33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering Hasil penelitian mengenai pengaruh biokonversi biomassa jagung oleh mikroba Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cereviseae, dan Aspergillus oryzae terhadap kecernaan bahan kering dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai Kecernaan Bahan Kering Silase Biomassa Jagung Ulangan 1 2 3 4 Rataan
Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 …………….…………………%..................................................... 52,49 54,92 56,05 59,63 62,14 53,11 54,38 57,41 60,21 61,98 53,76 56,02 57,39 60,37 62,29 53,33 55,78 58,31 60,98 62,44 53,17 55,28 57,29 60,30 62,21
Berdasarkan Tabel 3 Kecernaan bahan kering silase biomassa jagung pada berbagai perlakuan memiliki rataan 53,17% sampai dengan 62,21%. Nilai kecernaan bahan kering tertinggi yaitu 62,21% diperoleh pada perlakuan P4 yaitu pada perlakuan pemberian ketiga mikroba Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cereviseae, dan Aspergillus oryzae. Sementara itu, untuk nilai kecernaan terendah yaitu 53,17% diperoleh pada perlakuan P0 yaitu pada perlakuan tanpa adanya penambahan mikroba. Untuk mengetahui sampai berapa jauh pengaruh perlakuan terhadap kecernaan bahan kering maka dilakukan analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 1. Berdasarkan data yang dihasilkan pada analisis ragam, menunjukan bahwa
34 biokonversi biomassa jagung oleh mikroba Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cereviseae, dan Aspergillus oryzae memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kecernaan bahan kering (P<0,05). Untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara perlakuan, maka dilakukan analisis lanjutan dengan uji jarak berganda Duncan dengan hasil seperti pada tabel berikut ini. Tabel 4. Signifikasi Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering dengan Uji Jarak Berganda Duncan. Perlakuan Rataan KCBK (%) Signifikansi 0,05* P0 53,17 a P1 55,27 b P2 57,29 c P3 60,29 d P4 62,21 e Keterangan : Huruf yang berbeda ke arah kolom siginifikan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Berdasarkan Tabel 4, kecernaan bahan kering silase biomassa jagung yang ditambah inokulum mikroba nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan silase biomassa jagung yang tidak ditambahkan inokulum mikroba. Campuran dua jenis inokulum menghasilkan kecernaan yang lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan penambahan hanya satu inokulum. Kecernaan bahan kering tertinggi yaitu 62,21% diperoleh pada perlakuan P4 yaitu dengan penambahan ketiga inokulum mikroba. Meningkatnya kecernaan bahan kering biomassa jagung pada penambahan inokulum terutama pada penambahan Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cereviseae, dan Aspergillus oryzae disebabkan inokulum yang digunakan berupa bakteri setiap perlakuannya menunjukkan bahwa penambahan bakteri asam laktat berupa Lactobacillus plantarum. Bakteri ini mampu merombak senyawa kompleks
35 menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan hasil akhirnya yaitu asam laktat. Menurut Buckle, dkk., (1985), asam laktat dapat menghasilkan pH yang rendah pada substrat sehingga menimbulkan suasana asam. Dalam keadaan asam, Lactobacillus plantarum memiliki kemampuan untuk menghambat bakteri pathogen dan bakteri pembusuk (Delgado, dkk., 2001). Dengan menghasilkan asam laktat, Lactobacillus plantarum membantu bakteri asam laktat yang lain untuk tumbuh karena suasana menjadi asam. Menurut Sugiyono dan Sri (2015), bakteri asam laktat secara alami terdapat pada tanaman sehingga secara otomatis dapat berperan saat fermentasi, tetapi untuk mengoptimumkan fase ensilase dianjurkan melakukan penambahan aditif seperti inokulum bakteri asam laktat dan aditif. Selain memberikan suasana asam dalam membantu pertumbuhan bakteri asam laktat yang lain, serta kemampuannya dalam merombak senyawa komplek maka kehadiran bakteri Lactobacillus plantarum dalam proses ensilase akan mendukung dalam pencernaan bahan kering substrat silase biomassa jagung oleh mikroba rumen. Saccharomyces cerevisiae adalah ragi yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan oksigen, sehingga membantu terciptanya suasana menjadi anaerob (oksigen menjadi sangat sedikit) dan hal ini dapat menstimulir pertumbuhan bakteri anaerob untuk tumbuh lebih optimum (Wina, 2000), termasuk diantaranya bakteri asam laktat.
Selain itu Saccharomyces cerevisiae memiliki kemampuan dalam
meningkatkan laju kecernaan serat, meningkatkan degradasi protein kasar dan NDF dan efisiensi mikrobial (Tang, dkk., 2008). Dengan kemampan dalam merombak serat maka Saccharomyces cerevisiae dapat meningkatkan kualitas substrat yang telah dibuat silase sehingga mudah dicerna oleh mikroba rumen.
36 Seperti halnya Saccharomyces cerevisiae, Aspergilllus oryzae merupakan jenis
mikroba
yang
bersifat
aerob
yaitu
membutuhkan
oksigen
untuk
pertumbuhannya. Kebutuhan oksigen selama masa pertumbuhannya memberikan keuntungan bagi bakteri asam laktat untuk tumbuh lebih cepat karena suasana menjadi lebih anaerob. Fermentasi menggunakan fungi ini akan mengubah protein menjadi bentuk protein terlarut, peptida, pepton dan asam-asam amino, sedangkan karbohidrat diubah oleh aktivitas enzim amilolitik menjadi gula reduksi (Suliantari, 2001). Protein yang terlarut selain akan dimanfaatkan oleh mikroba lain dalam proses ensilase juga diharapkan dapat memberikan nitrogen yang mudah dimanfaatkan oleh mikroba rumen khususnya bakteri pencerna serat untuk dimanfaatkan bagi pertumbuhannya. Aspergillus oryzae juga mempunyai kemampuan dalam mengubah fraksi yang komplek menjadi yang lebih sederhana pada saat proses ensilase, sehingga silase biomassa jagung menjadi mudah didegradasi oleh mikroba di dalam rumen. Menurut Munier (2013) bahwa fermentasi kulit buah kakao menggunakan Aspergillus oryzae dapat melunakkan dan memecah dinding sel pada KBK sehingga isi sel seperti lemak, gula, asam organik, NPN, pektin, protein terlarut dan bahan terlarut air lainnya dapat dimanfaatkan oleh mikroba dan sebagai akibatnya prosentase komponen dinding sel seperti NDF dan ADF menjadi lebih tinggi. Kecernaan bahan kering merupakan faktor penting dalam menunjang asupan zat makanan yang akan digunakan untuk hidup pokok dan produksi (D`Mello, 2004). Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah nutrien yang diserap tubuh, dengan menggunakann analisis dan jumlah bahan kering yang dikonsumsi dan yang
37 disekresikan dapat dihitung dan selisihnya adalah jumlah yang dapat dicerna (Tilman dkk., 1998). Kecernaan bahan kering yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat nutrien yang dicerna terutama oleh mikroba rumen. Semakin tinggi nilai persentase kecernaan bahan kering tersebut, berarti semakin baik kualitasnya.
4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Organik Bahan organik merupakan bagian dari bahan kering, sehingga meningkatnya konsumsi bahan kering maka konsumsi bahan organik akan meningkat pula. Nutrien yang terkandung dalam bahan organik merupakan komponen penyusun bahan kering. Komposisi bahan organik terdiri atas lemak, protein kasar, serat kasar dan BETN. Hasil penelitian terhadap kecernaan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Kecernaan Bahan Organik Silase Biomassa Jagung Ulangan
Perlakuan P0
P1
P2
P3
P4
…………………………………….………%................................................................ 1
41,25
44,75
47,33
50,92
52,41
2 3 4 Rataan
42,32 41,10 41,02 41,42
42,75 43,42 44,40 43,83
46,99 48,39 47,22 47,48
50,63 49,36 50,31 50,31
52,19 52,89 52,08 52,39
Pada Tabel 5 terlihat bahwa nilai kecernaan bahan organik terendah adalah P0 yaitu 41,42%, sedangkan nilai kecernaan bahan organik tertinggi adalah P4 yaitu
38 52,39%, sehingga kisaran nilai kecernaan bahan organik yaitu 41,42% sampai dengan 52,39%.
Tingkat kecernaan bahan organik pada biomassa jagung oleh mikroba
Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cereviseae, dan Aspergillus oryzae memiliki pola yang sama dengan kecernaan bahan kering. Sesuai dengen pernyataan Sutardi (1983) bahwa peningkatan kecernaan bahan organik sejalan dengan meningkatnya kecernaan bahan kering, karena sebagian besar komponen bahan kering terdiri atas bahan organik sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kecernaan bahan kering akan berpengaruh juga terhadap tinggi rendahnya kecernaan bahan organik. Selisih antara nilai terendah dengan nilai tertinggi menunjukan nilai yang cukup besar. Hal ini berarti data tersebut memiliki variasi. Oleh karena itu untuk mengetahui variasi seluruh perlakuan dilakukan analisis ragam yang disajikan pada lampiran 2. Hasil analisi ragam menunjukan adanya perbedaan yang nyata diantara perlakuan (P<0,05). Perlu dilakukan uji jarak berganda Duncan untuk mengetahui berbedaan masing-masing perlakuan, yang hasilnya disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Signifikasi Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Organik dengan Uji Jarak Berganda Duncan Perlakuan Rataan KCBO (%) Signifikasi P0 41,42 a P1 43,83 b P2 47,48 c P3 50,30 d P4 52,39 e Keterangan : huruf yang berbeda pada kolom signifikasi menunjukan berbeda nyata (P<0,05)
39 Pada Tabel 6 terlihat bahwa nilai kecernaan bahan organik terkecil diperoleh pada perlakuan P0 yang merupakan perlakuan tanpa adanya penambahan inokulum. Penambahan inokulum berupa Lactobacillus plantarum saja memiliki nilai kecernaan bahan organik lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan dengan dua jenis mikroba, namun akan tinggi nilai kecernaan bahan organiknya bila inokulum yang diberikan terdiri atas tiga jenis mikroba yaitu Lactobacillus plantarum, Saccharmyces cereviseae, dan Aspergilus oryzae. Seperti halnya pada yang sudah dijelakan pada kecernaan bahan kering, Lactobacillus plantarum selain dapat membantu untuk menghambat bakteri patogen dan menurunkan pH, bakteti ini juga dapat membantu dalam merombak senyawa komplek menjadi senyawa yang lebih sederhana dengan hasil akhir yaitu asam laktat. Selain itu kemampuan untuk memanfaatkan oksigen oleh Saccharomyces cereviseae juga dapat membantu terciptanya suasanya anaerob mambantu Lactobacillus plantarum dalam merombak senyawa komplek terutama karbohidrat. Selain itu pada masa awal inkubasi dimana masih terdapat oksigen fungsi tersebut, masih melakukan fungsinya yaitu dengan memfermentasi substrat terutama bahan organik (Tang dkk, 2008), sehingga memudahkan bakteri rumen dalam mencerna bahan organik substrat. Begitu juga dengan Aspergillus oryzae yang tidak hanya dapat mempercepat pertumbuhan bakteri asam laktat saja tetapi juga dapat mengubah fraksi yang kompleks menjadi yang lebih sederhana sehingga silase biomassa jagung menjadi mudah didegradasi oleh mikroba rumen terutama bahan organik.
.
Menurut Tillman, dkk (1998), bahan organik merupakan bahan yang hilang pada saat pembakaran. Nutrien yang terkandung dalam bahan organic merupakan
40 komponen penyusun bahan kering. Komposisi bahan organik terdiri dari lemak, protein kasar, serat kasar, dan BETN. Bahan kering, mempunyai komposisi kimia yang sama dengan bahan organik ditambah abu (Kamal,1994).