikasinya merupakan sistem klasifikasi berjenjang, yaitu dari tingkat I hingga tingkat III. Berbagai macam sistem klasifikasi di atas menunjukkan betapa sulitnya
menentukan sistem klasifikasi yang dapat memuaskan semua persyaratan. Oleh karena itu dipilih sistem klasifikasi penutupan/penggunaan lahan yang sedapat mungkin mengakomodasi berbagai kebutuhan klasifikasi. Sistem klasifikasi yang dipilih adalah Klasifikasi FAO 1994 dalam Rosalina 2002. Klasifikasi ini banyak dipakai sebagai standar klasifikasi penutupan/penggunaan lahan dengan menggunakan citra Penginderaan Jauh, sedangkan di Indonesia sistem klasifikasi ini digunakan pada TREES Project kerjasama IPB dan Uni Eropa. Sistem klasifikasi FAO 1994 disajikan pada Tabel 4.
18
Tabel 4 Klasifikasi Penutup Lahan menurut FAO 1994 Level 1
Level 2
1. Evergreen and Semi evergreen Forest
2. Deciduous Forest
1. Forest 3. Inundated Forest
4. Gallery Forest
5. Plantation
2. Mosaic
6. Forest Regrowth 7. Mangrove 9. Other 10% - 40% forest cover 1. Shifting cultivation
Level 3 0. Unknow 1.Evergreen - lowland forest 2.Evergreen-mountain forest 3. Semi-evergreen forest 4. Heath forest / kerangas 5. Coniferous 9. Other 0. Unknown 1. (Dry) – Mixed deciduous 4. Dry Dipterocarp 9. Other 0. Unknow 1. Periodically inundated 3.Swampforest(permanently inundated 4. Swamp forest with palms 5. Peat swamp forest 9. Other 0 0. Unknown 1. Teak 2. Pine 3. Eucalyptus 9. Other 0. 0. 0. 0. Undefined 1. 1/3 cropping 2. > 1/3 cropping
2. Cropland and Forest 3. Other vegetation and Forest 9. Other 3. Non Forest Vegetation< 10% canopy cover or < 10% forest cover Up to 10% of 1. Wood & shrubland 0. Unknown Forest cover 4. Bamboo 5. Swamp savanna 6. Humid (evergreen) type 7. Dry (savanna) type 9. Other 2. Grassland 0. Unknown 1. Dry grassland 2. Swamp grassland 9. Other 3. Regrowth of vegetation 9. Other < 10% canopy cover Or < 10% forest cover 1. Arable 0. unknown 1. Irigated 2. Rainfed 4. Agriculture Up to 10% of Forest cover
5. Non vegetated
6. Water 7. Sea 8. Not visible
2. Plantations
3. Ranching 9. Other 1. Urban 2. Roads 3. Infra structure 4. Bare soil 9. Other 1. River 2. Lake 1. Clouds 2. Shadow
9. No data
Sumber : FAO 1994 dalam Rosalina 2002
0. Unknown 1. Rubber 2. Oil palm 3. Coffee, Cacao 9. Other
Level 4 A. Closed > 70% forest cover > 70% canopy cover B. Open > 70% forest cover 70-10% canopy cover C. Fragmented 40-70% forest cover >10% canopy cover D. Undefined