HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Lahan Kering Iklim merupakan salah satu faktor pembentuk tanah yang penting dan secara langsung mempengaruhi proses pelapukan bahan induk dan pembentukan tanah. Unsur-unsur iklim yang penting dalam proses pembentukan tanah dan berpengaruh terhadap produktivitas lahan adalah curah hujan dan suhu. Curah hujan dan suhu ditetapkan sebagai parameter penentu kualitas lahan ketersediaan air dan suhu yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian (FAO, 1983; CSR/FAO, 1983; Sys et al., 1993; Djaenudin et al., 2003). Kedua unsur iklim tersebut digunakan juga untuk penetapan rejim kelembapan dan rejim suhu tanah dalam klasifikasi tanah menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999). Iklim di semua lokasi penelitian termasuk ke dalam tipe iklim Afa dan tipe hujan A, kecuali Gunung Sindur termasuk ke dalam tipe hujan B yang relatif lebih kering (Schmidt dan Ferguson, 1951). Walaupun terjadi musim kemarau pada bulan-bulan Juni sampai Agustus, namun curah hujan rata-rata bulanan masih di atas 100 mm/bulan. Berdasarkan hasil penelitian Pramudya (2002) bahwa bila curah hujan rata-rata bulanan di atas 100 mm, maka sangat kecil sekali peluang terjadinya tanaman kekeringan atau kekurangan air. Hal ini sejalan dengan hasil kajian FAO (1980) yang melaporkan bahwa lamanya periode pertumbuhan (length of growing period) di daerah Bogor adalah 330 – 365 hari per tahun, berarti hampir sepanjang tahun tanaman pangan seperti jagung dan kacang tanah dapat diusahakan di lahan kering di daerah Bogor. Neraca air (Gambar 5) yang diperhitungkan dari stasiun Cimanggu, Bogor dengan program CropWat (Clarke, 1998) menunjukkan bahwa besarnya curah hujan bulanan di semua bulan dalam setahun masih di atas besarnya keh ilangan air melalui evapotranspirasi (ET 0). Sepanjang tahun tidak terjadi defisit air. Kebutuhan air untuk tanaman jagung (ETj = 0,8 x ET 0 ) dan kacang tanah (ET k = 0,75 x ET0) yang diperhitungkan menurut Doorenbos dan Pruitt (1984), menunjukkan bahwa selama pertumbuhannya tanaman cukup tersedia air dan
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
300 250 200 150 100 50 0
Curah Hujan
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
(b) 350 300 250 200 150 100 50 0
Curah Hujan
(c)
Jul Agt Sep Okt Nov Des
ET
350 300 250 200 150 100 50 0
Curah Hujan
Jul Agt Sep Okt Nov Des
ET
400 350 300 250 200 150 100 50 0
ET Jagung
Jun
Curah Hujan
Jul
ET
Agt Sep Okt Nov Des
ET Kacang Tanah
350 300 250 200 150 100 50 0 Jan Feb Mar Apr Mei
Jun
Curah Hujan
Jul
ET
Agt Sep Okt Nov Des
ET Kacang Tanah
400 350 300 250 200 150 100 50 0 Jan Feb Mar Apr Mei
ET Jagung
400
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
450
ET Jagung
400
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
Jul Agt Sep Okt Nov Des
ET
500
ET Jagung
350
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
(d)
ET
550
Jan Feb Mar Apr Mei
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
Curah Hujan
(a)
Jul Agt Sep Okt Nov Des
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
500
Jun
Curah Hujan
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
550
Jul
ET
Agt Sep Okt Nov Des
ET Kacang Tanah
400 350 300 250 200 150 100 50 0 Jan Feb Mar Apr Mei
Curah Hujan
Jun
Jul
ET
Agt Sep Okt Nov Des
ET Kacang Tanah
Gambar 5. Neraca air untuk tanaman jagung dan kacang tanah di Cimanggu (a), Gunung Sindur (b), Jasinga (c) dan Jonggol (d).
36
tidak akan mengalami kekurangan air atau kekeringan. Dalam Taksonomi Tanah, kondisi kelembaban tanah yang sangat basah seperti ini termasuk ke dalam rejim kelembaban tanah perudic (Soil Survey Staff, 1999). Neraca air di lokasi penelitian lainnya bila diasumsikan bahwa data iklim lainnya dianggap sama dengan Cimanggu kecuali curah hujan dan suhu udara, maka besarnya kebutuhan air yang diperhitungkan untuk tanaman jagung dan kacang tanah (Kc x ET0) tampak sedikit bervariasi di setiap lokasi penelitian. Di Cimanggu dan Jasinga, besarnya evapotranspirasi acuan tidak melebihi curah hujan bulanan, sedangkan di Gunung Sindur dan Jonggol evapotranspirasi acuan pada bulan-bulan JuniSeptember melebihi besarnya curah hujan bulanan. Namun demikian besarnya kebutuhan air untuk tanaman jagung dan kacang tanah di semua lokasi masih di bawah curah hujan bulanan. Tanah -tanah disini, selain di Cimanggu, tergolong mempunyai rejim kelembaban tanah udic (Soil Survey Staff, 1999), dimana tanah tidak akan mengalami kekeringan selama 90 hari kumulatif. Berdasarkan neraca air dan perhitungan kebutuhan air untuk tanaman jagung dan kacang tanah serta waktu tanam yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian umumnya pada awal musim hujan (Oktober-Pebruari) seperti pada percobaan ini, maka faktor ketersediaan air di semua lokasi penelitian tidak menjadi pembatas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan kacang tanah. Suhu udara rata-rata bulanan di Cimanggu, Bogor berkisar dari 25,6 sampai 27,5 oC dengan suhu rata-rata tahunan 26,7 oC. Suhu udara di lokasi penelitian lainnya diduga dengan rumus Braak (dalam Mohr et al., 1972) berkisar dari 27,3 – 27,5 oC. Kisaran suhu udara antara 25 oC sampai 27 oC seperti di semua lokasi penelitian tergolong sesuai untuk tanaman jagung (Djaenudin et al., 2003; CSR/FAO, 1983; Sys et al., 1993). Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa ditinjau dari faktor iklim dalam kaitannya sebagai kualitas lahan ketersediaan air dan suhu udara untuk evaluasi kesesuaian lahan, tergolong sesuai dan tidak merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan kacang tanah.
37
Karakteristik Tanah pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah
Karakteristik tanah yang dipengaruhi oleh bahan induk dan perkembangan tanah serta digunakan dalam klasifikasi tanah dan penetapan kualitas lahan untuk evaluasi kesesuaian lahan meliputi sifat-sifat morfologi, mineralogi, fisika dan kimia tanah. Uraian sifat morfologi profil tanah dari masing-masing lokasi penelitian serta data-data mineralogi, sifat fisik dan kimia tanah diberikan pada Lampiran 4 sampai dengan 8. Komposisi Mineral dan Bahan Induk. Komposisi mineral pasir dapat menjelaskan asal batuan induk tanah, cadangan mineral atau jumlah mineral dapat lapuk dalam tanah yang berhubungan dengan potensi kesuburan alami tanah, perkembangan dan klasifikasi tanah. Sedangkan komposisi mineral liat sebagai partikel koloid tanah yang aktif dalam tanah lebih banyak berperan dalam menentukan sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya, antara lain: sifat mengembang dan mengerut, kemudahan pengolahan tanah, retensi dan ketersediaan hara. Berdasarkan pada komposisi mineral pasir (Gambar 6), tanah Cimanggu (B1) tersusun dari gelas volkan, andesin, labradorit, hornb lende, augit, hiperstin, kuarsa dan opak (Lampiran 5) menunjukkan asal bahan induk tanah dari bahan volkanik bersifat intermedier (andesitik). Tanah dari Gunung Sindur (B2) yang berkembang dari bahan yang sama dengan tanah Cimanggu (Effendi, 1986), memiliki mineral dapat lapuk sangat sedikit (3%) dibanding tanah Cimanggu (38%) dan mineral resisten terutama opak dan kuarsa sangat tinggi (83%). Perbedaan komposisi mineral pasir tersebut menunjukkan perbedaan tingkat pelapukan tanah, dimana tanah Gunung Sindur telah terlapuk lanjut dibanding tanah Cimanggu. Komposisi mineral pasir dari tanah Cikopomayak (B3), Tegalwangi (B4), Jasinga dan tanah-tanah dari Jonggol (B5, B6 dan B7) didominasi oleh mineral resisten (70-94%), seperti kuarsa dan opak serta sedikit sampai sangat sedikit sekali mineral dapat lapuk dalam tanah (<10%). Komposisi mineral pasir tersebut menunjukkan asal bahan induk tanah dari batuan sedimen yang terbentuk pada masa Miosen Tengah (Van Bemmelen, 1949). Ditemukannya mineral-mineral lainnya terutama di tanah lapisan atas seperti gelas volkan,
38
B-5
B-6
B-7
Gambar 6. Difraktogram Liat dari Tanah Berbahan Induk Batuan Sedimen Basa (B-5, B-6, B-7)
40
oligoklas, andesin, labradorit, sanidin, hornblende dan hiperstin diduga berasal dari penambahan bahan volkanik yang lebih muda bersifat masam sampai intermedier (tufa dasitik atau tufa Banten dan andesitik) dari daerah di sekitarnya (Buurman et al., 1976). Ditinjau dari komposisi mineral pasirnya, tanah volkanik kecuali yang terlapuk lanjut memiliki cadangan mineral lebih baik daripada tanah tanah dari batuan sedimen. Komposisi mineral liat dari tanah Cimanggu (Gambar 7) didominasi oleh haloisit (puncak 7,2 dan 10 Å).dan tanah Gunung Sindur oleh kaolinit (7,1 Å) seperti juga telah ditemukan oleh Subardja dan Buurman (1980) pada toposekuen Latosol Bogor-Jakarta. Dari penelitian tersebut, telah diidentifikasi juga mineralmineral opak yang terdiri dari ilmenit dan magnetit yang merupakan mineral besi oksida dan magnesium oksida yang berasal dari hasil pelapukan mineral-mineral feromagnesian (augit, hiperstin, hornblende). Haloisit dan kaolinit yang terbentuk diduga berasal dari hasil pelapukan mineral-mineral feldspar (Hardjowigeno, 1993). Komposisi mineral liat dari tanah Cikopomayak didominasi oleh kaolinit (68%) dan vermikulit-montmorilonit (22%), sedangkan tanah dari Tegalwangi didominasi oleh montmorilonit (78%) dengan sedikit kaolinit (22%). Tanah-tanah dari Jonggol (B5, B6 dan B7) didominasi oleh montmorilonit (67-87 %) dengan sedikit kaolinit (16-33%). Pada difraktogram liat (Gambar 8), montmorilonit dicirikan oleh puncak 17 Å atau lebih tinggi, sedangkan vermikulit dicirikan oleh puncak 14 Å pada perlakuan penjenuhan liat dengan Mg-glycerol (Grim, 1968; Carroll, 1970). Hasil yang sama telah ditemukan juga oleh Dai dan Driessen (1973) pada tanah-tanah merah dari tufa dasitik di sekitar Serang. Tipe liat 2:1 (montmorilonit) yang sekarang ada dalam tanah diduga berasal dari bahan induk tanah yang terbentuk secara geogenesis (Hardjosoesastro dan Dai, 1983). Sejalan dengan perubahan lingkungan dalam tanah yang menjadi sangat masam, montmorilonit menjadi kurang stabil dan rusak, kemudian kaolinit terbentuk dan sebagian struktur liat hancur menyumbangkan aluminium yang tinggi (Grim, 1968). Ditinjau dari komposis i mineral liatnya, tanah Cikopomayak telah mengalami pelapukan lebih intensif daripada tanah Tegalwangi. Demikian juga halnya dengan tanah Jonggol-B7 lebih berkembang dibanding tanah-tanah
40
Gambar 7. Distribusi Sifat Kimia Tanah : % liat, pH, C-organik, P-total, K-total, dan P-tersedia
pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian
53
Gambar 8. Distribusi Sifat Kimia Tanah : K-dd, Ca-dd, Mg-dd, KTK liat dan Kejenuhan Basa Pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian
56
Jonggol lainnya (B5 dan B6), ditandai oleh peningkatan jumlah kaolinit dan penurunan jumlah montmorilonit di dalam tanah. Dari komposisi mineral liatnya, tanah dari batuan sedimen basa mengandung liat montmorilonit lebih tinggi dan memberikan peranan yang sangat besar terhadap lingkungan kimia tanah yang lebih baik daripada tanah lainnya, terutama sumbangannya terhadap KTK tanah dan ketersediaan hara (terutama kation-kation basa) bagi tanaman. Perkembangan dan Klasifikasi Tanah: Tabel 7 menyajikan ringkasan sifat-sifat morfologi dan kimia tanah dari profil tanah di masing-masing lokasi yang dapat digunakan untuk menetapkan tingkat perkembangan dan klasifikasi tanah menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999). Uraian deskripsi profil tanah secara lengkap disajikan pada Lampiran 4. Tanah Cimanggu (B1) terbentuk dari bahan volkanik intermedier, mempunyai drainase agak terhambat dan permeabilitas agak lambat. Tanah pernah digunakan sebagai lahan sawah beririgasi yang ditanami padi 2x setahun berlangsung cukup lama. Kedalaman efektif tanah sangat dalam (> 120 cm). Lapisan atas tanah (Ap) tipis setebal 13 cm, berwarna coklat gelap kemerahan (5YR3/3), tekstur liat, struktur cukup, gumpal halus, konsistensi gembur, perakaran halus banyak. Reaksi tanah masam (pH 4,7), kadar C-organik tanah rendah (1,61%) dan kejenuhan basa (KB) rendah. Sifat tanah lapisan atas menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) tidak memenuhi kriteria epipedon molik, umbrik atau epipedon lainnya kecuali okrik. Horison bawah bertekstur liat, struktur cukup gumpal sedang, agak teguh, karatan Mn dan besi mulai kedalaman 37 cm sampai 120 cm. Kapasitas tukar kation (KTK) liat di atas 16 cmol(+)/kg liat dan jumlah mineral dapat lapuk lebih dari 10%. Terdapat kenaikan liat total, namun tidak didukung oleh kenaikan nilai rasio liat halus/liat total sebesar 1,2x serta tidak dijumpai selaput liat yang memenuhi kriteria horison argilik. Ciri-ciri horison bawah ini memenuhi kriteria sebagai horison kambik (Bw). Pada kedalaman 25 sampai 100 cm dari permukaan tanah mempunyai kandungan liat cukup tinggi, 72-81%, kejenuhan basa 51-55% atau kurang dari 60%. Liat didominasi oleh haloisit. Rejim kelembaban tanah tergolong perudik (tidak pernah kekeringan sepanjang tahun) dan rejim suhu tanah isohipertermik.
Tanah
ini
mempunyai
susunan
horison
Ap-Bw-BC,
diklasifikasikan sebagai Latosol Coklat Kemerahan (Soepraptohardjo, 1961) atau
43
Tabel 7. Sifat Morfologi, Kimia dan Mineralogi Tanah di Lokasi Penelitian
44
Tabel 7. (Lanjutan)
45
menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Oxyaquic Dystrudepts, very fine, halloysitic, isohyperthermic. Tanah dari Gunung Sindur (B2) berkembang dari bahan induk yang sama dengan tanah Cimanggu, namun telah terlapuk lanjut yang ditandai oleh kandungan mineral dapat lapuk di dalam tanah sangat sedikit (< 10%). Solum tanah sangat tebal dan kedalaman efektif tanah sangat dalam, lebih dari 120 cm. Mempunyai sifat morfologi hampir homogin di seluruh penampang tanah, drainase baik dan permeabilitas sedang. Penggunaan tanah sebagai tegalan untuk tanaman umbi-umbian (singkong, ubi jalar) dan kacang-kacangan (kacang tanah, kacang panjang). Lapisan atas tanah (Ap) tipis, setebal 12 cm, berwarna merah gelap (2,5YR3/6), tekstur liat, perkembangan struktur tanah cukup, gumpal halus sampai remah, konsistensi gembur, pori mikro banyak, perakaran halus banyak, reaksi tanah sangat masam (pH 4,4), kandungan C-organik rendah (1,46%) dan kejenuhan basa sedang (52%). Menurut Taksonomi Tanah, ciri tanah lapisan tanah termasuk epipedon okrik (Soil Survey Staff, 1999). Horison bawah tanah (12-160 cm) homogin, batas horison baur, berwarna merah (2,5YR4/6), tekstur liat, tidak ada kenaikan liat secara nyata, struktur tanah cukup, gumpal halus, gembur, pori mikro banyak sampai sedang (porus), reaksi tanah sangat masam, bahan organik sangat rendah dan menurun secara teratur, kejenuhan basa di seluruh horison di atas 35%, mineral dapat lapuk sangat rendah (0 -2%) dan liat didominasi oleh kaolinit. KTK liat < 16 cmol(+)/kg liat dan KTK Efektif liat < 12 cmol(+)/kg liat. Horisan bawah tanah memenuhi kriteria sebagai horison oksik. Rejim kelembaban tanah termasuk udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah mempunyai susunan horison Ap -Bo-BC, diklasifikasikan sebagai Latosol Merah menurut klasifikasi Soepraptohardjo (1961) atau menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Typic Eutrudox, very fine, kaolinitic, isohyperthermic. Berdasarkan pada komposisi mineral dan horison bawah pencirinya, tanah Gunung Sindur telah terlapuk lanjut dan lebih berkembang dibanding tanah Cimanggu. Tanah dari Cikopomayak (B3) dan Tegalwangi, Jasinga (B4) berkembang dari batuan sedimen masam (batu pasir/batu liat bertufa dasitik), pada lahan tegalan diteras datar pada bekas perkebunan karet swasta dari perbukitan
46
angkatan/lipatan dengan bentuk wilayah bergelombang sampai berbukit. Kedalaman efektif tanah dalam (> 100 cm), drainase baik dan permeabilitas sedang. Tanah lapisan atas dari Cikopomayak (B-3) agak tebal (22 cm), berwarna coklat gelap kemerahan (5YR3/3-3/4), tekstur liat, struktur tanah cukup gumpal halus sampai sangat halus, gembur, perakaran halus banyak, pori mikro banyak, reaksi tanah sangat masam (pH 4,3), C-organik rendah (1,41%), kejenuhan basa sangat rendah (<20%). Ciri lapisan atas tanah tidak memenuhi kriteria epipedon lainnya selain okrik. Horison bawah tanah (22-145 cm), berwarna coklat kemerahan (5YR4/3-4/4) sampai merah kekuningan (5YR4/6). Tekstur liat, struktur gumpal sampai gumpal bersudut sedang, agak teguh. Tampak ada kenaikan liat dan selaput liat tipis pada kedalaman 53-115 cm. KTK liat 24-26 cmol(+)/kg liat dan kejenuhan basa sangat rendah (8-11%). Kandungan C-organik sangat rendah dan menurun secara teratur. Kandungan mineral dapat lapuk sangat rendah (1-4%) dan mineral liat didominasi oleh campuran kaolinit dan vermikulitmontmorilonit. Ciri horison bawah tanah memenuhi kriteria sebagai horison argilik. Rejim kelembaban tanah tergolong udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah ini memiliki susunan horison Ap -Bt-BC, diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kekuningan menurut klasifikasi Soepraptohardjo (1961), atau menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Typic Hapludults, very fine, mixed, semiactive, isohyperthermic. Tanah lapisan atas dari Tegalwangi, Jasinga (B4) agak tebal (21 cm) berwarna coklat kemerahan (5YR4/3), tekstur liat, struktur gumpal halus, gembur, pori mikro banyak, perakaran halus banyak. Reaksi tanah sangat masam (pH 4,1), kandungan C-organik tergolong sedang (2,65%) dan kejenuhan basa rendah. Ciri tanah lapisan atas ini tidak memenuhi kriteria epipedon lainnya kecuali okrik. Horison bawah tanah (21-155 cm) berwarna merah kekuningan (5YR4/4 -4/6), tekstur liat, struktur gumpal sedang, gembur, batas horison jelas rata. Kandungan liat sangat tinggi (84-92%). Kenaikan liat total dan selaput liat tipis jelas terlihat mulai kedalaman 21 cm, memenuhi kriteria horison argilik. Kandungan C-organik 16,31 kg/m3. KTK liat cukup tinggi (35-46 cmol(+)/kg liat), kejenuhan basa tergolong rendah sampai sangat rendah (5 -31%). Mineral dapat lapuk sangat rendah (2-9%) dan liat didominasi oleh montmorilonit (79%) dengan sedikit
47
kaolinit (21%). Solum tanah sangat tebal (142 cm) dengan susunan horison Ap Bt-C. Rejim kelembaban tanah termasuk udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah ini diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kekuningan menurut klasifikasi Soepraptohardjo (1961) atau menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Typic Haplohumults, very fine, smectitic, isohyperthermic. Ditinjau dari komposisi mineral liat dan muatan koloidnya (KTK liat), tanah Cikopomayak tampak lebih berkembang daripada tanah Tegalwangi. Tanah-tan ah dari Singasari, Jonggol (B5, B6 dan B7) berkembang dari batuan sedimen basa (batu gamping), umumnya telah mengalami perataan atau penterasan sederhana. Penggunaan lahan umumnya tegalan yang ditanami serealia, umbi-umbian dan kacang-kacangan, kecuali Singasari B-6 merupakan sawah tadah hujan yang ditanami padi sekali setahun. Tanah Singasari B-5 relatif dangkal (< 50 cm), drainase sedang dan permeabilitas agak lambat. Lapisan atas tanah agak tebal (19 cm) berwarna coklat gelap (7,5YR3/2), tekstur liat, struktur cukup gumpal halus, agak teguh, perakaran halus dan pori halus banyak. Reaksi tanah netral (pH 6,8), kejenuhan basa tinggi (94%), C-organik rendah (1,46%). Ciri lapisan tanah atas ini memenuhi syarat sebagai epipedon molik. Horison bawah tanah telah berkembang membentuk horison B-alterasi (Bw) setebal 27 cm (19-46 cm) berwarna coklat (7,5YR4/4), tekstur liat, struktur cukup sampai lemah, gumpal bersudut sedang, teguh, perakaran halus sedikit sampai sedang, pori mikro sedikit, reaksi tanah netral samp ai alkalis (pH 7,2-7,9), kejenuhan basa pada seluruh horison tergolong sangat tinggi (93 -100%). Mineral dapat lapuk sedikit (10-11%) dan liat didominasi oleh montmorilonit (84-87%) dengan sedikit kaolinit (13-16%). Ciri horison bawah memenuhi kriteria horison kambik. Kandungan liat tinggi (65-79%). Rejim kelembaban tanah udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah ini mempunyai susunan horison Ap -Bw-BC-C, diklasifikasikan menurut klasifikasi Soepraptohardjo (1961) sebagai Brown Forest Soil dan. menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Lithic Hapludolls, very fine, smectitic, isohyperthermic. Tanah Singasari B6 lebih berkembang dari pada Singasari B5, solum agak tebal (80 cm) dan kedalaman efektif tanah dalam. Drainase tanah agak terhambat
48
dan permeabilitas agak lambat. Tanah lapisan atas tipis (12 cm) berwarna coklat kemerahan (5YR4/4), tekstur liat, struktur cukup gumpal bersudut halus sampai sedang, agak teguh, perakaran halus banyak dan pori mikro banyak. Reaksi tanah masam (pH 5,3), kandungan C-organik rendah (1,06%) dan kejenuhan basa sangat tinggi (100%). Ciri tanah lapisan atas termasuk epipedon okrik. Horison bawah (12-80 cm) berwarna coklat gelap kemerahan (5YR3/4) sampai coklat terang kemerahan (5YR6/4), tekstur liat, tidak ada kenaikan liat, karatan Mn berwarna hitam (5YR2,5/1) sedikit sampai banyak pada seluruh horison bawah. Pada kedalaman 61-80 cm, warna tanah coklat terang kemerahan (5YR6/4) bercampur dengan kelabu (5YR6/1) dan putih pink (5YR8/2) menunjukkan horison peralihan ke bahan induk (BC). Reaksi tanah agak masam (pH 5,6-6,5), kandungan Corganik sangat rendah dan menurun secara teratur, KTK liat 39-59 cmol(+)/kg liat dan kejenuhan basa sangat tinggi (100%) di seluruh horison. Mineral pasir dapat lapuk 3-4% dan liat didominasi oleh montmorilonit (73%) dan kaolinit (27%). Horison bawah tanah memenuhi kriteria horison kambik (Bw). Rejim kelembaban tanah termasuk udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah ini mempunyai susunan horison Ap-Bw-BC-C, diklasifikasikan sebelumnya oleh Soepraptohardjo (1961) sebagai Mediteran Coklat Kemerahan. Tanah ini menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Aquic Eutrudepts, fine, smectitic, isohyperthermic. Tanah Singasari B7 lebih berkembang lagi daripada tanah B5 dan B6. Solum cukup tebal (73 cm) dan kedalaman efektif tanah dalam (>100 cm). Drainase tanah sedang dan permeabilitas agak lambat. Tanah lapisan atas (Ap) tipis setebal 15 cm, berwarna coklat kemerahan (5YR4/4), tekstur liat, struktur cukup gumpal halus, gembur, perakaran halus dan pori mikro banyak. Reaksi tanah masam (pH 4,9), kandungan C-organik sangat rendah (0,91%), kejenuhan basa tinggi (74%). Ciri tanah lapisan atas termasuk epipedon okrik. Horison bawah (15-73 cm) berwarna coklat terang kemerahan (5YR6/4 -6/3), tekstur liat, struktur cukup sampai lemah, gumpal bersudut sedang sampai kasar, agak teguh. Pada kedalaman 54-73 cm merupakan horison peralihan ke bahan induk (BC), berwarna campuran coklat terang kemerahan (5YR6/3) dan kelabu pink (5YR6/2),
49
terdapat karatan Mn berwarna hitam (5YR2,5/1) bintik kecil sedikit. Kenaikan liat dan selaput liat tipis terdapat pada kedalaman 15-54 cm, memenuhi kriteria horison argilik (Bt). KTK liat 53-64 cmol(+)/kg liat dan kejenuh an basa 64-100%. Mineral dapat lapuk sangat sedikit (1-2%), liat didominasi oleh montmorilonit (69-80%) dan kaolinit (20 -31%). Rejim kelembaban tanah termasuk udik dan rejim suhu tanah isohipertermik. Tanah ini mempunyai susunan horison lengkap Ap-Bt-BC-C, diklasifikasikan menurut Soepraptohardjo (1961) sebagai Mediteran Coklat Kemerahan atau menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999) pada tingkat famili sebagai Typic Hapludalfs, fine, smectitic, isohyperthermic. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disusun sekuen perkembangan tanah berdasarkan bahan induk, susunan horison dan klasifikasi tanahnya sebagaimana disajikan pada Tabel 8. Pada kelompok bahan induk volkanik intermedier, tanah Gunung Sindur (B2: Eutrudox) telah terlapuk lanjut dan lebih berkembang daripada tanah Cimanggu (B1: Dystrudepts). Sedangkan pada kelompok batuan sedimen masam, tanah dari Cikopomayak (B3: Hapludults) lebih berkembang dari tanah Tegalwangi (B4: Haplohumults). Tanah dari Singasari, Jonggol yang berasal dari batuan sedimen basa, perkembangannya mengikuti sekuen tanah: Hapludolls (B5) à Eutrudepts (B6) à Hapludalfs (B7).
Tabel 8. Klasifikasi dan Perkembangan Tanah di Lokasi Penelitian Bahan Induk dan Perkembangan Tanah Kode Susunan Horison penciri lokasi horison Bahan volkanik intermedier (Andesitik) B1
Ap-Bw-C
Okrik/Kambik
B2
Ap-Bo-C
Okrik/Oksik
Klasifikasi Tanah Soepraptohardjo (1961) Latosol Coklat Kemerahan Latosol Merah
Taksonomi Tanah (1999) Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox
Batuan sedimen masam (bat uliat/batupasir bertufa dasitik) B3
Ap-Bt-C
Okrik/Argilik
B4
Ap-Bt-C
Okrik/Argilik
Podsolik Merah Kekuningan
Typic Hapludults Typic Haplohumults
Batuan sedimen basa (batu gamping) B5
Ap-Bw-C-R
Molik/Kambik
B6
Ap-Bw-C
Okrik/Kambik
B7
Ap-Bt-C
Okrik/Argilik
Brown Forest Soil Mediteran Coklat Kemerahan
Lithic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs
50
Sifat Fisik Tanah. Sifat-sifat fisik tanah yang berhubungan dengan tanaman dan kualitas lahan meliputi kedalaman efektif, tekstur, struktur, drainase, bobot isi (bulk density), ruang pori, kadar air dan air tersedia disajikan pada Lampiran 6 dan 7. Kedalaman efektif adalah kedalaman tanah yang dapat ditembus oleh akar tanaman (Hardjowigeno, 1995). Pengamatan kedalaman efektif di lapangan meliputi penyeb aran dan banyaknya perakaran halus maupun kasar serta dalamnya akar-akar tersebut dapat menembus tanah. Kedalaman efektif tanah dari bahan volkanik dan tanah-tanah dari batuan sedimen masam Jasinga tergolong sangat dalam (>120 cm), sedangkan tanah-tanah dari Jonggol yang berkembang dari batu gamping tergolong dangkal (< 50 cm) sampai dalam (75-100 cm). Berdasarkan kedalaman efektif, tanah-tanah di semua lokasi penelitian tergolong sesuai untuk tanaman jagung dan kacang tanah. Walaupun terdapat tanah yang dangkal di Jonggol (B5), namun kedalamannya masih lebih dari 40 cm yang tergolong sesuai untuk tanaman jagung dan kacang tanah (Wood dan Dent, 1983; Djaenudin et al., 2003). Tekstur tanah menggambarkan kasar atau halusnya tanah. Berdasarkan atas perbandingan banyaknya pasir (2 mm – 50 um), debu (50 um – 2 um) dan liat (< 2 um) maka tekstur tanah dapat dikelompokkan ke dalam 14 kelas, mulai dari kelas tekstur pasir (terkasar) sampai kelas tekstur liat (terhalus). Tanah-tanah di semua lokasi penelitian tergolo ng ke dalam kelas tekstur liat, dengan kandungan liat total berkisar dari 41% sampai 93%. Tanah-tanah bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Semakin tinggi kadar liat akan mempunyai kemampuan yang lebih besar dan lebih aktif dalam reaksi kimia tanah (Hardjowigeno, 1995). Terkait dengan tekstur adalah konsistensi tanah yang merupakan kekuatan daya tahan tanah terhadap gaya yang akan mengubah bentuk, misalnya pencangkulan, pembajakan dan sebagainya. Tanah yang mempunyai konsistensi baik umumnya mudah diolah dan tidak melekat pada alat pengolah tanah. Konsistensi tanah di lapisan olah (0-20 cm) sampai kedalaman 50 cm pada beberapa lokasi penelitian yaitu di Cimanggu, Gunung Sindur, dan Jasinga termasuk gembur (lembab) yang tergolong mudah diolah, sedangkan tanah-tanah di lokasi penelitian Jonggol (B5,
51
B6 dan B7) mempunyai konsistensi agak teguh sampai teguh yang relatif lebih sulit diolah dan mudah melekat pada cangkul ketika mengolah tanah. Kadar liat tanah yang tinggi (> 60%), disertai oleh dominasi liat tipe 2:1 (montmorilonit) dan konsistensi tanah yang teguh seperti pada tanah-tanah dari Jonggol, selain berpengaruh terhadap pengolahan tanah juga akan sangat mempengaruhi perkembangan akar tanaman dan pembentukan polong pada kacang tanah. Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir -butir tanah yang terjadi karena butir-butir pasir, debu dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat dari bahan organik, oksida-oksida besi dan bahan lainnya. Struktur tanah dibedakan
berdasarkan
bentuk,
ukuran
dan
kemantapan
atau
tingkat
perkembangannya. Hampir di semua lokasi penelitian mempunyai struktur tanah cukup kuat, remah sampai gumpal halus di lapisan atas (0-20 cm) dan gumpal halus sampai sedang di lapisan bawah (20-100 cm), kecuali tanah -tanah dari Jonggol mempunyai struktur tanah gumpal bersudut halus di lapisan atas dan gumpal bersudut sedang sampai kasar di lapisan bawah dengan perkembangan cukup kuat .sampai lemah. Tanah dengan struktur mantap, remah sampai gumpal memiliki tata udara yang baik, pori-pori tanah banyak terbentuk dan tanah mudah diolah, sedangkan pada struktur tanah gumpal bersudut memiliki pori-pori lebih sedikit atau tata udara kurang baik, tanah agak sulit diolah dan melekat ketika dicangkul (Hardjowigeno, 1995). Drainase tanah menunjukkan mudah tidaknya air hilang dari tanah, dapat dibedakan atas kelas drainase terhambat (tergenang) sampai kelas drainase sangat cepat, dimana air sangat cepat hilang dari tanah. Di lapang kelas drainase ditentukan dengan melihat adanya gejala-gejala reduksi-oksidasi atau pengaruh air dalam penampang tanah, seperti adanya warna kelabu atau becak-becak karatan. Kelas drainase tanah-tanah di lokasi penelitian sedikit bervariasi dari agak terhambat (B1 dan B6), sedang (B5, B7) sampai baik (B2, B3, B4). Tanah yang berdrainase agak terhambat ditandai oleh banyaknya karatan Mn dan Fe dalam penampang tanah mulai kedalaman 12 cm dari permukaan tanah. Kondisi seperti ini tampaknya berhubungan dengan penggunaan tanah saat sekarang atau di masa lampau. Pada B6, saat ini digunakan sebagai sawah tadah hujan yang ditanami padi satu tahun sekali pada musim hujan. Dalam penampang tanahnya dijumpai
52
sedikit warna kelabu pada kedalaman 12-29 cm selain juga dijumpai banyak karatan dan konkresi Mn berwarna hitam. Karatan Mn ditemukan sampai kedalaman 80 cm dan jumlahnya menurun semakin sedikit ke lapisan bawah tanah. Tanah Cimanggu (B1) pernah disawahkan cukup lama pada 20 tahun lalu, memperlihatkan drainase yang relatif lebih baik daripada B6 (Jonggol), ditandai oleh jumlah karatan Mn dan Fe lebih sedikit dalam penampang tanah dan tanpa warna kelabu. Pada tanah-tanah yang berdrainase baik tidak dijumpai karatan, tanah dalam keadaan oksidasi berwarna coklat kemerahan sampai merah homogin di seluruh penampang. Keadaan drainase tanah dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Dalam prakteknya, petani menanam jagung dan kacang tanah dalam bedengan-bedengan dimana lapisan atas tanah diolah dengan baik dan di antara bedengan dipisahkan oleh saluran drainase, sehingga kondisi drainase tanah lapisan atas menjadi lebih baik dan karenanya faktor drainase menjadi kurang berpengaruh terhadap tanaman. Bobot isi (bulk density) merupakan petunjuk kepadatan tanah. Semakin padat tanah maka semakin tinggi bobot isinya yang berarti makin sulit meneruskan air, makin sedikit ruang pori dan makin sulit tanah ditembus akar tanaman. Akar tanaman dapat berkembang bebas dan menembus lapisan-lapisan tanah jika bobot isi tanah berkisar antara 1,0 – 1,5 g/cc. Bobot isi tanah lebih besar dari 1,5 g/cc, tanah terlalu padat dan menghambat perkembangan akar tanaman dan laju infiltrasi air. Bobot isi tanah lapisan atas (0-10 cm) di lokasi penelitian berkisar dari 0,90 – 1,28 g/cc dan di lapisan bawah (20 -30 cm) berkisar dari 0,86 – 1,35 g/cc. Bobot isi terendah pada tanah Podsolik Tegalwangi, Jasinga (B4) sebesar 0,89 – 0,90 g/cc dan tertinggi pada tanah Mediteran Jonggol (B6 dan B7) sebesar 1,22 – 1,28 g/cc pada lapisan atas dan 1,30 – 135 g/cc di lapisan bawah. Secara umum tanah-tanah di lokasi penelitian mempunyai bobot isi dalam kisaran yang kurang dari 1,5 g/cc sehingga tanah tidak cukup padat dan tidak menghambat perkembangan akar tanaman. Sangat erat terkait dengan bobot isi adalah pori-pori tanah. Semakin tinggi bobot isi cenderung semakin sedikit kandungan pori total atau sebaliknya semakin rendah bobot isi maka semakin tinggi pori total tanah, seperti ditunjukkan pada tanah Podsolik Jasinga (B4) yang mempunyai BD 0,89-0,90 g/cc dan ruang pori total: 69 -71% dibanding dengan
53
tanah Mediteran Jonggol (B7), mempunyai BD 1,22-1,35 g/cc dan ruang pori total 49-54%. Tanah di lokasi penelitian umumnya memiliki ruang pori total lebih dari 50% dari massa tanah yang dapat diisi air dan udara, menunjukkan bahwa tanah cukup porus. Tanah-tanah yang memiliki ruang pori total lebih tinggi (B4: 6971%) cenderung lebih mudah melepas air sehingga tanaman mudah kekeringan (Hardjowigeno, 1995). Namun demikian mengingat percobaan lapang dilak ukan pada musim hujan (Oktober-Pebruari) dengan jumlah curah hujan relatif tinggi dan merata selama pertumbuhan tanaman maka gejala kekeringan atau kekurangan air dari pertanaman jagung dan kacang tanah tidak tampak di lapangan. Pori drainase cepat atau disebut juga pori aerasi umumnya sedang sampai rendah (6,7-14,4%) baik di lapisan atas tanah maupun di lapisan bawahnya, kecuali tanah Gunung Sindur mempunyai pori drainase cepat tergolong tinggi (16,0-19,4%). Ini berarti bahwa tanah-tanah di lokasi penelitian umumnya mempunyai aerasi atau ketersediaan oksigen tergolong sedang sampai rendah. Namun demikian faktor aerasi telah dapat diatasi oleh petani dengan pengolahan tanah yang baik ketika akan menanam. Pori drainase lambat yang berfungsi sebagai tempat lewat air lebih umumnya terdapat dalam jumlah sedikit terutama pada lapisan tanah bawah (< 5%), yang berarti bahwa sarana untuk pergerakan air secara perlahan-lahan ke lapisan bawah tergolong rendah. Pori air tersedia umumnya tergolong sedang (10,3-13,9 %) kecuali pada lapisan atas tanah Gunung Sindur (B2) dan Cikopomayak (B3) tergolong relatif rendah (9,1 -9,9%). Ini berarti bahwa tanah -tanah di lokasi penelitian umumnya mempunyai daya menahan atau menyediakan air tergolong sedang dimana tanaman akan cukup memperoleh air, kecuali di Gunung Sindur dan Cikopomayak ketersediaan air pada musim kemarau (Juni-Agustus) akan menjadi pembatas pertumbuhan tanaman. Permeabilitas tanah umumnya rendah sampai agak rendah terutama di lapisan bawah tanah (0,37-1,54 cm/jam), sedangkan di lapisan atas tanah Gunung Sindur, Cikopomayak, Tegalwangi dan sebagian tanah Jonggol (B -7) tergolong sedang (2,76-4,68%). Ini berarti bahwa tanah -tanah di lokasi penelitian umumnya mempunyai permeabilitas atau daya melewatkan air dalam penampang tanah tergolong agak lambat sampai lambat. Pengolahan tanah, pembuatan bedeng
54
tanaman dan saluran drainase secara tradisional oleh petani serta bertanam di awal musim hujan dimungkinkan dapat memperbaiki aerasi atau ketersediaan udara dan tercukupinya kebutuhan air buat tanaman. Dari uraian di atas tampak bahwa ditinjau dari sifat-sifat fisik tanah di lokasi penelitian yang berkaitan dengan kualitas lahan ketersediaan udara (oksigen), ketersediaan air, media perakaran dan penyiapan lahan atau pengolahan tanah tidak merupakan faktor pembatas yang serius untuk tanaman jagung dan kacang tanah, namun masih dapat diatasi sendiri oleh petani dari kebiasaannya mengelola lahan dan tanamannya. Sifat Kimia Tanah . Sifat kimia tanah yang berkaitan dengan kualitas lahan ketersediaan hara, retensi hara dan unsur bersifat racun (toksik) terdiri dari reaksi tanah (pH), C-organik, N, P dan K, kation basa dapat tukar, kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB), Al-dd dan atau kejenuhan aluminium (KAl). Distribusi beberapa sifat kimia tanah pada penampang tanah di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 9 dan 10. Reaksi tanah dari tanah-tanah di lokasi penelitian cukup bervariasi mulai dari sangat masam sampai agak alkalis, tampak ada hubungan dengan asal bahan induk dan perkembangan tanahnya. Tanah dari bahan volkan umumnya masam (B1) dan meningkat kemasamannya pada tanah yang telah berkembang lanjut (B2). Tanah dari batuan sedimen masam umumnya tergolong sangat masam (B3 dan B4). Sedangkan tanah -tanah dari batuan sedimen basa tergolong netral sampai agak alkalis (B5) dan meningkat kemasaman tanahnya menjadi masam sampai agak masam sejalan dengan perkembangan tanahnya (B6, B7). Perbedaan reaksi tanah di beberapa lokasi penelitian terkait erat dengan reaksi-reaksi kimia yang terjadi dalam tanah berhubungan dengan kelarutan dan ketersediaan unsur-unsur hara dalam tanah baik bersifat toksik ataupun tidak terhadap tanaman. Bila dibandingkan dengan nilai pH-KCl, terlihat bahwa nilai pH-KCl di semua lokasi penelitian lebih kecil dari pH-H2O yang berarti bahwa muatan koloid liat tanah di semua lokasi penelitian masih bermuatan negatif. Jumlah muatan negatif pada tanah yang berasal dari batuan sedimen basa Jonggol umumnya lebih tinggi. Hal ini berhubungan dengan kandungan mineral liat tipe 2:1 (montmorilonit) di lokasi tersebut cukup tinggi.
55
Gambar 9. Distribusi Sifat Kimia Tanah: pH, C -organik, P-total, K-total dan P-tersedia pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian
56
Kandungan C-organik tan ah umumnya rendah sampai sangat rendah (< 2%) di lapisan atas (0-20 cm), kecuali tanah dari Tegalwangi, Jasinga (B4) mempunyai C-organik lebih tinggi (2,6%). Hal ini diduga karena di lokasi penelitian tersebut merupakan lahan bukaan baru dari bekas kebun karet swasta. Kandungan C-organik di lapisan bawah menurun teratur mengikuti kedalaman tanah. Kandungan C-organik yang relatif tinggi memberikan kontribusi terhadap perbaikan sifat fisik dan kimia tanah. Kandungan N-total tanah di seluruh lokasi penelitian umumnya tergolong rendah sampai sangat rendah (< 0,2 %), kecuali tanah di Tegalwangi (B4: Haplohumults) relatif lebih baik sejalan dengan kandungan C-organiknya. Kandungan P-total tanah (P 2O5 -HCl 25%) sangat bervariasi dari sangat rendah (B7) sampai sangat tinggi (B1) di lapisan atas (0-20 cm) dan umumnya tergolong rendah di lapisan bawah, kecuali pada tanah Cimanggu (B1) masih sangat tinggi (> 60 mg/100 g tanah). Hal ini tampak berkaitan dengan intensitas penggunaan lahan. Tanah -tanah yang sering diberakan seperti di lokasi B7 dan B5 (Jonggol) umumnya mengandung P-total rendah, sedangkan kandungan P-total yang tinggi pada tanah Cimanggu (B1) diduga akibat dari pemberian pupuk P yang sangat intensif dalam jumlah cukup tinggi (> 200 kg TSP/ha/musim). Kandungan P-total umumnya menurun ke lapisan bawah. Kandungan P-tersedia tampak mengikuti pola kandungan P-totalnya. Pada tanah yang sering diberakan atau diberi sedikit P (< 50 kg TSP/ha/musim) umumnya mengandung P-tersedia tergolong rendah (< 10 ppm), seperti pada B2 (Gunung Sindur), B3 (Cikopomayak, Jasinga), B5 dan B7 (Jonggol), sedangkan pada B1, B4 dan B6 yang pernah dipupuk P secara intensif dan dalam dosis tinggi mengandung Ptersedia di lapisan atas relatif tinggi. Kondisi kandungan P-total dan P-tersedia dalam tanah yang cukup bervariasi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, khususnya pada jagung dan kacang tanah. Kandungan K-total tanah (K 2O-HCl 25%) di semua lokasi penelitian umumnya tergolong rendah sampai sangat rendah (< 20 mg/1 00 g tanah). Kandungan K-total dari tanah-tanah Cimanggu (B1) dan Jonggol (B6) yang mendapat pemupukan K intensif mengandung K-total relatif lebih baik. Walaupun demikian kandungan K-dd di semua lokasi penelitian umumnya tergolong rendah
57
Gambar 10. Distribusi Sifat Kimia Tanah: K-dd, Ca-dd, Mg-dd, KTK tanah, Al-dd dan Kejenuhan Basa pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian
58
(< 0,3 me/100 g tanah). Keadaan ini mengindikasikan bahwa untuk memperoleh produktivitas lahan yang lebih baik, sangat diperlukan pemupukan K sesuai kebutuhan tanaman. Kandungan Ca-dd tanah tampaknya berhubungan dengan asal bahan induk tanahnya. Kandungan Ca-dd dari tanah-tanah volkan (B2) dan batuan sedimen masam (B3, B4), umumnya tergolong rendah dan menurun dengan kedalaman tanah, sedangkan kandungan Ca-dd dari tanah yang berkembang dari batuan sedimen basa (Jonggol) tergolong sedang (B7) sampai sangat tinggi (B5) di lapisan atas tanah dan meningkat dengan kedalaman tanah. Kandungan Ca-dd tanah Cimanggu relatif lebih baik dari tanah Jasinga (B3, B4) dan Gunung Sindur (B2). Kandungan Mg-dd dari tanah sedimen masam Jasinga umumnya tergolong rendah (B3 dan B4) dan menurun menurut kedalaman tanah, sedangkan tanah dari bahan volkanik (B1, B2) dan batuan sedimen basa Jonggol (B5, B6 dan B7) tergolong sedang sampai tinggi di lapisan atas dan menurun menurut kedalaman tanah. Pada umumnya tanah dari batuan sedimen basa mengandung Mg-dd lebih tinggi dibanding dengan tanah lainnya. Kandungan Mg-dd yang cukup tinggi p ada tanah Cimanggu (B1) dan meningkat jumlahnya dengan kedalaman tanah, diduga selain berasal dari pemupukan Mg (dolomit) karena tanah sering ditanami kedelai juga kemungkinan berasal dari hasil pelapukan mineral feromagnesian (hiperstin, hornblende) yang cukup tinggi di tanah tersebut. Kejenuhan basa (KB) tanah cukup bervariasi, dari sangat rendah (< 20%, seperti pada B3) sampai sangat tinggi (> 80%, seperti pada B6) di lapisan atas tanah. Kejenuhan basa dari tanah sedimen masam menurun dengan kedalaman, sedangkan kejenuhan basa dari tanah-tanah volkan dan batuan sedimen basa umumnya meningkat dengan kedalaman. Hal ini diduga berkaitan dengan asal bahan induk tanahnya. Kejenuhan basa dari tanah volkanik tergolong sedang dan tanah-tanah dari batuan sedimen basa umumnya tinggi sampai sangat tinggi (KB mencapai 100%). Kapasitas tukar kation tanah (KTK-tanah) agak bervariasi, mulai dari rendah (< 16 cmol(+)/kg tanah, seperti pada B2) sampai sangat tinggi (> 40 cmol(+)/kg tanah, seperti pada B5). Hal ini sangat terkait dengan asal bahan induk tanah dan kandungan jenis dan jumlah mineral liat dalam tanah. Tanah-tanah dari
59
batuan sedimen basa dengan kandungan tipe liat 2:1 (montmorilonit) tinggi menunjukkan KTK-tanah tinggi sedangkan KTK-tanah dari bahan volkanik yang didominasi oleh tipe liat 1:1 (kaolinit) tergolong rendah. Pengaruh kandungan bahan organik tanah (C -organik) terhadap KTK-tanah pada hampir semua lokasi penelitian tampak tidak begitu nyata kecuali pada lokasi B5 karena kandungan Corganik di lapisan atas tanah relatif tinggi (epipedon molik) baru terlihat kontribusinya terhadap KTK-tanah. KTK-tanah berhubungan erat dengan KTKliat yang besarnya sangat ditentukan oleh jenis dan jumlah tipe liat di dalam fraksi liat tanah. Kandungan KTK-liat yang sangat rendah (< 16 cmol(+)/kg liat) terdapat pada tanah Gunung Sindur (B2), sedang tanah-tanah dari Cimanggu (B1) dan Cikopomayak, Jasinga (B3) tergolong sedang (24-40 cmol(+)/kg liat). KTKliat dari tanah -tanah yang berkembang dari batuan sedimen basa (Jonggol) umumnya tergolong tinggi (38-65 cmol(+)/kg liat), hal ini tampak adanya hubungan erat antara KTK-liat dengan kandungan montmorilonit yang tinggi di dalam tanah. Keadaan KTK-tanah dan KTK-liat akan berpengaruh terhadap kualitas lahan ketersediaan dan retensi hara di dalam tanah yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hara bagi tanaman. Kandungan Al-dd sangat dipengaruhi oleh pH tanah. Meningkatnya Al-dd dalam tanah-tanah dari batuan sedimen masam (B3 dan B4) diduga berasal dari kerusakan struktur mineral liat (montmorilonit) yang disebabkan oleh perubahan lingkungan yang sangat masam (pH< 4,5) menghasilkan Al-dd cukup tinggi (7,39,4 me/100 g tanah). Sedangkan kandungan Al-dd tanah dari bahan volkanik tergolong rendah (< 2 me/100 g tanah). Kandungan Al-dd dari tanah sedimen basa kecuali pada B7, sangat rendah sekali bahkan mencapai 0 me/100 g tanah. Kejenuhan aluminium (KAl) tanah dari batuan sedimen masam umumnya tergolong sangat tinggi (> 60%), sedangkan tanah dari batuan sedimen basa, kecuali lapisan atas tanah B7 termasuk sangat rendah (< 10%). Kejenuhan aluminium dari tanah volkanik termasuk rendah (B1) dan meningkat sampai sedang sejalan dengan tingkat perkembangan tanahnya (B2). Kandungan Al-dd atau kejenuhan Al yang tinggi dalam tanah dapat bersifat toksik bagi pertumbuhan tanaman dan berpengaruh terhadap produksi beberapa jenis tanaman pangan lahan kering (FAO, 1983).
60
Berdasarkan pada distribusi sifat kimia tanah di lokasi penelitian (Gambar 9 dan 10), tampak bahwa aktivitas biologi dan proses pelapukan tanah terjadi sangat intensif di lapisan atas tanah pada kedalaman 0-20 cm. Berpijak dari keadaan tersebut, maka penetapan sifat-sifat tanah yang diperlukan dalam evaluasi kesesuaian lahan khususnya untuk tanaman pangan lahan kering seperti jagung dan kacang tanah yang memiliki perakaran relatif dangkal, digunakan data analisis tanah dari contoh tanah lapisan atas atau komposit (0-20 cm).
Pengaruh Lereng dan Konservasi Tanah terhadap Bahaya Erosi
Sebagai sumberdaya alam untuk pertanian, tanah mempunyai dua fungsi utama yaitu: (1) sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan, dan (2) sebagai media tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan serta tempat unsurunsur hara dan air ditambahkan. Hilangnya atau menurunnya fungsi tanah tersebut menyebabkan kerusakan atau degradasi tanah (Arsyad, 1989). Kerusakan tanah terjadi terutama disebabkan oleh erosi yang berkaitan dengan kondisi lereng, pengelolaan tanah dan tanaman. Kerusakan tanah akibat erosi yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan sifat-sifat fisik dan kimia tanah, seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik, menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan tanah dan ketahanan penetrasi dan akhirnya menyebabkan memburuknya pertumbuhan tanaman dan menurunnya produktivitas lahan. Lokasi penelitian terletak pada dataran volkan atau “ kipas aluvium” (B1 dan B2), di daerah perbukitan angkatan/lipatan dari batuan sedimen masam (B3 dan B4) dan batuan sedimen basa (B5, B6 dan B7) yang telah diteras atau diratakan sehingga membentuk permukaan tanah yang datar dengan lereng kurang dari 2%. Tanah umumnya dikelola dengan baik. Atas dasar kemiringan lahan yang relatif datar akibat tindakan konservasi yang telah dilakukan petani di semua lokasi penelitian, tampaknya erosi yang terjadi sangat rendah dan tidak membahayakan terhadap penggunaan lahan yang ada. Pendugaan erosi yang terjadi di lokasi penelitian dengan menggunakan persamaan USLE (Wischmeier dan Smith, 1978) dan erosi yang diperbolehkan menurut Hammer (dalam Arsyad,
61
1989) disajikan pada Tabel 9. Perhitungan cara pendugaan erosi selengkapnya diberikan pada Lampiran 10. Tabel 9. Pendugaan Bahaya Erosi dan Erosi yang Diperbolehkan di Lokasi Penelitian Kode Lokasi
Klasifikasi Tanah
Besarnya Erosi (ton/ha/th) Aku Aju T (1)
(2)
Indeks Bahaya Erosi (1)
(2)
Kelas
B1
Oxyaquic Dystrudept
6,14
6,58
33,00
0,18
0,20
SR
B2
Typic Eutrudox
1,58
1,69
35,28
0,04
0,04
SR
B3
Typic Hapludult
5,76
6,17
24,61
0,23
0,25
SR
B4
Typic Haplohumult
2,76
2,96
31,95
0,08
0,09
SR
B5
Lithic Hapludoll
5,17
5,54
11,96
0,43
0,46
SR
B6
Aquic Eutrudept
7,76
8,31
25,80
0,30
0,32
SR
B7
Typic Hapludalf
8,70
9,32
20,99
0,41
0,44
SR
Keterangan: Indeks Bahaya Erosi (IBE) = A/T, ditetapkan menurut Hammer dalam Arsyad (1989) Nilai IBE < 0,5: kelas bahaya erosi sangat rendah (SR) Aku: Erosi pada tanaman kacang tanah- ubi kayu, Aju : Erosi pada tanaman jagung-ubi kayu
Dari Tabel 9 tampak bahwa perkiraan erosi yang terjadi (A) bila lahan ditanami berturut-turut: kacang tanah -ubi kayu (A ku) dan atau jagung-ubi kayu (A ju) selama setahun adalah sebesar 1,58 – 9,32 ton/ha/tahun, masih jauh di bawah erosi yang diperbolehkan (T), yaitu sebesar 11-35 ton/ha/tahun. Nilai indeks bahaya erosi (A/T) yang diperhitungkan pada kedua macam tutupan lahan di semua lokasi penelitian adalah kurang dari 0,5 yang berarti bahwa semua lokasi penelitian mempunyai kelas bahaya erosi yang tergolong sangat rendah. Oleh karena itu, faktor lereng atau faktor bahaya erosi dalam evaluasi kesesuaian lahan tidak diperlukan karena dianggap tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan kacang tanah. Agar dapat diekstrapolasi ke daerah lain, maka besarnya lereng yang masih bisa ditanami jagung dan kacang tanah pada setiap jenis tanah dengan berasumsi bah wa besarnya erosi yang terjadi masih tergolong rendah atau E < T adalah sebagai berikut: Oxyaquic Dystrudepts lereng < 3%, Typic Eutrudox lereng < 8%, Typic Hapludults lereng < 3%, Typic Haplohumults lereng < 5%, dan pada tanah -tanah dari batu gamping (Lithic Hapludolls, Aquic Eutrudepts, dan Typic Hapludalfs) lereng < 2%.
62
Tipe Penggunaan Lahan dan Produktivitas Lahan Kering
Tipe Penggunaan Lahan Tipe penggunaan lahan (TPL) merupakan jenis -jenis penggunaan lahan yang diuraikan lebih detil, menyangkut pengelolaan, masukan yang diperlukan dan keluaran yang diharapkan secara spesifik (FAO, 1976; Djaenudin et al., 2003). Tipe penggunaan lahan yang umum di lahan kering selain komoditas jagung dan kacang tanah juga ditanam umbi-umbian, terutama ubi kayu, masingmasing terbagi dalam 2 tingkat pengelolaan berdasarkan input yang diberikan kepada lahan usahatani, yaitu tanpa atau sangat sedikit sekali input yang diberikan (input rendah) dan input sedang. Uraian masing-masing TPL untuk jagung dan kacang tanah yang diidentifikasi berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
TPL 1: Tanaman jagung dan ubi kayu, input rendah Tipe penggunaan lahan ini memproduksi biji jagung kering 1-2 ton/ha dan 10-13 ton/ha umbi segar ubi kayu untuk bahan pangan dan atau pakan ternak. Jagung ditanam selama 3-4 bulan (90-100 hari) dan ubi kayu selama 8-9 bulan secara bergiliran di lahan kering tadah hujan (tegalan) datar atau diteras. Jagung ditanam di awal musim penghujan (Oktober-Nopember) dan setelah dipanen dilanjutkan oleh tanaman ubi kayu. Luas lahan umumnya sempit 0,1-0,3 ha. Sebagian besar hasil usahatani dikonsumsi sendiri (50-75%) dan hanya sedikit (25%) yang dijual. Modal usaha kecil, jumlah tenaga kerja sedikit berasal dari dalam keluarga. Pengolahan tanah menggunakan alat tangan (cangkul, garpu, kored, dll.). Ditanam varietas lokal dan atau varietas unggul (a.l. Bisma, Pioner), kebutuhan bibit (biji) jagung 40 kg/ha. Jarak tanam bervariasi 20-30 cm x 60-80 cm. Jagung ditanam dalam bedengan-bedengan berukuran 3-4 m x 10-12 m dan setelah tanaman berumur 1 bulan dibumbun. Ubi kayu dari bibit lokal ditanam setelah jagung dalam guludan dengan jarak tanam 1,0 x 0,8 m. Pupuk dan insektisida pemberantas hama tidak atau sedikit sekali diberikan. Sebagian petani menggunakan pupuk kandang kotoran ayam 200 -300 kg/ha, diberikan saat menanam jagung. Pada tanaman ubi kayu tidak diberikan lagi pupuk kandang.
63
Penyiangan dilakukan 1-2 kali, yaitu saat tanaman jagung berumur 1 bulan dan atau 2 bulan. Lokasi kebun umumnya relatif jauh dengan jalan desa (>500 m). Sebagian hasil dijual melalui tengkulak. Pendapatan keuntungan bersih tergolong rendah.
TPL 2: Tanaman jagung dan ubi kayu, input sedang Tipe penggunaan lahan ini memproduksi biji jagung kering 2-3 ton/ha (kadar air 14%) dan 14-17 ton/ha umbi segar ubi kayu untuk bahan pangan dan atau pakan ternak. Diusahakan satu kali tanam setahun secara bergiliran di lahan kering tadah hujan (tegalan) datar atau diteras. Jagung ditanam pada awal musim hujan (Oktober-Nopember) selama 3-4 bulan. Setelah panen dilanjutkan dengan tanaman ubi kayu selama 8-9 bulan. Luas lahan usahatani 0,3-0,8 ha, lebih luas dari lahan pada TPL 1. Sebagian besar hasil dijual (>75%) dan sedikit yang dikonsumsi (<25%). Modal usahatani sedang, jumlah tenaga kerja tergolong sedang berasal dari dalam keluarga dan luar keluarga (25-50%). Pengolahan tanah menggunakan alat tangan (cangkul, garpu, kored, dll.). Ditanam jagung varitas unggul (Bisma, Pioner, dll.). Kebutuhan bibit biji jagung kering sebanyak 40 kg/ha. Jarak tanam agak bervariasi 20 -30 cm x 70-80 cm. Ubi kayu ditanam setelah jagung dalam guludan dengan jarak tanam umumnya 1,0 x 0,8 m atau 12.500 tanaman/ha dan tidak diberikan pupuk. Pemupukan untuk jagung diberikan dengan dosis : 100 -200 kg/ha urea, 100-200 kg/ha SP-36, 50-100 kg KCl dan 500-1000 kg bahan organik (bokasi, pupuk kandang kotoran ayam). Penyemprotan hama dan penyakit tanamam 1-2 kali, biasa dilakukan saat ada serangan. Penyiangan dilakukan 2-3 kali yaitu saat tanaman berumur 2 minggu, 4 minggu dan atau 6-8 minggu. Jagung ditanam dalam bedengan-bedengan berukuran 3-4 m x 10 m dan setelah berumur 1 bulan dibumbun. Lokasi kebun umumnya dekat dengan jalan desa dan hasil mudah dijual melalui tengkulak. Pendapatan keuntungan bersih tergolong rendah sampai sedang.
TPL 3: Tanaman kacang tanah dan ubi kayu, input rendah Tipe penggunaan lahan ini memproduksi polong kacang tanah kering 0,61,2 ton/ha dan 12-14 ton/ha umbi segar ubi kayu untuk bahan pangan, sebagian
64
besar dikonsumsi sendiri dan hanya sedikit dijual (25%). Kacang tanah ditanam pada awal musim hujan (Oktober-Nopember) selama 3-4 bulan (90-100 hari), setelah dipanen dilanjutkan dengan ubi kayu selama 8-9 bulan secara bergiliran di lahan kering tadah hujan (tegalan) datar atau diteras. Luas lahan umumnya sempit, 0,1-0,3 ha. Modal kecil dan tenaga kerja sedikit berasal dari dalam keluarga. Pengolahan tanah dengan alat tangan: cangkul, garpu, kored, dll. Umumnya ditanami varietas lokal, kebutuhan bibit kacang tanah (polong kering) sekitar 80100 kg/ha. Jarak tanam bervariasi 20 -35 cm x 20-35 cm. Ubi kayu jenis lokal ditanam dalam guludan dengan jarak tanam umumnya 1,0 x 0,8 m. Pemupukan dan pemberantasan hama/penyakit tidak atau sangat jarang dilakukan. Pada tanaman kacang tanah sebagian kecil petani menggunakan pupuk kandang kotoran ayam sebanyak 200-300 kg/ha. Penyiangan dilakukan 1-2 kali, yaitu pada tanaman berumur 3-4 minggu dan atau 6-8 minggu. Pembumbunan biasanya dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan. Lokasi kebun umumnya relatif jauh dari jalan desa (>500 m). Hasilnya dapat dikonsumsi langsung dan mudah dijual ke tengkulak. Pendapatan keuntungan bersih tergolong rendah.
TPL 4: Tanaman kacang tanah dan ubi kayu, input sedang Tipe penggunaan lahan ini memproduksi polong kering kacang tanah 1,22,0 ton/ha untuk bahan pangan dan bahan industri makanan atau minyak goreng serta 15-18 ton/ha umbi segar ubi kayu untuk bahan pangan dan bahan industri tepung pati. Sebagian besar hasil usahatani dijual (75%). Kacang tanah ditanam pada awal musim hujan (Oktober-Nopember) selama 3-4 bulan (90-95 hari) dan dilanjutkan oleh ubi kayu selama 8-9 bulan secara bergiliran di lahan kering tadah hujan (tegalan) datar atau diteras. Luas lahan umumnya sempit 0,3-0,8 ha, lebih luas dari TPL 3. Modal usahatani kecil sampai sedang. Jumlah tenaga kerja tergolong sedang berasal dari dalam keluarga dan luar keluarga (25-50%). Pengolahan tanah dengan alat tangan: cangkul, garpu, kored, dll.
Ditanam
varietas lokal dan atau varietas unggul (a.l. Kidang, Gajah, Kelinci) pada bedengan berukuran 3-4 m x 8-10 m. Kebutuhan bibit (polong kering) kacang tanah sebanyak 80-100 kg/ha. Jarak tanam agak bervariasi 20-35 cm x 20-35 cm. Pemupukan dengan dosis per -hektar: 50-100 kg urea, 100-200 kg SP-36, 50-100
65
kg KCl dan 500-1000 kg bahan organik (bokasi, pupuk kandang kotoran ayam). Penyemprotan hama/penyakit dilakukan 1-2 kali sesuai kebutuhan dan biasanya pada saat terjadi serangan hama/penyakit. Penyiangan dilakukan 2-3 kali, yaitu 2 minggu, 4 minggu dan 6-8 minggu setelah tanam. Pada tanaman berumur 1 bulan dilakukan pembumbunan, biasanya bersamaan dengan penyiangan kedua. Ubi kayu ditanam setelah kacang tanah dipanen, dalam guludan dengan jarak tanam umumnya 1,0 x 0,8 m dan tidak diberikan pupuk lagi. Lokasi kebun umumnya dekat dengan jalan desa dan hasilnya mudah dijual ke pasar atau melalui tengkulak. Pendapatan keuntungan bersih tergolong rendah sampai sedang. Produktivitas Lahan Kering di Lokasi Penelitian Produktivitas lahan kering untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dengan input rendah dan sedang berdasarkan pada hasil percobaan lapangan di 7 lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10 dan Gambar 11. Hasil-hasil selengkapnya dari komponen produksi yang diamati dan diukur di lapangan diberikan pada Lamp iran 11 dan 12. Tabel 10. Produksi Rata-rata Jagung dan Kacang Tanah di Lokasi Penelitian
B1
Oxyaquic Dystrudept
Produktivitas Lahan (ton/ha/musim) Jagung Kacang Tanah (Biji kering) (Polong kering) TPL-1 TPL-2 TPL-3 TPL-4 2,712 Ba 4,890 Aa 1,505 Bb 2,205 Ab
B2
Typic Eutrudox
1,385 Bc
2,155 Ac
0,825 Bd
1,185 Ae
B3
Typic Hapludult
0,290 Be
1,185 Ad
0,610 Bf
1,065 Ae
B4
Typic Haplohumult
0,590 Bd
1,315 Ad
0,680 Bf
1,410 Ac
B5
Lithic Hapludoll
1,355 Bc
3,480 Ab
0,900 B c
1,560 Ac
B6
Aquic Eutrudept
1,885 Bb
4,805 Aa
1,680 Ba
2,670 Aa
B7
Typic Hapludalf
0,210 Be
2,080 Ac
0,720 Be
1,340 Ad
Kode Lokasi
Klasifikasi Tanah
Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil sama menurut kolom dan huruf besar sama menurut baris dalam kelompok variabel yang sama me nunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.
66
Produktivitas jagung dan kacang tanah di semua lokasi penelitian cukup beragam, terutama produksi tanaman jagung pada input rendah (TPL 1) mulai dari 0,210 ton/ha sampai 2,712 ton/ha biji kering dan untuk produksi kacang tanah (TPL 3) mulai dari 0,610 ton/ha sampai 1,680 ton/ha polong kering. Sedangkan pada TPL 2 untuk jagung dan TPL 4 untuk kacang tanah dengan input sedang memberikan produksi lebih tinggi dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan TPL input rendah, yaitu berkisar dari 1,185 ton/ha sampai 4,890 ton/ha biji kering jagung dan 1,065 ton/ha sampai 2,670 ton/ha polong kering kacang tanah. Uji Duncan pada taraf nyata 5% terhadap pengaruh lokasi (keragaman tanah) dan perlakuan pengelolaan lahan pada komponen produksi jagung dan kacang tanah menunjukkan perbedaan nyata. Keragaman produktivitas jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian tampaknya sangat berhubungan erat dengan keragaman bahan induk, perkembangan tanah dan pengelolaan lahannya.
5,5 4,89
Produksi Jagung (ton/ha)
5,0
4,8
4,5 4,0 3,48
3,5 3,0
2,71
2,5
2,16
2,08 1,89
2,0 1,39
1,5
1,31
1,19
1,0
1,37
0,59
0,5
0,29
0,21
0,0 B1
B2
TPL_1
B3
B4
B5
B6
B7
TPL_2
Gambar 11. Produksi Jagung pada Input Rendah (TPL 1) dan Input Sedang (TPL 2) di Lokasi Penelitian
67
Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan Kualitas lahan menunjukkan sifat-sifat lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu, biasanya terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan (FAO, 1976; Hardjowigeno et al., 1999). Mengacu kepada kualitas lahan yang digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering seperti dikemukakan oleh Djaenudin et al. (2003), FAO (1983) dan Sys et al., (1993), jenis-jenis kualitas lahan yang erat hubungannya dengan bahan induk dan perkembangan tanah adalah ketersediaan air, ketersediaan oksigen, ketersediaan hara, daya retensi hara, bahaya keracunan, kemudahan pengolahan tanah, dan bahaya erosi atau degradasi tanah. Kualitas lahan pada berbagai bahan induk dan perkembangan tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 11.
Pengaruh Bahan Induk terhadap Kualitas Lahan Karakteristik tanah yang menyusun kualitas lahan seperti pada Tabel 11 tersebut berasal dari sifat-sifat morfologi, mineralogi, fisika dan kimia tanah yang sangat dipengaruhi oleh bahan induk tanahnya. Ketersediaan air yang diduga dari pori air tersedia dari tanah -tanah yang berkembang dari bahan induk volkanik tergolong sedang (Lembaga Penelitian Tanah, 1974), yang berarti akan cukup tersedia air dalam tanah untuk tanaman. Bila curah hujan cukup dan tidak merupakan faktor pembatas, maka jumlah air yang tersedia dalam tanah tergantung dari jumlah pori air tersedia. Semakin besar kandungan pori air tersedia dalam tanah maka semakin besar kemampuan tanah untuk menyediakan air bagi tanaman. Berdasarkan pada jumlah pori air tersedia, tanah berbahan induk volkanik mempunyai kualitas lahan ketersediaan air yang relatif lebih baik dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen. Hal ini diduga karena pengaruh dari proses atau sifat batuan induk sedimen yang memadat (masif). Peningkatan ketersediaan air dalam tanah dapat disebabkan oleh pengaruh proses pelapukan bahan induk dan juga pengaruh kandungan bahan organik tanah (Hardjowigeno, 1995).
68
Tabel 11. Kualitas Lahan pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah di Lokasi Penelitian No 1 2
3
4
5
6
7
Kualitas/karakteristik lahan Ketersediaan air: Pori air tersedia (% vol) Ketersediaan oksigen: Kelas drainase tanah Pori drainase cepat (%vol) Ketersediaan hara: -Tingkat ketersediaan: N-total (%) P-tersedia (ppm) K-dd (me/100 g) -Indikator ketersediaan: Ph Nisbah Fe2O3 /liat -Indikator pembaharuan: K-total (mg/100 g) P-total (mg/100 g) Mineral dapat lapuk (%) Daya retensi hara: pH KTK-liat (cmol(+)/kg liat) Kejenuhan Basa (%) C-organik (%) Kondisi perakaran: Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman efektif (cm) Bobot isi (g/cm3) Bahaya keracunan: Al-dd (me/100 g tanah) Kejenuhan Al (%) Kemudahan pengolahan Tekstur lapisan atas(klas) Nisbah (pasir+debu)/liat Dominasi tipe liat
Volkanik Udept Udox (B1) (B2)
Sed imen masam Udult Humult (B3) (B4)
Sedimen basa Udoll Udept Udalf (B5) (B6) (B7)
13,9
11,5
10,3
12,3
11,0
11,8
12,0
at 11,1
b 17,7
b 7,8
b 12,8
s 9,8
at 10,2
s 12,3
0,18 79,90 0,68
0,16 14,32 0,13
0,20 10,80 0,14
0,28 12,70 0,22
0,20 16,60 0,14
1,13 50,60 0,13
0,10 5,40 0,05
5,0 0,06
4,8 0,07
4,2 0,10
4,2 0,07
6,5 0,06
5,6 0,10
5,1 0,10
32,00 160,0 38
6,00 36,0 3
9,00 37,0 2
12,00 38,0 10
9,00 19,0 10
9,00 98,0 3
6,00 18,0 1
5,0 28,71 49,0 1,39
4,8 14,61 47,5 1,22
4,2 26,67 13,5 1,66
4,2 42,00 30,0 1,95
6,5 64,95 99,0 1,30
5,6 47,49 100,0 1,01
5,1 46,11 69,0 0,91
halus <2% >120 1,11
halus <2% >120 0,98
halus <2% >120 1,07
halus <2% >120 0,89
halus <2% 46 1,04
halus <2% 120 1,29
halus <2% 120 1,28
0,35 3,7
1,47 16,0
9,43 81,0
7,34 59,0
0,00 0,0
0,00 0,0
4,34 33,5
liat 0,46 H
liat 0,12 K
liat 1,00 K/V
liat 0,29 M/K
liat 0,27 M/K
liat 1,01 M/K
liat 1,33 M/K
Bahaya erosi: Kepekaan erosi (K) 0,18 0,10 0,25 0,12 0,22 0,33 8 Lereng (%) <2% <2% <2% <2% <2% <2% Bahaya erosi sr sr sr sr sr sr Keterangan: Kelas drainase: at=agak terhambat, b=baik, s=sedang Tipe liat: H=haloisit, K=kaolinit, V=Vermikulit, M=montmorilonit Bahaya erosi: sr=sangat rendah
0,37 <2% sr
69
Ketersediaan oksigen ditentukan oleh kelas drainase tanah dan pori aerasi (pori drainase cepat). Kelas drainase tanah di lokasi penelitian termasuk baik sampai agak terhambat, umumnya baik sampai sedang. Drainase tanah agak terhambat lebih disebabkan oleh faktor penggunaan lahan, dimana lahan saat ini atau sebelumnya pernah disawahkan dalam waktu yang relatif lama. Secara umum, tanah-tanah dari bahan volkanik mempunyai drainase lebih baik dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen yang didukung oleh data pori drainase cepat. Pori drainase cepat dari tanah-tanah volkanik tergolong sedang (11,1-17,7% volume), sementara tanah-tanah dari batuan sedimen tergolong rendah sampai sedang (7,812,8% volume). Ini menunjukkan bahwa ketersediaan oksigen dalam tanah untuk pertumbuhan tanaman dari bahan volkanik relatif lebih baik daripada batuan sedimen. Ketersediaan oksigen dalam tanah berhubungan juga dengan kandungan bahan organik tanah. Kandungan bahan organik tanah yang tinggi cenderung meningkatkan ketersediaan oksigen dalam tanah. Ketersediaan hara dalam tanah dapat diduga dari indikator tingkat ketersediaan hara, indikator ketersediaan dan indikator pembaharuan hara (FAO, 1983). Tingkat ketersediaan hara ditetapkan dari N-total, P-tersedia dan K yang dapat dipertukarkan (K-dd). Indikator ketersediaan ditetapkan oleh pH tanah dan nisbah Fe2O3 /liat. Sedangkan indikator pembaharuan ditetapkan dari P dan K total serta jumlah mineral dapat lapuk. Kadar N-total, P-tersedia dan K-dd dalam tanah dari berbagai bahan induk agak bervariasi, terutama P-tersedia dari rendah sampai tinggi. Tingginya kadar P-tersedia pada sebagian lokasi penelitian (B1 dan B6) diduga akibat dari pengaruh penggunaan lahan dan pemberian pupuk P yang terus menerus ke dalam tanah. Pengaruh bahan induk terhadap ketersediaan hara sangat baik dicerminkan oleh pH tanah. Tanah-tanah dari bahan volkanik mempunyai pH tergolong masam, sedangkan tanah-tanah dari batuan sedimen masam tergolong sangat masam dan tanah -tanah dari batuan sedimen basa mempunyai pH tergolong lebih baik, umumnya agak masam sampai netral. Nilai nisbah Fe2O3 /liat tanah pada semua bahan induk tanah tampak sedikit bervariasi menunjukkan kandungan besi bebas hampir sama dan sedikit pengaruhnya terhadap ketersediaan hara, terutama P-tersedia (FAO, 1983). Mineral dapat lapuk menunjukkan cadangan hara dalam tanah. Pengaruh bahan induk tanah terhadap
70
ketersediaan hara dalam tanah sangat jelas dicerminkan olek kandungan mineral dapat lapuk dalam tanah (gelas volkan, feldspar, mineral feromagnesian). Tanah dari bahan volkanik mengandung lebih banyak mineral dapat lapuk dibanding tanah dari batuan sedimen. Kandungan mineral dapat lapuk pada tanah-tanah dari bahan volkanik relatif lebih baik daripada tanah -tanah dari batuan sedimen. Secara umum, ketersediaan hara dari tanah-tanah volkanik lebih baik daripada tanah tanah dari batuan sedimen. Tanah-tanah dari batuan sedimen masam memiliki ketersediaan hara yang paling rendah dibanding tanah-tanah dari kedua bahan induk lainnya. Pengaruh bahan induk terhadap daya retensi hara diduga dari pH, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa (KB). Reaksi tanah (pH) yang optimum untuk kebanyakan tanaman adalah 5,5-7,0. Terlalu rendah pH (<4,0) dan terlalu tinggi pH (>7,5) menyebabkan tidak tersedianya hara yang dibutuhkan tanaman. Reaksi tanah yang sangat masam dapat meningkatkan kelarutan unsur yang bersifat racun (Al). Pengaruh bahan induk terhadap ketersediaan dan retensi hara sangat baik dicerminkan oleh pH tanah. Reaksi tanah dari bahan volkan relatif lebih baik dari tanah batuan sedimen masam, sedangkan pH tanah dari batuan sedimen basa (batu gamping) lebih tinggi dan mendekati netral. Pengaruh bahan induk tanah sangat besar terhadap KTK tanah, terutama berhubungan dengan kandungan tipe liat di dalam tanah. Tanah dari bahan volkanik mempunyai KTK liat relatif lebih rendah dibanding tanah -tanah dari batuan sedimen yang mengandung tipe liat 2:1 (montmorilonit). Pengaruh bahan induk terhadap daya retensi hara juga dicerminkan oleh kejenuhan basa tanah. Kejenuhan basa dari tanah-tanah volkanik relatif lebih tinggi dibanding tanah -tanah dari batuan sedimen masam Jasinga, sedangkan kejenuhan basa dari tanah -tanah sedimen basa Jonggol tergolong sangat tinggi dan mencapai 100%. Kejenuhan basa tinggi yang disertai KTK tanah tinggi mencerminkan daya retensi hara tinggi dan sebaliknya semakin kecil kejenuhan basa dan KTK tanah menunjukkan daya retensi hara yang rendah. Daya retensi hara tinggi berarti tanah mempunyai kemampuan memegang hara dengan kuat dan hara tidak mudah hilang karena pencucian.
71
Pengaruh bahan induk terhadap kondisi perakaran diduga dari tekstur, kandungan bahan kasar (kerikil atau batu-batuan) kedalaman efektif tanah dan bobot isi (BD). Kandungan bahan kasar dan tekstur tanah hampir sama untuk semua bahan induk tanah di lokasi penelitian, walaupun sedikit bervariasi dari kandungan liatnya. Kedalaman efektif tanah menggambarkan kedalaman tanah yang dapat ditembus akar tanaman dengan mudah dan tanpa mendapatkan hambatan. Tanah-tanah volkanik yang mudah terlapuk memiliki kedalaman efektif yang relatif lebih dalam dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen. Tanah-tanah dari batugamping Jonggol memiliki kedalaman efektif relatif lebih dangkal dibanding dengan tanah-tanah dari bahan volkanik dan batuan sedimen masam (bertufa) Jasinga. Hal ini diduga karena batuan induk dari batugamping relatif lebih lambat melapuk dan tanah yang terbentuk sangat peka atau lebih mudah tererosi. Bobot isi tanah menunjukkan besarnya pengaruh tanah terhadap tingkat kepadatan tanah dan daya penetrasi atau perkembangan akar tanaman. Bobot isi tanah lebih dari 1,5 g/cm3 dianggap tanah telah memadat dan menghambat pertumbuhan akar tanaman. Di lokasi penelitian nilai BD tanah berkisar dari 0,89 sampai 1,29 g/cm3, masih di bawah 1,5 g/cm3, sehingga belum merupakan pembatas terhadap pertumbuhan tanaman. Pengaruh bahan induk terhadap bobot isi tanah dari tanah-tanah volkanik dan batuan sedimen masam (bertufa) tidak begitu jelas.Tanah dari kedua bahan tersebut memiliki bobot isi yang hampir sama (rata-rata 1,04-0,98 g/cm3) namun agak berbeda dibanding bobot isi tanah dari sedimen basa yang menunjukkan lebih tinggi (rata-rata 1,2 g/cm3). Ditinjau dari media perakaran tanaman, terutama berdasarkan kedalaman efektif dan bobot isi tanah, maka tanah -tanah dari bahan volkanik relatif lebih baik daripada batuan sedimen, kemudian diikuti oleh tanah-tanah dari batuan sedimen (bertufa) masam dan batuan sedimen basa. Namun karena tujuan penilaiannya untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah yang memerlukan kedalaman perakaran tanaman yang relatif dangkal, maka perbedaan kondisi perakaran yang ada pada setiap bahan induk tanah tidak akan banyak berpengaruh terhadap produktivitas tanaman.
72
Pengaruh bahan induk terhadap bahaya keracunan dapat diduga dari Al-dd atau kejenuhan aluminium (K-Al). Kejenuhan aluminium lebih besar dari 60% sudah tergolong sangat tinggi dan dapat bersifat racun bagi beberapa jenis tanaman pangan (Hardjowigeno, 1993). Tanah -tanah dari bahan volkanik mempunyai kejenuhan aluminium yang lebih rendah (3,7-16,0%) dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen masam yang mempunyai kejenuhan aluminium sangat tinggi (59-81%), sedangkan tanah-tanah dari batuan induk sedimen basa umumnya mempunyai kejenuhan aluminium sangat rendah (mendekati 0), kecuali pada tanah yang lebih berkembang (B7) tergolong sedang (33,5%). FAO (1983), memasukkan faktor kedalaman karbonat ke dalam kualitas lahan bahaya keracunan. Pengaruh bahaya keracunan yang ditimbulkan karbonat bersifat tidak langsung, lebih kepada pengaruh konsentrasi karbonat yang tinggi sehingga akar tanaman dijenuhi unsur Ca dan menghalangi akar tanaman menyerap hara lainnya. Kadar Ca yang tinggi dalam tanah dapat menyebabkan tidak tersedianya P dan hara mikro (Cu, Fe, Zn, B, Mo) serta menghambat serapan hara K dan Mg bagi tanaman. Semakin dangkal kedalaman karbonat maka berpotensi menimbulkan bahaya keracunan atau kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman. Di lokasi penelitian, tanah yang kemungkinan bermasalah karena mempunyai kedalaman karbonat relatif dangkal adalah Brown Forest Soil (B5) di Jonggol. Kejenuhan Ca dari tanah-tanah volkanik dan tanah dari sedimen basa tergolong tinggi, yaitu rata-rata 68,9% untuk tanah volkanik dan 79,5% untuk tanah dari sedimen basa, sedangkan tanah dari batuan sedimen masam termasuk rendah (rata-rata 23,2%). Pengaruh konsentrasi karbonat atau kejenuhan Ca tinggi, sekalipun terdapat pada tanah dangkal dari batugamping, seperti Renzina dan atau Brown Forest Soil di Jonggol, namun sampai saat ini belum ditemukan adanya kasus pengaruh bahaya keracunan yang serius terhadap tanaman (FAO, 1983). Kemudahan pengolahan tanah diduga dari tekstur tanah, nisbah % (pasir+debu)/%liat dan komposisi mineral liat tanah. Semakin halus tekstur tanah maka akan semakin sulit tanah diolah, apalagi bila tanah tersebut didominasi oleh tipe liat 2:1, tanah lengket bila dicangkul dan menjadi keras dan retak -retak pada musim kemarau. Semakin besar nilai nisbah % (pasir+debu)/%liat, maka semakin
73
mudah tanah diolah, karena semakin sedikit kandungan liat dalam tanah. Kelas tekstur tanah di semua lokasi penelitian tergolong sama, yaitu liat, sehingga pengaruh bahan induk dan perkembangan tanah terhadap kemudahan pengolahan tanah ditinjau dari tekstur tanah tidak tampak berbeda. Pengaruh bahan induk terhadap kualitas lahan ini lebih jelas terlihat dari nisbah %(pasir+debu)/%liat dan kandungan tipe liat tanah. Tanah-tanah dari bahan volkanik mempunyai nilai nisbah % (pasir+debu)/ %liat berkisar dari 0,12 – 0,46, relatif lebih kecil dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen, berkisar dari 0,29 -1,00 untuk tanah dari batuan sedimen masam dan 0,27-1,33 untuk tanah dari batuan sedimen basa. Ini berarti kandungan liat dari tanah-tanah volkanik relatif lebih tinggi dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen, namun karena kandungan tipe liatnya didominasi tipe 1:1 dan struktur tanahnya remah atau gumpal halus sehingga menjadi tidak sulit diolah. Sedangkan pada tanah-tanah dari batuan sedimen, walaupun mempunyai nilai nisbah lebih besar, yang berarti kandungan liatnya lebih rendah, namun masih di atas 40% dengan tipe liat didominasi 2:1 menyebabkan pengolahan tanah menjadi lebih berat dan tanah lebih lengket bila dicangkul, seperti pada tanah-tanah di Jonggol (B5, B6). Pada sebagian tanah Jasinga (B4), meskipun kandungan liatnya tinggi dan tipe liat didominasi oleh tipe 2:1, tetapi karena kandungan bahan organiknya juga cukup tinggi, maka tanah tersebut masih mudah diolah. Bahaya erosi dapat diduga dari kepekaan erosi tanah (soil erodibility), yang dapat ditetapkan dengan bantuan nomograf erodibilitas tanah (Wischmeier et. al., 1971 dalam Arsyad, 1989). Hasil penetapan nilai kepekaan erosi tanah (K) dari tanah-tanah di lokasi penelitian berkisar dari 0,10 sampai 0,37, sangat rendah sampai agak tinggi (Arsyad, 1989). Tanah -tanah dari bahan volkanik mempunyai nilai K sebesar 0,10 sampai 0,18, tergolong sangat rendah sampai rendah, relatif lebih kecil bila dibanding dengan tanah -tanah dari batuan sedimen. Tanah-tanah dari batuan sedimen masam memiliki nilai K berkisar dari 0,12 sampai 0,25, tergolong rendah sampai sedang, lebih rendah dari tanah-tanah dari batuan sedimen basa yang mempunyai nilai K= 0,22 sampai 0,37, sedang sampai agak tinggi. Berdasarkan bahan induk tanahnya, dapat dikemukakan bahwa tanah-tanah dari batuan sedimen basa (batu gamping) mempunyai kepekaan erosi yang lebih
74
tinggi daripada tanah-tanah dari batuan sedimen masam dan bahan volkanik. Tanah-tanah dari bahan volkanik memiliki kepekaan erosi yang paling rendah dibanding tanah-tanah dari kedua bahan induk lainnya. Berdasarkan keadaan lereng dan hasil perhitungan besarnya erosi yang terjadi di lokasi penelitian menunjukkan bahaya erosi yang terjadi pada semua tanah dari berbagai bahan induk tergolong sangat rendah. Berdasarkan uraian diatas, secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruh bahan induk di lokasi penelitian tampak sangat jelas terhadap kualitas lahan ketersediaan hara, retensi hara dan bahaya keracunan. Ketersediaan hara tampak lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pengelolaan lahan. Terhadap kualitas lahan lainnya, yaitu ketersediaan air, ketersediaan oksig en, kondisi perakaran, kemudahan pengolahan tanah, dan bahaya erosi kurang tampak atau sedikit sekali dipengaruhi oleh bahan induk tanah.
Pengaruh Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan Secara umum dapat dikemukakan bahwa perkembangan tanah dari tanah tanah yang berkembang dari semua bahan induk tanah yang diteliti pada tingkat lanjut cenderung menurunkan kualitas lahan (Tabel 11). Tampak jelas pengaruh perkembangan tanah pada kualitas lahan ketersediaan air, ketersediaan oksigen, ketersediaan hara, daya retensi hara, kondisi perakaran, bahaya keracunan, kemudahan pengolahan tanah dan bahaya erosi. Perkembangan tanah dari bahan volkanik tampak menurunkan jumlah pori air tersedia atau ketersediaan air. Hal ini diduga berhubungan dengan proses pelapukan bahan induk yang menghasilkan jumlah liat tinggi dan membentuk struktur tanah remah halus, sehingga meningkatkan jumlah pori aerasi dan sebaliknya menurunkan jumlah pori air tersedia. Hal yang sama terjadi pada tanah-tanah dari batuan sedimen masam di Jasinga yang telah tercampuri di atasnya oleh bahan volkanik masam (tufa dasitik). Pada tanah -tanah yang berasal dari batuan sedimen basa (batu gamping) di Jonggol, perkembangan tanah dapat meningkatkan jumlah pori air tersedia, hal ini diduga berkaitan dengan proses pembentukan dan perkembangan struktur tanah dari masif, lempeng, atau gumpal bersudut kasar menjadi gumpal atau gumpal bersudut halus. Perkembangan tanah
75
juga cenderung meningkatkan jumlah pori aerasi tanah yang berarti juga meningkatkan ketersediaan oksigen tanah. Pengaruh perkembangan tanah terhadap ketersediaan hara dicerminkan oleh kadar hara tersedia dan hara cadangan dalam tanah (P dan K-total, mineral dapat lapuk) serta pH tanah. Perkembangan tanah cenderung menurunkan hara tersedia dan pH tanah. Penurunan pH tanah diduga terjadi akibat pelepasan dan pencucian kation-kation basa tanah (Na, K, Ca, Mg), yang berarti juga menurunkan ketersediaan hara dalam tanah. Perkembangan tanah pada tahap lanjut juga menurunkan kandungan mineral dapat lapuk dalam tanah, seperti tampak jelas pada tanah-tanah volkanik, Dystrudept (B1) dibanding Eutrudox (B2). Nilai nisbah Fe2O3 /liat untuk semua jenis bahan induk tidak terlalu tampak berbeda, berkisar dari 0,6 sampai 1,0. Perkembangan tanah cenderung meningkatkan nilai nisbah Fe2O3/liat, yang berarti meningkatkan kadar besi bebas dalam tanah yang selanjutnya dapat menurunkan ketersediaan hara dalam tanah, terutama P-tersedia akan terikat oleh besi bebas (Fe-P) menjadi bentuk tidak tersedia dalam tanah (FAO, 1983). Perkembangan tanah berpengaruh terhadap daya retensi hara, yang dicerminkan oleh pH, KTK, KB dan bahan organik tanah. Pada tahap lanjut, perkembangan tanah menurunkan daya retensi hara. Nilai KTK liat menurun sejalan dengan perkembangan tanah akibat perubahan atau menurunnya kandungan tipe liat 2:1 di dalam tanah berbahan induk batuan sedimen dan perubahan mineral liat haloisit menjadi kaolinit pada tanah volkanik. Pada perkembangan tanah Dystrudept menjadi Eutrudox dari bahan volkanik terjadi perubahan min eral liat haloisit menjadi kaolinit, dan dimungkinkan juga terbentuk goetit seperti dilaporkan oleh Subardja dan Buurman (1980), diikuti oleh penurunan KTK liat dari 28,7 cmol(+)/kg liat menjadi 14,6 cmol(+)/kg liat. Hal yang sama terjadi pada tanah -tanah berbahan induk batuan sedimen masam dan basa. Perubahan kemasaman tanah (pH) menjadi lebih masam atau sangat masam akibat pencucian kation-kation basa dalam tanah mengakibatkan terjadinya perubahan atau penurunan kadar montmorilonit menjadi kaolinit, diikuti oleh penurunan KTK-liat tanah. Besarnya KTK tanah selain berasal dari sumbangan
76
jumlah dan jenis liat dalam tanah juga berasal dari sumbangan bahan organik tanah. Perkembangan tanah cenderung menurunkan kadar bahan organik tanah. Perkembangan tanah ditandai oleh peningkatan kadar liat sebagai koloid aktif dalam tanah yang dapat meningkatkan ketersediaan hara dan daya retensi hara di dalam tanah serta memberikan kemudahan akar tanaman dapat berkembang. Namun ini sangat ditentukan oleh jumlah dan tipe liat di dalam tanah. Bahan volkanik relatif lebih mudah melapuk dibanding batuan sedimen (batuliat, napal dan atau batugamping) yang masif, sehingga mendorong terbentuknya tanah-tanah bersolum dalam dengan kadar liat tinggi. Sedangkan batuan sedimen relatif lambat melapuk sehingga membentuk tanah-tanah yang relatif dangkal dengan kandungan liat relatif rendah. Pada tanah volkanik, pengaruh perkembangan tanah cenderung meningkatkan kadar liat tanah, sedangkan tanah-tanah dari batuan sedimen menunjukkan hal sebaliknya dimana perkembangan tanah menurunkan kadar liat tanah. Hal ini diduga karena pada tanah-tanah dari batuan sedimen, terutama batuan sedimen basa, liat didominasi oleh tipe liat 2:1 yang mudah terdispersi sehingga mudah tererosi. Pengaruh perkembangan tanah terhadap bobot isi tidak begitu jelas pada tanah-tanah volkanik. Pada tanah -tanah dari batuan sedimen, terutama batuan sedimen basa, perkembangan tanah cenderung meningkatkan bobot isi tanah. Perkembangan tanah cenderung meningkatkan Al-dd atau kejenuhan aluminium dan mendorong terjadinya bahaya keracunan bagi tanaman. Kejenuhan aluminium diatas 60% dapat mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman (Hardjowigeno, 1993). Dalam kaitan ini, tanah -tanah dari bahan volkanik dan batuan sedimen basa memiliki Al-dd atau kejenuhan aluminium rendah sampai sangat rendah, sedangkan tanah -tanah dari batuan sedimen masam mengandung Al-dd dan kejenuhan aluminium sangat tinggi yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Pengaruh perkembangan tan ah terhadap tingkat kemudahan pengolahan tanah tampak pada tanah-tanah dari bahan volkanik menurunkan nilai nisbah atau meningkatkan kandungan liat yang berarti juga meningkatkan kesulitan pengolahan tanah. Sedangkan untuk tanah -tanah dari batuan sedimen berlaku sebaliknya, perkembangan tanah meningkatkan nilai nisbah atau menurunkan
77
kadar liat dan kandungan tipe liat 2:1, sehingga meningkatkan kemudahan dalam pengolahan tanah. Dalam praktek, walaupun tanah -tanah dari bahan volkanik mengandung liat relatif tinggi tetapi karena didominasi tipe liat 1:1 maka dalam pengolahan tanahnya relatif mudah dibanding tanah-tanah dari batuan sedimen yang mengandung liat lebih rendah dengan tipe liat yang didominasi oleh 2:1. Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Produksi Tanaman Data rata-rata produksi jagung dan kacang tanah di 7 lokasi penelitian dari 3 jenis bahan induk dan 7 macam tanah pada 4 tipe penggunaan lahan (TPL) disajikan pada Tabel 12. Produksi jagung dan kacang tanah pada berbagai macam tanah dan tingkat pengelolaan lahan disajikan pada Gambar 12. Tabel 12. Produksi Tanaman pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah di Lokasi Penelitian No. TPL
1.
2.
3.
4.
Komponen Produksi
Jagung, input rendah Brangkasan kering Biji kering Jagung, input sedang Brangkasan kering Biji kering Kacang, input rendah Brangkasan kering Polong kering Kacang, input sedang Brangkasan kering Polong kering
Volkanik Udept Udox (B-1) (B-2) (t/ha) (t/ha)
Sedimen masam Udult Humult (B-3) (B-4) (t/ha) (t/ha)
Udoll (B-5) (t/ha)
Sedimen basa Udept Udalf (B-6) (B-7) (t/ha) (t/ha)
4,190 2,712
1,870 1,385
0,425 0,290
1,375 0,590
1,765 1,355
3,220 1,885
0,415 0,210
6,280 4,890
2,780 2,155
2,015 1,185
3,545 1,315
4,915 3,480
6,155 4,805
3,020 2,080
2,305 1,505
1,410 0,825
1,175 0,610
1,430 0,680
1,460 0,900
2,465 1,680
1,235 0,720
3,770 2,205
1,990 1,185
1,815 1,065
2,305 1,410
2,900 1,560
4,635 2,670
2,235 1,340
Pengaruh Bahan Induk terhadap Produksi Tanaman Pada semua TPL yang d iterapkan, produksi jagung dan kacang tanah dengan input rendah dan sedang, baik dalam bentuk bobot rata-rata brangkasan kering maupun biji kering atau polong kering menunjukkan hasil yang cukup bervariasi pada setiap bahan induk dan macam tanah.
78
Gambar 12. Produksi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah pada Berbagai Jenis Tanah dan Tingkat Pengelolaan Lahan di Lokasi Penelitian
79
Pada TPL 1, produksi jagung dengan input rendah, dalam bentuk brangkasan kering menunjukkan kisaran hasil dari 0,485 sampai 4,190 ton/ha dan untuk biji kering berkisar dari 0,210 sampai 2,712 ton/ha. Produksi brangkasan dan biji kering dari tanah-tanah volkanik relatif lebih tinggi bila dibanding dengan tanah-tanah dari bahan induk lainnya, yaitu sebesar 1,870 – 4,190 ton/ha atau ratarata produksi 3,030 ton/ha untuk brangkasan kering dan 1,385 – 2,712 ton/ha atau rata-rata 2,048 ton/ha untuk biji kering. Produksi brangkasan dan biji kering dari tanah-tanah yang berkembang dari batuan sedimen basa lebih rendah, berkisar dari 0,485 – 3.220 ton/ha atau rata-rata 1,825 ton/ha brangkasan kering dan 0,210 – 1,885 ton/ha atau rata-rata 1,151 ton/ha biji kering. Sedangkan untuk tanah tanah dari batuan sedimen masam, hasilnya sangat rendah, yaitu berkisar dari 0,425 – 1,375 ton/ha atau rata-rata 0,900 ton/ha brangkasan kering dan 0,290 – 0,590 ton/ha atau rata-rata 0,440 ton/ha biji kering. Pada TPL 2, produksi jagung dengan input sedang menunjukkan hasil yang lebih tinggi bila dibanding dengan produksi pada TPL 1, yaitu 2,15 kali untuk brangkasan kering dan 2,40 kali lebih besar untuk biji kering jagung. Produksi tertinggi yaitu 6,280 ton/ha brangkasan kering dan 4,890 ton/ha biji kering jagung dicapai oleh Dystrudept dari bahan volkanik, sedangkan produksi terendah sebesar 2,015 ton/ha brangkasan kering dan 1,185 ton/ha biji kering jagung pada Hapludult Jasinga dari batuan sedimen masam. Pengaruh bahan induk tanah terhadap produksi jagung juga terlihat jelas pada TPL 2, seperti halnya pada TPL 1. Produksi jagung rata-rata tertinggi dicapai oleh tanah-tanah dari bahan volkanik, kemudian diikuti oleh tanah -tanah dari batuan sedimen basa dan terendah pada tanah-tanah dari batuan sedimen masam. Rendahnya hasil dari Hapludult-Jasinga yang berkembang dari batuan sedimen masam diduga disebabkan oleh pengaruh kemasaman tanah dan tingginya kadar aluminium yang bersifat racun terhadap tanaman serta rendahnya ketersediaan hara, terutama Ptersedia di dalam tanah. Produksi rata-rata kacang tanah pada TPL 3 (input rendah), baik berupa brangkasan kering maupun polong kering pada ketiga bahan induk tanah terlihat hampir sama dan menunjukkan perbedaan hasil yang tidak begitu nyata, walaupun tampak pada bahan volkanik relatif sedikit lebih baik. Produksi rata-rata
80
brangkasan kering berdasarkan bahan induk tanah adalah 1,857 ton/ha dari bahan volkanik, 1,302 ton/ha dari batuan sedimen masam dan 1,720 ton/ha dari batuan sedimen basa. Produksi rata-rata polong kering 1,165 ton/ha dari bahan volkanik, 0,625 ton/ha dari batuan sedimen masam dan 1,100 ton/ha dari batuan sedimen basa. Produksi kacang tanah berdasarkan macam tanahnya menunjukkan variasi hasil yang cukup besar dan tampak pengaruh perkembangan tanah terhadap penurunan produktivitas lahan. Produksi brangkasan kering berkisar dari 1,235 sampai 2,465 ton/ha dan polong kering 0,610 sampai 1,680 ton/ha. Produksi kacang tanah tertinggi (2,465 ton/ha brangkasan kering dan 1,680 ton/ha polong kering) diperoleh dari Eutrudept (B6) yang berkembang dari batuan sedimen basa dan produksi terendah sebesar 1,175 ton/ha brangkasan kering dan 0,610 ton/ha polong kering pada Hapludult dari batuan sedimen masam. Produksi kacang tanah yang relatif lebih baik pada sebagian tanah yang berkembang dari batuan sedimen basa (batu gamping) diduga karena lingkungan kimia tanahnya sangat mendukung pertumbuhan tanaman, yaitu kemasaman tanah, kejenuhan basa, ketersediaan hara terutama Ca-dd lebih baik dan kejenuhan aluminium sangat rendah. Sebaliknya dengan Hapludult dari batuan sedimen masam memiliki reaksi tanah yang sangat masam, kejenuhan basa dan Ca-dd sangat rendah dan kejenuhan Al sangat tinggi (73-89%). Produksi kacang tanah pada TPL 4 (input sedang) menunjukkan perbedaan hasil sangat nyata bila dibanding dengan TPL 3 (input rendah), yaitu 1,73 kali lebih tinggi untuk produksi brangkasan kering dan 1,58 kali lebih tinggi untuk produksi polong kering. Pada TPL 4 hampir sama halnya seperti pada TPL 3, bahwa produksi rata-rata kacang tanah berdasarkan asal bahan induk tanahnya tidak menunjukkan hasil yang begitu berbeda, berkisar dari 2,880 – 3,256 ton/ha brangkasan kering dan 1,695 – 1,856 ton/ha polong kering, walaupun masih tampak bahwa produksi rata-rata kacang tanah pada bahan induk batuan sedimen basa relatif lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa pengaruh bahan induk tidak begitu besar terhadap produksi kacang tanah, yang berarti juga bahwa tanaman kacang tanah cukup toleran dan dapat berproduksi cukup baik pada ketiga jenis bahan induk tanah tersebut.
81
Besarnya produksi yang diakibatkan oleh pengaruh perbedaan pengelolaan lahan, baik terhadap jagung maupun kacang tanah pada tanah -tanah dari bahan induk berbeda cukup bervariasi. Pengaruh pengelolaan lahan dengan input sedang dibanding input rendah terhadap produksi biji kering jagung dan polong kering kacang tanah berturut-turut adalah Dystrudept: 1,80 dan 1,46 kali lebih besar; Eutrudox: 1,55 dan 1,46; Hapludult: 4,08 dan 1,74; Haplohumult: 2,22 dan 1,46; Hapludoll: 2,56 dan 1,73; Eutrudept: 2,54 dan 1,58; dan Hapludalf: 9,90 dan 1,86. Dari data produksi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada tingkat pengelolaan lahan dengan input sedang pada semua macam tanah dari bahan induk berbeda, baik untuk tanaman jagung maupun kacang tanah, dapat menghasilkan produksi lebih tinggi dan berbeda nyata bila dibanding dengan input rendah, berkisar dari 1,55-9,90 kali lebih tinggi untuk produksi biji kering jagung dan 1,46-1,86 kali lebih tinggi untuk produksi polong kering kacang tanah. Tanaman jagung sangat responsif terhadap perbedaan pengelolaan lahan dan jenis bahan induk atau tanah yang diperlihatkan oleh produksinya yang sangat bervariasi. Pada tanah-tanah yang telah berkembang dengan kesuburan tanah relatif rendah, pada pengelolaan lahan dengan input sedang dapat meningkatkan produksi jagung sangat nyata, misalnya pada Hapludalf Jonggol dan Hapludult Jasinga mencapai 10 dan 4 kali lebih tinggi dibanding dengan input rendah. Sementara pada Eutrudox dari Gunung Sindur, kenaikan produksi jagung hanya 1,55 kali, paling kecil kenaikannya bila dibanding dengan tanah-tanah lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan kandungan tipe liat dalam tanah yang dapat meningkatkan efisensi pemupukan. Sedangkan pada kacang tanah kenaikan produksi akibat pengelolaan lahan hampir merata pada semua bahan induk dan tanah (berkisar 1,46-1,86), artinya tanaman kacang tanah sangat toleran pada berbagai macam bahan induk dan tanah. Produksi jagung dan kacang tanah pada Dystrudept dari bahan volkanik dan Eutrudept dari batuan sedimen basa, pada tingkat pengelolaan lahan berbeda, menunjukkan produksi cukup tinggi, diduga lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pengelolaan tanah sebelumnya, dimana kandungan P -tersedia pada lapisan atas tanah -tanah tersebut sangat tinggi.
82
Pengaruh Perkembangan Tanah terhadap Produksi Tanaman Tanaman Jagung. Perkembangan tanah berpengaruh terhad ap penurunan produksi jagung, baik bobot brangkasan kering maupun bobot biji kering jagung. Pada TPL 1, produksi jagung dari Dystrudept adalah 4,190 ton/ha brangkasan dan 2,712 ton/ha biji kering dan Eutrudox yang telah berkembang lanjut dari bahan induk yang sama, lebih rendah yaitu sebesar 1,870 ton/ha brangkasan dan 1,385 ton/ha biji kering. Hapludult yang lebih berkembang dari Haplohumult dari batuan sedimen masam menghasilkan produksi jagung yang lebih rendah, 0,290 ton/ha dibanding 0,590 ton/ha biji kering. Demikian juga halnya Hapludalf dari batuan sedimen basa yang lebih berkembang dari Hapludoll dan Eutrudept, berproduksi jauh lebih rendah, yaitu hanya 0,210 ton/ha biji kering jagung dibanding 1,355 dan 1,885 ton/ha. Produksi biji kering jagung tertinggi pada Dystrudept dari bahan volkanik (2,712 ton/ha) dan produksi terendah (0,210 ton/ha) pada Hapludalf Jonggol dari batuan sedimen basa (batu gamping). Hal ini berhubungan dengan ketersedian hara dalam tanah, terutama P-tersedia yang tergolong sangat rendah pada tanah tersebut. Pada TPL 2, produksi jagung lebih tinggi dan berbeda nyata bila dibanding dengan produksi pada TPL 1. Pada tingkat pengelolaan lahan tersebut, pengaruh perkembangan tanah terhadap produksi masih tampak jelas menunjukkan perbedaan hasil yang cenderung menurun. Misalnya, produksi biji kering jagung pada Dystrudept (4,890 ton/ha) dibanding Eutrudox (2,155 ton/ha), Haplohumult (1,315 ton/ha) dibanding Hapludult (1,185 ton/ha) dan Hapludoll (3,480 ton/ha) atau Eutrudept (4,805 ton/ha) dibanding Hapludalf (2,080 ton/ha). Tanaman Kacang Tanah. Pengaruh perkembangan tanah terhadap produksi kacang tanah menunjukkan penurunan produksi baik terhadap bobot brangkasan kering maupun bobot polong kering. Pada TPL 3, bobot polong kering kacang tanah pada Dystrudept (1,505 ton/ha) lebih baik dibanding Eutrudox (0,825 ton/ha) dari bahan volkanik, demikian juga halnya dengan Haplohumult (0,680 ton/ha) dari batuan sedimen masam dibanding Hapludult (0,610 ton/ha), dan Eutrudept (1,680 ton/ha) dari batuan sedimen basa dibanding dengan Hapludalf (0,720 ton/ha). Produksi kacang tanah tertinggi dicapai pada Eutrudept sebesar 2,465 ton/ha brangkasan kering dan 1,680 ton/ha polong kering, dan
83
terendah pada Hapludult, sebesar 1,175 ton/ha brangkasan kering dan 0,610 ton/ha polong kering. Pada TPL 4, pengaruh perkembangan tanah pada tahap lanjut masih menunjukkan perbedaan produksi yang cenderung menurun. Misalnya pada Dystrudept dari bahan volkanik dibanding Eutrudox dari bahan induk yang sama. Demikian juga perkembangan tanah pada bahan induk lainnya, seperti Haplohumult terhadap Hapludult dari batuan sedimen masam dan Eutrudept terhadap Hapludalf dari batuan sedimen basa. Produksi kacang tanah tertinggi seperti halnya pada TPL 3, dicapai pada Eutrudept dari batuan sedimen basa, sebesar 4,635 ton/ha brangkasan kering dan 2,670 ton/ha polong kering, sedangkan produksi terendah pada Hapludult dari batuan sedimen masam, sebesar. 1,815 ton/ha brangkasan kering dan 1,065 ton/ha polong kering. Secara spesifik, produksi kacang tanah pada Dystrudept dibanding dengan Eutrudox dari bahan induk yang sama (bahan volkanik), menunjukkan perbedaan hasil yang cukup nyata dan terlihat menurun, yaitu untuk brangkasan kering 3,770 ton/ha dibanding 1,990 ton/ha dan 2,205 ton/ha dibanding 1,185 ton/ha polong kering. Hal yang sama juga terlihat pada Haplohumult dibanding Hapludult dari batuan sedimen masam dan Eutrudept dibanding Hapludalf dari batuan sedimen basa.
Hubungan Kualitas Lahan dan Produksi Tanaman
Kualitas lahan dapat terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya untuk penggunaan tertentu. Banyak kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang telah diidentifikasi untuk tujuan evaluasi kesesuaian lahan bagi tanaman pangan di lahan kering, antara lain oleh CSR/FAO (1983), FAO (1983), Sys et al. (1993), dan terakhir oleh Djaenudin et al. (2003). Beberapa kualitas lahan yang digunakan sebagai faktor pembeda terhadap tipe penggunaan lahan berbasis tanaman jagung dan kacang tanah di lahan kering beriklim basah adalah ketersediaan air, ketersediaan oksigen, ketersediaan hara, daya retensi hara, kondisi perakaran, bahaya keracunan, kemudahan pengolahan tanah, dan bahaya erosi. Secara lengkap, kualitas lahan dan karakteristik lahan yang diidentifikasi, kisaran nilai karakteristik lahan dan kebutuhan optimum tanaman jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 13.
84
Pada Tabel 13 terlihat bahwa faktor iklim yang terdiri dari kualitas lahan suhu udara dan ketersediaan air, serta ketersediaan oksigen, kondisi perakaran, kemudahan pengolahan tanah dan bahaya erosi untuk tanaman jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian yang merupakan lahan kering beriklim basah termasuk cukup sesuai dan tidak menjadi pembatas terhadap penggunaannya.
Tabel 13. Kualitas Lahan dan Kebutuhan Optimum Tanaman No 1 2
3
4
5
6
7 8
9
Kualitas Lahan Suhu udara: Suhu udara rata-rata bulanan (oC) Ketersediaan air: Curah hujan selama tumbuh (mm) Pori air tersedia (% volume) Ketersediaan oksigen: Kelas drainase tanah Pori drainase cepat (% volume) Ketersediaan hara: N-total (%) P-tersedia (ppm) K-dd (me/100 g tanah) Daya retensi hara: pH KTK liat (cmol(+)/kg liat) Kejenuhan basa (%) C-organik (%) Kondisi perakaran: Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman efektif (cm) Bobot isi (g/cm3) Bahaya keracunan: Kejenuhan aluminium (%) Pengolahan tanah: Batuan dipermukaan (%) Singkapan batuan (%) Bahaya erosi: Kepekaan erosi (K) Lereng (%) Bahaya erosi
Kisaran nilai
Kebutuhan Optimum1) Kacang Jagung tanah
25,7-27,5
20-27
25-30
800-1500 10,3-13,9
500-1200 10-15
400-1100 10-15
at-b 10,2-17,7
at-b 10-15
at-b 10-15
0,10-0,28 5,4-79,9 0,05-0,68
> 0,20 > 15 > 0,4
> 0,20 > 15 > 0,4
4,2-6,5 14,6-64,9 20-99 0,91-1,95
5,6-7,0 > 24 > 50 > 1,00
6,0-7,0 > 24 > 35 > 1,20
halus <2% 46-150 0,98-1,29
sed-halus <15 > 40 < 1,50
sed-halus <15% > 40 < 1,50
0-81
< 20
< 20
<2% <2%
<5% <5%
<5% <5%
0,10-0,37 <2% sr
< 0,20 <8% sr
< 0,20 <8% sr
1)
menurut Djaenudin et al. (2003), CSR/FAO (1983), Wood dan Dent (1983); Sumarno (1995; 2003)
85
Kualitas lahan ketersediaan hara, daya retensi hara dan bahaya keracunan aluminium yang umum menjadi kendala di lahan kering tampaknya akan sangat menentukan tingkat produktivitas lahan kering di lokasi penelitian. Seperti telah dibahas, bahwa keragaman produksi dari hasil percobaan lapang sangat terkait dengan keragaman karakteristik tanahnya. Oleh karenanya, untuk melihat pengaruh dari masing -masing karakteristik tanah terhadap produksi tanaman dapat ditetapkan dengan melihat hubungan kedekatan (korelasi) antara karakteristik tanah dan produksi tanaman. Karakteristik tanah yang menentukan produksi tanaman akan memiliki keragaman sifat yang sejalan dengan keragaman produksi tanaman. Ketersediaan hara yang ditentukan oleh P-tersedia dan K-dd cukup bervariasi, kecuali kadar N-total umumnya rendah di dalam tanah. Kedua karakteristik tanah tersebut dapat dipertimbangkan sebagai unsur-unsur penentu kualitas lahan ketersediaan hara. Kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa dan kadar C-organik cukup beragam di dalam tanah -tanah yang diteliti, juga dapat dipertimbangkan sebagai unsur penentu kualitas lahan daya retensi hara. Demikian juga halnya dengan kadar Al-dd atau kejenuhan aluminium yang cukup bervariasi di lokasi penelitian dapat dipertimbangkan sebagai penentu kualitas lahan bahaya keracunan. Berdasarkan hasil analisis korelasi antara beberapa karakteristik tanah dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah (Lampiran 13 dan 14), menunjukkan bahwa pH, P-tersedia, K-dd, KB, dan Al-dd memiliki korelasi yang relatif lebih baik terhadap produksi tanaman dibanding dengan karakteristik tanah lainnya. Kualitas lahan kemudahan pengolahan tanah ditentukan juga oleh tekstur tanah lapisan atas dan kandungan tipe liat (jumlah dan jenis mineral liat). Kisaran kelas tekstur tanah dan kadar liat tanah tergolong hampir sama, tetapi berbeda dalam kandungan mineral liatnya, sehingga kombinasi kadar liat dan tipe liat dapat dipertimbangkan sebagai kualitas lahan tersebut, namun dalam prakteknya petani tidak mendapatkan kesulitan yang berarti dalam pengolahan tanah. Kepekaan erosi tanah (K) sedikit bervariasi dari sedang sampai rendah, namun karena faktor lereng di lokasi penelitian umumnya datar dan atau lahan telah diteras sehingga erosi yang terjadi sangat rendah dan berada di bawah kisaran
86
erosi yang dapat diabaikan, sebagaimana telah dibahas dan ditunjukkan pada Tabel 9. Berdasarkan uraian di atas, kualitas lahan yang sangat menentukan produksi tanaman jagung dan kacang tanah pada tipe penggunaan lahan tersebut adalah ketersediaan hara, daya retensi hara dan bahaya keracunan. Ketiga kualitas lahan tersebut dapat ditetapkan sebagai faktor pembeda dalam klasifikasi kesesuaian lahan atau digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan yang ditetapkan. Kualitas lahan lainnya cukup sesuai dan tidak bermasalah terhadap produksi tanaman. Karakteristik lahan yang sangat berperan dalam kualitas lahan dan berkorelasi baik dengan produksi jagung dan kacang tanah adalah pH, P-tersedia, kejenuhan basa, dan Al-dd. Produksi jagung baik dalam bentuk brangkasan maupun biji kering sangat ditentukan oleh pH, P-tersedia, dan Al-dd, ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi (r) yang berkisar dari 0,5-0,9. Sedangkan produksi kacang tanah lebih ditentukan oleh P-tersedia, kation-kation basa (K, Mg) atau kejenuhan basa dan Al-dd. Kecuali dengan Al-dd yang berkorelasi negatif, parameter lainnya berkorelasi positip dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah. Ini berarti bahwa produksi tanaman jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian, terutama pada tanah -tanah sangat masam dari batuan sedimen masam, dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan memperbaiki kualitas lahan ketersediaan hara, daya retensi hara, mencegah bahaya keracunan aluminium dan menetralisir kemasaman tanah melalui upaya pemupukan berimbang (terutama penambahan hara P), penambahan bahan organik dan pengapuran. Pemberian pupuk N dalam jumlah yang cukup diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman karena tanah-tanah di lokasi penelitian umumnya mengandung N yang rendah. Hubungan beberapa karakteristik tanah (pH, P-tersedia, kation-kation basa atau kejenuhan basa dan Al-dd) dengan produksi kacang tanah tidak menunjukkan korelasi yang baik seperti pada jagung, ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang lebih rendah (r = 0,4-0,8), walaupun dari pembahasan sebelumnya terdapat indikasi adanya pengaruh kualitas/karakteristik lahan tersebut terhadap produksi kacang tanah ditinjau dari keragaman bahan induk dan perkembangan tanahnya. Hal ini diduga karena tanaman kacang tanah lebih toleran terhadap kemasaman
87
tanah dan ketersediaan hara yang rendah dibanding tanaman jagung serta dapat menyediakan sendiri hara N (Sudaryono, 1997; Sumarno, 2003). Tanah-tanah yang mengandung hara P-tersedia, kation-kation basa (K, Ca, Mg), pH, dan Corganik lebih tinggi dengan Al-dd atau kejenuhan aluminium yang rendah pada Eutrudept dan atau Dystrudept menghasilkan produksi kacang tanah relatif lebih baik. Pada tanah sangat masam, C-organik rendah, P dan K rendah, serta Al-dd atau kejenuhan aluminium tinggi seperti pada tanah-tanah dari batuan sedimen masam, memberikan produksi yang rendah. Bahkan dari hasil pengamatan di lapangan pada Hapludult Jasinga, terdapat banyak polong yang tidak berisi, biji kecil-kecil dan berkeriput. Pada Hapludult Jasinga dengan input rendah hanya mampu menghasilkan 0, 610 ton/ha polong kering, dibanding Eutrudept Jonggol dan atau Dystrudept Cimanggu sekitar 1,50-1,68 ton/ha polong kering. Pada pengelolaan lahan dengan input sedang, sebagian pembatas kualitas lahan terutama ketersediaan hara dapat diatasi dan produksi kacang tanah meningkat menjadi 1,4 sampai 1,8 kali lebih besar dari input rendah. Pengelolaan lahan dengan input sedang pada tanaman jagung dapat meningkatkan produksi secara nyata untuk semua lokasi penelitian sebanyak 1,55 sampai 9,90 kali lebih besar daripada input rendah.
Kelas Kesesuaian Lahan versus Kualitas Lahan
Tingkat kesesuaian lahan menunjukkan kemampuan lahan untuk menghasilkan produksi tanaman yang diinginkan sesuai dengan kualitas atau karakteristik lahan yang dimilikinya. Berdasarkan kualitas lahan yang dimiliki oleh masing-masing lokasi penelitian, maka dapat dibandingkan (matching) dengan persyaratan penggunaan lahan untuk tanaman jagung dan kacang tanah (Djaenudin et al., 2003), menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang bersifat fisik kualitatif seperti pada Tabel 14. Penilaian kelas kesesuaian lahan mengikuti hukum minimum atau pembatas maksimum (FAO, 1976; 1983). Demikian juga halnya dengan penilaian pada kualitas lahan yang mempunyai lebih dari satu karakteristik lahan. Dari Tabel 14 ternyata bahwa sebagian besar lahan di lokasi penelitian mempunyai kelas kesesuaian lahan untuk tanaman jagung dan kacang
88
tanah tanpa atau dengan input rendah tergolong sesuai marginal (kelas S3) dengan faktor pembatas utama kualitas lahan retensi hara (pH dan KB) dan media perakaran (kedalaman efektif tanah), kecuali pada Eutrudept Jonggol (B6) dari batuan sedimen basa tergolong cukup sesuai (kelas S2) dengan pembatas ringan, yaitu suhu udara (dinilai terlalu panas) dan retensi hara (pH tanah sedikit masam). Tabel 14. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kualitas Lahan di Lokasi Penelitian
Kualitas Lahan Suhu udara (t) Suhu udara Ketersed. air (w): Curah hujan Kelembaban Keterd. oksigen (o) Drainase Media akar (r): Tekstur Kedalaman Bahan kasar Retensi hara (n): KTK liat KB pH C-organik Bahaya erosi (e) Lereng Kelas kesesuaian
Udept (B1) Jg s1 s1 s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s2 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kc s1 s1 s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s1 s3 s1 s1 s1 S3 n
Udox (B2) Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s2 s2 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kc s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s2 s1 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kelas Kesesuaian Lahan Udult Humult Udoll (B3) (B4) (B5) Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s3 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kc s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s3 s3 s1 s1 s1 S3 n
Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s3 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kc s2 s2 s1 s1 s1` s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s3 s3 s1 s1 s1 S3 n
Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s2 s1 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 S2 tr
Kc s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s3 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 S3 r
Udept (B6) Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s2 s1 s1 s2 s1 s1 s1 S2 tn
Kc s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s2 s1 s1 s2 s2 s1 s1 S2 tn
Udalf (B7) Jg s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s1 s3 s1 s1 s1 S3 n
Kc s2 s2 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s1 s3 s1 s1 s3 s2 s1 s1 S3 n
Kelas kesesuaian lahan: S2 = cukup sesuai, S3 = sesuai marginal Faktor pembatas: n = retensi hara, r = media perakaran, t = suhu udara
Besarnya produksi yang dicapai pada kelas S3 dan S2 dari hasil penilaian kesesuaian lahan tersebut di atas bila diasumsikan sama dengan 0,5 dan 0,75 dari produksi tertinggi di lokasi penelitian, maka kelas-kelas kesesuaian lahan dari hasil penilaian tersebut dapat dibandingkan dengan produksi tanaman dari hasil percobaan lapang, seperti untuk kasus tanaman jagung (Gambar 13). Hasil penilaian kelas kesesuaian lahan dengan menggunakan metode Djaenudin et al., (2003), ternyata tidak sesuai bila dibandingkan dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah dari hasil percobaan lapang. Sebagai contoh, untuk tanah-tanah Dystrudept, Eutrudox dan Hapludalf yang memiliki sifat-sifat tanah berbeda, terutama sifat kimia tanah yang cukup variatif digolongkan ke dalam kelas kesesuaian lahan yang sama yaitu kelas S3, padahal produksi jagung dan kacang
89
tanah yang dihasilkan sangat berbeda. Demikian juga untuk Hapludoll dangkal (B5) dan Eutrudept (B6) dari batu gamping dinilai lebih baik, kelas S2, dibanding Dystrudept (B1) dari bahan volkanik yang dinilai sebagai kelas S3; padahal dari produksi jagung dan kacang tanah yang dihasilkannya hampir sama atau malah lebih rendah. Kasus-kasus seperti ini seringkali terjadi di lapangan, dimana hasil penilaian kelas kesesuaian lahan seringkali tidak sesuai dengan keadaan potensi lahan yang sesungguhnya (Hardjowigeno, et al., 1999). Untuk ini maka perlu dilakukan perbaikan terhadap kriteria kesesuaian lahan yang telah ada khususnya untuk keperluan penilaian kesesuaian lahan di lahan kering beriklim basah yang dihubungkan dengan produksi tanaman. Jenis atau jumlah karakteristik/kualitas lahan yang diperlukan serta pengharkatannya yang digunakan dalam kriteria kesesuaian lahan perlu diperbaiki dan disesuaikan dengan kebutuhan persyaratan penggunaan lahan.
Produksi Jagung (ton/ha)
3,0
2,5
S2
S2
2,0 S3
1,5
S3
S3
S3
S3
1,0
0,5
0,0 B1
B2
B3
B4
B5
B6
B7
Lokasi Produksi Jagung
Kelas Kesesuaian Lahan
Gambar 13. Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan vs Produksi Jagung Tanpa Input
90
Kelas Kesesuaian Lahan versus Produksi Tanaman Kelas kesesuaian lahan dapat didekati dengan besarnya produksi tanaman yang dihasilkan dari tipe penggunaan lahan tertentu. Di lokasi penelitian telah diidentifikasi dan ditetapkan 4 tipe penggunaan lahan untuk jagung-ubi kayu dan kacang tanah-ubi kayu dengan dua macam input, yaitu input rendah dan input sedang. Dalam pembahasan selanjutnya, penekanan komoditas pada tipe penggunaan lahan tersebut lebih difokuskan kepada tanaman jagung dan kacang tanah. Besarnya produksi yang dicapai pada tingkat pengelolaan sedang dan rendah masing-masing diasumsikan setingkat dan dua tingkat leb ih rendah atau setara 0,8 dan 0,6 dari produksi optimal dengan input tinggi (Wood dan Dent, 1983). Bila diasumsikan produksi optimal yang dicapai untuk jagung dan kacang tanah dengan input tinggi sama dengan produksi optimal yang dihasilkan oleh lembaga penelitian, yaitu 6 ton/ha biji kering jagung varietas Bisma dan 3 ton/ha polong kering kacang tanah varietas Kelinci (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 1993; Suprapto dan Marzuki, 2004; Sumarno, 1995), maka besarnya produksi optimal yang dapat dicapai pada tingkat pengelolaan dengan input sedang dan rendah ditetapkan berturut-turut sebesar 4,8 ton/ha dan 3,6 ton/ha biji kering jagung, dan 2,4 ton/ha dan 1,8 ton/ha polong kering kacang tanah. Perkiraan produksi tersebut hanya sedikit berbeda dibanding dengan produksi tertinggi yang dihasilkan dari percobaan lapangan. Misalnya untuk jagung.pada input sedang dan rendah sebesar 4,89 ton/ha dan 2,71 ton/ha biji kering, sedangkan untuk kacang tanah 2,67 ton/ha dan 1,68 ton/ha polong kering. Hasil penelitian Sudaryono (1997), menunjukkan bahwa pemberian input tinggi sebesar 135-225 kg N, 100 kg P2O5 dan 100 kg K2O per hektar dapat menghasilkan jagung 5,9 – 6,0 ton/ha biji kering, sedangkan Christianto dan Hernusye (1997), melaporkan produksi biji kering jagung sebesar 4,0 ton/ha diperoleh dengan pemberian 100 kg N, 100 kg P2O5 dan 60 kg K2O per hektar. Hidayat et al. (2000) telah melaporkan produksi kacang tanah sebesar 1,5 – 2,3 ton/ha polong kering yang dicapai dengan input 100 kg urea + 100 kg TSP + 100 kg KCl per hektar. Sebelumnya Sumarno (1995) dengan pemberian 75 kg urea, 75 kg TSP dan 75 kg KCl per hektar di Sikka menghasilkan 1,9 ton/ha polong kering.
91
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka hubungan kelas kesesuaian lahan dengan produksi jagung dan kacang tanah pada masing-masing tingkat pengelolaan lahan dengan input tinggi, sedang dan rendah dapat disusun dengan mengacu pada Wood dan Dent (1983) seperti disajikan pada Tabel 15. Kelas kesesuaian lahan dibagi dalam 5 kelas dan kisaran produksi untuk masing-masing kelas ditetapkan berdasarkan indeks produksi sebagai berikut: kelas S1 (sangat sesuai): > 0,80 dari produksi optimal, kelas S2 (cukup sesuai): 0,60-0,80 dari produksi optimal, kelas S3 (sesuai marginal): 0,40-0,59 dari produksi optimal, kelas N1 (tidak sesuai saat ini): 0,20 -0,39 dari produksi optimal, dan kelas N2 (tidak sesuai permanen): < 0,20 dari produksi optimal.
Tabel 15. Hubungan Kelas Kesesuaian Lahan dengan Produksi Tanaman Tipe Penggunaan Lahan dan Kelas Kesesuaian Lahan TPL-input tinggi:
Indek Produksi
Produksi (ton/ha/musim) Jagung Kacang tanah (Biji kering) (Polong kering)
S1: Sangat sesuai
> 0,80
> 4,80
> 2,40
S2: Cukup sesuai
0,60-0,80
3,60 – 4,80
1,80 – 2,40
S3: Sesuai marginal
0,40-0,59
2,40 – 3,59
1,20 – 1,79
N1: Tidak sesuai saat ini
0,20-0,39
1,20 – 2,39
0,60 – 1,19
N2: Tidak sesuai
< 0,20
< 1,20
< 0,60
S1: Sangat sesuai
> 0,80
> 3,84
> 1,92
S2: Cukup sesuai
0,60-0,80
2,88 – 3,84
1,44 – 1,92
S3: Sesuai marginal
0,40-0,59
1,92 – 2,87
0,96 – 1,43
N1: Tidak sesuai saat ini
0,20-0,39
0,96 – 1,91
0,48 – 0,95
N2: Tidak sesuai
< 0,20
< 0,96
< 0,48
S1: Sangat sesuai
> 0,80
> 2,88
> 1,44
S2: Cukup sesuai
0,60-0,80
2,16 – 2,88
1,08 – 1,44
S3: Sesuai marginal
0,40-0,59
1,44 – 2,15
0,72 – 1,07
N1: Tidak sesuai saat ini
0,20-0,39
0,72 – 1,43
0,36 – 0,71
N2: Tidak sesuai
< 0,20
< 0,72
< 0,36
TPL-input sedang:
TPL-input rendah:
92
Berdasarkan pada hubungan antar kelas kesesuaian lahan dengan perkiraan produksi seperti pada Tabel 15 tersebut, maka kelas kesesuaian lahan untuk masing-masing tipe penggunaan lahan di lokasi penelitian dapat ditetapkan menurut besarnya produksi tanaman jagung dan kacang tanah yang diperoleh dari hasil percobaan lapangan, secara lengkap disajikan pada Tabel 16. Dari tabel tersebut, tampak bahwa hasil penilaian kelas kesesuaian lahan dengan pendekatan produksi tanaman untuk TPL 1 (jagung dengan input rendah), menghasilkan kelas-kelas kesesuaian lahan yang tergolong pada kelas S2 (cukup sesuai) sampai kelas N2 (tidak sesuai permanen). Sedangkan pada TPL 2 (jagung dengan input sedang), menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang lebih baik yaitu tergolong sangat sesuai (kelas S1) sampai tidak sesuai saat ini (kelas N1). Kelas kesesuaian lahan untuk jagung pada TPL 2 adalah setingkat sampai dua tingkat lebih baik daripada TPL 1. Misalnya pada TPL 1, tanah -tanah Dystrudept, Eutrudox, Hapludult dan Haplohumult berturut-turut termasuk ke dalam kelas S2, N1, N2 dan N2 menjadi kelas setingkat lebih baik pada TPL 2, yaitu berturut-turut S1, S3, N1 dan N1. Sedangkan pada tanah -tanah dari batuan sedimen basa, Hapludoll, Eutrudept dan Hapludalf pada TPL 2, menghasilkan kelas kesesuaian lahan dua tingkat lebih tinggi dari TPL 1, yaitu dari kelas N1, S3, dan N2 menjadi kelas S2, S1 dan S3. Ini berarti bahwa peningkatan produksi melalui pengelolaan lahan dengan input sedang pada tanah -tanah tersebut cukup berhasil. Perbaikan kualitas lahan ketersediaan hara melalui pemberian pupuk (terutama P) yang menjadi pembatas pada tanah -tanah tersebut dapat meningkatkan produktivitas lahan dua kali lebih besar daripada tanpa input dan pemberian input (pupuk) telah digunakan secara lebih efisien dibanding dengan tanah lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan pengaruh mineral liat di dalam tanah yang didominasi oleh tipe liat 2:1 dan ditunjukkan oleh KTK liat tanah yang cukup tinggi (46-64 cmol(+)/kg liat). Pada TPL 3 (kacang tanah dengan input rendah), kelas kesesuaian lahan dari tanah-tanah yang sama di lokasi penelitian tergolong kelas S1 (sangat sesuai) sampai kelas N1 (tidak sesuai saat ini) dan tidak ada yang tergolong tidak sesuai permanen (kelas N2), menunjukkan bahwa tanaman kacang tanah relatif toleran pada berbagai kondisi tanah dan dapat tumbuh dan berproduksi lebih baik dibanding tanaman jagung. Tanaman kacang tanah dilaporkan lebih toleran
93
terhadap kemasaman tanah dan kadar aluminium dalam tanah dibanding tanaman jagung (Sumarno, 1995; Sudaryono, 1997). Pada TPL 4 (kacang tanah dengan input sedang), menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang sedikit lebih baik daripada TPL 3, yaitu termasuk kelas S1 (sangat sesuai) sampai kelas S3 (sesuai marginal) dan tidak ada yang kelas N1 dan N2 (tidak sesuai). Tabel 16. Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Produksi Tanaman di Lokasi Penelitian Jagung Produksi Kelas (ton/ha) lahan
Kacang Tanah Produksi Kelas (ton/ha) lahan
B1: Oxyaquic Dystrudepts
2,712
S2
1,505
S1
B2: Typic Eutrudox
1,385
N1
0,825
S3
B3: Typic Hapludults
0,290
N2
0,610
N1
B4: Typic Haplohumults
0,590
N2
0,680
N1
B5: Lithic Hapludolls
1,355
N1
0,900
S3
B6: Aquic Eutrudepts
1,885
S3
1,680
S1
B7: Typic Hapludalfs
0,210
N2
0,720
N1
B1: Oxyaquic Dystrudepts
4,890
S1
2,205
S1
B2: Typic Eutrudox
2,155
S3
1,185
S3
B3: Typic Hapludults
1,185
N1
1,065
S3
B4: Typic Haplohumults
1,315
N1
1,410
S3
B5: Lithic Hapludolls
3,480
S2
1,560
S2
B6: Aquic Eutrudepts
4,805
S1
2,670
S1
B7: Typic Hapludalfs
2,080
S3
1,340
S3
Tipe Penggunaan Lahan, Kode Lokasi dan Jenis Tanah TPL-input rendah:
TPL-input sedang:
Pada Eutrudox (B2, Gunung Sindur) produksi kacang tanah dengan input sedang memperoleh sedikit kenaikan produksi, tetapi tidak menaikkan kelas kesesuaiannya, tetap pada kelas S3 (sesuai marginal). Hal ini diduga karena pada tanah tersebut telah mengalami proses pelapukan yang intensif dan tanah telah berkembang lanjut, menghasilkan kadar liat yang tinggi dengan mineral liat yang didominasi oleh kaolinit dan sedikit oksida besi (goethit) menyumbang KTK liat
94
yang sangat rendah (<16 cmol(+)/kg liat), sehingga daya sangga tanah sangat kecil tarhadap hara (pupuk) yang d itambahkan ke dalam tanah atau dengan perkataan lain efisiensi pemupukan pada tanah sangat rendah. Dalam penilaian kelas kesesuaian lahan berdasarkan pendekatan produksi tanaman perlu diperhatikan pembatas fisik (faktor iklim, lereng dan tanah) yang ada di lokasi penelitian, terutama untuk penetapan kelas tidak sesuai permanen (N2). Bila faktor pembatas fisiknya tidak sangat berat, seperti misalnya untuk jagung dengan input rendah di lokasi penelitian yang hanya karena faktor ketersediaan hara, retensi hara dan bahaya keracunan yang relatif mudah diperbaiki, walaupun produksi yang dihasilkannya sangat rendah, maka pada lahan tersebut tidak dinilai ke dalam kelas N2, tetapi harus dinilai serendah rendahnya masuk ke kelas N1. Oleh karenanya, pada Hapludult, Haplohumult dan Hapludalf yang mempunyai produksi jagung sangat rendah (< 0,36 ton/ha biji kering) tidak dinilai sebagai kelas N2 seperti pada Tabel 16 di atas, tetapi seharusnya dinilai sebagai kelas N1. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah Kriteria kesesuaian lahan spesifik lokasi untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada lahan kering datar atau diteras yang beriklim basah dengan keragaman bahan induk dan perkembangan tanahnya di daerah Bogor dapat dibangun berdasarkan kualitas lahan yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan persyaratan penggunaan lahan dan produksi tanaman. Pada pembahasan sebelumnya telah diidentifikasi beberapa kualitas lahan yang diperkirakan sebagai sifat penciri (diagnostic criterion ) yang berpengaruh nyata terhadap produksi dan menentukan kelas kesesuaian lahan, yaitu ketersediaan hara, retensi hara, dan bahaya keracunan. Kualitas lahan lainnya, seperti suhu udara, ketersediaan air, ketersediaan oksigen, kondisi perakaran, kemudahan pengolahan tanah, dan bahaya erosi telah sesuai dengan kondisi lahannya sehingga tampak kurang berpengaruh terhadap produksi tanaman jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian. Namun demikian, kualitas-kualitas lahan
95
tersebut masih perlu dipertimbangkan penggunaannya terutama untuk daerah daerah lain di luar lokasi penelitian. Beberapa kualitas lahan yang telah diidentifikasi sebagai pembeda kelas kesesuaian lahan dan berpengaruh terhadap produksi jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian adalah ketersediaan hara, retensi hara dan bahaya keracunan. Karakteristik lahan yang menentukan kualitas lahan tersebut untuk tanaman jagung dan kacang tanah berdasarkan matriks korelasi (Lampiran 13, 14) dan analisis regresi kuadratik pada Tabel 17 adalah pH, P-tersedia, KB dan Al-dd. Karakteristik lahan tersebut mempunyai korelasi yang baik dan berpengaruh nyata terhadap produksi jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian. Hubungan antara karakteristik atau sifat-sifat tanah tersebut dengan produksi tanaman umumnya digambarkan menurut pola kurva kuadratik (Wood dan Dent, 1983), kecuali hubungan Al-dd dengan produksi lebih sesuai mengikuti pola hubungan linier. Analisis regresi bertatar (stepwise) digunakan untuk menduga besarnya produksi di setiap lokasi atau jenis tanah berdasarkan interaksi beberapa parameter tanah. Berdasarkan analisis tersebut, juga diperoleh parameter-parameter tanah yang dapat ditetapkan sebagai unsur pembeda dalam penilaian kelas kesesuaian lahan. Penetapan kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap produksi serta merupakan unsur pembeda dalam penilaian kelas kesesuaian lahan adalah sangat penting sebagai dasar dalam membangun kriteria kesesuaian lahan spesifik lokasi yang bersifat fisik kuantitatif. Hasil analisis regresi kuadratik antara sifat-sifat tanah (pH, P-tersedia, KB dan Al-dd) dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah , baik terhadap bobot brangkasan kering (BOK) maupun bobot biji kering (BBK) atau bobot polong kering (BPK) pada tingkat pengelolaan berbeda, menunjukkan pengaruh yang cukup bervariasi, diperlihatkan oleh nilai koefisien korelasi (R 2) dari persamaan regresi tersebut berkisar dari 0,44-0,95. Sifat-sifat tanah umumnya berkorelasi positif dengan produksi, kecuali Al-dd berkorelasi negatif, yang berarti bahwa peningkatan Al-dd akan mengakibatkan penurunan produksi tanaman, baik terhadap jagung maupun kacang tanah. Pengaruh P-tersedia terhadap produksi jagung dengan input rendah sangat tinggi sekali, diperlihatkan
96
Tabel 17. Hasil Analisis Regresi Kuadratik antara Sifat Tanah dan Produksi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah No
Parameter
1 Jagung, input rendah: 1.1. Bobot Brangkasan Kering (BOK): BOK vs pH BOK vs P-tersedia BOK vs Al -dd 1.2. Bobot Biji Kering (BBK): BBK vs pH BBK vs P-tersedia BBK vs Al -dd 2 Jagung, input sedang: 2.1. Bobot Brangkasan Kering (BOK): BOK vs pH BOK vs P-tersedia BOK vs Al -dd 2.2. Bobot Biji Kering (BBK): BBK vs pH BBK vs P-tersedia BBK vs Al -dd 3 Kacang tanah, input rendah: 3.1. Bobot Brangkasan Kering (BOK): BOK vs P-tersedia BOK vs KB BOK vs Al -dd 3.2. Bobot Polong Kering (BPK): BPK vs P-tersedia BPK vs KB BPK vs Al -dd 4. Kacang tanah, input sedang 4.1. Bobot Brangkasan Kering (BOK): BOK vs P-tersedia BOK vs KB BOK vs Al -dd 4.2. Bobot Polong Kering (BPK): BPK vs P-tersedia BPK vs KB BPK vs Al -dd
R2
Persamaan regresi
0,79 0,95 0,57
Y= - 50,62 + 19,74X – 1,78X2 Y= - 0,2205 + 0,1191X - 0,0001X2 Y= 2,74 - 0,26X
0,85 0,89 0,62
Y= - 37,42 + 14,47X – 1,30X2 Y= -0,0791 + 0.0705X – 0,0001X2 Y= 1,81– 0,19X
0,90 0,46 0,67
Y = - 53,55 + 21,13X - 1,87X2 Y = 1,8466 + 0,0111X + 0,0001X2 Y = 5,16– 0,41X
0,92 0,45 0,67
Y = - 51,68 + 20,12X – 1,79X2 Y = 1,8466 + 0,0111X + 0,0001X2 Y = 5,16 – 0,41X
0,83 0,54 0,52
Y= 0,9048+ 0,0436X – 0,0001X2 Y= 0,734 + 0,032X – 0,0001X2 Y= 1,95– 0,10X
0,77 0,56 0,55
Y= 0,4271+ 0,0340X- 0,0001X2 Y= 0,250+ 0,026X-0.0001X2 Y= 1,27– 0,086X
0,64 0,54 0,46
Y = 1,5653 + 0,0404X + 0,00001X2 Y = 0,921 + 0,055X-0,0001X2 Y = 3,40 – 0,21X
0,65 0,55 0,44
Y = 0,9818 + 0,0169X + 0,0001X2 Y = 0,497+ 0,035X-0,0001X2 Y = 1,95 – 0,12X
oleh nilai koefisien korelasi, R2 : 0,95 untuk BOK dan R2 : 0,89 untuk BBK. Kemasaman tanah (pH) dan Al-dd berkorelasi cukup baik dengan produksi jagung (R 2: 0,60-0,76), sedangkan sifat-sifat tanah lainnya menunjukkan korelasi yang sangat rendah. Pada input sedang, peranan pH masih cukup besar terhadap produksi jagung (R 2 : 0,90-0,92), sedangkan peranan P-tersedia sudah berkurang pengaruhnya terhadap produksi (R 2 : 0,45-0,46), diduga telah tercukupi melalui
97
pemupukan P (SP-36). Hal ini juga mengindikasikan bahwa dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan untuk jagung pada input sedang, faktor ketersediaan P tidak diperlukan lagi. Korelasi antara sifat-sifat tanah dengan produksi kacang tanah, baik untuk bobot brangkasan kering (BOK) maupun bobot polong kering (BPK) kacang tanah tidak sebaik pada jagung. Sifat -sifat tanah yang terlihat berkorelasi cukup baik dengan produksi kacang tanah pada input rendah adalah P-tersedia, KB dan Al-dd, dengan koefisien korelasi berkisar dari 0,52 sampai 0,83. Korelasi terbaik adalah antara P -tersedia dengan BOK dan atau BPK kacang tanah (R 2 : 0,77-0,83), sedangkan peranan karakteristik lainnya lebih rendah. Pada input sedang, pengaruh Al-dd tampak berkurang terhadap produksi, sehingga dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan untuk kacang tanah pada input sedang maka Al-dd dapat diabaikan. Hal ini mungkin disebabkan karena tanaman kacang tanah cukup toleran terhadap faktor kemasaman tanah dan kadar Al-dd tinggi sehingga menjadi kurang berpengaruh terhadap produksi kacang tanah. Berdasarkan pada uraian di atas dan dengan memperhatikan Tabel 17, maka dapat ditetapkan lebih jelas lagi bahwa karakteristik lahan yang dipilih sebagai unsur penentu kualitas lahan ketersediaan hara, retensi hara dan bahaya keracunan di lokasi penelitian berturut-turut adalah pH, P -tersedia, KB dan Al-dd. Pada tanaman jagung dengan input rendah, karakteristik lahan yang berperan cukup penting terhadap produksi jagung adalah pH tanah, P-tersedia, dan Al-dd. Pada input sedang, produksi jagung masih dipengaruhi oleh karakteristik lahan pH dan Al-dd. Produksi kacang tanah pada input rendah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan hara P, kejenuhan basa (KB) dan bahaya keracunan aluminium. Pada input sedang, produksi kacang tanah masih dipengaruhi oleh P-tersedia dan kejenuhan basa. Bahaya keracunan aluminium dianggap sudah dapat diatasi sehingga tidak berpengaruh lagi terhadap produksi kacang tanah. Karakteristik lahan yang sudah teridentifikasi tersebut selanjutnya akan digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan. Hubungan antara karakteristik lahan dengan produksi jagung dan kacang tanah pada pembahasan selanjutnya, berkaitan dengan penyusunan kriteria kesesuaian lahan, lebih difokuskan lagi hanya pada bobot biji kering jagung (BBK) dan bobot polong kering kacang tanah (BPK).
98
Produksi kacang tanah (polong kering) di lokasi penelitian, seperti juga jagung, sangat dipengaruhi oleh kualitas lahan ketersediaan hara, daya retensi hara dan bahaya keracunan. Kualitas lahan ketersediaan hara ditentukan oleh Ptersedia, retensi hara oleh KB dan bahaya keracunan oleh Al-dd. Tampaknya pada kacang tanah, karakteristik lahan P-tersedia, KB dan Al-dd lebih besar pengaruhnya terhadap produksi polong kering daripada karakteristik lahan lainnya. Walaupun pengaruh Ca-dd terhadap produksi kacang tanah tidak begitu nyata (R 2: 0,28), namun banyak dilaporkan bahwa pembentukan polong kacang tanah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan hara P, K dan Ca, sedang kualitas biji dipengaruhi oleh ketersediaan N, P dan K (Anderson, 1970; Hall, 1975). Kahat Ca pada tanah masam menyebabkan tanaman kerdil, polong hampa atau tidak bernas, sehingga pemberian Ca atau pengapuran pada tanah-tanah masam sangat diperlukan untuk memperoleh produktivitas lahan yang optimal (Suyamto, 1993). Di lokasi penelitian, kadar Ca-dd dalam tanah umumnya cukup tersedia (4 -44 me/100 g tanah), kecuali pada Hapludult Jasinga tergolong sangat rendah, sehingga tanaman kacang tanah tidak mengalami kekurangan Ca dan mampu berproduksi dengan baik. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kriteria kesesuaian lahan spesifik lokasi untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada lahan kering beriklim basah, dapat disusun dengan cara yang lebih sederhana berdasarkan kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang relevan dan berpengaruh terhadap produksi sebagai pembeda kelas kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan yang ditetapkan. Kualitas atau karakteristik lahan yang digunakan untuk menyusun kriteria tersebut jauh lebih sedikit dibanding dengan kriteria kesesuaian lahan yang telah disusun oleh Djaenudin et a l. (2003). Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan tersebut terdiri dari 2 cara, yaitu: (1) klasifikasi kelas kesesuaian lahan ditetapkan berdasarkan kualitas lahan yang dihubungkan dengan produksi tanaman, dan (2) klasifikasi kesesuaian lahan ditetapkan berdasarkan tingkat produktivitas lahannya. Kedua pendekatan tersebut lebih diarahkan pada sistem penilaian kelas kesesuaian lahan yang bersifat fisik kuantitatif, artinya setiap kelas kesesuaian lahan dinyatakan dalam besarnya produksi tanaman (ton/ha) yang diharapkan
99
sesuai dengan potensi lahannya. Beberapa asumsi yang digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan tersebut, sebagai berikut: a. Kriteria kesesuaian lahan yang dibangun hanya berlaku di daerah penelitian dan atau di derah lainnya yang memiliki spesifikasi lokasi yang sama (faktor iklim, lereng, karakteristik tanah, tingkat pengelolaan lahan dan tanaman). b. Kelas kesesuaian lahan terdiri dari 5 kelas (S1, S2, S3, N1 dan N2`) yang dinyatakan dengan indeks produksi atau kisaran faktor produksi (bersifat fisik kuantitatif) pada tingkat pengelolaan tertentu menurut Wood dan Dent (1983). c. Penilaian kelas kesesuaian lahan ditetapkan dengan menggunakan metoda penghambat maksimum atau hukum minimum (FAO, 1976; 1983). d. Persyaratan penggunaan lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan dinyatakan dalam kualitas lahan yang terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan. e. Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan kualitas lahan yang relevan di lahan kering beriklim basah dan menjadi pembatas terhadap tipe penggunaan lahan yang diterapkan atau penentu kelas kesesuaian lahan. f. Kualitas lahan lainnya dianggap telah sesuai atau tidak menjadi pembeda terhadap tipe penggunaan lahan tersebut, sehingga tidak diperhitungkan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan. g. Kisaran nilai karakteristik lahan ditetapkan melalu i pendekatan produksi untuk setiap kelas kesesuaian lahan pada tipe penggunaan lahan tertentu. Pada penyusunan kriteria kesesuaian lahan dengan pendekatan pertama, mula-mula dilakukan pemilihan karakteristik lahan dari 3 kualitas lahan yang telah diidentifikasi di lahan kering beriklim basah dan dapat digunakan sebagai pembeda kelas kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan yang ditetapkan. Ketiga kualitas lahan tersebut terdiri dari 8 karakteristik lahan, yaitu: N-total, P-tersedia dan K-dd sebag ai penyusun kualitas lahan ketersediaan hara (n); KTK, KB, pH dan C-organik sebagai penyusun kualitas lahan retensi hara (r); dan kejenuhan aluminium atau Al-dd sebagai penyusun kualitas lahan bahaya keracunan (x). Ke delapan karakteristik lahan tersebut kemudian dilihat korelasinya dengan produksi tanaman, baik jagung (bobot biji kering) maupun kacang tanah (bobot polong kering) seperti dalam matriks korelasi di Lampiran 13 dan 14, ternyata hanya 5 karakteristik lahan yang mempunyai korelasi relatif baik
100
terhadap produksi, yaitu P-tersedia, K-dd, pH, KB dan Al-dd. Selanjutnya dengan memperhatikan koefisien regresi kuadratik dari Tabel 17, dapat ditentukan 4 karakteristik lahan yang mempunyai pengaruh cukup baik terhadap produksi tanaman, yaitu P-tersedia, pH dan Al-dd untuk tanaman jagung; P-tersedia, KB dan Al-dd untuk tanaman kacang tanah. Pada input sedang hanya 2 karakteristik lahan yang muncul berpengaruh terhadap produksi tanaman, yaitu pH dan Al-dd untuk jagung serta P-tersedia dan KB untuk kacang tanah. Kualitas/karakteristik lahan tersebut digunakan sebagai pembeda kelas kesesuaian lahan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan di lokasi penelitian. Pengharkatan terhadap masing -masing karakteristik lahan dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi kuadratik tersebut dan metode trial and error yang dioperasikan dalam program Excel. Nilai-nilai peubah dimasukkan dalam persamaan tersebut, maka akan diperoleh besarnya produksi tanaman. Kisaran nilai dari setiap karakteristik lahan untuk setiap kelas kesesuaian lahan disesuaikan dengan kisaran produksi tanaman untuk masing-masing kelas kesesuaian lahan dan tipe penggunaan lahannya yang telah ditetapkan sebelumnya (Tabel 15). Kriteria kesesuaian lahan yang dibangun untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dengan input rendah dan sedang di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 18, 19, 20 dan 21. Kelas kesesuaian lahan terdiri dari 5 kelas dan dinyatakan dengan besarnya produksi tanaman (ton/ha). Kriteria kesesuaian lahan tersebut lebih bersifat spesifik lokasi dan fisik kuantitatif dengan tetap memperhatikan azas kelestarian lingkungan dan produktivitas lahan secara berkelanjutan. Pada Tabel 18, kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dengan input rendah dibangun oleh 3 kualitas lahan yang sangat berpengaruh terhadap produksi jagung dan dijadikan sebagai pembeda kelas yaitu ketersediaan hara (n) yang ditentukan oleh karakteristik lahan P-tersedia, retensi hara (r) ditentukan oleh pH dan bahaya keracunan (x) ditentukan oleh Al-dd, sedangkan pada input sedang (Tabel 19), produksi jagung lebih dipengaruhi oleh kualitas lahan retensi hara (pH) dan bahaya keracunan (Al-dd). Pada kacang tanah dengan input rendah (Tabel 20), kualitas lahan yang sangat berpengaruh terhadap
101
produksi dan merupakan pembeda kelas kesesuaian adalah ketersediaan hara (n) yang ditentukan oleh karakteristik lahan P-tersedia, retensi hara (r) oleh KB dan bahaya keracunan oleh Al-dd. Pada input sedang (Tab el 21), produksi polong kering kacang tanah masih ditentukan oleh kualitas lahan ketersediaan hara (P tersedia) dan retensi hara (KB). Pada tanaman jagung dengan input sedang, tampaknya faktor ketersediaan hara (P) tidak diperlukan lagi karena telah menunjukkan pengaruh yang kecil terhadap produksi. Pada tanaman kacang tanah dengan input sedang, faktor ketersediaan hara (P) masih menjadi pembeda kelas kesesuaian lahan. Mengingat faktor pembatas di lokasi penelitian relatif mudah diperbaiki, maka dalam pengharkatan setiap karakteristik lahan hanya ditetapkan sampai kelas N1. Tabel 18. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dengan Input Rendah Kualitas Lahan Ketersediaan hara: P-tersedia (ppm) Daya retensi hara: pH Bahaya keracunan: Al-dd (me/100 g)
S1 (>2,88)
Kelas Kesesuaian Lahan (ton/ha/musim) S2 S3 N1 (2,16-2,88) (1,44-2,15) (<1,44)
N2 (<1,44)
>69
43-69
26-42
<26
<26
5,0-6,0
6,1-6,5 4,6-4,9
6,6-7,0 4,0-4,5
>7,0 <4,0
>7,0 <4,0
<1,25
1,25-2,56
2,57-4,54
>4,54
>4,54
Tabel 19. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dengan Input Sedang Kualitas Lahan
S1 (>3,84)
Kelas Kesesuaian Lahan (ton/ha/musim) S2 S3 N1 (2,88-3.84) (1,92-2,87) (<1,92)
N2 (<1,92)
Daya retensi hara: pH
5,0-6,5
6,5-7,0 4,6-4,9
7,1-7,5 4,0-4,5
>7,5 <4,0
>7,5 <4,0
Bahaya keracunan: Al-dd (me/100 g)
<1,65
1,65-2,86
2,87-5,32
>5,32
>5,32
102
Tabel 20. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Kacang Tanah dengan Input Rendah Kualitas Lahan Ketersediaan hara: P-tersedia (ppm) Daya retensi hara: KB (%) Bahaya keracunan: Al-dd (me/100 g)
S1 (>1,44)
Kelas Kesesuaian Lahan (ton/ha/musim) S2 S3 N1 (1,08-1,44) (0,72-1,07) (<0,72)
N2 (<0,72)
>35
24-35
6-23
<6
<6
>40
30-40
15-29
<15
<15
<1,41
1,41-2,54
2,55-5,54
>5,54
>5,54
Tabel 21. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Kacang Tanah dengan Input Sedang Kualitas Lahan
S1 (>1,92)
Kelas Kesesuaian Lahan (ton/ha/musim) S2 S3 N1 (1,44-1,91) (0,96-1,43) (<0,96)
N2 (<0,96)
Ketersediaan hara: P-tersedia (ppm)
>45
25-45
8-24
<8
<8
Dayan retensi hara KB (%)
>45
35-45
15-34
<15
<15
Penyusunan kriteria kesesuaian lahan dengan pendekatan kedua, berdasarkan pada tingk at produktivitas lahan yang diduga dari persamaan regresi bertatar (stepwise). Analisis regresi bertatar (stepwise) dilakukan dengan menggunakan program Statistica (StatSoft Inc., 1999). Sejumlah karakteristik lahan yang telah diidentifikasi berkorelasi baik dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah dari setiap tipe penggunaan lahan, seperti pada cara pertama, dipilih sebagai parameter yang digunakan dalam analisis tersebut. Secara bertahap persamaan yang dihasilkan dievaluasi mengenai besarnya sumban gan atau peranan dari masing-masing parameter terhadap komponen produksi yang ditetapkan. Parameter-parameter yang kecil peranannya secara bertahap dihilangkan sampai diperoleh persamaan dengan kombinasi parameter yang terbaik. Persamaan regresi bertatar terpilih (Tabel 22) ditetapkan berdasarkan jumlah parameter yang relatif sedikit, dan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap komponen produksi yang dievaluasi.
103
Tabel 22. Persamaan untuk Pendugaan Produksi Jagung dan Kacang Tanah di Lokasi Penelitian Tipe Penggunaan Lahan Jagung : Input rendah Input sedang Kacang tanah : Input rendah Input sedang
Persamaan Regresi Bertatar
R2
Y = 0,134 + 0,137pH + 0,026P – 0,077Al Y = 0,178 + 0,748pH – 0,254Al
0,96 0,86
Y = 0,665 + 0,017P + 0,010KB – 0,026Al Y = 0,561 + 0,023P + 0,010KB
0,92 0,85
Hasil analisis regresi bertatar menunjukkan bahwa parameter-parameter yang berperan terhadap produksi jagung masih ditentukan oleh P-tersedia, pH dan Al-dd, sedangkan untuk kacang tanah adalah P-tersedia, KB dan Al-dd. Kombinasi dari parameter-parameter tersebut dalam persamaan di atas menyumbangkan 96% terhadap pendugaan produksi jagung dan 92% terhadap produksi kacang tanah pada input rendah. Parameter P-tersedia dan pH lebih berpengaruh terhadap produksi jagung dibanding Al-dd. Sedangkan terhadap produksi kacang tanah, P-tersedia dan KB lebih berperan dibanding Al-dd. Parameter-parameter lainnya sedikit sekali sumbangannya (3-8%) terhadap produksi jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian, antara lain C-organik, Kdd, dan KTK. Persamaan regresi yang dihasilkan dapat digunakan langsung untuk menduga besarnya produksi tanaman dari setiap tipe penggunaan lahan di setiap lokasi penelitian. Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan kisaran produksi untuk mas ing-masing kelas kesesuaian lahan dari setiap tipe penggunaan lahan yang ditetapkan. Penilaian kelas kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan ditetapkan dengan cara membandingkan hasil pendugaan produksi dari persamaan regresi tersebut dengan kisaran produksi dari masing-masing kelas kesesuaian lahan pada tabel kriteria yang disusun (Tabel 23) sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Penetapan kelas kesesuaian lahan menurut Tabel tersebut perlu mempertimbangkan faktor pembatas penggunaan lahannya. Bila pembatas yang ada seperti di lokasi penelitian relatif mudah diperbaiki maka hasil penilaian kelas kesesuaian tidak ada yang jatuh ke kelas N2 atau serendah-rendahnya ke kelas N1, walaupun tingkat produktivitasnya sangat rendah sekali.
104
Tabel 23. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah Berdasarkan Tingkat Produktivitas Lahan di Lokasi Penelitian Tipe Penggunaan Lahan
Kelas Kesesuaian Lahan (ton/ha/musim) S1
S2
S3
N1
N2
Input rendah
> 2,88
2,16-2,88
1,44-2,15
0,72-1,53
< 0.72
Input sedang
> 3,84
2,88-3,84
1,92-2,87
0,96-1,91
< 0,96
Input rendah
> 1,44
1,08-1,44
0,72-1,07
0,36-0,71
< 0,36
Input sedang
> 1,92
1,44-1,92
0,96-1,43
0,48-0,95
< 0,48
TPL–jagung:
TPL-kacang tanah:
Penggunaa n Kriteria Kesesuaian Lahan di Lokasi Penelitian
Evaluasi kesesuaian lahan dengan menggunakan kriteria yang dibangun dengan pendekatan pertama di lokasi penelitian menghasilkan kelas-kelas kesesuaian lahan yang sesuai dengan potensi lahan atau produksi jagung dan kacang tanah dari setiap tipe penggunaan lahan yang dievaluasi (Tabel 24 dan 25). Faktor-faktor pembatas penggunaan lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung pada tanah-tanah dari batuan sedimen basa lebih banyak ditentukan oleh ketersediaan hara (P-tersedia), tanah -tanah dari bahan volkanik oleh ketersediaan hara (P) dan retensi hara (kemasaman tanah, pH), sedangkan tanah -tanah dari batuan sedimen masam ditentukan oleh ketersediaan hara (P), retensi hara (pH) dan bahaya keracunan aluminium. Hasil evaluasi kesesuaian lahan pada TPL 1 (tanaman jagung dengan input rendah) menunjukkan kelas-kelas kesesuaian lahan yang sedikit beragam sesuai dengan keragaman produktivitas lahannya, termasuk pada kelas S2 sampai N1 dengan pembatas utama adalah ketersediaan hara (n), retensi hara (r) dan bahaya keracunan aluminium (x). Tidak ada yang termasuk ke dalam kelas N2 karena pembatas yang ada di lokasi penelitian umumnya berupa kualitas lahan dari sifat-sifat kimia tanah yang relatif mudah diperbaiki untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Pada TPL 2 (tanaman jagung, input sedang), menunjukkan kelas-kelas kesesuaian yang lebih baik, setingkat sampai
105
dua tingkat lebih tinggi, termasuk ke dalam kelas S1 sampai N1. Tampak bahwa perbaikan kualitas lahan dengan pemberian input produksi (pupuk) dapat meningkatkan kelas kesesuaian lahan dan secara langsung juga meningkatkan produktivitas lahannya. Kasus di Jasinga, pada tanah-tanah sangat masam (Hapludult dan Haplohumult) dari batuan sedimen masam menunjukkan bahwa pada TPL 2 masih tergolong ke dalam kelas N1 dengan pembatas utama bahaya keracunan alumunium (x). Perbaikan pengelolaan lahan (peningkatan input) tidak menunjukkan peningkatan terhadap kelas atau produktivitas lahannya secara nyata. Perbaikan kualitas lahan tampaknya tidak cukup dengan input itu saja tetapi juga diperlukan input lainnya untuk meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan, antara lain tindakan pengapuran yang dapat menetralisir kemasaman tanah dan menekan bahaya keracunan alumin ium. Tabel 24. Hubungan Kelas dan Produksi berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung di Lokasi Penelitian Kode lokasi B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
Jenis Tanah Oxyaquic Dys trudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Typic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs
TPL-1 Produksi Kelas (ton/ha) S2-r 2,71 N1-n 1,39 N1-nx 0,29 N1-nx 0,59 N1-n 1,37 S3-n 1,89 N1-n 0,21
TPL-2 Produksi Kelas (ton/ha) S1 4,89 S3-r 2,16 N1-x 1,19 N1-x 1,31 S2-n 3,48 S1 4,80 S3-x 2,08
Faktor pembatas: n: ketersediaan hara (P), r: retensi hara (pH), x: bahaya keracunan (Al)
Tabel 25. Hubungan Kelas dan Produksi berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Kacang Tanah di Lokasi Penelitian Kode lokasi B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
Jenis Tanah Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Typic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs
TPL-3 Produksi Kelas (ton/ha) S1 1,51 S3-n 0,82 N1-nrx 0,61 N1-x 0,68 S3-n 0,90 S1 1,68 N1-n 0,72
TPL-4 Produksi Kelas (ton/ha) S1 2,21 S3-n 1,19 S3-nr 1,07 S3-n 1,41 S2-n 1,56 S1 2,67 S3-n 1,34
Faktor pembatas: n: ketersediaan hara (P), r: retensi hara (KB), x: bahaya keracunan (Al)
106
Hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis kacang tanah (Tabel 25), menunjukkan bahwa pada TPL 3 (input rendah) kelas kesesuaian lahan cukup bervariasi, mulai dari kelas S1 sampai kelas N1 sejalan dengan produksi tanaman. Tidak ada lahan yang dinilai kelas N2 karena faktor pembatasnya relatif mudah diatasi. berupa ketersediaan hara (n), retensi hara (r), dan bahaya keracunan (x). Tanah-tanah masam dari Jasinga memiliki pembatas terberat dibanding dengan tanah-tanah lainnya. Upaya peningkatan produktivitas lahan pada tanah tersebut dapat dilakukan antara lain dengan pemberian pupuk berimbang (terutama P), dan pengapuran (dolomit). Pada TPL 4 (input sedang) terlihat kelas kesesuaian lahannya umumnya setingkat lebih tinggi daripada TPL 3, termasuk kelas S1 sampai S3 dan tidak ada yang termasuk ke dalam kelas yang tidak sesuai (N1, N2). Pembatas yang masih muncul umumnya adalah ketersediaan hara dan retensi hara yang perlu diatasi terus-menerus agar upaya mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan kering dapat dilakukan secara berkelanjutan. Pendugaan produksi dengan menggunakan model persamaan regresi bertatar adalah cukup akurat dengan simpangan rata-rata relatif rendah (<10%) dari produksi yang sebenarnya di lapangan. Penetapan kelas kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan dilakukan dengan membandingkan hasil dari pendugaan produksi terhadap kisaran produksi dari setiap kelas kesesuaian lahan yang telah ditetapkan. Hasil pendugaan produksi dengan model persamaan tersebut dan penetapan klasifikasi kesesuaian lahannya untuk setiap tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 26. Penilaian kelas kesesuaian lahan di lokasi penelitian tidak ada yang termasuk kelas N2, mengingat faktor pembatasnya (kualit as lahan) relatif mudah diperbaiki dan produktivitas lahan dapat ditingkatkan secara optimal. Penilaian kelas kesesuaian lahan dengan cara kedua, yaitu berdasarkan pendugaan produksi, memberikan hasil yang cukup baik, dimana besarnya produksi yang diduga dari model persamaan regresi bertatar telah sesuai dengan produksi di lapangan dan kelas kesesuaiannya. Walaupun terdapat perbedaan selisih hasil namun tidak terlalu besar dan masih pada batas kisaran produksi dalam kelas yang sama.
107
Tabel 26. Pendugaan Produksi dan Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah Kode lokasi B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
Tipe Penggunaan Lahan dan Jenis Tanah TPL-1:Jagung, input rendah Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Lithic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs TPL-2:Jagung, input sedang Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Lithic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs TPL-3:Kacang tanah, input rendah Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Lithic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs TPL-4:Kacang tanah, input sedang Oxyaquic Dystrudepts Typic Eutrudox Typic Hapludults Typic Haplohumults Lithic Hapludolls Aquic Eutrudepts Typic Hapludalfs
Produksi Lapangan (ton/ha)
Pendugaan Produksi (ton/ha)
Kelas Kesesuaian (1) (2)
2,712 1,385 0,290 0,590 1,355 1,885 0,210
2,787 1,233 0,223 0,616 1,349 1,715 0,343
S2r N1n N1nx N1nx N1n S3n N1n
S2 N1 N1 N1 N1 S3 N1
4,890 2,155 1,185 1,315 3,480 4,805 2,080
3,928 2,864 1,183 1,404 3,741 3,988 2,372
S1 S3r N1x N1x S2n S1 S3x
S1 S3 N1 N1 S2 S1 S3
1,505 0,825 0,610 0,680 0,900 1,680 0,720
1,583 0,898 0,551 0,799 0,939 1,794 0,684
S1 S3n N1nrx N1x S3n S1 N1n
S1 S3 N1 N1 S3 S1 N1
2,205 1,185 1,065 1,410 1,560 2,670 1,340
2,287 1,284 0,977 1,415 1,898 2,488 1,379
S1 S3n S3nr S3n S2n S1 S3n
S1 S3 S3 S3 S2 S1 S3
Kelas kesesuaian: (1) pendekatan kualitas lahan, (2) pendekatan produktivitas lahan, S1: sangat sesuai, S2: cukup sesuai, S3: sesuai marginal, N1: tidak sesuai saat ini. Faktor pembatas: n: ketersediaan hara, r: retensi hara, x: bahaya keracunan.
Dalam kasus di lokasi penelitian, kualitas/karakteristik lahan yang diperlukan untuk menyusun kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah jauh lebih sedikit daripada kriteria yang telah ada sehingga proses evaluasi kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut dapat dilakukan lebih cepat, mudah dan murah dengan hasil yang akurat.
108
Evaluasi kesesuaian lahan menggunakan kriteria tersebut di lokasi penelitian menghasilkan kelas -kelas kesesuaian lahan yang lebih sesuai dengan potensi lahan dan produksinya. Klasifikasi kesesuaian lahan menggunakan pendekatan produksi (fisik kuantitatif) tampak cukup baik dan sesuai dengan potensi lahannya. Kriteria kesesuaian lahan yang telah dibangun masih perlu dimantapkan lagi dengan didukung oleh data produksi dan data fisik lingkungan (iklim, tanah) yang lebih banyak lagi sehingga menghasilkan metoda evaluasi kesesuaian lahan yang baku khususnya untuk tipe penggunaan lahan berbasis tanaman jagung dan kacang tanah di lahan kering beriklim basah.
Kelebihan dari Kriteria Kesesuaian Lahan yang Dibangun
Kriteria kesesuaian lahan untuk jagung dan kacang tanah telah disusun oleh Djaenudin et al. (2003) Wood dan Dent (1983), dan Sys et al. (1993) dalam bentuk tabel kriteria kesesuaian lahan untuk tujuan evaluasi kesesuaian lahan. Seperti juga halnya yang dilaporkan FAO (1983), bahwa cukup banyak kualitas dan karakteristik lahan yang dapat digunakan dalam mengevaluasi kesesuaian lahan tersebut, walaupun dalam prakteknya hanya beberapa saja dari kualitas atau karakteristik lahan tersebut muncul sebagai faktor pembatas atau pembeda kelas kesesuaiannya. Kriteria tersebut dibuat secara empiris, berlaku umum dan terlalu banyak parameter yang digunakan sehingga tidak sesuai bila diterapkan pada lokasi yang spesifik dengan tipe penggunaan lahan tertentu. Evaluasi kesesuaian lahan dengan menggunakan kriteria tersebut menghasilkan kelas kesesuaian lahan yang bersifat fisik kualitatif yang belum dihubungkan dengan tingkat produktivitas lahannya atau belum dinyatakan dalam bentuk besaran produksi (ton/ha biji kering atau polong kering). Kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dibangun berdasarkan pada kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang berpengaruh terhadap produksi tanaman, yaitu ketersediaan hara, daya retensi hara dan bahaya keracunan alumunium. Kualitas lahan tersebut digunakan sebagai unsur pembeda dalam klasifikasi kesesuaian lahannya. Penyusunan kriteria lebih diarahkan untuk tujuan spesifik lokasi dengan hasil penilaian secara
109
fisik kuantitatif, artinya setiap kelas kesesuaian lahan telah dihubungkan dengan tingkat produktivitas lahannya atau dinyatakan dalam besaran produksinya, misalnya dalam bentuk ton/ha biji kering jagung atau ton/ha polong kering kacang tanah. Dari setiap kelas kesesuaian lahan yang ditetapkan dapat diketahui langsung kisaran produksi atau dugaan besaran produksinya. Kriteria kesesuaian lahan dibangun oleh sangat sedikit kualitas lahan atau karakteristik lahan yang relevan di lahan kering beriklim basah dan telah memberikan hasil evaluas i kesesuaian lahan yang lebih baik dan akurat. Dengan kebutuhan data kualitas/karakteristik lahan yang minimal memungkinkan proses evaluasi kesesuaian lahan dapat dilakukan lebih mudah, cepat dan murah dengan hasil yang baik. Karakteristik lahan yang diperlukan untuk mengevaluasi tanaman jagung hanya terdiri dari pH, P-tersedia dan Al-dd, sedangkan untuk kacang tanah adalah P-tersedia, KB dan Al-dd. Kualitas lahan ketersediaan hara dan bahaya keracunan aluminium yang cukup mempengaruhi produksi tanaman dan menjadi pembeda kelas kesesuaian lahan telah diakomodir dalam kriteria tersebut yang sebelumnya tidak digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan oleh Djaenudin et al. (2003). Kriteria kesesuaian lahan yang dibangun didasarkan pada beberapa kualitas lahan dan atau karakteristik lahan yang mempunyai korelasi yang baik dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah dan digunakan sebagai pembeda kelas kesesusaian lahan, sedangkan kualitas/karakteristik lahan lainnya tidak digunakan karena menunjukkan korelasi yang rendah terhadap produksi. Hal ini diduga karena karakteristik lahan tersebut walaupun ketersediaannya rendah di dalam tanah (misalnya N) tetapi tidak termasuk sebagai faktor pembatas utama atau pembeda terhadap produksi tanaman jagung dan kacang tanah. Faktor-faktor lainnya diasumsikan telah sesuai dan tidak menjadi pembatas terhadap penggunaan lahan yang ditetapkan, seperti misalnya faktor iklim (ketersediaan air dan suhu), konservasi lahan dan bahaya erosi, pengelolaan tanaman, sifat-sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah lainnya ( serta unsur hara mikro lainnya). Sejauh ini, kriteria yang telah disusun telah memberikan hasil yang maksimal, misalnya dengan penggunaan kualitas/karakteristik lahan yang sedikit telah memberikan hasil penilaian kesesuaian lahan yang lebih baik daripada sistem evaluasi
110
kesesuaian lahan yang telah ada. Kualitas lahan ketersediaan hara dan bahaya keracunan aluminium yang sangat umum dijumpai dalam tanah-tanah masam di lahan kering sering diabaikan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan dengan asumsi bahwa kualitas lahan tersebut sangat mudah diperbaiki oleh petani. Dalam kenyataannya di lapangan, faktor pembatas tersebut tetap ada di lahan petani. Oleh karenanya dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan ini, kualitas lahan tersebut diakomodir dan digunakan sebagai pembeda kelas kesesuaian lahan. Kriteria kesesuaian lahan disusun secara fisik kuantitatif dan spesifik lokasi. Klasifikasi kesesuaian lahan di dalam kriteria tersebut telah dihubungkan dengan produksi tanaman. Setiap kelas kesesuaian lahan telah dinyatakan dalam besaran produksinya (ton/ha biji kering jagung atau ton/ha polong kering kacang tanah). Kriteria ini dapat berlaku di luar daerah Bogor yang memiliki kemiripan ekosistem atau karakteristik lingkungannya dengan lokasi penelitian di Bogor, yaitu pada lahan kering dataran rendah yang beriklim basah, datar atau diteras dengan tipe penggunaan lahan yang ditetapkan.
111