22 IV. PETA SOSIAL MASYARAKAT
DAN PERTANIAN LAHAN KERING
Peta Sosial Gampong Lampisang Lokasi Gampong Lampisang Dayah letaknya di sebelah Barat Daya Gunung Seulawah, dengan ketinggian rata-rata 11 meter di atas permukaan air laut. Suhu rata-rata antara 25°C sampai dengan 28°C. Di lihat dari arah mata angin, posisi wilayah hukum desa adalah; Sebelah Utara berbatasan dengan Pemukiman Tanoh Abee, sebelah selatan berbatasan dengan hutan (tanah negara). Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lampisang Teungoh, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan Desa Capeung Dayah. Luas desa ini 675 hektar, terdiri dari tanah pemukiman penduduk 13 hektar, lahan sawah irigasi (teknis) dan tadah hujan (rainfed) 135 hektar, lahan ladang 115 hektar, lahan kebun 48 hektar, lahan terlantar 95 hektar, hutan 36 hektar dan lainnya 8 hektar dan sudah termasuk tanah negara 225 hektar yang pernah dikelola Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Iindrapuri (PTI). Ketersediaan lahan kering desa ini mencapai 524 hektar (77,63 %) dari total luas desa. Lahan kering ini terdiri dari empat jenis, meliputi lahan hutan, ladang, kebun dan dataran. Tanah dataran rumput 100 hektar saat ini terlantar sebagaimana 135 hektar dataran rumput pada tanah negara. Secara keseluruhan kondisi lahan terlihat dalam Tabel 3. Tabel 3 Jenis Lahan Menurut Luas NO
JENIS LAHAN
LUAS (HA)
PERSEN
1.
Pemukiman
13
1,93
2.
Sawah
135
20
3.
Ladang
115
17,04
4.
Kebun
48
7,11
5.
Dataran
95
14,07
6.
Hutan
36
5,33
7.
Lain-Lain
8
1,19
8.
Tanah Negara
225
33,33
JUMLAH Diadaptasi dari Data BPS NAD 2005
675
100
23 Desa ini dapat di tempuh melalui jalan lintas Sumatera dengan kendaraan umum dari Banda Aceh (ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) ke arah Timur hanya 38 kilometer dalam waktu 40 menit. Jalan raya lintas Sumatera tersebut letaknya tepat melintasi pertengahan pemukiman penduduk. Dilanjutkan perjalanan ke arah Timur, tepatnya lima kilometer terdapat ibukota Kecamatan Seulimeum. Sedangkan letak ibukota Kabupaten Aceh Besar bisa ditempuh 10 menit dari ibukota Kecamatan Seulimeum ke arah Selatan sejarak 13 kilometer. Secara administrasi pemerintahan, Gampong Lampisang Dayah dipimpin seorang Keuchik (Kepala Desa), secara terstruktur terbagi atas tiga wilayah dengan sebutan dusun yang dikoordinir oleh kepala dusun. Secara struktur adat, Gampong Lampisang Dayah berada di bawah koordinasi Mukim (Penguasa terhadap beberada desa) Tanoh Abee, tetapi sampai saat ini Peraturan Daerah (Qanun) tersebut belum terealisasi dikarenakan konflik Provinsi NAD sehingga terhambat penerapannya selama puluhan tahun terakhir serta tersendatnya roda pemerintahan. Dalam administrasi pemerintahan, desa ini tetap di bawah susunan struktural Kecamatan Seulimeum.
Kependudukan Penduduk Gampong Lampisang Dayah 120 kepala keluarga, berjumlah 502 jiwa, terdiri dari 259 laki-laki (51,59 %) dan 243 perempuan (48,41 %). Artinya terdapat 52 laki-laki diantara 48 perempuan dalam setiap 100 penduduk. Penduduk desa ini 100 persen suku Aceh dan 100 persen beragama Islam. Tingkat kepadatan penduduk terhadap luas areal desa 675 hektar, maka rata-rata sekitar 75 jiwa setiap km². Komposisi kependudukan dari jumlah 502 jiwa, bedasarkan kriteria usia jenis kelamin laki-laki dan perempuan terlihat sebagaimana disajikan dalam Gambar 3 berikut ini;
24 Gambar 3 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin USIA 75 70 65 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
-+ - 74 - 69 - 64 - 59 - 54 - 49 - 44 - 39 - 34 - 29 - 24 - 19 - 14 - 9 - 4 25
20
15
10
5
0
5
10
15
20
25
LK
PR
2
3
4
5
8
9
10
12
12
16
15
15
18
17
14
14
20
17
21
15
25
23
24
22
23
19
24
21
14
15
25
20
259
243
Diadaptasi dari Data BPS NAD, Monografi desa 2006
Berdasarkan grafik di atas menunjukkan besarnya penduduk usia 0 - 4 tahun, argumentasinya disebabkan tingginnya angka fertilitas tahun 2005 – 2006, sedangkan kecilnya usia 5 – 9 tahun disebabkan rendahnya angka fertilitas tahun 2000 – 2004 terkait migrasi ke kota selama konflik . Besarnya usia 20 – 29 tahun alasannya disebabkan tingginya migrasi dari luar desa pasca permamaian Aceh. Namun demikian jika dilihat secara keseluruhan tampaknya sangat kecil usia ketergantungan yakni 150 jiwa (29,88 %) dibandingkan dengan usia kerja/usia produktif mencapai 352 jiwa (70,12 %). Angka ketergantungan 150 jiwa ini terlihat pada usia 0 - 14 tahun 119 jiwa (23,7 %) dan usia 65 tahun ke atas hanya 31 jiwa (6,18 %). Angka devendency ratio tahun 2007 sekitar 42,61 % atau pengertiannya setiap 100 orang penduduk produktif menanggung 43 orang penduduk usia ketergantungan. Data akurat yang selama ini dan dipergunakan nasional menunjukkan angka kemiskinan pada 81 kepala keluarga (76 %) mendapat Raskin dan kartu sehat, merupakan hasil seleksi dua tahun lalu. Hal ini perlu kajian mendalam mengenai katagori garis kemiskinan yang disesuaikan dengan Indikator Kemiskinan Daerah, karena diantara kepala kepala dimaksud ada yang berpendapatan perkapita perbulan di atas kelipatan angka poverty line (Rp212,500/bulan). Asumsi ini akan terindikasi dengan argumen bahwa masih banyak kepala keluarga yang bekerja sampingan di sektor lain di samping pekerjaan utama (pola nafkah ganda), artinya punya penghasilannya ganda bisa diperoleh dari dua sampai empat aktivitas.
25 Kondisi Perekonomian 1) Mata Pencaharian Dari 120 Kepala Keluarga penduduk Gampong Lampisang Dayah, jika dilihat aspek kegiatan sehari-hari hampir seluruhnya bergantung pada potensi pertanian, namun dapat diklasifikasikan dalam enam jenis pekerjaan tetap atau mata pecaharian.
Perkerjaan
dimaksud
meliputi;
sektor
petanian,
peternakan,
pedagangan, buruh/security, PNS dan supir. Dapat di tambah di sini bahwa diantara Kepala Keluarga yang pekerjaan tetap bukan sisi pertanian, yaitu; petani, peternak, pedagang dan pegawai negeri dan pedagang, mereka juga senantiasa menggarap lahan kering sebagai pekerjaan sampingan atau disebut dengan pola nafkah ganda. Tabel 4 berikut ini menunjukkan secara jelas besarnya persentase jumlah kepala keluarga yang berkerja di sektor pengolahan tanah pertanian. Tabel 4 Jenis Mata Pencaharian Penduduk dan Luasnya
NO
JENIS MATA PENCAHARIAN
JUM LAH (KK)
PERSEN
1.
Petani
98
81,67
2.
Peternak
4
3,33
3.
Pedagang
1
0,83
4.
Buruh
8
6,67
5.
PNS
5
4,17
6.
Supir
4
3,33
120
100
JUMLAH Diadaptasi dari Data BPS NAD 2006
Guna menemukan data akurat mengenai sistem perekonomian masyarakat desa ini, perlu ditinjau dari aspek mata pencaharian dan pendapatan, jenis produksi/komoditi setempat dan pemasarannya. Untuk itulah empat hal tersebut saling berkaitan, diperhatikan dan penting dianalisis dalam sistem ekonomi Gampong Lampisang Dayah. Penduduk yang bermatapencaharian sektor pertanian 98 kepala keluarga atau (81,67 %), yang konsentrasinnya pada penggarapan lahan sawah irigasi 38 kepala keluarga, diantaranya memiliki sawah sendiri 17 kepala keluarga, sedangkan 21 kepala keluarga merupakan penggarap sawah pola bagi hasil dengan pemilik lahan.
26 Penduduk yang menggarap sawah milik sendiri maupun pola bagi hasil di atas lahan sawah irigasi tehnis mempunyai kesempatan tanam dua kali setiap tahun. Terhadap 60 kepala keluarga petani lainnya merupakan petani lahan kering yang tidak memiliki lahan sawah teknis dan tidak memilki akses tetap untuk menggarap sawah dimaksud. Dalam rumahtangga petani lahan kering desa ini, pekerjaan pertanian di ladang dan peternakan senantiasa dibantu atau memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Pertumbuhan ekonomi sektor petanian lahan kering mengalami perbedaan pendapatan antara petani yang beraktivitas dalam penggembalaan dengan petani yang aktifitasnya hanya di pertanian saja. Pendapatan petani penggembala relatif lebih besar dari usaha ternak lembu/kerbau, sedangkan petani lahan kering yang hanya mengupayakan komoditi palawija dan tanaman tua dengan lahan sempit, pendapatannya relatif kecil. Usahatani yang dilaksanakan petani lahan kering berdasarkan ketersediaan lahan di desa, umumnya masih dalam skala kecil yakni berdasarkan kepemilikan aset tanah dan modal yang tersedia. Berbeda dengan usaha kegiatan menggembala, mereka memilki ketersediaan modal yang cukup. Jadi antara usahatani di lahan ladang/kebun dengan usaha petenakan saling berbeda dalam ketersediaan aset lahan dan modal, namun banyak kesamaannya adalah keterbatasan dalam akses teknologi dan SDM serta akses kepada pelayanan pemerintahan.
2) Jenis Komoditi/Produksi Petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah selama tiga tahun terakhir lebih berkonsentrasi pada sektor perkebunan kopi, kelapa, pisang dan pinang, di antaranya bekerjasama dengan pemilik tanah. Komoditi dihasilkan adalah pisang, kopi, kelapa dan pinang, sebagian kebun kelapa dan kopi masih tahapan peremajaan yang memerlukan waktu sampai lima tahun. Artinya produksi komoditi pisang, pinang dan kelapa yang dihasilkan selama ini merupakan kelanjutan perkebunan yang tidak dilakukan peremajaan. Kegiatan penanaman palawija seperti jagung, ubi kayu, tomat dan cabe di peladangan dapat dikerjakan sekali sampai dua kali tanam dalam setiap tahunan. Adapun peremajaan kebun selama tiga tahun terakhir seluas 14.285 m² meliputi kebun kelapa 9.205 m² terhadap dan kebun kopi 5.080 m². Poduksi usahatani di sektor lain yaitu dari ternak lembu dan kerbau yang dilaksanakan dengan sistem penggembalaan dan pemeliharaan/ penggemukan alamiah. Adapun ternak yang dihasilkan untuk dipasarkan hanyalah kerbau dan lembu jantan saja, sedangkan ternak betina tetap dijadikan sebagai induk produksi.
27 3) Ketersediaan Lahan Kering Lahan kering di desa ini meliputi lahan dataran rumput terlantar (padang rumput), ladang, kebun dan hutan seluas 524 hektar (77,63 %) dari luas desa 675 hektar. Berdasarkan keberadaan potensi lahan dimaksud, maka bidang usahatani mempunyai peluang besar bagi pengembangan sektor perkebunan dan sebagian dijadikan lokasi penggembalaan ternak kerbau dan lembu. Yang strategis untuk penggembalaan ternak adalah terhadap ketersediaan lahan tanah dataran rumput seluas 135 hektar yang letaknya di antara 225 hektar tanah milik negara. Di sekitar lokasi padang rumput tersebut adalah HTI seluas 90 hektar yang telah ditinggalkan PTI. Lahan inilah memungkinkan untuk dijadikan sebagai perkebunan kopi karena tinggi tingkat kesuburannya. Lahan kering berupa tanah milik negara hanya 225 m², selain itu merupakan lahan kering milik warga setempat maupun milik warga desa lain dalam wilayah hukum Gampong Lampisang Dayah meliputi lahan perkebunan dan peladangan 162 hektar, dataran terlantar 100 hektar, dan
terdapat juga lahan hutan 36 hektar.
Secara keseluruhan jenis lahan tersebut seperti ditunjukkan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Ketersediaan Jenis Lahan Kering
NO
JENIS LAHAN KERING
LUAS (Ha)
PERSEN
1.
Lahan ladang dan kebun
163
31,11
2.
Lahan hutan milik warga
36
6,87
3.
Lahan hutan milik negara
90
17,18
4.
Lahan dataran milik negara
135
25,76
5.
Lahan dataran milik warga
100
19,08
524
100
JUMLAH
Struktur Komunitas Pembahasan struktur komunitas kaitannya dengan pelapisan sosial atau strata kehidupan sosial masyarakat. Hasil yang dihimpun melalui pengamatan lapangan menyangkut struktur komunitas ini dapat diuraikan dalam dua bagian, yakni mengenai
pelapisan
sosial
sehingga
dikenal
tokoh
berpengaruh
dalam
pembangunan dan jejaring sosial yang dilakukan kalangan masyarakat petani lahan kering.
28 1) Pelapisan sosial Pelapisan sosial di desa ini sangat dipengaruhi faktor ekonomi seperti kepemilikan tanah, ternak dan alat transportasi. Faktor lain yang amat dipengaruhi sehingga terjadi perbedaan pelapisan sosial adalah berdasarkan kehormatan seperti kemampuan dalam ketrampilan, kemampuan menguasai pengetahuan lokal dan keterlibatan dalam berbagai kegiatan. Berdasarkan faktor ekonomi dan kehormatan yang
menjadi
sorotan
penilaian
penduduk,
maka
pelapisan
sosial
dapat
diidentifikasikan dalam beberapa hal berikut : a.
Memiliki tanah yang lebih luas terutama memiliki lahan sawah dan lahan kering lainnya di desa tersebut.
b.
Mempunyai pengikut/pengaruh besar dalam segala kegiatan ekonomi, pertanian dan sosial kemasyarakatan setempat.
c.
Memiliki suatu kemampuan ketrampilan atau pengetahuan lokal (local knowledge) yang dibutuhkan masyarakat sehingga sering dipergunakan jasa keahliannya. Dengan demikian pelapisan sosial petani lahan kering desa ini bisa terjadi
hanya pada orang-orang tertentu saja. Diantaranya; pertama sosok yang memiliki aset tanah terluas di desa, kedua tokoh yang mampu menjalin banyak persahabatan dan berani mengajukan dan mengambil keputusan untuk kepentingan
desa dan
ketiga orang yang memiliki pengalaman dalam pekerjaan pertanian maupun peternakan secara tradisional atau memiliki keahlian pertukangan. Ketiga tipe orang di atas disegani, dihormati warga dan menjadi panutan masyarakat desa, namun demikian kemampuan di bidang penggembalaan ternak merupakan suatu modal sosial yang paling berpengaruh di kalangan petani lahan kering, karena tidak semua petani memiliki pengetahuan lokal. Setiap dilaksanakan rapat dan pelaksanaan kegiatan di tingkat desa yang berkenaan dengan pertanian selalu mengutamakan dan melibatkan peran tokoh tersebut. Penduduk
Gampong
Lampisang
Dayah
dalam
hal
pelapisan
sosial
terpengaruh juga oleh strata ekonomi. Dilihat dari aspek fisik bangunan dan fasilitas lainnya, kalangan keluarga petani lahan kering hanya ditemui 6 rumah permanen, 43 rumah semi permanen dan 11 kepala keluarga belum memiliki rumah sendiri, berarti 81,67 persen yang sudah memiliki rumah. Di antara 49 rumah, telah tersambung fasilitas listrik negara cuma 42 rumah (85,71 %), sampai bulan September 2007 artinya 14,29 rumah persen belum menikmati instalasi listrik dari PLN.
29 2) Jejaring Sosial Secara horizontal, hubungan sesama komunitas petani lahan kering dalam desa ini berjalan normal, terutama diantara warga tani saling ketergantungan menjalankan aktivitas seperti pelaksanaan gotongroyong, silaturrahmi dan saling meminjamkan peralatan pertanian dan sebagainya. Keterkaitan antara petani dengan pemuka masyarakat dari pelapisan sosial di atas perlu diperhatikan dengan teliti disini. Berdasarkan pandangan tersebut dapat di analisis jaringan sosial yang terbangun dikalangan penggembala tidak hanya dalam komunitasnya dan dengan masyarakat desa saja melainkan secara vertikal telah terjalin relasi sampai ke luar kabupaten, bahkan ke ibukota Propinsi NAD. Hal ini mencerminkan keberadaan struktur
sosial
mengalami
kemajuan,
dengan
argumen
yakni
mampu
mengembangkan kehidupan ekonominya melalui jaringan sosial, tetapi tidak terjadi pada kebanyakan keluarga petani lahan kering. Jejaring ini lebih kuat pada kalangan pemuda, tokoh masyarakat dan personal yang mempunyai relasi kuat di luar Kabupaten Aceh Besar dan ibukota propinsi bahkan.
4.1.5
Kelembagaan dan Organisasi Adapun berbagai organisasi sosial yang berperan di Gampong Lampisang
Dayah saat ini antara lain karang taruna, olahraga, pemuda, dana sosial kematian, dalail qairat dan Kejrun Blang (Urusan Sawah). Kejrun Blang mengurus persoalan pertanian di sawah, tetapi tidak menangani urusan, peladangan dan perkebunan karena dua hal ini secara adat ditangani oleh Peutua Seunebok (pimpinan kegiatan perkebunan dan peladangan), akan tetapi di Gampong Lampisang Dayah tidak terbentuk/belum mengenal kelembagaan dimaksud. Lembaga formal perangkat desa telah terisi penuh dan berjalan lancar kembali sejak tahun 2006, setelah lima tahun tidak terisi struktur tersebut. Dalam hal pembangunan sektor pendidikan ditemui sebuah yayasan yang mengurus pendidikan anak, yakni Taman Kanak-Kanak. Sehubungan dengan belum terbentuknya kelembagaan adat Seuneubok maka pekerjaan pertanian, perkebunan dan penggembalaan ternak di atas lahan kering maka saat ini belum terorganisir kerukunan kegiatan. Sektor penggembalaan dilihat dari kerjasama, norma yang berjalan telah menunjukkan gejala atau indikasi akan terbentuknya suatu kelembagaan. Dengan demikian kelembagaan petani lahan kering belum bisa terbentuk, namun potensi untuk menggerakkan mereka sangat
30 memungkinkan jika dilihat dari kekuatan peta kelembagaan desa selama ini. Berikut organisasi yang aktif formal dan informal dengan jumlah personal yang terlibat, yaitu : Tabel 6 Jenis Organisasi dan Kepengurusan
NAMA ORGANISASI
NO.
BIDANG/ JENIS KEGIATAN
KENGURUSAN/ ANGGOTA
1.
Bungong Ban Keumang
Sosial/karang taruna
72 orang
2.
Tunas Muda
Olahraga/bola kaki
45 orang
3.
-
Sosial/dana kematian
76 orang
4.
Kejrun Blang
Pertanian urusan sawah
31 orang
5.
Nurul Fajri (yayasan)
Pendidikan/TK
11 orang
6.
Kesatuan Pemuda
Pemuda/-
73 orang
7.
Dala’il Qairat
Agama/-
67 orang
Diadaptasi dari Monografi Desa Tahun 2007
Setiap dikatakan suatu kelembagaan jika di dalam operasionalnya memiliki pola hubungan dan pola norma, maka organisasi kemasyarakatan dengan berbagai bidang atau jenis di atas pasti tersirat unsur pola dimaksud. Hal semacam ini terjadi pada anggota organisasi sosial seperti; karang taruna, kesatuan pemuda, dalail qairat dan olahraga, padahal orang yang di luar secara automatis diakui juga sebagai anggota saat kegiatan berlangsung. Kemudian kontrol sosial terhadap pengurus ; karang taruna, olahraga, yayasan dan dala’il qairat sangat peka setiap ada asumsi penyelewengan wewenang dan keuangan yang dikelolanya. Dengan eksistensinya berbagai kelembagaan di desa ini, telah terjadi juga berbagai perubahan ke arah kemajuan maupun ketidakpercayaan masyarakat. Kemajuannya terbukti dengan kuatnya persatuan unsur pemuda, lancarnya penyaluran air tersier irigasi, hubungan antar desa dalam bidang keagamaan seperti dala’il qairat. Sedangkan rasa pesimis dan ketidakpercayaan masyarakat yakni dalam pengumpulan dana sosial kematian, terbukti dari pernah mundurnya anggota dari 91 kepala keluarga menjadi 76 kepala keluarga. Sejauh analisis penulis, permasalahannya adalah pada kekurangpahaman anggota dengan pola mekanisme penggunaan dana, artinya perlu suatu pertanggungjawaban keuangan yang lebih transparan .
31 Sumberdaya Lokal Pembahasan sumberdaya lokal ini akan dijelaskan dalam dua dimensi terpisah, yaitu hubungan penduduk dengan keberadaan lahan agraris dan hubungan penduduk dengan sumber daya lokal lainnya termasuk sumber daya manusia dalam pengetahuan dan kearifan lokal. Pemisahan ini dilakukan karena ditemui dua dimensi sumber daya lokal yang amat berpotensi di Gampong Lampisang Dayah. Pertama ketersediaan
SDA
kesinambungan
dengan
usahatani,
luasnya kedua
lahan
kering
pengalaman
yang
peternak
dapat
menjamin
secara
tradisional
(penggembalaan) yang mampu menyesuaikan diri dengan eksistensi SDA dimaksud. Sumber daya lokal yang berbentuk fisik jelas terlihat dari keberadaan lahan kering yang potensi bagi pengembangan petani, lain halnya dengan sumber daya manusia yang memilki pengetahuan dari pengalaman secara turun temurun yang disebut dengan pawang. Potensi pawang ini menjadi modal sosial dalam pengembangan perkebunan dan penggembalaan, karena mampu menafsirkan fenomena alam terhadap pekerjaan pertanian dan ternak. Hubungan penduduk dengan ketersediaan lahan, dilihat dari jumlah penduduk menunjukkan 60 kepala keluarga bermatapencaharian sektor pertanian lahan kering memiliki lahan kering seluas 524 hektar. Interpretasinya bahwa sebenarnya perkeluarga bisa menggarap sampai 8 hektar lahan kering, merupakan suatu sumberdaya alam yang paling luas. Hubungan peduduk dengan SDA khususnya menyangkut pengetahuan lokal petani merupakan modal dalam pembangunan sektor pertanian. Pengetahuan lokal yang dimaksud di sini adalah kemampuan melakukan pekerjaan penggembalaan secara tradisional dengan penguasaan lahan yang luas tetapi mampu menghadapi masalah hutan, binatang buas, teknis penanganan kesehatan ternak, semuanya berlangsung secara alamiah yang dijalankan sesuai petunjuk keahlian pawang. Potensi agraris dengan tupografi lembah, hutan, dataran serta kemampuan pawang menguasai kondisi alam merupakan sumberdaya lokal yang dimiliki desa ini sampai sekarang. Diprediksikan bahwa peran pawang selama ini secara pribadi, suatu saat akan meningkat/dipercaya petani menjadi Peutua Seuneubok, jika lembaga itu terbentuk kembali sesuai dengan adat.
Masalah Sosial dan Konflik Permasalahan sosial yang menonjol dalam masyarakat petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah yang pernah terjadi adalah ekses pembangunan irigasi teknis yang ternyata hanya dapat mengaliri 30 hektar sawah. Dampak yang
32 ditimbulkan adalah tidak dapat memberi kontribusi bagi kesejahteraan petani desa ini. Akibatnya, 60 KK petani tidak konsentarsi lagi pada lahan sawah yang tidak terjangkau irigasi dan beralih pekerjaannya pada penggarapan lahan kering dengan kegiatan pertanian dan peternakan. Pada tahun 1994 mereka ini justru melakukan perluasan lahan kering dengan membuka kebun di atas tanah negara. Pola peladangan liar (nomaden) yang menggunakan lahan untuk beberapa kali musim tanam oleh petani lahan kering ini tidak berlangsung lama karena masuknya proyek HTI. Aksi petani dengan membuka lahan hutan (menebang kayu) dimaksud dianggap bertentangan dengan norma adat desa, artinya menunjukkan bukti bahwa tindakan ini dilakukan secara kekerasan sebagai aksi protes terhadap pemerintahan pasca pembangunan irigasi teknis. Kesenjangan sosial tersebut telah berlangsung selama 13 tahun namun tidak menimbulkan konflik terbuka, karena petani menyadari bahwa pembangunan irigasi bukan kehendak masyarakat setempat, tetapi kebijakan Pemerintah Provinsi NAD. Konflik dan frustasi ini tidak mencuat karena menurut survei, tindakan petani membiarkan sawah terlantar seluas 105 hektar merupakan bagian dari simbol protes kekecewaannya terhadap kebijakan. Komplik sosial ini tidak muncul kepermukaan sehingga tidak terjadi tindakan anarkis terhadap sarana irigasi yang telah selesai dibangun akhir tahun 1994. Pengelolaan bahan galian–C di sungai Krung Inong pada tahun 1994 pernah mengalami konflik antara warga dengan perusahaan penggali dan penglah galian-C yang tidak memperhatikan kebutuhan warga. Ekses penggalian tersebut yakni berakibatkan kekeringan air sumur warga sehingga pernah terjadi konflik antara warga dengan perusahaan yakni meminta dengan paksa perhatian perusahaan terhadap kesejahteraan warga khususnya terhadap petani kebun dan ladang. Penyelesaian konflik yang dimediasi Wakil Gubernur Provinsi NAD tahun 1998, perusahaan tersebut telah menyetujui permintaan warga, di antaranya terlaksana perbaikan jalan desa sepanjang 125 meter tahun 1999, menampung tenaga kerja dari desa ini tahun 2001, membantu pembuatan jalan lingkar pada tahun 2006. Program yang dijanjikan ke depan adalah perbaikan infrastruktur sumber air dari mata air. Ketika penulis melakukan pengamatan di desa ini, bahwa kedua jalan tersebut telah terbangun, tetapi perusahaan belum memenuhi janji mengenai pembangunan infrastruktur penampungan air dari sumber mata air. Dengan demikian,
permasalahan
konflik
telah
dianggap
selesai,
pengembangan masyarakat belum sepenuhnya terealisasi.
namun
mengenai
33 Pengembangan Lahan Kering 4.2.1
Deskripsi Kegiatan Petani Lahan Kering Dari 120 kepala keluarga penduduk Gampong Lampisang Dayah, 98 kepala
keluarga menekuni pekerjaan sebagai petani, di antara petani dimaksud terdapat 60 kepala keluarga (61,22 %) bersumber penghidupan pertanian pengelolaan lahan kering peladangan, perkebunan dan dataran (padang rumput). Petani lahan kering ini muncul karena ekses pembangunan irigasi teknis sekaligus tidak memiliki akses terhadap lahan sawah irigasi seluas 30 hektar. Petani lahan kering tersebut sebenarnya ada yang memiliki lahan sawah, tetapi merupakan lahan sawah tadah hujan (rainfed), yaitu di anatar lahan sawah seluas 105 hektar. Lahan sawah rainfed tersebut tidak mereka manfaatkan setelah beberapa musim tanam mengalami kegagalan panen disebabkan rendahnya curah hujan. Ekses kekecewaan inilah sejak tiga tahun terakhir lahan sawah rainfed ditelantarkannya dan komunitas petani ini beralih pekerjaannya pada penggarapan lahan kering yang dimilikinya. Lahan kering seluas 524 hektar terdiri dari ladang, kebun, hutan dan dataran. Lahan ladang dan kebun dengan luas 163 hektar terletak di sebelah Utara dan Selatan, sedangkan hutan (tanah negara) seluas 90 hektar terletak di bagian Selatan. Di lahan hutan tersebut terdapat dataran 135 hektar menjadi lahan pengembalaan
ternak.
Dataran
seluas
225
hektar
tersebut
tidak
pernah
dimanfaatkan sebagai sumber lahan pertanian, akan tetapi di waktu sebelum tahun 1998 dan setelah tahun 2004, dataran 135 hektar dipergunakan petani untuk lahan penggembalaan ternak kerbau dan lembu. Petani
lahan
kering
yang
memiliki
kemampuan
dalam
pekerjaan
penggembalaan sangat terbatas karena aktivitas ini memerlukan pengetahuan lokal (local knowledge) tersendiri dalam beternak. Pengetahuan yang dibutuhkan adalah termasuk teknis penggembalaan dan penguasaan hutan dan pergunungan. Oleh sebab itulah maka kebanyakan petani lahan kering tidak bergerak di sektor penggembalaan namun hanya menempuh pekerjaan penggarapan lahan pertanian. Pertanian yang mereka tekuni sesuai dengan kondisi tanah yakni meliputi penanaman pohon kopi, kelapa, pinang dan pisang di kebun, untuk lahan peladangan ditanami tanaman jagung, ubi, cabe, tomat dan kacang. Prestasi dan kerjasama petani lahan kering yang telah terealisasi adalah prakarsanya dalam pembuatan jalan lingkar dengan lebar tiga meter sepanjang 500 meter dari rencana seluruhnya 1.300 meter. Posisi bangunan sarana jalan yang dibangun secara swadaya petani lahan kering dan partisipasi aktif seluruh lapisan
34 masyarakat desa bisa menjangkau lokasi peternakan, perkebunan/ ladang sebelah selatan. Target pembanguan infrastruktur jalan ini sampai dapat menghubungkan antara desa sebelah Timur dengan jalan irigasi, sehingga mempermudah aktivitas pertanian masyarakat desa secara keseluruhan.
1) Kegiatan Sektor Pertanian Sejak akhir tahun 2004 masing-masing petani aktif kembali pekerjaannya terhadap penggarapan lahan lahan kering. Aktivitas mereka di antaranya juga melakukan peremajaan kebun yang tidak terpelihara selama konflik. Lahan perkebunan tersebut sebelumnya telah terisi dengan berbagai jenis tumbuhan diantaranya pohon kelapa, pinang, kopi dan pisang. Umumnya peremajaan yang dilakukan adalah terhadap kebun kopi dan kelapa, digantikan kembali dengan pohon kopi dan kelapa hibrida. Sekarang pohon kopi dan kelapa rata-rata telah berusia tiga tahun, belum ada penghasilan dari usahatani ini. Adapun produksi kelapa selama ini merupakan hasil perkebunan lama milik sebagian petani yang tidak melakukan peremajaan kebun, tetapi menjadi suatu kelemahan yakni tingkat produksi kelapa, kopi dan pisang sudah menurun. Petani yang merawat dan mempertahankan tumbuhan lama sehingga tidak mengganti dengan tumbuhan hibrida karena proses penggantian tersebut membutuhkan biaya besar untuk pembuatan kembali pagar dan pengadaan benih unggul dan pemeliharaannya. Sumber modal untuk segala keperluan pembuatan kebun selama ini merupakan biaya sendiri masing-masing kepala keluarga akan tetapi dalam pelaksanaan pekerjaan sering dikerjakan secara gotongroyong sesama petani lahan kering termasuk dalam pengadaan peralatan pertanian yang sederhana. Dalam hal ini belum ditemui adanya petani yang memperoleh bantuan modal dari pihak Pemerintah Kabupaten Aceh Besar maupun dari swasta, selain dari jasa PPL Pertanian dalam bentuk penyuluhan dan konsultasi teknis. Aktifitas petani lahan kering yang memanfaatkan ladang untuk penanaman palawija, mereka masih mengolah tanah dengan alat bajak tenaga ternak. Pola penanamannya belum memilih bibit unggul, akan tetapi senantiasa memakai pupuk kompos. Pendamping teknis belum berperan maksimal terhadap kegiatan mereka, sehingga berdampak pada rendahnya produksi seperti cabe dan jagung. Selama tiga tahun terakhir tidak ditemui adanya petani yang menggunakan lahan kering untuk penanaman padi gogo, didapati juga bekas lahan penanaman
35 padi gogo yang telah dialihkan fungsi usahanya pada penanaman tumbuhan kopi dan pinang sekitar 2,3 hektar di dua tempat yang terpisah. Hasil pengamatan terhadap lahan tersebut tidak tertuang dalam hasil survei karena lahan bekas penanaman padi gogo dimaksud tidak terungkap dalam data lahan responden. Bersamaan dengan aktivitas pertaniaan, petani juga memelihara ternak dalam jumlah kecil masing-masing antara 2 sampai 3 ekor. Sistem pemeliharaan ternak kerbau dan lembu dilakukan dua model. Pertama, untuk penggemukan ternak jantan diusahakan dalam kandang secara tradisional, sedangkan cara kedua terhadap
ternak
yang
digunakan
tenaga
penggarap
lahan
pertanian,
pemeliharaannya diusahakan di luar kandang. Sumber pakan ternak ini didapati dari rumput yang tersedia di dalam lahan perkebunan dan peladangan masing-masing petani dan dari lahan petani lain yang tidak memelihara ternak atau tersedia lebih.
2) Kegiatan Sektor Penggembalaan Ternak Pengembangan ekonomi masyarakat Gampong Lampisang Dayah sangat strategis pada sektor pemeliharaan ternak sistem penggembalaan, karena didukung sumber daya alam yang memadai, khususnya lahan kering berupa dataran yang ditumbuhi rumput. Hasil pengamatan Syamsuddin dalam Mubyarto (1994), mengemukakan bahwa penggembalaan lembu secara tradisional dalam jumlah besar di sekitar pergunungan Seulawah telah berlangsung puluhan tahun dan sampai sekarang masih merupakan prioritas pengembangan perekonomian paling strategis oleh petani. Petani lahan kering di Gampong Lampisang Dayah yang menempuh pekerjaan sektor penggembalaan ternak kerbau dan lembu hanya empat kepala keluarga. Dua kepala keluarga menangani ternak kerbau saja dan dua kepala keluarga lagi menangani ternak lembu saja. Kedua penggembala kerbau ini menerapkan pola saling kerjasama dalam melaksanakan pekerjaan tersebut, demikian pula dengan penggembala lembu. Pembagian tugas dalam pekerjaannya meliputi pelepasan ternak kerbau dari kandang ke lahan dataran seluas 135 hektar pada pagi hari, pengawasan di siang hari dan penjemputan kembali ke kandang pada waktu sore. Pekerjaan rutin ini dilakukan secara bergiliran pada pagi hari tetapi bersama-sama pada waktu sore oleh ke empat pengembala tersebut.
Pola ini harus diterapkan karena proses
pengembalian ternak dari hutan ke kandang selalu mengalami kesulitan bahkan ancaman dari binatang buas (harimau).
36 Sehubungan dengan kondisi ancaman tersebut, mereka menempatkan kandang ternak seluas 1350 m² di atas lahan kering yang dimilikinya seluas 1,5 hektar. Sisa lahan tersebut dimanfaatkan untuk lahan pesediaan rumput cadangan pakan induk ternak yang baru melahirkan anak. Mengenai keuntungan menerapkan pola bagi hasil antara pihak pemilik modal dengan penggembala dengan bagiannya masing-masing sepedua (½) dari anak yang dihasilkan setelah berusia 18 sampai dengan 2 tahun. Induk ternak tetap dilanjutkan dalam penggembalaan tetapi induk ternak merupakan hak pemilik modal sepenuhnya. Berhubung
Gampong
Lampisang
Dayah
belum
terbentuk
pengurus
Seunebouk (lembaga adat yang mengurus perkebunan), para penggembala bersama pemilik modal serta warga telah menemui sepakat tentang larangan dan kewajiban dalam kegiatan penggembalaan, yaitu berupa : a.
Kewajiban; memelihara lingkungan hutan, saling tolong-menolong dalam pekerjaan penggembalaan dan bertanggungjawab menjaga keselamatan ternak secara bersama-sama.
b.
Hak;
mengusul
perubahan
sistem
penggembalaan,
menyusun
pola
penggembalaan, mengambil pinjaman dari pemilik modal, membuka usahatani lainnya di samping penggembalaan, mengganti/mengupahkan pekerjaan. c.
Larangan; Melepaskan kerbau ke sawah, mempekerjakan anak dalam usaha peternakan,
memperjualbelikan
hasil
hutan/menebang
kayu,
membunuh
binatang buas (harimau) dan menggunakan tenaga ternak untuk alat transportasi, kecuali sebagai tenaga untuk garap lahan. d.
Sanksi hukum; Untuk pelanggaran ringan dalam aktivitas penggembalaan diselesaikan bersama Tuha Peut (tokoh adat desa) dan Keuchik (kepala desa). Jenis pelanggaran berat menyangkut kerugian petani lainnya atau warga desa lain, diselesaikan melalui Mukim (pimpinan adat antar desa). Menyangkut tindak pidana (kriminalitas) tidak ditolelir lembaga adat setempat tetapi menjadi kewenangan pihak berwajib.
4.2.2
Evaluasi Kegiatan Petani Lahan Kering Kegiatan petani lahan kering seperti telah diuraikan di atas meliputi usahatani
pertanian di peladangan, perkebunan, penggembalaan, dan pemeliharaan ternak di lahan pertanian. Penanganan sektor pertanian dan penggembalaan ditinjau dari aspek pengembangan masyarakat petani dapat ditemukan beberapa indikasi kemajuan, di antaranya ialah;
37 1) Petani yang beraktivitas di sektor penggembalaan ternak, telah menunjukkan kemajuan ditinjau dari pelaksanaan pekerjaannya sebagai berikut : a. Penggembangan ekonomi pertanian, terlihat dari terealisasinya investasi sebagai bukti telah dapat kepercayaan (trust) dari pihak pengusaha dan masyarakat
desa
dan
sekitarnya.
Dengan
modal
tersebut,
ternyata
memerlukan beberapa kepala keluarga untuk melaksanakan kegiatan rutin. Artinya telah membuka lapangan kerja keluarga dan berfunsinya lahan kering untuk kegiatan yang produktif. b. Penggembangan
kelembagaan,
diketahui
dari
lahirnya
aturan/norma
mengikat petani, yang dikeluarkan secara bersama-sama oleh penggembala walaupun semua ini belum terbentuk suatu organisasi yang terstruktur. Di sini adanya suatu pengaturan dan kerjasama dan hubungan penggembalaan secara bertanggungjawab. c. Kesejahteraan, diketahui pengusaha
selama
adanya peluang peminjaman penggembala dari
belum
berpenghasilan
di
sektor
pengembalaan.
Kemudian, penggembala ini senantiasa membuka ladang/kebun yang dapat berpenghasilan dari tanaman palawija setiap musim atau minimal selama 3 sampai 6 bulan sekali. d. Patisipatif, ditinjau dari perpaduan antara pola top-down/bottom-up planing, besarnya peran pendamping khusus terhadap penanganan ternak dan penyuluhan pertanian. Petani juga telah berpartisipatif termasuk kesediaan mereka dalam swadaya pembangunan infrastruktur jalan lingkar. e. Kerjasama telah terjalin dengan pengusaha dan beberapa warga desa maupun dengan warga desa lain bahkan dengan orang di luar kabupaten sekalipun. Hubungan vertikal terakhir juga sedang negosiasi terhadap lembaga donor, yakni BRR Aceh-Nias dengan program pembentukan keompok tani yang bergerak di sektor peternakan. f.
Keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam tercermin dari beberapa aturan (larangan) yang dikeluarkan/dijalankan bersama, masih senantiasa ditaati pengembala. Termasuk larangan eksploitasi hutan, membunuh satwa liar maupun binatang buas.
2) Petani yang berkiprah di sektor pertanian dan pemeliharaan ternak, juga telah menunjukkan kemajuan dalam beberapa aspek dari pelaksanaan pekerjaan berikut :
pembangunan, dapat ditinjau
38 a. Pengembangan ekonomi petani, kurang mendapat perhatian pihak lain sehingga belum ada investasi ke sektor pertanian. Hal ini menunjukkan ketidakpercayaan (trust) dari pihak pengusaha dan masyarakat desa terhadap petani kebun/ladang dalam pengembangan upayatani tersebut. Dampak dari terbatasnya modal usaha, akhirnya masih banyak lahan mereka yang belum dikelola dengan baik. Kepala keluarga yang bergerak di sektor pertanian belum mampu memaksimalkan fungsi lahan secara intensifikasi, artinya ketersediaan lapangan kerja masih sangat terbatas. b. Pengembangan kelembagaan belum terlihat karena belum ditemui adanya suatu aturan dan norma yang berkaitan dengan usahatani ini. c. Kesejahteraan, diperoleh dari penghasilan kebun dan usaha peladangan berupa tanaman palawija setiap musim atau minimal selama 3 sampai 6 bulan sekali. Di samping usaha pertanian, ada petani yang mengusahakan penggemukan lembu jantan yang harganya relatif tinggi. d. Patisipatif, ditinjau dari perpaduan antara pola top-down/bottom-up planing, besarnya peran pendamping khusus terhadap penanganan ternak dan penyuluhan pertanian. Petani juga telah berpartisipatif termasuk keterlibatan dalam pembangunan infrastruktur jalan lingkar. e. Kerjasama yang baru terjalin masih sebatas rencana atau masih tahap negosiasi terhadap lembaga donor BRR Aceh-Nias. f.
Keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam belum kelihatan dari kegiatan mereka. Di desa ini terdapat tiga sumber mata air tetapi mereka belum melaksanakan usaha pelestariannya padahal dapat dijadikan sebagai kebutuhan ternak dan penanaman palawija.
4.2.3
Pengembangan Ekonomi Mengingat 50 persen kepala keluarga penduduk Gampong Lampisang Dayah
bermata pencaharian pertanian lahan kering dengan pola kerja subsisten, maka ketersediaan 524 hektar lahan kering sangat mendukung pengembangan ekonomi lokal untuk kegiatan pertanian maupun penggembalaan ternak. Kemudian, memperhatikan jenis tanaman yang diusahakan petani selama ini merupakan komoditi yang dibutuhkan di pasaran lokal mapun luar daerah. Demikian juga dengan jenis ternak lokal, selama ini menjadi komoditi yang diminati oleh konsumen lokal dan kebutuhan untuk Kota Medan (Sumatera Utara).
39 Sehubungan dengan tepatnya pemilihan usahatani dimaksud, dukunngan pengembangan ekonomi datang dari pengasaha yang menanam modal pada sektor pengembangan ternak. Selain itu kiprah pendamping khusus dari Dinas Peternakan dan Pertanian sangat mendukung kegiatan petani lahan kering untuk lebih produktif dan kreatif. Perkembangan masih sebatas kemajuan dalam hal akses kepada sumber modal, pemanfaatan sumber daya alam lahan kering dan ketersediaan lapangan kerja keluarga dan produktifitas ternak setelah selama tiga tahun pertama diusahakan, yaitu akhir tahun 2007. Pengembangan ekonomi sektor penggembalaan termasuk berhasil, sesuai pengakuan pengusaha sekaligus akan mengucurkan lagi modal pada tahun 2008. Keberhasilan
dapat
diukur
dari
aspek
keselamatan
ternak,
terhindar
dari
pencurian/penyakit/binatang buas, selanjutnya produktifitas ternak tinggi dan biaya operasional penanganan ternak sangat minim selama tiga tahun. Alasan lain adalah berdasarkan hasil survei Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias telah mengatakan berencana akan membentuk dua kelompok tani dengan kegiatan usaha ternak lembu asal Lampung. Rencana BRR menunjukkan keyakinan mereka bahwa dukungan sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk pemeliharaan ternak sangat mendukung keberlanjutan, tetapi harus melalui suatu kelembagaan yang terbina dan terstruktur (kelompok). Dengan demikian pengembangan ekonomi lokal terhadap petani lahan kering memungkinkan dilakukan ke depan, tentunya harus diawali dengan tahapan penguatan kelembagaan (kelompok). Pengembangan kelembagaan (institutional development) akan diuraikan lebih jauh dalam subbab pengembangan kelembagaan.
4.2.4
Pengembangan Kelembagaan Proses pengembangan kelembagaan harus didukung berbagai dimensi
termasuk keberadaan SDM, SDA, tenaga kerja lokal, biaya/modal, teknologi, kepercayaan
(trust)
dan
pengelolaan
menajemen.
Oleh
karena
itu,
untuk
membangun sebuah lembaga yang bisa berkelanjutan kegiatannya perlu diawali dari pembinaan/pelatihan personil (anggota kelompok), sehingga kelembagaan yang dibentuk mampu berjalan secara efektif dari segi tenaga dan efesien dalam pemanfaatan biaya. Israel (1990) berpendapat pengembangan kelembagaan tidak terlepas dari kemampuan pengelolaan manajemen secara menyeluruh terutama menyangkut evaluasi interen ke dalam organisasi mengenai keberadaan struktur dan perubahan
40 organisasi termasuk kebijakan penempatan staf/anggota, pelatihan, prestasi adminitrasi keuangan. Dipihak lain harus trampil dalam perencanaan, penyusunan anggaran, pengadaan dan perawatan/pemeliharaan aset sebagai khas kelembagaan yang efesiensi. Persoalan lain yang selalu berjalan adalah senantiasa koordinasi antar institusi formal maupun informal. Para petani lahan kering Gampong Lampisang Dayah belum terorganisir kesatuannya disebabkan tidak adanya tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dalam kegiatan ini. Namun demikian kalangan penggembala yang memiliki tokoh berpengalaman turun-temuran tentang perkebunan dan kehutanan selama puluhan tahun dalam kegiatannya, secara perlahan mulai menyusun strategi atau langkahlangkah kearah terbentuknya pengorganisasian kelompok. Realitanya terlihat dari hubungan kerjasama dan norma/aturan dan pembagian kerja mereka. Secara utuh akan dilihat pola hubungan dan koordinasi petani lahan kering berdasarkan hubungan, kerjasama dan pengaruh dengan institusi lain yang ada, termasuk organisasi non pemerintah maupun dengan Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar. Pola hubungan petani lahan kering dengan organisasi di tingkat desa tidak saling mempengaruhi kecuali hubungan secara peribadi antara warga desa dengan petani itu sendiri. Jaringan kerja (network) secara horizontal di kalangan petani lahan kering terjadi tingkat Gampong Lampisang Dayah, demikian juga halnya hubungan vertikal dengan institusi lain termasuk hubungan di tingkat kecamatan maupun dengan institusi tingkat Kabupaten Aceh Besar. Yang paling mempengaruhi gerakan petani lahan kering adalah mobilisasi langsung dari pengusaha lokal, pendamping teknis, petani lahan sawah/masyarakat, tetapi mengalami kelemahan dalam jaringan kerja adalah belum terjalinnya hubungan dengan dua dinas teknis Kabupaten Aceh Besar yang memiliki peran penting dalam pengembangan masyarakat petani. Pada tahun 2007 BRR Aceh-Nias yang difasilitasi BPM Aceh Besar melakukan survei terhadap petani desa ini dengan program pengembangan pertanian dan peternakan. Hubungan dengan lembaga-lembaga tingkat desa saling mempengaruhi tetapi belum munculnya suatu kerjasama dalam pengembangan pertanian lahan kering. Dengan munculnya rencana lembaga donatur tersebut, petani lahan kering akan lebih mudah melakukan hubungan eksternal. Jaringan kerja ini menunjukkan potensi pada pembentukan beberapa strategi penguatan
kelembagaan
petani
lahan
kering
dalam
bidang
peningkatan
perekonomian sesama komunitas. Penguatan kelembagaan tersebut harus dibangun
41 berdasarkan hubungan vertikal terhadap institusi yang sudah berinteraksi dan peningkatan partisipasi horizontal dalam komunitas, sebagaimana telah terjalin dalam usahatani. Gambar 5 berikut memberi makna pada pengaruh antar institusi dalam pengembangan petani lahan kering. Gambar 5 Skema Pola Hubungan Kerja Petani Lahan Kering
Lembaga lain di tingkat Desa
Pengusaha Lokal
BPM Aceh Besar
Pendamping Teknis/ Mantri Hewan
Dinas Peternakan Aceh Besar
Petani Lahan Kering BRR Aceh - Nias
Masyarakat Desa
Petani Lahan Sawah
mempengaruhi
Pendamping Teknis/PPL Pertanian
saling mempengaruhi
Dinas Pertanian Aceh Besar
koordinasi
Memperhatikan berbagai potensi di atas termasuk ketersediaan lahan perkebunan, munculnya tokoh yang memiliki pengetahuan kearifan lokal dan jumlah petani sampai 60 kepala keluarga pada prinsipnya strategis terhadap pembentukan kelembagaan lokal. Organisasi yang mendukung kegiatan tersebut bisa dibentuk berdasarkan kekuatan adat, yaitu semacam lembaga adat Seuneubok. Syarif (2001) dan (El Hakimi, 1991)
menjelaskan mengenai pembentukan Seuneubok adalah
terhadap areal tanah pertanian yang dibuka lebih 10 hektar digarap lebih dari 10 orang, dapat di bentuk satu Seuneubok dipimpin oleh seorang Peutua yang memahami peran adat; termasuk perekonomian, kesejahteraan, penegakan adat dan persoalan pertanahan.
42 Dengan adanya dasar hukum tentang yang mengatur Pemerintahan Aceh dan kelembagaan adat (Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006), maka peluang pembentukan kelembagaan tersebut sudah memungkinkan karena didukung perangkat lainnya yang ada di desa. Tujuan organisasi ini adalah pengembangan masyarakat melalui pengembangan kelembagaan, yang di perkuat dengan hubungan kerja bersama kelembagaan lain.
4.3 Ihktisar Potensi sumber daya alam berupa ketersediaan lahan kering di Gampong Lampisang Dayah sangat mendukung kegiatan pertanian dan peternakan. Petani yang bergerak di sektor perkebunan dan peladangan agak lamban dibandingkan dengan petani yang menekuni sektor penggembalaan. Indikator yang dapat membuktikannya kemajuan pengembala terlihat dari berbagai aspek sosial ekonomi. Pengembangan ke arah pelembagaan seperti network, profesional penggembalaan dan pola pengaturan kegiatan sangat menonjol di kalangan penggembala, semua ini merupakan
modal
sosial.
Dengan
kekuatan
yang
dimiliki
dan
peluang
pengembangan ekonomi termasuk perolehan bantuan modal yang cukup besar dari pihak swasta, dari masyarakat dalam desa dan luar desa pada tahun 2005 ternyata mampu menjalankan kegiatan pengembangan ekonomi lokal. Kependudukan mendukung aktivitas petanian karena 52 persen merupakan tenaga produktif dan 98 persen kepala keluarga bekerja sebagai petani dengan luas lahan kering 524 hektar. Aktivitas pertanian mulai aktif kembali pasca penyelesaian konflik sosial di desa ini, namun demikian solusi yang disepakati antara perusahaan dan warga belum direalisasikan. Aktivitas penggembalaan ternak d atas lahan 135 hektar mengalami kemajuan dan sedang mengarah pada terbentuknya kelembagaan jika dilihat dari munculnya aturan-aturan internal.