Multifungsi Lahan dan Revitalisasi Pertanian Oleh : Irawan Pengetahuan dan pemahaman masyarakat di Jepang terhadap multifungsi pertanian sudah sedemikian rupa sehingga pertanian dinilai bukan dari hasil budi dayanya saja, tetapi juga dari manfaat lingkungannya yang dirasakan oleh masyarakat luas. Cukup menarik apa yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat membuka Kongres XVI Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), 18 Juni 2006, di Manado. Menurut Presiden, pembangunan nasional jangka pendek harus diarahkan pada dua hal yang sangat mendesak, yaitu mendorong lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat akan pendidikan dan kesehatan. Karena itu perlu terobosan program atau new deal. Sementara itu Ketua Umum ISEI, Burhanuddin Abdullah yang juga Gubernur Bank Indonesia mengatakan, pertanian menjadi salah satu pilihan utama yang dapat dijadikan dasar untuk menjadi basis kekuatan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Namun, ada fakta menarik bahwa posisi pertanian dalam pembangunan ekonomi saat ini masih sangat lemah. Fenomena konversi lahan pertanian, seperti lahan sawah produktif menjadi penggunaan non-pertanian, menjadi salah satu buktinya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode 1981-1999, pemerintah dan masyarakat telah membangun sawah (ekstensifikasi) sekitar 3,2 juta ha (84 persen di Luar Jawa). Namun, dalam kurun yang sama sekitar 1,6 juta ha sawah (62,5 persen di Jawa) berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, industri dan perdagangan, perkantoran, atau jalan. Tahun 1999-2002 lebih dramatis lagi, yakni 188.000 hektare sawah per tahun (70 persen di luar Jawa) berubah fungsi, sementara pencetakan sawah baru hanya 46.400 hektare per tahun (87 persen di luar Jawa). Di masa depan, konversi ini akan semakin dipercepat apabila tidak ada langkah konkret untuk mengendalikan. Dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi menunjukkan sekitar 3,1 juta hektare sawah (42 persen dari luas baku sawah beririgasi saat ini) sudah dialokasikan untuk pembangunan non-pertanian. Secara ekonomi, konversi lahan sawah memang sangat menguntungkan. Hal itu tercermin dari nilai land rent lahan untuk pertanian yang sangat rendah dibandingkan kegiatan lain. Menurut Nasoetion dan Winoto (1996), lahan pertanian dibanding kawasan industri atau perumahan perbandingannya bisa mencapai 1:500. Namun, itu hanya dinilai secara ekonomi karena ada pasarnya (tangible and marketable goods), sedangkan lahan sawah sulit dinilai karena lebih mengedepankan pada manfaat lingkungan dan sosial, bukan semata ekonomi.
Multifungsi Dalam sebuah riset kepada para peneliti bidang pertanian, penyuluh pertanian, birokrat pertanian, dan para petani diajukan pertanyaan berikut: "Selain berfungsi sebagai media budi daya tanaman yang menghasilkan beras, sayuran, dan buah-buahan sebagai bahan makanan (pangan) serta serat sebagai bahan pakaian (sandang), lahan pertanian mempunyai multifungsi bagi lingkungan hidup. Menurut Saudara, apa saja multifungsi lahan pertanian bagi lingkungan hidup tersebut?" Sederhana saja, tujuan mengajukan pertanyaan itu adalah untuk mengetahui apakah responden mengenal istilah multifungsi pertanian dan menyebutkan beberapa contoh yang mereka ketahui dan pahami mengenai hal itu. Tidak sampai 50 persen responden yang menyebutkan bahwa pertanian mempunyai fungsi sebagai penyerap tenaga kerja, sumber mata pencaharian, penyangga perekonomian, penyangga atau penstabil ketahanan pangan nasional. Multifungsi pertanian dalam aspek biofisik juga kurang dikenal, seperti sebagai pengendali banjir dan erosi, penyedia dan pendaurulang (konservasi) sumber daya air, penyegar atau mitigasi peningkatan suhu udara, penyerap sampah (sisa bahan) organik, pemelihara keragaman sumber daya hayati, atau penambat karbon. Demikian juga multifungsi pertanian dalam aspek sosial-budaya, kurang dikenal responden. Multifungsi itu misalnya sebagai perekat hubungan masyarakat pedesaan, pelestari budaya dan etika lingkungan masyarakat perdesaan, tempat rekreasi dan sumber inspirasi, atau sarana pendidikan. Setelah dijelaskan tentang multifungsi, baru responden bisa menerimanya dan mengerti. Memang, tidak semua multifungsi pertanian dapat dimengerti, apalagi dipahami secara proses. Masih butuh waktu, riset, dan berbagai aktivitas penyuluhan dan diseminasi agar konsep, makna dan aplikasi multifungsi pertanian dalam pembangunan pertanian dapat diterapkan. Sebagai bahan pembelajaran dapat dikemukakan bahwa pengetahuan dan pemahaman masyarakat di Jepang terhadap multifungsi pertanian sudah sedemikian rupa sehingga pertanian dinilai bukan dari hasil budi dayanya saja, tetapi juga dari manfaat lingkungannya yang dirasakan oleh masyarakat luas. Masyarakat di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan mengenal 13 sampai 30 aspek multifungsi pertanian. Memang harus diakui bahwa selain memberikan fungsi lingkungan yang bersifat positif, pertanian juga menimbulkan dampak negatif, seperti pencemaran air dan sumber emisi gas methan. Namun, pakar ekonomi dan ekologi (ekonomi lingkungan) di Jepang meyakini bahwa nilai manfaat keberadaan pertanian jauh lebih besar daripada kerugian yang ditimbulkannya. Apalagi saat ini sudah tersedia teknologi usaha tani padi berwawasan lingkungan yang mampu menekan penggunaan bahan-bahan kimia yang berlebihan dan emisi gas methan. Sebagai bentuk aplikasi pendekatan multifungsi pertanian dan tingginya penghargaan masyarakat Jepang terhadap manfaat jasa lingkungan (multifungsi) lahan sawah, antara
lain dalam bentuk harga gabah dan beras yang tinggi, yakni masing-masing 285 yen/kg atau sekitar Rp 22.800/kg dan 400 yen/kg. Sesuai dengan kondisi geografi dan iklim setempat, lahan sawah di Jepang diyakini mampu mengendalikan banjir karena petakan-petakan sawah berperan sebagai dam-dam kecil. Petakan itu mampu menampung dan menahan air hujan, sekaligus menyaring tanah yang tererosi sebelum air itu mengalir ke badan-badan sungai, sehingga berperan juga dalam pengendalian pendangkalannya. Tidak heran kalau pematang sawah di Jepang relatif tinggi dan sebagian dibuat permanen, karena semakin tinggi pematang sawah akan semakin besar volume air hujan yang dapat ditampung dan ditahan oleh petakan sawah. Penetapan harga gabah di Jepang itu tentu didasarkan hasil riset dan kebijakan yang komprehensif dan paripurna. Salah satunya adalah riset mengenai penilaian (valuasi) ekonomi fungsi-fungsi lingkungan pertanian. Nilai manfaat jasa lingkungan pertanian tidak kalah pentingnya dengan nilai hasil budi daya. Kebijakan swasembada beras yang dicanangkan oleh Pemerintah Jepang termasuk yang sulit dimengerti oleh para ahli ekonomi yang mendambakan dan mempercayai mekanisme pasar sebagai kelembagaan paling efisien dalam mengalokasikan sumber daya. Mengapa Jepang tetap bersikeras berswasembada beras padahal tersedia beras di pasar internasional dengan harga 10 kali lipat lebih murah? Boleh jadi kebijakan Pemerintah Jepang itu hanya dimengerti oleh para ahli lingkungan (ekolog). Valuasi Ekonomi Hasil pertanian berupa padi, sayuran, atau buah-buahan secara langsung dapat dinilai harganya melalui mekanisme pasar yang berlaku, tetapi tidak demikian dengan manfaat multifungsi pertanian. Ada beberapa pendekatan dan metode yang dapat digunakan untuk melakukan valuasi ekonomi jasa lingkungan pertanian, seperti CVM (contingent valuation method), RCM (replacement cost method), atau TCM (travel cost method). Hasil riset di DAS Citarum, Jawa Barat, yang menggunakan metode RCM menyatakan bahwa nilai ekonomi multifungsi lahan sawah sekitar 51 persen dari nilai jual beras yang dihasilkan sawah di DAS tersebut (Agus, et al, 2004). Nilai ekonomi multifungsi sawah tersebut hanya berdasarkan pada beberapa multifungsi lahan saja, seperti fungsi pengendalian banjir dan erosi, daur ulang sampah organik, mitigasi kenaikan suhu udara, dan daya tarik pedesaan (rekreasi). Oleh karena itu, nilai multifungsi lahan pertanian yang sesungguhnya masih akan lebih tinggi lagi apabila seluruh fungsi lingkungan lahan sawah di DAS tersebut diidentifikasi dan dinilai manfaatnya. Makna sederhana dari hasil riset tersebut adalah bahwa petani padi sebenarnya layak memperoleh harga jual gabah yang lebih tinggi, sekurangkurangnya 51 persen dari harga yang berlaku di pasar. Apabila harga gabah Rp 1.800/kg maka sebenarnya petani berhak menerima harga jual gabah sekitar Rp 2.700/kg.
Memang menjadi "PR" bagi Departemen Pertanian untuk merumuskan kebijakan dan mekanismenya agar petani memperoleh harga jual hasil pertanian yang layak dan mencerminkan harga yang sebenarnya tersebut. Di sinilah ruang kebijakan pertanian harus dimainkan, tidak sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Menyerahkan sepenuhnya sistem alokasi dan pemanfaatan lahan sawah kepada mekanisme pasar telah dan akan menimbulkan "bencana" dalam banyak aspek. Fakta terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi dan berproduktivitas tinggi belakangan ini dipicu oleh perburuan rente ekonomi jangka pendek dan ketidaktahuan atau ketidakpedulian terhadap hilangnya multifungsi sawah yang tidak tergantikan secara sepadan. Dampak negatif alih fungsi lahan sawah terhadap lingkungan bersifat kumulatif, artinya potensi kehilangan produksi beras, palawija, kesempatan kerja dan kerusakan lingkungan tersebut akan meningkat dari tahun ke tahun. Pada tingkat alih fungsi lahan sawah seperti yang terjadi selama ini maka berbagai dampak negatif tersebut akan menjadi bencana yang dipercepat. Muara dari semua itu adalah kesejahteraan masyarakat yang sulit meningkat. Konsep dan pendekatan multifungsi pertanian sangat relevan jika dikaitkan dengan Program Revitalisasi Pertanian sebagaimana dituangkan dalam RPPK. Hal tersebut karena RPPK sebagai perwujudan keberpihakan pembangunan kepada sektor pertanian dan petani tidak mungkin terwujud apabila masyarakat dan pemerintah tidak memberikan apresiasi yang pantas dan seutuhnya terhadap keberadaan dan manfaat pertanian. Arah kebijakan pembangunan pertanian, seperti penguatan dan penumbuhan lembaga petani, penguatan dan penumbuhan kembali sistem penyuluhan, dan pengamanan ketersediaan pangan dari produksi dalam negeri melalui upaya-upaya untuk mengamankan daerah irigasi dan optimalisasi lahan akan sangat relevan apabila didekati melalui analisis dan pendekatan multifungsi pertanian. Keberhasilan penerapan program dalam rangka revitalisasi pertanian tersebut sangat erat kaitannya dengan apresiasi masyarakat terhadap pertanian secara menyeluruh. Kalau pertanian hanya dipandang sebatas sebagai penghasil produk yang dapat dipasarkan akan sulit meningkatkan kesejahteraan petani setara dengan pelaku ekonomi sektor lainnya. Seperti apa yang terjadi saat ini menjadi petani atau bekerja di sektor pertanian adalah pilihan terakhir bagi angkatan kerja. Badan Penelitian dan Pengembangan (Badan Litbang) Pertanian dalam lima tahun terakhir ini bekerja sama dengan MAFF (Departemen Pertanian, Kehutanan dan Perikanan) Jepang dan Sekretariat ASEAN melakukan kajian mengenai multifungsi pertanian. Selama ini hasil kajian tersebut disebarluaskan melalui seminar dan publikasi yang relatif terbatas. Guna menjangkau berbagai kalangan yang terkait dengan pembangunan pertanian, tidak mengherankan bila Badan Litbang Pertanian akan menyelenggarakan seminar
multifungsi dan revitalisasi pertanian pada 27-28 Juni 2006 di Bogor. Tema yang diangkat adalah "Apresiasi Multifungsi Pertanian untuk Mengendalikan Konversi Lahan Guna Mewujudkan Lahan Pertanian Abadi." Sejumlah pakar multifungsi pertanian luar negeri seperti dari Jepang, Korea Selatan, Filipina, Malaysia, dan lembaga riset internasional telah diundang sebagai pembicara. Demikian pula beberapa pakar nasional bidang tata ruang, lingkungan hidup, kebijakan pertanian, dan bidang terkait lainnya akan mendiskusikan aspek-aspek multifungsi pertanian, termasuk prospek aplikasinya di Indonesia. Sisi dampak negatif pertanian juga tidak luput akan menjadi bagian materi yang diseminarkan. Tentunya kita berharap, dari seminar yang akan dibuka Menteri Pertanian Republik Indonesia ini menghasilkan format pembangunan pertanian menuju masa depan yang lebih baik, memperbaiki secara signifikan pembangunan pertanian yang sedang berlangsung sehingga dapat meningkatkan kebanggaan dan kesejahteraan petani. Irawan Penulis adalah peneliti Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Dimuat pada surat kabar Suara Pembaruan, 23 Juni 2006