HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan DAS Krueng Peutoe yang
luasnya
30.258 ha terdiri atas lima jenis
penggunaan lahan, yaitu pemukiman, kebun campuran, perkebunan, semak belukar dan hutan primer. Dari ke lima penggunaan lahan tersebut, ha nya empat penggunaan lahan saja yang dilakukan pengamatan (tidak termasuk penggunaan lahan untuk pemukiman), dan dari ke empat penggunaan lahan tersebut penggunaan lahan yang dominan adalah hutan primer. Berdasarkan survai dan pengamatan pada lokasi pene litian dapat dilihat bahwa penggunaan lahan umumnya hampir seragam, yaitu tanaman tahunan yang ditumpangsari dengan tanaman
pangan dan tanaman hortikultura, terkecuali
penggunaan lahan untuk perkebunan (kelapa sawit) yang ditanam secara monokultur oleh perkebunan kelapa sawit PTP-Nusantara I. Dilihat dari pola tanam yang ada saat ini beberapa petani setempat belum maksimal memanfaatkan lahan pertanian yang ada.
Hal ini dikaitkan dengan
curah hujan dan meningkatnya hama di lokasi penelitian. Dari data curah hujan yang ada, dari bulan September sampai dengan Desember petani setempat melakukan penanaman padi tadah hujan, selanjutnya pada bulan Januari sampai dengan Agustus yang seharusnya petani melakukan penanaman tanaman pangan dan hortikultura akan tetapi karena meningkatnya hama, maka lahan dibiarkan terlantar begitu saja. Di Kabupaten Aceh Utara pembangunan pertanian tanaman pangan selain diarahkan pada peningkatan produksi, juga ditekankan pada upaya meningkatkan pendapatan dan hasil petani, menciptakan kesempatan kerja produktif/padat karya dan kesempatan berusaha di pedesaan serta usaha untuk meningkatkan ekspor. Penggunaan lahan untuk kebun campuran di DAS Krueng Peutoe umumnya ditanami tanaman pinang, kelapa, kakao yang ditumpang sari dengan tana man kacang kedelai, jagung, kacang panjang, cabe dan kacang tanah. Tanaman kedelai yang merupakan tanaman sub tropis dan telah beradaptasi dengan daerah tropis untuk saat ini merupakan tanaman andalan di Aceh Utara (termasuk di lokasi penelitian) karena tanaman ini dapat ditanam pada lahan kering dan terbuka.
Untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal sebaiknya kedelai ditanam pada bulan-bulan yang agak kering, tetapi air masih cukup tersedia. Air diperlukan pada awal pertumbuhan sampai masa pengisian polong. Kekeringan pada waktu pertumbuhan vegetatif dapat menyebabkan tanaman akan tumbuh kerdil, sedangkan kekeringan pada saat berbunga dan saat pengisian polong dapat menurunkan hasil (Sumarno 1984). Penggunaan lahan untuk perkebunan pada DAS Krueng Peutoe umumnya ditanami dengan jenis tanaman : pinang, kakao, sebagian kopi dan karet dan kelapa sawit yang sebagian besar dikelola oleh perkebunan PTPN- I kebun Cot Girek. Potensi perkebunan di Aceh Utara cukup menggembirakan terutama yang berada di wilayah pedalaman dan wilayah pengembangan. Permasalahan yang dihadapi saat ini justru sumber daya manusia petani, serta terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki sebagai penunjang pembinaan operasional lapangan. Dalam rangka mendorong ekspor dan memenuhi kebutuhan industri dalam negeri, pengembangan komoditas perkebunan ke depan khususnya di kabupaten Aceh Utara terus ditingkatkan dengan mengarahkan kepada pemanfaatan lahan marginal, seperti lahan kering yang memiliki potensi yang cukup besar untuk pengembangan perkebunan rakyat dan perkebunan swasta. Kendala yang dihadapi pada lahan marginal, yaitu
lahan yang memiliki faktor pembatas fisik yang
berkaitan dengan bentuk wilayah dan karakteristik tanah dan faktor kimia yang cukup berat bagi pertumbuhan kelapa sawit. Pelaksanaannya dapat ditempuh melalui upaya peningkatan produksi dengan (1) membuka areal baru dan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia, (2) peremajaan, yaitu pergantian tanaman tua, rusak dan tidak produktif dengan tanaman baru yang memiliki potensi produksi lebih tinggi, (3) rehabilitasi tanaman, yaitu kepada
upaya
pemulihan
kemampuan
produksi
agar
yang mengarah tanaman
mampu
menghasilkan sesuai dengan standar produksi pada umur tertentu, (4) perbaikan mutu hasil dan (5) penganekaragaman serta pemanfaatan lahan transmigrasi pola perkebunan. Ini semua harus diikuti dengan tindakan konservasi tanah agar mendapatkan produksi yang optimal dan berkelanjutan.
Perkebunan Kelapa Sawit Cot Girek, yang berlokasi di Kecamatan Cot Girek, merupakan unit usaha dari kebun PTP Nusantara – I memiliki HGU 7.500 ha. Dari luasan tersebut areal yang efektif berproduksi hanya seluas 5.663 ha, yaitu pada areal kebun plasma (PIR lokal). Pada awal dibukanya perkebunan PTPN- I Cot Girek kebun ini ditanami dengan tanaman tebu, dan pada saat ini tanamannya sudah dialihkan ke tanaman kelapa sawit. Peralihan tanaman tebu ke tanaman kelapa sawit dimulai pada tahun 1986 dengan penanaman awal seluas 500 ha dan penanam terakhir pada tahun 1991 seluas 1.000 ha, dan direncanakan untuk tahun 2006 akan dilakukan penanaman kelapa sawit seluas 1.000 ha. Tanaman pinang hampir dijumpai di seluruh kecamatan. Hampir semua kepala keluarga menanam tanaman pinang. Saat ini di Aceh Utara luas areal yang ditanami pinang adalah 12.639 ha, dimana tanaman yang telah menghasilkan 9.152 ha, dan tanaman yang belum menghasilkan adalah 3.457 ha. Produksi tanaman pinang tahun 2003 adalah 7.158 ton (Dinas Infokom Kabupaten Aceh Utara 2005). Tanaman kakao saat ini mulai banyak ditana mi, termasuk di Kecamatan Cot Girek, Matang Kuli dan Lhoksukon. Hal ini terkait dengan salah satu program terpadu pemerintah kabupaten Aceh Utara tahun 2005 yaitu program Massal Coklatisasi. Program ini diterapkan oleh beberapa alasan, yaitu (1) produksi migas di Aceh Utara yang semakin hari semakin berkurang, (2) mata pencaharian masyarakat Aceh Utara yang bersumber pada sektor pertanian (dalam arti luas), (3) tersedianya sumber daya alam dalam bentuk lahan- lahan yang subur yang belum dimanfaatkan secara optimal (4) memanfaatkan sumberdaya manusia yang potensial melalui penciptaan lapangan kerja terutama para pemuda di pedesaan yang nantinya dapat menekan angka pengangguran di pedesaan serta (5) komoditi kakao merupakan komoditi ekspor yang cepat mengha silkan (2-3 tahun) dan dapat dikembangkan pada semua jenis lahan. Penggunaan lahan untuk semak belukar didominasi oleh alang-alang dan tegakan pohon.
Lahan ini berkembang pada lahan yang ditelantarkan akibat
penebangan hutan, perladangan berpindah dan sebab-sebab lainnya. Areal ini cukup berpotensi untuk dikembangkan sebagai areal pertanian. Kendala yang dihadapi adalah tingkat kesuburan tanah yang rendah. Sedangkan penggunaan
lahan untuk hutan masih berupa hutan alami yang tertutup oleh berbagai jenis semak dan serasah. Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan dan jenis tutupan lahan secara keseluruhan di DAS Krueng Petutoe dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jenis Penutupan Lahan dan Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan Di DAS Krueng Peuto No.
Penggunaan Lahan
Jenis Tutupan Lahan
Jenis Tanaman
1.
Kebun Campuran
Tanaman semusim dan tahunan
Jagung, kc.kedelai, cabe, kc. tanah, kc.panjang, kakao, pinang.
2.
Perkebunan
Tanaman tahunan
Kelapa sawit, kakao, dan Pinang
3.
Semak belukar
Semak belukar campuran
Alang-alang dan tegakan Pohon
4.
Hutan
Hutan alami
Hutan alami
Hasil tumpang tindih (overlay) peta penggunaan tanah (Lampiran 2), peta topografi (Lampiran 3) dan peta jenis tanah (Lampiran 4) diperoleh 17 satuan lahan homogen (SLH) (Lampiran 5). Sebanyak 14 SLH dijadikan sebagai lokasi pengamatan intensif, yaitu kebun campuran SLH 14, 15, 16, 17 seluas 11.620 Ha (56,5%), perkebunan SLH 8, 9, 10, 12 seluas 4.294 Ha (20, 9%), semak belukar SLH 6, 7 seluas 1.987 Ha (9,7%) dan hutan SLH 1, 3, 4, 5 seluas 2.653 Ha (12,9%). Luasan satuan lahan homogen untuk masing- masing penggunaan lahan tersebut disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Luas Satuan Lahan Homogen pada Masing- masing Penggunaan Lahan yang Menjadi Lokasi Pengamatan Intensif Di DAS Krueng Peutoe L u a s No. Penggunaan Lahan 1. 2. 3. 4.
Kebun Campuran Perkebunan Semak Belukar Hutan Jumlah
Satuan Lahan Homogen (SLH) 14, 15, 16, 17 08, 09, 10, 12 06, 07 01, 03, 04, 05
Ha
%
11.620 4.294 1.987 2.653
56,5 20,9 9,7 12,9
20.554
100,0
Sumber : Hasil Analisis Peta
Berdasarkan pengamatan di lapang, pengelolaan lahan yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian umumnya belum menerapkan teknik konservasi tanah.
Hal ini dapat dilihat dari penanaman yang terus menerus tanpa dibera, penanaman yang tidak diikuti dengan/tanpa dilakukan pemupukan dan juga dijumpai lahan yang tidak diusahakan (diterlantarkan). Areal ini tadinya diusahakan untuk tanaman padi dengan mengandalkan airnya dari curah hujan dan lahan ini sudah dibiarkan begitu saja sejak bulan april 2005. Lahan yang dibiarkan terbuka tanpa ditanami dengan tanaman penutup tanah bisa mengakibatkan terjadinya erosi, karena tumbukan dari butir-butir hujan akan menghanyutkan partikel-partikel tanah. Erosi tanah merupakan proses yang berlangsung terus-menerus dan sulit untuk dicegah secara keseluruhan yang mengakibatkan semakin tipisnya lapisan tanah bagian atas yang nantinya dapat menurunkan kesuburan tanah. Perubahan yang terjadi dengan terjadinya erosi tanah adalah : menurunnya sifat kimia tanah seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik, menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air dan akhirnya terjadinya penurunan produksi. Klasifikasi Kemampuan dan Evaluasi Penggunaan Lahan Evaluasi kemampuan lahan dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian antara penggunaan lahan dengan kemampuan tanah,
karena bila suatu
penggunaan lahan tidak sesuai dengan kemampuannya maka akan terjadi degradasi lahan. Demikian pula bila penggunaan lahan untuk pertanian tidak disertai dengan tindakan pengelolaan lahan yang baik, maka akan menimbulkan permasalahan erosi pada lahan pertanian tersebut. Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan adalah yang dikeluarkan oleh USDA
yang membagi lahan ke dalam sejumlah kategori-
kategori menurut faktor penghambat terhadap pertumbuhan tanaman, terutama faktor- faktor pembatas permanen : kedalaman efektif, lereng, drainase dan erosi (Lampiran 13) yang selanjutnya akan dikelompokkan kedalam kelas-kelas tertentu. Penentuan kelas lahan dengan menggunakan sistem klasifikasi kemampuan lahan, ditentukan dari penilaian kelas lahan terburuk dan penghambat terberat. Sebagai contoh bila seluruh parameter menunjukkan kelas II tetapi salah satu parameter menunjukkan kelas V, maka areal tersebut termasuk dalam kelas V.
Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya merupakan salah satu tindakan konservasi yang akan menjamin kelestarian sumberdaya lahan, sebaliknya jika penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya maka akan mempercepat terjadinya degradasi lahan yang pada akhirnya lahan akan semakin kritis. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian penggunaan lahan di DAS Krueng Peutoe untuk berbagai penggunaan lahan dengan berpedoman
pada kelas
kemampuan lahan menurut Klingebiel dan Montgomery (1973 dalam Arsyad 2000), maka di lokasi penelitian didapat kelas kemampuan lahan II, III, VI dan VII dengan faktor pembatas utama berupa lereng (l), dan erosi (e).
Kelas
kemampuan lahan untuk penggunanan lahan kebun campuran dijumpai pada kelas II, III, VI dan VII, untuk penggunaan lahan perkebunan dijumpai pada kelas II, III dan VI, untuk penggunaan lahan semak belukar dijumpai pada kelas VI dan untuk penggunaan lahan hutan dijumpai pada kelas III dan VI. Untuk lebih jelasnya hasil evaluasi kemampuan lahan dapat dilihat pada Tabel 14 dan Lampiran 14. Dilihat dari kriteria kemampuan lahan, bahwa lahan yang termasuk kedalam kelas II (SLH 10, 15) sesuai untuk lahan garapan pertanian terbatas sampai dengan intensif. Faktor penghambat yang dijumpai pada kelas ini adalah lereng. Dilihat dari faktor penghambat yang masih ringan, maka agar lahan ini dapat digunakan secara lestari, diperlukan tindakan konservasi sedang, seperti pengolahan tanah menurut kontur, pergiliran tanaman dengan penutup tanah, pembuatan guludan dan pemupukan. Lahan yang masuk ke dalam kelas III (SLH 1, 5, 9, 12 dan 16) sesuai untuk lahan garapan pertanian terbatas sampai dengan sedang, dengan faktor pembatas lereng dan erosi. Penggunaan lahan pada kelas III masih dapat dipertahankan untuk pertanian sedang.
Tindakan konservasi yang perlu dilakukan adalah
dengan pembuatan teras, penanaman dalam strip dan pergiliran tanaman dengan tanaman penutup tanah agar nantinya dapat menjaga kelestarian penggunaan lahan untuk menunjang kehidupan dan kesejahteraan masa depan petani dan keluarganya.
Tabel 14. Hasil Evaluasi Kemampuan Lahan pada Kebun Campuran, Perkebunan, Semak Belukar dan Hutan. KKL
II
III
FPPL
L1
L2 , e2
Sub Kelas II L1
III L2 ,e2 III L2
VI
VII
L4
L5
VI L4
VII L5
SLH
Penggunaan Lahan
15
Kebun campuran
sesuai
3.951
19,2
10
Perkebunan
sesuai
1.709
8,3
16
Kebun campuran
sesuai
4.350
21,1
9, 12 Perkebunan
sesuai
2.521
12,3
1, 5
sesuai
414
2,0
14
Hutan
EPL
LUAS Ha %
Kebun campuran
tdk sesuai
2.634
12,8
8
Perkebunan
tdk sesuai
64
0,3
3, 4
Hutan
sesuai
2.239
10,9
6, 7
Semak Belukar
tdk sesuai
1.987
9,7
Kebun campuran
tdk sesuai
685
3,3
17
Arahan Penggunaan Lahan Menurut Kelas Kemampuan Lahan garapan pertanian intensif untuk kebun campuran Lahan garapan pertanian intensif untuk perkebunan Lahan garapan pertanian sedang untuk kebun campuran Lahan garapan pertanian sedang untuk perkebunan Lahan garapan pertanian sedang untuk hutan Lahan penggembalaan sedang untuk agroforestry Lahan penggembalaan sedang untuk agroforestry Lahan penggembalaan sedang untuk hutan Lahan penggembalaan sedang untuk padang pengembalaan Lahan penggembalaan terbatas untuk agroforestry
Keterangan : KKL = Kelas Kemampuan Lahan, L = Lereng, e = Tingkat Erosi, FPPL = Faktor Penghambat Pengelolaan Lahan, EPL = Evaluasi Penggunaan Lahan
Lahan yang masuk ke dalam kelas VI (SLH 3, 4, 6. 7, 8, 14 ) memiliki faktor pembatas lereng yang agak curam. Tanah
kelas ini menurut kriteria
kemampuan lahan lebih sesuai untuk penggembalaan terbatas sampai dengan sedang. Akan tetapi bila digunakan untuk lahan pertanian (SLH 8 dan 14) diperlukan tindakan konservasi dengan
metode pencegahan erosi yang berat
seperti pembuatan teras bangku dan kombinasi metode vegetatif. Lahan yang masuk ke dalam kelas VII (SLH 17) dengan kelerengan yang curam memiliki keterbatasan dalam penggunaannya. Lahan kelas ini lebih sesuai digunakan untuk penggembalaan terbatas, agroforestry, hutan produksi untuk pencegahan erosi atau untuk hutan lindung. Hasil penilaian penggunaan lahan di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan lahan di lokasi penelitian yang sesuai digunakan untuk lahan garapan pertanian adalah pada SLH 10, 15 yang memiliki topografi datar (lereng 0 – 8%) dan pada SLH 1, 5, 9, 12, 16 dengan topografi bergelombang (lereng 8 – 15%). Untuk SLH 3, 4, 6, 7, 8, 14 dengan topografi berbukit (lereng 25 – 45%) berdasarkan kriteria klasifikasi kemampuan lahan sebaiknya digunakan untuk penggembalaan dan bila digunakan untuk lahan garapan pertanian (SLH 8 dan 14), maka harus dilakukan tindakan konservasi tanah dengan metode pencegahan erosi yang berat seperti pembuatan teras bangku dan kombinasi metode vegetatif. Pada SLH 17 yang mempunyai topografi curam (lereng > 45%) disarankan untuk digunakan sebagai padang penggembalaan terbatas, termasuk agroforestry sesuai dengan kelas kemampuan lahannya. Evaluasi Pola Tanam dan Agroteknologi Penerapan evaluasi pola tanam dan agroteknologi pada satuan lahan homogen pewakil yang dijadikan sebagai lokasi pengamatan intensif perlu dilakukan untuk mengetahui kesesuaiannya
dalam penggunaan lahan,
pengelolaan tanaman dan teknik konservasi yang akan diterapkan. Persyaratan penggunaan lahan dan persyaratan tumbuh bagi tanaman menjadi penting karena penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan harus sesuai dengan daya dukungnya agar dapat tercipta suatu pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Usahatani dikatakan berkelanjutan bila penggunaan lahannya telah sesuai dengan kemampuan lahan, nilai prediksi erosi lebih kecil atau sama dengan erosi yang
dapat ditoleransikan (ETol) dan usahatani yang diterapkan memberikan hasil yang menguntungkan bagi petani. Hasil pengamatan di lapangan, pola tanam yang diterapkan oleh petani selama ini adalah pola tanam yang berubah-ubah, karena petani setempat selalu mengikuti pola curah hujan. Pola tanam yang diterapkan oleh petani untuk kebun campuran dan perkebunan (diluar perkebunan PTPN-I Cot Girek) yang diterapkan pada DAS Krueng Peutoe adalah pola tanam yang tetap, dan hanya sebagian dari petani yang telah melakukan perubahan pola tanam dengan memperhatikan kondisi pasar. Penanaman tanaman semusim yang biasa dilakukan oleh petani yaitu kacang kedelai, jagung, cabai, kacang tanah dan kacang panjang. Sedangkan tanaman tahunan yang umumnya dibudidayakan oleh petani adalah tanaman pinang, kelapa, kelapa sawit dan kakao (baru tahap awal penanaman, diluar dari areal perkebunan). Penanaman tanaman musiman yang seharusnya ditanam dua kali dalam setahun, ternyata petani setempat hanya melakukan penanamannya satu kali dalam setahun. Lahan yang ada sering diterlantarkan begitu saja, karena petani setempat selalu mengikuti pola curah hujan dalam penentuan pola tanamnya dan banyaknya hama yang tidak dapat dijangkau oleh petani setempat. Program pembangunan irigasi merupakan program yang sangat mendukung pembangunan pertanian secara menyeluruh, karena dengan berfungsinya sarana irigasi, petani setempat dapat melakukan penanaman padi dua kali
dalam satu
tahun sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dilihat dari luasan areal persawahan, saat ini di Aceh Utara terdapat lebih kurang 40.000 ha sawah yang diterlantarkan akibat tidak berfungsinya sarana irigasi, sedangkan di lokasi penelitian terdapat lebih kurang 850 ha lahan persawahan yang tidak diusahakan. Penerapan pola tanam pada kebun campuran umumnya juga tidak teratur, dimana penanaman tanaman sampingan disisipkan diantara tanaman utama. Pola tanam aktual untuk kebun campuran dan perkebunan yang diterapkan di DAS Krueng Peutoe dapat dilihat pada Tabel 15. Pola tanam ini merupakan pola tanam yang diterapkan langsung oleh petani setempat dan hanya sebagian dari petani yang melakukan perubahan pola tanam dengan melihat kondisi pasar dan
kebutuhan petani itu sendiri, walaupun perubahan pola tanam ini tidak mungkin dilakukan (hama yang begitu besar). Tabel 15. Pola Tanam Aktual pada Kebun Campuran dan Perkebunan pada Lokasi Pengamatan Intensif Di DAS Krueng Peutoe. No.
SLH
Pola Tanam
KPT
Kebun Campuran 1. 2.
14, 15 dan 17 16
Tanaman tahunan dan tanaman pangan Padi dan tanaman pangan
A B
Perkebunan 3.
8, 9, 10, 12
Tanaman tahunan
C
Semak Belukar 4.
6, 7
Anakan dan tegakan pohon
D
Hutan 5.
1, 3, 4, 5
Keterangan :
Hutan Alami
E
KPT = Kode Pola Tanam; SLH = Satuan Lahan Homogen
Melihat dari keberadaan perkebunan kelapa sawit PTPN-I yang berada disekitar lokasi, maka pada umumnya petani setempat lebih memilih untuk bekerja sebagai tenaga harian di perkebunan PTPN-I dengan upah harian rata-rata Rp 12.000 per hari nya. Pemilihan agroteknologi untuk setiap satuan lahan homogen diperoleh melalui simulasi dengan menggunakan model USLE (Wischmeier dan Smith 1978). Nilai A (prediksi erosi) didapat berdasarkan nilai faktor R, K, L dan S yang diukur di lapang pada setiap satuan lahan homogen sedangkan agroteknologi dapat ditentukan dengan mensimulasi nilai faktor C (pengelolaan tanaman) dan nilai faktor P (tindakan konservasi) saja. Pemilihan agroteknologi didahului dengan inventarisasi agroteknologi yang sudah ada dan agroteknologi lain yang sesuai dengan kapasitas dan keinginan masyarakat di lokasi DAS Krueng Peutoe. Adapun kriteria yang digunakan untuk menetapkan nilai CP maksimum yang akan dijadikan alternatif agroteknologi adalah nilai CP yang me ngakibatkan erosi lebih kecil atau sama dengan erosi yang dapat ditoleransikan (ETol).
Prediksi Erosi Pendugaan erosi di DAS Krueng Peutoe dianalisis pada setiap titik contoh yang terdapat pada masing- masing satuan lahan homogen (SLH) yang menggunakan beberapa nilai parameter dengan menggunakan persamaan USLE. Parameter-parameter yang ditentukan dalam perhitungan erosi adalah erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), lereng (LS), pengelolaan tanaman (C) dan pengelolaan tanah (P). Hasil perhitungan dan pengamatan menunjukkan bahwa nilai parameter setiap titik contoh pada masing- masing satuan lahan homogen menunjukkan bahwa nilai erosi yang sangat bervariasi. Produksi pertanian yang cukup tinggi secara terus menerus dapat dipertahankan apabila erosi pada masing- masing satuan lahan homogen (SLH) tersebut lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan (ETol), dan bila erosi lebih besar dari ETol maka produktivitas lahan akan segera menurun, sehingga produksi yang tinggi hanya dapat dipertahankan beberapa tahun saja yang akhirnya lahan pertanian tersebut menjadi tidak produktif atau bahkan menjadi lahan kritis. Faktor iklim terpenting yang menyebabkan terdispersinya agregat tanah, aliran permukaan dan erosi adalah hujan. Air hujan yang jatuh menimpa tanahtanah yang terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi dan sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Nilai erosivitas hujan (R) dihitung berdasarkan data curah hujan sepuluh tahunan di DAS Krueng Peutoe (Lampiran 15), dikarenakan tidak adanya data hujan harian dari penangkar otomatik maka untuk menghitung nilai erosivitas hujan ditentukan berdasarkan persamaan Lenvain (1975 dalam Asdak 1995) : EI30 = 2,21 (CHm )1,36 dimana : EI30 = Intensitas hujan maksimum 30 menit (CHm) = Curah hujan bulanan Besarnya faktor erosivitas hujan (R) merupakan penjumlahan nilai- nilai indeks erosi hujan bulanan dan dihitung dengan persamaan berikut :
12 R = S EI30 i i=1
R = faktor erosivitas hujan
dari hasil perhitungan didapat nilai erosivitas hujan sebesar 756,56 cm. Erodibilitas tanah (K) merupakan ukuran kepekaan tanah tererosi oleh air. Nilai erodibilitas tanah
sangat dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan
organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah (Lampiran 16).
Hasil
perhitungan untuk masing- masing unit lahan yang dijadikan sebagai lokasi pengamatan disajikan pada Lampiran 17. Faktor panjang lereng (L) dan faktor kemiringan lereng (S) dapat dihitung secara terpisah atau dihitung sekaligus sebagai faktor LS. Kedua unsur topografi tersebut (nilai LS) sangat mempengaruhi erosi dan aliran permukaan. Panjang lereng (L) merupakan jarak dari titik awal aliran sampai titik dimana mulai ada pengedapan atau aliran permukaan masuk ke saluran.
Makin panjang lereng
permukaan tanah, makin tinggi potensial erosi karena akumulasi air aliran permukaan semakin tinggi. Kemiringan lereng (S) sangat berpengaruh terhadap aliran permukaan, dimana makin curam lereng maka kecepatan aliran permukaan semakin besar, dan jumlah butir-butir tanah yang terpercik ke atas oleh tumbukan butiran hujan juga semakin banyak. Hasil perhitungan nilai LS untuk masingmasing unit lahan pada lokasi pengamatan intensif disajikan pada Lampiran 18. Nilai C dan P ditentukan berdasarkan hasil pengamatan terhadap pola tanam dan tindakan konservasi dalam mengelola lahannya yang diterapkan oleh petani di lapangan dengan berpedoman pada hasil penelitian nilai C dan CP yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu (Lampiran 8 dan 9). Faktor C dan P merupakan bagian dari penyebab erosi yang sangat dekat dengan aktifitas manusia dan faktor inilah yang mungkin dapat dirubah ataupun diperbaiki. Nilai C merupakan besaran yang menunjukkan perbandingan antara tanah yang hilang akibat erosi per satuan luas dari lahan yang ditanamai dengan sistem pengelolaan tertentu dengan tanah yang hilang. Efektifitas tanaman penutup tanah dalam mengurangi laju erosi tergantung pada ketinggian, kerapatan tanaman penutup tanah dan kerapatan perakaran. Nilai P (teknik konservasi) merupakan besaran yang menunjukkan perbandingan antara tanah yang hilang akibat erosi per satuan luas (ton/ha) pada
daerah yang menggunakan teknik konservasi. Nilai faktor P adalah satu bila lahan tersebut tanpa tindakan konservasi (Lampiran 19). Berdasarkan hasil perhitungan beberapa parameter dalam menghitung erosi untuk tiap lokasi penelitian (kebun campuran, perkebunan, semak belukar dan hutan) maka didapat nilai erosi di tiap lokasi pengamatan intensif (Lampiran 20). Perhitungan nilai erosi yang dapat ditoleransikan (Lampiran 21) ditentukan berdasarkan kedalaman efektif tanah, nilai faktor kedalaman sub order tanah, kedalaman tanah minimum, bobot isi tanah, laju pembentukan tanah dan masa pakai tanah. Perbandingan nilai prediksi erosi (A) dan ETol pada berbagai jenis penggunaan lahan pada lokasi pengamatan intensif disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Perbandingan Hasil Prediksi Erosi dan Etol pada Berbagai Penggunaan Lahan dan Pola Tanam Aktual Di DAS Krueng Peutoe No.
SLH
Pola Tanam
KPT
A (ton/ha/thn)
ETol (ton/ha/thn)
A
14,56-403,82
23,03-39,60
B
99,88
36,31
C
2,91-315,37
26,26-38,15
Kebun Campuran 1. 14, 15 dan 17 2. 16
Tanaman tahunan dan tanaman pangan Padi dan tanaman pangan Perkebunan
3.
8, 9, 10, 12
Tanaman tahunan Semak Belukar
4.
6, 7
Anakan dan tegakan pohon
D
137,63-180,76 29,38-43,63
Hutan 5. 1, 3, 4, 5
Hutan Alami
E
0,54-1,47
13,87-32,00
Tabel 16 menunjukkan bahwa hasil perhitungan nilai prediksi erosi (A) di lapangan lebih besar dari nilai erosi yang dapat ditoleransikan (ETo l).
Untuk
penggunaan lahan kebun campuran (SLH 14, 15, 16 dan 17) didapat nilai erosi berkisar 14,56 – 403,82 ton/ha/tahun sedangkan nilai ETol berkisar 23,03 – 39,60 ton/ha/tahun. Penggunaan lahan untuk perkebunan (SLH 8, 9, 10 dan 12) didapat nilai erosi berkisar 2,91 – 315,37 ton/ha/tahun dan nilai ETol berkisar 26,26 – 38,15 ton/ha/tahun. Penggunaan lahan untuk semak belukar (SLH 6 dan 7)
didapat nilai erosi berkisar 137,63 – 180,76 ton/ha/tahun dan nilai ETol 29,38 – 43,63 ton/ha/tahun, sedangkan penggunaan lahan untuk hutan (SLH 1, 3, 4 dan 5) didapat nilai erosi 0,54 – 1,47 ton/ha/tahun dan nilai ETol 13,87 – 32,00 ton/ha/ tahun. Nilai prediksi erosi yang didapat lebih besar dari nilai ETol
dikarenakan
oleh faktor lereng yaitu lereng yang curam. Semakin curamnya lereng mengakibatkan kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkut partikel-partikel tanah juga akan meningkat. Faktor lain yang mengakibatkan nilai prediksi erosi aktual lebih lebih besar dari nilai ETol adalah penggunaan lahan yang tidak disertai dengan
teknik konservasi tanah seperti
pergiliran tanaman, pemakaian tanaman penutup tanah atau pupuk hijau, pengolahan tanah minimum, penggunaan mulsa atau kombinasi dari teknik-teknik konservasi tersebut. Untuk itu diperlukan perubahan pola tanam dan penerapan agroteknologi alternatif untuk memperkecil nilai prediksi erosi yang akan terjadi. Analisis Biaya dan Pendapatan Usaha Tani Pilihan Analisis biaya dan pendapatan yang dilakukan pada penelitian ini adalah pada pola tanam kebun campuran yang meliputi beberapa komponen diantaranya tenaga kerja, bibit/benih, peralatan, pupuk dan pestisida. Sedangkan komponen pendapatan meliputi
produksi, total penerimaan dan pendapatan.
Hal ini
bertujuan untuk mengetahui pendapatan petani yang bersumber dari usahatani dan agroteknologi yang diterapkan untuk meningkatkan kehidupan petani yang layak dan berkelanjutan. Standar kebutuhan fisik minimum dan hidup layak ditentukan berdasarkan kebutuhan beras per kepala keluarga
dan harga beras yang berlaku disuatu
daerah. Kehidupan layak bagi masyarakat di lokasi DAS Krueng Peutoe yang masing- masing keluarga terdiri dari 5 orang (ayah, ibu dan 3 orang anak) dapat terpenuhi jika memiliki pendapatan bersih setara dengan Rp 9.600.000 /kk/tahun (320 kg/orang/tahun x 2,5 (nilai indeks faktor pengali) x 5 orang x Rp 2.400 (harga beras saat sekarang di lokasi penelitian) = Rp 9.600.000/kk/tahun). Nilai indeks ini ditentukan oleh berbagai kebutuhan hidup petani dan keluarganya yaitu: biaya konsumsi sehari- hari, perumahan, pendidikan, kesehatan, kegiatan sosial dan tabungan.
Salah satu indikator untuk menilai tingkat produktivitas lahan dan tingkat kesejahteraan bagi petani di suatu wilayah adalah berdasarkan pendapatan petani. Semakin tinggi pendapatan petani maka semakin sejahtera petani tersebut. Untuk itu perlu direkomendasikan pola tanam yang telah memberikan keuntungan dan kesejahteraan bagi petani dan keluarganya. Analisis finansial pada kebun campuran dilakukan untuk setiap satu siklus (1 tahun) pada masing- masing pola tanam yang diterapkan oleh petani. Pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha tani merupakan pendapatan kotor yang dikurangi dengan biaya produksi (termasuk upah tenaga kerja dalam keluarga), sedangkan pendapatan kotor adalah seluruh pendapatan hasil penjualan yang didapat dari semua sumber dalam usahatani. Berdasarkan pola tanam aktual (Lampiran 22) yang diterapkan oleh petani setempat, maka perlu dilakukan analisis finansial untuk mengetahui pendapatan yang diperoleh petani dalam satu tahun. Hasil analisis biaya dan pendapatan petani untuk pola tanam aktual pada kebun campuran disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil Analisis Biaya dan Pendapatan untuk Pola Tanam Aktual pada Kebun Campuran Di DAS Krueng Peutoe Pendapatan Kotor (Rp/KK/Tahun) SLH KKL KPT Usahatani
Usaha Ternak
Total Pendapatan Biaya Dikeluarkan Bersih Lain-lain (Rp/KK/ha/thn) (Rp/KK/ha/thn)
14
VI
A1
5.775.000
2.962.000
1.350.000
4.949.000
5.138.000
15
II
A2
7.925.000
3.137.000
1.650.000
5.073.000
7.639.000
17
VII
A3
5.450.000
-
-
3.349.000
2.101.000
16
III
B1
3.150.000
-
1.450.000
3.846.000
754.000
Keterangan : SLH KKL KPT A1 A2 A3 B1
: Satuan Lahan Homogen : Kelas Kemampuan Lahan : Kode Pola Tanam : Pinang + cabe- kacang kedelai + usaha ternak ayam + usaha lain : Kakao + kacang kedelai - cabe + usaha ternak ayam+ usaha lain : Pinang + kakao + kacang tanah : Padi + jagung - kacang kedelai / kacang panjang + usaha lain (+) Tumpang sari, (/) Tumpang sisip, (-) Tumpang gilir
Rata-rata pendapatan bersih petani untuk pengelolaan kebun campuran dengan luasan satu hektar adalah Rp 754.000 sampai dengan Rp 7.639.000 /kk/ha/tahun. Sedangkan rata-rata biaya yang dikeluarkan petani setiap tahunnya adalah Rp 3.349.000 sampai dengan Rp 5.073.000 kk/ha/tahun.
Pendapatan bersih tertinggi yang didapat oleh petani adalah pada satuan lahan ho mogen 15 dengan pola tanam A2 (kakao+kacang kedelai-cabe) sebesar Rp 7.639.000 dengan usaha sampingan lainnya adalah usaha ternak ayam ditambah dengan usaha- usaha lain.
Sedangkan pendapatan petani terendah
didapat pada satuan lahan homogen 16 denga n pola tanam B1 (Padi+Jagungkacang kedelai / kacang panjang) sebesar Rp 754.000 yang ditambah dengan masukan dari usaha lain sebesar Rp 1.450.000. Contoh perhitungan analisis biaya dan pendapatan disajikan pada Lampiran 23 dan perhitungan analisis usaha ternak disajikan pada Lampiran 24. Secara umum dapat dikatakan bahwa semua pola tanam aktual yang dianalisis memberikan pendapatan yang relatif rendah bagi petani. Untuk itu berdasarkan pertimbangan aspek keberlanjutan, maka pola tanam di atas belum bisa direkomendasikan. Rendahnya pendapatan petani bila dilihat dari standar kehidupan layak di lokasi penelitian disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah terjadinya penurunan kualitas lahan akibat erosi yang berdampak langsung pada hasil panen yang rendah akibat hilangnya kandungan hara terutama pada tanah-tanah bagian top soil. Keuntungan yang didapat sangat kecil bila dibandingkan dengan biaya yang telah mereka keluarkan untuk mengelola usaha taninya. Untuk itu hampir sebagian masyarakat di lokasi penelitian beralih sebagai pekerja harian pada perkebunan PTPN – I. Hal ini menunjukkan bahwa standar hidup layak di lokasi penelitian belum terpenuhi melainkan hanya untuk memenuhi kriteria nilai ambang kecukupan pangan.
Untuk itu diperlukan perbaikan pola tanam dan
agroteknologi pada kebun campuran
untuk masing- masing satuan lahan
homogen. Pola tanam dan agroteknologi yang diterapkan harus dapat menekan laju erosi, sehingga akan didapat nilai erosi yang lebih kecil dari ETol agar produktivitas lahan dapat dipertahankan yang nantinya akan terjadi peningkatan produksi pada berbagai pola tanam dimasing- masing satuan lahan homogen. Disamping itu usaha di atas perlu dikombinasikan dengan usaha ternak (ternak ayam dan kambing), atau usaha- usaha lainnya yang dapat meningkatkan pendapatan petani sehingga kehidupan layak bagi petani di lokasi penelitian dapat terpenuhi.
Hasil analisis finansial untuk pola tanam dan agroteknologi alternatif yang sebaiknya diterapkan pada kebun campuran agar pendapatan petani di lokasi penelitian meningkat dapat dilihat pada Tabel 18.
Komposisi pola tanam
alternatif disajikan pada Lampiran 25, contoh perhitungan biaya dan pendapatan untuk pola tanam alternatif disajikan pada Lampiran 26 dan contoh perhitungan analisis usaha ternak disajikan pada Lampiran 27. Tabel 18. Hasil Analisis Biaya dan Pendapatan untuk Berbagai Pola Tanam Alternatif pada Kebun Campuran Di DAS Krueng Peutoe Pendapatan Kotor (Rp/KK/Tahun) SLH KKL KPT Usahatani
Usaha Ternak
Total Pendapatan Biaya Dikeluarkan Bersih Lain-lain (Rp/KK/ha/thn) (Rp/KK/ha/thn)
14
VI
A1
13.100.000
3.137.000
1.350.000
5.145.940
12.441.060
15
II
A2
9.730.000
8.112.000
3.954.000
8.735.800
13.060.200
17
VII
A3
9.480.000
5.749.000
4.104.000
7.068.280
12.264.720
16
III 8.323.800
B1
6.125.000
8.412.000
4.054.000
10.267.200
Keterangan : A1 : Pinang + Kedelai – Kc.Tanah + Jagung/Cabe+usaha ternak ayam +usaha lain A2 : Kakao + Kc.Hijau – Kedelai +Cabe+usaha ternak ayam+ kambing+usaha lain A3 : Pinang + Kakao + Kedelai - Kc.Hijau+ternak ayam+ usaha lain B1 : Padi Gogo + Jagung – Jagung + Terong + Kedelai/Cabe+ternak ayam+kambing+ usaha lain (+) Tumpang sari, (/) Tumpang sisip, (-) Tumpang gilir Berdasarkan hasil analisis biaya dan pendapatan untuk berbagai pola tanam alternatif pada kebun campuran terlihat bahwa pendapatan petani meningkat bila dilakukan dengan penerapan beberapa pola tanam seperti tumpang sari, tumpang gilir atau tupang sisip yang disertai dengan penerapan agroteknologi yaitu penerapan teknik konservasi tanah seperti pembuatan teras gulud, penaman menurut kontur serta pemberian mulsa. Sedangkan usaha tambahan yang perlu dilakukan untuk peningkatan pendapatan adalah melalui usaha ternak (ternak ayam dan kambing) dan pengolahan hasil pertanian seperti pembuatan keripik
pisang, kacang goreng, pisang goreng yang nantinya usaha tambahan ini dapat mendukung keberhasilan usahataninya.
Rekomendasi Pola Tanam dan Agroteknologi Berdasarkan informasi data yang telah di uraikan di atas, maka disusun suatu pola tanam alternatif dan agroteknologi yang nantinya dapat diterapkan pada lokasi penelitian. Alternatif agroteknologi ditentukan dengan cara membandingkan besarnya erosi yang terjadi (prediksi) dengan erosi yang dapat ditoleransikan (ETol). Diupayakan hasil prediksi erosi lebih kecil dari ETol dengan cara mensimulasikan nilai C, P atau CP sehingga diperoleh alternatif agroteknologi atau pengelolaan tanah dan tanaman yang terbaik. Selain itu pemilihan alternatif pengelolaan tanah dan tanaman (penerapan agroteknologi) di dasarkan atas pertimbangan keefektifannya dalam menekan erosi dan disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi petani. Teknologi yang direkomendasikan harus dapat dilakukan petani dengan kondisi sumberdaya lokal, dapat diterapkan dan diterima secara sosial budaya. Jenis dan pola tanam yang direkomendasikan disesuaikan dengan kondisi biofisik (aspek kesesuaian lahan), permintaan pasar dan dapat diterima oleh petani.
Oleh karena itu jenis tanaman yang direkomendasikan adalah jenis
tanaman yang sudah biasa diusahakan di lokasi tersebut. Lebih jelasnya pola tanam dan agroteknologi yang direkomendasikan dapat di lihat pada Tabel 19 dan Lampiran 29 dan 30. Kriteria yang digunakan untuk menentukan arahan penggunaan lahan adalah dengan membandingkan besarnya nilai erosi yang terjadi di lapangan dengan erosi yang masih dapat ditoleransikan (ETol). Apabila erosi yang terjadi lebih besar dari nilai ETol maka dilakukan tindakan konservasi ya ng sesuai pada lahan tersebut agar nantinya dapat mengurangi atau memperkecil erosi .
Penentuan teknik konservasi dilakukan dengan mengevaluasi nilai faktor erosi yaitu nilai C (tindakan pengelolaan tanaman) dan nilai P (tindakan konservasi). Dengan adanya perubahan pola tanam dan penerapan teknik konservasi tanah diharapkan nilai erosi tidak melebihi nilai ETol.
Teknik
konservasi yang akan diterapkan oleh petani juga harus berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan, terutama pada lahan- lahan yang memiliki lereng yang curam sehingga didapat nilai erosi (A) yang tidak melebihi nilai ETol. Tabel 19. Rekomendasi Alternatif Pola Tanam dan Agroteknologi Di Lokasi DAS Krueng Peutoe SLH
Pola Tanam dan Agroteknologi
CP
RKLS
A
ETol
A vs ETol
(ton/ha/thn) (ton/ha/thn)
Kebun Campuran 14 15 16 17
PN+Kedelai - KT+JG/Cabe+M+TG KK+KH - Kedelai+Cabe+JG+M+TG PG+JG - JG+TR+Kedelai/Cabe+M+TG PN+KK+Kedelai-KH+M+TG+PMK
0,012 310,79 0,015 72,78 0,021 499,41 0,015 2.019,11
3,73 1,09 10,48 30,28
28,28 39,60 36,31 23,03
< < < >
630,74 346,88 29,05 265,55
9,46 5,20 3,78 21,24
26,26 26,40 38,15 29,60
< < < <
0,0025 602,52 0,0025 458,78
1,51 1,15
43,63 29,38
< <
0,36 1,76 1,24 0,29
13,87 22,64 32,00 17,14
< < < <
Perkebunan 8 9 10 12
PN+KK+NG+KLP+M+TG KK+KP+NG+KLP+M+TG KS+M+TB KK+M+TB
0,015 0,015 0,13 0,08 Semak Belukar
6 7
Padang Pengembalaan Padang Pengembalaan
Hutan 1 3 4 5
Agroforestry+TG Hutan dengan kerapatan tinggi Hutan atau Padang Penggembalaan Agroforestry+TG
0,0021 171,59 0,0012 1466,89 0,0023 537,46 0,0021 138,45
Keterangan : PN = Pinang, KK = Kakao, NG = Nangka, KLP = Kelapa, KP = Kopi, JG = Jagung, KT = Kc.Tanah, KH = Kc.Hijau, TR = Terong, PG = Padi Gogo, KS = Kelapa sawit, M = Mulsa, TG = Teras Gulud, TB = Teras bangku, PMK = Penanaman menurut kontur, (+) :Tumpang sari, (-) : Tumpang gilir, (/) : Tumpang sisip, SLH = Satuan Lahan Homogen.
Tingkat erosi yang terjadi pada pola tanam aktual (Tabel 16) untuk penggunaan lahan kebun campuran (SLH 15), penggunaan lahan perkebunan (SLH 10 dan 12) dan penggunaan lahan hutan (SLH 1, 3, 4 dan 5) masih pada tingkat ringan. Nilai erosi yang didapat (A) lebih kecil dari ETol, untuk itu teknik konservasi yang disarankan adalah dengan pembuatan teras gulud, penanaman menurut kontur, dan agroforestry (wanatani).
Salah satu fungsi dari pembuatan teras gulud adalah
untuk mengurangi
panjang lereng, menahan air hingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memperbesar peluang penyerapan air oleh tanah disamping itu tenaga kerja yang dibutuhkan relatif kecil dibandingkan dengan tipe teras lainnya. Untuk meningkatkan efektivitas teras gulud dalam menanggulangi erosi dan aliran permukaan serta agar guludan tidak mudah rus ak sebaiknya guludan diperkuat dengan tanaman penguat teras. Penanaman menurut kontur bertujuan untuk menghambat aliran permukaan, yang memungkinkan penyerapan air dan menghindarkan pengangkutan tanah oleh aliran permukaan. Penanaman menurut kontur akan lebih efektif bila diikuti dengan penanaman tanaman penutup tanah atau tanaman pupuk hijau. Sistem wanatani (agroforestry) merupakan sistem penggunaan lahan yang mengintegrasikan tanaman pangan, pepohonan dan atau ternak secara terus menerus ataupun periodik yang secara sosial dan ekologis layak dikerjakan oleh petani untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan tingkat masukan dan teknologi yang rendah. Selanjutnya pada penggunaan lahan kebun campuran (SLH 14, 16), dan penggunaan lahan untuk perkebunan ( SLH 8 dan 9) dikarenakan tingkat erosi yang terjadi lebih besar dari erosi yang masih dapat ditoleransikan (ETol). Untuk itu
disarankan untuk menerapkan teknik konservasi seperti pembuatan teras
gulud, penanaman menurut kontur, agroforestry (wanatani) dan pemberian mulsa, sehingga di dapat nilai erosi lebih kecil dari ETol (Tabel 19). Pemberian mulsa merupakan salah satu teknik konservasi tanah yang cukup efektif untuk melindungi tanah dari tumbukan energi kinetik hujan dan mengurangi laju aliran permukaan
sehingga
laju infiltrasi akan meningkat.
Pemberian mulsa secara teratur dapat menjadikan struktur tanah yang gembur, sehingga memungkinkan budi daya tanpa olah (no tillage) atau olah tanah minimum (minimum tillage). Efektifitas mulsa dalan mengendalikan erosi sangat tergantung kepada jenis mulsa, kuantitas (persentase) penutupan permukaan tanah, tebal lapisan mulsa dan daya tahan mulsa terhadap dekomposisi. Sisa tanaman yang baik untuk dijadikan mulsa adalah yang mengandung lignin tinggi seperti jerami padi, sorgum dan batang jagung (Suwardjo 1981).
Penggunaan lahan semak belukar (SLH 6 dan 7) dengan topografi berbukit (25 – 45%), dikarenakan tingkat erosi yang terjadi lebih besar dari ETol, maka penggunaaan lahannya direkomendasikan untuk padang penggembalaan yang nantinya didapat nilai erosi lebih kecil dari ETol (1,15 – 1,51 ton/ha/tahun) Penggunaan lahan kebun campuran (SLH 17) dengan topografi curam (> 45%) memiliki nilai erosi 403,82 ton/ha/tahun. Setelah direkomendasi untuk pola tanam alternatif dan agroteknologi, masih memiliki nilai erosi di atas nilai erosi yang masih dapat ditoleransikan (ETol). Untuk itu penggunaan lahan kebun campuran (SLH 17) direkomendasikan untuk penggunaan agroforestry. Penggunaan lahan hutan (SLH 1 dan 5) dengan topografi bergelombang (9 – 11%) direkomendasikan untuk hutan atau agroforestry yang disertai dengan pembuatan teras gulud. Selanjutnya penggunaan lahan hutan (SLH 3 dan 4) dengan topografi yang curam (27 -43%) direkomendasikan untuk penggunaan hutan. Dengan dilakukan arahan penggunaan lahan di atas, diharapkan masyarakat dilokasi penelitian membuat perencanaan pengelolaan dan penggunaan lahan di DAS Krueng Peutoe berdasarkan kelas kemampuan lahannya dan tidak lagi memanfaatkan lahannya diluar dari kelas kemampuan lahan yang ada.