Seminar Nasional 2005 ARAH DAN STRATEGI REVITALISASI PERTANIAN Nizwar Syafa’at Ahli Peneliti Utama pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian
PENDAHULUAN Program Revitalisasi Pertanian yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 11 Juni 2005 merupakan perwujudan komitmen pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla pada saat kampanye Pemilu 2004 yang dituangkan dalam “Buku Putih Pemilu 2004 - Membangun Indonesia yang Aman, Adil dan Sejahtera”. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa ada dua agenda dan program untuk membangun Indonesia yaitu: (1) Program perbaikan ekonomi dan kesejahteraan, yang meliputi revitalisasi pertanian dan pedesaan; revitalisasi kelautan dan wilayah pesisir; reforma agraria dan daya saing ekonomi pedesaan; dan (2) Program penghapusan kemiskinan, yang meliputi pemantapan ketahanan pangan; revitalisasi pertanian dan pedesaan; revitalisasi kelautan dan wilayah pesisir; dan pengembangan infrastruktur pedesaan dan daerah terpencil. Dengan demikian, program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (RPPK) merupakan janji presiden kepada masyarakat Indonesia untuk direalisasikan. Pertimbangan mendasar yang melatarbelakangi pentingnya program RPPK tersebut adalah adanya fakta empiris bahwa sektor pertanian, perikanan dan perkebunan masih tetap berperan vital dalam mewujudkan tujuan nasional untuk memajukan kesejahteraan umum, namun vitalitas kinerjanya kini cenderung mengalami degradasi, sehingga perlu segera direvitalisasi secara sungguh-sungguh. Revitalisasi pertanian merupakan pernyataan politik pemerintah untuk menjadikan sektor pertanian sebagai prioritas pembangunan nasional. Komitmen Presiden terhadap RPPK diimplimentasikan ke dalam program pembangunan ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu yaitu : strategi tiga jalur (triple track strategy) yang berazas pro-pertumbuhan (pro-growth), pro-kesempatan kerja (proemployment) dan pro-masyarakat miskin (pro-poor). Strategi tiga jalur tersebut diimplementasikan ke dalam: (1) Peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5 persen per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor; (2) Pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru; dan (3) Revitalisasi sektor pertanian dan pedesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Secara rinci, sasaran program pembangunan nasional tersebut untuk menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi hanya 8,2 persen pada tahun 2009 dari sekitar 16,6 persen pada tahun 2004. Jumlah pengangguran terbuka juga akan diusahakan untuk diturunkan dari sekitar 9,5 persen pada tahun 2004 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009. Untuk mencapai sasaran tersebut, pertumbuhan ekonomi diupayakan meningkat dari 5,5 persen pada tahun 2005 menjadi 7,6 persen pada tahun 2009 atau rata-rata tumbuh 6,6 persen per tahun. Investasi masyarakat diupayakan meningkat dari 16,0 persen tahun 2004 menjadi 24,4 persen tahun 2009, ekspor meningkat dari 5,5 persen menjadi 8,7 persen dan sektor pertanian (termasuk di dalamnya pertanian, perikanan, dan kehutanan), industri pengolahan non-migas, dan sektor lain masing-masing tumbuh rata-rata sekitar 3,5 persen, 8,6 persen, dan 6,8 persen per tahun. Makalah ini menyajikan uraian arah dan strategi RPPK yang difokuskan pada Revitalisasi Pertanian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
1
Seminar Nasional 2005 ARAH DAN MASA DEPAN PERTANIAN A. Pengertian Revitalisasi Pertanian Revitalisasi pertanian mengandung arti sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual dalam arti menyegarkan kembali vitalitas memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Revitalisasi bukan dimaksudkan membangun pertanian at all cost dengan cara-cara yang top-dwon sentralistik; bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana; tetapi revitalisasi adalah menggalang komitmen dan kerja sama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat melihat pertanian tidak hanya urusan bercocok tanam yang hanya sekedar menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian mempunyai multifungsi yang belum mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat. Pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat kita. Pertanian merupakan pemasok sandang, pangan, dan pakan untuk kehidupan penduduk desa dan kota; juga sebagai pemelihara atau konservasi alam yang berkelanjutan dan keindahan lingkungan untuk dinikmati (wisata-agro), sebagai penghasil biofarmaka dan penghasil energi seperti bio-diesel. B. Arah Masa Depan Kondisi Petani Indonesia Sampai saat ini petani masih menghadapi masalah dan kendala yang berkaitan dengan: (a) Akses sepenuhnya terhadap layanan dan sumberdaya produktif; (b) Perlindungan usahatani; (c) Keberdayaan dalam mengembangkan kegiatan yang dilakukan; dan (d) Rendahnya tingkat pendidikan, status gizi dan ketahanan pangan serta kesetaraan gender. Dalam tahun 1993-2003 jumlah petani gurem (dengan luas garapan kurang dari 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta KK menjadi 13,7 juta KK (meningkat 2,6% per tahun). Sementara itu, luas lahan semakin berkurang dan perkembangan kesempatan kerja di luar pertanian terbatas. Jumlah rumah tangga petani (RTP) menurut Sensus Pertanian (SP) 2003 mencapai 25,58 juta RTP, dan sekitar 40 persen RTP tergolong tidak mampu. Kualitas SDM pertanian masih rendah. Menurut data BPS tahun 2002, tingkat pendidikan tenaga kerja pertanian yang tidak sekolah dan tidak tamat SD masih sekitar 35 persen, tamat SD 46 persen, dan tamat SLTP 13 persen. Dibandingkan dengan sektor non pertanian pada tahun yang sama, tingkat pendidikan tenaga kerja yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD 31 persen, tamat SLTP sekitar 20 persen, dan tamat SLTA 27 persen. Status gizi penduduk Indonesia yang sebagian besar petani masih rendah, walaupun ada perbaikan dari waktu ke waktu. Kualitas konsumsi pada tahun 2002 baru mencapai skor 68,4 PPH (Pola Pangan Harapan). Namun demikian konsumsi energi sudah mencapai 90,3 persen dari AKG (Angka Kecukupan Gizi). Diskriminasi upah bagi wanita dan pria masih ditemui di sektor pertanian yang merugikan peran wanita dalam pembangunan pertanian. Perlindungan usahatani juga rendah. Belum ada jaminan yang cukup memadai atas perlindungan usahatani mereka, keculai usahatani padi melalui pemberlakuan jamainan Harga Pembelian Pemerintah dan pengenaan tarif beras serta pemberian subsidi dan pengembangan teknologi. Oleh karena itu, ke depan kondisi petani yang diharapkan adalah : (a) petani memilik akses sepenuhnya terhadap layanan dan sumberdaya produktif; (b) petani mendapat perlindungan usahatani; (c) petani memiliki keberdayaan dalam mengembangkan kegiatan yang dilakukan; dan (d) petani mempunyai tingkat pendidikan, status gizi dan ketahanan pangan serta kesetaraan gender yang cukup memadai sesuai dengan norma yang berlaku.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
2
Seminar Nasional 2005 C. Arah Masa Depan Kondisi Sumberdaya Pertanian Indonesia Sumberdaya lahan yang dipergunakan untuk produksi pertanian relatif terbatas. Dalam dekade terakhir, luas lahan pertanian yang sudah diusahakan sekitar 17,19 persen dari total luas potensi lahan, yang terdiri dari 4,08 persen untuk areal perkebunan; 4,07 persen untuk lahan sawah; 2,83 persen untuk pertanian lahan kering dan 6,21 persen untuk ladang berpindah. Perkembangan luas lahan pertanian, terutama lahan sawah dan lahan kering (tegalan), sangat lambat, kecuali dibidang perkebunan (Gambar 1).
Gambar 1. Perkembangan Penggunaan Lahan Pertanian di Indonesia, 1996-2004 (BPS, Jakarta)
Peningkatan jumlah penduduk tahun 2000-2003 sekitar 1,5 persen per tahun menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan terhadap sumberdaya lahan dan air. Luas ratarata kepemilikan lahan sawah di Jawa dan Bali hanya 0,34 ha per rumah tangga petani. Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan garapan < 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga petani pada tahun 2003 dengan rata-rata peningkatan jumlah petani gurem sekitar 2,4 persen per tahun. Konversi lahan pertanian terutama terjadi pada lahan sawah yang berproduktivitas tinggi, untuk dijadikan lahan permukiman dan industri. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lahan sawah dengan produktivitas tinggi, seperti di jalur pantai utara Pulau Jawa dan di sekitar Bandung, mempunyai prasarana yang memadai untuk pembangunan sektor non pertanian. Konversi lahan sawah menjadi lahan non-pertanian dari tahun 1999-2002 mencapai 330.000 ha atau setara dengan 110.000 ha/tahun. Luas baku lahan sawah juga cenderung menurun. Antara tahun 1981-1999, neraca pertambahan lahan sawah seluas 1,6 juta ha. Namun antara tahun 1999 sampai 2002 terjadi penciutan luas lahan sawah seluas 0,4 juta ha karena tingginya angka konversi (Tabel 1). Di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa terdapat sekitar 9 juta ha lahan terlantar yang dewasa ini ditutupi semak belukar dan alang-alang. Pemanfaatan lahan yang berpotensi ini secara bertahap akan dapat mengantarkan Indonesia tidak saja berswasembada produk pertanian, tetapi juga berpotensi untuk meningkatkan volume ekspor, apalagi jika insentif untuk petani dapat ditingkatkan. Di samping itu, sekitar 32 juta ha sumberdaya lahan, terutama di luar Pulau Jawa, sesuai dan berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem. Seperti halnya sumberdaya lahan, sumberdaya air juga semakin terbatas dan mengalami degradasi. Pertumbuhan penduduk dan industrialisasi telah menimbulkan kompetisi penggunaan sumberdaya air untuk pertanian dan non-pertanian. Pada kondisi demikian maka penggunanan air untuk pertanian biasanya selalu dikorbankan sebagai
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
3
Seminar Nasional 2005 prioritas terakhir. Selain itu, dalam dekade terakhir perhatian untuk memelihara jaringan irigasi juga menurun, yang berakibat pada penurunan intensitas tanam dan produktifitas pertanian. Untuk itu, peningkatan dan rehabilitasi jaringan irigasi merupakan langkah penting dan utama bagi peningkatan produktifitas pertanian. Berkaitan dengan revitalisasi pertanian, maka arah masa depan kondisi sumberdaya pertanian Indonesia adalah : (a) terciptanya akses petani terhadap lahan dan air serta meningkatkan rasio luas lahan per kapita melalui reformasi keagrariaan untuk, (b) terbentuknya pencadangan lahan abadi untuk pertanian sekitar 15 juta ha melalui pengendalian konversi, (c) terbentuknya fasilitasi terhadap pemanfaatan lahan (pembukaan lahan pertanian baru), serta (d) terciptanya suasana yang kondusif untuk pengembangan agroindustri di pedesaan sebagai sarana penyedia lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan serta kesejahteraan keluarga petani. Tabel 1. Neraca Luas Lahan Sawah Menurut Wilayah di Indonesia, 1981-2002 (Ha) Wilayah Tahun 1981-1999 Jawa Luar Jawa Indonesia Tahun 1999-2002 Jawa Luar Jawa Indonesia
Konversi
Penambahan
Neraca
1.002.055 625.459 1.627.514
518.224 2.702.939 3.221.163
-483.831 +2.077.480 +1.593.649
167.150 396.009 563.159
18.024 121.278 139.302
-107.482 -274.732 -423.857
D. Arah Masa Depan Produk dan Bisnis Pertanian Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan (hilir) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk (product development), dan tidak lagi difokuskan pada pengembangan komoditas. Pengembangan nilai tambah produk dilakukan melalui pengembangan industri yang mengolah hasil pertanian primer menjadi produk olahan, baik produk antara (intermediate product), produk semi akhir (semi finished product) dan yang utama produk akhir (final product) yang berdayasaing. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pengembangan agroindustri perdesaan diarahkan untuk: (a) Mengembangkan kluster industri, yakni industri pengolahan yang terintegrasi dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya, (b) Mengembangkan industri pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang didukung oleh industri pengolahan skala menengah dan besar, dan (c) Mengembangkan industri pengolahan yang punya dayasaing tinggi untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Agenda utama pengembangan agroindustri perdesaan adalah penumbuhan agroindustri untuk membuka lapangan kerja di perdesaan, dengan kegiatan utama: (a) Fasilitasi penerapan teknologi dan sarana pengolahan hasil pertanian di sentra-sentra produksi; (b) Pengembangan infrastruktur penunjang di perdesaan, seperti listrik, jalan, dan komunikasi; (c) Pengembangan akses terhadap permodalan; dan (d) Peningkatan mutu, efisiensi produksi dan pemasaran. Dengan demikian masa depan produk dan bisnis pertanian adalah berupa produk berbasis agroindustri yang memiliki daya saing dan agroservice dengan kandungan teknologi tinggi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
4
Seminar Nasional 2005 STRATEGI DAN KEBIJAKAN
A. Strategi dan Kebijakan Umum Jangka Panjang Revitalisasi pertanian diarahkan untuk mewujudkan sistem pertanian industrial berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan guna menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat pertanian, dengan sasaran sebagai berikut: 1) Terwujudnya Sistem Pertanian Industrial Yang Berdayasaing. Sistem pertanian industrial dicirikan oleh usaha pertanian bernilai tambah tinggi dan terintegrasi dalam satu rantai pasok (supply chain) berdasarkan relasi kemitraan sinergis dan adil dengan bertumpu pada sumberdaya nasional, kearifan lokal serta ilmu pengetahuan dan teknologi berwawasan lingkungan. Sistem pertanian industrial adalah sosok pertanian ideal yang merupakan keharusan agar usaha pertanian dapat bertahan hidup dan tumbuh berkembang secara berkelanjutan dalam tatanan lingkungan persaingan global yang makin ketat. 2) Mantapnya Ketahanan Pangan Secara Mandiri. Mantapnya ketahanan pangan secara mandiri berarti terpenuhinya pasokan pangan dan terjaminnya akses pangan sesuai kebutuhan bagi seluruh masyarakat dengan mengandalkan produksi dalam negeri dan kemampuan daya beli masyarakat. Upaya pemantapan ketahanan pangan tidak boleh merugikan, malah harus didasarkan sebagai bagian integral dari upaya peningkatan kesejahteraan petani. 3) Terciptanya Kesempatan Kerja Penuh Bagi Masyarakat Pertanian. Dalam jangka panjang diharapkan seluruh angkatan kerja pertanian mendapatkan pekerjaan penuh sehingga pengangguran terbuka maupun terselubung tidak lagi terjadi secara permanen. Faktor kunci untuk itu ialah meningkatkan kesempatan kerja di pedesaan dan mengurangi tekanan penyerapan tenaga kerja di pertanian. 4) Terhapusnya Masyarakat Pertanian dari Kemiskinan dan Tercapainya Pendapatan Petani US$ 4500/kapita/tahun. Berkurangnya jumlah masyarakat tani miskin dan meningkatnya pendapatan petani merupakan prasyarat terwujudnya kesejahteraan masyarakat tani yang menjadi sasaran akhir pembangunan pertanian. Ini hanya dapat diwujudkan melalui peningkatan skala usahatani, peningkatan produktivitas dan pengurangan tekanan penduduk pada usaha pertanian. Adapun arah kebijakan yang akan ditempuh dalam pembangunan pertanian jangka panjang adalah: (a) Membangun basis bagi partisipasi petani; (b) Meningkatkan potensi basis produksi dan skala usaha pertanian; (c) Mewujudkan pemenuhan kebutuhan sumberdaya insani pertanian yang berkualitas; (d) Mewujudkan pemenuhan kebutuhan infrastruktur pertanian; (e) Mewujudkan sistem pembiayaan pertanian tepat guna; (f) Mewujudkan sistem inovasi pertanian; (g) Penyediaan sistem insentif dan perlindungan bagi petani; (h) Mewujudkan sistem usahatani bernilai tinggi melalui intensifikasi, diverdifikasi dan pewilayahan pengembangan komoditas unggulan; (i) Mewujudkan Agroindustri berbasis pertanian domestik di pedesaan; (j) Mewujudkan sistem rantai pasok terpadu berbasis kelembagaan pertanian yang kokoh; (k) Menerapkan praktek pertanian dan manufaktur yang baik; dan (l) Mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berpihak kepada petani dan pertanian. B. Dukungan Kebijakan Lintas Sektoral Beberapa dukungan kebijakan yang diperlukan untuk merevitalisasi sektor pertanian yaitu: (a) Kebijakan ekonomi makro yang kondusif, yaitu inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil dam suku bunga riil positif; (b) Pembangunan infrastruktur pertanian, meliputi pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi, perluasan lahan pertanian, terutama di luar Jawa, pencegahan konversi lahan terutama di Jawa, pengembangan jalan usahatani dan jalan produksi serta infrastruktur lainnya; (c) Kebijakan pembiayaan untuk mengembangkan lembaga keuangan yang khusus melayani sektor pertanian, lembaga keuangan mikro, pembiayaan pola syaraiah, dan lainnya; (d) Kebijakan perdagangan yang memfasilitasi kelancaran pemasaran, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
5
Seminar Nasional 2005 baik di pasar dalam negeri maupun ekspor. Selain itu, untuk melindungi sektor pertanian dari persaingan di pasar dunia, diperlukan: (i) memperjuangkan konsep Strategic Product (SP) dalam forum WTO; (ii) penerapan tarif dan hambatan non-tarif untuk komoditas-komoditas beras, kedelai, jagung, gula, beberapa produk hortikultura dan peternakan; (e) Kebijakan pengembangan industri yang lebih menekankan pada agroindustri skala kecil di perdesaan dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petanai; (f) Kebijakan investasi yang kondusif untuk lebih mendorong minat investor dalam sektor pertanian; (g) Pembiayaan pembangunan yang lebih memprioritaskan anggaran untuk sektor pertanian dan sektor-sektor pendukungnya; (h) Perhatian pemerintah daerah pada pembangunan pertanian meliputi: infrastuktur pertanian, pemberdayaan penyuluh pertanian, pengembangan instansi lingkup pertanian, menghilangkan berbagai pungutan yang mengurangi dayasaing pertanian, serta alokasi APBD yang memadai. C. Strategi dan Kebijakan Khusus Jangka Panjang 1. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ketahanan Pangan Pokok-pokok kebijakan ketahanan pangan yang harus mendapat prioritas dalam pembangunan jangka panjang yaitu; (a) Mengembangkan sistem pengaturan perdagangan pangan yang adil, (b) Melakukan pengendalian konversi lahan, (c) Meningkatkan produktivitas usaha pangan, (d) Peningkatan pengelolaan konsumsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang, (e) Meningkatkan kutu dan keamanan pangan, (f) Melakukan antisipasi terhadap dinamika perubahan iklim dan sumberdaya air, (g) Meningkatkan pengelolaan pertumbuhan penduduk dan (h) Mengembangkan aliansi solidaritas masyarakat mengatasi masyarakat mengatasi kerawanan pangan. Langkah-langkah kebijakan operasional pembangunan ketahanan pangan nasional dilakukan dengan: (a) Pengembangan produksi dan ketersediaan pangan, melalui pemeliharaan dan peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, peningkatan produksi pangan domestik meliputi volume, kualitas dan keragamannya, serta pengembangan teknologi; (b) Distribusi dan akses pangan melalui pemanfaatan wahana perdagangan internasional, dilaksanakan dengan menfasilitasi dan mengatur ekspor, impor pangan, yang berorientasi pasar dan berpihak pada keseimbangan kepentingan produsen maupun konsumen; serta peningkatan efesiensi sistem distribusi pangan; (c) Pengelolaan terhadap permintaan dan konsumsi pangan melalui pengembangan konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang serta; peningkatan penghasilan dan daya beli masyarakat terhadap pangan.
2. Strategi dan Kebijakan Pembiayaan Pertanian Strategi yang ditempuh dalam rangka mengembangkan pembiayaan pertanian adalah sebagai berikut: (a) Menyempurnakan kebijaksanaan pembiayaan yang ada sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas petani dan pelaku agribisnis terhadap sumber pembiayaan; (b) Mengembangkan pola subsidi bunga kredit agar kredit perbankan terjangkau oleh petani kecil di pedesaan; (c) Mengembangkan pola penjaminan kredit dan pola pendampingan bagi UMKM agribisnis; (d) Mengembangkan pembiayaan pola bagi hasil/syariah untuk pembiayaan sektor pertanian; (e) Mengembangkan lembaga keuangan khusus pertanian dan lembaga keuangan mikro (LKM) pedesaan untuk pembiayaan UMKM agribisnis; (f) Mengembangkan skim kredit yang tersedia menjadi skim kredit agribisnis yang mudah diakses oleh petani; (g) Mensosialisasikan sumber-sumber pembiayaan yang telah ada; (h) Meningkatkan kerja sama dengan lembaga keuangan dan negara donor di luar negeri untuk pengembangan pembiayaan agribisnis; dan (i) Meningkatkan partisipasi/memobilisasi dana masyarakat untuk pengembangan agribisnis.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
6
Seminar Nasional 2005
3. Strategi dan Kebijakan Pengembangan Ekspor Produk Pertanian Target ekspor komoditas pangan, perkebunan, dan peternakan tahun 2005 diharapkan dapat mencapai 7,8 miliar dollar AS. Nilai expor diharapkan tumbuh minimal 5 persen per tahun, sehingga tahun 2009 total ekspor dapat mencapai 12 miliar dollar AS. Strategi pengembangan ekspor yang perlu ditempuh adalah: a.
Meningkatkan daya saing produksi dalam negeri melalui: (i) Pemberdayaan petani dan pelaku usaha pertanian untuk mampu mengakses teknologi pengolahan hasil dan informasi pasar; (ii) Menumbuh kembangkan industri pengolahan hasil pertanian di perdesaan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah hasil pertanian, menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (iii) Meningkatkan volume, nilai dan keragaman produk ekspor baik segar maupun olahan; (iv) Penumbuhan kawasan agroindustri melalui Pelayanan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (P3HP); (v) Pengembangan sarana dan prasarana pasar termasuk cold storage dan packing house; (vi) Harmonisasi tarif, pajak/pungutan ekspor & standardisasi mutu.
b. Peningkatkan pangsa pasar ekspor melalui: (i) Pengembangan informasi pasar & market intelligence; (ii) Penguatan diplomasi, negosiasi dalam membuka pasar; (iii) Perluasan akses pasar melelui promosi dan pengembangan Free Trade Area (FTA); (iv) Peningkatan kerjasama internasional; (v) Peningkatan kemampuan negosiasi dan diplomasi (sekretariat WTO, training, magang), dan (vi) Sosialisasi hasil-hasil negosiasi & diplomasi. 4. Strategi dan Kebijakan Pengembangan Produk Pertanian Baru Untuk mempercepat peningkatan nilai tambah yang pada gilirannya akan berdampak kepada peningkatan kesejahteraan pelakunya, maka strategi pengembangan komoditi pertanian harus difokuskan kepada produk hilir agroindustri. Mengingat besarnya investasi untuk mengembangkan produk hilir, maka komoditi yang akan dikembangkan produk hilirnya harus dipilih yang mempunyai nilai tambah besar, investasinya tidak terlalu besar, pasar produknya cukup luas, penguasaan sumberdaya manusia mencukupi dan tersedianya berbagai prasyarat normatif lain yang mampu dipenuhi. Untuk itu pengembangan komoditi akan diprioritaskan kepada komoditi sebagai berikut: (1) Padi; (2) Jagung; (3) Kedelai; (4) Pisang; (5) Jeruk; (6) Bawang merah; (7) Anggrek; (8) Kelapa Sawit; (9) Karet; (10) Kakao; (11) Kelapa; (12) Tebu; (13) Sapi; (14) Ayam IMPLEMENTASI REVITALISASI PERTANIAN DALAM PROGRAM DEPARTEMEN PERTANIAN, 2004-2009 A. Sasaran Pembangunan 2005-2009 Sasaran pembangunan pertanian 2005-2009 dikelompokan menjadi tiga yaitu: 1. PDB, Investasi, dan Kesempatan Kerja (1) Selama periode 2005-2009 target pertumbuhan PDB sektor pertanian dalam arti sempit meningkat dari 2,97 persen pada tahun 2005 menjadi 3,58 persen pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 3,29 persen. Target pertumbuhan tersebut di atas pertumbuhan tahun 2004 yang hanya mencapai sekitar 2 persen. Berdasarkan harga konstan tahun 2000, PDB sektor pertanian akan meningkat dari Rp 198 trilyun pada tahun 2005 menjadi Rp 226 trilyun pada tahun 2009. Rincin PDB menurut subsektor disajikan pada Tabel 1. (2) Selama periode 2005-2009, dengan target PDB sektor pertanian seperti di atas, total investasi yang dibutuhkan sektor pertanian sebesar Rp 77,07 dengan rata-rata Rp 14,40 trilyun per tahun. Rincin kebutuhan investasi menurut subsektor disajikan pada Tabel 1.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
7
Seminar Nasional 2005 (3) Selama periode 2005-2009, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian diproyeksikan meningkat dari 41,3 juta orang pada`tahun 2005 menjadi 44,5 juta orang pada tahun 2009. Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian pada tahun 2005 sedikit lebih besar dibanding tahun 2004 yang hanya mencapai 39 juta orang. Kesempatan kerja yang diciptakan sektor pertanian pada tahun 2009 sebesar 97,47 persen dari target kesempatan kerja sektor pertanian umum (pertanian, kehutanan dan perikanan) adalah 42,19 persen dari target kesempatan kerja nasional. Rincin penyerapan tenaga kerja menurut subsektor disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Perkiraan PDB, Kebutuhan Investasi, dan Penciptaan Kesempatan Kerja menurut Subsektor Pertanian di Indonesia, 2005-2009 Subsektor
Uraian
T. Pangan
Hortikultura
Perkebunan
Peternakan
Sektor Pertanian
PDB (Rp trilyun)
2005
77
46
48
28
198
2009
79
53
61
33
226
Pertumb. PDB (%/th)
2005
0,43
2,86
6,01
4,11
2,97
2009
1,08
4,57
6,49
4,58
3,58
Rataan
0,89
3,38
6,27
4,37
3,29
30,05
9,92
20,52
16,12
77,07
5,08
1,98
4,10
3,22
14,40
Investasi (Rp trilyun)
2005-2009
Per th
Penyerapan TK (jt orang)
2005
27,2
3,4
6,3
4,3
41,3
2009
25,9
4,9
7,9
5,8
44,5
Relatif
(%)
58,18
11,05
17,74
13,02
97,473)
Relatif 2) (%)
56,70
10,77
17,29
12,69
42,194)
Keterangan:
1)
1)
Kesempatan kerja tahun 2009 relatif terhadap kesempatan kerja sektor pertanian Kesempatan kerja tahun 2009 relatif terhadap kesempatan kerja sektor pertanian nasional Kesempatan kerja tahun 2009 relatif terhadap kesempatan kerja pertanian umum 4) Kesempatan kerja tahun 2009 relatif terhadap kesempatan kerja nasional 2) 3)
2. Ketahanan Pangan (1) Selama periode 2005-2009, pertumbuhan produksi tanaman pangan diproyeksikan mengalami peningkatan berkisar 0,35 – 6,50 persen per tahun. Pada periode yang sama pertumbuhan produksi tanaman hortikultura dan perkebunan diproyeksikan mengalami peningkatan masing-masing berkisar 2,94 – 8,41 persen dan 0,79 - 7,09 persen per tahun. Sementara pertumbuhan produksi peternakan diproyeksikan mengalami peningkatan berkisar 0,08–10,25 persen per tahun. Secara rinci proyeksi produksi menurut komoditas pada masing-masing subsektor disajikan pada Tabel 3.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
8
Seminar Nasional 2005
Tabel 3. Proyeksi Produksi menurut Komoditas pada masing-masing Subsektor Pertanian di Indonesia, 20052009 Tahun
Subsektor A. Tanaman Pangan 1. Padi 2. Jagung 3. Kedelai 4. Kacang Tanah 5. Ubi Kayu 6. Ubi Jalar B. Hortikultura 1. Kentang 2. Cabai 3. Bawang Merah 4. Kubis 5. Tomat 6. Wortel 7. Pisang 8. Mangga 9. Jeruk 10. Durian 11. Pepaya 12. Nenas 13. Alpukat C. Perkebunan 1. Kelapa Sawit 2. Karet 3. Kakao 4. Kopi 5. Kelapa 6. Lada 7. Tembakau 8. Gula D. Peternakan 1. Daging Sapi 2. Daging Kerbau 3. Daging Kuda 4. Kambing 5. Daging Domba 6. Daging Babi 7. Daging Unggas 8. Telur 9. Susu
2005
2009
Pertumbuhan (%/th)
55,03 11,82 0,78 0,83 19,57 1,88
57,71 13,97 1,00 0,85 19,90 1,91
1,21 4,23 6,50 0,48 0,39 0,35
1,05 1,11 0,82 1,40 0,73 0.38 4,53 1,68 1,62 0,82 0,67 0,74 0,30
1,21 1,24 1,10 1,61 0,87 0.44 6,07 2,23 1,84 1,15 0,85 0,93 0,39
3,68 2,94 7,65 7,65 4,64 4,17 7,43 7,35 3,37 8,41 6,12 5,83 6,83
13,15 1,95 0,64 0,75 3,29 0,10 0,23 2,16
16,74 2,34 0,79 0,89 3,39 0,13 0,31 2,85
6,21 4,79 4,79 5,30 0,79 6,48 7,03 7,09
0,39 0,046 1,59 0,07 0,09 0,19 1,52 1,14 0,66
0,44 0,047 1,60 0,08 0,10 0,21 2,01 1,60 0,98
3,01 0,68 0,08 2,00 3,02 2,40 7,61 8,74 10,25
(2) Selama periode 2005-2009 konsumsi bahan pangan utama (beras, jagung, kedelai dan gula) diproyeksikan mengalami peningkatan berkisar 1,21 – 3,57 persen per tahun. Secara rinci perkembangan konsumsi menurut komoditas adalah sebagai berikut: a.
Konsumsi beras akan meningkat dari 36,08 juta ton pada tahun 2005 menjadi 37,96 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 1,21 persen per tahun. Rata-rata peningkatan konsumsi tersebut sama dengan rata-rata peningkatan produksi. Neraca mengalami defisit yang cenderung meningkat selama 2005-2009 yaitu dari 313 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 445 ribu ton pada tahun 2009. Defisit tersebut sangat tipis, yaitu sekitar 0,73 – 1,17 persen atau rata-rata 0,89 persen dari konsumsi.
b. Konsumsi jagung akan meningkat dari 12,14 juta ton pada tahun 2005 menjadi 13,72 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 3,01 persen per tahun. Ratarata peningkatan konsumsi terrsebut lebih lambat dibanding dengan rata-rata peningkatan produksi sebesar 4,23 persen per tahun. Neraca mengalami defisit yang cenderung menurun yaitu dari 320 ribu ton pada tahun 2005 menjadi 14 ribu ton pada tahun 2007 dan setelah itu mengalami surplus yang meningkat dari 116 ribu
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
9
Seminar Nasional 2005 ton pada tahun 2008 menjadi 254 ribu ton pada tahun 2009. Defisit dan surplus tersebut masih tipis yang masing-masing merupakan 0,11 – 2,64 persen dan 0,87 – 1,82 persen dari konsumsi. c.
Konsumsi kedelai akan meningkat dari 2,39 juta ton pada tahun 2005 menjadi 2,57 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 1,74 persen per tahun. Rata-rata peningkatan konsumsi tersebut lebih lambat dibanding dengan rata-rata peningkatan produksi 6,50 persen per tahun. Neraca mengalami defisit yang cenderung menurun selama 2005-2009 yaitu dari 1,61 juta ton pada tahun 2005 menjadi 1,57 juta ton pada tahun 2009. Defisit tersebut masih sangat besar yang merupakan 61,06–67,45 persen atau rata-rata 64,27 persen dari konsumsi.
d. Konsumsi gula akan meningkat dari 3,30 juta ton pada tahun 2005 menjadi 3,82 juta ton pada tahun 2009 atau rata-rata meningkat 3,57 persen per tahun. Rata-rata peningkatan konsumsi tersebut lebih lambat dibanding dengan rata-rata peningkatan produksi 7,09 persen per tahun. Neraca mengalami defisit yang cenderung menurun selama 2005-2009 yaitu dari 1,13 juta ton pada tahun 2005 menjadi 0,97 juta ton pada tahun 2009. Defisit tersebut masih cukup besar yang merupakan 25,5–34,4 persen atau rata-rata 29,79 persen dari konsumsi. (3) Sasaran pembangunan pertanian 2005-2009 pada aspek diversifikasi konsumsi pangan perlu memperhatikan Pola Pangan Harapan (PPH) yaitu meningkatnya keanekaragaman konsumsi pangan dan menurunnya ketergantungan pada satu jenis pangan pokok tertentu. Sasaran PPH pada tahun 2009 adalah 96,6 persen dengan kontribusi padipadian maksimal 51,6 persen, lemak dan minyak 10 persen, sedangkan kontribusi minimal untuk umbi-umbian adalah 5,7 persen, pangan hewani 11,2 persen, buah/biji berminyak 3 persen, kacang-kacangan 4,8 persen, gula 5 persen, sayur dan buah 5,7 persen dan sumber pangan lainnya 3 persen. Pencapaian sasaran PPH sebesar 100 persen akan dicapai pada tahun 2010 sesuai dengan sasaran Indonesia sehat 2010. 3. Nilai Tambah dan Dayasaing (1) Selama periode 2005-2009 keragaman produk diproyeksikan meningkat rata-rata 5 persen per tahun.
olahan
komoditas
pertanian
(2) Selama periode 2005-2009 nilai ekspor komoditas pertanian juga diproyeksikan meningkat dengan laju 11,34 persen per tahun, lebih tinggi dibanding laju nilai impor yang hanya mencapai 3,91 persen per tahun. Dengan kondisi demikian, neraca perdagangan diproyeksikan meningkat dari U$ 3,9 milyar pada tahun 2005 menjadi U$ 7,7 milyar pada tahun 2009 atau meningkat rata-rata sebesar 17,11 persen per tahun. Total devisa bruto yang mampu disumbangkan sektor pertanian diproyeksikan meningkat dari US 7,8 milyar pada tahun 2005 menjadi US$ 12,3 milyar pada tahun 2009. (3) Selama periode 2005-2009 akan terjadi peningkatan efisiensi produksi yang dicerminkan oleh menurunnya biaya produksi per unit dengan laju 5 persen per tahun. 4. Kesejahteraan Petani (1) Selama periode 2005-2009, produktivitas tenaga kerja sektor pertanian diperkirakan meningkat dari Rp 4,80 juta pada tahun 2005 menjadi Rp 5,08 juta per kapita per tahun atau rata-rata meningkat sebesar 1,40 persen per tahun. (2) Selama periode 2005-2009 persentase penduduk miskin di perdesaan mengalami penurunan dari 18,90 persen pada tahun 2005 menjadi 15,02 persen pada tahun 2009. B. Program Program Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009 ada tiga yaitu; (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2) Program Pengembangan Agribisnis; dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
10
Seminar Nasional 2005 1. Program Peningkatan Ketahanan Pangan Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah diperoleh rumah tangga, aman dikonsumsi dengan harga yang terjangkau. Ketahanan pangan mencakup komponen: (1) ketersediaan pangan, (2) distribusi dan konsumsi pangan, (3) penerimaan oleh masyarakat, (4) diversifikasi pangan, dan (5) keamanan pangan. Program peningkatan ketahanan pangan merupakan fasilitasi bagi terjaminnya masyarakat untuk memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal. Ketahanan pangan rumahtangga berkaitan dengan kemampuan rumahtangga untuk dapat akses terhadap pangan di pasar. Dengan demikian ketahanan pangan rumahtangga dipengaruhi oleh kemampuan daya beli rumahtangga. Sejalan dengan itu maka peningkatan pendapatan rumahtangga merupakan faktor kunci dari peningkatan ketahanan pangan rumahtangga. Pangan dalam arti luas mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan. Tujuan program ketahanan pangan adalah untuk memfasilitasi terjaminnya masyarakat untuk memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal. Sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) dicapainya ketersediaan pangan tingkat nasional, regional dan rumah tangga yang cukup, aman dan halal, (2) meningkatnya keragaman produksi dan konsumsi pangan masyarakat, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah kerawanan pangan. Khusus untuk beras, BAPPENAS menetapkan sasaran pemenuhan konsumsi beras dari produksi dalam negeri sebesar 90-95 persen. Selain itu diharapkan pula ada peningkatan dalam konsumsi pangan yang berasal dari produk ternak (daging, telur, susu). Untuk mencapai tujuan dan sasaran di atas, Program Peningkatan Ketahanan Pangan dijabarkan lebih lanjut ke dalam beberapa subprogram, yaitu: (1) Peningkatan Produksi dan Ketersediaan Pangan, (2) Pengembangan Diversifikasi Produksi dan Konsumsi Pangan, (3) Penerapan Standar Kualitas dan Keamanan Pangan, (4) Penurunan Tingkat Kerawanan Pangan, (5) Pengembangan dan Diseminasi Inovasi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan, dan (6) Pengembangan Manajemen Pembangunan Ketahanan Pangan. Rencana tindak program peningkatan ketahanan pangan, antara lain: (1) Intensifikasi dan ekstensifikasi produksi komoditas pangan pokok, (2) Pengembangan sumber pangan alternatif lokal, (3) Pengembangan pola konsumsi pangan lokal non-beras (4) Pengembangan dan perbaikan jaringan irigasi, (5) Pengembangan jaringan usahatani, (6) Fasilitasi sistem penyediaan sarana produksi, (7) Pengembangan jaringan permodalan, (8) Pengembangan perbenihan, (9) Fasilitasi subsidi input produksi, (10) Pengembangan jasa alsin pertanian, (11) Perumusan dan penetapan kebijakan harga pangan, (12) Pengelolaan tata niaga pangan, (13) Pengamanan produksi pertanian dan perkarantinaan, (14) Penyusunan dan penerapan standar kualitas dan keamanan pangan, (15) Pengembangan sistem kewaspadaan pangan dan gizi, (16) Penguatan lembaga ketahanan pangan masyarakat, (17) Pengembangan teknologi pengurangan kehilangan hasil, (18) Pengembangan teknologi sumberdaya alam, (19) Pengembangan teknologi pengolahan pangan tradisional, (20) Pengembangan teknologi perbaikan mutu dan keamanan pangan, dan (21) Penyelarasan kebijakan dan program peningkatan ketahanan pangan. 2. Program Pengembangan Agribisnis Dalam rangka meningkatkan pendapatan petani, maka arah yang perlu ditempuh adalah memperluas cakupan kegiatan ekonomi produktif petani serta peningkatan efisiensi dan dayasaing. Perluasan kegiatan ekonomi yang memungkinkan dilakukan adalah: (1) peningkatan nilai tambah melalui pengolahan dan perbaikan kualitas; dan (2) mendorong kegiatan usahatani secara terpadu mencakup beberapa komoditas (sistem integrasi tanamanternak atau sistem integrasi tanaman-ternak-ikan).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
11
Seminar Nasional 2005 Peningkatan efisiensi dan dayasaing dilakukan dengan pendekatan agribisnis yang mencakup agribisnis hulu, kegiatan usahatani, agribisnis hilir dan jasa penunjang. Berdasarkan komoditas, pengembangan agribisnis mencakup komoditas-komoditas unggulan lingkup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan. Walaupun komoditas yang perlu dikembangkan akan bervariasi antar daerah sesuai potensinya, namun secara nasional prioritas pengembangan difokuskan pada komoditas yang memiliki kontribusi dan potensi yang cukup besar dilihat dari aspek pemenuhan ketahanan pangan, penyediaan bahan baku industri, peningkatan ekspor atau substitusi impor maupun perluasan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan. Dengan demikian, program ini dimaksudkan untuk memfasilitasi: (1) berkembangnya usaha pertanian agar produktif dan efisien menghasilkan berbagai produk pertanian yang memiliki nilai tambah dan dayasaing yang tinggi baik di pasar domestik maupun internasional, dan (2) meningkatnya kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional, terutama melalui peningkatan devisa dan pertumbuhan PDB. Sasaran dari program ini adalah: (1) berkembangnya usaha di sektor hulu, usahatani (on-farm), hilir (agroindustri) dan usaha jasa penunjang; (2) meningkatnya pertumbuhan PDB sektor pertanian; dan (3) meningkatnya ekspor produk pertanian segar dan olahan. Untuk mencapai tujuan dan sasaran di atas, Program Pengembangan Agribisnis dijabarkan lebih lanjut ke dalam beberapa subprogram, yaitu: (1) Peningkatan Produksi, Kualitas Produk Pertanian dan Efisiensi Usaha, (2) Pengembangan Agroindustri Perdesaan, (3) Pengembangan Pemasaran Produk Pertanian, (4) Pengembangan Sarana dan Prasarana Pertanian, (5) Pengembangan dan Diseminasi Inovasi Pertanian untuk Mendorong Pengembangan Agribisnis, (6) Pengembangan Manajemen Pembangunan Agribisnis, dan (7) Sub Program Khusus Pengembangan Pertanian Komersial. Rencana tindak program pengembangan agribisnis, antara lain: (1) Penyusunan peta pewilayahan komoditas, (2) Pengembangan sentra produksi komoditas unggulan, (3) Penyuluhan, pendampingan, pendidikan dan pelatihan kewirausahaan, (4) Pengkajian aspek sosial ekonomi dan kebijakan komoditas pertanian komersial, (5) Pengembangan varietas/jenis ternak unggul, (6) Pengembangan teknologi perbaikan sistem produksi komoditas pertanian, (7) Pengembangan teknologi mekanisasi pertanian untuk peningkatan produktivitas dan efisiensi, serta pemanfaatan sumberdaya energi terbarukan, (8) Pengembangan inovasi pertanian spesifik lokasi, (9) Pemanfaatan bioteknologi untuk perbaikan tanaman dan ternak, (10) Penerapan teknologi pasca panen, (11) Pengembangan agroindustri di kawasan sentra produksi, (12) Pengembangan komoditas komersial, (13) Pengembangan kelembagaan dan informasi pasar, (14) Bimbingan teknis sistem produksi pertanian (Good Agriculture Practices/GAP), (15) Pengamanan produksi pertanian dan perkarantinaan, (16) Penyesuaian kebijakan tarif impor dan subsidi ekspor, (17) Pengembangan kerjasama dan perdagangan internasional, (18) Sosialisasi dan penerapan peraturan perkarantinaan dan SPS (sanitary and phyto-sanitary), (19) Pengembangan lembaga sistem jaminan mutu, (20) Pengembangan pola kemitraan usaha di bidang pertanian, (21) Pengembangan pola contract farming, (22) Pengembangan promosi produk pertanian, (23) Pengembangan infrastruktur perdesaan, dan (24) Penyelarasan kebijakan dan program pengembangan agribisnis. 3. Program Peningkatan Kesejahteraan Petani Kesejahteraan meliputi dimensi yang luas, namun untuk lebih menyederhanakan persoalan, definisi kesejahteraan dalam dokumen ini dibatasi pada kesejahteraan ekonomi atau lebih spesifik lagi pendapatan rumah tangga. Segala upaya yang dilakukan dalam pembangunan pertanian selayaknya didorong untuk mewujudkan kesejahteraan petani; disamping tujuan-tujuan lainnya. Program Peningkatan Kesejahteraan Petani bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan pendapatan petani melalui pemberdayaan, peningkatan akses terhadap
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
12
Seminar Nasional 2005 sumberdaya usaha pertanian, pengembangan kelembagaan, dan perlindungan terhadap petani. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) meningkatnya kapasitas dan posisi tawar petani, (2) semakin kokohnya kelembagaan petani, (3) meningkatnya akses petani terhadap sumberdaya produktif; dan (4) meningkatnya pendapatan petani. Untuk mencapai tujuan dan sasaran di atas, Program Peningkatan Kesejahteraan Petani dijabarkan lebih lanjut ke dalam beberapa subprogram, yaitu: (1) Pemberdayaan Petani, (2) Pengembangan SDM Aparatur, (3) Pengembangan Kelembagaan, (4) Peningkatan Akses Petani terhadap Sumberdaya Produktif, (5) Perlindungan Petani dan Pertanian, (6) Pengembangan diversifikasi usaha rumahtangga, (7) Pengkajian dan Percepatan Diseminasi Inovasi Pertanian, (8) Upaya Khusus Penanggulangan Kemiskinan, dan (9) Pengembangan Manajemen Peningkatan Kesejahteraan Petani. Rencana tindak program peningkatan kesejahteraan petani antara lain: (1) Penyuluhan, pelatihan dan pendampingan petani, (2) Peningkatan kewirausahaan petani melalui penyetaraan pendidikan, (3) Pendidikan tingkat menengah untuk generasi muda tani, (4) Penguatan kelembagaan penyuluhan dan pertanian lain di perdesaan, (5) Pengembangan diversifikasi usaha rumahtangga berbasis pertanian, (6) Advokasi penataan hak pemilikan, sertifikasi dan pencegahan konversi lahan, (7) Perumusan kebijakan penataan, pemanfaatan dan pajak progresif lahan, (8) Pemberian insentif usaha dan promosi investasi, (9) Pengembangan tata guna air dan konservasi lahan, (10) Fasilitasi investasi dan kemitraan usaha, (11) Perlindungan usaha pertanian, (12) Perumusan dan advokasi kebijakan perlindungan petani, (13) Pengkajian teknologi spesifik lokasi, (14) Pengembangan model kelembagaan usahatani berbasis inovasi pertanian (15) Peningkatan infrastruktur perdesaan, (16) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan, (17) Penyelasaran kebijakan dan program dalam peningkatan kesejahteraan petani, dan (18) Koordinasi kebijakan nasional penanggulangan kemiskinan. PENUTUP Tujuan jangka panjang adalah untuk mewujudkan sistem pertanian industrial berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan guna menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat pertanian, dimana dalam operasionalnya dibutuhkan serangkaian kebijakan baik dari Departemen pertanian maupun di luar Departemen Pertanian. Oleh karena itu, keberhasilan sasaran revitalisasai pertanian sangat ditentukan oleh formulasi kebijakan yang sinergis antar departemen dan kooordinasi pelaksanaannya. Revitalisasi pertanian merupakan pekerjaan besar yang harus dilaksanakan secara bertahap. Oleh karena itu, sasaran program revitalisasi jangka panjang perlu dijabarkan ke dalam sasaran program lima tahunan secara konsisten. Dengan pola seperti itu, diharapkan program lima tahunan dari suatu departemen,khususnya Departemen Pertanian harus taat azas agar menjajdi program berkelanjutan. Sumber makalah ini diambil dari tiga dukomen formal yaitu : (1) Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; (2) Arah Kebijakan Pembangunan Jangka Panjang – Departemen Pertanian; (3) Rencana Strategis Pembangunan Pertanian, 2005-2009 – Departemen Pertanian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
13
Seminar Nasional 2005 PENYEDIAAN DAN DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI LAHAN MARGINAL: PENINGKATAN MUTU PARTISIPASI Prabowo Tjitropranoto Co Team Leader PFI3P/P4MI Co
PENDAHULUAN Telah banyak kritik dilontarkan bahwa dalam pembangunan pertanian yang lalu, yang memberi fokus lebih banyak diberikan pada lahan sawah beririgasi. Penyediaan teknologi yang lebih banyak untuk lahan sawah dan lahan yang memperoleh curah hujan yang cukup untuk budidaya tanaman dan pemeliharaan ternak. Inovasi teknologi padi dan palawija juga lebih banyak tersedia untuk lahan sawah. Inovasi teknologi pertanian untuk lahan kering dan tadah hujan, terutama di lahan marginal relatif kurang dibandingkan dengan yang untuk lahan sawah. Berkaitan dengan ini juga kegiatan-kegiatan bimbingan untuk petani, seperti penyuluhan pertanian lebih berorientasi pada petani sawah, mengingat kegiatan sejenis penyuluhan pertanian memang diarahkan sebagai kegiatan penunjang pembangunan pertanian melalui alih teknologi pertanian yang dianjurkan. Petani (dalam arti luas termasuk peternak, pekebun, dan petani pengelola perikanan air tawar) di luar wilayah persawahan, seperti petani yang berada di lahan marginal, kurang memperoleh perhatian sebesar mereka yang ada di wilayah persawahan. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau upaya meningkatkan pendapatan petani di lahan marginal lebih sulit; bahkan ada kecenderungan bahwa petani dilahan marginal meninggalkan usaha pertanian untuk beralih ke bidang usaha lain seperti jasa, perdagangan dan perburuhan, yang kelihatannya lebih menjanjikan untuk memberikan pendapatan yang lebih baik daripada bidang pertanian. Potensi bidang pertanian untuk memberikan pendapatan yang cukup tinggi sebenarnya cukup besar, tetapi tergantung pada penyediaan dan diseminasi inovasi teknologi pertanian yang benar-benar sesuai dengan kondisi biofisik, sosial, budaya dan kapasitas petani. Telah banyak inovasi teknologi spesifik lokasi disediakan, termasuk untuk lahan marginal, tetapi baru dengan memperhatikan faktor biofisik dan beberapa faktor demografi, dan pemanfaatan inovasi teknologi masih terbatas. Demikian pula cara diseminasi inovasi teknologi pertanian ataupun penyuluhan pertanian juga masih bersifat “top-down” dan lebih berorientasi pada peningkatan produksi, dengan asumsi bahwa peningkatan produksi pertanian akan meningkatkan pendapatan petani. Kenyataan menunjukkan bahwa hal demikian tidak selalu benar, peningkatan produktivitas dan produksi tidak selalu dapat meningkatkan pendapatan petani. Masih banyak faktor lain yang mempengaruhi pendapatan petani. Hal-hal ini juga perlu diketahui dalam penentuan cara pelaksanaan penyediaan dan diseminasi inovasi teknologi pertanian. KEBUTUHAN INOVASI TEKNOLOGI DI LAHAN MARGINAL Pada umumnya lahan marginal kurang subur sampai tandus sehingga produktivitasnya rendah, berupa lahan kering dan/atau tadah hujan dengan curah hujan yang rendah, vegetasi yang kurang sehingga suhu udara relatif tinggi dan ketersediaan sumber air sulit. Keadaan alam yang demikian kurang memberi peluang akan usaha pertanian baru. Usaha pertanian yang dilakukan oleh petani cenderung seperti yang telah dilakukan oleh petani-petani terdahulu. Mengusahakan komoditas yang memang telah beradaptasi di lingkungan yang demikian bertahun-tahun, dan diusahakan secara tradisional. Usaha pembaharuan usaha pertanian di lahan marginal bukan tidak dilakukan, tetapi sulit untuk dilakukan oleh petani yang telah menetap bertahun-tahun di lahan yang demikian. Selain itu,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
14
Seminar Nasional 2005 pada masa yang lalu, fokus pembangunan pertanian lebih pada peningkatan produktivitas dan produksi, maka penyediaan teknologi pertanian untuk lahan marginal relatif kurang dibandingklan dengan lahan yang lebih produktif seperti lahan sawah. Oleh karena itu yang berkembang di daerah marginal lebih banyak teknologi tradisional dengan produktivitas rendah. Dalam tahun-tahun terakhir memang telah diusahakan penyediaan inovasi teknologi pertanian untuk lahan marginal, tetapi belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, antara lain karena masalah sarana dan prasarana serta kapasitas diri petani yang berada di lahan marginal. Keadaan alam yang kurang mendukung usaha pertanian tersebut diperparah lagi dengan kurangnya sarana dan prasarana. Sumber air yang langka, menyebabkan ketersediaan air yang sangat rendah, jangankan untuk tanaman dan ternak, untuk manusiapun sering sulit. Jaringan jalan belum dapat menjangkau seluruh tempat, bahkan cenderung hanya tersedia disekitar kota, demikian pula sarana komunikasi, sehingga daerah dengan lahan marginal sering seperti daerah terisolir; yang mengakibatkan informasi tentang daerah tersebut juga kurang tergali dengan cermat, akibatnya penyediaan teknologi pertanian spesifik lokasi juga kurang dipersiapkan secara mendalam karena kurangnya informasi. Demikian pula transportasi dari satu tempat ke tempat lainnya juga kurang sekali, sehingga tidak hanya mempersulit mobilitas orang, tetapi lebih parah lagi ialah sulitnya penyediaan sarana produksi dan memasarkan hasil produksi. Keadaan ini lebih mempersulit upaya usaha pertanian, baik produksi, pengolahan maupun pemasaran hasil pertanian. Hasil produksi dan pengolahan hasil pertanian di suatu daerah sulit untuk dipasarkan ke daerah lain, sehingga hasil pertanian tidak dapat dijual dengan harga yang layak, yang akhirnya berakibat kurangnya usaha untuk mengembangkan usaha pertanian. Keadaan lahan marginal yang kurang menguntungkan tersebut menyebabkan pula adanya kecenderungan berpindahnya petani dari usaha pertanian ke usaha lain seperti jasa, buruh dan perdagangan. Kecenderungan ini tercermin pada Tabel 1 yang menunjukkan perubahan ketenaga-kerjaan bidang pertanian. Jumlah petani yang mengerjakan usahanya sendiri menurun, sebaliknya petani yang memperkerjakan tenaga keluarga dan tenaga musiman meningkat, tetapi tidak setajam penurunan penggunaan tenaga kerja keluarga dan meningkatnya dengan pesat buruh tani. Hal ini juga mengisyaratkan makin komersialnya usaha pertanian, yang memerlukan modal yang lebih besar. Komersialisasi usaha pertanian ini diperkuat pula oleh makin mahalnya sarana produksi. Akibat mahalnya sarana produksi, maka banyak petani kecil terpaksa kembali menggunakan teknologi tradisional yang kurang memerlukan sarana produksi, walaupun produktivitasnya rendah. Keadaan inilah, yang mungkin menjadi salah satu penyebab utama usaha pertanian lebih tidak menarik lagi, dan kurang menguntungkan dibandingkan dengan usaha lain. Tabel 1. Perubahan Status Tenaga Kerja dalam Usaha Pertanian, 1986 – 2001 Status Tenaga Kerja
Jumlah (persen) Tenaga Kerja Tahun : 1986
1991
1996
2001
1. Bekerja Sendiri
5.880.598 (15,20)
6.157.961 (14,94)
6.226.472 (16,51)
4.514.639 (11,11)
2. Bekerja Sendiri dibantu Tenaga Kerja Keluarga dan Tenaga Musiman
12.136,42 (32,24)
13,412,142 (32.55)
14,483,416 (38.39)
16.403.393 (40,37)
112.571 (0,30)
201,402 (0.49)
314,811 (0.83)
952.985 (2,34)
3.531.262 (9,38)
4,657,550 (11.30)
4,942,282 (13.10)
6.842.476 (16,84)
5. Tenaga Kerja Keluarga
15.932.545 (42,20)
16,775,766 (40.72)
11,753,270 (31.17)
11.920.134 (29,34)
Jumlah Tenaga Kerja Pertanian
37.644.472 (100,00)
41,205,791 (100.00)
37,720,251 (100.00)
40.633.627 (100,00)
3. Tenaga Kerja Tetap 4. Buruh Tani
Sumber : Agriculture and Rural Strategy Study Team. Data diolah dari BPS dan Sakernas (1986, 1991, 1996, 2001)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
15
Seminar Nasional 2005 Akibat dari keadaan alam, sarana prasarana yang minim, dan makin tidak menariknya usaha pertanian tersebut, mempengaruhi pula keadaan petani yang berada di lahan marginal. Pada umumnya petani di lahan marginal berpendapatan rendah, sehingga banyak yang mempunyai sifat-sifat yang menghambat kemajuannya, seperti: (i) kapasitas diri petani yang rendah, (ii) pendidikan rendah, sehingga pengetahuan dan wawasannya juga terbatas, yang berakibat pula pada daya inisiatif yang rendah pula, (iii) apatis akibat usaha yang telah dilakukan bertahun-tahun tidak menghasilkan seperti yang diharapkan, (iv) kemauan usaha rendah, karena keadaan lingkungannya yang tidak mendukung untuk melakukan usaha, (v) kurang percaya diri akibat usahanya yang sering tidak berhasil, sehingga komitmen terhadap usaha pertanian juga rendah, (vi) tidak memiliki modal dan sarana baik untuk produksi maupun pengolahan hasil produksi, dan (vii) kurang terjangkau prasarana dan sarana sehingga tertinggal dari petani lainnya dalam informasi ataupun pembangunan. Selain itu, telah terjadi perubahan tingkat pendidikan yang berarti terhadap tenaga kerja pertanian, di Indonesia dalam kurun waktu 1986 ke 2002 (Tabel 2). Data tersebut menunjukkan bahwa tenaga kerja pertanian/petani yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD berkurang dari 64.42 % di tahun 1986 menjadi 36,08 % pada tahun 2002. Sebaliknya, tenaga kerja pertanian/petani dengan pendidikan SD sampai sarjana naik dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan pula bahwa pendekatan kepada petani dalam pembangunan pertanian harus berubah pula. Potensi untuk meningkatkan kontribusi petani dalam pembangunan pertanian umumnya dan meningkatkan pendapatannya cukup meningkat. Selain itu, petani di daerah lahan marginal mempunyai potensi yang cukup besar untuk dapat dikembangkan, antara lain, (i) jumlahnya yang cukup banyak, (ii) mempunyai potensi sebagai individu yang masih dapat dikembangkan, terutama kapasitas, pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya, (iii) mereka sudah biasa untuk mengatasi masalah yang sulit, dan (iv) berpengalaman dalam memanfaatkan sumberdaya yang minimum. Potensi-potensi ini perlu dimanfaatkan dalam penyediaan inovasi teknologi pertanian sehingga dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Tabel 2. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Pertanian, 1986 – 2002 Tingkat Pendidikan
Jumlah (persen) Tenaga Kerja Tahun : 1986
1991
1996
2002
5. Tamat SLTA
453,171 (1,20)
7.355.725 (17,85) 12.597.746 (30,57) 16.749.350 (40,65) 3.299.535 (8,01) 1.126.576 (2,73) 56.549 (0,14) 20.310 (0,05) 41,205,791 (100.00)
5.849.953 (15,51) 10.554.033 (27,98) 16.475.979 (43,68) 3.223.366 (8,55) 1.524.128 (4,04) 48.922 (0,13) 43.870 (0,12) 37,720,251 (100.00)
4.886.213 (12,02)
4. Tamat SLTP
9.092.263 (24,15) 13.655.869 (36,27) 12.786.483 (33,97) 1.630.209 (4,33)
1. Tidak Sekolah 2. Tidak Tamat SD 3. Tamat SD
6. Tamat Akademi/ DIII 7. Sarjana Jumlah Tenaga Kerja Pertanian
17.601 (0,05) 8.876 (0,03) 37.644.472 (100,00)
9.886.213 (12,02) 18.704.993 (46,03) 5.347.385 (13,16) 2.202.702 (5,42) 44.011 (0,11) 75.170 (0,18) 40.633.627 (100,00)
Sumber : Agriculture and Rural Strategy Study Team. Data diolah dari BPS dan Sakernas (1986, 1991, 1996, 2002)
Hal-hal tersebut diatas menunjukkan dengan jelas bahwa kebutuhan teknologi dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik fakktor biofisik yang bersifat memberi peluang penerapan teknologi, faktor ekonomi dan keadaan individu petani yang akan menerapkan inovasi teknologi pertanian, yang dapat bersifat mendukung dan dapat pula bersifat menghambat.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
16
Seminar Nasional 2005 PENYEDIAAN TEKNOLOGI PERTANIAN DI LAHAN MARGINAL Lahan marginal bukanlah lahan yang tidak berpotensi untuk menghasilkan produk pertanian unggulan, asalkan dengan penerapan teknologi pertanian yang tepat. Sudah banyak contoh dapat dikemukakan tentang keberhasilan teknologi untuk meningkatkan produktivitas lahan marginal. Persoalan yang masih belum terpecahkan ialah bagaimana meningkatkan pendapatan petani dan masyarakat tani di lahan marginal, yang merupakan sebagian besar dari jumlah seluruh petani. Pada umumnya pendapatan petani di lahan marginal, terutama petani kecil sangat rendah dibandingkan dengan petani di lahan sawah, yang sering lebih di kaitkan dengan kapasitas lahan yang memang kurang menguntungkan. Di lain fihak, dengan teknologi pertanian spesifik lokasi yang tepat, produktivitas lahan marginal pun dapat di tingkatkan, tetapi untuk ini diperlukan sarana produksi yang cukup disertai perlu tersedianya teknologi pengolahan hasil produksi dan pemasaran yang baik. Walaupun semua hal tersebut tersedia, produktivitas lahan marginal masih tergantung dari karakteristik individu dan kapasitas diri masyarakat tani di lahan marginal (Gambar 1). Karakteristik anggota masyarakat tani seperti ini menghambat pengembangan kapasitas diri, ialah daya yang ada pada diri seseorang untuk menetapkan langkah dan tujuan serta usaha yang akan dilakukan untuk menetapkan guna memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, sehingga produktivitas dirinyapun rendah. Demikian pula pemanfaatan kapasitas sumberdaya pertanian yang ada disekitarnya, termasuk pemanfaatan sumberdaya alam, akses terhadap modal dan kredit untuk usaha pertaniannya, penerapan teknologi dan akses terhadap pasarpun termasuk rendah pula. Sebagai akibat akhir ialah produktivitasnya yang rendah dan dengan sendirinya pendapatanpun akan rendah pula. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyediakan teknologi yang tepat untuk lahan marginal. Pada umumnya penyediaan teknologi dilakukan melalui penelitian, pengkajian, dan pengembangan teknologi dengan memperhatikan prinsip-prinsip agar teknologi tersebut: (i) Secara teknis layak dimanfaatkan, dalam arti mempunyai potensi untuk meningkatkan produktivitas usaha pertanian, (ii) Secara ekonomis menguntungkan, dalam arti memberikan peningkatan keuntungan dengan penerapan teknologi hasil penelitian per satuan luas dan per satuan waktu, umumnya per hektar, dan biasanya diukur dengan ukuran B/C ratio dsb, (iii) Secara sosial diterima oleh masyarakat tani, dalam pengertian bahwa bila teknologi tersebut dianjurkan penerapannya, maka akan diikuti oleh masyarakat tani, dan (iv) Ramah lingkungan, ialah bahwa teknologi pertanian yang disediakan tidak merusak lingkungan, terutama lingkungan alam, sehingga sumberdaya alam yang ada terlestarikan. Prinsip-prinsip tersebut telah dan selalu diperhatikan. Guna lebih meningkatkan kelayakan teknis, berbagai upaya telah dilakukan misalnya dengan penggunaan peta AEZ untuk identifikasi kesesuaian komoditas dan teknologi untuk komoditas ybs dengan sumberdaya alam yang tersedia. Telah pula dilakukan pengkajian untuk menguji kesesuaian teknologi yang dihasilkan melalui kegiatan penelitian pertanian dengan berbagai kondisi lahan dan agroklimat untuk menghasilkan teknologi pertanian unggulan spesifik lokasi; bahkan untuk menghasilkan teknologi pertanian spesifik lokasi sering pula harus dilakukan uji multilokasi dan uji adaptasi untuk memastikan kesesuaian teknologi dengan lahan dan iklim di lokasi teknologi tersebut akan diterapkan. Dengan kegiatan penelitian dan pengkajian ini telah pula diupayakan agar teknologi pertanian yang dihasilkan bersifat ramah lingkungan. Guna menjamin bahwa teknologi yang dihasilkan secara ekonomis dapat dipertanggung jawabkan, maka penghitungan untung-rugi dalam penerapan teknologi selalu dilakukan. Walaupun secara teoritis suatu teknologi pertanian akan menguntungkan penggunanya, tetapi belum tentu selalu demikian, terutama untuk petani kecil di lahan marginal. Beberapa hal yang perlu pula diperhatikan antara lain, ialah sebagai berikut:
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
17
Seminar Nasional 2005 a. Penghitungan untung-rugi didasarkan pada luasan 1 hektar, sedangkan banyak petani kecil yang kepemilikannya kurang dari 1 ha, bahkan banyak yang hanya memiliki lahan sekitar 0,1 – 0,25 ha. Dengan luasan yang demikian, mungkin keuntungan yang diperoleh menjadi tidak berarti; b. Untuk menerapkan teknologi dengan produktivitas yang optimal sehingga menguntungkan biasanya diperlukan sarana produksi yang cukup banyak. Kenyataan menunjukkan bahwa petani kecil, terutama di lahan marginal yang kurang terjangkau prasarana dan transportasi, kurang mampu membeli sarana produksi yang diperlukan. Petani akan mengurangi beberapa sarana produksi yang dirasakan mahal, sehingga produktivitas akan menurun, akibatnya keuntungan dalam penmerapan teknologi yang kurang sempurna tersebut juga akan menurun. c. Dalam perhitungan untung rugi penerapan teknologi, harga yang dipergunakan adalah harga pasar. Kenyataan juga memperlihatkan bahwa petani kecil terutama di lahan marginal, menjual hasil produksinya tidak dengan harga pasar, tetapi dengan harga di lokasi usaha taninya yang sangat berbeda dengan harga pasar. Kalaupun petani tersebut menjual ke pasar tetap akan menerima harga yang lebih rendah, karena adanya beban biaya transportasi, pengepakan dsb. Dengan demikian keuntungan yang akan diterima tidak akan sesuai dengan hasil perhitungan saat penelitian/pengkajian dilakukan.
KESEJAHTERAAN
Pendapatan
Produktivitas
Pemanfaatan
Akses
SDA
Kredit
Adopsi Teknologi
Akses Pasar
Pemanfaatan Kapasitas Sumberdaya Pertanian
Kapasitas Diri
Petani Kecil di Lahan Marginal Pendidikan Rendah
Motivasi Rendah
Apatis
Kemauan Rendah
Percaya diri Rendah
Gambar 1. Petani dan Produktivitasnya di Lahan Marginal
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
18
Seminar Nasional 2005 Demikian pula prinsip secara sosial diterima masyarakat tani, bahkan sering dikatakan bahwa teknologi yang tersedia sudah disesuaikan dengan kebutuhan petani akan teknologi. Pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) digunakan untuk identifikasi/ menggali kebutuhan petani akan teknologi pertanian, dengan asumsi bahwa kalau teknologi pertanian yang dibutuhkan sesuai dengan hasil PRA, maka teknologi tersebut secara sosial akan diterima oleh petani. Demikian pula upaya untuk mengenalkan teknologi baru melalui berbagai cara seperti plot demontrasi, demontrasi cara penggunaan, gelar teknologi, hari lapangan (field day), penyediaan visitor plot, dsb adalah pendekatan agar teknologi pertanian yang dikenalkan/dianjurkan dapat diterima oleh masyarakat tani. Meskipun telah diusahakan pendekatan sosial sejak identifikasi kebutuhan teknologi, tetapi masih ada kemungkinan bahwa masyarakat tani menerima teknologi tersebut bukan karena untuk memenuhi kebutuhan usaha taninya, tetapi kebutuhan lain seperti untuk memperoleh fasilitas yang mengikuti penerapan teknologi seperti tersedianya sarana produksi, kredit usahatani dsb. Demikian pula PRA, yang memang memiliki potensi besar dalam mengungkap masalah usaha tani dan keperluan teknologi yang dihadapi masyarakat tani, kalau PRA tersebut dilakukan dengan baik dan benar. Pada umumnya pelaksanaan PRA dihadapkan pada kendala seperti kurangnya tenaga pelaksana PRA terlatih dengan baik, dana terbatas, waktu yang tersedia sangat kurang, dan pendekatan top-down yang telah membudaya dan tidak mudah untuk diganti dengan pendekatan partisipatif. Keadaan tersebut mungkin pula dialami dalam pelaksanaan PRA untuk menemukan masalah dan kebutuhan teknologi pertanian. Selain itu, mungkin dalam proses PRA dan pengenalan teknologi pertanian baru, partisipasi masyarakat bukan partisipasi yang interaktif, tetapi karena adanya motif lain, demikian pula dalam proses pengenalan teknologi pertanian terbawa unsur-unsur lain. Dalam pelaksanaan PRA perlu diperhatikan antara lain, hal-hal sebagai berikut: a. Dalam proses pelaksanaan PRA yang benar dan baik, maka peneliti atau pelaksana PRA seharusnya mendatangi mansyarakat tani di tempat kerjanya atau ditempat mereka berkumpul secara rutin, bukan dengan sengaja mengundang/mengumpulkan mereka di suatu tempat untuk keperluan PRA. b. Peneliti/pelaksana PRA seharusnya tidak mendominasi pembicaraan, tetapi bertindak selaku pemerhati dan pendengar yang sabar dan cermat. Masyarakat tani dimotivasi untuk mengungkapkan permasalahannya, bukan keinginannya. Dari permasalahan usaha pertanian yang dihadapi, maka peneliti/pelaksana PRA dapat menyimpulkan sementara akar masalah yang dihadapi yang mungkin dapat di cari solusinya melalui penerapan teknologi pertanian. c. Kesimpulan sementara pada butir b semestinya diklarifikasi lagi melalui pengamatan oleh peneliti/pelaksana PRA dan atau melalui wawancara mendalam dengan tokoh informal yang ada di lokasi. d. Dalam pengenalan teknologi pertanian baru melalui plot demonstrasi, field day, dsb kadang juga memberikan kesimpulan yang semu karena cara pelaksanaan yang kurang sesuai. Misalnya penunjukan pelaksana plot demonstrasi ternyata petani yang kurang di dukung oleh anggota masyarakat tani lainnya; pembicara dalam field day bukan petani tetapi petugas, dsb. Selain PRA, telah banyak upaya dilakukan untuk melibatkan petani berpartisipasi dalam penyediaan teknologi pertanian spesifik lokasi, seperti partisipasi dalam uji adaptasi, gelar teknologi pertanian, dsb. Demikian pula dalam pengenalan teknologi pertanian baru melalui plot demonstrasi, field day, dsb. Walaupun demikian kadang-kadang hakekat partisipasi kurang dimengerti dan dilaksanakan dengan baik. Sering keterlibatan petani dalam pertemuan untuk membahas teknologi pertanian, dianggap sudah merupakan poartisipasi, walaupun petani tersebut hadir dan pasif dalam pembahasan. Hal ini bisa mengarah pada kesimpulan yang semu karena cara pelaksanaan pasrtisipasi yang kurang sesuai.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
19
Seminar Nasional 2005 Partisipasi petani masih dapat ditingkatkan apabila peneliti dan penyuluh pertanian bersedia memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada petani untuk menguraikan masalah, aspirasi, saran, pendapat dan sejenisnya dan mendengarkan serta memperhatikan dengan cermat uraian yang diberikannya. Dalam hubungan ini perlu disadari bahwa partisipasi mempunyai tingkat-tingkat mulai partisipasi pasih sampai partisipasi untuk perubahan (Gambar 2).
8 7 6 5 4 3 2 1
Partisipasi untuk perubahan
Pengembangan diri Partisipasi interaktif (untuk memperkuat dan mengembangkan usaha)
Partisipasi fungsional (untuk memperoleh apa yang diharapkan) Partisipasi untuk memperoleh bantuan/insentif
Partisipasi untuk konsultasi
Partisipasi untuk mendapatkan informasi
Partisipasi pasif (Ikut-ikutan) Gambar 2. Tingkat partisipasi
Para petani bisa berpartisipasi dalam PRA atau pengenalan teknologi pertanian atau kegiatan-kegiatan lainnya hanya sekedar ikut karena adanya undangan dan yang lain juga ikut (patisipasi pasif) atau mereka berpartisipasi karena memang ingin memperkuat dan mengembangkan usahanya, ataukah mereka berpartisipasi untuk memperoleh gagasan untuk perubahan usahanya.. Masing-masing tingkatan partisipasi akan menghasilkan manfaat yang berbeda dari upaya berpartisipasi. Makin tinggi tingkat partisipasi, akan makin tinggi pula manfaat yang diperoleh oleh kelompok maupun anggota kelompok dari partisipasi., demikian pula makin tinggi tingkat patrtisipasi akan makin mantap pula keberlanjutan manfaatnya. Dalam proses identifikasi kebutuhan teknologi pertanian, penyediaan teknologi pertanian melalui penelitian dan pengkajian serta pengenalan dan diseminasi teknologi pertanian perlu diupayakan agar partisipasi masyarakat tani setinggi mungkin sehingga manfaatnya juga akan sangat dieasakan oleh para petani. Sekali mereka merasakan manfaat partisipasi yang sesungguhnya, mereka akan memanfaatkan hasil partisipasinya sebaik mungkin, serhingga mereka bukan hanyasekedar menjadi pengguna teknologi pertanian, tetapi dapat pulas memberikan masukan yang sangat berharga dalam proses penyediaan teknologi pertanian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
20
Seminar Nasional 2005 Melalui partisipasi, paling sedikit pada tingkat interaktif, maka akan dengan mudah diketahui sifat-sifat teknologi yang benar-benar dibutuhkan oleh para petani. Sifat inovasi/teknologi penting yang umumnya menjadi perhatian para petani, meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Tingkat kesesuaian inovasi/teknologi dengan keadaan dan kebiasaan di lokasi petani. Teknologi baru yang mempunyai banyak kesamaan dengan teknologi yang biasa diterapkan oleh petani akan mempunyai potensi yang lebih besar untuk diterima dan diadopsi oleh petani daripada yang benar-benar baru. b. Tingkat kompleksitas atau kerumitan menentukann dapat tidaknya inovasi/teknologi diterima dan diadopsi oleh petani. Termasuk dalam kerumitan ini ialah tingkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menerapkan teknologi, mudah tidaknya memperoleh sarana produksi yang diperlukan untuk mengadopsi teknologi yang dikenalkan/ dianjurkan, dan pasar untuk hasil usahanya. c. Umumnya petani tidak akan begitu saja menerima teknologi baru untuk di adopsi di semua lahannya. Mereka ingin mencoba dulu teknologi tersebut sebelum memutuskan untuk menerapkannya di lahannya. Mudah tidaknya suatu teknologi baru di coba akan menentukan tingkat penerimaan atau adopsi teknologi tersebut. d. Berdasarkan pengamatan petani sendiri, teknologi yang mudah diamati penampilannya dan memberikan perbedaan yang menonjol dibandingkan dengan yang biasa di gunakan akan lebih cepat di terima dan diadopsi daripada yang sulit diamati dan kurang menunjukkan kelebihan dibandingkan dengan penampilan teknologi yang biasa di pergunakan. e. Keuntungan yang dapat diharapkan dari inovasi/teknologi. Keuntungan dalam hal ini ialah keuntungan nyata yang dapat diterima oleh petani yang bersangkutan, berdasarkan hasil mencoba teknologi yang diperkenalkan/ dianjurkan atau berdasarkan pengalaman teman petani lain. Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam penyediaan teknologi pertanian, sifatsifat teknologi pertanian yang disediakan untuk petani tidak cukup berdasarkan penilaian peneliti yang membuat teknologi atau penyuluh yang memperkenalkan teknologi tersebut, tetapi harus pula memperhatikan sifat-sifat teknologi pertanian dari sudut pandang petani sendiri. Hal ini menunjukkan pula bahwa persepsi petani terhadap teknologi baru yang akan diperkenalkan dan atau dianjurkan akan sangat penting. Persepsi ini juga sangat tergantung dari karakteristik individu petani dan tingkat kapasitas dirinya; makin tinggi tingkat pendidikan, motivasi, dan kapasitas diri petani cenderung makin mudah menerima teknologi yang diperkenalkan dan makin cepat mengadopsinya. DISEMINASI TEKNOLOGI DI LAHAN MARGINAL Sering dilontarkan kritik bahwan tidak ada teknologi hasil penelitian yang dapat diterapkan di lahan marginal, bahkan dikatakan pula bahwa telah banyak penelitian dilakukan tetapi tidak ada teknologi yang tepat guna untuk masyarakat tani di lahan marginal. Hal ini tidak seluruhnya benar. Mungkin teknologi yang ada telah sesuai memenuhi kelayakan teknis, secara ekonomis, berdasar B/C ratio, juga sudah baik, bahkan secara sosial sudah diterima dan ramah lingkungan, tetapi tetap belum menarik bagi petani untuk menerapkannya secara berkelanjutan. Banyak petani menerapkan teknologi yang dianjurkan melalui suatu proyek, tetapi begitu proyek selesai, mereka kembali ke teknologi tradisional kembali. Umumnya kekurangan yang dapat dilihat ialah bahwa penyediaan teknologi kurang memperhatikan umpan balik dan kebutuhan & peluang petani untuk menerapkan teknologi. Ketiga hal tersebut saling terkait dan tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya (Gambar 3), teknologi pertanian yang di desiminasikan harus sesuai dengan umpan balik dan identifikasi peluang dan kebutuhan, demikian pula umpan balik
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
21
Seminar Nasional 2005 tergantung dari kebutuhan & peluang dan teknologi yang di desiminasikan, demikian pula kebutuhan dan peluang penerapan teknologi dipengaruhi oleh teknologi pertanian yang di desiminasikan dan umpan balik yang telah disampaikan.
Diseminasi Teknologi Pertanian
Umpan Balik
Identifikasi i. Kebutuhan ii. Peluang
Gambar 3. Keterkaitan Diseminasi, Umpan Balik dan Identifikasi Kebutuhan & Peluang
Selain itu, juga di temui adanya teknologi pertanian yang di desiminasikan kurang di dasarkan pada keadaan petani, karena kurangnya memahami karakteristik individu dan kapasitas diri petani di lahan marginal. Kapasitas petani terhadap sumberdaya dan sarana pertanian memang telah banyak diperhatikan, terutama dalam uji adaptasi dan/atau uji multilokasi seperti ditetapkan dalam Peratutan Menteri Pertanian No. 3 tahun 2005 tentang pedoman penyiapan dan penerapan teknologi pertanian. Walaupun demikian, dalam pelaksanaannya, masih kurang memperhatikan dan/atau memahami karakteristik individu dan kapasitas diri petani, terutama petani kecil. Pemahaman terhadap karakteristik individu dan kapasitas diri petani akan menentukan tingkat potensi atau kesiapan petani dalam menerima teknologi yang dikenalkan kepadanya; sebaliknya dengan mengetahui potensi dan tingkat kesiapan petani dalam menerima teknologi pertanian, maka akan dapat teknologi pertanian yang akan dikenalkan akan dapat disesuaikan dengan potensi dan kesiapan diri petani tersebut (Gambar 4). Dengan pendekatan ini, maka petani tidak hanya akan menerapkan teknologi baru secara berkelanjutan, tetapi juga akan mengembangkan usaha pertaniannya selalu dengan menerapkan teknologi baru. Hal ini menunjukkan pula bahwa teknologi pertanian yang diperkenalkan kepada petani harus disesuaikan dengan kapasitas diri dan kapasitas sumberdaya & sarana yang dimilikinya. Penyesuaian dengan kapasitas petani, baik kapasitas diri maupun kapasitas sumberdaya & sarana, akan menjamin keberlanjutan adopsi teknologi tersebut, bahkan akan dikembangkan sendiri oleh petani yang bersangkutan. Peningkatan kapasitas sumberdaya & sarana dari petani lebih mudah dibandingkan dengan pengembangan kapasitas diri, yang memerlukan waktu cukup lama dan usaha khusus. Peningkatan kapasitas sumberdaya & sarana telah banyak dilakukan melalui program-program intensifikasi yang bertujuan lebih pada perningkatan produkltivitas komoditas pertanian daripada peningkatan kapasitas diri petani. Akibatnya, begitu program atau proyek selesai, maka kembalilah petani ke teknologi tradisionalnya, karena kapasitas diri dan kapasitas sumberdaya & sarana mereka masih lebih sesuai dengan teknologi tradisional dibandingkan dengan adopsi teknologi baru. Sebaliknya, ada kemungkinan bahwa upaya diseminasi atau kegiatan penyuluhan juga dapat mempengaruhi perkembangan tingkat kapasitas diri petani, apabila kegiatan diseminasi tersebut secara bersungguh-sungguh diarahkan pula untuk meningkatkan kapasitas diri petani. Kegiatan diseminasi teknologi pertanian yang dilakukan selama ini sebenarnya sudah mengandung potensi untuk peningkatan kapasitas diri petani.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
22
Seminar Nasional 2005
PEMAHAMAN DIRI
POTENSI/KESIAPAN DIRI
Kapasitas diri: •Pengetahuan •keterampilan •Sikap •Percaya Diri •Komitmen •Kewirausahaan •dsb
Kapasitas
Karakteristik Pribadi: •Tk Pendidikan •Pegalaman Usaha •Tk Pendapatan •Pekerjaan: -Pokok -Sambilan •dsb
Kemajuan Usaha
PENGENALAN INOVASI Inovasi Lain Teknologi
Kemampuan Usaha
Kapasitas Sumberdaya dan Sarana: •Lahan •Modal Usaha •Pasar •dsb
Penerimaan Inovasi: •Kesesuaian •Kerumitan •Triabilitas •Observabilitas •Keuntungan
Kesempatan Usaha
Adopsi Inovasi
Pengembangan Usaha
Gambar 4. Pemahaman Diri dan Adopsi Teknologi
Kegiatan diseminasi yang dilakukan dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan untuk menerapkan teknologi baru, misalnya melalui ceramah, pameran dan percontohan, yang bisa dilakukan melalui alat bantu berupa film atau video yang menggambarkan bagaimana menerapkan teknologi baru (Gambar 5.A.). Dengan cara ini petani akan dapat mengadopsi teknologi baru, tetapi hanya sesuai dengan contoh dan sarana yang diberikan. Adposi akan terhenti kalau bantuan sarana produksi dan arahan juga dihentikan.
5.A. Diseminasi Teknologi Terbatas
Pengetahuan
Adopsi Teknologi Keterampilan
Gambar 5.A. Tahap Pertama Kegiatan Diseminasi Teknologi Pertanian
Kegiatan diseminasi yang dilakukan dengan memberikan percontohan seperti melalui gelar teknologi atau penyediaan plot demonstrasi yang disertai dengan dialog/komunikasi tatap-muka untuk membahas cara penerapan, keuntungan-kerugian dan hal-hal lain tentang teknologi yang diperkenalkan. Kegiatan diseminasi ini serupa dengan kegiatan penyuluhan pertanian yang selama ini dilakukan oleh penyuluh pertanian. Melalui pendekatan ini, dapat diharapkan bahwa sikap terhadap teknologi baru yang diperkenalkan akan tumbuh secara positif. Meskipun demikian perlu difahami bahwa tumbuhnya sikap tidak dapat terjadi dalam waktu cepat, waktu yang relatif lama disertai dengan upaya penumbuhannya ber-ulang-ulang akan menghasilkan sikap yang positif terhadap teknologi yang diperkenalkan, yang kemudian akan diikuti dengan kemantapan dalam adopsi teknologinya (Gambar 5.B.).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
23
Seminar Nasional 2005
5.B. Di seminasi/ Penyuluhan Umum
Pengeta-huan Keterampilan
(Sikap Terbentuk dalam Waktu Lama dan Upaya Berulangberulang)
Adopsi Teknologi dan Pemantapannya
Sikap
Gambar 5.B. Tahap II Kegiatan Diseminasi Teknologi Pertanian
Peningkatan partisipasi petani kearaf partisipasi interaktif dalam penyediaan teknologi, misalnya dengan mengangkatnya menjadi kooperator dari suatu uji adaptasi, pelaksana gelar teknologi dsb dapast meningkatkan kapasitas diri petani, tetapi harus disertai dengan pemberian segala informasi, baik secara tertulis maupun lisan kepada petani ybs. Dengan demikian timbul rasa dipercaya untuk memperkenalkan teknologi baru, yang kemudian akan menumbuhkan rasa percaya diri pada petani ybs. Dengan rasa percaya diri ini, maka petani tersebut akan meng-adopsi teknologi yang diperkenalkan secara mantap, bahkan dengan kemauan sendiri, akan menyebarkan pengalamannya kepada petani lain agar ikut meng-adopsi teknologi baru tersebut (Gambar 5.C).
5.C. Diseminasi/ Penyuluhan Partisipatif
Percaya Diri Pengeta-huan Keterampilan
Pemantapan Adopsi Teknologi dan Pengembangannya
Sikap
Gambar 5.C. Tahap III Diseminasi Teknologi Pertanian.
Selanjutnya partisipasi petani masih dapat ditingkatkan lagi dengan memberi kepercayaan sebagai pelaksana gelar teknologi atau plot demonstrasi, pelaksana uji adaptasi dengan bimbingan intensif dari peneliti, karena petani ybs sudah tidak diragukan lagi kermampuannya. Apalagi kalau petani tersebut diberi pula kepercayaan untuk memberikan informasi kepada petani dan petugas lain tentang teknologi barunya, misalnya sebagai pembicara pada field-day. Kepercayaan ini tidak hanya menumbuhkan rasa percaya diri, tetapi juga rasa tanggung jawab dan komitmenyang tinggi. Selain itu akan tumbuh pula motivasi pada dirinya untuk mengembangkan manfaat teknologi pertanian yang baru dikenalkan kepadanya, misalnya dengan mencobanya sendiri pada komoditas pertanian lainnya (Gambar 5.D).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
24
Seminar Nasional 2005
5.D. Diseminasi Teknologi/ Penyuluhan Berdasar Kebutuhan Petani (Farmers led Dissemination Extension)
Percaya Diri Pengeta-huan
Pengembangan Manfaat Teknologi dalam Usaha Pertaniannya
Keteram pilan
Sikap
Tanggung Jawab/ Komitmen Gambar 5.D. Tahap IV Kegiatan Diseminasi Teknologi Pertanian
Partisipasi petani masih dapat ditingkatkan lagi sehingga mencapai tingkat partisipasi interaktif dan pengembangan diri, ialah dengan memberikan kesempatan kepada petani sebagai kooperator pada kegiatan penelitian dan atau pengkajian seperti uji adaptasi, yang disertai penempatan ("detasir") peneliti atau penyuluh pertanian dirumah atau di lokasi penelitian/pengkajian. Keadaan ini memberi kesempatan untuk berinteraksi secara maksimal antara petani dengan tenaga peneliti/penyuluh. Interaksi intensif ini merangsang petani untuk memperoleh informasi dan memahami teknologi lebih mendalam, sehingga tidak hanya dapat memanfaatkan tetapi juga mengembang kan teknologi untuk pengembangan usaha pertaniannnya Keadaan ini tidak hanya me numbuhkan percaya diri, tanggung jawab dan komitmen petani tetapi juga mengem- bangkan kapasitas dirinya sehingga menjadi lebih bersemangat dan berdisiplin dalam dalam usahanya, bahkan dapat tumbuh jiwa kewiraswastaan-nya (Gambar 5.E).
5.E. Diseminasi
Percaya Diri
Teknologi/ Penyuluhan untuk Pengembangan Kapasitas Diri Petani
Pengetahuan Keteram pilan
Kemampuan : •Pencarian •Pemahaman •Keputusan •Pemanfaatan
Tek. usaha pertanian
Sikap
Kapasitas lain: •Kepribadian •Kewirausahaan •Kepemimpinan •Tata Nilai •dsb
Tanggung Jawab/ Komitmen
Gambar 5.E. Tahap V Kegiatan Diseminasi Teknologi Pertanian
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
25
Seminar Nasional 2005 Hal-hal tersebut diatas menunjukkan bahwa kegiatan diseminasi, kalau diselenggarakan dengan baik, tidak hanya berfungsi untuk penyebar-luasan teknologi baru, tetapi juga dapat berfungsi untuk mengembangkan kapasitas diri petani sehingga mereka dapat pula mengembangkan usaha pertaniannya. Memang diakui bahwa untuk menyelenggarakan kegiatan diseminasi dengan tingkatan yang makin tinggi, memerlukan keahlian, tenaga, waktu dan dana yang makin besar pula, yang akan diikuti oleh hasil dan manfaat kegiatan yang lebih baik. Semua cara pendekatan tersedia, tinggal kebijakan pengelola penelitian dan pengkajian yang menentukan pilihan. Diseminasi teknologi pertanian yang baik akan menghasilkan umpan balik terhadap teknologi yang di desiminasikan dan penumbuhan kebutuhan lebih lanjut tentang teknologi pertanian. Selain untuk keperluan diseminasi, pendekatan tersebut diatas juga bermanfaat untuk memperoleh umpan balik dan identifikasi masalah dan kebutuhan petani akan teknologi pertanian. Pendekatan seperti digambarkan pada gambar 5.A. memang tidak akan memberikan peluang untuk memperoleh umpan balik, karena sifatnya yang hanya berbentuk komunikasi satu arah. Pendekatan yang digambarkan oleh gambar 5.B memungkinkan adanya umpan balik terhadap teknologi pertanian yang diperkenalkan, ialah pada saat dialog dengan pengguna teknologi di petak uji adaptasi, gelar teknologi, visitor plots, dsb. Intensifikasi umpan balik akan lebih besar pada pendekatan yang digambarkan melalui Gambar 5.C. karena kesempatan interaksi antara pengguna teknologi pertanian dengan peneliti dan atau penyuluh akan lebih intensif pula. Dengan pendekatan seperti digambarkan pada Gambar 5.D, umpan kalik akan semakin intensif. Petani dan pengguna teknologi lain tidak hanya akan memberikan umpan balik terhadap teknologi yang diperkenalkan saja, tetapi masalah-masalah teknologi lain yang dihadapi oleh petani dan pengguna teknologi lainnya. Dari interaksi ini pula mulai dapat diketahui kebutuhan petani yang sebenarnya, yang memerlukan perhatian peneliti. Umpan balik dan identifikasi kebutuhan teknologi yang paling intensif akan ditemukan pada pendekatan yang digambarkan pada Gambar 5.E. Pada keadaan seperti ini akan terjalin hubungan yang akrab dan pembicaraan tentang masalah kehidupan petani dan pengguna teknologi lainnya terjadi. Pendekatan ini memberi peluang terungkapnya kebutuhan baik untuk masa sekarang maupun untuk masa depannya. Penyediaan teknologi pertanian spesifik lokasi yang tepat guna dan tepat sasaran dan juga diseminasi teknologi pertanian yang baik, ialah yang menuju kearah peningkatan kapasitas diri petani, akan mengarah kepada pengembangan usaha petani. Dalam hal ini, umumnya petani akan terbentur pada masalah modal dan pemasaran hasil usaha pertanian. Masalah ini dapat diatasi dengan kegiatan kelompok, dengan catatan bahwa pembentukan kelompok harus didasarkan pada keputusan petani sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, bukan di bentuk oleh peneliti, penyuluh atau pejabat lainnya. Pembinaan kelompok yang baik, yang dapat meningkatkan dinamika kelompok tani ybs akan memberi peluang bagi kelompok tani untuk bermitra secara saling menguntungkian (partnership) dengan pengusaha yang terkait dengan usaha pertanian. Kemnitraan semacam ini merupakan salah satu jalan untuk mengatasi kesulitan pengadaan modal usaha pertanian dan pemasaran hasilnya. PENUTUP Penyediaan dan diseminasi teknologi pertanian baru di lahan marginal untuk meningkatkan pendapatan petani, cukup menjanjikan. Kunci utama kegiatan penyediaan dan diseminasi teknologi di lahan marginal maupun di lahan lain terletak pada upaya memberi kesempatan petani berpartisipasi tidak hanya secara pasif, tetapi paling tidak secara interaktif. Penyediaan teknolologi tidak hanya cukup memperhatikan faktor-faktor biofisik, soaial, ekonomi dan budaya, yang dilihat dari sudut pandang peneliti atau penyuluh, tetapi juga harus memperhatikan ciri-ciri inovasi/teknologi berdasar persepsi petani sendiri
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
26
Seminar Nasional 2005 demikian pula untuk desiminasi teknologinya. Hal lain yang harus diperhatikan dalam penyediaan teknologi dan diseminasinya ialah kapasitas diri maupun kapasitas sumberdaya & sarana yang ada pada petani sendiri. Tingkat kegiatan diseminasi juga akan memberi peluang untuk memperoleh tingkat umpan balik terhadap teknologi pertanian yang diperkenalkan dan identifikasi kebutuhan petani dan pengguna teknologi lainnya. Makin tinggi tingkat kegiatan diseminasi, makin jelas dan tinggi pula manfaat umpan balik dan makin terlihat jelas pula kebutuhan nyata petani yang teridentifikasi. Kejelasan umpan balik dan kebutuhan petani dan pengguna teknologi lainnya akan membantu peneliti tidak hanya untuk penyediaan materi diseminasi teknologi tetapi juga untuk merumuskan program penelitian jangka pendek maupun jangka panjang. Pembinaan kelompok tani terhadap dinamika kelompoknya akan mengembangkan kemampuan kelompok untuk melaksanakan kemitraan yang saling mernguntungkan (partnership) dengan perusahaan yang terkait dengan usaha pertanian. Kemitraan yang saling menguntungkan ini dapat mengatasi kesulitan petani dalam pengadaan modal usaha tani dan pemasaran hasil pertaniannya. DAFTAR PUSTAKA Asian Development Bank dan Ministry of Agriculture. Final Report Agriculture and Rural Development Strategy Study. Jakarta, May 2004. Asian Development Bank. Handbook on Poverty and Social Analysis. A Working Document. December 2001. Blackburn, James and Jeremy Holland (eds). Who Chanes? InstitutionalizingParticipation in Development. Intermediate Technology Publications; North Yorkshire, UK, 1998. Carrol, Thomas F. Social Capital, Local Capacity Building and Poverty Reduction.Social Development Paper No. 3. Office of Environment and Social Development, Asian Development Bank; Manila, Philippines, 2001.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
27
Seminar Nasional 2005 DINAMIKA KELEMBAGAAN MASYARAKAT LAHAN MARGINAL Kedi Suradisastra Ahli Peneliti Utama Sosiologi dan Kelembagaan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertania
PENDAHULUAN Keberhasilan proses alih teknologi atau diseminasi inovasi pertanian tidak hanya ditentukan oleh motivasi, keterampilan dan pengetahuan petani sebagai stakeholder pembangunan sektor, namun dipengaruhi pula oleh tata peraturan dan norma yang berkembang melalui kelembagaan lokal. Upaya menyadarkan petani bahwa adopsi inovasi pertanian akan selalu memberikan keuntungan bagi mereka tidaklah cukup. Upaya meningkatkan perhatian dan motivasi berusaha akan lebih memberikan hasil bila disertai tindakan yang sejalan dengan norma dan lembaga kemasyarakatan lokal (community-based action). Dalam hal ini pemanfaatan kelembagaan lokal akan sangat efektif sebagaimana dinyatakan oleh Bromley (1993) “local institutions permit us to carry on our daily lives with minimum repetition and costly negotiations”. Pernyataan ini bermakna bahwa kelembagaan lokal merupakan salah satu dasar pijakan bagi seseorang dalam menyesuaikan sikap dan tindakannya. Dengan memahami pentingnya sikap di atas, diperlukan reorientasi peran penyuluh dan petugas lapang dalam proses adopsi inovasi melalui kontak langsung dengan masyarakat lokal. Sebagai bagian dari proses adopsi, kehadiran komunikator yang menguasai masalah kelembagaan setempat akan sangat membantu. Proses diseminasi harus memperhitungkan faktor sosial dan status ekonomi petani dalam upaya meyakinkan manfaat suatu inovasi baru. Keputusan seseorang untuk mengadopsi inovasi bukanlah suatu keputusan mendadak atau instantaneous act, melainkan suatu proses yang melewati kurun waktu, tindakan dan berbagai keputusan (Suradisastra, 1987). Berkaitan dengan upaya pembangunan sektor pertanian, makalah ini berupaya mengungkap arah perubahan sistem nilai dan kelembagaan masyarakat dalam menghadapi tantangan peningkatan produktivitas lahan marginal. KONSEP DAN FUNGSI KELEMBAGAAN Pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan (institusi) sejauh ini lebih terpaku pada organisasi, baik organisasi formal maupun organisasi non-formal. Konvensi Uphoff (1992) dan Fowler (1992) menyatakan bahwa suatu lembaga dapat berbentuk organisasi, atau sebaliknya. Perkawinan adalah suatu lembaga atau institusi, tetapi bukan suatu organisasi. Di sisi lain suatu rumah tangga adalah suatu organisasi dengan pembagian peran, tetapi bukan suatu institusi. Suatu lembaga dapat berbentuk organisasi seperti pemerintah, bank, partai, perusahaan dan lain-lain. Institusi dapat juga berupa tata peraturan seperti hukum atau undang-undang, sistem perpajakan, tata kesopanan, adat-istiadat, dan lain-lain. Eksistensi suatu lembaga ditentukan oleh kemampuannya dalam melayani tuntutan sosial masyarakat setempat dalam kurun waktu yang sangat beragam. Tidak jarang terjadi keberadaan suatu lembaga tiba-tiba hilang, atau digantikan oleh lembaga baru yang lebih mampu melayani kebutuhan stakeholder setempat. Suatu lembaga atau organisasi mampu bertahan dalam dinamika masyarakat bila tetap memiliki fungsi yang dibutuhkan. Fungsi organisasi dan lembaga lokal antara lain adalah: (a) Mengorganisir dan memobilisasi sumberdaya; (b) Membimbing stakeholder pembangunan dalam membuka akses ke sumberdaya produksi; (c) Membantu meningkatkan sustainability pemanfaatan sumberdaya alam; (d) Menyiapkan infrastruktur sosial di tingkat lokal; (e) Mempengaruhi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
28
Seminar Nasional 2005 lembaga-lembaga politis; (f) Membantu menjalin hubungan antara petani, penyuluh dan peneliti lapang; (g) Meningkatkan akses ke sumber informasi; (h) Meningkatkan kohesi sosial; (i) Membantu mengembangkan sikap dan tindakan koperatif, dll. Dalam konteks kelembagaan, pemahaman terminologi “lokal” diinterpretasikan sebagai sesuatu yang memiliki karakteristik tersendiri yang berkaitan dengan kondisi setempat. Terminologi “lokal” meliputi dasar-dasar untuk melakukan tindak kolektif, energi untuk melakukan konsensus, koordinasi tanggung jawab, serta menghimpun, menganalisis dan mengkaji informasi. Hal-hal ini tidak terjadi secara otomatis, namun memerlukan kehadiran institusi yang bersifat spesifik lokasi. Sebagai contoh adalah lembaga candoli di wilayah Priangan Timur (Jawa Barat) yang berfungsi sebagai penentu waktu panen. Lembaga candoli bersifat lokal (Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Sumedang) dan eksistensinya (pernah) dibutuhkan karena penguasaannya akan informasi terkait perkembangan fisik padi di lahan sawah di lokasi-lokasi tersebut. Dalam konteks sektor, fungsi lembaga dan kelembagaan lokal yang sangat signifikan ditunjukkan oleh lembaga subak sebagai bagian budaya Bali. Subak merupakan suatu lembaga terstruktur lintas aspek yang berbentuk organisasi formal di berbagai hierarki administrasi dari tingkat tempek (kelompok tani) sampai ke tingkat organisasi dinas pendapatan pemerintah kabupaten (sedahan agung) dengan melibatkan norma adat dan keagamaan. Subak merupakan suatu gambaran lengkap interaksi positif antara aspek politis pemerintahan, norma, adat, keagamaan serta aspek teknis dan teknologi pertanian (Suradisastra, 2001). Kegiatan bertani yang melibatkan berbagai aspek inter-sektor seperti demikian meningkatkan kohesi sosial di lingkungan masyarakat petani Bali sehingga upaya diseminasi inovasi dapat dilaksanakan secara lebih lancar. Setiap segmen kegiatan usahatani padi sawah di Bali selalu disertai ritual tertentu sebagai bagian dari norma sosial dan ramburambu keagamaan. Tabel 1. Kelembagaan Kegiatan Organisasi Subak di Bali. No.
Kegiatan
Lembaga pelaksana Seke jelinjingan
1.
Pembagian air
2.
Seke numbeg
3.
Pengolahan tanah Sebar benih
4.
Menaman
Seke tandur
Seke gebros
Seke tandur
5.
Menyiang
6.
Pemeliharaan
Seke mejukut Seke mejukut Seke merana
Ritual Mapag toya Ngendag, ngendag mamacul Mawinih muang ngurit pari, ngurip memulih Pidartan nandur pari, nandur, mamula, matur piuning Mabuwihin
7.
Persiapan panen
Seke manyi
8. 9.
Panen Pengangkutan
Seke manyi Tenaga keluarga
10.
Penyimpanan (sementara) Pengeringan
Tenaga keluarga
Kekambuhan Wusan mejukut Pengatapan pari, mepinunas Makukungan pari, biyukukung, ngusaba Caru, ngadegang Dewa Nini, nyaopin Nyangket pari Pamendakan, mantenin, mot emping Ngunggahang pari
Tenaga keluarga
Nedunang pari
Seke merana
11.
Tujuan ritual Dewa dan penguasa air dan sungai, mohon restu. Bhatari Sri (dewi padi), izin bekerja. Bhatari Sri (izin menebar benih). Bhatari Sri (izin menanam).
Bhatari Sri (mohon berkah membersihkan lahan), Brahma dan Wisnu (izin menanam) dan Iswara (restu pertumbuhan). Bhatari Sri (izin menyiang) Bhatari Sri (menyingkirkan gulma). Bhatari Sri dan dewa penyakit dan penjaga air. Bhatara Surya di Gunung Agung dan Bedugul (restu dan perlindungan). Bhuta Kala Dengen (keselamatan selama panen). Maha Dewi Sri (restu panen). Bhatari Nini (ibu padi), restu dan izin mengangkut padi dari sawah. Bhatari Sri (perlindungan padi yang baru dipanen). Bhatari Sri (izin prosesing).
Sumber: Dikutip dari Suradisastra (2001). Seke, seka, sekaa: kelompok.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
29
Seminar Nasional 2005 LAHAN MARGINAL DAN INSTITUSI LOKAL Terminologi lahan marginal sering diasosiasikan dengan lahan kering dan lahan tadah hujan. Secara sosio-historis, lahan kering dan lahan tadah hujan di wilayah tropis terjadi secara gradual karena meningkatnya kegiatan ladang berpindah, terutama di daerah dimana hak ulayat tidak didefinisikan dengan jelas sehingga tidak ada konsensus dan kontrol terhadap penggunaan sumberdaya. Kegiatan bersawah umumnya dilakukan di sekitar lembah dimana sumber air berada dan air tersedia (hampir) sepanjang tahun. Lereng-lereng gunung umumnya ditanami tanaman palawija atau tanaman keras dengan input rendah. Upaya konservasi lahan (terasering) jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan. Tekanan populasi dan meningkatnya komersialisasi produk tertentu (kopi, lada) turut meningkatkan beban lahan dan menguras kesuburan dengan cepat. Tradisi mengambil kayu bakar dan pakan ternak dari hutan sekitar turut pula menyumbang degradasi lahan. Contoh proses pemiskinan lahan yang menarik ditunjukkan oleh pola usahatani tradisional di lembah Baliem, pegunungan Jayawijaya, Papua. Lahan basah di lembah dekat sungai dimanfaatkan sebagai usahatani mina-ubi (wen hipere). Tanaman ubi ditanam pada guludan dan diantara guludan dibuat selokan untuk memelihara ikan. Sedangkan di lerenglereng diterapkan kegiatan usahatani ubi tanpa konservasi (wen wanggawi). Kondisi ini telah berlangsung ribuan tahun dan pemahaman masyarakat akan pentingnya teknologi konservasi tidak berkembang karena lahan ulayat masih sangat luas dibandingkan dengan populasi setempat. Kelembagaan lokal yang tumbuh juga lebih bersifat pranata (sistem) kepemimpinan yang menekankan pendekatan top-down dalam proses diseminasi dan penyaluran informasi. Seiring dengan peningkatan populasi, semakin meningkat pula kebutuhan pangan, sedangkan produktivitas lahan semakin menurun, terutama di lahan kering dan lahan tadah hujan yang semakin terdegradasi. Untuk tetap bertahan hidup dalam kondisi marginal yang semakin memburuk, komunitas setempat mengembangkan berbagai upaya yang sering diimplementasikan dalam bentuk kelembagaan sosial yang berfungsi teknis (lembaga teknososial). Kondisi lahan di NTT yang didominasi oleh tanah liat (clay) secara teknis sulit diolah dengan bajak atau alsintan. Tradisi penggembalaan ternak sapi secara komunal dimanfaatkan untuk mengatasi masalah pengolahan lahan dengan menggunakan kawanan sapi untuk menginjak-injak lahan sehingga tanah menjadi lunak dan siap ditanami. Tradisi ini disebut rencak dan merupakan suatu implementasi kelembagaan tekno-sosial yang mampu mengatasi masalah tertentu. Di pantai selatan Papua (Kabupaten Merauke) pernah dikenal kelembagaan sambanim-pakasanim sebagai dewan suku yang memusyawarahkan waktu, luas dan pola tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan stakeholder setempat. Namun peran kelembagaan ini memudar setelah introduksi lembaga tanam serempak dilakukan. Guna mengurangi resiko kegagalan usahatani, upaya diversifikasi dilakukan dengan memelihara ternak. Salah satu bentuk kelembagaan yang berorientasi sosial-ekonomi dalam pemeliharaan ternak adalah kelembagaan kredit pinjam ternak babi dalam bentuk epawaa (bagi hasil in-natura) dan iyoobai (bagi hasil dengan nilai uang) di Kabupaten Paniai, Papua. Kelembagaan kredit ternak in-natura lain yang diterima masyarakat dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam bentuk Sumba kontrak bagi ternak sapi program pemerintah jajahan. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa suatu institusi akan bertahan selama kehadirannya dibutuhkan oleh komunitas sosial setempat. Bertahannya kelembagaan subak dan rencak serta lenyapnya lembaga sambanim-pakasanim menunjukkan posisi dan peran kelembagaan tersebut dalam tatanan sosial masyarakat setempat.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
30
Seminar Nasional 2005 PELUANG PEMANFAATAN KELEMBAGAAN Kompleksitas interaksi biofisik, teknologi dan budaya lokal di Indonesia menghasilkan pola-pola fenomenal dan spesifik lokasi. Perkembangan sektor pertanian di Indonesia sesuai dengan teori perkembangan negara-negara di daerah tropis dari Huntington (1980) dimana kebudayaan bertani di negara tropis bersifat intrusif, yaitu lebih merupakan budaya yang diintroduksikan dengan perubahan minor dalam aspek tertentu. Secara implisit teori ini mengemukakan bahwa kegiatan pertanian modern bukan merupakan usaha asli petani setempat, namun lebih berupa kegiatan hasil penyesuaian dengan tradisi lokal yang telah berlangsung berabad-abad. Sifat intrusif berlaku juga bagi dinamika kelembagaan lokal yang terdapat di suatu daerah. Sejalan dengan budaya bertani tradisional yang bersifat survival agriculture atau land-to-mouth agriculture, perkembangan kelembagaan lokal juga berjalan ke arah social survivability dan social stability yang mendukung tujuan dan kegiatan produktif masyarakat petani. Sejauh ini hampir tidak terdapat kelembagaan tradisional yang mengembangkan orientasi komersil dalam kegiatan produktif untuk bertahan hidup. Dalam paradigma land-tomouth existence, kegiatan pertanian didukung oleh lembaga-lembaga pengaturan bercocok tanam, lembaga mobilisasi tenaga dan massa, serta lembaga pengatur norma dan perilaku sosial sesuai dengan tingkat evolusi sosial setempat. Contoh lembaga-lembaga lokal dan peluang pemanfaatannya dalam proses pembangunan disajikan dalam tabel dibawah ini. Tabel 2. Contoh Lembaga Lokal Terkait Sektor Pertanian . No.
Lokasi
Lembaga terkait pertanian
Peluang pemanfaatan
1.
Aceh
Teumeuweh, ceumeulho.
Diseminasi informasi, field activity.
2.
Sumatra Utara
Marsitalolo (strategi tanam 2x panen).
Mobilisasi massa dan sumber daya.
3.
Sumatra Barat
Kerapatan Adat Nagari
Alur informasi dan proses diseminasi.
4.
Nias
Sabe‟e, laza.
Mobilisasi sumberdaya.
5.
Jawa Barat
Ulu-ulu, candoli, kanomeran, bengkok.
Alur informasi, proses diseminasi, field activity.
6.
Jawa Tengah
Sawah yasan, sawah sanggan.
Mobilisasi sumberdaya.
7.
Bali
Sangkepan, subak.
Mobilisasi massa dan sumber daya, proses diseminasi.
8.
Kalimantan
Pangulu, demang.
Proses diseminasi dan mobilisasi massa.
9.
Sulawesi Selatan
Madika, kombong, tanah ongko, pak-pak (penyimpanan).
Mobilisasi tenaga dan sumberdaya, uji lapang.
10.
Sulawesi Utara
Posad, mapalus.
Mobilisasi tenaga.
11.
Sulawesi Tenggara
Ma-lulo (tari pergaulan)
Mobilisasi massa dan proses diseminasi.
12.
NTT
Fetor, pah-tuaf, rencak.
Mobilisasi massa, pengolahan lahan.
13.
Maluku
Raja soa.
Mobilisasi massa, proses diseminasi.
14.
Papua
Ondoafie, keret, sambanimpakasanim, otini-tabenak, epawaa-iyoobai.
Mobilisasi massa, pola pertanaman, proses diseminasi, pola perkreditan.
Sumber: Koentjaraningrat (1999), Suradisastra (1989-2005).
Lembaga-lembaga di atas memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan dan strategi pertanian setempat. Dalam kondisi ini, introduksi lembaga baru yang berorientasi ekonomi seperti lembaga pasar dan pemasaran, koperasi, lembaga perkreditan dan lembaga lainnya harus mencari celah dan waktu yang tepat agar bisa diterima oleh masyarakat dan norma setempat. Introduksi inovasi (baik berupa teknologi maupun introduksi kelembagaan baru) yang dilakukan tanpa mempertimbangkan fungsi kelembagaan lokal, norma dan budaya masyarakat serta kebiasaan fisik seringkali mengalami kegagalan, atau memerlukan waktu lama untuk diadopsi. Inovasi cangkul pada masyarakat etnis Dani di
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
31
Seminar Nasional 2005 lembah Baliem memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menggantikan budaya mengolah lahan dengan tugal. Contoh klasik lain adalah upaya introduksi pupuk pada awal intensifikasi padi awal tahun 1960-an yang memperoleh sambutan dingin dari petani dan kelembagaan lokal di Jawa. Memahami sejarah perkembangan sektor pertanian dan kegiatan bertani sering dilupakan karena upaya ini lebih banyak dinilai sebagai sesuatu yang membuang waktu dan biaya. Padahal pemahaman terhadap fungsi dan bentuk kelembagaan lokal berikut pemahaman pola evolusi kelembagaan lokal sangat membantu dalam menentukan celah masuk atau entry point inovasi kelembagaan. Kekurang pedulian terhadap pentingnya menemukan entry point kelembagaan bisa menimbulkan kebingungan dalam rekayasa kelembagaan yang sesuai dengan tujuan produksi pertanian. Keadaan ini diperparah lagi dengan upaya mengejar waktu agar suatu program dapat menunjukkan hasilnya dalam waktu singkat. Evolusi kelembagaan yang mendukung pertumbuhan sektor memerlukan waktu lama sehingga dibutuhkan suatu program pembangunan sektor yang bersifat longitudinal (multi years) dan konsisten dalam upaya mencapai tujuannya. Sebagai gambaran adalah kasus upaya evolusi kelembagaan produksi pertanian melalui program SUP (Sistem Usaha Pertanian), SUTPA (Sistem Usaha Pertanian Berbasis Padi), Corporate Farming, Sistem dan Usahatani Agribisnis, P3T (Program Pengembangan Pertanian Terpadu), dan akhirnya program Prima Tani. Perubahan program ini terjadi hanya dalam kurun waktu kurang dari 15 tahun, sedangkan perubahan norma dan kelembagaan memerlukan waktu beberapa dekade sebelum stakeholder pembangunan pertanian benar-benar memahaminya. Perubahan sosial dalam sektor pertanian terjadi karena tuntutan kebutuhan masyarakat sebagai stakeholder pembangunan pertanian. Di sisi teknis, kebutuhan masyarakat petani sangat erat kaitannya dengan ekologi mikro lahan yang dimilikinya. Di sisi lain, kebijakan pemerintah membawa misi percepatan peningkatan produktivitas sektor. Ketiga faktor ini menimbulkan suatu interaksi tekno-sosial di lingkungan masyarakat petani karena kehadiran kepemilikan dan sifat lahan, batasan etika dan norma, serta kebijakan pembangunan nasional. STRATEGI PERUBAHAN SOSIAL Upaya perubahan sosial dan kelembagaan yang diarahkan kepada peningkatan produktivitas sektor dan orientasi kegiatan hendaknya sejalan dengan perkembangan dan tujuan kelembagaan lokal di lokasi yang bersangkutan. Faktor-faktor yang layak dipertimbangkan antara lain adalah: (a) tujuan kelembagaan, (b) peran kepemimpinan, (c) pola komunikasi, (d) tatanan sosial, (e) strategi pendekatan, dan (f) langkah kegiatan. a. Tujuan Kelembagaan. Tujuan kelembagaan (institutional goal) merupakan faktor terpenting yang seyogyanya dipahami secara mendalam. Tujuan komunal suatu lembaga lokal memiliki daya ikat sosioteknis yang besar. Upaya perubahan sosial melalui rekayasa (atau lebih tepat: penyesuaian struktur) kelembagaan akan lebih mudah terlaksana bila memiliki tujuan yang jelas. Upaya perubahan sosial melalui rekayasa kelembagaan hendaknya memenuhi prasyarat berikut: (a) memiliki dampak yang jelas dan dapat dicapai oleh para stakeholder, (b) tersedia sistem pendukung internal (pengetahuan stakeholder) dan eksternal (infrastruktur fisik dan sosial lain), dan (c) stakeholder bersedia berpartisipasi. Ketiga elemen ini saling terkait satu sama lain dan kekurangan salah satu faktor saja akan memperlambat upaya perubahan sosial setempat. Introduksi lembaga baru yang bersifat koersif dan top-down banyak menemukan halangan dalam mencapai tujuannya karena lemahnya partisipasi stakeholder dan berbedanya persepsi tujuan kelembagaan. Sebaliknya introduksi norma tanam serempak mampu dipahami tujuan dan jelas dampaknya sehingga di beberapa lokasi bahkan menggeser peran lembaga tata pengaturan kegiatan usahatani tradisional.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
32
Seminar Nasional 2005 b. Peran Kepemimpinan. Kepemimpinan (leadership) dalam kelembagaan lokal suatu komunitas memainkan peran signifikan dalam menanamkan nilai dan norma kemasyarakatan setempat. Lembaga kepemimpinan mampu menentukan arah, dan dalam kebanyakan kondisi bahkan mampu menghentikan proses dan progres perubahan sosial di wilayahnya. Fungsi utama lembaga kepemimpinan lokal adalah sebagai mobilisator anggota lembaga organisasi lokal, sebagai pusat dan penyalur informasi dan berbagai fungsi sosial lainnya. Dalam kelompok masyarakat yang berada dalam tahap awal evolusi organisasi, lembaga kepemimpinan umumnya berupa seorang individu sebagai kepala suku dengan berbagai nama: keret (Arfak), ondoafie (Sarmi), pah-tuaf (Tetun), raja-soa (Maluku) dan lain-lain. Dalam masyarakat yang telah berevolusi lebih jauh, kepemimpinan cenderung bersifat kolektif dengan struktur dan pendelegasian kewenangan yang lebih jelas. Etnis Dani di Papua mengenal lembaga kepemimpinan kolektif otini-tabenak yang memainkan peran penting dalam mengalirkan informasi dari atas ke bawah (top-down). Lembaga-lembaga kepemimpinan memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan secara positif dalam berbagai upaya reformasi kelembagaan sosial untuk mempercepat laju pembangunan sektor. c. Pola Komunikasi. Pola komunikasi dalam suatu kelembagaan lokal berkaitan dengan tingkat kohesi atau daya ikat sosial. Pola komunikasi juga merupakan indikator tingkat partisipasi stakeholder kelembagaan tersebut. Masyarakat dengan kohesi sosial tinggi memiliki tingkat kesetaraan sosial yang tinggi, atau sebaliknya. Namun demikian pola komunikasi suatu kelembagaan bersifat spesifik lokasi, tergantung pada bentuk dan struktur kelembagaan tersebut. Pada masyarakat dengan kohesi sosial rendah dan lembaga kepemimpinan tunggal, pola komunikasi yang tumbuh umumnya berupa pola rantai satu arah atau dua arah. Sedangkan pada komunitas denhgan kesetaraan sosial tinggi serta memiliki organisasi kelembagaan dengan struktur lebih rumit memiliki pola komunikasi yang beragam (pola roda, lingkaran, multi-arah). Para petugas penyuluh sebagai change agent seyogyanya dibekali dengan pemahaman dan keterampilan komunikasi dalam berbagai hierarki kelembagaan. d. Tatanan Sosial. Tatanan sosial (social setting) memiliki potensi sebagai entry point pertama bagi seorang diseminator dalam menyampaikan gagasan awal terkait perubahan kelembagaan. Kohesi sosial dan social interplay (hubungan sosial) merupakan dua diantara beragam elemen tatanan sosial yang memiliki pengaruh dalam memilih strategi pendekatan kelembagaan. Kelompok masyarakat yang memiliki daya ikat sosial tinggi pada umumnya membuka kesempatan besar bagi anggotanya untuk melakukan kontak dan hubungan sosial. Masyarakat petani yang sangat terikat dengan kohesifitas ekosistem dan kohesifitas sosial memiliki social interplay yang relatif tinggi dan hal ini dimanifestasikan dalam bentuk komunikasi setara multi-arah (horisontal multilateral) secara baik. Kondisi seperti ini hendaknya dimanfaatkan dalam berbagai program pembangunan dengan misi meningkatkan produktivitas sektor secara lebih baik melalui inovasi teknologi. Dalam prosesnya, upaya mencapai tujuan seperti diatas seringkali memanfaatkan kondisi social interplay melalui penerapan berbagai strategi pendekatan yang disesuaikan dengan norma sosial dan kelembagaan spesifik lingkungan dimana kegiatan dilaksanakan. Lebih jauh lagi patut pula dipertimbangkan daya lenting sosial (social resilience) kelompok stakeholder yang akan menerima perubahan kelembagaan tersebut. Daya lenting sosial seringkali berperan sebagai salah satu elemen kunci dalam suatu proses perubahan karena calon penerima perubahan memerlukan waktu dan kelenturan mental sebelum menerima perubahan yang akan mengubah jalan hidupnya. Kondisi seperti ini akan lebih dipersulit lagi oleh pertanyaan dalam bentuk apa dan sejauh mana perubahan tertentu harus diterapkan? Apa yang harus dilakukan terhadap kelompok yang tersisihkan karena tidak mampu menerima dan menjalankan perubahan tersebut? Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
33
Seminar Nasional 2005 e. Strategi Pendekatan. Dengan memahami pola pikir seperti di atas, strategi pendekatan perubahan sosial masyarakat pedesaan menghadapi dua pilihan: (a) strategi intrusif, dan (b) strategi introduksi. Strategi intrusif menerapkan paradigma evolusi sesuai dengan perjalanan evolusi kelembagaan secara alami dimana inovasi kelembagaan dilakukan sedekat mungkin dengan bentuk dan struktur kelembagaan lokal yang masih berjalan. Strategi ini memakan waktu relatif lama dan perubahan terjadi secara bertahap karena kelompok stakeholder diberi cukup waktu untuk memahami dan melakukan eksperimentasi penerapan inovasi secara gradual. Sebaliknya, strategi introduksi menerapkan paradigma revolusi dimana kelembagaan lokal yang ada digantikan secara total dengan lembaga baru dengan struktur yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan. Hal ini terjadi dalam era orde baru dimana kelembagaan lokal (lembaga kepala suku) digantikan secara total oleh lembaga kepemimpinan formal (organisasi struktural pemerintahan). Dalam beberapa kondisi strategi ini memberikan hasil yang diharapkan, namun dalam kenyataan ternyata lebih banyak keberhasilan yang bersifat artifisial karena sifat pendekatan koersif top-down dalam pembentukan lembaga baru tersebut. f.
Implementasi Lapangan.
Implementasi strategi perubahan sosial melibatkan seluruh stakeholder institusi di seluruh hierarki struktural pemerintahan dan lembaga-lembaga terkait. Kelompok ilmuwan bersama dengan lembaga penyuluhan, lembaga perancang pembangunan daerah dan masyarakat bersama-sama merancang bentuk dan pola lembaga baru yang diarahkan guna mengembangkan, mengubah atau mengintroduksi nilai dan norma sosial yang diperlukan. Upaya perubahan sosial diawali dengan diagnosa situasi lintas sektor dan lintas aspek terhadap elemen-elemen terkait di suatu wilayah. Dalam tahap ini kelompok perekayasa kelembagaan (peneliti dan ilmuwan) merupakan aktor utama dalam proses identifikasi dan diagnosa masalah lapangan. Semakin jauh waktu berjalan dan semakin dekat proses ke fase terakhir, semakin menurun peran peneliti dan ilmuwan. Sebaliknya, peran penyuluh semakin meningkat sehingga pada akhirnya keberhasilan proses rekayasa kelembagaan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan kemampuan berkomunikasi petugas lapang. Tahap diagnostik dilanjutkan dengan tahap rancang bangun dimana peran lembaga penyuluhan meningkat secara teknis, dan lembaga perancangan pembangunan secara politis mulai berperan dalam kegiatan koordinasi dan administratif kewilayahan. Lembaga-lembaga sektor di tingkat otonom merancang kegiatan uji lapang di lokasi-lokasi percontohan. Fase selanjutnya adalah tahap uji lapang dimana seluruh komponen pembangunan kelembagaan mengevaluasi dan memantau proses perubahan sosial di lingkungan setempat. Pilihan strategi (intrusif atau introduksi) dipilih dan disepakati dalam fase uji lapang. Fase verifikasi dan implementasi merupakan tahap terahir dimana lembaga penyuluhan beserta aparatnya memikul tanggung jawab terbesar dalam sosialisasi dan penyebaran kelembagaan dan norma sosial yang baru. DAFTAR PUSTAKA Bromley, D.W. 1993. Common property as metaphor: Systems of knowledge, resources and the decline of individualism. The Common Property Digest 27, 1-8. IASCP, Winrock and ICRISAT, Hyderabad. Cernea, M.M. 1991. Putting People First. Oxford University Press, Oxford 2 nd ed. Cernea, M.M. 1993. Culture and organisation. The social sustainability of induced development. Sustainable Development 1(2), 18-29. Curtis, D. 1991. Beyond Government: Organisations for Common Benefit. Macillan Education Ltd. London.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
34
Seminar Nasional 2005 Fowler, A. 1992. Prioritizing Institutional Development: A New Role for NGO Centres for Study and Development. Sustainable Agricultrure Programme Gatekeeper Series SA35. IIED, London. Huntington, E. 1980. Huntington‟s Climatic Theory of Underdevelopment. In I. Vogeler and A. de Souza (eds.) Dialectics of Third World Development, pp. 55-65. Allanheld Osmun, Montclair. Knipscheer, H., and Kedi Suradisastra. 1986. Farmer Participation in Indonesian Livestock Farming Systems by Regular Research Field Hearings (RRFH). Agricultural Administration 22(4): 205-209. Koentjaraningrat (eds.) 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cet.18. Djambatan, Jakarta. Norton, A. 1992. Analysis and action in local institutional development. GAPP Conference on Participatory Development, 9-10 July 1992, London. Suradisastra, K. 1987. Farmer‟s Perception of Extension Activities in Western Kenya. Dissertation. Presented to the Faculty of Graduate Scholl, University of MissouriColumbia. Suradisastra, K. 2001. Institutional Description of the Balinese Subak. Indonesian Journal of Agricultural Science. Uphoff, N. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. Gatekeeper Series SA31. IIED, London.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
35
Seminar Nasional 2005 PENERAPAN MODEL PERTANIAN STRATEGIK UNTUK KEBERLANJUTAN PRODUKTIVITAS LAHAN TADAH HUJAN DI LOMBOK SELATAN 1)
Mansur Ma'shum, 2)Ismail Yasin, 2)Mahrup, 2)IGM Kusnarta, 2)Sukartono 1) Dosen Fakultas Pertanian dan Rektor Universitas Mataram 2) Staf Pengajar Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Mataram
ABSTRAK Lahan tadah hujan di Pulau Lombok terletak di kawasan yang paling kritis dari aspek biofisik lahan dan agroklimat. Lahan tadah hujan di Lombok bagian selatan dirajai ordo Vertisol dengan berbagai kendala khas fisik tanah yang relatif sukar dikelola. Produktivitas lahan bervariasi mengikuti ritme curah hujan yang tidak menentu. Guna meningkatkan produktivitas lahan dan mengefisienkan penggunaan air di kawasan tersebut maka telah dikembangkan suatu model ACM (Aciar Cropping Model) yakni suatu sistem usahatani yang mengarah pada sistem pertanian yang terbangun pada tiga ranah pengelolaan yaitu, pengelolaan tanah, air dan tanaman. Penerpan model ini menjamin peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan usaha tani. Pendapatan yang lebih tinggi dimungkinkan karena pilihan jenis tanaman bernilai ekonomi tinggi, efisien dalam menggunakan air dan ditanam dalam proporsi yang optimal, yaitu ⅓ lahan untuk bedeng permanen tanaman sayuran dan ⅔ lahan datar untuk tanaman padi tanpa olah. Komponen penunjang dalam model ACM terdiri dari sistem prakiraan iklim musiman, pemberdayaan sumberdaya lokal dan analisis kebutuhan pasar menggunakan model program linier. Pada sistem ACM penyimpan air tradisional, seperti embung peranannya kian strategis sebagai pusat kegiatan usaha tani intensif di pedesaan. Hasil usaha tani dapat prakirakan lebih awal melalui pemilihan jenis komoditi dan informasi harga pasar terkini. Dari sistem prakiraan iklim musiman dapat diramalkan awal tanam dan peluang curah hujan. Penerapan bedeng permanen memungkinkan peningkatan efisiensi penggunaan air baik pada musim hujan maupun kemarau di lahan tadah hujan.
PENDAHULUAN Kegiatan usahatani di lahan tadah hujan tidak lagi dapat dilakukan secara konvensioanl, melainkan diperlukan konsep bertani yang strategis. Model Pertanian strategis hanya dapat kita wujudkan melalui kajian ilmiah secara intensif dan bersipat in situ (setempat). Hasil penelitian lapangan selama tiga tahun berturut turut di Lombok Tengan dan Timur bagian selatan telah melahirkan suatu konsep pertanian lahan tadah hujan yang disebut "ACIAR Cropping Model (ACM). ACM adalah suatu sistem usaha tani di daerah tadah hujan dimana sepertiga lahan dikonfersi menjadi bedeng permanen ditanami palawija, sedangkan dua pertiga lahan dipertahankan sebagai lahan datar tanpa olah tanah untuk tanaman padi. ACM merupakan suatu terobosan dalam pengembangan sistem usahatani untuk menghemat penggunaan air sekaligus meningkatkan pendapatan petani, dengan jalan memilih tanaman bernilai ekonomi tinggi, hemat air dan ditanam dalam proporsi yang seimbang sehingga tidak menimbulkan produksi berlebihan (over production). ACM masih diakui sebagai konsep yang masih bersifat “juvenil‟‟ akan tetapi model ini telah diperkuat oleh hasil penelitian empat tahun terakhir didanai ACIAR terbukti memiliki keunggulan dari aspek produktivitas lahan dan ekonomi. Pertumbuhan penduduk yang mencapai hampir 2% pertahun mau tidak mau berakibat menyempitnya kepemilikan lahan karena basis pewarisan maupun alih fungsi lahan pertanian. Bila pada tahun 1990an kepemilikan lahan diperkirakan sekitar 0.25 ha per keluarga maka pada decade 2000an diperkirakan menyempit menjadi kurang dari 0.15 ha per keluarga. Pada akhir dekade ini maka kepemilikan lahan tidak akan lebih dari 0.10 ha per keluarga. Kenyataan ini mengisyaratkan makin perlunya penerapan model-model pertanian yang lebih efisien baik dari segi agroekologis maupun ekonomi. Sistem pertanian berbasis padi sawah seperti gogorancah dengan berbagai perlakuaan intensifikasi telah dapat meningkatkan produksi padi tetapi nyatanya pendapatan petani dan daya beli mereka masih tergolong sangat rendah. Terlebih lima tahun terakhir ini sistem gogorancah secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan petani karena petani secara ekonomis makin realistis terutama terkait dengan biaya pengelolaan lahan yang terlampau
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
36
Seminar Nasional 2005 besar sementara nilai produksi padi tidak banya meningkat. Dengan demikian kreasi sistem pertanaman yang bermuara pada perbaikan produktivitas lahan dan peningkatan pendapatan petani secara berkelanjutan perlu terus diikhtiarkan. Dalam kaitan ini maka hasil penelitian multi tahun Universitas Mataram (2001 2004) bekerja sama dengan La Trobe University Australia yang didanai ACIAR telah menelurkan suatu model usaha tani di lahan tadah hujan yang disebut dengan istilah “ Aciar Cropping Model”. Model usaha tani ini pada dua tahun ke depan sedang pada tahapan sosialisasi yang dilakukan oleh UNRAM dan BPTP Nusa Tenggara Barat serta kajian sosial ekonomi masih dilakukan. Model ini diharapkan mampu mengantarkan masyarakat tani daerah tadah hujan khusunya Lombok Selatan ke arah perbaikan produktivitas lahan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan hidup. Akhirnya penulis melalui paper ini mencoba mendeskripsikan/memaparkan kerangka utama ACM dan prospek pengembangannya sebagai salah satu model pertanian berkelanjutan berbasis hemat air dan efisien secara ekonomis di kawasan lahan tadah hujan Lombok selatan. KERANGKA ACIAR CROPPING MODEL Kerangka model ACM terdiri dari sistem prakiraan iklim musiman yang dikembangkan oleh Abawi et al (2002) dan bedeng permanen (permanent raised bed) yang merupakan kajian utama proyek “Improved Vertisol Management on Rainfed Area” (Ma‟shum et al., 2003). Konsep dasar penunjang ACM adalah pengelolaan tanah (soil management), air (water management) dan tanaman (cropping management). Dengam memasukkan ketiga anasir pengelolan tersebut maka keberadaan sistem penyimpan air tradisional, seperti embung, bandeng dan rangkep dapat ditingkatkan dayagunanya sebagai sumberdaya lokal penunjang kegiatan usahatani intensif di lahan tadah hujan Lombok Tengah dan Timur bagian selatan. Penetapan strategi tanam dan pemilihan jenis komoditas dilakukan dengan menyertakan parameter iklim dan ekonomi menggunakan analisis MPL (Model program linier) atau MPD (Model program Dinamik). Kebutuhan air tanaman dihitung melalui analisis neraca air. Prakiraan total jumlah air dilakukan peramalan iklim musiman yang dikembangkan oleh Tim Peneliti ACIAR- Climate (Abawi et al., 2002). Dari sistem prakiraan iklim musiman tersebut dapat diramalkan jatuhnya awal musim hujan dan peluang intensitas hujan pada musim tanam berikutnya. Bila kita dapat meramalkan awal jatuhnya musim hujan maka kita dapat mencegah gagal tanam yang sering terjadi pada sistem gogorancah. Setiap jenis taman yang akan dipilih dilengkapi dengan karakteristik kebutuhan air, hasil potensial dan perkiraan harga hasil . Berdasarkan karakteristik kebutuhan air dan kemampuan cadangan air dapat ditentukan jenis tanaman yang paling cocok dikembangkan pada kondisi musim tertentu. Apabila dikhawatirkan terjadinya produksi yang melimpah karena pilihan tanaman yang relative seragam maka diversifikasi akan dianjurkan. Anjuran dan keputusan yang diambil oleh pengembang ACM ini didasarkan atas pengalaman meneliti selama empat tahun terakhir dalam bidang pengelolaan air dan prakiraan iklim musim dan pengelolaan lahan Vertisol. Dari analilisis kebutuhan air dan prakiraan sifat hujan musiman ditemukan adanya sifat musim yang bervariasi dari tahun ke tahun. Hal ini menuntut sistem pengelolaan air dan tanaman, termasuk pemilihan tanaman yang berbeda-beda (Abawi et al., 2002). Dari percobaan tanam yang dilaksanakan oleh tim peneliti pengelolaan lahan Vertisol ditemukan adanya kecocokan secara agronomis pengembangan tanaman non padi (tanaman sayuran) di Vertisol di musim hujan (Ma'shum et al., 2002). Menjelang berakhirnya penelitian Pengelolaan Vertisol tersebut tim penelitinya bersama dengan tim peneliti managemen air dan prakiraan musim mengajak sebuah perusahaan yang bergerak dalam pengadaan benih (PT. BISI) untuk ikut mendukung penggalakan tanaman non padi di lahan Vertisol dengan cara membeli hasil panen petani sehingga mereka tidak perlu khawatir biji-bijian yang dihasilkannya tidak laku dijual. Sampai saat ini pembinaan kelompok tani penanam jenis tanaman sayur-sayuran untuk benih telah berkembang di beberapa tempat. Dari pengalaman diperoleh kesimpulan sementara
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
37
Seminar Nasional 2005 bahwa penanaman tanaman sayuran, seperti kacang panjang dan mentimun lebih menguntungkan daripada penanaman tanaman padi. Survei di beberapa lokasi juga membuktikan bahwa apabila tanaman sayuran tersebut dijual segar maka keuntungan yang diperoleh dapat mencapai 2 sampai 3 kali lipat dibanding keuntungan tanaman padi. Dengan demikian bercocok tanam sayuran pada dasarnya jauh lebih menguntungkan dibanding tanaman padi, apalagi apabila tanaman sayuran tersebut ditanam di luar musimnya yakni pada MT I. PENYELARASAN KONDISI LAHAN DAN IKLIM Keberadaan pulau Lombok di daerah khatulistiwa dan diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera India dan Samudera Pasifik) menyebabkan pulau ini mempunyai dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung selama bulan Nopember s/d April, tetapi saat mulai dan berakhirnya sangat bervariasi tergantung letaknya dan fenomena alam. Lombok bagian utara (kaki Rinjani sebelah selatan) awal musim hujan jatuh pada akhir Oktober, di Lombok bagian selatan musim hujan jatuh pada bulan Desember sedangkan daerah pinggir pantai di sebelah utara gunung Rinjani awal musim hujan mulai bulan Januari. Musim kemarau berawal bulan april sampai dengan bulan oktober. Bila tejadi bersamaan fenomena El Nino biasanya pulau Lombok mengalami kemarau panjang atau jatuhnya musim hujan menjadi pertengah November sampai dengan bulan Desember. Tipe iklim di kawasan tersebut adalah D3 dan D4 dengan 3-4 bulan basah per tahun (Oldeman., 1980). Di lahan pertanian tadah hujan sumber air terutama berasal dari curah hujan. Oleh karena itu ayunan produktivitas lahan juga mengikuti irama curah hujan.. Rata-rata curah hujan tahunan beragam menurut musim dan wilayah. Sekitar 80% curah hujan tahunan terjadi antara bulan September dan Februari. Periode April-Agustus benar-benar kering dan menghasilkan kurang dari 10% curah hujan tahunan (Abawi et al., 2002). Kawasan lahan tadah hujan Lombok selatan memiliki tanah Vertisol, yakni tanah berkadar lempung tinggi yang sukar dikelola. Meskipun sebagian Vertisol sekarang ini telah mendapatkan pengairan semiteknis (misalnya, DI Mujur dan DI Surabaya), umumnya air irigasi baru diperoleh setelah bagian utara pulau Lombok telah berhenti menggunakan air. Sehingga praktis sebagian besar kawasan ini memperolah awal musim tanam setelah jatuhnya musim hujan. Secara fisik tanah Vertisols merupakan tanah bertekstur liat (tekstur berat) dengan solum yang relatif dalam (>1m). Tanah ini tersusun oleh mineral lempung montmorilonit yang menyebabkan tanah ini bersifat mengembang dan mengkerut sesuai dengan keadaan lengasnya. Jika basah (musim hujan) sangat lekat dan licin, sedangkan jika kering (musim kering) retak-retak. Tektur tanah tergolong lempung berat dengan kadar fraksi lempung lebih besar dari 50% sehingga memiliki kemampuan menyimpan air (water holding capacity) yang relatif besar. Secara alami tanah tersebut mempunyai pH dan KPK dan kejenuhan basa yang yang tinggi. Meskipun demkian kadar bahan organiknya umumnya rendah karena kurangnya opaya pengembalian bahan organik atau terjadinya pengangkutan bahan organik atau jerami untuk keperluan lain. Kesuburan tanah tergolong sedang dengan kandungan kalium (K) tinggi akan tetapi N dan P umunya rendah samapi sedang. 4. Pengembangan Model Strategi Tanam Telah dikemukakan di atas bahwa model yang dikembangkan ini merupakan salah satu keluaran dari dua penelitian yang dikerjakan oleh Team Peneliti di UNRAM yang berkolaborasi dengan peneliti-peneliti di beberapa Universitas di Australia. Keluaran utama dari model ACM adalah anjuran tanam beberapa jenis tanaman sayuran yang diusahakan pada lahan petani dengan luas tidak lebih 1000 m 2 per petani atau sepertiga dari kepemilikan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
38
Seminar Nasional 2005 lahan oleh petani. Petak yang sediakan untuk menanam sayuran ini dibuat bedengan berukuran lebar 1,2 m dan tinggi 0.3 – 0.4 m. Lahan berbedeng yang telah dikonstruksi dipertahankan secara permanen (tidak perlu dirusak pada musim tanam berikutnya). Petani cukup membersih gulma atau mengadakan penggemburan setempat pada bedeng yang tersedia. 5. Penutup Kemana arah pengembangan pertanian kita?. Para pakar pertanian mengidam-idamkan sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Akan tetapi wujud dari sistem tersebut relatif sulit dirumuskan. Era tahun 1990an sistem pertanian yang berkelanjutan itu selalu dikaitkan dengan sistem pengolahan tanah konservasi dan pengurangan penggunaan pupuk buatan dan obat-obatan kimiawi. Pendekatan seperti ini pada tingkat usahatani jauh dari kenyataan. Pupuk dan obat-obatan berbasis kimiawi tetap menjadi komponen penentu produksi. Petani di lahan tadah hujan Lombok Selatan mendekati sistem pertanian berkelanjutan dengan penerapan sistem gogorancah. Akan tetapi kegiatan usahatani berkembang secara dinamis sehingga sistem pertanian padat karya, seperti gogorancah, yang unggul di masa lalu belum tentu sesuai lagi untuk zaman sekarang. Keunggulan sistem gogorancah terletak pada kemampuannya menyesuikan awal tanam sesuai pola dan variasi curah hujan setempat. Namun secara ekonomis tidak mampu meningkatkan pendapatan riel petani. Kendala fisik dan agronomis usahatani sistem gogorancah secara bertahap memperoleh penyempurnaan melalui penerapan sistem pertanian tanpa olah tanah. Namun hal itu ternyata tidak cukup membuat sistem pertanian itu menguntungkan secara ekonomis. Banyak hal harus dipertimbangkan untuk membuat sistem pertanian itu menjadi menguntungkan secara ekonomi. Pemilihan jenis tanaman yang tepat berdasarkan jumlah cadangan air dan harga jual yang layak sekarang ini makin penting untuk dipertimbangkan. Penyempitan kepemilikan lahan oleh individual petani dan pertumbuhan penduduk yang makin tak terkendali akhir-akhir ini memaksa kita untuk secara sungguh sungguh merumuskan suatu sistem usahatani di daerah tadah hujan. Model ACM sebenarnya sangat gamblang untuk dijelaskan kepada petani. Konsepkonsep dasar ACM telah dimiliki oleh petani. Solusi optimal dalam usahatani di daerah tadah hujan adalah penerapan ACM, yang dalam penerapannya pada tingkat usahatani diperlukan pendampingan yang berbasis ilmiah terhadap prakiraan cuaca dan analisis ekonomi. Dalam hal analisis MPL (Model Program Linier) atau MPD (Model Program Dinamik), luaran model tersebut haruslah bersifat praktis dan mudah dimengerti oleh petani pengguna. Pada perinsipnya petani yang mengambil keputusan dalam hal pemilihan jenis tanaman berdasarkan ekspektasi harga jual. Kekeliruan berpeluang terjadi akibat dari terbatasnya data dan tingkat ketelitian data yang digunakan pada model tersebut. Di beberapa tempat telah dirintis kelompok-kelompok tani yang menerapakan ACM. Kami berharap pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian melakukan gayung bersambut dalam hal pengembangan dan diseminasi sistem ACM di daerah binaan masingmasing. Berdasarkan perhitungan kami penerapan "Permanent Raised Bed" hingga 20% dari total jumlah petani pada lahan seluas antara 500 m 2 s/d 1000 m2 akan meningkatkan pendapatan petani secara nyata. Hal ini disebabkan oleh harga jual hasil pertanian non padi yang lebih tinggi dan peningkatan hasil per satuan luas akibat dari pengelolaan lahan secara intensif dan terencana.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
39
Seminar Nasional 2005 DAFTAR PUSTAKA Abawi, Y. I Yasin, S. Dutta, T. Harris, M. Ma‟shum, D. McClymont, I. Amien dan R. Sayuti. 2002. Capturing the benefit of seasonal climate forecast in agricultural management: Subproject 2- Water and Crop Management inIndonesia. Final Report to ACIAR. QCCA-DNRM. Toowoomba Australia. Coll, K. and R. Whitaker, 1990. The Australian Weather Book: Understanding our climate and how it affect us. NSW Bureau of Meterology Dinas Pertanian Tanaman Pangan, 1992. Sepuluh Tanun (10) Gora. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi NTB. Mataram, 35 h. Martyn. D. 1992. Climate of the world. Development in Atmospheric Science. Elsevier Amsterdam London, N.Y. 435 p. Ma`shum, M; Mahrup, Sukartono, and IGM., Kusnarta, 2002. Progress Report of ACIARVertisols Management Project in West Nusa Tenggara Meidertsma J. D., 1997. Income Diversity and Farming Systems. Modelling of Farming Households in Lombok, Indonesia. ©1997 Royal Tropical Institute, Amsterdam. Mott McDonald and Partners Asia (MMPA). 1985. West Nusa Tenggara irrigation study: Pandanduri- Swangi pre-feasibility report. Oldeman, R.L., I. Las and Muladi (1980). The agro-climatic maps of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, and Bali West and East Nusa Tenggara Contrib. No.60. Centr. Res. Inst.Agrc. Bogor. Yasin, I., Y. Abawi. 2001. Capturing the benefit of seasonal climate forecast for water and crop management in Lombok. Aciar papper. Mataram. 16 pp Yasin, I.M., M Ma‟shum, and Y. Abawi and Lia Hadiawaty. 2002. Penggunaan Flowcast Untuk Menentukan Awal Musim Hujan dan Menyusun Strategi Tanam di Lahan Sawah Tadah Hujan di Pulau Lombok. Proseding Seminar Nasional “Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian dan Penerapan Teknologi Tepat Guna” Tanggal 20 – 21 Nopember 2002, di Ruang Senat Universitas Mataram. Yasin, I; IGM.,Kusnarta, and Mahrup 2003. Evaluation of Rainfall Characteristics to Assess Water supply for Cropping in Rainfed Area in Southern Lombok. Agroteksos Vol 13.1(3). p 19-27 Yasin I, M. Tarudi, Soemenaboedhy dan Hadiahwaty, 2002. Aplikasi Prakiraan Curah Hujan Musiman dengan Indeks Osilasi Selatan Untuk Menyusun Strategi Tanam Pada Lahan Tadah Hujan di Pulau Lombok. Laporan Penelitian Hibah Bersaing XI.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
40
Seminar Nasional 2005 DUKUNGAN LEMBAGA LEGISLATIF TERHADAP PENGEMBANGAN LAHAN KERING DI NTB Ketua Komisi B DPRD NTB
PENDAHULUAN Disadari bahwa selama ini sering ditemukan suatu kegiatan pembangunan pertanian tidak berlanjut setelah kegiatan berakhir dan sering berakhir dengan kegagalan karena permasalahan yang diatasi bukan akar permasalahan yang dirasakan oleh petani atau masyarakat. Hal ini disebabkan oleh identifikasi permasalahan yang hanya dilihat dari kacamata perancang. Masalah-masalah pembangunan pertanian di negara-negara sedang berkembang bukan semata-mata karena ketidaksiapan petani menerima inovasi, tetapi disebabkan oleh ketidakmampuan perencana program pembangunan pertanian menyesuaikan programprogram itu dengan kondisi dari petani-petani yang menjadi “klien” dari program-program tersebut. Ungkapan-ungkapan proyek pembangunan ibarat “pasar malam” suatu ekspresi proyek yang tidak lestari, sering mengemuka merupakan indikasi yang kuat bahwa program tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan kliennya. Pendekatan pembangunan yang disamakan dengan pendekatan produksi, melalui cara budidaya baru tidak dapat memecahkan masalah dalam negara-negara berkembang terutama pada sumberdaya petani miskin di daerah-daerah marginal. Disadari bahwa masyarakat pedesaan adalah sistem yang kompleks dengan dinamika yang khusus dan interaksi dari pelbagai macam komponen. Pembangunan hanya dapat berkesinambungan kalau dikaitkan dengan seluruh kondisi kehidupan dan pekerjaan orang-orang miskin bersangkutan, serta mampu memobilisasi dan bertumpu pada potensi-potensi lokal. Perakitan teknologi partisipatif dapat meningkatkan kemampuan keterlibatan anggota masyarakat dalam mencapai tujuannya dan memperbaiki cara kerja mereka. Fokus perhatian pembangunan pedesaan adalah pada manusia, maka hasil pembangunan pedesaan akan mencangkup spektrum kemanusiaan yang luas. Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilainilai budaya modern sepertin kerja keras, hemat, keterbukaan, sikap bertanggungjawab adalah bagian pokok dari upaya-upaya pemberdayaan. Mendapatkan pemahaman yang realistis tentang dinamika pedesaan dimana petani miskin berada, merupakan langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan dan kesinambungan program pembangunan pertanian, khususnya pemberdayaan petani miskin di pedesaan lahan kering/marginal. Pemahaman yang benar tentang dinamika petani miskin di lahan kering/marginal menentukan keefektifan sistem, strategi, langkah-langkah, dan kegiatan pemberdayaan petani miskin di lahan kering/marginal. POTENSI LAHAN KERING DI NTB Nusa Tenggara Barat mempunyai luasan wilayah sekitar 2.010.249,105 ha yanh sebagian besar berupa lahan kering yaitu sekitar 83,25 % dan sisanya (16,75 %) berupa lahan sawah irigasi teknis dan setengah teknis. Dari luasan lahan kering yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan seluas 211.635 ha yang terdiri atas ladang/huma 40.636 ha dan tegalan/kebun seluas 171.000 ha.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
41
Seminar Nasional 2005 Lahan kering di NTB mempunyai keunggulan komparatif berupa potensi wilayah yang cukup luas serta ketersediaan tenaga kerja yang lebih besar dibandingkan dengan di lahan basah. Kondisi demikian berpeluang besar untuk dikembangkan guna peningkatan pendapatan rumah tangga petani, peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan dan secara luas masyarakat kebanyakan di NTB. Distribusi lahan kering berada pada agroekosistem yang cukup beragam dan sesuai untuk berbagai komoditas tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan peternakan. Diantaranya adalah berupa komoditas unggulan daerah yang mempunyai nilai ekonomi penting untuk diperdagangkan pada pasar local, nasional dan internasional. Pada bagian hulu lahan kering mempunyai fungsi lingkungan yang sangat penting, sehingga pemanfaatanya sebagai fungsi produksi haruslah diperhitungkan dampak lingkungannya. Penataan model agroforestry dengan partisipasi masyarakat disekitarnya tentu lebih bijaksana karena fungsi ekonomi dan lingkungan dapat tercapai kedua-duanya. Usahatani model agroforestry sudah lama diterapkan pada masyarakat di pinggiran hutan, tetapi masih memerlukan dukungan pihak lain di dalam memperbaiki teknologi dan pemilihan komoditasnya agar kesejahteraan dan kesinambungan tetap terjaga. Potensial lainnya untuk lahan kering di dataran rendah adalah semakin banyaknya areal yang dapat dibantu kebutuhan sumber airnya melalui pompa sumur dalam (deep well). Jumlah sumur pompa air dalam di NTB adalah 354 unit yang dapat mengairi lahan seluas 8688 ha. Kondisi ini belum dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga perlu dukungan pihak lain untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatannya. Selain untuk budidaya tanaman pertanian, lahan kering sangat potensial untuk usaha peternakan dan penggembalaan. Usahatani dengan model penggembalaan ternak banyak di jumpai di Pulau Sumbawa yang tentunya daerah tersebut memberikan kontribusi nyata terhadap produksi ternak di NTB. Kondisi lahan kering yang sangat beragam fisik, social-budaya dan kemampuan petaninya tentu menuntut berbagai pola usaha yang efisien dan integrasi lintas sektoral yang membutuhkan partisipasi semua lapisan masyarakat untuk membangunya. PERMASALAHAN LAHAN KERING DI NTB Banyak lahan yang digunakan tidak sesuai dengan daya dukungnya, terutama di lahan kering yang menyangkut keadaan topografi, kemiringan lereng dan sifat-sifat tanahnya. Untuk menghadapi masalah tersebut perlu penataan penggunaan lahan dan memilih berbagai alternatif teknologi agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan secara efisien, produktif dan berkelanjutan tanpa mengganggu lingkungan hidup lainnya sebagai suatu ekosistem. Berdasarkan kondisi fisik dan topografi wilayah pertanian lahan kering tersebut, maka usahatani di wilayah tersebut mengandung resiko erosi dan degradasi yang cukup tinggi sehingga pengelolaannya perlu diusahakan dengan hati-hati. Dengan demikian, aspek konservasi tanah dan air merupakan bagian integral dalam penataan lahan pada sistem usahatani lahan kering. Usahatani lahan kering sangat tergantung pada keadaan cuaca terutama curah hujan. Lahan kering dicirikan oleh rendahnya curah hujan tahunan, bersifat eratic dan distribusinya sangat bervariasi dengan ruang dan waktu. Sebagian besar kondisi lahan kering di NTB di cirikan dengan iklim yang kering yaitu tipe iklim D3 (3 – 4 bulan basah dan 4 – 6 bulan kering), tipe iklim D4 (3 – 4 bulan basah dan > 6 bulan kering), tipe E3 (< 3 bulan basah dan 4 - 6 bulan kering) dan tipe iklim E4 (< 3 bulan basah dan > 6 bulan kering). Distribusi dan intensitas curah hujan tidak merata dan tidak menentu (eratik) disamping itu sifat tanah yang porus sehingga tanah kurang mampu memegang air dalam waktu yang cukup lama. Kehilangan air karena proses evaporasi langsung atau runoff menyebabkan sering terjadi gagal panen akibat cekaman air. Bervariasinya curah hujan dari tahun ke tahun menciptakan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
42
Seminar Nasional 2005 produksi yang tidak stabil dan beresiko tinggi. Keadaan tersebut menyebabkan petani kurang berminat untuk melakukan investasi di lahan kering. Walaupun potensi lahan kering cukup besar, tetapi lahan kering mempunyai agroekosistem yang secara in herent lebih rapuh, lebih tertinggal, kurang berkembang dan kurang mendapat perhatian pemerintah dibanding dengan agroekosistem lahan sawah. Karakteristik lahan kering umumnya adalah: (1)
Rentan degradasi (erosi),
(2)
Topografi umumnya tidak datar,
(3)
Lapisan olah dangkal
(4)
Sistem usahatani beragam,
(5)
Pertanian ekstensif
(6)
Etnis beragam,
(7)
Terpencil karena infrastruktur buruk,
(8)
Penduduk umumnya relatif miskin
(9)
Status kepemilikan tanah umumnya rumit
(10) Intervensi pemerintah dalam hal penyuluhan dan kredit kurang dan (11) Ketergantungan lahan kering terhadap iklim sangat besar. Dengan demikian masalah yang dihadapi dilahan kering bukan hanya masalah sumberdaya tanah dan air saja, tetapi juga masalah sosial ekonomi, budaya dan kebijakan yang lebih komplek. Agar wilayah lahan kering dapat diberdayakan bagi pembangunan pertanian berkelanjutan, maka diperlukan pengelolaan lahan berkelanjutan yang sesuai dengan kemampuan agroekosistemnya. UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN Program Pembangunan Nasional (Propenas) secara khususs memfokuskan pembangunan iptek nasional melalui empat strategi, yaitu: (1) Peningkatan iptek dunia usaha , (2) Diseminasi informasi teknologi, (3) Peningkatan kapasitas pengembangan kemampuan sumberdaya iptek, dan (4) Peningkatan kemandirian dan keunggulan iptek. Sumber daya buatan yang sangat diperlukan dalam pengembangan lahan kering di NTB: (1) prasarana pengairan/irigasi (2) sarana dan prasarana agribisnis pertanian (3) teknologi produksi pertanian (4) sarana dan prasarana industri, perdagangan dan keuangan, (5) sarana dan prasarana listrik dan air bersih, (6) sarana dan prasarana perhubungan, komunikasi dan pariwisata, (7) sarana dan prasarana Aparatur Pemerintah Kebijakan pengelolaan sumberdaya alam lahan kering misalnya di propinsi Nusa Tenggara Barat: i.
Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaatn bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi
ii.
Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
43
Seminar Nasional 2005 iii. Mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kempentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang –undang. iv. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik. Disamping itu program yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memanfaatkan dan meningkatkan kesejahteraan petani di lahan kering seperti adalah proyek dilahan kering NTAASP, NTAADP, P4MI dan juga program Primatani yang sedang dibangun oleh Badan Litbang melalui BPTP NTB. DUKUNGAN LEGISLATIF/DPRD DALAM PENGEMBANGAN LAHAN KERING DI NTB 1. Memberikan perhatian dan prioritas tinggi serta menuangkan dalam Rensra Pembangunan jangka pendek dan jangka panjang Pemerintah Daearh NTB pada usahausaha pengentasan kemiskinan melalui pengembangan lahan kering 2. Memberikan dukungan penuh kebijakan „untuk mengaktualkan komitmen bersama‟ antar bidang tugas dalam mewujudkan pengembangan lahan kering di NTB pada satu koordinasi wadah kelembagaan baru. 3. Memberikan prioritas usulan penelitian/pengkajian penerapan inovasi teknologi dan pengembangan inovasi dalam rangka pengembangan lahan kering di NTB. 4. Mendukung dan memfasilitisi pendidikan baik formal maupun informal yang terfokus terhadap pemberdayaan sumberdaya alam dan sumberdaya manusia lahan kering di NTB 5. Mendukung penuh prioritas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana penunjang untuk menciptakan industrial pedesaan berbasis pertanian khususnya pertanian lahan kering, misalnya jalan usahatani, irigasi sumur pompa dan perlengkapannya, jaminan pasar komoditas yang dikembangkan serta kemudahan petani untuk mendapatkan pinjaman modal dengan bunga rendah. 6. Memberikan peluang dan kemudahan seluas-luasnya kepada para investor untuk berinvestasi guna Peningkatan kesejateraan petani lahan kering di NTB. 7. Mendayagunakan dan memfasilitasi para pakar dan praktisi lahan kering yang dimiliki NTB (local) untuk dapat berpartisipasi dalam perencaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian lahan kering di NTB 8. Mendukung dan memfasilitasi pecinta pertanian lahan kering baik individu maupun kelompok untuk berkiprah, berekspresi dan berpartisipasi dalam usaha Peningkatan produktivitas dan keberlanjutan pengembangan lahan kering serta kesejahteraan masyarakatnya . PENUTUP Sebagai sumber daya pertanian maka lahan kering masih dianggapsebagai raksasa yang masih tidur.Secara kuantitatif lahan kering memiliki potensi yang sangat besar untuk didayagunakan sebagai basis kegiatan pertanian walaupun kualitas lahannya cukup rendah untuk dimanfaatkan sebaai faktor produksi pertanian. Sebagai faktor produksi,maka lahan kering memang dapat dikatakan sebagai lahan marginal akibat berbagai keterbatasan biofisik lahan dan infrastruktur ekonomi di daerah lahan kering. Namun persepsi demikian akan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
44
Seminar Nasional 2005 berbda jika lahan kering yang umunya terdapat didaerah laereng dan berbukit dipandang dalam kontek yan lebih luas sepertilinkungan dan sumber pendapatan. Hal ini keranlahan kering memiliki p[eran lebih besar dibanadingkan dengan lahan sawah dalam menjaga stabilitas lingkungan yang dapat menimbulkan degradasi kapasitas produksi pertanian sebagai lapangan usaha rumah tangga petani dan sebagai mediamenciptakan pemerataan akibat distribusipemilikan dan penuasaaan lahan kering yang merata daripada lahan sawah. Dikaitkan dengan upaya menempatkan lahan kering sebagai sumber daya strategis sektor pertaniandan wahana andalan perekionomian masyarakat NTB ke depan, perspektif kebijakan pengembangan lahan kering mendatang perlu memperhatikan beberapa aspeksebagai berikut: 1. Nilai ekonomi yang dibangkitkan jika lahan kering dimanfaatkan sebagai stabilitasi dan peninkatan funsi ekosistem 2. Nilai ekonomidan manfaat sosial lainnya jika lahankering difyunsgikan sebagaisumber strategis pengembangan ekonomi berbasis agribisnis di pedesaan secara berkelanjutan 3. Pemanfaatan lahan kering sebagai ”habitat sosial” dan sumber kehifupan kolektivitas masyarakatkecil 4. Peningkatan status dan manfaat lahan kering dari yang semula hanya sebagai ”ban serap” pembangunan,menjadi simbol penguatkeberadaan dan identitas NTB 5. Pengitegrasian pengembangan lahan kering dengan penajaman makna desentralisasi danotonomi penyelenggaraan pembangunan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
45
Seminar Nasional 2005 INOVASI TEKNOLOGI LAHAN MARGINAL DALAM MENDUKUNG PROGRAM PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MELALUI INOVASI (P4MI) E. Eko Ananto Penanggung Jawab Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (P4MI), Badan Litbang Pertanian.
PENDAHULUAN Di daerah lahan marjinal pembangunan pertaniannya relatif tertinggal jauh dibandingkan daerah lahan beririgasi. Ketertinggalan pembangunan pertanian di wilayah tersebut hampir dijumpai di semua bidang, baik kesuburan lahan, infrastruktur, kelembagaan usahataninya maupun akses informasi untuk petani miskin yang kurang mendapat perhatian, disamping kondisi agroekologi wilayah yang relatif sangat rapuh (fragile). Akibatnya di wilayah tersebut banyak ditemukan kantong-kantong kemiskinan yang kesejahteraan masyarakatnya masih rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya yang telah banyak tersentuh oleh pembangunan. Kondisi ini juga menempatkan mereka semakin terpuruk dalam perangkap kemiskinan. Untuk meningkatkan pendapatan dan keluar dari perangkap kemiskinan, petani harus mampu melakukan inovasi produksi dan pemasaran untuk menangkap peluang pasar. Produktivitas pertanian di wilayah ini umumnya masih rendah dan tidak stabil. Upaya peningkatan produktivitas pertanian belum dapat dilakukan secara optimal mengingat berbagai kendala biofisik dan sosial ekonomi budaya. Faktor internal petani juga merupakan kendala yang tidak kecil pengaruhnya, seperti misalnya keterbatasan kemampuan teknis dan modal, kekhawatiran atas resiko terhadap teknologi baru. Selama ini alih teknologi dengan masukan tinggi telah berhasil pada lahan-lahan dimana petaninya mampu membiayai masukan yang tinggi. Pola seperti ini pada kenyataannya kurang berhasil pada daerah marjinal yang menghadapi banyak kendala. Sebagian besar kegagalan tersebut juga disebabkan oleh tidak adanya keterlibatan masyarakat setempat karena masih menganggap petani terbelakang, tidak tahu dan tidak inovatif. Pengembangan teknologi partisipatif diyakini akan mampu meminimalisasi kegagalan tersebut. Teknologi yang akan dikembangkan harus lebih unggul dari pada teknologi yang ada, dan harus dapat diterapkan dan dikembangkan oleh petani. Diharapkan upaya pengentasan kemiskinan menjadi lebih efektif melalui peningkatan kemampuan inovasi petani, dari pada hanya mengandalkan bantuan fisik dan finansial, yang telah dibuktikan dari berbagai proyek mengalami banyak kegagalan. Untuk menjawab masalah tersebut di atas, Badan Litbang Pertanian melalui Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi-P4MI berusaha untuk meningkatkan kemampuan petani miskin dalam mengembangkan inovasi produksi pertanian dan pemasaran, dengan melalui pemberdayaan petani dan meningkatkan akses petani terhadap informasi, serta menyediakan teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan di lahan marginal (lahan kering/tadah hujan). DISKRIPSI KEGIATAN P4MI Program Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi-P4MI bertujuan meningkatkan kemampuan inovasi pertanian/agribisnis di lahan marjinal untuk meningkatkan pendapatan. Kata kunci dari kegiatan ini adalah: (i) petani miskin, merupakan masalah yang ingin diselesaikan, (ii) peningkatan pendapatan, merupakan target yang harus dicapai, dan (iii) inovasi pertanian, merupakan cara untuk mencapai target yaitu peningkatan pendapatan petani miskin, karena tidak ada pembangunan pertanian tanpa inovasi. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, P4MI dirancang terdiri dari sub-program sebagai berikut : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
46
Seminar Nasional 2005 1. Pemberdayaan Petani, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan petani, pengembangan kelembagaan desa, dan menentukan investasi desa untuk pembangunan sarana/prasarana tingkat desa yang dibutuhkan dalam mengembangkan inovasi pertanian. LSM berperan dalam mendampingi petani untuk menjamin dan meningkatkan proses partisipasi petani. 2. Pengembangan Sumber Informasi, bertujuan mengembangkan sumber informasi pasar dan teknologi pertanian agar dapat diakses petani, guna mengarahkan usaha pertaniannya berdasarkan keunggulan komparatif. 3. Pengembangan Inovasi Pertanian dan Diseminasi, bertujuan mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan dengan melakukan reorientasi dalam menciptakan, menyediakan dan mengembangkan inovasi, serta mendiseminasi-kannya sesuai dengan kebutuhan petani miskin di lahan marginal. Secara khusus sub-program pengembangan inovasi dan diseminasi terdiri dari kegiatan : a. Identifikasi teknologi yang sesuai dengan lokasi lahan marginal. Kegiatan berupa PRA, Pemetaan kesesuaian komoditas, Baseline study dan Review teknologi yang sudah tersedia baik dari dalam maupun dari luar Badan Litbang Pertanian. Hasil kegiatan ini akan memberikan arah dalam pengembangan inovasi secara lebih efisien. b. Mengembangkan dan melaksanakan program outreach bersama Balit-Balit terkait, untuk memberikan kesadaran kepada petani akan potensi perbaikan pendapatannya bila memanfaatkan teknologi. Kegiatan ini akan memanfaatkan cara-cara komunikasi tradisional maupun menggunakan teknologi informasi melalui sistem jaringan informasi yang telah dibangun Deptan, dengan menyiapkan kegiatan khusus, antara lain: (i) menyiapkan dan menyediakan informasi teknis pertanian ke dalam format elektronis; (ii) PUSTAKA akan melakukan konversi bahan penyuluhan tercetak ke dalam format elektronik dan menyediakannya dalam media internet dan CD-ROM; dan (iii) membantu BPTP mengembangkan website. c. Mengidentifikasi kesenjangan tematik program penelitian dan pengembangan yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan pengembangan pertanian di lahan tadah hujan yang selama ini kurang mendapat perhatian, termasuk mengidentifikasi senjang teknologi dan cara-cara mengatasinya. d. Mengembangkan dan mendukung program litkaji spesifik bagi lahan marginal tadah hujan yang bersifat time bound. Program harus disusun dengan berdasarkan justifikasi yang kuat termasuk didasarkan hasil identifikasi senjang teknologi dan dapat mengidentifikasikan dengan jelas keuntungan-keuntungan pengembangannya di lahan marginal. e. Mendukung inisiatif lokal untuk mengembangkan inovasi yang diperlukan bagi petani miskin, dengan melibatkan peneliti dari universitas lokal, peneliti nasional dan lokal, teknisi lapangan, penyuluh, swasta, dan LSM. Kegiatan ini dikoordinasi oleh BPTP. f.
Mendukung BPTP dalam menyelenggarakan kegiatan pengembangan informasi dan peningkatan capacity building intitusi/kelembagaan di kabupaten dan petani melalui kegiatan pelatihan, seminar, temu lapang, dll.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
47
Seminar Nasional 2005 Pelaksanaan kegiatan P4MI mengikuti mekanisme kerja sebagai berikut:
Gambar 1. Bagan organisasi dan mekanisme kerja PFI3P
KONSEP DAN STRATEGI PENGEMBANGAN Konsep pengembangan inovasi pertanian pada P4MI adalah mendukung pemanfaatan secara optimal sumberdaya alam yang marginal disertai pelestarian lingkungannya untuk dapat meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan dalam suatu kerangka model agribisnis. Konsep tersebut akan dapat diwujudkan apabila petani mampu menerapkan teknologi inovasi yang unggul berdasarkan kondisi wilayah dan komoditas dan berorientasi pasar. Untuk itu, petani dan kelembagaan yang ada ditingkatkan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
48
Seminar Nasional 2005 kemampuannya untuk menangkap informasi serta membaca situasi dan memanfaatkan peluang pasar. Pengembangan inovasi harus dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan beneficiaries (petani miskin) dan stakeholders. Pengembangan teknologi partisipatif dalam konteks pemberdayaan petani miskin melalui pengembangan agribisnis dilakukan dengan menggunakan kombinasi pendekatan sistem demand driven dan driving demand. Kombinasi kedua sistem tersebut perlu diterapkan karena berbagai alasan prinsipil yang melandasinya, antara lain: 1. Kebutuhan petani akan teknologi dalam suatu wilayah mungkin akan beragam karena perbedaan kondisi sosial ekonomi dan faktor-faktor eksternal yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan intervensi dan perubahan dari luar. Prioritas teknologi yang akan dikembangkan dengan sendirinya tidak sepenuhnya bersifat demand driven karena sebagian teknologi yang dibutuhkan petani tidak terpenuhi. 2. Di lahan-lahan kritis dimana diperlukan teknologi konservasi sumberdaya alam yang akan memberikan manfaat dalam jangka menengah/panjang, merupakan prioritas penting yang bersifat driving demand. Bagi petani miskin teknologi konservasi tersebut mungkin bukan prioritas penting walau keberlanjutan usaha tani mereka terancam. 3. Pengembangan sistem usahatani berorientasi agribisnis untuk menciptakan pasar pada hakekatnya bersifat driving demand. Orientasi baru ini dengan sendirinya memerlukan upaya pengarahan, sosialisasi, dan pelatihan yang intensif agar dapat mengubah pola pikir petani. 4. Pengembangan wilayah yang didasarkan atas tata ruang dengan keterkaitan antar sektor merupakan suatu acuan setiap pembangunan. Penata-ruangan wilayah komoditas yang terkait dengan pengembangan agribisnis merupakan suatu sistem driving demand. Lahan marginal merupakan wilayah yang komplek dan sarat dengan berbagai kendala. Sebagai konsekuensinya diperlukan suatu paket teknologi yang mampu menjawab berbagai masalah yang dilakukan secara terpadu (integrated) dan menyeluruh (holistic). Pemecahan masalah secara parsial diyakini tidak akan memberikan manfaat. Oleh karena itu: 1. Pengembangan teknologi untuk wilayah ini harus dirancang dari berbagai di-siplin IPTEK dan lintas komoditas untuk mendapatkan alternatif yang optimal. 2. Kemampuan mendiagnostik permasalahan yang dihadapi petani dan menilai potensi kemampuan petani dalam inovasi teknologi secara akurat menjadi faktor penting sebagai dasar dalam merancang teknologi. 3. Program pengembangan teknologi di lahan marginal memerlukan suatu tim peneliti dari kelembagaan litbang yang bersifat lintas disiplin IPTEK dan lintas komoditas sejak identifikasi masalah, perencanaan dan pelaksanaannya maupun evaluasi hasilnya. LANGKAH PENGEMBANGAN Teknologi yang akan dikembangkan harus bersifat holistik dan terpadu yang mencakup dimensi dan aspek vertikal (dari budidaya, pascapanen hingga ke pemasaran), horizontal (dengan pemanfaatan lebih dari satu komoditas dalam rangka optimasi lahan dan peningkatan keuntungan usahatani) dan diagonal (seperti kelestarian sumberdaya alam/lingkungan dan manajemen usahatani berorientasi agribisnis). Pengembangan teknologi harus didasari hasil kajian kondisi biofisik dan sosial ekonomi budaya, serta mengacu pada kebutuhan petani maupun Pemda sesuai dengan kerangka pengembangan wilayah, agar tepat sasaran dan efisien. Oleh karena itu masukan dari beneficiaries dan stakeholders sangat diperlukan dalam penyusunan program. Teknologi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
49
Seminar Nasional 2005 setempat/local indigeneous technologies perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah. Kriteria Teknologi Kriteria teknologi disusun dalam suatu kerangka pencapaian tujuan, batasan waktu pelaksanaan dan partisipasi kelembagaan yang terlibat serta ketersediaan dana. 1. Teknologi harus menunjukkan kinerja unggul perlu diantisipasi sejak perencanaan sehingga penerapannya mampu meningkatkan pendapatan petani secara cukup signifikan. Diupayakan teknologi yang low input dan low risk. Analisa ekonomi sejak awal perlu disertakan agar keengganan petani menggunakan teknologi baru yang berresiko dapat diminimalisasi dan motivasi penerapan teknologi menjadi lebih kuat. 2. Pengembangan teknologi harus secara partisipatif dengan keterlibatan beneficiaries dan stakeholders agar dapat langsung dimanfaatkan dan terintegrasi dengan program pembangunan di daerah, sehingga kontribusinya akan lebih nyata dalam pembangunan wilayah dan pengentasan kemiskinan pada khususnya. 3. Teknologi harus mampu menjawab masalah/kendala yang dihadapi di wilayah yang sangat komplek sehingga diperlukan lintas disiplin IPTEK dan komoditas. 4. Teknologi yang akan dikembangkan harus spesifik lokasi, sesuai dengan kondisi wilayah terutama kemampuan petani, mampu mendukung pengembangan suatu sistem agribisnis yang berkelanjutan (termasuk potensi pasar bagi komoditas yang akan diproduksi). Teknologi yang akan dikembangkan merupakan teknologi yang dapat segera diterapkan petani miskin, sesuai dengan kondisi sumber daya lokal dan berdampak pada peningkatan pendapatan petani miskin. Pemilihan komditas diarahkan pada komoditas yang umum diusahakan atau dapat diusahakan petani. 5. Inovasi yang dikembangkan harus mempunyai bobot kegiatan diseminasi lebih besar agar dapat lebih cepat diadopsi. Oleh karena itu teknologi yang akan digunakan harus yang telah tersedia/telah teruji, sehingga tahap perintisan dapat dieliminasi dan hanya tinggal proses penyesuaian. Implementasi Program 1. Prioritas program pengembangan inovasi teknologi bagi wilayah lahan marginal (lahan kering/tadah hujan) disusun terlebih dahulu oleh tim pakar selektif lingkup Badan Litbang Pertanian yang berpengalaman dalam pengembangan pertanian lahan marginal. Selanjutnya program tersebut dibahas dengan mengundang wakil beneficiaries dan stakeholders untuk mendapat masukan dan penyempurnaan. 2. Program tersebut kemudian ditawarkan kepada unit-unit kerja dan UPT yang mempunyai peluang terlibat dalam penelitian untuk penyusunan proposal penelitian. Proposal tersebut harus mampu menjawab masalah dan kendala yang dihadapi di wilayah yang sangat komplek sehingga diperlukan tim peneliti lintas disiplin IPTEK dan komoditas dengan profesionalisme tinggi mengingat resiko kegagalan yang harus diperhitungkan bagi petani miskin. 3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan penelitian akan dilakukan sejak awal persiapan. Hasil penelitian setiap tahun anggaran harus dibahas oleh tim pakar bersama dengan wakil-wakil beneficiaries dan stakeholders. PENUTUP 1. Ketertinggalan pembangunan pertanian di daerah marginal hampir dijumpai di semua bidang, baik biofisik, infrastruktur, kelembagaan usahataninya maupun akses informasi untuk petani miskin yang kurang mendapat perhatian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
50
Seminar Nasional 2005 2. Kata kunci dari kegiatan P4MI adalah: (i) petani miskin, (ii) peningkatan pendapatan, dan (iii) inovasi pertanian. 3. Pengembangan inovasi pertanian P4MI ditujukan untuk mendukung pemanfaatan secara optimal sumberdaya alam yang marginal disertai pelestarian lingkungannya untuk dapat meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan, dalam kerangka model agribisnis. 4. Pengembangan inovasi dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan beneficiaries (petani miskin) dan stakeholders, melalui pendekatan demand driven dan driving demand, dan dilakukan secara terpadu dan holistik. 5. Teknologi yang dikembangkan harus memenuhi kriteria unggul, matang telah teruji, spesifik lokasi, mencakup lintas disiplin dan komoditas. DAFTAR PUSTAKA Assessment on Agricultural Technology Innovation by IAARD. 2004. Project Coordination and Monitoring Unit (PCMU) PFI3P, Indonesian Agency of Agricultural Research and Development (IAARD), Jakarta Jakarta. Identification of Technology Gaps on Marginal Lands. 2004. Project Coordination and Monitoring Unit (PCMU) PFI3P, Indonesian Agency of Agricultural Research and Development (IAARD), Jakarta. Project Administration Memorandum for the Poor Farmers‟ Income Improvement through Innovation. 2003. Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD), Misnistry of Agricultural (MOA) and Asian Development Bank (ADB). Technology Innovation Development Program for Marginal Dry Land of PFI3P. 2004. Project Coordination and Monitoring Unit (PCMU) PFI3P, Indonesian Agency of Agricultural Research and Development (IAARD), Jakarta Jakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
51
Seminar Nasional 2005 DARI KETAHANAN PANGAN KE KELENTINGAN KEHIDUPAN : Pengalaman Pemberdayaan Masyarakat dan Penanggulangan Kemisikinan di Lahan Marginal Nusa Tenggara Astia Dend1)i, Zuriati2), B. Astuti2) 1) 2)
Program Coordinator GTZ PROMIS NT, Jl. Pendidikan No. 43 Mataram, email
[email protected]. Team GTZ PROMIS NT: Indonesian–German Cooperation for Poverty Alleviation and Support for Local Governance in Nusa Tenggara Provinces.
ABSTRAK Makalah ini membahas pendekatan dan pengalaman empiris selama lebih dari lima tahun dalam Program Penanggulangan Kemiskinan dan Dukungan Pemerintahan Daerah di Nusa Tenggara yang kini dibingkai dalam kerjasama pemerintah Republik Indonesia dan Republik Federal Jerman (GTZ PROMIS-NT). Observasi dan analisa difokuskan pada salah satu komponen program, yaitu pendekatan padat karya, yang melibatkan dialog dan interaksi antara tiga aktor utama yakni rumahtangga tani sebagai unit pengambilan keputusan dengan motivator (fasilitator perubahan) dan pengambil kebijakan pada berbagai tingkatan. Analisa pengalaman GTZ PROMIS-NT menunjukkan pentingnya pendekatan pemberdayaan yang lebih holistik daripada yang biasa didisain dan diterapkan selama ini. Kedepan, orientasi dukungan pembangunan mesti lebih difokuskan kepada kelentingan kehidupan (livelihood resilience). Lebih jauh lagi, dalam rangka pergeseran fokus dukungan tersebut, pengalaman GTZ PROMIS-NT memperlihatkan ada lima faktor saling terkait yang perlu ditangani dan dijadikan sasaran prioritas secara sinergis, yakni penciptaan iklim bisnis yang kondusif dan promasyarakat miskin, peningkatan nilai tambah, peningkatan kewirausahaan pelaku ekonomi, perbaikan struktur pasar dan penguatan modal. Kata Kunci: Ketahanan pangan, pemberdayaan masyarakat, penanggulangan kemiskinan, lahan marginal, Nusa Tenggara.
PENDAHULUAN Makalah ini membahas pendekatan dan pengalaman empiris selama lebih dari lima tahun dalam Program Penanggulangan Kemiskinan dan Dukungan Pemerintahan Daerah di Nusa Tenggara yang kini dibingkai dalam kerjasama pemerintah Republik Indonesia dan Republik Federal Jerman (GTZ PROMIS-NT). Observasi dan analisa difokuskan pada salah satu komponen program, yaitu pendekatan padat karya, yang melibatkan dialog dan interaksi antara rumahtangga tani miskin sebagai unit pengambilan keputusan dengan motivator (fasilitator perubahan) dan pengambil kebijakan pada berbagai tingkatan. Rancangan program padat karya dilatarbelakangi oleh terjadinya rawan pangan pada saat terjadinya kemarau panjang (Fenomena El Ñino), yang melampaui musim rawan pangan yang biasanya dari Desember - Maret di Nusa Tenggara. Hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan, dimana curah hujan yang relatif rendah dan musim hujan yang pendek. Kondisi di Sumba Timur diperparah oleh merebaknya serangan hama belalang, rendahnya kesuburan tanah, keterbatasan infrastruktur seperti jalan, jaringan irigasi masih sangat kurang. Disamping itu, akses masyarakat pada modal dan pasar juga terbatas. Namun disisi lain, potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah ini belum dimanfaatkan secara optimal, termasuk modal sosial (social capital) yang masih lumayan sebagaimana terlihat dari kebersamaan dan kegotong-royongan masyarakat yang masih kuat. Sebagian dari keluarga miskin di daerah ini telah tergabung dalam kelompok masyarakat (pokmas) IDT. Kelompok masyarakat (pokmas) dalam program Penanggulangan Kemiskinan pola Inpres Desa Tertinggal (IDT) dibentuk pada tahun 1994/1995 sebagai sebuah wadah untuk mengorganisir keluarga miskin yang ada pada desa tertinggal melalui instrumen program Inpres Desa Teringgal dengan bantuan modal berupa dana bergulir sebesar 60 juta rupiah per desa. Dari beberapa observasi dan evaluasi yang pernah dilakukan, ternyata pokmas-pokmas yang terbentuk belum berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Pokmas tersebut dibentuk secara mendadak karena ada bantuan, bukan karena kesadaran dan kebutuhan dari masyarakat mengorganisir diri. Lebih jauh lagi, bantuan yang semestinya
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
52
Seminar Nasional 2005 diarahkan untuk kegiatan produktif lebih banyak digunakan untuk kegiatan konsumtif, yang berujung pada kemacetan pengguliran dana. Di sekitar kawasan hutan, terjadi interaksi yang cukup tinggi antara keluarga miskin dengan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal itu dilakukan baik secara musimam yaitu dengan melakukan peladangan berpindah dengan membuka areal baru dan atau memanfaatkan areal yang ditinggal beberapa tahun sebelumya maupun dengan melakukan penebangan liar (illegal logging). Pengelolaan lahan tersebut belum memperhatikan teknik konservasi, sehingga terjadi penurunan produktivitas lahan dan memperluas areal lahan kritis. Dalam rangka pemberdayaan bagi masyarakat miskin pada desa terpilih di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), pemerintah Indonesia bekerja sama dengan pemerintah Jerman pada tahun 1997 membentuk Proyek Penanggulangan Kemiskinan dengan nama Proyek Nusa Tenggara (PNT) yang saat ini sebagai salah satu komponen PROMIS-NT GTZ. Kelompok sasaran utama yang dibina adalah keluarga miskin yang tergabung dalam pokmas IDT. Untuk mendukung penguatan kelompok masyarakat miskin pada wilayah binaan PNT, pada tahun 1998 GTZ melaksanakan Proyek Padat Karya Pangan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah rawan pangan. Disamping itu proyek padat karya pangan ditujukan untuk peningkatan keswadayaan masyarakat miskin melalui pengembangan usaha-usaha produktif serta sebagai salah satu upaya nyata dalam mencegah efek-efek negatif dari interaksi keluarga miskin dengan lingkungan hidup. PENDEKATAN DAN STRATEGI 1. Kharakteristik dan Inovasi Pendekatan Padat karya semula dirancang sebagai salah satu pendekatan untuk membantu mengatasi permasalahan mendesak yang dihadapi masyarakat miskin di pedesaan, yaitu kekurangan pangan pada musim kemarau. Namun, pendekatan yang dikembangkan juga memperhatikan manfaat jangka menengah dan jangka panjang. Pendekatan padat karya mengkombinasikan aktifitas pengembangan infrastruktur, pengembangan kelembangaan dan keswadayaan. Kegiatan-kegiatan program berupa kegiatan pembangunan infrastruktur oleh masyarakat miskin, antara lain jalan desa, jembatan, embung, bendungan dan saluran irigasi. Masyarakat miskin yang terlibat dalam kegiatan memperoleh imbalan jasa sebanyak 3,5 kilogram beras per hari kerja. Dari jumlah tersebut 2,5 kg diterima untuk dibawa pulang, sedangkan sisanya 1 kg tinggal sebagai tabungan pada kelompok. Tipe lain dari imbalan jasa kegiatan disebut padat karya non beras. Beberapa jenis kegiatan seperti pembuatan bendungan, pasangan batu untuk saluran air / irigasi dilakukan tanpa diberikan upah beras, tetapi dengan memberikan bantuan material non lokal seperti semen, besi, pipa dan pintu air. Ongkos tukang bagi pekerjaan yang membutuhkan adanya tukang dan material lokal seperti batu, pasir, kayu, bata dan papan menjadi tanggung jawab masyarakat setempat. Secara lebih rinci, kharakteristik dan inovasi pendekatan adalah sebagai berikut: Keterlibatan masyarakat (pokmas) sejak dari tahapan perencanaan kegiatan, untuk meningkatkan rasa memiliki dan kualitas hasil pekerjaan, pemeliharaan, perbaikan dan pengembangan kegiatan padat karya. Alat pembayaran padat karya dengan menggunakan beras untuk merespon kebutuhan masyarakat miskin dalam masa-masa rawan pangan (Desember – Maret) dan mengurangi ketergantungan pada pengijon. Lebih jauh lagi, pendekatan ini dirancang untuk mencegah efek negative dari kerawanan pangan terhadap sumberdaya hutan dan pesisir. Jenis kegiatan padat karya lebih selektif untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif, sehingga tidak sebatas manfaat jangka pendek (sumber pendapatan keluarga pada saat
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
53
Seminar Nasional 2005 paceklik) tetapi juga untuk jangka panjang seperti mendukung peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat, kelestarian dan perlindungan sumber daya alam. Penyisihan sebagian dari pendapatan padat karya sebagai tabungan untuk pengembangan modal kelompok dan peningkatan kegiatan usaha produktif. Rencana penggunaan dana tabungan padat karya dibicarakan sejak dari tahapan pengusulan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan. Kegiatan padat karya didukung oleh pendampingan yang baik. Selain motivator yang bertugas dalam memotivasi, memfasilitasi, sosialisasi teknis dan pengawasan pekerjaan juga didukung oleh staf teknis yang bertugas dalam membuat desain dan perencanaan teknis, rekomendasi teknis dan pengawasan teknis pekerjaan. Kegiatan padat karya dapat menjadi salah satu cara bagi kelompok untuk membuktikan kemampuannya terhadap pihak lain dalam pengelolaan dana kelompok secara baik, sehingga membuka peluang untuk bekerjasama dengan Bank atau pihak lain. Kegiatan padat karya dapat menjadi sarana bagi kelompok untuk belajar mengatasi masalah dengan potensi yang dimiliki bersama kelompoknya. Melalui struktur atau organisasi kelompok-kelompok dapat secara bersama-sama mengajukan usulan kepada pemerintah atau pihak lain dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. 2. Urgensi Penggunaan Motivator Membantu masyarakat untuk memperbaiki kondisi kehidupannya memerlukan pendekatan dengan syarat sebagai berikut: (a) Tidak bias terhadap komoditi apapun; (b) Perlu difokuskan pada analisa sosial, budaya dan kondisi kehidupan masyarakat, serta (c) Menciptakan hubungan dengan penyedia jasa yang diperlukan; (d) Membantu penguatan kompetensi sosial para anggota masyarakat; (e) Komitmen jangka panjang dan intensif terhadap pembangunan masyarakat (1 orang motivator per desa). Sebaliknya, staf teknis dari sektor pertanian (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan) memusatkan upayanya pada pelanggan (clients) yang memiliki kemampuan menerapkan pesan teknologi atau input (better off farmers). Disamping itu, staf sektor pertanian bekerja pada wilayah lebih luas, yakni mencakup kecamatan, dengan tugas dititik beratkan pada komoditi tertentu saja atau bahkan lebih sering hanya aspek tertentu dari produksi. Dipihak lain, staf universitas seringkali hanya memusatkan perhatian pada penelitian yang terkait dengan bidang studi, serta hanya dapat terlibat dalam jangka pendek tergantung pada kegiatan-kegiatan semesteran. 3. Strategi dan Proses a) Seleksi Kelompok Sasaran (Pokmas) Kelompok sasaran dipilih dari Keluarga miskin laki-laki maupun perempuan baik yang sudah terorganisir dalam pokmas IDT maupun yang belum masuk dalam pokmas IDT. Kriteria miskin yang digunakan berdasarkan penilaian masyarakat setempat. Untuk membangkitkan motivasi pokmas IDT yang ada, tidak semua langsung terlibat dalam kegiatan padat karya, tetapi dipilih pokmas yang berpotensi untuk berkembang. b) Diskusi awal untuk merancang jenis kegiatan Dilakukan diskusi awal dengan pokmas sasaran tentang usulan jenis kegiatan padat karya. Diskusi ini dilakukan agar pekerjaan padat karya secara optimal dapat bermanfaat bagi masyarakat miskin dan secara teknis layak untuk dilaksanakan. Kegiatan yang menyangkut fasilitas umum, tidak semua dilakukan dengan pembayaran beras, tetapi dengan mendukung penyediaan material non lokal. Masyarakat setempat berperan dalam penyediaan material lokal (batu, pasir, papan, dan lain-lain) dan ongkos tukang.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
54
Seminar Nasional 2005 c) Penyamaan Visi antara Pokmas, Motivator dan Proyek Pokmas sasaran mengajukan usulan kegiatan yang direncanakan dalam bentuk proposal yang difasilitasi oleh motivator desa. Proposal tersebut selain berisi jenis kegiatan dan kebutuhan dukungan pendanaan dari proyek juga dapat menjelaskan bagaimana kegiatan tersebut dapat dilaksanakan dan dimanfaatkan hasilnya secara optimal dan berkelanjutan termasuk penggunaan tabungan padat karya. Perlu penyamaan persepsi antara pokmas, motivator, dan proyek tentang apa yang menjadi tujuan dari kegiatan tersebut dan bagaimana indikator untuk mengukur pencapaian tujuan tersebut. d) Pendampingan dan Pelatihan sesuai kebutuhan Pelaksanaan padat karya didampingi oleh petugas lapangan padat karya / motivator. Motivator tersebut berperan penting memfasilitasi dan memotivasi pokmas dalam persiapan sosial, teknis pelaksanaan, pemeliharaan hasil fisik padat karya, pengembangan kegiatan swadaya dan penggunaan tabungan kelompok dari kegiatan padat karya. Untuk mendukung penguatan kelompok sasaran, diberikan beberapa jenis pelatihan baik organisasi maupun teknis dan kewirausahaan sesuai kebutuhan. e) Pelaksanaan dan Monitoring dan Evaluasi bersama Pokmas Kegiatan yang diusulkan berdasarkan hasil musyawarah pokmas atas pertimbangan kebutuhan dan kepentingan bagi anggota pokmas. Perencanaan oleh pokmas diharapkan bahwa hasil kegiatan padat karya dapat bermanfaat bagi pokmas dan dipelihara serta dikembangkan oleh mereka dengan mengembangkan potensi swadaya pokmas. Monev yang dilakukan bersama pokmas diharapkan agar pelaksanaan kegiatan dan hasilnya dapat secara optimal dicapai. f) Pengembangan Modal Pokmas Upah pekerjaan padat karya tidak hanya dalam bentuk beras yang siap dikonsumsi oleh anggota pekerja padat karya, tetapi diarahkan juga untuk mendukung penguatan modal pokmas. Untuk setiap 1 orang kerja, diberikan tabungan untuk kelompok sebanyak 1 kg. Dana ini digunakan oleh kelompok sesuai dengan hasil kesepakatan pokmas untuk menunjang kegiatan ekonomi produktif. MANFAAT DAN DAMPAK PROGRAM GTZ-PROMIS-NT Para pengamat yang tidak pernah melihat secara langsung kondisi awal dari kelompok-kelompok masyarakat miskin yang menjadi target group PROMIS NT barangkali tidak mudah menyakini adanya hasil-hasil maupun dampak yang berarti dari pendekatan padat karya serta pendampingan oleh motivator. Keberhasilan pendekatan tersebut tidak dapat hanya diukur dari penyelesaian bangunan-bangunan fisik atau pun memperbandingkan tingkat pendapatan target groups tersebut dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya tanpa memperhatikan persepsi (penilaian) oleh target groups itu sendiri. Pengamatan kami serta hasil-hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara partisipatif menunjukkan bahwa mayoritas target groups mengalami dan mengakui perbaikan kehidupan yang berarti melalui peranserta mereka dalam progam padat karya. Lebih jauh lagi, mitra kerja lokal GTZ PROMIS NT (lembaga-lembaga pemerintah daerah) juga mengakui kemamfaatan dari strategi yang diterapkan dan mulai menerapkan secara lebih luas (scale-up) elemen-elemen strategi sesuai kondisi dan kebutuhan. Sebagai contoh, Pemerintah Daerah di wilayah kerja PROMIS-NT telah sejak lama mengambil alih tanggungjawab pembayaran honor motivator. Bahkan di Kabupaten Alor dan Kabupaten Sumba Timur Propinsi Nusa Tenggara Timur, Pemerintah Daerah telah mengadopsi konsep motivator dengan menugaskan 1-2 orang motivator pada desa-desa yang belum memiliki motivator serta memperluas tugas dan fungsi motivator tersebut, dimana seorang motivator berperan sebagai “penasehat” Pemerintah Desa.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
55
Seminar Nasional 2005 Gambar 1 memperlihatkan bahwa target group proyek menilai program padat karya telah memberikan kontribusi berarti terhadap perbaikan ekonomi mereka; wawancara lebih mendalam mengungkap bahwa makna “perbaikan ekonomi” tersebut tidak selalu berarti hanya peningkatan pendapatan tetapi juga keberhasilan memulai usaha baru yang produktif. Temuan ini konsisten dengan data yang disajikan pada Tabel 1 dimana 15 persen dari responden mengemukakan bahwa padat karya telah memberikan tambahan pendapatan dan penciptaan usaha baru bagi mereka.
Total Jawaban: 908 Gambar 1.
Dukungan atau Elemen Strategi PNT yang Memberikan Manfaat Ekonomi Menurut Persepsi Responden (Sumber: Laporan Monitoring dan Evaluasi PROMIS-NT 2004
Gambar 1 memperlihatkan bahwa target group proyek menilai progran padat karya telah memberikan kontribusi berarti terhadap perbaikan ekonomi mereka; wawancara lebih mendalam mengungkap bahwa makna “perbaikan ekonomi” tersebut tidak selalu berarti hanya peningkatan pendapatan tetapi juga keberhasilan melalui usaha baru yang produktif. Temuan ini konsisten dengan data yang disajikan pada Tabel 1 dimana 15 persen dari responden mengemukakan bahwa padat karya telah memberikan tambahan pendapatan dan penciptaan usaha baru bagi mereka. Tabel 1. Manfaat dari Padat Karya Program GTZ PROMIS-NT di Lahan Marginal Nusa Tenggara, 2004. Frekwensi
% dari responden
Tambahan Modal/pendapatan
19
9
Tambah usaha
13
6
Kebutuhan hidup
67
31
Pengolahan Tanah
44
21
Transportasi lancar
53
25
Sumber : Laporan Monitoring dan Evaluasi PROMIS-NT Tahun 2
Untuk mengungkap lebih jauh pengalaman padat karya dan pendampingan masyarakat, termasuk keberhasilan dan kegagalan, kami melakukan beberapa studi kasus di Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu di Nusa Tenggara Barat serta Kabupaten Sumba Timur di Nusa Tenggara Timur. Hasil-hasil studi kasus tersebut disajikan berturut-turut dalam selipan 1-4. Ternyata, program padat karya cukup berarti bagi masyarakat, tidak saja dalam hal membantu memecahkan masalah kekurangan pangan sesaat, tetapi juga memampukan keluarga miskin dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam maupun peluang-peluang usaha yang terbuka. Sebagai contoh adalah percetakan sawah baru di Kabupaten Sumba Timur. Meskipun barangkali pendapatan rumahtangga belum meningkat secara signifikan sampai saat ini, fundamen keswadayaan berupa kepercayaan diri, kapasitas teknis, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
56
Seminar Nasional 2005 infrastruktur penunjang, kapasitas kelembagaan dan modal social telah ditingkatkan melalui padat karya dan pendampingan masyarkat oleh motivator. [Selipan 1. Pokmas Oi Sumba desa Kowo: Peningkatan produktifitas dan akses pasar] Lahan pertanian yang dimiliki oleh anggota pokmas sebagian besar adalah lahan tegalan dengan hamparan yang berbukit-bukit dan sawah tadah hujan sehingga kegiatan pertanian sangat tergantung dari curah hujan. Pada lokasi persawahan teknis dan setengah teknis pun, pada musim tanam ke tiga mulai terjadi kesulitan air irigasi, sehingga untuk mengatasinya dibantu dengan mesin air. Sementara pada musim hujan, air cukup melimpah yaitu selain limpahan air hujan juga muncul banyak mata air dan karena belum ada saluran irigasi pemanfaatanya kurang optimal. Untuk mengangkut hasil pertanian dari ladang masang-masing, masyarakat harus memikul atau dengan membayar ongkos buruh Rp 3.500,- hingga Rp 5.000,- per karung. Berdasarkan permasalahan yang ada, pokmas sepakat mengusulkan kegiatan padat karya yaitu membuka jalan ekonomi menuju lahan tegalan untuk mempermudah (waktu dan biaya) pengangkutan hasil dan membuat saluran irigasi. Tabungan padat karya yang diperoleh direncanakan untuk membeli mesin air. Setelah dilakukan proses negosiasi antara Tim Pelaksana padat karya dengan kelompok kerja padat karya dan pemerintah desa, disepakati bahwa kelompok kerja padat karya akan mengerjakan kegiatan Pembuatan saluran irigasi dan pembuatan jalan ekonomi. Anggota pekerja tidak hanya dari anggota pokmas, tetapi melibatkan KK miskin diluar pokmas. Jumlah anggota pekerja padat karya 118 KK terbagi dalam 4 sub kelompok kerja padat karya. Pekerjaan tersebut diselesaikan dalam waktu 38 hari. Realisasi fisik padat karya adalah pembuatan jalan ekonomi sepanjang 1.600 m dan saluran irigasi sepanjang 2.625 m. Anggota pokja mendapatkan beras padat karya sebanyak 10.250 kg dan beras kelompok sebanyak 4.100 kg. Dari hasil penjualan beras kelompok, diperoleh dana Rp 9.225.00,- (Rp 2.250,- per kilogram). Dana tersebut kemudian dipakai untuk membeli 4 unit mesin pompa air yang digunakan oleh anggota dan masyarakat lainnya dengan cara disewakan. Jalan ekonomi yang dibuat telah dilewati oleh truk untuk mengangkut hasil panen masyarakat dan saluran irigasi sebagian telah ditindaklanjuti oleh desa dengan membuat saluran permanen (pasangan batu) menggunakan dana subsidi desa yang pengerjaannya dilakukan secara gotong-royong].
[Selipan 2. Pokmas di desa Ntoke (10 Pokmas) Pokmas yang direkomendasikan bekerja padat karya adalah pokmas yang memiliki kemauan untuk berkembang. Hal ini menyebabkan pada tahap awal pelaksanaan padat karya, hanya 7 pokmas yang bekerja padat karya, tetapi pada tahap selanjutnya 3 pokmas lainnya menunjukkan kemauan berkembang sehingga dapat dilibatkan. Selain anggota yang sudah tergabung dalam pokmas IDT, KK miskin diluar pokmas juga terlibat dalam kegiatan padat karya. Anggota perempuan juga dilibatkan dan mendapat hak yang sama dengan anggota laki-laki. Jenis pekerjaan padat karya yang dilaksanakan di desa ini berupa padat karya beras dan non beras (gotong royong). Kegiatan padat karya beras adalah: Pembukaan jalan baru yang menghubungkan dengan salah satu dusun yang belum bisa dimasuki truck, pembuatan terasering, pemagaran hidup dan pembuatan saluran pengendali banjir. Sedangkan kegiatan padat karya non beras (gotong-royong) adalah pembuatan saluran irigasi permanen, pembuatan deuker dan Kebun Bibit Desa. Kegiatan tersebut merupakan usulan pokmas yang difasilitasi oleh Motivator desa / Petugas Lapangan Padat Karya dan dicek kelayakannya oleh Tim Teknis proyek. Kegiatan padat karya dilaksanakan tahun 1999 – 2002 dan selama pelaksanaan masyarakat didampingi oleh Motivator desa dan Petugas Lapangan Padat Karya. Untuk mendukung pemanfaatan kegiatan padat karya tersebut, Proyek menyalurkan bantuan benih jagung hibrida, bibit mangga, kelapa, gamal dan gaharu. Bibit tanaman lain seperti jambu mete, nangka dan jati disediakan oleh Kebun Bibit Desa yang dikelola oleh salah satu pokmas. Setiap anggota yang mendapat bantuan bibit dari Proyek harus memberikan kontribusi yang besarnya sesuai kesepakatan pokmas dan dana tersebut menjadi milik pokmas. Pada kegiatan padat karya beras, total jumlah beras yang diterima pekerja sebesar 3,5 kg dengan perincian 2,5 kg/HOK untuk pekerja dan 1 kg/HOK untuk dana tabungan pokmas. Atas
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
57
Seminar Nasional 2005 persetujuan semua pokmas, beras kelompok tersebut dijual secara kolektif dengan seluruh pokmas di desa lain yang difasilitasi oleh Proyek. Dari hasil penjualan beras kelompok, 10 pokmas tersebut mendapatkan dana sebesar Rp 36.284.275,- dimana setiap pokmas mendapatkan dana antara 2,3 juta – 5,6 juta rupiah. Dana tersebut kini dikelola dalam sebuah unit usaha bersama “Karawi Sama” dengan pelayanan pada penyediaan sarana produksi seperti pupuk, benih, obat-obatan dan pemasaran hasil pertanian masyarakat].
[Selipan 3. Pembangunan Dam Sumpi di Desa Hidirasa Kecamatan Wera Kabupaten Bima Desa Hidirasa kecamatan Wera merupakan desa yang matapencaharian utama masyarakatnya dari sektor pertanian, dengan komoditi unggulan bawang merah. Untuk mengairi tanaman, para petani mengambil air dari aliran sungai yang cukup lebar dengan membuat dam tradisional. Karena terbuat dari batu, tanah dan ranting/dedaunan, maka setiap terjadi banjir, mereka harus selalu memperbaiki kembali. Sebenarnya dam permanen telah dibuat pada tahun 1987, namun dam tersebut telah hancur total oleh banjir. Sejak dam permanen hancur, 110 ha lahan yang sebelumnya terairi dengan baik hanya dapat dimanfaatkan secara optimal pada musim hujan. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat dan pemerintah desa selalu mengusulkan kepada pemerintah daerah melalui Diskusi UDKP agar dibangun Dam permanen. Karena usulan tersebut belum terealisasi, maka kelompok masyarakat dan pemerintahan desa Hidirasa mengusulkan kegiatan pembuatan Dam Permanen melalui kegiatan Padat Karya. Pada bulan September 1999, Tim teknis PNT Bima mulai melakukan survey teknis dan kemudian dilanjutkan membuat menghitung rancangan pembiayaan. Sementara itu Motivator desa dan Petugas Lapangan Padat Karya melakukan persiapan masyarakat. Setelah melalui proses dialog / diskusi dengan masyarakat dan pemerintahan desa yang difasilitasi oleh motivator desa dan petugas lapangan padat karya, maka disepakati bahwa masyarakat bersedia untuk menyediakan material lokal seperti batu, pasir, kayu, dan lain-lain serta menyediakan ongkos tukang dan dikerjakan secara swadaya/gotong-royong. Sementara itu, Proyek Nusa Tenggara (PNT) GTZ mendukung penyediaan material non lokal seperti semen dan pintu air, desain teknis dan bimbingan teknis pembangunan dam. Pembangunan dam berukuran Panjang = 54 m, Lebar fondasi = 2,86 m dan Tinggi Pelimpah = 1,20 m mulai dikerjakan pada bulan Juli 2000 dan dapat diselesaikan pada bulan September 2000, dengan mendapat material dari Proyek Nusa Tenggara (PNT) sebesar Rp 30 juta. Berdasarkan perhitungan Rencana Anggaran Belanja (RAB) oleh Tim Teknis PNT, biaya bendungan tersebut Rp 72.037.289,-. Jadi swadaya masyarakat sekitar Rp 42.037.289,-.
[Selipan 4: Peningkatan produktifitas sumber daya si miskin menuju pasar Melalui pendekatan “pangan untuk kerja”, atau di Indonesia lebih dikenal dengan padat karya, yang dikombinasikan dengan pengembangan kelembagaan, petani miskin di pedesaan Sumba Timur, yang berada dalam zona iklim kering di Indonesia, mulai masuk pasar. Di kabupaten sumba timur, komponen proyek Nusa Tenggara (PNT) dari GTZ PROMIS-NT mendukung beberapa kelompok yang terdiri dari petani miskin untuk menggali sumur sebagai sumber air irigasi pada lahan tadah hujan mereka. Proyek menerapkan pendekatan “padat karya” yang mengintegrasikan konsep “food-for-work” dan aktifitas simpan pinjam kelompok. Para petani yang ikut menggali sumur memperoleh dari proyek 3,5 kilogram beras. Dari jumlah tersebut, hanya 2,5 kilogram yang diserahkan langsung ke tangan masing-masing petani, sedangkan sisanya tinggal pada kelompok sebagai tabungan anggota pada kelompok. Dari tabungan tersebut, petani dapat membeli satu unit mesin pompa, guna memompa air ke permukaan dan menampungnya pada bak penampungan, dan dari bak tersebut air siap untuk didistribusikan ke masing-masing petak lahan petani anggota kelompok. Dengan pengairan tersebut, produksi jagung dan sayuran meningkat dan petani sekarang mulai dapat menjual surplusnya ke pasar. Meskipun skala kegiatan ini relatif kecil dari segi luas lahan yang dapat diairi dan jumlah keluarga tani yang menikmatinya, pelajaran dari pendekatan tersebut dan penerapannya di tempat lain yang serupa dapat diperluas setiap saat dalam skema program pembangunan yang pro-poor.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
58
Seminar Nasional 2005 [Selipan 5.
Pokmas Gelombang Merah Desa Kwangko – Lumpuhnya Modal Sosial?
Pokmas ini merupakan pokmas IDT yang terletak di pulau Bajo desa Kwangko Kecamatan Mangge Lewa Kab. Dompu. Sumber mata pencahariannya adalah dari hasil nelayan dan budi daya rumput laut. Dana IDT pokmas ini tidak berjalan. Pembinaan dan pendampingan yang dilakukan oleh motivator tidak banyak merubah kondisi pokmas, walaupun salah satu pokmas yang posisinya berdekatan dengannya yaitu pokmas Permata Bahari (telah berbadan hukum menjadi KSU Permata Bahari) telah mengarah pada kemandirian. Kemauan anggotanya untuk mengembalikan pinjaman kepada kelompok sangat rendah. Hal ini disebabkan faktor keteladanan pengurus (pengalaman masa lalu yang kurang baik). Keterbatasan anggota yang mampu untuk membaca dan menulis menjadi kendala bagi motivator untuk mendorong perubahan pengurus. Kemacetan kegiatan simpan pinjam juga diperparah karena ada diantara anggota yang memiliki pinjaman dalam jumlah yang lebih besar dari anggota yang lain dan cukup disegani melontarkan pernyataan bahwa dia akan membayar jika anggota lain melunasi dulu. Hal ini menyebabkan terjadinya tarik ulur diantara anggota dalam pengembalian pinjaman walaupun aturan tentang pengembalian pinjaman telah disepakati.
Bahagian selanjutnya dari makalah ini memaparkan tentang kontribusi (dampak) program padat karya dan pendampingan keluarga miskin terhadap partisipasi dan pengaruh mereka dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan di desa. Sebelum melihat dampak, terlebih dahulu kami tinjau kepuasan agregat keluarga miskin dan aparat pemerintahan desa terhadap pelayanan motivator (Gambar 2).
Gambar 2:
Penilaian Pelayanan Motivator Secara Umum oleh Pokmas dan Pemdes (Sumber: Laporan Monitoring dan Evaluasi PROMIS-NT Tahun 2004)
Kendatipun ada perbedaan berarti antar kategori kepuasaan antar daerah, secara umum dapat disimpulkan bahwa motivator telah berperan secara berarti dalam pembangunan masyarakat pedesaan. Untuk melihat dampak program terhadap partisipasi masyarakat miskin dampingan dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan di desa, kami menggunakan dua variabel pokok yaitu: (i) jumlah anggota kelompok dampingan yang duduk dalam struktur pemerintah desa, dan (ii) persepsi masyarakat miskin dampingan tentang pengaruh mereka dalam pengambil keputusan di desa. Sebagai perbandingan, dipilih desa-desa berdekatan yang memiliki kharakteristik serupa dengan desa binaan. Tabel 2 dan 3 berturut-turut menggambarkan dampak tersebut.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
59
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Jumlah Anggota Kelembagaan Pemerintah Desa yang berasal dari Pokmas Binaan dalam Program GTZ PROMIS-NT di Lahan Marginal Nusa Tenggara, 2004. Kabupaten
BPD
LPM
Pemdes
Lombok Timur
20 (18%)
26 (21%)
26 (22%)
Bima
41 (20%)
23 (7%)
71 (34%)
Dompu
55 (43%)
11 (6%)
88 (53%)
Sumba Timur
119 (61%)
84 (35)
125 (60%)
Ende
41 (34%)
17 (7%)
115 (60%)
Alor
102 (37%)
69 (14%)
344 (58%)
Total
276
161
425
Tabel 2. memperlihatkan keterlibatan anggota kelompok dampingan dalam struktur pemerintahan desa, meskipun bervariasi antar daerah, terutama sebagai anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) dan aparat Pemerintah Desa. Kendatipun dalam hal ini tidak ada desa pembanding, temuan pada Tabel 2 memberikan indikasi cukup kuat bahwa ada hubungan pemberdayaan masyarakat dengan partisipasi mereka dalam kelembagaan di desa. Kami tidak melakukan pengkajian lebih dalam tentang fenomena ini untuk kepentingan scientific atau akademik; tetapi kami dapat memperkuat argumen adanya korelasi yang signifikan antara pemberdayaan masyarakat miskin dengan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan sebagaimana diperlihatkan pada tabel 3. Tabel 3. Dampak Pemberdayaan Masyarakat Miskin terhadap Pengambilan Keputusan tentang kegiatan Pembangunan Desa dalam Program GTZ PROMIS-NT di Lahan Marginal Nusa Tenggara, 2004. Desa binaan
Lombok Timur Bima Dompu Sumba Timur Ende Alor
Desa kontrol
f
%
Ya
17
21
1
5
Tidak
60
75
19
95
Ya
58
52
9
21
Tidak
47
42
28
65
Ya
39
39
7
14
Tidak
49
49
20
40
Ya
29
25
28
47
Tidak
82
71
15
25
Ya
47
52
11
24
Tidak
42
47
34
76
Ya
60
60
18
36
Tidak
40
40
32
64
570
TOTAL Total Ya
250
f
%
222 44
74
33
Tabel 3 mengindikasikan secara kontras bahwa masyarakat miskin di desa binaan (yang didampingi motivator) merasa lebih memiliki pengaruh yang berarti dalam menentukan keputusan-keputusan penting tentang kegiatan pembangunan desa dibanding desa-desa tetangga non-binaan (kontrol).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
60
Seminar Nasional 2005
PELAJARAN DAN TANTANGAN KESINAMBUNGAN Berikut ini kami kemukakan beberapa faktor kunci atau syarat perlu (necessary conditions) bagi keberhasilan program padat karya di Nusa Tenggara: (a) Strategi difokuskan kepada pemanfaatan peluang dan/atau penyediaan sarana yang tepat agar masyarakat miskin bisa meraih peluang untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi; (b) Program memiliki manfaat ekonomi yang terbaca oleh masyarakat miskin, serta mengkombinasikan pendekatan perolehan income dengan pengembangan aset; (c) Transparansi dan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam setiap tahapan proses; (d) Pendampingan oleh motivator yang profesional dan memiliki komitmen memandu perubahan; (e) Penyamaan visi antara pokmas, motivator dan proyek terhadap apa yang ingin dicapai dan bagaimana untuk mencapainya; (f) Insentif finansial yang memadai bagi para motivator; dan (g) Pelatihanpelatihan yang relefan. Sebagaimana dikemukakan pada awal makalah, program Padat Karya adalah elemen penting tetapi bukan satu-satunya strategi penanggulangan kemiskinan dari program bantuan teknis Jerman (GTZ) di Nusa Tenggara. Meskipun program Padat Karya dapat memberikan manfaat berarti dalam menghadapi masalah kerawanan pangan dan pengembangan usaha, kebanyakan keluarga miskin di pedesaan masih rentan (vulnerable) untuk kembali masuk kedalam kategori miskin; oleh sebab itu fokus program diperluas dengan meningkatkan titik berat pada pendayagunaan keunggulan kompetitif daerah untuk menghasilkan nilai tambah langsung bagi keluarga miskin dan pertumbuhan ekonomi lokal, yang pada gilirannya akan meningkatkan kelentingan (ketahanan dan kesinambungan) ekonomi masyarakat miskin. Sehubungan dengan perluasan fokus program tersebut, GTZ PROMIS-NT bersama mitrakerja di Pusat dan daerah telah melakukan beberapa terobosan dan pendekatan semenjak tahun 2003. Strategi dan metodologi yang diterapkan dan pengalaman-pengalaman yang diperoleh menuju penciptaan nilai tambah dan kelentingan ekonomi tersebut telah didokumentasikan dan disebarluaskan oleh GTZ PROMIS-NT baru-baru ini1). Sebagai gambaran ringkas dapat kami kemukakan bahwa ada empat aspek pokok yang disentuh dan diperbaiki dalam pergeseran sasaran dari ”ketahanan pangan-ke-kelentingan ekonomi”; ketiganya saling terkait, yaitu: (1) Perbaikan iklim bisnis setempat; (2) Peningkatan nilai tambah; (3) Perbaikan struktur pasar; dan (4) Penguatan dan/atau peningkatan akses modal. Untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan dalam keempat aspek tersebut, GTZ PROMIS-NT bersama Pemerintah Daerah telah melaksanakan studi-studi yang relefan, memfasilitasi pembentukan forum-forum multi pihak untuk kemitraan pengembangan ekonomi, serta memfasilitasi dialog-dialog kebijakan (rountable discussion) di daerah secara reguler. Sejauh ini rekomendasi-rekomendasi penting dan strategik yang dihasilkan melalui studi atau dialog-dialoh tersebut telah mendapat tanggapan positif dari mitrakerja di daerah dan sebahagian telah diimplementasikan dengan dukungan dana APBD maupun APBN. Meskipun hasil-hasil dan dampak jangka menengah masih akan dievaluasi, Tabel 4 kami pakai sebagai salah satu contoh kongkrit dari hasil jangka pendek dan tantangan yang dihadapi.
1)
Para pembaca yang ingin mendapatkan informasi lebih jauh mengenai hal ini dapat mencarinya pada website: hhtp://www.gtzpromis.or.id, dengan judul dokumen: (1) Menanggulangi Kemiskin melalui Pengembangan Ekonomi Lokal, Beberapa pelajaran dari Nusa Tenggara dan (2) Agroprocessing dan Pemasaran, Pendekatan dan Strategi menanggulangi Kemiskinan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
61
Seminar Nasional 2005 Tabel 4: Pengalaman Fasilitasi Pemasaran Produk Pertanian dalam rangka Penanggulangan Kemiskinan di NTB, 2003. Aspek/Kriteria
Deskripisi
Judul Inisiatif
Peningkatan nilai tambah rumput laut bagi rumahtangga tani produsen dan desa.
Komponen
Dukungan peningkatan kualitas produk melalui konstruksi lantai jemur kolektif yang permanen; Fasilitasi pengembangan organisasi kelompok menjadi koperasi; Fasilitasi akses kepada modal dan/atau dukungan finansial dari Bank dan Dinas Koperasi; Penyediaan informasi pasar
Lokasi
Desa Kwangko, Kabupaten Dompu
Kelompok Sasaran
Keluarga nelayan yang membudidayakan rumput laut, dan usahatani lahan kering musiman.
Periode
2003-sampai sekarang.
Latar Belakang
Kabupaten Dompu memiliki potensi signifikan untuk usaha rumput laut; Perlunya memperbaiki struktur pemasaran dan kualitas produk agar keluarga miskin di kawasan pesisir memperoleh income dan nilai tambah yang layak;
Strategi
Pengkajian potensi dan peluang secara partisipatif (Participatory Assessment of Competitive Advantages); Mengidentifikasi dan memperkenalkan teknologi pasca panen yang mengoptimalkan pemanfaatan tenaga keluarga dan budaya gotong royong (modal sosial) melalui skema padat karya; Peningkatan keahlian teknis, orientasi pasar dan keahlian manajemen para produsen dan keluarganya; Mengembangkan model kelembagaan dan jaringan kemitraan yang efektif;
Hasil yang telah dicapai
Terbentuk satu koperasi produsen rumput laut di desa Kwangko; Pelatihan dasar kewirausahaan (CEFE) yang diberikan PROMIS telah menjadi salah satu dasar pemberian dukungan keuangan oleh Dinas Koperasi Kabupaten Dompu; Kelompok telah memiliki 1 unit lantai jemur kolektif yang permanen; Kualitas produk diakui telah meningkat; Koperasi membeli produk anggota mereka dan langsung menjualnya kepada eksportir di Bali;
Issu dan Tantangan
Skala ekonomi produksi per keluarga belum tercapai karena keterbatasan modal untuk pengadaan bibit secara serentak untuk perluasan skala usaha, meskipun lahan masih ada; Akibatnya, sampai saat ini koperasi atau produsen desa Kwangko belum dapat memenuhi permintaan eksportir yang mencapai 2-3 kali kapasitas produksi kelompok sekarang; Kerjasama dengan produsen dari desa lain untuk memenuhi permintaan tersebut masih sulit karena mereka telah memiliki jalur pemasaran sendiri melalui pedagang pengumpul desa; Secara bertahap kelompok berencana mengatasi kesulitan tersebut, namun untuk percepatannya perlu intervensi dan dukungan dari pihak luar. Tambahan dukungan keuangan dari pemerintah daerah serta hubungan dengan Bank sedang difasilitasi;
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
62
Seminar Nasional 2005
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Untuk penanggulangan kemiskinan, petani di lahan kering marginal, percepatan peningkatan produktifitas dan pendapatan mereka adalah suatu keharusan. Dalam hal ini, keberadaan teknologi yang terjangkau dan adaptif adalah salah satu syarat yang penting. Pengembangan dan penyebarluasan teknologi memerlukan kerjasama multipihak dan wadah interaksi yang dinamis serta berorientasi kepada perbaikan kondisi kehidupan masyarakat dan petani miskin, bukan peningkatan produktifitas sektoral semata. Untuk mencapai perbaikan yang dikehendaki, para aktor perlu lingkungan yang kondusif dan dukungan yang relefan, sejalan dengan perubahan orientasi dari sektoral ke kondisi kehidupan secara menyeluruh. 2. Insentif yang tepat akan berdampak pada perluasan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan nilai tambah produk, yang pada gilirannya dapat mengurangi kemiskinan. Dalam konteks ini pemerintah diharapkan memberikan komitmen dengan memberikan subsidi untuk pembelian alat-alat tepat guna untuk pengolahan produk lokal. Dengan insentif semacam ini pelaku usaha akan terpacu untuk mengolah produk di wilayah setempat. Kegiatan pengolahan ini tidak hanya meningkatkan penyerapan tenaga kerja musiman namun juga akan berdampak pada berkembangnya produk lain dari produk sampingan produk utama tersebut. Pengadaan teknologi tepat guna untuk pengolahan dan peningkatan kualitas yang terjangkau dan tersedianya (informasi) pasar baru yang terpercaya dapat menjadi insentif tersendiri bagi pengolahan produk lokal. 3. Pendekatan Pengembangan Wilayah, baik dari kepentingan pencapiaan skala ekonomi maupun untuk kepentingan peningkatan kualitas interaksi antara masyarakat dengan sumberdaya alam membutuhkan pendekatan yang mampu mendorong sinergi pemanfaatan peluang-peluang yang tersedia secara berkelanjutan. Karena itu, pendekatan klaster, yakni berdasarkan keterkaitan sektor dan kedekatan geografis, serta pendekatan watershed perlu dipromosikan. Untuk menunjang pendekatan-pendekatan tersebut diperlukan rencana tataruang wilayah yang terpadu dari hulu-daratan rendahkawasan pesisir. 4. Insentif-insentif yang dikemukakan di atas memilki arti yang signifikan dalam upaya penurunan kemiskinan di wilayah NTB. Pertimbangannya adalah potensi utama untuk meningkatkan pendapatan keluarga-keluarga miskin di sektor pertanian terletak pada peningkatan produktifitas dalam sektor pertanian itu sendiri dan pada pengolahannya. Untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pengembangan usaha agroprosesing, pengembangan kebijakan pembangunan yang mengacu kepada pengurangan kemiskinan sangat penting. 5. Berkenaan dengan itu, beberapa aspek berikut perlu diperhatikan secara khusus: (a) Menghadapi tantangan pasar regional dan global, diperlukan adanya perubahan peranan pemerintah dan kebijakan sektoral yang konsisten dalam pembangunan pedesaan sebagai fasilitator untuk mengembangkan potensi, daya tahan dan daya saing produsen serta produk-produk lokal; (b) Mengembangkan tanaman yang memiliki nilai kompetitif untuk pengolahan, penggunaan sumber daya manusia dan lahan secara efisien dan lestari; (c) Memperbaiki ketersediaan bibit yang bermutu baik; (d) Dimana kesuburan tanah menjadi kendala dasar, pemerintah daerah diharapkan merancang pola dukungan untuk mengatasi kendala tersebut pada tahap awal pengembangan usahatani; misalnya memberikan kemudah untuk membangun kios pupuk di pedesaan atau memberikan subsidi kepada petani miskin untuk rekapitalisasi kesuburan tanah. Penanggulangan masalah kesuburan tanah akan memperluas kesempatan bagi penduduk miskin untuk peningkatan produktifitas, divesifikasi dan keberlanjutan usahanya; (e) Dimana ada potensi, mengembangkan sistem pertanian kontrak sebagai alat untuk memproduksi jumlah dan kualitas tertentu yang diperlukan guna pengolahan lebih lanjut.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
63
Seminar Nasional 2005 6. Pendekatan dengan menjamin atau menstabilkan harga pasar dalam peningkatan produktifitas ataupun mendorong inovasi dalam pola produksi perlu dilengkapi dengan identifikasi segmen pasar yang belum digarap orang banyak. Adanya pasar baru dengan sendirinya akan mendorong penciptaan produk-produk baru yang berdaya saing. Agar lebih berdaya saing, produk-produk baru juga perlu dikemas secara menarik. 7. Perumusan strategi pengembangan ekonomi lokal secara partisipatif di tingkat kabupaten hendaknya perhatian yang lebih banyak diberikan pada pembangunan dan pengembangan kerjasama dan perencanaan strategis yang melibatkan semua stakeholder. Untuk mengakomodasikan kepentingan para pelaku ekonomi yang bervariasi, perumusan strategi pengembangan ekonomi lokal sebaiknya dilakukan melalui forum antar pelaku yang terdiri dari kelompok-kelompok swadaya masyarakat, swasta dan pemerintah serta pakar ekonomi. Berdasarkan analisa situasi yang partisipatif dengan memobilisasi kontribusi semua stakeholder disepakati strategi pengembangan ekonomi jangka menengah yang dijabarkan dalam Restra dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD), sebagai acuan untuk rencana kerja jangka pendek. DAFTAR PUSTAKA GTZ, and MoHA. 2002. Raising Capacities of the Poor: Experiences of Nusa Tenggara Project. GTZ and Ministry of Home Affairs of the Republic of Indonesia. Jakarta. 18 pp. Kerstan,B.(ed.), A.Dendi, H.J.Heile, Mahman, Rukyatil H., Rifai Saleh H.2004. Menanggulangi Kemiskinan melalui Pengembangan Ekonomi Lokal. Beberapa Pelajaran dari Nusa Tenggara. GTZ and Ministry of Home Affair of the Republic of Indonesia. Jakarta. 44 pp. H.J.Heile, A. Dendi.2004. Agroprocessing dan Marketing. Pendekatan dan Strategi Menanggulangi Kemiskinan. GTZ and Ministry of Home Affairs of the Republic of Indonesia. Jakarta. 20 pp. GTZ, and PROMIS-NT.2005. Laporan Monitoring dan Evaluasi PROMIS-NT. Monitoring Dampak Program Penanggulangan Kemiskinan. 127 pp.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
64
Seminar Nasional 2005 MODEL PENGEMBANGAN LAHAN KERING BERIKLIM KERING MELALUI PROGRAM RINTISAN DAN AKSELERASI PEMASYARAKATAN INOVASI TEKNOLOGI PERTANIAN (PRIMA TANI) DI NTB Mashur, I. M. Wisnu W, Nazam, Johanes GB dan A. Muzani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat Jln.Raya Peninjauan Narmada NTB Telp.(0370) 67112, Fax (0370) 671620 Email: litram@mataram wasantara net.id
ABSTRAK Sebagian besar lahan (1.807.463 ha atau 84% dari luas wilayah) di propinsi NTB berupa lahan kering. Kebijakan pengembangan wilayah lahan kering di Propinsi NTB tahun 2003-2007 ditetapkan dengan mempertimbangkan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan memperhatikan kondisi lingkungan stategis, serta mengakomodasikan partisipasi aktif masyarakat, dunia usaha, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian dan LSM. Kebijakan tersebut secara umum ditujukan untuk mengembangkan pembangunan agribisnis di wilayah lahan kering yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Pemanfaatan dan pengembangan pertanian lahan kering dari tahun ke tahun memberikan hasil yang belum memuaskan karena adanya berbagai permasalahan atau kendala, baik permasalahan biofisik lahan, ekonomi maupun sosial budaya dan kelembagaan. Salah satu bentuk partisipasi Badan Litbang Pertanian dalam pembangunan daerah adalah melaui Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian atau disingkat ”Prima Tani”. Program ini merupakan implementasi dari paradigma baru Badan Litbang Pertanian yaitu Penelitian untuk Pengembangan. Melaui program ini diharapkan diseminasi teknologi baru yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dengan segera dapat diterapkan oleh para pengguna (petani dan dunia usaha). Pelaksanaan Prima Tani di NTB dimulai tahun 2004 hingga 2009 pada agroekosistem lahan kering dataran rendah beriklim kering dengan dua rancangan model yaitu model renovasi di desa Songgajah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu dan model introduksi di desa Juru Mapin Kecamatan Buer Kabuapten Sumbawa. Tujuan Prima Tani adalah untuk mempercepat pengembangan dan pembangunan di lahan kering dalam rangka revitalisasi pertanian dan pedesaan menggunakan pendekatan wilayah secara partisipatif dengan lembaga pelayan secara terpadu dalam pengembangan agribisnis yang menggunakan pendekatan Unit Agribisnis Industrial (UAI) dan Sistem Usahatani Intensifikasi Diversifasi (SUID) skala rumah tangga. Kata kunci: lahan kering, agribisnis, laboratorium lapang, teknologi, diseminasi
PENDAHULUAN Sebagian besar lahan di propinsi NTB berupa lahan kering 1.807.463 ha atau 84% dari luas wilayah NTB (Suwardji, 2004). Pengertian lahan kering yang digunakan mengacu pada difinisi dari Soil Survey Staffs (1998), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Topografi wilayah lahan kering di Propinsi NTB cukup beragam, mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit dan bergunung dengan kemiringan antara 0% sampai lebih dari 40%. Luas lahan kering dengan kemiringan 0-2% mencapai 16,57%; kemiringan 3-15% seluas 26,55%; kemiringan 16-40% seluas 35,06%; dan kemiringan lebih dari 40% seluas 21,83%. Jadi sebagian besar lahan kering di propinsi NTB memiliki kemiringan di atas 15% (Renstra Lahan Kering, 2003). Jenis tanah yang terdapat di lahan kering didominasi oleh tiga ordo yaitu entisol, iseptisol dan vertisol. Suwardji (2003) mengemukakan bahwa di lahan kering propinsi NTB ditemukan 17 jenis sub ordo tanah. Kesuburan tanah sangat rendah yang dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik (Ma‟shum, 1990), agregat tanah yang kurang mantap (Tarudi, et al., 1989), peka terhadap erosi, dan kandungan hara utama (N, P, K) yang relatif rendah (Ma‟shum, et al., 2003). Sebagian besar kondisi lahan kering di NTB dicirikan dengan iklim semi-arid-tropik yang dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung dari bulan Desember–Maret atau 4 bulan sedang musim kemarau berlangsung dari bulan April– Nopember atau 8 bulan. Menurut klasifikasi iklim Oldeman, et al., 1980 daerah-daerah yang
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
65
Seminar Nasional 2005 memiliki bulan basah kurang dari 3 bulan dan antara 3-4 bulan dengan bulan kering 4–6 bulan dan di atas 6 bulan digolongkan ke dalam iklim D3, D4, E3 dan E4 atau daerah dengan tipe iklim kering. Dari luas lahan kering tersebut di atas yang riil dapat dikembangkan dengan mempertimbangkan status lahan adalah sekitar 626.034,60 hektar atau sekitar 31% luas wilayah NTB. Sebagian besar penggunaan lahan kering di Propinsi NTB untuk hutan negara (931.737 ha) atau 51,5%; hutan rakyat (241.253 ha) atau 13,3%; tegalan (173.774 ha) atau 9,6%; ladang (49 330 ha) atau 2,70%; padang rumput (38.132 ha) atau 2,1%; kebun (36.663 ha) atau 2,00%; pekarangan (32.667 ha) atau 1,8%; dan penggunaan lainnya seluas (303.898 ha) atau 16,9% (Suwardji, 2004). Lahan kering yang banyak digunakan untuk kegiatan budidaya pertanian di wilayah lahan kering Propinsi NTB meliputi: sawah tadah hujan, tegalan, ladang, perkebunan dan kebun campuran (Renstra Lahan Kering, 2003). Suwardji, (2004) menyatakan bahwa pemanfaatan dan pengembangan pertanian lahan kering dari tahun ke tahun memberikan hasil yang belum memuaskan karena adanya berbagai permasalahan/kendala, baik permasalahan biofisik lahan, ekonomi maupun sosial budaya dan kelembagaan. Beberapa permasalahan tersebut diantaranya adalah: (a) ketersediaan sumberdaya air yang terbatas, (b) topografi yang tidak datar, (c) lapisan olah tanah yang dangkal dan kurang subur, (d) infra struktur ekonomi yang sangat terbatas, (e) penerapan teknologi pertanian yang belum memadai, (f) kondisi kelembagaan pertanian yang masih rendah, dan (g) partisipasi pengusaha swasta yang masih rendah. Akibatnya, pengembangan ekonomi dan kesejahteraan hidup masyarakat di wilayah lahan kering masih sangat terbatas, untuk itu diperlukan suatu kebijakan pembangunan lahan kering di Propinsi NTB. Kebijakan pembangunan lahan kering di propinsi NTB seperti dituangkan dalam Renstra Pengembangan Wilayah Lahan Kering Propinsi Nusa Tenggara Barat 2003-2007 ditetapkan dengan mempertimbangkan kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dengan memperhatikan kondisi lingkungan stategis, serta mengakomodasikan partisipasi aktif masyarakat, dunia usaha, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian dan LSM. Kebijakan tersebut secara umum ditujukan untuk mengembangkan pembangunan agribisnis di wilayah lahan kering yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat (Renstra Lahan Kering, 2004). Kebijakan yang ditempuh adalah: (1) mengembangkan pembangunan wilayah lahan kering yang berbasis pada keunggulan komparatif sumberdaya lokal yang bersinergi dengan pengembangan wilayah lahan sawah, (2) mengembangkan pembangunan agribisnis lahan kering yang mampu memelihara kelestarian sumberdaya tanah, hutan, dan air dengan menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan, (3) mengembangkan sarana prasarana wilayah lahan kering, turutama sistem jaringan irigasi, industri dan perdagangan dengan mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya yang telah ada, (4) mengembangkan sistem permodalan dengan bunga rendah dan mudah diakses oleh pelaku agribisnis lahan kering, (5) meningkatkan dayasaing pembangunan agribisnis lahan kering, terutama melalui rekayasa IPTEK dan pengembangan teknologi tepat guna lokalitas daerah, (6) meningkatkan kemampuan pelaku agribisnis lahan kering dalam mendayagunakan sumberdaya alam dan sarana prasarana yang ada melalui kegiatan kaji tindak sistem agribisnis lahan kering, (7) mengembangkan pembangunan agribisnis lahan kering yang partisipatif melalui pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan, (8) mengembangkan skala usaha pelaku agribisnis lahan kering melalui penciptaan kemitraan usaha yang saling membutuhkan dan menguntungkan dengan pelaku ekonomi lainnya, (9) mengembangkan hubungan kerjasama kelembagaan pembangunan agribisnis lahan kering lintas daerah dan lintas sektor, serta kerjasama luar negeri secara terpadu (Renstra Lahan Kering, 2004).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
66
Seminar Nasional 2005 Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu inovasi yang bersifat operasional yang dapat mengintegrasikan seluruh kebijakan tersebut di atas. Salah satu bentuk partisipasi Badan Litbang Pertanian dalam pembangunan daerah adalah melalui Program Rintisan dan Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian atau disingkat Prima Tani. Prima Tani sangat potensial sebagai daya pengungkit pembangunan perekonomian di wilayah pedesaan. Oleh karena itu, dalam jangka panjang Prima Tani dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif program nasional pembangunan pertanian di daerah. PRIMATANI SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF MODEL PENGEMBANGAN LAHAN KERING Misi utama Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian) adalah menemukan atau menciptakan inovasi pertanian (teknologi, kelembagaan dan kebijakan) maju dan strategis, mengadaptasikannya menjadi tepat guna spesifik pemakai dan lokasi, serta menginformasikan dan menyediakan materi dasarnya. Badan Litbang Pertanian baru dapat dikatakan berhasil dalam mengemban misi institusionalnya bilamana inovasi yang dihasilkannya dapat dimanfaatkan tepat guna secara luas dan berdampak besar dalam mewujudkan tujuan pembangunan pertanian nasional (Badan Litbang Pertanian, 2004c). Untuk dapat lebih berpartisipasi dalam pembangunan, Badan Litbang Pertanian menerapkan paradigma baru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, yaitu ”Penelitian untuk Pembangunan” (Research for Development). Dengan paradigma baru ini, orientasi kerja Badan Litbang Pertanian adalah menghasilkan teknologi inovatif untuk diterapkan sebagai mesin penggerak pembangunan pertanian. Untuk itu, kegiatan penelitian dan pengembangan haruslah berorientasi pada pengguna (user oriented) sehingga teknologi inovatif yang dihasilkan lebih terjamin benar-benar tepat-guna spesifik lokasi dan pemakai. Penelitian dan pengembangan haruslah dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan perwakilan calon pengguna outputnya (Badan Litbang Pertanian, 2004c). Sebagai salah satu bentuk partisipasi Badan Litbang Pertanian pada umumnya dan BPTP NTB pada khususnya maka patut dipertimbangkan suatu inovasi yang merupakan implementasi dari paradigma baru (Penelitian untuk Pembangunan) Badan Litbang Pertanian yaitu Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian atau disingkat Prima Tani dalam mempercepat pembangunan daerah, khususnya lahan kering. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.798/Kpts/T.210/12/94 tentang pembentukan dan penetapan organisasi dan tata kerja Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), dimungkinkan bagi Badan Litbang Pertanian untuk mempercepat alih teknologi pertanian, mendukung pembangunan pertanian daerah dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya pertanian di suatu wilayah. Dalam konteks inilah, Prima Tani masih dalam koridor tupoksi Badan Litbang Pertanian (Badan Litbang Pertanian, 2004a). Dalam kebijakan pembangunan lahan kering di NTB diimplementasikan melalui lima pendekatan yang digunakan Primatani, yaitu: (i) agro-ekosistem, (ii) agribisnis, (iii) wilayah, (iv)kelembagaan dan (v) kesejahteraan. Penggunaan pendekatan agroekosistem berarti Prima Tani diimplementasikan dengan memperhatikan kesesuaian dengan kondisi bio-fisik lokasi yang meliputi aspek sumber daya lahan, air, wilayah komoditas dan komoditas dominan. Pendekatan agribisnis berarti dalam implementasi Prima Tani diperhatikan struktur dan keterkaitan sub-sistem penyediaan input, usahatani, pasca panen dan pengolahan, pemasaran dan penunjang dalam satu sistem. Pendekatan wilayah berarti optimasi penggunaan lahan untuk pertanian dalam satu kawasan (desa atau kecamatan). Pendekatan kelembagaan berarti pelaksanaan Prima Tani tidak hanya memperhatikan keberadaan dan fungsi suatu organinasi ekonomi atau individu yang berkaitan dengan input dan output, tetapi juga mencakup modal sosial, norma dan aturan yang berlaku di lokasi Prima Tani. Sedangkan pendekatan kesejahteraan menekankan bahwa pelaksanaan Prima Tani berorientasi pada upaya
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
67
Seminar Nasional 2005 peningkatan kesejahteraan masyarakat di lokasi Prima Tani. Resultan dari kelima pendekatan di atas adalah terciptanya suatu Unit Agribisnis Industrial (UAI) dan Sistem Usahatani Intensifikasi dan Diversifikasi (Badan Litbang Pertanian, 2004a). Dalam rangka mempercepat adopsi teknologi untuk mendukung pembangunan pertanian maka dalam paradigma Penelitian untuk Pembangunan, kegiatan diseminasi diposisikan sama penting dengan kegiatan penelitian dan pengembangan, diseminasi diperluas dengan melaksanakan pengembangan percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis teknologi inovatif dan penyediaan teknologi dasar secara terdesentralisasi sebagai inisiatif untuk merintis pemasyarakatan teknologi. Sasaran kegiatan diseminasi juga disesuaikan, dari tersebarnya informasi kepada masyarakat pengguna teknologi menjadi tersedianya contoh konkrit penerapan teknologi di lapangan (Badan Litbang Pertanian, 2004c). Prima Tani merupakan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian untuk memperkenalkan dan memasyarakatkan inovasi hasil Litbang kepada masyarakat dalam bentuk laboratorium agribisnis di lokasi yang mudah dilihat dan dikenal masyarakat petani. Kiranya dapat dicatat bahwa Prima Tani dapat dipahami sebagai rancangan umum model pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis pengetahuan dan teknologi inovatif. Dalam hal ini, nama Prima Tani dapat saja diubah menjadi nama lain yang lebih tepat dan pelaksana utamanya tidak lagi Badan Litbang Pertanian (Badan Litbang Pertanian, 2004c). Tujuan utama Prima Tani adalah untuk mempercepat waktu, meningkatkan kadar, dan memperluas prevalensi adopsi teknologi inovatif yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian serta untuk memperoleh umpan balik mengenai karakteristik teknologi tepat-guna spesifik pengguna dan lokasi, yang merupakan informasi esensial dalam rangka mewujudkan penelitian dan pengembangan berorientasi kebutuhan pengguna. Dengan perkataan lain, Prima Tani dirancang berfungsi ganda, sebagai modus diseminasi dan sekaligus sebagai laboratorium lapang penelitian dan pengembangan Badan Litbang Pertanian dengan dua tujuan utama yaitu Prima Tani sebagai modus diseminasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan serta Prima Tani sebagai laboratorium lapang penelitian dan pengembangan pertanian. Prima Tani sebagai modus diseminasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan: (i) merancang serta memfasilitasi penumbuhan dan pembinaan percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis pengetahuan dan teknologi inovatif; (ii) membangun pengadaan sistem teknologi dasar (antara lain benih dasar, prototipe alat/mesin pertanian, usaha pasca panen skala komersial) secara luas dan desentralistik; (iii) menyediakan informasi, konsultasi dan sekolah lapang untuk pemecahan masalah melalui penerapan inovasi pertanian bagi para praktisi agribisnis; (iv) memfasilitasi dan meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemerintah setempat untuk melanjutkan pengembangan dan pembinaan percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis pengetahuan dan teknologi mutakhir secara mandiri. Prima Tani sebagai laboratorium lapang penelitian dan pengembangan pertanian: (i) melaksanakan kaji terap untuk mengevaluasi dan menyempurnakan kinerja komersial teknologi sumber yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian; (ii) melaksanakan penelitian untuk pengembangan teknologi tepat guna secara partisipatif, bersama-sama dengan para sasaran pengguna langsung teknologi tersebut; (iii) mengungkap preferensi dan perilaku konsumen teknologi sebagai dasar dalam merancang arsitektur teknologi tepat guna untuk dijadikan sebagai sasaran penelitian dan pengembangan (Badan Litbang Pertanian, 2004c). Untuk mencapai tujuannya Prima Tani dilaksanakan dengan empat strategi: (a) menerapkan teknologi inovatif tepat-guna melalui penelitian dan pengembangan partisipatif (Participatory Research and Development) berdasarkan paradigma Penelitian untuk Pembangunan; (b) membangun model percontohan sistem dan usaha agribisnis progresif berbasis teknologi inovatif dengan mengintegrasikan sistem inovasi dan sistem agribisnis;
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
68
Seminar Nasional 2005 (c) mendorong proses difusi dan replikasi model percontohan teknologi inovatif melalui ekspose dan demonstrasi lapang, diseminasi informasi, advokasi serta fasilitasi; (d) basis pengembangan dilaksanakan berdasarkan wilayah agroekosistem dan kondisi sosial ekonomi setempat (Badan Litbang Pertanian, 2004c). Prinsip yang digunakan dalam Prima Tani adalah Build, Operate and Transfer (BOT) yang mengandung arti bahwa model inovasi yang diperkenalkan dan dimasyarakatkan merupakan sesuatu yang baru, namun sifatnya masih introduksi awal untuk selanjutnya diteruskan kepada institusi teknis yang melaksanakan program pengembangan dalam skala luas (Badan Litbang Pertanian, 2004a). Prima Tani pada intinya adalah membangun model percontohan sistem dan usaha agribisnis progresif berbasis teknologi inovatif yang memadukan sistem inovasi dan sistem agribisnis. Dalam model ini, Badan Litbang Pertanian tidak lagi hanya berfungsi sebagai produsen teknologi sumber/dasar, tetapi juga terlibat aktif dalam memfasilitasi penggandaan, penyaluran dan penerapan teknologi inovatif yang dihasilkannya. Prima Tani pada dasarnya adalah model terpadu Penelitian–Penyuluhan–Agribsinis–Pelayanan Pendukung (Research– Extention–Agribusiness–Supporting Service Linkages). Ada dua rancang bangun atau disain model inovasi yaitu: (1) model introduksi dan (2) model renovasi. Model introduksi adalah rancangan agribisnis yang dibangun untuk pengembangan inovasi teknologi berikut subsistem pendukungnya yang baru. Dengan demikian, model introduksi ini dibangun dengan pendekatan cetak biru (blue print) murni dan inovasi teknologi yang hendak dikembangkan dengan struktur sistem dan usaha agribisnis yang berbeda dengan kondisi di lapang. Model ini mengakomodasi inovasi teknologi baru yang membutuhkan rancangan model sistem dan usaha agribisnis yang baru pula. Model renovasi merupakan penyempurnaan dari model sistem dan usaha agribisnis yang ada, sehingga mencerminkan suatu revitalisasi inovasi. Prinsip dasarnya adalah: (1) reinventing system dan usaha agribisnis yang ada melalui reformasi sistem, usaha, pelayanan publik dan kelembagaan; (2) renovasi dan revitalisasi teknologi dan kelembagaan. Dengan demikian, rancangan model inovasi yang dibangun berpijak pada kondisi sistem dan usaha agribisnis yang ada. Diharapkan dengan dua prinsip dasar tersebut, maka model inovasi yang dikembangkan mampu diadopsi oleh masyarakat. Termasuk dalam model renovasi ini ialah mendukung berbagai model pengembangan agribisnis berbasis komoditas yang telah dikembangkan oleh direktorat jenderal lingkup Departemen Pertanian seperti kawasan pengembangan agribisnis tanaman pangan (PROKSI MANTAP), perkebunan (KIMBUN), hortikultura (KASS), peternakan (KINAK). Prima Tani dapat pula dikembangkan sebagai salah satu komponen dalam kawasan agropolitan. Kiranya dapat dicatat bahwa Prima Tani dapat dipahami sebagai rancangan umum model pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis pengetahuan dan teknologi inovatif. Dalam hal ini, nama Prima Tani dapat saja diubah menjadi nama lain yang lebih tepat dan pelaksana utamanya tidak lagi Badan Litbang Pertanian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
69
Seminar Nasional 2005
MODEL RENOVASI PRIMA TANI DI DESA SONG GAJAH KECAMATAN KEMPO KABUPATEN DOMPU. Rancangbangun inovasi teknologi dan kelembagaan dari empat komoditas yang akan dikembangkan yaitu jambu mete, jagung, sapi dan ayam buras seperti rancangan berikut ini:
JAMBU METE
PASCA PANEN DAN PENGOLAHAN HASIL
Ayam Buras LEMBAGA PEMASARAN
SAPI
PENGAWETAN PAKAN DAN HMT
Pembibitan Ayam buras
KOMPOS
LEMBAGA PENYULUHAN
LEMBAGA KLINIK AGRIBISNIS
LEMBAGAAL SINTAN LEMBAGA PRODUKSI (KELOMPOK TANI DAN WANITA TANI
JAGUNG/ KAPAS
LEMBAGA FINANSIAL Perbenihan jagung
LEMBAGA SAPRODI
Gambar 1. Rancang Bangun Laboratorium Agribisnis Model Renovasi di Desa Song Gajah, Kabupaten Dompu, NTB, 2005-2009.
Keempat komoditas tersebut akan ditingkatkan produktivitasnya melalui teknologi produksi, pasca panen, dan pengolahan hasil yang didukung oleh delapan kelembagaan yaitu: (1) Kelembagaan produksi (kelompoktani); (2) Kelembagaan penyuluhan; (3) Kelembagaan saprodi; (4) Kelembagaan pengolahan hasil; (5) Kelembagaan alsintan; (6) Kelembagaan keuangan; (7) Kelembagaan pemasaran; (8) Kelembagaan klinik agribisnis. Ke delapan kelembagaan tersebut akan dirancang dalam suatu model Agribisnis Industrial Pedesaan (AIP); merupakan suatu model kelembagaan usaha pertanian sekaligus model inovasi kelembagaan yang akan dikembangkan melalui kegiatan Prima Tani. Dengan menerapkan berbagai inovasi yang didukung oleh berbagai kelembagaan, diharapkan dalam waktu 5 tahun desa Song Gajah menjadi percontohan agribisnis mente, jagung, sapi dan ayam buras yang dapat meningkatkan pendapatan 150%. Untuk mencapai peningkatan pendapatan masyarakat sebesar 150% pada tahun ke lima (2009), telah dirancang tahapan kegiatan yang terpadu antara aspek inovasi teknologi dengan kelembagaan seperti yang digambarkan pada Road Map berikut ini.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
70
Seminar Nasional 2005
Gambar 2. Road Map Primatani 2005-2009 di Desa Song Gajah Kecamatan Kempo Kabupaten Dompu, NTB, 2005-2009.
Keterangan: I.
Teknologi produksi
B. Jambu mete (JM) 1. Pemberian pupuk an organik, kompos dan pupuk hijau 2. Pemangkasan Selektif, Pemangkasan Produksi 3. Pemasaran Hasil Olahan Buah Semu C. Jagung (J) 1. Produksi Benih. 2. Perbaikan Teknologi Produksi a. Benih/Varietas b. Pemupukan c. Pengendalian Gulma d. Tumpangsari D. Sapi (S) 1. Penyimpanan dan Pengolahan Limbah Pertanian 2. Penanaman HM T 3. Pemberian Pakan 4. Penggunaan Pejantan Sapi Unggul 5. Kalender Kawin 6. Penyapihan 7. Kesehatan Anak 8. Pengolahan Kotoran Sapi menjadi Kompos 9. Kandang Kolektif 10. Pemasaran
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
71
Seminar Nasional 2005
E. Ayam Buras 1. Vaksinasi ND terjadwal 4 : 4 : 4 2. Seleksi Induk dan Pejantan 3. Pemisahan Induk dan Anak 4. Kandang Pembesaran 5. Pemanfaatan Limbah Rumah Tangga dan Pertanian 6. Prototipe Mesin Tetas Sederhana 7. Pemasaran II. Telnologi Kelembagaan A. Lembaga Produksi (Kelompok Tani) (K) 1. Pembenahan kelompok (organisasi, administrasi, kepengurusan kelompok) 2. Melestarikan budaya gotong royong 3. Pelatihan 4. Magang 5. Membangun jaringan dengan sumber informasi teknologi, pasar, input. B. Lembaga Penyuluhan (P) 1. Melibatkan penyuluh secara aktif dalam program primatani 2. Memasukkan program primatani dalam programa penyuluhan BPP. 3. Peningkatan akses informasi dan teknolgi melalui Klinik Agribisnis 4. Dukungan layanan dan jasa informasi 5. Pelatihan penyuluh di BPP oleh peneliti dan penyuluh BPTP C. Lembaga Finansial/Permodalan (FP) 1. Pembinaan lembaga keuangan non formal 2. Membentuk sumber modal swadaya melalui jasa Alsin, BPLM, KUM/KUAT D. Lembaga Klinik Agribisnis (KA) 1. Penyediaan jasa konsultasi dan pelayanan informasi teknologi 2. Membangun jaringan informasi 3. Mengikutsertakan stake holder terkait E. Kelembagaan Alsintan (KAL) a. Penumbuhan dan pembentukan lembaga jasa alsintan b. Membangun sistem jasa alsintan c. Membangun jaringan dengan lembaga dengan elemen kelembagaan lain F. Lembaga Pengolahan Hasil (PH) g) Pembentukan kelompok tani/wanita tani pengolahan hasil pertanian skala kecil h) Pemberdayaan kelompok tani pengolahan hasil buah semu jambu mete dan hasil pertanian lainnya i) Membangun sistem informasi pemasaran olahan hasil pertanian. G. Lembaga Pemasaran (Pas) 1. Membentuk lembaga pemasaran hasil pertanian 2. Penguatan lembaga pemasaran yang sudah ada 3. Membangun jaringan sistem informasi pasar hasil pertanian H. Lembaga Saprodi (KS) 1. Pembentukan lembaga sarana produksi 2. Membangun jaringan dengan lembaga produksi, lembaga keuangan dan lembaga sarana produksi lain dalam penyediaan sarana produksi secara kontinue. 3. Menumbuhkan kelompok sebagai usaha penjualan saprodi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
72
Seminar Nasional 2005 MODEL INTRODUKSI PRIMA TANI DI DESA JURUMAPIN KECAMATAN BUER KABUPATEN SUMBAWA. Rancangbangun inovasi teknologi dan kelembagaan laboratorium agribisnis introduksi di desa Jurumapin meliputi lima komoditas yaitu komoditi jagung, kacang hijau, jambu meter, ternak kambing dan ayam buras. Revitalisasi inovasi teknologi dan kelembagaan dikemas dalam rancangan bangun model laboratorium agribisnis seperti pada gambar berikut ini.
Gambar 1. Rancang Bangun Laboratorium Agribisnis Model Introduksi di Desa Jurumapin, Kabupaten Sumbawa, NTB, 2005-2009.
Ke lima komoditas utama telah dinilai kesesuaiannya dari aspek biofisik, sosial ekonomi dan budaya. Peningkatan produktivitas dan nilai tambah dari ke lima komoditas tersebut dapat dicapai melalui penerapan teknologi produksi, pasca panen, dan pengolahan hasil yang didukung oleh delapan kelembagaan yaitu: (1) Kelembagaan produksi (kelompok petani); (2) Kelembagaan penyuluhan; (3) Kelembagaan saprodi; (4) Kelembagaan pengolahan hasil; (5) Kelembagaan alsintan; (6) Kelembagaan keuangan; (7) Kelembagaan pemasaran; (8) Kelembagaan klinik agribisnis. Dengan menerapkan berbagai inovasi pada komoditas utama yang didukung oleh berbagai kelembagaan, maka diharapkan dalam waktu 5 tahun desa Jurumapin menjadi desa percontohan agribisnis jambu mente, jagung, kacang hijau, kambing dan ayam buras yang dapat meningkatkan pendapat 175%. Untuk dapat mencapai peningkatan pendapatan masyarakat sebesar 175% pada tahun kelima (2009), maka telah dirancang tahapan kegiatan yang terpadu antara aspek inovasi teknologi dengan kelembagaan seperti yang digambarkan pada Road Map berikut ini.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
73
Seminar Nasional 2005
Gambar 2. Road Map Primatani 2005-2009 di Desa Jurumapin Kecamatan Buer kabupaten Sumbawa, NTB, 2005-2009.
Keterangan: I.
Teknologi Produksi
A. Kambing (K) 1. Penanaman dan Pengawetan HMT 2. Penyimpanan dan Pemanfaatan Limbah 3. Flushing Bunting Tua 4. Kandang Berpanggung 5. Sanitasi 6. Pengolahan Kotoran menjadi kompos 7. Pejantan Unggul (PE) 8. Manejemen Reproduksi (Induk Bunting Tua Dikandangkan, Penyapihan Anak, Kawin kembali setelah melahirkan) 9. Pengolahan hasil B. Ayam Buras (AB) 1. Vaksinasi ND terjadwal 4 : 4 : 4 2. Seleksi Induk dan Pejantan 3. Prototipe Mesin Tetas Sederhana 4. Pemisahan Induk dan Anak 5. Pemanfaatan Limbah Rumah Tangga dan Pertanian C. Kacang Hijau (KH) 1. Cara Tanam Tugal 2. Pemupukan 3. Pengendalian Gulma
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
74
Seminar Nasional 2005 D. Jagung (J) 1. Benih/Varietas 2. Jarak Tanam 3. Pemupukan 4. Pengendalian Gulma 5. Pergiliranan Tanaman E. Jambu mente (JM) 1. Ekstensifikasi Konservasi 2. Pembibitan kebun komposit 3. Ekstensifikasi Konservasi II. Teknologi kelembagaan A. Kelompoktani (K) 1. Pembenahan kelompok (organisasi, administrasi, kepengurusan kelompok) 2. Melestarikan budaya gotong royong. 3. Pelatihan. 4. Magang 5. Membangun jaringan dengan sumber informasi teknologi, pasar, input. B. Penyuluhan (P) 1. Melibatkan penyuluh secara aktif dalam program primatani 2. Memasukkan program primatani dalam programa penyuluhan BPP. 3. Peningkatan akses informasi dan teknolgi melalui Klinik Agribisnis 4. Dukungan layanan dan jasa informasi 5. Pelatihan penyuluh di BPP oleh peneliti dan penyuluh BPTP C. Finansial dan Permodalan (FP) 1. Pembinaan lembaga keuangan non formal 2. Membentuk sumber modal swadaya melalui jasa Alsin, BPLM, KUM/KUAT D. Klinik Agribisnis (KA) 1. Penyediaan jasa konsultasi dan pelayanan informasi teknologi 2. Membangun jaringan informasi 3. Mengikutsertakan stake holder terkait PENUTUP Selama ini kita ketahui bahwa program/proyek atau kegiatan yang dilaksanakan di pedesaan masih bersiat parsial dan berjalan sendiri. Melalui “Prima Tani” program pembangunan pertanian di pedesaan dirancang sedemikian rupa sesuai kondisi biofisik, sosial ekonomi dan budaya setempat untuk dilaksanakan secara bersama/terintegrasi oleh semua pihak terkait. Rancangan ini mencakup teknologi produksi, pasca panen, pengolahan hasil yang didukung oleh kelembagaan yang akan mendukung pencapaian target perbaikan produksi dan pendapatan hasil secara bertahap, sistematis dan berkesinambungan. Target peningkatan pendapatan petani di desa Song Gajah sebesar 150% dan Jurumapin 175% akan dapat tercapai apabila semua aspek yaitu inovasi teknologi, kelembagaan dan dukungan pemerintah daerah berjalan baik. Dalam hal “Prima Tani”, Badan Litbang bertindak sebagai inisiator, perancang dan salah satu pemasok teknologi. Apabila model ini sesuai dan berjalan baik akan diserahkan kepada masyarakat dengan fasilitasi pembinaan oleh Pemda (Dinas/Instansi terkait) Kabupaten/kota dengan harapan dilanjutkan serta dikembangkan ke wilayah lain dengan agroekosistem yang sama oleh pemerintah daerah setempat.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
75
Seminar Nasional 2005 DAFTAR PUSTAKA Ma‟shum, M., 1990. Studi Tahanan Bahan Organik Tanah di P. Lombok. Laporan Hasil Penelitian Fakultas Pertanian. UNRAM. Ma‟shum, M., E.S., Lolita, Sukartono, dan I. N,. Soemeinaboedhy, 2000. Teknik Pemanenan Aliran Permukaan di Lahan Kering Pringgabaya Lombok Timur. Jurnal Agroteksos. Vol 11-3, 2000. Oldeman, L.R., I. Las, dan Muladi, 1990. The Agroclimatic Map of Kalimantan, Irian Jaya, and Bali, West and East Nusa Tenggara. CRIA. Bogor. Indonesia. Badan Litbang Pertanian, 2004. Pedoman Umum Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jalan Ragunan 29, Pasarminggu, Jakarta. Badan Litbang Pertanian, 2004. Panduan Penyusunan Petunjuk Teknis Rancang Bangun Laboratorium Agribisnis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 2004. Badan Litbang Pertanian, 2004c. Rancangan Dasar Prima Tani (Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian). Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jalan Ragunan 29, Pasarminggu, Jakarta. 2004. Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy, 8th edition 1998. Nasional Resources Conservation Service, USDA. Suwardji, A. Rakman, S.T. Wulan, B. Munir., 2003. Rencana Strategis Pengembangan Wilayah Lahan Kering Propinsi Nusa Tenggara Barat. Tahun 2003 – 2007. Suwardji, 2004. Pertanian Lahan Kering NTB. Potensi, Kebijakan dan Prospek. Disampaikan Pada Acara Temu Informasi Teknologi Pertanian tanggal 31 Mei 2004, di KP. Sandubaya – Lombok Timur. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
76
Seminar Nasional 2005 UJI MULTILOKASI GALUR HARAPAN (GH) PADI GOGO A.A.N.B. Kamandalu Balai Pengkahian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Penurunan produksi pangan khususnya beras saat ini antara lain disebabkan oleh terjadinya alih fungsi lahan dari bidang pertanian ke non-pertanian. Untuk Propinsi Bali, alih fungsi lahan itu antara lain untuk bidang pariwisata, perumahan, transportasi, dan lain sebagainya, sehingga peralihan ini mengakibatkan semakin berkurangnya areal pertanian/sawah irigasi. Di lain pihak, lahan kering/sawah tadah hujan belum mendapatkan perhatian yang optimal, disamping juga terbatasnya varietas padi yang cocok untuk lahan-lahan tersebut. Padi gogo merupakan salah satu komoditas unggulan di lahan kering di Bali. Potensi pengembangan lebih dari 10.000 ha dan baru diusahakan rata-rata setiap tahunnya sekitar 1.063 ha dengan hasil yang masih sangat rendah berkisar antara 1,6 – 2,0 ton/ha. Hal ini disebabkan petani yang belum memahami teknik budidaya padi gogo yang baik, disamping juga keterbatasan pilihan varietas padi gogo unggul. Uji multilokasi galur harapan (GH) padi gogo telah dilaksanakan di Desa Buungan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli pada MK II – MH I (Agustus 2004 – Januari 2005). Tujuan kegiatan ini adalah untuk mendapatkan GH padi gogo yang cocok dikembangkan di Propinsi Bali. Semua bahan uji berasal dari Balai Penelitian Tanaman Padi, menggunakan Rancangan Acak Kelompok, 14 perlakuan dengan 3 ulangan, dengan luasan tiap petak 21 m2. Hasil uji diperoleh beberapa GH padi gogo yang mendapatkan perhatian/respon petani setempat, yaitu BP1350D-1-1-PK-3-2 dan S4962H-13-6-63. Kedua GH padi gogo ini mempunyai umur yang lebih genjah dibandingkan dengan padi gogo lokal, penampilan agronomis yang menarik, dan produksi yang cukup tinggi. Kata kunci : GH/varietas padi gogo, uji multilokasi.
PENDAHULUAN Keberhasilan program swasembada beras di Indonesia yang dicapai pada tahun 1984 mulai terancam sejak tahun 1991, dengan terjadinya penurunan produksi padi yang cukup tajam untuk pertama kali setelah sebelumnya mengalami kenaikan secara terus menerus. Sejak tahun 1991 hingga tahun 1993 tingkat produksi padi terus berfluktuasi dan pada tahuntahun selanjutnya terus cenderung menurun dari tahun ke tahun hingga sekarang (Solahudin, 1998). Penurunan produksi pangan ini antara lain disebabkan oleh terjadinya pengalihan fungsi lahan dari bidang pertanian ke bidang non-pertanian terutama di Pulau Jawa, adanya musim kemarau yang panjang sebagai dampak dari fenomena alam El Nino, dan kondisi ini diperburuk dengan terjadinya krisis moneter yang berdampak terhadap melemahnya daya beli petani terhadap sarana produksi yang harganya melambung tinggi terutama pupuk, obatobatan, dan pestisida. Di lain pihak, pertumbuhan penduduk yang masih tinggi dan perubahan pola konsumsi di sebagian masyarakat dari non beras ke beras. Salah satu upaya peningkatan produksi padi dapat dilakukan dengan memperluas areal tanam pada lahan kering di luar Pulau Jawa, dengan memanfaatkan lahan tidur dan lahan kering. Menurut Sudjadi (1984) lahan yang tersedia untuk perluasan areal pertanaman padi umumnya merupakan lahan marginal. Lahan tersebut didominasi oleh tanah podsolik merah kuning dengan luas total 48,3 juta ha (30% dari luas daratan). Sumatera memiliki areal terbesar yaitu 20,6 juta ha; disusul Irian Jaya 19,6 juta ha; Kalimantan 16,1 juta ha; Maluku 3,2 juta ha; dan Sulawesi 2,0 juta ha. Data penggunaan lahan di Propinsi Bali tahun 2000 (Anonimus, 2001) menunjukkan bahwa potensi lahan kering atau tadah hujan untuk pengembangan penanaman padi gogo cukup luas yaitu mencapai ± 10.000 ha. Rata-rata penanaman padi gogo dalam satu tahun sekitar 1.063 ha, terdapat di beberapa kabupaten, antara lain Buleleng, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem, Klungkung, dan Bangli. Kabupaten Bangli dengan luas lahan kering ± 4.931 ha, merupakan lokasi penanaman padi gogo terluas di Bali, yaitu sekitar 756,8 ha dan lokasi terbanyak di Kecamatan Susut. Keadaan iklim daerah ini rata-rata selama sepuluh
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
77
Seminar Nasional 2005 tahun adalah 7 bulan basah dan 5 bulan kering dengan curah hujan rata-rata 257,13 mm dan 11,1 hari hujan per bulan (Anonimus, 2001). Produktivitas padi gogo yang ada sekarang masih rendah, seperti yang dilaporkan oleh Biro Pusat Statistik (1997), rata-rata produksi padi gogo di Indonesia sebesar 2,04 ton/ha, jauh dibawah produksi rata-rata padi sawah yang mencapai 4,52 ton/ha. Rendahnya produktivitas padi gogo disebabkan oleh beratnya kendala pada budidaya padi gogo dibandingkan kendala padi sawah (Harahap, dkk., 1995). Kendala tersebut antara lain adalah karena umumnya padi gogo di tanam pada tanah masam yang secara kimiawi memiliki tingkat ketersediaan aluminium dan mangan yang tinggi dan ketersediaan unsur hara terutama N, P, K, Ca, Mg, dan Mo yang rendah. Secara fisik tanah ini memiliki kapasitas menahan air yang rendah dan mudah tererosi. Kari dkk. (1988) menambahkan kendala lainnya adalah sukarnya pengendalian gulma, penanggulangan hama penyakit yang tidak memadai, rendahnya kesuburan tanah, serta kurang pengetahuan petani mengenai pemupukan dan cara tanam. Faktor lain yang juga menyebabkan rendahnya produksi padi gogo adalah kurangnya galur-galur harapan yang adaptif yaitu yang memiliki kualitas beras baik, potensi hasil sedang, tahan terhadap hama dan penyakit, serta toleran terhadap tekanan mineral. Pembangunan jaringan irigasi memerlukan biaya yang besar dan untuk mencapai produksi yang stabil dari sawah bukaan baru memerlukan waktu yang lama. Dengan demikian pengembangan padi gogo merupakan salah satu pilihan guna membantu melestarikan swasembada beras. Adapun tujuan kegiatan ini adalah mengevaluasi tingkat produksi dan daya adaptasi dari galur-galur generasi lanjut pada lingkungan pengujian yang spesifik. MATERI DAN METODOLOGI Lokasi Pengkajian Kegiatan uji multilokasi GH padi gogo TA. 2004 di Bali merupakan Kegiatan Jaringan Penelitian dan Pengkajian (Litkaji) yang dananya bersumber dari proyek PAATP Bali TA. 2004. Kegiatan dilaksanakan di Desa Buungan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli yang terletak pada ketinggian ± 600 - 1500 m diatas permukaan laut. Berdasarkan data statistik Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Tahun 2001, luas areal pertanaman padi gogo (lokal) di Kabupaten Bangli sekitar 650 ha. Kegiatan penanaman padi gogo dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus 2004 sampai Januari 2005, disesuaikan dengan kebiasaan petani setempat. Adapun data curah hujan tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Curah hujan tahun 2004, Kecamatan Susut. Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
Curah Hujan (mm) 441 613 261 119 338 24 62 149 330 313
Hari Hujan (hari) 15 17 12 5 10 1 3 4 9 12
Sumber : Curah Hujan, Kantor BPP. Susut, Bangli
Dari informasi hasil penelitian di IRRI (Anonimus, 1979) dilaporkan bahwa curah hujan sebesar 200-300 mm/bulan sudah cukup untuk menanam padi. Kebutuhan air bagi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
78
Seminar Nasional 2005 pertumbuhan pertanaman padi, dengan memperhitungkan laju evapotranspirasi tanaman dan air perkolasi harian, berkisar antara 85-185 mm/bulan untuk padi sawah. Sedangkan kebutuhan untuk tanaman yang diusahakan pada lahan kering termasuk tanaman padi gogo berkisar antara 75-125 mm/bulan. Melihat keadaan curah hujan di Kabupaten Bangli tahun 2004, memang memungkinkan petani mengusahakan padi gogo selama ini pada bulan Agustus. Namun untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, seyogyanya perlu dicoba pengusahakan pertanaman padi gogo pada awal musim hujan yaitu sekitar bulan Oktober/Nopember. Bentuk dan Ukuran Petak Percobaan Bentuk petak percobaan adalah empat persegi panjang. Ukuran petak percobaan 3m x 7m, disesuaikan dengan kondisi lahan di lapangan. Jarak tanam 25cm x 25cm. Bahan Tanaman Semua GH padi gogo yang diuji berasal dari Balitpa Sukamandi yang terdiri dari 12 GH, 2 varietas unggul padi gogo dan 1 varietas padi gogo lokal : (1) BP785C-12-2; (2) S3231H-1-1-1; (3) S5278H-2-1; (4) BP1350D-1-1-PK-3-2; (5) S4962H-6-5-3; (6) S3266H-2-2-PK; (7) BP751F-1-1-PK-2-3; (8) S4962H-13-6-6-3; (9) BP585F-5-2-3-33-3; (10) BP741F-2-1-PK-2-2; (11) Situbagendit; (12) Towuti, (13) Fatmawati, dan (14) varietas padi gogo lokal. Catatan: S4962H-6-5-3, Situbagendit, dan Towuti sejak pertumbuhan awal memperlihatkan pertumbuhan yang sangat tidak baik, sehingga tidak diambil datanya. Kultur Teknis Percobaan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok, 14 perlakuan dan 3 ulangan. Tanam dilakukan secara tugal, dengan jumlah bibit 5-7 biji/lubang, jarak tanam 25cm x 25cm. Pemupukan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Buku Lapangan 2003/2004, yaitu 200 kg Urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl setiap hektar. Seluruh pupuk TSP dan KCl diberikan pada saat tanam, Urea diberikan tiga kali, masing-masing sepertiga dosis pada saat tanam, 4 minggu, dan 7 minggu setelah tugal. Pengendalian hama, penyakit, dan gulma dilakukan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan azas pengendalian hama terpadu. Karakter Tanaman yang Diamati Tabel 2. Karakter tanaman. Karakteristik Tanaman I.
II.
Fase Vegetatif : 1. Tinggi tanaman
Keterangan Diukur dari pangkal batang sampai ujung daun tertinggi. Dihitung jumlah anakan per rumpun
2. Jumlah Anakan Maksimum Fase Generatif : 1. Umur Panen
Dihitung jumlah hari mulai dari saat tugal sampai panen.
2.
Jumlah Anakan Produktif
Dihitung jumlah anakan yang bermalai
3.
Gabah isi (%)
Hitung jumlah gabah isi dari 3 rumpun contoh yang diambil secara acak pada arah diagonal petak percobaan, kemudian bagi dengan jumlah malai dari 3 rumpun contoh tersebut.
4.
Bobot 1.000 butir
Timbang 1.000 butir gabah isi pada kadar air 14%.
5.
Hasil gabah
Buat petak contoh bersih dengan memisahkan satu baris rumpun tanaman disekeliling petak percobaan. Timbang hasil panen dari semua rumpun yang ada pada petak contoh bersih percobaan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
79
Seminar Nasional 2005 Contoh perhitungan hasil gabah : Hasil gabah dinyatakan dalam bobot gabah kering giling (GKG) atau setara dengan kadar air 14%. Misal bobot contoh gabah hasil panen ubinan 5m x 5m atau 2 m2 adalah 12,5 kg GKP (gabah kering panen). Maka dalam per hektar dihitung sebagai berikut : - Hasil gabah (kg GKP/ha) = (10.000 m2 x 12,5 kg)/25m2 = 5.000 kg GKP/ha Contoh gabah segera diukur kadar airnya dengan alat moisture tester, misalnya terbaca 20% (biasanya kadar air gabah diukur 3-5 kali dengan contoh yang berbeda per ubinan/per petak, lalu dirata-ratakan), maka hasil gabah dalam GKG atau kadar 14% dihitung sebagai berikut : - Hasil gabah (kg GKP/25m2) = 12,5 kg x (100 – 20%)/(100 – 14%) = 12,5 kg x 80/86 = 11,6 kg GKG/25m2 atau - Hasil gabah (kg GKG/ha) = (10.000 m2 x 11,6 kg)/25m2 = 4.640 kg GKG/ha. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Desa Buungan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli merupakan daerah dataran tinggi (± 600 – 1.500 mdpl) yang beriklim basah. Kebiasaan petani di daerah ini menanam atau mengusahakan pertanaman padi gogo (lokal) sekitar bulan Agustus, dilaksanakan setelah panen tanaman hortikultura seperti kunyit, jagung, kacang tanah, dan lain sebagainya. Catatan dari data curah hujan dan hari hujan, memang pada bulan-bulan tersebut masih dimungkinkan menanam padi gogo, karena masih adanya curah hujan untuk pertanaman padi gogo (Tabel 1.) Tinggi Tanaman (Cm) Tinggi tanaman disamping dipengaruhi oleh sifat genetik, juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tumbuh tanaman. Dari analisis statistik didapatkan bahwa tinggi tanaman antar GH padi gogo yang diuji berbeda nyata satu sama lainnya (Tabel 3). Tabel 3. Penampilan tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen GH padi gogo GH Padi Gogo BP785C-12-2 S3231H-1-1-1 S5278H-2-1 BP1350D-1-1-PK-3-1 S3266H-2-2-PK BP751F-1-1-PK-2-3 S4962H-13-6-6-3 BP585F-5-2-3-3-3-3 BP741F-2-1-PK-2-2 Fatmawati Varietas Lokal
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan produktif (batang)
Umur panen (hari setelah tugal)
82,6 b 89,0 b 89,3 b 81,9 b 83,6 b 76,4 b 86,9 b 80,2 b 86,9 b 75,3 b 155,7a
17,9 abc 22,2 ab 19,2 ab 17,8 abc 17,1 abc 20,4 ab 12,3 cd 18,8 ab 22,8 a 12,7 cd 15,0 bcd
147,0 144,0 142,0 139,0 139,0 139,0 147,0 142,0 147,0 147,0 170,0
Pada Tabel 3 terlihat bahwa semua GH padi gogo yang diuji mempunyai tinggi yang tidak berbeda, kecuali dengan varietas padi lokal. Tinggi tanaman GH padi gogo berkisar antara 75 – 89 cm, sedangkan varietas padi gogo lokal mempunyai tinggi sekitar 155 cm. Hasil penelitian SUTPA 1995/1996 menunjukkan bahwa tanaman yang tinggi seperti varietas padi Memberamo tidak tahan rebah terutama pada musim penghujan. Hal ini juga dijumpai pada varietas padi gogo lokal, dimana pada saat panen, sebagian besar pertanaman mengalami kerebahan. Berkaitan dengan hal ini, preferensi petani terhadap aspek tinggi tanaman lebih menyukai tanaman yang berketinggian sedang (100-125 cm), hal ini ada kaitannya dengan saat panen, yaitu lebih mudah dalam hal penyabitanan tanaman.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
80
Seminar Nasional 2005
Jumlah Anakan Produktif Anakan produktif merupakan salah satu komponen hasil yang berpengaruh langsung terhadap tinggi rendahnya hasil gabah. Dari hasil analisis statistik, jumlah anakan produktif dari GH padi gogo yang menunjukkan perbedaan yang nyata, berkisar antara 12-22 batang/rumpun. Paradigma baru dari pemuliaan terhadap padi tipe baru adalah jumlah anakan maksimum yang relatif sedikit (10-14 batang/rumpun), jumlah anakan produktif antara 8-12 batang/rumpun dengan jumlah gabah/malai berkisar antara 250-300 butir. Varietas unggul baru mempunyai anakan 20-25 anakan, namun hanya 14-15 anakan yang malainya dapat dipanen, dengan jumlah gabah per malai 100-130 butir. Hal ini disebabkan anakan yang tumbuh belakangan terlambat masak sehingga tidak dapat dipanen. Anakan yang tidak produktif merupakan pesaing dari anakan produktif untuk energi sinar matahari dan hara. Anakan non-produktif yang banyak akan menyebabkan lingkungan mikro yang lembab sehingga sangat baik untuk perkembangannya hama dan penyakit. Umur Panen Pada Tabel 3, terlihat bahwa umur panen GH padi gogo yang diuji tidak berbeda nyata, berkisar antara 139 - 147 hari setelah tugal dan berbeda dengan umur panen padi gogo lokal (170 hari setelah tugal). Di daerah tropis, umur varietas yang optimum untuk dapat berpotensi hasil tinggi adalah 120 hari. Umur yang lebih pendek biasanya potensi hasilnya rendah karena tidak mempunyai cukup waktu untuk tanaman menggunakan sinar matahari dan hara di dalam tanah, sehingga tidak cukup waktu pertumbuhan vegetatifnya untuk hasil yang maksimum (Yoshida, 1976). Karena itu, umur varietas padi 100-130 hari diharapkan sudah dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan (Buang Abdullah, 2004). Panjang Malai, Gabah Isi, Berat 1.000 Butir Gabah, dan Hasil Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa semua peubah yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata. Dibandingkan dengan varietas padi gogo lokal, beberapa GH/varietas padi gogo yang diuji memperlihatkan penampilan agronomis yang menarik minat petani setempat, yaitu BP1350D-1-1-PK-3-1 dan S4962H-13-6-6-3. Dari peubah yang diamati seperti panjang malai, gabah isi, dan hasil, kedua GH padi gogo tersebut memperlihatkan hasil yang terbaik dibandingkan dengan GH padi gogo lainnya, walaupun masih belum bisa mengungguli padi gogo lokal. Namun dilihat dari umur panen, kedua GH padi gogo ini jauh lebih genjah dari padi gogo lokal. Tabel 4. Panjang malai, gabah isi, berat 1.000 butir gabah dan hasil. GH Padi Gogo BP785C-12-2 S3231H-1-1-1 S5278H-2-1 BP1350D-1-1-PK-3-1 S3266H-2-2-PK BP751F-1-1-PK-2-3 S4962H-13-6-6-3 BP585F-5-2-3-3-3-3 BP741F-2-1-PK-2-2 Fatmawati Varietas Lokal
Panjang malai (cm) 20,5 18,2 20,7 21,2 21,1 19,1 23,7 19,5 20,5 21,1 23,1
bc c bc ab ab bc a bc bc ab a
Gabah isi (%) 74,0 62,6 68,5 72,9 59,9 68,4 75,0 79,9 63,8 54,2 77,4
ab bcd abc abc cd abc ab a bcd d a
Berat 1.000 butir gabah (gr) 23,5 21,2 21,1 21,7 20,1 19,3 20,6 18,2 21,2 23,9 29,7
ab bc bc b cd de bcd e bc ab a
Hasil (ton GKG/ha) 1,7 ab 1,7 ab 2,0 ab 2,0 ab 1,3 ab 1,7 ab 2,4 a 1,7 ab 1,4 ab 1,2 ab 2,1 ab
Pembahasan Keberhasilan varietas unggul memberikan kontribusi yang sangat besar pada upaya peningkatan produksi padi nasional. Menurut Mahyudin dan Hermanto (1995), tiga faktor produksi utama yang mendukung keberhasilan program peningkatan produksi padi adalah pupuk, irigasi dan varietas unggul. Penggunaan varietas unggul sampai saat ini diakui
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
81
Seminar Nasional 2005 mampu meningkatkan produktivitas paling spektakuler dibandingkan komponen produksi lainnya (Anwari dan Rudy Suhendy, 1993). Berdasarkan penampilan karakter hasil dan komponen hasil seperti jumlah anakan produktif, hasil gabah kering giling, panjang malai, bobot 1.000 butir gabah serta persentase gabah isi/malai memperlihatkan ada dua GH padi gogo yang mendapat perhatian dari petani setempat yaitu BP1350D-1-1-PK-3-1 dan S4962H-13-6-6-3. Informasi petani setempat mengatakan bahwa adaptasi kedua GH padi gogo ini cukup baik, padahal baru sekali ini ditanam. Keinginan petani setempat adalah akan merubah bulan tanam dari GH padi gogo ini yaitu tidak bulan Agustus, tapi sekitar bulan Oktober/Nopember sehingga saat panen bertepatan dengan musim kering. Masih rendahnya hasil dari uji multilokasi ini disebabkan beberapa kendala, antara lain: (1) kekeringan sekitar bulan Oktober – Minggu III Nopember 2004; (2) hama burung; dan (3) penyakit blast. Kebiasaan petani di daerah Bangli yang menanam padi gogo pada bulan Agustus perlu mendapatkan informasi yang benar, yaitu perlu adanya pergeseran tanam ke bulan Oktober/Nopember. Di samping itu, perlu juga adanya perbaikan teknis, karena selama ini petani setempat dalam berusaha padi gogo tanpa melaksanakan usaha-usaha seperti pemupukan, penyiangan gulma, serta pengendalian hama dan penyakit. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa pengusahaan pertanaman padi gogo sebaiknya dilaksanakan pada awal musim hujan, terutama untuk mendapatkan persediaan air yang cukup selama pertumbuhan tanaman. KESIMPULAN Galur Harapan (GH) padi gogo yang diuji dapat beradaptasi di daerah Bangli. Pertumbuhan S4962H-6-5-3, Situbagendit, dan Towuti sejak awal pertumbuhan sudah sangat tidak baik, sehingga tidak dapat diambil datanya. Beberapa GH/varietas padi gogo yang mendapatkan perhatian dan disenangi oleh petani setempat ,antara lain BP1350D-1-1-PK-3-1 dan S4962H-13-6-6-3. Keinginan petani kooperator untuk mencoba mengusahakan penanaman GH padi gogo pada bulan Oktober/Nopember, dan tidak bulan Agustus seperti kebiasaan petani setempat. DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 1979. Report of a Rice Cold Tolerance. Workshop. Los Banos, Philippines (Agroclimate Classification for Evaluating Cropping System Potential in Southheast Asian Rice Growing Regions. IRRI, Los Banos. Philippines. Anonimus, 2001. Bali dalam Angka. Biro Pusat Statistk, Denpasar. Anonimus, 2001. Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Padi Gogo pada Waktu Tanam yang Berbeda di Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Propinsi Bali. Baharsjah, Y.S. 1983. Sumberdaya Tanaman untuk Memanfaatkan Keadaan Iklim secara Efisien. Rapat Teknis Klimatologi Pertanian. Direktorat Perlindungan Tanaman, Departemen Pertanian, Jakarta. Basyir, A.S. Punarto, Suyamto dan Supriyatin. 1995. Malang, No. 14. Malang, Jawa Timur.
Padi Gogo.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
Monograf Balittan
82
Seminar Nasional 2005 Bey, A. Dan I. Las., 1991. Strategi Pendekatan Iklim dalam Usahatani. dalam Bey (ed) Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Dir. Jend. Pendidikan Tinggi, Dep.Dik.Bud., Bogor. Biro Pusat Statistik. 1997. Indonesia dalam Angka, Jakarta. Buang Abdullah, 2004. Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUTB Lainnya. Panduan Pelatihan. Pemasyarakatan dan Pengembangan Padi Varietas Unggul Tipe Baru. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Buku Lapangan. Pertanaman Multilokasi Padi Gogo, 2002/2003. Balai Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Chang, T.T. and B.S. Vergara. 1975. Varietal Diversity and Morpho-Agronomic Characteristics of Upland Rice. In Major Research in Upland Rice. IRRI, Las Banos, Philippines. Chang, Jen-Hu. 1968. Climate and Agriculture. An Ecological Survey. Adline Publishing Co. Chicago. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. 1982. Laporan Tahunan 1984/1985. Penelitian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Doorenbos, J. Dan Kassam, A.H. 1986. Yield and Morphological to Water. FAO Irrigation and Drainage. Paper. Rome, 193 p. Harahap, Z. Dan E. Lubis. 1995. Pengembangan Padi Gogo sebagai Tanaman Sela di Daerah Perkebunan. Prosiding Diskusi Pengembangan Teknologi Tepat Guna di Lahan Kering untuk Mendukung Pertanian Berkelanjutan. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Kari, Z. Kathib, W. Dan Erdiman. 1988. Penggunaan Beberapa Takaran Pupuk Nitrogen untuk Padi Gogo Pada Tanah Vertisol. Pemberitaan Penelitian Tanaman Pangan, No.14. Laporan Statistik Pertanian Tanaman Pangan. 2001. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Dati I. Bali. Matsubasyashi, H. Ito, R. Nomoto, T. And Tamada, N. 1967. Theory and Practice of Growing Rice. Fuji Publishing Co. Ltd. Tokyo, Japan. Prasetyo, Y.T. 1996. Bertanam Padi Gogo Tanpa Olah Tanah. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Solahuddin, 1998. Kebijaksanaan Peningkatan Produksi Padi Nasional. Makalah Seminar Peningkatan Produksi Padi Nasional. Bandar Lampung. Tanaka, A. 1976. Comparison of Rice Growth in Different Environment. In Proc. of the Symposium on the Climate and Rice. The IRRI, Los Banos, Philippines. Wibawa, G. Dan M.J. Rosyid. 1995. Peningkatan Produksi Padi sebagai tanaman Sela Karet Muda. Warta Pusat Penelitian Karet. 14 (1) : 40-46. Widjaja-Adhi, I P,. K. Nugroho A. Pramudia. 1992. Kajian antara Pola Iklim dan Beberapa Aspek Pengelolaan Lahan di Wilayah Indonesia Bagian Timur, Khususnya Nusa Tenggara. Proc. Simposium Meteorologi Pertanian III. PERHIMPI, Malang. Wiroatmodjo, I. Dan Wipartono., 1977. Pemanfaatan Sumberdaya Air untuk Mengembangkan Pertanian Lahan Kering. Proc. Kongres Agronomi. Jakarta. Yoshida and Parao, F.T., 1976. Climate Influence on Yield and Yield Component of Lowland Rice in Tropics. Proc. Of Symposium on Climate and Rice. IRRI, Los Banos, Philippines Yoshida, 1978. Tropical Climate and Its Influence on Rice. The IRRI Research Paper Series, No. 20. The IRRI, Los Banos, Philippines.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
83
Seminar Nasional 2005 PENGARUH BEBERAPA DOSIS PUPUK UREA DAN JARAK TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI GOGO DI LAHAN KERING IB. Aribawa, Mastra Sunantara dan IK. Kariada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Jl. By Pass Ngurah Rai Denpasar
ABSTRAK Percobaan dilakukan di lahan kering Desa Kayu Amba, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, Bali pada MH 2003. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh beberapa dosis pupuk urea dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo di lahan kering. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial dua faktor dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah dosis urea (n) yang terdiri dari empat tingkat, yaitu : tanpa pupuk urea (n0); 90 kg N ha-1 (n1); 135 kg N ha-1 (n2) dan 180 kg N ha-1 (n3). Faktor ke dua adalah jarak tanam padi gogo yang digunakan (j), terdiri dari tiga tingkat, yaitu : jarak tanam 25 cm x 25 cm (j1); jarak tanam 20 cm x 15 cm (j2) dan jarak tanam 20 cm x 10 cm (j3). Variabel tanaman yang diamati dalam percobaan ini adalah : tinggi tanaman (cm), jumlah anakan per rumpun, jumlah malai per rumpun, panjang malai per rumpun, jumlah biji per malai, bobot 100 biji kering oven (g), berat jerami kering oven (t ha-1), persentase gabah isi (%) dan hasil gabah k.a 15% (t ha -1) serta kadar NPK tanaman. Hasil percobaan menunjukkan, interaksi perlakuan dosis urea dan jarak tanam berpengaruh nyata (P<0,05) hanya terlihat pada variabel jumlah malai per rumpun, jumlah biji per malai dan hasil gabah k.a 15% (t ha -1), sedangkan faktor tunggal pupuk urea berpengaruh nyata pada semua variabel tanaman yang diamati dan faktor tunggal jarak tanam tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata hanya pada variabel panjang malai. Hasil gabah k.a 15% tertinggi terlihat pada kombinasi perlakuan n2j2 yaitu 4,47 t ha-1. Kata kunci : pupuk urea, jarak tanam, padi gogo, lahan kering
PENDAHULUAN Luas lahan kering di Pulau Bali diperkirakan sekitar 218.119 hektar yang tersebar di bagian Utara dan Timur Pulau Bali. Dari luasan ini, lebih dari 50% diantaranya berpotensi diusahakan untuk pengembangan padi gogo (Anon, 1991 dan Anon, 2002). Penanaman padi gogo di Bali per tahun, rata-rata mencapai 1.063 hektar yang tersebar di enam kabupaten yaitu: Buleleleng, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem dan Bangli. Areal penanaman padi gogo terluas adalah di Kabupaten Bangli yang mencapai 757 ha, dengan produktivitas yang sangat rendah yaitu 1,80 t ha-1 gabah k.a. 15%, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan potensi hasil padi gogo yang mencapai 5 t ha -1 k.a. 15% (Anon, 2002). Rendahnya produktivitas padi gogo ini kemungkinan disebabkan karena kondisi iklim terutama jumlah dan distribusi curah hujan yang tidak merata, tingkat kesuburan tanah yang rendah dan teknik budidaya yang masih sederhana, seperti pengaturan jarak tanam yang belum optimal. Lahan kering umumnya kahat akan unsur N, dimana hara N ini, merupakan salah satu faktor penghambat bagi pertumbuhan dan hasil padi gogo. Di antara unsur hara tanaman, unsur N merupakan hara yang diperlukan dalam jumlah besar dan sering merupakan pembatas produksi padi gogo (Partorahardjo dan Makmur, 1996; Gardner et al., 1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan urea dengan dosis 135 kg N ha-1 dapat meningkatkan produktivitas sampai 5,2 t ha-1 pada padi gogo varietas C-22 dan Klemas (Virgilus, 2000). Disamping faktor hara, jarak tanam juga memegang peranan penting dalam peningkatan produksi. Petani biasanya menggunakan jarak tanam yang tidak teratur, sehingga kemungkinan terjadi kompetisi baik terhadap air, unsur hara maupun cahaya diantara individu tanaman. Jarak tanam menentukan populasi tanaman dalam suatu luasan tertentu, sehingga pengaturan yang baik dapat mengurangi terjadinya kompetisi terhadap faktor-faktor tumbuh tersebut. Hasil penelitian Partorahardjo dan Makmur (1996) menunjukkan bahwa dengan jarak tanam yang rapat (20 cm x 10 cm) yang dikombinasikan dengan dosis pupuk urea yang tinggi (135 kg N ha-1) mampu meningkatkan komponen hasil dan hasil padi gogo, sehingga hasil gabah meningkat mencapai 5,2 t ha -1, jauh lebih tinggi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
84
Seminar Nasional 2005 bila dibandingkan dengan jarak tanam yang renggang (25 cm x 25 cm) dengan dosis urea yang rendah (45 kg N ha-1) yaitu 2,6 t ha-1. Informasi mengenai pemanfatan pupuk urea dan jarak tanam pada padi gogo di lahan kering yang dapat dipakai sebagai acuan untuk meningkatkan produktivitasnya dirasa masih kurang, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh dosis pupuk urea dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo di lahan kering Desa Kayu Amba, Kecamatan Susut, Bangli. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dosis pupuk urea dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan hasil padi gogo di lahan kering. BAHAN DAN METODE Percobaan pemanfaatan pupuk urea dan jarak tanam ini dilakukan di lahan kering Desa Kayu Amba, Kecamatan Susut, Bangli dari bulan Januari sampai dengan Mei 2003. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok pola faktorial dua faktor dengan tiga kali ulangan. Faktor pertama adalah dosis pupuk urea (N) yang terdiri dari empat level yaitu : tanpa urea (n0); 90 kg N ha-1 (n1); 135 kg N ha-1 (n2) dan 180 kg N ha-1 (n3). Faktor ke dua adalah jarak tanam (J), terdiri dari tiga tingkat, yaitu : jarak tanam 25 cm x 25 cm (j1); jarak tanam 20 cm x 15 cm (j2) dan jarak tanam 20 cm x 10 cm (j3). Ukuran petak yang digunakan adalah 4 m x 3 m denga varietas padi gogo Danau Tempe. Pupuk dasar yang digunakan 125 kg SP-36 ha-1 dan 75 kg KCl ha-1 yang diberikan sekaligus dan bersamaan pada saat tanam. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman (cm), jumlah anakan per rumpun, jumlah malai per rumpun, panjang malai per rumpun, jumlah biji per malai, bobot 1000 biji kering oven (g), berat jerami kering oven (t ha -1 ), persentase gabah isi (%) dan hasil gabah k.a 15% (t ha-1) serta kadar N, P dan K tanaman. Data percobaan yang diperoleh dikumpulkan dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis ragam. Apabila interaksi perlakuan menunjukkan pengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan 5%, Jika hanya perlakuan tunggal yang berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNT 5% (Gasperz, 1992). Hubungan antara hasil gabah dengan perlakuan dosis urea pada masing-masing jarak tanam dianalisis dengan regresi. Untuk mengetahui hubungan antara variabel yang diamati digunakan analisis korelasi. Keeratan hubungan antar kadar N, P dan K tanaman dengan hasil gabah dianalisis dengan regresi linier berganda. Variabel yang paling erat hubungannya dengan hasil gabah dianalisis dengan teknik regresi Stepwise (Gomez dan Gomez, 1984). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Hasil analisis statistik data menunjukkan tidak terdapat pengaruh interaksi antara perlakuan dosis urea dan jarak tanam terhadap variabel tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun dan panjang malai padi gogo (P>0,01). Perlakuan dosis urea dan jarak tanam secara tunggal menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap tinggi tanaman (Tabel 1). Peningkatan dosis pupuk urea dari 0 kg N ha -1 sampai 135 kg N ha-1, nyata meningkatkan tinggi tanaman. Peningkatan dosis pupuk urea selanjutnya (n3) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan n2. Pada perlakuan tunggal jarak tanam, terlihat semakin rapat tanaman atau semakin banyak jumlah populasi tanaman, semakin tinggi tanaman padi gogo tersebut (Tabel 1). Perlakuan dosis pupuk urea dan jarak tanam secara tunggal menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap jumlah anakan per rumpun. Peningkatan dosis pupuk urea dari 0 kg N ha-1 (n0) sampai 180 kg N ha-1 (n3) mampu meningkatkan jumlah anakan per rumpun, walaupun peningkatan nilai tersebut tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan n2 dan n1 (Tabel 1). Pada perlakuan tunggal jarak tanam, terlihat semakin rapat
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
85
Seminar Nasional 2005 tanaman atau semakin banyak jumlah populasi tanaman, semakin sedikit jumlah anakan tanaman padi gogo tersebut. Jumlah anakan per rumpun terrendah terlihat pada perlakuan j 3 yaitu 13,75 batang per rumpun dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan j 1 (Tabel 1). Perlakuan dosis urea menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap panjang malai, sedangkan perlakuan tunggal jarak tanam tidak menunjukkan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap panjang malai (Tabel 1). Pemberian pupuk urea sampai dosis 90 kg N ha-1 memberikan malai yang lebih panjang dibandingkan dengan perlakuan tanpa pupuk urea, tetapi peningkatan dosis pemupukan sampai 135 kg N ha -1, tidak lagi meningkatkan panjang malai. Perlakuan jarak tanam memberikan panjang malai yang tidak berbeda nyata, walaupun demikiam terdapat kecendrungan semakin rapat jarak tanam, semakin pendek malai padi gogo tersebut (Tabel 1). Tabel 1. Pengaruh Dosis Pupuk Urea dan Jarak Tanam Terhadap Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan dan Panjang Malai Padi Gogo di Lahan Kering di Kec. Susut, Bangli, 2003. Perlakuan Dosis urea (N) n0 n1 n2 n3 Jarak tanam (J) j1 j2 j3
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan (batang)
Panjang malai (cm)
73,33 c 82,89 b 87,11 a 85,56 a
10,77 b 15,33 a 16,56 a 17,44 a
17,00 c 19,44 ab 21,22 a 18,67 bc
80,08 b 82,75 ab 84,58 a
16,67 a 14,67 ab 13,75 b
19,42 a 19,08 a 18,75 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Hasil analisis statistik data terhadap berat 1000 biji, berat jerami kering oven dan persentase gabah isi disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis statistik data menunjukkan tidak terdapat pengaruh interaksi antara perlakuan dosis urea dan jarak tanam terhadap variabel berat 1000 biji, berat jerami kering oven dan persentase gabah isi (P>0,01). Pada Tabel 2 terlihat, peningkatan dosis pupuk urea dari 0 kg N ha -1 sampai 135 kg N ha-1 dapat meningkatkan berat 1000 biji kering oven sampai 21,08%, tetapi peningkatan dosis sampai 180 kg N ha-1 tidak menunjukkan perbedaan nyata nilai variabel tersebut. Pada perlakuan jarak tanam, berat 1000 biji kering oven tertinggi terlihat pada perlakuan jarak tanam j 2 yaitu 18,00 g (Tabel 2). Peningkatan dosis pupuk urea mengakibatkan meningkatnya berat jerami kering oven tanaman. Dosis pupuk urea 180 kg N ha -1 memberikan berat jerami kering tertinggi yaitu 11,96 t ha-1 dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan dosis urea lainnya (Tabel 2). Pada perlakuan jarak tanam, berat kering oven jerami tertinggi terlihat pada perlakuan j3 yaitu 11,41 t ha-1 dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan jarak tanam lainnya. Pemupukan urea sampai 135 kg N ha-1 secara nyata meningkatkan persentase gabah isi sampai 14,76%, dan peningkatan dosis sampai 180 kg N ha-1 tidak lagi meningkatkan nilai variabel tersebut. Pada perlakuan jarak tanam, terlihat semakin rapat jarak tanam, persentase gabah isi tanaman padi gogo menurun secara nyata (Tabel 2).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
86
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Pengaruh Dosis Pupuk Urea dan Jarak Tanam Terhadap Berat 1000 Biji, Berat Jerami Kering Oven dan Persentase Gabah Padi Gogo di Lahan Kering di Kec, Susut, Bangli, 2003 . Perlakuan Dosis urea (N) n0 n1 n2 n3 Jarak tanam (J) j1 j2 j3
Berat 1000 biji (g)
Berat jerami (t ha-1)
Persen gabah isi (%)
15,37 b 16,67 b 18,61 a 18,05 a
10,01 c 10,76 b 10,97 b 11,96 a
79,19 c 83,73 b 90,88 a 88,18 a
17,05 b 18,00 a 16,47 b
10,43 b 10,94 b 11,41 a
86,97 a 86,94 a 85,58 b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Tabel 3. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk Urea dan Jarak Tanam Terhadap Jumlah Malai Per Rumpun Padi Gogo di Lahan Kering di Kec, Susut, Bangli, 2003. Dosis pupuk urea (kg N ha-1)
Perlakuan Jarak tanam
n0
n1
n2
n3
j1 j2 j3
7,67 e 5,67 fg 5,00 g
9,33 cd 7,67 e 7,00 f
10,33 abc 11,67 a 10,33 abc
11,00 ab 9,67 bc 8,00
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
Interaksi perlakuan dosis urea dan jarak tanam menunjukkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap variabel jumlah malai per rumpun, jumlah biji per malai dan hasil gabah kering k.a. 15% (Tabel 3, 4 dan 5). Pada ke tiga jarak tanam, peningkatan dosis pupuk N dari 0 kg N ha -1 sampai 135 kg N ha-1, nyata meningkatkan jumlah malai per rumpun. Peningkatan dosis pupuk urea selanjutnya sampai 180 kg N ha -1 menurunkan jumlah malai per rumpun pada jarak tanam yang lebih rapat yaitu j2 dan j3, tetapi tidak mengakibatkan perubahan nilai tersebut pada jarak tanam paling renggang (j1) (Table 3). Tabel 4. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk Urea dan Jarak Tanam Terhadap Jumlah Biji Per Malai Padi Gogo di Lahan Kering di Kec, Susut, Bangli, 2003. Dosis pupuk urea (kg N ha-1)
Perlakuan Jarak tanam
n0
n1
n2
n3
j1 j2 j3
76,33 bc 72,67 bc 69,00 c
71,67 bc 73,33 bc 69,33 c
87,33 ab 97,33 a 85,67 ab
81,67 abc 87,67 ab 80,50 bc
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
Perlakuan jarak tanam ternyata tidak mengakibatkan perbedaan jumlah biji per malai pada masing-masing perlakuan dosis pupuk urea. Pada jarak tanam paling renggang (j1) peningkatan dosis urea yang semakin meningkat ternyata tidak mengakibatkan perubahan jumlah biji per malai (Tabel 4). Pada jarak tanam yang lebih rapat (j2 dan j3) peningkatan dosis urea dari 0 sampai 135 kg N ha-1 nyata meningkatkan jumlah biji per malai. Peningkatan dosis pupuk urea menjadi 180 kg N ha -1 tidak mengakibatkan peningkatan jumlah biji per malai pada ke dua jarak tanam tersebut. Pada ke tiga jarak tanam, peningkatan dosis pupuk urea dari 0 kg N ha -1 sampai 135 kg N ha-1, nyata meningkatkan hasil gabah k.a. 15% masing-masing 81,61%, 89,51% dan 37,68% pada j1, j2 dan j3 (Tabel 5). Peningkatan dosis urea selanjutnya menjadi 180 kg N ha-1 hanya meningkatkan hasil gabah pada jarak paling renggang yaitu 11,21%, tetapi tidak mengakibatkan perubahan nilai tersebut pada jarak tanam lebih rapat (j2 dan j3).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
87
Seminar Nasional 2005 Pada perlakuan tanpa pupuk urea dan perlakuan 90 kg N ha-1, makin rapat tanaman mengakibatkan makin tingginya hasil gabah, tetapi pada perlakuan pupuk 135 kg N ha -1 dan 180 kg N ha-1, makin rapat tanaman sampai pada perlakuan j2, makin meningkatkan hasil gabah. Selanjutnya pada perlakuan jarak tanam paling rapat (j 3) menurunkan berat gabah tanaman padi gogo (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh Interaksi Dosis Pupuk Urea dan Jarak Tanam Terhadap Hasil Gabah Kering k.a. 15% Padi Gogo Per Hektar di Lahan Kering di Kec, Susut, Bangli, 2003 . Dosis pupuk urea (kg N ha-1)
Perlakuan Jarak tanam
n0
n1
n2
n3
j1 j2 j3
1,87 g 2,36 f 2,84 e
2,76 e 3,42 d 3,45 d
3,39 d 4,47 a 3,91 bc
3,77 c 4,42 ab 4,18 b
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%
Kadar N, P dan K tanaman (%) diukur pada fase anthesis tanaman dengan mengambil daun tanaman sampel pada tiap petak percobaan kemudian dianalisis di laboratorium. Dari hasil analisis data diperoleh peningkatan dosis urea dari 0 sampai 90 kg N ha-1 tidak memberikan peningkatan kadar N tanaman, tetapi peningkatan urea menjadi 135 kg N ha-1 dan 180 kg N ha-1 menyebabkan peningkatan yang nyata. Walaupun demikian, kadar N tanaman pada ke tiga perlakuan pemupukan urea tersebut tidak berbeda nyata (Tabel 6). Kadar P tanaman juga tidak meningkat akibat peningkatan dosis N sampai 90 kg N ha-1, tetapi nilai variabel tersebut nyata meningkatkan dengan peningkatan dosis pupuk sampai 135 kg N ha-1 dan 180 kg N ha-1. Kadar P tanaman tidak berbeda pada perlakuan n2 dan n3 (Tabel 6). Berbeda dengan kadar N dan P tanaman, kadar K tanaman tidak meningkat sampai pemberian pupuk urea 135 kg N ha-1, sedangkan pemberian pupuk urea dengan dosis 180 kg N ha-1 malah menurunkan kadar K tanaman sebesar 20,27%, dibandingkan pada dosis 135 kg N ha-1, yang membuat nilai tersebut tidak berbeda dengan nilai pada perlakuan n0 dan n1 (Tabel 6). Kadar N tanaman menurun pada jarak tanam paling rapat (j3). Kadar P dan K tanaman tidak berbeda nyata pada ke tiga perlakuan jarak tanam yang dicoba (Tabel 6). Tabel 6. Pengaruh Dosis Pupuk Urea dan Jarak Tanam Terhadap Kadar N, P, K Jaringan Tanaman Padi Gogo di Lahan Kering di Kec, Susut, Bangli, 2003. Perlakuan Dosis urea (N) n0 n1 n2 n3 Jarak tanam (J) j1 j2 j3
Kadar N (%)
Kadar P (%)
Kadar K (%)
1,89 c 2,20 abc 2,37 a 2,28 ab
0,32 b 0,34 b 0,37 a 0,38 a
1,70 ab 1,74 ab 1,93 a 1,54 b
2,24 a 2,31 a 2,01 b
0,37 a 0,36 a 0,32 a
1,72 a 1,79 a 1,67 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada perlakuan dan kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Pembahasan Perlakuan dosis pemupukan urea dan jarak tanam menunjukkan interaksi yang berpengaruh sangat nyata terhadap hasil padi gogo. Hasil gabah tertinggi terlihat pada perlakuan dosis urea 135 kg N ha -1 dan pada jarak tanam 20 cm x 15 cm (n2j2) yaitu sebesar 4,47 t ha-1. Hasil gabah k.a. 15% yang lebih tinggi ini disebabkan oleh meningkatnya komponen-komponen hasil yaitu, jumlah malai per rumpun dan jumlah biji per malai.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
88
Seminar Nasional 2005 Hubungan antara dosis pupuk urea yang dicoba pada setiap jarak tanam (populasi) ditunjukkan oleh persamaan regresi, Yji = 1,8559 + 0,018X (R 2 = 0,93), Yj2 = 2,4017 + 0,012X (R2 = 0,91) dan Yj3 = 2,8265 + 0,0076X (R2 = 0,96). Dari persamaan ini, terlihat hasil gabah masih mungkin dapat meningkat. Pada ke tiga perlakuan jarak tanam yang dicoba belum ditemukan dosis pemupukan nitrogen yang optimum. Hubungan antara jarak tanam pada perlakuan dosis pupuk urea dengan hasil gabah ditunjukkan oleh persamaan regresi, Yn135 – 0,9102 + 0,000004X – 0,000000000001X2, (R2 = 0,93). Dosis pupuk urea 135 kg N ha-1 merupakan dosis pemupukan urea yang memberikan hasil gabah k.a. 15 % tertinggi yaitu 4,47 t ha-1. Peningkatan dosis pupuk urea sampai dosis 135 kg N ha-1 ternyata meningkatkan kadar N dan P jaringan. Dengan meningkatnya kadar N dan P tanaman menyebabkan peningkatan tinggi tanaman, panjang malai, persentase gabah isi, berat 1000 biji dan sekaligus dapat meningkatkan hasil gabah kering k.a. 15%. Analisis regresi parsial dan stepwise menunjukkan, dari ke tiga variable N, P dan K jaringan, hanya kadar N jaringan yang nyata berhubungan dengan hasil gabah, yang ditunjukkan oleh persamaan, Y = 0,74 + 1,23 N (r = 0,63*). Berpengaruhnya dosis pupuk urea terhadap hasil gabah erat kaitannya dengan rata-rata kadar N pada jaringan tanaman pada fase anthesis, yaitu rata-rata 2,18 yang tergolong tinggi. Nitrogen adalah unsur makro primer yang merupakan komponen utama berbagai senyawa dalam tubuh tanaman. Tanaman yang tumbuh harus mengandung N dalam membentuk sel-sel baru. Fotosintesis menghasilkan karbohidrat, O 2, dan H2O; namun proses tersebut tidak dapat berlangsung untuk menghasilkan protein dan asam nukleat bilamana N tidak tersedia. Nitrogen yang tersedia bagi tanaman dapat mempengaruhi pembentukan protein, dan disamping itu juga merupakan bagian integral dari khlorofil (Nyakpa et al., 1988). Dengan adanya pemupukan, yaitu semakin meningkatnya dosis urea pada j 1, j2 dan j3, hasil gabah juga semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Howard dan Tiller (1989) yang menyatakan bahwa takaran nitrogen tinggi nyata meningkatkan hasil biji jagung. Pada percobaan yang dilakukan di Bangli ini diperoleh hasil gabah tertinggi sebesar 4,47 t ha-1, walaupun hasil ini tidak berbeda dengan hasil pada perlakuan dosis pemupukan 180 kg N ha-1. hasil gabah sebesar 4,47 t ha-1 ini, masih lebih rendah dari hasil penelitian Virgillus (2000) yaitu 5,1 t ha-1 pada varietas Sentani serta hasil penelitian Partorahardjo dan Makmur (1996) yang mencapai 5,2 t ha-1 pada varietas C-22. Masih lebih rendahnya hasil gabah yang diperoleh tersebut karena dosis urea yang diberikan belum optimum, atau dapat pula diakibatkan oleh pengaruh lingkungan yaitu rata-rata curah hujan dan hari hujan bulanan pada saat penelitian yang relative lebih tinggi dibandingkan bulan-bulan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya. Rata-rata curah hujan dan hari hujan bulanan selama penelitian adalah 432 mm dan 11 hari hujan, sedangkan pada bulan-bulan yang sama tahun-tahun sebelumnya rata-rata curah hujan adalah 329 mm dan 11 hari hujan. Jenis tanah di lokasi penelitian dengan tekstur berpasir juga berpengaruh terhadap tidak efektipnya pemupukan urea sehingga muda leaching. Dengan demikian sebenarnya masih ada peluang untuk meningkatkan lagi produktivitas padi gogo varietas Danau Tempe dengan meningkatkan dosis dan mengefektipkan pemupukan urea.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
89
Seminar Nasional 2005 KESIMPULAN 1. Interaksi antara perlakuan dosis pemupukan urea dan jarak tanam berpengaruh sangat nyata terhadap variabel jumlah malai per rumpun, jumlah biji per malai dan hasil gabah k.a. 15%, tetapi interaksi tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap variabel yang lainnya. Perlakuan dosis urea secara tunggal berpengaruh sangat nyata terhadap hasil dan beberapa komponen hasil gabah lainnya serta kadar N, P dan K tanaman. 2. Perlakuan jarak tanam yang rapat secara nyata meningkatkan hasil dan semua komponen hasil gabah, kecuali panjang malai, kadar P dan K tanaman. Diperoleh hasil gabah k.a. tertinggi sebesar 4,47 t ha-1 pada perlakuan dosis urea 135 kg N ha-1 dengan jumlah populasi optimum 333.333 rumpun per ha (20 cm x 15 cm) 3. Pada penelitian ini juga diperoleh jarak tanam (populasi) optimum pada dosis pemupukan 90 kg N ha-1 dan 180 kg N ha-1 adalah sebesar 333.333 rumpun per ha (20 cm x 15 cm) dengan hasil gabah k.a. 15% yaitu 3,42 t ha -1 dan pada dosis pemupukan 180 kg N ha-1 diperoleh populasi optimum sebesar 500.000 rumpun per ha (20 cm x 10 cm) dengan hasil gabah 4,18 t ha-1. 4. Di antara ke tiga kadar hara (N, P dan K) tanaman, kadar N tanaman mempunyai hubungan yang paling erat dengan hasil gabah k.a. 15%. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1991. Statistik Pertanian Propinsi Bali. Kantor Wilayah Pertanian Propinsi Bali, Denpasar. Anonimous, 2002. Laporan Statistik Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Bali 2002. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Bali, Denpasar. Gardner, F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Terjemahan Tohari. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Gaspersz. V. 1992. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Jilid 1 dan 2. Tarsito, Bandung. Gomez, K.A. and A.A. Gomez. 1984. Statistical Procedure for Agricultural Research. 2 nd Edition. A. Wiley-Inter Science. Publ. Jhon Wiley & Sons. New YorkSingapura. Howard, D.D. and D.D. Tyler. 1989. Nitrogen Source, Rate, and Application Method for No-Tillage Corn. Soil Sci. Soc. Am. J. 53: 1573-1577. Nyakpa, Y.M., A.A. Lubis, M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, Go Ban Hong dan N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Unila, Lampung. Partorahardjo, S. dan A. Makmur. 1996. Peningkatan Produksi Padi Gogo. Pemb. Penelitian Sukarami. Vol. VIII : 5-10 Virgilus, H. 2000. Pemupukan Berimbang pada Padi Gogo. Balittan, Bogor. Vol. VII : 10-15.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
90
Seminar Nasional 2005 INTRODUKSI PADI VARIETAS FATMAWATI DI KAWASAN P3T KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Prajitno al KS., H. Purwaningsih dan B. Sudaryanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Luas panen padi di Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun semakin berkurang. Perubahan penggunaan lahan dari sawah menjadi lahan bukan sawah berlangsung setiap tahun, sehingga luas lahan sawah akan semakin sempit. Gejala pelandaian produksi padi juga terjadi sejak tahun 1997 hingga 2000. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi padi yang ramah lingkungan adalah dengan penggunaan Varietas Unggul Tipe Baru. Kegiatan Pengelolaan Tanaman dan Sumber daya Terpadu di Kabupaten Sleman yang dilaksanakan pada tahun 2003 memberikan peningkatan hasil padi cukup tinggi, di antara sembilan varitas yang dikaji terdapat tiga varietas yang hasilnya lebih tinggi dibandingkan IR64. Ketiga varietas tersebut yaitu Fatmawati, Memberamo dan Ciherang. Berikutnya dilakukan pengkajian padi varietas Fatmawati dan VUB lainnya, dilaksanakan dalam bulan Maret hingga September 2004 seluas 5 ha, menggunakan rancangan acak kelompok, lima ulangan. Perlakuannya adalah padi empat varietas yaitu Fatmawati, Ciherang, Mentik dan IR64. Padi ditanam dengan jarak tanam 20 x 15 cm dipupuk dengan Urea 300 kg + SP36 100 kg + KCl 50 kg dan 2 ton pupuk organik/ha. Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman menjelang panen, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai dan hasil gabah kering panen. Analisis ekonomi dilakukan secara sederhana untuk mengetahui untung ruginya usahatani padi. Hasil pengkajian menunjukkan, bahwa padi varietas Ciherang dan Fatmawati mengungguli varietas IR64 dan Mentik yaitu masing-masing 8,33; 8,32; 7,31; dan 7,04 ton/ha GKP. Usahatani padi varietas Fatmawati dan Ciherang di Desa Tegaltirto Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman masih layak dilakukan, karena masih menguntungkan dengan nilai MBCR > 2. Namun demikian pengembangan padi varietas Fatmawati tidak terjadi pada musim berikutnya, bahkan tidak ada yang menanam padi varietas Fatmawati pada MH 2004/05. Hal ini terjadi dengan alasan padi Fatmawati sulit dirontok, gabah hampa tinggi, penebas tidak mau membeli. Kata kunci: introduksi, padi, varietas
PENDAHULUAN Luas panen padi di Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun semakin berkurang, yaitu pada tahun 1998 seluas 47.507 ha sedangkan pada tahun 2002 tinggal 43.905 ha (Dinas Pertahanan Sleman, 2003). Perubahan penggunaan lahan dari sawah menjadi lahan bukan sawah berlangsung setiap tahun, sehingga luas lahan sawah akan semakin sempit. Gejala penurunan produktivitas padi terjadi sejak tahun 1997 hingga 2000. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi padi yang ramah lingkungan adalah dengan penggunaan Varietas Unggul Tipe Baru. Kegiatan Pengelolaan Tanaman dan Sumber daya Terpadu di Kabupaten Sleman yang dilaksanakan pada tahun 2003 memberikan peningkatan hasil padi cukup tinggi, di antara sembilan varitas yang dikaji terdapat tiga varietas yang hasilnya lebih tinggi dibandingkan IR64. Ketiga varietas tersebut yaitu Fatmawati, Memberamo dan Ciherang (Prajitno, 2004). Di Desa Tegaltirto Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman dapat dikatakan hampir tidak ada lahan bera. Pola tanamnya padi – padi – palawija, menyesuaikan dengan ketersediaan air irigasi dan curah hujan setiap tahun. Panen padi pada Musim Hujan biasanya diperhitungkan jatuh pada awal bulan Maret, yang kemudian membuat pesemaian untuk ditanam pada bulan April. Panen padi gadu biasanya jatuh pada bulan kering yang curah hujannya sudah tinggal sedikit bahkan tidak turun hujan (Gambar 1).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
91
Seminar Nasional 2005
Gambar 1. Rata-rata Curah Hujan di Tegaltirto Tahun 1993 – 2002.
Usahatani padi di Desa Tegaltirto yang dinamis ternyata ada positifnya yaitu tanggap terhadap adanya padi tipe baru varietas Fatmawati. Anggota kelompok tani di Tegaltirto ingin memantapkan keyakinannya atas keunggulan padi varietas Fatmawati dengan melakukan pengkajian, meskipun ada juga yang menanam varietas lainnya yaitu Mentik, Ciherang dan IR64 sebagai pembanding. Jenis tanah di Desa Tegaltirto termasuk Alluvial berwarna coklat ke abu-abuan, dengan pH (6,0 – 6,5). Di Desa Tegaltirto luas panen tanaman padi 646 ha dengan total produksi 4.457,4 ton, sehingga produktifitas tanaman padi di Desa Tegaltirto sebesar 6,9 ton/ha (Dinas Pertahanan Sleman, 2003). Produktivitas padi di Tegaltirto sudah berada di atas rata-rata produksi padi di Kabupaten Sleman. Dengan demikian upaya introduksi varietas Fatmawati di kawasan P3T diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi di Sleman. BAHAN DAN METODE Pengenalan pertama padi varietas Fatmawati di Desa Tegaltirto dilakukan mulai MH 2003/04 dengan pengkajian sembilan varietas di dalam kawasan P3T, seluas 5 ha. Musim tanam berikutnya yaitu pada MK 2004 luas tanaman padi varietas Fatmawati berkembang menjadi 36,94 ha. Di dalamnya dilakukan pengkajian dengan rancangan acak kelompok, lima ulangan. Perlakuannya adalah padi empat varietas yaitu Fatmawati, Ciherang, Mentik dan IR64. Padi ditanam dengan jarak tanam 20 x 15 cm dipupuk dengan Urea 300 kg + SP36 100 kg + KCl 50 kg dan 2 ton pupuk organik /ha. Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman menjelang panen, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai dan hasil gabah kering panen. Tanaman dipertahankan bebas gulma. Pengambilan sampel hasil atas dasar ubinan (2 x 5) m2 yang mewakili keragaan tanaman. Uji BNT dilakukan untuk mengetahui varietas padi yang memberikan hasil tertinggi. Analisis ekonomi dilakukan secara sederhana untuk mengetahui untung ruginya introduksi varietas unggul yaitu dihitung MBCRnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Petani di Desa Tegaltirto Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman, sebagian besar masih mengandalkan padi varietas IR64. Sebanyak 18,75 % menggunakan varietas baru yaitu Ciherang. Kegiatan PTT mampu meningkatkan produktivitas lahan sekitar 30 % (Prajitno, 2004). Kegiatan PTT di luar DIY yang dilakukan oleh BPTP masing-masing propinsi yang ada kegiatan PTT rata-rata juga dapat meningkatkan produktivitas lahan. Oleh karena itu konsep P3T adalah wajar kalau dikembangkan sebagai model peningkatan produktivitas padi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
92
Seminar Nasional 2005 Produktivitas empat varietas padi yang dikaji dengan rancangan RBD menghasilkan gabah kering panen varietas Ciherang dan Fatmawati mengungguli varietas IR64 dan Mentik yaitu masing-masing 8,33., 8,32., 7,31. dan 7,04 ton/ha (Tabel 1). Petani masih lebih memperhatikan kelemahan varietas Fatmawati yaitu gabah hampa yang masih tinggi dan lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Ciherang, IR64 dan Mentik. Gabah hampa padi Fatmawati mencapai hampir tiga kali gabah hampa varietas Ciherang, IR64 dan Mentik (Tabel 1). Hasil pengkajian di empat dusun di Desa Tegaltirto juga menunjukkan jumlah gabah hampa varietas Fatmawati lebih tinggi dibandingkan delapan varietas yang lain (Prajitno, 2004). Selain itu varietas Fatmawati juga ditandai dengan kelemahan yang lain yaitu gabahnya sulit dirontokkan, meskipun disadari bahwa kehilangan hasil akibat gabah rontok di hamparan sawah tidak ada. Jumlah gabah isi per malai, tertinggi memang dicapai oleh varietas Fatmawati yaitu 236 butir, namun belum mampu memikat hasrat petani untuk mengadopsinya, karena jumlah malai per rumpunnya hanya sedikit yaitu sekitar 8 – 9 malai. Jumlah malai per rumpun tertinggi dicapai varietas IR64, sehingga tanaman padi IR64 nampak lebih rapat dan diprediksi jerami yang diperoleh lebih banyak untuk kebutuhan pakan ternak sapi. Jerami padi di Tegaltirto nilainya cukup tinggi untuk pakan sapi, bahkan nilainya bisa mencapai Rp 500.000/ha di beli oleh orang-orang Gunungkidul (Junaidi, 2004). Pemandangan truk-truk pengangkut jerami dari Tegaltirto Berbah ke Gunungkidul selalu terjadi setiap panenan padi, utamanya saat panen padi Musim Kemarau. Sebagian jerami memang ada juga yang dimanfaatkan untuk pakan sapi milik peternak di Tegaltirto. Hal ini karena kebutuhan pakan ternak sapi di Tegaltirto memang meningkat akibat adanya peningkatan populasi ternak dalam kegiatan sistem integrasi padi – ternak (SIPT) (Supriadi, 2004). Tabel 1. Penampilan empat varietas padi di Tegaltirto, Berbah, Sleman MK 2004 Varietas Fatmawati Ciherang Mentik IR64 KK (%)
Tinggi tanaman (cm) 109,40 b 122,60 a 113,90 b 93,06 c 4,74
Jumlah malai/rumpun 8,46 12,80 11,26 14,28 10,01
c b b a
Jumlah gabah isi/malai 236,0 115,2 102,6 96,8 15,4
a bc bc c
Jumlah gabah hampa/malai (%) 18,4 5,3 6,7 5,2 17,1
a b b b
Hasil GKP (t/ha) 8,32 8,33 7,04 7,31 11,6
a a b b
Huruf yang sama dalam satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% BNT
Efisiensi tenaga kerja belum nampak, bahkan pada saat panen padi varietas Fatmawati para petani lebih banyak mengeluh kesulitan untuk merontoknya. Padi varietas Fatmawati perlu dibanting sebanyak sebelas kali sedangkan varietas yang lain termasuk IR64 cukup dengan 6 – 7 bantingan trnyata gabahnya sudah rontok (Mujisihono, R., 2005). Dengan demikian nampaknya perlu tenaga ekstra untuk merontok padi varietas Fatmawati. Dengan kata lain budidaya padi varietas Fatmawati membutuhkan tambahan tenaga pada saat panen, terutama untuk merontok. Budaya penggunaan mesin perontok belum berkembang di Desa Tegaltirto, lain halnya dengan di Bantul yang petaninya tidak asing lagi dengan manfaat penggunaan Threser (Mudjisihono, R. et al, 2004). Oleh karena itu perlu sosialisasi penggunaan mesin perontok, baik pedal threser maupun power threser di Kabupaten Sleman. Usahatani padi di Desa Tegaltirto menunjukkan bahwa komponen tenaga kerja membutuhkan biaya lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pembelian bahan. Dari hasil analisis finansial menunjukkan bahwa usahatani padi sawah di Desa Tegaltirto Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman masih layak dilakukan, karena masih menguntungkan dengan nilai MBCR > 2 (Tabel 2) Secara rinci ternyata besarnya MBCR untuk usahatani padi varietas Fatmawati, Ciherang dan Mentik adalah 2,37; 2,40 dan 0,90.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
93
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Analisis finansial usahatani padi setiap ha pada lahan sawah di Tegaltirto MK 2004. Variable
Volume
I. Tenaga Kerja 1. Pembuatan pesemaian 2. Pengolahan tanah 3. Cabut bibit 4. Penempatan bibit 5. Tanam 6. Penyiangan 7. Memupuk 8. Penyemprotan 9. Panen selain Fatmawati 10. Panen padi Fatmawati Jlh. biaya tenaga kerja selain Fatmawati Jlh. biaya tenaga kerja padi Fatmawati II. Bahan 1. Benih padi selain IR64 2. Benih padi IR64 3. Urea 4. SP36 5. KCl 6. Insektisida 7. Pupuk organik Jumlah biaya bahan selain IR64 Jumlah biaya IR64 III. Sewa Lahan IV. Hasil Padi (Gabah Kering Giling) Fatmawati Ciherang Mentik IR64 Rata-rata nilai jual V. Keuntungan Fatmawati Ciherang Mentik IR64 VI. MBCR Fatmawati Ciherang Mentik
Nilai Satuan (Rp)
Total (Rp)
1 unit 1 paket 22 orang 5 orang 32 orang 34 orang 3 orang 3 orang 33 orang 63 orang
50.000 300.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000 10.000
50.000 300.000 220.000 50.000 320.000 340.000 30.000 30.000 330.000 630.000 1.670.000 1.970.000
30 kg 30 kg 300 kg 100 kg 50 kg 2 ltr 2.000kg
3.000 2.000 1.050 1.400 1.800 85.000 300
90.000 60.000 315.000 140.000 90.000 170.000 600.000 1.405.000 1.375.000 1.333.000
8.320 kg 8.330 kg 7.040 kg 7.310 kg
1.000 1.000 1.000 1.000
8.320.000 8.330.000 7.040.000 7.310.000 500.000 4.112.000 4.122.000 3.132.000 3.402.000 2,37 2,40 0,90
KESIMPULAN Petani menyadari bahwa padi varietas Ciherang dan Fatmawati di Desa Tegaltirto Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman mampu menghasilkan 8,33 dan 8,32 ton/ha mengungguli varietas IR64 yang hasilnya 7,31 ton/ha GKP. Padi varietas Fatmawati dan Ciherang di Desa Tegaltirto Kecamatan Berbah Kabupaten Sleman masih layak dibudidayakan, karena masih menguntungkan dengan nilai MBCR > 2. Namun demikian pengembangan padi varietas Fatmawati tidak terjadi pada musim berikutnya, bahkan tidak ada yang menanam padi varietas Fatmawati pada MH 2004/05. Hal ini terjadi dengan alasan padi Fatmawati sulit dirontok, gabah hampa tinggi, dan penebas tidak mau membeli. UCAPAN TERIMAKASIH Kegiatan pengkajian ini terselenggara adanya dukungan sebagian dana dari Balai Penelitian Padi Sukamandi, karena itu peneliti BPTP Yogyakarta mengucapkan terimakasih kepada Kepala Balitpa Sukamandi. Demikian juga terimakasih kami ucapkan kepada para petani di Tegaltirto atas peran aktifnya, sehingga introduksi padi varietas Fatmawati dapat terlaksana dengan baik, meskipun berikutnya padi varietas Fatmawati tidak menyebar luas di Berbah, Sleman.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
94
Seminar Nasional 2005 DAFTAR PUSTAKA Balitpa, 2000. Pengkajian dan Pengembangan Intensifikasi Padi Lahan Irigasi Berdasarkan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Balitpa. Seminar Hasil Super Impose dan Demonstrasi Pengelolaan Tanaman Terpadu, Sukamandi, 15 Januari 2001. 9 hal. Balitpa, 2001. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Balitpa-Sukamandi Dinas Pertahanan Sleman, 2003. Programa Penyuluhan Pertanian Koordinat VII Sleman. Junaidi, 2004. Nilai Jual Jerami Padi Pada Saat Panen Setiap ha. Komunikasi Pribadi. Las, I, 2001. Pengkajian dan Pengembangan Intensifikasi Padi Lahan Irigasi Berdasar Pengelolaan Tanaman Terpadu. Badan Litbang Pertanian, Balitpa Sukamandi. Workshop on PRA for ICM Project, 14 – 20 Januari 2001. Monografi Desa Tegaltirto. 2002. Monografi Desa Tegaltirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Prajitno al KS., 2004. Produktivitas sembilan varietas padi di Tegaltiro, Berbah, Sleman. Laporan Pelaksanaan P3T Kabupaten Sleman TA 2003. Mudjisihono, R., A. Setyono dan A. Guswara. 2004. Kajian Cara Perontokan Padi Pada Pemanenan Padi Sistem Kelompok Dan Tingkat Kerontokan Padi Tipe Baru PTB0202
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
95
Seminar Nasional 2005 KONDISI PEMUPUKAN PADI SAWAH SAAT INI DAN PERKEMBANGAN REKOMENDASINYA DI NTB Andri Nurwati dan Ahmad Suriadi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
ABSTRAK Produktivitas pertanian khususnya padi tergantung pada penggunaan pupuk organik sebagai faktor produksi yang mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras. Penggunaan pupuk secara rasional dan seimbang adalah faktor kunci untuk mengembangkan dan meningkatkan produktivitas padi lahan. Akan tetapi, rekomendasi pemupukan untuk padi di NTB masih secara umum dan belum spesifik lokasi serta tidak memperhatikan kebutuhan hara tanaman dan hara tanah asli. Praktik ini telah menyebabkan penurunan tingkat produktivitas beras sejak 1990. Rekomendasi pemupukan yang dihasilkan tahun 1996 lebih rasional dari tahuntahun sebelumnya. Akan tetapi rekomendasi ini belum dievaluasi. Uji pemupukan dan pemetaan status hara untuk P dan K pada tanah sklala 1 : 50.000 sebagai data dasar untuk rekomendasi pemupukan telah dilaksanakan di NTB di dua kabupaten (Lombok Barat dan Bima) dan empat kabupaten lainnya perlu dievaluasi dan dipetakan untuk P dan K yang sama. Rekomendasi pemupukan berdasarkan pada uji tanah telah digunakan pada level-level kedinasan (seperti Dinas Pertanian) tapi butuh lebih banyak usaha untuk menyebarluaskan tenologi pada tigkat petani. Petani masih menggunakan rekomendasi pemupukan umum dan mereka cenderung untuk menggunakan pupuk secara belebihan. Uji hara spesifik lokasi harus dilakukan untuk menentukan rekomendasi pemupukan khusus untuk lokasi tertentu dan disebarluaskan hasilnya kepada pengguna. Kata kunci: Produktivitas padi, pupuk, rekomendasi, hara.
PENDAHULUAN Nusa Tenggara Barat memiliki lahan sawah irigasi teknis seluas 215.8873 ha (Dinas Pertanian NTB, 2004). Hampir seluruh lahan tersebut dapat ditanami padi dua kali setahun dengan pola tanam padi–padi–palawija dengan intensitas 250 – 300%/tahun. Terobosan melalui intensifikasi telah mampu meningkatkan produktivitas padi sehingga NTB ditetapkan sebagai salah satu penghasil padi nasional. Pada perkembangan selanjutnya, ternyata peningkatan produktivitas mengalami pelandaian. Jika pada pelita III kenaikan produktivitas padi menjadi rata-rata 283 kg/ha, maka pada pelita IV turun drastis menjadi 21,25 kg/ha (BPS 1999; Kanwil Deptan NTB, 2000). Keadaan ini cukup menghawatirkan karena kenaikan produktivitas padi kecenderungannya akan lebih rendah daripada kenaikan jumlah penduduk yaitu sebesar 2,34% (BPS 1999). Usaha meningkatkan produksi pertanian terutama tanaman padi tidak terlepas dari penggunaan pupuk anorganik sebagai salah satu faktor produksi yang sangat penting (Reijntjes et al., 1992). Pemerintah sejak periode 1969-1997 telah banyak menerapkan serangkaian kebijakan untuk mendorong penggunaan pupuk pada usahatani padi. Usaha tersebut menghantarkan Indonesia mampu mencapai swasembada pangan (beras) pada tahun 1984 (Sri Rochayati dan Sri Adiningsih, 2002). Namun demikian, penggunaan pupuk anorganik masih banyak dilakukan secara kurang tepat, baik dalam penentuan jenis, dosis, waktu, dan cara pemberian pupuk. Hal ini jelas memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap keadaan fisik, kimia dan biologi tanah serta lingkungan secara keseluruhan. Peningkatan produksi dengan hanya mengandalkan pemberian pupuk anorganik dengan pola tanam padi-padi-palawija yang terus menerus dan mengabaikan unsur-unsur hara yang terangkut oleh hasil panen dapat mengakibatkan menurunnya keseimbangan hara dalam tanah dan mempercepat pemerosotan kesuburan tanah. Jika keadaan tersebut berlangsung dalam waktu yang cukup lama, maka akan terbentuk tanah kritis. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka pengelolaan tanah yang tepat menjadi sangat penting agar kesuburan tanah dapat dilestarikan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
96
Seminar Nasional 2005 Kebutuhan pangan dimasa mendatang akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga penggunaan lahan akan semakin intensif bahkan mungkin menjadi super intensif. Disamping itu, lahan pertanian akan semakin berkurang karena alih fungsi menjadi lahan non pertanian. Dengan penggunaan lahan yang demikian intensifnya itu, maka diperlukan ketepatan teknologi budidaya tanaman seperti rekomendasi pemupukan. Penggunaan pupuk yang tepat jumlah dan jenisnya terutama untuk lokasi yang spesifik sangat menguntungkan baik secara teknis, ekonomis maupun lingkungan. Pengunaan pupuk secara rasional dan berimbang adalah salah satu faktor kunci untuk dapat memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian, terutama di daerah tropika dimana ketersediaan unsur hara yang cukup merupakan salah satu pembatas produksi. Makalah ini menyajikan perkembangan penggunaan dan rekomendasi pemupukan di NTB dan pengujian rekomendasi pemupukan. PERKEMBANGAN PENGGUNAAN PUPUK DAN REKOMENDASI PEMUPUKAN PADI DI NTB Penggunaan pupuk untuk tanaman pangan terutama padi di NTB telah dimulai sekitar tahun 1960-an bersamaan program intensifikasi padi melalui program BIMAS (Dinas Pertanian NTB, 2004). Perkembangan penyaluran pupuk dari pelita II sampai tahun 2003 dapat dilihat pada Gambar 1. Penyaluran pupuk untuk tanaman pangan cukup meningkat sampai tahun 1984 sehingga swasembada beras tercapai pada tahun tersebut. Walaupun data penyaluran pupuk dari Gambar 1 masih bersifat umum, namun sebagian besar pupuk yang disalurkan itu digunakan untuk sektor pertanian tanaman pangan. Menurut Sri Rochayati dan Sri Adiningsih (2002) proporsi penggunaan pupuk sebagian besar (75%) digunakan dalam sektor pertanian. Dari nilai tersebut, sebagian besar pupuk digunakan dalam program intensifikasi padi sawah. Namun sejak tahun 1999 – 2003 jumlah pupuk SP-36 dan KCl cenderung menurun sedangkan pemakaian urea cenderung meningkat. Menurunnya penggunaan SP36 dan KCl memungkinkan akan berdampak kurang baik terhadap produktivitas tanaman dan kesuburan tanah. Apabila pemberian urea dilakukan secara terus menerus pada lahan yang kekurangan unsur P dan K maka akan terjadi ketidak seimbangan hara didalam tanah.
Jumlah Pupuk (ton)
120000
KCl SP36 Urea
100000 80000 60000 40000 20000
03 20
01 20
99 19
97 19
95 19
93 19
91 19
89 19
87 19
85 19
83 19
81 19
Pe
lita
II
0
Tahun Sumber: Pusri Cabang NTB
Gambar 1. Perkembangan penyaluran pupuk di NTB selama Pelita II sampai 2003
Penggunaan pupuk pada tahun 1998 lebih sedikit dibandingkan dengan tahun sebelum maupun setelahnya (Gambar 1). Hal ini mungkin disebabkan oleh naiknya harga pupuk setelah subsidi pupuk di hapus oleh pemerintah pada tahun 1998. Kenyataan ini
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
97
Seminar Nasional 2005 didukung oleh rendahnya produktivitas tanaman padi pada tahun yang sama dibandingkan dengan tahun sebelum atau sesudahnya (Gambar 2). Produktivitas tanaman padi dari tahun 1960 – 2003 dapat dilihat pada Gambar 2. Rata-rata produktivitas padi dari tahun 1960-1970 adalah 2,45 ton/ha, untuk tahun 19711980 adalah 2,81 ton/ha, untuk tahun 1981-1990 adalah 3,78 ton/ha dan tahun 1991-2003 adalah 4,37 ton/ha (Gambar 2). Dari tahun 1960 sampai 1980, produktivitas padi masih sangat rendah. Untuk mendorong petani agar mampu menggunakan pupuk, maka pemerintah telah menempuh kebijakan subsidi pupuk. Kebijakan tersebut telah mampu meningkatkan produktivitas padi dengan sangat tinggi yaitu rata-rata meningkat sebesar 0,91 ton/ha pada tahun 1980 sampai 1990. Namun rekomendasi pemupukan yang diberikan oleh pemerintah didasarkan pada pengujianpengujian lapang yang bersifat agronomis yang menghasilkan rekomendasi umum dan bersifat nasional tanpa memperhatikan kondisi tanah dan kebutuhan tanaman spesifik lokasi (Tabel 1). Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya pelandaian produktivitas padi dari tahun 1990 sampai sekarang (Gambar 2). Rekomendasi pemupukan tersebut masih digunakan sampai tahun 1996 di Nusa Tenggara Barat. 50 Produktivitas (kw/ha)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 1960
1965
1970
1975
1980
1985
1990
1995
2000
Tahun
Sumber: Dinas Pertanian diolah
Gambar 2. Keragaan produktivitas padi sawah di NTB selama tahun 1960 - 2003
Rekomendasi pemupukan tahun 1983 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan tidak terdapat perbedaan dosis pemupukan untuk semua wilayah di NTB. Padahal dalam menetapkan rekomendasi pemupukan tanaman harus mempertimbangkan: 1). Kemampuan tanah dalam menyediakan hara, 2). Kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara, 3). Terget hasil yang ingin dicapai dan 4). Jenis pupuk yang akan digunakan (Abdulrahman et al. 2002). Rekomendasi pemupukan yang dikeluarkan pada tahun 1994 tidak banyak berbeda dengan rekomendasi yang dikeluarkan tahun 1983 (Tabel 1). Hanya beberapa daerah saja yang rekomendasi ureanya berubah yaitu Tanjung, Gondang, Bayan dan Sekotong. Sedangkan daerah yang rekomendasi KCl-nya berubah adalah Kempo, Rasabou, Wera dan Terate, sementara rekomendasi pemupukan P tidak berubah untuk seluruh wilayah NTB. Secara umum, tanaman padi hanya mampu menyerap 20-30% dari seluruh pupuk P yang diberikan dan 40-50% dari pupuk K yang diberikan (Abdulrahman et al. 2002). Sekitar 7080% dari jumlah pupuk P yang diberikan tersebut sebagian besar manjadi residu di dalam tanah. Apabila pupuk P diberikan terus menerus selama minimal 10 tahun pada lahan irigasi di NTB, berarti sudah banyak residu P yang ada di dalam tanah. Hal ini ditunjukkan oleh hasil uji status hara P dan K yang telah dilakukan di Kabupaten Lombok Barat dan Bima. Sebagian besar lahan sawah dikedua kabupaten tersebut mempunyai status hara P dan K tinggi sampai sangat tinggi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
98
Seminar Nasional 2005 Pembuatan rekomendasi pemupukan tahun 1996 cukup mengalami kemajuan. Rekomendasi tersebut dibuat dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti sifat tanah, status hara, dan tingkah laku hara dan tanaman. Namun acuan yang digunakan dalam membuat rekomendasi tersebut masih bersifat umum. Dasar utama dari pembuatan rekomendasi tersebut adalah dari hasil pemetaan status hara P dan K skala 1:250.000 untuk Pulau Lombok yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor tahun 1993. Pemetaan pada skala ini masih terlalu kecil untuk dijadikan pedoman dalam menentukan rekomendasi pemupukan. Oleh karena itu hasil penelitian Puslitbangtanak Bogor tersebut harus ditindak lanjuti dengan pemetaan status hara P dan K pada skala yang lebih besar (lebih detail) dan tidak hanya di Pulau Lombok saja, tetapi juga di Pulau Sumbawa. Pada dasarnya, peta skala 1:250.000 dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan arahan kebutuhan pupuk di suatu daerah. Untuk penentuan rekomendasi pemupukan maka diperlukan peta P dan K skala yang lebih besar (minimal 1:50.000) (Jamil et al., 2002). Tabel 1. Perkembangan rekomendasi pemupukan di NTB WKBPP Rumak Ds Tereng Pagutan Tanjung Gondang Bayan Sekotong Praya Mantang Penujak Mujur Lenek Pringgabaya Rensing Sumbawa Brt Lape Empang Uthan Alas Taliwang Kempo Rasabou Wera Terate
Sumber:
1983
1994
1996 TSP KCl
Jenis Tanah
Urea
TSP
KCl
Urea
TSP
KCl
Lokasi
Urea
300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50
300 300 300 250 250 250 250 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300 300
100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
50 50 50 50 50 50 0 50 50 50 0 50 50 50 50 50 50 50 50 50 0 0 0 0
MATARAM LOBAR a. Gunungsari b. Gerung c. Labuapi d. Narmada e. Tanjung f. Bayan g. Sekotong LOTENG a. Praya b. Kopang c. Praya Barat d. Pujut e. Pringgarata LOTIM a. Aikmel b. Selong c. Terara d. Pringgabaya e. Sambelia SUMBAWA a. Lape Lopok b. Moyo Hilir Kec. Lain di P. Sumbawa
250
50
0
Regosol
250 250 250 250 250 250 250
75 75 50 50 50 75 75
0 0 0 0 0 50 0
Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol Regosol
200 200 200 200 250
75 75 75 75 75
0 0 0 0 25
Grum, Reg Reg., Grum. Grumusol Grumusol Regosol
250 200 200 250 250
75 75 75 75 75
0 25 0 25 0
Regosol Reg., Grum. Grum., Reg. Med. Kmplek Med.,Aluv.
150 250 250
50 75
0 0
Reg.med.grum Aluvial Alluv.,med.grum, reg.
Dinas Pertanian NTB (1983); Dirjen Bina Produksi Padi dan Palawija (1994); Sekretariat Pembina Harian BIMAS NTB (1996)
Sejak diterapkan otonomi daerah di NTB dan Kantor Wilayah Departemen Pertanian NTB berubah menjadi Badan Urusan Ketahanan Pangan Daerah NTB (BUKPD), maka instansi yang menyusun rekomendasi pemupukan menjadi tidak jelas. Pemupukan yang dilakukan oleh petani seolah-olah tidak terkontrol dan mereka memberikan pupuk jauh lebih tinggi dari rekomendasi pemupukan yang ada. Hasil PRA di Desa Jenggala Kecamatan Tanjung Lobar menunjukkan bahwa dosis pemupukan yang dilakukan petani adalah urea: 400-500 kg/ha; SP36: 100 kg/ha dan KCl 0 kg/ha. Sedangkan di Desa Rade Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima, dosis pemupukan yang dilakukan oleh petani adalah urea: 300 kg/ha; SP36: 100 kh/ha dan KCl: 0 kg/ha. Padahal status hara P dan K di kedua lokasi tersebut berturut-turut termasuk sedang dan tinggi (Wirajaswadi et al., 2002). Pembuatan rekomendasi pemupukan terutama untuk N, P dan K berdasarkan konsep pemupukan berimbang akhir-akhir ini telah disadari oleh instansi terkait terutama Dinas Pertanian Provinsi NTB dan konsep tersebut mulai digunakan. Hal ini ditunjukkan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
99
Seminar Nasional 2005 adanya ”program demonstrasi area (demarea) pemupukan berimbang di NTB”. Hasil demarea menunjukkan adanya efisiensi pemupukan melalui pemberian pupuk berdasarkan hasil analisis tanah (Dinas Pertanian NTB, 2004). Namun pemahaman konsep pemupukan berimbang ditingkat petani masih sangat rendah dan perlu usaha yang lebih banyak lagi untuk memahamkan akan pentingnya pemupukan berimbang. PENGUJIAN REKOMENDASI PEMUPUKAN PADI DI NTB Pengujian dalam rangka penyusunan rekomendasi pemupukan telah dilaksanakan oleh beberapa lembaga. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor telah melakukan penelitian dan pemetaan status hara P dan K lahan sawah di Pulau Lombok tetapi kegiatan tersebut belum dilakukan untuk Pulau Sumbawa. Dari penelitian tersebut telah dihasilkan peta status hara P dan K lahan sawah untuk Pulau Lombok dengan skala 1:250.000. Puslibangtanak telah menyusun status hara P dan K pada lahan sawah berdasarkan pengekstrak HCl 25%. Hasil pengujian tersebut telah mengelompokkan status hara P tanah kedalam katagori tinggi (>40 mg P2O5/100 gram), sedang (20 – 40 mg P2O5/100 gram ) dan rendah (<20 mg P2O5/100 gram) sedangkan untuk status hara K adalah tinggi (>20 mg K2O/100 gram), sedang (10 – 20 mg K2O/100 gram) dan rendah (< 10 mg K 2O/100 gram) (Puslitbangtanak, 1992; Sofyan dan Suryono, 2002). Pemetaan status hara P dan K skala 1:50.000 dan pengujian rekomendasi pemupukan P dan K telah dilakukan di 2 kabupaten di NTB yaitu Kabupaten Lombok Barat dan Bima berturut-turut tahun 2001 dan 2002. Hasil pemetaan status hara P lahan sawah di Kabupaten Bima menunjukkan bahwa luas lahan sawah dengan status P rendah adalah 1.634,88 ha (6,87%) dengan kisaran antara 8,12 – 19,45 mg P2O5/100 g tanah. Luas lahan sawah dengan status P sedang adalah 14.120,01 ha (59,32%) dengan kisaran antara 20,03 – 39,92 mg P2O5/100 g tanah, sedangkan luas lahan sawah dengan status P tinggi adalah 8.048,11 ha (33,81%) dengan kisaran antara 40,03 – 98,89 mg P2O5/100 g tanah (Tabel 2). Penyebaran status hara P di Kabupaten Lombok Barat hampir sama dengan kondisi di Kabupaten Bima. Bahkan status hara P sedang dan tinggi di Kabupaten Lombok Barat lebih tinggi dibandingkan di Kabupaten Bima. Luas lahan sawah dengan status hara P rendah adalah 268 ha atau 1,35% dari total luas lahan sawah di Kabupaten Lombok Barat dengan kandungan hara P yang paling rendah adalah 10.5 mg P 2O5/100 g tanah, sedang luas lahan sawah dengan status hara P sedang sampai tinggi sebesar 98,65% dengan kandungan hara P tertinggi sebesar 100,7 mg P2O5/100 g tanah (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah di Kabupaten Lombok Barat dan Bima mempunyai kandungan hara P yang cukup untuk mensuplai kebutuhan tanaman akan unsur P. Tabel 2. Luas lahan sawah berdasarkan status hara P di kabupaten Bima dan Lombok Barat
Status hara P
Luas lahan sawah berdasarkan status P
Kadar P ekstrak HCl 25% (mg P2O5/100 g)
(ha)
< 20 20 - 40 > 40
1.634,88 14.120,01 8.048,11
6,87 59,32 33,81
268 6.098 13.521
1,35 30,66 67,99
23.803
100
19.887
100
Rendah Sedang Tinggi Jumlah
Kab. Bima
Kab. Lobar (%)
(ha)
(%)
Percobaan pengujian pemupukan P dan K juga telah dilakukan di kedua kabupaten tersebut. Hasil pengujian pemupukan P pada status sedang di Kabupaten Lombok Barat menunjukkan bahwa pemberian pupuk P dengan dosis 20 kg P/ha (127 kg SP36/ha) merupakan takaran yang dapat dijadikan rekomendasi pemupukan P di lahan sawah. Sedangkan untuk Kabupaten Bima, takaran yang direkomendasikan berdasarkan hasil
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
100
Seminar Nasional 2005 pengujian adalah 100 kg SP36/ha pada status hara P rendah sampai sedang. Perbedaan dosis pemupukan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil padi pada status hara P tinggi. Sri Rochayati dan Sri Adiningsih (2002) menganjurkan dosis pemupukan P pada status P tinggi adalah 50 kg SP36/ha dan status P sedang adalah 75 kg SP36/ha. Hasil pemetaan status hara K lahan sawah di Kabupaten Bima menunjukkan bahwa luas lahan sawah dengan status hara K rendah adalah 118,44 Ha (0.5% dari total luas lahan sawah di Kabupaten Bima) dengan kandungan hara K terendah sebesar 8,72 mg K 2O/100 g tanah. Lahan sawah dengan status hara K sedang seluas 861,18 Ha (3,62 %) dan status hara K tinggi seluas 22.823,38 Ha (95,88 %) dengan kandungan hara K tertinggi sebesar 90,31 mg K2O/100 g tanah (Tabel 3). Tabel 3. Luas lahan sawah berdasarkan status hara K di Kabupaten Bima dan Lombok Barat
Status hara K
Kadar K ekstrak HCl 25% (mgK2O/100 g tanah)
Rendah Sedang Tinggi
< 10 10 - 20 > 20 Jumlah
Luas lahan sawah berdasarkan status K Kab Bima (ha) 118,44 861,18 22.823,38 23.803
Kab. Lobar (%)
(ha)
(%)
0,50 3,62 95,88
0 765 19.122
0 3,85 96,15
100
19.887
100
Di Kabupaten Lombok Barat, tidak terdapat lahan sawah yang kandungan unsur hara K dengan status rendah. Kandungan terendah unsur hara K dengan status sedang diperoleh sebesar 11,04 mg K2O/100 g tanah, sedangkan kandungan hara K yang tertinggi diperoleh sebesar 164,32 mgK2O/100 g tanah. Secara umum, sebagian besar lahan sawah di kedua kabupaten tersebut mempunyai kandungan unsur hara K tinggi. Hasil pengujian pemupukan K pada status hara sedang sampai tinggi menunjukkan bahwa pemberian pupuk K tidak memberikan respon yang nyata terhadap hasil padi. Berdasarkan hasil pengujian tersebut maka dapat direkomendasikan bahwa seluruh lahan sawah yang ada di Kabupaten Lombok Barat tidak memerlukan pupuk K, namun jerami padi harus dikembalikan ke lahan sawah. Soepartini et al. (1996) menyatakan bahwa pemupukan K pada lahan sawah dengan status K sedang sampai tinggi tidak perlu diberikan karena kebutuhan K untuk tanaman padi dapat dipenuhi dari K tanah, sumbangan K dari air pengairan dan pengembalian jerami. Sri Rochayati dan Sri Adiningsih (2002) menganjurkan dosis pemupukan berdasarkan hasil uji tanah bila jerami dikembalikan ke lahan adalah pada status K tinggi dan sedang 0 kg KCl/ha + jerami, sedangkan untuk status K rendah 50 kg KCl/ha + jerami. Sedangkan pemupukan K tanpa pengembalian jerami ke lahan adalah 50 dan 100 kg KCl/ha berturut-turut untuk status K tinggi dan sedang, dan rendah. Secara umum, status hara N lahan sawah di NTB berada pada kisaran rendah sampai sangat rendah. Kenyataan ini didukung oleh rendahnya kandungan bahan organik yang menjadi salah satu sumber utama N tanah. Disamping itu, mobilisasi N yang sangat tinggi menyebabkan kandungan N tanah menjadi rendah. Dengan demikian, maka pemberian pupuk N harus dilakukan untuk meningkatkan hasil panen. Sebagai tambahan, tanaman padi hanya mampu menyerap sekitar 30-40% dari seluruh pupuk N yang diberikan (Abdulrahman et al., 2002). Sebagian besar N dapat menguap menjadi gas ataupun bentuk lain yang tidak dapat tersedia bagi tanaman. Petani pada umumnya memupuk lebih dari dosis yang dianjurkan sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya (kasus di Jenggala Lobar dan di Rade Bima). Hasil percobaan wirajaswadi et al. (2002) menunjukkan bahwa hasil padi pada pemupukan dengan 400 kg urea/ha + 75 kg SP36/ha tidak berbeda nyata dengan perlakuan LCC (250 kg urea/ha + 75 kg SP36/ha). Penggunaan LCC sebagai alat bantu dalam menentukan pemupukan urea dapat
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
101
Seminar Nasional 2005 menghemat pupuk 25-50% dari total urea yang digunakan petani. Namun petani masih kesulitan menggunakan LCC karena persepsi petani terhadap warna berbeda-beda. DAFTAR PUSTAKA Abdulrahman, S., C. Witt and R. Buresh. 2002. Pengembangan metode pengelolaan unsur hara spesifik lokasi. Lokakarya Pengelolaan Hara P dan K Pada Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Solo Jawa Tengah 1-3 Oktober 2002 Badan Pusat Statistik NTB. 1999. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik NTB. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Daerah TK I NTB. 1983. Anjuran Teknologi Tanaman Pangan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan NTB. Dinas Pertanian NTB. 2004. Data Base Prasarana dan Sarana Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dinas Pertanian Nusa Tenggara Barat. Dirjen Bina Produksi Padi dan Palawija. 1994. Anjuran Teknologi Peningkatan Produksi Padi dan Palawija Tahun 1994. Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan. Direktorat Bina Produksi Padi dan Palawija. Jakarta. Jamil A., Z. Zaini dan H. Sembiring. 2002. Keterkaitan antara Peta P dan K skala 1:250.000 dengan Skala 1:50.000 : Dasar penentuan rekomendasi pada lahan sawah Kanwil Deptan NTB. 2000. Evaluasi Program Tahun 1999 dan Kebijakan Pangan Tahun 2000. Makalah Rakor Panan NTB, 28 Maret 2000 Pupuk Sriwijaya Cabang NTB. 2003. Laporan Tahunan Pusri Cabang NTB. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1992. Penelitian Status P dan K lahan sawah di Lombok. Laporan Hasil Penelitian Puslittanak TA. 1991/1992. Reijntjes, C., B. Haverkort and A.W. Bayer. 1992. Farming for the Future, An Introduction to Low-Input and sustainable Agriculture. The Macmillan Press Ltd. London and Basingstoke. Sekretariat Pembina Harian Bimas Provinsi NTB. 1996. Rekomendasi Pemupukan Di Wilayah NTB. Sekretariat Pembina Harian Bimas Provinsi NTB. Mataram Sofyan, A., dan J. Suryono. 2002. Petunjuk Teknis Pembuatan Peta Status Hara P dan K Lahan Sawah Skala 1:50.000 Serta Percobaan Pemupukan. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Soepartini, M., Sri Widiawati, M.E. Suryadi dan T. Prihartini. 1996. Evaluasi kualitas dan sumbangan hara dari air pengairan di Jawa. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk No. 14. 1996. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Sri Rochayati dan Sri Adiningsih. 2002. Pembinaan dan pengembangan program uji tanah: hara fosfat dan kalium pada lahan sawah. Makalah lokakarya Pengelolaan Hara Fosfat dan Kalium Untuk Tanaman Padi Sawah, Solo Jawa Tengah 2-3 Oktober 2002. Wirajaswadi, L., A. Hipi, M. Zairin, Z.A. Wancik, Y.A. Hadi, H. Sembiring, Mashur dan Prisdiminggo. 2002. Pengkajian Pengelolaan Tanaman Terpadu Budidaya Padi Sawah Di Bima dan Lombok Barat. Laporan Akhir. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Mataram.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
102
Seminar Nasional 2005 PENYAKIT TUNGRO DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT Burhanuddin Loka Penelitian Penyakit Tungro
ABSTRAK Penyakit tungro telah tersebar di 26 Propinsi dan 142 kabupaten termasuk di antaranya Provinsi Nusa Tenggara Barat. Makin muda umur tanaman saat terserang semakin tinggi dampak kehilangan hasilnya. Luas serangan penyakit tungro di Nusa Tenggara Barat mencapai rata-rata 246 ha setiap tahun, dengan nilai kehilangan hasil sekitar Rp. 1.275.608.400 setiap tahun. Serangan yang tinggi terjadi pada bulan Januari sampai dengan Mei. Selain kehilangan hasil tersebut di atas, juga karena tersedianya sumber inokulum sepanjang tahun di lapangan, maka hal ini merupakan ancaman sewaktu-waktu dapat terjadinya ledakan penyakit tungro bila tidak dikendalikan dengan baik. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan pendekatan pengendalian dengan waktu tanam tepat dan serempak (membuat tanaman terhindar) serta eliminasi virus menggunakan varietas tahan virus dengan mengkombinasikan cara pengendalian antara lain: (1) menanam pada waktu yang tepat dan serempak pada hamparan minimal seluas 40 ha (hasil penelitian di Dolago menunjukkan bahwa waktu tanam yang baik di Dolago Kecamatan Parigi Moutong adalah pada bulan Juli); (2.) sanitasi lingkungan sebelum tanam; (3) gunakan varietas padi unggul yang tahan serangga vektor wereng hijau atau tahan virus tungro seperti varitas Tukad Unda dan Tukad Balian. Selain itu hasil penelitian oleh Loka Penelitian Penyakit Tungro diketahui 5 galur padi sawah tahan tungro yang beradaptasi baik dan memberikan hasil lebih besar 6,0 t/ha di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan yaitu galur OBSTG02-84, OBSTG02 124, OBSTG02-130, OBSTG02-131, dan OBSTG02-135. Disarankan kepada BPTP Nusa Tenggara Barat agar ke 5 galur tersebut dapat dikaji lebih lanjut di sentra-sentra produksi terutama di wilayah-wilayah yang sering terserang penyakit tungro di daerah ini. Kata kunci : penyakit tungro, wereng hijau, kehilangan hasil, pengedalian
PENDAHULUAN Beras merupakan makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk di Indonesia. Permintaan beras meningkat setiap tahunnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Kebutuhan beras setiap tahun mencapai 110-120 kg/kapita/tahun sebagai pangan dan kebutuhan industri. Produksi beras nasional 4 t/ha belum bisa mencukupi kebutuhan tersebut (Krisnamurti, 2002). Untuk mencukupi kebutuhan beras bagi penduduk Indonesia sampai dengan tahun 2009, produksi beras harus ditingkatkan sebesar 2,4% per tahun, dengan kondisi permasalahan yang semakin komplek. Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah salah satu daerah sentra penghasil beras di luar pulau Jawa. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa selama 5 tahun terakhir (periode 2000-2004) rata-rata luas panen sekitar 286.581 ha/tahun dengan total produksi mencapai 1.345.714 t/ha/tahun dan produktivitas 4,714 t/ha. Rata-rata produktivitas yang telah dicapai ini lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas secara nasional yang baru mencapai 4,536 t/ha, namun masih rendah dibandingkan dengan potensi hasil varietas unggul. Potensi hasil varietas unggul padi yang telah dilepas Badan Litbang Pertanian selama sepuluh tahun terakhir antara 5 sampai 9 ton gabah kering giling per hektar (Balitpa, 2002). Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Propinsi Nusa Tenggara Barat periode 2000-2004 Tahun
Luas Panen (Ha)
Produksi (t)
Produktivitas (t/ha)
300.003 296.928 274754 278.770 277.451 286.581
1.394.627 1.380.580 1.283.981 1.324.112 1.345.271 1.345.714
4,649 4,650 4,673 4,750 4,849 4,714
2000 2001 2002 2003 2004* Rata-rata Sumber : BPS Statistik Indonesia (2005)
Gangguan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) tetap menjadi kendala penting yang perlu segera ditangani dalam usaha meningkatkan produksi tanaman pangan. Berbagai
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
103
Seminar Nasional 2005 faktor biotik dan abiotik menjadi kendala utama dalam upaya peningkatan produktivitas padi. Di antara faktor-faktor tersebut, penyakit tungro merupakan salah satu faktor biotik yang perlu mendapat perhatian dan pengelolaan yang tepat karena terbukti sangat mempengaruhi baik kualitas maupun kuantitas produksi. Penyakit tungro dikenal dengan berbagai nama daerah di Indonesia seperti: “Mentek” di Jawa, ”Kebebeng” di Bali, penyakit “Habang” di Kalimantan, “Cella Pance” di Sulawesi Selatan, dan di Sulawesi Tengah disebut “Konjo” adalah salah satu jenis penyakit utama tanaman padi yang dapat menjadi kendala utama dalam usaha peningkatan produksi karena dapat menyebabkan kehilangan hasil yang besar, apalagi bila serangan penyakit ini terjadi pada awal fase vegetatif dapat menyebabkan tanaman puso atau gagal panen. Dewasa ini, penyakit tungro telah tersebar luas di daerah-daerah sentra produksi beras di Indonesia. Penyakit ini pernah menimbulkan kegagalan panen yang cukup luas di beberapa propinsi di Indonesia seperti di Sulawesi, NTT, NTB, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Maluku, Bali, Jawa Timur dan Jawa Tengah yang menyebabkan kehilangan hasil 90% bahkan sebagian tanaman puso (Anonim 1992). Penyakit tungro disebabkan oleh dua bentuk partikel virus tungro yang berasosiasi yakni virus batang (rice tungro bacilliform virus = RTBV) dan virus bentuk bulat (rice tungro spherical virus = RTSV) (Hibino et al., 1978). Kedua bentuk virus tersebut terutama ditularkan oleh wereng hijau Nephotettix virescens Distant secara semi persisten (Hibino dan Cabunagan, 1978). Wereng hijau yang telah makan (acquisition feeding) pada tanaman sakit mampu menularkan virus selama 3-6 hari (Hendarsin dan Baehaki, 2000). Gejala umum pada tanaman yang terserang penyakit tungro adalah adanya warna kuning orange pada daun yang dimulai dari ujung daun, tanaman menjadi kerdil, jumlah anakan berkurang, dan pada satu hamparan pertanaman kelihatan pertumbuhan tanaman tidak merata. Apabila serangan penyakit tungro dimulai pada umur vegetatif (1-4 MST) dan jenis varietas yang peka dapat meyebabkan tanaman puso sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar, dan perlu dikendalikan secara efektif dan efisien. PENYEBARAN PENYAKIT TUNGRO Di Indonesia, penyakit tungro mula-mula hanya terbatas penyebarannya pada daerah tertentu seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Sulawesi Utara (Satomi, 1972). Penyakit ini kemudian menyebar ke Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Selanjutnya pada awal tahun 1970-an ledakan penyakit tungro dilaporkan terjadi di beberapa daerah sentra produksi padi di Indonesia (Ou, 1985). Sampai dengan tahun 1976 penyakit ini dilaporkan hanya terjadi di 7 propinsi, namun dewasa ini telah tersebar di 26 propinsi yang meliputi 142 kabupaten di Indonesia. Penyakit tungro telah menyebar luas hampir di seluruh daerah produksi padi di Indonesia. Secara nasional penyakit tungro rata-rata setiap tahun menginfeksi 16.477 ha sawah dan menyebabkan tanaman puso 1.027 ha pada periode 1996-2002. Ledakan tungro pada musim tanam 1998/1999 yang terkonsentrasi di Lombok Timur dan Lombok Tengah dengan luas serangan sekitar 10.000-15.000 ha, tingkat serangan berat sampai puso (Hasanuddin, 1999). Di Jawa Barat Subang, terutama di jalur Pantura Kabupaten Subang serangan penyakit tungro semakin meluas (Balitpa, 2002). KEADAAN SERANGAN PENYAKIT TUNGRO DAN KEHILANGAN HASIL DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Dalam kurun waktu 1996-2002 kehilangan hasil akibat serangan tungro mencapai 12.078 ton/tahun atau senilai Rp.12 Milyar-15 Milyar (Sutarto et al., 2001). Namun pada saat terjadi ledakan serangan (eksplosi), luas serangan di suatu daerah saja dapat mencapai puluhan ribu hektar. Luas serangan tungro terjadi sporadis dalam dimensi ruang maupun
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
104
Seminar Nasional 2005 waktu. Oleh karena itu, pengendalian penyakit mutlak diperlukan terutama di daerah-daerah endemis. Pemilahan daerah-daerah endemis tungro penting artinya sebagai dasar untuk konsentrasi pengendalian. Pemilahan ini dibagi 3 wilayah/kelas endemis tungro yaitu: (1) wilayah rata-rata luas serangan lebih kecil 10 hektar; (2) wilayah rata-rata luas serangan 11100 hektar; dan (3) wilayah rata-rata luas serangan lebih 100-1000 hektar. Dengan pembagian wilayah berdasarkan luas rata-rata tahunan wilayah/kabupaten dapat diidentifikasi daerah endemis penyakit tungro ringan, sedang dan, berat. (Widiarta dan Kusdiaman, 2001) Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa selama 3 (tiga) tahun terakhir yaitu periode 20022004 luas serangan penyakit tungro di Nusa Tenggara Barat mencapai rata-rata 246 ha setiap tahun. Serangan yang tinggi di lapangan terjadi pada bulan Januari sampai dengan Mei. Dengan mengacu pada klasifikasi pemilahan daerah endemis tungro seperti tersebut di atas, maka Propinsi Nusa Tenggara Barat termasuk salah satu daerah edemis penyakit tungro kategori berat di Indonesia. Tabel 2. Luas Serangan Penyakit Tungro di Nusa Tenggara Barat Tahun 2002-2004
Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah
2002 Terserang Puso 7 0 29 0 34 0 67 0 95 0 11 0 0 0 3 0 0 0 2 0 0 0 2 0 250 0
Luas serangan penyakit tungro (ha) 2003 2004 Terserang Puso Terserang Puso 43 0 12 0 100 0 54 4 8 0 26 0 63 0 115 0 0 0 23 0 2 0 10 0 1 0 9 0 4 0 0 0 4 0 2 0 3 0 1 0 0 0 0 0 8 0 0 0 236 0 252 4
Rata-rata Terserang Puso 20,7 0 61,0 2 22,7 0 81,7 0 39,3 0 7,7 0 3,3 0 2,3 0 2,0 0 2,0 0 0,0 0 3,3 0 246,0 2
Sumber : BPS Statistik Indonesia (2005)
Rata-rata produktivitas pada Tabel 1 sebesar 4,714 t/ha bila dihubungkan dengan rata-rata luas serangan penyakit tungro pada Tabel 2 (246,0 ha), maka dengan perhitungan secara sederhana maka kerugian/kehilangan hasil akibat serangan penyakit tungro di daerah ini selama 3 tahun terakhir di propinsi Nusa Tenggara Barat adalah 246,0 ha x 4,714 t = 1.159.644 t (dengan asumsi harga gabah Rp. 1.100/kg) mencapai Rp. 1.275.608.400 setiap tahun. Disamping kerugian tersebut di atas, juga yang paling penting adalah adanya sumber inokulum yang tersedia di lapangan pada setiap saat yang menjadi ancaman sewaktu-waktu dapat terjadi ledakan penyakit tungro bila tidak dikelola dengan baik. Serangan penyakit tungro dapat berkembang dengan cepat terutama bila faktor-faktor pendukung seperti kepadatan populasi serangga penular (wereng hijau) tinggi, tersedianya sumber inokulum di lapangan, adanya pertanaman varietas padi yang peka dan pola tanam yang tidak serempak serta faktor lingkungan yang sesuai (Widiarta et al., 2004). Kehilangan hasil akibat penyakit tungro bervariasi tergantung saat stadia pertumbuhan tanaman terinfeksi, lingkungan tanaman terserang, lokasi dan titik infeksi, musim tanam dan jenis varietas yang digunakan. Semakin muda umur tanaman terinfeksi semakin besar persentase kehilangan hasil yang ditimbulkan (Anonim, 1992). Kisaran kehilangan hasil varietas Krueng Aceh dan IR36 yang terinfeksi pada umur 2-12 minggu setelah tanam (MST) antara 90-30% walupun tetuanya sama. Demikian pula kehilangan hasil per rumpun tanaman di pusat sumber infeksi lebih tinggi dibandingkan dengan rumpun tanaman yang berada di pinggir pusat infeksi. Kehilangan hasil pada musim hujan (MH) jauh
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
105
Seminar Nasional 2005 lebih tinggi dari tanaman yang terinfeksi pada musim kemarau (MK) karena populasi serangga vektor wereng hijau dan perkembangan sumber inokulum lebih baik sehingga penularan penyakit tungro lebih cepat. Masa peka tanaman padi terhadap penyakit tungro adalah pada umur vegetatif sampai umur 45 hst (Raga, 1991). Dengan demikian menghindarkan tanaman terinfeksi penyakit tungro (escaped) hingga umur 45 hst akan mengurangi kehilangan hasil. STRATEGI DAN TEKNIK PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO Perinsip utama dalam pengendalian penyakit tungro adalah membuat tanaman terhindar dari serangan penyakit tungro yaitu pada saat tanaman padi dalam stadia rentan terhadap penyakit tungro tidak bersamaan dengan seleksi/tekanan penyakit tinggi, atau sebaliknya pada saat tekanan penyakit tungro cukup tinggi maka tanaman dalam stadia tahan/fase generatif (Hasanuddin, 2000). Selanjutnya dikemukakan bahwa dengan memperhatikan hubungan antara stadia rentan suatu varietas, perkembangan populasi serangga penular, dan keberadaan sumber inokulum di lapangan, maka dapat diperkirakan waktu tanam yang tepat untuk daerah tertentu (Hasanuddin, 2000a). Strategi Pengendalian Berdasarkan pemahaman adanya stadia tanaman rentan infeksi, dinamika populasi vektor, dan epidemiologi virus, maka strategi untuk mengendalikan tungro adalah mengusahakan perlindungan dini terhadap tanaman saat fase vegetatif awal, menekan proporsi vektor viruliferus, dan sanitasi selektif sumber inokulum virus bulat (rice tungro spherical virus = RTSV). Beberapa komponen pengendalian dan teknik peringatan dini telah terakit dan dipadukan dalam teknik pengendalian untuk menerapkan strategi tersebut (Balitpa, 2002). TAHAPAN PENERAPAN PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO TERPADU Pra-tanam 1. Rencanakan tanam padi yang serempak pada areal sehamparan dengan luas minimal 40 ha, berdasarkan jangkauan dari satu sumber inokulum. 2. Rencanakan waktu tanam dengan memperkirakan saat puncak kepadatan populasi wereng hijau dan keberadaan tungro pada saat tanaman telah melewati fase vegetatif. 3. Bersihkan sumber inokulum tungro seperti singgang, bibit yang tumbuh dari ceceran gabah, rumput teki, dan eceng sebelum membuat pesemaian. Wereng hijau memperoleh virus dari sumber-sumber inokulum tersebut kemudian ditularkan ke tanaman sehat. Biarkan pematang ditumbuhi rumput lain selain sumber inokulum tersebut di atas pada periode awal tanam untuk tempat berlindung laba-laba, predator wereng hijau. 4. Tanamlah varietas yang tahan wereng hijau atau tahan tungro seperti varietas-varietas unggul baru tahan tungro yang dilepas oleh Badan Litbang Pertanian/Balitpa antara tahun 1995-2000 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Varietas Unggul Baru Tahan Tungro yang Dilepas pada Tahun 1995 - 2000 Varietas Membramo Tukad Unda Tukad Balian Tukad Petanu Celebes Kalimas Bondojodo
Tahun pelepasan 1995 2000 2000 2000 2000 2000 2000
Umur (hari) 115-120 110 110 120 105-110 120-130 115
Tinggi tanaman (cm) 105 104 95 118 90-100 98-116 97-116
Hasil (t/ha) 6,5 4-7 4-7 4-7 4-5 8,97 8,40
Sumber: Balitpa, 2000
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
106
Seminar Nasional 2005 Disamping varietas-varietas tahan tungro tersebut di atas, juga dari hasil penelitian Loka Penelitian Penyakit Tungro di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan memperlihatkan 5 galur dari 29 galur padi sawah tahan tungro yang diuji memiliki daya adaptasi yang baik dan memberikan hasil lebih dari 6,0 t/ha yaitu galur OBSTG02-84, OBSTG02 124, OBSTG02-130, OBSTG02-131, dan OBSTG02-135. Galur-galur padi sawah ini disarankan untuk dapat dikaji lebih lanjut oleh BPTP Nusa Tenggara Barat terutama pada wilayah-wilayah yang sering terserang penyakit tungro di daerah ini. Tanam (dari saat pesemaian sampai akhir vegetatif tanaman). 1. Amati populasi serangga wereng hijau di pesemaian dengan jaring serangga 10 kali ayunan ganda. Kemudian lakukan uji infeksi virus dengan larutan yodium pada 20 helai daun padi. Apabila hasil perkalian antara jumlah wereng hijau yang tertangkap dan persentase daun terinfeksi sama atau lebih dari 75, maka tanaman dikategorikan terancam. Apabila pengamatan di pesemaian sulit dilakukan, amatilah gejala penyakit tungro dipertanaman setelah tanaman berumur 3 minggu setelah tanam. 2. Tanamlah bibit padi dengan cara legowo 2 baris atau 4 baris. Aktifitas pemencaran wereng hijau lebih berkurang pada pola sebaran inang yang ditanam secara legowo. 3. Pada saat tanaman berumur 3 minggu setelah tanam, apabila dari petakan alamiah dengan luas sekitar 100 m persegi ditemukan 2 rumpun tanaman bergejala tungro, berarti tanam terancam. Bila keadaannya demikian lakukan segera aplikasi insektisida yang dapat mematikan wereng hijau. 4. Sawah jangan dikeringkan, usahakan paling tidak kondisi airnya macak-macak. Sawah yang kering akan merangsang pemencaran wereng hijau yang dapat mempeluas penularan penyakit tungro. PENUTUP Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa hingga dewasa ini penyakit tungro masih tetap menjadi kendala penting dalam usaha peningkatan produksi tanaman padi karena dapat menyebabkan kehilangan hasil yang cukup besar. Penyakit ini telah tersebar luas di seluruh sentra produksi beras di Indonesia, termasuk di antaranya propinsi Nusa Tenggara Barat dengan kategori daerah endemis penyakit tungro klasifikasi berat sehingga perlu mendapat perhatian secara serius. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1992. Wereng hijau dan penyakit tungro. Dir. Bina Perlindungan Tanaman Balitpa. 2002. Deskripsi Varietas Unggul 1999-2002. 43 hal. Balitpa, 2002. Leaflet Penyakit Tungro. BPS Statistik Indonesia. 2005. Website Deptan, www.deptan.go.id. Hasanuddin, A. 1999. Monitoring dan serangan penyakit tungro di Nusa Tenggara Barat. Balitpa. 13 hal. Hasanuddin, A. 2000. Pengendalian Penyakit Tungro Terpadu: Strategi dan implementasi. Orasi pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Puslibang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Hasanuddin, A. 2000a. Riset epidemiologi untuk menyempurnakan pengendalian terpadu penyakit tungro. Risalah Seminar 2000-2001. Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. p. 1-17.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
107
Seminar Nasional 2005 Hendarsih, S. dan Behaki, S.E. 2000. Fluktuasi wereng hijau dan penyebaran penyakit tungro. Kumpulan makalah diskusi masalah pengendalian penyakit tungro di Tajam, Banyuangi. p. 11-16. Hibino, H., Roechan, and S. Sudarisman. 1978. Association of two types of virus particles with penyakit habang (tungro disease) of rice in Indonesia. Phytopatology. 68 : 1412 – 1416. Hibino, H., and Cabunagan. 1986. Rice tungro associated viruses and their relation to host plants and vector leafhopper. Trop. Agric. Res. Ser. 19 : 173 – 182. Krisnamurti Bayu. 2002. Kebijakan Perberasan nasional. Dalam buku satu kebijakan perberasan dan inovasi teknologi padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian Ou, S.H. 1985.Rice Diseases. 2nd ed. Kew. Commonwealth Mycologycal Institute. Raga, I N. 1991. Tesis Program Pasca Sarjana. Intsitut Pertanian Bogor. Sutarto, A., Jasis, W.W.G. Subroto, M. Siswanto dan E. Sudiyanto. 2001. Sistem peramalan dan pengendalian OPT dalam mendukung sistem produksi padi berkelanjutan. Dalam Irsal las et al (Eds). Implementasi kebijakan strategi untuk peningkatan produksi padi berwawasan agribisnis dan lingkungan. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor. Widiarta, I. N. dan D. Kusdiaman. 2001. Penelitian pewilayahan daerah serangan dan penyebaran penyakit virus di sentra produksi padi. Laporan Hasil Penelitian. Balitpa. Widiarta, I. N., Burhanuddin, Aan Daradjat, dan A. Hasanuddin. 2004. Status dan program penelitian pengendalian terpadu penyakit tungro. Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi padi Nasional di Makassar, 7-8 September 2004. Puslitbang Tanaman Pangan. P. 61-89.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
108
Seminar Nasional 2005 KAJIAN BUDIDAYA TANAMAN PADI PADA LAHAN MARGINAL DI BAWAH JAMBU METE DI LOMBOK BARAT NTB Sudarto, Arif S. dan Putu Cakra Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB ABSTRAK Luas areal pertanaman jambu mete di Kabupaten Lombok Barat Nusa Tenggara Barat seluas 21.252,16 ha yang terdiri dari tanaman belum menghasilkan (TBM): 11.936,87 ha, tanaman menghasilkan (TM): 6.630,88 ha dan tanaman rusak/mati (TR) : 2.684,41 ha. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan diantara tanaman jambu mete pada musim hujan, petani biasanya mengusahakan tanaman pangan diantaranya tanaman padi gogo. Jenis padi yang ditanam seperti IR 64 dan ada beberapa petani yang menanam padi lokal. Jenis padi IR 64 yang ditanam di NTB akhir-akhir ini diketahui sangat rentan terhadap serangan virus penyakit tungro, sehingga seringkali gagal panen. Untuk mengantisipasi perkembangan virus tungro, maka diintroduksikan jenis padi lain yaitu padi varietas Situbagendit. Pengkajian tanaman padi pada lahan marginal di bawah tanaman jambu mete dilakukan pada tahun 2004 yang mencangkup luasan 10 ha dengan melibatkan 20 KK sebagai petani kooperator dan dilakukan secara on farm research (OFR), menggunakan lahan petani, kerjasama dengan petani serta operasionalnya dilapangan mendapat bimbingan langsung dari petugas lapang yang dibantu oleh peneliti/penyuluh. Hasil pengkajian menunjukkan secara agronomi pertumbuhan padi varietas Situbagendit relatif lebih baik untuk parameter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah, berat 1000 biji dan produksi yang dihasilkan. Selain itu varietas Situbagendit juga relatif tahan terhadap kekeringan dan naungan pohon jambu mete dibanding dengan padi IR64, begitu pula produksi yang dihasilkan juga tampak lebih tinggi yaitu sebanyak 2.957 kg/ha kering panen dibanding 1.721 kg/ha kering panen. Keuntungan bersih petani yang diperoleh adalah padi varietas Situbagendit mencapai Rp. 1.314.500,- dengan B/C ratio 0,80%. Kata kunci : budidaya, padi, jambu mete, lahan marginal
PENDAHULUAN Luas areal pertanaman jambu mete di Nusa Tenggara Barat sampai sekarang tercatat 55.440,16 ha yang tersebar diseluruh kabupaten dan diusahakan pada lahan kering. Luas areal tanaman jambu mete di Kabupaten Lombok Barat seluas 21.252,16 ha (38,33%); Lombok Tengah seluas 3.390,00 ha (06,11%); Lombok Timur seluas 4.238 ha (07,64%); Sumbawa seluas 9.201 ha (16,59%); Dompu seluas 12.964 ha (23,38%); dan Kabupaten Bima seluas 4.395 ha (07,92%) (BPS, 2003; Disbun NTB, 2003). Luas areal pertanaman jambu mete di Kabupaten Lombok Barat rata-rata berumur 6 tahun dan dalam pengelolaannya kebanyakan petani masih tradisional baik tanaman jambu mete sebagai tanaman pokok maupun tanaman semusim sebagai tanaman sela. Tanaman sela yang biasa diusahakan oleh petani selain tanaman palawija juga tanaman padi. Sjafrudin et.al (1996) menyatakan pada umumnya petani membudidayakan tanaman jambu mete masih tradisional dan ditanam secara monokultur. Untuk mengoptimalkan lahan di bawah tanaman jambu mete dan memberi nilai tambah yang dapat meningkatkan pendapatan petani dapat diusahakan tanaman semusim yang tahan kekeringan. Tanaman padi (jenis padi gogo) merupakan salah satu tanaman yang dapat diusahakan di antara tanaman jambu mete. Untuk memperkecil kompetisi kedua jenis tanaman tersebut jarak tanam harus diatur sedemikian rupa sehingga memberi ruang bagi tanaman padi untuk memperoleh persyaratan tumbuh yang optimal. Budidaya tanaman padi pada areal perkebunan jambu mete diharapkan menjadi peluang kedua setelah persawahan tadah hujan dalam mendukung swasembada pangan yaitu melalui penerapan sistem pertanian padi pada lahan kering di bawah jambu mete. Dinas Perkebunan Propinsi Nusa Tenggara Barat (2003); Dinas Pertanian Tanaman Pangan Nusa Tenggara Barat (2003) melaporkan luas areal tanaman padi gogo di Nusa Tenggara Barat baru mencapai 13.958 ha, dan peluang perluasan areal sekitar 112.432 ha (Abdulgani, 1990). Jumlah produksi tanaman padi gogo mencapai 23.646 ton dengan rata-rata produksi 1,6 ton per hektar, produksi ini ternyata masih lebih rendah dari pada produksi nasional yaitu 1,7 ton per hektar.(Ma’shum, et.al.).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
109
Seminar Nasional 2005 Dari kenyataan di atas menunjukkan bahwa peluang uuntuk meningkatkan produksi padi melalui penerapan beberapa komponen teknologi masih memungkinkan seperti penggunaan varietas baru. Budidaya padi sistem gogo pada lahan kering merupakan salah satu alternatif pengembangan padi dengan memanfaatkan curah hujan yang ada, sehingga pada sistem tanam padi gogo pengolahan tanah dan tanam dilakukan sebelum musim penghujan dengan demikian kebutuhan air selama pertumbuhannya dapat terpenuhi. BAHAN DAN METODA Pengkajian dilakukan secara on farm reseach di lahan petani, melibatkan petani secara aktif dan berlokasi di dusun Lembah Pedik desa Akar-Akar kecamatan Bayan, pada areal seluas 10 ha pada lahan kering di bawah perkebunan jambu mete dengan melibatkan 20 KK sebagai petani kooperator. Pengkajian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2004. Pendekatan yang digunakan adalah zero one relationship approach dengan mengelompokan petani dalam dua kelompok yaitu petani kooperator sebagai pengguna teknologi introduksi dan petani non kooperator (existing technology) (Manwan dan Oka, 1991). Paket teknologi yang dikaji meliputi: penggunaan benih unggul Situbagendit, pengolahan tanah, jarak tanam teratur, pemupukan berimbang, pengendalian hama dan penyakit serta panen. Pengolahan tanah dilakukan dua kali dengan cara dibajak dengan ternak sapi, bajak pertama dengan maksud membalik tanah kemudian bajak ke dua meratakan tanah, dan pengolahan tanah tersebut dilakukan sebelum musim hujan. Benih padi yang digunakan sebanyak 30 kg per hektar. Penanaman dilaksanakan sebelum hujan turun (nadong bahasa lokal) dengan sistem tugal 5 biji/lubang. Jarak tanam yang digunakan 20 x 20 cm membujur arah timur-barat. Jarak dari tanaman jambu mete 2 meter. Jenis pupuk yang digunakan urea 200 kg, SP-36 100 kg dan KCl 75 kg per hektar. Pada pemupukan pertama dosis pupuk yang digunakan urea 75 kg ditambah seluruh dosis pupuk SP-36 dan KCl, sedangkan pupuk susulan urea diberikan pada tanaman menjelang primordia dengan dosis 125 kg (sisanya). Penyiangan dilakukan dua kali dan penyiangan selanjunya tergantung pada pertumbuhan gulma. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan kosep pengendalian hama terpadu (PHT), apabila tingkat serangan hama di atas ambang ekonomi untuk itu monitoring terhadap populasi serangan, kelompok telur dan intensitas serangan perlu dilakukan. Jenis data yang diamati adalah data agronomi dan sosial ekonomi. Data agronomi terdiri dari tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah gabah dan berat 1000 biji. Data sosial ekonomi meliputi jenis, jumlah dan harga input produksi, tenaga kerja dan harga satuan hasil. Untuk mengetahui tingkat pendapatan yang diperoleh petani yang menerapkan paket teknologi introduksi (petani kooperator) dan pendapatan yang diperoleh petani non koperator digunakan analisa pendapatan terhadap biaya produksi (B/C ratio) (Husni Malian, 2004). HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Agronomi Untuk mengukur komponen hasil tanaman padi pada masa pertumbuhannya datadata agronomi yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman (cm), jumlah anakan produktif (batang), jumlah gabah (biji), berat 1000 biji (gram) dan produksi (kg/ha).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
110
Seminar Nasional 2005 Hasil pengukuran parameter pertumbuhan dan hasil pada Tabel 1 terlihat bahwa paket teknologi yang diintroduksikan pada petani kooperator ada kecenderungan hasil yang diperoleh lebih baik dibanding dengan teknologi petani non kooperator. Hal ini menunjukkan bahwa peran dari pemupukan lengkap dan berimbang N, P dan K merupakan unsur hara esensial yang sangat diperlukan oleh tanaman selama fase pertumbuhannya. Pertumbuhan tanaman berlangsung normal yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap komponen produksi. Bila kekurangan salah satu unsur tersebut terjadi maka akan menyebabkan tanaman tumbuh tidak normal karena unsur hara ini diperlukan sebagai sumber energi dalam proses metabolisme (Nurita dan Anwar, 1999). Selanjutnya De Data (1987) menyatakan bahwa nitrogen pada tanaman padi berperan dalam hal: a) meningkatkan tinggi dan jumlah anakan; b) meningkatkan ukuran daun dan jumlah gabah; c) meningkatkan jumlah butir gabah per malai; dan d). meningkatkan persentase gabah bernas. Peranan unsur hara fosfor antara lain: a) mendorong perkembangan akar tanaman; b) mendorong pembungaan lebih awal; c) mendorong perkembangan akar; dan d) mendorong perkembangan gabah dan menghasilkan pangan yang bermutu. Sedangkan peranan unsur kalium antara lain: a) mendorong pembentukan anakan; b) meningkatkan ukuran dan berat gabah; c) meningkatkan respon terhadap fosfor; dan d) memainkan peranan penting dalam proses-proses fisiologi tanaman termasuk membuka dan menutupnya stomata dan ketahanan terhadap kondisi iklim yang tidak menguntungkan. Tabel 1. Keragaan agronomi kajian budidaya tanaman padi pada lahan marginal dibawah jambu mete di Lombok Barat, 2004. Parameter
Teknologi introduksi
Teknologi petani
55,87 19,24 147,93 16,97 2.957,00
56,42 17,86 91,26 13,43 1.721,00
- Tinggi tanaman (cm) - Jumlah anakan produktif (btg) - Jumlah gabah (biji) - Berat 1000 biji (gr) - Produksi (kg/ha)
Keragaan Ekonomi Penggunaan sarana produksi pada petani kooperator dan petani non kooperator disajikan pada Tabel 2. di bawah ini. Tabel 2. Penggunaan sarana produksi kajian budidaya tanaman padi pada lahan marginal dibawah jambu mete di Lombok Barat, 2004. Uraian Benih (kg/ha) Pupuk : - Urea (kg/ha) - SP-36 (kg/ha) - KCl (kg/ha) Pestisida : - Matador (lt) Total
Tekn. introduksi
Tekn. petani
Fisik
Biaya (Rp)
Fisik
Biaya (Rp)
30
150.000
30
150.000
200 100 75
300.000 180.000 142.500
250 -
375.000 -
-
772.500
2 -
270.000 795.000
Sarana produksi yang dipergunakan oleh petani kooperator lebih lengkap dan selama pertumbuhan gangguan hama dapat dibaikan sedangkan pada petani non kooperator serangan hama terjadi di atas ambang ekonomi dan dilakukan penyemprotan, sehingga total biaya yang diperlukan lebih rendah dari pada petani non kooperator. Benih yang dipergunakan relatif sama yaitu 30 kg/ha dengan finansial sebesar Rp. 150.000,- . Introduksi pemupukan yang diaplikasikan meliputi Urea 200 kg, SP-36 100 kg dan KCl 75 kg per hektar, sedangkan petani non kooperator hanya menggunakan Urea saja sebanyak 250 kg per hektar. Dengan perbedaan penggunaan pupuk tersebut biaya sarana produksi petani kooperator lebih besar dibanding petani non kooperator, sehingga produksi gabah yang diperoleh juga terdapat perbedaan (Tabel 1).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
111
Seminar Nasional 2005 Tenaga Kerja Tabel 3. Penggunaan tenaga kerja kajian budidaya tanaman padi pada lahan marginal dibawah jambu mete di Lombok Barat, 2004. Uraian - Persiapan - Pengolahan tanah - Tanam - Penyiangan - Pemupukan - Pemberantasan H/P - Panen Total
Tekn. introduksi Fisik 10 16 13 30 6 12 87
Biaya (Rp) 100.000 400.000 130.000 300.000 60.000 120.000 870.000
Tekn. petani Fisik
Biaya (Rp)
10 16 13 32 4 4 12 91
100.000 400.000 130.000 320.000 40.000 40.000 120.000 910.000
Tenaga kerja untuk pengolahan tanah berasal dari tenaga ternak sapi sebanyak 16 pasang dan tidak terdapat perbedaan finansial antara petani kooperator dan petani non kooperator yaitu masing-masing sebesar Rp. 400.000,-. Tenaga kerja manusia curahan waktu diperhitungkan dalam HOK (hari orang kerja) dengan ongkos sebesar Rp. 10.000,- per hari kecuali tenaga ternak sapi untuk mengolah tanah dengan ongkos sebesar Rp. 25.000,per hari perpasang. Biaya tertinggi yang dikeluarkan adalah biaya penyiangan yang masingmasing Rp. 300.000,- untuk petani kooperator dan Rp. 320.000,- untuk petani non kooperator. Terdapat selisih terhadap total biaya yang dipergunakan antara petani kooperatot dan non kooperator, petani kooperator sebesar Rp. 870.000,- dan petani non kooperator sebesar Rp. 910.000,-. Besarnya nilai tersebut terletak pada kegiatan penyiangan dan penyemprotan hama, dimana petani non kooperator harus mengeluarkan tambahan biaya untuk penyemprotan sebsar Rp. 40.000,-. Pendapatan usahatani yang diperoleh petani kooperator dan petani non kooparator disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Analisa usahatani kajian budidaya tanaman padi pada lahan marginal dibawah jambu mete di Lombok Barat, 2004. Uraian Hasil GKP (kg/ha) Penerimaan (Rp/ha) Biaya : - Sarana produksi (Rp/ha) - Tenaga kerja (Rp/ha) Total biaya produksi (Rp/ha) Pendapatan bersih (Rp/ha) B/C ratio
Tekn. introduksi
Tekn. petani
2957 2.975.000
1721 1.721.000
772.500 870.000 1.642.500 1.314.500 0.80
795.000 910.000 1.705.000 16.000 0.009
Penerimaan dimaksud adalah hasil yang dicapai dari setiap perlakuan dan dikalikan dengan harga yang berlaku saat itu. Hasil yang diperoleh pada petani kooperator sebanyak 2957 kg/ha gabah kering panen (GKP) dengan harga gabah yang berlaku pada saat panen sebesar Rp. 1.000,- per kilogram sehingga penerimaan sebesar Rp. 2.957.000,- dan petani non kooperator hasil yang diperoleh sebanyak 1721 kg/ha gabah kering panen dengan penerimaan sebesar Rp. 1.721.000,-. Sedangkan pendapatan merupakan selisih dari penerimaan dengan total biaya yang digunakan selama berlangsungnya proses produksi. Jadi pendapatan yang diperoleh petani kooperator sebesar Rp. 1.314.500,- dan petani non kooperator sebesar Rp. 16.000,- per hektar. KESIMPULAN 1. Paket teknologi yang diintroduksikan pada petani kooperator ada kecenderungan hasil yang diperoleh lebih baik dibanding dengan teknologi petani non kooperator. 2. Total biaya sarana produksi petani kooperator lebih rendah dari pada petani non kooperator yakni masing-masing sebesar Rp. 772.500,- dan Rp. 795.000,-.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
112
Seminar Nasional 2005 3. Biaya tenaga kerja pada petani kooperator lebih rendah dari pada petani non kooperator yakni masing-masing sebesar Rp. 870.000,- dan Rp. 910.000,-. Hal ini terjadi karena petani non kooperator ada tambahan kegiatan pada penyiangan dan pemberantasan hama. 4. Pendapatan yang diperoleh oleh petani kooperator sebesar Rp. 1.314.500,- jauh lebih besar dari petani non koopeator yaitu sebesar Rp. 16.000,-. DAFTAR PUSTAKA Abdulgani, J.Y., 1990. Alternatif Teknologi Penanganan Untuk Pemanfaatan Lahan di NTB. Lokakarya 11-13 September 1990. Mataram. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balittan. Malang. A. Husni Malian, 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi Pada Skala pengkajian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. BPS, 2003. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. De Data, S.K., 1987. Advances in Soil ertility Research and Nitrogen Fertilizer Management For Low Land Rice. In Eficiency of Nitrogen Fertilizer For Rise. Los Banos. Philippines: International Rice Research Institute. Disbun. 2003. Data Statistik Perkebunan Nusa Tenggara Barat. Dinas Perkebunan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. Diperta, 2003. Data Statistik Pertanian Nusa Tenggara Barat. Dinas Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. Ma’shum, M., Salim Priyatna, Rida Iswati, M. Husni Idris dan Sudarto, 1997. Optimalisasi Pemberian Masukan Organik, Pemupukan Nitrogen dan Fosfor Untuk Padi Gogo. Lembaga Penelitian Universitas Mataram Bekerja Sama dengan Proyek Penelitian Sistem Usahatani Nusa Tenggara/NTAADP. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Naibonat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Manwan, I. dan Made Oka, A., 1991. Konsep Penelitian Sistem Usahatani dan Penelitian Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Nurita dan K. Anwar, 1999. Pemanfaatan Residu Fospat pada Pertanaman Padi di Lahan Sulfat Masam. Simposium Penelitian Tanaman Pangan IV Bogor 22-24 Nopember 1999: 75-80 p. Sjafrudin, H., G. Kartono dan M. Taufiq. 1996. Keragaan Pengembangan Jambu Mete di Sulawesi Tenggara. Prosiding Forum Komunikasi Komoditas Jambu mete. Bogor 5-6 maret 1996. Balai Penelitian Tanaman rempah dan Obat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
113
Seminar Nasional 2005 PRODUKTIVITAS TANAMAN PADI PADA BERBAGAI SISTEM TANAM DI LAHAN KERING TADAH HUJAN LOMBOK BARAT Ahmad Suriadi, Awaludin Hipi dan Mashur Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
ABSTRAK Pola curah hujan yang tidak merata dan eratik di lahan tadah hujan menyebabkan produktivitas tanaman padi tidak stabil dan petani sering mengalami gagal panen akibat kekeringan. Penelitian produkivitas tanaman padi pada berbagai sistem tanam di lahan kering telah dilakukan dengan tujuan untuk mencari sistem tanam yang menguntungkan baik dari segi ketersediaan air (curah hujan) maupun dari segi sistem budidayanya. Pengkajian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan sistem tanam (tanam benih langsung, pengelolaan tanaman terpadu (PTT), tanpa olah tanah dan sistem petani). Pengkajian ini dilakukan dilahan petani yang sekaligus sebagai ulangan dan dilaksanakan oleh petani sendiri. Peneliti dan penyuluh hanya sebagai pengawal teknologi. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan analsisi variance dengan taraf nyata 5% dan untuk analisis ekonomi dilakukan dengan menghitung B/C ratio. Hasil penelitian menujukkan bahwa penanaman dengan cara TOT memberikan hasil yang cukup tinggi kemudian diikuti dengan cara tanam tabela walaupun tidak berbeda nyata. Produksi yang paling rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain diperoleh pada cara tanam PTT dan cara petani. Rendahnya produksi padi dengan cara tanam PTT memberikan petunjuk bahwa cara tanam PTT di lokasi penelitian atau di lahan tanah hujan kurang memberikan hasil yang tinggi dan kurang cocok diterapkan pada lahan kering/tadah hujan. Pendapatan yang tertinggi petani diperoleh pada sistem tanam TOT kemudian diikuti oleh pendapatan pada sistem tanam tabela kemudian PTT dan yang paling rendah adalah pada sistem tanam petani. Disamping itu, pada teknologi TOT terjadi penghematan biaya tenaga kerja sedangkan biaya saprodi dan biaya lain-lain hampir sama. Implikasi dari penelitian ini adalah sosialisasi teknologi TOT di lahan tadah hujan perlu terus dilakukan. Kata kunci : TOT, Tabela, PTT, lahan tadah hujan
PENDAHULUAN Luas lahan tadah hujan di Pulau Lombok adalah 15.000 ha atau sekitar 14% dari keseluruhan sawah yang ada. Meskipun di pulau Lombok sekitar 86% lahan sawah sudah mempunyai sistem irigasi, hanya bagian hulu (sekitar 52%) yang dapat melayani dua kali tanam dan 48% merupakan sawah yang dilayani irigasi hanya pada musim hujan (BPS, 2002). Bila persediaan air irigasi dalam keadaan kritis, misalnya karena terjadinya kekeringan atau hujan yang datang terlambat maka daerah irigasi hilir ini tidak akan memperoleh air irigasi. Oleh karena itu, resiko bercocok tanam di lahan irigasi bagian hilir ini tidak jauh berbeda dengan resiko bercocok tanam pada lahan sawah tadah hujan. Apabila terjadi kekeringan atau kemarau panjang maka tanaman yang paling parah mengalami cekaman air adalah tanaman yang ditanam di lahan tadah hujan (Sayuti, 2001; Hsiao, 1982). Dampak kekurangan air dari tanaman lahan tadah hujan ini kelihatan nyata dengan membandingkan hasil tanaman tadah hujan dengan tanaman beririgasi (IRRI, 1998). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik NTB (2000), hasil tanaman padi sawah tadah hujan rata-rata berkisar antara 2-4 ton ha-1, sementara padi di lahan beririgasi dapat memberi hasil antara 4.5 sampai 5.5 ton ha-1. Dengan kondisi iklim yang kurang menguntungkan, petani sawah tadah hujan telah mengembangkan pola tanam padi gogorancah (gora) – kedelai – bero. Setelah tanaman kedelai dipanen sekitar bulan Mei/Juni, tidak terdapat pertanaman karena iklim sangat kering hingga Oktober (Meindertsa, 1997). Budidaya padi gora umumnya dilakukan cukup intensif dengan menerapkan tehnologi yang berkembang sejak tahun 1980. Tanah diolah sempurna menggunakan traktor roda 4 atau menggunakan linggis dan diikuti pemecahan bongkahan dengan cangkul, padi yang ditanam hampir seluruhnya varietas unggul, ditanam secara tugal dengan jarak tanam tidak beraturan hingga kebutuhan benih mencapai 80-100 kg/ha. Pengendalian gulma dengan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
114
Seminar Nasional 2005 penyiangan sekurang-kurangnya dua kali. Pemupukan biasanya dengan urea 200-300 kg/ha dan SP36. 50-100 kg/ha, tanpa pupuk KCl (BIPP Loteng 1997). Secara ekonomis bertanam padi gora kurang memberikan keuntungan yang layak karena biaya produksi yang diperlukan cukup tinggi yaitu sekitar Rp 3.000.000,-/ha apabila hujan normal. Tetapi apabila hujan tidak menentu, biaya produksi bisa mencapai Rp 4.000.000,-/ha. Komponen pembiayaan yang tinggi padi gora berasal dari pengolahan tanah dan pengendalian gulma yang bisa mencapai 65% dari total biaya usahatani. Tanah yang sulit dibongkar karena kandungan liat yang tinggi (umumnya jenis tanah Versitols) sehingga membutuhkan biaya tinggi dan pertumbuhan gulma yang sangat kondusif pada kondisi tanah yang lembab sehingga biaya penyiangan manjadi tinggi sampai 100-200 HOK/ha (Meindertsa, 1997). Teknologi budidaya gora tanpa olah tanah (TOT) dan pengendalian gulma purna tumbuh sebelum tanam dengan herbisida telah dilakukan di Lombok bagian selatan (Wirajaswadi et al., 2001; 2003). Teknologi tersebut dapat menghemat biaya sampai RP.1.000.000/ha. Namun petani masih banyak yang melakukan budidaya tanam padi di lahan tadah hujan dengan pengolahan tanah secara sempurna pada tanah jenisvertisols dan beberapa petani masih berusahatani padi dengan sistem budidaya di lahan irigasi. Berdasarkan uraian diatas maka telah dilakukan pengkajian produktivitas tanaman padi pada berbagai sistem tanam di lahan kering tadah hujan Lombok Barat. Pengkajian tersebut bertujuan untuk mendapatkan paket teknologi sistem budidaya spesifik lokasi yang efisien, berproduktivitas tinggi dengan tingkat keuntungan yang tinggi bagi petani. BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan pada ekosistem lahan tadah hujan di Dusun Buntage Desa Kuripan Selatan Kecamatan Kuripan Kabupaten Lombok Barat NTB. Desa ini merupakan desa yang sering terjadi gagal panen. Penentuan desa lokasi didasarkan atas hasil PRA yang dilaksanakan pada tahun 2004. Dari hasil diskusi dengan petani kooperator telah disepakati untuk menerapkan beberapa sistem tanam padi yang akan dijadikan perlakuan yaitu 1) sistem tanam pindah; teknologi yang diterapkan adalah teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi; 2) Tabela (tanam benih langsung) dan 3) TOT (tanpa olah tanah). Ketiga sistem tanam ini adalah keinginan dari petani dengan tujuan untuk melihat alternatif teknologi yang paling menguntungkan dan memungkinkan untuk diterapkan sesuai dengan kondisi curah hujan dan keinginan petani. Disamping itu, budidaya sistem petani juga akan diamati sebagai perlakuan yang ke empat sebagai pembanding dari semua teknologi yang dicoba. Penelitian dilaksanakan langsung di lahan milik petani (on-farm research) dan dikelola oleh petani di bawah bimbingan peneliti dan penyuluh. Dengan demikian peran petani mulai dari perencanaan, implementasi sampai pada evaluasi hasil penelitian menjadi sangat penting. Pendekatan yang digunakan adalah Zero One Relationship Approach yaitu mengelompokkan petani menjadi dua kelompok yaitu petani kooperator dan nonkooperator. Pengelompokan ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam mengevaluasi paket teknologi yang sedang dicoba. Kajian dilaksanakan mulai bulan September 2004 yang diawali dengan pemantauan pembersihan lahan. Untuk sistem TOT, Pengendalian gulma dilakukan dengan penyempotan herbisida sebelum tanam sejak minggu III bulan Nopember 2004 dan dilanjutkan dengan penyemprotan selanjutnya sebagai koreksi penyemprotan awal pada minggu I bulan Desember 2004. Penanaman dilakukan pada minggu II – III bulan Desember 2004 karena pada kisaran waktu tersebut curah hujan selama 2 dasarian sudah lebih dari 50 mm (Gambar 1) (Mirza, 1995). Pengolahan tanah dilakukan secara sempurna pada sistem tanam PTT, Tabela maupun cara petani. Paket teknologi pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
115
Seminar Nasional 2005 Tabel 1.Teknologi budidaya padi pada berbagai perlakuan Komponen Teknologi
TOT
PTT
Tabela
Teknologi Petani
Tanpa olah tanah (TOT) Ciherang 40 kg/ha Mipcin 50 WP Glifosat 3 l/ha + Propanil amina 1 lt/ha Tugal 20 x 20 cm
Sempurna
Sempurna
Sempurna
Ciherang 20 kg/ha Mipcin 50 WP Tidak dilakukan
Ciherang 50 kg/ha Mipcin 50 WP Tidak dilakukan
Ciherang 80 kg/ha Mipcin 50 WP Tidak dilakukan
Semai
Tugal tidak teratur
Pemupukan
- Urea dengan BWD (200 kg/ ha) - P dan K berdasar status hara
- Urea dengan BWD (200 kg/ ha) - - P dan K berdasar status hara
Tanam benih langsung - Urea dengan BWD (200 kg/ ha) - P dan K berdasar status hara
Pengendalian gulma purna tumbuh Pengendalian hama
Penyiangan 3 MST dan 7 MST
Penyiangan 3 MST dan 7 MST
Penyiangan 3 MST dan 7 MST
Kebiasaan petani
PHT
PHT
PHT
Kebiasaan petani (Pestisida)
Pengolahan tanah Varietas Takaran benih Perlakuan benih Pengendalian gulma pra tanam Cara tanam
- Urea 250 kg/ha - SP 36 100 kg/ha
Penelitian ditata dengan rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan cara tanam yaitu (1). Teknologi PTT; (2). TOT; (3) Tabela dan (4) cara petani denan petani sebagai ulangan. Parameter yang diamati adalah produksi padi riil dari petani dan dianalisis dengan menggunakan analysis of variances (Anova). Analisis ekonomi dengan B/C ratio pada setiap sistem tanam juga dilakukan untuk tingkat keuntungan petani pada masing-masing perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sumberdaya Lahan Lokasi Penelitian Luas wilayah Desa Kuripan selatan adalah 1063 ha (10,63 km 2) yang memanjang dari utara ke selatan dan berada pada ketinggian antara 60 m dpl sampai dengan 100 m dpl dengan kelerengan yang cukup bervariasi yaitu dari datar (≤5%) sampai berbukit dan bergunung (>40%). Topografi Desa Kuripan Selatan berupa dataran dan perbukitan/ pegununggan, dimana dataran seluas 200 ha, dan perbukitan atau pegununggan seluas 463 ha. Keadaan topografi desa membentuk suatu sekuen dari bagian timur yang datar dan terus menurun kearah barat sampai ke sungai Dodokan yang terletak di Desa Gerung. Pada sekuen bagian utara, terdapat daerah-daerah yang mempunyai perubahan lereng yang cukup besar karena berada pada lereng gunung Sasak. Tanah di Desa Kuripan Selatan didominasi tanah jenis vertisols pada bagian timur yang relatif datar dan Entisols pada daerah sekitar perbukitan/pegunungan. Kesuburan tanah di Desa Kuripan Selatan cukup bervariasi. Berdasarkan analisis lapangan, lapisan tanah wilayah timur masih cukup tebal (sampai 150 cm), tekstur liat, struktur teguh. Daerah ini tererosi ringan karena tofografi yang cukup datar. Pada wilayah ini lahan dimanfaatkan oleh petani untuk budidaya tanaman padi dan palawija. Sedangkan pada wilayah bagian barat yang berada pada daerah perbukitan, lapisan tanahnya (solum tanah) relatif kurang tebal dibandingkan dengan wilayah timur, tekstur lempung pasiran sampai liat, struktur agak teguh dan tererosi agak berat. Lahan dibagian ini oleh petani umumnya digunakan untuk budidaya tanaman palawija dan sayur-sayuran seperti kacang panjang, tomas dan lain-lain. Beberapa karateristik tanah pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
116
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Beberapa sifat tanah di lokasi penelitian Tekstur (%)
Atas bukit Tengah bukit Bawah bukit
N total (%)
P
pasir
debu
liat
pH H2O
Lap atas
62
26
12
6,52
0,11
67,0
Lap bwh
69
19
13
6,80
0,02
Lap atas
59
26
15
6,77
0,09
Lap bwh
52
21
27
6,86
Lap atas
39
24
37
Lap bwh
52
25
23
Lokasi
K
C Org.(%)
KTK Cmol/kg
38,8
1,02
17,2
56,0
36,6
0,45
14,8
25,2
27,1
0,85
18,8
0,04
34,4
36,9
0,50
16,8
6,42
0,10
23,5
43,4
1,57
36,8
6,48
0,05
32,1
42,5
0,56
30,9
HCl 25% (mg/100g)
Tabel tersebut menunjukkan bahwa tekstur di bagian atas bukit lebih kasar dibandingkan dengan tekstur di bagian tengah dan bawah bukit dan tekstur bagian tengah bukit lebih kasar daripada tekstur di bagian bawah bukit. Hal ini terjadi karena proses erosi yang membawa partikel liat hasil pelapukan ke bagian bawah bukit dan tertimbun sehingga prosentase liat di bawah bukit lebih tinggi dibandingkan dengan prosentase liat yang ada di bagian atas bukit. Demikian juga kecenderungan prosentase liat pada tanah lapisan atas lebih rendah dibandingkan dengan prosentase liat pada tanah lapisan bawah. Hal ini terjadi karena adanya proses illuviasi (pencucian liat dari lapisan atas ke lapisan bawah tanah) pada daerah tersebut. Namun keadaan sebaliknya terjadi pada tanah bagian bawah bukit karena proses penimbunan liat yang terjadi pada daerah tersebut. Kemasaman tanah (pH) untuk pengekstrak air (1:2,5 tanah:air) pada umumnya berkisar dari agak masam sampai netral (6.42 – 6.86). pH yang paling rendah diperoleh pada lapisan atas tanah bagian bawah bukit sedangkan pH yang paling tinggi diperoleh pada lapisan bawah bagian tengah bukit. Rendahnya pH pada lapisan atas bagian bawah bukit mungkin ada hubungannya dengan kandungan bahan organik pada setiap lapisan yang berbeda dimana lapisan atas bagian bawah bukit mengandung bahan organik yang paling tinggi dibandingkan dengan kandungan bahan organik pada lapisan yang lain. Semakin tinggi kandungan bahan organik tanah maka nilai pH akan semakin rendah. Kandungan N total tanah pada semua lapisan termasuk rendah sampai sangat rendah. Sedangkan kandungan P dan K tanah pada semua lapisan termasuk sangat tinggi. Stasiun klimatologi masih belum ada di wilayah Kecamatan Kuripan dan sekitarnya. Data iklim diambil dari stasiun Penujak yang berada di Kecamatan Praya Barat Lombok Tengah, yang merupakan stasiun terdekat dari lokasi penelitian. Stasiun tersebut cukup mewakili keadaan iklim lokasi penelitian karena jaraknya cukup dekat (sekitar 15 Km dari lokasi penelitian). Untuk mengetahui data curah hujan yang riil di lokasi penelitian, maka telah dipasang penakar curah hujan yang pembacaannya dilakukan oleh petani setempat setiap hari. Secara umum, curah hujan rata-rata disekitar lokasi penelitian adalah 1120 mm/tahun. Bulan basah pada lokasi penelitian umumnya hanya 5 bulan yaitu mulai dari bulan Nopember sampai bulan Maret. Sedangkan selain bulan tersebut merupakan bulan kering. Namun pada beberapa tahun terakhir ada kecenderungan bulan basah berkurang dan mulai pada bulan Desember. Data curah hujan rata-rata per bulan selama 50 tahun (1950 – 2000) dan distribusi curah hujan per sepuluh harian (dasarian) selama musim hujan 2004/2005 dapat dilihat pada Gambar1 dan Gambar 2. Garis tengah disetiap Gambar 1 merupakan standar deviasi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
117
Seminar Nasional 2005
400
Curah Hujan (mm)
350 300 250 200 150 100 50 0 Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agus Sep
Okt
Bulan
Gambar 1. Rata-rata curah hujan bulanan 50 tahun (1950-2000) terakhir stasiun Penujak (15 km dari lokasi penelitian).
Curah Hujan Dasarian (mm)
Gambar di atas menunjukkan bahwa hanya 4 bulan dimana curah hujannya cukup dan memungkinkan untuk menanam padi yaitu mulai bulan Desember sampai bulan Maret. Beberapa literatur mengungkapkan bahwa curah hujan minimal untuk memulai budidaya tanaman padi sawah adalah 200 mm. Maka keempat bulan tersebut memiliki curah hujan yang lebih besar dari 200 mm. 250 200
Dasarian I
150
Dasarian II
100
Dasarian III
50 0 Sept
Okto
Nop.
Des.
Januari Bulan
Februari
Maret
April
Gambar 2. Distribusi curah hujan per sepuluh harian (dasarian) pada musim hujan 2004/2005 di Desa Kuripan Selatan.
Gambar 2 menunjukkan tidak ada hujan yang terjadi pada bulan September dan Oktober. Hujan mulai turun pada dasarian pertama bulan Nopember dan curah hujannya masih sedikit sampai pada dasarian kedua. Pada dasarian ketiga, hujan sudah cukup banyak yang turun namun jumlah curah hujan tersebut masih belum mencukupi untuk penanaman padi, sehingga pada akhir bulan Nopember sebagian besar petani melakukan pengolahan tanah yang pertama dan penyemaian tanaman padi untuk perlakuan sistem tanam PTT dan Petani. Untuk cara tanam TOT, kondisi ini sangat menguntungkan karena lengas tanah dengan curah hujan tersebut membuat pertumbuhan rumput menjadi sangat maksimum sehingga penyemprotan herbisida pada rumput tersebut menjadi sangat efektif.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
118
Seminar Nasional 2005 Keragaan Produksi Padi Pada Berbagai Sistem Tanam Produktifitas padi pada berbagai perlakuan sistem tanam cukup bervariasi. Nama petani yang menerapkan sistem tanam tersebut dapat dilihat pada Tabel di bawah. Tabel 3. Daftar nama petani dan produksi padi (ton/ha GKP) pada berbagai perlakuan sistem tanam No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama petani Gaji A. Ayu I. Rumini H. Makbul H. Sahar A. Mahuni A. Hasan H. Sahar A. Rumini A. Ati A. Edan H. Lukman H. Sabar Retan Umar
Luas (ha)
Perlakuan
Produksi (t/ha)
0,15 0,10 0,15 0,20 0.25 0,20 0,20 0,25 0,60 0,20 0,50 0,40 0.60 0.50 0.50
TOT TOT TOT TOT TOT TOT Tabela Tabela PTT PTT PTT PTT Cara petani Cara petani Cara petani
6.4 5.7 5.3 4.9 5.6 5.2 4.9 5.5 3.7 3.6 4.1 4.2 3.3 3.7 3.5
Anova
5.5b
5.0b
3.8a
3.5a
Tabel diatas menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara perlakuan. Penanaman dengan cara TOT memberikan hasil yang cukup tinggi kemudian diikuti dengan cara tanam tabela walaupun tidak berbeda nyata. Produksi yang paling rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan yang lain diperoleh pada cara tanam PTT dan cara petani. Rendahnya produksi padi dengan cara tanam PTT memberikan petunjukkan bahwa cara tanam PTT di lokasi penelitian atau di lahan tanah hujan kurang memberikan hasil yang tinggi dan kurang cocok diterapkan pada lahan kering tadah hujan. Salah satu komponen teknologi pada PTT adalah penanaman benih pada umur 15-20 hari setelah persemaian dan tanam satu-satu. Komponen teknologi ini sangat sulit diterapkan karena kondisi air sawah sangat tergantung kepada curah hujan. Jika curah hujan cukup tinggi pada saat benih tanaman sudah waktunya dipindahkan ke sawah, maka keadaan ini mungkin akan memberikan hasil yang cukup tinggi. Tetapi jika curah hujan tidak cukup pada saat benih sudah waktunya untuk ditanam di sawah, maka benih tidak akan ditanam sampai curah hujan cukup. Keadaan ini selalu terjadi di lahan sawah tadah hujan dimana benih sudah tua baru ditanam di sawah. Keadaan yang demikian menyebabkan produksi tanaman padi yang di tanam dengan cara PTT tidak berbeda nyata dengan cara yang dilakukan oleh petani. Cara tanam Tabela tidak berbeda nyata dengan cara tanam TOT menunjukkan bahwa kedua teknologi introduksi ini cocok diterapkan pada lahan sawah tadah hujan. Namun dari segi teknis, teknologi tabela membutuhkan air yang cukup banyak untuk menanam padi secara langsung. Pada cara tanam tabela, tanah diolah secara sempurna sebagaimana yang dilakukan pada sistem PTT baru benih ditanam langsung. Pengolahan secara sempurna membutuhkan air yang banyak sedangkan keadaan air dilahan kering sangat tergantung pada curah hujan. Dengan demikian maka waktu tanam tabela lebih lambat dibandingkan dengan waktu tanam TOT. Keragaan Ekonomi Budidaya Padi Pada Berbagai Sistem Tanam Penerapan teknologi introduksi selain menunjukkan keunggulan secara agronomis juga memiliki keunggulan dari aspek ekonomi. Hal ini terbukti dengan penghematan biaya produksi dan peningkatan pendapatan petani pada sistem TOT (Tabel 3).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
119
Seminar Nasional 2005 Tabel 4.
Analisa usahatani padi pada berbagai perlakuan sistem tanam di lahan kering Buntage, Kuripan Selatan, MH 2004/2005 Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Harga/ Jlh (Rp) Vol unit Jlh (Rp) (Rp)
Tanpa Olah Tanah Komponen biaya/ pendapatan
Hrg/ Vol unit (Rp)
I. Sarana produksi Benih (kg) 50 3.000 150.000 25 3.000 Pupuk : Urea (kg) 200 1.200 240.000 200 1.200 P-36 (kg) 75 1.650 123.750 75 1.650 ZA (kg) 10 1.500 15.000 10 1.500 Herbisida (lt) 3 42.850 128.550 Pestisida: cair (lt) 0.14 80.000 11.200 0.14 80.000 padat (kg) 0.1 60.000 6.000 0.1 60.000 Jumlah (I) 674.500 II. T. Kerja (HOK) Pengolahan tanah 500.000 Pembersihan lahan 10 10.000 100.000 Penyemprotan herbisida 4 10.000 40.000 Penanaman 35 10.000 350.000 40 10.000 Penyiangan 85,5 10.000 855.000 70 10.000 Pemupukan: Dasar 2,1 10.000 21.000 2.1 10.000 Susulan 2 10.000 20.000 2 10.000 Penyemprotan H/P 0,5 10.000 5.000 0.5 10.000 Panen 500.000 Angkut hasil 45.000 Jumlah II 1.936.000 III. Lain-lain Pajak 15250 Ttl biaya (I+II+III) 2.625.750 Hasil GKP (t/ha) 5,5 3,8 Nilai Hasil (Rp) 1.200.000 6.600.000 1.200.000 Pendapatan bersih (Rp) 3.974.250 R/C 2,5
75.000 240.000 123.750 15.000
Tanam Benih Langsung (Tabela) Harga/ Vol unit Jlh (Rp) (Rp)
Teknologi petani Harga/ unit Jlh (Rp) (Rp)
Vol
50 200 75 10
3.000 1.200 1.650 1.500
150.000 240.000 123.750 15.000
40 300 100
3.000 1.200 1.650
120.000 360.000 165000
11.200 0.14 6.000 0.1 470.950
80.000 60.000
11.200 6.000 545950
0.2 0.2
80.000 60.000
16000 12000 673000
500.000
500.000
500.000
500.000
500.000
400.000 700.000
40 70
10.000 10.000
400.000 700.000
30 70
10.000 10.000
300.000 700.000
21.000 20.000 5.000 500.000 45.000 2.191.000
2.1 2 0.5
10.000 10.000 10.000 -
21.000 20.000 5.000 500.000 45.000 2.191.000
2.1 2 0.5
10.000 10.000 10.000 -
21.000 20.000 5.000 500.000 45.000 2.091.000
15250 2.677.200
-
15.250 2.752.200
-
4.560.000
-
5,0 1.200.000
1.882.800 1,7
6.000.000 3.247.800 2,2
-
3.5 1.200.000
15.250 2.779.250 4.200.000 1.420.750 1,5
Hasil analisis ekonomi terhadap ketiga cara tanam dan teknologi petani pada Tabel 4 menunjukkan bahwa penerapan teknologi TOT dapat meningkatkan pendapatan bersih petani yang paling tinggi dibandingkan dengan teknologi tanaman padi yang lain. Hal ini telihat pada teknologi TOT dengan adanya pengematan biaya tenaga kerja dari pengolahan tanah sedangkan biaya saprodi dan biaya lain-lain hampir sama walaupun terlihat biaya penyiangan lebih tinggi pada sistem TOT dibanding dengan sistem yang lainnya. Pendapatan yang tertinggi petani diperoleh pada sistem tanam TOT kemudian diikuti oleh pendapatan pada sistem tanam tabela kemudian PTT dan yang paling rendah adalah pada sistem tanam petani. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasilpenelitian ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Produksi padi dengan cara tanam TOT lebih tinggi dibandingkan dengan cara tanam PTT dan cara petani.
2. Pendapatan yang tertinggi petani diperoleh pada sistem tanam TOT kemudian diikuti oleh pendapatan pada sistem tanam tabela kemudian PTT dan yang paling rendah adalah pada sistem tanam petani. 3.
Sebagian besar petani mengakui akan keunggulan dari teknologi TOT sehingga untuk musim tanam 2005/2006 mereka akan menanam dengan cara TOT.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
120
Seminar Nasional 2005 Saran Diharapkan kepada PPL setempat agar terus membina petani untuk menanam padi dengan sistem TOT. Sistem TOT ini perlu terus didesiminasikan ke daerah lahan kering yang kondisinya mirip dengan lokasi penelitian agar memberikan keuntungan yang layak bagi petani dalam sistem usahatani di lahan kering. DAFTAR PUSTAKA BIPP Loteng. 1997, selayang pandang gogo rancah di Kabupaten Lombok Tengah, tidak dipublikasi. Biro Pusat Statistik (BPS). 2000. Nusa Tenggara Barat dalam Angka. Kerjasama BPS Prop NTB dengan Bappeda NTB. Biro Pusat Statistik (BPS). 2002. Nusa Tenggara Barat dalam Angka. Kerjasama BPS Prop NTB dengan Bappeda NTB. Hsiao, T.J. 1982. The siol-plant-atmosphere continuum in relation to drought and crop production in Mackill, D.J., W.R. Coffman, and D.P. Garrity. 1996. Rainfed lowland rice improvement. IRRI. Manila . Philippines. Intenational Rice Research Institute ( IRRI ) 1998, Rainfed Lowland Rice. IRRI 1997–1998. Manila Fhilippines. Meindertsma, D.J. 1997. Income diversity and farming systems. Modelling of farming households in Lombok, Indonesia. Royal Tropical Institute, Amsterdam. Mirza, M. 1995. Kemungkinan penggunaan curah hujan untuk penentuan saat tanam padi di sawah tadah hujan. (hal 24 - 35). Prosiding dalam Seminar Sehari “Pemamfaatan Sumberdaya Iklim Dalam Pengembangan Pertanian Yang Efisien” Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI) NTB dan Fakultas Pertanian Univeresitas Mataram. Sayuti, R., Y. Abawi, W. Karyadi, I. Yasin. 2001. Factors affecting the use of climate forecast in agriculture: A case study of Lombok Island, Indonesia. Aciar papper. Mataram. 13 p Wirajaswadi et al., 2001) Wirajaswadi et al., 2003)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
121
Seminar Nasional 2005 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ADOPSI TEKNOLOGI TABELA DI PROVINSI BALI Suharyanto, Destialisma dan IA Parwati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali Jl. By Pas Ngurah Rai, Pesanggaran, Denpasar 80222
ABSTRAK Teknologi Tabela (Tanam Benih Langsung) pada usahatani padi sawah telah terbukti mampu meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi penggunaan tenaga kerja. Sebaik apapun teknologi yang dihasilkan akan tidak berguna apabila tidak diadopsi oleh pengguna/petani. Penelitian tentang adopsi teknologi Tabela dilaksanakan pada bulan Juni – Juli 2001 yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi Tabela. Penelitian dilaksanakan di 3 kabupaten yaitu Tabanan, Klungkung dan Buleleng yang merupakan lokasi pengkajian aplikasi Tabela. Jumlah responden sebanyak 137 petani dengan rincian Tabanan 49 petani, Klungkung 44 petani dan Buleleng 44 petani. Variable yang digunakan untuk mengestimasi peluang petani mengadopsi Tabela adalah umur, luas lahan, sikap, pengetahuan dan norma sosial. Data dianalisis secara deskriptif dan analisis regresi berganda dengan metode maximum likelihood. Hasil analisis menunjukkan bahwa umur dan luas lahan berkorelasi negatif terhadap peluang petani mengadopsi Tabela dan secara statistik sangat nyata (p<0.01), pengetahuan, norma sosial, dan berkorelasi positif (p<0.10). Sedangkan sikap petani menunjukkan korelasi positif terhadap peluang adopsi Tabela, namun secara statistik tidak berbeda nyata. Kata kunci : adopsi teknologi, tanam benih langsung, padi sawah.
PENDAHULUAN Setelah pencapaian swasembada beras tahun 1984, peningkatan produksi beras menunjukkan gejala pelandaian (levelling off), demikian pula halnya dengan produktivitas faktor produksi. Bahkan beberapa tahun tertentu pencapaian produksi padi menurun. Pada masa datang, apabila tak ada upaya-upaya terobosan yang cukup berarti diperkirakan peningkatan produksi pangan akan semakin sulit sedangkan kebutuhan terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala, yaitu: (1) penyusutan lahan sawah subur untuk kebutuhan non pertanian; (2) upaya peningkatan produktivitas mengalami stagnasi karena belum ada terobosan teknologi baru yang mampu memberikan lonjakan produksi setelah era revolusi hijau; (3) fragmentasi lahan terus-menerus yang mengakibatkan jumlah petani berlahan sempit makin bertambah; (4) tenaga kerja di sektor pertanian makin bertumpu pada generasi tua karena generasi muda makin enggan bekerja di sektor pertanian; dan (5) senjang hasil antara usahatani yang dilakukan petani dan ditingkat penelitian masih besar. Dengan berbagai kendala diatas, upaya terobosan untuk mengatasinya mutlak diperlukan. Upaya tersebut perlu diatasi dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi usaha dan daya saing komoditas. Salah satu komponen teknologi yang mempunyai karakteristik terobosan adalah sistem tanam benih langsung (Tabela) (Suryana dan Kariyasa, 1997). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi usahatani padi sebar langsung terutama dalam larikan (in rows) menunjukkan prospek yang menggembirakan. Teknologi padi sebar langsung dapat menekan penggunaan tenaga kerja dan biaya produksi asal didukung oleh varietas dengan potensi hasil tinggi dan secara ekologi memungkinkan (De Datta, 1990). Lebih lanjut, kalau dilihat menurut tahapan kegiatan yang menggunakan tenaga kerja antara usahatani padi sistem Tabela dan tapin, tampak bahwa pada kegiatan pengolahan lahan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta panen dan pasca panen dibutuhkan tenaga kerja relatif sama. Akan tetapi pada kegiatan persemaian sampai tanam dan penyiangan terjadi perbedaan yang cukup tajam dalam penggunaan tenaga kerja. Pada sistem Tabela, pada tahap kegiatan persemaian sampai tanam hanya dibutuhkan tenaga kerja 6 HOK/Ha, sedangkan pada sistem tapin membutuhkan tenaga kerja lebih enam kali lipatnya (38 HOK/Ha). Demikian juga dengan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
122
Seminar Nasional 2005 melakukan aplikasi herbisida yang mampu membasmi rumput/gulma yang tumbuh, usahatani sistem Tabela pada tahap penyiangan hanya membutuhkan tenaga kerja 5 HOK/Ha, sedangkan pada sistem Tapin 44 HOK/Ha (Suryana dan Kariyasa, 1997). Hasil pengkajian penerapan sistem Tabela di Bali menunjukkan adanya efisiensi penggunaan tenaga kerja sebesar 23,4% dibandingkan sistem tapin dan juga menunjukkan adanya peningkatan pendapatan sebesar 11,1% dibandingkan sistem tapin sehingga biaya produksi secara keseluruhan dapat dihemat sebesar 14,3%. Namun demikian pada sistem Tabela dijumpai pertumbuhan gulma yang relatif lebih cepat dibandingkan sistem tapin, sehingga perlu diantisipasi lebih lanjut (Anonim, 1997). Namun demikian, sebaik apapun teknologi yang dihasilkan akan percuma saja apabila tidak diadopsi oleh para penggunanya/petani. Melalui pengkajian SUTPA selain untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani, juga diharapkan mampu mempercepat adopsi benih unggul varietas baru dan sistem tanam benih langsung (Tabela) yang merupakan komponendari rekayasa teknologi yang dikembangkan dalam program tersebut. Adopsi dalam proses penyuluhan (pertanian), pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotor) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang disampaikan oleh penyuluh. Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar tahu, tetapi sampai benar-benar melaksanakan ataupun menerapkan dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapatdiamati secara langsung oleh orang lain, sebagai cerminan adanya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan (Mardikanto, 1993). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap adopsi teknologi sistem tanam benih langsung (Tabela), sehingga diharapkan mampu untuk dapat mempercepat transfer teknologi pada petani. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu pada 3 lokasi pengkajian SUTPA pada tahun 1999 yakni di kabupaten Buleleng (Subak Anyar Tegal, Lawas Petandakan dan Padang Keling), Tabanan (Subak Uma Bali, Uma Kaang dan Petiga Kangin) dan Klungkung (Subak Sema Agung, Aan Dangin Desa dan Sengkiding) yang masingmasing mewakili UPK (Unit Pengkajian Khusus), UHP (Unit Hamparan Pengkajian) dan LUHP (Luar Unit Hamparan Pengkajian). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni – Juli 2001. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) pada petani eks pengkajian SUTPA. Jumlah responden yang terlibat sebanyak 137 petani dengan rincian Tabanan 49 petani, Klungkung 44 petani dan Buleleng 44 petani. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Parameter yang digunakan untuk mengestimasi terhadap peluang petani mengadopsi Tabela adalah umur, luas lahan, sikap, pengetahuan dan norma sosial. Data dianalisis secara deskriptif dan analisis statistik model Logit dengan menggunakan metode estimasi Maximum Likelihood.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
123
Seminar Nasional 2005 Spesifikasi model yang digunakan adalah : Ln (Pi)
=
0
+
0
kXk
dimana : Pi (ri/ni) =
Peluang petani untuk melakukan Tabela) (ri = responden yang melakukan Tabela, ni = jumlah responden)
K
=
1,2,3,……., subskrip peubah bebas
xi-5
=
peubah bebas (umur, sikap, pengetahuan, luas lahan sawah garapan dan norma sosial) HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Petani Responden Rata-rata umur responden adalah 45,88 tahun dengan kisaran 18 –70 tahun. Rataan umur tersebut masih lebih rendah dari rataan umur tenaga kerja yang mendominasi sektor pertanian yang mencapai lebih dari 50 tahun (Kasryno, 1997) namun sudah tidak tergolong muda. Hal ini mencerminkan bahwa usahatani padi pada umumnya dan Tabela pada khususnya masih belum diminati oleh tenaga kerja muda. Namun secara umum dapat dilihat bahwa 89,78% petani yang menerapkan teknologi Tabela adalah tergolong dalam usia produktif, yaitu mempunyai kisaran umur antara 15-64 tahun. Tingkat pendidikan seseorang dapat merubah pola pikir, daya penalaran yang lebih baik, sehingga makin lama seseorang mengenyam pendidikan akan semakin rasional. Secara umum petani yang berpendidikan tinggi akan lebih baik cara berfikirrnya, sehingga memungkinkan mereka bertindak lebih rasional dalam mengelola usahataninya. Sebagaimana yang dinyatakan Soekartawi (1988) bahwa mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah, mereka agak sulit untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Tingkat pendidikan petani responden di lokasi penelitian bervariasi mulai dari buta huruf sampai dengan tamat perguruan tinggi, namun sebagian besar yaitu 55 orang (40,15%) berpendidikan setingkat SD, 46 responden (57,57%) berpendidikan menengah dan 2 orang (1,46%) berpendidikan perguruan tinggi. Tabel 1. Karakteristik Petani Responden di Tiga Kabupaten, Bali, 2001. Karakteristik Umur (thn) <15 15 – 64 >64 Pendidikan Tidak sekolah SD SMP SLTA Perguruan Tinggi Luas lahan (ha) < 0,2 0,2 – 0,5 > 0,5 Pendapatan usahatani padi (Rp/thn) < 1.500.000 1.500.000 – 3.500.000 > 3.500.000
Tabanan (org)
Buleleng (org)
0 47 2
0 40 4
10 24 6 4 1
Klungkung (org)
Total (org)
Total (%)
0 38 5
0 123 13
0.00 89.78 10.22
13 15 5 13 0
11 16 13 5 1
34 55 24 22 2
24.82 40.15 17.52 16.06 1.46
4 21 24
1 29 14
7 23 16
12 71 54
8.76 51.82 39.41
4 31 11
2 39 5
4 48 13
10 98 29
7.29 71.53 21.16
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
124
Seminar Nasional 2005 Responden yang menerapkan teknologi Tabela seperti yang disajikan pada Tabel 1 mempunyai rataan luas lahan garapan 0,37 hektar dengan kisaran antara 0,10-2,60 hektar. Responden dengan luas lahan garapan antara 0,20-0,50 hektar sebanyak 71 orang (51,82%), luas lahan garapan diatas 0,50 hektar sebanyaak 54 orang (39,41%) dan responden yang memiliki luas lahan garapan dibawah 0,20 hektar sebanyak 12 orang atau 8,76%. Teknologi Tabela akan lebih efisien bila digunakan pada areal pertanaman yang lebih luas, sehingga akan menghemat biaya produksi dari sisi penggunaan tenaga kerja. Rata-rata pendapatan responden dari usahatani padi sebesar Rp. 2.008.573,- per tahun dengan kisaran Rp. 602.572,- hingga 5.666.869,-. Sebagian besar responden yaitu 98 orang (71,53%) berpenghasilan antara 1.500.000-3.500.000, sebanyak 21,6% berpenghasilan rata-rata lebih dari Rp.3.500.000,- per tahun dan hanya 7,29% yang berpenghasilan di bawah Rp.1.500.000,-. Soekartawi (1988) menyatakan bahwa pendapatan usahatani yang tinggi seringkali ada hubungannya dengan tingkat difusi inovasi pertanian. Kemauan untuk melakukan percobaan atau perubahan dalam difusi inovasi pertanian yang cepat sesuai kondisi pertanian yang dimiliki oleh petani, maka umumnya hal ini yang menyebabkan pendapatan petani yang lebih tinggi. Dengan demikian petani akan kembali investasi kapital untuk adopsi inovasi selanjutnya. Sebaliknya banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa para petani yang berpenghasilan rendah adalah lambat dalam melakukan adopsi inovasi. Komponen Pengeluaran Tabela B enih 7%
Komponen Pengeluaran Tapin B enih 7%
P estisida/ Herbisida 4%
P upuk 29%
P upuk 30%
Tenaga kerja 59%
P estisida/ Herbisida 3%
Tenaga kerja 61%
Gambar 1. Rataan Struktur Komponen Pengeluaran Teknologi Tabela dan Tapin di Tiga Kabupaten, Bali, 2001.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Tabela Perilaku petani dalam berusaha tani, diantaranya pemilihan sistem tanam padi, sangat dipengaruhi oleh kondisi individu petani, kondisi ,lingkungan produksi baik lingkungan fisik, biologis maupun sosial ekonomi. Beberapa peubah bebas, yang telah dicoba dalam model ini dan diduga dapat menjelaskan pilihan petani antara lain umur, pendidikan, pendapatan, luas lahan sawah garapan, sikap, pengetahuan dan norma sosial. Dengan menggabungkan data-data tersebut ke dalam beberapa grup, maka 5 peubah bebas di bawah ini dianggap dapat menjelaskan pilihan petani karena mempunyai Adjusted R-Square yang tinggi, yaitu 91,8%. Yang berarti 91,8% dari faktor-faktor yang dipilih dalam model ini diperkirakan dapat menjelaskan alasan petani memilih teknologi Tabela. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) umur; (2) sikap; (3) pengetahuan; (4) luas lahan sawah garapan; dan (5) norma sosial. Nilai dugaan koefisien fungsi logit dengan peubah bebas umur, sikap, pengetahuan, luas lahan sawah garapan dan norma sosial, dan peubah tidak bebas petani yang mengadopsi Tabela, disajikan dalam Tabel 2.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
125
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Nilai Dugaan Koefisien Fungsi Logit terhadap Peluang Adopsi Tabela di Tiga Kabupaten, Bali, 2001. Peubah bebas Konstanta X1 (umur) X2 (sikap) X3 (pengetahuan) X4 (luas lahan) X5 (norma sosial)
Koefisien 6.7572 *** - 0,07862 *** 0.18957 0.22617 ** -1.0309 *** 0.29213 *
Keterangan : R2 = 96,9 % , Adjusted R-Square = 91,8%, t tabel ( *** = sangat nyata , P <0,01 ** = nyata , P < 0,10
0,01 = 5,841 dan
Nilai t stat
Nilai-P
8.48 -7,01 2.17 2.66 -5.87 3.03
0.003 0.006 0.118 0.070 0.010 0.057
0,10 = 2,353)
Dari Tabel 2 terlihat bahwa nilai konstanta 6,7572 dan secara statistik sangat nyata (P < 0,01). Hai ini berarti bahwa tanpa memperhatikan umur, sikap, pengetahuan, luas lahan garapan dan norma sosial, maka peluang petani yang mengadopsi Tabela sebanyak 7 orang. Dengan kata lain ada faktor-faktor di luar peubah bebas tersebut yang tidak masuk dalam model namun sangat berpengaruh dalam pilihan petani untuk mengadopsi tabela. Dua peubah bebas yaitu umur, luas lahan bertanda negatif, sedangkan sikap, pengetahuan dan norma sosial bertanda positif. Hubungan negatif dari umur dengan peluang responden mengadopsi Tabela yang secara statistik sangat nyata (P < 0,01), dapat diartikan bahwa semakin tua umur responden cenderung semakin rendah peluang responden menerapkan teknologi Tabela. Kesimpulan ini dari segi teori (Lionberger, 1960) maupun intuitif dapat diterima. Hal ini juga dapat diartikan bahwa semakin muda umur responden, semakin tanggap terhadap inovasi baru, dan semakin tinggi peluang responden untuk menerapkan teknologi Tabela, sedangkan yang lebih tua pada umumnya bertahan pada sistem yang lama yang sudah biasa diterapkan oleh masyarakat. Sebagaimana pendapat Soekartawi (1988) bahwa makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi tersebut. Luas lahan berhubungan negatif dengan peluang responden mengadopsi Tabela dan secara statistik sangat nyata (P < 0,01) yang berarti bahwa semakin luas lahan garapan seseorang semakin rendah peluang responden untuk mengadopsi Tabela. Kesimpulan ini dari segi teori maupun intuitif tidak konsisten, karena semakin luas usaha tani seseorang pada umumnya semakin cepat mengadopsi inovasi, karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik. Namun untuk mengadopsi teknologi Tabela kemungkinan teori ini tidak berlaku, karena masalah utama pada adopsi teknologi Tabela adalah pengendalian gulma. Apabila pengendalian gulma ini belum bisa teratasi, maka semakin luas lahan seseorang semakin besar biaya yang dipergunakan untuk mengendalikan gulma, sehingga responden hanya menerapkan teknpologi Tabela pada luas lahan yang bisa dikelola. Sikap responden berhubungan positif dengan peluang mengadopsi Tabela, yang berarti semakin positif sikap responden terhadap paket teknologi Tabela semakin tinggi peluang untuk mengadopsi teknologi tersebut. Kesimpulan ini secara teoritis dan intuitif, konsisten, namun secara statistik tidak nyata, sehingga faktor ini tidak berpengaruh terhadap peluang adopsi teknologi Tabela. Kebanyakan petani kecil agak lamban dalam mengubah sikapnya terhadap perubahan. Hal ini disebabkan karena sumberdaya yang mereka miliki, khususnya sumberdaya lahan, terbatas sekali. Sehingga mereka agak sulit untuk mengubah sikapnya untuk adopsi inovasi karena mereka khawatir kalau adopsi inovasi tersebut ternyata gagal. Sebab sekali adopsi inovasi itu gagal, mereka akan sulit untuk mendapatkan atau mencukupi makan anggota keluarganya. Hubungan antara pengetahuan dan adopsi teknologi Tabela positif dan secara statistik nyata (P < 0,10). Hasil penelitian ini sesuai dengan yang diharapkan dalam menjelaskan karakteristik petani, sehingga pengetahuan petani tentang teknologi yang akan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
126
Seminar Nasional 2005 diintroduksi seyogyanya ditingkatkan agar petani lebih mudah mencerna teknologi yang akan diadopsi. Pengetahuan paket teknologi tersebut meliputi cara persiapan lahan, persiapan benih, penanaman, pengaturan pengairan, pemupukan, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit dan panen serta pasca panen. Norma sosial dalam tulisan ini adalah kegiatan upacara keagamaan yang dilakukan secara berkelompok dalam subak maupun perorangan di sawah berkaitan dengan usahatani padi antara lain ngawit nambah (mulai mengolah yanah), pangawit (menjelang persemaian), nandur (menjelang tanam padi), neduh (pada saat padi berumur satu bulan), biukukung (mulai berbulir), nyangket (menjelang panen) dan lain-lain. Kegiatan upacara pangawiwit dalam teknologi Tabela dilakukan pada saat perendaman benih, sedangkan. Koefisien norma sosial juga bertanda positif dan secara statistik sangat nyata (P < 0,10). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi norma sosial responden semakin tinggi peluang adopsi Tabela. Di lapangan kenyataan ini dapat diterangkan bahwa norma sosial tidak mempengaruhi seseorang untuk menerapkan teknologi Tabela, karena semua norma sosial yang selama ini berlaku untuk penanaman padi tetap dilaksanakan oleh responden yang menerapkan teknologi Tabela. Hal ini juga ditunjang oleh hasil survei yang menyatakan bahwa norma sosial bagi responden yang menerapkan Tabela, yang dianalisa dengan skala Likert, masuk dalam kategori tinggi. Berdasarkan hasil analisis tersebut diatas ternyata bahwa faktor-faktor yang diduga dapat menjelaskan pilihan petani dalam memilih teknologi Tabela adalah umur, luas lahan, pengetahuan, dan norma sosial. Faktor-faktor lain yang tidak masuk dalam model dan diperkirakan dapat menjelaskan pilihan petani mengadopsi Tabela dibahas dalam metode PRA yang menyangkut keuntungan petani mengadopsi Tabela. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi peluang tabela dan secara statistik nyata adalah umur, pengetahuan, luas lahan dan norma sosial. Umur dan luas lahan berkorelasi negatif sedangkan pengetahuan dan norma sosial mempunyai hubungan positif. 2. Teknolologi Tabela yang diintroduksi dengan pendekatan top down dan dengan target areal tertentu tidak memotivasi petani untuk menerapkan suatu teknologi secara berkelanjutan. Pendekatan partisipatif yang dilaksanakan pada awal pengkajian introduksi teknologi akan mempengaruhi partisipasi petani didalam melaksanakan pengkajian secara sukarela, sehinga tingkat adopsi teknologi maupun peluang melanjutkan teknologi introduksi diharapkan akan meningkat dan berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997. Laporan Hasil Pengkajian Sistem Usahatani Padi Berbasis Padi dengan Wawasan Agribisnis (SUTPA) di Bali. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IP2TP) Denpasar. De Datta S.K. 1990. Technology and Economics of Weed Control in Small Rice Farms in The Asian Tropics, 23-37 in Proceedings, 12th Asian-Pacific Weed Science Society Conference, 21-26 August 1989, Seoul, Korea. Kasryno, F. 1997. Meningkatkan Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian dan pengembangan Sistem Pertanian Menuju Era Globalisasi Ekonomi. Prosiding Agribisnis Dinamika Sumberdaya dan Sistem Usaha Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian. Bogor. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Solo.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
127
Seminar Nasional 2005 Lionberger, H.F. 1960. Adoption of New Ideas and Practices. The Iowa State University Press. Soekartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia (UIPress). Jakarta. Suryana, A dan K Kariyasa. 1997. Efisiensi Usahatani padi Melalui Pengembangan SUTPA. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Vol.15 No.1 & 2, Desember 1997. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. hal 67 –81.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
128
Seminar Nasional 2005 ANALISIS KELAYAKAN USAHA RICE MILLING UNIT (RMU) DI KECAMATAN JETIS KABUPATEN BANTUL, YOGYAKARTA Sugeng Widodo, Rob Mujisihono dan Nur Hidayat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
ABSTRAK Beras adalah komoditas strategis dan merupakan pangan pokok bangsa Indonesia. Konsumsi beras setiap tahun selalu meningkat seiring dengan laju penambahan penduduk. Sudah banyak upaya untuk mengerem laju konsumsi beras dengan anekaragaman pangan lokal namun tampaknya setiap tahun selalu mengalami kenaikan. Seiring dengan laju konsumsi beras maka pihak produsen utama (petani) dan ditunjang dengan usaha penggilingan padi (Rice Milling Unit) mengalami kenaikan pesat. Pesatnya pertumbuhan RMU di Kabupaten Bantul menimbulkan persaingan yang cukup ketat. Metode penelitian adalah survai dengan penentuan RMU secara sengaja (purposive) dengan pendekatan daerah sentra padi. Penelitian menguji 3 RMU di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul pada bulan September - Desember 2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Tingkat pengembalian modal (Internal Rate Return/IRR) pada 3 RMU memberikan nilai IRR aktual > IRR estimate, ( 12% ) masing-masing adalah UD Iqbal Sari Padi 63%; UD Dewi Sri 70% dan UD Tani Rahayu 36%. Dengan nilai indikator IRR > 12% maka usaha RMU di tiga UD tersebut layak; (2) Net Present Value (NPV) memberikan nilai indikator NPV positif, masing-masing adalah UD Iqbal Sari Padi sebesar Rp 75,680,901; UD Dewi Sri Rp 34,306,065 dan UD Tani Rahayu sebesar Rp 13,017,534. Artinya bahwa usaha penggilingan padi RMU selama 5 (lima) tahun investasi memberikan keuntungan masing-masing sebesar Rp 75,680,901; Rp 34,306,065 dan Rp 13,017,534. Dengan pendekatan kedua indikator IRR dan NPV dalam kondisi normal pada saat pengkajian usaha ini layak dan memberikan manfaat nyata bagi usaha RMU di Kabupaten Bantul. Kata kunci : RMU, padi, kelayakan usaha
PENDAHULUAN Swasembada beras terjadi tahun 1984 dan dapat dipertahankan pada tahuu 1990. Setelah itu peningkatan konsumsi beras tidak sebanding lagi dengan laju peningkatan produksi dan areal panen (Kasryno et al., 2001). Sejak tahun 1994 Indonesia mulai mengimpor beras lagi, dan setiap tahun ada kecenderungan peningkatan impor. Ini sebenarnya merupakan peluang bagi petani dan usaha penggilingan padi (RMU) dalam peningkatan produktivitas dan kualitas beras. Pangsa pasar tersedia hanya keperpihakan pemerintah terhadap petani khususnya padi sangat diharapkan dalam peningkatan pendapatan dan nilai tukarnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan bagi petani. Insentif dalam keperpihakan pemerintah pada petani diharapkan mampu memberikan spirit dan motivasi sehingga akhirnya petani bergairah lagi menanam padi. Tanaman padi merupakan masih merupakan komoditi strategis nasional. Produksi beras di Indonesia pada akhir tahun 2000 mencapai 51,899 juta ton GKG (Simatupang, 2000; Simatupang dan A. Syukur, 2002) pada akhir tahun 2002 diperkirakan sebesar 54 juta ton GKG. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2002 dapat menyumbangkan sekitar 653.576 ton padi Gabah Kering Giling (GKG), terdiri dari hasil padi sawah 537.955 ton GKG, padi gogo 115.622 ton GKG, setara dengan 424.824,4 ton beras (Anonimus, 2002). Dilihat dari luas areal padi sawah, maka Kabupaten Sleman merupakan pemasok terbesar (40,56%), Kabupaten Bantul, 27,60%, Kabupaten Kulon Progo, 18,03%, Kabupaten Gunung Kidul 13,40% dan Kodya Yogyakarta 0,41%. Sedangkan padi gogo 100,00% berada di Kabupaten Gunung Kidul (Santoso, 2002). Potensi hasil varietas-varietas unggul padi sawah telah mencapai titik jenuh, hal ini terbukti bahwa rata-rata produksi padi persatuan luas telah melandai. Dengan memperhatikan mutu gabah/beras yang mengarah kepada permintaan pasar, baik domestik maupun internasional, maka pengenalan varietas padi unggul baru aromatik diharapkan dapat meningkatkan harga jual beras yang dihasilkan. Adapun kegiatan tersebut telah mendapat respon dari Bupati Bantul dengan bantuan benih padi aromatik sebanyak 4 ton bekerja sama dengan BPTP-Yogyakarta tahun 2001 (Mudjisihono, 2001). Hasil panen
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
129
Seminar Nasional 2005 dihimpun dalam satu lumbung kelompok dan diharapkan dapat dijual dalam bentuk gabah maupun beras dengan harga yang relatif lebih tinggi. Sebagai tindak lanjut Mudjisihono et al., (2004), sedang mengembangkan padi aromatik varietas Batang Gadis, Gilirang, Cimelati dan Celebes di Yogyakarta. Maka perlu diantisipasi dengan pola penanganan pasca panen yang tepat dan benar. Masalah besarnya kehilangan hasil, mutu yang rendah dan harga yang fluktuatif yang cenderung tidak memberikan insentif kepada petani sangat amat dirasakan dan perlu segera solusinya (Moehaimin-Sovan, 2002). Kehilangan hasil pasca panen masih tinggi yaitu mencapai 20,5% (Anonimus, 1995). Mutu beras yang dihasilkan umumnya sangat rendah yang dicirikan oleh beras patah (broken) yang lebih dari 15% dengan rasa, warna yang kurang baik. Selanjutnya harga gabah ditingkat petani belum dapat memperbaiki tingkat pendapatan. Kondisi demikian akan semakin besarnya ancaman terhadap ketahanan pangan beras. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Kegiatan akan dilaksanakan pada tahun 2004 dari bulan September – Desember 2004. Pada tahap awal dilakukan survai lokasi pada daerah sentra padi di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul. Penentuan tempat RMU secara sengaja (purposive) yaitu pada daerah sentra padi, sedangkan penentuan responden secara simple random sampling, dengan kriteria responden bahwa RMU yang dikaji memiliki kesetaraan dalam volume, skala dan berijin. Pendekatan Analisis Data a. Analisis Pendapatan Bersih Usaha RMU Keuntungan = Penerimaan Total – Biaya Total Komponen biaya total terdiri dari biaya-biaya variabel (biaya tidak tetap) dan biaya tetap. Biaya variabel adalah biaya yang secara total berubah secara proporsional dengan perubahan aktivitas, dengan kata lain biaya variabel adalah biaya yang besarnya dipengaruhi oleh jumlah produksi yang dihasilkan, akan tetapi biaya variabel per unit sifatnya konstan. Sedangkan biaya yang selalu tetap secara keseluruhan tanpa terpengaruh oleh tingkat aktivitas (Garrison dan Norren, 2001). b. Analisis Finansial RMU Analisis finansial yaitu menghitung tingkat imbalan yang diterima dari modal yang sudah diinvestasikan pada usaha RMU. Kriteria investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Net Present Value (NPV), Net B/C, dan IRR.. (Pujosumarto, 1998 ; Gitinger, 1986) Net Present Value (NPV) : t n
NPV t i
( Bt Ct ) (1 i )t
Keterangan : B C t i
= Manfaat penerimaan tiap tahun = Manfaat biaya yang dikeluarkan tiap tahun = Tahun kegiatan usaha (t = 1,2,...n) = Tingkat discount yang berlaku
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
130
Seminar Nasional 2005 Kriteria NPV yaitu : NPV > 0, NPV < 0, NPV = 0,
berarti usaha RMU yang telah dilaksanakan menguntungkan; berarti sampai dengan t tahun investasi proyek tidak menguntungkan; berarti tambahan manfaat sama dengan tambahan biaya yang dikeluarkan.
Internal Rate of Returns (IRR) yaitu : t n
IRR t
( Bt Ct ) t 1 (1 i )
0
Keterangan : Bt Ct t i
= Manfaat penerimaan tiap tahun = Manfaat biaya yang dikeluarkan tiap tahun = Tahun kegiatan usaha (t = 1,2,...n) = Tingkat bunga yang berlaku
Kriteria IRR yaitu : 1. IRR > Social Discount Rate berarti usaha RMU layak dilaksanakan; 2. IRR < Social Discount Rate berarti usaha RMU tidak layak dilaksanakan HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Rice Milling Unit (RMU) Usaha penggilingan padi di Kabupaten Bantul mulai berkembang pesat dalam 5 (lima) tahun terakhir ini. Kepesatan usaha ini, didukung dengan peningkatan produktivitas hasil padi dengan produktivitas rerata sudah diatas 5 ton/ha GKP, lebih tinggi dari rerata produktivitas nasional 4-5 ton/ha. Selain itu didukung dengan kebijakan PEMDA Kab Bantul yang sangat kondusif dalam peningkatan produktivitas dan usaha RMU dengan kemudahan ijin dan cukup membantu dalam peningkatan nilai tambah. Persaingan usaha RMU ini bersifat positif dan kompetitif sehingga harga yang ditawarkan cukup menguntungkan kedua belah pihak. Kapasitas, jenis dan karakteristik RMU di Kabupaten Bantul beragam. Hasil penelitian dari 3 unit RMU di Kec. Jetis disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Spesifikasi Teknis Beberapa RMU di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul. 2004 Nama Perusahaan
Spesifikasi Merk
Kap/jam
Model
Rpm
Ket.
1. UD. Iqbal Saripadi, Trimulyo
Yanmar ICHI
15 HP 10 HP
ECH60AN N70
1100 750
Pengupas Penyosoh
2. UD. Tani Rahayu, Barungan
Yanmar ICHI
13 HP 8 HP
HW60AN N60
1100 850
Pengupas Penyosoh
3. UD. Sri Rejeki, Sumberagung
Yanmar Kubota
15 HP 11 kw
ECH60AN RD160H
1100 1800
Pengupas Penyosoh
Sumber : Data Primer, 2004.
Kalayakan RMU (Rice Milling Unit) Metode perhitungan yang digunakan di dalam analisis finansial adalah metode arus tunai berdiskonto dengan tingkat discount factor 1% per bulan sesuai dengan suku bunga berlaku di Bantul. Dalam usaha RMU output yang dihasilkan adalah nilai rupiah/kg dari biaya giling gabah. Komonen biaya yang dipertimbangkan adalah: (1) Biaya investasi: dalam perhitungan awal yang dilakukan yaitu investasi awal yang ditanamkan terinci adalah: RMU terdiri dari mesin diesel, penyosok dan pencacah, gedung/gudang pemproses termasuk
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
131
Seminar Nasional 2005 lantai penjemuran, peralatan pelengkap (nilai sekop, timbangan dll); (2) Biaya tetap: merupakan biaya yang dikeluarkan setiap tahun terdiri dari biaya pemeliharaan (service dan maintenance), bunga bank, pajak/retribusi dan peralatan habis pakai (karung, ember, tali, pisau, lampu dll); (3) Biaya variabel: Merupakan biaya yang dikeluarkan untuk operasional yang terdiri dari: BBM (solar), minyak pelumas (oli), listrik dan tenaga kerja (operator mesin RMU). Pendapatan bersih merupakan selisih dari penerimaan dengan biaya. Pada tahun ke 0 dan 1 akan bernilai negatif, hal ini karena pada awal investasi butuh biaya tinggi dan sampai dengan tahun 1 belum berproduksi sehingga nilai negatif, dan pada tahun ke 2 sampai dengan tahun ke lima sesuai dengan nilai ekonomis mesin RMU; nilai bangunan/ gudang dan alat bantu lainnya. Nilai investasi RMU disajikan pada tabel 2 Tabel 2. Nilai Investasi Beberapa RMU di Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, 2004 . Nama RMU
Total Investasi (Rp)
1. UD IQBAL SARI PADI Trimulyo, Jetis
71,000,000
2. UD TANI RAHAYU, Barungan, Jetis
42,000,000
3. UD DEWI SRI, Bansan, Jetis.
28,200,000
Sumber : Data Primer (2004)
Hasil analisis kelayakan usaha dari sisi finansial meliputi nilai indikator IRR (Internal Rate of Return dan NPV (Net Present Value) RMU di Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul disajikan pada tabel 3 dan lebih detil pada lampirkan 1, 2, dan 3. Tabel 3. Nilai Indikator Analisis Kelayakan Usaha RMU, Kabupaten Bantul, 2004. Nama Usaha RMU
KELAYAKAN USAHA IRR aktual
NPV
Kriteria
1. UD IQBAL SARI PADI
63%
75,680,901
Layak
2. UD DEWI SRI
70%
34,306,065
Layak
3. UD TANI RAHAYU
36%
13,017,534
Layak
Sumber : Data Primer (2004)
Catatan : IRR estimate 12% (sesuai bunga bank/berlaku 2004) Perhitungan dengan investasi pada T0 – T5 (5 tahun)
Dilihat dari sisi tingkat pengembalian modal (Internal Rate Return/IRR) pada 3 RMU seperti tertera pada tabel 3 memberikan nilai IRR aktual > IRR estimate, yaitu > 12% (sesuai bunga yang berlaku saat penelitian) maing-masing adalah UD Iqbal Sari Padi 63%; UD Dewi Sri 70% dan UD Tani Rahayu 36%. Dengan nilai indikator IRR > 12% maka dari sisi IRR usaha RMU di tiga UD tersebut layak. Begitu pula bila ditinjau dari sisi Net Present Value (NPV) memberikan nilai NPV positif, masing-masing adalah UD Iqbal Sari Padi sebesar Rp 75,680,901; UD Dewi Sri Rp 34,306,065 dan UD Tani Rahayu sebesar Rp 13,017,534. Artinya bahwa usaha penggilingan padi RMU selama 5 (lima) tahun investasi memberikan keuntungan masing-masing sebesar Rp 75,680,901; Rp 34,306,065 dan 13,017,534. Dengan pendekatan kedua indikator IRR dan NPV dalam kondisi normal pada saat pengkajian usaha ini layak dan memberikan manfaat nyata bagi usaha RMU di Kab Bantul.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
132
Seminar Nasional 2005 KESIMPULAN 1. Dilihat dari indikator (Internal Rate Return/IRR) pada 3 RMU adalah layak/feasible memberikan nilai IRR aktual > IRR estimate, (12%) masing-masing adalah UD Iqbal Sari Padi 63%; UD Dewi Sri 70% dan UD Tani Rahayu 36%. 2. Dari sisi Net Present Value (NPV), juga layak/feasible dengan nilai NPV positif, masing-masing adalah UD Iqbal Sari Padi sebesar Rp 75,680,901; UD Dewi Sri Rp 34,306,065 dan UD Tani Rahayu sebesar Rp 13,017,534. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2003. Dinas Pertanian Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam: Rakorbangda 2003. Yogyakarta Garrison dan Norren. 2001. Akutansi Manajerial. Salemba Empat. Jakarta. Gittinger, 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Eds (II). Universitas Indonesia Press. Johns Hopkins. Jakarta. 579. Karsyno, F., P. Simatupang, E. Pasandaran dan Sri Adiningsih. 2001. Reformulasi Kebijaksanaan Perberasan Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Balitbang Deptan. 1 – 23. Mudjisihono Rob. dan A. Setyono, 2003. Pengkajian Cara dan Alat Perontokan untuk Menekan Kehilangan Hasil Panen Padi. Balai Pengkajian Teknologi Yogyakarta. unpublished. Pudjosumarto, M., 1998. Evaluasi Proyek. Fakultas Ekonomi Brawijaya Malang. Edisi Kedua. Liberty. Yogyakarta. Santosa, T., 2002. Memantapkan Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, IP2TP Yogyakarta. Simatupang, P. 2000. Anatomi Masalah Produksi Beras Nasional dan Upaya Mengatasinya. Makalah pada Seminar Nasional Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 Ke depan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, 9-10 Nopember 2000. Bogor. Simatupang, P., dan M. Syukur, 2002. Dampak Kehilangan Hasil Terhadap Kesejahteraan Sistem Padi. Workshop Kehilangan Hasil Pasca Panen Padi. Dirjen Bina Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta, 5 Juni 2002. Sovan, M., 2002. Peranan Penanganan Pasca Panen Untuk Menurunkan Kehilangan Hasil. Makalah pada workshop Kehilangan Hasil Pasca Panen. Jakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
133
Seminar Nasional 2005 PEMBENTUKAN PENANGKAR BENIH JAGUNG QPM SISTEM KELOMPOK MENDUKUNG PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MISKIN PADA LAHAN MARJINAL Bahtiar dan Muis MP Balai Penelitian Tanaman Sereal, Maros
ABSTRAK Pembinaan penangkaran benih jagung bersari bebas (komposit) untuk memproduksi benih dasar sangat perlu dilakukan mengingat permasalahan benih pada tingkat petani hampir setiap tahun muncul. Petani sulit mengakses benih yang berkualitas tinggi. Keberadaan penangkar pada suatu kawasan tertentu, selain dapat menyediakan benih secara tepat waktu, jumlah dan kualitas; juga dapat menawarkan harga benih yang relatif murah dan terjangkau petani. Pembinaan penangkar benih di desa Kajengan, kabupaten Blora mempunyai peluang yang besar karena petani sudah terbiasa menanam jagung namun masih menggunakan varietas lokal yang produksinya rendah atau menggunakan varietas hibrida yang harganya cukup mahal (Rp.32.000/kg). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal yang paling penting diperhatikan dalam memproduksi benih di daerah ini adalah isolasi tempat dan perlakuan benih sebelum tanam. Isolasi tempat harus mendapat kesepakatan dari semua pemilik/penggarap lahan di sekitar lokasi penangkaran, sehingga tidak ada yang menanam jagung minimal 300 meter dari lokasi tersebut. Kemudian aplikasi perlakuan benih dengan Saromyl harus ditingkatkan dari konsentrasi 1 g/kg benih menjadi 2-3 g/kg benih untuk menghindari serangan bulai karena daerah ini merupakan daerah endemik penyakit bulai. Kedua faktor itulah yang diabaikan petani sehingga menyebabkan keberhasilan penangkaran benih jagung di desa Kajengan, kecamatan Todanan, kabupaten Blora dinilai rendah. Kata Kunci : Penangkaran benih, isolasi tempat, perlakuan benih, dan kesepakatan petani
LATAR BELAKANG Pengertian wilayah miskin dalam proyek kemiskinan (PFI3P) adalah wilayah yang dihuni oleh penduduk yang: (1) petaninya mengerjakan usahatani dengan orientasi pemenuhan kebutuhan keluarga; (2) petaninya menggarap lahan kering atau lahan sawah tadah hujan; dan (3) pendapatan perkapitanya paling tinggi Rp.1.000.000 per tahun (ADB, 2003). Berdasar keriteria tersebut, kabupaten Blora dan Temanggun ditetapkan sebagai wilayah yang mendapat perhatian untuk dikembangkan melalui dana PFI3P karena selain pendapatan perkapitanya kurang dari Rp. 1 juta (Rp.874.150), juga lahan yang tersedia sebagian besar berupa lahan kering dan sawah tadah hujan, serta petaninya banyak berusahatani pada lahan kering dan lahan sawah tadah hujan (BPS Kabuapten Blora, 2002). Peranan jagung bagi petani di kabupaten Blora sangat penting karena selain sebagai makanan pokok sebagian petani, juga merupakan sumber pendapatan keluarga. Sebagai makanan pokok, petani menanam jagung varietas lokal yang tingkat produksinya hanya berkisar 1 sampai 1,5 t/ha yang ditanam pada lahan kering atau sawah tadah hujan. Kemudian sebagai sumber pendapatan, petani menanam varietas hibrida pada lahan sawah irigasi atau sawah tadah hujan. Manfaat lainnya adalah limbah jagung telah dijadikan pakan ternak, sehingga biaya untuk pembelian pakan dapat dikurangi (Bahtiar et.al., 2003). Untuk merubah kondisi kehidupan petani tersebut, perlu menerapkan teknologi budidaya jagung, yaitu dengan menggunakan varietas unggul baru yang potensi hasilnya jauh lebih tinggi yaitu 6-7 t/ha (Balitsereal, 2002) dibanding dengan varietas lokal yang ditanam petani hanya berkisar 2-3 t/ha (Anonim, 2002). Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) telah memulai membentuk varietas jagung unggul baru yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dibandingkan jenis jagung biasa yaitu jagung bermutu protein tinggi (Quality Protein Maize = QPM) yang dilepas pada tahun 2004. Jagung QPM tersebut sangat tepat dikembangkan untuk wilayah yang masih
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
134
Seminar Nasional 2005 mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok seperti di wilayah miskin sebagai salah satu upaya peningkatan gizi petani miskin. Langkah awal yang perlu ditempuh dalam menyebarluaskan penggunaan varietas unggul jagung QPM adalah mendekatkan produksi benihnya kepada petani melalui pembinaan penangkaran, agar benih yang berkualitas tinggi mudah diperoleh petani. Data menunjukkan bahwa baru 48 % petani jagung di Indonesia yang menggunakan benih unggul bersari bebas dan 27 % yang menggunakan hibrida (Nugraha et.al. 2002), bahkan dari hasil rangkuman data-data penggunaan benih menunjukkan bahwa pangsa pasar benih hibrida baru mencapai 10 % (Kasryno, 2002). Hampir dapat dipastikan bahwa mereka adalah petani yang relatif maju. Namun demikian, sebagian besar masih meregenerasi benih tanpa manajemen produksi yang betul, dengan demikian lambat laun potensi produksi akan menurun (Saenong et al. 2003). Teknologi produksi benih jagung harus ditangani secara baik mulai dari penentuan lokasi yang representatif, cara budidayanya sampai kepada cara prosessingnya agar dapat menghasilkan benih yang berkualitas tinggi. Perlu perbaikan sistem produksi dan distribusi benih bermutu dari varietas unggul nasional terutama jagung bersari bebas di wilayah sekitar pengembangan jagung dalam bentuk penangkaran di pedesaan berbasis komunal sehingga petani lebih mudah mengakses benih, dengan demikian varietas unggul nasional termasuk jagung QPM yang bersari bebas dapat terdistribusi/ berkembang secara cepat. Dengan adanya kemudahan petani mengakses benih jagung unggul nasional tersebut, tingkat adopsi akan berjalan lebih cepat yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas dan produksi sehingga pendapatan petani dapat meningkat. Selain itu, berkembangnya penangkaran benih di desa dapat menyerap tenaga kerja serta memacu pertumbuhan ekonomi di pedesaan. TUJUAN PENELITIAN Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk membina penangkar dalam memproduksi benih jagung QPM varietas Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 guna meningkatkan pendapatan petani pada lahan marjinal.
METODOLOGI Lokasi Penelitian Penelitian yang dilaporkan dalan program ini merupakan kelanjutan program pengkajian dari tahun 2003. Pengkajian dilaksanakan di Desa Kajengan, Kecamatan Todanan, Kabupaten Blora pada satu kelompok hamparan. Melibatkan sejumlah petani sebagai pelaksananya. Benih yang ditanam adalah varietas Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 pada luasan masing-masing 1 ha. Lokasi dipilih dan ditetapkan secara bersama dalam diskusi kelompok dengan berpedoman kepada syarat-syarat lahan yang dapat dijadikan lokasi penangkaran benih jagung yaitu : terisolasi, subur, tersedia sumber air untuk mengairi saat-saat kritis, aman dari gangguan ternak liar, dan mudah dijangkau. Lokasi tersebut termasuk dalam kawawan yang telah ditentukan sebelumnya oleh Tim Teknis PFI3P dari Badan Litbang Pertanian. Lahan penangkaran tersebut adalah lahan sawah tadah hujan yang bertingkat-tingkat, dikerjakan oleh kelompok Tani Kajengan. Adapun teknologi budidaya penangkaran benih adalah sebagai berikut : 1. Pengolahan tanah dengan cara petani (bajak dengan ternak) sampai tanah gembur dan bersih dari gulma.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
135
Seminar Nasional 2005 2. Perlakuan benih dengan saromil dengan dosis 1 g/kg benih (1 bungkus saromil/5 kg benih. Benih yang akan ditanam terlebih dahulu diuji kadar Triptopan dan Lisinnya untuk memastikan kualitas proteinnya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kandungan Triptopan dan Lisin masing-masing 7,5 dan 5,3 (Balitsereal, 2004). 3. Penanaman dengan jarak tanam 70 cm x 20 cm, 2 sampai 3 biji perlubang dan diperjarang 1 biji perlubang pada umur 2 minggu. Lubang tanaman ditutup dengan pupuk kandang sebanyak 1 genggam/lubang setara dengan 1,5 t/ha. Pada saat pemupukan dasar dilakukan penjarangan, dipertahankan satu tanaman per lubang. 4. Dipupuk dengan Urea 350 kg/ha, SP36 150 kg/ha, dan KCl 100 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan dua kali yaitu pada umur 7-10 hari (saat tanaman muncul dipermukaan tanah) diberikan pupuk dasar berupa 1/3 dosis pupuk Urea dan semua SP36 dan KCl. Ketiganya dicampur kemudian ditugalkan ke dekat lubang tanaman (+10 cm dari lubang tanaman), kemudian pemupukan kedua yaitu sisa Urea (2/3 dosis) diberikan pada umur 28-35 hst. 5. Penyiangan dilakukan dua kali yaitu pada umur 21 hst dan 45 hst. 6. Seleksi (roging) dilakukan tiga kali yaitu pada umur 15-20 hst, tanaman yang memperlihatkan penyimpangan pertumbuhan dibuang. Pada umur 30 hst dengan membuang tanaman yang memperlihatkan penyimpangan pertumbuhan (kerdil atau terlalu subur). Pada umur 45 saat keluar bunga jantan dengan membuang tanaman yang memperlihatkan bunga jantan yang menyimpang. 7. Penyiraman dilakukan jika tanaman mulai memperlihatkan gejala kelayuan daun. Kemudian teknologi pasca panen benih adalah sebagai berikut : 1. Panen dilakukan jika black layer sudah muncul, batang atas tongkol dipotong dan dibiarkan di lapangan 2-3 hari untuk menurunkan kadar air sampai sekitar 20 %. Kemudian dipanen dan langsung dikeringkan dalam bentuk tongkol sampai mencapai kadar air + 15 %. Tongkol yang tidak normal dipisahkan agar kualitas benih seragam. 2. Pemipilan dilakukan dengan memipil biji bagian tengah saja. 3. Pengeringan biji dilakukan dibawah sinar matahari langsung sampai kadar air 11 – 12 %. Siap diuji laboratorium oleh BPSB untuk mendapatkan label benih. Paking disesuaikan dengan permintaan pasar dan label yang dipesan. Seterusnya benih siap didistribusikan/ dipasarkan kepada pengguna. Pengamatan Variabel yang perlu diamati meliputi aspek teknis dan sosial ekonomi yaitu sebagai berikut : 1. Aspek teknis meliputi: persentase pertumbuhan, kemerataan pertumbuhan, hama yang menyerang, dan ukuran tongkolnya, tingkat produksi saat panen (t/ha) dihitung dengan mengkonversi kadar air menjadi 15 %. 2. Aspek Sosial ekonomi meliputi: biaya dan pendapatan; hambatan dalam proses produksi, prosessing, dan distribusinya; selera petani menanam QPM; partisipasi tenaga; dan peluang pasarnya. Analisis Data Data produksi dan biaya yang digunakan dihitung dengan analisis R/C rasio, sedang data kualitatif seperti persentase pertumbuhan, keseragaman, serangan hama dan ukuran tongkol dianalisis secara deskriptif. Kemudian data sosial seperti hambatan dan respon petani diuraikan untuk mengungkapkan peluang keberlanjutan sistem produksi dan distribusi benih jagung QPM.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
136
Seminar Nasional 2005 HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Pembinaan Tahapan pembinaan yang telah dilakukan dalam kegiatan penangkaran benih QPM di desa Kajengan adalah sebagai berikut : 1. Menyampaikan maksud dan tujuan penangkaran benih kepada Petugas Pertanian dan Kepala Desa Kajengan termasuk tugas dan tanggung jawab, hak dan kewajiban. 2. Mengkordinasikan lebih dini (sebelum tanam) dengan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) dan Dinas Pertanian setempat agar penangkaran benih di desa Kajengan didaftar sebagai penangkar yang hasilnya dapat diberi label dan dipasarkan sebagai benih untuk wilayah kabupaten Blora dan sekitarnya. 3. Menyampaikan pedoman teknologi budidaya produksi benih dan pedoman prosessing benih seperti pada metodologi diatas dan sekaligus menyerahkan benih sumber (BS) yang dilengkapi dengan keterangan pemulia untuk memudahkan memperoleh sertifikat dari BPSB. 4. Mengadakan semua sarana produksi yang diperlukan melalui Kepala Desa dan PPL sebagai strategi mengajak mereka terlibat aktif sesuai dengan komitmen yang disepakati. 5. Mengikuti dan membimbing petani di lapangan dalam melaksanakan pedoman tersebut (Staf teknisi tinggal di lapangan selama kegiatan berlangsung). 6. Membantu dalam pemasaran hasil dengan menyebarluaskan informasinya ke berbagai pengguna jagung, termasuk peneliti dari BPTP Jateng, staf yang menangani benih jagung pada kantor Dinas Pertanian kabupaten Blora, Direktorat Perkebunan sebagai mitra kerja dalam mengembangkan jagung QPM pada petani perkebunan. Aspek Teknis Pelaksanaan penelitian mengalami penundaan/pengunduran selama 3 minggu dari jadual yang direncanakan untuk menghindari persilangan dengan pertanaman jagung petani sekitarnya. Hal ini terjadi karena pemilik lahan yang sebelumnya menjamin bahwa pada kawasan tersebut petani hanya menanam padi, ternyata ketika tiba musim penghujan (Oktober) beberapa petani di sekitar areal perbenihan menanam jagung varietas lain (Pioneer dan Bisi). Penundaan tersebut membawa konsekuensi tanah/lahan yang sudah siap tanam terpaksa harus diolah kembali. Selain itu, keterlambatan tanam mengakibatkan penyakit tanaman khususnya bulai dan karat daun menyerang pertanaman pada umur 38 hari. Berat serangan bulai mencapai 40 persen untuk varietas srikandi kuning dan 45 % untuk srikandi putih. Pengaruh serangan penyakit tersebut menyebabkan persentase tanaman yang dapat dipanen hanya sekitar 70 % dan itupun ukuran tongkolnya berkurang. Ukuran tongkol dari 30 sampel yaitu hanya berkisar antara 6,5 – 8,8 cm (rata-rata 7,6 cm untuk srikandi kuning dan 5,9 untuk srikandi putih) dan diameter tongkol berkisar antara 1,5 - 1,9 cm (rata-rata 1,54 cm untuk srikandi kuning dan 1,21 cm untuk srikandi putih) (Tabel 1). Berkurangnya 30 % tanaman panen dan mengecilnya ukuran tongkol menyebabkan hasil yang diperoleh tergolong rendah. Tabel 1. Variabel yang diamati pada penangkaran benih srikandi kuning dan putih di Desa Kajengan, Todanan, Blora, 2005 Karakter agronomi yang diamati
Srikandi Kuning
Srikandi Putih
89,2 69,3 7,6 1,53 2.620 180
89,5 71,1 5,9 1,21 2.502 80
Persentase tanaman tumbuh pada umur 10 hst (%) Persentase tanaman panen (%) Panjang tongkol (cm) Panjang diameter (cm) Produksi : Konsumsi (kg/ha) Benih (kg/ha)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
137
Seminar Nasional 2005 Aspek Sosial Dalam pelaksanaan penelitian tingkat petani perlu dibuatkan kontrak perjanjian agar petani tidak mudah membatalkan atau menunutut diluar dari kesepakatan. Pengalaman menunjukkan bahwa pada saat diskusi sebelum dilakukan kegiatan, petani sangat gembira menyambut dan bersedia menyiapkan lahan dan tenaga kerja. Peneliti hanya menyiapkan sarana produksi dan tenaga pembimbing, hasilnya milik petani. Namun dalam pelaksanaan di lapangan berbeda dengan kesepakatan dalam diskusi. Petani kembali menuntuk biaya upah kerja dari seluruh kegiatan budidaya dan pengolahan hasil yang dilakukan, bahkan mereka menuntuk ganti rugi dari kekurangan hasil yang diperoleh. Penampilan pertanaman pada awal pertumbuhan (umur 15 hst) cukup baik, tumbuh agak merata dengan daun yang hijau dan lebar. Ketika itu mendapat penilaian yang sangat baik dari petani sekitarnya. Banyak petani berniat menanam pada pertanaman berikutnya. Namun ketika mendapat serangan bulai, beberapa tanaman menjadi kuning daunnya, beberapa petani yang sudah tertarik, kembali menilai kurang baik. Selama pertumbuhan pertanaman selain mendapat serangan penyakit bulai, juga menerima limpahan curah hujan yang tinggi pada saat umur 50-an hari sehingga produksi yang dicapai hanya 1,8 t/ha untuk srikandi kuning dan 1,5 t/ha untuk srikandi putih. Tingkat produksi tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi hasilnya yang mencapai 78 t/ha untuk srikandi kuning dan 8-9 t/ha untuk srikandi putih (Balitsereal, 2004). Aspek Ekonomi Hasil panen dari produksi benih kelas Benih Dasar (FS) sangat rendah jika dibandingkan dengan potensi hasilnya. Hal ini disebabkan oleh cekaman biotik (bulai) dan abiotik (kelebihan air/lembab) saat memasuki fase pengisian/pematangan biji. Produksi yang dicapai hanya 1.8 t/ha untuk Srikandi kuning dan hanya 1.5 t/ha untuk srikandi putih. Hasil sortasi untuk jadi benih hanya 180 kg (10%) untuk srikandi kuning dan hanya 80 kg (5%) untuk srikandi putih. Kualitas benih yang dihasilkan cukup baik. Hasil pengujian daya kecamba menunjukkan bahwa pada hari kelima telah mencapai 99,7% untuk srikandi kuning dan 87,3% untuk srikandi putih (Tabel 2). Tabel 2. Persentase daya kecambah benih srikandi kuning dan putih di Kajengan, 2005.
Jenis varietas Srikandi kuning-1 Srikandi putih-1
Hari (%) 3
4
5
Jumlah
48,0 40,7
51,0 42,3
0,7 4,3
99,7 87,3
Jika seluruh benih laku terjual dengan harga pada tingkat kelompok tani Rp.15.000/kg, dan biji konsumsi laku terjual dengan harga yang berlaku stempat ketika itu Rp. 1.100/kg, maka usahatani produksi benih varietas srikandi kuning memberikan penerimaan sebesar Rp.3.254.300 dan srikandi putih sebesar Rp.1.742.300/ha (Tabel 3). Biaya produksi benih dengan paket budidaya yang direkomendasikan berkisar 3,5 juta sampai 4,5 juta per hektar, tergantung dari harga sarana produksi dan biaya tenaga kerja setempat. Jumlah biaya yang digunakan dalam memproduksi benih srikandi kuning dan srikandi putih di Blora masing-masing mencapai Rp.2.327.700 dan Rp.2.209.700 /ha. Biaya tersebut 60-an % merupakan biaya sarana produksi dan selebihnya merupakan biaya tenaga kerja. Rendahnya biaya tenaga kerja tersebut disebabkan di daerah ini belum lazim dilakukan upahan, tetapi yang banyak dilakukan adalah menyediakan makanan dalam kegiatan yang digotong royong oleh anggota kelompok. Setiap anggota kelompok terikat secara budaya membantu anggota yang telah membantunya pada kegiatan yang sama seperti penanaman, penyiangan, dan/atau panen. Pemasaran hasil terus berlangsung, pembeli masih terbatas pada petani sekitarnya. Pengelola benih tingkat kabupaten Blora masih ragu mengambil alih pemasarannya karena
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
138
Seminar Nasional 2005 varietas tersebut baru dan belum dikenal petani sehingga untuk meyakinkan mereka perlu ada sosialisasi atau percontoh di lahan mereka. Namun demikian upaya yang dilakuan adalah terus mencari pasar tidak hanya di dalam kabupaten Blora tetapi juga kabupaten sekitarnya. Tabel 3. Analisa pendapatan usahatani produksi benih jagung di Blora, 2005. Uraian1)
Srikandi Kuning 2,620 2.882.000 180 2.700.000 5.582.000
2,502 2.752.000 80 1.200.000 3.952.000
Biaya Sarana Produksi (Rp/ha): Benih (kelas BS) Saromil Pupuk Urea, SP36, dan KCl Puradan dan Regent Karung Jumlah Biaya sarana produksi
400.000 15.000 987.500 25.000 43.200 1.470.700
400.000 15.000 987.500 25.000 37.200 1.464.700
350.000 50.000 25.000 75.000 5.000 125.000
350.000 50.000 25.000 75.000 7.500 75.000
100.000 100.000 27.000 857.000
75.000 75.000 12.500 745.000
Total biaya
2.327.700
2.209.700
Pendapatan
3.254.300
1.742.300
2,40
1,79
Biaya Tenaga Kerja (Rp/ha): Persiapan lahan dengan traktor Penanaman dan pemberian pupuk kandang Pemupukan I dan II Penyiangan I dan II Pengendalian hama/penyakit Panen Prosessing : Seleksi tongkol, pegeringan tongkol dan pemipilan Pengeringan biji, penampian, dan pengarungan Biaya pelabelan Jumlah biaya tenaga kerja
Nilai R/C ratio 1)
Srikandi Putih
Produksi biji konsumsi (t/ha) Nilai (Rp) Produksi biji benih (t/ha) Nilai (Rp) Jumlah Penerimaan (Rp/ha)
Harga jagung konsumsi : Rp.1.100/kg, dan harga benih FS Rp.15.000/kg 1. Benih Srikandi Kuning 20 kg x Rp.20.000 3. Saromil 1 g x 20 kg x Rp.750 Benih Srikandi Putih 20 kg x Rp.20.000 4. Karung Rp. 1.200 / lembar 2. Urea 350 kg x Rp.1.500 = Rp. 525.000 5. Furadan Rp. 8.500/kg SP36 150 kg x Rp.1750 = Rp.262.500 6. Regent Rp. 20.000/botol(100 ml) KCl 100 kg x Rp.2.000 = Rp.200.000 7. Biaya tenaga kerja dihitung dengan borongan dan dikerjakan oleh kelompok, sedang biaya Rp.150/kg benih.
pelabelan dihitung
Kegagalan panen tersebut memberikan pelajaran penting bahwa perlakuan saromil harus ditingkatkan dari 1 g/kg benih menjadi 2 atau 2,5 g/kg benih untuk menghindari serangan penyakit bulai. Jika penyakit bulai terhindarkan maka prospek pengembangannya dinilai cukup baik karena pertumbuhan awalnya cukup baik bahkan petani menilai tongkolnya jauh lebih besar dibanding dengan jagung Pioneer atau BISI. Selain itu varietas tersebut tergolong varietas jagung bersari bebas, sehingga dapat ditanam kembali oleh petani tanpa harus membeli benih jagung hibrida yang harganya di daerah ini sudah mencapai Rp.32.000/kg atau dibutuhkan biaya benih sebesar Rp.640.000/ha.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
139
Seminar Nasional 2005 KESIMPULAN 1. Pembinaan penangkaran benih jagung QPM varietas Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 baru dapat terkordinasi baik sampai pada tahap produksi benih, belum terkordinasi baik dalam hal prosessing dan pemasarannya. 2. Dua faktor yang paling penting diperhatikan untuk memproduksi benih di Kajengan yaitu: (1) penanaman tepat waktu dan terisolasi tempat yang mengharuskan ada kepedulian dan komitmen yang tinggi dari petani sekitarnya, (2) perlakuan benih harus ditingkatkan konsentrasinya dari 1 g/kg benih menjadi 2-3 g/kg benih untuk mencegah serangan penyakit bulai. 3. Pemasaran hasil terus berlangsung, pembeli masih terbatas pada petani sekitarnya. Pengelola benih tingkat kabupaten Blora masih ragu mengambil alih pemasarannya karena varietas tersebut baru dan belum dikenal petani sehingga untuk meyakinkan mereka perlu ada sosialisasi atau percontohan di lahan mereka. DAFTAR PUSTAKA ADB, 2003. Project Administration Memorandum for Poor Farmer’s Income Improvement through Innovation Project. June 2003. Anonim, 2002. Dinas Pertanian Kabupaten Blora. Laporan Tahunan Bahtiar et al., 2003. Teknologi produksi jagung mendukung peningkatan pendapatan petani miskin pada lahan kering marjinal. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Balitsereal, 2002. Deskripsi varietas unggul jagung. Edisi ketiga. ISBN: 979-8940-08-3. Balitsereal, 2004. Surat Keputusan Komisi Pelepas Varietas. Badan Litbang Pertanian BPS, 2002. Kabupaten Blora dalam angka Kasryno, F. 2002. Perkembangan produksi dan konsumsi jagung selama empat decade yang lalu dan implementasinya bagi Indonesia. Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Badan Litbang Pertanian, Bogor, 24 Juni 2002. Nugraha, U.S. dan Subandi, 2002. Perkembangan teknologi budidaya dan industri benih. Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Badan Litbang Pertanian, Bogor, 24 Juni 2002. Saenong, Margaretha, J.andiabang, Syafruddin, R.Arief, Y.Sinuseng, dan Rahmawati, 2003. Sistem perbenihan untuk mendukung penyebarluasan varietas jagung unggul nasional. Laporan Tengah Tahun. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
140
Seminar Nasional 2005 KOLEKSI JAGUNG LOKAL NTT E.Y.Hosang1), F. Kasim2), Ch. Bora1) dan P. Bhuja3) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT 2) Peneliti pada Pusat Penelitian Tanaman Pangan Departemen pertanian 3) Dosen dan Kepala Laboratorium Biologi pada Universitas Nusa Cendana Kupang, NTT
[email protected]
ABSTRAK Bagi masyarakat NTT jagung adalah tanaman pangan utama namun produktivitas jagung di NTT masih di bawah rata-rata produktivitas nasional. Salah satu penyebab utama rendahnya produktivitas jagung di NTT karena sebagian besar petani masih menggunakan kultivar lokal yang lebih tahan serangan hama gudang (Sitophilus sp) dibandingkan varietas unggul baru. Jagung lokal yang dikembangkan petani di NTT memiliki karakteristik yang sangat bervariasi. Variasinya dalam hal warna kernel, bentuk biji, bentuk pertanaman maupun karakteristik lainnya. Oleh karena itu telah dilakukan penelitian identifikasi dan karakterisasi jagung lokal NTT dengan tujuan mengkoleksi dan mengkarakterisasi aksesi-aksesi jagung lokal NTT yang selama ini diusahakan petani. Penelitian ini berlangsung selama bulan September 2003 dan hasil penelitian ini adalah: (1) terkoleksi 323 entri jagung lokal NTT dengan rincian 98 aksesi berasal dari Kepulauan Flores, 149 aksesi berasal dari Pulau Sumba dan sebanyak 78 aksesi berasal dari Pulau Timor (Timor Barat); (2) keragaman fenotip jagung lokal yang terkoleksi didominasi oleh jagung dengan warna kernel kuning yaitu sebanyak 193 aksesi (60,5%), bentuk biji mutiara (flint) yaitu sebanyak 87%, bentuk tongkol pendek (< 13 cm) yaitu 65,6%, jumlah baris yang banyak (> 12 baris) yaitu 56,4% dan bobot 1000 biji yang sangat baik (> 275 gr) yaitu 67,5%; dan (3) dari sekian banyak variasi fenotip jagung lokal NTT, terdapat beberapa karakter yang baik dan unggul pada jagung kuning, putih dan merah yang sangat potensial untuk dikembangkan dengan memperbaiki komposisi genetik populasi yaitu dengan metode Population Improvement. Kata kunci : Jagung, lokal, koleksi, , karakterisasi, sifat-sifat unggul.
LATAR BELAKANG Jagung merupakan komoditas tanaman pangan yang tingkat permintaannya di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 1990, import jagung hanya sebanyak 520 ton dan lima tahun kemudian atau pada tahun 1995, jumlah jagung yang diimport mencapai 969.145 ton; bahkan pada tahun 2000 impor jagung Indonesia telah mencapai 1,5 juta ton. Posisi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan penghasil jagung keenam terbanyak di Indonesia setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Namun tingkat produktivitas NTT masih sangat rendah (2,07 t/ha). Bagi masyarakat NTT jagung adalah tanaman pangan utama yang selalu diusahakan di ladang atau di kebun bersamaan dengan tanaman pangan lain seperti padi ladang, ubiubian, dan kacang-kacangan dalam pola tanam campuran (mixed-cropping system). Bahkan komoditi ini diusahakan juga di pekarangan rumah penduduk. Areal penanaman jagung di NTT meliputi semua kabupaten. Kabupaten yang luas menanam jagung adalah Timor Tengah Selatan (TTS) diikuti kabupaten Belu, Sumba Barat dan Flores Timur, yakni dengan luas masing masing 46.436 ha, 23.891 ha, 23.125 ha, dan 20.021 ha. Kabupaten lainnya hanya menanam dibawah 20.000 ha. Sudah banyak upaya untuk meningkatkan produksi jagung NTT yang dilakukan pemerintah baik dari pusat maupun daerah, antara lain melalui program intensifikasi dan perluasan areal. Selain itu, perbaikan pola tanam dan penggunaan varietas unggul baru yang didatangkan dari luar NTT juga sudah dilaksanakan. Namun semua upaya itu masih belum mampu menaikkan produktivitas jagung di NTT di atas rata-rata nasional. Salah satu penyebab utamanya adalah sebagian besar petani di daerah ini masih menggunakan varietas lokal. Alasan yang paling mendasari pilihan ini adalah bahwa verietas lokal lebih tahan terhadap serangan hama bubuk (Sitophilus sp) dibandingkan varietas unggul baru. Alasan ini sama seperti pendapat Dobie (1966) yang mengatakan bahwa hampir semua jenis varietas lokal relatif lebih tahan terhadap serangan hama bubuk dibandingkan varietas yang sudah
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
141
Seminar Nasional 2005 dimuliakan baik itu varietas bersari bebas (OPV) atau hibrida. Tradisi petani yang menyimpan hasil panen jagung sebagai stok pangan (food security) pada tempat atau wadah yang secara fisik relatif terbuka memberi peluang serangan hama bubuk. Walaupun sudah diberikan perlakuan khusus dengan menggunakan pengetahun lokal (local indigenous knowledge) seperti pengasapan, penambahan dedaunan, tepung bahan organik tertentu tingkat kerusakan jagung di tempat penyimpanan masih relatif tinggi. Hasil penelitian deRosari, dkk. (2000) menunjukkan bahwa sebanyak 76% jagung Bisma yang disimpan petani mengalami kerusakan akibat serangan hama bubuk sedangkan jagung lokal hanya mencapai 45% setelah disimpan selama 4 (empat) bulan. Oleh karena itu, fokus dari penelitian ini adalah melakukan koleksi dan karakterisasi sifat-sifat fisik aksesi jagung lokal NTT yang terkoleksi. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Mengoleksi benih jagung lokal sebagai plasma nutfah jagung NTT. b. Mengkarakterisasi seluruh aksesi yang terkoleksi. METODOLOGI Tempat dan Waktu Pelaksanaan: Benih jagung lokal NTT dikumpulkan dari 10 kabupaten yang ada di dalam wilayah NTT, meliputi Kabupaten Flores Timur, Sika, Ende, Ngada, Manggarai Kupang, TTS, TTU, Belu, Sumba Timur dan Sumba Barat. Pengumpulan benih ini berlangsung mulai dari bulan April sampai Mei 2002. Karakterisasi jagung tongkol jagung lokal yang terkoleksi dilaksanakan di kebun laboratorium BPTP NTT di Naibonat pada bulan Juni 2002. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kantong kertas dan kantong plastik, timbangan, jangka sorong, mistar, kamera dan alat tulis. Penentuan Lokasi Sample Pengambilan sampel benih jagung lokal dilakukan dengan teknik purpose random sampling yaitu penentuan titik sampel lokasi pengambilan benih jagung lokal ditentukan secara sengaja (diambil dari sentra-sentra produksi jagung lokal NTT) kemudian secara acak ditentukan 2 - 3 orang petani di wilayah tersebut dan diambil secara acak 5 - 10 tongkol jagung dari tempat penyimpanan benih. Karakterisasi Aksesi Terkoleksi Jagung lokal yang terkoleksi diberi paspor, dengan memberikan nomor aksesi dari setiap tongkol jagung yang dikoleksi, nama donor, tanggal koleksi dan lembaga pengkoleksi dan disimpan pada ruang dingin dengan suhu sekitar -5°C. Selanjutnya dilakukan karakterisasi terhadap benih dari masing-masing aksesi. Variabel pengamatan terdiri dari warna kernel, tipe kernel, panjang tongkol, dan bobot 1000 biji.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
142
Seminar Nasional 2005 HASIL DAN PEMBAHASAN Warna Kernel Hasil survey yang dilakukan di sepuluh kabupaten dalam wilayah Provinsi NTT berhasil terkumpul sebanyak 323 famili dengan rincian 97 famili (30.03%) berasal dari daratan Flores, 148 famili (45,82%) berasal dari daratan Sumba, dan 78 famili (24,15%) berasal dari daratan Timor (Timor Barat). Tabel 1. Daftar nama populasi jagung lokal NTT yang dikoleksi dari sepuluh kabupaten. Kabupaten
Nama lokasi
Jumlah aksesi
Flores Timur
Adonara, Wulanggitang dan Sarotari
29
Sikka
Nita Lela dan Alok
28
Ende
Mautenda, Roworeke, Welamoza, Maurole dan Saga Detusoko Were, Dona dan Naru
19
Malata, Mataiang Padame, Patiola Bawah Kaka, Palla, Watu Karete, Patiola Dete Togorade dan Patiola Bawah Mali Lewa kadita, Kakaha Rara Kaliu, Kakaha Rara Kapoting, Lewa kaka, Masu Makau, Wairinding Tamiang, kakaha meting Tada, Wairinding Boti dan Lewa Rara Fatukoa, Tilong Kuning, Tilong putih, lelogama A, Lelogama B dan Camplong Putih Amanuban Tengah dan Kuanfatu Saenam Kisi, Saenam Muti, Tafenpah Insana dan Haumeni Manuaman Kuning dan Besikama
56
Ngada Sumba Barat
Sumba Timur
Kupang
TTS TTU Belu
Total
21
Warna kernel Kuning, Putih dan Merah Kuning, Putih dan Merah Kuning Kuning, Putih dan Merah Kuning, Putih dan Merah
92
Kuning dan putih
54
Kuning dan Putih
8 10
Kuning dan Putih Putih
6
Kuning, Putih dan Merah
323
Salah satu sumber keragaman dari jagung yang terkoleksi adalah warna kernel jagung. Tercatat sebanyak minimal 3 warna kernel jagung yang dikoleksi yaitu warna kuning, putih dan merah, seperti terlihat pada Gambar 1.
Kernel putih 34%
Kernel merah 5% Kernel kuning 61%
Gambar 1. Diagram proporsi warna kernel jagung lokal NTT yang dikoleksi.
Keragaman genetik jagung lokal yang terkoleksi didominasi oleh jagung dengan warna kernel kuning yaitu sebanyak 193 aksesi atau sebanyak 61% dari populasi terkoleksi, jagung dengan warna kerenel putih sebanyak 111 aksesi atau 34% dan jagung dengan warna kernel merah sangat sedikit yaitu sebanyak 15 aksesi atau 5% (Gambar 1).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
143
Seminar Nasional 2005 Bentuk Kernel Selain warna kernel, bentuk kernel juga menjadi variabel pembeda antar aksesi jagung lokal NTT yang ada yaitu bentuk dari kernel yaitu bentuk mutiara (flint), setengah gigi kuda (semi dent) dan gigi kuda (dent). Keragaman jagung lokal NTT yang dikoleksi seperti tampak pada Gambar 2.
Dent 7% Semi dent 6%
Flint 87% Gambar 2. Keragaan jagung lokal NTT yang dikoleksi.
Jagung lokal NTT yang terbanyak memiliki bentuk kernel biji mutiara (87%), sedangkan yang berbentuk gigi kuda atau setengah gigi kuda sangat sedikit yaitu masingmasing 7% dan 6%. Hal ini disebabkan oleh karena kernel jagung dengan bentuk mutiara memiliki tingkat kekerasan yang relatif lebih tinggi dari kernel jagung berbentuk gigi kuda sehingga relatif lebih toleran terhadap serangan hama sytophilus zeamais. Panjang Tongkol dan Jumlah Baris Panjang tongkol dan jumlah baris merupakan variabel-variabel produksi yang sangat menentukan tingkat produksi dan produktivitas suatu varietas. Keragaman panjang tongkol dan jumlah baris jagung lokal NTT tergambar pada Tabel 2. Tabel 2. Rata-rata panjang tongkol dan jumlah baris per tongkol Warna kernel Kuning Putih Merah Total
Panjang Tongkol
Jumlah Baris
> 15 cm
≤ 15 cm
≥ 12
< 12
66 36 9 111
131 75 6 212
115 55 11 181
82 56 4 142
Keragaman panjang tongkol jagung lokal NTT kernel kuning dan putih didominasi oleh tongkol-tongkol pendek (< 15 cm). Secara total terlihat bahwa jagung dengan tongkol pendek lebih banyak yaitu 212 aksesi (65,6%) dibandingkan dengan tongkol panjang yang hanya 111 aksesi (34,4%). Baik kernel warna merah maupun kernel putih didominasi oleh tongkol pendek kecuali kernel warna merah didominasi oleh tongkol pamjamg (> 15 cm) yaitu sebanyak 60%. Secara umum tidak signifikant perbedaan antara tongkol jagung dengan jumlah baris > 12 per tongkol dam yang kurang dari 12 baris per tongkol yaitu masing-masing 56,4% (181 aksesi) dan 44,6% (142 aksesi). Namun secara spesifik jagung yang berkernel kuning dan merah memiliki rata-rata jumlah baris per tongkol lebih besar dari 12 baris, sedangkan jagung berkernel putih merata antara jumlah baris lebih dari 12 dan yang kurang dari 12 baris. Hal ini menggambarkan secara potensial, jagung lokal NTT dapat ditingkatkan produktivitasnya dengan mengembangkan jenis yang memiliki tongkol panjang dan jumlah baris lebih dari 12 baris sehingga pada kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman jagung, produksinya maksimal.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
144
Seminar Nasional 2005 Bobot 1000 Biji Selain sifat-sifat agronomik yang telah disebutkan di atas, keanekaragaman genetik jagung lokal NTT juga terukur dari berat biji yang diukur dari bobot 1000 biji. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa jagung lokal NTT didominasi oleh jagung dengan biji yang berat yaitu 67,5% jagung dengan bobot 1000 biji yang sangat baik yaitu > 275 gr. Baik jagung dengan warna kernel kuning, putih maupun merah, semuanya didominasi oleh jagung dengan bobot 1000 biji yang baik. Jika dibandingkan dengan deskripsi jagung Lamuru dan Sukmaraga yang memiliki bobot 1000 biji 240 – 275 gr, maka ternyata bahwa jagung lokal NTT memiliki potensi untuk dikembangkan. Tabel 3. Bobot 1000 niji jagung lokal NTT. Warna kernel Kuning Putih Merah Total
Bobot kernel 1000 biji ≥ 275 gr
< 275 gr
138 69 11 218
59 42 4 105
KESIMPULAN a. Penelitian ini telah berhasil mengkoleksi 323 aksesi jagung lokal NTT dengan rincian 97 aksesi berasal dari Kepulauan Flores, 148 aksesi berasal dari Pulau Sumba dan sebanyak 78 aksesi berasal dari pulau Timor (Timor Barat). b. Keragaman fenotip jagung lokal yang terkoleksi didominasi oleh jagung dengan warna kernel kuning yaitu sebanyak 193 aksesi (60,5%), bentuk biji mutiara (flint) yaitu sebanyak 87%, bentuk tongkol pendek (< 13 cm) yaitu 65,6%, jumlah baris yang banyak (> 12 baris) yaitu 56,4% dan bobot 1000 biji yang sangat baik (> 275 gr) yaitu 67,5%. c. Dari sekian banyak fenotipe dari jagung lokal NTT yang terkoleksi, terdapat beberapa karakter jagung lokal NTT yang sangat potensial untuk dilakukan pemuliaan dengan memperbaiki komposisi genetik populasi yaitu dengan metode Population Improvement. DAFTAR PUSTAKA Anonym. 2001.NTT dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Borojević S. (1990) Principles and Methods of Plant Breeding. Elsevier, Amsterdam. Chou M., Harmon D.P. Jr, Kalm H., dan Wittwer S.H. (1977) World Food Prospects and Agricultural Potential, Praeger Publishers, New York. Coors J.G. and Shivaji Pandey. 1999. The Genetics and Exploitation of Heterosis in Crops. American Society of Agronomy. Inc. Crop Science of America Inc. Soil Science Society of America Inc. Medison. Wisconsin USA. 524 p. Dobie P. (1974) The contribution of the tropical stored products centre to the study of insect resistance in stored maize. Trop. Strored Prod. Inf. 34: 7-21. Hallauer A R and J B Miranda F O. 1988. Quantitative Genetics in Maize Breeding. Iowa State University Press. Ames. 370 p. Jackson W.A., Knezek B.D., dan van Schilfgaarde J. (1975) Water, Soil and mineral input. In: Crop Productivity, Research Imperative, East Lansing, Michigan. P. 201-274.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
145
Seminar Nasional 2005 Palliwal R. G Granadoz. Honor Renee Lafitte and Alejandro. 2000. Improvement and Production. 363 p.
Tropical Maize
Subandi, Inu G Ismail dan Hermanto. 1988. Jagung Teknologi Produksi dan Pasca Panen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 57 p. Subandi, Ibrahim Manwan and A Blumanschein. 1988. National Coordinated Research Program Corn. Central Research Institute for Food Crops. Agency for Agriculture Research and Development. 83 p. Subandi dan Ibrahim Manwan. 1990. Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 67 p. Vavilov N. T. (1951) The Origin, Variation, Immunity and Breeding of Cultivated Plants, Selected writings translated from the Rusian by K. Starr Chester, the Ronald Press Company, New York. Wittwer S.H. (1975) Food Production: Technology and Resources Base. Science, 4188: 579784.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
146
Seminar Nasional 2005 POTENSI HASIL 16 HIBRIDA TAMNET DI MUNENG DAN BONTONOMPO R. Neni Iriany M., Andi Takdir M., Muzdalifah Isnaeni dan Marsum M. Dahlan Balai Penelitian Tanaman Serealia,Maros
ABSTRAK Pemanfatan varietas hibrida merupakan salah stau cara dalam peningkatan hasil tanaman jagung karena memiliki gen-gen dominan penentu hasil tinggi. Namun dalam perkembangannya varietas hibrida pada umumnya sangat peka terhadap pengaruh lingkungan tumbuhnya dan oleh karena itu, evaluasi daya hasil perlu dilakukan sebelum dilepas kepada petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi hasil 16 hibrida Tropical Asian Maize Network (TAMNET) yang diantaranya berasal dari China, Bangladesh, Thailand, dan Srilanka. Penelitian dilakukan pada dua lokasi pengujian, Bontonompo (Sulawesi Selatan) dan Muneng (Jawa Timur), dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok sebanyak 4 ulangan, 2 baris tiap varietas, jarak tanam 0.75 x 0.20 m dengan panjang plot 5 m, pada periode musim kemarau bulan September-Desember 2003. Sebagai varietas pembanding digunakan varietas Semar-10 dan Bima-1. Dari penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa Hibrida KSX 4452 mempunyai potensi hasil tertinggi di Bontonompo dan hibrida LCH9 mempunyai potensi hasil tertinggi di Muneng. Hibrida KSX4452 dan NSX 982013 mempunyai potensi hasil tinggi di Bontonompo dan Muneng sehingga baik dikembangkan di kedua lokasi tersebut. Hibrida Bima-1 mempunyai potensi hasil yang sama dengan hibrida introduksi dari TAMNET. Kata kunci : Potensi hasil, hibrid, TAMNET
PENDAHULUAN Peningkatan produksi tanaman jagung dapat dilakukan dengan menggunakan varietas unggul, baik varietas hibrida maupun bersari bebas. Varietas hibrida mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi daripada varietas bersari bebas, karena hibrida memiliki gengen dominan yang favourable untuk memperoleh hasil yang tinggi. Hibrida dikembangkan berdasarkan adanya gejala hybrid vigor atau heterosis dengan menggunakan populasi tanaman generasi F1 sebagai tanaman produksi. Oleh karena itu varietas hibrida selalu dibuat ataupun diperbaharui untuk mendapatkan generasi F1. Penggunaan varietas hibrida selain meningkatkan hasil, jagung hibrida juga memberikan beberapa keuntungan lain yaitu lebih toleran terhadap hama penyakit, lebih tanggap terhadap pemupukan, pertanaman dan tongkol lebih seragam, disamping itu jumlah biji lebih banyak dan lebih berat (Jugenheimer,1985). Namun demikian, kondisi lingkungan untuk pertanaman jagung sangat bervariasi dari waktu ke waktu dan beragam pada berbagai lokasi, sedang varietas hibrida sangat peka terhadap lingkungan tumbuhnya. Menurut Soemartono (1995), untuk memperbaiki atau mengembangkan genotipe tanaman agar tahan terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan dapat dilakukan dengan introduksi tanaman budidaya baru atau mengembangkan varietas tahan melalui pemuliaan. Varietas-varietas hibrida yang dikembangkan, ada yang dibuat sendiri dan ada juga introduksi dan ini salah satu cara memperbanyak plasmanutfah. Namun varietas introduksi sebelum dikembangkan, harus mengalami evaluasi potensi hasilnya dibandingkan dengan varietas hibrida yang ada. Tropical Asian Maize Network (TAMNET) didirikan dengan tujuan untuk menggalang kerjasama antara Negara-negara Asia tropika dalam pertukaran plasmanutfah jagung, dan Indonesia merupakan salah satu anggotanya. Hibrida-hibrida yang dievaluasi berasal dari China, Bangladesh, Thailand, India, dan Srilanka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi hasil enambelas hibrida TAMNET pada dua lokasi dibandingkan dengan Semar-10 dan Bima-1.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
147
Seminar Nasional 2005 BAHAN DAN METODE Enam belas hibrida Tamnet yaitu BARI Hybrid Maize 3, NSX982013, NSX022026, NT6621, NTX032001, KSX4452, KSX4505, KSX4507, KSX4601, Maize EGM-I, Maize EGM-II, LVN35, VN89160, SC167, LCH9, Yun You199 dan 2 pembanding (Semar-10 dan Bima-1) ditanam pada lokasi Bontonompo, Gowa, Sulawesi Selatan dan Muneng, Jawa Timar pada musim kemarau, periode September–Desember 2003. Ketinggian tempat Bontonompo 20 m dpl, jenis tanah Entisol dan tanaman sebelumnya jagung, sedangkan ketinggian tempat di Muneng 10 m dpl, jenis tanah Mediteran, dan tanaman sebelumnya kacang tanah. Analisis tanah di Bontonompo menunjukkan pH 5.75 dengan konsentrasi bahan organik, N, K, sangat rendah dan nilai P sangat tinggi. Analisis tanah di Muneng menunjukkan pH 6.75 dengan konsentrasi bahan organik dan N sangat rendah, konsentrasi P dan K tinggi. Rancangan Acak Kelompok digunakan pada masing-masing lokasi dan diulang empat kali. Ukuran plot 0,75 x 0,20 m dengan panjang 5 m, 2 baris tiap varietas. Setiap lubang ditanam 2 biji per lubang dan dilakukan penjarangan menjadi satu tanaman per lubang pada umur 3 minggu setelah tanam. Pemupukan dilakukan dua kali, yaitu pada saat tanam dengan takaran 150 kg Urea/ha, 200 kg SP36/ha, 100 kg KCl/ha dan pada saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam. Pengendalian hama lalat bibit digunakan Furadan3G. Data yang dikumpulkan adalah hasil (t.ha -1), jumlah tanaman tumbuh (3 minggu setelah tanam), umur keluar rambut betina (hari), tinggi tanaman (cm), tinggi letak tongkol (cm), skor penampilan tanaman (skor 1-5), skor penutupan tongkol (skor 1-5), jumlah tanaman panen, jumlah tongkol panen, skor penampilan tongkol (skor 1-5), jumlah tongkol per tanaman, kadar air (%) dan persentase serangan penyakit bulai. Data masing-masing lokasi dan gabungan kedua lokasi.dianalisis dengan menggunakan program MSTAT (MSTAT,1988) HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan nilai kuadrat tengah, terdapat perbedaan kemampuan produksi antara hibrida-hibrida yang dievaluasi, baik yang dievaluasi di Bontonompo maupun yang dievaluasi di Muneng (Tabel 1). Ini berarti terdapat hibrida mempunyai potensi hasil tinggi dan sesuai ditanam di Bontonompo, tetapi potensi hasilnya rendah dan tidak sesuai ditanam di Muneng atau sebaliknya. Menurut Subandi et.al. (1985), adanya interaksi genotip – lingkungan akan mempengaruhi kemajuan seleksi, ada genotip yang baik di suatu lingkungan tetapi kurang baik di lingkungan yang lain. Tabel 1. Anova Gabungan Karakter Hasil 16 hibrida Tamnet, lokasi Gowa & Muneng, MK2003 Sumber Variasi
Derajat bebas
Lokasi (L) Replikasi/L Hibrida (E) LxE Galat
1 6 17 17 102
Total
143
Koefisien keragaman (%)
Kuadrat Tengah 25,566 3,402 24,629* 9,581* 1,476 15,87%
Keterangan : * = nyata pada taraf uji 0.05%
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
148
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Hasil biji (t/ha) dan persentase terhadap Bima-1 dan serangan bulai hibrida Tamnet, Gowa dan Muneng MK2003. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Hibrida BARI Hybrid Maize 3 Yun You 199 (QPM) Maize EGM-I Maize EGM-II NSX 982013 NSX 022026 NTX 032001 KSX 4452 KSX 4505 KSX 4507 KSX 4601 NT 6621 LCH 9 LVN 35 SC 167 VN 8960 Semar-10 Bima-1 Rerata KK % LSD .05 GxL
Hasil (t/ha)
% Bima-1
Bulai (%)
Gowa
Mng
Rata
Gowa
Mng
Rata
4,027 0,660 5,537 2,982 9,563 8,708 9,093 9,969 8,432 8,763 7,735 8,455 5,227 8,858 7,376 7,955 6,919 9,963 7,235 18,88 1,916
8,857 6,878 4,674 5,534 9,292 9,363 8,522 9,253 8,986 9,221 8,808 8,758 9,368 7,308 7,435 7,703 6,967 8,464 8,077 8,04 0,922
6,442 3,769 5,105 4,258 9,428 9,036 8,808 9,611 8,709 8,992 8,272 8,607 7,297 8,083 7,405 7,829 6,943 9,213 7,656 15,87 1,704 *
40 7 56 30 96 87 91 100 85 88 78 85 52 89 74 80 69 100
105 81 55 65 110 111 101 109 106 109 104 103 111 86 88 91 82 100
70 41 55 46 102 98 96 104 95 98 90 93 79 88 80 85 75 100
Gowa 34,53 39,95 8,85 33,89 19,03 19,28 9,61 10,19 10,33 4,90 17,04 1,43 26,21 9,49 5,26 2,87 10,32 6,35
Keterangan : * = berbeda nyata pada taraf uji 0,05 Mng = Muneng
Berdasarkan hasil analisis gabungan, hibrida NSX 982013 dan KSX 4452 mempunyai potensi hasil tertinggi di kedua lokasi pengujian. Kedua hibrida ini mempunyai interaksi genotip x lingkungan yang kecil sehingga dapat dikembangkan baik di Bontonompo maupun di Muneng. Hibrida BARI Hybrid Maize 3 (Bangladesh) dan Yun You (QPM) berasal dari China mempunyai hasil yang tinggi di Muneng, tetapi di Bontonompo rendah karena kedua hibrida tersebut terserang penyakit bulai yang sangat parah dengan tingkat serangan lebih dari 30%. Pada umumnya hibrida yang dievaluasi berumur dalam dengan umur berbunga betina rata-rata 57 hari. Parameter tinggi tanaman dan tinggi tongkol berbeda tidak nyata pada lokasi Bontonompo dan Muneng dengan rata-rata masing-masing 199,39 cm dan 97,50 cm. Sedangkan jumlah tanaman panen dan jumlah tongkol panen berbeda nyata pada kedua lokasi hal ini disebabkan tingginya serangan penyakit bulai pada lokasi Bontonompo. Hibrida-hibrida yang dievaluasi memiliki satu tongkol per tanaman (Tabel 3). Hibrida yang dipanen di Bontonompo memiliki kadar air panen yang tinggi (28,0 – 39,7%) dibandingkan hibrida yang dipanen di Muneng (22,6 – 28,8%), hal ini disebabkan pada waktu panen curah hujan sangat tinggi. Pada umumnya hibrida-hibrida Tamnet tongkolnya menutup dengan baik dengan rata-rata skor 1,89 dengan penampilan tanaman dan tongkol yang agak seragam (Tabel 3 dan 4). Berdasarkan analisis gabungan, jumlah tanaman tumbuh, umur berbunga jantan, penampilan tanaman, penutupan kelobot, jumlah tanaman panen, jumlah tongkol panen, penampilan tanaman, kadar air dan jumlah tongkol per tanaman terdapat interaksi genotipelingkungan, sedangkan tinggi tanaman dan tinggi tongkol tidak ada interaksi (Tabel 3,4, dan 5).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
149
Seminar Nasional 2005 Tabel 3. Rerata beberapa karakter 16 hibrida Tamnet yang ditanam di Gowa dan Muneng MK2003 No
Umur berbunga Betina (hari)
Hibrida
Tinggi tanaman (cm)
Tinggi Tongkol (cm)
Gowa
Mng
Rata
Gowa
Mng
Rata
Gowa
Mng
Rata
1
BARI Hybrid Maize 3
60
56
58
169
208
188
84
94
89
2
Yun You 199 (QPM)
59
53
56
177
207
192
77
94
85
3
Maize EGM-I
58
51
55
159
181
170
72
85
79
4
Maize EGM-II
58
51
55
168
193
181
65
91
78
5
NSX 982013
58
55
57
228
241
234
110
120
115
6
NSX 022026
60
58
59
209
225
217
108
110
109
7
NTX 032001
58
55
56
207
233
220
101
120
111
8
KSX 4452
59
55
57
177
206
191
93
110
102
9
KSX 4505
58
53
56
199
200
199
101
100
101
10
KSX 4507
59
55
58
196
213
204
95
115
105
11
KSX 4601
59
55
57
203
209
206
100
117
109
12
NT 6621
59
56
58
179
213
196
85
107
96
13
LCH 9
58
54
56
177
222
200
89
113
101
14
LVN 35
58
54
56
196
211
204
99
104
102
15
SC 167
58
54
56
187
209
198
82
100
91
16
VN 8960
59
57
58
187
215
201
84
111
98
17
Semar-10
59
56
58
179
197
188
82
94
88
18
Bima-1
59
56
58
188
212
200
91
100
96
Rerata
59
55
56,89
188
211
199,39
90
105
97,50
KK %
1,37
1,73
1,55
9,74
7,45
8,56
14,62
12,36
13,41
LSD .05
1,142
1,348
1,235
26,00
22,31
23,93
18,70
18,40
18,.33
GxL Keterangan
*
tn
tn
: * = nyata pada taraf uji 0,05 tn = tidak nyata Mng = Muneng
Tabel 4. Rerata beberapa karakter hibrida Tamnet yang ditanam di Gowa dan Muneng MK2003 No
Hibrida
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
BARI Hybrid Maize 3 Yun You 199 (QPM) Maize EGM-I Maize EGM-II NSX 982013 NSX 022026 NTX 032001 KSX 4452 KSX 4505 KSX 4507 KSX 4601 NT 6621 LCH 9 LVN 35 SC 167 VN 8960 Semar-10 Bima-1 Rerata KK % LSD .05 GxL
Keterangan
# Tanaman panen Gowa
Mng
25 14 51 20 45 42 52 45 49 51 45 53 38 50 55 47 47 46 43 13,75 8,401
40 32 39 26 39 45 38 29 39 42 39 41 38 45 39 42 39 44 39 45 39 42 38 45 39 38 38 44 39 47 39 43 35 41 39 43 39 40,78 3,59 10,52 1,974 6,029 *
# Tongkol Panen
Rata Gowa
Mng
17 43 6 39 42 38 19 34 42 38 40 39 45 40 46 38 40 39 49 40 39 39 48 37 24 42 43 35 47 37 46 38 39 38 49 41 38 39 14,19 5,90 7,671 3,239
% Kadar Air
Rata Gowa Mng
Rata
30 23 40 27 40 39 42 42 39 45 39 43 33 39 42 42 38 45 38,22 10, 74 5,770 *
29,9 31,2 28,4 28,3 29,0 30,5 27,2 29,8 28,6 27,8 29,1 30,5 27,5 31,5 29,4 28,0 28,9 28,3 29,11 6,0 2,451 *
32,9 26,9 39,7 22,6 32,4 24,4 33,7 22,8 30,2 27,9 32,2 28,8 28,0 26,3 31,6 28,1 30,8 26,4 29,8 25,7 31,6 26,5 34,3 26,7 31,1 23,9 36,0 27,0 33,4 25,4 30,7 25,2 31,8 25,9 29,9 26,7 32,2 26,0 6,63 5,01 7,180 1,847
# Tongkol/tanaman Gowa
Mng
Rata
0,8 1,1 0,9 0,4 1,0 0,7 0,8 1,0 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 1,0 1,0 0,9 1,0 1,0 0,8 1,0 0,9 1,0 1,0 1,0 0,8 1,0 0,9 1,0 1,0 1,0 0,9 1,0 0,9 0,9 0,9 0,9 0,6 1,1 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 0,9 1,0 0,9 0,9 0,8 1,1 0,9 1,1 1,0 1,1 0,9 1,0 0,92 14,21 5,46 11,64 0,174 0,078 0,154 *
: * = nyata pada taraf uji 0.05 Mng = Muneng
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
150
Seminar Nasional 2005 Tabel 5. Rerata beberapa karakter 16 hibrida Tamnet yang ditanam di Gowa dan Muneng MK2003 No
Hibrida
1 2
Penampilan tanaman
Penampilan tongkol
Penampilan kelobot
Gowa
Mng
Rata
Gowa
Mng
Rata
Gowa
Mng
Rata
BARI Hybrid Maize 3
2,8
2,0
2,4
2,5
2,0
2,3
2,0
2,0
2,0
Yun You 199 (QPM)
3,0
2,9
2,9
3,8
2,0
2,9
2,3
2,0
2,1
3
Maize EGM-I
2,6
2,9
2,8
3,4
2,4
2,9
2,0
2,0
2,0
4
Maize EGM-II
2,8
2,6
2,7
3,4
2,4
2,9
2,0
2,0
2,0
5
NSX 982013
2,5
2,0
2,3
2,1
2,1
2,1
2,3
2,0
2,1
6
NSX 022026
2,0
2,0
2,0
1,6
2,0
1,8
2,0
2,0
2,0
7
NTX 032001
2,1
2,0
2,1
2,1
2,0
2,1
2,0
2,0
2,0
8
KSX 4452
2,0
2,1
2,1
1,9
2,0
1,9
2,0
1,3
1,6
9
KSX 4505
2,6
2,0
2,3
2,5
2,0
2,3
2,1
1,0
1,6
10 KSX 4507
2,3
2,0
2,1
2,4
2,0
2,2
2,0
1,0
1,5
11 KSX 4601
2,5
2,0
2,3
2,1
2,0
2,1
2,0
2,0
2,0
12 NT 6621
2,1
2,0
2,1
2,0
2,0
2,0
2,0
1,0
1,5
13 LCH 9
2,5
2,1
2,3
2,3
2,4
2,3
2,3
2,0
2,1
14 LVN 35
2,3
2,0
2,1
2,9
2,4
2,6
2,0
2,0
2,0
15 SC 167
2,4
2,4
2,4
3,0
2,1
2,6
2,0
2,0
2,0
16 VN 8960
2,0
2,1
2,1
2,8
2,1
2,4
2,0
1,0
1,5
17 Semar-10
2,1
2,0
2,1
3,0
2,0
2,5
2,0
1,8
1,9
18 Bima-1
2,3
2,1
2,2
2,6
2,5
2,6
2,4
2,0
2,2
Rerata
2,4
2,2
2,29
2,6
2,1
2,36
2,1
1,7
1,89
KK %
10,45
8,73
9,71
11,97
12,76
2244
11,61
9,58
10,87
LSD .05
0,354
0,269
0,031
0,449
0,386
0,739
0,342
0,233
0,287
GxL
*
**
*
Keterangan : * = nyata pada taraf uji 0.05 ** = sangat nyata pada taraf uji 0.05 Mng = Muneng
KESIMPULAN 1. Hibrida KSX 4452 mempunyai potensi hasil tertinggi di Bontonompo dan baik dikembangkan di Bontonompo, sedangkan di Muneng adalah hibrida LCH 9. 2. Hibrida KSX 4452 dan NSX 982013 baik dikembangkan di Bontonompo dan Muneng karena keduanya memiliki potensi hasil tinggi di kedua lokasi tersebut. 3. Hibrida Bima-1 mempunyai potensi hasil yang sama dengan hibrida Tamnet. DAFTAR PUSTAKA Jugenheimer, R.W.1985. Corn Improvement, Seed production, and Uses. John Wiley, New York. MSTAT Team.1988. MSTAT: A Microcomputer Program for the Design, Management, and Analysis of Agronomic Research Experiments. Michigan.Michigan State University. Soemartono.1995. Cekaman lingkungan, tantangan pemuliaan tanaman masa depan. Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman III, Jember. 1-12. Subandi, 1985. Perkembangan jagung hibrida di Indonesia. Buletin Penelitian Balittan Bogor, hal.1-12.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
151
Seminar Nasional 2005 DAYA GABUNG HASIL 117 GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA UMUR GENJAH DENGAN TESTER GM27 Andi Takdir M., R. Neni Iriany M., Muzdalifah Isnaeni, A. Muliadi, dan Marsum Dahlan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros
ABSTRAK Galur yang akan digunakan sebagai tetua dalam persilangan untuk menghasilkan varietas, terlebih dahulu harus diuji keturunan. Silang puncak (topcross) merupakan salah satu uji keturunan untuk mengetahui daya gabung galur. Penelitian ini bertujuan untuk memilih galur-galur umur genjah yang memiliki daya gabung baik dengan tetua penguji GM27 untuk pembentukan hibrida baru. Sebanyak 117 genotipe jagung umur genjah hasil testcross dengan GM27 dan tujuh varietas pembanding (Semar-3, Semar-8, Kresna, Lagaligo, Arjuna, Gumarang, dan Lamuru) telah dievaluasi di Bontonompo, Sulawesi Selatan dan Muneng, Jawa Timur. Mulai bulan September sampai Desember 2003. Jenis tanah di Bontonompo adalah Entisol dan tanaman sebelumnya ditanami jagung, sedangkan jenis tanah di Muneng adalah Alfisol dan tanaman sebelumnya kacang tanah. Penelitian menggunakan rancangan alpha lattice 9 x 13, dua ulangan. Setiap genotipe ditanam dalam baris tunggal dengan panjang 5 m dan jarak tanam 0,75 m x 0,20 m. Ada empat genotipe yang memberikan daya gabung yang cukup baik yakni E49, P5/GM30-7-211B, E21CA00344BB, dan E42 serta memiliki adaptasi cukup baik pada dua lokasi pengujian. Kata Kunci: Jagung, daya gabung, genotipe, umur genjah
PENDAHULUAN Evaluasi keturunan biasanya dikaitkan dengan kemampuan suatu tetua dalam suatu persilangan. Kemampuan ini disebut daya gabung. Dengan melihat rerata pengamatan keturunan dapat ditentukan apakah suatu tetua mempunyai daya gabung baik atau jelek terhadap semua tetua lain atau mempunyai nilai tinggi bila digabungkan dengan salah satu atau beberapa tetua lain (Allard, 1989). Daya gabung adalah kemampuan genotipe untuk memindahkan sifat yang diinginkan kepada keturunannya. Ada dua macam daya gabung, yakni daya gabung umum dan daya gabung khusus. Daya gabung umum merupakan kemampuan suatu genotipe untuk menunjukkan kemampuan rerata keturunannya bila disilangkan dengan sejumlah genotipe lain yang dikombinasikan. Daya gabung khusus adalah kemampuan suatu kombinasi persilangan untuk menunjukkan penampilan keturunannya. Evaluasi daya gabung merupakan salah satu cara menilai kemampuan inbrida berdasarkan daya hasil silang puncaknya dengan genotipe penguji (Walter, 1987). Pemilihan tetua penguji penting untuk memisahkan galur-galur yang memiliki daya gabung baik. Umumnya digunakan tetua penguji varietas bersari bebas untuk mengevaluasi daya gabung umum dan galur murni untuk mengevaluasi daya gabung khusus. Dalam seleksi daya gabung, galur tetua penguji sangat kritis. Apabila tetua pengujinya tidak sesuai maka hasil yang diperoleh tidak seperti yang diharapkan. Oleh karena itu perlu dicari tetua penguji yang dapat menentukan daya gabung galur dari berbagai pola heterotik (Rawling dan Thompson, 1962, Moentono, 1989). Persilangan antara dua galur dapat memberikan hasil yang lebih tinggi dari nilai kedua tetuanya atau bahkan lebih baik dari tetua yang memberikan hasil tinggi. Menurut Shull (1948), fenomena ini disebut heterosis yang berarti ketegapan hibrida (hybrid vigor). Fenomena heterosis ini telah banyak dimanfaatkan secara intensif pada pemuliaan jagung untuk menghasilkan jagung hibrida. Hasil ini akan semakin tinggi jika galur-galur ini berasal dari dua populasi yang pola heterosisnya berbeda. Pasangan heterosis ini merupakan petunjuk dalam pembentukan galur sebagai komponen hibrida. Suatu galur atau populasi disilangkan dengan galur tertentu menunjukkan heterosis yang tinggi, tapi jika disilangkan dengan galur lain mungkin tidak menunjukkan heterosis yang tinggi. Dengan demikian galur tersebut mempunyai pasangan yang spesifik untuk menghasilkan hibrida yang hasilnya tinggi atau biasa disebut galur tersebut mempunyai daya gabung khusus baik. Menurut
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
152
Seminar Nasional 2005 Hallauer dan Miranda (1985), pengujian daya gabung khusus dapat dilakukan dengan cara menyilangkan galur murni (inbred) dengan populasi jagung yang mempunyai keragaman genetik yang sempit atau dengan galur murni lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk memilih galur-galur umur genjah yang memiliki daya gabung baik dengan tetua penguji GM27 untuk membentuk hibrida baru. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di Bontonompo, Gowa, Sulawesi Selatan dan Muneng, Probolinggo, Jawa Timur dalam musim kemarau, periode bulan September sampai Desember 2003. Sebanyak 117 galur hasil testcross dengan GM27 termasuk tujuh varietas cek (Semar-8, Semar-3, Kresna, Lagaligo, Arjuna, Gumarang, dan Lamuru) dievaluasi dalam penelitian ini. Bontonompo dan Muneng masing-masing memiliki ketinggian tempat 20 dan 10 m dari permukaan laut. Jenis tanah pada kedua tempat tersebut masing-masing Entisol dan Mediteran. Analisis tanah di Bontonompo menunjukkan pH 5,75, kandungan bahan organik, N, K sangat rendah dan kandungan P sangat tinggi. Lahan di Bontonompo sebelumnya ditanami jagung. Analisis tanah di Muneng menunjukkan pH 6,75, kandungan bahan organik, dan N sangat rendah, kandungan P dan K tinggi. Lahan di Muneng sebelumnya ditanami kacang tanah. Rancangan yang digunakan adalah Alpha lattice 9 x 13, 9 blok dalam ulangan dan 13 plot per blok. Satu baris untuk plot dengan panjang 5 m, jarak antar baris 75 cm, 20 cm antar tanaman, sehingga itu dapat 25 tanaman per plot. Di Bontonompo tanaman dipupuk dengan 200 kg urea, 200 kg SP36, dan 50 kg KCL ha-1 yang diberikan 14 hari setelah tanam, dan 100 kg urea ha-1 yang diberikan pada 30 dan 50 hari setelah tanam. Pada percobaan di Muneng tanaman dipupuk dengan 100 kg urea, 200 kg SP36 dan 50 kg KCl ha -1 yang diberikan pada 10 hari setelah tanam, dan 200 kg urea ha -1 yang diberikan pada 30 hari setelah tanam. Pengairan diberikan setiap dua minggu sekali dengan cara menggenangi. Data yang dikumpulkan meliputi: hasil (t.ha-1), jumlah tanaman panen, dan kadar air biji saat panen. Data dianalisis dengan menggunakan program komputer ALPHA dan MSTAT (CIMMYT, 1999; MSTAT, 1988; Singh and Chaudhary, 1979). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil sidik ragam menunjukkan genotipe berpengaruh sangat nyata, dan interaksi genotipe dengan lingkungan juga sangat nyata (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antar genotipe, dan terdapat genotipe yang sesuai untuk lokasi di Bontonompo tetapi tidak cocok untuk lokasi di Muneng, demikian sebaliknya atau beradaptasi spesifik, tetapi kemungkinan terdapat genotipe yang beradaptasi luas atau dikedua lokasi pengujian. Menurut Muhadjir 1988, dalam mencari kultivar yang mampu memanfaatkan agroekologis setempat, pemulia dapat merakit kultivar yang beradaptasi spesifik atau kultivar yang beradaptasi luas. Tabel 1. Anova gabungan hibrida umur genjah, lokasi Bontonompo dan Muneng, MK2003 Sumber Variasi Lokasi (L) Replikasi/L Genotipe (G) GxL Covariate Galat KK %
db
mean square
1 2 116 116 1 231
4,621 18,696 4,015** 1,283** 7,976 0,727 13,68
Keterangan: ** sangat nyata pada taraf uji ,05
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
153
Seminar Nasional 2005 Evaluasi daya gabung 117 genotipe hasil testcross dengan GM27 di Bontonompo memperlihatkan hasil yang cukup tinggi dibanding dengan varietas pembanding (Tabel 2). Genotipe E49, P5/GM30-7-211B, E21CA00344BB, dan E42 memberikan hasil masingmasing 9,831, 9,183, 8,317, dan 7,855 t.ha-1 menempati ranking pertama, kedua, kelima, dan duabelas serta nilai rerata pada kedua lokasi cukup tinggi (8,956, 8,676, 8,296, dan 8,417 t.ha-1). Pada penelitian di Muneng terlihat genotipe E40, E42, E21CA00344, P5/GM307211B, dan E49 memberikan hasil masing-masing 9,508, 8,980, 8,275, 8,169, dan 8,080 t.ha1 menempati ranking satu, dua, lima, enam dan tujuh dengan nilai rerata pada kedua lokasi masing-masing 8,537, 8,417, 8,296, 8,676, dan 8,956 t.ha-1 (Tabel 3). Hal tersebut di atas memperlihatkan bahwa beberapa genotipe memiliki daya gabung yang baik. Persilangan antara dua galur dapat memberikan hasil yang lebih tinggi dari pada nilai kedua tetuanya atau bahkan lebih baik dari pada tetua yang memberikan hasil tinggi. Hasil ini akan semakin tinggi jika galur-galur tersebut berasal dari dua populasi yang pola heterotiknya berbeda. Pasangan heterosis ini merupakan petunjuk dalam pembentukan galur sebagai komponen hibrida. Tabel 2. Dua puluh ranking tertinggi hibrida umur genjah di Bontonompo MK 2003 Bontonompo Genotipe
Maksimum Minimum Rerata KK% LSD .05 Standar error
Gabungan
Hasil (t.ha-1)
% Semar-8
Rank
Hasil (t.ha-1)
% Semar-8
Rank
Hasil (t.ha-1)
% Semar-8
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
9,831 9,183 8,681 8,475 8,317 8,178 8,158 8,146 8,041 8,035 8,025 7,855 7,788 7,777 7,733 7,705 7,690 7,603 7,590 7,590
165 154 146 142 140 137 137 137 135 135 135 132 131 131 130 129 129 128 127 127
7 6 33 34 5 75 82 79 87 58 15 2 13 97 69 53 10 77 52 42
8,080 8,169 6,676 6,652 8,275 5,726 5,538 5,690 5,495 6,086 7,156 8,980 7,275 4,958 5,924 6,203 7,775 5,716 6,212 6,376
134 136 111 111 138 95 92 95 91 101 119 149 121 82 99 103 129 95 103 106
1 2 9 11 5 24 31 26 40 16 10 4 13 63 34 23 7 46 28 20
8,956 8,676 7,679 7,564 8,296 6,952 6,848 6,918 6,768 7,060 7,591 8,417 7,532 6,367 6,829 6,954 7,733 6,659 6,901 6,983
150 145 128 126 139 116 114 116 113 118 127 141 126 106 114 116 129 111 115 117
80 85 114 112 73 102 117
5,959 5,867 3,373 3,952 6,216 4,934 1,322
100 98 57 66 104 83 22
67 22 99 111 68 116 94
6,013 6,934 4,890 4,469 5,958 3,740 5,047
100 115 81 74 99 62 84
77 60 113 111 73 110 117
5,986 6,400 4,131 4,210 6,087 4,337 3,184
100 107 69 70 102 72 53
1 117
9,831 1,322 6,384
165 22
7 117
8,080 3,262 6,082
134 54
1 117
8,956 3,184 6,233
150 53
Rank
E49 P5/GM30-7-211B P5/GM30-7-2113B P5/GM25-24-1221 E21CA00344BB B13-84SW92145 P5/GM30-69-211B B13-62EYDMR-6 B13-96Pop147F2# B13-113Pop147 P5/GM25-24-121B E42 B13-102G18SeqC3 B13-15Pop145C6 B13-87G18SeqC2 P5/GM25-233-121B B13-72P147C2-389 P5/GM25-97-221B CML429B B13-115SW92145-2 Varietas Pembanding: Semar-8 Semar-3 Kresna Lagaligo Arjuna Gumarang Lamuru
Muneng
13,68 1,771 0,8451
13,59 1,597 1,5780
13,68 1,680 0,7716
Terdapat empat genotipe yakni E49, P5/GM30-7211B, E42, dan E21CA00344 memperlihatkan hasil yang relatif stabil dan memiliki daya adaptasi cukup baik di kedua lokasi pengujian. Ketiga galur tersebut masing masing memberikan rerata hasil pada kedua Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
154
Seminar Nasional 2005 lokasi pengujian 8,956; 8,676; 8,417; dan 8,296 t.ha-1. Keempat galur tersebut memiliki daya gabung yang baik dan adaptasi yang cukup luas. Penampilan suatu gen dipengaruhi oleh lingkungan. Interaksi antara genotipe dengan lingkungan menunjukkan adanya perbedaan tanggapan genotipe yang diuji pada lingkungan yang berbeda. Subandi (1988), mengatakan bahwa genotipe-genotipe yang dapat mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan akan cenderung memiliki stabilitas yang baik, sehingga dalam program pemuliaan harus dapat diperhatikan karakter-karakter lain yang dapat mendukung stabilitas suatu varietas. Tabel 3. Dua puluh ranking tertinggi hibrida umur genjah di Muneng MK 2003 Muneng Genotipe
Maksimum Minimum Rerata KK% LSD .05 Standar error
% Semar-8
Rank
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
9,508 8,980 8,470 8,396 8,275 8,169 8,080 7,933 7,921 7,775 7,421 7,320 7,275 7,242 7,156 7,132 7,129 7,103 7,101 7,000
158 149 141 140 138 136 134 132 132 129 123 122 121 120 119 119 119 118 118 116
23 12 43 24 5 2 1 34 36 17 88 38 13 51 11 45 70 90 81 63
7,566 7,855 6,921 7,548 8,317 9,183 9,831 7,143 7,079 7,690 5,798 7,053 7,788 6,698 8,025 6,862 6,323 5,744 5,936 6,478
67 22 99 111 68 116 94
6,013 6,934 4,890 4,469 5,958 3,740 5,047
100 115 81 74 99 62 84
80 85 114 112 73 102 117
7 117
8.080 3.262 6.082
134 54
1 117
Rank
E40 E42 E45 E52Ki E21 CA00344 P5/GM30-7-211B E49 E36 CA14524 P5/GM25-58-111B B13-72P147C2-389 P5/GM26-22-222B P5/GM25-173-121B B13-102G18SeqC3 B13-109SW92145 P5/GM25-24-121B P5/GM25-77-111B P5/GM25-57-112B B13-18Pop145C4 E53CML-421 P5/GM25-208-221B Varietas Pembanding: Semar-8 Semar-3 Kresna Lagaligo Arjuna Gumarang Lamuru
Bontonompo
Hasil (t.ha-1)
13,59 1,597 1,5780
Gabungan
Hasil % (t.ha-1) Semar-8
Rank
Hasil (t.ha-1)
% Semar-8
127 132 116 127 140 154 165 120 119 129 97 118 131 112 135 115 106 96 100 109
3 4 8 6 5 2 1 12 14 7 50 15 13 21 10 19 42 58 54 41
8,537 8,417 7,696 7,972 8,296 8,676 8,956 7,538 7,500 7,733 6,609 7,186 7,532 6,970 7,591 6,997 6,726 6,424 6,518 6,739
143 141 129 133 139 145 150 126 125 129 110 120 126 116 127 117 112 107 109 113
5,959 5,867 3,373 3,952 6,216 4,934 1,322
100 98 57 66 104 83 22
77 60 113 111 73 110 117
5,986 6,400 4,131 4,210 6,087 4,337 3,184
100 107 69 70 102 72 53
9.831 1.322 6.384
165 22
1 117
8.956 3.184 6.233
150 53
13,68 1,771 0,8451
13,68 1,680 0,7716
KESIMPULAN 1. Terdapat 15 genotipe di Bontonompo dan 9 genotipe di Muneng yang memiliki daya gabung baik serta hasil di atas 30% terhadap Semar-8. 2. Genotipe yang memiliki daya gabung baik adalah E40, E42, E21CA00344, P5/GM307211B, dan E49 dengan hasil masing-masing 8,537; 8,417; 8,296; 8,676; dan 8,956 t.ha-1.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
155
Seminar Nasional 2005 DAFTAR PUSTAKA Allard. 1989. Principles of Plant Breeding. John Wiley and Sons. New York. CIMMYT. 1999. A User’s Manual for Fieldbook 5.1/7.1 and Alpha. Mexico, D.F.: CIMMYT Hallauer, A.R. and J. B. Miranda, FO. 1985. Quantitative Genetics in Maize Breeding. Ames. Iowa State University Press. p 267-298. Moentono, M.D. 1989. Effecient tester for evaluating combining ability of downy mildew resitance inbreed lines in the development hybrid corn. Ind.Jour.of Crop Sci. 1:4151. Moentono, M. D., and Sulaminingsih. 1985. Status penelitian jagung hibrida. Risalah Rapat Teknis Hasil Penelitian Jagung, Sorgum dan Terigu. Bogor, PUSLITBANGTAN. p. 123-143. Muhadjir, F. 1988. Karakteristik tanaman jagung. Dalam Subandi, Mahyuddin Syam, dan Adi Widjono (Penyunting). Jagung. Hal. 33-46. Pusat Penelitian Tanaman Pangan Bogor. MSTAT Team. 1988. MSTAT: A Microcomputer Program for the Design, Management, and Analysis of Agronomic Research Experiments. Michigan. Michigan State University. Rawlings, J. O., and D. L. Thompson. 1962. Performance level as criterion for the choice of maize testers. Crop Sci. 2:217-220. Shull, G.H. 1948. What is “heterosis”?. Genetics, 33:439-446. Singh, R.K. and B.D. Chaudhary. 1979. Biometrical Methods in Quantitative Genetic Analysis. New Delhi. Kalyani Publishers. p. 191-200. Subandi. 1988. Perbaikan varietas. Dalam Subandi, Mahyuddin Syam, dan Adi Widjono (Penyunting). Jagung. Hal. 81-98. Pusat Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Walter R.F. 1987. Principles of Cultivar Development. Vol.1. (Theory and Technique) Mac Millan Publishing Company A Division of Mac Millan, Inc. New York.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
156
Seminar Nasional 2005 PENDUGAAN NILAI HETEROSIS KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BULAI (DOWNEY MILDEW) R. Neni Iriany M dan Andi Takdir Makkulawu Balai Penelitian Tanaman Serealia
ABSTRAK Penyakit bulai disebabkan oleh Perenosclerospora maydis Rac. Shaw paling berbahaya dan paling banyak menurunkan produksi jagung. Cara paling baik, aman, murah dan efisien memberantas ataupun mencegah penyakit bulai adalah menanam varietas tahan. Hal utama yang perlu diperhatikan dalam pembentukan varietas tahan bulai melalui persilangan adalah kemampuan tetua menghasilkan turunan yang unggul, hal ini dapat diketahui melalui uji keturunan seperti persilangan dialel. Penelitian ini bertujuan untuk menduga nilai heterosis galur-galur tahan dan rentan, dimana keturunannya yang mempunyai nilai heterosisi tinggi diharapkan tahan terhadap penyakit bulai. Penelitian ini berlangsung pada dua musim tanam. Musim tanam I, dilakukan persilangan dialel lengkap antara empat galur tahan dan empat galur rentan di Balitjas Maros, Sulawesi Selatan. Musim tanam II, dilaksanakan uji keturunan di kebun percobaan Cikeumeh Balitbio Bogor. Hasil penelitian menunjukkan heterosis positif terhadap tetua tertinggi diperoleh pada persilangan Nei 9008 x AMATL CoHS115-1-2-3-3-1-2-B-B dan heterosis positif tertinggi terhadap rata-rata tetua diperoleh pada persilangan AMATL CoHS-115-1-2-3-3-1-2-B-B x CML 357. Kata kunci: Penyakit bulai, jagung, varietas tahan bulai.
PENDAHULUAN Salah satu penyakit yang banyak menurunkan hasil tanaman jagung adalah penyakit bulai (downy mildew). Penyakit ini disebabkan oleh jamur Peronosclerospora maydis yang menyerang daun jagung, dan dapat menimbulkan kehilangan hasil sampai 100%, seperti yang terjadi di Lampung pada tahun 1996 (Subandi et al., 1996). Penggunaan varietas unggul merupakan cara paling efektif untuk mengendalikan serangan penyakit, karena selain mudah dan murah bagi petani, penggunaan kultivar tahan juga tidak meninggalkan residu kimiawi yang berbahaya. Perakitan kultivar unggul yang tahan terhadap penyakit dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan melakukan hibridisasi atau persilangan. Salah satu tipe persilangan yang sering dilakukan adalah persilangan dialel (diallel cross), yaitu persilangan yang dilakukan di antara semua pasangan tetua sehingga dapat diketahui potensi hasil suatu kombinasi hibrida, nilai heterosis, daya gabung (daya gabung umum dan daya gabung khusus) dan dugaan besarnya ragam genetik dari suatu karakter. Pada umumnya bila dua tanaman yang berlainan (unrelated or distanly related individuals) disilangkan, maka turunannya sering memperlihatkan gejala heterosis atau umumnya disebut vigor hibrida (Hybrid Vigour) (North, 1979 dikutip Baihaki, 1989). Dalam penelitian ini digunakan empat galur jagung tahan dan empat galur jagung rentan terhadap penyakit bulai yang disilangkan secara dialel untuk menduga nilai heterosis dari galur-galur tersebut. Galur yang mempunyai nilai heterosis tertinggi diharapkan tahan terhadap penyakit bulai. Informasi yang diperoleh dari kegiatan tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi calon tetua varietas yang tahan terhadap penyakit bulai. BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan menggunakan metode eksperimen dan dilaksanakan pada dua musim tanam. Musim tanam pertama berupa pembentukan benih F 1 dengan metode persilangan dialel lengkap dilaksanakan di Instalasi Penelitian Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) Maros, Sulawesi Selatan, bulan Juli - Oktober 2001. Musim tanam ke dua berupa evaluasi F1 dan F1 resiprokal, menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) 3
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
157
Seminar Nasional 2005 ulangan, dilaksanakan di Instalasi Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian di Bogor, Kebun Percobaan Cikeumeuh Jawa Barat bulan April – Mei 2002. Empat galur tahan yang digunakan adalah galur Ki3, Nei9008, AMATL CoHS-1151-2-3-3-1-2-B-B, AMATL CoHS-9-1-1-1-1-1-2-B, dan empat galur rentan adalah CML281, CML270, CML272, CML357. Galur Ki3, Nei9008, berasal dari Thailand, galur CML berasal dari CIMMYT. Kedelapan galur telah mengalami skrining terhadap penyakit bulai yang dilaksanakan di Balitsereal Maros. Pupuk yang diberikan adalah: 150 kg Urea ha-1, 100 kg SP-36 ha-1, dan 50 kg KCl ha-1 dan pemeliharaan diberikan carbofuran untuk menghindari serangan lalat bibit. Varietas Antasena sebagai sumber inokulum penyakit bulai ditanam beberapa minggu sebelum bahan tanaman yang diuji ditanam dalam interval waktu tanam satu minggu sampai didapat tingkat serangan penyakit bulai yang cukup tinggi. Untuk maksud tersebut, kultivar Antasena disemprot dengan suspensi spora pada umur 7, 9, dan 11 hari setelah tanam (hst), penyemprotan ini dikerjakan pada malam hari karena sporulasi terjadi pada malam hari. Spora yang digunakan berasal dari sumber inokulum yang terlebih dahulu dipersiapkan. Setelah tanaman sumber inokulum memperlihatkan gejala serangan rata-rata 92,20% maka dilakukan penanaman materi yang akan dievaluasi. Petak percobaan terdiri atas dua baris tanaman, panjang masing-masing 5,0 m. Bahan tanaman ditanam pada jarak tanam 50 cm x 10 cm, dua biji/lubang. Untuk memperoleh serangan penyakit yang tinggi dan penyebaran penyakit yang merata, genotip yang dievaluasi disemprot dengan suspensi spora pada umur 7, 9, dan 11 hst. Penyiraman dilakukan dengan memperhatikan kondisi kelembaban pertanaman dengan menjaga agar tanaman tidak mengalami kekeringan selama pertumbuhannya. Pengamatan Pengamatan serangan penyakit bulai dilakukan dengan menghitung jumlah tanaman yang terserang pada umur 15, 22, 29, dan 36 hst (dihitung dengan mencabut tanaman terserang). Persentase serangan dihitung dengan rumus:
P Keterangan : P a b
a x 100% b
= persentase serangan penyakit bulai = jumlah tanaman terserang dari keempat kali pengamatan = jumlah tanaman
Analisis Data Transformasi Arcsin dilakukan pada data yang diperoleh sebelum dilakukan pendugaan nilai heterosis untuk mengurangi heterogenetas data. Nilai heterosis dihitung dari persentase tanaman sehat. Besaran nilai heterosis biasanya dinyatakan dengan persen (%) dan besarnya dapat dihitung sebagai berikut (Hallauer and Miranda,1981) : 1. Heterosis tetua tertinggi (High-parent heterosis)
h
F1 - HP
x 100
HP
2. Heterosis rata-rata tetua (Mid-Parent Heterosis)
h
F1
P1 P1
P2 / 2
x 100
P2 /2
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
158
Seminar Nasional 2005 Keterangan :
F1
rata-rata penampilan hibrida
P1
rata-rata penampilan tetua pertama
P2
rata-rata penampilan tetua kedua
HP = rata-rata penampilan tetua tertinggi HASIL DAN PEMBAHASAN Heterosis terhadap rata-rata tetua tertinggi (HP heterosis) Nilai heterosis terhadap tetua tertinggi pada 28 persilangan F1 dengan kisaran antara 3,0299% sampai -100.00% (Tabel 1) (nilai positif lebih tinggi dari negatif). Hanya satu kombinasi persilangan yang memiliki nilai heterosis HP positif, yaitu persilangan antara Nei 9008 x AMATL CoHS-115-1-2-3-3-1-2-B-B (3,0299%). Dengan demikian persilangan Nei 9008 x AMATL CoHS-115-1-2-3-3-1-2-B-B akan menghasilkan F1 yang lebih tahan 3,0299% dibanding tetuanya yang mempunyai ketahanan tertinggi. Adanya nilai heterosis tinggi karena tetua/galur yang digunakan dalam persilangan berasal dari populasi asal yang berbeda, hal ini sesuai pendapat Poehlman dan Borthalan (1977) dikutip Rifin, dkk (1984), persilangan antara galur/tetua yang asalnya berbeda akan menghasilkan keturunan silang tunggal yang mempunyai nilai heterosis tinggi dibanding tetua yang asalnya sama. Nilai heterosis terendah diperoleh dari persilangan antara AMATL CoHS-9-1-1-1-11-2-B x CML 272, CML 270 x CML 272 (-100.00%), artinya kombinasi persilangan tersebut mempunyai kerentanan terhadap penyakit bulai sebesar 100% dibandingkan ratarata tetua yang tahan. Menurut Allard (1960) tidak semua galur bila disilangkan dengan galur lainnya akan memperlihatkan heterosis tinggi. Tabel 1. Nilai heterosis terhadap rata-rata tetua tertinggi (HP heterosis) No
Persilangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
P1/P3 P1/P4 P1/P5 P1/P6 P1/P7 P1/P8 P1/P9 P3/P4 P3/P5 P3/P6 P3/P7 P3/P8 P3/P9 P4/P5 P4/P6 P4/P7 P4/P8 P4/P9 P5/P6 P5/P7 P5/P8 P5/P9 P6/P7 P6/P8 P6/P9 P7/P8 P7/P9 P8/P9
Persentase tanaman sehat Betina 78,6069 78,6069 78,6069 78,6069 78,6069 78,6069 78,6069 88,1716 88,1716 88,1716 88,1716 88,1716 88,1716 76,0925 76,0925 76,0925 76,0925 76,0925 56,9259 56,9259 56,9259 56,9259 33,1417 33,1417 33,1417 14,6520 14,6520 24,2720
F1
Jantan 88,1716 76,0925 56.9259 33,1471 14,6520 24,2720 33,4642 76,0925 56,9259 33,1471 14,6520 24,2720 33,4642 56,9259 33,1471 14,6520 24,2720 33,4642 33,1471 14,6520 24,2720 33,4642 14,6520 24,2720 33,4642 24,2720 33,4642 33,4642
71,9508 70,5472 38,8349 14,1878 13,7255 5,5556 44,6611 90,8431 75,3399 23,9548 37,1813 9,7211 66,4484 75,2624 44,1814 17,4726 14,6826 68,0289 2,2727 10,6111 0,0000 42,3443 0,8547 7,1730 9,6233 0,0000 3,3525 1,0526
Het % -18,3969 -10,2531 -50,5961 -81,9510 -82,5391 -92,9325 -43,1842 3,0299 -14,5532 -72,8316 -57,8307 -88,9748 -24,6374 -1,0909 -41,9372 -77,0377 -80,7042 -10,5971 -96,0076 -81,3599 -100,0000 -25,6151 -97,4215 -78,3601 -71,2430 -100,0000 -89,9819 -96,8545
Keterangan : Data diolah berdasarkan persentase tanaman sehat
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
159
Seminar Nasional 2005 Heterosis terhadap rata-rata tetua (MP heterosis) Heterosis terhadap rata-rata tetua yang bernilai positif diperoleh pada lima kombinasi persilangan (Tabel 2). Persilangan AMATL CoHS-115-1-2-3-3-2-1-B-B x CML 357 mempunyai nilai heterosis positif tertinggi yaitu 24,1893%, artinya keturunannya (F1) 24,1893% lebih tahan dibanding rata-rata kedua tetuanya. Menurut Bruce 1910 dikutip Fehr 1987; Jones 1917, 1945, 1958 dikutip Fehr 1987 bahwa nilai heterosis tertinggi diperoleh dari persilangan antara tetua yang mempunyai perbedaan frekuensi gen dominan tinggi, sehingga pada hibridanya akan terkumpul gen-gen yang baik dan dominan diberbagai losi serta alil-alil dominan yang menguntungkan akan menutupi alil-alil resesif yang merugikan. Hibrida yang mempunyai efek heterosis terhadap penyakit dan hama berarti mempunyai resistensi yang lebih tinggi terhadap penyakit dan hama, naik toleransinya terhadap kekakuan iklim, dan berbagai manifestasi lain dari keadaan yang lebih baik (Allard, 1960). Nilai heterosis terendah (-100,00%) diperoleh pada persilangan AMATL CoHS-9-11-1-1-1-2-B x CML 272 dan CML 270 x CML 272, artinya kombinasi persilangan tersebut 100% lebih rentan terhadap penyakit bulai dibanding rata-rata kedua tetuanya. Tabel 2. Nilai heterosis terhadap rata-rata tetua No
Persilangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
P1/P3 P1/P4 P1/P5 P1/P6 P1/P7 P1/P8 P1/P9 P3/P4 P3/P5 P3/P6 P3/P7 P3/P8 P3/P9 P4/P5 P4/P6 P4/P7 P4/P8 P4/P9 P5/P6 P5/P7 P5/P8 P5/P9 P6/P7 P6/P8 P6/P9 P7/P8 P7/P9 P8/P9
Persentase tanaman sehat Betina
Jantan
78,6069 78,6069 78,6069 78,6069 78,6069 78,6069 78,6069 88,1716 88,1716 88,1716 88,1716 88,1716 88,1716 76,0925 76,0925 76,0925 76,0925 76,0925 56,9259 56,9259 56,9259 56,9259 33,1417 33,1417 33,1417 14,6520 14,6520 24,2720
88,1716 76,0925 56.9259 33,1471 14,6520 24,2720 33,4642 76,0925 56,9259 33,1471 14,6520 24,2720 33,4642 56,9259 33,1471 14,6520 24,2720 33,4642 33,1471 14,6520 24,2720 33,4642 14,6520 24,2720 33,4642 24,2720 33,4642 33,4642
F1 71,9508 70,5472 38,8349 14,1878 13,7255 5,5556 44,6611 90,8431 75,3399 23,9548 37,1813 9,7211 66,4484 75,2624 44,1814 17,4726 14,6826 68,0289 2,2727 10,6111 0,0000 42,3443 0,8547 7,1730 9,6233 0,0000 3,3525 1,0526
Het % -13,7170 -8,7944 -42,6931 -74,6089 -70,5648 -89,1998 -20,2986 10,6062 3,8472 -60,5093 -27,6794 -82,7094 9,2580 13,1609 -19,1109 -61,4905 -70,7414 24,1893 -94,9536 -70,3510 -100,0000 -6,3077 -96,4238 -75,0153 -71,1061 -100,0000 -86,0650 -96,3537
Keterangan : Data diolah berdasarkan persentase tanaman sehat
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
160
Seminar Nasional 2005 KESIMPULAN
1. Heterosis positif terhadap tetua tertinggi diperoleh pada kombinasi persilangan Nei 9008 x AMATL CoHS-115-1-2-3-3-1-2-B-B dan heterosis positif tertinggi terhadap rata-rata tetua diperoleh pada kombinasi persilangan AMATL CoHS-115-1-2-3-3-1-2-B-B x CML 357.
2. Kedua kombinasi persilangan ini dapat dijadikan calon tetua dalam pembentukan varietas hibrida yang tahan terhadap penyakit bulai. DAFTAR PUSTAKA Allard R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. John Wiley and Sons, Inc. University of California. New York. Page 150-165. Baihaki, A. 1989. Fenomena heterosis. Disampaikan pada Latihan Pemuliaan Tanaman dan Hibrida, bagi Staf Litbang Deptan, di Fakultas Pertanian UNPAD, Jatinangor 30 Agustus – 4 September. Hallauer, A.R., and J.B.Miranda. 1981. Quantitatif Genetics in Maize Breeding 1 st. Iowa State University Press/Ames. Rifin,A. 1983. Downy mildew resistence of single cross progenies between Indonesia and Philippine corn inbred lines. Penelitian Pertanian. 3(2):81-83. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor. Rifin, A., R.Setiyono., A.Nuraefendi dan D.Hadian. 1984. Heterosis and combining ability in corn. Penelitian Pertanian. 4(3):81-83. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Bogor. Singh, R.K., and B.D. Chaudhary. 1979. Analysis. Kalyani Publishers.
Biometrical Methods in Quantitatif Genetic
Subandi, M.S. Sudjadi, dan D.Pasaribu. 1996. Laporan hasil pemantauan penyakit bulai dan Benih pada pertanaman jagung hibrida.5p.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
161
Seminar Nasional 2005 KARAKTER PERTUMBUHAN DAN POTENSI HASIL POPULASI JAGUNG QPM DI LOMBOK TIMUR NUSA TENGGARA BARAT Awaludin Hipi 1), M. Yasin HG 2), dan Firdaus Kasim 2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB 2) Balitsereal Maros Sul-Sel ABSTRAK Quality Protein Maize (QPM) pada dasarnya sama dengan jagung biasa, namun kandungan protein (lysin dan triptopan) lebih tinggi, sehingga sangat cocok untuk pangan dan pakan. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui karakter pertumbuhan dan potensi hasil dari jagung QPM. Kajian dilaksanakan di dua lokasi yaitu di Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur pada MK.2004. Pengkajian ini menggunakan rancangan acak kelompok, dimana jenis jagung yang diuji sebagai perlakuan dan diulang masing-masing 4 kali. Terdapat 10 populasi jagung QPM kuning dan 2 varietas (Lamuru dan Bisma) sebagai pembanding. Semua populasi QPM yang diuji dan varietas pembanding dari jenis bersari bebas. Hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat 6 populasi QPM kuning memberikan hasil relatif sama dengan varietas pembanding Bisma, namun masih lebih rendah jika dibanding varietas Lamuru. Hasil rata-rata tertinggi QPM kuning dicapai pada populasi S99TLYQ (6,75 t/ha). Beberapa populasi QPM kuning yang berpotensi untuk dikembangkan di NTB adalah S99TLYQ (6,75 t/ha), Poza Rica 8365 (6,63 t/ha), Acros 8765 (6,54 t/ha), Poza Rica 8666 (6,32 t/ha), dan Acros 8365 (6,29 t/ha). Diperlukan pengujian pada beberapa lokasi untuk mendapatkan stabilitas hasil. Kata kunci : QPM, potensi hasil, NTB
LATAR BELAKANG Kehadiran varietas jagung unggul introduksi, baik bersari bebas ataupun hibrida telah berkontribusi secara nyata terhadap peningkatan produktivitas ataupun produksi jagung nasional. Namun demikian, distribusi dari varietas-varietas introduksi tersebut berjalan lambat, karena itu pada periode 1986-1987 pangsa varietas introduksi terhadap penyebaran benih baru mencapai 26,66% (Subandi et al., 1988), dan pada tahun 1997 meningkat menjadi 44% (CIMMYT, 1994). Pada kondisi terakhir, pangsa varietas introduksi telah mencapai 80% yang terdiri dari 24% hibrida dan 56% varietas bersari bebas (Pingali, 2001), sementara data yang dikutip Kasryno (2002) menunjukkan bahwa adopsi jagung hibrida di Indonesia baru mencapai 10%. Di lain pihak, survey yang dilakukan oleh Nugraha dan Subandi (2002), menunjukkan bahwa dari 19 propinsi yang telah disurvey, jumlah varietas unggul yang digunakan petani baru mencapai 75% yang terdiri dari 48% bersari bebas dan 27% hibrida. Perbedaan data tersebut mungkin karena dari 27% jagung hibrida tersebut sebagian menggunakan benih hasil regenerasi. Peran jagung akan semakin strategis dalam pemenuhan karbohidrat dan protein baik sebagai bahan pangan maupun pakan. Sebagai bahan pangan dan pakan, jenis jagung yang ada di Indonesia adalah jagung biasa yang memiliki kelemahan dilihat dari nilai nutrisinya. Kandungan protein biji jagung biasa, sekitar 8 – 11 % tetapi kekurangan dua asam amino esensial (lysin dan triftofan) masing – masing hanya 0,05 dan 0,225 % dari total protein biji. Nilai ini kurang separuh dari konsentrasi yang disarankan FAO. Jika jagung ini digunakan sebagai bahan pangan dan pakan ternak, maka diperlukan tambahan lysin dan triftofan dari sumber lain (Kasim, 2003). Jagung QPM sebagaimana jagung biasa terdiri atas 2 jenis yaitu bersari bebas dan hibrida. Hasil penelitian di Sulsel menunjukkan bahwa sebagian besar populasi jagung jagung QPM dari jenis hibrida produktivitasnya lebih tinggi (7,34 – 8,65 t/ha) dan berbeda nyata dengan pembanding (varietas Semar 8 dan Semar 9). Demikian pula untuk QPM jenis bersari bebas, QPM putih mampu berporduksi tinggi (6,9 – 7,5 t/ha) dan berbeda nyata dengan pembanding varietas Bayu (5,69 t/ha), sementara untuk QPM kuning dapat mencapai (7,04 – 7,98 t/ha) dan tidak berbeda nyata dengan pembanding varietas Bisma (7,77 t/ha) (Salam Wahid, 2002).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
162
Seminar Nasional 2005 Salah satu strategi sosialisasi dan pengembangan jagung QPM (promunggi) ini dapat dilakukan dengan cara membentuk jagung QPM (promunggi) yang stabil, hasil tinggi, dan tahan penyakit untuk berbagai target lingkungan dan menguji secara luas sebagai On farm maupun petakan demonstrasi Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk mengetahui karakter pertumbuhan dan potensi hasil dari beberapa populasi jagung QPM di NTB. BAHAN DAN METODA Kajian dilaksanakan di Sambelia Kabupaten Lombok Timur pada MK II. 2004. Lokasi kajian adalah lahan sawah dengan irigasi terbatas (2-3 minggu sekali) serta merupakan daerah sentra produksi jagung di masing-masing kabupaten. Pengkajian ini menggunakan rancangan acak kelompok, dimana jenis jagung yang diuji sebagai perlakuan dan diulang masing-masing 4 kali. Terdapat 10 populasi jagung QPM kuning bersari bebas yang diuji dan 2 varietas pembanding (Lamuru dan Bisma). Setiap entri ditanam empat baris pada petakan dengan ukuran panjang 5 meter. Penanaman dengan jarak tanam 75 x 25 cm, 2 biji per lubang tanam. Pada umur 2 minggu setelah tumbuh (MST) dilakukan penjarangan menjadi 1 tanaman/rumpun, jika ada lubang yang kosong/tidak tumbuh maka rumpun sebelahnya tidak perlu dijarangkan. Tanaman diberi pupuk 138 kg N, 36 kg P 2O5 dan 60 kg K2O. Pemupukan dasar dilakukan pada saat jagung berumur 7 HST dengan menggunakan pupuk 1/3 bagian N serta seluruh pupuk P2O5 dan K2O, ditugal pada jarak 5 cm disamping tanaman. Pemupukan susulan dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan setelah tanam (BST) dengan menggunakan 2/3 bagian N dengan cara ditugal disamping tanaman pada jarak 10 – 15 cm. Sumber pupuk berasal dari Urea, SP-36 dan KCl. Penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat tanaman berumur 2 MST dan 4 MST sekaligus untuk pembumbunan. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan memberikan carbofuran pada saat bersamaan tanam. Panen dilakukan pada saat masak fisiologis dimana kelobot jagung berwarna kuning kecoklatan. Panen dalam setiap plot dilakukan pada 2 baris tanaman tengah. Parameter agronomis yang diamati adalah tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, umur berbunga jantan dan betina, jumlah tanaman panen, jumlah tongkol panen, aspek tanaman, aspek kelobot dan aspek tongkol dengan cara, dan produktivitas. Penampilan tanaman dan tongkol diberi skor 1 – 5, dimana skor 1 = sangat baik, 3 = sedang dan skor 5 = sangat jelek. Sedangkan aspek kelobot menggunakan skor 1 – 5 dimana: Skor 1 = Kelobot menutup rapat dengan baik, sehingga beberapa tongkol dapat diikat menjadi satu pada ujung tongkol; Skor 2 = Kelobot menutup ketat hanya sampai ujung tongkol saja; Skor 3 = Kelobot menutup agak longgar diujung tongkol; Skor 4 = Kelobot menutup tongkol kurang baik, ujung tongkol terlihat; Skor 5 = Kelobot menutup tongkol sangat jelek, sebahagian biji nampak tidak dilindungi kelobot. Data yang terkumpul dianalisis dengan sidik ragam (Anova), dan dilanjutkan dengan uji BNT 5 %. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Tabel 1.disajikan rata-rata tinggi tanaman, tinggi tongkol, umur berbunga dan jumlah tanaman panen. Hasil pengamatan tinggi tanaman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tinggi tanaman antar populasi/varietas jagung yang diuji dengan kisaran 182,6 – 228,6 cm, dimana tanaman tertinggi dicapai pada populasi POZA RIZA 8365 yaitu 228,6
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
163
Seminar Nasional 2005 cm, sedang yang terendah adalah populasi IBOBERENDRA yaitu 182,6 cm, konsisten dengan tinggi letak tongkol dimana yang tertinggi POZA RIZA 8365 119,0 cm dan terendah letak tongkolnya populasi IBOBERENDRA 93,3 cm. Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, tinggi tongkol, umur berbunga dan jumlah tanaman panen pada pengujian beberapa populasi jagung QPM Kuning di Sambelia. Lombok Timur. MK. 2004 Nama Entry Populasi S00TLYQ – AB ACROS 8365 POZA RIZA 8365 TOMEGUIN 8565 POZA RIZA 8765 ACROSS 8765 GUIANIA 8765 IBOBERENDRA ACROSS 8666 POZA RIZA 8666 Kontrol Bisma Lamuru KK (%) BNT 5 %
Tinggi tan. (cm)
Tinggi Tkl (cm)
Umur berbunga (hari) Jantan
Betina
Jlh Tan. Panen
211,0 191,3 228,6 190,6 191,0 208,3 205,0 182,6 206,3 195,6
108,3 94,0 119,0 100,6 110,6 103,6 98,3 93,3 100,6 97,6
58,3 55,6 58,6 58,3 59,6 56,0 57,6 60,0 60,0 59,6
58,6 56,6 60,6 60,3 60,3 56,6 59,3 61,3 60,6 60,6
34,6 37,3 39,7 36,7 37,0 40,0 38,3 37,7 38,0 38,0
224,3 208,3 9,2 38,6
147,6 113,3 15,5 34,1
60,6 58,3 1,8 1,2
61,0 59,7 1,8 2,2
34,0 38,6 5,8 4,5
Sumber : Data primer
Dari pengamatan terhadap umur berbunga dari setiap populasi QPM kuning yang diuji menunjukkan bahwa selisih umur keluar bunga jantan dan betina adalah 1 – 2 hari, hal ini berarti bahwa keberhasilan perkawinan sangat tinggi. Kisaran umur berbunga jantan masing-masing 55,6 – 60,0 hari, sedang betina berkisar 56,6 – 61,3 hari. Umur berbunga tergolong normal dan dari semua populasi yang di uji, berumur relatif sama dengan varietas Lamuru dan Bisma. Rata-rata jumlah tanaman panen dalam dua baris tengah berkisar antara 34,6 – 40,0. Hal ini menunjukkan bahwa dari total jumlah tanaman, yang dapat di panen berkisar antara 86,5 – 100 %. Produktivitas jagung QPM kuning di Sambelia. MK. 2004
Produktivitas (t/ha)
7.4 7.2 7 6.8 6.6 6.4 6.2 6 5.8 5.6 S00TLYQ – Acros 8365 Poza Riza Across 8765 Guiania 8765 Across 8666 Poza Riza AB 8365 8666
Bisma
Lamuru
Entry Populasi Gambar 1. Rata-produktivitas jagung QPM kuning di Sambelia. MK. 2004
Di lokasi kajian, dari semua populasi QPM kuning yang diuji menunjukkan bahwa terdapat 7 populasi QPM kuning memberikan rata-rata produktivitas diatas 6 t/ha, relatif sama dengan varietas Bisma, namun masih lebih redah dibanding varietas Lamuru. Hasil analisis terhadap produktivitas menunjukkan bahwa populasi S00TLYQ – AB memberikan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
164
Seminar Nasional 2005 hasil yang lebih tinggi yaitu 6,75 t/ha dibanding populasi lainnya (Tabel 2; Gambar 1). Dari rata-rata hasil yang diperoleh di lokasi pengujian menunjukkan bahwa terdapat beberapa populasi QPM kuning yang berpotensi hasil tinggi dan dapat dikembangkan di NTB yaitu S00TLYQ – AB (6,75 t/ha), POZA RIZA 8365 (6,63 t/ha), ACROSS 8765 (6,54 t/ha), POZA RIZA 8666 (6,32 t/ha) dan ACROS 8365 (6,29 t/ha). Dari rata-rata jumlah tanaman yang dipanen dapat menghasilkan tongkol berkisar 35,3 – 42,3. Hal ini berarti terdapat beberapa tanaman yang dapat menghasilkan tongkol lebih dari 1 (Tabel 2). Penilaian terhadap aspek tanaman menunjukkan bahwa dari populasi jagung QPM kuning yang diuji, penampilan tanaman relatif baik yang ditandai dengan tanaman tegap, relatif seragam, relatif sedikit batang yang condong dan serangan hama dan penyakit tergolong rendah. Sementara penilaian terhadap aspek tongkol menunjukkan bahwa rata-rata dari populasi jagung yang diuji tergolong baik yang ditandai dengan panjang dan lingkar tongkol yang relatif seragam dan kerusakan hama dan penyakit hampir tidak ditemukan. Sedangkan penilaian terhadap aspek kelobot menunjukkan bahwa semua populasi yang diuji tergolong mempunayi kelobot yang relatif baik, dimana sebagian besar kelobot dapat menutup rapat dengan baik. Tabel 2. Rata-rata jumlah tongkol panen, aspek tanaman, aspek kelobot, aspek tongkol dan produktivitas pada beberapa populasi jagung QPM di Sambelia Kec. Sambelia. Lombok Timur. MK. 2004 Nama Entry Populasi S00TLYQ – AB ACROS 8365 POZA RIZA 8365 TOMEGUIN 8565 POZA RIZA 8765 ACROSS 8765 GUIANIA 8765 IBOBERENDRA ACROSS 8666 POZA RIZA 8666 Kontrol Bisma Lamuru KK (%) BNT 5 %
Jlh Tkl panen
Aspek tanaman
Aspek kelobot
Aspek tongkol
Produktivitas (t/ha)
38,6 38,6 40,6 37,3 39,0 39,3 39,6 35,3 42,3 36,3
1,0 1,3 1,0 1,3 1,6 1,3 1,3 1,0 1,0 1,6
1,0 2,0 2,0 1,3 1,6 1,6 1,3 1,6 1,0 1,3
2,3 2,0 2,0 1,6 2,0 1,3 1,6 1,6 1,6 1,6
6,75 6,29 6,63 5,51 5,79 6,54 6,27 5,67 6,27 6,32
37,0 39,0 5,1 4,1
1,3 1,0 36,1 tn
1,0 1,0 38,3 tn
1,0 1,6 37,0 tn
6,79 7,24 9,4 1,2
Sumber : Data primer
Hasil pengamatan secara visual terhadap serangan penyakit di lokasi pengujian, didapatkan 2 jenis penyakit yang dominan yaitu karat daun (Pucinia sp) dan hawar daun (Helminthosporium maydiz), namun intensitas serangan tergolong rendah. Sedang hama yang menyerang adalah penggerek batang (Ostrinia furnacalis), dengan tingkat serangan tergolong rendah. KESIMPULAN 1. Terdapat 5 populasi QPM kuning memberikan hasil yang relatif sama dengan varietas pembanding. Populasi S89TLYQ (F/D) dapat mencapai produktivitas yang lebih tinggi yaitu 6,75 t/ha dibanding populasi lainnya. 2. Terdapat beberapa populasi QPM kuning yang dapat beradaptasi dengan baik dan berpotensi hasil tinggi dan dapat dikembangkan di NTB yaitu S00TLYQ – AB (6,75 t/ha), POZA RIZA 8365 (6,63 t/ha), ACROSS 8765 (6,54 t/ha), POZA RIZA 8666 (6,32 t/ha) dan ACROS 8365 (6,29 t/ha). 3. Untuk melihat konsistensi hasil dari populasi jagung QPM yang diuji, diperlukan kajian pada lokasi dan musim yang berbeda.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
165
Seminar Nasional 2005 DAFTAR PUSTAKA CIMMYT. 1994. World Maize Facts and Trends. Maize Seed Industries. Emerging Roles of the Publics and Private Sectors. Kasim, F. 2003. Jagung bermutu protein tinggi ” Langkah awal penelitian dan prospek pengembangan”. Makalah disampaikan pada Seminar Review Ilmiah sebagai salah satu syarat untuk pengusulan kenaikan pangkat PNS dari IV b ke IVc. di Balitsereal. Maros. 21 Maret 2003 Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia selama Empat dekade yang lalu dan Implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan paada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Di Bogor, 24 Juni 2002. Badan Libang Pertanian Nugraha, U.S., Sunbandi, dan A. Hasanuddin. 2002. Perkembangan teknologi budidaya dan industri benih jagung. dalam Kasryno et al., (eds) Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Deptan. p. 37 – 72. Pingali, P,L, and S, Pandey. 2001. Meeting World Maize Needs: Technological Opportunities and Priorities for the Public Sector. Dalam: Pingali. P.B. (Ed.) Meeting World Maize Needs: Technological Opportunities and Priorities for the Public Sector. Salam Wahid, A., Dj. Baco, S. Saenong, O. Suherman dan Firdaus Kasim. 2002. Uji Adaptasi Jagung QPM Hibrida dan Populasi Bersari Bebas asal CIMMYT. Laporan Penelitian. Disajikan sebagai seminar mingguan di Balit Sereal. Maros. Sulsel. Subandi, I. Manwan, and A. Blumenshein. 1988. National Coordinate Research Program: Corn. Central Research Institute for Food Crops. Agency for Res. and Dev. Dep. of Agric. Indonesia.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
166
Seminar Nasional 2005 PERANAN KASCING DAN INOKULASI JAMUR MIKORIZA TERHADAP SERAPAN HARA TANAMAN JAGUNG Sinwin, R.M1. , Mulyati 2, dan Lolita, E.S2 1 Alumni Fakultas Pertanian UNRAM 2 Staf Pengajar Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNRAM
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kascing dan inokulasi cendawan mikoriza vesikular arbukular (MVA) terhadap status hara nitrogen (N) dan fosfor (P) serta serapannya pada tanaman jagung. Penelitian dilakukan di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas delapan kombinasi perlakuan pemberian kascing dan inokulasi MVA dengan tiga ulangan. Perlakuan tersebut terdiri atas: P 1 (kontrol); P2 (tanpa kascing dan 10 g pot-1 MVA); P3 (50 g pot-1 kascing dan tanpa inokulasi MVA); P4 (50 g pot-1 kascing dan 10 g pot-1 MVA); P5 (100 g pot-1 kascing dan tanpa MVA); P6 (100 g pot-1 kascing dan 10 g pot-1 MVA); P7 (150 g pot-1 kascing dan tanpa MVA) dan P8 (150 g pot-1 kascing dan 10 g pot-1 MVA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kascing dan iniokulasi MVA memberikan kontribusi yang nyata terhadap serapan hara N dan P tanaman jagung. Serapan tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan 100 g pot -1 kascing dan 10 g pot-1 inokulasi MVA. Dibandingkan dengan kontrol, kontribusi pemberian kascing dan MVA pada perlakuan tersebut mampu meningkatkan serapan N sebesar 112,2% dan serapan P sebesar 60,9%. Kata kunci : kascing, inokulasi, mikoriza, nitrogen, fosfor.
PENDAHULUAN Jagung (Zea mays) merupakan tanaman pangan yang seringkali dijadikan sebagai pengganti beras, karena biji jagung mempunyai nili gizi tinggi antara lain mengandung karbohidrat 77%, protein 10%, dan zat lainnya 0,4% (AAK, 1993). Oleh karena itu, dalam rangka memenuhi kebutuhan jagung sebagai tanaman pangan diperlukan upaya peningkatan produksi baik melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi pertanian. Di dalam tanah terutama tanah-tanah yang diusahakan secara intensif seperti jenis Entisol mempunyai kadar unsur hara esensial yang rendah, terutama unsur hara nitrogen (N), sedangkan fosfor (P), dan kalium (K) yang cukup, namun belum tersedia bagi tanaman, sehingga perlu penambahan unsur hara melalui pemupukan (Darmawijaya, 1992). Penambahan pupuk yang hanya menitikberatkan pada penggunaan pupuk anorganik semata tidak hanya menyebabkan peningkatan produksi tanaman tetapi juga menimbulkan dampak negatif terhadap tanah karena dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan seperti terjadinya penuruan kualitas air dan tanah serta terjadinya pemborosan energi (Simarmata, 2002). Untuk mengatasi masalah tersebut, perbaikan kesuburan tanah banyak dilakukan dengan jalan menambahkan bahan pupuk baik organik maupun anorganik yang bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman secara optimal. Namun penambahan bahan pupuk ini haruslah dalam keadaan yang seimbang karena kelebihan maupun kekurangan pupuk dapat mengganggu serapan hara dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Tisdale et al.,1985). Dewasa ini, pemanfaatan pupuk organik atau yang dikenal dengan istilah pertanian alami (back to nature farming) dan pupuk hayati banyak dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan pupuk anorganik sekaligus untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan pupuk anorganik yang beranalisis tinggi. Salah satu pupuk organik yang banyak digunakan adalah pupuk kascing. Kascing merupakan pupuk organik yang dihasilkan dari proses pencernaan dalam tubuh cacing dan dibuang sebagai kotoran cacing yang telah terfermentasi (Mashur, 2001). Kascing ini memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan pupuk organik lain, karena
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
167
Seminar Nasional 2005 kascing kaya akan unsur hara makro dan mikro esensial serta mengandung hormon tumbuh tanaman seperti auksin, giberelin dan sitokinin yang mutlak dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman yang maksimal (Marsono dan Sigit, 2001). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kascing dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman hortikultura, seperti jagung manis, mentimun, dan melon, dan untuk padi (Mulat, 2003). Selain itu, penggunaan pupuk hayati atau “biofertilizers” yang bertumpu pada penggunaan organisme tanah yang ramah lingkungan juga banyak mendapat perhatian (Sharma et al., 2004). Salah satu jamur yang dapat digunakan dan efektif dalam memenuhi kebutuhan unsur hara bagi tanaman adalah mikoriza. Mikoriza adalah merupakan suatu hubungan simbiosis mutualisme antara jamur yang dapat bersimbiosis antara jamur (mykes) dan akar (rhiza) tanaman tingkat tinggi (Bethlenfalvay et al., 1991; Sieverding, 1991). Marshner dan Dell (1994) menyatakan bahwa MVA mempunyai peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan jalan meningkatkan serapan hara melalui memperluas permukaan area serapan. Selain itu MVA dapat melindungi akar tanaman dari serangan patogen yang menyebabkan penyakit-penyakit terbawa tanah atau Soil-born Diseases (Perrin, 1990), juga dapat meningkatkan resistensi tanaman terhadap kekeringan (Auge and Stodola, 1990), dan mampu meningkatkan serapan hara N, P, K dan berat berangkasan tanaman jagung (Niswati dkk., 1996). Lebih lanjut hasil penelitian Simarmata (2005) menunjukkan bahwa pemanfaatan MVA dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman tomat. Untuk tanaman hortikultura seperti sayur-sayuran, buah-buahan, tanaman hias inokulasi dengan jamur MVA dapat meningkatkan kualitas bibit yang dipindahtanamkan (transplanted crops) (Chang, 1994). Atas dasar uraian-uraian tersebut diharapkan pemberian kascing pada berbagai takaran yang dikombinasikan dengan inokulasi mikoriza dapat mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik dan sekaligus dapat meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara N dan P pada tanaman jagung telah dilaksanakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian kascing dan inokulasi cendawan MVA terhadap status hara N dan P serta serapannya pada tanaman jagung. BAHAN DAN METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan percobaan pot menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas delapan kombinasi perlakuan yang tersusun atas empat aras pemberian pupuk kascing dan yang dikombinasikan dua aras inokulasi dengan cendawan mikoriza (MVA): P1 (kontrol = tanpa kascing dan tanpa MVA); P 2 (tanpa kascing dan 10 g pot-1 MVA); P3 (50 g pot-1 kascing dan tanpa MVA); P4 (50 g pot-1 kascing dan 10 g pot-1 MVA); P5 (100 g pot-1 kascing dan tanpa MVA); P6 (100 g pot-1 kascing dan 10 g pot-1 MVA); P7 (150 g pot-1 kascing dan tanpa MVA); dan P8 (150 g pot-1 kascing dan 10 g pot-1 MVA). Jenis tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis tanah Entisol yang diambil dari lahan persawahan petani di Lombok Timur. Kemudian disterilkan dengan menggunakan autoklaf pada temperatur 121 °C. Kascing yang digunakan adalah kascing dengan sumber pakannya dari kotoran sapi dan mikoriza diperoleh dari PAU Bioteknologi IPB Bogor dengan densitas 30 spora g -1. Tanah dan kascing yang digunakan dalam percobaan dianalisis untuk mengetahui beberapa sifat kimianya. Benih yang digunakan adalah benih jagung varietas Hibrida-Pioneer. Setiap pot percobaan diisi dengan tanah sebanyak 5 kg kering angin dan diberi pupuk dasar urea, SP-36 dan KCl sebagai pupuk dasar, kemudian dicampur dengan kascing dan mikoriza sesuai perlakuan. Masing-masing pot ditanam dengan empat benih jagung, dan penjarangan dilakukan pada saat tanaman berumur tujuh hari setelah tanam (hst) dengan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
168
Seminar Nasional 2005 meninggalkan dua tanaman yang sehat. Penyiraman dilakukan setiap hari sampai mencapai kapasitas lapang dan pemanenan dilakukan pada fase vegetatif maksimum, yang ditandai dengan munculnya bunga jantan. Parameter yang diamati adalah pertumbuhan tanaman yang meliputi kadar N dan P di dalam jaringan tanaman (Cottenie, et al., 1982). Perhitungan serapan N dan P dilakukan dengan cara mengalikan kadar N dan/atau P jaringan dengan berat kering berangkasan tanaman. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam pada taraf nyata 5 persen dan dilakukan uji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf nyata 5 persen. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis awal tanah dan kascing yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Lampiran 1. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa kascing mempunyai sifat-sifat kimia yang lebih unggul jika dibandingkan dengan tanah. Hal ini dapat dilihat dari sifat-sifat kimia tanah dan kascing seperti kandungan unsur hara N dan P didalam kascing lebih tinggi, begitu pula dengan C-organik dan bahan organik tanah. Atas dasar sifat-sifat kascing tersebut dapat diharapkan pemberian kascing ini dapat meningkatkan status hara N dan P dan serapannya untuk tanaman jagung. Analisis sidik ragam pengaruh pemberian kascing dan inokulasi MVA terhadap status hara N dan P disajikan pada Table 1 di bawah: Tabel 1.
Pengaruh pemberian kascing dan inokulasi mikoriza terhadap status hara N dan P (%) pada tanaman jagung. Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
Kadar N (%) 0,383 d 0,490 bc 0,613 ab 0,560 b 0,547 b 0,697 a 0,533 b 0,573 b
Kadar P (%) 0,113 b 0,137 b 0,113 ab 0,140 ab 0,133 ab 0,143 a 0,120 ab 0,133 ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama di dalam kolom tidak berbeda menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5 %.
Dari Tabel 1 tersebut terlihat bahwa pengaruh pemberian kascing dan inokulasi MVA memberikan pengaruh yang nyata terhadap status N dan P di dalam jaringan tanaman jagung. Peningkatan takaran kascing dan inokulasi MVA mampu meningkatkan status N dalam tanaman. Perlakuan P6 yaitu kombinasi perlakuan 100 g pot-1 kascing dan 10 g pot-1 jamur MVA memberikan status N dalam jaringan tanaman tertinggi, sedangkan peningkatan takaran kascing menjadi 150 g pot-1 justru menyebabkan status N menjadi turun. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kandungan hara di dalam tanah sebagai akibat kontribusi takaran kascing yang diberikan. Perbedaan kandungan N dan P di dalam tanah menyebabkan tanaman jagung menyerap hara N dan P dalam jumlah yang berbeda pula, yang pada gilirannya juga berpengaruh terhadap status N dan P dalam tanaman, akibatnya memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Pemberian kascing dan inokulasi MVA terhadap serapan hara N dan P pada tanaman jagung dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Dari Tebel 2 terlihat bahwa pengaruh kombinasi perlakuan kascing dan inokulasi jamur MVA menunjukkan perbedaan yang nyata antar perlakuan. Serapan terendah diperoleh pada perlakuan P 1 dan tertinggi diperoleh pada perlakuan P6 yaitu perlakuan yang diberi 100 g pot-1 kascing dan 10 g pot-1 MVA, hal ini disebabkan oleh pada perlakuan P1 ini tidak diberikan kascing maupun mikoriza, sehingga
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
169
Seminar Nasional 2005 suplai hara untuk mendukung pertumbuhan tidak memadai, sedangkan perlakuan P 6 memiliki komposisi hara yang berimbang karena mendapat suplai hara terutama N dan P dari pupuk kascing yang diberikan sehingga mampu menyediakan hara N dan P yang dapat diserap oleh tanaman jagung. Tabel 2. Pengaruh pemberian kascing dan inokulasi mikoriza terhadap serapan hara N dan P (g -1 tan ). Serapan N (g tan-1)
Perlakuan P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8
Serapan P (g tan-1)
30,16 a 40,26 bc 49,40 b 52,31 b 47,36 bc 74,22 c 50,27 b 55,44 b
8,35 a 8,71 a 9,27 ab 11,30 bc 11,52 bc 14,70 d 12,87 c 12,77 cd
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama di dalam kolom tidak berbeda menurut uji jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5 %.
90 M0
Serapan N (mg tan-1 )
80
M1
70 60 50 40 30 20 10 0 0
50
100
150
Takaran kascing (g pot -1 )
Gambar 1. Serapan N tanaman jagung pada berbagai takaran kascing yang diinokulasi dengan dan tanpa mikoriza.
90
Serapan P (mg tan-1 )
80
M0
M1
70 60 50 40 30 20 10 0 0
50
100
150 -1
Takaran kascing (g pot )
Gambar 2. Serapan P tanaman jagung pada berbagai takaran kascing yang diinokulasi dengan dan tanpa mikoriza.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
170
Seminar Nasional 2005 Tabel 2 juga menunjukkan bahwa peningkatan serapan N akibat pemberian kascing dan inokulasi MVA berkisar antara 33,8 dan 146,8 %, sedangkan serapan P berkisar antara 15,1 dan 76,1 %. Serapan N (Gambar 1) dan P (Gambar 2) ini meningkat secara signifikan jika pemberian kascing dikombinasikan dengan MVA jika dibandingkan dengan yang tanpa inokulasi MVA. Nilai serapan N dan P terendah diperoleh pada perlakuan kontrol, dan tertinggi diperoleh pada pemberian kascing 100 g pot-1 dan 10 g pot-1 MVA. Ada indikasi yang menunjukkan bahwa peningkatan serapan P disebabkan oleh kemampuan jamur MVA untuk memperluas permukaan area serapan melalui hifa-hifa eksternalnya yang berasosiasi dengan akar tanaman inangnya, sehingga tanaman dapat menyerap air dan unsur hara dari daerah non-rhizosfir(Marshner and Dell, 1994). Sesungguhnya, peran MVA dalam meningkatkan penyerapan air, dan unsure hara terutama P, transpirasi dan fotosintesis dari tanaman inang mempunyai kaitan yang erat dengan pembentukan polifosfat pada hifa sehingga dapat mempertahankan internal P yang rendah (low internal phosphate) atau mengurangi kebutuhan eksternal P (Chang, 1994). Jamur MVA ini ternyata juga mampu menghasilkan enzim ekstraseluler asam fosfatase yang dapat mengkalisis pelepasan P dari kompleks organik di dalam tanah menjadi bentuk P anorganik (tersedia) bagi tanaman, sehingga dapat diserap dengan mudah hifa eksternal dari MVA dan selanjutnya ditransfer ke tanaman inang (jagung) melalui akar yang terinfeksi (Jakobsen and Rosendahl, 1990; Marshner and Dell, 1994). Adanya kemampuan jamur MVA yang dapat mentransfer karbon dan unsur hara N dan P merupakan bukti bahwa jamur MVA ini mempunyai peranan yang strategis dalam meningkatkan serapan hara, pertumbuhan dan hasil tanaman (Margono dan Sigit, 2001). Penggunaan P anorganik menjadi lebih efisien karena ekternal P yang diberikan hanya dimanfaatkan dalam jumlah kecil (Mulyati dan Sinwin, 2004). Unsur hara yang dibutuhkan diperoleh dari hifa-hifanya yang mampu menjelajahi daerah non-rhizosfer, disamping itu tanaman menjadi lebih mampu bertahan dalam kondisi internal P yang rendah. Hasil yang diperoleh ini sesuai dengan pernyataan Bolan (1991) bahwa pemberian jamur MVA dapat meningkatkan serapan P pada tanah-tanah yang kahat P. Fenomena ini mengindikasikan bahwa aktivitas MVA pada tanaman dengan takaran P rendah jauh lebih efektif jika dibandingkan dengan takaran P tinggi. Hal ini diduga berkaitan erat dengan hasil metabolisme akar tanaman yang menghasilkan eksudat dan senyawa-senyawa organik di sekitar daerah perakaran (rizosfer = rhizosphere), yang berfungsi dalam mengubah unsurunsur yang tidak tersedia menjadi yang tersedia bagi tanaman (Marschner, 2002). Nampaknya pemberian kascing mempunyai pengaruh yang sinergisme dengan jamur MVA. 250 M0
M1
Tinggi tanaman (cm)
200
150
100
50
0 0
50
100
150
Takaran kascing (g pot -1 )
Gambar 3. Pengaruh pemberian kascing dan inokulasi dengan atau tanpa mikoriza terhadap tinggi tanaman (cm).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
171
Seminar Nasional 2005
Berat kering pucuk (g tan-1 )
60 M0
M1
50 40 30 20 10 0 0
50
100
150 -1
Takaran kascing (g pot )
Gambar 4. Pengaruh pemberian kascing dan inokulasi dengan atau tanpa mikoriza terhadap berat kering pucuk (g tan-1).
Peningkatan status hara dan serapan hara juga mencerminkan respon tanaman jagung terhadap pemberian kascing dan inokulasi MVA ini seiring dengan peningkatan pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman (Gambar 3), dan berat kering tanaman (Gambar 4). Tinggi tanaman maksimum diperoleh pada kombinasi perlakuan P 6 atau pemberian kascing 100 g pot-1 dan dengan inokulasi MVA 10 g pot-1 yaitu 192 cm dan terendah diperoleh pada perlakuan kontrol yaitu 142 cm (Gambar 3). Berat kering pucuk tertinggi dan terendah juga diperoleh pada perlakuan yang sama dengan tinggi tanaman (Gambar 4). Kenyataan ini mengindikasikan bahwa peningkatan tinggi tanaman seiring dengan peningkatan berat kering pucuk. Namun peningkatan takaran kascing dari 100 g pot -1 menjadi 150 g pot-1 tidak meningkatkan tinggi tanaman maupun berat kering pucuk. Dengan demikian perbedaan pertumbuhan tanaman dalam hal tinggi dan berat kering pucuk berkaitan erat dengan ketersediaan hara N dan P dalam tanah yang merupakan kontribusi dari pemberian kascing dan MVA . Kascing sebagai pupuk organik merupakan sumber unsur hara makro dan mikro, yang dalam proses penguraiannya terus melepaskan unsur hara ke dalam larutan tanah (Murbandono, 2001). Selain itu keunggulan kascing dibandingkan dengan pupuk organik lain adalah kandungan hormon tumbuh seperti auksin, giberelin dan sitokinin yang mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman (Marsono dan Sigit, 2001; Mulat, 2003). Fenomena ini didukung oleh pernyataan Lakitan (1995) yang menyatakan bahwa unsur hara yang diserap tanaman akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan berat berangkasan kering tanaman. Lebih lanjut Lambers et al. (1998) mengungkapkan bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh proses fisiologi seperti jumlah karbohidrat, protein, lemak, hormon tumbuh, vitamin dan mineral yang ada dalam tubuh tanaman yang dapat mendukung berlangsungnya proses-proses fisiologi untuk pembelahan sel, pembesaran sel dan diferensiasi sel. Dengan demikian temuan ini mengindikasikan bahwa pemberian kascing menjadi lebih bermakna jika dikombinasikan dengan MVA. KESIMPULAN DAN SARAN Atas dasar hasil dan analisis hasil serta pembahasan yang terbatas pada ruang lingkup penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa kascing dan iniokulasi MVA memberikan kontribusi yang nyata terhadap status hara dan serapannya oleh tanaman jagung. Kontribusi pemberian kascing dan MVA pada percobaan tersebut mampu meningkatkan serapan N sebesar 112,2% dan serapan P sebesar 60,9%.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
172
Seminar Nasional 2005 Pemberian kascing yang dikombinasikan dengan inokulasi MVA mampu menyerap N dan P yang lebih tinggi daripada yang tidak diinokulasi. Status hara N dan P serta serapannya tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuan 100 g pot -1 kascing dan 10 g pot-1 inokulasi MVA, dan terendah pada perlakuan kontrol. Untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil tanaman yang lebih baik disarankan agar pemberian kascing dan jamur MVA dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam budidaya tanaman jagung khususnya, dan tanaman lain pada umunya. Selain itu, aplikasi kascing dan jamur mikoriza ini terutama diharapkan dapat mengoptimalisasikan pemanfaatan lahanlahan marginal dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik atau buatan. DAFTAR PUSTAKA AAK, 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung.Kanisius. Yogyakarta. Auge, R.M. and A.J.W. Stadola. 1990. An apparent Increase in Symplastic in Water Contributes to Greater Turgor in Mycorrhizal Roots of Droughted Rosa Plants. New Phytol. 115, 285-295. Bethlenfalvay, G.J., M.G. Reyes-Solis, S.B. Camel and R. Ferrera-Cerrato. 1991. Nutrient transfer Between The Root Zones of Soybean and Maize plants Connected By a Common Mycorrhizal Mycelium. Physiol. Plant. 82, 423-432. Bolan, N.S. 1991. A Critical Review of The Role of Mycorrhizal Fungi in The Uptake of Pfosphorus by Plants. Plant Soil. 134, 189-207. Chang, D.C.N., 1994. What is The Potential for Mangement of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizae in Hoticulture? In Management of Mycorrhizas in Agriculture, Horticulture and Forestry. Eds. A.D. Robson, L.K. Abbott and N. Malajczuk. Kluwer Academic Publishers. 187 – 190 pp. The Netherland. Cottenie, A., M. Verloo, L. Kiekens., G. Velghe and R. Camerlynck. 1982. Chemical Analysis of Plants and Soil. Laboratory of Analytical and Agrochemistry. State University Ghent. Belgium. Darmawijaya, M.I. 1992. Klasifikasi Tanah. Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah Pelaksanaan Pertanian di Indonesia. Fakultas Pertanian. UGM. Yogyakarta.
dan
Jakobsen, I. And L. Rosendahl. 1990. Carbon Flow Into Soil and External Hyphae From Roots of Mycorrhizal Cucumber Plants. New Phytol. 115, 77-83. Lakitan, B. 1995. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Lambers, H., F.S. Chapin and T.L. Pons. 1998. Plant Fisiological Ecological. SpringerVerlag. New York. Marschner, H. 2002. Mineral Nutrition of Higher Plants. Fifth printing. Academic Press. London. UK. Marschner, H. And B. Dell. 1994. Nutrient Uptake in Mycorrhiza Symbiosis. Plant Soil. 159: 89-102. Marsono dan P. Sigit, 2001. Pupuk Akar, Jenis dan Aplikasinya. Penebar Swadaya. Jakarta. Mashur, 2001. Kajian Perbaikan Teknologi Budidaya Cacing Tanah Eisenia foetida Savigny Untuk Meningkatkan Produksi Biomassa dan Kualitas Eksmecat Dengan Memanfaatkan Limbah Organik Sebagai Media. Tesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mulat, T., 2003. Membuat dan Memanfaatkan Kascing Agromedia Pustaka. Jakarta.
Pupuk Organik Berkualitas.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
173
Seminar Nasional 2005 Mulyati dan Sinwin, M. 2004. Kontribusi pemanfaatan pupuk organik kascing dan pupuk hayati terhadap pertumbuhan dan serapan fosfor pada tanaman jagung. Prosiding Seminar Nasional “ Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal Melalui Innovasi Teknologi Tepat Guna”. Mataram, 31 Agustus - 1 September 2004. pp. 85-92. Murbandono, HS.L. 2001. Membuat Kompos. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. Niswati, A., S.G. Nugroho, M. Utomo dan Suryadi, 1996. Pemanfaatan Mikoriza Vesikular Arbuskular Untuk Mengatasi Pertumbuhan Jagung Akibat Cekaman Kekeringan. Junal Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. No.3 Lampung. Perrin, R. 1990. Interactions Between Mycorrhizae and Deseases Caused by Soil-born Fungi. Soil Use Manag. 6, 189-195. Sharma, R.A. Totawat, K.L. Maloo, S.R. and Somani, L.L. 2004. Biofertilizers technology. Udaipur, Agrotech Publishing Academy. ISBN 979-98255-0-4. Sieverding, E., 1991. Vesicular-Arbuscular Mycorrhiza Management in Tropical Agrosystem. Technical Cooperation Federal Republic of Germany. Simarmata, T. 2002. Integrated Ecological Farming System for a sustainable Agricultural Practices in Indonesia. In T. Sembiring and D. Prinz (eds.). Sustainable Resources Development & Management. LIPI, Bandung. Simarmata, T. 2005. Kontribusi Cendawan Mikoriza Arbuskula dan Kompos Dalam Meningkatkan Hasil Tanaman Tomat (Lycopersicum esculentum Mill) pada Inceptisols. Agroteksos 14 (4) : 233 – 238. Mataram. Tisdale, S., W. Nelson, and J.D. Beaton, 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Fourth Edition. Collier Mc Millan Publishing Co. Inc. New York. 754 h.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
174
Seminar Nasional 2005 Lampiran 1. Beberapa Sifat Kimia Tanah dan Kascing Yang Digunakan Untuk Percobaan. Jenis Analisis pH-H2O C-organik (%) Bahan organik (%) N-total (%) Nibah C:N P-tersedia (mg kg-1)
Tanah
Kascing
6,68 0,68 1,17 0,10 6,80 9,31
6,11 13,21 22,78 0,70 18,96 12,45
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
175
Seminar Nasional 2005 RESPON PEMUPUKAN JAGUNG TERHADAP PUPK N, P DAN K PADA LAHAN KERING BERIKLIM KERING DI SAMBELIA, LOMBOK TIMUR Margaretha SL2), Ningsih W2), Subandi1), dan Zubachtiroddin 2) 1) Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia 2) Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Serealia
ABSTRAK Penelitian efisiensi pemupukan jagung pada lahan kering beriklim kering, dilaksanakan di Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur. NTB selama bulan Januari sampai bulan April 2004 pada lahan utisol dengan tekstur lempung berpasir yang kandungan N total rendah dan P sangat tinggi. Varietas yang digunakan adalah varietas Lamuru dengan susunan perlakuan: 1) cara petani (150 kg/ha urea dengan 2 kali pemberian), 2) NPK (350 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl), 3)Kotoran sapi 3 t/ha (aplikasi setempat menutup lubang tanam) + 175 kg/ha urea + 25 kg/ha SP36 + 25 kg/ha KCl, 4) Kotoran sapi 3 t/ha (aplikasi secara alur disamping lubang tanam) + 175 kg/ha urea + 25 kg/ha SP36 + 25 kg/ha KCl, 5) Kotoran sapi 1,5 t/ha (aplikasi setempat menutup lubang tanam) + 350 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ke 4 inovasi teknologi yang diteliti secara teknis dan ekonomis sudah efisien (>100%) serta memberi hasil dan keuntungan yang lebih tinggi dibanding cara petani, namun pemupukan dengan cara petani yakni 300 kg/ha urea yang diberikan 2 kali secara tugal, lebih layak dipertahankan karena dari ke 4 inovasi teknologi yang diteliti secara ekonomi tidak layak diterapkan sebab memiliki nilai B/C ratio < 0, bahkan ada yang negatif. Kata Kunci: Jagung, layak, tidak layak, ultisol, tekstur lempung berpasir
PENDAHULUAN Tanaman jagung untuk dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal memerlukan cukup hara utamanya N, P, dan K. Jagung membutuhkan pupuk nitrogen terbanyak setelah padi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tanpa pemberian pupuk nitrogen, tanaman jagung tidak akan mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Untuk mempertahankan kesuburan tanah yang cukup dan berimbang, diperlukan pemberian pupuk. Penggunaan pupuk organik akhir –akhir ini mulai dikembangkan dengan tujuan untuk mendaur ulang hasil sampingan pertanian ( kotoran sapi, ayam ). Selain harga pupuk anorganik semakin mahal juga ada pertimbangan sebagai konservasi lingkungan. Beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa pupuk kandang selain berfungsi sebagai sumber hara, juga dapat untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah (Malherbe 1994; Sanchez, 1976). Hasil penelitian Lund dan Doss (1980) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik yang tinggi dapat meningkatkan pH tanah, kandungan Na, K, dan P serta kapasitas nilai tukar kation. Di Desa Sambelia, Kabupaten Lombok Timur, banyak dipelihara sapi, namun limbahnya belum dimanfaatkan. Petani yang mempunyai modal cukup, memupuk jagungnya dengan urea dua kali yaitu 150 kg urea/ha/aplikasi. Sedangkan bagi petani yang mempunyai modal kurang, hanya satu kali memupuk urea yaitu 150 kg/ha. Pemanfaatan pupuk kandang sapi pada pertanaman jagung yang dinilai dapat meningkatkan produksi jagung belum banyak dilakukan petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk kandang sapi yang ditambahkan pada pemberian pupuk anorganik (urea, SP36, dan KCl ) terhadap hasil dan keuntungan usahatani jagung.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
176
Seminar Nasional 2005 MATERI DAN METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Desa Sambelia, Kabupaten Lombok. NTB. Penanaman dilakukan pada bulan Januari dan panen pada bulan April 2004 dengan luasan 4,5 m x 6m, menggunakan varietas Lamuru dengan jarak tanam 75 x 40 cm, 2 biji/lubang tanam. Jenis tanah tempat percobaan adalah Ultisol dengan tekstur lempung berdebu. Adapun perlakuan pemupukan sebagai bahan inovasi teknologi bagi masyarakat tani, dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Susunan perlakuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : SUSUNAN PERLAKUAN Jenis Dan Dosis Pupuk
Aplikasi Pemupukan
350 kg urea/ha (Cara petani) 350 kg urea /ha+ 50 kg SP36/ha 3 t/ha kotoran sapi + 175 kg urea/ha ) 25 kg SP36/ha + 25 kg KCl/ha 3 t/ha kotoran sapi + 175 kg urea/ha ) 25 kg SP36/ha + 25 kg KCl/ha 1,5 t/ha kotoran sapi + 175 kg urea/ha ) 25 kg SP36/ha + 25 kg KCl/ha
Tugal Tugal Aplikasi setempat menutup lubang tanam Aplikasi secara alur disamping lubang tanam Aplikasi setempat menutup lubang tanam
NB : Faktor lain dianggap sama (Citeris paribus)
Data yang diperlukan adalah: Jumlah/dosis dari masing-masing pupuk (t; kg), harga dari masing-masing jenis pupuk (Rp/kg) , produksi jagung pipilan dari masing-masing perlakuan selanjutnya dikonversi ke ha (t/ha) dan harga jagung (Rp/kg). Selanjutnya data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis Input – Output (Keuntungan) , R/C ratio, B/C ratio (1978) dan efisiensi teknis dan ekonomis dari masing-masing perlakuan (Soeharjo dan Dahlan Patong, 1978; Cramer andJensen, 1979; NTASP, 1987) ) dengan rumus sebagai berikut: 1) Analisis Input-Output/Keuntungan k
n
Xi.Pxi
Yi . Pyi i 1
i 1
2) Analisis R/Cratio k
Yi.Pyi i 1
R/C = n
Xi.Pxi i 1 k
Yi i 1
3) Analisis Efisiensi Teknis :
100% n
Xi i 1 k
Yi.Pyi i 1
4) Analisis Efisiensi Ekonomis :
100% n
Xi.Pxi i 1
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
177
Seminar Nasional 2005 5) Analisis B/Cratio k
DYi.Pyi i 1
B/C = n
DXi.Pxi i 1
Dimana: = П = Yi = DYi = Py = Xi = DXi = Pxi = i….n = i….k =
Sigma (jumlah) Keuntungan Produksi fisik sesudah pemakaian teknologi baru Tambahan salah satu produksi fisik sesudah pemakaian teknologi baru Harga salah satu produk persatuan fisik yang diterima oleh petani Macam input dalam satuan fisik Penambahan salah satu macam input dalam satuan fisik Harga salah satu satuan input x yang digunakan Banyaknya jenis input yang ditambahkan penggunaannya Banyaknya jenis manfaat/keuntungan yang diperoleh. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada umumnya, teknologi baru diciptakan untuk mengganti teknologi lama yang selama ini dilaksanakan petani. Dengan demikian teknologi baru itu harus menunjukkan potensi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan teknologi lama. Potensi itu harus dapat diperlihatkan secara ekonomi menguntungkan, sebelum petani sendiri dapat menilainya menurut kondisi usahataninya. Apabila usahatani telah menggunakan teknologi baru, maka perhitungan biaya dan tambahan hasil diperoleh karena penggunaan pupuk tersebut menjadi pusat perhatian petani. Penelitian pemupukan jagung di Desa Sambelia, Kabupaten Lombok Timur. Propinsi Nusa Tenggara Barat, memperlihatkan bahwa pemberian pupuk kotoran sapi 1,5 t/ha + 350 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl dengan cara aplikasi setempat menutup lubang tanah memberi hasil yang tertinggi yakni 6,29 t/ha disusul pemberian pupuk 350 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl yakni 6,23 t/ha (Tabel 2 dan Gambar 1). 7000
6230
6000
5870
6290 5590
5040 5000 4000 3225
3000
Hasil Pupuk
3225
2000
1725
1000 450
300
0 1
2
3
4
5
Gambar 1. Hubungan dosis pupuk dan hasil jagung di DesaSambelia, Kab. Lombok Timur. NTB.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
178
Seminar Nasional 2005
Tabel 2. Jenis, dosis, cara aplikasi pemupukan, rendemen tongkol, bobot 100 biji dan hasil pipilan kering di Desa Sambelia Kabupaten Lombok Timur, NTB, 2004. Aplikasi Pemupukan
Jenis dan Dosis Pupuk
Rendemen tongkol kelobot/tongkol kupasan (%)
Bobot 100 biji (gram)
Hasil Tongkol Segar (t/ha)
300 kg urea/ha (Cara petani)
Tugal
83
27,7
5,04
350 kg urea /ha+ 50 kg SP36/ha
Tugal
84
28,8
6,23
3 t/ha kotoran sapi + 175 kg urea/ha + 25 kg SP36/ha + 25 kg KCl/ha
Aplikasi setempat menutup lubang tanam
85
28,1
5,87
3 t/ha kotoran sapi + 175 kg urea/ha + 25 kg SP36/ha + 25 kg KCl/ha
Aplikasi secara alur disamping lubang tanam
86
28,6
5,59
1,5 t/ha kotoran sapi + 175 kg urea/ha + 25 kg SP36/ha + 25 kg KCl/ha
Aplikasi setempat menutup lubang tanam
87
29,4
6,29
NB : Faktor lain dianggap sama (Citeris paribus)
Dari Tabel 2, terlihat bahwa inovasi teknologi pupuk memberi peningkatan tidak saja pada hasil pipilan kering jagung tapi juga pada rendemen tongkol dan bobot 100 biji pada semua inovasi teknologi, terutama pada pemberian pupuk 1,5 t/ha kotoran sapi + 175 kg/ha urea + 25 kg/ha SP36 + 25 kg/ha KCl yang diaplikasikan setempat menutup lubang tanam, memberi peningkatan sebesar 4%, 1,7 gr dan 1,25 t/ha masing-masing untuk rendemen tongkol klobot/tongkol kupas, bobot 100 biji dan hasil pipilan kering terhadap pemupukan dengan cara petani. Yasin et al (1997) serta Erdiman dan Syafei (1994) mengemukakan bahwa pengaruh inkubasi TSP dengan bahan organik dan kapur dapat meningkatkan efisiensi penyerapan P dan hasil biji. Namun apakah dengan penambahan 1,5 t/ha pupuk kotoran sapi + 125 kg/ha urea + 25 kg/ha SP36 + 25 kg/ha KCl memberi keuntungan secara finansial kepada petani, dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 2.
Pupuk
Keuntungan
Biaya
3000000
1000000 861250
2500000
822500
861250
800000
2362700
2322500
2000000
2073750
700000 600000
1933750
1500000
900000
500000
522500
400000 1000000 500000 0
300000
Biaya (Rp/ha)
Keuntungan (Rp/ha)
2592500
200000
157300 300
450
1
2
3225
3225
3
4
1725
100000 0
5
Dosis Pupuk (kg/ha) Gambar 2. Hubungan dosis pupuk dengan biaya dan keuntungan pemupukan jagung di Desa Sambelia, Kabupaten Lombok Timur. NTB. 2004
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
179
Seminar Nasional 2005 Penambahan 1,5 t/ha pupuk kotoran sapi + 125 kg/ha urea + 25 kg/ha SP36 + 25 kg/ha KCl (Tabel 3) ternyata tidak memberi keuntungan tertinggi secara finansial. Secara finansial, keuntungan tertinggi diperoleh pada pemberian 350 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl sebesar Rp 3.410.500 yang diberikan secara tugal. Disusul dengan cara petani dengan pemberian 300 kg/ha urea yang diberikan secara tugal dengan jumlah biaya Rp 157.300/ha. Penambahan 50 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl dapat meningkatkan keuntungan sebesar Rp 229.800/ha dibanding dengan pemberian pupuk cara petani (300 kg/ha urea diberikan 2 kali secara tugal). Tabel 3. Jenis, dosis, cara aplikasi pemupukan, rendemen tongkol, bobot 100 biji dan hasil pipilan kering di Desa Sambelia Kabupaten Lombok Timur, NTB, 2004. Penerimaan (Rp/ha)
Biaya Produksi (Rp/ha)
Keuntungan (Rp/ha)
MRR
2.520.000
157.300
2.362.700
-
3.115.000
522.500
2.592.500
229.800
3 /ha kotoran sapi + 175 kg Aplikasi setempat urea/ha + 25 kg SP36/ha + 25 kg menutup lubang KCl/ha tanam
2.935.000
861.250
2.073.750
-288.950
3 /ha kotoran sapi + 175 kg Aplikasi secara alur urea/ha + 25 kg SP36/ha + 25 kg disamping lubang KCl/ha tanam
2.795.000
861.250
1.933.750
-428.950
1,5 t/ha kotoran sapi + 175 kg Aplikasi setempat urea/ha + 25 kg SP36/ha + 25 kg menutup lubang KCl/ha tanam
3.145.000
822.500
2.322.500
-40.200
Jenis dan Dosis Pupuk
Aplikasi Pemupukan
300 kg urea/ha (Cara petani)
Tugal
350 kg urea /ha+ 50 kg SP36/ha + 50 kg KCl
Tugal
Sumber: data primer, setelah diolah, 2004 Keterangan: 1) Harga pupuk urea : Rp 1.050/kg 2) Harga pupuk SP36 : Rp 1.300/kg 3) Harga pupuk KCl : Rp 1.800/kg 4) Harga pupuk kandang : Rp 10.000/karung (50 kg) 5) Harga jagung : Rp 50.000/kw glondongan (Tongkol segar) 6) Faktor lain dianggap sama (Citeris paribus) 7) MRR = Marginal Rate Return
Dari hasil yang ditunjukkan Tabel 3, juga menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kotoran sapi yang dikombinasikan dengan urea, SP36 dan KCl dalam berbagai dosis dan cara aplikasi belum diperlukan. Hal ini antara lain disebabkan karena kandungan N Total dalam tanah yang rendah dan kandungan p sedang (Tabel 4), dapat dipenuhi dengan memberikan 350 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl yang diaplikasikan secara tugal dan memberikan 300 kg/ha urea yang diberikan 2 kali secara tugal atau dengan kata lain pemberian pupuk an organik masih lebih menguntungkan dari pada pupuk organik. Hal ini sejalan dengan Nanny R et al (2002) dan Roslina et al (2001) yang menyatakan bahwa penambahan nitrogen berpengaruh positif dengan hasil biji. Namun apakah inovasi teknologi pupuk dengan pemberian 350 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl layak diadopsi petani, dapat dilihat pada Tabel 5.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
180
Seminar Nasional 2005 Tabel 4. Sifat fisik dan kimia tanah di Desa Sambelia Kabupaten Lombok Timur, NTB, 2004 . Sifat Fisik dan Kimia Tekstur Liat (%) Debu (%) Pasir (%)
Nilai
Kriteria
20 54 26
Lempung Berdebu
7.5 6.3 1.70 0.13 8
Netral Rendah Rendah Rendah
37.38
Sedang
3.89 22.83 2.17 1.13 35.66 84
Sedang Sangat Tinggi Tinggi Sangat Tinggi Tinggi Sangat Tinggi
PH Air (1:2,5) KCl (1:2,5) Bahan Organik (%) N Total (%) C/N P Olsen (ppm) Kation dapat tukar (me/100g) K Ca Mg Na KTK (me/100 g) Kejenuhan Basa Sumber. Laboratorium Tanah Balitsereal. 2004
Tabel 5. Analisis R/C, B/C dan Efisiensi teknis serta ekonomi terhadap jenis dan dosis serta aplikasi pemupukan jagung di Desa Sambelia Kabupaten Lombok Timur, NTB, 2004. Jenis dan Dosis Pupuk 300 kg urea/ha (Cara petani) 350 kg urea /ha + 50 kg SP36/ha + 50 kg/ha KCl 3 t/ha kotoran sapi + 175 kg urea/ha + 25 kg SP36/ha + 25 kg KCl/ha 3 t/ha kotoran sapi + 175 kg urea/ha + 25 kg SP36/ha + 25 kg KCl/ha 1,5 t/ha kotoran sapi + 175 kg urea/ha + 25 kg SP36/ha + 25 kg KCl/ha
Aplikasi Pemupukan Tugal Tugal Aplikasi setempat menutup lubang tanam Aplikasi secara alur disamping lubang tanam Aplikasi setempat menutup lubang tanam
Biaya/kg hasil (Rp/kg)
R/C ratio
32
16,02
84
Efisiensi Ekonomis
B/C ratio
1680
1602
-
6,04
1384
596
0,62
147
3,41
182
341
-0,41
154
3,24
173
329
-0,61
131
3,82
365
382
-0,06
Teknis
Sumber: data primer, setelah diolah, 2004 Keterangan: 1). Harga pupuk urea : Rp 1.050/kg 2). Harga pupuk SP36 : Rp 1.300/kg 3). Harga pupuk KCl : Rp 1.800/kg 4). Harga pupuk kandang : Rp 10.000/karung (50 kg) 5) Harga jagung : Rp 50.000/kw glondongan 6) Faktor lain dianggap sama (Citeris paribus)
Tabel 5 menunjukkan bahwa semua perlakuan pemupukan yang diteliti sudah efisen baik secara ekonomis maupun teknis. Hal ini ditunjukkan dari nilai R/Cratio >1 dan nilai efisensi > 100%, namun pemupukan jagung dengan cara petani yaitu pemberian 300 kg/ha urea yang diaplikasikan 2 kali secara tugal lebih efisien karena memiliki nilai R/Cratio yang lebih tinggi yakni 16,02 yang berarti bahwa setiap penambahan biaya Rp 1, akan meningkatkan keuntungan sebesar Rp 16,02 dan layak dipertahankan karena dari ke 4 inovasi teknologi pemupukan yang diuji tidak ada yang layak untuk disarankan pengadopsiannya pada petani sebab memiliki nilai B/Cratio < 1 bahkan ada yang negatif.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
181
Seminar Nasional 2005 KESIMPULAN 1. Pemberian pupuk kotoran sapi 1,5 t/ha + 350 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl dengan cara aplikasi setempat menutup lubang tanah memberi hasil yang tertinggi yakni 6,29 t/ha disusul pemberian pupuk 350 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl yakni 6,23 t/ha tongkol segar. 2. Pemberian pupuk 1,5 t/ha kotoran sapi + 350 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCL yang diaplikasikan setempat menutup lubang tanam, memberi peningkatan sebesar 4%, 1,7 gr dan 1,25 t/ha tongkol segar, masing-masing untuk rendemen tongkol klobot/tongkol kupas, bobot 100 biji dan hasil pipilan kering lebih tinggi dibanding cara petani. 3. Penambahan 50 kg/ha urea + 50 kg/ha SP36 + 50 kg/ha KCl dapat meningkatkan keuntungan sebesar Rp 229.800/ha dibanding dengan pemberian pupuk cara petani (300 kg/ha urea diberikan 2 kali secara tugal). 4. Penggunaan pupuk kotoran sapi yang dikombinasikan dengan urea, SP36 dan KCl dalam berbagai dosis dan cara aplikasi belum diperlukan. Hal ini antara lain disebabkan karena kandungan N Total dalam tanah yang rendah dan kandungan p sedang 5. Efisiensi pemupukan jagung dudah dicapai ke 5 perlakuan pemupukan yang diuji karena memiliki nilai R/Cratio > 1 dan nilai efisien > 100%, namun efisiensi tertinggi diperoleh dari pemupukan dengan cara petani yanitu pemberian pupuk urea 300 kg/ha yang diberikan 2 kali secara tugal. 6. Berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha (B/C ratio), ternyata cara petani dengan pemberian 300 kg/ha pupuk urea yang diberikan 2 kali layak dipertahankan penggunaannya sedang ke 4 inovasi teknologi yang diteliti tidak layak diadopsi karena memiliki nilai B/Cratio < 0 bahkan negatif DAFTAR PUSTAKA Cramer, G. L., and Jensen, G.W. 1979. Agricultural Economics and Agribusiness: an Introduction. John Wiley & Son. New York. Erdiman dan Syafei. 1994. Pengaruh inkubasi pospat ( TSP ) dengan bahan organic dan kapur terhadap pertumbuhan dan produksi jagung ( Zea maize L ) Pada lahan tanah pmk Sitiung p. 67 – 76 dalam : Risalah seminar Balai Penelitian Tanaman pangan Sukaramai vol 5. Nany Riani, Roslina Amir dan E.O. Mouat, 2001. Pengaruh berbagai takaran nitrogen terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung hibrida bersari bebas. Risalah penelitian jagung dan serealia lain. Vol 5 : 21 – 26 Nusa Tenggara Agricultural Support Projrct. 1987. Latihan Penelitian Sosial Ekonomi Pola Usahatani. Nusa Tenggara Agricultural Support Project. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerjasama dengan Agricultural Economics Departement. International Rice Research Institute. Roslina A, Ningsih w., A.F. Fadhly dan E.O. Mouat 2001. Pengaruh populasi tanaman dan berbagai pupuk nitrogen terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Risalah penelitian jagung dan serealia lain. Vol 5 : 26 – 29. Lund, F. Z. And B.D. Doss. 1980. Residual effect of dairy cattle manurea on plant grouth and soil properties. Agron. J. 72 : 123 - 130 Mengel,K. And E.A. Kirkby.1979. Principles of Plant Nutrition. 2nd. Edition. International Potash Institute. Switzerland. P. 319 – 328.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
182
Seminar Nasional 2005 Malherbe I., 1964 . Soil fertility, 5th Edition Oxford unior. Press. Ney York . 295 p. Sanchez, P. A. 1976. Properties and management of soil in the tropics. John Wiley and Sons. Ney York. 618 p. Soeharjo dan Dahlan Patong, 1978. Dasar-dasar Analisis Usahatani. Lephas. Unhas. Ujung Pandang. Yasin. S., Zulma Fatmawita dan N. Hakim. 1997. Teknologi inkubasi Tsp dengan pupuk kandang untuk meningkatkan efisiensi pemupukan jagung pada tanah masam. Stigma vol. V No. 1 : 129 – 135.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
183
Seminar Nasional 2005 RASIONALISASI PEMUPUKAN N, P, DAN K UNTUK TANAMAN JAGUNG PADA LAHAN KERING BERIKLIM KERING DI LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT Zubachtirodin1), Agustina Buntan1), Sania Saenong1), Subandi1) dan Awaluddin Hipi 2) 1) Peneliti Balai Penelitian Tanaman Serealia 2) Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB ABSTRAK Penelitian untuk mengkaji rasionalisasi pemupukan N, P, dan K untuk tanaman jagung pada lahan kering beriklim kering di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Percobaan dilaksanakan pada musim hujan 2003/2004 sejak Desember 2003 hingga Maret 2004, yang bertujuan untuk mengetahui kebutuhan pupuk N, P, dan K untuk tanaman jagung pada lahan kering beriklim kering. Percobaan terdiri atas empat perlakuan dan enam ulangan yang disusun dalam rancangan acak kelompok. Tanah di lokasi percobaan adalah Inceptisol, dengan kandungan hara P, K, Ca, Mg, dan Na serta kejenuhan basa sangat tinggi, N-total dan kandungan bahan organik rendah. Jagung varietas Lamuru ditanam pada petak berukuran 4,5 m x 6 m dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm, 2 tanaman per rumpun. Hasil percobaan menunjukkan bahwa hasil jagung pipilan kering meningkat 53,4 persen dengan penggunaan N, sedangkan sumbangan P dan K masing-masing hanya meningkat sebesar 0,79 persen dan 1,3 persen. Kata kunci : pupuk N, P, K, inceptisol, jagung
PENDAHULUAN Kebutuhan jagung terus meningkat baik untuk pangan, pakan maupun industri dan belum dapat diimbangi dengan produksi dalam negeri, sehingga pemerintah harus mengimpor jagung untuk memenuhi kebutuhan tersebut (Suhariyanto, 2001). Upaya peningkatan produksi jagung di dalam negeri diarahkan pada pemanfaatan lahan marginal karena terbatasnya lahan subur. Kendala yang umum dijumpai pada lahan marginal antara lain rendahnya kesuburan tanah dan tanaman sering mengalami kekeringan. Peningkatan produktivitas lahan secara efisien sangat diperlukan. Unsur hara N, P, dan K merupakan unsur hara makro esensial bagi kebanyakan tanaman sehingga ketersediaannya di dalam tanah mutlak diperlukan. Unsur hara N, P, dan K serta unsur hara lainnya, diserap oleh akar tanaman dalam bentuk ion yang terlarut dalam larutan tanah dan yang berada dalam kompleks pertukaran atau yang berada dalam keadaan tertukar. Unsur hara dalam bentuk terlarut maupun tertukar, keduanya sama penting bagi tanaman dan harus bersentuhan dengan permukaan akar. Peluang peningkatan produksi jagung di NTB di lahan kering cukup besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan pupuk N, P, dan K untuk pertanaman jagung pada lahan kering beriklim kering. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada lahan kering beriklim kering, di desa Sambelia Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, sejak Desember 2003 hingga Maret 2004. Jagung varietas Lamuru ditanam 2 biji per lubang dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm pada petak berukuran 4,5 m x 6 m sehingga setiap petak terdapat 90 rumpun tanaman. Pemupukan urea dengan takaran 350 kg/ha diberikan 3 kali yaitu: 100 kg urea/ha diberikan pada umur 7 hari setelah tumbuh (hst), 150 kg urea/ha diberikan pada umur tanaman 30 hst, dan 100 kg urea/ha diberikan pada saat tanaman berumur 45 hst. SP36 dan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
184
Seminar Nasional 2005 KCl masing-masing dengan takaran 50 kg/ha diberikan pada saat tanaman berumur 7 hst (bersamaan dengan pemberian urea pertama). Percobaan dirancang dengan rancangan acak kelompok, dengan 6 ulangan. Perlakuan yang diuji adalah NPK, NP, NK, dan PK. Untuk mengetahui kebutuhan N, P, dan K tanah, dilakukan analisis tanah sebelum percobaan dengan metode Kjeldahl untuk N, Olsen untuk P, dan Ammonium Acetat pH 7 untuk K. Selain itu dilakukan juga analisis N, P, K jaringan tanaman pada umur 35 hst untuk mengetahui serapan hara tanaman jagung. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (analysis of variance) dan uji lanjut dengan BNJ pada taraf kepercayaan 5%. Data yang dianalisis adalah tinggi tanaman umur 30 hst, 45 hst, dan 60 hst, bobot berangkasan kering, bobot biji jagung pipilan kering, panjang tongkol dan diameter tongkol. HASIL DAN PEMBAHASAN Status Hara Tanah Tanah percobaan di Desa Sambelia, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dapat diklasifikasikan ke dalam ordo tanah inceptisol. Tanah inceptisol menurut Soepraptohardjo dalam Sarwono (1989) merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada Entisol. Jenis tanah ini umumnya mempunyai tingkat kesuburan kimia yang cukup tinggi. Hal ini ditandai dengan derajat kemasaman tanah yang tegolong netral, pada pH tanah tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air. Kecuali N, tanah ini mengandung unsur hara P dan K sedang, dan kandungan Ca, Mg, Na serta kejenuhan basa dan KTK yang tinggi sampai sangat tinggi (Tabel 1). Tabel 1. Sifat fisik dan kimia tanah sebelum pelaksanaan percobaan di Sambelia, Lombok Timur, NTB. 2004. Jenis Penetapan
Nilai Penetapan
Tekstur Liat (%) Debu (%) Pasir (%) pH - Air (1 : 2,5) - KCl (1 :2,5) N-total (%) C/N P-Olsen (ppm) K (me/100g) Ca (me/100g) Mg (me/100g) Na (me/100g) KTK (me/100g) Kejenuhan Basa
Harkat Lempung berdebu
20 54 26 7,5 6,3 0,13 8,00 37,38 3,89 22,83 2,17 1,13 35,66 84
Netral Rendah Rendah Sedang Sedang Sangat tinggi Tinggi Sangat tinggi Tinggi Sangat tinggi
Sumber : Laboratorium Balitsereal, Maros 2004
Ketersediaan nitrogen di dalam tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah. Rendahnya nitrogen tersedia di dalam tanah terutama karena pengangkutan melalui panen yang berkali-kali dilakukan, sehingga menjadi faktor pembatas baik secara kualitatif maupun kuantitatif dari hasil produksi selanjutnya (Steven et al., 1982). Pertumbuhan Tanaman Jagung Pertumbuhan tanaman jagung dapat dicirikan antara lain oleh tinggi tanaman. Data tinggi tanaman disajikan pada Tabel 2. Tinggi tanaman pada 30 hst, 45 hst dan 60 hst sangat dipengaruhi oleh pemberian nitrogen, sedangkan fosfor dan kalium sangat kecil pengaruhnya. Gambar 1 menunjukkan bahwa pada umur 30 hst dengan pemberian N,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
185
Seminar Nasional 2005 penambahan tinggi tanaman 13,8 cm, sedangkan pemberian P dan K penambahan tinggi tanaman berturut-turut hanya 2,9 cm dan 4,02 cm. Pada umur 45 hst, penambahan tinggi tanaman dengan pemberian N adalah 68,87 cm, sedangkan pemberian P dan K berturut-turut hanya 7,52 cm dan 7,72 cm. Pada saat tanaman berbunga yaitu pada umur 60 hst pertambahan tinggi tanaman 49,03 cm dengan pemberian N dan hanya 6,00 cm dengan pemberian P serta 5,95 cm dengan pemberian K. Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman jagung saat umur 30 hst, 45 hst, dan 60 hst pada perlakuan pemberian pupuk N, P, dan K di lahan kering beriklim kering. Sambelia, Lombok Timur, 2004. Tinggi tanaman (cm)
Perlakuan NPK NP NK PK KK (%)
30 hst
45 hst
60 hst
72,2 c 69,7 b 70,8 b 59,9 a 3,2
177 c 170 b 171 b 130 a 1,8
199 c 193 b 193 b 150 a 1,6
Angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji DMRT
Pertambahan tinggi tanaman (cm)
80
60 Nitrogen Phosphor
40
Kalium
20
0 30 hst
45 hst
60 hst
Umur Tanaman (hari setelah tanam)
Gambar 1. Pengaruh pemberian N, P, dan K terhadap pertambahan tinggi tanaman jagung umur 30, 45, dan 60 hst pada lahan kering beriklim kering di Sambelia, Lombok Timur, NTB, 2004 .
Pemberian fosfor dan kalium kurang berpengaruh terhadap pertambahan tinggi tanaman karena kandungan P dan K dalam tanah dinilai masih mampu menunjang pertumbuhan tanaman berdasarkan hasil analisis tanah. Sarwono (1989) mengatakan bahwa unsur hara esensial antara lain N, P, dan K adalah unsur hara yang sangat diperlukan bagi tanaman, dan fungsinya dalam tanaman tidak dapat digantikan oleh unsur lain sehingga bila tidak terdapat dalam jumlah yang cukup di dalam tanah, tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal. Pada percobaan ini yang merupakan faktor pembatas adalah nitrogen, sedangkan P dan K cukup untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Hasil Tanaman Pola perubahan peubah hasil biji jagung pipilan kering (Tabel 4), sama seperti peubah tinggi tanaman. Tanpa pemberian N, hasil jagung pipilan kering rata-rata hanya mencapai 3,021 t/ha (perlakuan PK). Penambahan 350 kg urea pada perlakuan NPK memberi hasil sebesar 6,477 t/ha, sedangkan penambahan N tanpa P (pada perlakuan NK) dan penambahan N tanpa K (pada perlakuan NP) masing-masing memberi hasil sebesar
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
186
Seminar Nasional 2005 6,429 t/ha dan 6,394 t/ha. Ini berarti bahwa sumbangan karena penambahan N adalah terbesar yaitu dapat mencapai 53,4 persen (3,456 t/ha), sedangkan sumbangan P dan K masing-masing hanya sebesar 0,75 persen (0,048 t/ha) dan 1,3 persen terhadap hasil jagung pipilan kering (Gambar 2). Peningkatan Hasil (t/ha)
3,5 3 2,5 Nitrogen
2
Phosphor
1,5
Kalium
1 0,5 0 Jenis Pupuk
Gambar 2. Pengaruh pemberian N, P, dan K terhadap pertambahan hasil biji jagung kering pada lahan kering beriklim kering di Sambelia, Lombok Timur, NTB, 2004. Tabel 4. Rata-rata bobot biji jagung pipilan kering, panjang tongkol, dan diameter tongkol Perlakuan
Bobot biji pipilan kering (t/ha)*)
Panjang tongkol (cm)
Diameter tongkol (cm)
NPK NP NK PK KK %
6,477 b 6,394 b 6,429 b 3,021 a 9,8
16,02 b 15,53 b 15,32 b 10,79 a 4,0
4,84 b 4,81 b 4,79 b 4,31 a 1,9
Angka rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama, tidak berbeda pada taraf 5% uji DMR. *) Kadar air 15%
Pola perubahan peubah panjang tongkol dan diameter tongkol disebabkan oleh pemberian N, P, dan K, sama seperti peubah hasil biji pipilan kering, dimana penambahan panjang tongkol dengan diameter tongkol masing-masing sebesar 5,23 cm dan 0,53 cm dengan pemberian pupuk N. Pemberian pupuk P dan K pertambahan panjang tongkol hanya 0,70 cm dan 0,49 cm, sedangkan pertambahan diameter tongkol hanya masing-masing sebesar 0,05 cm dan 0,03 cm (Gambar 4). Analisis Jaringan N, P, dan K Analisis tanaman adalah didasarkan kepada asumsi bahwa jumlah unsur hara yang terdapat di dalam tanaman mempunyai hubungan dengan keadaan hara tanaman yang terdapat di dalam tanah. Jika dikaitkan dengan serapan hara (Tabel 5), kandungan P dan K tergolong cukup di dalam jaringan tanaman, sedangkan N rendah (Jones et al, 1991; Regis, 1996). Menurut Jones et al, semakin meningkat kematangan tanaman, konsentrasi Ca dan Mg meningkat sedangkan konsentrasi N dan P menurun. Steven, 1982 mengatakan pula bahwa, banyaknya N yang dapat diserap oleh tanaman setiap hari persatuan berat tanaman maksimum pada saat tanaman masih muda dan berangsur-angsur menurun dengan bertambahnya umur tanaman. Lebih lanjut dikatakan bahwa, faktor penting yang perlu diperhatikan dalam hubungan antara respon tanaman dengan dosis pupuk adalah pada tingkat mana terjadi akumulasi N pada tanaman. Pada tanaman jagung, akumulasi N terjadi pada pertumbuhan satu bulan setelah tumbuh.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
187
Seminar Nasional 2005 Tabel 5. Rata-rata serapan hara N, P, dan K dalam jaringan tanaman serta bobot kering jaringan umur 35 hst Serapan hara (%)
Perlakuan
Bobot kering jaringan (g)
N
P
K
NPK NP NK PK
44,31 34,16 36,14 10,92
1,166 0,970 0,882 0.290
0,213 0,0164 0,206 0,054
1,870 1,332 1,417 0,419
Sumber : Dianalisis di Laboratorium Balitsereal, Maros 2004
Analisis Tanah Sesudah Percobaan Unsur hara N, P, dan K serta pH tanah sedikit menurun sesudah percobaan (Tabel 6). Hal ini disebabkan, pH tanah dalam keadaan netral, sehingga hara-hara utamanya N, P, dan K mudah larut dan terserap oleh tanaman. Pertumbuhan tanaman yang sehat dicerminkan oleh status hara yang optimal, konsentrasi hara, serta besarnya serapan N, P, dan K dalam jaringan tanaman. Untuk mendapatkan hasil tanaman yang tinggi diperlukan jumlah hara yang cukup dan seimbang. Kandungan hara tanaman tergantung pada hara yang tersedia di dalam tanah, sifat fisik tanah dimana tanaman tumbuh, varietas, dan lingkungan (Regis, 1996). Berkurangnya hara N, P, dan K sesudah percobaan, karena terangkut oleh tanaman baik di dalam biji maupun serasah. Kehilangan Kalium akibat diangkut oleh tanaman adalah cukup besar, kadang-kadang tiga atau empat kali lebih tinggi dari fosfor dan kadangkadang menyamai nitrogen. Jumlah yang terangkut oleh tanaman sangat tergantung kepada jenis, umur, dan sifat tanaman itu sendiri (Tisdale and Nelson, 1985). Tabel 6. Hasil analisis tanah sesudah percobaan Perlakuan
pH air (1:2,5)
N-total (%)
P-Olsen (ppm)
K (me/100g)
NPK NP NK PK
6,84 6,20 6,20 6,93
0,09 0,10 0,10 0,08
22,81 16,53 22,13 15,90
2,72 2,44 2,37 2,29
Sumber : Dianalisis di Laboratorium Balitsereal, Maros 2004
KESIMPULAN Tanah inceptisol di lahan kering iklim kering, Lombok Timur, dengan kandungan nitrogen rendah masih cukup produktif untuk tanaman jagung, dengan pemupukan 350 kg urea + 50 kg SP36 + 50 kg KCl/ha, hasil jagung pipilan kering dapat dicapai 6,477 t/ha biji. DAFTAR PUSTAKA Benton Jones Jr. Benjamin Wolf, and Harry A. Mills, 1991. Plant Analysis Hand Book. Regis D. Voss. in William F. Bennett, 1996. Nutrient Deficiencies and Toxicities In Crop Plants. College of Agricultural Sciences and Natural Reseources Texas Tech University, Lubbock. Sarwono H., 1989. ilmu Tanah Stevenson , F.J., J.K. Bremmer, R.D. Hauck, and D.R. keeney. 1982. Agricultural Soils. ASA. Publishing, Inc. Madison, Wisc.
Nitrogen in
Suhariyanto, K. 2001. Policy analysis of maize in Indonesia; A, Summary. Fourth Annual meeting of the Asian Maize Social Sciences Working Group, held at Katmandu, Nepal, June 4 - 8, 2001. Tisdale,. S.L. W.L. Nelson and J.D. Beaton, 1985. Soil Fertility and Fertilizer. Fourth Edition Mac. Millan publ. co. Inc., New York.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
188
Seminar Nasional 2005 TEKNOLOGI PELARUTAN PUPUK N, P, DAN K PADA TANAMAN JAGUNG DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN Faesal dan Zubachtirodin Balai Penelitian Tanaman Serealia
ABSTRAK Penelitian dilaksanakan di Mandalle Pangkep Sulawesi Selatan pada Juli sampai Nopember 2004. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pelarutan pupuk N, P ,dan K terhadap pertumbuhan dan hasil jagung komposit (Lamuru, Sukmaraga dan Palakka) dengan frekwensi pengairan berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk dengan metode pelarutan urea, SP36 dan KCl kedalam air dengan perbandingan tertentu tidak memberikan perbedaan nyata dengan yang diberikan secara tugal terhadap pertumbuhan, biomas hasil samping dan hasil biji jagung Lamuru. Sukmaraga dan Palakka. Pemupukan dengan cara melarutkan urea, SP36 dan KCl dapat mengurangi frekuensi pengairan sampai 33 % dibandingkan cara ditugal. Kata kunci: Teknologi pelarutan pupuk, Jagung, Sawah tadah hujan
PENDAHULUAN Produksi jagung nasional sampai pada tahun 2004 belum mencukupi kebutuhan dalam negri sebagai bahan baku industri pakan ternak, sehingga Indonesia pada tahun 2001 harus mengimpor jagung sebanyak 1,5 juta ton (Deptan, 2002; Swastika et al. 2004), dan meningkat menjadi 2 juta ton pada tahun 2004 (Majalah Pangan, 2004). Ketergantungan Indonesia kepada produksi jagung dunia sangat memprihatinkan, oleh karena pada lima tahun terahir ini persediaan jagung dunia menurun disebabkan oleh karena Amerika Serikat sebagai produsen jagung utama menggunakan sebahagian besar produksinya untuk sumber energi dalam negri. Pada kondisi sulit seperti ini tidak ada pilihan Indonesia harus meningkatkan produksi jagung dalam negri, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Peningkatan produksi jagung melalui program ekstensifikasi masih memungkinkan melalui pemanfaatan lahan sawah tadah hujan sesudah tanam padi, dan lahan sawah tadah hujan di Sulawesi Selatan mencapai 24.665 ha (BPS, 2003). Peningkatan pendapatan petani jagung dapat pula dilakukan melalui intensifikasi yaitu budidaya jagung selain menghasilkan biji untuk untuk bahan baku industri pakan ternak unggas, dapat juga menghasilkan biomas daun di bawah tongkol yang diambil pada umur 45-60 hari setelah tanam dan atau bagian tanaman di atas tongkol yang dipotong pada umur 90 hari setelah tanam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jagung varietas Sukmaraga di lahan masam Kabupaten Tanah Laut Kalimantan selatan rata-rata 10 petani dapat menghasilkan biji jagung 5,9 t/ha, daun di bawah tongkol 4,0 t/ha, bagian tanaman di atas tongkol 6,8 t/ha dan klobot 1,9 t/ha (Subandi et al. 2004). Dibandingkan dengan petani padi sawah irrigáis di luar jawa seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, NTB, NTT, Maluku dan Papua yang menggarap lahan sekitar 0,7 sampai 1,0 ha pendapatan bersih permusim berkisar antara Rp. 1.500.000 – 2.500.000 (Karama, 2005), maka petani jagung lebih menguntungkan oleh karena selain menghasilkan biji jagung masih mendapat hasil samping berupa biomas yang mempunyai nilai ekonomi sebagai pakan ternak sapi. Bahan dan Metode Penelitian Penelitian ini di laksanakan pada lahan sawah tadah hujan di Mandalle Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Persiapan lahan dilakuan penyemprotan menggunakan Round up dengan dosis 2 l/ha. Penanaman dilaksanakan pada bulan Juli 2004 segera setelah padi dan di panen Nopember 2004. Tanah di lokasi penelitian ádalah jenis Vertisol dengan sifat fisik dan kimia tertera pada Tabel 1. Rancangan percobaan yang digunakan hádala rancangan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
189
Seminar Nasional 2005 acak kelompok dengan 4 pelakuan yaitu: 1) varietas Lamuru yang dipupuk 300 kg urea+ 200 kg SP36 + 100 kg KCl/ha yang dilarutkan dalam air, 2) Varietas Sukmaraga dipuk 300 kg urea + 200 kg SP36 + 100 kg KCl/ha dilarutkan dalam air, 3) Varietas Palakka dipupuk dengan 300 kg urea + 200 kg SP36 + 100 kg KCl/ha dilarutkan dalam air, 4) Varietas Lamuru dipupuk dengan 300 kg urea + 200 kg SP36 + 100 kg KCl/ha dengan cara ditugal kurang lebih 7 cm di samping tanaman ( control). Jagung yang digunakan adalah varietas Lamuru, Sukmaraga dan Palakka (varietas unggul komposit) ditanam pada petak percobaan yang berukuran 5 m x 4 m dengan jarak tanam 75 Cm x 20 cm satu tanaman perlubang. Pemupukan dilakukan tiga kali khusus pada perlakuan 1 sampai 4 dengan cara melarutkan pupuk urea, SP 36 dan KCl dalam air dengan perbandingan masing-masing 1 liter urea : 10 liter air, 1 liter SP36 : 2 liter air dan 1 liter KCl : 4 liter air. Diaplikasi dengan mencampur ketiga larutan yang telah dilarutkan secara terpisah kemudian disiramkan ke pangkal batang jagung sebanyak 1 gelas campuran larutan pupuk urea, SP36 dan KCl. Aplikasi larutan pupuk dilakukan tiga kali yaitu pada umur 7 hst, 30- hst dan 45 hst dimaksudkan untuk mengurangi ftekwensi penyiraman sehingga mengairi dengan menggunakan pompa dilakukan tiga kali sampai panen. Perlakuan no. 1 sampai no. 3 diairi 4 kali (40, 55, 70 dan 85 hst), sedangkan perlakuan no. 4 disiram 6 kali ( 10, 25, 40, 55, 70, dan 85 hst). Pemupukan dengan cara ditugal dilakukan penyiraman 6 kali sampai panen Pada perlakuan nomor 4 dengan dosis pupuk yang sama dilakukan secara tugal kurang lebih 7 cm di samping tanaman lalu ditutup dengan tanah. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiangan, penyiraman serta pengendalian hama penyakit dilakukan sesuai petunjuk teknis budidaya jagung. Pengamatan yang dilakukan meliputi: 1) analisis tanah sebelum penelitian; 2) tinggi tanaman pada umur saat panen; 3) tinggi tongkol saat pada panen; 4) bobot biomas (bobot daun) di bawah tongkol pada 60 hst dan bobot bagian tanaman di atas tongkol, klobot serta janggel; 5) hasil biji kering pada kadar air 14% Hasil dan Pembahasan Hasil analisis tanah sebelum pelaksanaan penelitian menunjukkan bahwa tanah di lokasi penelitian tergolong subur ditandai oleh berapa sifat fisik dan kimia meliputi tekstur liat (clay), agak masam dengan kandungan bahan organik tinggi, basa-basa yang dapat dipertukarkan sedang sampai sangat tinggi, dan untuk lebih jelas dapat di lihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat fisik dan kimia tanah Vertisol, Mandalle Pangkep (Sulawesi Selatan), 2005 Penetapan
Nilai
Kriteria
Tekstur Liat (%) Debu (%) Pasir (%) pH H2O (1:2,5) pH KCl (1:2,5) Bahan Organik (%) N total (%) C/N P2O5 (Olsen) K (me/100 g) Ca (me/100 g) Mg (me/100 g) Na (me/100 g) Al dd (me/100 g) H+ KTK(me/100 g) Kejenuhan Al (%) Kejenuhan basa(%)
70 29 1 5,9 5,1 3,18 0,20 15,1 29,0 0,35 40,65 4,07 0,52 0 0,07 62,5 73
Clay
Agak masam Tinggi Rendah Tinggi Tinggi rendah Sangat tinggi Tinggi Sedang
Sangat tinggi Sangat tinggi
Dianalisis di Laboratorium tanah Balitsereal Juni 2004
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
190
Seminar Nasional 2005 Pada Tabel 2 menunjukkan bahwa tinggi tanaman saat panen varietas Sukmaraga memberikan tinggi tanaman paling tinggi dan berbeda nyata dengan varietas Lamuru, Palakka begitu pula berbeda dengan varietas Lamuru yang dipupuk secara tugal sebagai kontrol. Varietas Sukmaraga cenderung memberikan tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan Lamuru, Palakka dan Lamuru (kontrol). Hasil biji pipilan kering tertinggi diperoleh varietas Lamuru yang dipupuk secara tugal ( 6,01 t/ha), namun tidak berbeda nyata dengan varietas Sukmaraga, Palakka maupun Lamuru yang digunakan sebagai kontrol. Pengairan pada cara pemupukan dengan melarutkan urea, SP36, KCl memberikan hasil biji dan biomas sebagai hasil samping tidak berbeda nyata cara ditugal dengan perbandingan 6:4, berarti memeupuk dengan cara pelarutan mengurangi pengairan sampai 33% dibandingkan cara ditugal. Tabel 2. Tinggi tanaman dan tinggi tongkol saat panen serta hasil biji pipilan kering Mandalle Pangkep (Sulawesi Selatan) 2004. Varietas dan Cara aplikasi pupuk Lamuru + Larutan NPK Sukmaraga+ Larutan NPK Palakka + Larutan NPK Lamuru + NPK ditugal KK
Tinggi Tanaman (Cm) 240,0 a 271,7 b 243,0 a 250,3 b 4,7
Tinggi tongkol (Cm) 110,0 tn 115,3 110,3 112,6 11,0
Hasil biji (t/ha) 5,42 tn 5.63 5,33 6,01 9,2
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5% NPK (300 kg urea, 200 kg SP36, 100 kg KCl/ha), tn = tidak nyata
Budidaya jagung akhir-akhir ini tidak hanya untuk menghasilkan biji, tetapi juga menghasilkan produk samping berupa daun di bawah tongkol, bagian tanaman di atas tongkol, klobot sebagai pakan ternak sapi Di lahan sawah tadah hujan seperti di Mandalle kabupaten Pangkep rata-rata petani mempunyai 2 ekor sapi dan ketersediaan pakan menjadi masalah penting terutama di musim kemarau atau stelah tanam padi rendengan lahan sawah diberokan, jumlah sapi potong di Sulawesi Selatan pada tahun 2003 mencapai 751.300 ekor (BPS, 2003). Pada Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil samping berupa daun di bawah tongkol, bagian tanaman dia atas tongkol serta klobot pada varietas Lamuru, Sukmaraga dan Palakka yang dipupuk dengan cara pelarutan atau penyiraman tidak berbeda nyata dengan cara ditugal. Tabel 3. Bobot daun di Bawah Tongkol dan Bagian Tanaman di Atas Tongkol, Mandalle Pangkep (Sulawesi Selatan) 2004 Varietas dan cara aplikasi pupuk Lamuru + Larutan NPK Sukmaraga+ Larutan NPK Palakka + Larutan NPK Lamuru + NPK ditugal KK
Bobot daun segar di bawah tongkol (t/ha)
Bagian tanaman di atas tongkol (t/ha)
Bobot klobot (t/ha)
3,37 a 4,63 b 3,46 a 4,52 b 6,0
6,70 tn 6,85 6,55 6,60 7,1
1,51 ab 1,63 b 1,45 a 1,55 ab 5,7
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT 5% NPK (300 kg urea, 200 kg SP36, 100 kg KCl/ha), tn = tidak nyata
Pada varietas Lamuru yang dipupuk urea, Sp36 dan KCl tanpa dilarutkan dalam air (ditugal disamping tanaman) memberikan bobot daun segar di bawah tongkol lebih tinggi dan berbeda nyata dengan pemupukan cara dilarutkan dalam air. Fenomena ini memberi indikasi bahwa untuk menghasilkan biomas daun segar di bawah tongkol pemupukan dengan cara ditugal lebih baik dibandingkan pumupukan yang dilarutkan dalam air kemudian disiramkan ke batang bagian bawah tanaman jagung. Hal ini terjadi di diduga karna pupuk yang dilarutkan terutama Nitrogen (urea) lebih cepat hilang dari zone perakara dan urea pril tidak bertahan lebih dari dua minggu di dalam tanah kemudian berubah menjadi NH3, NH4 atau N2 yang mudah hilang melalui pencucian atau penguapan, sedangkan tanaman jagung menyerap nitrogen dalam jumlah banyak dari tanah pada V6 dan serapan maksimun terjadi sebelum silking (Ma* et al. 2003). Kehilangan nitrogen yang lebih cepat ditunjukkan oleh
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
191
Seminar Nasional 2005 bobot bagian tanaman di atas tongkol ketiga varietas tidak berbeda secara nyata dan hal ini menunjukkan kondisi keharaan tanah cukup. Reuter et al 1986 Dalam Reuter dan Robinson (1986) menyatakan konsentrasi hara yang cukup dalam tanah tidak meningkatkan atau menurunkan pertumbuhan atau hasil tanaman, meskipun konsentrasinya berubah. KESIMPULAN 1. Pemupukan urea, SP36 dan KCl dengan cara ditugal atau di larutkan dalam air kemudian disiramkan tidak menghasilkan biji dan bobot bagian atas tanaman jagung Lamuru, Sukmaraga, dan Palakka yang berbeda. 2. Bobot daun segar di bawah tongkol varietas Sukmaraga yang dipupuk urea, SP36 dan KCl dengan cara dilarutkan dalam air menghasilkan biomas daun segar di bawah tongkol yang tidak berbeda nyata dengan Lamuru dipupuk urea, SP36 dan KCl dengan cara ditugal. 3. Pemupukan dengan cara melarutkan urea, SP36 dan KCl dalam air mengurangi pengairan sampai 33% dibandingkan dengan cara ditugal. DAFTAR PUSTAKA BPS. 2004. Sulawesi Selatan dalam Angka 2003. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Selatan. BPS. 2004. Statistik Indonesia 2003. Statistical Year book of Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia. Deptan. 2002. Agribisnis Jagung Informasi dan Peluang. Pestival jagung pangan pokok alternatif. Istana Bogor, 26-27 April 2002. Karama, A. S. 2005. Peran HKTI dalam pemberdayaan petani. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dan Ekspose Hasil Penelitian. Akselerasi Inovasi Teknologi Spesifik Lokasi Menuju Pertanian Berkelanjutan. Kerjasama BPTP Sulawesi Tenggara dengan Dewan Riset Daerah Propinsi Sulawesi Tenggara. Majalah Pangan. 2004. Inovatif, Lugas dan Akurat, Seputar dunia Pangan. Vol. 1 No. 9 15 Juli -14 Agustus 2004. Reuter , D. J. and J. B. Robinson. 1986. Plant Analysis An Interpretation Manual. Intaka Press, Melborne. P.1-37 Subandi, S. Saenong, Zubachtirodin, A. Najamuddin, Margaretha, I. U. Firmansyah, A. Buntan, N. Widyati, Awaluddin, dan Rosita. 2004. Laporan Akhir. Peningkatan produktivitas tanaman jagung pada wilayah pengembangan melalui pengelolaan tanaman terpadu. Proyek/Bagian Proyek Pengkajian Teknology Pertanian Partisipatif. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Swastika, D. K. S. , F. Kasim, W. Sudana, R. Hendrayana, K. Suhariyanto, R. V. Gervacio and P. L. Pingali. 2004. Maize in Indonesia. Production System, Constrain and Research Priorities. Mexico, D. F. Cimmyt. 40 p. Ma*, B. L., K. D. Subedi and C. Costa. 2003. Comperison of crop based indicator of soil nitrate test for corn nitrogen management. Agron. J. 97(2):462-471
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
192
Seminar Nasional 2005 HASIL HASIL TEKNOLOGI PENGELOLAAN HAMA KUMBANG BUBUK Sitophilus zeamais Motch (COLEOPTERA:CURCULIONIDAE) PADA TANAMAN JAGUNG M.Sudjak Saenong1 dan Awaludin Hipi2 Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serelia Lain 2) Balai Penelitian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat 1)
ABSTRAK Rekayasa teknologi yang dihasilkan dalam bentuk hasil hasil penelitian mengenai pengelolaan hama kumbang bubuk sudah cukup banyak. Pendekatan melalui kajian varietas seperti perakitan varietas tahan, upaya pengujian varietas melalui kajian tekanan serangga, kajian preferensi makan, kajian pengaruh kadar air awal, mekanisme resistensi dan kajian-kajian lain yang berkaitan dengan interaksi serangga dengan lingkungan sekitar. Tulisan ini memuat kajian pustaka hasil-hasil penelitian hama Kumbang Bubuk Sitophilus zeamais Motsch pada tanaman jagung dan sorgum. Diharapkan kajian pustaka teknologi tersebut dapat menjadi acuan dalam mendukung upaya-upaya pengedalian hama kumbang bubuk. Kata kunci :Hama, kumbang bubuk, rekayasa teknologi, jagung
PENDAHULUAN Hama kumbang Sitophilus zeamais Motsch (Coleoptera:Curculionidae) merupakan salah satu hama penting yang dominan menyerang biji jagung dan sorgum pada periode penyimpanan (Rejesus,1981; ICRISAT,1988). Hama ini menyerang dengan merusak biji, menggerek dan melubangi biji dan meninggalkan sisa-sisa gerekan berupakan bubuk (Melchor,1981; Mangundihardjo,1978). Penurunan berat akibat serangan hama ini sangat drastis (Morallo dan Javier,1980). FAO (1977) melaporkan bahwa kehilangan hasil akibat infestasi hama ini dapat mencapai 9,6-20,2% pada periode penyimpanan. Sidik (1979) mencatat rekor 22% pada periode 6 bulan, sedangkan Husain (1982) mencatat rekor 14,8% pada periode 3 bulan. Kehilangan hasil secara nasional berkisar antara 0,5-2% dari total produksi tiap tahunnya (Sidik et. al., 1985). Hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan hama kumbang bubuk pada komiditi jagung dan sorgum sudah cukup banyak. Akan tetapi upaya pemanfaatannya masih belum nampak, padahal hasil-hasil tersebut mempunyai muatan informasi yang penting dalam merangcang strategi pengendalian. Oleh sebab itu, makalah ini mencoba melakukan telaah hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan teknologi yang berbasis pada kajian genotipe tanaman dan teknologi yang berkaitan dengan hubungan serangga dengan lingkungan (fenotipe). HASIL TEKNOLOGI YANG MENDUKUNG Komoditi Jagung 1. Pembentukan Galur/Famili Yang Tahan Perbaikan genotipe tanaman jagung terhadap ketahanan kumbang bubuk Sitophilus zeamais dilakukan dengan dua metode yaitu seleksi S1 dan seleksi saudara kandung. Populasi dasar MCA, MCF dan P31 asal dari Balittan Malang yang merupakan hasil studi heritabilitas memperlihatkan bahwa ketahanan biji terhadap kumbang bubuk disebabkan oleh faktor genetik. Galur/famili saudara kandung yang tahan hama kumbang selanjutnya disilang diri (selfing) dan persilangan antara dua tanaman, baik dalam maupun antar famili (full-sib). Hasilnya adalah berupa benih dalam bentuk galur/famili baru yang mengandung sifat tahan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
193
Seminar Nasional 2005 hama kumbang bubuk untuk disaring kembali dan dilakukan seleksi ulang pada silkus berikutnya. Hasilnya, sebanyak 141 galur diperuntukkan sebagai bahan seleksi S1 dengan karakter tanaman umur keluar rambut 53-64 hari, umur panen 93-105 hari, tinggi tanaman 110-169 cm dengan ukuran biji kecil dari tipe semi mutiara hingga mutiara, dan sebanyak 314 famili merupakan bahan seleksi saudara kandung. Famili tersebut berasal dari karakter tanaman seperti tinggi antara 99-153 cm, umur keluar tongkol 45-110 hari, umur panen 8899 hari dan bentuk biji semi mutiara hingga mutiara (Oman Suherman dan Muslimah Hamdani, 1996). 2. Penyaringan Galur Penggunaan varietas tahan dalam menekan kehilangan hasil akibat infestasi hama gudang merupakan upaya alternatif yang ditempuh untuk menekan dan memperkecil tingkat kerugian petani. Penelitian penyaringan terhadap hama bubuk Sitophilus zeamais bertujuan untuk mendapatkan galur/biji yang tahan terhadap hama bubuk. Hasil penelitian dari 750 galur yang diuji ternyata ada 62 galur yang mempunyai nilai kerusakan biji 10% yaitu 10 galur asal MCF(FS)C5, 8 galur asal MCF9FS)C6, 24 galur asal MCA(FS)C5, 17 galur asal MCA(FS)C6, 2 galur asal AC(FS)C6 dan 1 galur asal P31(FS)C6. Sedangkan galur yang mempunyai kerusakan biji 11-20% sebanyak 82 galur yaitu 17 galur asal MCA(FS)C5, 25 galur asal MCF(FS)C6, 24 galur asal MCA()FS)C5, 9 galur asal MCA(FS)C6, 1 galur asal AC(FS)C6 dan 6 galur asal P31(FS)C6 (Masmawati et.al.,1996). 3. Heritabilitas Ketahanan Genotipe Delapan populasi jagung yaitu MCA(FS)C5, MCA(FS)C6, MCF(FS)C6, AC(FS)C5, P31(FS)C5 dan P31(FS)C6 masing-masing dilakukan silang diri (selfing) sehingga dihasilkan 749 galur. Galur-galur tersebut dievaluasi ketahanannya terhadap hama gudang kumbang bubuk Sitophilus zeamais. Tujuan penelitian untuk mempelajari ratio ragam genotipe terhadap ragam total dan menduga kemajuan seleksi. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan ulangan 1-5 kali. Satuan unit percobaan terdiri dari 50 biji yang dimasukkan ke dalam toples plastik ditutup kain kasa dan diinfestasi dengan 10 ekor kumbang dewasa. Persentase kerusakan biji diamati setelah dua bulan disimpan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa heritabilitas yang besar ini menunjukkan bahwa keragaman disebabkan oleh faktor genetik yang berarti peluang mendapatkan jagung tahan hama kumbang bubuk cukup besar. Malang komposit F(MCF) dan Malang komposit A(MCA) memiliki tingkat serangan lebih rendah dibanding populasi lain. Dari kedua populasi tersebut apabila dipilih galur yang intensitas serangannya kurang dari 100% kemudian dilakukan seleksi S1, maka akan diperoleh populasi baru yang tahan. Galur dari populasi MCF dan MCA yang tahan kumbang bubuk dapat dikembangkan sebagai sumber ketahanan pada varietas baru (Oman Suherman et.al.,1996). 4. .Kehilangan Hasil dengan Penundaan Panen Potensi reproduksi dan perkembangan hama Sitophilus zeamasi ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis varietas jagung, kondisi kadar air awal, lama penyimpanan dan jenis wadah simpanan dan waktu panen yang tepat. Populasi kumbang bubuk meningkat pada wadah yang tidak kedap air dan disimpan yang terlalu lama. Penelitian bertujuan untuk mengetahui informasi kehilangan hasil dengan penundaan panen 1-3 minggu. Perlakuan terdiri dari 4 yakni: a) panen pada saat matang fisiologis, b) panen ditunda 1 minggu, c) panen ditunda 2 minggu dan c) panen ditunda 3 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panen yang terlambat tidak berpengaruh terhadap kerusakan biji yang disimpan dalam bentuk pipilan. Kadar air biji dalam bentuk pipilan sebelum disimpan dalam bentuk klobot, panen yang ditunda 2-3 minggu dapat mengakibatkan kerusakan biji.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
194
Seminar Nasional 2005 Penyusutan bobot pada panen pertama lebih tinggi dari pada penen yang tertunda 2-3 minggu jika disimpan dalam bentuk pipilan (Tandiabang et.al.,1996). 5. Efek Tekanan Serangga Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh padat populasi (tekanan serangga) dan perbedaan bentuk biji (gigi dan mutiara) terhadap tingkat kerusakan benih. Sebanyak 100 biji jagung varietas Arjuna dengan kadar air awal 13% ditaruh dalam gelas percobaan tembus pandang yang ditutup kain kasa. Gelas percobaan diinfeksi dengan serangga Sitophilus zeamais dewasa yang diambil dari sangkar pemeliharaan dengan 3 tingkat padat populasi masing-masing 10, 25 dan 50 serangga tiap gelas. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan 10 ulangan. Untuk memperoleh populasi serangga yang seragam, 200 pasang serangga dewasa yang diambil dari sangkar pemeliharaan dimasukkan ke dalam toples peneluran yang berisi jagung Arjuna selama 5 hari. Selanjutnya semua pasangan serangga dikeluarkan kembali dari wadah peneluran dan dikembalikan ke sangkar pemeliharaan. Telur yang menetas dibiarkan sampai dewasa untuk selanjutnya digunakan pada percobaan I dan II. Untuk percobaan II presedur yang ditempuh sama denga percobaan I hanya menggunakan perbadaan bentuk biji yakni jagung uji yakni dipilih bentuk biji tipe gigi dan mutiara. Pengamatan terhadap serangga yang hidup, serangga yang mati, biji rusak dan biji sehat dilakukan pada 30 dan 60 hari setelah infeksai serangga. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan meningkatnya persentase serangga yang hidup, serangga mati dan kerusakan benih dengan bertambahnya waktu, akan tetapi tidak berbanding lurus dengan pada populasi serangga. Pada pengamatan 30 hari setelah infeksi, mortalitas cenderung menurun dengan semakin rendahnya populasi, sedang pada pengamatan natalitas, yakni natalitas semakin besar dengan padat populasi yang rendah. Pada pengamatan kerusakan, nampak bahwa pada pengamatan 30 hari setelah infeksi, data kerusakan berfluktuasi dari tiap perlakukan. Akan tetapi pada pengamatan 60 hari setelah infeski kerusakan biji meningkat dengan meningkatnya padat populasi. Pada percobaan ke dua nampak bahwa natalitas, mortalitas dan persentase kerusakan benih jagung yang berbentuk mutiara lebih tinggi dari yang berbentuk gigi (Sudjak Saenong,1997). 6. Manfaat Bahan Nabati Pengeringan jagung yang berklobot lebih lama dari pada yang berbentuk tongkol, dan yang berbentuk tongkol lebih lama dari yang pipilan. Akan tetapi pipilan jagung pada kondisi air tinggi banyak merusak daya tumbuh, apalagi bila menggunakan alat pemipil yang tajam. Di satu sisi penyimpanan benih jagung pada kondisi lingkungan yang jelek sulit untuk mempertahan mutu sampai musim berikutnya. Oleh sebab itu untuk meningkatkan mutu dilakukan pengeringan dengan pengasapan dan penyimpanan benih yang dicampur dengan bahan nabati seperti darun sereh, daun dringo, abu sekam, abu dapur dan arang. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan arang, abu sekam dan daun dringo dapat menekan serangan Sitophilus sp dengan tingkat serangan berturut-turut 2.25%, 5.18% dan 3.37% dibanding tanpa perlakuan yang mencapai skor serangan 17.21% (Abdul Fattah dan Sjafaruddin,1996). Komoditi Sorgum 1. Peranan Kadar Air Pengaruh kadar air awal, suhu, kelembaban udara terhadap tingkat serangan kumbang bubuk pada periode penyimpanan sangat besar yang pada akhirnya akan terkait dengan rendahnya mutu biji (Bedjo, 1992). Menurut Kalshoven (1981), perkembangan populasi kumbang bubuk akan berlangsung cepat jika kadar air bahan simpan lebih dari 15%. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai kadar air awal biji sorgum terhadap perkembangan Sitophilus zeamais. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 4 ulangan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
195
Seminar Nasional 2005 Hasil penelitian menunjukkan bahwa kumbang bubuk Sitophilus zeamais pada perlakuan kadar air awal 6% pada wadah toples plastik relatif terhambat, sedangkan pada perlakuan 6; 8 dan 10% pada wadah jirigen plastik merupakan kadar air yang baik karena dapat menghambat laju populasi Sitophilus zeamais. Persentase daya tumbuh pada penyimpanan wadah jirigen plastik masih relatif tinggi dibandingkan dengan wadah toples (Syahrir Mas’ud et.al.,1996). 2. Pengaruh Perbedaan Warna Sumber Makanan Tingkah laku serangga dalam memilih makanan, meletakkan telur, berpindah tempat (migrasi) pada umumnya banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kondisi kelembaban udara, warna sumber makanan, temperatur, jenis makanan dan cahaya (Weston and Hoffman, 1991;Weston and Hoffman, 1992). Penelitian pengaruh perbedaan warna sumber makanan terhadap preferensi serangga Sitophilus zeamais jantan dan betina telah dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap menggunakan bahan jagung dan sorgum. Varietas/sumber makanan uji ditaruh dalam gelas kecil yang tembus pandang dan disusun secara melingkar dalam baskom ukuran 10 liter. Setiap baskom pengujian diinfeksi sebanyak 100 ekor serangga jantan dan betina serta pengaruh kondisi terang dan kedap cahaya. Pengamatan jumlah serangga yang berada pada gelas dilakukan pada interval 24, 48 dan 72 jam setelah infeksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan preferensi serangga pada fase gelap dan terang. Pada fase terang, trend menaik tercatat pada jagung putih dan varietas Upcasi untuk sorgum, trend mendatar tercatat pada varietas ICSH91222 dan Wray sedang yang menurun tercatat pada varietas IS3552 dan jagung kuning. Dari ketiga interval pengamatan secara umum jagung putih dan jagung kuning mencatat skor yang tertinggi sebagai preferred food (makanan yang dipilih) dibandingkan sorgum, sedangkan yang dikategorikan sebagai uinpreferred food. Pada fase gelap, trend menaik tercatat pada varietas L.selayar dan Upcasi, mendatar tercatat pada IS3552, ICSH91222 dan jagung putih. Secara umum jagung putih dan jagung kuning skor yang tertinggi sebagai preferred food pada semua interval pengamatan, sedang yang terendah tercatat pada L.Selayar (Sudjak Saenong dan Muslimah Hamdani,1996). 3. Pengaruh Jenis Varietas Di samping faktor-faktor seperti warna, cahaya, temperatur, ternyata perbedaan varietas juga sangat berpengaruh terhadap tingkat laku serangga. Menurut Ryoo et.al (1992), jenis makanan/jenis varietas sangat berpengaruh terhadap perilaku serangga dalam milih makanan dan meletakkan telur. Penelitian pengaruh varietas terhadap kecenderungan serangga Sitophilus zeamais dalam memilih makanan dan meletakkan telur telah dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 ulangan dengan menggunakan bahan sorgum dan jagung. Varietas yang duji ditaruh dalam baskom besar secara melingkar dan diinfeksi dengan serangga dengan kepadatan 50 ekor tiap varietas uji. Infeksi serangga ke dalam baskom pengujian dilakukan dalam 2 cara yaitu; 1) menggunakan serangga yang sama, yakni serangga dimasukkan hanya 1 kali kemudian diadakan pengamatan jumlah serangga yang ada pada gelas makanan pada interval 24, 48 dan 72 jam setelah infeksi dan, 2) menggunakan serangga yang berbeda yakni serangga dimasukkan sebanyak 3 kali dan diadakan pengamatan jumlah serangga yang ada pada gelas makanan pada interval 24, 48 dan 72 jam setelah infeksi. Digunakan sebanyak 400 ekor serangga tiap baskom setelah setiap satu tahap penginfeksian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
196
Seminar Nasional 2005 Hasil penelitian menunjukan bahwa preferensi serangga pada pengujian dengan metoda pertama 57,89% berfluktuasi dari ke tiga interval waktu pengamatan, 10,52% menunjukkan trend menaik yakni tercatat pada varietas ICSV1 dan Keris M3, 15,79% menunjukkan trend mendatar tercatat pada varietas IS23509, M2 dan 1/k-B-247-1-1, sedang selebihnya 10,52% menunjukkan trend menurun tercatat pada varietas ICSV Lm 90502 dan IS6973. Pada pengujian dengan metoda ke dua, preferensi serangga 57,89% berfluktuasi pada setiap interval pengamatan, 26.31% menunjukkan trend menurun, tercatat pada varietas GJ38, Wray, ICSV1, Upcasi dan R10, 10,52% menunjukkan trend mendatar, tercatat pada varietas M2 dan Keris M3, sedang 5,26% menunjukkan trend menaik tercatat pada varietas Keller (Sudjak Saenong dan Muslimah Hamdani,1996). 4. Mekanisme Resistensi Pemilihan suatu inang sebagai sumber makanan erat kaitannya dengan kesesuaian makanan suatu spesies serangga hama dalam pertumbuhan populasi atau dalam memperbanyak dan melanjutkan keturunannya. Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu usaha pengendalian hama yang relatif murah dan aman terhadap lingkungan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor penyebab suatu galur/varietas biji sorgum sehingga tidak atau kurang disenangi oleh kumbang bubuk Sitophilus zeamais. Sebanyak 6 galur/varietas introduksi dan lokal masing-masing ICSV1, ICSV-88013 dan SPV-462 (introduksi) dan Batara tojeng eja (lokal selayar-2), Batara tojeng bae (lokal selayar-3) dan Batara tojeng (lokal jeneponto) digunakan dalam penelitian yang disusun secara acak lengkap diulang 6 kali. Rata-rata suhu dan kelembaban nisbi selama berlangsungnya percobaan masing-masing 29,47°C dan RH 80,64% dengan kadar air ± 14%. Masing-masing galur/varietas diambil sebanyak 10 g yang disimpan dalam gelas plastik dan diinokulasi 2 pasang serangga Sitophilus zeamais . Hasil penelitian menunjukkan resistensi atau ketahanan varietas yang diuji terhadap Sitophilus zeamais disebabkan oleh adanya sekam yang membungkus/melindungi biji pada varietas lokal, sedang faktor lain seperti besar/ bobot biji, kandungan abu, serat kasar, lemak, protein, amilosa dan tannin tidak mempengaruhi ketahanan suatu varietas terhadap Sitophilus zeamais (Pabbage et.al,1997a). 5. Preferensi Serangga Secara alami kecenderungan serangga dalam memilih makanan banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain jenis dan kerusakan bahan simpanan, nilai gizinya, kadar air, warna dan tingkat kekerasan kulit. Studi preferensi telah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh variteas/galur terhadap perilaku serangga dalam memilih makanan. Penelitian disusun secara acak lengkap dan diulang 4 kali, pada kondisi suhu rata-rata 28,93o C dan kelembaban nisbi udara 83,12 % serta kadar air bahan uji 14 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tercatat ada 4 spesies hama gudang yang ditemukan mimilih sorgum bentuk biji pada awal penyimpanan yaitu Tribolium castaneum, Sitophilus zeamais, Cryptolestes pussilus, dan Sitotroga cerealella, sedang yang memilih sorgum bentuk tepung ada 3 spesies yaitu T. castaneum, S .zeamais dan C.pussilus. Pada penyimpanan setelah 4 dan 6 bulan ada 5 spesies yaitu T.castaneum, S.zeamais, C.pussilus, S.cerealella dan Doloessa viridis baik dalam bentuk bniji maupun tepung. Pada awal penyimpanan sorgum bentuk biji T.castaneum lebih tertarik pada ICSV1. Preferensi dan perkembangan Sitophilus zeamais pada sorgum tidak dipengaruhi oleh ukuran biji dan kandungan amilosa biji. Perkembangan populasi T.castaneum lebih tinggi pada tepung sorgum, sebaliknya Sitophilus zeamais lebih tinggi pada sorgum bentuk biji. Perkembangan populasi Sitophilus zeamais dalam sorgum bentuk biji lebih tinggi pada varietas Batara tojeng dibanding dengan varietas/galur lainnya (Pabbage et.al, 1997b).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
197
Seminar Nasional 2005 PENUTUP Tela’ah teknologi yang berbasis pada kajian tanaman untuk mendapatkan fenotipe tanaman yang tahan terhadap infestasi hama kumbang bubuk merupakan suatu terobosan penting yang perlu mendapat perhatian di masa-masa mendatang. Kajian-kajian tersebut bukan saja bersifat basic, tetapi juga merupakan usaha melestarikan faktor-faktor ketahanan tanaman dan dapat dikombinasikan dengan komponen teknologi lain dalam suatu konsep pengendalian maupun suatu konsep pengelolaan serangga. DAFTAR PUSTAKA Abdul Fattah dan Sjafaruddin.1996. Pengaruh bahan nabati, arang , abu sekam dan abu dapur terhadap intensitas serangan hama Sitophilus sp. Prosiding Seminar dan Pertemuan tahunan X PEI, PFI dan HPTI Komda Sul-Sel.Maros 10 januari 1996.p.70-75. Bedjo.1992. Pengaruh kadar air awal biji jagung terhadap laju infestasi kumbang bubuk dalam Astanto et.al (ed). Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan Malang Tahun 1991. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang.p.294-298. FAO. 1977. Analysis of an FAO survey of postharvest crop losses in developing countries (AGPP:MISC/227). Food and Agricultrure Organization of the United Nation, Rome. Husain.I. 1982. The Susceptibility of millet rice of rough rice attack by Sitophilus oryzae Lin and Sitophilus zeamais Motsch. Bogor. Indonesia. Biotrop. ICRISAT. 1988. Annual Report. Kalshoven,L.E.1981. The pest of crops in Indonesia. Rivised and trnaslated by P.A.Vander Laan with the assistance of G.L.H.Rothsild.PT.Ikhtiar Baru-Van Hoeve.Jakarta Mangundihardjo, S. 1978. Hama-hama pertanian di Indonesia.Jilid III.Yayasan Pembina Fakultas Pertanian UGM, Yokyakarta.112p. Morallo-Rejesus,B., P.A. Javier. 1980. Laboratory assessment of damage caused by Sitophilus spp and Rhizoperta dominica in stored grain. In sorghum and milletrs abstract C.A.B. April 1982. Vol.7,no.1.Abstract.1-20. Melchor, D. J. 1981. The effect of density on the survival and development of Sitophilus zeamais Motsch (Coleoptera;Curculionidae) in different maize varieties. In Plant Protection News, BPI. Philippines.vol.X,No.4,4-25. Masmawati, Suherman O., D.Baco.1996. Penyaringan Galur jagung terhadap hama bubuik Sitophilus zeamais. Hasil-Hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman tahun 1995/1996. Badan Litbang Pertanian, Balitjas Maros p.15-20. Mas’ud.S.,M.Yasin.,D.Baco.,S.Saenong.1996. Pengaruh kadar air awal biji sorgum terhadap perkembangan kumbang bubuk Sitophilus zeamais. Hasil-Hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman tahun 1995/1996. Badan Litbang Pertabnian, Balitjas Maros.p.35-44. Pabbage,M.S.,Suarni,Nurnina Nonci,Masmawati.1997a. Mekanisme resistensi galur/varietas biji sorgum terhadap kumbang bubuk Sitophilus zeamais Motcsh (Coleoptera:Curculionidae). Rejesus, B.M. 1981. Stored product pest problems and Research needs in the Philippines. Proceeding of Biotrop Symposium on Pest of Stored Product. Bogor,pp.47-63.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
198
Seminar Nasional 2005 Ryoo.M.I and H.W.Cho.1992. Feeding and Oviposition Preference and Demography of Rice Weevil (Coleoptera:Curculionidae) Reared on Mixtures of brown, polished and rough rice. Environ.Entomol.21:549-555. Sidik M., H.Halid and R.I Pranata.1985. Pset Problem and the Use of Pesticide in Grain Storage in Indonesia. ACIAR Prosiding no.14. Pesticides ang Humid Tropical Grain Storage System. Sidik M.1979. Extent of damage to stored Milled Rice by Insect Infestation. Manhattan, Kansas, Kansas University. Unpublished. Msc dissertation. Sudjak Saenong.M., Muslimah Hamdani dan Masmawati.1996a. Pengaruh perbedaan warna sumber makanan pada kondisi terang dan kedap cahaya terhadap preferensi serangga Sitophilus sp jantan dan betina. Prosiding Seminar dan Pertemuan Tahunan X,PEI, PFI dan HPTI Komda Sul-Sel. Maros 10 januari 1996.p.76-84. -------------------------------------------------------------------------.1996b. Pengaruh varietas terhadap kecenderungan serangga Sitophilus sp dalam memilih makanan. Prosiding Seminar dan Pertemuan Tahunan X, PEI,PFI dan HPTI Komda Sul-Sel.Maros 10 januari 1996.p.70-75. Sudjak Saenong,M.1997.Pengaruh perbedaan padat populasi terhadap tingkat serangga hama kumbang bubuk Sitophilus sp. Seminar Mingguan.Balitjas.1977 Suherman.O, Masmawati., D.Baco. 1996a. Heritabilitas ketahanan genotipe jagung terhadap hama bubuk Sitophilus zeamais. Hasil-Hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman tahun 1995/1996. Badan Litbang Pertanian, Balitjas Maros.p.21-27. Suherman.O, dan M.Hamdani. 1996b. Pembentukan galuir/famili untuk penyaringan ketahanan jagung terhadap hama kumbang Sitophilus zeamais. Hasil-Hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman tahun 1995/1996. Badan Litbang Pertanian, Balitjas Maros.p.7-14. Tandiabang.J., S.Mas’ud dan M.S.Pabbage.1996. Kehilangan hasil jagung oleh kumbang bubuk Sitophilus zeamais denga penundaan panen. Hasil-Hasil Penelitian Hama dan Penyakit Tanaman tahun 1995/1996. Badan Litbang Pertanian, Balitjas Maros.p.2834. Weston,P.A and S.A.Hoffman.1991. Humidity and Tactile Responses of Sitophilus sp (Coleptera:Curculonidae) . Environ.Entomol.20:1433-1437. -------------------------------------- .1992. Influence of Starvation, Dehydration and Humidity Differential on Humidity Responses of Sitophilus sp (Coleoptera:Curculonidae). Environ.Entomol.21:1345-1350.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
199
Seminar Nasional 2005 TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG MENDUKUNG PENYEDIAAN PAKAN TERNAK KAMBING DI LOMBOK TIMUR Bahtiar1) dan Awaludin Hipi2) Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros, Sulawesi Selatan 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat 1)
ABSTRAK Pengelolaan tanaman jagung untuk tujuan produksi pakan dan biji dilaksanakan di Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2004 oleh satu tim terpadu antara peneliti Balitsereal dengan Peneliti BPTP NTB dengan melibatkan petani sebagai pelaksana. Pengamatan baru ditujukan kepada produksi pakan dan biji jagung untuk mengetahui potensi dukungan pakannya terhadap penyediaan pakan ternak kambing. Hasil penelitian menunjukan bahwa teknologi produksi biomas dari tanaman jagung mampu menghasilkan pakan secara bertahap sebanyak 39,44 t/ha dan produksi biji kering 4,91 t/ha. Jika biomas dan hasil biji tersebut dinilai dengan harga yang berlaku di Kabupaten Lombok Timur, petani dapat memperoleh pendapatan sekitar 6 juta per hektar dengan hanya mengorbankan biaya sekitar 1,3 juta per hektar dan curahan tenaga kerja sekitar 98 HOK. Cara produksi tersebut mendapat kesan yang baik dari petani koperator, pembina masyarakat (KID) dan Petugas Pertanian Lapangan, sedang bagi petani non koperator hal tersebut merupakan hal yang baru dan mereka masih kebanyakan meragukan keberhasilannya. Kata kunci: Keterpaduan tanaman – ternak, produksi biomas dan biji kering, pendapatan usahatani.
PENDAHULUAN Komoditas jagung dan ternak kambing keduanya merupakan sumber pendapatan petani di pedesaan. Kedua komoditas tersebut dapat dikelola secara bersamaan oleh satu rumah tangga petani karena saling menunjang. Pola integrasi tanaman – ternak telah lama dipraktekkan petani di Indonesia dan Asia Tenggara, namun pengelolaannya masih kebanyakan bersifat tradisionil (Diwyanto, K. dan E. Handiwirawan, 2004). Kabupaten Lombok Timur yang ditetapkan sebagai lokasi binaan Proyek Pengentasan Kemiskinan (PFI3P) mempunyai potensi pertanian yang cukup baik untuk dijadikan sebagai pengembangan teknologi integrasi tanaman – ternak karena mempunyai iklim tipe D dan E. Curah hujan pada daerah iklim tipe E rata-rata 669 mm/tahun, sedang pada daerah tipe D, curah hujan 1289 – 1640 mm/tahun. Lahannya terdiri dari 48,1% lahan kering, sedang lahan tegalan dan sawah masing-masing 16,1 dan 28,4% (BPTP NTB, 2003). Distribusi curah hujan berlangsung singkat yaitu 3-4 bulan dalm setahun (BPS Propinsi NTB, 2002). Berdasarkan hasil studi Participatory Rural Appraisal (PRA) diperoleh informasi bahwa jenis tanaman pangan yang menjadi prioritas adalah jagung dan jenis ternak yang banyak dipelihara oleh petani adalah kambing (PFI3P, 2003 a; PFI3P,2003 b). Jagung yang dapat ditanam pada berbagai tipe lahan semakin berkembang dan cenderung menggeser komoditi tanaman pangan lainnya. Hal ini disebabkan oleh sistem budidayanya relatif lebih mudah dan permintaan pasar dalam negeri semakin meningkat terutama dalam memenuhi kebutuhan industri pakan ternak. Selain itu, tanaman jagung dapat menghasilkan biomas untuk pakan ternak dalam jumlah cukup apabila ditata waktu tanamnya disesuaikan dengan kebutuhan ternak. Pemeliharaan kambing dengan sistim kandang telah lama dikerjakan petani di Lombok Timur, walaupun dengan pemeliharaan yang tradisionil. Kotoran kambing belum diproses menjadi pupuk organik pada hal menurut kajian pemanfaatan pupuk organik (kotoran ternak) terhadap produksi dan kualitas padi menunjukkan bahwa penggunaan pupuk an organik (Urea, SP36, dan KCL) dapat dihemat sebanyak 70% dari dosis anjuran (350 – 150 – 100) dengan penggunaan pupuk organik dan sekaligus telah dapat meningkatkan kualitas gabah sehingga nilai jualnya tinggi. Sebaliknya limbah padi (jerami) yang
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
200
Seminar Nasional 2005 ditambahkan probiotik dapat meningkatkan kualitas pakan sapi dan sekaligus meningkatkan laju pertumbuhan berat badan ternak (Wardhani, N.K. dan A. Musofie, 2002; Tim Teknis, 2004). Konsep pengelolaan integrasi tersebut juga berpeluang besar diterapkan pada integrasi tanaman jagung dengan ternak kambing. Teknologi produksi biomas jagung telah tersedia dan menunjukkan bahwa dengan varietas unggul bersari bebas pada populasi tanaman 130.000 mampu menghasilkan biomass segar sebanyak 50 t/ha, dan pada populasi 200.000 mampu menghasilkan 70 t/ha apabila dipanen pada umur 70 hari (Akil et al., 004). Produksi biomas tersebut jika dikaitkan dengan kebutuhan pakan ternak kambing rata-rata 5,9 kg/hari/ekor (Suprapto et al. 2002). Dengan demikian teknologi produksi biomas jagung tersebut dapat menyediakan pakan ternak kambing dengan mengatur waktu penanaman sehingga tersedia pakan sepanjang tahun. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk mengetahui : 1. Tingkat produksi biomass segar yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan produksi biji kering panen 2. Pendapatan petani baik dari nilai biomass segar maupun dari hasil biji kering 3. Respon petani terhadap teknologi penyediaan pakan ternak kambing METODOLOGI Dukungan Balai Penelitian Tanaman Serealia (BALITSEREAL) terhadap penelitian optimalisasi sistem usahatani ternak – tanaman pangan berbasis kambing difokuskan kepada dua komponen yaitu : pemanfaatan benih unggul, pemupukan berimbang, dan teknologi produksi biomas untuk pakan ternak. Ketiga komponen tersebut dipadukan dan dilaksanakan pada lahan petani koperator. Empat kelompok tani yang terpilih yaitu: kelompok tani di Dusun Wakan, kelompok tani di Dusun Dalem, kelompok tani di Dusun Penjaik, dan kelompok tani di Dusun Baru masing-masing dengan luasan 0,25 ha. Paket teknologi budidaya yang dikembngkan adalah sebagai berikut: a. Benih unggul yang diintroduksi adalah varietas srikandi kuning 1 (Jagung Quality Protein Maize=QPM). Varietas tersebut mempunyai kelebihan berupa nilai gizinya lebih baik dibanding dengan jagung biasa. b. Jika ditanam pada lahan sawah tadah hujan setelah panen padi, tanah tidak perlu diolah/dibajak, tetapi langsung ditugal (TOT). Tetapi jika ditanam pada lahan kering pada musim penghujan, penyiapan lahan disesuaikan dengan cara petani yaitu bajak dengan ternak. c. Untuk menghindari serangan penyakit bulai, benih diperlakukan dengan saromil yaitu 1 gr saromil/kg benih. Saromil dilarutkan dalam 1 ml air lalu dimasukkan benih jagung dan diaduk merata sampai seluruh permukaan biji jagung terkena saromil. d. Penanaman dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm, 5-6 biji perlubang. Tanaman ditutup dengan pupuk kandang segenggam/lubang tanam. e. Dipupuk dengan 600 kg urea/ha, 100 kg SP36/ha. Pemupukan pertama dilakukan pada umur 7-10 hari dengan dosis 150 kg urea/ha dicampur dengan 100 kg SP36/ha, ditugal di sekitar rumpun tanaman. Kemudian pemupukan kedua dilakukan pada umur 20-25 hari setelah tanam dengan dosis 300 kg urea/ha. Seterusnya pemupukan ke tiga dilakukan pada umur 40-45 hari dengan dosis 150 kg urea/ha. f.
Penyiangan dilakukan 2 kali yaitu pada umur 21 hari dan 45 hari
g. Panen, panen biomas segar dilakukan 4 (empat) kali yaitu : Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
201
Seminar Nasional 2005 Memotong 2 tanaman/rumpun pada umur 30 hari, Memotong 1 tanaman/rumpun pada umur 42 hari Memotong daun bawah tongkol pada umur 60 hari Memotong batang diatas tongkol pada umur 80 hari h. Panen biji kering pada saat masak fisiologi yang ditandai dengan terbentuknya black layer pada biji jagung. Variabel yang diamati berupa pertumbuhan dan produksi biomass sebagai berikut a. Produksi biomas pada setiap periode panen (t/ha) b. Produksi biji kering (t/ha) c. Respon petani/masyarakat terhadap teknologi produksi biomas untuk pakan kambing (menerima, menimbang, ragu, menolak) d. Harga biomas (pakan ternak) pada setiap periode panen dan harga jagung biji kering (Rp/kg) e. Biaya sarana produksi berupa benih, pupuk, obat-obatan (Rp/ha) f.
Biaya tenaga kerja riil yang dikeluarkan petani dalam operasional pertanaman jagung.
Keberhasilan penerapan teknologi produksi biomas ini dilihat dari dua sisi yaitu penerimaan yang diperoleh dari usahatani jagung dengan analisis biaya dan pendapatan (Return Cost Ratio) dan respon masyarakat terhadap sistem penyediaan pakan dari biomas jagung dengan analisis adopsi. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Biomas Segar Pada umur 30 hari dipanen dua batang per rumpun dan menghasilkan biomas segar sebanyak 19 t/ha. Kualitas biomas ini sangat baik, seratnya masih sangat lunak sehingga sangat disukai oleh ternak kambing. Biomas yang dipanen pada umur 30 hari dapat bertahan sampai 3 hari dan tetap masih disukai ternak kambing. Dengan demikian pemanenan di lapangan cukup dilakukan 2 kali semimggu disesuaikan dengan kebutuhan ternak itu sendiri. Pada umur 42 hari dipanen lagi satu batang per rumpun dan menghasilkan biomas 9,82 t/ha dengan kualitas biomas segar yang hampir sama dengan biomas umur 30 hari hanya saja sedikit bertambah kasar seratnya. Selanjutnya pada umur 60 hari ketika telah terjadi pembuahan daun bawah tongkol dari tanaman yang tersisa (2 tanaman per rumpun) rata-rata 3-4 helai daun per tanaman, dapat menghasilkan biomas sebanyak 6,31 t/ha dengan kualitas yang lebih jelek dibanding dengan panen pertama dan kedua. Selera kambing untuk mengkonsumsi biomas ini tidak sebaik dengan biomas panen pertama dan kedua, namun tetap saja mengkonsumsinya. Terakhir, pada umur 80 hari panen biomas ke empat adalah batang diatas tongkol dipotong, menghasilkan biomas sebanyak 4,31 t/ha dengan kualitas hampir sama dengan biomas daun bawah tongkol yaitu seratnya kasar dan agak keras sehingga tidak terlalu disenangi oleh ternak kambing (Tabel 1). Tabel 1 . Produksi biomass segar dan biji pada penelitian di Lombok Timur, 2004 No 1 2 3 4 5 1)
Uraian Panen 2 tanaman /lubang Panen 1 tanaman/lubang Panen daun bawah tongkol Panen batang diatas tongkol Panen biji / tongkol
Umur (hst) 30 42 60 80 115 Jumlah
Produksi (t/ha)
Harga1) (Rp/kg)
19,00 9,82 6,31 4,31 4,91
75 75 75 75 1.150
Nilai (Rp/ha) 1.425.000 736.500 473.250 323.250 5.646.500 8.604.500
Dikonversi dari harga pakan di kota Lombok Timur yaitu Rp.1.500/ikat isi sekitar 50 batang jagung dengan berat 20 kg.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
202
Seminar Nasional 2005 Hasil analisa laboratorium terhadap kandungan gizi pakan yang dihasilkan menunjukkan bahwa protein kasar dan jumlah kalori yang terkandung di daun lebih tinggi dibanding dengan di batang. Sebaliknya serat kasar lebih tinggi di batang dari pada di daun. Data tersebut menunjukkan bahwa pakan dari limbah jagung QPM mengandung gizi yang cukup baik dibanding dengan jagung biasa. Pada jerami jagung biasa hanya mengandung 7,4% protein dan 27,8% serat kasar (Direktorat Bina Produksi Tanaman Pangan, 2002) jauh lebih sedikit dibanding dengan pada jagung QPM (Tabel 2). Tabel 2. Hasil uji kandungan gizi dari batang dan daun jagung di Kabupaten Lombok Timur, 2005 Bagian tanaman
Protein kasar %
Serat kasar (%)
Kalori (Cal/gr)
Batang Daun
8,40 13,12
35,11 25,65
2933,50 3143,84
Sumber : Laboratorium BPTP NTB No. Data Hasil Analisa:006/DHA-LAB/TN/III/2005
Jika seluruh biomas yang dipanen tersebut dinilai dengan harga yang berlaku di kota Lombok Timur yaitu Rp.1500 per ikat (50 batang dengan berat 20 kg) equivalen dengan Rp.75/kg, maka produksi biomas dapat memberikan penerimaan sebanyak Rp.2.958.000/ha dengan korbanan tenaga keluarga untuk melakukan panen sebanyak 30 HOK (Tabel 3). Tabel 3. Biaya produksi pada penelitian di Lombok Timur, 2004 No 1
2
Uraian Saprodi Benih jagung Saromil Urea SP36 Tenaga kerja Pengolahan tanah Penanaman Pemupukan Penyiangan Panen biomass Panen biji Jumlah biaya tenaga kerja
Jumlah 45 10,5 600 100 HOK 0 7 21 30 30 10
Harga (Rp/satuan)
Nilai (Rp/ha)
1.317.250 7.000 315.000 4.500 47.250 1.300 780.000 1.750 175.000 Biaya riil yang dikeluarkan (Rp) 450.000 100.000
98
100.000
650.000
Penggunaan tenaga kerja tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan tenaga yang digunakan dalam mencari pakan secara bebas di alam/hutan karena selain jaraknya jauh, juga harus mencari dan menelusuri pematang sawah atau pinggir-pinggir pagar di kebun. Cara penyediaan pakan demikian memberikan beberapa keuntungan antara lain: hemat tenaga kerja keluarga dalam menyediakan pakan untuk ternak kambing, petani mendapatkan pakan tanpa harus mengorbankan produksi biji jagungnya, ternak kambing dapat terjamin pakannya. Produksi Biji Kering Selain produksi pakan untuk ternak kambing, teknologi ini juga masih memproduksi biji kering. Hasil yang dicapai rata-rata dari petani koperator adalah 4,31 t/ha. Tingkat produksi ini dinilai cukup tinggi dan mampu melebihi dua kali lipat dari produktivitas jagung NTB yaitu hanya 2,02 t/ha (BPS, 2002). Analisis usahatani menunjukkan bahwa pengelolaan ushatani jagung dengan orientasi produksi biomas untuk pakan ternak dan biji cukup menjanikan dengan nilai rasio penerimaan – biaya mencapai 4,37 yang berarti cukup menguntungkan dan layak dikembangkan sebab usahatani jagung dikatakan layak secara finansial dikembangkan apabila profitabilitasnya minimal 20% atau rasio penerimaan – biaya minimal 1,20 (Simatupang, 2002). Secara kuantitatif dengan asumsi biomas yang dihasilkan dinilai dengan harga pakan yang berlaku di kota Lombok Timur maka pendapatan petani mencapai Rp. 6.6375.000/ha (Tabel 4). Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
203
Seminar Nasional 2005 Tabel 4. Analisi biaya dan pendapatan pada penelitian di Lombok Timur, 2004 No
Uraian
Jumlah (Rp/ha)
1.
Penerimaan dari biomass segar dan biji kering
8.604.500
2.
Biaya saprodi (Benih, pupuk, dan obat-obatan) Biaya Tenaga kerja yang riil dibayarkan petani
1.317.250 650.000
3.
Pendapatan
6.637.250
4.
R/C-ratio
4,37
Upaya mencari umpan balik dari teknologi produksi biomas dan biji dilakukan dengan menghimpun pendapat/respon komponen masyarakat yang terdiri atas petani yang melaksanakan pengujian (koperator), petani yang menyaksikan pengujian tersebut (non koperator), Petugas Pertanian Lapangan (PPL), dan tokoh masyarakat yang memperhatikan pembangunan masyarakatnya (KID). Responnya menunjukkan bahwa dari 5 petani koperator, 4 diantaranya menyatakan teknologi tersebut menguntungkan dan 1 diantaranya masih meragukan karena percobaan yang dikerjakan kurang berhasil. Kemudian dari pihak pemerintah yaitu petugas yang ditunjuk merancang pembangunan masyarakat mengatakan bahwa teknologi tersebut sangat baik dan menguntungkan petani. Sedangkan petani yang berada di sekitar percobaan dan melihat langsung di lapangan beberapa diantranya berada pada tahap menilai dan beberapa lainnya masih meragukan keberhasilannya (Tabel 5). Tabel 5. Respon petani terhadap teknologi penyediaan pakan ternak pada penelitian di Timur, 2004.
1)
Respon1)
No
Penilai/Pemberi Respon
1. 2. 3. 4.
Petani koperator ( n = 5) Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) (n = 2) Komite Investasi Desa (KID) (n = 1) Petani non koperator (n = 10)
Menerima
Menilai
4 2 1 0
0 0 0 5
Ragu 1 0 0 5
Menolak 0 0 0 0
Menerima : Telah mengakui keunggulan dan kebaikannya dan akan berusaha menerapkan apabila lingkungan sekitarnya mendukung. Menilai : Mereka baru pada tahap menghitung untung ruginya jika menerapkan, apakah potensi modalnya mendukung atau tidak. Ragu : Mereka lebih cenderung tidak menerapkan dari pada menanggung resiko kegagalan. Menolak : Telah mengambil keputusan bahwa lebih banyak kerugiannya dari pada keuntungannya.
DAFTAR PUSTAKA Akil M., Evert Y. Hosang dan A. Najamuddin, 2004. Interaksi varietas dan populasi tanaman jagung terhadap produksi biomas dan biji pada lahan kering di Naibonat. Makalah disampaikan pada Seminar Mingguan Balitsereal, Desember, 2004. BPS , 2002. Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam Angka. BPTP NTB, 2003. Laporan Hasil PRA pada Desa-desa Poor Farmer di Kabupaten Lombok Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, 2002. Informasi dan peluang agribisnis jagung. Direktorat Serealia Jakarta. Diwyanto, K dan Handiwirawan, 2004. Peran Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam mendukung usaha agribisnis pola integrasi tanaman – ternak. Dalam Haryanto et al. 2004 (Peny). Sistem Integrasi Tanaman – Ternak. Prosiding Seminar Nasional, Denpasar 20-23 Juli 2004. PFI3P, 2003a. Panduan perencanaan penelitian dan pengkajian pengembangan inovasi pertanian di lahan marjinal. Badan Litbang Pertanian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
204
Seminar Nasional 2005 PFI3P,2003c. Konsep awal inovasi teknologi mendukung pengembangan agribisnis pertanian lahanmarjinal. BadanLitbang Pertanian. Simatupang P., 2003. Daya saing dan efisiensi usahatani jagung hibrida di Indonesia. Dalam Kasryno, E.Pasandaran, dan A.M. Fagi, 2003 (Peny). Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Suprapto, Slamet, Surachman, dan A. Prabowo, 2002. Analisis pendapatan usahatani lada integrasi ternak camping. Dalam Haryanto et al. 2004 (Peny). Sistem Integrasi Tanaman – Ternak. Prosiding Seminar Nasional, Denpasar 20-23 Juli 2004. Tim Teknis, 2004. Review teknologi petanian untuk lahan kering dan tadah hujan (marjinal). Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation Project. Badan Litbang Pertanian. Wardhani, N.K. dan A. Musofie, 2004. Kajian sistem pertanian organik dalam integrasi ushatani padi – sapi potong. Dalam Haryanto et al. 2004 (Peny). Sistem Integrasi Tanaman – Ternak. Prosiding Seminar Nasional, Denpasar 20-23 Juli 2004.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
205
Seminar Nasional 2005 PERBAIKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA JAGUNG DI LAHAN KERING BERIKLIM KERING DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR Awaludin Hipi, A. Suriadi, M. Zairin, Sudarto, M. Nazam dan Mashur Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Seiring peningkatan import jagung setiap tahun mengisyaratkan bahwa terdapat peluang baik untuk peningkatan produktivitas maupun perluasan areal tanam. Nusa Tenggara Barat (NTB) sangat potensial untuk pengembangan komoditas jagung, dimana potensi lahan yang tersedia selain dilahan kering dengan luas 211.635 ha, juga di lahan sawah setelah padi. Tercatat bahwa luas panen jagung pada tahun 2003 seluas 31.459 ha dengan produktivitas 2,003 t/ha yang masih rendah dibanding produktivitas nasional 3,1 t/ha. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk peningkatan produksi jagung dengan memperbaiki teknologi budidaya ditingkat petani. Pengkajian telah dilaksanakan pada Farming System Zone (FSZ) lahan kering beriklim kering di dusun Dasan Tinggi desa Sambelia kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur MH. 2004/2005. Lokasi kajian termasuk wilayah progam pengembangan ”poor farmer”. Tujuan pengkajian adalah memperbaiki teknologi budidaya melalui pendekatan pengelolaan tanah dan tanaman terpadu. Kajian dilaksanakan dengan pendekatan On Farm Reseach, dimana petani terlibat langsung dalam pengkajian sejak perencanaan hingga tahap eveluasi teknologi. Untuk melihat kinerja dari teknologi yang dianjurkan, digunakan metoda Zero One Relationship Approach dengan membagi petani menjadi dua bagian yaitu petani kooperator dan non kooperator. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi data biofisik, sosial ekonomi, dan keragaan tanaman yang dikumpulkan melalui kegiatan survai, diskusi group, maupun pengamatan langsung dilapang. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif, data sosial ekonomi dianalisis dengan B/C ratio dan MBCR. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa teknologi yang diintroduksi dapat mencapai produktivitas 6,05 t/ha atau meningkatkan produktivitas sebesar 2,23 t/ha dari teknologi petani. Keuntungan yang diperoleh Rp. 1.398.978/ha dengan R/C 1,84, sementara teknologi petani memperoleh keuntungan sebesar Rp. 609.591 dengan R/C 1,47. Dari nilai MBCR 3,42 menunjukkan bahwa teknologi yang dianjurkan secara ekonomis menguntungkan petani Teknologi ini diharapkan dapat di replikasikan pada wilayah yang representatif. Kata kunci : budidaya jagung, produktivitas, keuntungan, lahan kering, NTB
LATAR BELAKANG Seiring dengan pergeseran paradigma pengembangan pertanian intensif di lahan basah sebagai penopang utama kebutuhan pangan nasional, maka pengembangan pertanian di lahan kering merupakan alternatif yang sangat penting. Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki lahan kering yang luasnya mencapai + 1,8 juta ha atau 83,25% dari seluruh luas wilayah dengan berbagai jenis penggunaan. Data BPS NTB (2002), menunjukkan bahwa luas lahan kering yang potensial untuk tanaman pangan adalah seluas 211.635 ha, yang terdiri atas ladang/huma 40.636 ha dan tegalan/kebun seluas 171.000 ha. Sebagian besar kondisi lahan kering di NTB di cirikan dengan iklim yang kering yaitu tipe iklim D3 (3 – 4 bulan basah dan 4 – 6 bulan kering), tipe iklim D4 (3 – 4 bulan basah dan > 6 bulan kering), tipe E3 (< 3 bulan basah, 4 – 6 bulan kering) dan tipe iklim E4 (< 3 bulan basah dan > 6 bulan kering) (Oldeman, et al, 1980). Distribusi dan intensitas curah hujan tidak merata dan tidak menentu (eratik) sehingga seringkali terjadi gagal panen akibat cekaman air. Selain itu sifat tanah yang porus dimana tanah tidak mampu memegang air dalam jangka waktu yang lama. Dengan kondisi tersebut, maka usahatani di lahan kering sangat tergantung pada curah hujan. Salah satu komoditas yang cocok dan banyak diusahakan petani di lahan kering pada musim hujan adalah jagung. Seiring kebutuhan jagung yang terus meningkat setiap tahun, mendorong untuk melakukan upaya peningkatan produktivitas jagung di lahan kering. Laju permintaan jagung nasional dalam kurun waktu 1991 – 2000 cukup tinggi hingga mencapai 6,4% per tahun. Sementara laju peningkatan produksi hanya mencapai 5,6% per tahun. Pada tahun 2000, produksi jagung dalam negeri mencapai 9,676 juta ton, sedangkan kebutuhan jagung pada tahun yang sama mencapai 10,9126 juta ton, sehingga diperlukan impor sebesar 1,2646 juta ton. Jumlah impor jagung diperkirakan meningkat terus hingga tahun 2010 yang
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
206
Seminar Nasional 2005 nilainya diperkirakan mencapai 2,2 juta ton (Kasryno, 2002). Luas panen jagung di NTB pada tahun 2003 seluas 31.459 ha dengan produktivitas 2,003 t/ha (Dinas Pertanian Propinsi NTB, 2004) yang masih rendah dibanding produktivitas nasional 3,1 t/ha. Sebagian besar areal tersebut terdapat di kabupaten Lombok Timur yaitu seluas 6.584 ha dengan produktivitas rata-rata 2,02 t/ha (BPS, 2002). Hasil penelitian Balai Penelitian Serealia yang memadukan varietas unggul bermutu baik dari jagung bersari bebas ataupun hibrida dengan teknologi inovatif yang lebih berdaya saing dengan pendekatan PTT, telah dapat mencapai produktivitas jagung sebesar 7 – 9 t/ha (Saenong dan Subandi, 2002), sementara hasil yang diperoleh petani dengan penerapan paket rekomendasi teknologi yang sama dapat mencapai hasil 5 – 6 t/ha (Wahid et al, 2001). Selanjutnya hasil kajian di lahan kering Sambelia Lombok Timur manunjukkan bahwa perbaikan teknologi budidaya dengan mengintroduksi varietas unggul bersari bebas Lamuru dapat mencapai potensi hasil 7,87 t/ha, lebih tinggi dibanding teknologi petani 4,81 t/ha (Zubactirodin, 2004). Kesenjangan hasil yang relatif tinggi ini disebabkan oleh sistem pengelolaan tanah dan teknologi budidaya yang masih terbatas di tingkat petani. Petani umumnya belum menggunakan benih bermutu dari varietas unggul, pemupukan tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman, pemeliharaan kurang intensif dan penanganan pasca panen yang masih sederhana. Pemanfaatan potensi lahan kering yang ada guna meningkatkan produktivitas jagung melalui penekanan kesenjangan hasil dapat ditempuh dengan melakukan identifikasi berbagai permasalahan baik bio-fisik maupun sosial ekonomi dan budaya melalui pendekatan partisipatif, serta mengatasi permasalahan aktual dengan menerapkan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang spesifik lokasi. Komponen teknologi produksi yang diterapkan disesuaikan dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi dan budaya setempat. Dengan penerapan teknologi ini, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Tujuan pengkajian ini adalah untuk menguji teknologi budidaya jagung untuk perbaikan teknologi budidaya ditingkat petani di lahan kering. METODE PENGKAJIAN Lokasi dan waktu Pengkajian ini akan dilaksanakan pada FSZ lahan kering di kecamatan Sembelia, Kabupaten Lombok Timur pada MH. 2004/2005. Lokasi kajian adalah tergolong lahan kering beriklim kering dengan sumberdaya petani yang masih terbatas. Kajian lapang untuk budidaya jagung dilaksanakan pada areal petani seluas 5 ha dengan melibatkan 16 orang kooperator. Prosedur Pengkajian Pengkajian ini akan dilakukan di lahan milik petani (on farm research) yang dilaksanakan oleh petani bersama peneliti dan penyuluh untuk mendapatkan teknologi yang mampu beradaptasi serta untuk mendapatkan respons dari petani terhadap teknologi tersebut (Adnyana et al, 1996). Untuk melihat kinerja dari teknologi yang anjuran, digunakan metode Zero One Relationship Approach dengan membagi petani menjadi dua bagian yaitu petani kooperator dan non kooperator. Agar proses adopsi teknologi bisa berlangsung cepat, dilakukan proses pembelajaran melalui pengawalan teknologi melalui latihan, belajar sambil bekerja (pertemuan kelompok) dan demplot sebagai petak percontohan. Teknologi yang diterapkan pada kajian didasarkan kepada ketersediaan sumberdaya, permasalahan yang dihadapi dan kebiasaan petani. Komponen teknologi yang dianggap baru adalah varietas unggul Lamuru, TOT herbisida dan penggunaan pupuk organik (kompos). Deskripsi teknologi introduksi dibanding teknologi petani di sajikan pada Tabel 1.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
207
Seminar Nasional 2005 Tabel 1. Teknologi introduksi budidaya jagung vs teknologi petani di Sambelia, Lombok Timur. MH. 2003/2004 Variabel
Teknologi anjuran
Teknologi Petani
Pengolahan tanah
TOT (herbisida) (2 ltr/ha glifosat; 1 ltr/ha paraquat)
Pengolahan tanah sempurna
Mutu benih
Sertifikat
Tidak bersertifikat
Varietas
Bersari bebas (lamuru)
Hibrida turunan (Bisi 2, C7)
Jumlah biji/lubang
2
2-4
Jarak tanam
80 x 40 cm
(70 – 75) x (25 – 50) cm
Pupuk : Urea (kg/ha) SP-36 (kg/ha) KCl (kg/ha) Organik (kg/ha)
300 75 0 1500
300 - 350 50 - 100 0 0
Pengendalian gulma
Manual (1 x) sekaligus bumbun
Manual (1 x)
Pengendalian H/P
PHT
Tanpa acuan
Panen
Tepat waktu
Sesuai keinginan pasar
Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi kondisi curah hujan dan kandungan unsur hara tanah, existing teknologi, jumlah saprodi yang digunakan (benih,pupuk, insektisida), harga saprodi, jumlah dan biaya tenaga kerja, produktivitas, dan harga jagung. Data yang terkumpul di analisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik wilayah Kecamatan Sambelia terletak dibagian utara Kabupaten Lombok Timur yang berjarak + 45 Km dari ibukota Kabupaten. Secara geografis terletak dibelahan utara kaki gunung rinjani pada posisi 116º BT dan 60 - 80º LS. Secara administratif terbagi atas 3 desa definitif dan pada tahun 2003 terjadi pemekaran sehingga terdapat 2 (dua) desa persiapan. Topografi sangat bervariasi dari datar sampai dengan berbukit, namun didominasi oleh topografi berbukit yang dapat mencapai 60% dari total wilayah, dengan ketinggian 0 – 500 diatas permukaan laut. Iklim diwilayah ini tergolong tipe D3 dengan 3 – 4 bulan basah dan 8 – 9 adalah bulan kering. Musim hujan dimulai pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret. Usahatani dilahan kering sangat tergantung pada hujan, sehingga seringkali petani mempercepat waktu tanam jika sudah ada tanda bahwa hujan akan turun. Kondisi curah hujan dan distribusinya pada lokasi pengkajian disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Terlihat bahwa selama periode pertanaman, curah hujan berkisar antara 120 – 276 mm/bulan yang memungkinkan tanaman dapat berproduksi dengan normal. Namun pada beberapa petani yang terlambat tanam (akhir Januari) dan menanam jagung umur dalam, mengalami kekurangan air pada saat pembungaan (Maret), karena periode hujannya pendek (+ 7 hari) dengan jumlah curah hujan 120 mm. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka dianjurkan untuk menanam serentak pada awal musim hujan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
208
Seminar Nasional 2005
Curah hujan (mm)
300 250 200 150 100 50 0 Nop
Des
Jan
Peb
Maret
April
Mei
Bulan
Gambar 1. Cuarah hujan bulanan di lokasi Desa Sambelia Lombok Timur MH. 2004/2005
14 Jlh hari hujan
12 10 8 6 4 2 0 Nop
Des
Jan
Peb
Maret April
Mei
Bulan
Gambar 2. Distribusi curah hujan bulanan di Desa Sambelia Lombok Timur MH. 2004/ 2005
Tanah dilokasi pengkajian secara fisik bertekstur lempung berdebu dengan kandungan bahan organik sangat rendah, kandungan nitrogen sangat rendah, P tersedia tergolong sedang, P potensial tinggi dan kandungan K potensial yang sangat tinggi (Tabel 1). Dengan kandungan hara tanah tersebut, maka perlu penambahan bahan organik, pupuk nitrogen, pupuk phosfor, dan pupuk kalium untuk pemeliharaan. Penambahan kandungan hara berdasarkan status hara tanah dengan pupuk anorganik yaitu Urea 300 kg/ha, SP-36 75 kg/ha, dan pupuk organik 1 ton/ha. Penambahan pupuk organik yang diaplikasi pada lubang tanam, selain untuk memperbaiki sifat fisik tanah juga yang utama adalah untuk mempertahankan kelembaban tanah sehingga dapat mempercepat perkecambahan. Tabel 2. Hasil analisis kimia dan fisik tanah dilokasi pengkajian. Dasan Tinggi. Sambelia. 2004 No.
Parameter
Nilai/kandungan Dsn. Dasan Tinggi I
Dsn. Dasan Tinggi II
7,10
7,28
0,000442
0,01259
1
PH (H2O)
2
Total Nitrogen (kjeldahl) (%)
3
P- tersedia (Olsen) (ppm)
-
7,04
4
K – tersedia (ppm)
-
81,61
5
P-potensial (HCl 25%) (mg/100 gr)
70,2
-
6
K-potensial (HCL 25%) (mg/100 gr)
104,3
-
7
C- organik (%)
8
Tekstur
0,87
0,93
Lempung berdebu
Lempung
Dianalisis di laboratorium tanah dan tanaman, BPTP NTB
Existing Farming System (Kondisi Sistem Bertani) Pola tanam usahatani tanaman pangan yang banyak diterapkan oleh petani di lahan kering adalah pola tanam monokultur dan multiple croping. Kegiatan usahatani biasanya
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
209
Seminar Nasional 2005 dimulai sebelum hujan tiba yaitu mulai bulan Oktober untuk persiapan lahan sampai dengan bulan April. Pola tanam yang biasa dilakukan adalah: (1) jagung (monokultur); (2) padi gogo (monokultur); 3) jagung - kacang hijau + cabe; (4) jagung - kacang tunggak + kacang hijau; dan (5) jagung//kacang tanah. Pemilihan komoditas ini didasarkan pada permintaan pasar, namun demikian petani hanya dapat menerima harga panen yang rata-rata relatif rendah. Komoditas jagung selain diusahakan pada lahan bukaan baru (hutan cadangan pangan), juga pada lahan-lahan kering yang sudah lama menjadi milik para petani. Penanaman dimulai pada awal musim hujan, namun sering terjadi stagnasi curah hujan pada fase pertumbuhan dan memasuki fase pembungaan. Penggunaan benih pada umumnya adalah hibrida hasil regenerasi (F2, F3, dan F4), karena diyakini bahwa benih dari jenis hibrida dapat memberikan hasil yang tinggi, petani belum mengetahui bahwa penggunaan hibrida hasil regenerasi produktivitasnya lebih rendah dibanding F1. Pengenalan varietas baru sebagai alternatif dilahan kering perlu dilakukan, terutama varietas bersari bebas sehingga petani dapat menyediakan benih sendiri untuk pertanaman musim berikutnya. Untuk meningkatkan intensitas tanam, petani lahan kering biasanya menanam komoditas kacang hijau, kacang tunggak dan cabai setelah panen jagung. Namun hal ini hanya dapat dilakukan oleh petani yang lahannya dapat diairi oleh irigasi terbatas maupun air dari sumur bor. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan pengaturan pola tanam dengan memanfaatkan sisa curah hujan dengan penerapan pola tanam relay/tumpang gilir. Kelayakan Ekonomis Secara umum usahatani jagung dengan teknologi anjuran, lebih menguntungkan dibanding teknologi petani. Walaupun dari komponen biaya terlihat bahwa teknologi anjuran lebih tinggi dari teknologi petani, namun dari segi produktivitas lebih tinggi sehingga dapat memberikan keuntungan kepada petani. Produktivitas yang dicapai cukup besar yaitu 6.05 t/ha untuk petani kooperator, sedang petani non kooperator mencapai 3,82 t/ha. Kesenjangan hasil ini disebabkan oleh cara pengelolaan tanaman terutama dalam hal pemupukan dan penggunaan benih yang bermutu. Petani non kooperator banyak menggunakan benih hibrida hasil regenerasi (F2, F3, dst) yang diseleksi sendiri oleh petani dari hasil panen sebelumnya atau membeli dari pedagang benih di desa. Komponen biaya saprodi dan tenaga kerja hampir seimbang (50,5% : 49,5%) dengan total biaya Rp. 1,627,808,-/ha (Tabel 3). Tenaga kerja yang digunakan selain laki-laki juga banyak menggunakan tenaga kerja wanita. Kontribusi tenaga kerja wanita yang paling banyak adalah pada kegiatan penanaman, pemupukan dan panen. Keuntungan yang diperoleh petani kooperator Rp. 1.398.978/ha dengan R/C 1,84, sedang petani non kooperator memperoleh keuntungan Rp. 609.591/ha dengan R/C 1,47.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
210
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Analisis usahatani jagung di lahan kering. Dusun Dasan Tinggi Desa Sambelia, MH 2004/2005 Kooperator (n = 16) No.
Uraian
Saprodi Benih Urea SP-36 KCl Pupuk kandang Insektisida Glifosat Paraquat Sub Total II Tenaga kerja 1 Pembersihan lahan Pria Wanita 2 Pengolahan tanah Bajak ternak Manusia(pria) 3 Penyemprotan herbisida Pria Wanita 4 Penanaman Pria Wanita 5 Pemupukan I Pria Wanita 6 Pemupukan II Pria Wanita 7 Penyiangan dan bumbun Pria Wanita 8 Panen dan angkut Pria Wanita Sub Total
Fisik (kg, Nilai/ Total nilai ltr, HOK) unit (Rp) (Rp)
Non kooperator (n = 15) Nilai/ Fisik (kg, Total nilai unit ltr, HOK) (Rp) (Rp)
I
Total biaya Pendapatan Keuntungan R/C MBCR Titik impas produksi (TIP) (kg) Titik impas harga (TIH) (Rp)
19,7 295,3 73,8 977,7 4,9 1,8 1
5.000 1.050 1.600 150 8.000 40.000 38.500
98.438 310.078 118.125 146.652 39.107 72.411 37.641 822.451
21 191 20 0,34 -
3.750 1.050 1.600 12000 -
79.855 200.341 32.709 4.089 316.993
4,9 0,2
12.000 12.000
58.929 2.679
14,4 0,3
12.000 12.000
172.308 4.103
0,4 6,9
25.000 12.000
11.161 83.036
11,5
12.000
138.000
1 0,4
12.000 12.000
12.000 5.357
0,1 -
12.000 -
1.026 -
5,5 7,9
12.000 12.000
65.625 95.089
5,8 5,0
12.000 12.000
69.744 60.513
2,7 3,1
12.000 12.000
32.143 37.500
0,8 0.2
12.000 12.000
9.231 2.051
3,0 3,5
12.000 12.000
36.161 41.518
1,4 1,0
12.000 12.000
16.410 12.308
14,2 1,6
12.000 12.000
170.089 18.750
8,5 1,0
12.000 12.000
101.538 12.308
10 5
12.000 12.000
12,1 3,9
12.000 12.000
-
-
-
-
6,05
500
121.875 54.911 817.357 1.627.808 3.026.786 1.398.978 1,84 3,42 3.255,62 268,88
3.822
500
145.641 47.179 984.615 1.301.609 1.911.200 609.591 1,47 2.603,22 340,56
Ket : Tenaga kerja dalam keluarga belum dihitung
Hasil analisis titik impas harga (TIH) dan titik impas produksi (TIP) menunjukkan bahwa input yang diberikan pada teknologi introduksi akan seimbang dengan output yang diterima jika berada pada tingkat harga 53,78% dari harga aktualnya dan pada tingkat produksi 3255,62 kg, sementara teknologi petani berada pada tingkat harga 68,11% dari harga aktualnya dan pada tingkat produksi 2603,22 kg. Hal ini mengisyaratkan bahwa tingkat keuntungan yang diperoleh petani yang menerapkan teknologi introduksi dari tingkat harga sebesar 46,22%, dan keuntungan yang diperoleh dari tingkat produksi adalah sebesar 2798,38 kg, sedang untuk teknologi petani keuntungan yang diperoleh dari tingkat harga sebesar 31,89% dan dari tingkat produksi sebesar 1218,78 kg.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
211
Seminar Nasional 2005 Dari perhitungan marginal benefit cost ratio (MBCR = 3,42) menunjukkan bahwa teknologi introduksi secara ekonomis layak untuk diterapkan. KESIMPULAN DAN SARAN Penerapan teknologi budidaya jagung dapat mencapai produktivitas (potensi hasil) sebesar 6,05 t/ha, lebih tinggi dibanding teknologi petani 3,82 t/ha. Keuntungan yang diperoleh dari penerapan teknologi introduksi sebesar Rp. 1.398.978/ha dengan R/C 1,84, sedang teknologi petani memperoleh keuntungan sebesar Rp. 609.591/ha dengan R/C 1,47. Teknologi inroduksi dapat meningkatkan produktivitas sebesar 2,23 t/ha, dan dapat meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp. 789.387/ha. Teknologi introduksi secara ekonomis layak untuk diterapkan yang ditunjukkan dengan nilai MBCR 3,42. DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O., 1996. Pengkajian dan Pengembangan SUP Komoditas Unggulan. Prosiding Lokakarya BPTP/LPTP se Indonesia. BPTP Naibonat. Kupang. Bappeda NTB. 2002. Rencana Strategis Pengembangan Wilayah lahan Kering di NTB tahun 2003 – 2007. Kerja sama Bappeda NTB dengan Pusat Pengkajian Lahan kering dan Rehabilitasi Lahan. Fakultas Pertanian UNRAM. Mataram. BPS. 2002. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama Kantor Perwakilan Biro Pusat Statistik Propinsi NTB dengan Kantor Bappeda TK.I. NTB. Deptan. 2002. Agribisnis jagung. Informasi dan Peluang. Festival Jagung Pangan Pokok Alternatif. Bogor 26 – 27 April 2002. Kasryno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia selama Empat dekakde yang lalu dan Implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung. Di Bogor, 24 Juni 2002. Badan Litbang Pertanian. Malian, H., A. Djauhari dan Van Der Venn,. 1987. Analisis dalam Penelitian Sistem Usahatani, NTASP Proyek P3NT. Badan Penelitian dan Pengembangan. Departemen Pertanian. Oldeman, L.R., Irsal Las , dan Muladi. 1980. The Agroclimatic Map of Kalimantan, Irian Jaya, and Bali, West and East Nusa Tenggara. CRIA. Bogor. Indonesia. Saenong S., dan Subandi. 2002. Konsep PTT pada Tanaman Jagung. Makalah disampaikan pada pembinaan Teknis dan Manajemen PTT Palawija di Balitkabi. Malang 21 – 22 Desember 2002. Wahid. A. S., Zainuddin, dan Sania Saenong. 2002. Laporan Pelaksanaan analisis Usahatani Pemupukan NPK Pelangi pada Tanaman Jagung di Kab. Gowa. Sulawesi Selatan pada MK. I. 2002. Studi Kasus Desa Pa’bundukang, Kab. Gowa. Sulsel. Kerja sama BPTP Sulsel dengan PT. Panen Mas Agromandiri dan PT. Pupuk Kaltim.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
212
Seminar Nasional 2005 EFISIENSI PEMASARAN JAGUNG DI PULAU LOMBOK NTB I Putu Cakra P. A., Yohanes G. Bulu, Sri Hastuti, Ketut Puspadi dan Awaludin Hipi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan unggulan di NTB yang cocok diusahakan petani pada wilayah lahan kering. Nusa Tenggara Barat memiliki lahan kering yang luasnya mencapai + 1,8 juta ha atau 83,25% dari luas wilayah. Di Kabupaten Lombok Timur, potensi lahan kering untuk pertanian seluas 116.765 ha. Luas panen jagung di NTB pada tahun 2003 mencapai 31.217 ha dengan total produksi jagung 64.228 ton. Luas panen jagung di pulau Lombok pada tahun 2003 yaitu 15.963 ha dengan total produksi mencapai 31.371 ton. Pengkajian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi pemasaran jagung di pulau Lombok. Pengkajian ini dilaksanakan di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Pengkajian pemasaran jagung dilaksanakan dari bulan Juni sampai Juli 2005 dengan pemilihan reponden pedagang jagung di pulau lombok dengan menggunakan metode Snow Boll Sampling. Penentuan lokasi dan petani responden menggunakan metode purposive Sampling. Data yang dikumpulkan dianalisis secara diskriptif. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa saluran pemasaran jagung di pulau Lombok yang paling efisien adalah pola 1 (petani menjual jagung kuning pipilan ke pedagang desa) dengan efisiensi 6,19%. Sedangkan penjualan jagung oleh petani dalam bentuk tongkol kurang efisien dan kurang menguntungkan petani. Sentra produksi jagung di NTB terdapat di Kabupaten Lombok Timur pulau Lombok dan Kabupaten Sumbawa pulau Sumbawa. Daerah tujuan pemasaran jagung dari NTB adalah pasar lokal Lombok dan pasar regional seperti di kirim ke Bali dan Surabaya. Kata kunci : efisiensi, pemasaran, jagung.
PENDAHULUAN Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan unggulan di NTB yang cocok dan banyak diusahakan petani di lahan kering pada musim hujan. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan jagung nasional, memberi peluang agribisnis jagung melalui peningkatan produksi dan produktivitas. Di NTB komoditas jagung banyak dipasarkan ke luar daerah terutama Jawa dan Bali yang digunakan untuk bahan baku pakan ternak, namun masih banyak yang belum dapat terpenuhi akibat kurangnya produksi ditingkat petani. Pada tahun 2000 kebutuhan jagung di NTB sebesar 50.766 ton, dimana untuk benih sebesar 803 ton, dan selebihnya untuk pakan ternak dan bahan pangan. Jagung merupakan tanaman serbaguna yang dapat dimanfaatkan untuk bahan pangan, pakan ternak dan bahan baku industri. Kedepan jagung akan mempunyai peranan yang semakin strategis dengan pertimbangan: (1) agribisnis jagung banyak terkait dengan kegiatan industri dalam negeri; (2) penyedia atau peningkatan ketahanan pangan NTB; (3) makin meningkatnya ancaman kekeringan atau kekurangan air dalam sektor pertanian. Luas panen jagung di NTB pada tahun 2003 adalah 31.217 ha dengan produktivitas rata-rata sebesar 2,057 ton/ha (Dinas Pertanian Propinsi NTB, 2004), sedangkan di Lombok Timur luas panen jagung 8.686 ha dengan produktivitas 2,12 ton/ha. Total produksi jagung di NTB pada tahun 2003 mencapai 64.228 ton (BPS. NTB, 2003). Namun dari segi pemasaran hasil, petani selalu berada pada posisi tawar yang rendah, dimana harga ditentukan oleh pedagang pengumpul di desa. Oleh karena itu dalam pengembangan jagung secara komersial perlu dikemas dalam suatu sistem dan usaha agribisnis. Pengkajian agribisnis jagung di Desa Perigi kecamatan Swela Kabupaten Lombok Timur diharapkan dapat mendukung kegiatan Dinas Pertanian melalui Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (PROKSIMANTAP) disentra produksi tanaman pangan unggulan seluas 40.000 ha, dan LSM Masyarakat Madani yang akan mengembangkan jagung seluas 30.000 ha di NTB. Produksi jagung di NTB pada tahun 2004 mengalami peningkatan apabila di lihat dari jumlah jagung yang keluar dari pulau Lombok menuju Bali dan Surabaya melalui pelabuhan Lembar sebanyak 1.884.110 kg (Dinas Pertanian, 2004; Karantina Tumbuhan,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
213
Seminar Nasional 2005 2004). Pengiriman mulai bulan Januari sampai bulan Juni, dimana volume tertinggi terdapat pada bulan Juni yaitu sebesar 1.020.300 kg. Sedangkan untuk bulan Juli sampai Desember tidak ada pengiriman jagung keluar daerah. Perkembangan harga rata-rata jagung di NTB tahun 2004 terlihat dari trend perkembangan harga di tingkat pedagang yang mengalami kenaikan dari bulan Januari sampai Desember. Harga rata-rata tertinggi terdapat pada bulan Desember sebesar Rp 1640,63/kg pipilan dan terendah pada bulan Mei Rp 1046,88. Perkembangan harga rata-rata di Lombok Timur adalah Rp 1354,17/kg. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah metode survei. Pengkajian pemasaran jagung dilaksanakan di Kabupaten Lombok Timur berlangsung dari bulan Juni sampai Juli 2005 untuk pengumpulan data primer dan data sekunder dengan metode Snow Boll Sampling. Penentuan lokasi, petani dan pedagang menggunakan metoda purposive sampling (secara sengaja). Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara langsung dengan petani, pedagang pengumpul dan agen-agen/pengusaha besar yang ada di Lombok NTB. Untuk mencapai tujuan penelitian maka data yang terkumpul di analisis dengan analisis secara deskriptif dan analisis efesiensi pemasaran jagung. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Kelayakan Ekonomi Usahatani Jagung Di daerah pengkajian Desa Prigi Kecamatan Swela Kabupaten Lombok Timur petani tidak menjual jagung dalam bentuk tongkol melainkan dalam bentuk pipilan karena dengan menjual pipilan harga yang diterima lebih tinggi dibandingkan dengan menjual dalam bentuk tongkol. Teknologi pasca panen (pemipilan jagung) relatif sederhana dan mudah dilakukan petani sehingga dapat menekan biaya. Pemipilan jagung dilakukan oleh tenaga kerja keluarga yang merupakan salah bentuk efisiensi biaya tenaga kerja dalam kegiatan pasca panen. Hal ini berbeda dengan di daerah lain yang umumnya mensual jagung dalam bentuk tongkol agar lebih mudah dan tidak memerlukan tambahan waktu dan biaya dalam pengolahan atau pasca panen jagung. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa keuntungan dari usahatani jagung sebesar Rp 2.256.413,5/ha per musim tanam (3-4 bulan) dengan B/C sebesar 1,40. Ini menandakan usaha tani jagung memberi peluang yang cukup tinggi sebagai tambahan sumber pendapatan untuk petani. Motivasi petani dalam menanam jagung adalah penguasaan teknologi budidaya jagung, pemasaran yang mudah, dan harga yang tinggi. Petani di desa Prigi dalam penentuan waktu jual jagung cendrung menjual jagung dengan alasan memiliki hutang, dimana menjual jagung dalam bentuk pipilan agar harganya bisa lebih tinggi. Lokasi penjualan jagung dilakukan di rumah petani, karena setelah panen jagung disimpan dirumah untuk dilakukan proses pemipilan dengan cara manual. Dijual ke rumah pedagang apabila rumah dekat dengan pedagang dan kenal baik dengan pedagang. Dalam hal penetuan harga jual petani dalam posisi lemah dimana harga jagung ditetapkan pedagang pengumpul desa yang dibayar secara tunai.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
214
Seminar Nasional 2005 Tabel 1. Analisis Kelayakan Usahatani Jagung di Desa Prigi Kecamatan Swela Kabupaten Lombok Timur, 2004. Jenis biaya
Jumlah (Kg)
Harga satuan (RP)
1. Benih jagung Bisi 2 20 2.000 2. Pupuk urea 300 1.117 3. Pupuk SP-36 10 1.800 4. Pupuk organik 15 50 Total 5. Biaya tenaga kerja: HOK Upah/HOK (Rp) Pengolahan tanah 18.67 14.000 Penanaman 14.67 7.000 Pemupukan 5.67 7.000 Penyiangan 32.00 7.000 Panen dan angkut 32.00 7.000 Pemipilan 43.33 10/kg Total 6. Biaya bahan: Jumlah Harga satuan (RP) Sabit (bh) 4 5.000 Terpal untuk jemur (lbr) 3 70.000 Cangkul (bh) 2 20.000 Karung (bh) 20 1.500 Tali (gulung) 1 5.000 Total 7. Biaya lain-lain =PBB (Rp/th) = 12.000/ha/th , Rp 4000/3 bulan Total Biaya 3683.33 kg pipilan Rp 1050/kg Pendapatan Keuntungan B/C
Nilai (Rp) 40.000 335.000 18.000 750 393.750 Biaya Tk (Rp/HOK) 261.333 102.667 39.667 224.000 224.000 56.667 908.333 Nilai (Rp) 20.000 210.000 40.000 30.000 5.000 305.000 4.000 1.611.083 3.667.496,5 2.256.413,5 1,40
Sumber : Data primer (diolah)
Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran 1. Biaya Pemasaran Pada beberapa pola saluran pemasaran yang ada terdapat tiga saluran pemasaran yang digunakan petani untuk menjual jagung yaitu melalui pengumpul desa, pengumpul kecamatan dan pedagang antar pulau. Adapun rincian biaya yang dikeluarkan oleh petani pada masing-masing saluran pemasaran dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Biaya Pemasaran yang Dikeluarkan Petani menurut Saluran Pemasaran Jagung di Pulau Lombok, NTB, 2005 No
Saluran Pemasaran
1
Pengumpul Desa
2
Pengumpul Kecamatan
3
Pengumpul Kabupaten
3
Pedagang antar pulau
Rincian biaya pemasaran Karung Tali Transportasi Karung Tali Transportasi Karung Tali Transportasi Karung Tali Transportasi
Nilai
Total Biaya
Rp 60 Rp 5 Rp 60 Rp 5 Rp 60 Rp 5 Rp 60 Rp 5 Rp 20
Rp 65
Rp 65
Rp 65
Rp 85
Sumber : Hasil Olah Data Primer 2005
Biaya pemasaran jagung dalam bentuk pipilan yang dikeluarkan petani paling besar ke saluran pemasaran pedagang antar pulau sebesar Rp 85/kg, karena petani langsung mengantarkan jagungnya ke pedagang antar pulau. Saluran pemasaran ke pedagang antar pulau ini hanya terjadi di Desa Prigi Kecamatan Swela Kabupaten Lombok Timur sedangkan daerah lain tidak ada. Mengantar sendiri dilakukan dengan alasan: lokasi tempat pedagang
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
215
Seminar Nasional 2005 antar pulau dekat rumah petani dengan harga yang lebih tinggi dbandingkan pengumpul desa. Biaya pemasaran ke pengumpul desa dan kecamatan sebesar Rp 65/kg dan tidak menggunakan biaya transportasi karena transaksi jual-beli dilakukan di rumah petani. 2. Efisiensi Pemasaran Untuk melihat efisiensi pemasaran yaitu membagi biaya pemasaran dengan harga jual jagung (Soekartawi, 1993). Berdasarkan hasil survai pemasaran jagung, terdapat tiga saluran pemasaran yang dilalui oleh petani dalam menjual produk jagungnya baik dalam bentuk pipilan maupun tongkol. Adapun ke empat saluran pemasaran tersebut adalah pengumpul desa, pengumpul kecamatan, pengumpul kabupaten dan pedagang antar pulau. Tabel 3. Efisiensi Pemasaran Jagung di Pulau Lombok NTB, 2005. Saluran Pemasaran
Bentuk jagung yang dijual petani
Biaya
Harga Jual
Efisiensi %
Pengumpul Desa
1. Pipilan (Beli) 2. Tongkol
Rp 65 Rp 65
Rp 1050,00 Rp 593,75
6,19 % 10,95 %
Pengumpul Kecamatan Pengumpul Kabupaten Pedagang antar pulau
3. Tongkol 4. Tongkol 5. Pipilan
Rp 65 Rp 65 Rp 85
Rp 593,75 Rp 593,75 Rp 1070,00
10,95 % 10,95 % 7,94 %
Sumber : Hasil Olah Data Primer 2005
Dari hasil analisis efisiensi pemasaran jagung dapat diketahui bahwa saluran pemasaran jagung yang paling efisien adalah saluran pemasaran yang melalui pengumpul desa dengan efisiensi sebesar 6,19%. Petani menjual jagung ke pedagang pengumpul desa dengan bentuk pipilan, bukan dalam bentuk tongkol. Apabila dalam bentuk tongkol tingkat efisiensinya lebih rendah dibandingkan dengan menjual pipilan. 3. Saluran Pemasaran jagung Saluran pemasaran jagung di Lombok secara umum melibatkan semua tingkatan pedagang mulai dari tingkat desa sampai ke tingkat kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa pemasaran jagung di Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu potensi dan peluang bagi pengembangan usahatani jagung. Para peternak dari Bali langsung mencari jagung ke Lombok Timur karena sentra produksi jagung ada di Lombok Timur. Produksi Jagung selain berasal dari Lombok juga berasal dari Sumbawa. Harga yang diterima di Pulau Lombok sebesar Rp 1100/kg dalam bentuk pipilan yang dibeli oleh pedagang antar pulau yang berdomisili di Lombok Timur, setelah itu baru dijual ke Bali. Pasokan jagung di pasar Mandalika Sweta dan kebutuhan peternak lokal Pulau Lombok, selama ini permintaannya dipenuhi dari produksi Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah. Jenis jagung yang diperjualbelikan adalah tongkol jagung dengan varietas bisi 7, rendemen 55%, dengan harga rata-rata Rp 600/kg. Varietas Lamuru, Bisi 2 dan C7 62- 67% dengan harga Rp 650/kg. Harga jagung dalam bentuk pipilan adalah Rp 1050/kg. Sistem pembayaran jagung adalah secara tunai tanpa panjar. Untuk menjaga keberlanjutan kerjasama antar pedagang, dilakukan strategi panjar yang besarnya berbedabeda sesuai kebutuhan akan jagung, dimana pedagang antar pulau memberikan panjar (uang muka) kepada para pedagang dibawahnya yang sifatnya mengikat. Harga jagung bersifat dinamis artinya dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan harga pasar, sehingga pedagang dibawahnya tidak lari ke pedagang lain yang mau membeli dengan harga lebih mahal.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
216
Seminar Nasional 2005
Pedagang Sumbawa
Petani
Pengumpul Desa
Pengumpul Kecamatan
Pengumpul Kabupaten
Pedagang antar pulau
Pengampas dari Bali
Pengecer
Peternak Bali atau Lombok atau Surabaya
Gambar 1. Saluran Pemasaran Jagung di Pulau Lombok, NTB, 2005.
KESIMPULAN 1. Saluran pemasaran jagung yang paling efisien adalah penjualan jagung oleh petani dalam bentuk pipilan ke pedagang pengumpul desa dengan tingkat efisiensi 6,19%. 2. Peningkatan produksi jagung di NTB merupakan dampak dari keterlibatan berbagai pihak dalam agribisnis jagung serta meningkatnya kebutuhan jagung baik di tingkat lokal, regional maupun nasional. 3. Pemasaran jagung yang relatif lancar di Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu potensi dan peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan jagung terutama pada wilayah pertanian lahan kering. DAFTAR PUSTAKA BPS NTB, 2002. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat, Mataram BPS NTB, 2003. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat, Mataram Dinas Ketahanan Pangan NTB, 2004. Statistik Tanaman Pangan. Mataram. Dinas Pertanian Propinsi NTB, 2004. Statisik Komoditi Pertanian. Mataram Kotler, Philips, 1995. Manajemen Pemasaran. Salemba Empat. Jakarta Mubyarto, 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: Penerbit PT Pustaka LP3ES, Jakarta. Nazir, 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta. Soekartawi, 1993. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-Hasil Pertanian. Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekartawi, 1995. Analisa Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
217
Seminar Nasional 2005 Soekartawi, 1999. Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. Penerbit PT Rja Grafindo Persada, Jakarta. Tohir, K. A, 1991. Seuntai Pengetahuan Usahatani Indonesia 1. Rineka Cipta, Jakarta. Widodo, Sri., 1989. Production Efficiency of Rice Farmers In Java Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
218
Seminar Nasional 2005 PENGKAJIAN JAGUNG QPM (Quality Protein Maize) SRIKANDI KUNING DAN SRIKANDI PUTIH UNTUK RANSUM PAKAN AYAM DI TABANAN-BALI
IGK. Dana Arsana dan IW. Alit Artha Wiguna Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Bali ABSTRAK Pengkajian Budidaya Jagung QPM Untuk Ransum Pakan Ayam dilaksanakan Agustus-September 2004. Di Desa Tuwa, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Tujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi pakan komersial dengan jagung terhadap pertumbuhan ternak ayam potong. Rancangan pengkajian yang digunakan yaitu Acak Lengkap 4 perlakuan dengan 5 ulangan. Hasil pengkajian menunjukkan substitusi pakan komersial ayam potong jenis BR 511, yang diberikan pada ayam potong CP 707 dengan jagung Srikandi Putih sampai pada taraf 10% dan jagung Srikandi kuning sampai pada taraf 20% tidak memberikan respon negatif terhadap pertumbuhan ayam, dilihat dari pertambahan bobot ayam dan kualitas karkas. Secara absolut susbstitusi tersebut justru memberikan pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan pakan komersial 100%, walaupun secara statistik berbeda tidak nyata. Dengan demikian upaya substitusi tersebut dapat menghemat biaya pakan. Dengan perhitungan sederhana substitusi pakan komersial dengan jagung srikandi kuning 20% akan menyebabkan terjadinya kelebihan keuntungan sebesar Rp.4.428.700,- terhadap peternak yang memelihara ayam 5.000 ekor pada setiap 31 hari periode pemeliharaan. Dengan perhitungan sederhana substitusi pakan komersial dengan jagung srikandi kuning 20% akan menyebabkan terjadinya kelebihan keuntungan sebesar Rp.4.428.700,terhadap peternak yang memelihara ayam 5.000 ekor pada setiap 31 hari periode pemeliharaan. Kata Kunci : Jagung QPM, Ayam Ras.
PENDAHULUAN Pertama di Indonesia, dua varietas unggul jagung dengan mutu protein tinggi dilepas (Kasim 2003). Jagung adalah tanaman biji-bijian yang dikonsumsi oleh ternak dan manusia sebagai sumber energi dan protein. Kandungan protein pada jagung berkisar 8-11%, padi (79%), gandum (11-14%) dan oat paling tinggi antara 12-14% (Vasal, 2002). Mutu protein dari tanaman jagung dianggap rendah karena kekurangan dua asam amino: lisin dan triptofan yaitu masing-masing hanya 0,225% dan 0,05% dari total protein biji (Cordova, 2001). Angka ini kurang dari separuh konsentrasi yang disarankan oleh WHO/FAO (WHO, 1985). Bila jagung digunakan sebagai pakan maka protein ternak juga kekurangan dua asam amino ini. Dengan demikian diet sehat untuk manusia dan ternak monogastrik harus memasukkan lisin dan triptofan dari sumber lain. Jagung bermutu Protein Tinggi (JPT) terjemahan dari Quality Protein Maize (QPM) adalah jenis jagung yang mengandung lisin dan triptofan dua kali lipat daripada jagung biasa, yakni masing-masing 0,475 dan 0,11% dari total protein biji. Tingginya kandungan kedua asam amino pada endosperm biji jagung diatur oleh gen opaque-2 yang pertama kali ditemukan oleh Mertz et al., (1964). Tujuan untuk mengetahui apakah dengan mensubstitusi pakan komersial dengan jagung pada batas tertentu akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan ternak ayam potong. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Pengkajian Penelitian dilakukan selama 31 hari mulai tanggal 27 Agustus sampai dengan tanggal 28 September 2004 yang bertempat di Dusun Cau, Desa Tuwa, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Rancangan yang digunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan (P0, P1, P2 dan P3), dengan 5 ulangan pada setiap perlakuan dan setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam. Ayam yang digunakan adalah ayam potong jenis CP 707.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
219
Seminar Nasional 2005 Perlakukan sebagai berikut: 1. P0 adalah ayam yang diberikan pakan komersial 100% 2. P1 adalah ayam yang diberikan pakan komersial yang disubstitusi dengan Jagung Serikandi Putih (QPM Putih) 10% dan ditambah 0,25% Starbio. 3. P2 adalah ayam yang diberikan pakan komersial yang disubstitusi dengan Jagung Serikandi Kuning (QPM Kuning) 10% dan ditambah 0,25% Starbio. 4. P3 adalah ayam yang diberikan pakan komersial yang disubstitusi dengan Jagung Serikandi Kuning (QPM Kuning) 20% dan ditambah 0,25% Starbio. Pakan komersial yang digunakan adalah pakan komersian buatan PT. Charoen Phokphan dengan kode pakan BR 511 Selama penelitian ayam diberikan pakan secara bebas (ad libitum), namun pemberian dilakukan sebanyak 3 kali sehari (pagi, siang dan sore) hari. Demikian pula halnya dengan pemberian air minum yang juga diberikan secara bebas. Vaksinasi terhadap ayam dilakukan sekali pada ayam berumur 3 hari, diberikan melalui air minum. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Analisis Varian atau Univariate Analysis of Variance. HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Ayam Awal Pengkajian Pada awal penelitian diupayakan bobot ayam adalah sama atau homogen, dengan harapan faktor berat awal akan memberikan pengaruh yang sama terhadap semua perlakukan. Berat atau bobot ayam awal penelitian untuk perlakuan P0 adalah 44,580 gr tidak nyata lebih berat dibandingkan dengan bobot ayam P3 (44,240 gr) dan juga tidak nyata lebih ringan dibandingkan ayam pada perlakuan P2 (44,620 gr) dan P1 (45,588 gr) pada tingkat kesalahan 0,05% (P>0,05) (Tabel 1). Dengan demikian secara statistik bobot ayam pada awal penelitian adalah sama. Demikian juga halnya dengan jenis ayam yang digunakan adalah sama yaitu: CP-707. Oleh karena itu secara statistik bobot ayam yang digunakan telah memenuhi syarat untuk diteliti. Hal tersebut juga ditunjukkan dalam Tabel 1 bahwa F hitung untuk perlakuan sebesar 0,870 > F Tabel 0,459. Selanjutnya hasil uji duncan juga menunjukkan hal yang sama yaitu tidak terdapat perbedaan yang nyata di antara perlakuan P0, P1, P2 dan P3. secara statistik perbedaan tersebut tidak nyata. Bobot Ayam Umur 31 Hari (Akhir Penelitian) Hasil penelitian terhadap rataan bobot ayam pada umur 31 hari (akhir penelitian), menunjukkan bahwa perlakuan terhadap ayam penelitian telah menyebabkan adanya perbedaan yang nyata. Hal tersebut ditunjukkan dari F hitung sebesar 0,160 < F table 0,923. Namun hasil uji duncan ternyata perlakuan tidak menyebabkan adanya perbedaan yang nyata terhadap bobot ayam di antara perlakuan. Perlakuan P3 adalah 1.547,542 gr tidak nyata lebih berat dibandingkan dengan bobot ayam perlakuan P1 (1.545,619 gr); P2 (1.538,609 gr) dan P0 (1.511,875 gr). Dengan demikian berarti tidak terdapat perbedaan yang nyata di antara perlakuan terhadap bobot ayam (gr) umur 31 hari akhir penelitian. Itu berarti bahwa perubahan komposisi pakan atau substitusi pakan komersial ayam potong dengan Jagung Srikandi putih 10%, Srikandi Kuning 10% dan Srikandi kuning 20% dan masing-masing dengan penambahan 0,25% Starbio, ternyata tidak merubah kemampuan ayam potong untuk berproduksi. Oleh karena itu dengan mengganti pakan komersial dengan jagung Srikandi kuning sampai 20% dan penambahan starbio 0,25% belum mengurangi kebutuhan ayam akan nutrisi. Dengan demikian jika biaya penambahan jagung srikandi 20% dan 0,25% starbio harganya labih rendah dibandingkan dengan 20% pakan ayam komersial, akan menyebabkan akan harga pakan menjadi lebih murah dan usaha akan memberikan keuntungan lebih besar, asumsi tingkat kematian ayam sama dengan perlakuan lainnya (Tabel 1).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
220
Seminar Nasional 2005 Kenaikan Bobot Ayam Selama Penelitian Hasil analisis varian terhadap kenaikan bobot dan ayam gram (gr) menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata di antara perlakuan (Tabel 1). Perlakuan P3 (Substitusi pakan komorsial dengan 20% Jagung Srikandi Kuning) ternyata memberikan kenaikan bobot badan ayam (gr) selama 31 hari penelitian sebesar 1.503,467 gr tidak nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1 (1.500,052 gr); P2 (1.494,065 gr) dan P0 (1.467,383 gr). Kondisi tersebut menunjukkan walaupun secara statistik penggantian pakan komersisal dengan jagung srikandi kuning sebesar 20% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun secara absolut hal tersebut memberikan kenaikan bobot badan ayam paling tinggi dibandingkan perlakukan lainnya. Dengan demikian substitusi pakan komersial sebesar 20% dengan Jagung Srikandi Kuning akan dapat memberikan keuntungan paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, jika harga per kg jagung yang digunakan lebih rendah dibadingkan dengan pakan komersial dalam jumlah yang sama. Tabel 1. Bobot Ayam Awal Penelitian Umur 0 Hari, 31 hari dan kenaikan selama 31 hari Perlakuan
N
Bobot Ayam (gr) Awal Penelitian
Bobot Ayam (gr) Umur 31 Hari
Rataan Kenaikan Bobot Ayam (gr)
P0 P1 P2 P3
25 25 25 25
44,580 a 45,588 a 44,620 a 44,240 a
1511,875 a 1545,619 a 1538,609 a 1547,542 a
1.467,383 a 1.500,052 a 1.494,065 a 1.503,467 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata (P>0,05)
KARKAS AYAM Bobot Ayam Sehari Sebelum Dipotong Dalam analisis karkas ayam, tidak seluruh ayam yang masih hidup dipotong, namun hanya dua ekor untuk setiap perlakuan, sehingga dari empat perlakuan dan lima ulangan akan ada 40 ekor ayam yang akan dipotong. Selanjutnya sebelum dipotong, ayam dipuasakan terlebih dahulu selama satu hari. Bobot ayam sehari sebelum dipotong juga ditimbang. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa bobot ayam sehari sebelum dipotong tidak menunjukkan berbedaan yang nyata (Tabel 2). Demikian pula hasil uji Duncan menunjukkan hal yang sama, yaitu ayam perlakuan P3 dengan bobot 1.638,30 gr tidak nyata lebih berat(P>0,05) dibandingkan bobot ayam perlakuan P1 (1.604,70 gr), perlakuan P2 (1.593,50 gr) dan P0 (1.562,80 gr). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa subtitusi pakan komersial ayam potong dengan jagung Srikandi putih sampai 10% dan jagung Srikandi kuning sampai 20% tidak berpengaruh terhadap bobot ayam umur 31 hari, sehari sebelum dipotong. Bobot Ayam Menjelang dipotong Hasil analisis varian terhadap bobot ayam saat (beberapa menit) sebelum dipotong menunjukkan perbedaan yang tidak nyata, pada taraf perbedaan 0,05 (Tabel 2). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan tidak memberikan dampak terhadap penurunan bobot badan ayam selama 24 jam dipuasakan. Dengan demikian penggantian pakan komersial dengan jagung srikandi putih sampai pada tingkat 10% dan jagung srikandi kuning sampai pada tingkat 20% belum memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap upaya ayam dalam mempertahankan bobot badan selama 24 jam dipuasakan sebelum dipotong. Sekalipun terjadi penurunan bobot, namun berbeda tidak nyata di antara perlakuan.Selanjutnya hasil uji Duncan terhadap bobot ayam sehari sebelum dipotong juga memmperlihatkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05), Bobot ayam perlakuan P2 sebesar 1.522,40 gr tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan bobot ayam perlakuan P3 (1.522,00 gr); perlakuan P1 (1.508,90 gr) dan perlakuan P0 (1.457,00 gr).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
221
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Pengaruh Pemberian Jagung QPM Srikandi Kuning dan Srikandi Putih Terhadap Bobot Ayam Umur 31 Hari (gr), Sehari Sebelum Dipotong dan Saat Dipotong. Perlakuan
N
Sehari Sebelum Dipotong Bobot ayam (gr)
Saat Dipotong Bobot ayam (gr)
P0 P1 P2 P3
10 10 10 10
1,562,80 a 1,604,70 a 1,593,50 a 1,638,30 a
1.457,00 a 1.508,90 a 1.522,40 a 1.522,00 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata (P>0,05)
Penurunan Bobot Ayam Selama 24 Jam Dipuasakan Penurunan bobot ayam selama 24 jam dipuasakan, berbeda tidak nyata di antara semua perlakuan karena F hitung sebesar 0,537 < F Tabel (0,660) pada taraf perbedaan 0,05 (Tabel 3). Menunjukkan bahwa penurunan bobot ayam perlakukan P3 sebesar 116,30 gr tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan dengan penurunan bobot ayam perlakuan P0 (105,80 gr); perlakuan P1 (95,80 gr) dan perlakuan P2 (71,10 gr). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa, substitusi pakan komersial ayam potong dengan jagung srikandi putih sampai pada taraf 10% dan jagung srikandi kuning sampai pada tingkat 20% belum berpengaruh buruk terhadap penurunan bobot ayam selama 24 jam dipuasakan. Dengan kata lain bahwa pengantian tersebut masih memenuhi kebutuhan ayam akan gizi dalam pakan yang dikonsumsi. Penurunan Bobot Ayam (%) Selama 24 Jam Dipuasakan Walaupun penurunan bobot ayam selama dipuasakan paling tinggi terjadi pada perlakuan P3, namun secara statistik menunjukkan perbedaan yang tidak nyata. Selanjutnya Tabel 3 menunjukkan bahwa penurunan bobot ayam selama dipuasakan pada perlakuan P3 mencapai 7,01% tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan P0 (6,42%), perlakuan P1 (5,6%) dan perlakuan P2 (4,54%). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa substitusi pakan komersial ayam potong dengan jagung srikandi putih sampai pada taraf 10% dan jagung srikandi kuning sampai pada tingkat 20% belum berpengaruh buruk terhadap penurunan bobot ayam selama 24 jam dipuasakan. Dengan demikian penggantian pakan komersial dengan jagung srikandi kuning dapat dianjurkan kepada peternak ayam potong, untuk menekan biaya produksi sepanjang harga jagung srikandi kuning yang digunakan serta penambahan starbio sebesar 0,25% pada lebih rendah dibandingkan harga pakan komersial. Tabel 3. Pengaruh Jagung QPM Srikandi Kuning dan Srikandi Putih Terhadap Penurunan Bobot Ayam (gr) Selama 24 Jam Dipuasakan dan Penurunan Bobot Ayam (%) Selama 24 Jam Dipuasakan . Perlakuan
N
Bobot ayam (gr)
Bobot ayam (%)
P1 P0 P2 P3
10 10 10 10
95.80 a 105.80 a 71.10 a 116.30 a
6,42 5,60 4,54 7,01
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata (P>0,05)
Bobot Ayam (gr) Setelah Dipotong Hasil analisis varian terhadap bobot ayam setelah dipotong ternyata berbeda yang nyata (P<0,05) yang ditunjukkan oleh nilai F hitung 0,711 > F tabel 0,552 (Tabel 4). Namun setelah dilanjutkan dengan Uji Duncan, perbedaan tersebut secara statisik tidak nyata (P>0,05) (Tabel 8). Selanjutnya Tabel 8 menunjukkan bahwa, bobot ayam perlakuan P3 sebesar 1.369,30 gr tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan dengan perlakukan P2 (1.368,60 gr), perlakuan P1 (1.318,00 gr) dan perlakukan P0 (1.306,10 gr). Hal tersebut menunjukkan bahwa penggantian pakan komersial ayam potong dengan jagung srikandi putih sampai 10% dan jagung srikandi kuning sampai 20%, dan penambahan starbio sebesar
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
222
Seminar Nasional 2005 0,25% secara absolut memberikan dampat yang positif terhadap bobot ayam setelah dipotong. Namun secara statistik penggantian tersebut berpengaruh tidak nyata (P>0,05). Karkas Ayam (gr) Hasil analisis varian menunjukkan bahwa penggantian pakan komersial dengan jagung srikandi putih sebesar 10% dan jagung srikandi kuning sampai pada taraf 20% belum berpengaruh buruk terhadap karkas ayam (gr). Hal tersebut ditunjukkan oleh Tabel 4, bahwa F hitung 0,183 < F tabel 0,907. Sesungguhnya Uji Duncan tidak perlu dilakukan pada kondisi seperti tersebut. Walaupun demikian uji Duncan juga memberikan hasil yang sama, yaitu karkas ayam dengan perlakuan P2 sebesar 1.011,70 gr tidak nyata lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan dengan perlakuan P3 (1.010,90 gr), perlakukan P0 (986,80 gr) dan P1 (978,10). Kondisi tersebut memberikan pentunjuk bahwa penggantian pakan komersial dengan jagung srikandi putih sebesar 10% dan jagung srikandi kuning sampai pada taraf 20% dan penambahan starbio sebesar 0,25% dapat dianjurkan kepada peternak, untuk mengurangi biaya pakan, tanpa berpengaruh buruk terhadap karkas ayam yang dihasilkan. Bahkan secara absolut karkas ayam yang diberikan jagung kuning lebih baik dibandingkan dengan pakan komersial 100% dan jagung srikandi putih 10%. Karkas Ayam (%) Hasil analisis varian terhadap persentase karkas ayam, menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) di antara semua perlakuan, yang ditandai dengan F hitung sebesar 0,440 < F Tabel 0,726 pada level 5% (Tabel 4). Menunjukkan bahwa perlakuan P0 memiliki karkas sebesar 75,35% tidak nyata lebih tinggi dibandingkan karkas ayam perlakuan P1 (75,16%), perlakuan P3 (73,73%) dan perlakuan P2 (73,70%). Hal tersebut menggambarkan bahwa substitusi pakan komersial ayam potong dengan jagung srikandi putih sampai pada taraf 10% dan jagung srikandi kuning sampai 20% dan penambahan starbio 0,25% tidak berpengaruh buruk terhadap karkas ayam potong yang dihasilkan. Perlu ditambahkan bahwa dari hasil analisis terhadap bobot ayam, baik sebelum maupun setelah dipotong, perlakuan P3 umumnya menunjukkan nilai tertinggi dan P0 terendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun pada karkas yang dihasilkan ternyata P0 memiliki persentase karkas paling tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan komersial 100% akan menyediakan nutrisi yang lebih seimbang dibandingkan dibandingkan dengan adanya penggatian dengan jagung srikandi. Kondisi tersebut ditunjukkan oleh persentase karkas yang paling tinggi pada P0 dibandingkan dengan perlakuan lainnya, namun secara statistik hal tersebut berbeda tidak nyata (P>0,05). Penggantian pakan komersial dengan jagung kemungkinan besar akan meningkatkan nilai nutrisi tertentu pada pakan utamanya karbohidrat yang akan disimpan delam bentuk lemak oleh ternak ayam. Meningkatnya kandungan karbohidrat pada pakan akan menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan antara lemak dan protein pakan, juga energi dalam pakan. Penambahan starbio sebagai probiotik yang berfungsi memecah lemak, karbohidrat, dan protein diharapkan mampu menyeimbangkan nutrisi pakan, sehingga penyerapan nutrisi oleh saluran pencernaan ayam akan menjadi lebih sempurna. Hal tersebut telah dibuktikan dengan tidak adanya perbedaan yang nyata di antara semua perlakuan. Tabel 4. Pengaruh Jagung Qpm Srikandi Kuning Dan Srikandi Putih Terhadap Bobot Ayam Setelah Dipotong, Karkas Ayam (gr). Perlakuan
N
Bobot ayam (gr)
Karkas ayam (gr)
% Karkas ayam (gr)
P0 P1 P2 P3
10 10 10 10
1306,10 a 1318,00 a 1368,60 a 1369,30 a
986,80 a 978,10 a 1011,70 a 1010,90 a
75,35 a 74,16 a 73,70 a 73,73 a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata (P>0,05)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
223
Seminar Nasional 2005 Penghematan Biaya Pakan Sasaran utama dalam penelitian ini adalah adanya penghematan biaya pakan tanpa pengaruh buruk terhadap penampilan dan produksi ayam potong. Dari hasil analisis biaya pakan yang diberikan pada setiap perlakuan diketahui bahwa penggantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sampai 20% akan menghemat biaya pakan sebesar Rp.222,50 (7,42%) per kg pakan dibandingkan dengan pemberian pakan komersial 100% (Tabel 5). Sedangkan penggantian dengan 10% jagung serikandi putih maupun kuning akan menghemat biaya pakan sebesar Rp.102,50 (3,42%) per kg pakan. Selanjutnya setelah dilakukan perhitungan terhadap keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk seekor ayam, akan terdapat penghematan biaya sebesar Rp.564,74 untuk ayam yang diberikan penggantian jagung srikandi kuning sebesar 20%. Selanjutnya untuk ayam dengan substitusi pakan jagung srikandi putih 10% dan srikandi kuning sebesar 10% akan terdapat penghematan masing-masing sebesar Rp.301,27 dan 326,72 untuk setiap ekor ayam. Saat ini seorang peternak ayam potong di Bali setidaknya akan memelihara sebanyak 5.000 ekor ayam, itu berarti bahwa penggantian pakan komersial dengan 20% jagung srikandi kuning akan dapat menghemat biaya pakan sebesar Rp. 2.823.700,00. Suatu penghematan yang tidak kecil bagi seorang peternak. Sedangkan di Bali sendiri saat ini populasi ayam potong diperkirakan mencapai sekitar 3 juta ekor. Tebel 5. Analisis Biaya Pakan Ayam Potong Disubstitusi Dengan Jagung Srikandi. Tahun 2004. URAIAN N awal (ekor) N akhir (ekor) BOBOT AKHIR AYAM (gr) Persediaan pakan awal (gr) Pakan sisa akhir penelitian (gr) Pakan yang dihabiskan (gr) Pakan yang habis (gr/ekor) ayam FCR Komposisi Pakan: Pakan komersial (%) Jagung QPM (%) Starbio (%) Pakan komersial (gr) Jagung QPM (gr) Starbio (gr) HARGA PAKAN: Pakan komersial (Rp/gr) Jagung QPM (Rp/gr) Starbio (Rp/gr) Harga Pakan Selama Penelitian: Pakan komersial (Rp) Jagung QPM (Rp) Starbio (Rp) Total Harga Pakan Harga Pakan Rataan (Rp/Kg) Selisih Harga Pakan (Rp/Kg) Selisih Harga Pakan (%/Kg) BIAYA PAKAN (Rp/Ekor) AYAM BIAYA PAKAN (Rp/Kg AYAM) Bibit & Obat2an: Harga Bibit (Rp/Ekor) Obat2an (Rp/ekor) TOTAL BIAYA BIBIT & OBAT (Rp/ekor) TOTAL BIAYA (Rp/Kg Ayam) Perbedaan Biaya (Rp/Kg) Output: Harga Jual Ayam (Rp/Kg) Harga Jual Ayam (Rp/Ekor) Keuntungan: Per Ekor Ayam (Rp) Keuntungan (Rp/Ekor Ayam)
PERLAKUAN P0
P2
P1
P3
25 25 1.511,88 75.000,00 500,00 74.500,00 2.980,00 1,97
25 25 1.538,61 75.000,00 500,00 74.500,00 2.980,00 1,94
25 25 1.545,62 75.000,00 500,00 74.500,00 2.980,00 1,93
25 25 1.547,54 75.000,00 500,00 74.500,00 2.980,00 1,93
100,00 75.000,00 -
90,00 10,00 0,25 67.500,00 7.500,00 187,50
90,00 10,00 0,25 67.500,00 7.500,00 187,50
80,00 20,00 0,25 60.000,00 15.000,00 187,50
3,00 1,80 7,00
3,00 1,80 7,00
3,00 1,80 7,00
3,00 1,80 7,00
225.000,00 225.000,00 3.000,00 8.940,00 5.913,19
202.500,00 13.500,00 1.312,50 217.312,50 2.897,50 102,50 3,42 8.634,55 5.611,92
202.500,00 13.500,00 1.312,50 217.312,50 2.897,50 102,50 3,42 8.634,55 5.586,47
180.000,00 27.000,00 1.312,50 208.312,50 2.777,50 222,50 7,42 8.276,95 5.348,45
2.250,00 500,00
2.250,00 500,00
2.250,00 500,00
2.250,00 500,00
2.750,00 8.663,19 -
2.750,00 8.361,92 301,27
2.750,00 8.336,47 326,72
2.750,00 8.098,45 564,74
9.000,00 13.606,88
9.000,00 13.847,48
9.000,00 13.910,57
9.000,00 13.927,88
4.943,69 -
5.485,56 541.87
5.574,10 630,42
5.829,42 885.74
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
224
Seminar Nasional 2005 Itu berarti bahwa jika upaya substitusi pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sebesar 20% ini bisa dilaksanakan dengan baik di tingkat lapangan, akan terjadi penghematan biaya pakan sebesar Rp.1.694.220.000,- pada setiap 31 hari periode pemeliharaan ayam potong. Apabila dalam setahun terdapat 6 periode pemeliharaan ayam potong, maka akan terdapat penghematan biaya pakan sebanyak 6 x Rp.1.694.220.000,- = Rp.10.165.320.000,00. Selain penghematan biaya pakan yang akan terjadi sebagai akibat penggantian pakan komersial dengan jagung srikandi kuning sebesar 20%, juga terdapat perbedaan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayam yang diberikan pakan komersial 100%. Substitusi pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning 20%, secara absolut ternyata memberikan bobot ayam lebih baik dibandingkan dengan ayam dengan pakan komersial 100%. Hal tersebut telah memberikan keuntungkan yang lebih tinggi pada ayam yang diberikan pakan yang disubstitusi dengan jagung srikandi kuning 20%. Perbedaan keuntungan mencapai Rp.885,74 untuk setiap ekor ayam. Sedangkan ayam dengan penggantian jagung srikandi putih 10% dan srikandi kuning 10% perbedaan keuntungan masing-masing mencapai Rp.541,87 dan Rp.630,42 untuk setiap ekor ayam. Dengan perhitungan sederhana substitusi pakan komersial dengan jagung srikandi kuning 20% akan menyebabkan terjadinya kelebihan keuntungan sebesar Rp.4.428.700,- terhadap peternak yang memelihara ayam 5.000 ekor pada setiap 31 hari periode pemeliharaan. Juga melalui perhitungan yang sederhana terhadap 3 juta populasi ayam potong akan menyebabkan terjadinya kelebihan keuntungan yang mencapai Rp. 2.657.220.000,- pada setiap periode pemeliharaan. Jika dalam setahun terdapat 6 periode maka akan terdapat jumlah keuntungan mencapai Rp.15.943.320.000,-. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Penggantian atau substitusi pakan komersial ayam potong jenis BR 511, yang diberikan pada ayam potong CP 707 dengan jagung Srikandi Putih sampai pada taraf 10% dan jagung Srikandi kuning sampai pada taraf 20% tidak memberikan respon yang negatif terhadap pertumbuhan ayam, dilihat dari aspek pertambahan bobot ayam dan kualitas karkas yang dihasilkan. 2. Secara absolut susbstitusi tersebut memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pakan komersial 100%. 3. dengan perhitungan yang sederhana substitusi pakan komersial dengan jagung srikandi kuning 20% menyebabkan terjadinya kelebihan keuntungan sebesar Rp.4.428.700,terhadap peternak yang memelihara ayam 5.000 ekor pada setiap 31 hari periode pemeliharaan. Saran Hasil pengkajian ini perlu dilanjutkan dan dipraktekkan secara luas yaitu dengan menanam jagung secara luas hasil dari usaha tersebut ditampung oleh peternak dengan sistim kemitraan yang saling menguntungkan sehingga terjadi sinergisme yang baik antara peternak dengan petani jagung.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
225
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA Bjarnason, M. and S.K. Vasal. 1992. Plant Breeding Review. 1992, 9, 181-216. Cordova, H. 2001. Quality Protein Maize: Improved Nutrition and Livelihoods for the Poor. Maize Research Highlights. 1999-200. CIMMYT. p. 27-31. Bjarnason, M. and S.K. Vasal. 1992. Breeding of Quality Protein Maize (QPM) In Janick (Ed.) Plant Breeding Reviews, Volume 9. John Wiley & Sons, Inc. p. 181-216 Cordova, H. 2001. Quality Protein Maize: Improved Nutrition and Livelihoods for the Poor. Maize Research Highlights. 1999-200. CIMMYT. p. 27-31.
DMR. 2001. Production Technology of Quality Protein Maize, Directorate of Maize Research. Pusa Campus. New Delhi – 110012. Paez, A.V., Helm, J.L., and Zuber, M.S. 1969. Crop Science 9, 251-252
Schmidt, R.J., F.A. Burr, M.J. Aukerman, and B. Burr. 1990. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 8:46-50. Villegas, E. 1995. In Proceeding of the International Symposium on Quality Protein Maize (eds. Larkins, B.A,, and E.T. Mertz), EMBRAPA/CNPMS. Mertz, E.T., L.S. Bates, and O.E. Nelson. 1964. Mutant gene that changes protein composition and increases lysine content of maize endosperm. Science 145: 279280.
WHO. 1985. FAO/WHO/UN Expert Consultation. WHO Technical Report Series no. 724, World Health Organization. Geneva, 1985
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
226
Seminar Nasional 2005 PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT DAN DIVERSIFIKASI PANGAN MELALUI PEMASYARAKATAN NASI JAGUNG SEBAGAI SALAH SATU ALTERNATIF PENANGANAN BUSUNG LAPAR Suarni dan M.Sudjak Saenong Balai Penelitian Tanaman Sereal
ABSTRAK Lahan pertanian produktif khususnya lahan sawah telah banyak beralih fungsi menjadi kawasan perumahan, pertambakan dan industri. Konskwensinya peningkatan produktivitas lahan dan diversifikasi pangan akan menjadi tumpuan utama untuk memenuhi kecukupan pangan nasional, perbaikan gizi masyarakat serta penanganan masalah busung lapar. Pola makan anggota masyarakat yang umumnya berbasis pada beras perlu segera diubah. Nasi jagung dapat menjadi alternatif sebagai bahan subtitusi beras. Nasi jagung dalam masyarakat desa sudah tidak asing lagi (khususnya di jawa), karena dalam kondisi rawan pangan dan masa paceklik mereka memilih bahan pangan alternatif dengan mengkonsumsi nasi jagung sebagai pengganti beras. Dengan majunya perkembangan teknologi dibidang pemulian tanaman jagung, telah ditemukan varietas jagung yang mempunyai kandungan nutrsi (protein) yang tinggi melebihi nutrisi beras, sehingga pemanfaatan nasi jagung dimasa datang sangat prospektif untuk dikembangkan. Lagi pula teknologi pembuatannya sangat sederhana dan murah. Pengolahnya dapat menggunakan alat-alat tradisional, tetapi dapat pula menggunakan mesin modern. Aromanya mempunyai cita rasa yang khas dan mengundang selera, dapat dibuat variasi menu seperti lazimnya nasi beras. Kelebihannya adalah nasi jagung sangat cocok dikomsumsi bagi mereka yang menderita penyakit gula,utamanya jagung kuning yang kaya dengan pro vitamin A dan Fe. Kata kunci : gizi masyarakat, diversifikasi pangan, nasi-jagung.
PENDAHULUAN Pembangunan manusia yang berkualitas melalui peningkataan kesehatan, peningkatan keseimbangan pangan dan gizi yang dilaksanakan harus sejalan dan saling mendukung dengan pembangunan bidang ekonomi. Hal ini didasarkan pada pengertian bahwa dengan kesehatan yang meningkat, akan meningkatkan produktivitas kerja, yang berarti ekonomi masyarakat meningkat pula. Sebaliknya dengan peningkatan ekonomi masyarakat juga akan memberi pengaruh terhadap perbaikan kesehatan (Pidato Gubernur Sulawesi Selatan,2000). Upaya perbaikan gizi masyarakat hendaknya didukung oleh upaya swasembada pangan, peningkatan penganekaragaman pangan, peningkatan mutu gizi berbagai jenis pangan utamanya pangan tradisional, dengan orientasi pada pola konsumsi masyarakat yang diarahkan pada pendekatan pola pangan harapan dengan tingkat penyerapan kalori sebesar 2500kkal/orang/hari. Rendahnya kemampuan penyediaan pangan propinsi Sulawesi Selatan khususnya untuk kelompok padia-padian yang hanya terealisasi 71,18%, dibandingkan dengan komoditi jagung yang mencapai angka 127,02%, kelompok ubian-ubian >100%, maka upaya peningkatan diversifikasi pangan menjadi syarat mutlak yang harus ditempuh. Justifikasinya adalah untuk menghindari timbulnya persoalan rawan gizi seperti kasus busung lapar sebagai akibat tidak tercukupinya kebutuhan karbohidrat dari kelompok padi-padian. Karena masalah gizi adalah unsur yang sangat penting dalam peningkatan kualitas SDM masyarakat, maka gizi harus mendapat perhatian dan prioritas yang lebih tinggi dalam pembangunan nasional dan daerah. PERKEMBANGAN TINGKAT KONSUMSI JAGUNG Jagung merupakan sumber kalori pengganti atau supplemen bagi beras. Meskipun cnderung menurun tingkat konsumsinya, jagung masih merupakan bahan makanan pengganti atau supplemen bagi sebagian masyarakat pedesaan khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Timor Timur, seluruh propinsi Sulawesi. Proporsi penggunaan jagung sebagai bahan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
227
Seminar Nasional 2005 pangan cenderung menurun, sebaliknya penggunaan sebagai bahan pakan dan bahan baku industri meningkat. Sebagai bahan pangan, jagung dikonsumsi dalam bentuk jagung basah, jagung kering pipilan, dan dalam bentuk tepung jagung (Sudaryanto et al., 1993). Bentuk yang paling banyak dikonsumsi rumah tangga diperkotaan adalah jagung basah, sedang di pedesaan jagung pipilan. Perkembangan tingkat konsumsi jagung perkapita secara nasional adalah 28,98 kg/kapita/tahun (1970), turun menjadi 15,75 kg/kapita/tahun (1980), 8,48 kg/kapita/tahun (1990), 5,93 kg/kapita/tahun pada tahun 1993 (PSE,1997). Secara umum tingkat konsumsi jagung/kapita/tahun di pedesaan lebih tinggi dibanding konsumsi di perkotaan. Propinsi yang tingkat konsumsi jagung perkapitanya tinggi adalah Lampung dengan tingkat pemakaian 11,84 kg/kapita/tahun, Jawa Tengah 8,57 kg/kapita/tahun, Jawa Timur 9,80 kg/kapita/tahun, NTT 39,21 kg/kapita/tahun, Timor Timur 46,81 kg/kapita/tahun, Sulawesi Utara 13,79 kg/kapita/tahun dan Sulawesi Tenggara 14,66 kg/kapita/tahun (Sudaryanto et al., 1998). SIFAT FISIKOKIMIA BIJI JAGUNG Sifat fisikokimia biji jagung sangat berpengaruh terhadap siklus dari suatu rantai makanan. Sebagai contoh, untuk menghasilkan telur agar berwarna menarik, maka ayam petelur diberi makan jagung kuning untuk campuran bahan pakannya. Pada suatu proses industri, untuk menghasilkan produksi gula cair yang bermutu, maka jagung yang berkadar amilosa tinggi digunakan sebagai bahan campuran untuk mendapatkan kualitas produk yang baik (Tangenjaya dan Gunawan,1988). Pengamatan sifat fisikokimia biji jagung yang dilakukan oleh Munarso et al., (1991) terhadap 19 varietas/galur menunjukkan bahwa pada kadar air rata-rata 9,29%, diperoleh bobot 100 butir jagung rata-rata 23,82 g dengan densitas biji masing-masing 748,36 g/l dan tingkat kekerasan 15,14 kg. Jagung ketan/pulut tercatat paling rendah densitasnya (603,60 g/l), sedangkan varietas Abimanyu densitas tertinggi (795,00 g/l). Kadar rata-rata protein jagung adalah 8,95%, dengan kadar protein terendah tercatat pada galur MN8531 (6,90%) dan tertinggi pada varietas Kalingga (10,04%) (Tabel 1). Tabel 1. Sifat Fisika dan Kimia Biji Jagung pada Pengamatan 19 Varietas/Galur Uraian Sifat Fisik Kadar air(%) Bobot 100 butir(g) Densitas(g/l) Kekerasan(kg) Sifat Kimia Amilosa(%) Protein(%) Lemak(%) Abu(%) Serat(%)
Minimum
Maksimum
Rata-rata
Simpangan
8,24 17,63 603,60 13,40
10,13 34,10 795,00 16,90
9,29 23,82 748,36 15,14
0,60 4,70 49,78 1,03
6,37 6,90 2,55 0,84 2,33
24,35 10,04 6,22 1,37 6,94
20,25 8,95 4,56 1,09 3,31
3,64 0,68 0,68 0,15 1,17
Sumber: Munarso et al (1991)
PROSEDUR PEMBUATAN NASI JAGUNG Untuk memperoleh citarasa yang khas dari nasi empok, maka prosedur tatalaksana pembuatan harus runut dengan tatacara yang selama ini dilakukan oleh petani yang telah terbiasa dengan pembuatan nasi empok dengan urutan sebagai berikut: 1) Biji jagung yang digunakan sebaiknya bukan dari jagung pulut/ketan ataupun jagung popcorn. Dapat menggunakan jagung kuning atau jagung putih, tetapi sebaiknya jagung putuh. Pada penggunaan biji jagung kuning, maka nasi jagung akan berwarna agak
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
228
Seminar Nasional 2005 kekuning-kuningan, akan tetapi bila menggunakan jagung putih, warna nasinya sangat putih sekali. 2) Biji jagung terlebih dahulu disortasi untuk memisahkan biji sehat dengan biji-biji yang terserang hama gudang atau yang telah tercemar oleh cendawan. Biji juga dibersihkan dari kotoran-kotoran lain seperti potongan-potongan brangkasan tongkol atau bagian tanaman lainnya yang jatuh pada waktu pemipilan. 3) Biji yang telah disortasi direndam selama 10 jam bila penepungan menggunakan cara tradisional, tetapi bila digiling dengan mesin penepung perendaman hanya memerlukan waktu 2 jam saja. Perendaman dimaksudkan untuk melunakkan biji pada waktu pengolahan. 4) Setelah direndam, biji tersebut ditiriskan ± 1 jam, dan dikeringkan dengan udara kamar. Biji dimasukkan ke dalam lumpang/lesung untuk kemudian ditumbuk. Lumpang/lesung yang digunakan dapat terbuat dari kayu maupun dari batu. 5) Setelah ditumbuk menjadi butiran, bahan diambil dan ditampi dengan diinter (ditampi putar melingkar) dengan menggunakan alat penampi atau tampi. Penginteran dimaksudkan untuk memisahkan butiran halus dan butiran kasar. Butiran halus dengan ukuran mesh sebesar butiran gula pasir yang telah bercampur tepung disatukan dalam wadah, sedang butiran yang kasar ditumbuk kembali sampai menjadi halus. Demikiam seterusnya dilakukan sampai semua biji jagung habis ditumbuk. 6) Bahan-bahan butiran tersebut diperciki air (dibasahi), tetapi tidak boleh terlalu basah, kemudian digaru/diaduk sampai seluruh butiran terkena percikan. Pemercikan air dimaksudkan untuk melembabkan butiran dan terbentuknya gumpalan-gumpalan tepung untuk memudahkan pengambilan dan selanjutnya dikukus. 7) Bahan kemudian dikukus dengan menggunakan dandang tinggi (dandang tempo dulu) yang terbuat dari tembaga. Penggunaan dandang ini karena alat pengukusnya terbuat dari daun nifah atau anyaman bambu yang rapat dengan ujungnya lancip, sehingga penggunaan dandang datar akan menyulitkan pengukusan. 8) Bila akan digunakan dandang datar (dandang jaman sekarang), maka terlebih dahulu lubang-lubang pengalas bawahnya harus dilapisi bahan yang memungkinkan butiran bahan jagung tidak jatuh ke dalam air dibawahnya. Dandang datar mempunyai lubang pengukus alas bawah yang relatif besar dibanding butiran bahan. 9) Setelah dikukus ± 30 menit bahan digaru di atas kukusan, kemudian diangkat dan dicelupkan dalam air dingin selama ± 30 detik kemudian digaru kembali. Penggaruan dimaksudkan untuk memisahkan gumpalan-gumpalan bahan sehingga menjadi hablur. 10) Bahan kemudian dikukus kembali ± 15 menit untuk selanjutnya dapat dikonsumsi Skema urutan kerjanya dapat dilihat pada diagram Gambar 1.
PENUTUP Pembuatan nasi jagung dipedesaan selama ini terutama dalam proses pembuatan butiran masih menggunakan alat yang sangat tradisional yakni dengan cara penumbukan. Proses ini sangat memakan tenaga dan banyak biji jagung yang terbuang karena terlempar keluar lesung/lumpang sewaktu proses penumbukan dilakukan. Penelitian dengan penggunaan masinasi modern perlu dilakukan guna mendapatkan cara yang paling efesien dalam proses pembutiran.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
229
Seminar Nasional 2005
Gambar 1. Diagram Alur Pembuatan Nasi Jagung
DAFTAR PUSTAKA Munarso,S.J.dan D.S.Darmadjati.1991.Evaluasi Sifat Fikokimia Berbagai Varietas Jagung. Laporan Penelitian. Balittan Sukamandi (belum dipublikasi). Pidato Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan.2000. Pengembangan Gizi dan Pangan sebagai Basis Peningkatan Indikator Sosial/SDM di Sulawesi Selatan. Sudaryanto,T., Erwidodo, dan A.Purwanto.1993. Pola Konsumsi Beras, Jagung dan Kedelai serta Implikasinya terhadap Proyeksi Permintaan. Makalah disampaikan pada Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Bogor,23-25 Agustus 1993.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
230
Seminar Nasional 2005 Sudaryanto, T., A.Suryana, dan Erwidodo.1998. Penawaran, Permintaan dan Konsumsi Jagung di Indonesia: Pengalaman Pelita IV dan Proyeksi Pelita VI. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung. Akselerasi Pengembangan Teknologi Hasil Penelitian Jagung Menunjang Intensifikasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertania. Pusat Penelitian Tanaman Pangan.Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serelia Lain.Maros, 11-12 Nopermber 1997. Tangenjaya,B. dan Gunawan.1988. Jagung dan Limbahnya untuk Makanan Ternak, Dalam Subandi, M.Syam dan A.Widjono(eds).Jagung.Pusat Penelitian Tanaman Pangan.Bogor.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
231
Seminar Nasional 2005 KEBERADAAN PLASMA NUTFAH SORGUM DAN PEMANFAATANNYA DI KAWASAN LAHAN KERING PULAU LOMBOK Sumarny Singgih1), Oman Suherman1), Syahrir Mas’ud1) dan M. Zairin2) Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Serealia di Maros Sulawesi Selatan 2) Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian di Nusa Tenggara Barat 1)
ABSTRAK Sorgum (Sorghum bicolor L) atau "beleleng/buleleng" di Pulau Lombok masih ditanam petani di lahan kering dengan pola tumpangsari dengan jagung atau diantara tanaman mente. Sorgum dimanfaatkan untuk pangan tambahan selain jagung dan beras. Bentuk makanan olahannya yaitu beras sorgum yang telah direndam 24 jam, ditanak seperti nasi dan jika telah matang dicampur dengan kelapa parut dan atau gula. Selain itu, sorgum putih atau jenis reket biasa digoreng untuk pengganti ikan atau makanan kudapan/selingan. Di pasar Mandalika Mataram, harga sorgum dari petani dibeli seharga Rp. 1000 /kg, sedangkan harga pakan burung peliharaan yang terdiri dari campuran beras hitam, sorgum, dan jewawut sebesar Rp. 6.000/kg. Plasma nutfah sorgum ditemukan dibeberapa lokasi. Di Dusun Lembah Pede, Akar-akar (Bayan) masih ditanam sorgum putih dan sorgum merah untuk pangan, pakan ayam dan batangnya yang manis untuk pakan sapi, sedangkan bijinya selain dipakai untuk bahan makanan tambahan juga merupakan sumber tambahan pendapatan keluarga. Di Dusun Leper, Labuhan Lombok (Pringgabaya), nasi beleleng putih sering disajikan dalam upacara adat. Di Dusun Sambi Jengker Timur Selengan (Kayangan) dan Montong Iting Perigi (Suwela), beleleng empok dan beleleng reket selain untuk pakan ternak juga dijadikan pangan kudapan dengan cara digoreng membentuk seperti pop corn. Bobot biji sorgum lokal lombok berukuran 20-35 gram/1000 butir, sedangkan bobot sorgum unggul Kawali seberat 30 g/1000 butir dan Numbu seberat 38 g/1000 butir. Benih sorgum unggul varietas Kawali dan Numbu diterima petani untuk ditanam bersama jenis lokal sebagai bahan evaluasi lebih lanjut dalam memperkaya keragaman genetik sorgum di Pulau Lombok. Kata kunci: Plasma nutfah, varietas unggul, sorgum
PENDAHULUAN Sorgum (Sorghum bicolor L) termasuk jenis tanaman serealia yang memiliki keunggulan lebih toleran terhadap cekaman kekeringan dibanding jenis tanaman serealia lainnya jagung, gandum, dan padi karena sorgum dapat tumbuh baik pada curah hujan 600 mm/tahun (Sudaryono, 1995). Kelebihan lain dari tanaman sorgum adalah untuk varietas tertentu memiliki batang yang rasanya manis seperti batang tebu yang cocok untuk pakan ternak jenis ruminansia. Pada umumnya petani secara turun temurun sudah mengenal daun tebu sebagai pakan ternak dan biji sorgum selain untuk makanan selingan juga disukai burung termasuk ayam. Oleh sebab itu sorgum sebagai tanaman pangan dipedesaan sangat memungkinkan untuk diintegrasikan dengan ternak ruminansia, ternak unggas, dan burung peliharaan. Di negara maju, biji sorgum digunakan untuk bahan baku industri seperti industri lem dan industri bir karena harganya bisa lebih murah dibanding beras dan jagung Reddy et al (1995). Namun biji sorgum mengandung 9-14% protein kasar yang cocok untuk pakan burung pelihraan seperti perkutut yang harganya dapat mencapai Rp 6000/kg. Di Indonesia, pengembangan sorgum diharapkan untuk mengatasi rawan kekurangan pangan, penyediaan pakan termasuk hijauan pakan ternak, diversifikasi produk pertanian, dan penyediaan bahan industri pangan serta pakan (Sumarno dan Suwasik, 1996; Belum et al., 1996). Di pedesaan biji sorgum umum di buat menjadi pangan tradisional substutusi beras dan jagung. Sorgum memiliki keragaman genetik yang luas dan keberadaan suatu varietas dipetani terkait dengan preferensi penduduk terhadap perbedaan mutu, rasa, warna, dan kegunaannya. Secara umum biji sorgum mengandung protein total 9,5%, serat kasar 2,3%, Carbohidrat 68%, Calsium 0,11%, Methionin + Systin 0,35%, dan Lysin 0,22% (Wright, 1993). Oleh sebab itu dari kandungan nutrisinya, sorgum memiliki prospek pasar yang baik tidak sepopuler tanaman jagung. Salah satu penyebab kurang berkembangnya tanaman
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
232
Seminar Nasional 2005 sorgum karena belum diketahuinya jalur pemasaran akibat kualitas sorgum yang ada di petani belum sesuai kebutuhan pengguna. Tanaman sorgum semakin tersisih, petani penanam sorgum merasa rendah diri karena nilai pangannya lebih rendah dari padi dan jagung. Sorgum sebaiknya ditanam pertengahan hingga akhir musim hujan setelah panen jagung agar panen pangan dan pakan dalam setahun berkali-kali. Namum karena keterbatasan varietas yang dimiliki petani sehingga panen sorgum sering bersamaan dengan jagung yang akhirnya sorgum kurang bernilai sebagai tanaman subtitusi. Oleh sebab itu introduksi sorgum unggul kepada petani diperlukan untuk menambah keragaman varietas untuk diseleksi sesuai dengan kebutuhan rumah tangga dan permintaan pasar. Sedangkan sorgum lokal yang masih dipertahankan petani perlu dilestarikan dari kepunahannya karena merupakan sumber daya genetik yang mempunyai peluang dapat menjadi induk tetua pembentukan varietas unggul baru sesuai dengan kebutuhan pengguna yang kian lama semakin beragam. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ekplorasi (pencarian dan pengumpulan) plasma nutfah sorgum lokal dan penyebarluasan varietas unggul sorgum terlebih dahulu dipersiapkan bahan genetik berupa benih contoh sebanyak sebanyak 50 kg. Varietas yang dipersiapkan uk diberikan ke petani masing-masing varietas Numbu dan Kawali yang dilepas tahun 2002 (Tabel 1). Bahan lain untuk keperluan koleksi antara lain kantong kertas, kantong plastik, alat tulis, dan alat dokumentasi. Tabel 1. Karakter sorgum unggul varietas Numbu dan Kawali. Balitsereal, 2005. Karakter Tinggi tanaman, cm Umur panen, hari Bentuk malai dan cabag biji Bobot malai, g Panjang malai, cm Bobot 1000 butir, g Kandungan tanin, % Protein, % Lemak, % Karbohidrat, % Warna sekam Warna biji Bentuk butiran biji Kerontokan
Numbu 160-190 100-110 Ellips dan kompak 100-120 22 - 23 36 – 38 0,75 8-9 3-4 85 - 87 coklat muda Krem Bulat Mudah rontok
Kawali 125 – 145 100 – 110 Ellips dan kompak 120-140 28 – 29 29 – 30 0,70 8–9 1–2 87 – 89 Kuning muda Krem Bulat Mudah rontok
Keberadaan plasma nutfah sorgum di Pulau Lombok didekati melalui kunjungan lapang yang diawali dari studi pustaka berupa laporan tahunan dinas pertanian atau pihak lain tentang pertanian lahan kering. Informasi tersebut selanjutnya disinkronkan dengan pengalaman para peneliti BPTP baik berdasarkan pengalaman mereka terdahulu maupun yang secara tidak sengaja pernah melihat tanaman sorgum di petani. Untuk memperoleh kebenaran keberadaan plasma nutfah sorgum dipetani maka dibuat standarisasi lokasi kunjungan antara lain: (a) lahan yang dikunjungan termasuk lahan kering beriklim kering; (b) perokonomian petani tergolong kurang beruntung; dan (c) lokasi pertanaman sorgum di kawasan terpencil. Berdasarkan kriteria tersebut maka dipilih kecamatan-kecamatan yang akan dikunjungi yang terdirti dari Kecamatan Bayan dan Pringebaya di Lombok Barat; dan Kecamatan Kayangan dan Suwela dikecamatan Lombok Timur. Kunjungan lapang didampingi oleh peneliti BPTP agar terarah dan efektif. Dalam menelusuri petani penanam sorgum, dilakukan komunikasi dengan penyuluh pertanian daerah setempat dan ketua kelompok tani. Sambil menelusuri jalan-jalan desa menuju rumah petani penanam sorgum dipatau juga keragaman jenis tanaman serealia yang
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
233
Seminar Nasional 2005 ditanam petani. Mengawali pembicaraan mengenai keberadaan plasma nutfah serealia yang dimiliki petani terlebih dahulu memperkenalkan diri yang dilanjutkan dengan tujuan kunjungan yaitu tukar menukar bahan genetik varietas sorgum dan saling menginformasikan karakter-karakter sorgum yang dimilikinya. Jumlah per varietas yang diberikan tidak berbeda dengan jumlah yang diperlukan yaitu sekitar 0,5 – 1,0 kg setiap varietas. Permasalahan petani dalam memproduksi sorgum juga digali dalam kunjungan lapang yang dihadiri oleh beberapa petani di rumah dan atau sanggar kelompok tani. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Karakter fisik malai dan biji plasma nutfah sorgum Pulau Lombok Tanaman sorgum masih ditanam oleh beberapa petani di daerah terpencil di pegunungan dengan sistem budidaya tumpangsari dengan jagung dan atau di dalam pola usahatani kebun campuran (Tabel 2). Tabel 2. Lokasi (dusun, desa dan kecamatan) penanaman sorgum. Lombok 2005. Dusun Lembah Pede
Desa Akar-akar
Kecamatan Nama Aksesi Ciri-ciri Kegunaan Bayan 1. Beleleng Warna biji : putih - Makanan putih Kulit biji : hitam, coklat ayam Ukuran biji : besar - Makanan Batang : manis sapi Bobot 1000 biji : 30,8 g - Di jual 2. Beleleng merah
Leper
Labuhan Lombok
Pringgabaya 1. Beleleng puteh
Sambi Jengker Timur
Selengen
Kayangan
1. Beleleng
Dasan Montong Iting
Perigi
Suwela
1. Beleleng empok
2. Beleleng reket
Penyimpanan Campur garam
Hama Bubuk
Warna biji : merah, coklat Kulit biji : hitam Ukuran biji : sedang Bobot malai : 93,3 g Bobot biji/malai : 67,6 g Bobot 1000 biji : 25,8 g Jumlah rachir : 28 Warna biji : cream Kulit biji : coklat muda Ukuran biji : kecil Bobot 1000 biji : 20,4 g
- Makanan selingan
Warna biji : coklatkemerahan Kulit biji : hitam Ukuran biji : besar Bobot/malai : 260 g Jumlah rachir : 41 Bobot biji/malai : 225,25 g Bobot 1000 biji : 35,6 g Warna biji : putih kekuningan Kulit biji : coklat muda Ukuran biji : besar Bobot 1000 biji : 30,8 g
- Ditepungkan Di gantung di - Digoreng dapur - Makanan burung
-
- Di goreng
-
- Di tumbuk, - Di rebus - Makanan pesta
Digantum di atap rumah
-
-
-
-
Warna biji : putih Bobot biji : 983,1 g
Di Dusun Lembah Pede Desa Akar-akar, Kecamatan Bayan terdapat beberapa petani yang setiap tahun (Pebruari-Juni) biasa menanam sorgum. Sorgum ditanam di kebun campuran disela-sela tanaman jambu mente, nangka, dan pisang. Sorgum ditanam juga disamping kandang ternak sapi. Sistem bertanam tidak beraturan tergantung lahan yang kosong. Jumlah tanaman yang dibudidayakan diperkirakan mengokupasi luasan 25 are dengan kebutuhan benih setiap kali tanam 15-20 kg, hasil musim tanam tahun sebelumnya. Di kawasan Dusun Lembah Pede, terdapat dua jenis sorgum atau bahasa lokalnya Beleleng. Sorgum berwarna biji putih, memiliki kulit biji coklat bercambur hitam, ukuran biji tergolong besar karena berbobot 30,8 g/1000 butir. Petani penyukai jenis Beleleng putih
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
234
Seminar Nasional 2005 karena batangnya disuka ternak sapi, dan anak-anak sering mengisap-isap bagian dalam batang sorgum karena memiliki rasa manis. Sorgum ditanam bersamaan waktunya dengan jagung atau setelah jagung muda dipanen dan tanah masih basah, sehingga panen sorgum sekitar satu bulan lebih lambat dari tanaman jagung. Petani yang menanam sorgum putih mengaku biji sorgum sebagian dipakai untuk pangan keluarga, sebagian dijual di pasar dengan harga Rp. 1000/kg dan batangnya untuk pakan sapi yang pada saat itu batang jagung dan rumput sudah mengering. Pemanfaatan sorgum untuk pangan diawali dengan menumbuk biji, membersihkan kulit biji, merendam beras, menanak beras sorgum dan disantap bersama parutan kelapa. Di Desa Lembah Pede, Akar-akar ditemukan pula Beleleng merah yang bijinya berwarna merah campur coklat. Warna kulit bijinya hitam, berukuran biji sedang dengan bobot malai 93,3 g, bobot biji kering per malai 67,6 g atau rendeman biji 72%, bobot 1000 butir 25,8 g dan jumlah cabang biji atau rachis sebanyak 28 cabang. Sisa biji yang tidak dijual, mereka mengamankannya dengan cara menyimpan bentuk malai yang terikat di guntung dibawah atap rumah. Sorgum di Dusun Leper, Desa Labuhan Lombok juga memiliki nama lokal Beleleng. Petani menanam sorgum secara tumpangsari dengan jagung dilahan kering dengan waktu tanam bersamaan dengan waktu tanam jagung atau setelah tanam jagung. Di daerah itu, biji sorgum dipersiapkan untuk bahan pangan dimasa masa paceklik, tapi kadangkala dibuat makanan selingan seperti bubur manis sorgum. Upaya pengawetan biji yaitu dengan cara menyimpan biji sorgum dengan malainya digantung disimpan di bawah atap rumah. Sorgum yang dipertahankan oleh mereka bercirikan warna biji krem, kulit biji coklat muda, ukuran buji kecil dengan bobot 20,4 g/1000 butir. Kecilnya ukuran biji karena sorgum ditanam tanpa pupuk di lahan yang mungkin kurang subur. Disekitar pedesaan Labuhan Lombok, petani biasa memprosesing sorgum dengan cara menumbuk biji berkulit, membersihkan sekam dan kotoran lain, beras dikukus seperti nasi yang sering disajikan dalam upacara adat dan pesta. Sorgum di Dusun Sambi Jengker Timur, Desa Selengan, Kecamatan Kayangan disebut juga Buleleng. Kebiasaan mengolah biji sorgum dengan cara ditepungkan lalu diolah lebih lanjut menjadi bubur dan dodol hingga dapat disimpan cukup lama. Pemanfaatan biji sorgum secara cepat adalah dengan cara digoreng dengan sedikit minyak kelapa dan biji sorgum akan berkembang seperti pop corn. Biji sorgum, juga dimanfaatkan untuk pakan burung dan ayam peliharaanya. Pengamanan biji sorgum dilakukan dengan cara menggantung malai sorgum di atas tungku api tempat memasak di dapur. Di Desa Selengan ini, ditemukan satu plasma nutfah sorgum dengan warna biji coklat kemerahan, kulit biji hitam, ukuran biji besar dengan bobot 1000 butir 35,6 g. Bobot malai mencapai 260 g dengan bobot biji kering 225 g atau rendeman sekitar 86% dengan panjang rachis 41 cabang. Tabel 3. Karakter malai dan sorgum lokal asal Desa Akar akar dan Desa Selengan, Lombok 2005. Karakter malai dan biji Panjang malai, cm Bobot malai, g Bobot biji per malai, g Rendemen biji, % Bobot 1000 butir, g Jumlah rachis, cabang Warna biji Warna kulit biji
Beleleng merah Asal Akar-akar
Beleleng coklat Asal selengan
93,3 67,6 72 25,8 28 merah hitam
260 225,25 86 35,6 41 coklat kehitaman hitam
Di Dusun Montong Iting, Desa Perigi, Kecamatan Suwela ditemukan dua jenis sorgum atau beleleng yaitu beleleng empok dan reket (Tabel 4). Di lahan petani masih nampak sisa-sisa tanaman sorgum yang batangnya masih berdiri lebih kuat dibanding tanaman jagung. Sorgum di tanam setiap 24 baris tanaman jagung sebanyak 2 baris secara berselang seling dan tidak beraturan. Panjang baris tergantung lebar lahan. Jarak tanam antar baris sorgum 80 cm dan jarak dalam baris 50 cm dengan 2-3 batang per rumpun. Tinggi tanaman mencapai 3 meter lebih dengan posisi pohon tegak hingga agak miring. Pengakuan petani terhadap pemanfaatannya tidak berbeda dengan petani lainnya yaitu ditanak,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
235
Seminar Nasional 2005 ditepungkan, dan digoreng. Demikian juga penyimpanan untuk jangkan panjang disimpan di bawah atap. Tabel 4. Karakter biji sorgum empok dan reket dari Desa Perigi, Lombok Timur 2005 Karakter biji Warna biji Warna kulit biji Bobot 1000 butir Ukuran biji
Beleleng empok Putih kekuningan Coklat muda 30,8 g besar
Beleleng reket Putih Putih kekuningan 29,5 g besar
PEMBAHASAN Sorgum termasuk tanaman pangan yang memiliki toleransi kekeringan lebih tinggi dibanding padi. Hal ini terlihat dari beberapa petani yang masih menanam sorgum di kebun dan pekarangannya bersama tanaman lainnya seperti jagung, biji-bijian tahunan tahan kering yakni gude (Cayanus cayan), dan dan kacang-kacangan jenis kacang komak (Phaseolus). Implikasi dari temuan ini antara lain perlu mengintroduksikan jenis sorgum yang unggul yang sesuai dengan preferensi mereka. Untuk itu telah dilakukan tukar menukar benih sorgum varietas unggul Numbu dan Kawali dengan jenis lokal, dengan harapan varietas unggul ditanam oleh petani untuk dinilai keunggulannya dengan jenis lokal yang mereka miliki. Sorgum termasuk tanaman yang menyerbuk sendiri sehingga untuk menghasilkan varietas baru yang unggul perlu persilangan yang diikuti dengan seleksi lajutan. Pembuatan varietas unggul dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Balitsereal sehingga lembaga tersbut perlu mendorong atau berperan serta dalam penyebarluasan varietas unggul sorgum. Memang, secara nasional dan global permintaan biji sorgum terjadi penurunan dibanding jagung yang semakin maju. Demikian pula peluang petani beragribisnis sorgum masih dibawah jagung yaitu selama lahan masih bisa ditumbuhkan jagung maka petani akan cenderung memilih menanam jagung dibanding sorgum. Namun secara teori bahwa sorgum lebih tahan kekeringan dibanding jagung dan pembuktian itu belum banyak dicontohkan para peneliti. Beberapa ide mengangkat sorgum sebagai komoditas utama dilahan kering beriklim kering perlu penelitian (Tabel 5). Tabel 5. Beberapa pokok penelitian dan pengembangan komoditas sorgum untuk daerah lahan kering beriklim kering, Maros 2005 Bidang Penelitian Pengkajian
Demplot
Jenis kegiatan -
Seleksi berbagai galur sorgum yang toleran kekeringan Membuat varietas sorgum yang lebih lebih toleran kekeringan Uji adaptasi galur harapan. Evaluasi waktu tanam sorgum Evaluasi pengaturan populasi sorgum pola tumpangsari Demontrasi paket budidaya sorgum (sorgum bersamaan tanam jagung jagung, sorgum direlay sebelum panen jagung, perbandingan populasi tanaman sorgum dan jagung, dan komoditas tahan kekeringan. - Pelatihan mengolahan sorgum untuk pangan dan pakan yang aplikatip disekitar wilayah pengembangan.
KESIMPULAN 1. Sorgum sebagai tanaman pangan dan pakan ditanam di lahan kering secara tumpangsari dengan tanaman jagung pada kebun campuran. 2. Terdapat enam aksesi sorgum lokal Pulau Lombok yaitu beleleng putih dan buleleng merah asal akar-akar; beleleng kuning muda (krem) asal pringebaya; beleleng coklat kemerahan asal Kayangan; beleleng empok dan beleleng reket asal Suwela.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
236
Seminar Nasional 2005 Saran Ke enam jenis sorgum lokal dapat ditanam terus-menerus oleh petani setempat. Keenam jenis sorgum lokal dapat diamankan dari kepunahannya oleh Balitsereal dan dimanfaatkan untuk induk persilangan untuk dikembalikan kepada petani asalnya. DAFTAR PUSTAKA Belum, U.S.,Reddy,J.W. Stenhouse, and H.F.W. Rattunde 1996. Sorhum Grain Quality Improvement For Food,Freed and Industrial Uses. dalam Sudaryono Atang S., Jayuk A.B., dan Achmad W. (ed). Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri. Balitkabi. 369 p. Reddy.D.V.S., J.W. Stenhouse, and H.F.W. Rattunde. 1995. Sorghum garin Quality for Food, Feed, and Industrial Uses. Edisi Khusus Balitkabi (4) : 39-52 Sudaryono. 1996. Prospek Sorgum di Indonesia ; Potensi, Peluang dan Tantangan Pengembangan Agribisnis, Edisi Khusus Balitkabi. (4): 25-38 Sumarno dan Suwasik. 1996. Perkembangan Produksi Sorgum di Dunia dan Penggunaannya dalam Sudaryono, Atang S., Jajuk A.B. dan Achmad W., (ed). Risalah Simposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri Balitkabi, 369p. Wright, A.F. 1993. Animal feeds: Comnbining the Best of Both Wordls. World Agriculture, Sterling Publishinhg Group PLC, Hongkong.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
237
Seminar Nasional 2005 KEBERADAAN DAN PEMANFAATAN PLASMA NUTFAH JEWAWUT DI KAWASAN LAHAN KERING PULAU LOMBOK Oman Suherman1), M. Zairin2) dan Awaluddin2) Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros, Sulawesi Selatan 2) Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat 1)
ABSTRAK Jewawut (Panicum sp) di Pulau Lombok dikenal dengan nama Jawe atau Betem. Jewawut termasuk rerumputan penghasil biji yang kaya mengandung calsium. Keragaman jenis jewawut di pulau Lombok ditemukan di Kecamatan Bayan, Pringgabaya, dan Kayangan. Keragaman karakter nampak dari warna biji yang teridiri dari warna hitam, coklat muda, coklat tua, merah coklat, krem, dan putih. Keragaman bentuk dilihat dari variasi bobot malai yang bervariasi antara 11,8 g hingga 18,8 g dan keragaman jumlah rachis antara 104 hingga 143 cabang. Keragaman bobot 1000 butir biji berkisar antara antara 7,3 g hingga 13, 5 g. Bentuk malai yang ditemukan termasuk jenis foxtail atau ekor kucing yang panjangnya antara 23 cm hingga 31 cm. Di Kecamatan Bayan ditemukan satu jenis jewawut lokal. Di Kecamatan Kayangan ditemukan dua jenis jewawut lokal yang berbeda dari bentuk malai, warna biji dan jumlah rachisnya. Di Kecamatan Pringgabaya ditemukan dua jenis jewawut lokal yang berbeda ukuran malai, jumlah cabang rachis, warna biji dan bobot 1000 butir. Jewawut yang dipertahankan oleh petani tergolong jenis foxtail atau ekor kucing. Namun keragaman biji jewawut atau millet pasar Narmada dan Milantika adalah jenis foxtail dan per millet dengan harga Rp. 6 000/kg. Cara tradisional pemanfaatan jewawut adalah sebagai makanan selingan berupa bubur betem, dodol betem dan bajet betem. Petani sampel belum pernah menjual jewawut ke pasar burung. Kata kunci: plasma nutfah, jewawut, pulau Lombok.
PENDAHULUAN Jewawut atau millet (Panicum sp) termasuk tanaman serealia ekonomi keempat setelah padi, gandum dan jagung. Biji millet mudah dijumpai di kios maupun di pasar-pasar burung walaupun masih diimpor dari luar negeri (Widyaningsih dan Mutholib, 1999). Biji millet mengandung karbohidrat dan protein yang tidak kalah dengan beras (Lampiran 1). Bahkan, tepung millet unggul dari kandungan mineral kalsium jagung (Lampiran 2). Menurut Andoko (2001) biji millet paling disukai burung pemakan biji karena terkait dengan kualitas suaranya. Jumlah kebutuhan millet dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan semakin maraknya pemelihara burung lokal dan burung impor untuk kesenangan dan adu suara. Selian itu berkembang pula penangkaran burung peliharaan sehingga permintaan millet mencapai 1 000 ton/bulan. Peluang tersebut dimanfaatkan oleh Agro Research and Develompent Surabaya yang melakukan pelatihan budidaya millet. Saat ini telah terbentuk Asosiasi Petani Milet Indonesia yang mereka saling tukar informasi teknik budidaya maupun pemasarannya. Sehubungan dengan perubahan pemanfaatan millet dari cara tradisional untuk pangan (bubur, dodol, bajet) ke bahan baku pakan dan industri, maka millet lokal berpeluang terdesak oleh jenis impor sehingga menjadi punah. Oleh sebab itu upaya menyelamatan sumber daya genetik masa datang perlu dilakukan. Millet lokal jenis foxtail maupun millet impor yang ada di pulau Lombok perlu segera dilestarikan. Tiga jenis millet yang populer yaitu jenis brownstop atau Panicum miliacum, Pearl millet (Pennisetum thypoides), dan jenis proso atau Italian millet (Setaria italia). Menurut Duke (1978) pear millet memiliki jumlah kromoson 14 pasang dengan potensi hasil 3,5 t/ha. Jenis pear millet tersebut termasuk tanaman serealia ekonomis minor penting dari golongan tanaman semusim. METODE EKSPLORASI Eksplorasi atau pencarian plasma nutfah jewawut atau millet di Pulau Lombok dilakukan dengan cara kunjungan lapang yang diawali dari studi pustaka berupa laporan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
238
Seminar Nasional 2005 tahunan dinas pertanian atau pihak lain tentang pertanian lahan kering. Informasi tersebut selanjutnya disinkronkan dengan pengalaman para peneliti BPTP melihat tanaman jewawut di petani atau pernah mendengar petani yang menanam jewawut. Untuk memperoleh kebenaran plasma nutfah jewawut dipetani maka dibuat standarisasi lokasi kunjungan antara lain: (a) lahan yang dikunjungan termasuk lahan kering beriklim kering, (b) perokonomian petani tergolong kurang beruntung, dan (c) lokasi pertanaman jewawut di kawasan terpencil. Berdasarkan kriteria tersebut maka dipilih kecamatan-kecamatan yang akan dikunjungi yang terdiri dari Kecamatan Bayan dan Pringgabaya di Lombok Barat; dan Kecamatan Kayangan kabupaten Lombok Timur. Kunjungan lapang didampingi oleh peneliti BPTP agar pencarian dapat terarah dan efektif. Dalam menelusuri petani penanam jewawut, dilakukan komunikasi dengan penyuluh pertanian daerah setempat dan ketua kelompok tani. Sambil menelusuri jalan-jalan desa menuju rumah petani penanam jewawut dipantau juga keragaman jenis tanaman serealia yang ditanam petani. Di petani terlebih dahulu dilakukan komunikasi saling kenal mengenal dan tujuan mencari plasma nutfah jewawut untuk penelitian. Mengawali pembicaraan mengenai keberadaan plasma nutfah serealia yang dimiliki petani terlebih dahulu memperkenalkan diri yang dilanjutkan dengan tujuan kunjungan yaitu tukar menukar bahan genetik varietas jagung, sorgum dan saling menginformasikan karakter-karakter sorgum yang dimilikinya. Jumlah per varietas yang diberikan tidak berbeda dengan jumlah yang diperlukan yaitu sekitar 0,5–1,0 kg setiap varietas. Permasalahan petani dalam memproduksi jewawut juga digali dalam kunjungan lapang yang dihadiri oleh beberapa petani di rumah dan atau sanggar kelompok tani. HASIL EKPLORASI Jewawut di petani dikenal dengan berbagai nama lokal. Jewawut ditanam pada lahan kering di musim hujan periode Pebruari-Juni bersama dengan padi gogo atau dipinggiran kebun berteras sebagai penahan erosi kebuh jagung. Pada tahun 2001, pernah ada pengusaha yang membeli atau menampung jewawut yang ditanam petani., tetapi saat ini tidak ada lagi. Petani belum mengetahui pasar jewawut di pasar-pasar burung. Berbagai karakter jewawut yang ditanam petani tertera pada Tabel 1. Di Dusun Lembah Pedeq, Desa Akar-akar Kecamatan Bayan (A) ditemukan satu aksesi jewawut jenis foxtail yang dengan sebutan mereka jawe sebanyak satu jenis, memiliki karakter khas pada jumlah cabang malai yang tergolong lebat 143 cabang dengan bobot 1000 butirnya 12,2 g. Warna biji coklat tua dan petani memanfaatkannya untuk bahan pangan dan pakan. Di Dusun Bunut Tunjang, Desa Labuhan Lombok Kecamatan Pringgabaya (B) ditemukan satu aksesi jewawut juga petani menyebut jawe dengan karakter malai yang agak panjang 29 cm dan bentuk bijinya relatif kecil 7,3 g/1000 butir. Di Dusun Leper, Desa Labuhan Lombok Kecamatan Pringabaya (C) ditemukan pula jewawut jenis foxtail dengan nama lokal betem, dengan warna biji coklat muda dan bobot biji yang besar 13,5 g per 1000 butir. Di Dusun Sambi Jengkel Timur Kecamatan Kayangan (D1) ditemukan jewawut tipe foxtail yang malainya relatif pendek 23 cm, yang berbeda dengan koleksi lainnya yakni bijinya berwarna hitam. Cabang biji pada malainya tergolong sedikit 104 sehingga bobot per malainya juga rendah 10,6 g. Di lokasi yang sama, ditemukan pula jewawut yang bijinya berwarna hitam dan berbulu. Karakter lain dari jewawut yang berbulu hitam yaitu panjang malai 31 cm, bobot malai 11,8 g dan jumlah rachis 123 cabang. Jewawut ditanam tumpangsari dengan padi gogo. Tanaman jewawut berumur lebih cepat sekitar satu bulan dari padi karena berumur 3 bulan, sehingga jewawut tergolong lebih hemat menggunakan air dari pada padi dan jagung. Sedangkan jewawut yang ditanam sisipan dengan tanaman jagung memiliki umur panen yang bersamaan dengan jagung.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
239
Seminar Nasional 2005 Tabel 1. Karakteristik jewawut lokal jenis Foxtail (ekor kucing) dari pulau Lombok Karakter biji millet Panjang malai, cm Bobot malai, g Jumlah rachis, Bobot 1000 butir, g Warna biji Pemanfaatan
A
B
C
D1
D2
26 13,6 143 12,2 Cok.tua Pangan dan pakan
29 10,9 113 7,3 cok.tua pangan
26 18,8 128 13,5 cok.muda pangan
23 10,6 104 7,9 hitam pangan
31 11,8 123 8,4 coklat pangan
Jewawut dalam bentuk biji, juga mudah diperoleh di warung pakan burung yang ada di pasar desa, pasar kecamatan dan pasar kabupaten. Di pasar Narmada terdapat beberapa kios/warung penjual pakan burung berupa jewawut warna coklat tua, coklat muda maupun hitam seperti jewawut yang ditemukan di lapangan. Menurut penjual pakan burung, jenis jewawut tersebut dibeli dari Jawa (Surabaya). Jewawut berukuran biji besar maupun biji kecil dijual seharga Rp. 6.000/kg. Jewawut berukuran biji besar ada yang berwarna merah coklat, coklat, kuning muda atau krem, putih dan juga warna hitam. Berbagai macam jenis jewawut ditemukan pula di pasar burung Mandalika, Baratais. Jewawut yang berukuran biji besar diduga termasuk jenis pear millet (Pennisetum glaucum). Sedangkan jewawut berbiji kecil diduga termasuk millet jenis Panicum miliaceum atau proso millet dan Panicum ramosum atau bronstop millet. PEMBAHASAN Sebanyak lima aksesi plasma nutfah jewawut yang berhasil dikumpulkan untuk diteliti lebih lanjut memiliki variasi panjang malai antara 26 – 31 cm dan berat malai antara 10,6 – 13,6 cm. Karakter tersebut berada di dalam kisaran koleksi jewawut yang dimiliki Balitsereal yaitu variasi panjang malai antara 7,4 cm hingga 23,1 cm dan bobot malai antara 1,8 g hingga 17,5 g (Balitsereal, 2004). Jewawut yang berhasil dikumpulkan berdaya kecambah 92%, sehingga sebanyak lima aksesi jewawut jenis foxtail atau ekor kucing tersebut dapat memperkaya plasma nutfah Balitsereal dari 35 aksesi meningkat menjadi 40 aksesi. Aksesi baru diharapkan memiliki karakter yang berbeda dengan aksesi yang telah terkoleksi. Di lokasi yang sama, ditemukan pula jenis jewawut yang diduga hasil impor karena tidak sama dengan yang ditemukan di lapang terutama dari ukuran bijinya yang relatif besar. Seperti diketahui bahwa, Myanmar pada tahun 1994 telah memproduksi millet sebanyak 156.000 ton dan hasilnya di ekspor ke negara yang membutuhkan seperti Jepang, Korea, Malaysia, dan Indonesia (Grubben dan Partohardjono, 1996). Karakterisasi kandungan nutrisi jewawut yang dimiliki Balitsereal, memang belum dilakukan sehingga belum diketahui keragaman nutrisi aksesi jewawut termasuk jenis ketan seperti yang dijelaskan Southgate (1988), bahwa kandungan amilopektin yang tinggi (75%) pada endosperm jewawut termasuk jenis ketan (waxy). Sekalipun jewawut termasuk tanaman ekonomi minor, namun karena nilai gizinya yang memiliki kelebihan dibanding jagung maka komoditas jewawut ini perlu dimasyarakatkan guna mendukung ketahanan pangan dan mengantisipasi masalah gizi buruk. Tepung jewawut mengandung sumber vitamin B terutama B1 dan B2 dan mengandung beta karotin yang rendah. Jewawut jenis pear millet memiliki potensi hasil 3,5 t/ha jika dibudidayakan secara optimum (Duke, 1978). Informasi ini memberikan gambaran bahwa sistem produksi millet yang intensif dapat bernilai efisien. Millet dapat ditumpangsarikan dengan padi gogo, atau sebagai tanaman sisipan sebelum jagung di panen. Jika potensi hasil millet mencapai 2,5 t saja dan harga pembelian millet di pasar burung Mandalika Rp. 4.000/kg (Rp. 6000/kg harga jual), maka dari luasan 1 ha dapat meraih pendapatan sebesar Rp. 10 juta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
240
Seminar Nasional 2005 Suatu hal yang lebih penting dalam mengangkat millet sebagai komoditas strategis kawasan lahan kering beriklim kering yaitu mendukung ketahanan pangan lokal. Sehingga pemberian sumbangan benih gratis sebelum musim tanam tiba yang biasanya jatuh pada bulan Nopember/Desember merupakan cara yang tepat mendukung ketahanan pangan di desa. Setelah itu, ibu rumah tangganya diberikan pengetahuan pengolahan millet menjadi bahan minuman penyegar seperti Milo. Penambahan instan coklat dan susu sehingga minuman milo bergizi dapat dibuat oleh petani tanpa harus mengeluarkan biaya membeli milo hasil olahan pabrik. Tentunya keterlibatan dinas terkait dalam upaya meningkatkan pemanfaatan millet di petani sangat diperlukan. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Sebanyak delapan aksesi plasma nutfah jewawut asal pulau Lombok berhasil dikumpulkan. Sebanyak lima aksesi jewawut tergololong tipe foxtail dan tiga aksesi diduga tipe pear millet impor. 2. Di pedesaan lokasi kunjungan, jewawut termasuk tanaman ekonomi minor yang pemanfaatannya terbatas hanya untuk pangan dan pakan, namun dengan berkembangnya peternak dan penghobi pemeliharan burung pemakan biji, maka jewawut lokal rawan punah tergeser oleh jewawut impor, sehingga perlu upaya pelestarian. DAFTAR PUSTAKA Andoko, Agus. 2001. Bertanam millet untuk pakan burung. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. 61 halaman. Balitsereal. 2004. Laporan Akhir: Penelitian koleksi, karakterisasi, dan konservasi plasma nutfah serealia. Litbang Pertanian, 49 hal (Tidak dipublikasikan). Duke. J.A. 1978. The quest for tolerant germplasm. In: Crops Tolerance to suboptimal land conditions. Jung G.A (Ed). Spec. Pub. No.32. Am. Sos. Of Agronomy. Madison. Grubben., G.J.H., dan S. Partohardjono (ed). 1996. Cereal: Plant Resources of South-East Asia No. 10. PROSEA Bogor, 200 pp. Southgate., D.A.T. 1988. Cereal and cereal products. In: Holland B, Unwin T.D and Buss. D.H. The Third Supplement to Mc Cance and Widdowson’s. The Composition of Food. 147 pp. Widyaningsih Soemadi dan Abdul Mutholib. 1999. Pakan burung. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta, 81 hlm.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
241
Seminar Nasional 2005 Lampiran 1. Kandungan nutrisi tiga jenis millet dan jagung (%) Komoditas
Karbohidrat
Protein
Lemak
Serat
Millet Foxtail
84.2
10.7
3.3
1.4
Pear millet
78.9
12.8
5.6
1.7
Proso millet
84.4
12.3
1.7
0.9
Jagung
80.0
10.5
4.9
2.7
Beras
87.7
8.8
2.1
0.8
Lampiran 2. Kandungan mineral tiga jenis millet dan jagung (mg/100 g) Komoditas
Ca
Fe
Vit A
Vit B1
Vit B2
Vit C
Millet Foxtail
37
6.2
0
0.48
0.14
2.5
Pear millet
56
10.1
0
0.35
0.16
2.0
Proso millet
13
2.1
0
0.17
0.06
3.5
Jagung
16
3.2
0.3
0.34
0.13
2.4
Lampiran 3. Kandungan nutrisi tiga macam millet (%) Nutrisi per 100 gram
Millet Panicum
Pear millet
Millet foxtail
Air
10 – 15
10
10.5 - 11.9
Protein
12 - 15
11
9.7 - 10.8
Lemak
2-3
4
1.7 - 3.5
70 - 80
61
72.4 - 76.6
Serat
1.5
8
1
Abu
1.5
4
1.5
Karbohidrat
Lampiran 4. Kandungan nutrisi beras, gandum, jagung dan millet (per 100 g bahan) Mineral
Beras
Gandum
Jagung
Millet
Thiamin
66
45
32
63
Ribloflavin
25
10
10
33
Niacin
1.3
3.7
1.9
2.0
Iron
9.0
4.0
3.0
7.0
Zinc
3.0
3.0
3.0
3.0
Kalsium
7.0
38.0
45.0
440.0
Fosfor
147
385
224
156
Natrium
10
9
11
53
Kalium
87
75
78
398
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
242
Seminar Nasional 2005 APLIKASI PEMBERIAN LEGIN (Rhizobium) PADA UJI BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI LAHAN KERING I Nyoman Adijaya, Putu Suratmini dan Ketut Mahaputra Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Jalan By Pass Ngurah Rai Pesanggaran Denpasar e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Kajian telah dilakukan di Desa Pejarakan, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng pada tahun 2004, untuk mengetahui pengaruh pemberian legin (Rhizobium) terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas kedelai. Percobaan dirancang menggunakan rancangan acak kelompok dengan perlakuan tanpa legin dan dengan legin. Varietas kedelai yang diuji yaitu Sinabung, Kaba, Sibayak, dan Tanggamus. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terjadi interaksi antara pemberian legin dan varietas kecuali terhadap jumlah bintil akar tanaman. Pemberian legin berpengaruh terhadap peningkatan variabel pertumbuhan, komponen hasil dan produksi tanaman. Peningkatan jumlah bintil akar tanaman kedelai akibat pemberian legin memberikan peningkatan pertumbuhan dan produksi tanaman akibat meningkatnya fiksasi N dari udara oleh bakteri Rhizobium. Produksi kedelai meningkat dari 1,07 ton/ha menjadi 1,67 ton/ha dengan pemberian legin atau meningkat 56,07%. Penggunaan varietas yang berbeda tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan varietas yang diuji memiliki respon dan adaptasi yang tidak jauh berbeda jika dibudidayakan di lahan kering. Kata Kunci : aplikasi legin, varietas kedelai, lahan kering
PENDAHULUAN Kebutuhan kedelai di Indonesia terus meningkat dan ini tidak bisa diimbangi oleh produksi kedelai nasional sehingga impor kedelai masih terus dilakukan. Sampai saat ini Indonesia masih mengimpor 60% dari kebutuhan nasional atau sekitar 1,2 juta ton. Program pemerintah sekarang ini adalah untuk mencapai swasembada kedelai, dimana Bali dijadikan daerah salah satu sentra produksi kedelai nasional (Anon, 2005). Sampai saat ini budidaya kedelai umumnya kebanyakan dilakukan di lahan sawah setelah tanaman padi. Demikian pula halnya dengan di daerah Bali, kedelai sangat jarang dibudidayakan di lahan kering, selain juga produksinya sangat rendah. Sudaryono (2002) menyatakan bahwa produktivitas kedelai pada lahan kering di tingkat petani berkisar antara 0,7 ton/ha - 1,0 t/ha. Lebih lanjut Sunarlin (1994) menyatakan bahwa tingkat produksi yang relatif masih rendah ini selain disebabkan faktor varietas juga disebabkan oleh rendahnya kesuburan tanah terutama kadar C-organik, N,P dan K. Nitrogen yang diperlukan tanaman kedelai bersumber dari dalam tanah juga dari N atmosfir melalui simbiosis dengan bakteri Rhizobium. Bakteri ini membentuk bintil akar (nodul) pada akar tanaman kedelai dan dapat menambat N dari udara. Hasil fiksasi nitrogen ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan N yang diperlukan oleh tanaman kedelai. Pada fiksasi yang efektif 50-75% dari total kebutuhan tanaman akan nitrogen tersebut dapat dipenuhi (Pasaribu et al., 1989). Hasil penelitian Artha (1993) dan Simanungkalit dkk., (1995) menunjukkan bahwa inokulasi rhizobium pada lahan kering dapat meningkatkan bintil akar dan hasil biji kedelai. Hasil penelitian Rahayu (2004) menunjukkan bahwa dengan pemberian rhizoplus pada tanaman kedelai varietas Willis dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman seperti jumlah cabang per tanaman, jumlah polong isi per tanaman dan hasil per ha. Melihat permasahan tersebut maka uji adaptasi beberapa varietas kedelai ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian legin (Rhizobium) terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas kedelai, serta mendapatkan varietas kedelai yang adaptif untuk dibudidayakan di lahan kering.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
243
Seminar Nasional 2005 METODA PENELITIAN Pengkajian dilakukan di lahan kering Desa Pejarakan, Kecamatan Grokgak, Kabupaten Buleleng, dari bulan April sampai dengan Juli 2004 menggunakan rancangan acak kelompok pola faktorial dengan 3 ulangan. Varietas kedelai yang diuji yaitu: Sinanbung, Sibayak, Kaba dan Tanggamus dikombinasikan dengan penggunaan dan tanpa legin. Ukuran petak 2 m x 4 m, jarak tanam 40 cm x 20 cm dengan 2 tanaman per lubang. Pupuk dasar yang diberikan adalah 50 kg Urea, 50 kg TSP dan 50 kg KCl pada saat tanam. Penyiangan tanaman dilakukan pada umur 15 hst dan 40 hst. Variabel yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah cabang per tanaman, jumlah cabang produktif per tanaman, jumlah bintil akar per tanaman, jumlah polong per tanaman, jumlah polong isi per tanaman, jumlah polong hampa per tanaman, berat biji per tanaman, berat 100 serta produksi per ha. Data dianalisis menggunakan analisis varian. Apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap variabel yang diamati dilanjutkan dengan uji BNT 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis statistik menunjukkan tidak terjadi interaksi antara penggunaan legin dan varietas kecuali terhadap variabel jumlah bintil akar per tanaman. Pemberian legin tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap tinggi tanaman dan jumlah cabang, sedangkan terhadap variabel lainnya berpengaruh nyata (P<0,05). Penggunaan varietas yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap varieabel yang diamati keculai terhadap jumlah cabang produktif menunjukkan pengaruh nyata. Interaksi penggunaan legin dan varietas terlihat pada variabel jumlah bintil akar per tanaman (Tabel 2). Bintil akar tertinggi dihasilkan oleh varietas Kaba (11,40 bh) tidak berbeda dengan varietas Tanggamus (10,40 bh), sedangkan bintil akar terendah dihasilkan oleh semua varietas tanpa legin yang tidak menunjukkan perbedaan dengan jumlah bintil akar 3,87 bh – 4,60 bh. Tabel 1. Pengaruh Penggunaan Legin terhadap Pertumbuhan pada Uji Beberapa Varietas Kedelai di Desa Pejarakan, Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng, Bali 2004 Variabel Perlakuan Legin Tanpa Legin Dengan Legin BNT 5% Varietas Sinabung Kaba Sibayak Tanggamus BNT 5%
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah cabang (bh)
Jumlah cabang produktif (bh)
59,82 a 61,02 a -
3,60 a 4,03 a -
2,87 b 3,35 a 0,35
58,83 a 59,90 a 62,10 a 60,83 a -
3,40 b 3,60 ab 4,23 a 4,03 ab 0,65
2,93 a 3,03 a 3,37 a 3,10 a -
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%
Penggunaan legin (Rizhobium) pada budidaya kedelai meningkatkan komponen pertumbuhan (Tabel 1). Hasil ini didukung oleh meningkatnya jumlah bintil akar akibat pemberian legin/Rizhobium (Tabel 2). Pemberian legin meningkatkan jumlah bintil akar (nodule) tanaman kedelai menyebabkan akan semakin meningkatnya simbiose bakteri Rhizobium di dalam menambat N bebas dari udara. Hal ini akan menyebabkan ketersediaan N bagi tanaman meningkat yang berpengaruh terhadap meningkatnya pertumbuhan tanaman kedelai.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
244
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Interaksi Penggunaan Legin dan Varietas pada Uji Beberapa Varietas Kedelai terhadap Jumlah Bintil Akar di Desa Pejarakan, Kec. Gerokgak, Kab. Buleleng, Bali, 2004. Inokulan
Varietas Sinabung Kaba Sibayak Tanggamus
Tanpa Legin
Dengan Legin
4,20 d 3,87 d 4,60 d 4,20 d
7,27 c 11,40 a 8,93 bc 10,40 ab
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%
Meningkatnya pertumbuhan tanaman kedelai akibat semakin meningkatnya fiksasi N dari udara berpengaruh terhadap metabolisme tanaman, sehingga menghasilkan asimilat/fotosintat semakin banyak yang ditranstolasikan ke organ penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan jumlah polong total per tanaman, jumlah polong isi per tanaman, berat biji per tanaman, berat 100 biji yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Komponen lain yang dapat dilihat dari hasil penelitian yaitu menurunnya jumlah polong hampa per tanaman (Tabel 3). Produksi kedelai meningkat dari 1,07 ton/ha menjadi 1,67 ton/ha dengan pemberian legin atau meningkat 56,07%. Tabel 3. Pengaruh Penggunaan Legin terhadap Variabel Komponen Hasil dan Produksi Kedelai pada Uji Beberapa Varietas Kedelai di Desa Pejarakan, Kec. Gerokgak, Buleleng, Bali, 2004. Variabel Perlakuan
Legin Tanpa Legin Dengan Legin BNT 5% Varietas Sinabung Kaba Sibayak Tanggamus BNT 5%
J.polong/ tan (bh)
J.polong isi/tan (bh)
J. polong hampa/tan (bh)
J. biji/ tan (bh)
Berat biji/tan (g)
Berat 100 biji (g)
Produksi (ton/ha)
56,58 b 68,40 a 11,34
44,67 b 61,95 a 11,82
11,62 a 6,43 b 1,96
68,50 b 104,08 a 19,27
8,04 b 12,82 a 2,4 2
11,13 b 12,33 a 0,43
1,07 b 1,67 a -
54,60 a 56,00 a 67,70 a 71,67 a -
46,47 a 47,73 a 57,47 a 61,57 a -
8,07 a 9,07 a 8,83 a 10,12 a -
73,57 a 94,27 a 83,33 a 94,00 a -
9,45 a 11,45 a 9,67 a 11,15 a -
11,53 a 11,85 a 11,52 a 12,03 a -
1,36 a 1,25 a 1,41a 1,44 a -
Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%
Penggunaan varietas yang berbeda (Sinabung, Kaba, Sibayak dan Tanggamus) pada penelitian ini tidak berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan. Kisaran produksi yang dihasilkan yaitu 1,25 ton/ha – 1,44 ton/ha, demikian juga dengan komponen pertumbuhan dan komponen hasil tanaman kecuali jumlah cabang per tanaman. Hal ini mengindikasikan semua varietas yang diuji memiliki respon dan adaptasi yang tidak jauh berbeda untuk dibudidayakan di lahan kering. KESIMPULAN 1. Pemberian legin pada uji beberapa varietas kedelai memberikan peningkatan pertumbuhan dan produksi kedelai. Produksi meningkat 56,07% dengan pemberian legin. 2. Penggunaan varietas kedelai yang berbeda (Sinabung, Kaba, Sibayak dan Tanggamus) tidak memberikan perbedaan pertumbuhan dan produksi tanaman kecuali terhadap variabel jumlah cabang per tanaman menunjukkan pengaruh nyata. Kisaran produksi pada uji varietas kedelai tersebut yaitu 1,25 ton/ha – 1,44 ton/ha.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
245
Seminar Nasional 2005 3. Pemberian legin berpengaruh terhadap peningkatan jumlah bintil akar (nodule) tanaman, yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2005. Bali Jadi Sentra Produksi Kedelai Nasional. Bali Post. 12 April 2005 Hal.15. Kolom 3-4 Artha, N. 1993. Respon Tanaman Kedelai terhadap Inokulasi Rhizobium japonicum dan Pupuk Anorganik di Lahan Kering pada Musim Hujan. Prosiding Lokakarya Palawija. Bogor. Vol.4; 329-339 Pasaribu D.A., N. Sumarlin, Sumarno, Y. Supriati, R. Saraswati, Sucipto dan S. Karama. 1989. Penelitian Inokulasi Rhizobium di Indonesia. Risalah Lokakarya Penelitian Penambatan Nitrogen Secara Hayati pada Kacang-kacangan. Kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian Pengembangan Pertanian dan Pusat Penelitian dan Pngembangan Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor. Rahayu, M. 2004. Pengaruh Pemberian Rhizoplus dan Takaran Urea terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna. Pusat Penelitian Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Sunarlin, N. 1992. Effect of Nitrogen and Rhizobium Inoculation on Growth and Yield of Soybean in Red-Yellow Podsolic Soil. Penelitian Pertanian. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Vol.12 No.3 ; 116-118. Sudaryono. 2002. Sumber K Alternatif dan Peranan Pupuk Kandang pada Tanaman Kedelai di Lahan Kering Alfisol dan Vertisol. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Peningkatan Produktivitas, Kualitas, Efisiensi dan Sistem Produksi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Menuju Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Puslitbang Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Simanungkalit, R.D.M., A. Indrasumunar, R.D. Hastuti, E. Pratiwi and R.J. Roughley. 1995. Soybean Response on Inoculation to Starter Nitrogen and Inoculation with Rhizobium japonicum. Indonesian J.Crop Sci. 10; 25-32.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
246
Seminar Nasional 2005 KERAGAAN AGRONOMIS BEBERAPA VARITAS UNGGUL BARU KEDELAI PADA LAHAN SAWAH DI LOMBOK Sudjudi, Sabar Untung dan Abdul Gaffar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB Jl Raya Peninjauan Narmada PO Box 1017 Mataram
ABSTRAK Di Indonesia budidaya kedelai di lahan sawah setelah padi menempati areal cukup luas (58%) dan memberikan sumbangan terbesar terhadap pemenuhan kebutuhan kedelai nasional. Oleh karena itu upaya peningkatan potensi produksi dari varitas unggul baru (VUB) kedelai yang beradaptasi pada lingkungan produktif seperti lahan sawah menempati prioritas utama untuk menunjang permintaan kedelai yang terus meningkat. Produksi kedelai ditingkat petani masih relatif rendah berkisar antara 0,9-1,1 ton/ ha, padahal hasil penelitian dengan menerapakan teknologi budidaya yang baik dan introduksi VUB potensi hasil dapat ditingkatkan menjadi 2 ton/ha.(Laporan Balitkabi, 2002). Pada dekade 1990 sebenarnya telah terjadi kenaikan produksi 6,44% per tahun tetapi permintaan juga terus meningkat sehingga import kedelai juga meningkat 9,2% per tahun. (Kasrino dan Pribadi, 1990). Kegiatan ini bertujuan untuk membandingkan keragaan agronomis VUB kedelai dan diharapkan diperoleh varitas yang berpotensi hasil tinggi. Kegiatan dilaksanakan pada lahan sawah di Narmada pada MK I bulan April 2005, menggunakan rancangan acak kelompok, dengan perlakuan 6 VUB kedelai (Anjasmoro, Argomulyo, Burangrang, Kaba, Pandermen dan Wilis sebagai kontrol) diulang sebanyak 4 kali, ukuran petak 4 x 5 m. Data yang diamati keragaan agronomis dan komponen produksi kemudian dianalisa menggunakan Anova serta diuji lanjut dengan DMRT 0.05. Hasil pengamatan menunjukan bahwa keragaan agronomis dari masing-masing perlakuan tidak menunjukan beda nyata, namun pada produksi beberapa perlakuan menunjukan perbedaan lebih baik dari kontrol (Wilis : 1,52 ton/ ha) kecuali varitas Pandermen hanya 0,96 ton/ha, sedang varitas yang lain Anjasmoro, Argomulyo, Burangrang dan Kaba bertutut-turut 2,45 ton/ha, 1,69 ton/ha, 1,69 ton/ha dan 1,61 ton/ha. Sehingga diharapkan VUB yang mempunyai keunggulan produksi tersebut dapat dipertimbangan untuk bisa direkomendasikan sebagai alternatif untuk pengembangan potensi produksi kedelai. Kata kunci : Keragaan agronomis, vub, kedelai,lahan sawah.
PENDAHULUAN Di Indonesia budidaya kedelai di lahan sawah setelah padi menempati areal cukup luas (58%) dan memberikan sumbangan terbesar terhadap pemenuhan kebutuhan kedelai nasional. (Isgiyanto dan T Adisrwanto, 1993). Permintaan kedelai nasional terus meningkat setiap tahun, yaitu dari 750 ribu ton tahun 1980 menjadi 2.333 juta ton tahun 1990 dan permintaan tahun 2005 diperkirakan mencapai 6.110 juta ton. Permintaan akan kedelai diperkirakan akan akan terus meningkat sampai tahun 2018 (Darman, dkk. 2002). Besarnya permintaan kedelai ini belum dapat dipenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri, sehingga harus mengimport dari luar negeri. Oleh karena itu upaya peningkatan produksi kedelai baik dengan cara intensifikasi dan ektensifikas harus terus dilakukan, untuk mengurangi ketergantungan pada kedelai import. Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu daerah yang sangat potensial untuk pengembangan dan meningkatkan produksi kedelai. Saat ini produktivitas kedelai di Nusa Tenggara Barat masih rendah yaitu 10.74 kw/ha (BPS-NTB 1998-2003). Sedangkan menurut Adisarwanto (1997), potensi produktivitas kedelai di NTB dapat mencapai 18 kw – 20 kw per ha. Rendahnya produktifitas kedelai di NTB disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya penggunaan varietas unggul yang masih rendah ditingkat petani. Menurut Adi Sarwanto, dkk. (1992), produktivitas yang tinggi dapat dicapai dengan penanaman varietas unggul disertai dengan pengelolaan lingkungan fisik dan hayati serta pemanfaatan teknologi yang sesuai dengan lingkungan. Saat ini banyak jenis varietas kedelai unggul hasil pemuliaan yang dilepas untuk dikembangkan. Diantara varietas unggul baru tersebut adalah Argomulyo, Burangrang, Kaba, Anjasmoro, dan Panderman. Namun umumnya stabilitas hasil dari suatu variets baru sangat bervariasi, hal ini karena proses terbentuknya suatu varietas baru relatif singkat, yaitu Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
247
Seminar Nasional 2005 perlakuan pengkajian lapang/uji multilokasi galur oleh seorang pemulia untuk tanaman semusim hanya 20 kali, yakni 10 kali pada musim hujan dan 10 kali musim kering (Anonimous, 1996). Sementara varietas kedelai yang unggul untuk suatu daerah belum tentu menunjukan keunggulan yang sama di daerah lain, karena faktor perbedaan iklim, topografi, dan cara tanam, sebagaimana kita tahu bahwa di Indonesia agroekologinya sangat beragam. Maka untuk mengetahui keunggulan dan adaptasi varietas baru terhadap lingkungan, serta mendapatkan informasi varietas yang produktivitasnya tinggi, dan sebagai bahan rekomendasi varietas spesifik lokasi, maka perlu dilakukan penelitian Uji potensi hasil beberapa varietas unggul baru tanaman kedelai. BAHAN DAN METODA Kegiatan ini dilaksanakan dikebun percobaan BPTP NTB pada lahan sawah setelah padi pada bulan April 2005. Pengkajian dirancang menggunakan rancangan acak kelompok, varietas unggul baru kedelai sebanyak 6 macam sebagai perlakuan (Anjasmara, Argomulyo, Burangrang, Kaba, Pandermen dan Wilis sebagai pembanding) dan diulang empat kali dengan ukuran petak 4 x 5 m. Benih ditugal 2 biji/ lubang dengan jarak tanam 40 x 15 cm. Pemupukan dilakukan bersamaan tanam ditugal diantara jarak tanam dan pupuk yang digunakan Urea 25 kg/ha, SP-36 75 kg/ha dan KCl 75 kg/ha. Penyiangan dilakukan satu kali pada umur 21 hari setelah tanam. Pengairan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu sebelum tanam, pada umur satu bulan dan dua bulan. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan setiap minggu dengan penyemprotan Dursban sejak tanaman berumur seminggu sampai minggu ke tuju. Data yang diamati keragaan agronomis (umur berbunga 50 %, umur panen 95%, tinggi tanaman saat panen dan jumlah cabang produktif) dan komponen produksi (jumlah polong per-tanaman, jumlah polong isi per-tanaman, berat 100 biji dan produksi) kemudian dianalisa menggunakan Anova serta diuji lanjut dengan DMRT 0.05. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Agrononomis Hasil pengkajian keragaan agronomis dari enam vub kedelai yang diuji disajikan dalam Tabel 1, dari hasil analisa sidik ragam menunjukan bahwa rata-rata umur berbungadan panen menunjukan perbedaan yang nyata antar perlakuan, tetapi varietas Anjasmoro dan Burangrang berbunga lebih cepat (36,25 hari) dibanding varietas lain yang diuji. Demikian juga pada umur panen varietas Burangrang dan Anjasmoro lebih cepat 4 hari dibanding varietas Wilis sebagi kontrolomayupun varietas yang lain. Tabel 1. Keragaan Agronomis Umur berbunga 50%, Umur Panen 90%, Tinggi Tanaman dan Jumlah Cabang produktif. Perlakuan Anjasmara Argomulyo Burangrang Kaba Pandermen Wilis CV (%)
Umur Berbunga 50%(hari)
Umur Panen 95% (hari)
Tinggi Tanaman (cm)
Jumlah Cabang Produktif (buah)
36,25 a 37,25 bc 36,75 ab 39,75 d 38,29 c 38,50 c 1,30
85,50 b 85,00 b 79,25 a 88.75 c 93,5 d 89,5 c 1,10
60,75 d 51,40 b 57,38 cd 56,73 cd 45,53 a 55,25 bc 6,20
6,15 e 3.80 b 3,95 bc 5,03 d 2,80 a 4,78 cd 12,40
Keterangan : Angka angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan berbeda tidak nyata berdasar uji DMRT 0,05.
Tinggi tanaman varietas Anjasmoro (60,75 cm) menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata dengan varietas Burangrang (57,38 cm) dan Kaba (56,73 cm), tetapi lebih tinggi dibanding dengan varietas Wilis (55,25 cm).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
248
Seminar Nasional 2005 Jumlah cabang produktif berbeda nyata antar varietas. Varietas Anjasmoro memiliki jumlah terbanyak (6,15) diikuti Kaba, Wilis, Burangrang,Argomulyo dan terakhir Pandermen (2,8) Keragaan Komponen Produksi dan Produksi Hasil pengamatan komponen produksi dan produksi dari enam VUB kedelai yang diuji disajikan dalam Tabel 2, dari hasil analisa sidik ragam menunjukan jumlah polong pertanaman dan jumlah polong isi pertanaman masing-masing varietas yang diuji tidak berbeda nyata kecuali dengan varietas Pandermen. Angka tertinggi diperoleh oleh varietas Anjasmoro. Pada parameter berat 100 biji menunjukan beda nyata antar perlakuan dimana Pandermen menunjulkan paling berat (18 gr) dan diikuti Anjasmoro, Burangrang, Argomulyo, Kaba dan Wilis (11,03 gr). Tabel 2. Komponen Produksi dan Produksi. Perlakuan Anjasmara Argomulyo Burangrang Kaba Pandermen Wilis CV (%)
Jml Polong pertanaman (bh)
Jml Polong Isi per-tanaman (bh)
Berat 100 biji (gr)
Produksi(kw/ha)
45,20 b 36,45 b 37,83 b 43,53 b 22,80 a 43,30 b 18,60
42,81 b 33,70 b 34,05 b 40,56 b 20,56 a 38,43 b 17,10
17,70 d 14,43 bc 15,35 c 11,53 a 18,00 d 11,03 a 4,1
24,54 c 16,91 b 16,94 b 16,10 b 9,56 a 15,18 b 19,50
Keterangan : Angka angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan berbeda tidak nyata berdasar uji DMRT 0,05.
Meskipun varietas Pandermen memiliki berat 100 biji terberat tetapi justru memberikan hasil produksi terendah 9,56 kw/ha. Hal ini dikarenakan tidak ditunjang oleh keragaan agronomis yang lain seperti tinggi tanaman,jumlah polong dan jumlah cabang produktif yang relatif paling rendah diantara varietas yang diuji. Produksi tertinggi dihasilkan oleh varietas Anjasmoro (24,54 kw/ha), hal ini sesuai dengan keragaan agronomis yang ditampilkan memang menunjukan relatif lebih baik pertumbuhannya dibandingkan dengan varietas lain yang diuji. KESIMPULAN Berdasarkan kegiatan pengujian ini dapat disimpulkan bahwa daya hasil beberapa varietas unggul baru kedelei yang diuji berturut-turut 24,54 kw/ha (Anjasmoro), 16,9 kw/ha (Argomulyo dan Burangrang), 16,10 kw/ha (Kaba) menunjukan produksi rata-rata cukup tinggi dibandingkan varietas Wilis sebagai kontrol 15,18 kw/ha, kecuali varietas Pandermen menunjukan hasil terendah 9,56 kw/ha. Hal ini mengindikasikan varietas unggul baru tersebut memberikan harapan yang baik karena berpotensi produksi yang tinggi, meskipun disarankan masih diperlukan pengujian ulang dibeberapa lokasi untuk memperoleh konsistensi data hasil. DAFTAR PUSTAKA Anonimaus. 1991. Budidaya dan Pengelolaan Hasil Kedelei. Departemen Pertanian. Adisarwanto.T, A.Kasno, N.Saleh, Budhi.S.R, Marwotro, Sumarno. 1992. Studi Sumber Pertumbuhan Baru Produksi Kedelai di Nusa Tenggara Barat. Adisarwanto.T, N.Saleh, Marwoto, N.Sunarlim. 2000. Teknologi Produksi Kedelai Puslitbangtan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
249
Seminar Nasional 2005 BPS (NTB dalam Angka) tahun 1988 sampai tahun 2003 Produktifitas Tanaman Kedelai. Darman.M.Arsyad, J.Soejitno, A.Kasno, Sudaryono, A.A Rahmiana, Suharsono, Joko.S.Utomo, 2002. Kinerja Teknologi Untuk Meningkatkan Produktifitas Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian . Puslitbangtan. Ibrahim Manwan, Sumarno, A.Syarifudin.K, Achmad.M.Fagi, 1990 Teknologi Peningkatan Produksi Kedelai di Indonesia. J.R.Hidayat, S.A.S.Wityanara, K.Pirngadi, S.Kartaatmadja, A.M.Fagi. 1993. Teknik Budidaya Kedelai di Lahan Sawah Irigasi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
250
Seminar Nasional 2005 MEKANISASI PASCA PANEN PRIMER KACANG TANAH UNTUK MENINGKATKAN KAPASITAS KERJA DAN MUTU HASIL M. Hidayat Perekayasa, pada Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian
ABSTRAK Kacang tanah merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang penting di Indonesia. Untuk mendapatkan mutu hasil yang baik dan sesuai dengan standar mutu memerlukan penanganan pasca panen primer yang terkendali segera setelah panen. Alat-mesin pasca panen primer kacang tanah yang telah didisain terdiri dari alat-mesin perontok polong kacang tanah, alat-mesin pengupas polong kacang tanah dan alat-mesin sortasi biji (ose). Pengembangan alat-mesin ini dapat meningkatkan kinerja penanganan pasca panen kacang tanah berupa alat mesin perontok polong kacang tanah dengan kapasitas 307,22 kg/jam dengan efisiensi perontokan 98,9%, polong rusak 0,5%, tingkat kebersihan 95,2% alat mesin pengupas polong kacang tanah dengan kapasitas 111,75 kg/jam, efisiensi pengupasan 99,0%, kualitas hasil berupa biji utuh 95,71%, biji pecah 4,29% dan kotoran 0,49%. Alat-mesin sortasi biji dapat memisahkan biji kacang tanah atas 4 grade yaitu grade I diameter biji: 8 mm, grade II: 7 mm, grade III: 6 mm dan grade IV diameter biji lebih kecil 6 mm. Kapasitas kerja alat-mesin sortasi biji (ose) 260 kg/jam dengan efisiensi rata-rata 88,8%. Percepatan penanganan pasca panen kacang tanah melalui penggunaan alat mesin dapat menekan kontaminasi aflatoksin hingga tidak melebihi standar yang dipersyaratkan CODEX yang aman dikonsumsi oleh manusia yaitu sebesar 15 ppb. Kata Kunci : Mekanisasi pasca panen, kacang tanah,kapasitas kerja, mutu hasil
PENDAHULUAN Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka menengah Nasional 2004 – 2009, memuat program peningkatan ketahanan pangan yang bertujuan untuk memfasilitasi peningkatan dan keberlanjutan ketahanan pangan sampai ke tingkat rumah tangga sebagai bagian dari ketahanan nasional. Salah satu kegiatan pokok dalam program ini adalah peningkatan pasca panen dan pengolahan hasil, melalui optimalisasi pemanfaatan alat dan mesin pertanian untuk pasca panen dan pengolahan hasil, serta pengembangan dan pemanfaatan teknologi pertanian untuk menurunkan kehilangan hasil. Kacang tanah merupakan salah satu komoditas palawija yang cukup penting dan perlu terus dikembangkan mengingat produk kacang tanah digunakan sebagai bahan baku industri makanan dan pakan seperti industri kacang kulit, kacang garing, kacang bawang, industri ice cream, industri bumbu-bumbuan serta industri catering. Sejalan dengan semakin beragamnya peruntukan kacang tanah mengakibatkan permintaan akan komoditas ini semakin meningkat bahkan produksi yang ada sebesar 759.533 ton pada tahun 2003 belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga harus mendatangkan kacang tanah dari luar negeri sebesar 119.496 ton (Anonim, 2003). Usaha untuk meningkatkan produksi kacang tanah terus dilakukan melalui perluasan areal tanam dan peningkatan teknologi produksi melalui penggunaan benih unggul dan perbaikan teknik budidaya. Statistik pertanian 2003 menunjukkan pada periode tahun 19992003 telah berhasil meningkatkan areal panen sebesar 3,6%, produksi 5,77% dan produktivitas meningkat 7,7%. Penanganan pasca panen kacang tanah di tingkat petani pada umumnya masih dilakukan secara tradisional seperti panen, perontokan polong, pengeringan, pengupasan kulit dan sortasi. Kegiatan ini memerlukan cukup banyak tenaga kerja sehingga pada saatsaat tertentu sering terjadi penundaan proses penanganan pasca panen yang berakibat pada penurunan kwalitas hasil dan tingginya tingkat kehilangan hasil (losses). Pada umumnya pihak industri membeli bahan baku kacang tanah dalam bentuk polong dan biji untuk selanjutnya diolah menjadi berbagai macam produk. Pihak industri mempersyaratkan kepada petani untuk dapat menjadi pemasok harus mampu memberi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
251
Seminar Nasional 2005 jaminan pasokan secara teratur dan kontinyu serta dengan mutu sesuai standar. Untuk memenuhi persyaratan tersebut petani harus mengubah cara-cara pengolahan pasca panen dari tradisional/manual ke cara mekanis agar produktivitasnya dapat ditingkatkan dan mutu hasil dapat di jamin. Dalam pengembangan alsin pasca panen perlu dikembangkan sistem kerjasama yang memungkinkan petani mendapat jaminan pemasaran dengan harga yang wajar serta pihak industri mendapatkan bahan baku yang lancar dengan mutu yang standar, dengan demikian petani dapat menikmati peningkatan nilai tambah hasil usahanya. Pengembangan teknologi alsin pasca panen ditujukan untuk meningkatkan produktivitas dan perbaikan proses penanganan pasca panen agar dapat menekan tingkat kehilangan hasil (losses) disebabkan karena tercecer sebesar 12,2% dan susut mutu 8,5% (Purwadaria, 1991). Beberapa negara tujuan ekspor bahan pangan mulai menerapkan berbagai undangundang keamanan pangan (food safety) yang didalamnya termasuk kandungan aflatoksin pada produk makanan yang mengandung kacang tanah semakin diperketat mengingat potensi bahaya kontaminasi aflatoksin yang dapat mengganggu kesehatan manusia (Darmawan,2003). Standar CODEX Alimentarius untuk batas aflatoksin pada kacang tanah yang boleh dikonsumsi manusia adalah 15 ppb, namun beberapa negara termasuk Indonesia mempunyai batasan yang lebih tinggi yaitu sampai 20 ppb (Paramawati, 2003). Salah satu cara untuk mengurangi kontamisasi aflatoksin pada kacang tanah adalah dengan melaksanakan proses lepas panen yang cepat seperti kegiatan pemisahan polong dari tanaman, pencucian, pengeringan, pengupasan, sortasi dan penyimpanan (Rahmiana, 2003). Penelitian menunjukkan bahwa 24 jam setelah kacang tanah dipanen mulai terbentuk aflatoksin. Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu dilakukan proses penanganan pasca panen dengan waktu yang cepat dan terkendali. Diharapkan dengan menggunakan alat – mesin pertanian dapat meningkatkan kapasitas kerja juga dapat menghasilkan produk kacang tanah yang bermutu baik BAHAN DAN METODOLOGI Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-mesin pasca panen kacang terdiri atau alat – mesin perontok polong kacang tanah, pengupas polong kacang tanah dan alat – mesin sortasi biji kacang tanah. Bahan pengujian digunakan kacang tanah brangkasan, kacang tanah polong dan kacang tanah biji (ose). Metodologi Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah uji unjuk kerja alat – mesin pasca panen dan uji laboratorium terhadap mutu hasil kacang tanah. Tujuan masing-masing tahap kegiatan tersebut adalah : Uji unjuk kerja dilaksanakan untuk mengetahui kemampuan optimum alat-mesin pertanian untuk menghasilkan suatu produk sesuai dengan fungsinya. Parameter yang diukur adalah putaran mesin, waktu operasi, bobot keluaran bahan, efisiensi kerja alat – mesin dan kenyamanan kerja. Uji laboratorium dilaksanakan untuk mengetahui mutu kacang tanah yang dihasilkan dari kerja alat – mesin pertanian. Parameter yang diukur untuk masing-masing alat – mesin pasca panen kacang tanah berbeda. Kualitas hasil perontokan polong kacang tanah ditentukan oleh polong rusak dan tingkat kebersihan polong. Kualitas hasil pengupas polong kacang tanah ditentukan oleh
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
252
Seminar Nasional 2005 porsentase biji utuh, biji tak terkupas, biji rusak dan kotoran sedangkan kualitas hasil sortasi ditentukan oleh besarnya biji rusak dan tingkat ketelitian pensortiran. Percobaan pengaruh percepatan penanganan pasca panen kacang tanah terhadap tingkat cemaran aflatoksin dilakukan di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah dan lahan uji Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong, dengan membandingkan antara perlakuan penggunaan alat-mesin pertanian yang mengolah selama 24 jam dan perlakuan tradisional yang dilakukan petani yang memakan waktu 4 – 6 hari. HASIL DAN PEMBAHASAN Alat - Mesin Perontok Polong Kacang Tanah.
Alsin perontok polong kacang tanah yang telah didisain berukuran ( p x l x t ) 170 cm x 80 cm x 150 cm, terbuat dari bahan utama besi plat, besi siku, besi begel dan menggunakan motor bensin 5 Hp/2200 rpm sebagai tenaga penggerak. Bagian utama alat-mesin ini terdiri atau meja pengumpan, silinder perontok, bagian pembawa, ayakan, kipas pembersih (blower), roda penggerak dan unit transmisi. Hasil rancang bangun alat-mesin perontok polong kacang tanah (Gambar 1).
Gambar 1. Alsin Perontok Polong Kacang Tanah.
Untuk menilai unjuk kerja suatu alat-mesin ditentukan oleh beberapa faktor antara lain kapasitas alat, efisiensi perontokan, tingkat kehilangan hasil, mutu hasil dan keselamatan/kenyamanan kerja. Kapasitas alat ditentukan oleh keterampilan operator, kemampuan bagian pembawa bahan melalui silinder perontok dan kualitas bahan awal. Untuk mengoperasikan alat ini diperlukan 2 orang operator yang bertugas untuk mengumpulkan/meletakkan bahan di atas meja pengumpan dan memasukkan bahan ke bagian pembawa. Pada pengoperasian alat ini diperlukan keterampilan operator dalam menyusun dan memasukkan bahan dimana bagian yang terdapat polong kacang tanah harus masuk ke dalam silinder perontok agar polong dapat terontok seluruhnya. Bagian pembawa didisain untuk dapat membawa 1500 – 1750 kg brangkasan/jam pada putaran puli pembawa 200 rpm. Pada pengujian unjuk kerja digunakan bahan awal dengan nisbah polong rata-rata 19,34%. Dari hasil uji unjuk kerja dihasilkan kapasitas kerja 307,22 kg/jam.polong kacang tanah. Kapasitas perontokan ini jauh lebih besar dari perontok polong yang telah diteliti oleh Balitkabi yaitu perontok polong model ONS kapasitasnya 14,9 kg polong/jam, dan perontok polong tipe PKT-1 kapasitasnya 14,3 – 33,8 kg/jam (Tastra, 1997).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
253
Seminar Nasional 2005 Efisiensi perontokan 98,9%, berarti ada 1,1% polong yang tidak terontok. Hal ini agak sukar dihindari karena letak polong tidak teratur, untuk polong yang berada di ujung akar dapat terontok sempurna sedangkan polong yang ada ditengah kemungkinan tidak terontok karena tidak terjangkau oleh gigi perontok. Kualitas hasil perontokan terdiri dari polong rusak sebesar 0,6%, tingkat kebersihan 95,2%. Terjadinya polong rusak pada umumnya disebabkan oleh pukulan silinder perontok terutama pada polong yang tidak masuk sempurna ke dalam ruang perontok. Tingkat kebersihan masih dapat ditingkatkan dengan menggunakan bahan brangkasan kacang tanah yang kering sehingga kotoran berupa tanah, daun dan batang kacang tanah dapat dipisahkan oleh hembusan udara blower. Untuk menjaga keselamatan kerja operator, pada bagian-bagian yang mengakibatkan kecelakaan kerja ditutup terutama bagian yang berputar. Tingkat kebisingan akibat suara motor penggerak sebesar 70 dB, masih dibawah standar tingkat kebisingan yang ditetapkan SNI (90 dB). Berdasarkan hasil analisa ekonomi menghasilkan B/C ratio 1,02 yang berarti mengusahakan alat ini dapat menghasilkan keuntungan. Biaya operasional cukup murah Rp.25/kg. bila dibandingkan dengan perontokan secara manual memerlukan biaya perontokan Rp.175/kg. Alat-Mesin Pengupas Kulit Polong Kacang Tanah Alsin pengupas kulit polong kacang tanah terbuat dari bahan besi plat, plat berlubang, besi siku dan bagian utama terdiri dari hoper, silinder pengupas, ayakan, kipas pembersih (blower) dan unit transmisi. Alat ini digerakkan oleh motor bensin 5 Hp/2200 rpm. Gambar alsin pengupas kulit kacang tanah (Gambar 2).
Gambar 2. Alsin Pengupas Kulit Polong Kacang Tanah.
Kapasitas dan kualitas hasil kupasan sangat ditentukan oleh jarak renggang antara silinder perontok dan concave serta rpm silinder perontok. Pada pengujian digunakann jarak renggang yang optimum 2 – 5 cm, menghasilkan kapasitas kerja 111,75 kg biji/jam, efisiensi pengupasan 99,0% dengan kualitas hasil biji utuh 95,71%, biji rusak 4,29%, kotoran 0,49%.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
254
Seminar Nasional 2005 Hasil pengujian di atas menunjukkan bahwa biji tak terkupas 1,0%. berasal dari biji yang berukuran lebih kecil dari jarak silinder dan concave sedangkan biji rusak berasal dari biji yang berukuran lebih besar dari jarak silinder dan concave. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa pengoperasian alsin pengupas kulit polong dapat menguntungkan dengan B/C ratio 2,47. Biaya pengoperasian alsin Rp.35/kg. Biaya ini lebih kecil dari pada biaya pengupasan secara manual sebesar Rp.110/kg Alat – Mesin Sortasi Biji Kacang Tanah. Alsin sortasi biji kacang tanah dirancang untuk mensortir kacang tanah berdasarkan ukuran/diameter yang dibagi dalam 4 grade yaitu 8 mm, 7 mm, 6 mm dan lebih kecil 6 mm dengan kapasitas 250 kg/jam. Alat-mesin ini terbuat dari plat dan pipa stainless steel dan kerangka besi siku. Alat-mesin ini terdiri dari 3 bagian utama yaitu hoper, silinder penyortir dan sistem transmisi yang digerakkan oleh motor listrik ½ Hp/1400 rpm/1 phase. Hasil rakayasa alat-mesin sortasi biji kacang tanah (Gambar 3).
Gambar 3. Alat-Mesin Sortasi Biji Kacang Tanah.
Untuk mensortir biji kacang tanah digunakan putaran silinder sortasi 30 rpm. Pada putaran ini adalah putaran optimum yang mendapatkan hasil sortasi yang paling baik, karena bahan cukup waktu untuk melalui proses sortasi dan gaya sentrifugal cukup untuk mengeluarkan biji melalui lubang pensortiran. Berdasarkan hasil uji unjuk kerja menunjukkan bahwa kapasitas alat-mesin sortasi mencapai 260 kg/jam dengan kualitas hasil pensortiran untuk masing- masing grade adalah grade I (diameter 8) 91,1%, grade II (diameter 7) 89,7%, grade III (dimeter 6) 86,1% dan grade IV (diameter lebih kecil 6) 88,3%. Dari hasil pengujian di atas menunjukkan bahwa setelah proses penyortiran masih ada biji-biji yang tercampur tidak sesuai dengan grade yang diinginkan, seperti pada grade I masih tercampur dengan biji grade II dan grade III, hal ini disebabkan karena bentuk biji kacang tanah yang tidak teratur (bulat dan gepeng). Untuk biji yang berbentuk bulat dapat dilakukan pensortiran dengan baik, sedangkan untuk yang berbentuk gepeng yang seharusnya tidak lolos pada lubang untuk grade yang sebenarnya, karena pada saat melewati lobang sorting posisi kacang berada pada sisi yang terkecil maka biji akan lolos. Berdasarkan hasil analisa ekonomi menunjukkan bahwa biaya pensortiran dengan alsin sortasi adalah Rp.9/kg. Biaya ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan biaya sortasi secara manual Rp.75/kg. B/C ratio 1,33 menunjukkan bahwa alat ini cukup layak untuk dikembangkan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
255
Seminar Nasional 2005 Percepatan Penanganan Pasca Panen Untuk Menekan Kontaminasi Aflatoksin Penanganan lepas panen kacang tanah yang dilaksanakan dalam waktu lama akan memperbesar kemungkinan tercemarnya aflatoksin pada kacang tanah. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 24 jam setelah kacang tanah dicabut, akan mulai terbentuk aflatoksin (Syarief dan Nurwitri, 1993). Pada percobaan percepatan proses penanganan pasca panen dilakukan dengan membandingkan tingkat kontaminasi antara proses menggunakan alat-mesin pasca panen dengan proses secara tradisional/manual. Percobaan dilakukan di Kabupaten Sragen (Jawa Tengah). Perlakukan alat-mesin yang digunakan adalah alat-mesin perontok polong, pengering tipe datar, pengupas polong dan pengemas vacum. Hasil percobaan di Kabupaten Sragen dan lahan uji Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong menunjukkan bahwa percepatan penanganan pasca panen dengan menggunakan alat-mesin pertanian menunjukkan kontaminasi aflatoksin dibawah 5 ppb (tidak terdeteksi) dibandingkan dengan cara manual yang biasa dilakukan petani masingmasing di Kabupaten Sragen terkontamisasi aflatoksin sebesar 6,62 ppb dan Serpong 18,23 ppb. KESIMPULAN 1. Alat-mesin penanganan pasca panen kacang tanah yang terdiri dari alat-mesin perontok polong kacang tanah, alat-mesin pengupas kulit polong kacang tanah dan alat-mesin sortasi biji ( ose ) kacang tanah dapat meningkatkan produktivitas kerja, menekan tingkat kehilangan hasil, meningkatkan mutu hasil prosesing oleh petani dan menekan biaya pengolahan hasil. 2. Alat-mesin perontok polong kacang tanah dapat meningkatkan kapasitas perontokan mencapai 307,22 kg/jam, efisiensi perontokan 98,9%, tingkat kerusakan polong 0,6% serta menekan biaya perontokan polong dari Rp.175/kg menjadi Rp. 25/kg. 3. Alat-mesin pengupas kulit polong kacang tanah dapat meningkatkan produktivitas kerja mencapai 111,75 kg biji/jam, efisiensi pengupasan 90,0%, dengan kualitas hasil biji utuh 95,71%, biji rusak 4,29%, kotoran 0,49% dan menekan biaya pengupasan kulit dari Rp.110/kg manjadi Rp.35/kg. 4. Alat-mesin sortasi biji kacang tanah dapat meningkatkan produktivitas kerja menjadi 260 kg/jam dan dapat mensortir biji kacang tanah berdasarkan ukuran diameter biji dalam 4 grade yaitu grade I: 8 mm, grade II: 7 mm, grade III: 6 mm dan Grade IV: diameter dibawah 6 mm dengan kualitas hasil pensortiran pada grade I 91,1%, grade II 89,7%, grade III 86,1% dan grade IV 88,3%, dan menekan biaya penyortiran dari Rp.75/kg menjadi Rp.9/kg. 5. Hasil percobaan di Kabupaten Sragen dan lahan uji Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian Serpong menunjukkan bahwa penggunaan alat-mesin untuk mempercepat proses penanganan pasca panen kacang tanah dapat meminimalkan resiko kontaminasi aflatoksin.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
256
Seminar Nasional 2005
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2003. Selama Lima Tahun Impor Kacang Tanah Capai 43%. Pikiran Rakyat, Selasa 16 Desember 2003 Anonim, 2004. Statistik Indonesia 2004. Biro Pusat Statistik Indonesia Darmawan, T., 2003. Kepentingan Indonesia Menghadapi Implementasi Bio-Terrorism Act Khususnya Untu Produk-Produk Berbasis Kacang Tanah. Makalah Pada Seminar Peran Keteknikan Pertanian Dalam meningkatkan Keamanan Pangan Untuk Komoditas kacang Tanah, Serpong 17 Desember 2003. Heriyanto dan Herman Subagio,1997. Prospek Usahatani Kacang Tanah Indonesia. Dalam prosiding Lokakarya Teknologi Produksi kacang Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian. Purwadaria,K.K.,1991. Pengembangan Peralatan Pasca Panen Palawija Untuk Pedesaan. Dalam Risalah Lokakarya Teknologi Benih dan Pasca Panen di Tingkat Pedesaan, 27-28 April 1987. Balittan Malang. Raffi Paramawati, 2003. Percepatan Proses Penanganan Lepas Panen Dengan Alat dan Mesin Pertanian Dalam Rangka Menurunkan Kontaminasi Aflatoksin Pada Komodity Kacang Tanah. Makalah disampaikan pada seminar Peran Keteknikan Pertanian Dalam meningkatkan Keamanan Pangan Untuk Komoditas kacang Tanah Rahmiana A.A dan Ginting E, 2003. Faktor-Faktor Agronomis Di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Kontaminasi Aflatoksin Dalam kacang Tanah. Makalah disampaikan pada seminar Peran Keteknikan Pertanian Dalam meningkatkan Keamanan Pangan Untuk Komoditas kacang Tanah Syarief,R dan C.C. Nurwitri 1992. Aflatoksin. Dalam Buku dan Monograf Mikotoksin Bahan Pangan. Lab. Mikrobiologi Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Tastra, I.K, Ginting,E, Antarlina SS, 1997. Teknologi Pasca Panen Kacang Tanah. Dalam Prosiding Lokakarya Teknologi Produksi Kacang Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
257
Seminar Nasional 2005 TINGKAT KEUNTUNGAN USAHATANI KACANG HIJAU SEBAGAI KOMODITAS UNGGULAN DAERAH NTB Irianto Basuki, Sri Hastuti, Awaludin Hipi, dan Kukuh Wahyu W Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Komoditas pertanian tanaman pangan yang termasuk unggulan daerah NTB menurut hasil kajian BPTP NTB tahun 2003 adalah padi ladang, kacang hijau, padi sawah, kacang tanah dan jagung. Kacang hijau merupakan komoditas strategis di NTB karena sifat agronomisnya yang relatif tahan kekeringan dengan umur panen yang pendek. Komoditas ini banyak dibudidayakan di lahan kering dan sebagian kecil di lahan sawah. Hasil kajian tahun 1998/1999 peningkatan pendapatan petani dengan relay meningkat 30%. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui keuntungan usahatani kacang hijau di tingkat petani. Metode yang digunakan adalah survai dan desk study data sekunder. Pengkajian dilakukan di Desa Bantu Lanteh Kecamatan Empang Sumbawa selama dua tahun yaitu dimulai bulan Juni hingga Desember tahun 2003 dan tahun 2004. Pengkajian menggunakan metoda survai dan desk study. Petani sampel ditentukan berdasarkan lokasi sentra komoditas unggulan tersebut di kabupaten. Penentuan petani responden dilakukan dengan cara purposive sampling, dengan jumlah responden 15 orang. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa: a) tingkat produktivitas kacang hijau di timgkat usahatani masih sangat rendah berkisar antara 0,4 – 0,53 t/ha per musim, masih jauh lebih rendah dari produksi rataaan kabupaten dan propinsi masing-masing 0,546 t/ha dan 0,75 t/ha; b) tingkat keuntungan usahatani kacang hijau di tingkat usahatani tahun 2003-2004 adalah berkisar antara Rp. 341.058,- hingga Rp. 1.271.487,-/ha/musim. Dengan tingkat keuntungan tersebut, usahatani kacang hijau belum dapat digunakan sebagai sumber pendapatan utama keluarga; c) pada tahun 2004 besarnya kenaikan produksi komoditas kacang hijau (24,01%) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan luas areal (3,89%); d) pada tahun 2003 kenaikan produksi kacang hijau lebih dominan disebabkan peningkatan produktivitas (37,55%) dibandingkan peningkatan luas areal panen (7,28%); e) produktivitas dan tingkat keuntungan yang lebih memadai akan dicapai bila melakukan perbaikan teknologi budidaya dengan mengintorduksi varietas berpotensi hasil tinggi. Kata kunci : kacang hijau, keuntungan, NTB
PENDUHULUAN Kacang hijau merupakan komoditas strategis di NTB karena sifat agronomisnya yang relatif tahan kekeringan dengan umur panen yang pendek. Namun demikian produktivitasnya di tingkat petani masih relatif rendah yaitu 350 - 475 kg/ha. Areal tanaman kacang hijau yang terluas di NTB adalah di Kabupaten Sumbawa dengan rata-rata setiap tahun seluas 26.987 ha (61,16% dari luas tanam kacang hijau NTB) (Dinas Pertanian NTB, 1999). Nilai strategis kacang hijau terletak pada kemampuannya sebagai tanaman penyelamat kegagalan panen dari tanaman sebelumnya seperti padi yang gagal panen akibat gangguan musim kering. Sifat kompetitif lainnya yang ditunjukkan adalah harganya relatif stabil dibanding kedelai yang di pasar bebas sering berfluktuasi harganya karena desakan kedelai asal impor. Hal tersebut didukung oleh pendapat Kasno (1990) yang menyatakan bahwa kelebihan kacang hijau ini terletak pada agronomis serta eknonomisnya. Kelebihan agronomi adalah ketahanannya terhadap kekeringan, berumur genjah (55 - 60 hari), cocok untuk daerah dengan curah hujan rendah, hama penyakit relatif sedikit, tumbuh baik di tanah kurang subur, jenis tanah yang drainase kurang baik, cara budidaya mudah, resiko kegagalan panen secara total kecil dan harga jual relatif lebih tinggi dibanding kacang-kacangan lainnya. Kacang hijau banyak dibudidayakan di lahan kering pada musim hujan dan di lahan sawah setelah padi pada musim kemarau II. Potensi lahan untuk pengembangan kacang hijau di NTB yaitu di lahan kering yang berupa ladang dan tegalan seluas 211.635 ha (BPS, 2003), serta di lahan sawah seluas 225.026 ha (BPS, 2003). Pada tahun 2003 tercatat luas panen kacang hijau di NTB mencapai 47.114 ha dengan produktivitas 0,751 t/ha. Produktivitas ini masih sangat rendah dibanding potensi hasil kacang hijau dapat mencapai Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
258
Seminar Nasional 2005 2,0 t/ha (Santoso, 1996). Tingkat produktivitas yang rendah dipengaruhi oleh cara pengelolaan tanaman yang kurang intensif diantaranya belum menggunakan varietas unggul yang adaptif. Berbagai teknologi telah diuji terutama yang berkaitan dengan adaptasi varietas kacang hijau serta pola tanam di lahan kering. Di lahan kering kacang hijau di tanam sebagai tanaman relay menjelang panen jagung. Kajian tahun 1997 menunjukkan bahwa produktivitas kacang hijau dengan pola tanam relay yang menggunakan varietas lokal dapat mencapai 0,95 t/ha, sedang jagung Bisma sebagai tanaman utama dapat menghasilkan 3,73 t/ha pipilan kering. Dengan hasil panen tersebut, penerimaan petani dapat mencapai Rp.3.798.922,-/ha dengan B/C 2,26. Hasil kajian MH. 1998/1999 peningkatan pendapatan petani dengan menerapkan pola tanam relay dapat meningkat 30%. (Basuki. 2000). Selama ini petani telah mengenal berbagai varietas yang sudah dilepas oleh pemerintah diantaranya yang beredar di NTB seperti varietas Camar, Sriti, Walet, Betet, Kenari, Merak, dan Sampiong. Tujuan kajian ini adalah menganalisis keuntungan usahatani kacang hijau di tingkat petani dan peluang pengembangannya di lahan kering. METODOLOGI Pengkajian dilakukan di desa Bantu Lanteh Kecamatan Empang Sumbawa selama dua tahun yaitu dimulai bulan Juni hingga Desember tahun 2003 dan tahun 2004. Pengkajian menggunakan metoda survai dan desk study. Petani sampel ditentukan berdasarkan lokasi sentra komoditas unggulan tersebut. Penentuan petani responden dilakukan dengan cara purposive sampling, dengan jumlah responden 15 orang. Data yang dikumpulkan meliputi input saprodi, tenaga kerja, harga saprodi, upah tenaga kerja, harga jual, dan biaya lain. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung pada petani menggunakan bantuan kuesioner terstruktur. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif misalnya, rataan, dan pertumbuhan/trend, sedang untuk mengetahui keuntungan usahatani digunakan analisis B/C ratio. HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Kinerja Produksi Produktivitas merupakan salah satu indikator yang menjadi ukuran diadopsi atau tidaknya suatu varietas introduksi. Dari studi kajian adaptasi bersama beberapa galur lainnya beberapa varietas menampilkan produktivitasnya. Riyanti, dkk (2003) melaporkan di Narmada potensi hasil kajian uji adaptasi dari tahun 2001 dan tahun 2002 beberapa varietas lokal dan varietas yang telah dilepas oleh Balitkabi untuk kacang hijau Sampiong adalah 1.230 t/ha di Narmada Lombok dan di P. Sumbawa mencapai 1,485 t/ha. Sedangkan Perkutut 1,760 t/ha di Narmada dan produksi Walet di Sumbawa 2 t/ha. Data perkembangan produksi kacang hijau per kabupaten menunjukkan variasi yang tinggi. Di beberapa kabupaten terjadi kenaikan produksi yang relatif tinggi sementara itu di kabupaten lain terjadi sebaliknya. Kenaikan produksi kacang hijau sekitar 90 - 100 persen terjadi di Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Peningkatan produksi yang tinggi namun lebih rendah dibandingkan peningkatan di tiga kabupaten sebelumnya juga terjadi di Kabupaten Sumbawa (48,33%). Produksi kacang hijau di Kabupaten Dompu, Bima dan Kota Mataram selama dua tahun menurun disebabkan berkurangnya areal panen yang relatif besar. Perkembangan luas panen, produktivitas dan produksi kacang hijau di Provinsi NTB per kabupaten dapat dilihat pada Tabel 1. Data pada tabel tersebut menunjukkan peningkatan produksi kacang hijau yang relatif tinggi yaitu sebesar 47,59 persen.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
259
Seminar Nasional 2005 Peningkatan produksi ini disebabkan oleh adanya penambahan luas areal panen dan produktivitas secara bersamaan. Namun peningkatan produktivitas yang tinggi (37,55%) lebih dominan menentukan kenaikan produksi kacang hijau di NTB dibandingkan peningkatan luas areal panen (7,28%). Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Kacang Hijau menurut Kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Barat, 2002-2003 No.
Kabupaten/ Kota
Luas Panen (Ha) 2002
2003
r (%)
Produktivitas (Kw/Ha) 2002
2003
r (%)
Produksi (Ton) 2002
2003
r (%)
1
Lobar
1333
1743
30.76
5.21
7.63
46.45
694
1331
91.79
2
Loteng
3444
5118
48.61
5.41
6.98
29.02
1863
3570
91.63
3
Lotim
4
Sumbawa
5
Dompu
6
Bima
7
Mataram Total NTB
1298
1920
47.92
5.48
7.59
38.50
712
1457
104.63
34521
36862
6.78
5.46
7.58
38.83
18836
27939
48.33
925
533
-42.38
5.03
6.99
38.97
466
373
-19.96
2338
902
-61.42
5.93
7.86
32.55
1386
709
-48.85
59
36
-38.98
5.51
7.50
36.12
33
27
-18.18
43918
47114
7.28
5.46
7.51
37.55
23990
35406
47.59
Sumber : BPS Propinsi NTB, 2002-2003
Keuntungan Usahatani Kacang Hijau Hasil Kajian Tahun 2003. Sebagai contoh produksi di tingkat usahatani, petani kacang hijau dipilih dari petani di Desa Batu Lanteh, Kecamatan Empang, Kabupaten Sumbawa. Rata-rata luas pengusahaan lahan kacang hijau 0,77 ha. Analisa dilakukan selama dua musim tanam yaitu MK II 2002 dan MH 2002/2003. Rataan produksi kacang hijau yang dapat dicapai petani sekitar 5,3 Kw per hektar per musim. Tingkat produksi ini tidak jauh berbeda dengan data BPS tahun 2002 di kabupaten yang sama yaitu 5,46 Kw per hektar. Dilihat keragaan produksi pada setiap musimnya terlihat bahwa produksi kacang hijau yang ditanam pada musim hujan dua kali lipat lebih tinggi daripada yang ditanam pada musim kemarau. Tingkat produktivitas untuk produksi MK II 2002 dan MH 2002/2003 masing-masing 3,26 Kw/Ha dan 7,34 Kw/Ha. Bila produksi kacang hijau di Kabupaten Sumbawa dicapai paling tinggi pada MH, maka sebaliknya yang terjadi pada keadaan harga jual kacang hijau yang diterima petani. Harga jual tertinggi diperoleh pada penjualan produksi musim kemarau yaitu mencapai Rp 3090/kg, sedangkan pada musim hujan hanya mencapai Rp2964/kg. Dengan demikian hukum ekonomi berlaku disini, yaitu disaat suplai tinggi, ceteris paribus penawaran harga rendah dan sebaliknya. Meskipun demikian, pendapatan petani kacang hijau masih meningkat karena peningkatan produksi pada musim hujan relatif lebih tinggi dibandingkan penurunan harganya. Secara finansial analisa pendapatan usahatani kacang hijau per hektar selama dua musim di Kabupaten Sumbawa ditampilkan pada Tabel 2.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
260
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Analisis Usahatani Kacang Hijau per Hektar di Batu Lanteh Kabupaten Sumbawa, MK. II. 2002 dan MH. 2002/2003 Uraian Produksi (kg) Harga (Rp/kg) Penerimaan (Rp) Biaya produksi (Rp) a. Sarana produksi - Benih - Pupuk - Obat-obatan b. Tenaga kerja Total Keuntungan (Rp) R/C
MK. II. 2002 Fisik
MH. 2002/2003
Persen (%)
Fisik
326 3.090 1.007.340
100
734 2.965 2.176.310
100
73.290 22.500 35.290 657.050 788.130 219.210
7,28 2,23 3,50 65,23 78,24 21,76
72.290 22.500 111.050 712.060 917.900 1.258.410
3,32 1,03 5,10 32,72 42,18 57,82
1,28
Persen (%)
2,37
Sumber : Data primer yang diolah
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa struktur biaya dan penerimaan per hektar bervariasi pada setiap musimnya, biaya usahatani sekitar 78,24 dan 42,18% dari total penerimaan usahatani masing-masing untuk MK dan MH. Komponen biaya terbesar dikeluarkan untuk biaya tenaga kerja yang mencapai 65,23 dan 32,72% dari total penerimaan usahatani. Petani belum menggunakan pupuk sesuai dengan rekomendasi, hanya menggunakan pupuk cair yang diaplikasikan menjelang tanaman berbuah. Biaya yang dikeluarkan untuk membeli pupuk tidak terlalu besar yaitu sekitar 2,23% sampai 1,03% dari total penerimaan. Tanaman kacang hijau rentan terhadap serangan hama penyakit tanaman. Oleh karena itu petani harus mengeluarkan biaya yang besar untuk memberantas hama dan penyakit yang menyerang tanaman kacang hijau. Serangan hama penyakit lebih banyak terjadi pada musim hujan dan konsekuensinya biaya untuk obat-obatan lebih besar pada musim tersebut. Biaya untuk obat-obatan pada MH mencapai 111 ribu rupiah per hektar (5,10%), sedangkan pada MK mencapai 35 ribu rupiah per hektar (3,50%). Pendapatan bersih atau keuntungan usahatani kacang hijau per hektar pada MK. 2002mencapai Rp. 210.290,-/ha dengan R/C 1,28, sementara pada MH. 2002/2003 mencapai Rp.1.258.410,-/ha dengan R/C 2,37Hal ini menunjukkan bahwa usahatani kacang hijau dapat memberikan keuntungan bagi petani yang ditunjukkan oleh R/C lebih besar dari satu. Hasil KajianTahun 2004 Pada umumnya sebagian besar petani menanam kacang hijau di lahan sawah pada musim kemarau sehingga analisa usahatani dilakukan hanya untuk satu musim yaitu MK I 2004. Teknologi yang diterapkan masih sederhana seperti belum menggunakan pupuk tunggal, varietas lokal (samsik) dengan cara tanam disebar. Produktivitas kacang hijau mencapai 0,4 t/ha, masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata produktivitas di Kabupaten Sumbawa dan Propinsi NTB pada tahun 2003 0,75 t/ha. Hal ini disebabkan karena pada fase pembungaan tanaman kekurangan air. Rata-rata penerimaan petani sekitar Rp 1.022.000,-/ha dengan R/C 1,6. Total biaya yang dikeluarkan untuk usahatani kacang hijau per hektar mencapai 62,04% dari total penerimaan dengan keuntungan yang diterima petani sebesar Rp. 384.000,/ha. Komponen terbesar dari biaya usahatani kacang hijau adalah biaya tenaga kerja yaitu mencapai 37,63 persen dari total penerimaan. Dilihat dari penggunaan saprodi, usahatani kacang hijau kurang intensif bahkan sebagian besar petani belum melakukan pemupukan. Komponen biaya saprodi yang relatif besar antara lain untuk biaya pestisida dan herbisida.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
261
Seminar Nasional 2005 Tabel 3. Analisis Usahatani Kacang Hijau per Hektar di Desa Batu Lanteh Sumbawa, MK. 2004 No. A.
B.
C.
D. II. III. IV.
Uraian Saprodi : 1. Benih 2. Pupuk : Indofloor 3. Pestisida 4. Herbisida Total saprodi Tenaga kerja : 1. Pengolahan lahan 2. Penanaman 3. Pemeliharaan 4. PHT 5. Panen (borongan) 6. Pasca panen (borongan) Total tenaga kerja Biaya lain 1. Pengairan 2. Pajak 3. Zakat Total biaya lain Total biaya Produksi Keuntungan R/C
Satuan
Jumlah
kg
HOK HOK HOK HOK HOK HOK
kg
Nilai (Rp)
Persen (%)
13,7
68.500
6,70
1,5
33.750 33.981 52.588 157.507
3,30 3,32 5,15 15,41
1,3 1 2,1 1,7 6 2,9
19.500 15.000 31.500 25.500 182.523 110.532 384.555
1,91 1,47 3,08 2,50 17,86 10,82 37,63
9.030 4630 81.970 95.630 637.692 1.022.000 384.308 1,60
0,88 0,45 8,02 9,36 62,40 100,00 37,60
408,8
Sumber : Data primer yang diolah
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Produktivitas kacang hijau di tingkat petani masih sangat rendah berkisar antara 0,40,734 t/ha per musim, sedangkan tingkat keuntungannya berkisar antara Rp. 219.210,hingga Rp.1.258.410,-/ha/musim. 2. Usahatani kacang hijau yang dilakukan pada musim hujan, dapat memberikan keuntungan yang cukup memadai bagi petani. Sementara pada musim kemarau dilahan sawah, keuntungan yang diperoleh masih belum cukup untuk menopang ekonomi keluarga. 3. Untuk meningkatkan produktivitas, upaya penerapan teknologi budidaya mutlak diperlukan. Teknologi tersebut antara lain penggunaan varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan preferensi konsumen. DAFTAR PUSTAKA Basuki, I., J. Abdulgani, A. Hipi, B.T.R. Erawati. 2000. Laporan Pengkajian SUP Jagung pada lahan kering tahun 1999/2000 di NTB. BPTP NTB, Mataram. BPS. 2002. Nusa Tenggara Barat Mataram.
Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Propinsi NTB,
BPS, 2003. Nusa Tenggara Barat Mataram.
Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Propinsi NTB,
BPTP NTB. 2003. Komoditas Unggulan NTB. Laporan Tahunan 2003. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB, Mataram.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
262
Seminar Nasional 2005 Dinas Pertanian NTB, 1999. Laporan Tahunan 1998. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Dati I NTB. Mataram. Kasno, A. 1990. Adaptasi Galur-galur Harapan Kacang Hijau pada Lahan sawah. Risalah Lokakarya Perbaikan Teknologi Tanaman Pangan. Mataram, 11-13 September 1990. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Riyanti, dkk 2003. Adaptasi Galur-galur Kacang Hijau Toleran Naungan Pada Tumpang Gilir dan Tumpang Sari dengan Jagung di NTB. Makalah Seminar PERIPI Jatim. Malang. Santoso, B.R. dan T.Adisarwanto. 1996. Teknologi untuk Meningkatkan Hasil Kacang Hijau. Mataram 16 - 22 Juli 1996. Penas IX Pertasi Kencana di NTB. Badan Litbang Pertanian Jakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
263
Seminar Nasional 2005 ADAPTASI TIGA VARIETAS UBI JALAR (Ipomoea batatas), KERAGAAN KOMPOSISI KIMIA DAN REPERENSI PANELIS W. Trisnawati, Made Rai Yasa dan Nyoman Adijaya Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Di Indonesia ubi jalar merupakan salah satu komoditi bahan makanan pokok dan diusahakan penduduk mulai dari daerah dataran rendah sampai dataran tinggi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui adaptasi pertumbuhan dan produksi ubi jalar, komposisi kimia, dan preferensi panelis terhadap beberapa varietas ubi jalar. Penelitian dilakukan pada tahun 2004, di Dusun Songlandak, Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, menggunakan tiga varietas ubi jalar, yaitu varietas Injin, Malam, dan Gentong. Penelitian menggunakan Rancangan RAK Faktorial dengan 4 kali ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap: pertumbuhan, produksi tanaman, kadar air, kandungan vitamin C, kadar protein, kadar serat kasar, uji organoleptik terhadap warna, tekstur, rasa manis dan kesukaan rasa. Hasil dari penelitian ini adalah varietas Gentong dan Malam memberikan adaptasi terbaik dengan produksi per 100 m2 masing-masing 36,45 kg dan 34,08 kg, sedangkan varietas Injin mampu berproduksi 30,10 kg. Varietas Gentong memiliki kadar air tertinggi dan kadar serat tertinggi terdapat pada varietas Injin. Berdasarkan kesukaan panelis varietas Gentong mendapat ranking tertinggi dengan skor 2,27 (rasa enak) Kata Kunci : ubi jalar, varietas, komposisi kimia, dan organoleptik
PENDAHULUAN Ubi jalar atau ubi jalar atau "sweet potato" diduga berasal dari benua amerika. Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika Tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama negara-negara beriklim tropika pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama Filipina, Jepang, dan Indonesia (Bali Post.com, 2003). Plasma nutfah (sumber genetik) tanaman ubi jalar yang tumbuh di dunia diperkirakan berjumlah lebih dari 1000 jenis, namun baru 142 jenis yang diidentifikasi oleh para peneliti. Di beberapa daerah tertentu, ubi jalar merupakan salah satu komoditi bahan makanan pokok. Ubi jalar merupakan komoditi pangan penting di Indonesia dan diusahakan penduduk mulai dari daerah dataran rendah sampai dataran tinggi. Tanaman ini mampu beradaptasi di daerah yang kurang subur dan kering. Dengan demikian tanaman ini dapat diusahakan orang sepanjang tahun (Bali Post.com, 2003). Produktivitas ubi jalar selain ditentukan oleh faktor lingkungan tumbuh juga dipengaruhi oleh kemampuan adaptasi varietas terhadap lingkungan. Penggunaan varietas yang berbeda pada satu lingkungan tumbuh yang sama akan memberikan gambaran terhadap kemampuan adaptasi suatu varietas, sehingga untuk mendapatkan varietas dengan kemampuan berproduksi yang baik, sebaiknya dilakukan uji adaptasi terhadap varietas yang akan dicoba. Di Indonesia, khususnya Bali, sedikitnya terdapat 75 jenis tanaman umbiumbian yang umumnya mengandung protein tinggi, yang secara tidak langsung mampu menyembuhkan berbagai penyakit, antara lain kanker dan penyakit diabetis. "Dalam umbi-umbian itu mengandung `antiosiamnin` yang sangat baik bagi kesehatan dan tidak terdapat dalam beras atau gandum". Ubi jalar misalnya, mengandung protein melebihi kentang yakni kalorinya 123 setiap 100 gram, sementara kentang hanya 83 per 100 gram. Sedangkan kandungan karbohidratnya 27,9 dan kentang hanya 19,1. Demikian pula kandungan kalsium ubi jalar mencapai 30, sementara kentang hanya 11 setiap 100 gramnya. Protein ubi jalar hampir sama dengan suweg, yang belakangan jarang ditanam petani, padahal dulunya merupakan makanan ringan masyarakat Bali (Gatra.Com, 2004).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
264
Seminar Nasional 2005 Varietas ubi jalar yang umum ditanam petani di Bali, diantaranya varietas injin, malam dan gentong. Varietas injin dikenal sebagai ubi ungu, varietas malam memiliki warna merah muda dan varietas gentong dengan warna agak merah. Diantara ketiga varietas tersebut memiliki komposisi kimia yang tidak sama yang akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan rasa dari ubi tersebut. Ubi yang berwarna gelap menunjukkan tingginya kandungan betakaroten. Betakaroten yang tinggi dalam darah dapat mengurangi sensitivitas terhadap matahari. Ubi merah selain sebagai sumber vitamin E juga dapat membantu penyerapan zat besi dari sereal dan mengurangi risiko artritis. Kandungan lain dari ubi merah adalah antioksidan serta vitamin C dan E yang dapat melawan radikal bebas (cbn.com, 2003). Penelitian bertujuan untuk mengetahui adaptasi pertumbuhan dan produksi ubi jalar, komposisi kimia, dan preferensi panelis terhadap beberapa varietas ubi jalar. METODA PENELITIAN Penelitian dilakukan pada tahun 2004, di Dusun Songlandak, Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, menggunakan tiga varietas ubi jalar, yaitu varietas Injin, Malam, dan Gentong. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 4 kali ulangan. Petak percobaan berukuran 4 m x 4 m, dengan jarak tanam 1m x 1m. Pengamatan dilakukan terhadap:1) pertumbuhan dan produksi tanaman, 2) komposisi kimia: kadar air, kandungan vitamin C, kadar protein dan kadar serat kasar dan 3) uji organoleptik terhadap warna, tekstur, rasa manis dan kesukaan rasa. Data dianalisis sidik ragam, dilanjutkan dengan Uji BNT jika perlakuan berpengaruh nyata. Analisa kimia dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian, Universitas Udayana, Denpasar. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis sidik ragam yang dilakukan terhadap parameter pertumbuhan dan hasil tanaman pada tiga varietas yang diuji memberikan pertumbuhan dan produksi yang berbeda, kecuali terhadap jumlah umbi per tanaman (Tabel 1). Produksi tertinggi dihasilkan varietas Gentong yaitu 1,458 kg/4m2, tidak berbeda dengan varietas Malam (1,363 kg), namun keduanya berbeda nyata dengan varietas Injin yang menghasilkan 1,204 kg. Jika dikonversi ke luasan 100 m2 masing-masing menghasilkan 36,45 kg, 34,08 kg dan 30,10 kg. Hal ini menunjukkan faktor genetis dan kemampuan adaptasi yang berbeda dari ketiga varietas lokal tersebut. Varietas Injin memiliki panjang batang yang lebih panjang dibandingkan dua varietas lainnya tetapi memiliki percabangan dan jumlah umbi yang lebih sedikit sehingga produksinya lebih rendah. Penggunaan varietas yang berbeda memberikan hasil hijauan yang berbeda pula. Hasil hijauan per 4m2 menunjukkan varietas Malam menghasilkan hijauan tertinggi (1623,73 g), diikuti varietas Injin (1599,69 g) dan terendah dihasilkan varietas Gentong (1428,75 g). Tabel 1. Rata-rata Komponen Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Ubi jalar di Dusun Songlandak, Desa Sulahan, Kecamatan, Susut, Kabupaten Bangli, 2004 Varietas Injin Malam Gentong
Panjang batang (cm) 232,53 a 212,72 b 206,78 b
Parameter Jumlah Berat umbi/ Jumlah umbi/tan (bh) tan (g) Umbi/tan (bh) 3,56 b 3,78 ab 4,03 a
329,68 a 341,49 a 372,70 a
3,25 b 3,41 b 3,69 a
Berat hijauan/4m2 (g)
Berat umbi/ 4m2 (g)
1559,69 a 1623,73 a 1428,75 b
1204,75 b 1363,13 a 1458,00 a
Keterangan : Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji beda BNT 5%
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
265
Seminar Nasional 2005 Analisis sidik ragam pada beberapa varietas ubi jalar berbeda nyata terhadap kadar air dan serat kasar, sedangkan untuk kadar vitamin C dan kadar protein tidak berbeda nyata (Tabel 2). Varietas Gentong memiliki kadar air paling tinggi dibandingkan dengan varietas Malam dan Injin, sedangkan kadar serat kasar tertinggi terdapat pada varietas Injin diikuti oleh varietas Malam dan Gentong. Tabel 2. Rata-rata Komposisi Kimia Beberapa Varietas Ubi jalar di Dusun Songlandak, Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, 2004 Varietas Injin Malam Gentong
Kadar Air (%)
Kadar Vitamin C (mg/100 gr)
Kadar Protein (%)
Kadar Serat Kasar (%)
88.37 a 89.58 b 89.98 b
17.13 a 14.82 a 14.68 a
1.64 a 1.74 a 1.66 a
8.61 b 6.84 a 6.49 a
Keterangan : Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji beda BNT 5%
Uji organoleptik pada ketiga varietas ubi jalar terhadap warna, tekstur, rasa manis, dan kesukaan panelis menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 3). Masing-masing varietas memiliki warna yang berbeda, varietas Injin memiliki umbi berwarna ungu, varietas Malam berwarna kuning dan Gentong berwarna lebih kuning dibandingkan dengan varietas Malam. Tabel 3. Rata-Rata Preferensi Panelis pada Beberapa Varietas Ubi jalar di Dusun Songlandak, Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli, 2004 Varietas
Warna
Tekstur
Rasa Manis
Kesukaan Rasa
6.00 b 2.00 a 2.55 a
4.36 b 4.18 b 3.27 a
2.55 b 1.64 a 1.55 a
1.27 a 1.73 a 2.27 b
Injin Malam Gentong
Keterangan : Angka yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji beda BNT 5%
Hasil uji panelis terhadap tekstur umbi ubi jalar antara keras sampai sedang (skor 3– 4). Varietas Gentong memiliki tekstur lebih keras dibandingkan dengan varietas Malam dan Injin. Rasa manis umbi pada varietas Malam dan Gentong lebih rendah dibandingkan dengan varietas Injin. Kesukaan panelis pada varietas Gentong lebih tinggi (lebih enak) dibandingkan dengan varietas Malam dan Injin (Gambar 1). 7.00 6.00 5.00
Skor
Injin 4.00 Malam 3.00
Gentong
2.00 1.00 Warna
T ekstur
R. Manis
Kesukaan Rasa
Cita Rasa
Gambar 1. Uji Kesukaan Panelis pada Tiga Varietas Umbi Ubi jalar
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
266
Seminar Nasional 2005 KESIMPULAN 1. Varietas Gentong dan Malam memberikan adaptasi terbaik di lokasi penelitian dengan produksi per 100 m2 masing-masing 36,45 kg dan 34,08 kg berbeda nyata dengan varietas Injin dengan produksi 30,10 kg. 2. Perbedaan varietas ubi jalar mempengaruhi komposisi kimia dan uji kesukaan panelis. Berdasarkan kesukaan panelis varietas gentong mendapat ranking tertinggi dengan skor 2,27 (rasa enak) 3. Varietas Gentong memiliki kadar air tertinggi dan kadar serat tertinggi terdapat pada varietas injin. DAFTAR PUSTAKA http://www.gatra.net.id.com. 2004. Umbi-Umbian Makanan Favorit Jepang. http://www.balipost.net.id.com .2003. Umbi-Umbian Dijadikan Komoditi Ekspor. http://www.tokoh.net.id.com. 2004. Es Krim Ketela Ungu Mampu Cegah Kanker. http://www.cbn.net.id.2003. Ubi Merah Kaya Antioksidan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
267
Seminar Nasional 2005 PELUANG PENGEMBANGAN BAWANG MERAH PALU SEBAGAI KOMODITAS AGRIBISNIS Heni Purwaningsih1), Caya Khairani2), Maskar2) dan Trixa P Rumayar2) 1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah ABSTRAK Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah komoditas yang cukup potensial khususnya di Lembah Palu. Bawang merah lokal Palu selain sebagai bahan penyedap masakan sangat cocok digunakan sebagai bahan baku bawang goreng (Bawang Goreng Palu). Bawang goreng Palu mempunyai peluang yang cukup baik sebagai komoditas agribisnis. Pemasaran bawang goreng Palu selain untuk konsumen lokal telah dipasarkan ke Kalimantan, Makassar, dan Jawa bahkan sampai ke Singapura. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan dalam industri bawang goreng Palu. Penelitian ini menggunakan metode survei melalui wawancara dengan menggunakan kuessioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan usahatani bawang goreng dengan R/C 1,67 dan ditemukan beberapa beberapa permasalahan yaitu: (1). kurangnya permodalan pada tingkat petani sehingga berpengaruh terhadap kontinuitas dan kuantitas bahan baku; (2). proses produksi masih tradisional; (3) kuantitas produksi tidak kontinyu yang menyebabkan permintaan pasar luar negeri tidak terpenuhi; (4). teknik pengemasan belum memenuhi syarat. Kata kunci : bawang merah, peluang, masalah, agribisnis.
PENDAHULUAN Pembangunan pertanian diharapkan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan sektor-sektor lain agar dapat memperbaiki keadaan perekonomian masyarakat. Pembangunan pertanian sub sektor tanaman pangan khususnya komoditas hortikultura harus dapat tumbuh dengan cepat, agar secara fungsional akan semakin mampu berperan dalam penyediaan bahan baku industri, peningkatan pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja serta peningkatan penerimaan devisa melalui ekspor hasil-hasil tanaman hortikultura. salah satu komoditi andalan Sulawesi Tengah adalah Bawang Merah Palu (bahan baku bawang goreng). Bawang merah (Allium ascalonicum L) adalah salah satu komoditas hortikultura, biasa digunakan sebagai penyedap masakan, bahan baku industri makanan, obat-obatan dan disukai karena aroma dan rasanya yang khas. Selain itu bawang merah merupakan sumber vitamin B, C, kalium, fosfor dan mineral. Di Indonesia sentra-sentra produksi bawang merah umumnya berasall dari dataran tinggi antara lain Brebes, Tegal Jawa Tengah dan Probolinggo Jawa Timur. Namun demikian tanaman bawang merah juga telah banyak diusahakan di dataran rendah. Menurut Limbongan et al., (2001), Usahatani bawang merah Palu sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu terutama disekitar Lembah Palu. Tinombo, Gontarano dan beberapa daerah lain di Kabupaten Donggala. Bawang merah banyak diusahakan oleh petani di Lembah Palu, mengingat Lembah Palu merupakan suatu kawasan dataran rendah yang beriklim kering dan curah hujan kurang dari 500 mm/th sehingga kondisi tersebut sangat cocok bagi pertumbuhan tanaman bawang merah. Menurut Biro Pusat Statistik Sulawesi Tengah (2000), luas areal pertanaman bawang merah di Sulawesi Tengah mencapai 681 ha dengan produksi 10.545 ton dengan produktivitas rata-rata 15,485 kw/ha. Setelah dipanen bawang merah tidak dapat dibiarkan begitu saja, sehigga perlu penanganan khusus karena jika tidak, bawang merah mudah rusak dan sulit dipertahankan dalam bentuk segar karena lama kelamaan akan mengalami perubahan-perubahan akibat proses fisiologi, biologi, fisikokimia dan mikrobiologi. Apabila penanganan kurang baik akan terjadii kebusukan atau bahkan tumbuh di tempat penyimpanan. Untuk itu perlu upaya penanganan pasca panen yang baik untuk memperpanjang masa simpan dan meningkatkan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
268
Seminar Nasional 2005 nilai ekonomi bawang merah tersebut seperti dibuat bawang goreng karena bawang merah Palu sangat cocok digunakan sebagai bawang goreng dan meiliki daya simpan yang cukup lama yaitu 7-12 bulan. Pembuatan bawang goreng di tingkat rumah tangga (home industry) diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi dan pendapatan petani untuk meningkatkan kesejahteraan petani. METODOLOGI Penelitian dilaksanakan pada tahun 2003, lokasi penelitian di seluruh pengusaha bawang goreng di kota Palu. Penelitian dilaksanakan dengan metode survai melalui wawancara berstruktur dengan pengusaha bawang goreng palu, pengambilan contoh pengusaha bawang goreng dilakukan secara purposive Random Sampling. HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi dan Penerapan Teknologi 1. Potensi Bawang goreng adalah produk komoditas hortikultura yang biasa digunakan sebagai bahan penyedap masakan, obat-obatan serta secara ekonomis berpeluang untuk dikembangkan secara luas. Tanaman bawang merah Palu cocok digunakan sebagai bawang goreng karena memiliki aroma dan rasa yang khas dan tetap kering/renyah walaupun disimpan lama. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tengah (2000) luas areal pertanaman mencapai 681 ha dengan produktivitas rata-rata 1,5 ton/ha. Produktivitas tersebut masih tergolong rendah karena tanaman bawang merah yang terpelihara dengan baik produktivitasnya dapat mencapai 4 ton/ha. Dengan umur tanaman di lapangan yang hanya sekitar 70 hari, maka dalam satu tahun berpeluang untuk panen 3-4 kali, sehingga dalam satu tahun akan diproduksi kurang lebih 3000 ton bawang segar. 2. Penerapan Teknologi Menurut Maskar, et al., (2001) produktivitas bawang merah di Lembah Palu relatif rendah, hal ini disebabkan karena penerapan teknologi budidaya seperti jarak tanam dan pemupukan belum diterapkan secara intensif. Hasil rata-rata yang diperoleh dari uasahatani bawang merah di daerah ini mencapai 3 ton per ha (Limbongan dan Monde, 1999), sedangkan potensi bawang merah lokal mencapai 4,7 – 7,6 ton per ha. Pada umumnya petani melakukan pemupukan belum sesuai anjuran karena masih ada anggapan petani bahwa tanaman yang tumbuh subur akan menghasilkan umbi yang relatif sedikit (kecilkecil). Untuk mencapai produktivitas yang tinggi diperlukan suatu rakitan teknologi yang tepat guna sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani dan ketersediaan bahan baku industri secara berkesinambungan. Teknologi yang harus diterapkan adalah teknologi budidaya yang intensif serta teknologi pasca panen khususnya pada proses pengolahan yang lebih mengarah pada bawang goreng yang berkualitas agar memiliki keseragaman mutu dan terhindar dari rancidity (ketengikan karena kandungan minyak/lemak yang tinggi). Panen dan Pasca Panen Untuk mendapatkan bawang goreng yang berkualitas tidak terlepas dari perlakuan saat panen. Penentuan umur panen sangat penting untuk mendapatkan bawang yang berkualitas dan kuantitas hasil yang baik. Apabila tanaman dipanen terlalu muda akan diperoleh umbi berukuran kecil dan mudah keriput. Untuk mendapatkan hasil yang optimal sebaiknya dipanen pada saat masak fisiologis, dengan ciri-ciri batang lemas, umur tanaman 65-70 hari. Panen dilakukan dengan cara mencabut tanaman kemudian diikat dengan tali bambu, ikatan dijemur setelah kering digantung di tempat yang kering.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
269
Seminar Nasional 2005 Daya simpan umbi segar tidak tahan lama oleh karena itu perlu suatu upaya pemanfaatan umbi segar, misalnya sebagai bahan baku bawang goreng yang memiliki daya simpan yang cukup lama. Proses pembuatan bawang goreng pada Gambar 1.
Sortasi Sortasi
Pencucian Pencucian
Pengupasan Pengupasan
Pengirisan Pengirisan
Penambahan Penambahan garam/tepung garam/tepung
Penggorengan Penggorengan (+ (+ 15 15 menit) menit)
Penirisan Penirisan minyak minyak
Pengemasan Pengemasan Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan bawang goreng
Peluang Pengembangan Agribisnis Bawang Goreng Agribisnis berkaitan erat dengan pembangunan pertanian, karena dengan pertanian yang tangguh dapat mendukung sektor industri modern. Pengembangan agribisnis di pedesaan merupakan basis pertumbuhan ekonomi pedesaan melalui peningkatan nilai tambah produk pertanian. Selain itu agribisnis merupakan kegiatan pasca panen yang bertujuan untuk menyelamatkan produk pertanian agar tidak terlantar yang lama kelamaan akan menjadi limbah (Bachman, 1981). Agribisnis akan terjaga kesinambungan usahanya apabila input (bahan baku yang berasal dari petani) terjamin mutu dan kontinuitasnya. Agribisnis bawang merah memberikan harapan yang baik untuk: (1) peningkatan pendapatan petani; (2) bahan ekspor; (3) dapat menambah devisa negara (income daerah). Pengembangan pengolahan bawang merah dapat dilakukan dengan mengolah umbi segar melalui penggorengan. Pembuatan bawang goreng merupakan salah satu alternatif untuk menyimpan lebih lama jika dibandingkan dalam bentuk segar, karena bawang merah dalam bentuk segar mempunyai kadar air yang tinggi yaitu 83%-86% sehingga menyebabkan bawang merah mudah rusak dan tidak tahan lama disimpan. Pembuatan bawang goreng ini dapat dilakukan dalam skala kecil yaitu industri rumah tangga. Pengolahan bawang goreng pada skala rumah tangga di Sulawesi Tengah khususnya Lembah
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
270
Seminar Nasional 2005 Palu memiliki peluang pasar yang cukup menjanjikan. Hal ini terlihat dari beberapa pengusaha bawang goreng Palu (hasil survey) telah memasarkan bawang gorengnya ke Makassar, Kalimantan, Jawa bahkan sampai ke luar negeri (Malaysia dan Singapura). Namun ada beberapa permasalahan yang dihadapi baik di tingkat petani pembudidaya maupun di tingkat pengusaha itu sendiri. Permasalahan pada Agribisnis Bawang Goreng Di tingkat petani ada beberapa permasalahan yang tidak menunjang kelancaran usaha bawang goreng yaitu: (1) modal petani terbatas; (2) teknologi pemupukan tidak sesuai anjuran; (3) produktivitas relatif rendah menyebabkan ketersediaan bahan baku yang tidak kontinyu. Sedangkan di tingkat pengusaha adalah: (1) teknologi pembuatan bawang goreng masih sederhana; (2) produksi tidak kontinyu karena terbatasnya bahan baku; (3) teknik pengemasan masih sederhana. Analisis Usahatani Bawang Goreng Pendapatan usahatani adalah suatu alat ukur yang menggambarkan kinerja suatu usahatani berdasarkan pada manfaat dari hasil usahatani. Perhitungan pendapatan usahatani yang disajikan pada Tabel 1 memperlihatkan selisih antara jumlah permintaan (nilai produksi) dengan biaya yang dikeluarkan. Dalam perhitungan seluruh tenaga kerja dialokasikan dihitung sebagai biaya ditambah dengan penggunaan berbagai sarana yang lain. Analisis usahatani bawang goreng ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis usahatani per 100 kg bawang goreng di Lembah Palu Sulawesi Tengah 2002.
No.
Uraian
1.
Produksi
2.
Bahan dan perlengkapan Bahan baku Minyak Pengemas
Jumlah
Harga Satuan (Rp)
100 kg
50.000
5.000.000
400 kg 40 kg 100 buah
6.500 4.500 500
2.600.000 180.000 50.000
16 orang
10.000
Jumlah biaya 3.
Tenaga kerja
4.
Keuntungan (1-2-3)
5.
R/C
Total biaya (Rp)
2.830.000 160.000 2.010.000 1,67
Sumber : Data Primer, 2003
KESIMPULAN 1. Agribisnis bawang goreng khususnya di Sulawesi Tengah perlu terus dikembangkan, mengingat permintaan pasar yang semakin besar sehingga perlu ketersediaan bahan baku yang berkualitas. 2. Proses pengolahan bawang goreng masih sederhana, hal ini menyebabkan kualitas bawang goreng belum memiliki keseragaman mutu. 3. Teknik pengemasan perlu dilakukan dengan baik agar memiliki daya simpan yang lama sehingga aman dalam pengiriman.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
271
Seminar Nasional 2005 DAFTAR PUSTAKA Bachman, M.R., 1981. Technology Appropiate to Food Preservation in Developing Countries. In Thorne (Ed). Development in Food Preservation Book I. Applied Science Publisher. London Biro Pusat Statistik, 2000. Statistik Dalam Angka Provinsi Sulawesi Tengah. Limbongan, J. dan Anton Monde, 1999. Pengaruh Penggunaan Pupuk Organik dan Anorganik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah Kultivar Palu. J. Hort ( (3) : 212 – 219. Limbongan, J., M. Dirwan, Husein Hasni, Deni Mamesah, 2000. Pengkajian Jarak Tanam dan Sistem Penyaluran Bawang Merah Varietas Lokal Palu. Laporan Tahun 2000 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Biromaru, 13 hal. Maskar, Basrum, A. Lasenggo, Mamiek Slamet, 2001. Uji Multilokasi Bawang Merah Lokal Palu. Laporan Tahun 2001, BPTP Sulawesi Tengah. 13 hal.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
272
Seminar Nasional 2005 USAHATANI BAWANG MERAH PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI KABUPATEN BIMA (Studi kasus di Desa Tawali Wera Bima) Muhammad Zairin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB
ABSTRAK Bawang merah merupakan komoditi utama yang memegang peranan penting dalam ekonomi masyarakat. Bawang merah di usahakan baik di lahan kering maupun pada lahan sawah tadah hujan setelah padi. Pada sebagian daerah sentra produksi bawang merah seperti di Desa Tawali Kecamatan Wera Kabupaten Bima penanaman bawang merah pada lahan sawah tadah hujan dimulai April yang berlangsung 1-2 kali tanam selama musim kering. Untuk mengairi tanaman pada MK.I petani menggunakan sisa air irigasi dan untuk mengatasi kekurangan air petani mengambil air dari sumur bor atau sumur gali yang dibuat disekitar lahan atau mengambil air dari kali dengan menggunakan pompa air. Studi kasus usahatani bawang merah pada lahan sawah tadah hujan, bertujuan untuk mengetahui kelayakan usahatani bawang merah pada lahan sawah tadah hujan yang menggunakan pompa air, dan untuk mengetahui kendala yang dihadapi petani dalam usahatani bawang merah pada lahan kering. Studi ini dilaksanakan di Desa Tawali Kecamatan Wera Kabupaten Bima pada bulan Juli 2003, sebagai salah satu desa sentra produksi bawang merah yang memanfaatkan lahan sawah tadah hujan setelah padi untuk budidaya bawang merah. Jumlah responden sebanyak 15 orang yang diambil secara acak sebagai sampel untuk diwawancarai. Hasil studi menunjukkan bahwa rata-rata produksi yang dicapai oleh petani 7,577t/ha umbi kering, keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp 19.838.390 per hektar dengan B/C ratio 3,81. Hasil yang diperoleh petani ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil kajian sebelumnya pada lahan kering yang menggunakan varietas Fhilipina mencapai hasil sebesar 14,77 t/ha umbi kering. Rendahnya produksi yang dicapai oleh petani karena menggunakan varietas Keta Monca yang potensi hasilnya lebih rendah dari Fhilipina. Pemanfaatan lahan sawah tadah hujan dengan bawang merah dengan menggunakan pompa air layak untuk dikembangkan dalam meningkatkan pendapatan petani dan PAD. Kata kunci: bawang merah, lahan kering, MK I, tadah hujan
PENDAHULUAN Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari 7 daerah tingkat II mempunyai luas wilayah mencapai 20.153.150 ha, dengan luas lahan sawah 200.975 ha (9,33%), lahan kering 1.814.340 ha (84,19%) yang berpotensi untuk tanaman pangan seluas 330.069 ha, yang dimanfaatkan baru mencapai (6,32%) diantaranya bawang merah. Daerah pengkajian merupakan wilayah dengan tipe iklim E3 (3 bulan basah) dan bulan kering lebih dari pada 6 bulan (Oldeman, 1980). Luas areal panen bawang merah di NTB selama 5 tahun (1997-2001) rata-rata mencapai 8.544 ha dengan produktivitas rata-rata 5,0 t/ha, diantaranya 4.927 ha terdapat di Kabupaten Bima dengan produksi rata-rata sebanyak 9,71 t/ha (BPS NTB, 2002). Hasil kegiatan uji multi lokasi galur-galur harapan bawang merah pada MK. 1998 di Desa Labuhan Lombok Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur pada lahan kering berpengairan sumur pompa proyek pengembangan air tanah (P2AT) sebesar 10,77 t/ha (Zairin, dkk., 1998). Selanjutnya hasil kajian (Zairin, dkk,2000) pada uji adaptasi varietas unggul bawang merah di Desa Pai Kecamatan Wera Kabupaten Bima MK.I 2000 masingmasing varietas Filipina memberikan hasil sebesar 15,17 t, Ampenan 12,01 t, Sumenep 12,09 t, Bauji 13, 18 t dan varietas Bima sebagai pembanding 10,8 t/ha dengan rata-rata produksi 12,90 t/ha umbi kering. Sedangkan hasil penelitian lain di Jawa diperoleh produksi bawang merah sekitar 10-12 t/ha ( Kusumo dan Soenarjono, 1992). Rendahnya produksi yang dicapai oleh petani karena teknologi budi daya yang masih sederhana tidak menggunakan bedengan pada musim hujan, jarak tanam tidak teratur, jenis dan takaran pupuk yang tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman, pengendalian hama dan penyakit belum mengikuti PHT, mutu bibit yang rendah serta kesuburan tanah yang rendah. Untuk meningkatkan intensitas tanam, produksi dan pendapatan petani pada lahan kering/tegal, Pemda NTB sejak tahun 1981 s/d 2002 sudah membuat sumur P2AT sebanyak
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
273
Seminar Nasional 2005 354 sumur pompa terpasang dengan luas areal yang mampu diari sebanyak 5.295,91 ha dengan melibatkan petani pemakai air (P3A) sebanyak 4.969orang (Dinas Kimraswil NTB, 2002). Namun masih banyak lahan kering yang belum mendapatkan pengairan dari sumur P2AT karena keterbatasan kemampuan Pemda. Dalam meningkatkan pemanfaatan lahan kering petani membentuk kelompok dalam menyediakan sarana penunjang berupa pompa air secara swadaya untuk mengairi bawang merah. Bawang merah merupakan komoditas utama yang memegang peranan penting dalam perekonomian rakyat. Bawang merah diusahakan baik di lahan tegal maupun di lahan sawah, pada sebagian daerah sentra produksi bawang merah seperti Kabupaten Bima penanaman pada lahan tegal dimulai menjelang berakhir musim hujan (Maret), yang berlangsung sampai 2- 3 kali tanam berturut-turut selama musim kering. Untuk mengairi tanaman, petani menggunakan air sumur dangkal dengan kedalaman 3-7 m yang di pompa dengan mesin pompa air. Pengembangan tanaman sayuran dataran rendah yang bernilai ekonomi tinggi seperti bawang merah dapat membantu usaha diversifikasi usaha tani dalam rangka memantapkan swasemda pangan. Dengan adanya bawang merah yang bernilai ekonomi tinggi berumur relatif pendek, maka petani mempunyai alternatif lebih banyak untuk memilih komoditi yang sesuai dengan permintaan pasar. Permintaan pasar akan komoditi bawang merah untuk kebutuhan rumah tangga dan industri pengolahan bahan makanan sekarang semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk yang menggunakan bawang merah sebagai bumbu penyedap makanan sehari-hari (Duriat, 1996, Suwandi, 1996, Rismunandar, 1989). Komoditi bawang merah Bima NTB diantar pulaukan seperti ke pulau Jawa, Bali, Sulawasi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan serta NTT, Maluku dan Papua. Oleh karena itu Pemda NTB sekarang sedang gencar-gencarnya mencari dan menggali potensi daerah terutama disektor pertanian pada umumnya untuk menghadapi otonomi daerah guna meningkatkan produksi, pendapatan petani, serta meningkatkan penerimaan asli daerah (PAD). Survei ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usahatani bawang merah pada lahan sawah tadah hujan pada musim kemarau (MK.I) yang menggunakan pompa air untul mengairi tanaman, dan untuk mengetahui kendala usahatani bawang merah pada lahan sawah tadah hujan pada MK.I METODA PENELITIAN Lokasi dan Pengumpulan Data Survei dilaksanakan pada bulan Juli 2003 di Desa Tawali Kecamatan Wera Kabupaten Bima, yang merupakan salah satu wilayah sentra produksi bawang merah baik di lahan kering maupun pada lahan sawah tadah hujan setelah padi. Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder dan data primer 1. Pengumpulan data Sekunder: Pengumpulan data sekunder dimaksudkan untuk mendapatakan gambaran umum penggunaan dan data yang berkaitan dengan usahatani bawang merah. Jenis data yang dikumpulkan meliputi: a. Harga input b. Harga output c. Produksi, luas panen dan produktivitas. 2. Pengumpulan Data Primer Data primer dikumpulkan dengan cara wawancara pada petani responden. Penentuan petani responden dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu mengambil 15 petani
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
274
Seminar Nasional 2005 sampel yang berusahatani berbasis komoditas unggulan (bawang merah), dengan ketentuan terdiri dari kelas penguasaan lahan untuk petani yang mengusahakan tanaman (lahan sempit, sedang dan luas). Lokasi petani sampel ditentukan berdasarkan lokasi sentra komoditas unggulan tersebut di suatu kabupaten/kota. Dari kabupaten/kota diambil lokasi kecamatan sentra komoditas unggulan, dan dari kecamatan diambil petani yang berdomisili di desa sentra komoditas unggulan (bawang merah). Data ekonomi yang diamati adalah: penggunaan sarana produksi dan tenaga kerja, sedangkan data agronomi: umur panen, produksi dan dan data dukung serangan hama penyakit. Metode Analisis Untuk mengetahui kelayakan ekonomi teknologi budidaya bawang merah yang dilaksanakan oleh petani pada lahan kering yang menggunakan pompa air menggunakan formula sebagai berikut (Anonim, 1988): RAVC = Gross Income – TVC B/C ratio = RAVC/TVC Dimana: Gross Income = Nilai Produksi TVC = Total variebel cost atau total biaya berubah RAVC = Keuntungan biaya berubah HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Teknologi usaha tani bawang merah yang diterapkan oleh petani pada lahan sawah tadah hujan pada musim kering (MK.I) disajikan pada Tabel 1 Tabel 1. Komponen paket teknologi usahatani yang diterapkan petani di Desa Tawali Wera Bima, MK. I. 2002 No 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7.
8. 9. 10.
Komponen teknologi Varietas Pengolahan tanah 2 kali Jarak tanam Jenis& takaran pupuk - Urea (kg/ha) - pupuk daun (sampoerna D) - pupuk buah (sampoerna B) Bedengan - Penyiraman - Pengairan Pengendalian Gulma - herbisida (7 hst) - penyiangan tangan Pengendalian hapen Panen Prosessing
Cara petani Bima Traktor tidak teratur 150-200 kg/ha 40 bks 40 bks tanpa bedengan dengan alat lokal (pagi atau sore) di lap (kebiasaan petani) Ronstar : 1l/ha 3 kali (10, 25, 40 hst) Pestisida (kebiasaan petani) 56 – 60 hst dijemur 5-7 hari dan di ikat
Pemupukan pada MK I, urea diberikan 3 kali yakni saat tanam, 15 dan 30 hst dengan cara menabur pada lubang tanam kemudian disiram dengan air supaya tercampur merata dengan tanah dan meresap ketanah. Pemeliharaan tanaman berupa penyiraman pada MK. I dengan alat penyiraman lokal Bima dilakukan sesaat menjelang tanam untuk memperlunak tanah (lubang tanam) gunakan mempermudah penanaman, selanjutnya disiram sekali sehari yang dilakukan pada pagi atau sore hari atau berselang. Pada umur 4 mst, mulai diberikan air pengairan secara
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
275
Seminar Nasional 2005 lap, yang dipompa dari kali atau dari sumur dangkal yang ada pada lahan petani sekali dalam 5 - 7 hari (4 - 5) kali pengairan/musim tanam yang di selingi dengan penyiraman sampai saat panen. Untuk mengendalikan pertumbuhan gulma terutama yang berdaun lebar (krokot) disemprot dengan herbisida Ronstar 1,0 l/ha pada umur 7 hst. Penyiangan dilakukan secara manual sekaligus dengan pengemburan tanah/pembumbunan sebanyak 3 kali yakni umur 10, 25 dan 40 hst. Pengendalian hama pemakan daun Spodoptera exygua dilakukan dengan Arrivo atau Bestox 1-2 l/ha. Untuk penyakit mati pucuk oleh cendawan Phytopthora porri dan busuk umbi Botrytis allii dengan Dithane M-45 dengan takaran 0,5 - 1,0 kg/ha Pemungutan hasil/panen dilakukan setelah 80% populasi batangnya lemas, kira-kira umur 70 - 90 hari (tergantung varietasnya) dengan cara mencabut (Kusumo dan Sunarjono,1992). Namun varietas Bima dapat dipanen pada umur 55 - 60 hari (Zairin, dkk, 2000). Prosessing bawang merah yang telah dipanen dihamparkan diatas tanah dan dikeringkan selama ± 7 hari, setelah daun kering kemudian diikat pada malam hari. Umbi yang dijadikan bibit dijemur lagi untuk mengeringkan umbi sampai 4-5 hari. Penggunaan bibit varietas Bima pada MK.I berkisar 1.000 kg - 1.100 kg/ha umbi kering. Tingginya jumlah bibit yang digunakan karena petani tidak menggunakan jarak tanam yang teratur sehingga membutuhkan benih yang lebih banyak. Biaya saprodi terutama bibit merupakan komponen biaya yang paling banyak dikeluarkan oleh petani yakni berkisar 63,56 dari total biaya. Bibit yang ditanam oleh petani pada MK.I adalah varietas Bima berasal dari hasil panen sendiri (benihantar lapang) tahun sebelumnya yang bermutu rendah. Kegiatan yang banyak menggunakan tenaga kerja laki adalah penyiraman dengan alat lokal Bima karena dilakukan hampir setiap hari sampai umur 3 minggu dan pada umunya petani menggunakan tenaga kerja sendiri dalam keluarga, kemudian diikuti pemberian air secara leb 5 - 7 hari sekali dan diselingi dengan penyiraman lagi sampai panen. Pada kegiatan usahatani bawang merah jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh tenaga kerja laki adalah pengolahan tanah, pembuatan bedengan, penyiraman dan penyemprotan hama penyakit, dan hanya sebagian kecil pada jenis pekerjaan panen dan prosessing. Sedangkan tenaga kerja perempuan dominan pada kegiatan pemotongan umbi, tanam, penyiangan, panen dan prosessing. Jadi pada usahatani bawang merah kehadiran tenaga kerja perempuan sangat memegang peranan penting, karena kegiatannya didominasi oleh tenaga kerja perempuan yang mencapai 50 - 60%, sedangkan keterlibatan tenaga kerja laki hanya 40 - 50% dari total kegiatan yang dilaksanakan. PEMBAHASAN Biaya sarana produksi yang paling tinggi yang digunakan oleh petani adalah bibit bawang merah yang berkisar 63,56% (Tabel 2) dari total biaya yang dikeluarkan oleh petani selama proses produksi, sedangkan biaya yang lain termasuk pupuk dan pestisida hanya sekitar 36,44%. Produksi yang dicapai oleh 15 petani rata-rata sebanyak 6,94 t/ha umbi kering, hasil dicapai ini masih dapat ditingkatkan apabila tidak ada serangan penyakit busuk umbi Botrytis allii yang mencapai 5,0%, penyakit mati pucuk Phytopthora porri (25%), dan adanya umbi yang busuk akibat adanya kelembaban yang tinggi karena hujan terus menerus turun dan tidak menggunakan bedengan. Hasil yang dicapai sangat rendah dibandingkan dengan hasil uji adaptasi varietas Filipina pada tahun 2000 pada lokasi yang sama yakni 15.170 kg/ha umbi kering (Zairin, dkk., 2000). Produksi yang dicapai oleh petani menggunakan varietas Bima rata-rata sebanyak 6,94 t/ha umbi kering. Rendahnya produksi yang dicapai karena teknologi budi daya yang belum baik, yakni jarak tanam tidak teratur, takaran dan jenis pemupukan belum memadai, pengendalian hama dan penyakit tidak optimal, kesuburan lahan rendah. Disamping adanya serangan hama ulat pemakan daun dan penyakit busuk umbi, juga keterbatasan bibit yang bermutu.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
276
Seminar Nasional 2005 Untuk mendukung dan meningkatkan produksi bawang merah diperlukan paket teknologi budi daya yang sesuai dengan kondisi setempat (spesifik lokasi). Peningkatan produksi bawang merah dapat dilakukan dengan menambahkan bahan organik ke dalam tanah, diantaranya dengan menggunakan kompos, karena kompos mempunyai 2 fungsi yakni (1) sebagai soil conditional, berfungsi memperbaiki struktur tanah terutama tanah kering dan ladang, (2) sebagai amelioratlor, berfungsi mempertinggi kemampuan penukaran kation (KPK) baik pada tanah ladang maupun tanah sawah (Santoso, B.H., 1998). Keuntungan penggunaan kompos adalah mampu mengembalikan kesuburan tanah, mempercepat dan mempermudah penyerapan unsur N. Pasar dan Pemasaran Hasil Pada lokasi survei pasar desa sudah ada, pedagang pengecer di pasar tersebut tidak membeli/menjual bawang merah dalam volume yang banyak hanya terbatas untuk kebutuhan sehari-hari. Pasar yang bisa menampung hasil satu-satunya pasar induk di kabupaten, tetapi dalam jumlah yang terbatas karena konsumen sedikit. Hal ini sangat menyulitkan petani dalam pemasaran dan menentukan harga yang layak, sehingga harga banyak ditentukan oleh tengkulak yang datang langsung ke lokasi. Alur pemasaran hasil produksi bawang merah dari petani produsen yakni: (a). petani produsen pedagang pengumpul pedagang besar diantar pulaukan (Lombok, Bali, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Maluku); (b). petani pedagang pengumpul diantar pulaukan (Lombok, Bali, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Maluku); (c). petani diantar pulaukan (Lombok, Bali, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Maluku). Pada umumnya petani banyak menjual hasil produksinya langsung di lahannya ke pedagang pengumpul dengan harga lebih rendah dari harga produksi. Hal ini terpaksa dilakukan oleh petani karena kalau menunggu harga yang baik memerlukan biaya angkut dari lokasi ke rumah petani yang cukup mahal. Kelompok Tani Kelompok tani dibentuk dengan tujuan untuk memudahkan pembinaan oleh instansi terkait, memudahkan koordinasi antar petani yang berhubungan dengan kebutuhan usaha taninya baik saprodi, teknologi budidaya serta pemasaran hasil. Dalam hal pemasaran hasil kelompok tani tidak mengkoordinasikan sesama anggotanya tentang kesepakatan pemasaran hasil, dijual kepada siapa, berapa harga jual yang layak, hal ini yang tidak disadari oleh petani sehingga mereka mudah dipermainkan oleh pedagang dalam menentukan nilai jual. Umumnya petani jarang menyimpan hasil panen untuk menunggu harga yang baik/layak, tetapi segera menjual hasil secara sendiri-sendiri setelah diprosessing kepada pedagang pengumpul dengan harga yang telah ditentukan oleh tengkulak/pedagang pengumpul berdasarkan mutu hasil (ukuran) umbi yakni besar dan kecilnya. Harga Output dan Input Dalam perkembangan terakhir pada usaha tani bawang merah adalah adanya harga pasar yang naik turun. Pada saat panen raya, harga bawang merah akan jatuh di bawah nilai/biaya produksi. Biasanya keadaan ini terjadi pada MK, sedangkan pada MH atau panen sedikit harga bawang merah tinggi bahkan melebihi harga bawang putih. Pada pengkajian ini harga yang diterima oleh petani pada MK.I hanya Rp 3.305/kg umbi kering sedangkan pada MH. sebesar RP 3.600/kg lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual langsung pada MK di lokasi/lahan petani (Zairin,M et.al., 2004). Perbedaan harga ini cukup besar yakni mencapai 8,19%. Hal inilah yang mendorong petani untuk menanam bawang merah pada MH, disamping harganya tinggi, produk yang dihasilkan oleh petani berapapun jumlahnya tetap laku dan direbut oleh pedagang pengumpul. Harga output yang diterima petani maupun harga input yang dibayar oleh petani sangat menentukan besarnya tingkat keuntungan usahatani. Secara umum selama dua tahun
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
277
Seminar Nasional 2005 pengamatan, terjadi kecenderungan penurunan harga komoditi pertanian, sedangkan harga sarana produksi dan upah pertanian cenderung meningkat. Harga rata-rata bawang merah yang diterima oleh petani di NTB pada tahun 2001 adalah Rp 931.250/kw, dan menurun tahun 2002 RP 552.056/kw (-40,72%) (BPS NTB, 2003). Produksi Gambaran luas panen, produksi dan produktivitas bawang merah di Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 2. Luas panen bawang merah pada tahun 2002 sebesar 15.484 ha dengan produksi 58.750 ton dengan rata-rata produksi 37,94 kw/ha. Sentra produksi bawang merah berada di Kabupaten Bima dan Kabupaten Lombok Timur, sedangkan luas panen dan produksi tertinggi di Kabupaten Bima. Sebagian besar areal bawang merah terdapat di Kabupaten Bima (67,11%), dengan produksi mencapai 81,43 persen dari total produksi bawang merah di Nusa Tenggara Barat. Selain sebagai daerah penghasil bawang merah terbesar, produktivitas bawang merah di Kabupaten Bima lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain (97,10 kw/ha). Tabel 2. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Bawang Merah menurut Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2002 Kabupaten/Kota
Luas Panen (ha)
Lombok Barat Lombok Tengah Lombok Timur Sumbawa Dompu Bima Kota Mataram Total NTB
Produksi (ton)
Produktivitas (kw/ha)
574
2.573
44,83
13
34
26,15
1.392
6.476
46,52
353
1.086
30,76
83
740
89,16
4.927
47.842
97,10
-
-
-
15.484
58.750
80,02
Sumber : BPS Propinsi NTB, 2002
Tingkat Keuntungan Usahatani Analisis keuntungan usahatani bawang merah dalam penelitian ini dilakukan terhadap satu persil dominan (terluas) yang diusahakan petani. Pemilihan petani contoh dilakukan di salah satu sentra produksi bawang merah sehingga diharapkan dapat menggambarkan kondisi usahatani bawang merah. Pengambilan contoh petani bawang merah dilakukan di Desa Tawali, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima. Penaman bawang merah di lokasi contoh dilaksanakan tiga kali setahun yaitu pada MK I, MK II dan MH. Rata-rata luas tanam bawang merah yang diusahakan petani berkisar antara 0,28 – 0,38 ha. Pada komoditi bawang merah juga berlaku hukum ekonomi dimana pada saat suplai tinggi maka harga penjualan akan turun. Sehingga produksi yang tinggi pada MK II 2002 tidak diikuti dengan harga yang tinggi pula. Sebaliknya pada MH 2002/2003 pada saat produksi relatif kurang, harga jual bawang merah menjadi tinggi. Kisaran harga yang diterima oleh petani bawang merah antara musim tanam bervariasi yakni pada MK.I 2002 adalah Rp 3305, lebih rendah dibandingkan dengan harga pada saat musim hujan MH. 2002/2003 yang mencapai Rp 3.600/kg umbi kering.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
278
Seminar Nasional 2005 Tabel 3. Analisa Usahatani Bawang Merah per hektar di Tawali Wera Kabupaten Bima, MK.I 2002 Uraian
Fisik
Produksi (t/ha) Harga (Rp/kg) Penerimaan (Rp/ha) Biaya saprodi (Rp/ha) a. Sarana produksi (Rp) - Bibit - Pupuk (Rp) - Obat-obatan (Rp) b. Tenaga kerja (Rp) c. Biaya lain (pompa air) Total (Rp) Keuntungan (Rp) B/C ratio
7.577 3.305 25.041.985
Jumlah pengeluaran dari penerimaan usahatani (%)
Jumlah pengeluaran dari total biaya saprodi (%)
100,00 100,00
2.612.912 243.561 357.222 1.865.899 124.000 5.203.594 19.838.390 3,81
10,43 0,97 1,43 7,45 0,49 20,77
50,21 4,68 6,87 35,86 2,38
Analisa usahatani bawang merah (Tabel 3) pada MK.II, menunjukkan bahwa struktur biaya dan penerimaan per hektar dapat dikatakan bervariasi pada setiap musimnya, biaya usahatani bawang merah pada lahan sawah tadah hujan pada saat musim kering (MK.I) sekitar 20,77 persen dari total penerimaan usahatani. Sedangkan biaya saprodi yang paling banyak dalam usahatani bawang merah adalah untuk bibit yang mencapai 50,21% dari total biaya saprodi, menyusul biaya tenaga kerja sebanyak 35,86%. Biaya pompa air untuk MK.I hanya 0,49% dan lebih tinggi lagi apabila ditanam pada MK.II karena sudah tidak ada lagi hujan, sehingga memerlukan penyiraman tiap hari dan pengairan secara lab (5-6 kali) sampai panen yang memerlukan tenaga kerja dan biaya bahan bakar mesin pompa air yang mencapai 14% (Zairin, dkk, 2001). Dengan struktur biaya seperti di atas, usahatani bawang merah di Kabupaten Bima pada musim kering (MK.I) sangat menguntungkan. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya nilai keuntungan usahatani yang diterima sebesar Rp 19.838.390 per hektar dengan B/C ratio 3,81 KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil survei ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Usahatani bawang merah pada lahan sawah tadah hujan yang menggunakan pompa air di Kabupaten Bima memberikan keuntungan sebesar Rp 19.838.390/ha dengan B/C ratio 3,81. 2. Kendala usahatani bawang merah adalah ketersedian bibit yang bermutu (varietas Filipina) masih sangat kurang, sehingga petani menggunakan bibit lokal antar lapang yang bermutu rendah. Adanya serangan hama dan penyakit busuk umbi dan dan mati pucuk. Saran 1. Penggunaan bedengan dan pembuatan saluran drainase pada MK. dianjurkan untuk memudahkan pemeliharaan, menghindari air yang tergenang sehingga dapat mencegah terjadinya pembusukan umbi dan penyakit busuk umbi (Botrytis allii). 2. Penggunaan pupuk kompos pada lahan sawah tadah hujan dapat meningkatkan produksi bawang merah. 3. Perlu adanya penakar bibit bawang merah terutama varietas Filipina untuk mengatasi kekurangan bibit. 4. Dalam pemasaran hasil petani dan kelompoknya harus kompak dalam hal waktu menjual dan harga jual yang diinginkan untuk menghindari permainan harga oleh tengkulak/ pedagang pengumpul.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
279
Seminar Nasional 2005 DAFTAR PUSTAKA. Anonim, 1996. Selayang Pandang Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan di Nusa Tenggara Barat. Dinas pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I NTB, Mataram Anonim, 1988. Analisa usaha Tani Pola Tanam. Modul Pelatihan pada Proyek P3NT, Badan Litbang Pertanian. Departemen pertanian. BPS NTB, 1997. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama Kantor Perwakilan Biro Pusat Statistik Propinsi NTB dengan Kantor Bappeda TK.I. NTB. Duriat,A.S. (1996). Cabai Merah Komoditas Prospektif dan Andalan. Teknologi Produksi Cabai Merah. Bala Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Litbang Pertanian. Kusumo S., dan Hendro Sunarjo (1992). Petunjuk Bertanam Sayuran. Cara Bercocok Tanam Bawang Merah. Proyek P3NT Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. hal 51-55. Oldeman, L.R.,Irsal Las, and muladi, 1980. The Agroklimat map of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya, and Bali, West and East Nusa Tenggara. Central Research Institute for Agricultura Bogor, Indonesia. Permadi A.H (2000). Beberapa Hasil Penelitian Bawang Merah Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. Badan litbang Pertanian. Putrasemedjo, S.(1997). Petunjuk Pelaksanaan Percobaan identifikasi/Multilokasi Varietas Bawang Merah di Dataran Rendah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Litbang Pertanian. Rismunandar (1989). Membudidayakan 5 Jenis Bawang Merah . Cetakan Kedua. Penerbit Sinar Baru Bandung 1989. Santoso, B.H (1998). Pupuk Kompos. Teknologi Tepat Guna, Penerbit Kanisius. Sunarjono H. dan Prasojo Soedomo (1989). Budidaya Bawang Merah (Allium ascelonicum.L). Cetakan Kedua. Sinar baru Bandung. 1989. Suwandi,1996. Teknologi Produksi Cabai Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Litbang Pertanian. Zairin,M., K. Kumoro, S.S. Piyai, Sudarto, N.Inggah dan A.S Wahid (1998). Uji Multilokasi Galur Harapan Bawang Merah. Laporan Hasil Pengkajian . IPPTP Mataram Badan Litbang Pertanian. Zairin. M., Irianto Basuki, H.Sembiring dan Jafar Abdulgani (2000). Uji Adaptasi Varietas Unggul Bawang Merah Pada Lahan kering Bersumur di Bima. Laporan akhir Pengkajian IPPTP Mataram T.a. 2000. Zairin. M., Irianto Basuki, H.Sembiring dan Jafar Abdulgani (2001). Kajian SUT Bawang Merah Pada Lahan Kering Bersumur di Bima. Prosiding BPTP NTB.2001. Zairin,M.Sri Hastuti,I.Basuki dan Awaludin Hipi (2004). Usahatani Bawang merah Pada Lahan Kering BersumberPengairan Sumur Pompa Studi Kasus di Desa Tawali Kabupaten Bima. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin di lahan Marginal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna, Mataram, 31 Agustus-1 September 2004. Pusat Penelitian Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
280
Seminar Nasional 2005 PEMBUATAN BUBUK SARI BUAH TOMAT DENGAN METODE SPRAY DRYING.KAJIAN DARI pH AWAL, KONSENTRASI DEKSTRIN, TWEEN 80 DAN LAMA PENYIMPANAN
1)
Ulyatu Fitrotin1), Hari Purnomo2),Tri Susanto2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB 2) Fakultas Teknologi Hasil Pertanian, UNIBRAW
ABSTRAK Tomat (Lycopersicon esculentum Mill) mengandung vitamin A (likopen yang bersifat non polar) dan vitamin C (polar) yang dapat mengakibatkan emulsi sari buah tomat tidak stabil, sehingga dapat menghentikan proses pengeringan sari buah tomat. Penambahan tween 80 diharapkan dapat memperbaiki stabilitas emulsi sari buah tomat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pH sari buah tomat terhadap kualitas bubuk sari buah tomat, mengetahui konsentrasi dekstrin yang tepat untuk menghasilkan bubuk sari buah tomat yang berkualitas baik, mengetahui kemampuan tween 80 dalam memperbaiki emulsi sari buah tomat, dan untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas bubuk sari buah tomat. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kimia dan Teknologi Hasil Pertanian Unibraw, Laboratoriun Kimia dan Biokimia Pangan UGM. Penelitian terdiri dari tiga tahap percobaan. Tujuan dari tahap pertama adalah untuk mengetahui pengaruh pH terhadap panjang gelombang absorbansi dan waktu pemisahan sari buah tomat, menggunakan RAL dan setiap perlakuan diulang 4 kali. Penelitian tahap kedua adalah pembuatan bubuk sari buah tomat menggunakan RAK dengan 2 faktor. Perlakuannya adalah konsentrasi dekstrin (3%, 4% dan 5%) dan tween 80 (0%, 0,3%, 0,4% dan 0,5%) setiap perlakuan diulang 3 kali. Parameter yang diamati meliputi kandungan vitamin C, kandungan likopen, kadar air, viskositas, rendemen, dan daya larut bubuk sari buah tomat. Penelitian tahap ketiga dalah penyimpanan bubuk sari buah tomat menggunakan RAK dengan 2 faktor. Perlakuannya dalah jenis pengemas dan waktu penyimpanan. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Parameter yang diamati meliputi kandungan vitamin C, kadar air dan daya larut bubuk sari buah tomat. Hasil dari perlakuan tahap pertama menunjukkan bahwa pH 3,5 memberikan hasil terbaik, ditunjukkan dengan nilai absorbansi 2,255 dan waktu pemisahan sari buah tomat 52,5 detik. Hasil penelitian dari tahap kedua menunjukkan bahwa konsentrasi dekstrin 5% dan konsentrasi tween 80 0,5% memberikan bubuk sari buah tomat dengan kualitas terbaik, ditunjukkan dengan kandungan vitamin C 11,26 mg/100g, kandungan likopen 1,96mg/100g, viskositas 1,63 cP, kadar air 2,53% dan daya larut 99,15%. Penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa penegemas aluminium foil lebih baik daripada plastik polypropylene ditunjukkan dengan kandungan vitamin C 10,14mg/100g pada hari ke 30, kadar air 2,8% dan daya larut 98,88%. Dapat disimpulkan bahwa penggunaan sari buah tomat dengan pH 3,5 konsentrasi dekstrin 5% dan konsentrasi tween 80 0,5% memberikan kualitas bubuk sari buah tomat terbaik. Pengemas aluminium foil lebih baik daripada pengemas plastik polypropylene. Kata kunci: bubuk sari buah tomat, spray drying, pH awal, dekstrin, tween 80 dan lama penyimpanan
LATAR BELAKANG Tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang banyak dijumpai di Indonesia. Buah tomat mempunyai peranan penting dalam pemenuhan gizi masyarakat. Komposisi zat gizi yang terkandung di dalamnya cukup lengkap. Vitamin A dan C merupakan zat gizi yang jumlahnya cukup menonjol dalam buah tomat. Vitamin A yang terdapat dalam buah tomat adalah likopen yang ditemukan dalam jumlah paling banyak. Pada tomat yang masih segar jumlah likopen sebesar 3,1-7,7 mg/100g (Tonucci et. al.,1995). Vitamin C dapat berbentuk sebagai asam L-askorbat dan asam L-dehidroaskorbat yang keduanya mempunyai keaktifan sebagai vitamin C (Jungs and Wells, 1997). Buah tomat akan segera mengalami kerusakan jika tanpa perlakuan saat penyimpanan. Besarnya kerusakan buah tomat setelah panen berkisar antara 20% sampai dengan 50%(Winarno,1986). Buah tomat yang dipanen setelah timbul warna 10% sampai dengan 20% hanya akan bertahan maksimal 7 hari pada suhu kamar di Lembang (Sinaga, 1984). Beberapa alternatif telah dilakukan untuk mengatasi masalah kerusakan dengan mengolah buah tomat menjadi bentuk olahan seperti minuman sari buah tomat, saos, pasta ,manisan kering maupun menjadi produk dalam bentuk bubuk. Keuntungan bentuk bubuk
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
281
Seminar Nasional 2005 adalah lebih awet, ringan, volumenya lebih kecil sehingga dapat mempermudah dalam pengemasan dan pengangkutan. Masalah yang dijumpai dalam pembuatan bubuk sari buah tomat dengan spray drying adalah pencoklatan produk yang dapat ditimbulkan oleh jenis bahan. pH yang terlalu ekstrem pada sari buah tomat dapat mempercepat degradasi asam askorbat dan likopen yang mengakibatkan timbulnya warna coklat (Lee,1995). Pengeringan sari buah tomat dengan spray drying dapat dilakukan secara kontinyu bila sari buah yang digunakan dapat terdispersi merata (Desodry, Netto and Labuza, 1997). Kandungan vitamin C yang memiliki sifat polar dan likopen yang bersifat non polar pada sari buah tomat mengakibatkan tidak stabilnya emulsi sari buah (Belitz and Grosch ,1987). Penambahan bahan pengisi perlu dilakukan untuk menurunkan kecenderungan bubuk melekat pada dinding pengering. Berdasarkan penelitian Nurika (1999) untuk mendapatkan stabilitas warna bubuk pewarna dari ekstrak angkak digunakan konsentrasi dekstrin 5,5% dan suhu inlet spray drying 160ºC. Murtala (1999) mengemukakan bahwa penggunaan dekstrin 10% atau gum arab 6% dan suhu inlet spray drying 125ºC akan menghasilkan kualitas bubuk sari buah markisa yang baik secara fisika, kimia dan organoleptik. Pengolahan yang sesuai diharapkan dapat menghasilkan bubuk yang berkualitas tinggi. Berlatar belakang demikian maka perlu diadakan penelitian mengenai pembuatan bubuk sari buah tomat kajian dari pH awal, tween 80 dan lama penyimpanan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH sari buah tomat terhadap kualitas bubuk tomat, mengetahui konsentrasi dekstrin yang tepat untuk menghasilkan bubuk berkualitas baik, mengetahui kemampuan tween 80 dalam memperbaiki emulsi sari buah tomat dan untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap kualitas bubuk sari buah tomat. BAHAN DAN METODE Buah tomat varietas Donna yang diperoleh dari lahan pertanian di desa Wunut Karangploso Malang. Dipilih buah yang telah mengalami matang penuh (seluruh permukaan kulit buah berwarna merah) yang dipanen pada umur 60 hst. Tween 80, white dekstrin, serta bahan kimia untuk analisa vitamin C dan likopen. Penelitian terdiri dari tiga tahap percobaan. Tujuan dari tahap pertama ialah untuk mengetahui pengaruh pH terhadap panjang gelombang absorbansi dan waktu pemisahan sari buah tomat, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan setiap perlakuan diulang 4 kali. Penelitian tahap kedua adalah pembuatan bubuk sari buah tomat menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor. Perlakuannya adalah konsentrasi dekstrin (3%; 4% dan 5%) dan tween 80 (0%; 0,3%; 0,4% dan 0,5%) setiap perlakuan diulang 3 kali. Parameter yang diamati meliputi kandungan vitamin C, kandungan likopen, kadar air, viskositas, rendemen dan daya larut bubuk sari buah tomat. Penelitian tahap ketiga adalah penyimpanan bubuk sari buah tomat menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor. Perlakuannya adalah jenis pengemas dan waktu penyimpanan. Setiap perlakuan diulang 3 kali. Parameter yang diamati meliputi kandungan vitamin C, kadar air dan daya larut bubuk sari buah tomat. Data yang diperoleh dianalisa menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan apabila hasil ANOVA menunjukkan pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNT 5% (Yitnosumartono, 1983).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
282
Seminar Nasional 2005
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap pertama. Analisis buah tomat segar dan sari buah tomat varietas Donna disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis buah tomat varietas Donna Komposisi
Tomat masak
Vitamin C (mg/100g) Likopen (mg/100g) pH
Sari buah tomat
30
25
3
2,32
4,38
4,48
Kandungan vitamin C dan likopen pada sari buah tomat menurun dibandingkan pada kondisi buah tomat segar, hal ini disebabkan karena sebagian dari zat tersebut ada yang terikut pada ampas yang tidak diikutsertakan pada pembuatan larutan sari buah tomat, ampas buah tidak diikutsertakan sebab di dalamnya banyak terkandung biji dan padatan yang banyak mengandung pektin yang dapat mengakibatkan penyumbatan pada nozzle sehingga proses pengeringan dapat terhambat. Kandungan vitamin C akan mempengaruhi pH sari buah tomat (Steven, 1985). Tabel 2 menyajikan pengaruh pH terhadap absorbansi sari buah tomat. Tabel 2. Rerata absorbansi sari buah tomat akibat perbedaan pH pH sari buah tomat
Absorbansi sari buah tomat (likopen)
3,5
0,74
4,5
0,43
5,5
0,58
BNT 5%
0,17
Ket.: Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pH 3,5 memberikan nilai absorbansi tertinggi yaitu 0,74 pada panjang gelombang 474 nm, namun secara statistik nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan pH 4,5 dan 5,5. Hal ini menunjukkan bahwa rentang pH 3,5-5,5 bukan merupakan pH yang ekstrem bagi likopen, sehingga pada pH tersebut likopen masih tetap stabil. Kerusakan likopen ditandai dengan perubahan struktur likopen dari trans menjadi cis yang diikuti dengan penurunan intensitas warna dan titik didihnya (Nguyen and Schwartz, 1999). Penentuan perlakuan terbaik berdasarkan metode indeks efektifitas (De Garmo et. al., 1984) menunjukkan bahwa perlakuan pH 3,5 memberikan nilai tertinggi yaitu sebesar 0,99. Penelitian Tahap ke Dua. Kandungan vitamin C menurun setelah sari buah tomat dibuat menjadi bubuk. Penurunan tersebut akibat kerusakan vitamin C yang disebabkan oleh proses oksidasi. Moreau dan Rosenberg (1996) mengemukkan bahwa pengeringan dengan spray drying memberikan luas permukaan butiran yang sangat besar sehingga mempertinggi proses oksidasi, oleh karena itu kulit yang melapisi butiran harus mampu menahan masuknya O 2. Penambahan dekstrin diharapkan dapat mengurangi kerusakan vitamin C. Fennema (1985) mengemukakan bahwa dekstrin tersusun atas unit glukosa yang dapat mengikat air, sehingga oksigen yang larut dapat dikurangi, akibatnya proses oksidasi dapat dicegah. Lin (1985) mengemukakan bahwa penggunaan bahan pengisi seperti dekstrin dapat mencegah proses oksidasi pada mikroenkapsulasi minyak ikan dengan spray drying. Bhandari et al., (1992) berpendapat bahwa subtitusi dekstrin pada gum arab dapat meningkatkan retensi volatil hingga 84%.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
283
Seminar Nasional 2005 Tabel 3. Rerata kandungan vitamin C bubuk sari buah tomat akibat penambahan dekstrin dan tween 80 Penambahan dekstrin
Vitamin C(mg/100g)
3 4 5 BNT 5% Penambahan tween 80 (%) 0 0,3 0,4 0,5 BNT 5%
8,71 a 9,00 a 9,60 b 0,44 7,78 a 8,48 b 9,52 c 10,64 d 0,36
Ket.: Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%
Vitamin C (mg/100g)
Gambar 1 memperlihatkan bahwa semakin besar konsentrasi dekstrin, maka semakin besar besar vitamin C yang tersisa. Rosenberg (1980) mengemukakan bahwa semakin tinggi proporsi dekstrin yang digunakan, lapisan film yang mengelilingi droplet akan semakin tebal dan kuat, sehingga ketika proses pengeringan dengan spray drying berlangsung partikel vitamin C akan terlindungi. Dengan demikian hanya sedikit komponen vitamin yang hilang selama pengeringan.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
y1 =tween 80 0% y2= tween 80 0,3% y3= tween 80 0,4% y4=tween 80 0,5%
0
1
2
3
4
5
6
Dekstrin (%)
Gambar 1 Perbandingan konsentrasi dekstrin dengan vitamin C yang tersisa.
Dinding polimer dengan proporsi yang tinggi akan menghasilkan droplet dan atomisasi yang baik sehingga sesuai untuk pembuatan bubuk dengan spray drying. Proporsi polimer yang sesuai akan memberikan sifat emulsifikasi dan pengeringan yang baik sehingga akan mempertinggi retensi volatil (Otegui,1997). Penambahan tween 80 menjadikan vitamin C yang tersisa lebih besar daripada kontrol, sebab penambahan tween 80 menyebabkan terbentuknya lapisan pelindung dan muatan listrik di sekitar permukaan fase terdispersi (likopen) dan fase kontinyu (Vitamin C) sehingga partikel padat (fase terdispersi) dapat tersebar secara merata dalam fase kontinyu, akibatnya pengelompokan partikel padat tidak terjadi (Belitz and Grosch, 1987). Penambahan tween 80 lebih kepada memperbaiki emulsi larutan sebelum dimasukkkan ke dalam spray drying, sehingga emulsi larutan stabil akibatnya pengeringan dengan spray drying dapat dilakukan secara kontinyu. Young et al., (1993) mengemukakan bahwa kombinasi dekstrin dan whey protein dapat digunakan pada mikroenkapsulasi lemak susu (anhydrous milk) dengan spray drying. Whey berfungsi sebagai emulsifier pada sistem lemak susu yang terdispersi merata pada larutan dengan meningkatkan kapasitas emulsifikasi pada larutan tersebut, sedangkan karbohidrat berfungsi sebagai bahan pengisi. Penentuan perlakuan terbaik penelitian tahap kedua berdasarkan metode indeks efektifitas (De Garmo et. al., 1984) menunjukkan bahwa perlakuan dengan menggunakan dekstrin 5% dan tween 80 0,5 % memberikan hasil terbaik.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
284
Seminar Nasional 2005 Penelitian Tahap ke Tiga Kandungan vitamin C menurun dengan semakin lama penyimpanan. Kandungan vitamin C pada hari ke-30 pada pengemas plastik polypropylene lebih kecil dan berbeda nyata dengan kandungan vitamin C pada pengemas aluminium foil pada hari yang sama. Brown (1993) mengemukakan bahwa selama periode penyimpanan akan terjadi perubahan komposisi udara dalam pengemas yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti respirasi produk yang dikemas, perubahan biokimia dan penyerapan secara lambat gas-gas dan uap air oleh bahan pengemas. Tabel 4. Rerata kandungan vitamin C bubuk sari buah tomat akibat pengemas dan waktu simpan Pengemas dan waktu simpan Pengemas plastik polypropylene plastik polypropylene plastik polypropylene aluminium foil aluminium foil aluminium foil BNT 5%
Vitamin C (mg/100g)
Waktu simpan (hari) 0 15 30 0 15 30
11,26 d 10,44 bc 9,33 a 11,26 d 10,82 c 10,14 b 0,39
Ket.: Angka rerata yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%
Plastik polypropylene memiliki koefiesien permiabilitas terhadap O 2 sebesar 23 (mL(STP)cmcm-2s-1(cmHg-1)dan uap air 6–7 (gmmm-2/hari) X 10-2 dan mempunyai ketebalan 0,019 mm, sedangkan aluminium foil mempunyai ketebalan 0,038 mm dan tidak permiabel terhadap gas dan uap air pada ketebalan 24,4μm. Kondisi tersebut memungkinkan banyaknya O2 yang diserap secara perlahan melalui permukaan plastik polypropylene dan bertambahnya kadar air yang mengandung oksigen terlarut, hal ini menyebabkan kerusakan vitamin C pada pengemas plastik polypropylene lebih besar daripada pengemas aluminium foil. Vitamin C akan teroksidasi sehingga memungkinkan terbentuknya senyawa hydroxymetil furfuraldehide yang mengakibatkan perubahan warna coklat pada bubuk sari buah tomat. KESIMPULAN 1. Sari buah tomat dengan pH 3,5 memberikan nilai absorbansi terbaik yaitu 0,74. 2. Bubuk sari buah tomat terbaik diperoleh dari kombinasi dekstrin 5% dan tween 80 0,5%. 3. Pengemas aluminium foil memberikan daya simpan yang lebih tinggi pada hari ke-30 dibanding pengemas plastik polypropylene. DAFTAR PUSTAKA Belitz, H. D. And W. Grosch, 1987. Food Chemistry. Springer Verlag Berlin. Heidelberg. Bhandari, B. R., E. D. Dumoulin, H. M. J. Richard, I. Noleau and A. M. Lebert. 1992. Flavour Encapsulation by Spray Drying Aplication to citrate and Lynalil acetate. J. Food Sci.,57(1):217-221. Brown, E. W. 1992. Plastics in Food Packaging Properties, Design and Fabrication Marcel Dekker. Inc. New York. De Garmo, E. G.; W. G. Sullivan and J. R. Cerook. 1994. Engineering Economic. Mac. Millan Publishing Co. New York. Fennema, O. R. 1985. Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc. Cleveland.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
285
Seminar Nasional 2005 Jung, H. C. and Wells, W. W. 1997. Spontaneous Conversion of L-Dehydroascorbic Acid to L-Ascorbic Acid and L-Erythroascorbic Acid. Biochemistry and Biophysic article. 355:9-14. Lee, H. S. and C. S. Chen. 1998. Rates of Vitamin C Loss and Discoloration in Clear Orange Juices Concentrate during Storage at Temperature 4-24. Lin, C. C., Y. Lin, and L. S. Hwang 1995. Microencapsulation of Squid oil with Hydrophilic Macromolekuler for Oxidative and Thermal Stabilization. J. Food Sci., 60(1):36-39. Moreau, D. L. and Rosenberg, M. 1996. Oxidatetive Stability of Anhydrous Microencapsulated in Whey Protein. J. Food Sci., 10(2): 43-50. Murtala, S. S. 1999. Pengaruh Kombinasi Jenis Dan Konsentrasi Bahan Pengisi Terhadap Kualitas Bubuk Sari Buah Markisa Siul (Passiflora edulis F. Edulis). Tesis. Pasca Sarjana Universitas Bawijaya Malang. 70 hal. Nguyen, L. M. and J. S. Schwartz, 1999. Lycopene : Chemical and Biological Properties. J. Food Tech., 53(2): 38-45. Nurika, I. 1999. Pengaruh Konsentrasi Dekstrin Suhu Inlet Spray Dryer Terhadap Stabilus Warna Bubuk Pewarna Dari Ekstrak Angkak. Tesis. Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. 82 hal. Otegui, I.; F. A. Quintela, A. de Diego, C. Cid, M. T. Macarulla and M. A. Partearroyo. 1997. Properties of Spray-Dryed and Freeze-Dried Faba Bean Concentrate. J. Food and Techno., 32; 439-443. Rosenberg, M. J., J. Kopelman and Y. Talmon., 1990. Factor Affecting Retention in Spray Drying Microencapsulation. J. Food Sci. 50:139-144. Sinaga, R. 1984. Penelitian Mutu Fisis Buah Beberapa Varietas Tomat. Bulletin Penelitian Hortikultura 4(9): 32-37. Stevens, M. A. 1985. Tomato Flavour Effect of Genotype Cultural Practices and Maturity at Picking. Horald E. Patte (edt) Evaluation of Quality of Fruits and Vegetable. The AVI. Publishing company. Inc. Westport Connecticut. 410p. Tonucci, L., M.J. Holden, G.R. Beecher, F. Khacik, C.S. Davis, and G. Mulokozi, 1995. Carotenoid Content of Thermally Processed Tomato Based Food Product. J. Agric, Food Chem., (43):579-586. Winarno, F. G. 1991. Nimia Pangan da Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yitnosumartono, S. 1991. Percobaan Perancangan, Analisis dan Interpretasinya. Gramedia Pustaka Utama. Yakarta. Young, S. L., Sarda, X. and Rosenberg, 1993. Microencapsulating Properties of Whey Proteins and Combination of Whey Protein with Carbohidrates. J. dairy Sci. 76:2878-2885.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
286
Seminar Nasional 2005 KEMITRAAN PEMASARAN DALAM AGRIBISNIS CABAI MERAH DI NUSA TENGGARA BARAT Kunto Kumoro, Muji Rahayu dan Mashur Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat ABSTRAK Jalur pemasaran yang panjang dan sering terjadinya fluktuasi harga yang tajam, menyebabkan petani di Nusa Tenggara Barat (NTB) menerima tingkat harga cabai merah yang rendah sehingga keuntungan usahatani cenderung menurun bahkan seringkali merugi. Untuk itu pengkajian sistem dan usaha agribisnis cabai merah yang dilakukan tahun 2004 di dataran tinggi Sembalun mencoba menghubungkan petani dengan PT Berkah Alam Kasturi dari Semarang yang bergerak dalam pemasaran cabai merah. Tujuan pengkajian ini adalah: (1) menguji efisiensi alternatif model pemasaran melalui kemitraan; (2) menumbuh-kembangkan usaha agribisnis di pedesaan. Kajian dilakukan melalui pendekatan partisipatif dengan percobaan lapangan di lahan petani. Pengkajian dilaksanakan dengan metoda pemberdayaan petani dan fasilitasi kerjasama kemitraan dalam pemasaran cabai merah. Dalam kerjasama kemitraan ini, perusahaan memberikan bantuan pinjaman untuk pembiayaan mulsa plastik dan benih cabai. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa alternatif model pemasaran melalui kerjasama kemitraan dengan PT Berkah Alam Kasturi belum dapat meningkatkan efisiensi. Upaya pengeringan cabai merah merupakan upaya strategis yang dapat dilakukan petani dalam menghadapi adanya fluktuasi harga yang tajam dan pengolahan cabai merah menjadi saus cabai akan merupakan salah satu usaha rumah tangga yang dapat memberikan tambahan pendapatan apabila dikelola secara baik. Kebijakan pemerintah daerah sangat diperlukan untuk mendukung upaya masyarakat dalam mengembangkan sistem dan usaha agribisnis di pedesaan dengan memfasilitasi kebutuhan petani di wilayah ini antara lain: (1) menyediakan lembaga keuangan yang dapat memfasilitasi pinjaman kredit dengan bunga ringan agar petani yang bermodal terbatas dapat mengembangkan usaha agribisnis di desanya; dan (2) membangun sarana bangunan untuk pengawetan dan pemasaran hasil pertanian yang mudah rusak (buah, sayuran) agar hasil panen dapat dipasarkan pada saat harga komoditas mencapai tingkat harga yang memadai. Dari kerjasama kemitraan ini pendapatan petani meningkat dari Rp 2.087.000,- (petani non koperator) menjadi Rp 7.495.000,- (petani koperator). Pengalaman penggunaan kompos pada usahatani cabai merah dan praktek pembuatannya, memacu usaha petani dalam penyediaan kompos yang dipesan oleh PT Agrindo Nusantara yang bergerak dalam agribisnis tanaman hortikultura dataran tinggi. Kata kunci : agribisnis, cabai merah, dataran tinggi, Sembalun NTB.
PENDAHULUAN Dalam arti luas agribisnis didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan usaha yang menghasilkan produk pertanian hingga dikonsumsi oleh konsumen (Cramer and Jensen, 1994 dalam Irawan, 2003). Di Indonesia agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional dan sekitar 80% dari jumlah penduduk di Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor agribisnis (Saragih dan Simanjuntak, 1997). Budaya masyarakat pedesaan untuk kerja keras, rajin, hidup hemat dan daya empati yang tinggi merupakan potensi besar penggerak kemajuan agribisnis di pedesaan (Budianto, 2001 ; Simatupang dan Syafa’at, 2002). Jika dikaitkan dengan permasalahan yang sering dihadapi petani, beberapa hal yang mendorong diperlukannya kerjasama kemitraan, antara lain: (1) fluktuasi harga yang tajam; (2) modal petani yang terbatas; (3) kepastian suplay cabai merah. Fluktuasi harga yang tajam menyebabkan petani sering menerima tingkat harga yang rendah sehingga tingkat keuntungan petani rendah bahkan sering menimbulkan kerugian. Modal petani yang terbatas serta tingkat keuntungan yang rendah menyebabkan petani tidak dapat menerapkan teknologi anjuran secara optimal karena penyediaan sarana produksi kurang memadai sehingga tidak mampu mengembangkan usahataninya. Kebutuhan modal usahatani yang besar dan tidak adanya kredit usahatani menyebabkan petani harus mencari pinjaman modal dari pihak ketiga dengan tingkat suku bunga yang relatif tinggi. Sementara itu lembaga permodalan yang diharapkan dapat membantu petani justeru kurang tertarik pada usahatani sayuran akibat resiko pengembalian pinjaman yang relatif tinggi,
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
287
Seminar Nasional 2005 terkait ketidakpastian penerimaan petani (Sudaryanto dan Pasandaran,1993). Belum adanya jaringan informasi pasar, petani tidak dapat memperkirakan kebutuhan pasar, sehingga luasan usahatani melebihi kebutuhan pasar. Adanya informasi kebutuhan pasar sangat penting bagi petani sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusannya. Sumarno (2004) mengemukakan bahwa salah satu langkah dalam pengembangan usaha agribisnis tanaman hortikultura, termasuk cabai merah, adalah melakukan kerjasama kemitraan dalam pemasaran langsung ke pembeli bonafide (mitra usaha). Oleh karena itu untuk membantu memecahkan permasalahan itu, BPTP NTB bersama instansi terkait di Lombok Timur mencoba memfasilitasi kerjasama kemitraan antara petani dengan pengusaha dari Jawa Tengah (PT Berkah Alam Kasturi) yang bergerak dalam pemasaran cabai merah. Dengan kemitraan petani mengharapkan adanya kerjasama dalam pembiayaan usahataninya sehingga petani dapat memanfaatkan peluang untuk memperoleh keuntungan yang lebih baik bersama mitra usaha guna meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Tulisan ini mencoba memaparkan pengalaman pengkajian dalam upaya memfasilitasi kerjasama kemitraan antara petani cabai merah di Sembalun Lawang, Lombok Timur dengan PT Berkah Alam Kasturi dari Jawa Tengah yang bergerak dalam usaha pemasaran cabai merah di pulau Jawa. Kajian yang bertujuan untuk mendapatkan alternatif model pemasaran dan menumbuh-kembangkan sistem dan usaha agribisnis di pedesaan, dilakukan melalui pendekatan partisipatif dengan metoda pemberdayaan petani dan fasilitasi kerjasama kemitraan KARAKTERISTIK WILAYAH PENGKAJIAN Desa Sembalun Lawang, kecamatan Sembalun, kabupaten Lombok Timur terletak di kaki Gunung Rinjani pada ketinggian 1150 - 1250 meter di atas permukaan laut yang merupakan sentra produksi cabai merah dataran tinggi yang ada di Nusa Tenggara Barat. Jarak Mataram - Sembalun sekitar 105 km yang dapat dicapai dengan sepeda motor, mobil angkutan umum berupa minibus Isuzu atau Mitsubishi Diesel selama 2-2,5 jam perjalanan. Sarana jalan yang menghubungkan Mataram–Sembalun sebagian besar sudah beraspal. Wilayahnya bertopografi berbukit sampai bergunung dengan sebagian dataran yang berupa lahan sawah. Iklimnya termasuk golongan D4 yang ditandai dengan 4 bulan basah dan 6-8 bulan kering. Curah hujan tahunan berkisar 1200 mm – 1400 mm dengan suhu harian berkisar 14°-28°C. Tanahnya berupa abu vulkan yang merupakan timbunan bahan letusan gunung berapi yang kondisinya cukup subur dengan (pH) tanah 5,5-6,5. (Kumoro,2004). Kondisi agroekologi ini cocok bagi pertumbuhan tanaman cabai merah, karena untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal, tanaman cabai merah memerlukan kisaran suhu harian 18°-27°C (Sumarni, 1996) dan pH tanah 5,5-7,0 (Knott and Deanon,1970 dalam Sumarni,1996). Berdasarkan type pengairannya terdapat 3 kelas tanah yaitu: (1) tanah kelas 1: tanah sawah dengan pengairan teknis, pola tanamnya pada musim hujan diusahakan padi dan sesudah itu petani biasa mengusahakan bawang putih atau jenis sayuran lainnya, usahatani cabai merah pada tanah ini dapat dimulai pada bulan Mei/Juni (bersamaan bawang putih); (2) tanah kelas 2: bekas tanah sawah, tetapi karena pengairannya tidak mencukupi, tanah ini dimanfaatkan sebagai lahan kering yang berpengairan terbatas, pola tanam yang ada sangat beragam, dapat meliputi palawija atau tanaman sayuran dataran tinggi, usahatani cabai merah dapat dimulai bulan Pebruari/Maret; (3) tanah kelas 3: lahan kering tadah hujan yang pola tanamnya hanya untuk satu/dua kali tanam sayuran dataran tinggi, kemudian diberokan, usahatani cabai merah pada tanah ini dapat dimulai pada bulan Pebruari/Maret. Produktivitas cabai beberapa tahun di NTB baru menunjukkan kisaran 1,6-5,3 ton/ha. (BPS, 2003). Sedangkan produktivitas cabai merah di tingkat petani sudah mampu menghasilkan 8,2-9,5 ton/ha (Puspadi dkk, 2004). Potensi hasil cabai merah dapat mencapai
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
288
Seminar Nasional 2005 12-18 ton/ha (Muharam, 2003). Adanya senjang hasil ini disebabkan oleh beragamnya jenis cabai yang ditanam petani dan menyulitkan instansi yang berwenang melakukan pendataan luas panen dan produksinya secara terperinci berdasarkan jenisnya (cabai besar, cabai keriting, cabai hijau dan cabai rawit), sehingga data yang tersedia masih merupakan data cabai dengan jenis secara agregat (Adiyoga, 1996). Dalam mengerjakan usahataninya, petani membagi tugasnya sesuai dengan kodratnya. Kaum pria mengerjakan pekerjaan yang cukup berat meliputi pembersihan lahan, pengolahan tanah, pembuatan bedengan, pemasangan mulsa dan pemupukan dasar, pengairan dan pengendalian hama/penyakit. Sedangkan kaum wanita mengerjakan kegiatan persemaian, tanam, penyiangan, pemupukan susulan dan panen. Upah tenaga kerja yang berlaku disesuaikan dengan tingkat berat dan ringannya pekerjaan, untuk kaum pria berkisar Rp 10.000 – Rp 15.000,-/hari dan kaum wanita Rp 7.000 – Rp 10.000,-/hari. Jam kerja berlangsung dari jam 07.00 – 11.00, kemudian pukul 11.00 – 14.00 digunakan untuk istirahat, sholat dan makan siang, kerja dilanjutkan lagi pukul 14.00 – 17.00. Wita. POLA KEMITRAAN AGRIBISNIS CABE MERAH Dalam kerjasama kemitraan ini BPTP NTB bersama instansi terkait di kabupaten Lombok Timur seperti Dinas Pertanian dan Peternakan dan Dinas Koperasi dan perdagangan mencoba memfasilitasi kerjasama kemitraan antara petani dengan PT Berkah Alam Kasturi dari Jawa Tengah yang bergerak dalam usaha pemasaran cabai merah di pulau Jawa. Kesepakatan kerjasama kemitraan ini dituangkan dalam suatu nota kesepakatan kerjasama yang ditanda tangani bersama di depan notaris. Model kemitraan yang dibangun tertera pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagan kerjasama kemitraan agribisnis cabai merah, Sembalun, NTB 2004.
BPTP bersama Dinas Pertanian dan Peternakan Lotim bertugas membina petani dalam teknis budidaya cabai merah dan memfasilitasi kerjasama kemitraan. Dinas Koperasi dan Perdagangan bertugas membina bidang perkoperasian dan perdagangannya dan memberikan pinjaman kredit untuk pengadaan sarana produksi. Peran PT Berkah Alam
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
289
Seminar Nasional 2005 Kasturi yang tertuang dalam nota kesepakatan adalah sebagai pembeli tunggal hasil panen cabai merah petani dan memberikan pinjaman modal untuk pengadaan mulsa plastik hitam perak dan benih hibrida cabai merah kepada petani senilai Rp 3.250.000 – Rp 3.500.000,-/ha. Pinjaman dikembalikan secara bertahap setelah panen. Dalam kesepakatan dinyatakan bahwa perusahaan akan menerima semua jenis cabai merah yang diproduksi oleh petani dengan harga yang berlaku di pasar Johar (Semarang) dan harga terendah yang akan dibayar perusahaan adalah sebagai berikut: (a) cabai merah besar (non keriting, TW) Rp 2.000,-/kg cabai segar; (b) cabai merah keriting (TR) Rp 2.500,-/kg cabai segar. KINERJA AGRIBISNIS CABAI MERAH Penyediaan Sarana Produksi Sarana produksi merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu usahatani komoditas pertanian. Sarana produksi secara umum tersedia di kios-kios saprodi yang ada di desa. Petani dengan mudah dapat memperoleh bermacam-macam sarana produksi yang tersedia di kios saprodi dari alat pertanian seperti hand sprayer, cangkul, benih, pupuk dan insektisida. Dalam kerjasama kemitraan ini pengusaha (PT Berkah Alam Kasturi) membantu memberikan pinjaman untuk pengadaan mulsa plastik dan benih hibrida cabai merah keriting TM 999. Petani menyediakan lahan, tenaga kerja, pupuk dan insektisida. Keperluan pupuk kandang diperoleh petani dari ternaknya atau membeli di desa sekitarnya. Setelah diperkenalkan teknologi pembuatan kompos, petani berusaha membuat sendiri pupuk kompos dari kotoran ternak yang ada di sekitar desa. Kompos yang diproduksi masyarakat Sembalun juga digunakan oleh PT Agrindo Nusantara yang bergerak dalam agribisnis sayuran untuk ekspor. Produksi Diakui petani setempat bahwa mereka berusahatani cabai merah selama ini berdasar ungkapan pengalaman dari sesama petani, belum berdasar pada penelitian/pengkajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penggunaan sarana produksi masih tergolong belum efisien, sehinga petani akan menderita kerugian apabila terjadi fluktuasi harga yang tajam. Rata-rata produktivitas cabai merah yang dihasilkan petani mencapai 8-10 ton/ha, sedangkan potensi hasil yang dapat dicapai berkisar 12-18 ton/ha. Dalam upaya meningkatkan produktivitas cabai merahnya, pada tahun 2003 beberapa petani mengikuti pengkaian penerapan inovasi produksi cabai merah yang telah dirakit oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang dalam rangka implementasi pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Teknologi PTT cabai merah yang diintroduksikan dapat meningkatkan produktivitas dari 8–10 ton/ha menjadi 14–6 ton/ha dan meningkatkan pendapatan usahatani dari Rp 1.017.750,-. B/C ratio 1,05 menjadi Rp 10.145.000,- dengan B/C ratio 1,56 (Kumoro dkk, 2003). Pada tahun 2004 beberapa petani mengadopsi dan mencoba menerapkan teknologi PTT Cabai merah dalam kerjasama kemitraan. Pasca panen dan Pengolahan Merosotnya nilai hasil panen cabai merah petani disebabkan kurang baiknya pengelolaan hasil panen tersebut. Karena terbatasnya pengetahuan menyebabkan pengelolaan pasca panen dilakukan seadanya (tradisional). Yang dapat dikategorikan kurang baik. Hasil panen cabai merah umumnya ditampung di karung plastik. Dalam mengangkut hasil panen, para pedagang pengumpul sering menekan buah cabai merah untuk menghemat tempat. Pengangkutan ke pasar kabupaten/provinsi dilakukan dengan kendaraan bak terbuka sehingga suhu panas akan mempengaruhi kondisi cabai merah dalam karung. Upaya
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
290
Seminar Nasional 2005 pengawetan cabai merah banyak dilakukan dengan jalan pengeringan. Pengeringan buah cabai merah dilakukan dengan bantuan sinar matahari sebagai sumber panasnya. Upaya pengolahan buah cabai menjadi produk olahan yang berupa saus cabai belum dilakukan masyarakat. Pemasaran Panjangnya rantai pemasaran dan banyaknya yang terlibat dalam pemasaran akan sangat mempengaruhi harga cabai merah di tingkat petani (produsen). Rantai pemasaran yang berlangsung di desa tertera pada Gambar 2. KONSUMEN
DISTRIBUTOR PENGECER
PEDAGANG GROSIR
PASAR KABUPATEN
PABRIK
PEDAGANG ANTAR PULAU
PASAR PROVINSI
PEDAGANG PENGUMPUL
PETANI PRODUSEN
Gambar. 2. Rantai pemasaran cabai merah sebelum kemitraan (model A) Sebelum adanya kerjasama kemitraan rantai pemasaran cabai merah di tingkat desa tergolong masih panjang dengan melibatkan pedagang pengumpul, pedagang pasar kabupaten/provinsi, dan pedagang antar pulau. Pedagang antar pulau akan memasok cabai merah ke pasar Induk dan beberapa pabrik pengolahan cabai merah di Jawa. Sedangkan pada kerjasama kemitraan yang terlibat dalam rantai pemasaran antara lain: (a) petani produsen; (b). perwakilan perusahaan (P. Lombok); (c). PT Berkah Alam Kasturi (Semarang). Selanjutnya PT Berkah Alam Kasturi akan memasok Pasar Induk dan pabrik pengolahan cabai merah. Dari pasar induk atau pabrik, cabai merah segar atau produk olahannya akan disalurkan melalui distributor + pengecer ke konsumen. Rantai pemasaran model B ternyata lebih pendek dibanding rantai pemasaran model A. Rantai pemasaran yang terjadi dengan adanya kemitraan tertera pada Gambar 3.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
291
Seminar Nasional 2005
KONSUMEN
DISTRIBUTOR + PENGECER
GROSIR PASAR INDUK
PABRIK
PT. BERKAH ALAM KASTURI
PERWAKILAN PT. BERKAH ALAM KASTURI
PETANI PRODUSEN
Gambar 3. Rantai pemasaran pada kerjasama kemitraan (model B)
PELAJARAN DARI KERJASAMA KEMITRAAN Paradigma Kemitraan Kerjasama kemitraan yang kita inginkan bersama merupakan kemitraan yang dapat memberi keuntungan kepada kedua belah pihak yang bermitra dan berkelanjutan. Hal ini akan tercapai jika ada transparansi, kejujuran dan saling percaya di antara kedua belah pihak. Kemitraan akan saling menguntungkan jikalau : (1) pola kemitraan disusun sebagai usaha bersama yang menyertakan (memperhitungkan modal petani) sebagai modal usaha ; (2) memperhitungkan pembagian keuntungan usaha secara proporsional. Dalam nota kesepakatan kerjasama kemitraan, PT Berkah Alam Kasturi memberikan bantuan pinjaman pembiayaan untuk pengadaan mulsa plastik dan benih hibrida cabai merah keriting TM 999 dan TM 888 yang diperkirakan senilai Rp 3.250.000 – Rp 3.500.000,-yang harus dikembalikan oleh petani setelah panen dan semua hasil panen harus disetor/ diserahkan/dijual kepada PT Berkah Alam Kasturi. Hal ini menunjukkan bahwa : pertama, peran PT Berkah Alam Kasturi hanya sebagai pembeli hasil panen cabai merah saja dan pinjaman modal kepada petani sebagai perangkap agar petani menjual seluruh hasil panennya kepada PT Berkah Alam Kasturi; kedua, PT Berkah Alam Kasturi menganggap modal yang dipinjamkan kepada petani sebesar Rp 3.250.000,- /ha bukan merupakan kontribusi modal usaha cabai merah (Puspadi dkk, 2004).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
292
Seminar Nasional 2005 Implementasi Harga Kesepakatan Implementasi kesepakatan harga merupakan hal yang sangat krusial dalam pola kemitraan cabai merah di NTB, karena kerugian usahatani cabai merah di desa Sembalun sebagian besar disebabkan fluktuasi harga yang sangat ekstrim, bukan karena rendah produktivitasnya. Dalam nota kesepakatan ditetapkan harga cabai merah terendah untuk cabai besar Rp 2.000,- dan untuk cabai keriting Rp 2.500,- per kg. Jika harga cabai merah di pasar lebih tinggi daripada harga terendah, harga cabai ditentukan berdasarkan tingkat harga cabai merah yang berlaku di pasar Johar, Semarang. Perusahaan akan memberitahukan tingkat harga yang berlaku paling lambat 2 hari setelah cabai merah tiba di Semarang. Dalam penetapan harga cabai merah ternyata dari bulan Juni +Juli sampai Agustus, petani cenderung menerima harga lebih rendah dari harga pasar lokal, walaupun tingkat harga yang berlaku masih di atas harga terendah yang disepakati (Rp 2.500,-/kg). Sedangkan dari bulan September dan seterusnya harga cabai yang diterima petani (harga terendah dalam kesepakatan kemitraan ) lebih tinggi daripada harga cabai di pasar lokal (Tabel 1.) Tabel 1. Perbandingan Harga yang Diterima Petani dengan Harga Cabai Merah di Pasar Lokal, Sembalun, NTB, 2004 No 1 2 3 4 5
Bulan Juni + Juli Agustus Septemb Oktober Nop + Des
Tingkat harga kemitraan Kisaran harga Rata-rata bulanan (Rp/kg) (Rp/kg) 2.500 – 7.000 2.200 – 3.000 2.200 – 2.700 2.200 – 2.700 2.200 – 2.700
4.575 2.519 2.450 2.450 2.450
Tingkat harga di pasar lokal Kisaran harga Rata-rata bulanan (Rp/kg) (Rp/kg) 4.500 – 10.000 1.800 – 4.500 1.200 – 1.800 1.200 – 1.200 1.200 – 1.200
6.587 2.685 1.419 1.200 1.200
Selisih harga (Rp/kg) – 2.012 – 166 + 1.031 + 1.250 + 1.250
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari bulan Juni sampai dengan Agustus harga cabai merah di pasar lokal relatif lebih tinggi daripada harga kesepakatan terendah. Pada bulanbulan ini tampak pengusaha dapat meraih keuntungan, namun petani merasa dirugikan karena harga ditekan di bawah harga pasar lokal yang berlaku. Sedangkan mulai bulan September dan seterusnya harga cabai di pasar lokal cenderung menurun terus hingga hanya mencapai harga Rp 1.200,-/kg. cabai segar. Kondisi ini dimanfaatkan perusahaan (PT Berkah Alam Kasturi) untuk mengambil tindakan menghambat, mengulur waktu pembayaran dan akhirnya menghentikan pembayaran terhadap setoran hasil panen cabai merah petani dengan alasan pengusaha kawatir investasi yang dikeluarkan untuk kemitraan ini tidak akan kembali. Tindakan ini bersamaan dengan mulainya petani akan mendapat keuntungan dari kemitraan ini karena adanya kesepakatan harga terendah yang dibayar perusahaan. Akibat pembayaran yang terlambat sampai terjadinya penghentian pembayaran, petani banyak yang terpaksa menjual hasil panen cabai merahnya ke luar (ke pedagang pengumpul desa), walaupun harga yang berlaku di pedagang pengumpul lebih rendah daripada harga terendah kesepakatan dalam kemitraan ini, yakni berkisar Rp 1.200Rp 1.419,-/kg cabai merah segar. Melihat tindakan petani menjual hasil panen cabainya ke luar, sebagai akibat penghambatan dan penghentian pembayaran, pengusaha beranggapan petani melakukan kecurangan dalam kemitraan ini. Suatu hari pengusaha membawa pengacara untuk menyelesaikan masalah yang dianggap pengusaha sebagai ”kecurangan” petani ini. Setelah pengacara menelusuri dan mengetahui akar permasalahannya, pengacara tidak melanjutkan lagi tugasnya. Di kemudian hari pengusaha mencoba membawa polisi dengan harapan dapat menyelesaikan masalah ini. Namun juga tidak membawa hasil yang dapat memuaskan kedua belah pihak.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
293
Seminar Nasional 2005 Kelayakan Kerjasama Kemitraan Kerjasama kemitraan layak diteruskan dan dikembangkan jika kemitraan dapat dilakukan dengan dasar adanya transparansi, kejujuran, saling kepercayaan dan lancarnya komunikasi kedua belah pihak. Secara ekonomi kemitraan diharapkan menguntungkan kedua belah pihak yang menandatangani kesepakatan kerjasama. Pembagian keuntungan semua pihak yang terlibat dalam sistem agribisnis perlu juga dibagi secara proporsional. Untuk mencoba mengevaluasi kelayakan kemitraan dalam pemasaran cabai merah dapat dilihat pada Tabel 2 : Tabel 2. Evaluasi Kelayakan Kemitraan dalam Pemasaran Cabai Merah, Sembalun, NTB, 2004 Model pemasaran
Produsen
Keadilan sistem agribisnis (KSA)
Pangsa
Konsumen
(A) Sebelum kemitraan
Harga Rp 1200 – 6500 (Rerata Rp 3850) Biaya per kg = Rp 1900 Keuntungan = Rp 1950
= 4150 X 100% 1950
(B) Dengan Kemitraan
Harga Rp 2500 – 4600 (Rerata Rp 3550) Biaya per kg = Rp 1200 Keuntungan = Rp 2350
= 7450 X 100% = 3550 X 100% Harga : Rp 9000 – Rp 13000 2350 11000 (Rerata Rp 11.000,-) Margin = Rp 5450 – Rp 9450 = 317 % = 32 % Rata-rata = Rp 7.450,-
= 213 %
= 3850 X 100% Harga = Rp 6000 – Rp 10000 8000 (Rerata Rp 8.000,-) Margin = Rp 2150 – Rp 6150 = 48 % Rata-rata = Rp 4.150,-
Sumber : data primer dianalisis
Jika Tabel 2. dihubungkan dengan Gambar 2 dan 3, menunjukkan margin pemasaran pada model A (sebelum kemitraan) lebih kecil (Rp 4.150,-) dibanding margin pemasaran model B (Rp 7.450,-). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara tingkat harga di konsumen dengan tingkat harga di produsen pada model A lebih kecil daripada model B. Banyaknya pihak-pihak yang terlibat pada rantai pemasaran model A memberi kesan bahwa rantai pemasaran model B akan lebih efisien daripada model A. Namun setelah dihitung secara ekonomi ternyata margin pemasaran model B lebih besar daripada model A. Ini membuktikan bahwa masing-masing pihak yang terlibat dalam pemasaran model A akan menerima bagian keuntungan lebih merata, walaupun dalam jumlah kecil. Karena margin pemasaran model A lebih kecil daripada model B, berarti model pemasaran A lebih efisien daripada model B. Pangsa harga (produsen) pada model A lebih besar (48%) daripada model B (32%). Dalam sistem agribisnis keberpihakan kepada petani, sebagai pelaku usahatani yang telah mencurahkan seluruh tenaga dan modal usahanya, menjadi salah satu cirinya. Oleh karena itu share harga produsen (petani) yang lebih besar tergolong yang baik. Ini berarti rantai pemasaran model A lebih baik daripada model B. Keadilan dalam pembagian keuntungan ditunjukkan oleh besarnya indeks angka yang tercantum pada kolom Keadilan Sistem Agribisnis (KSA). KSA model B (317%) lebih besar dari pada KSA model A (213%). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah bagian keuntungan perusahaan dalam tataniaga cabai merah pada model B sekitar 3 kali lipat jumlah bagian keuntungan yang dinikmati produsen (petani). Sedangkan model A jumlah bagian keuntungan pedagang dalam tataniaga cabai merah di pasar lokal berkisar 2 kali lipat jumlah bagian keuntungan produsen (petani). Dengan dasar keberpihakan pada petani , maka model B dinilai belum menunjukkan lebih efisien dari pada model A, karena belum menunjukkan keadilan dan pemerataan dalam pembagian keuntungan yang diperoleh. Berdasar hasil evaluasi di atas, terbukti bahwa model A (sebelum kemitraan) merupakan model pemasaran yang lebih efisien dibanding model pemasaran yang dibangun bersama PT Berkah Alam Kasturi. Pemasaran model B yang dibangun dengan kemitraan kurang efisien, karena pengusaha harus mengirim cabai merah ke Semarang yang memerlukan biaya transportasi yang cukup mahal sehingga pengusaha berusaha lebih banyak mengambil keuntungan dalam tataniaga cabai merah. Pemasaran dengan kemitraan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
294
Seminar Nasional 2005 masih tetap diperlukan dalam rangka pengembangan usahatani cabai merah, agar petani merasa terjamin pasarnya dan ada kepastian harga bagi hasil panennya. Persepsi Petani Terhadap Kemitraan Secara umum petani memberikan kesan bahwa dalam kemitraan ini tidak ada saling kepercayaan dan kurang baik dalam pembayaran. Kekurang-percayaan perusahaan (PT Berkah Alam Kasturi) terhadap petani ditunjukkan dengan ditempatkannya beberapa tenaga yang mengawasi setiap orang yang dicurigai sebagai pedagang pengumpul yang akan membeli cabai merah di lahan usahatani melalui alat teropong jarak jauh. Penetapan harga yang dilakukan sepihak oleh perusahaan (di Semarang) diinformasikan setelah 2 hari hasil panen cabai merah petani dikirim ke Semarang. Hal ini sangat menguntungkan perusahaan, karena tingkat harga yang diberikan kemudian hari akan lebih rendah daripada harga saat pengiriman barang. Hal ini mengecewakan petani karena petani menerima tingkat harga yang rendah dan merasa dirugikan. Kekecewaan petani bertambah dengan terjadinya penundaan pembayaran oleh perusahaan hingga 2–3 minggu. Penundaan pembayaran ini dirasa memberatkan petani yang harus menyediakan kebutuhan sehari-hari keluarganya dan membayar biaya tenaga panen. Keberatan dan keluhan petani tidak dapat disampaikan kepada pimpinan perusahaan, karena perusahaan tidak mau berkomunikasi lagi dengan pengurus KUD. Suatu hari pengusaha secara bergantian mengirim tim pengacara, polisi dan tentara ke lokasi untuk menyelesaikan perselisihan ini. Petani merasa dianggap sebagai pihak yang bersalah dalam kemitraan ini. Namun ternyata setelah ditemui pengurus KUD, mereka pulang dengan sendirinya dan tidak muncul lagi. Dampak Sosial Kemitraan Kurang serasinya kerjasama antara petani dan perusahaan (PT Berkah Alam Kasturi) berdampak gagalnya kemitraan dalam pemasaran cabai merah yang diharapkan dapat berkelanjutan dan petani merasa dirugikan, karena petani menerima tingkat harga yang rendah dan banyak petani yang tidak menerima pembayaran dari perusahaan. Tidak dibayarnya hasil panen cabai merah, petani terganggu ekonominya dalam penyediaan kebutuhan sehari-hari keluarganya dan upah tenaga petik serta tidak dapat membayar tanggungan hutang sarana produksi. Petani kehilangan sebagian modal usahataninya. Ada sebagian petani terpaksa menjual ternak sapinya untuk mengembalikan hutangnya. ”Fee” bagian KUD dan kelompoktani yang dijanjikan perusahaan tidak dapat terealisir. Beberapa hal yang memberatkan inilah yang menyebabkan petani enggan menyetor hasil panen cabai merahnya ke perusahaan dan terpaksa menjualnya ke pedagang pengumpul di desa guna memperoleh uang tunai untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan melanjutkan kegiatan usahataninya, walaupun dengan harga sangat murah dan secara ekonomis merugi. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Rantai pemasaran yang dibentuk dengan PT Berkah Alam Kasturi belum mampu memberikan efisiensi yang lebih besar daripada rantai pemasaran sebelum kemitraan, sehingga rantai pemasaran yang sudah lama ada di desa merupakan model rantai pemasaran yang dapat dikembangkan. 2. Pendapatan usahatani (keuntungan) petani non kooperator meningkat dari Rp 1.017.750,- di tahun 2003 menjadi Rp 2.087.800,- di tahun 2004. Petani kooperator memperoleh keuntungan lebih besar (Rp 7.495.000,-) dibandingkan dengan keuntungan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
295
Seminar Nasional 2005 petani non koperator (Rp 2.087.800,-). Namun petani koperator pada tahun 2004 menerima keuntungan lebih kecil (Rp 7.495.000,-) dibanding keuntungan yang diterima pada tahun 2003 (Rp 10.145.000,-). 3. Pemesanan kompos dalam jumlah besar oleh PT Agrindo Nusantara merupakan peluang pengembangan usaha dalam sistem agribisnis di pedesaan. 4. Adanya dua alternatif model pemasaran yang dapat dikembangkan, diharapkan Pemda melalui dinas terkait dapat memfasilitasi adanya kemitraan dalam pemasaran cabai merah ini dengan dua mitra usaha agar monopoli dapat dihindari. Mitra yang satu diharapkan akan merupakan penyeimbang bagi mitra yang lain. Kemitraan yang dibangun harus betul-betul merupakan usaha bersama yang mempertimbangkan adanya modal bersama dan ditujukan untuk mendapatkan keuntungan bersama sesuai dengan proporsinya. 5. Penetapan komoditas pada setiap sentra produksi perlu mengacu pada keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dari komoditas yang dikembangkan. Pengembangan unit-unit agribisnis pada setiap sentra produksi sebaiknya mengembangkan pola kemitraan dan memfasilitasinya dengan sarana penyimpanan yang mampu memperlambat kerusakan dan pembusukan komoditas yang akan dipasarkan. 6. Mendorong berkembangnya kelembagaan tani yang diharapkan akan berperan sepenuhnya sebagai pengendali utama sistem agribisnis. Pengembangan keorgani-sasian dalam agribisnis yang berbasis kelompok tani merupakan langkah strategis yang harus dilakukan bersamaan dengan pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna dalam bidang pertanian. DAFTAR PUSTAKA Adiyoga, W. 1996. Produksi dan Konsumsi Cabai Merah. Dalam: Duriat, A.S. dkk (penyunt) Teknologi Produksi Cabai Merah. p: 4 –13 . Balitsa Lembang. 113 hal. Budianto, J., 2001. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi Partisipatif. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. BPTP NTB, Badan Litbang Pertanian. Mataram. 9 hal. Irawan, B., 2003. Membangun Agribisnis Hortikultura Terintegrasi Dengan Basis Kawasan Pasar. Forum Penelitian Agro ekonomi, Vol 21, No.1. Juli 2003. p: 67–82. ISSN: 0216 – 4361. PSE – Badan Litbang Pertanian, Deptan. Bogor. 82p. Kumoro, K., I. K. Puspadi, M. Zairin, Sudjudi, D. P Sudjatmiko, Mashur. 2003. Pengkajian Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Cabai Merah di Nusa Tenggara Barat. Laporan akhir. BPTP NTB. 27p. Muharam, A. 2003. Penelitian dan Pengkajian Pengelolaan Tanaman Tepadu Cabai Merah. Materi pelatihan TOT Cabai Merah. Balitsa, Lembang. Puspadi, I K., K.Kumoro dan Mashur, 2004. Study on Supply Chain Management of Hot Pepper in West Nusa Tenggara. Makalah Seminar. 7 p. Saragih, B. dan P., Simanjuntak, 1997. Pembinaan Sumberdaya Manusia Sistem Agribisnis Agroindustri dengan Subsistem serta Kelembagaan Pendukungnya. Seminar Nasional Pembangunan Perekonomian Pedesaan Indonesia. Faperta IPB, Bogor. Simatupang, P. dan N. Syafa’at, 2003. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi Partisipatif. (1-11). Dalam: Baharudin dkk (Ed). Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian dan Penerapan Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB, Badan Litbang Pertanian. Mataram.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
296
Seminar Nasional 2005 Sudaryanto,T., dan E. Pasandaran. 1993. Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sumarni, N., 1996. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Dalam : Duriat, A.S. dkk (penyunt) Teknologi Produksi Cabai Merah. p: 36-47. Balitsa Lembang. 113 hal. Sumarno, 2004. Pengembangan Agribisnis Hortikultura Menghadapi Pasar Bebas Internasional. Makalah Temu Usaha Penas XI di Minahasa, 5–7 Juni 2004. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian. 18 p.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
297
Seminar Nasional 2005 TINGKAT PRODUKTIVITAS SALAK (Salacca edulis L.) DAN STATUS HARA TANAH MENURUT KETINGGIAN TEMPAT DI BALI Rubiyo1) dan Budi Sunarso2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali 2) Balai Meteorologi dan Geofisika III Bali
1)
ABSTRAK Penelitian untuk mengetahui produktivitas salak bali pada berbagai ketinggian telah dilakukan dengan metode survei pada tiga kecamatan (Selat, Rendang dan Bebandem) di Kabupaten Karangasem, pada kebunkebun salak pada lima ketinggian yang berbeda (400 – 500 mdpl, 501 – 600 mdpl; 601 – 700 mdpl; 701 – 800 mdpl dan 801-900 m dpl). Penelitian dilaksanakan selama musim panen raya tahun 2004 (dari bulan Januari sampai April 2004). Lima pohon salak produktif dipilih secara acak yang digunakan sebagai sampel untuk pengamatan hasil. Satu sampel pada kedalaman tanah 20-30 cm diambil pada masing lokasi kebun disetiap ketinggian untuk analisis kesuburan tanah. Data curah hujan dan suhu udara dikumpulkan dari stasiun meteorologi terdekat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketinggian tempat nyata menentukan tingkat produktivitas salak. Bobot buah tertinggi (5,73 kg pohon-1 dihasilkan oleh pohon pada ketinggian 501-600 m dpl., yang tidak berbeda nyata dengan bobot buah(5,28 kg pohon-1) pada ketinggian 601 – 700 m dpl. Hasil buah yang tinggi tersebut disebabkan oleh tingginya jumlah buah total dan jumlah tandan buah pohon -1 .Sifat kimia tanah bervariasi tidak nyata karena perbedaan ketinggian tempat, kecuali N-total dan K-tersedia tanah. Total -N tanah (0,15%), yang tergolong rendah, dihasilkan pada ketinggian 701-800 m dpl. K-tersedia tanah tergolong tinggi, ditemukan pada ketinggian 400 – 900 m dpl. Kadar C-organik tanah (2,03%) dan P-tersedia tanah (18,29 ppm) adalah tergolong sedang, dengan pH agak masam (6,38).Sifat fisik tanah, kecuali kadar air tanah, tidak berbeda nyata pada ketinggian yang berbeda. Tekstur tanah pada semua ketinggian tempat tergolong lempung berpasir. Kata kunci: Salak, ketinggian,status hara produktivutas
PENDAHULUAN Salak (Salacca edulis L.) termasuk dalam suku palmae (Arecaceae) yang tumbuh berumpun, merupakan tanaman asli Indonesia. Di Bali salak merupakan komoditi unggulan yang ditetapkan secara nasional (Anonim, 1996). Kabupaten Karangasem adalah sentra tanaman salak di Propinsi Bali dan dianggap daerah asal tanaman salak Bali, dan dari daerah ini menyebar ke daerah-daerah lain sehingga saat ini tanaman salak Bali dapat dijumpai hampir diseluruh kabupaten di Bali. Varietas salak Bali cukup banyak, yang didasarkan pada karakter buah (bentuk, aroma, rasa serta warna kulit buah) atau lokasi dimana salak ditanam atau dibudidayakan. Sampai saat ini terdapat 2 varietas salak sesuai keputusan Menteri Pertanian yaitu Salak Bali (SK.No.585/Kpts/TP.240/7/94) dan Salak Gula Pasir (SK.No.584/Kpts/TP.240/7/94). Luas Kabupaten Karangasem 83.954 ha terdiri atas delapan wilayah kecamatan dengan ketinggian dari 0 m dpl sampai 3.124 m dpl (puncak Gunung Agung). Adanya Gunung Agung dan Gunung Seraya serta adanya daerah perbukitan menyebabkan wilayah di Kabupaten Karangasem memiliki kondisi geografis yang beragam. Perubahan ketinggian dari wilayah dataran rendah ke dataran tinggi cukup tajam, menjadikan Kabupaten Karangasem banyak memiliki topografi miring. Topografi miring tersebut pada umumnya cocok untuk tanaman salak, karena topografi miring umumnya memiliki drainase yang baik (Anonim,1996). Hal ini dikarenakan zona perakaran tanaman salak relatif dangkal dan akarnya tidak tahan terhadap genangan air dan kekeringan. Perkebunan salak di Kabupaten Karangasem semuanya berada di lahan kering karena pengairan tergantung sepenuhnya pada hujan, sehingga faktor curah hujan dan tekstur tanah mempunyai peranan yang besar terhadap pertumbuhan tanaman salak. Tanaman salak di Kabupaten Karangasem tersebar di tujuh kecamatan dari delapan kecamatan yang ada dan tumbuh di berbagai wilayah ketinggian dan fisik medan. Hal ini dikarenakan Kabupaten Karangasem memiliki arkeologi yang sesuai untuk tanaman salak.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
298
Seminar Nasional 2005 Di antara kecamatan-kecamatan di Kabupaten Karangasem, Kecamatan Rendang, Sekat dan Bebandem merupakan sentra tanaman salak. Sunarso (2000) menyebutkan bahwa produktivitas tanaman salak tidak sesuai dengan kesesuaian wilayah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh ketinggian dan kesuburan tanah terhadap produktivitas salak di tiga kecamatan tersebut. BAHAN DAN METODOLOGI Rancangan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan survei lapang untuk memperoleh data produktivitas pada wilayah penelitian dan pembuatan peta wilayah penelitian berdasarkan parameter yang dipergunakan, yaitu ketinggian tempat. Beberapa parameter lain yang turut mempengaruhi pertumbuhan salak juga diteliti, yaitu sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah. Analisis sifat kimia tanah dan sifat fisika tanah dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Kadar air diukur dalam kondisi kering udara. Wilayah ketinggian yang diteliti adalah 400 – 500 m dpl, 801 – 900 m dpl. Peta ketinggian dan peta administrasi ditampilakn untuk menentukan wilayah yang diteliti produktivitasnya. Setelah itu diambil 5 sampel pohon salak yang sudah menghasilkan buah pada setiap wilayah penelitian, sehingga didapat 5 (lima) wilayah penelitian pada setiap kecamatan (Tabel 1). Metode dalam pengambilan sampel pohon salak pada wilayah penelitian adalah random sampling. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan mengambil lokasi pada sentra tanaman salak (Kecamatan Selat, Rendang) dari Januari 2004 s.d. April 2004, yaitu pada musim panen raya untuk tanaman salak. Tabel 1. Pembagian Wilayah berdasarkan ketinggian tempat ( m dpl) WILAYAH
Kec. Rendang
Kec. Selat
Kec. Bebandem
Wilayah I Wilayah II Wilayah III Wilayah IV Wilayah V
400-500 (m dpl) 501-600(m dpl) 601-700(m dpl) 701-800(m dpl) 801-900 (m dpl)
400-500(m dpl) 501-600(m dpl) 601-700(m dpl) 701-800(m dpl) 801-900 (m dpl)
400-500(m dpl) 501-600(m dpl) 601-700(m dpl) 701-800(m dpl) 801-900 (m dpl)
Bahan dan Alat Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah: 1. Pohon salak Kriteria pohon salak yang dijadikan sampel adalah: a) pohon salak berada pada perkebunan salak; b) usia tanaman salak > 10 tahun; c) sudah pernah berbuah.; d) pohon salak dalam keadaan tidak diserang hama penyakit. 2. Peta Rupa Bumi Kabupaten Karangasem skala 1:25.000. Peta Rupa Bumi yang dipergunakan adalah: (a) Peta Lereng; (b) Peta Topografi; (c) Peta Administrasi Kabupaten; (d) Kecamatan dan Desa. 3. Software Arcview sebagai sarana pengolahan peta. 4. Global Positioning System (GPS) dan Altimeter Setting yang akan digunakan untuk mengukur ketinggian wilayah perkebunan tanaman salak yang diteliti. 5. Timbangan dengan ketelitian mg untuk menimbang buah hasil panen.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
299
Seminar Nasional 2005 6. Data suhu udara dari Stasiun Geofisika Kahang-Kahang pada ketinggian 140 m dpl. 7. Data curah hujan dari Pos Hujan milik BMG di wilayah Kabupaten Karangasem. 8. Cangkul dan Skop sebagai alat untuk menggali tanah dan mengaduk tanah yang akan diteliti sifat kimia dan sifat fisiknya. Variabel yang diamati 1. Variabel yang diamati adalah: a) Bobot buah total pohon-1; (b) Jumlah total buah pohon-1; (c) Jumlah tangkai buah pohon-1; (d) Jumlah tandan buah pohon-1; (e) Bobot buah-1; (f) Bobot buah panen-1; (g) kadar gula buah (%) 2. Sifat Kimia dan Sifat Fisik Tanah Sampel tanah diambil pada kedalaman 20-30 cm pada setiap perkebunan salak yang dijadikan sampel. Metode analisis sifat kimia tanah dan sifat fisik tanah disajikan dalam Tabel.2 dan Tabel.3 Tabel.2. Sifat kimia tanah dan metode analisisnya No
Jenis Analisis
Metode
1 2 3 4
Kadar C-organik tanah Kadar N-total tanah Kadar P-tersedia Kadar K-tersedia
Walkley&Black Kjeldhall Bray-1 Bray-1
Tabel.3 .Sifat fisik tanah dan metode analisisnya No
Jenis analisis
Metode
1 2 3
pH tanah Tekstur Kadar air tanah
H2O Pipet Kering Udara
Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilakukan dengan asumsi bahwa kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Penelitian pada satu kecamatan dianggap satu kali ulangan. Dengan demikian didapat tiga kali ulangan, ulangan I pada kecamatan Rendang, ulangan II pada kecamatan Selat dan ulangan III pada kecamatan Bebandem. Wilayah penelitian dibagi dalam 5 wilayah ketinggian dan perkebunan yang dijadikan sampel terdapat dalam kisaran setiap wilayah ketinggian (Tabel 1). Setiap wilayah ketinggian pada masing-masing kecamatan diambil 5 pohon salak yang dipilih secara acak. Setiap pohon dicatat jumlah tandan dan tangkai buahnya. Panen dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan tingkat kematangan buah yang siap panen dan penimbangan buah salak dilakukan setiap panen dan dihitung tangkai, tandan dan buah yang dipanen. Sampel tanah diambil pada setiap wilayah ketinggian dan dianalis di laboratorium untuk diamati sifat fisik dan kimia tanahnya. Pada setiap kebun dimana tanaman salak dijadikan sampel, ditentukan lima titik yang berjauhan untuk diambil sampel tanahnya. Tanah yang diambil dari kelima titik tersebut adalah tanah di kedalaman 20-30 cm dari permukaan, kemudian dicampur menjadi satu dan dianalisa di laboratorium. Data hujan pada wilayah penelitian didapat dari Pos Hujan milik BMG yang berada di desa Sidemen, Manggis, Kahang-Kahang pada ketinggian 140 m dpl.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
300
Seminar Nasional 2005 Analisis Data Data dianalisis dengan metode sidik ragam (ANOVA). Apabila perlakuan (ketinggian tempat) menunjukkan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap variabel yang diamati, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan untuk mencari perbedaan antar perlakuan (Gaspersz,1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketinggian tempat berpengaruh terhadap produktivitas. Berat buah total pohon-1 sebesar 5,731 kg diperoleh pada ketinggian 501-600 m dpl dan sebesar 5,283 kg pada ketinggian 601–700 m dpl. Produktivitas yang paling rendah adalah sebesar 2,569 kg yaitu pada ketinggian 401–500 m dpl dan 801–900 m dpl (Tabel 4). Sementara itu Anonim (1996) menunjukkan bahwa ketinggian yang paling dominan mempengaruhi tingkat produktivitas 400–700 m dpl. Dalam penelitian ini ditemukan produktivitas tertinggi adalah pada ketinggian 501–600 m dpl dan 601–700 m dpl. (Tabel 4). Tingginya produktivitas salak pada 2 (dua) wilayah ketinggian tersebut berhubungan dengan jumlah tandan buah (Tabel 4 dan Tabel 5.). sedangkan bobot rata-rata perbuah tidak berbeda nyata pada semua ketinggian tempat Tabel.4. Rata-rata bobot buah salak total pohon -1 jumlah buah pohon-1 dan bobot buah-1 pada berbagai ketinggian tempat di tiga lokasi. Ketinggian tempat (m dpl)
Bobot buah total (kg pohon-1)
Jumlah buah (buah pohon-1)
Jumlah tangkai buah (tangkai pohon-1)
400-500 501-600 601-700 701-800 801-900
2,57 c 5,73 a 5,28 ab 4,28 b 2,98 c
46,87 c 94,73 a 98,07 a 75,27 b 54,800 c
1,87 a 2,86 a 2,80 a 2,33 a 2,33 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan 5%.
Tabel. 5. Rata-rata jumlah tandan buah pohon -1, bobot buah-1, bobot buah panen-1 dan kadar gula buah pada berbagai ketinggian tempat di tiga lokasi penelitian. Ketinggian tempat (m dpl)
Jumlah tandan buah (tandan pohon-1)
Bobot buah (g buah-1)
Bobot buah (kg panen-1)
Total kadar gula buah (%).
400-500 501-600 601-700 701-800 801-900
2,66 c 4,80 a 4,60 ab 3,73 abc 3,20 bc
53,70 a 60,35 a 53,62 a 56,82 a 55,17 a
5,90 a 8,27 a 8,13 a 6,61 a 4,10 a
15,23 a 16,30 a 15,62 a 16,58 a 16,47 a
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan 5%.
Rasa manis pada buah salak tidak dipengaruhi oleh ketinggian ( Tabel 5). Kadar gula buah tidak berbeda pada semua ketinggian tempat yaitu 16,4 %. Dengan demikian rasa manis dan berat buah tidak dipengaruhi oleh ketinggian dan kesuburan tanah. Hal ini dikarenakan kadar C-organik, P-tersedia tidak berbeda pada semua wilayah ketinggian (Tabel 6).Kadar gula yang ditemukan dalam penelitian ini ternyata lebih besar dibandingkan Suter (1988). Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena waktu pengambilan sampel, wilayah pengambilan sampel dan jenis salak yang diambil sebagai sampel. Karena salak Bali terdiri dari banyak jenis yang mempunyai rasa manis yang berbeda. Komponen fisik tanah (% pasir, debu dan liat) tidak berbeda nyata pada semua ketinggian tempat (Tabel 7 dan Tabel 8). pH tanah pada semua ketinggian tempat juga tidak
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
301
Seminar Nasional 2005 berbeda nyata. Menurut Nur_Tjahjadi (1988), tanaman salak akan tumbuh baik pada tanah dengan pH 6,0-7,0 daripada bila ditanam pada tanah asam atau basa. Hal ini menunjukkan bahwa semua wilayah penelitian mempunyai pH tanah yang sesuai untuk tanaman salak. Diantara komponen kesuburan tanah, kadar N-total dan kadar K-tersedia dalam tanah sangat menentukan produksi salak, disamping kadar air tanah. Kecuali ketinggian 400-500 m dpl dengan kadar air tertinggi (8,39%) produksi menjadi rendah (Tabel 4 dan Tabel 7). Hal ini menunjukkan tekstur tanah lempung dan lempung berliat serta kadar air 8,39% yang terdapat pada ketinggian 400-500 m dpl. di Kecamatan Bebandem. Tohir dan Kaslan (1981) menyebutkan jenis tanah yang paling cocok adalah tanah liat berpasir, karena gembur dan lembab. Tabel.6. Rata-rata kadar C-organik, P-total dan K tersedia dalam tanah pada berbagai ketinggian tempat di tiga lokasi penelitian. Ketinggian tempat (m dpl)
Kadar C-organik (%)
KadarN-total (%)
400-500 501-600 601-700 701-800 801-900
1,68 a 1,94 a 1,93 a 2,57 a 2,04 a
0,09 b 0,10 b 0,13 ab 0,15 a 0,09 b
Kadar P-tersedia (ppm) 20,90 a 11,24 a 38,14 a 9,95 a 11,24 a
Kadar K-tersedia (ppm)* 260,55 ab 159,22 bc 326,22 a 78,80 cd 60,25 d
Tabel.7. Rata-rata pH dan kadar air tanah pada berbagai ketinggian tempat di tiga lokasi penelitian Ketinggian tempat (m dpl)
pH tanah
Kadar air tanah dalam kering udara (%)
400-500 501-600 601-700 701-800 801-900
6,28 a 6,55 a 6,29 a 6,51 a 6,26 a
8,39 a 7,10 ab 5,73 abc 3,92 c 4,75 bc
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan 5%.
Tabel.8 Rata-rata presentase pasir, debu dan liat dalam tanah pada berbagai ketinggian tempat di tiga lokasi penelitian. Ketinggian tempat (m dpl)
Pasir (%)
Debu (%)
Liat (%)
Tekstur
400-500 501-600 601-700 701-800 801-900
35,04 a 49,34 a 60,67 a 64,77 a 53,77 a
42,43 a 30,75 a 25,04 a 25,22 a 39,30 a
22,53 a 19,91 a 14,28 a 10,02 a 6,94 a
Lempung Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir Lempung berpasir
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji jarak berganda Duncan 5%.
Wilayah ketinggian yang lebih tinggi mengalami curah hujan yang lebih banyak dibandingkan dengan yang lebih rendah dengan kemiringan yang tajam sangat memungkinkan terjadinya erosi yang menghanyutkan unsur hara. Hal ini disebabkan karena awan konvektif yang mengakibatkan tumbuhnya hujan mudah terbentuk dengan adanya daerah pegunungan. Kemiringan dominan pada wilayah penelitian adalah >40% yang sebagian besar terletak di lereng Gunung Agung seluas 61,78% dan yang terkecil pada kemiringan lereng 0–2% hanya sebesar 3,11% dari wilayah penelitian (Kecamatan Selat, Bebendem dan Rendang). Pola hujan di wilayah ekuator umumnya memiliki pola monsoon, dimana terdapat dua puncak maksimum dan satu puncak minimum. Walaupun pada ketinggian yang berbeda
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
302
Seminar Nasional 2005 dan memiliki pola yang sama, jumlah rata-rata curah hujan bulanan berbeda pada masingmasing ketinggian. Dari rata-rata curah hujan bulanan selama 20 tahun (1981-200), Desa Besakih (900 m dpl.) memiliki bulan basah 12 bulan dengan hujan minimum pada bulan Agustus sebesar 80 mm. bulan-1, Singarata (520 m dpl.) memiliki bulan basah 12 bulan dengan minimum pada bulan Juli sebesar 88 mm. bulan-1 dan Duda (543 m dpl.) memiliki 12 bulan basah dengan minimum pada bulan Agustus sebesar 124 mm bulan -1. Apabila menggunakan kriteria Pramudya (1998) (bulan basah adalah >75 mm. bulan -1 dan bulan kering <75 mm. bulan-1) dan Oldeman (bulan basah adalah >80 mm. bulan-1 dan bulan kering <80 mm. bulan-1) maka semua wilayah penelitian termasuk memiliki bulan basah sepanjang tahun. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Ketinggian tempat hanya berpengaruh nyata terhadap berat buah total pohon -1, jumlah buah total pohon-1, jumlah tandan buah pohon-1, kadar K-tersedia dalam tanah dan kadar air tanah. berat buah total tertinggi (28,655 kg pohon-1 dan 26,413 kg pohon-1) masingmasing dihasilkan pada ketinggian 501-600 m dpl. dan 601-700 m dpl. Pada ketinggian tersebut dihasilkan jumlah buah total dan jumlah tandan buah pohon-1 yang paling tinggi. 2. Komponen sifat kimia tanah pada masing-masing ketinggian tempat berbeda tidak nyata, kecuali kadar N-total dan kadar K-tersedia dalam tanah. Kadar C-organik (2,03%) dan Ptersedia (18,29 ppm) dalam tanah tergolong sedang. Kadar N-total dalam tanah tertinggi (0,15%) pada ketinggian 701-800 m dpl. adalah tergolong rendah. Kadar K-tersedia dalam tanah pada ketinggian 400-900 m dpl. adalah tergolong tinggi (260,55-326,22 ppm). Rata-rata pH tanah adalah 6,38 (agak masam). 3. Komponen sifat fisik tanah pada masing-masing ketinggian tempat berbeda tidak nyata, kecuali kadar air tanah. Kadar air tanah pada ketinggian 400-700 m dpl. adalah lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air pada tempat >700 m dpl. Tekstur tanah tergolong lempung berpasir (52,72% pasir, 32,55% debu dan 14,74% liat). Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan: 1. Perlu dilakukan penelitian untuk mempelajari pengaruh lereng terhadap produktivitas salak di tiga wilayah penelitian tersebut. 2. Perlu dilakukan penelitian pemupukan, terutama pupuk N dan K terhadap produksi salak mengingat petani di wilayah penelitian tersebut tidak pernah melakukan pemupukan pada tanaman salaknya. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1997. Buah-buahan, Proyek Sumberdaya Ekonomi, Lembaga Biologi Nasional LIPI Bogor. Yogyakarta: Balai Pustaka. 24 hal. Anonim. 1996. Laporan Survei Potensi Wilayah Pengembangan Komoditi Salak di Bali, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Daerah Tingkat I Bali. 35. hal. Anonim. 1996. Laporan Laporan Pertanian Tanaman Pangan Tahun 1996, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem. Gaspersz, V. 1995. Teknik Analisa dalam Penelitian Percobaan 1 dan 2. Bandung: Transito. Nur-Tjahyadi. 1998. Bertanam Salak. Yogyakarta: Kanisius. 37. hal.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
303
Seminar Nasional 2005 Suter, I.K.1988. Telaah Sifat Buah Salak asal Bali sebagai dasar pembinaan mutu hasil (Desertasi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sunarso, Budi. 2000. Kesesuaian wilayah Terhadap Produktivitas Salak di Karangasem Bali (skripsi) S1 jurusan geografi FMIPA Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia. Tohir,Kaslan, A. 1981. Pedoman Bercocok Tanam Buah-buahan. Jakarta: Pradnya Paramita. 46. hal.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
304
Seminar Nasional 2005 ALTERNATIF TEKNOLOGI BUDIDAYA PISANG UNTUK PEMANFAATAN LAHAN ALANG-ALANG B.Tri Ratna E, K. Kumoro, M. Rahayu dan Awaludin H. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB ABSTRAK Nusa Tenggara Barat memiliki potensi lahan kering seluas ±1,7 juta hektar. Lahan kering ini banyak didominasi oleh alang-alang (Imperata cylindrical L. Raeuschel) dan diperkirakan luasannya akan terus bertambah setiap tahun. Masalah yang dihadapi pada lahan alang-alang adalah bagaimana cara membuka dan mengelolanya sehingga dapat menjadi lahan pertanian yang produktif secara berkesinambungan dan berwawasan lingkungan. Pisang merupakan salah satu komoditi alternatif yang dapat dikembangkan karena kemampuan adaptasinya baik dan peluang pasar tinggi. Untuk optimalisasi lahan dan pendapatan, usahatani pisang dikombinasikan dengan tanaman sela kacang panjang. Berdasarkan hal tersebut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB melakukan pengkajian pada lahan alang-alang milik petani seluas 10 ha di desa Labu Pandan, kecamatan Sambelia kabupaten Lombok Timur NTB tahun 2003 s/d 2004. Pendekatan yang digunakan adalah with dan withou, yaitu membandingkan antara teknologi anjuran dengan cara petani. Hasil menunjukkan bahwa teknologi anjuran dapat meningkatan produktivitas (bobot buah/tandan) pada ketiga jenis pisang (susu, ketip, raja) sebesar 33 – 59%. Terjadi peningkatan harga jual dari Rp. 7.000/tandan menjadi Rp. 25.000/tandan. Teknologi anjuran mampu meningkatan keuntungan dari Rp. 200.000/ha/tahun menjadi Rp.16.300.000/ha/tahun. Dari aspek ekonomis teknologi anjuran BPTP NTB dapat diterapkan, dan layak diusahakan sesuai analisis B/C ratio yaitu 3,21. Kata kunci : Lahan alang-alang, komoditi pisang, tanaman sela
PENDAHULUAN Nusa Tenggara Barat memiliki lahan kering seluas ±1,7 juta hektar. Pada umumnya lahan kering tersebut didominasi oleh alang alang. Luas lahan alang-alang (Imperata cylindrical L. Raeuschel) cenderung meningkat setiap tahunnnya. Pertambahan lahan alangalang merupakan akibat dari pengelolaan sistem usahatani yang tidak tepat. Seperti aktivitas manusia dengan sistem ladang berpindah, penebangan hutan secara liar dan sebagainya. Potensi sumberdaya alam yang terbatas sering merupakan kendala dalam proses pembangunan. Proses kerusakan sumberdaya dan lingkungan hidup terutama terjadi pada daerah yang mengalami pertambahan penduduk yang cepat dan penyebarannya secara tata ruang tidak seimbang terhadap jumlah dan penyebaran sumberdaya alam setempat serta daya dukung lingkungan hidup yang ada. Masalah yang dihadapi pada lahan alang–alang adalah cara membuka dan mengelolanya sehingga menjadi lahan pertanian produktif secara berkesinambungan. Alangalang merupakan salah satu gulma terpenting di Indonesia dan termasuk sepuluh gulma paling bermasalah di Dunia (Soeryani, 1970; Holm et al., 1977). Gulma ini dapat tumbuh dan berkembang baik melalui biji maupun rimpang hampir pada semua kondisi lahan sampai ketinggian 3000 m dpl dengan curah hujan 500-5000 mm/tahun (Kostermans et al., 1987; Utomo dan Tjitrosudirdjo, 1989). Lahan alang-alang tidak produktif karena hanya memberikan manfaat minimal berupa biomassa penutup tanah sebagai pencegah erosi. Namun dengan masukan teknologi dan perbaikan sosial ekonomi masyarakat, potensi lahan ini dapat diperbaiki dan ditingkatkan menjadi lebih produktif melalui alternatif usahatani Pisang yang dikombinasikan dengan tanaman sela. Pisang merupakan komoditi unggulan Nasional maupun unggulan daerah NTB karena memiliki daya adaptasi yang cukup baik terhadap kekeringan serta peluang pasar masih sangat terbuka, baik dalam maupun luar negeri. Permintaan pisang dalam negeri pada tahun 2000 mencapai 3.372.266 ton (Dirjen. Bina Produksi Hortikultura, 2001), dengan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
305
Seminar Nasional 2005 jumlah eksport mencapai 2.222 ton (BPS, 2000). Sementra produksi pisang NTB tahun 2003 baru mencapai 39.394 ton dengan produksi terbanyak dihasilkan oleh kabupaten Lombok Timur sebesar 21.891 ton (BPS, 2003). Fakta diatas menunjukkan bahwa peluang peningkatan produksi baik kuantitas, kualitas maupun kontinyuitas perlu didukung melalui pengembangan komoditi tersebut. Daerah pengembangan dapat diarahkan ke wilayah lahan kering, disamping untuk peningkatan produktivitas lahan juga untuk peningkatan kesejahteraan rakyat miskin yang umumnya berdomisili di wilayah tersebut. Oleh karena itu alternatif teknologi yang dapat dikembangkan adalah sistem usahatani pisang spesifik lokasi lahan kering yang dikombinasikan dengan tanaman sela kacang panjang. Tujuan pengkajian adalah meningkatkan produktivitas lahan alang-alang dengan teknologi sistem usahatani pisang dengan tanaman sela kacang panjang yang menguntungkan secara ekonomis dan dapat diterapkan petani. Hasil pengkajian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan lahan alang-alang serta pengelolaan usahatani pisang dalam usaha peningkatan produktivitas lahan dan pendapatan petani lahan kering. BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di lahan kering desa Labu Pandan, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur NTB. Pengkajian dilaksanakan tahun 2003 sampai dengan 2004. Pengkajian menggunakan pendekatan with dan without, dengan membandingkan teknologi anjuran dengan cara petani (Tabel 1.). Teknologi anjuran melibatkan 10 orang petani kooperator dengan luasan 10 ha. Sebelum dilakukan pegkajian, terlebih dahulu dilakukan analisis kesuburan tanah. Tabel 1. Susunan alternatif teknologi budidaya pisang dengan tanaman sela di lahan kering Kabuapten Lombok Timur tahun 2003 s/d 2004 Komponen Teknologi I. BIBIT 1. Jenis pisang (yang ditanam dalam satu kebun) 2. Tinggi bibit 3. Asal bibit 4. Jumlah bibit per ha (bibit) II. BUDIDAYA 1. Olah tanah
Teknologi Anjuran - Pisang susu - Pisang ketip - Pisang raja Menggunakan tinggi : 100 – 110 cm Anakan 625 ph
- Pisang Ketip - Pisang kapal - Pisang cemara Tinggi bibit beragam Anakan Lebih 1000 ph
Tanpa olah tanah (TOT) menggunakan herbisida glifosat dosis 5 – 6 ltr/ha
Menggunakan herbisida 10 ltr/ha dilanjutkan dengan pengolahan tanah sempurna Tidak melalui tahapan pembuatan lubang tanam Tidak teratur, populasi rapat Tidak menggunakan pupuk organik Musim kemarau Tidak menggunakan pupuk anorganik Tidak menggunakan pupuk anorganik Kadang-kadang
2.
Lubang tanam
Ukuran 50 x 50 x 50 cm
3. 4.
Jarak tanam Pupuk organik
4mx4m Pupuk kandang 15-20 kg/lubang
5. 6.
Waktu tanam Pemupukan I (anorganik) (ZA + SP 36 + KCl) Pemupukan II (anorganik) (ZA + SP 36 + KCl) Sanitasi kebun
Awal musim hujan 1 bulan setelah tanam: 400 gram + 400 gram + 300 gram per rumpun/ aplikasi 8 bulan setalah tanam : 400 gram + 400 gram + 300 gram per rumpun/aplikasi Pembersihahan daun-daun kering dan gulma sekitar tanaman 1 kali sebulan atau tergantung kondisi kebun. Dipelihara 2 – 3 anakan per rumpun Umur buah tua Kacang panjang diantara barisan pisang, jarak tanam 80 x 40 cm
7. 8.
9. Penjarangan anakan 10. Panen 11. Tanaman sela
Cara petani
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
Tidak dilakukan Umur buah muda Tidak ada
306
Seminar Nasional 2005 Parameter yang diamati berupa pertumbuhan tanaman yaitu tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun dan kompoen hasil. Data ekomomi meliputi produksi, biaya produksi yang dikeluarkan sampai panen dan penerimaan hasil produksi. Data agronomis dianalisis dengan sidik ragam. Data ekomonis dianalisis dengan masukan keluaran (input-output), sedangkan data sosial dianalisis secara sederana dengan tabulasi. Data yang terkumpul ditabulasi, selanjutnya dianalisis dengan uji t, dan untuk mengetahui kelayakan perubahan teknologi dalam usahatani pisang dianalisis dengan menggunakan Marginal B/C ratio (MBCR). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Pengkajian Desa Labu Pandan kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur terletak pada ketinggian 0-500 m dpl. Topografi lahan datar dan dibeberapa tempat bergelombang dan berbukit dengan kisaran untuk daerah yang tergolong datar 8-14%, daerah bergelombang 11-39% dan berbukit 60%. Wilayah ini termasuk dalam tipe iklim D3, dengan bulan basah 3-4 bulan dan bulan kering 8-9 bulan. Hujan mulai turun pada bulan Nopember-Desember dan berakhir umumnya pada bulan Maret-April. Intensitas hujan paling tinggi pada bulan Januari dan Pebruari. Untuk kondisi tanah termasuk kedalam jenis tanah; grumusol, regosol, dan aluvial dengan pH tanah rata-rata 6-8. Mata pencaharian penduduk sebagian besar dari sektor pertanian. Komoditi hortikultura yang diusahakan adalah pisang, bawang merah, cabe, semangka, mangga, dan nangka. Khusus untuk komoditi pisang produktivitas baru mencapai 0,25 kwt/ha yang berarti produktivitas masih sangat rendah. Pada umumnya kebun pisang yang dimiliki petani terdiri dari beberapa jenis pisang yang memiliki harga jual relatif rendah seperti pisang kapal, pisang cemara dan pisang ketip. Untuk itu perlu penanaman jenis pisang yang memiliki harga jual relatif tinggi dan stabil dalam suatu kebun, dalam upaya peningkatan pendapatan petani dan antisipasi penurunan harga salah satu jenis. Jenis pisang yang memiliki harga jual cukup tinggi adalah pisang susu, ketip dan raja. Pengaturan populasi dalam satu kebun adalah 35% untuk pisang susu, 35% untuk pisang Raja dan 30% untuk pisang ketip. Ketiga jenis pisang ini memiliki umur panen yang berbeda dengan tujuan agar panen dapat dilakukan secara bertahap sehingga kontinyuitas hasil dapat tercapai. Umur panen pisang susu 305 hari, pisang ketip 310 hari dan pisang raja 330 hari. Diantara pertanaman pisang ditanam tanaman sela berupa tanaman kacang panjang. Tanaman sela bertujuan untuk peningkatan produktivitas lahan juga sebagai sumber tambahan pendapatan sebelum tanaman pisang berproduksi. Dalam satu ha tanaman kacang panjang sekitar 10 are. Keragaman Agronomis Hasil analisis keragaan agronomi yang meliputi ; tinggi tanaman, lingkar batang, jumlah daun, bobot buah/tandan, jumlah sisir/tandan, jumlah buah/sisir, panjang buah, dan lingkar buah di sajikan dalam Tabel 2.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
307
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Keragaan agronomis tanaman pada kegiatan pengkajian Pisang di desa Labu Pandan Kecamatan Sambelia, Lombok Timur 2003 s/d 2004. No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Komponen pertumbuhan, hasil dan harga Tinggi tanaman (cm) - Pisang Susu - Pisang Ketip - Pisang Raja Lingkar Batang (cm) - Pisang Susu - Pisang Ketip - Pisang Raja Jumlah daun (helai) - Pisang Susu - Pisang Ketip - Pisang Raja Bobot buah/tandan (kg) - Pisang Susu - Pisang Ketip - Pisang Raja Jumlah sisir/tandan (sisir) - Pisang Susu - Pisang Ketip - Pisang Raja Jumlah buah/sisir (buah) - Pisang Susu - Pisang Ketip - Pisang Raja Panjang buah (cm) - Pisang Susu - Pisang Ketip - Pisang Raja Lingkar buah (cm) - Pisang Susu - Pisang Ketip - Pisang Raja
Teknologi Teknlogi Anjuran
Cara Petani
256 213 267
301 249 351
65 46 66
40 28 41
10 – 11 8 – 11 11 – 12
9 – 11 7 – 10 10 – 12
25-30 16-17 27-35
18-20 12-13 20-22
8 -10 8–9 8-10
7-8 7-8 7-8
15-18 12-18 15-18
12-14 10-11 11-15
15-16 13.5-15 18-20
13-14,5 10-12,5 16.5-18
15-16 13-15,5 15-17
13-14 11-13 13-15
Sumber : Data Primer (diolah)
Tabel 2. menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada ketiga jenis pisang yang menggunakan teknologi anjuran (kooperator) mengalami pertumbuhan tanaman yang berbeda dibanding cara petani (non kooperator). Tinggi tanaman pada teknologi anjuran umumnya lebih rendah (pisang susu 256 cm, pisang ketip 213 cm, pisang raja 267 cm) dibanding tanaman pisang yang dihasilkan dengan cara petani (pisang susu 301 cm, pisang ketip 249 cm, pisang raja 351 cm). Tanaman pisang (cara petani) cenderung lebih tinggi karena populasi tanaman lebih rapat (populasi lebih 1.000 batang), sehingga canopy saling menutupi. Canopy yang saling menutupi menyebabkan terhalangnya sinar matahari masuk kedalam lingkungan tanaman sehingga memacu tanaman untuk tumbuh lebih tinggi. Sedangkan anjuran (kooperator) tinggi tanaman relatif lebih rendah karena populasi lebih sedikit (625 batang) sehingga sinar matahari dapat masuk ke lingkungan tanaman dengan lebih baik. Hal ini sesuai dengan Robinson et al, 1994 yang menyatakan bahwa populasi tanaman yang lebih sedikit (2.222 tanaman per hektar) akan memberikan pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan populasi tanaman yang lebih banyak/rapat (4.444 tanamn per hektar), kanena canopy tanaman tidak saling menutupi untuk memperleh sinar matahari. Untuk perkembangan lingkar batang, teknologi anjuran umumnya memiliki lingkar batang yang lebih besar (pisang susu 65 cm, pisang ketip 46 cm, pisang raja 66 cm) dibanding cara petani (pisang susu 40 cm, pisang ketip 28 cm, pisang raja 41 cm) lebih kurus. Hal ini disebabakan teknologi anjuran menggunakan pupuk organik maupun anorganik N (ZA), P (SP36) dan K (KCl)). Unsur hara yang terkandung dalam pupuk
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
308
Seminar Nasional 2005 tersebut memacu pertumbuhan vegetatif tanaman terutama akar dan batang. Pertumbuhan lingkar batang yang lebih besar, membuat pisang lebih kokoh dan kuat sehingga tidak mudah rebah pada saat angin kencang. Menurut Robinson, 1996, pemberian pupuk P(fosfor) akan merangsang pembentukan dan pertumbuhan akar tanaman. Akar yang tumbuh baik akan menyerap unsur hara yang dibutuhkan tanamn dalam jumlah yang banyak, sehigga tanaman dapat berdiri kokoh. Jumlah helaian daun pada teknologi anjuran cenderung lebih banyak (pisang susu 10-11 helai, pisang ketip 8-11 helai, pisang raja 11-12 helai ) dibanding cara petani (pisang susu 9-11 helai, pisang ketip 7-10 helai, pisang raja 10-12 helai ), karena batang lebih kokoh sehingga akar tanaman memiliki kemampuan menyerap air dan unsur hara lebih baik yang didukung oleh penyinaran yang optimal, membantu memperlanjar proses fotosintesis yang akan merangsang pembentukan organ tanaman lain, sehingga tanaman tumbuh lebih optimal. Selain itu, karena pengaruh pemberian pupuk terutama pupuk K (Kalium). Hal ini dijelaskan oleh Robinson (1996), bahwa Pupuk K berpengaruh terhadap pembentukan daun baik jumlah maupun ukuran daun. Faktor tersebut (jumlah dan ukuran) sangat berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan. Untuk parameter yang terdiri dari bobot buah/tandan, jumlah sisir/tandan, jumlah buah/sisir dan ujuran buah yang terdiri dari (panjang buah dan diahmeter buah) menunjukkan adanya perbedaan antara Teknologi Anjuran dengan Cara Petani. Teknologi Anjuran cenderung lebih baik dibanding Cara Petani karena penggunaan populasi yang optimal, penambahan unsur hara berupa pemberian pupuk organik dan an-organik yang mengandung unsur N,P dan K. Dimana Unsur-unsur tersebut sangat dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan vegetatif dan generatifnya. Sesuai dengan Robinson (1996), menjelaskan bahwa pisang menghendaki unsur hara mineral dalam jumlah yang cukup untuk dapat produksi tinggi dengan kualitas ekspor. Tabel 3. Perbedaan Harga Pisang, pembibitan pisang dan tanaman sela antara Teknologi Anjuran dengan Cara Petani, di desa Labu pandan, Kecamatan Sabellia, Lombok Timur, NTB tahun 2003 s/d 2004 No. 1.
2. 3.
Harga beberapa jenis pisang, pembibitan dan tanaman sela Harga jual Pisang/tandan (Rp.) - Pisang Susu - Pisang Ketip - Pisang Raja Bibit Pisang yang dihasilkan (Anakan) Tanaman sela kacang panjang - Produksi (ikat)
Teknologi Teknlogi Anjuran
Cara Petani
25.000 – 30.000 15.000 – 20.000 25.000 – 30.000 2.500
12.500 - 15.000 10.000 - 12.500 12.500 - 15.000 500
1.000
-
Sumber : Data Primer (diolah)
Adanya perbedaan agronomis antara Teknologi Anjuran dengan Cara Petani menyebabkan terjadinya perbedaan harga. Terutama komponen yang menentukan adalah Berat atau bobot/tandan (kg), jumlah sisir/tandan, jumlah buah/sisir, panjang dan lingkar buah. Semua komponen tersebut juga merupakan penentu kualitas buah. Semakin tinggi nilai komponen tersebut diatas maka kualitas buah semakin baik. Buah pisang yang dihasilkan dari Teknologi Anjuran relatif lebih tinggi pada ketiga jenis pisang (pisang susu Rp.25.000 - Rp.30.000, pisang ketip Rp. 25.000 - Rp.30.000 , pisang raja Rp. 15.000 - Rp. 20.000) dibanding cara petani (pisang susu Rp. 12.500 Rp.15.000, pisang ketip Rp. 10.000 - Rp. 12.500, pisang raja Rp. 12.500 - Rp. 15.000). Disebabkan Teknologi Anjuran memiliki komponen hasil yang lebih tinggi dibanding Cara Petani. Teknologi Anjuran menghasilkan bibit tanaman pisang sebanyak 2.500 pohon/ha yang diperoleh dari anakan. Sementara Cara Petani hanya mencapai 500 pohon/ha, bahkan kurang. Disebabakan karena perawatan/pengelolaan kebun Cara Petani masih sangat
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
309
Seminar Nasional 2005 sederhana/tradisional. Disamping itu dengan Cara petani tanaman tidak memperoleh tambahan unsur hara yang berasal dari pupuk organik maupun an-organik, sehingga pertumbuhan anakan labat bahkan cenderung kerdil. Untuk tanaman sela Teknologi Anjuran menerapkan tanaman sela kacang panjang karena sesuai dengan kondisi agroklimat setempat dan harga jual juga relatif tinggi. Hasil kacang panjang yang dapat dicapai adalah 1.000 ikat. Hasil ini dapat digunakan sebagai tambahan penghasilan selama buah pisang belum berproduksi. Sementara Cara Petani, lahan tidak ditanami tanaman sela, sehingga lahan tidak termanfaatkan optimal. Untuk itu petani tidak memperoleh sumber tambahan penghasilan lainnya. Keragaan Ekonomi Untuk dapat mengetahui kelayakan usahatani pisang terhadap perubahan teknologi dapat dilihat pada tabel 4. Analisis Usahatani Perubahan Teknologi A. Teknologi sebelumnya (Cara Petani) Bibit (1.000 batang @ Rp. 1.000) Herbisida (10 ltr @ Rp. 43.500) Biaya Tenaga Kerja (1 ha) Produksi Pisang/ha/thn (800 tandan @ Rp. 7.000) Produksi bibit (anakan) 500 bibit @ Rp. 1.500
: : : : :
1.000.000 435.000 680.000 5.600.000 750.000
: : : : : : : : : : :
625.000 650.000 650.000 675.000 1.250.000 217.500 632.500 3.750.000 150.000 225.000 2.000.000
B. Teknologi Anjuran (BPTP) Bibit (625 batang @ Rp. 1.000) Pupuk ZA ( 500 kg @ Rp. 1.300) Pupuk SP 36 (500 kg @ Rp. 1.300) Pupuk KCl (375 kg @ Rp. 1.800) Pupuk kandang (12.500 kg @ Rp.100) Herbisida (5 ltr @ Rp.43.500) Biaya Tenaga Kerja (1 ha) Produksi Pisang/ha/thn (625 tandan @ Rp.25.000) Benih + pupuk + Obat tan.sela kac.panjang (10 are) Tenaga Kerja tan.sela kacang panjang (10 are) Produksi tan.sela kac.panjang (1.000 ikat @ Rp. 2.000) Keterangan : -
-
-
Jumlah bibit yang digunakan pada Teknologi Anjuran lebih sedikit karena jarak tanam yang digunakan lebih lebar, sedangkan Cara Petani tidak menggunakan jarak tanam sehingga populasi tanaman lebih banyak. Penggunaan herbisida pada Teknologi Anjuran lebih sedikit, karena cara dan waktu penyemprotan lebih tepat. Biaya tenaga kerja Cara Petani lebih besar dari Teknologi Anjuran karena persiapan lahan dilakukan 2 kali yaitu pertama penyemprotan lahan dengan herbisida kemudian dilanjutkan dengan pengolahan tanah sempurna sehingga biaya yang dikeluarkan 2 kali lipat, karena umumnya biaya tenaga kerja terbanyak pada kegiatan persiapan lahan/ pengolahan tanah, sedangkan Teknologi Anjuran persiapan lahan cukup dengan penyemprotan herbisida saja atau menggunakan sistem TOT (tanpa olah tanah). Produksi bibit pisang pada teknologi anjuran relatif lebih banyak karena menggunan pupuk (organik dan an-oganik) serta jarak tanam yang agak renggang, sehingga merangsang pertumbuhan anakan lebih cepat dan lebih banyak, sedangkan cara petani
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
310
Seminar Nasional 2005 tanaman kurang dipelihara, tanpa ada tambahan pupuk (organik dan an-organik) sehingga jumlah anakan yang keluar per rumpun juga terbatas. Harga pisang per tandan pada teknologi anjuran lebih tinggi, rata-rata Rp. 25.000 karena berat tandan(20-35 kg) dan jumlah sisir (8-10 sisir) jauh lebih banyak dibanding cara petani hanya mencapai berat tandan (13-19 kg) dengan jumlah sisir (6-7 sisir).
-
Tabel 4. Analisis Kelayakan Perubahan Teknologi Pisang dan tanaman sela kacang panjang di desa Labu Pandan, Sambelia, Lombok Timur, tahun 2003s/d 2004. Loses (Kerugian) Tambahan Biaya Pupuk ZA Pupuk SP 36 Pupuk KCl Pupuk Kandang Bibit + pupuk + Obat kac.panjang Tenaga kerja tan.sela kac. Panjang
Gains (Keuntungan)
Penghematan Biaya Bibit : Herbisida : Tenaga Kerja : Tambahan penerimaa Produksi pisang : Produksi bibit (anakan) : Produksi tan.sela kac.panjang : Total Loses 3.600.000 Total Gains Tambahan keuntungan = Rp. 15.665.000 – Rp. 3.600.000 = 12.065.000 Marginal B/C = 15.665.000/3.600.000 = 4,35 : 650.000 : 650.000 : 675.000 : 1.250.000 : 150.000 : 225.000
375.000 217.500 47.500 10.025.000 3.000.000 2.000.000 15.665.000
Dari tabel 4, menunjukkan bahwa perubahan budidaya pisang dari cara petani (tradisional) menjadi Teknologi Anjuran menghasilkan tambahan pendapatan sebesar Rp.12.065.000/ha/tahun, dengan Marginal B/C = 4,35, yang berarti setiap penambahan biaya Rp.1,00, akibat perubahan teknologi akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 4,34. Ini menunjukkan bahwa secara finansial Teknologi Anjuran menguntungkan dengan tingkat keuntungan sekitar 435% dari total biaya yang dicurahkan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Teknologi anjuran mampu meningkatkan produktivitas pisang (bobot buah/tandan) pada ketiga jenis pisang sebesar 33 – 59% . 2. Teknologi anjuran mampu meningkatkan kualitas pada tiga jenis pisang, sehingga mampu meningkatkan harga jual pisang rata-rata Rp. 25.000/tandan dibanding cara petani rata-rata hanya Rp. 7.000/tandan. 3. Secara ekonomi Teknologi Anjuran menguntungkan dan layak untuk diusahakan, dengan Marginal B/C = 4,35. Saran Usahatani pisang dengan Teknologi Anjuran menguntungkan dan layak diusahakan, untuk itu perlu dikembangkan dalam skala yang lebih luas, agar dapat memenuhi permintaan pasar dari segi kuantitas, kualitas dan kontinyuitas. Daerah pengembangan pisang untuk beberapa kabupaten di pulau Lombok disajikan pada tabel 5. Tabel 5. Daerah Pengembangan Pisang di Pulau Lombok No. 1.
Kabupaten Lombok Timur
2.
Lombok Tengah Lombok Barat
3.
Kecamatan (Pengembangan) Keruak, Sakra, Sakra Timur, Sakra Barat, Selong, Sukamulia, Terara, Masbagik (sebagian), Montonggading (sebagian), Sikur (sebagian), Pringgesela (sebagian kecil), Labuan Haji, Wanasaba (sebagian), Suela (sebagian), Pringgabaya (sebagian), Batukliang Utara, Pringgerata, Batukliang, Kopang, Praya (sebagian), Praya Timur (sebagian), Janapria Kayangan, Gunungsari, Gangga, Kuripan, Sekotong, Kediri, Lembar, Pemenang, Lingsar
Sumber : Peta Agro Ekological Zona (AE Z) BPTP NTB
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
311
Seminar Nasional 2005 DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2000. Data Ekspor – Import tahun 1996 s/d 2000. Badan Pusat Statistik (BPS). Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2003. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Balai Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat. Dirjen. Bina Produksi Hortikultura. 2001. Produksi Tanaman Sayuran, Buah-buahan, hias dan Obat di Idonesia Tahun 2000 (Angka Tetap). Jakarta. Holm,R.G.,D.L. Plucknett, J.V. Pancho, and J.L. Herberger. 1977. The World Worst Weeds; Distribution and Biology. University of Hawaii Press. Honolulu. Kostermans,A.J.G.H., S.Wirjahardja, and R.J.Dekker, 1987. The Weed : Description, Ecology, and Control.p.24-565. In M.Soerjani et al. (eds). Weed of rice in Indonesia, Balai Pustaka Jakarta Robinson ,J.C. 1996. Bananas and Plantains. Crop Production Science in Horticulture 5. Institut for Tropical and Subtropical Crops, South Africa. CAB.Internasional. 238 p. Soeryani,M. 1970. Alang-alang (Imperata cylindrica (L).Beauv), pattern of growth as related to its problem and control. Biotrop Bull. No. 1. Utomo,I.H. and S.Tjitrosoedirdjo. 1989. Recent weed management practices in Indonesia. A country Report. Biotrop. 1989 ; 53 – 60.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
312
Seminar Nasional 2005 PROSPEK PENGELOLAAN LAHAN AGROFORESTRY BERBASIS MANGGIS DI KABUPATEN LOMBOK BARAT Muji Rahayu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Agroforestry bisa dibilang ilmu baru meskipun kenyataannya sudah lama dikenal dan dipraktekkan petani. Pada perkembangannya pengelolaan lahan system agroforestry tidak semata-mata untuk tujuan konservasi lahan, air dan kebutuhan subsisten petani di sekitar hutan tetapi juga berorientasi ekonomi skala semi komersial bahkan komersial. Salah satu bentuk usahatani yang dianalisis pada tulisan ini adalah “Pengelolaan Lahan Sistem Agroforestry Berbasis Manggis di Kabupaten Lombok Barat”. Tulisan ini merupakan review beberapa hasil penelitian/pengkajian yang mencakup aspek: budidaya, lingkungan, kesesuaian lahan, prospek pasar dan sosial masyarakat. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa pengelolaan lahan sistem agroforestry berbasis manggis dapat memberikan pendapatan sebesar Rp,- 19.935.000 /hektar/tahun dan memberikan pendapatan sepanjang tahun. Penataan agroforestry berbasis buah-buahan (manggis) juga menghasilkan seresah dipermukaan tanah cukup besar yaitu sebesar 5,41 ton/ha. Hal ini tidak berbeda jauh dengan kondisi hutan alami yang menghasilkan seresah sebesar 6,03 ton/ha. Dengan demikian agroforestry berbasis manggis menjadi alternatif pilihan pengembangan lahan-lahan disekitar hutan karena dapat berperan tidak saja sebagai konservasi tetapi juga mempunyai peran dalam peningkatan pendapatan petani Kata kunci : agroforestry, manggis, lingkungan dan ekonomi.
LATAR BELAKANG Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal pertanian dan jumlah penduduk. Satu system pengelolaan lahan model agroforestry ditawarkan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat adanya alih-guna lahan sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan dan ekonomi masyarakat. Agroforestry, sebagai bentuk suatu cabang ilmu pengetahuan baru dibidang pertanian dan kehutanan, berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan system agroforestry yang telah dipraktekkan petani sejak dulu kala. Secara sederhana agroforestry berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek). Dalam implementasinya agroforestry terdiri dari berbagai bentuk. Berkaitan dengan potensi pasar buah-buahan khususnya untuk buah manggis maka wilayah Kabupaten Lombok Barat berpotensi besar untuk pengembangannya. Sebagian wilayah Lombok Barat khususnya yang berada di seputar sabuk Gunung Rinjani memiliki iklim yang sesuai untuk pertumbuhan manggis. Sampai saat ini sebagian besar manggis yang diperdagangkan dalam negeri maupun ekspor berasal dari ’hutan manggis’ maupun kebun campuran (agroforestry). Tanaman manggis yang berupa tanaman tahunan dapat dikombinasikan dengan tanaman tahunan (tegakan) lainnya serta tanaman semusim dan pakan ternak untuk mendukung usaha ternak petani. Model agroforestry dapat dikembangkan pada kebun milik petani ataupun lahan hutan yang dikelola oleh masyarakat di kawasan pinggiran hutan (Hutan Kemasyarakatan/HKm). MANFAAT AGROFORESTRY BERBASIS MANGGIS Agroforestry diharapkan dapat memecahkan berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kesalahan penggunaan lahan. Kesalahan penggunaan lahan ini timbul karena terutama disebabkan oleh desakan kebutuhan lahan garapan yang semakin terbatas
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
313
Seminar Nasional 2005 akibat ledakan pertambahan penduduk. Secara konsepsional tiga manfaat dalam agroforestry yaitu: (1) kombinasi tanaman yamg terdiri dari 2 strata atau lebih dapat menutup tanah dan mengurangi erosi serta pemanfaatan sinar matahari lebih maksimal; (2) memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan; dan (3) dengan agroforestry didapatkan bentuk hutan yang serba guna. Realisasi pengembangan agroforestry sangatlah penting berhubung pada masa yang akan datang dengan perluasan industri menimbulkan permintaan sumberdaya air. Penanaman tanaman tahunan (tegakan) seperti manggis sifatnya investasi jangka panjang tetapi melihat manfaatnya yang dapat memberikan perlindungan dan keamanan seluruh sistem termasuk sub-sistem dibagian bawah maka tentunya hal ini menjadi alternatif pilihan. Oleh karenanya program agroforestry untuk tujuan pengawetan lahan yang optimal baik ditinjau oleh kemampuan petani maupum pemerintah untuk mencegah dari bahaya erosi dan rusaknya tata air harus dirancang secara cermat dengan didukung oleh penelitian yang mendasar. Tulisan tentang Potensi Pengelolaan Lahan Melaui Sistem Agriforestry Berbasis Manggis barangkali merupakan pilihan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Lombok Barat, karena orientasinya bukan saja untuk konservasi tetapi juga berorientasi ekonomi komersial. Hanya dalam masalah ini bagaimana kita dapat mendesain dan mengkombinasikan usaha mengingat waktu tunggu untuk produksi manggis sangat lama, mungkin bantuan 3 – 5 awal kegiatan masih diperlukan agar petani tidak mengalami kesulitan untuk memulainya. POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN KOMODITAS MANGGIS a. Luasan Potensial Pengembangan Manggis dapat tumbuh dengan baik pada lahan-lahan yang hanya mengandalkan air hujan asal pada kondisi lembab (Tabel 1). Sehingga manggis sangat cocok sebagai tanaman alternative untuk dikombinasikan dengan tanaman lainnya pada bentuk wanatani (agroforestry). Tanaman manggis sejak pembibitan sampai umur dua tahun membutuhkan naungan, sehingga dengan kombinasi tanaman lain seperti model agroforestry maka kebutuhan lingkungan khususnya naungan untuk meningkatkan laju pertumbuhan manggis dapat terpenuhi. Realisasi pertanaman di Pulau Lombok diperkirakan sekitar 10 % dari luasan lahan potensial yang ada. Jumlah tanaman diprediksi 92. 000 pohon dengan kondisi 50 % berupa tanaman produktif. Rata-rata produktivitas tanaman 60 kg/ph. Lahan potensial untuk pengembangan 29.892, 1 ha di Kab. Lombok Barat. Lahan potensial untuk pengembangan manggis di Kabupaten Lombok Barat tertera pada Gambar 1 .
Gambar 1. Peta Pewilayahan Tanaman Manggis di Kabupaten Lombok Barat (Skala 1 : 50.000)
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
314
Seminar Nasional 2005 Tabel 1. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Manggis Kelas kesesuaian lahan
Persyaratan penggunaan/ karakteristik lahan
S1
S2
S3
N
Temperatur (tc) Temperatur rerata ( o C )
20 – 23
23 – 30 18 – 20
30 – 40 15 – 18
> 40 < 15
Ketersediaan air (wa) Curah hujan (mm)
1.250 –1.750
1.750 – 2.000 1.000 – 1.250
2.000 – 2.500 750 –1.000
> 2.500 <750
Ketersediaan oksigen (oa) Drainase
Baik, sedang
Agak terhambat
Terhambat, agak cepat
Sangat terhambat, cepat
Halus, agak halus, sedang < 15 > 100
-
Agak kasar
Kasar
15 – 25 75 – 100
35 – 55 50 – 75
> 55 < 50
< 60 < 140
60 – 140 140 – 200
140 – 200 200 – 400
> 200 > 400
Saprik
Saprik, Hemik
Hemik, Fibrik
Febrik
> 16 > 35 5,0 – 6,0 > 1,2
< 16 20 - 35 4,5 – 5,0 6,0 – 7,5 0,8 – 1,2
< 4,5 > 8,0 < 0,8
<4
4–6
6–8
>8
< 15
15 – 20
20 – 25
> 25
> 125
100 – 125
60 – 100
< 60
<8 Sangat rendah
8 – 16 Rendah – sedang
16 – 30 Berat
> 30 Sangat berat
F0
F1
F2
> F2
<5 <5
5 – 15 5 – 15
15 – 40 15 – 25
>40 > 25
Media perakaran (rc) Tekstur Bahan kasar (%) Kedalaman tanah (cm) Gambut : Ketebalan (cm) Ketebalan (cm), jika ada sisipan bahan mineral/pengkayaan Kematangan Retensi hara (nr) KTK liat (omol) Kejenuhan basa (%) pH H2O C-organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (ds/m) Sodisitas (xn) Alkalinitas/ESP (%) Bahaya sulfidik (cm) Kedalaman sulfidik (cm) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Bahaya erosi Bahaya banjir (fh) Genangan Penyiapan lahan (lp) Batuan di permukaan (%) Singkapan batuan (%) Sumber : Djaenudin, D., dkk., 2003.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
315
Seminar Nasional 2005 Tabel 2. Sebaran Potensi Wilayah Pengembangan Manggis di Kab. Lombok Barat, 2001
Desa
Lokasi S
Zona
Kecamatan
1. Tanjung Barat 2. Duman 3. Sigerongan 4. Lembuak 5. Selat 6. Sedau 7. Sesaot 8. Pemenang Timur 9. Sokong 10. Tanjung 11. Jenggala 12. Bentek 13. Sekotong Barat 14. Pemenang Barat 15. Kekait 16. Dasan Geria 17. Duman 18. Segerongan 19. Lingsar 20. Lembuak 21. Selat 22. Lembuak 23. Sesaot 24. Sesaot 25. Batukumbung/Batumekar Total
Tanjung Narmada Narmada Narmada Narmada Narmada Narmada Tanjung Tanjung Tanjung Tanjung Tanjung Sekotong Tanjung Gunungsari Narmada Narmada Narmada Narmada Narmada Narmada Narmada Narmada Narmada Narmada
Luas (Ha)
II a y
Agak sesuai
3. 794,2
II a y i
5.220,2
1.582,4
1.762,4
III b 1 y III b 1 x III b 1 x
Sesuai Sesuai Sesuai
415, 1 2.581,3 29.892,1
Sumber : Wisnu dkk, 2001
b. Musim Panen Manggis Musim panen manggis di Pulau Lombok hampir bersamaan dengan daerah lain di Indonesia, yaitu berlangsung berlangsung pada bulan November - April dengan puncak produksi pada bulan Februari - Maret, hal ini berbeda dengan Thailand yang berlangsung pada bulan April - Juni. Negara yang menghasilkan manggis pada waktu yang sama dengan Indonesia adalah Australia, India, Ivory Cost dan Madagaskar (Tabel 3). Karena produksi negara-negara yang musim panennya berbarengan dengan Indonesia masih sedikit, persaingan ekspor manggis masih rendah, Namun demikian kebun-kebun manggis di Australia tidak lama lagi akan berproduksi, sehingga Australia akan menjadi saingan Indonesia dalam ekspor manggis. Tabel 3. Produktivitas dan Waktu Panen Manggis di Beberapa Negara, 1995 Negara Indonesia Thailand Malaysia India Srilangka Puerto Rico Philipina Myanmar Australia Ivory Cost Madagaskar Trinidad
Produktivitas (kg/pohon)
Bulan Panen 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
30 – 50 30 200 – 300 200 – 300 15 – 60 40 - 120
Sumber Yacob & Tindal. 1995 Mangosteen Cultivation. FAO
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
316
Seminar Nasional 2005 c. Potensi dan Pengembangan Pasar Manggis sebagai salah satu ”generic product” sampai saat ini dapat diterima dengan baik oleh pasar internasional. Permintaan pasar global terhadap manggis terus meningkat karena keunikan rasa buah dan sifat self - life dari manggis yang dapat mencapai 1 bulan. Eksport manggis terus meningkat, dari hanya 425 ton pada tahun 1991 menjadi 3,2 juta kg pada tahun 1995 dan dan terus meningkat sampai sekarang (Tabel.4). Tabel 4. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Buah Manggis Indonesia, 1991 - 2000 Tahun 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Ekspor Manggis Volume (kg) 452.030 1.905.052 1.047.040 2.687.408 3.283.847 1.981.421 1.808.221 147.231 4.743.493 7.182.098
Nilai (US$) 530.614 2.143.969 1.120.433 2.484.246 2.688.666 1.523.770 2.286.016 147.896 3.887.816 5.885.038
Persentase Kenaikan Volume (kg)
Nilai (US$)
26.43 321.44 - 45.02 156.67 22.19 - 39.66 - 8.74 - 91.86 3.212.80 51.41
- 11.46 304.05 - 47.74 121.72 8.23 - 43.33 50.02 - 93.53 2.528.75 51.27
Sumber: BPS, diolah,
Volume ekspor manggis segar di dunia sebanding dengan volume eksport manggis dari Thailand. ( Wagiono, Y. 2002 ). Melihat fenomena tersebut diharapkan pemerintah daerah setempat dapat memberikan perhatian terhadap pembangunan permanggisan di Pulau Lombok. Dengan demikian, nantinya manggis di Pulau Lombok dapat meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan petani dan secara tidak langsung memberikan kesempatan kerja terutama di pedesaan baik di tingkat on farm maupun off farm. Manggis dari Pulau Lombok sudah memasuki pangsar eksport sekitar 6 tahun yang lalu (Wiajaya, komunikasi pribadi). Kegiatan eksport tersebut melalui eksportir yang berada di Propinsi Bali. Volume eksport diperkirakan mencapai + 70 ton pada musim panen tahun 2002 yang lalu (Gede Wija, komunikasi pribadi). ASPEK LINGKUNGAN YANG DIHASILKAN DARI SINERGISME PADA KOMBINASI TANAMAN Pada system agroforestry dimana tanaman tahunan dan semusim diusahakan dalam lahan yang sama atau mixed cropping (manggis atau pohon lainnya dengan tanaman semusim ataupun dengan pakan ternak), maka setiap jenis tanaman dapat mengubah lingkungannya dengan caranya sendiri. Sebagai contoh, kombinasi berbagai jenis tanaman dengan berbagai strata atau ukuran kanopi yang berbeda akan mempunyai efek naungan terhadap tanaman lainnya. Sehingga beberapa tanaman yang jaraknya tidak terlalu dekat akan memperoleh keuntungan. Contohnya pada kelapa akan memberikan keuntungan naungan yang menguntungkan pada manggis pada awal pertumbuhan. Untuk memanfaatkan lahan seefisien mungkin diantara barisan manggis dapat ditanam tanaman rimpang yang kebutuhan akan cahaya dapat tercukupi oleh kebutuhan cahaya difuse atau tak langsung. Hasil penelitian Rahayu et al., (2002) pertumbuhan awal bibit manggis pada berbagai persentase naungan memberikan laju pertumbuhan yang berbeda (Tabel 5).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
317
Seminar Nasional 2005 Tabel 5. Pengaruh naungan terhadap laju pertumbuhan bibit manggis. Pertambahan Tinggi tanaman (cm)
Perlakuan Tanpa naungan Naungan 25 % Naungan 50 %, tanpa seresah Naungan 50 % + seresah
4,81 cm 5,25 cm 9,84 cm 11,67 cm
Pertambahan diameter batang (cm) 1,78 cm 2,71 cm 3,10 cm 3,16 cm
Sumber : Rahayu, et al., 2002.
Pada Tabel 5 juga terlihat bahwa pertumbuhan awal manggis membutuhkan naungan dan seresah yang cukup besar. Nampaknya seresah ini diperlukan bukan hanya untuk pertumbuhan manggis saja tetapi juga untuk berbagai komoditas lainnya, seresah yang melapuk dalam tanah menambah jumlah dan jenis biota dan mikroorganisme dalam tanah yang tentu akan menambah kandungan hara tanah sekaligus dapat memperbaiki struktur tanah. Struktur tanah yang baik akan memberikan pertumbuhan akar tanaman yang sempurna akibat kebutuhan air, oksigen dan energi lainnya tercukupi sehingga kombinasi antar tanaman memberkan efek komplemneter yang saling menguntungkan seperti tertera pada Gambar 2
Manggis
c
Tan. semusim
a a
c
Seresah e Gambar 2. Sistem Integrasi Komplementer dalam Pola Agroforestry dengan Baris Tanaman Manggis. Keterangan : a : Penataan tanaman manggis dan semusim yang berbeda strata tidak menimbulkan kompetisi yang negatif dalam mendapatkan cahaya matahari. b : Perbedaan perakaran pada tanaman tahunan dan semusim tidak menimbulkan kompetisi dalam memperebutkan kebutuhan hara dan air c : Daun dan ranting yang kering menghasilkan seresah yang sangat bermanfaat bagi lingkungan pertumbuan tanaman
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wasrin dalam Wasrin dalam Suprayogo, et al., (2003) menginformasikan pada berbagai pengelolaan lahan yaitu dari tanaman buah monokultur, tanaman perkebunan monokultur, agroforestryt dan penataan hutan alami menghasilkan produksi seresah yang berbeda. Nampaknya kombinasi berbagai tanaman pada penataan hutan dan agroforestry menghasilkan seresah total lebih besar, secara rinci kotribusi seresah dari tanaman non-pohon justru lebih besar dibanding pohonnya (Tabel 6).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
318
Seminar Nasional 2005 Tabel 6. Produksi Seresah pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan Berat kering seresah,(t/ha)
Sistem Penggunaan lahan Hutan Primer di Rantau Pandan Hutan bekas tebangan HTI Monokultur (sengon) Agroforest karet (20 th) Kebun durian dan manggis Kebun karet muda (5 th) Hutan alami
Pohon 0,98 2,88 3,09 0,74 2,25 1,56 2,96
Non-pohon 1,80 3,06 4,14 1,80 3,16 2,38 3,07
Total (t/ha) 2,78 5,94 7,23 2,54 5,41 3,94 6,03
Sumber : Wasrin dalam Suprayogo, et al., 2003.
STRUKTUR PENDAPATAN PETANI Kombinasi berbagai tanaman yang berada di kebun petani di Desa Batumekar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat merupakan salah satu contoh pengelolaan lahan dengan system agroforestry yang orientasi ekonominya lebih besar. Hal tersebut karena kombinasi tanaman yang diusahakan didominasi tanaman yang mempunyai nilai jual cukup tinggi. Meskipun demikian penataan model agroforestry tersebut tetap menganut konsep konservasi lahan dan air. Pendapatan dari kombinasi tanaman tersebut serta kontribusi pendapatan dari masing-masing komoditas tertera pada Tabel 7. Tabel 7. Waktu Panen, dan Produksi Serta Kontribusi Pendapatan dari Masing-Masing Komoditas pada Pengelolaan Lahan Berbasis Manggis di Desa Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Th. 2003. Tanaman 1. Manggis (94 ph) 2. Pisang (60 rumpun) 3. Pepaya (20 ph) 4. 4. Kelapa (20 ph) 5. 5. Durian ( 5 ph) 6. 6. Ubi jalar (+ 5 are) 7. Empon-empon (kencur dan jahe,8 are) Total nilai produksi Biaya saprodi dan tenaga kerja Pendapatan
Waktu Berbuah Desember-Maret Setiap saat (seminggu sekali) Setiap saat (seminggu sekali) Setiap saat (sebulan sekali) Desember-Pebruari Mei Agustus
7.332 kg 120 tandan
Harga/ satuan (Rp/kg) 2500 10.000
Nilai produksi (Rp) 18.305.000 1.200.000
300 buah
1000
300.000
1.30
600 butir
700
420.000
1,80
250 buah 150 kg 700 kg
3000 400 3000
750.000 60.000 2.100.000
3,70 0,20 9,00
Produksi/ha
Kontribusi Pendapatan (%) 79,00 5,00
23.135.000 3.200.000 19.935.000
Keterangan : Produksi tanaman kayu (timber) dan pakan ternak belum dihitung Sumber : Rahayu, et al., 2003.
Tabel 7 tersebut menggambarkan bahwa kontribusi pendapatan tertinggi (79,0 %) disumbangkan oleh tanaman manggis, meskipun demikian keberadaan tanaman lainnya khususnya pisang dan papaya yang dapat dipanen setiap saat merupakan kontribusi pendapatan harian yang sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup keseharian petani. Sedangkan tanaman pembatas dan pagar lahan yang biasanya terdiri dari kayukayuan (timber) seperti mahoni dan gamal hasilnya tidak pernah dijual karena untuk keperluan bangunan dan keseharian rumah tangga sendiri.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
319
Seminar Nasional 2005 KESIMPULAN 1. Prospek pengelolaan lahan dengan sistem agroforestry berbasis manggis di Kabupaten Lombok Barat sangat baik karena didukung oleh potensi lahan khususnya di sekitar sabuk Gunung Rinjani dan sekitarnya yang mencapai luasan 29. 892 ha. 2. Pengembangan manggis dengan penataan sistem agroforestry memberikan multi efek, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial yang tentu merupakan modal harapan untuk bisa berkembang dan berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2003. Geliat Manggis dari Tasikmalaya, Majalah Hortikultura, Edisi : Mei 2004. Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagjo dan A. Hidayat., 2003. Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Rahayu, M. dan H. Sembiring, 2001. Studi Potensi Wilayah dan Keragaman Manggis di Pulau Lombok. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi dan Pertanian, Mataram 30 – 31 Desember 2001. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rahayu, M., H. Sembiring, D. Praptomo dan Sudar, 2002. Laporan Pengkajian Adaptasi Teknologi Perbanyakan Rambutan, Durian dan Manggis. IPPTP Mataram. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Rahayu, M., Sudjudi, Erawati , Puspadi dan Mashur, 2003. Laporan Pengkajian Sistem Usahatani Berbasis Manggis di Sentra Produksi Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Rahayu, M., Sudjudi, Erawati , Puspadi dan Mashur,2003. Laporan Pengkajian Agribisnis Manggis pada Sentra Produksi di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Wasrin dalam Suprayogo, D., K. Hairiyah, N.Wijayanto, Sunaryo, dan Van Noordwijk Meine., 2003. Peran Agroforestry pada Skala Plot. World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor. Yacob dan Tindal, 1995. Mangosteen Cultivation. FAO.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
320
Seminar Nasional 2005 EFISIENSI PEMASARAN BUAH MANGGIS DI KECAMATAN LINGSAR, LOMBOK BARAT Muji Rahayu, Kunto Kumoro, Suyudi, dan Yunus Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk: (1) Mengetahui sistem pemasaran buah manggis di Kecamatan Lingsar Lombok Barat; (2) Mengetahui efisiensi pemasaran buah manggis; (3) Mengetahui jenis pengguna (konsumen) dan wilayah pemasarannya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deksriptif, sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan teknik survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Sistem pemasaran buah manggis di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat meliputi sistem tebasan dan sistem eceran; (2) Pemasaran buah manggis di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat belum efisien; (3) Jenis pengguna (konsumen) buah manggis didominasi oleh konsumen ekspor dan wilayah distribusi buah manggis asal Kecamatan. Lingsar mencakup wilayah Kota Mataram, Kabupaten/Kota di Provinsi NTB, Bali, dan ekspor (melaui Bali) Kata kunci: efisiensi, sistem pemasaran, manggis
PENDAHULUAN Pilihan terhadap sektor pertanian sebagai basis pembangunan nasional dalam kondisi perekonomian saat ini dinilai sangat tepat (Sudaryanto et al., 1991). Hal ini disebabkan sektor pertanian mempunyai peranan yang penting dengan justifikasi sebagai berikut: (1) kontribusi yang dominan terhadap GDP, kesempatan kerja, dan berusaha, serta ekspor; (2) keunggulan komparatif wilayah masih tetap bertumpu kepada penguasaan sumberdaya alam sebagai negara agraris dan maritim; (3) pengembangan agribisnis wilayah sejalan dengan upaya membangun ketahanan pangan yang mengakomodasi keragaman bahan pangan, budaya, dan kelembagaan lokal; dan (4) pembangunan pertanian mampu memselaraskan dimensi pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan pembangunan dalam arti luas. Seiring dengan semakin ketatnya persaingan antar negara, sektor pertanian dituntut pula agar dapat memacu pusat-pusat pertumbuhan baru yang dapat memberi pengaruh yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi nasional. Salah satu pusat pertumbuhan baru yang sangat potensial dikembangkan pada masa kini dan masa depan adalah subsektor hortikultura. Subsektor ini memegang peranan penting dalam pertanian Indonesia secara umum. Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi serta dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan vitamin dan mineral lainnya. Dengan masih rendahnya tingkat konsumsi komoditas hortikultura, maka peluang pengembangannya masih cukup besar (Azhari, 2004; Suryana, 2004). Beberapa pendekatan yang perlu dilakukan dalam pengembangan komoditas hortikultura adalah perubahan orientasi produksi dari orientasi subsisten ke orientasi komersial. Perubahan prioritas produksi dari komoditas primer ke komoditas sekunder (Rahayu, 2004). Salah satu komoditas hortikultura yang dapat digunakan dan dikembangkan untuk orientasi tersebut adalah komoditas buah-buahan. Hal ini disebabkan kerana komoditas ini memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif baik di pasar dalam negeri maupun di pasar internasional. Prospek komoditas bauah-buahan di masa depan cukup prospektif sejalan dengan meningkatnya taraf hidup dan bertambahnya jumlah penduduk. Selain itu, juga disebabkan semakin meningkatnya kesadaran gizi, gaya hidup, dan daya beli masyarakat terutama di kota-kota besar (Azhari, 2004). Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi dan nilai gizi yang tidak kalah pentingnya dengan buah-buahan lainnya, serta dapat dikembangkan untuk orientasi agribisnis. Permintaan buah manggis dari dalam maupun luar negeri terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh volume ekspor manggis Indonesia pada tahun 1997 sebesar 1.808 ton
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
321
Seminar Nasional 2005 meningkat menjadi 7.182 ton pada tahun 2000 dan terus meningkat hingga sekarang (Wagiyono, 2002). Sementara itu luas panen dan produksi manggis juga terus mengalami peningkatan. Tahun 1997 luas panen sebesar 3.593 ha dengan produksi 17.475 ton meningkat menjadi 5.192 ha dengan produksi 26.400 ton. Nusa Tenggara Barat (NTB) khususnya Kaupaten Lombok Barat merupakan salah satu sentra produksi manggis di Indonesia yang lauas penen dan produksinya terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1997 kuas panen manggis di Kabupaten Lombok Barat mencapai 10.302 pohon dengan produksi sebesar 90,8 ton meningkat menjadi 11.362 pohon dengan produksi sebesar 213,3 ton pada tahun 2002. Luas panen dan produksi manggis di daerah ini masih dapat ditingkatkan asalkan dikelola secara intensif sesuai dengan teknologi yang direkomendasikan (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kab. Lombok Barat, 2003). Untuk mempercepat pengembangan komoditas pertanian, khususnya manggis, pemerintah Kabupaten Lombok Barat sejak tahun 2000 menetapkan Kecamatan Lingsar sebagai salah satu sentra produksi manggi. Hal ini disebabkan wilayah ini sangat cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan manggis serta didukung oleh kondisi iklim yang memenuhi persyaratan tanaman tersebut. Meskipun jumlah produksi manggis di daerah ini mengalami peningkatan, namun belum menjamin pendapatan petani manggis mengalami peningkatan. Hal ini antara lain sangat ditentukan oleh sistem pemasarannya. Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) bagaiman sistem pemasaran manggis di Kecamatan Lingsar Lombok Barat; (2) apakah pemasaran buah mangga tersebut sudah efisien; dan (3) siapa saja jenis pengguna dan wilayah pemasarannya. Untuk menjawab pemasalahan tersebut, maka perlu di lakukan penelitian tentang "Efisiensi Pemasaran Buah Manggis di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat" dengan tujuan sbb: (1) mengetahui sistem pemasaran buah manggis di Kecamatan Lingsar Lombok Barat; (2) mengetahui efisiensi pemasaran buah manggis; dan (3) mengetahui mengetahui jenis pengguna (konsumen) dan wilayah pemasarannya. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan teknik survei. Daerah sampel penelitian ditentukan secara Purposive Sampling yaitu Desa Batu Mekar dan Desa Mangkalan atas pertimbangan bahwa kedua desa tersebut memiliki lahan kebun manggis terluas dan jumlah rumah tangga petani produsen manggis terbanyak. Jumlah sampel responden ditentukan secara Quota Sampling yaitu dengan menetapkan sebanyak 30 rumah tangga petani, sedang penentuan jumlah responden dilakukan secara Proportional Random Sampling yaitu 20 rumah tangga petani dari Desa Batu Mekar dan 10 rumahtangga petani dari Desa Mangkalan. Sementara penentuan responden lembaga pemasaran dilakukan dengan cara Snow Ball Sampling. Jenis data dalam penelitian ini meliputi data kuantitatif dan data kualitatif, sedangkan sumber data berupa data primer dan data sekunder. Variabel yang diukur dalam penelitian ini meliputi: jumlah produksi, nilai penjualan, volume penjualan, harga jual, harga beli, volume pembelian, biaya pemasaran keuntungan yang diperoleh lembaga pemasaran, margin pemasaran, dan lembaga pemasaran. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan pada pengkajian saluran pemasaran dan jenis konsumen, share petani, distribusi keuntungan. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis margin pemasaran, dan volume penjualan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
322
Seminar Nasional 2005 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi: umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, dan pengalaman berusaha. Rinciannya disajikan pada Tabel 1 berikut: Tabel 1. Karakteristik Responden pada Pemasaran Buah Manggis di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, 2004 Uraian 1.
2.
3.
4.
Umur (tahun) Rata-rata Kisara Tingkat Pendidikan < SD >SD Tanggungan Keluarga (orang) Rata-rata Kisaran Pengalaman Berusaha Rata-rata Kisaran
Petani/Produsen
Lembaga Pemasaran
41 30 - 58
45 35 - 56
12 18
4 10
5 3-7
4 2-8
17 15 - 20
12 8 - 10
Sistem Pemasaran Buah Manggis Sistem pemasaran buah manggis ditingkat petani ada dua macam, yaitu sistem tebasan dan sistem penjualan per satuan unit (ditimbang). Sistem tebasan adalah pembelian ketika buah masih berada di atas pohon, baik ketika manggis telah tua maupun dalam kondisi setengah masak, sehingga sistem seperti ini dapat merugikan petani bila tidak ahli menaksir jumlah buah yang ada di pohon. Sedangkan sistem eceran adalah pembelian oleh lembaga pemasaran dengan melakukan penimbangan (per unit satuan kg, kw atau ton) dan sistem ini tidak menanggung risiko kesalahan menaksir jumlah buah di pohon. Sistem pemasaran ditingkat lembaga perantara yaitu dari pedagang pengumpul desa ke pedagang besar sistem per satuan unit (ditimbang), sedangkan pengumpul desa ke pengecer juga dengan dengan sistem per satuan unit (ditimbang). Harga dasar jual buah manggis lebih banyak ditentukan oleh pedagang besar, sedangkan pedagang perantara dan pedagang lainnya akan menyesuaikan meskipun terdapat pula proses tawar menawar. Selanjutnya yang lebih banyak dengan konsumen akhir adalah pedagang pengecer, dan biasanya pedagang pengecer tidak hanya menjual buah manggis, tetapi juga buah-buahan lain, sehingga volume penjualannya di tingkat pengecer tidaklah besar. Saluran Pemasaran Buah Manggis Terdapat 5 (lima) macam saluran pemasaran buah manggis pada sentra produksi di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, (Gambar 1) yaitu: I.
Petani – Pedagang Pengumpul Desa (PPD) – Pedagang Besar (PB) – Pengecer.
II. Petani – Pedagang Pengumpul Desa (PPD) – Pedagang Besar (PB) – Eksportir. III. Petani – Pedagang Besar (PB) – Pengecer IV. Petani – Pedagang Besar (PB) – Eksportir V. Petani – Pedagang Pengumpul Desa (PPD) – Pengecer
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
323
Seminar Nasional 2005
Gambar 1. Saluran Pemasaran Buah Manggis di Kecamatan Lingsar Lombok Barat, 2004.
Efisiensi Pemasaran Buah Manggis Efisiensi pemasaran adalah kemampuan jasa-jasa pemasaran untuk dapat menyampaikan suatu produk dari produsen ke konsumen secara adil dengan memberikan kepuasan pada semua pihak yang terlibat untuk suatu produk yang sama. Kriteria efisiensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: margin pemasaran, share petani (produsen), distribusi keuntungan, dan volume penjualan. Efisiensi pemasaran buah manggis di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat seperti tertera pada Tabel 2. Tabel 2. Margin Pemasaran, Share Produsen, Distribusi Keuntungan, dan Volume Penjualan Buah Manggis di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, 2004. Kriteria 1. 2. 3. 4.
Margin pemasaran Share produsen (%) Distribusi keuntungan Volume penjualan (kg)
Saluran Pemasaran I
II
III
IV
V
1000 73 0,66 150
7000 33,33 0,54 50
500 87,5 0,76 45
4000 65 0,88 105
500 85,7 0,66 120
Berdasarkan kriteria efisiensi pemasaran, maka pemasaran buah manggis di Kecamatan Linsar, Lombok Barat belum efisien. Namun dari ke lima saluran tersebut, maka saluran yang paling efisien dibandingkan dengan saluran lainnya adalah saluran pemasaran III. Hal ini ditunjukkan oleh margin pemasaran yang paling kecil, share petani (produsen), dan distribusi kuntungan yang paling besar dibandingkan dengan saluran lainnya. Kelemahan pada saluran pemasaran III adalah rendahnya volume buah manggis yang dapat dipasarkan. Keadaan ini mengisyaratkan bahwa apabila dalam keadaan persediaan produksi yang melimpah, maka saluran III tidak akan mampu memasarkan seluruh produk buah manggis sehingga akan menimbulkan masalah baru, yaitu penurunan harga buah manggis. Dalam kondisi seperti ini, maka saluran I dan IV adalah sangat perlu dipertimbangkan untuk digunakan karena saluran ini mempunyai omzet penjualan yang paling tinggi, share produsen cukup tinggi, margin pemasaran relatif kecil, walaupun distribusi keuntungan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
324
Seminar Nasional 2005 cukup rendah. Berarti pembagian keuntungan antara lembaga pemasaran yang terlibat tidak merata. Konsumen dan Distribusi Buah Manggis Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna (konsumen) buah manggis yang berasal dari Kecamatan Lingsar Lombok Barat adalah konsumen di luar daerah/luar negeri (78%), sedangkan sisanya 22% dikonsumsi oleh konsumen lokal di Kota Mataram dan sekitarnya. Wilayah distribusi buah manggis yang berasal dari Kecamatan Lingsar, Lombok Barat sampai saat ini adalah wilayah Kota Mataram dan kabupaten/kota yang ada di NTB, Bali dan ekspor (melalui Bali).. Untuk lebih jelasnya wilayah distribusi buah manggis disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Bagan Wilayah Distribusi Buah Manggis yang Berasal dari Lingsar Lombok Barat, 2004.
KESIMPULAN 1. Sistem pemasaran buah manggis di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat meliputi: sistem tebasan dan sistem eceran; 2. Pemasaran buah manggis di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat belum efisien; 3. Jenis pengguna (konsumen) buah manggis didominasi oleh konsumen ekspor dan wilayah distribusi buahnya mencakup wilayah Kota Mataram, Kabupaten/Kota di Provinsi NTB, Bali dan ekspor (melaui Bali) DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2004. Sinkronisasi Pelaksanaan Pengembangan Hortikultura 2004. Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Azhari, D.H., 2004. Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil terhadap Pengembangan Agribsinis Hortikultura. Makalah Disampaikan pada Pertemuan Sinkronisasi Pelaksanaan Pengembangan - Hortikultura 2004. Cisarua Bogor, 24 – 27 Mei 2004. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan, 2003. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Lombok Barat, Tahun 2003. Mataram.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
325
Seminar Nasional 2005 Sudaryanto, T., I W. Rusastra, E. jamal, dan A. Syam. Pengembangan Teknologi Pertanian Partisipatif Dalam Mendukung Pemberdayaan Petani dan Pengembangan Agribisnis. Makalah diampaikan pada Peresmian Gedung BPTP Bali dan Ekspose Teknologi Pertanian 5 Tahun IPPTP Denpasar, 5 September 2001. Denpasar. Suryana, A. 2004. Dukungan Penyediaan Teknologi Bagi Pengembangan Hortikultura. Makalah Disampaikan pada Pertemuan Sinkronisasi Pelaksanaan Pengembangan Hortikultura 2004. Cisarua Bogor, 24 – 27 Mei 2004.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
326
Seminar Nasional 2005 KAJIAN HARA SENG PESEMAIAN DAN PEMANGKASAN AKAR TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT OILSEED RAPE SESUDAH DIPINDAH-TANAMKAN Mulyati Staf pengajar jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UNRAM
ABSTRAK Seng (Zn) merupakan salah satu unsur hara mikro esensial yang dibutuhkan tanaman tingkat tinggi untuk tumbuh dan berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Zn dan pemangkasan akar terhadap kualitas bibit tanaman Oilseed rape yang dipindah-tanamkan ke dalam larutan penyangga dari Zn-khelat. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang ditata secara faktorial. Dua aras Zn di pesemaian yaitu 50 dan 90 µg Zn kg-1 tanah, yang kemudian dipindah-tanamkan ke dalam larutan hara yang mengandung 0,02 dan 5,0 µM dengan kombinasi 0 dan 50% pemangkasan akar. Hasil penelitian menunujukkan bahwa bibit yang mendapat 90 µg Zn kg -1 tanah di pesemaian dapat meningkatkan pertumbuhan bibit terutama akar sesudah dipindah-tanamkan, sedangkan pemangkasan akar sangat menekan pertumbuhan pucuk dan akar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suplai Zn di pesemaian mempunyai peranan penting terhadap tanaman yang dipindahkan terutama dalam mestimulir pertumbuhan akar-akar baru dan mempercepat proses pemulihan fungsi akar sesudah dipindah-tanamkan. Oleh karenanya penelitian ini memberikan peluang untuk penelitian lebih lanjut mengenai peranan unsur hara lain seperti nitrogen, fosfor dan kalium di pesemaian atau pentingnya pengelolaan hara di tingkat pesemaian untuk tanaman yang dipindahkan. Kata kunci : Seng, pesemaian,pemangkasan akar.
PENDAHULUAN Sebagian besar tanaman hortikultura seperti buah-buahan, bunga-bungaan dan sayursayuran perlu disemaikan terlebih dahulu sebelum ditanam di tempat tumbuhnya yang permanen (Nacimento and West, 1998; Cabrera and Devereaux, 1999). Keberhasilan tanaman yang dipindahkan (transplanted crops) ini sangatlah tergantung pada bibit yang digunakan. Bibit yang berkualitas baik akan memberikan produksi yang tinggi, oleh karena itu pengelolaan hara di tingkat pesemaian mempunyai peranan yang sangat penting. Tujuan pemindahan bibit pada dasarnya adalah untuk memperpendek periode pertumbuhan tanaman dari waktu tanam hingga panen, sehingga dimungkinkan untuk menanam dua atau tiga kali setahun (NeSmith, 1999). Sesudah dipindah-tanamkan pertumbuhan bibit akan terhambat (transplant shock atau transplanting stress) untuk suatu periode tertentu karena kerusakan akar pada waktu pencabutan bibit. Oleh karena itu proses pemulihan akar (root recovery) perlu diupayakan secepat mungkin agar akar dapat berfungsi menyerap hara dari dalam tanah untuk mendukung pertumbuhan. Pada kebanyakan tanaman hortikultura pembibitan sering dilakukan dengan menggunakan pot-pot kecil atau container untuk mengurangi kerusakan akar pada saat bibit dipindahkan ke lapangan (Arnold dan Young, 1991). Namun penelitian ini difokuskan pada kerusakan akar pada saat bibit dipindahkan khususnya yang disebabkan oleh pemangkasan akar. Alexander and Maggs (1971) menemukan bahwa pemangkasan akar dapat menekan pertumbuhan vegetatif tanaman. Lebih lanjut Kramer (1983) melaporkan bahwa pemangkasan akar juga dapat mengurangi jumlah akar efektif yang berakibat pada menurunnya kemampuan tanaman menyerap air dan hara dari dalam tanah. Seng merupakan salah satu unsur hara mikro esensial yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh dan berkembang (Marschner, 2002). Seng mempunyai peranan penting di dalam proses biokimia dan fisiologi tanaman: seperti aktivitas ensim, melindungi integritas membran sel yang melindungi sel-sel tanaman dari kerusakan yang disebabkan oleh reactive oxygen species (ROS), dan mempertahankan akar dari stress (root stress resistance), serta berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein (Welch, 1995; Cakmak, 2000).
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
327
Seminar Nasional 2005 Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa tanaman yang dipindahkan tidak mampu menyerap hara secara efisien (Stone et al., 1999), karena adanya kerusakan akar saat bibit dipindahkan sehingga tanaman yang dipindahkan memerlukan unsur hara Zn yang lebih banyak jika dibandingkan dengan tanaman yang ditanam secara langsung (direct sown) dari benih (Mulyati et al., 1997; Mulyati, 2002). Oleh karena itu strategi pengelolaan hara di pesemaian perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan bibit yang berkualitas tinggi. Lebih lanjut Melton and Dufault (1991) menyatakan bahwa pemupukan di pesemaian akan berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit sesudah dipindahkan. Sebagai tambahan hasil penelitian Bouma and Dowling (1966) menunjukkan bahwa status hara N, P, K, Ca dan B pada bibit clover mempengaruhi pertumbuhan daun secara signifikan sesuadah dipindahkan ke dalam larutan hara. Atas dasar uraian-uraian tersebut di atas diduga bahwa hara Zn di pesemaian akan mempengaruhi pertumbuhan awal dari oilseed rape yang dipindahkan khususnya untuk pemulihan akar bibit sesudah dipindahkan (post-transplanting). Sedangkan aplikasi penggunaan Zn di pesemaian untuk proses pemulihan akar belum mendapat perhatian. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian hara Zn di pesemaian yang dikombinasikan dengan pemangkasan akar dalam kaitannya dengan percepatan pemulihan akar tanaman oilseed rape sesudah dipindahkan ke dalam larutan hara bufer khelat. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di rumah kaca dengan metode eksperimental yang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang ditata secara faktorial. Benih oilseed rape cv. Hyola 42 disebarkan di kotak pesemaian dengan dua takaran Zn dalam bentuk ZnSO4.7H2O yaitu 50 dan 90 µg Zn kg-1 tanah. Setelah bibit berumur 32 hari (berdaun empat), bibit dipindahkan ke dalam larutan hara Zn-HEDTA or {N-(2-hydroxyethyl) ethylenedinitrolotriacetic acid} dengan dua takaran Zn yaitu 0,02 dan 5,0 µM yang dikombinasikan dengan 0 dan 50 % pemangkasan akar. Semua perlakuan diulang tiga kali. Delapan bibit dipindahkan ke dalam pot plastik yang dilapisi dengan kantong polythene yang berisi lima liter larutan hara, yang mempunyai pH 6,0. Setelah lima hari bibit dijarangkan menjadi enam bibit. Bibit dibiarkan tumbuh selama 20 hari. Selanjutnya pH larutan diukur setiap hari dan di set menjadi 6,0 ± 0,3 dengan menggunakan 1,0 M HCl dan 1,0 M NaOH. Larutan hara diganti setiap minggu dan semua pot diberikan aerasi yang secukupnya. Semua pot diletakkan dalam suatu bak air yang temperaturnya dipertahankan pada 20-22 °C. Tanaman dipanen setelah 20 hari setelah tanam (hst), dibersihkan di dalam ruangan yang bersih dan bebas kontaminasi, kemudian dipisahkan menjadi akar dan pucuk. Akar dibersihkan dengan menggunakan akuades kemudian dikering dengan tissue dan dimasukkan ke dalam kantong kertas untuk mengukur panjang akar dan berat akar dan pucuk, dan kadar Zn dalam jaringan tanaman, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 65 – 70 °C. Panjang akar dihitung meggunakan Comair root length scanner (Newman, 1966). Laju pertumbuhan nisbi (Relative growth rate = RGR) dihitung atas dasar Asher and Loneragan (1966) dengan rumus sebagai berikut :
v~
ln WR 2 ln WR 1 M 2 M 1 t 2 t 1 WR2 WR1
Dimana : WR1 and WR2 = berat segar akar pada t1 dan t2 M1 and M2 = kadar hara pada t1 and t2.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
328
Seminar Nasional 2005 Data dikumpulkan dan dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam dan untuk perlakuan yang menunjukkan pengaruh yang nyata diuji lanjut dengan menggunakan LSD 5% (Gomez and Gomez, 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh hara Zn pada Pertumbuhan Bibit di Pesemaian Hasil penelitian menunjukkan bahwa bibit di pesemaian yang diberi 90 µg Zn kg -1 tanah mempunyai kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan yang diberi 50 µg Zn kg -1 tanah. Kenyataan ini dapat dilihat secara visual saat pertumbuhan bibit di pesemaian, dan juga ditandai dengan berat kering akar dan pucuk yang lebih berat. Pengaruh hara Zn di pesemaian dan pemangkasan akar terhadap berat kering akar dan pucuk bibit pada umur 32 hari disajikan pada Tabel 1. Bibit yang diberi 50 µg. Tabel 1. Pengaruh hara Zn di pesemaian dan pemangkasan akar terhadap berat segar dan kering akar dan pucuk (g pot-1) bibit pada 32 hari setelah tanam. Treatment (µg Zn kg-1) 50 (tanpa pruning ) 50 (50 % pruning) 90 (tanpa pruning) 90 (50 % pruning)
Shoot Fresh
Root Fresh
Shoot Dry
RootDry
3,4 3,0 3,8 3,6
0,27 0,25 0,39 0,38
0,34 0,26 0,35 0,28
0,032 0,028 0,033 0,026
Zn kg-1 tanah mempunyai ukuran batang dan daun yang lebih kecil jika dibandingkan dengan yang diberi 90 µg Zn kg-1 tanah, sehingga baik berat segar dan kering menjadi lebih ringan. Selain itu bibit juga terlihat kurang vigor, dan warna daun hijau pucat, serta pada saat pemindahan bibit daun cotyledon berwarna hijau kekuning-kuningan, dengan kata lain mempunyai kualitas yang lebih rendah. Dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan Zn di pesemaian dapat meningkatkan vigor bibit dan pertumbuhan awal bibit. Penelitian sebelumnya oleh Rengel ang Graham (1995) menunjukkan bahwa benih yang mengandung Zn tinggi dapat meningkatkan vigorus bibit, tetapi ini merupakan hasil penelitian pertama yang menunjukkan bahwa peningkatan Zn di pesemaian akan berpengaruh terhadap meningkatnya vigorus bibit. Pemberian pupuk N, P dan K di pesemaian dapat meningkatkan pertumbuhan bibit sesudah dipindah-tnamkan (post-transplanting) (Melton and Dufault, 1991; Dufault, 1977). Lebih lanjut bibit yang tumbuh pada tanah yang defisien unsur N, P K, S dan B menyebabkan indeks luas daun berkurang (Bouma and Dowling, 1966). Jadi pemberian pupuk di pesemaian mempunyai manfaat yang besar terhadap bibit sesudah dipindah-tanamkan. Pengaruh hara Zn pada Pertumbuhan Bibit Sesudah Dipindahkan Keberhasilan bibit yang tumbuh sesudah dipindahkan tidak dipengaruhi oleh banyaknya Zn yang diberikan, tetapi bibit yang 50% dari akarnya dipangkas menunujukkan kondisi layu yang lebih lama yaitu sekitar 1 minggu sedangkan yang tidak dipangkas kondisi layu hanya terlihat 4 hari. Gejala defisiensi Zn terdeteksi pertama kali pada 2 minggu setelah tanam yaitu ditandai dengan pertumbuhan yang terhambat, khlorosis pada daun-daun muda yang kemudian diikuti oleh gejala nekrosis pada tepi-tepi daun. Gejala yang disebutkan di atas tidak ditemukan pada perlakuan hara Zn pesemaian tinggi.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
329
Seminar Nasional 2005 Table 2. Pengaruh hara Zn di pesemaian, Zn supply in larutan hara dan pemangkasan akar terhadap berat pucuk, dan berat akar (g tan-1) tanaman oilseed rape sesudah dipindahkan. Zn treatment -1
Shoot (g plant-1)
Root (g plant-1)
50 50
0,70 0,78
0,11 0,12
0,02 0,02
0 0
0,72 1,05
0,14 0,18
5,0 5,0
50 50
1,08 1,33
0,17 0,17
0 0
1,22 1,52
0,17 0,19
Seedbed (µg kg )
Zn Supply (µM)
Pruning (%)
50 90
0,02 0,02
50 90 50 90
50 5,0 90 5,0 LSD (P 0,05) Zn pesemaian Zn suplai Pemangkasan akar Zn pesemaian x Zn suplai Zn pesemaian x pemangkasan akar Zn suplai x pemangkasan akar Zn pesemaian x Zn suplai x pemangkasn akar
0,17** 0,17** 0,17** ns ns ns ns
0,02** 0,02** 0,02** ns ns 0,03* ns
*p ≤ 0.05, ** p ≤ 0.01, ns = not significant (P> 0,05)
Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan Zn pesemain, Zn larutan hara dan pemangkasan akar terhadap berat kering pucuk dan akar memberikan pengaruh yang nyata (P ≤ 0,05). Berat kering pucuk dan akar tertinggi diperoleh pada perlakuan bibit yang diberi 90 µg kg-1 tanah di pesemaian dan yang dipindah-tanamkan ke dalam larutan hara yang mengandung Zn 5,0 µM dan akar tidak dipangkas, sedangkan terendah pada perlakuan dengan hara Zn pesemaian rendah yaitu 50 µg kg-1 tanah, larutan hara Zn rendah yaitu 0,02 µM dan 50% akar dipangkas. Tingginya Zn di pesemaian juga menyebabkan RGR pucuk dan akar yang tinggi (Gambar 1). Peningkatan RGR seiring dengan peningkatan takaran Zn-HEDTA dari 0,02 menjadi 5,0 µM. Laju pertumbuhan nisbi pucuk dan akar meningkat secara signifikan ketika bibit dipindah-tanamkan ke dalam Zn-khelat yang tinggi larutan, tetapi pemberian Zn di pesemaian yang rendah dengan kombinasi pemangkasan akar tidak menghambat RGR bila dipindah-tanamkan ke dalam larutan Zn-HEDTA yang berkonsentrasi tinggi. Tidak ada interaksi antara takaran Zn di pesemaian, takaran Zn dalam larutan dan pemangkasan akar. Gambar 1 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan nisbi (RGR) akar lebih besar jika dibandingkan dengan pucuk pada semua perlakuan. Bibit yang tumbuh pada Zn pesemaian rendah memberikan RGR pucuk yang lebih rendah jika dibandingkan dengan yang Zn pesemaian tinggi, tetapi RGR akar tidak respon terhadap Zn pesemaian. Tanaman yang tumbuh pada Zn pesemaian tinggi mempunyai akar yang lebih panjang jika dibandingkan dengan yang tumbuh pada Zn pesemaian rendah (Tabel 3). Panjang akar berbeda-beda, peningkatan mencapai lebih dari 2ua kali lipat, dan berkisar antara 2,9 samapi 6,4 m tan -1. Panjang akar mengalami penuruan yang drastis jika dipindahkan-tanamkan ke larutan Zn rendah dan 50% akar mengalami pemangkasan. Sebaliknya tanaman yang tumbuh pada Zn pesemaian tinggi mempunyai bulu akar yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan yang tumbuh pada Zn pesemaian tinggi, kecuali pada tanaman yang 50% akarnya dipangkas dan dipindah-tanamkan pada larutan ZnHEDTA tinggi. Jumlah bulu akar terbanyak diperoleh pada perlakuan Zn pesemaian rendah, takaran Zn-HEDTA tinggi dan 0% pemangkasan akar. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Otani and Ae (1996) yang melaporkan bahwa morfologi akar seperti panjang akar dan jumlah bulu akar sangat mempengaruhi hara yang diserap tanaman. Nampaknya Zn yang ada dalam jaringan tanaman dapat diubah dan dimanfaatkan khususnya jika bibit
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
330
Seminar Nasional 2005 dipindahkan kedalam larutas hara yang berkonsentrasi rendah, sehingga tingginya Zn yang diserap ini menyebabkan tanaman mampu memanfaatkannya untuk membentuk akar baru dan daun-daun baru. Diduga meningkatnya vigor bibit dan panjang akar akan meningkatkan
Re lative gr owt h rat e (g 100 g -1 day -1 )
18 17 16
RGR-root
15
RGR-shoot
14 13 50 90 Seedbed Zn concentration (u g kg -1 soil)
Relative growth rat e (g 100 g -1 day -1 )
19 18 17
RGR-root
16
RGR-shoot
15 14 0.02
5
Re lative gr owth rat e (g 100 g -1 day -1 )
Zinc le ve ls (u M)
17.5 17 16.5 RGR-root
16
RGR-shoot 15.5 15 14.5 0
50 Root pruning (%)
kemampuan tanaman dalam menyerap Zn sesudah dipindahkan. Gambar1. Pengaruh konsentrasi Zn pesemaian, takaran Zn dan pemangkasan akar terhadap laju pertumbuhan nisbi (RGR) pada tanaman bagian atas dan akar (g 100 g -1 hr-1) pada 20 hari sesudah dipindahkan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
331
Seminar Nasional 2005 Table 3. Pengaruh Zn pesemaian,
konsentrasi Zn dalam larutan hara dan pemangkasan akar
terhadap
–1
-1
panjang akar (m tan ) dan jumlah bulu akar (g berat segar akar ) pada tanaman oilseed rape. Zn treatment -1
Root length (m plant-1)
Root hair (no.g-1)
50 50
2,9 4,8
3097 3043
0,02 0,02
0 0
4,5 5,8
4931 3376
5,0 5,0
50 50
6,0 6,3
4146 3308
0 0
6,2 6,4
5316 4442
Seedbed (µg kg )
Zn Supply (µM)
Pruning (%)
50 90
0,02 0,02
50 90 50 90
50 5,0 90 5,0 LSD (P 0.05) Zn pesemaian Zn suplai Pemangkasan akar Seedbed Zn x Zn supply Seedbed Zn x root pruning Zn supply x root pruning Seedbed Zn x Zn supply x root pruning
0,23** 0,23** 0,23** 0,33** 0,33** ns ns
80** 80** 80** ns ns 113** 160**
p ≤ 0.05, ** p ≤ 0.01, ns = not significant
Pemangkasan akar mengurangi jumlah bulu akar efektif dan menghambat kemampuan tanaman menyerap air dan hara (Kramer, 1983). Hu et al. (1996) melaporkan bahwa oilseed rape yang dipindahkan akan menunujukkan gejala layu sampai dengan 14 hari dan 2 – 4 daun mengalami senescene sebelum daun-daun baru muncul. Tetapi dalam penelitian ini kelayuan hanya 7 hari sesudah dipindah-tanamkan yang bersifat sementara yang mungkin disebabkan oleh stress air (water stress) karena pemangkasan akar. Selain itu, Mulyati (2004) mengungkapkan bahwa pemangkasan akar memungkinkan terjadinya penutupan stomata, yang menurunkan pengambilan CO 2 dan transpirasi dan photosynthesis, sehingga berat kering pucuk dan akar tanaman berkurang karena pemangkasan akar. Hal ini dimungkinkan karena asimilasi karbon bertanggung jawab atas pertumbuhan tanaman dan meningkatkan berat kering tanaman (Arnold and Young, 1991). Atas dasar temuan ini diduga bahwa pemangkasan akar akan menghalangi distribusi karbon dari akar ke pucuk. KESIMPULAN DAN SARAN Terbatas pada lingkup penelitian ini, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil yaitu : 1. Suplai hara Zn yang memadai (90µg kg -1 tanah) di pesemaian sangat berpengaruh terhadap kualitas bibit dan pertumbuhan tanaman sesudah dipindahkan ke lapangan. 2. Suplai hara Zn dengan takaran 5,0 µM mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap berat kering pucuk dan akar tanaman serta laju pertumbuhan nisbinya sesudah dipindahtanamkan. 3. Suplai Zn yang dikombinasikan dengan 50% pemangkasan akar sangat menekan pertumbuhan pucuk, akar, panjang akar dan bulu akar tanaman. Melalui penelitian ini disarankan untuk menambahkan hara Zn di pesemaian untuk meningkatkan kualitas bibit terutama dalam hal mempercepat proses pemulihan akar (root recovery) sesudah dipidah-tanamkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hara di tingkat pesemaian mempunyai peranan penting dan perlu mendapat perhatian yang serius tidak hanya terbatas pada hara Zn tetapi juga untuk hara-hara lain seperti nitrogen, fosfor dan kalium.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
332
Seminar Nasional 2005 DAFTAR PUSTAKA Alexander, D.M. and D.H. Maggs. 1971. Growth responses of sweet orange seedlings to shoot and root pruning. Annals. Bot. 35: 109-115. Arnold, M.A. and E. Young. 1991. CiCO3-painted containers and root pruning affect apple and green ash root growth and cytokinin levels. HortScience 26: 242-244. Asher, C.J. and J.F. Loneragan. 1966. Response of plant to phosphate concentration in solution culture. Growth and phosphate content. Soil Sci. 103: 225-233. Bouma, D. and E.J. Dowling. 1966. The physiological assessment of the nutrient status of plants. II. The effect of the nutrient status of the plant with respect to phosphorus, sulfur, potassium, calcium and boronon the pattern of leaf area response following the transfer to different nutrient solution. Aust. J. Agric. Res. 17: 633-646. Cabrera, R.I. and D.R. Devereaux. 1999. Crape myrtle post-transplant growth as affected by nitrogen during nursery production. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 124: 94-98. Cakmak, I. 2000. Possible roles of Zinc in protecting plant cells from damage by reactive oxygen species. Tansley Review No. 11. New Phytol. 146: 185-205. Dufault, R.M. 1997. Transplant production and performance : Effect of Transplant Nutrition. Hort. And Cropn Sci. 668: 40-62. Gomez, A.K. and A.A. Gomez. 1995. Prosedur statistik untuk penelitian pertanian. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 698 h. Kramer, P.J. 1983. Water relation of plants. Academic Press. New York. Marschner, H. 2002. Mineral nutrition of higher plants. Fith printing. Academic Press. London. UK. Melton, R.R. and Dufault, R.J. 1991. Nitrogen, phosphorus, and potassium fertility regimes affect tomato transplant growth. HortSci. 26 : 141-142. Mulyati, R.w. Bell, and L. Huang. 1997. Evidence that Transplanted Oilseed Rape (Brassica napus) Has a Higher External Zinc Requirement than Direct Sown Plants. Plant Nutrition for Sustainable Food Production and Environment. XIII International Plant Nutirtion Colloquium. Pp. 275-276. Kluwer Academic Publishers. Tokyo. Japan. Mulyati, 2002. Increased External Zinc Requirements of Transplanted Oilseed Rape (Brassica napus L.). Agroteksos. Volume 12 Nomor 1. Mataram. Mulyati, 2004. Zinc requirements of transplanted oilseed rape. Ph.D thesis. School of Environmental Science. Murdoch University. Australia. Nacimento, W.R. and S.H. West. 1998. Priming and seed orientation affect seedcoat adherence and seedling development of muskmelon transplants. HortScience. 33: 847-848. NeSmith, D.S. 1999. Root distribution and yield of direct seeded and trasnplanted watermelon. J. Amer. Soc. Hort. Sci. 124: 458-461. Otani, T. And N. Ae. 1996. Sensitivity of phosphorus uptake to chnage in root length and soil volume. Agron. J. 88 : 371-375. Rengel, Z. And R.D. Graham. 1995. Importance of seedbed Zn content for wheat growth on Zn-deficient soil. I. Vegetative growth. Plant Soil. 173 : 259-266.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
333
Seminar Nasional 2005 KAJIAN REHABILITASI TANAMAN KOPI ROBUSTA MENJADI KOPI ARABIKA DENGAN TEKNIK SAMBUNG DI KABUPATEN BANGLI Rubiyo, Jemmy Rinaldi dan Suharyanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
ABSTRAK Pengkajian Teknologi Produksi Kopi Arabika telah dilakukan di desa Kembangsari kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli Tahun 2003-2004. Klonalisasi Kopi Robusta Menjadi Kopi Arabika yang dilaksanakan di desa Kembangsari dengan diintroduksikan 3 varietas kopi arabika digunakan sebagai perlakuan yaitu (1) varietas S 795, (2) varietas Andongsari dan (3) varietas lokal kopi arabika yang berkembang di lokasi petani. Pengkajian dilakukan terhadap 25 petani dengan luas 0,75 ha,yang sekaligus dipakai sebagai ulangan dimana setiap petani digunakan 300 pohon sehingga terdapat 7500 populasi. Variabel yang diamati adalah (1) rata-rata persentase sambungan hidup, (2) tinggi tunas, (3) jumlah daun dan (4) jumlah cabang primer. Data keragaan agronomis dianalisa dengan metode Anova dan dilanjutkan dengan uji DMRT, sedangkan kelayakan finansial dianalisis dengan metode BCR. Untuk Pengkajian Klonalisasi Kopi Robusta Menjadi Kopi Arabika, berdasarkan hasil pengamatan jumlah sambungan jadi, tinggi tunas, jumlah daun dan cabang primer, klonalisasi dengan menggunakan varietas kopi arabika S 795 memberikan hasil yang terbaik dan secara statistik berbeda nyata dibandingkan varietas lainnya. Kelayakan usahatani kopi arabika sebesar 1,92 masih lebih baik dibandingkan dengan usahatani kopi robusta yang hanya memiliki nilai BCR sebesar 1,00, dengan tingkat pendapatan kopi arabika sebesar Rp. 5.996.699,31 sedangkan tingkat pendapatan kopi robusta sebesar Rp. 2.250.587,98 per hektar. Kata kunci : kopi arabika, rehabilitasi, tekniksambung lapang, pendapatan petani
PENDAHULUAN Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena pengusahaannya dimulai dari kebun sampai dengan penanganan industri hilir. Mengingat kondisi perekonomian yang labil akhirakhir ini, peningkatan proporsi produksi kopi arabika merupakan salah satu sasaran yang diharapkan mampu memberikan nilai tambah penerimaan devisa negara dari komoditas ini. Salah satu kendala pengembangan kopi arabika di Indonesia adalah tersedianya varietas yang mampu berdaya hasil tinggi pada kondisi cekaman lingkungan. Selain itu pada usahatani kopi rakyat salah satu faktor rendahnya produksi adalah teknik pengelolaan pertanaman yang masih terbatas seperti aspek kualitas bahan tanam dan teknik budidayanya. Indonesia mempunyai peluang yang cukup besar untuk mengembangkan kopi spesial, khususnya Bali. Peluang ini sangat terbuka lebar karena kopi Bali sudah cukup memiliki nama di pasaran. Kecamatan Kintamani kabupaten Bangli merupakan salah satu daerah yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kopi dengan luas tanaman kopi 5656 ha dan produktivitas sekitar 750 kg (Anonim, 2000; 1999). Produksi ini relatif masih rendah sehingga hanya dapat memenuhi kurang lebih 20% dari permintaan kopi arabika Bali yang bermutu. Permintaan dunia akan kopi organik masih sangat besar dan kopi arabika Bali mempunyai peluang untuk menghasilkan kopi organik mengingat petani pada umumnya tidak menggunakan pupuk anorganik (pupuk kimiawi) tetapi dengan menggunakan pupuk kandang (Winaryo, 2001; Mawardi, 2001). Daerah ini memiliki ketinggian 1.000 s/d 1.600 m dpl yang merupakan kondisi yang baik untuk tanaman kopi arabika. Tanaman kopi arabika umumnya di Bali didominasi varietas S 795 karena varietas ini memiliki adaptabilitas yang baik dan tahan terhadap penyakit karat daun (Hulupi, 2002). Kopi arabika di Bali diharapkan mampu memberikan devisa dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani pekebun. Permasalahannya petani pada umumnya masih mengusahakan tanaman kopi secara bersama (bercampur) dua jenis tanaman kopi yaitu kopi robusta dan kopi Arabika. Tanaman kopi robusta masih sekitar 40% mendominasi lahan-lahan yang cocok untuk budidaya kopi Arabika. Kopi robusta umumnya sudah lebih tua dan perolehan harga lebih rendah
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
334
Seminar Nasional 2005 dibandingkan kopi arabika dengan nilai jual yang lebih tinggi. Mengingat agroekosistem ini cocok untuk kopi arabika, petani akan mengkoversi dari kopi robusta menjadi kopi arabika. Dengan kondisi topografi yang miring pada umumnya diperlukan teknik rehabilitasi yang tepat, sehingga konservasi lahan juga lestari, tidak terjadi erosi dan produksi kopi yang merupakan salah satu pendapatan petani tidak hilang. Oleh karena itu, diharapkan dengan teknologi rehabilitasi kopi robusta menjadi kopi arabika tanpa harus membongkar tanaman kopi robusta yang tua, maka aspek efisiensi usahatani kopi akan diperoleh. BAHAN DAN METODOLOGI Penelitian dilaksanakan di Desa Kembangsari Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli yang merupakan daerah sentra kopi dengan ketinggihan >1000 m dpl, denghan agroekosistem lahan kering. Penelitian dilakukan pada tahun 2003-2004. Teknologi klonalisasi kopi akan dilakukan dengan cara sambung dengan menggunakan tunas air pada pertanaman kopi yang sudah tua dan kurang produktif. Pada penelitian ini akan dicoba pola konversi dari robusta ke kopi arabika yang sumber bahan tanamnya diperoleh dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia yaitu klon kopi arabika yaitu klon kopi arabika yang sesuai dengan ketinggian daerah di lokasi KembangsariKintamani. Dalam penelitian ini akan dicoba 3 varietas kopi arabika yaitu varietas S 795, Andongsari, dan varietas kopi arabika yang dikembangkan petani setempat pada tahun pertama akan diamati sifat agronomisnya terhadap tanaman klonal dari hasil klonalisasi. Penelitian tersusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 25 petani digunakan sebagai ulangan. Tiap petani digunakan sebanyak 300 tanaman kopi yang akan disambung dengan varietas kopi yang telah ditentukan sehingga jumlah tanaman yang diperlukan 7500 pohon. Untuk menganalisis ketiga varietas kopi arabika terhadap keragaan agronomisnya digunakan Uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test). Parameter keragaan agronomis adalah persentase sambungan hidup, tinggi tunas, jumlah daun dan jumlah cabang primer. Analisis kelayakan finansial usahatani dilakukan secara deskriptif kuantitatif menggunakan tabulasi silang dan statistik sederhana yakni analisis anggaran parsial dengan indikator BCR (Benefit Cost Ratio). Analisis pendapatan digunakan rumus (Downey dan Erickson, 1985 dan Suratiyah, 1997). I
=
(y . Py ) -
(Xi . Pxi )
Keterangan : I = Y = Pxi = Py = Xi =
Pendapatan (Rp/ha) Output/hasil (kg) Harga input (Rp) Harga output (Rp) Jumlah input (i = 1,2,3….n)
Analisis Benefit Cost Ratio (B/C ratio) dengan menggunakan rumus (Kadariah, 1988 dan Soetrisno, 1982) : BPV BCR = CPV
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
335
Seminar Nasional 2005 Keterangan : BCR BPV CPV BCR BCR BCR
= = = > < =
Rasio pendapatan terhadap biaya Totan pendapatan dalam rupiah pada tingkat nilai sekarang Total biaya dalam rupiah pada nilai sekarang 1, usahatani dianggap layak (menguntungkan) 1, usahatani dianggap tidak layak (tidak menguntungkan) 1, impas (tidak untung maupun merugi) HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis statistik terhadap hasil klonalisasi kopi robusta menjadi kopi arabika dengan teknik sambung pucuk melalui tunas air, dapat diketahui bahwa berdasarkan persentase jumlah sambungan yang hidup, tinggi tunas, jumlah daun dan cabang primer yang dihasilkan secara konsisten varietas kopi arabika S 795 menghasilkan yang terbaik dibandingkan dengan varietas lainnya (Tabel 1). Perbedaan ini dikarenakan S 795 merupakan varietas yang sudah lama dikembangkan dan adaptif diseluruh sentra pertanaman kopi di Indonesia. Penelitian yang pernah dilakukan oleh Mukti Nur (1998) varietas S 795 juga memberikan hasil yang terbaik di Jawa Timur. Teknik klonalisasi ini sangat diminati oleh petani yang lain, terbukti kelompok desa disekitar penelitian ini sudah mulai meniru teknologi ini setelah melihat di lapangan. Umumnya ketertarikan para petani dikarenakan teknologi klonalisasi ini cukup mudah dilakukan dan produksi kopi robusta masih dapat dipanen hasilnya. Salah satu kelemahan yang dirasakan waktu penyambungan adalah pada saat musim kering, karena kondisi tanaman kopi robusta kambiumnya tidak aktif sehingga persentase sambungan hidupnya sangat kecil. Oleh karena itu disarankan kepada para petani sebaiknya penyambungan dilakukan pada saat kondisi tanaman kopi tumbuh sehat, dan dilakukan pada musim hujan. Tabel. 1 Rata-rata Jumlah Sambungan Hidup, Tinggi Tunas, Jumlah Daun dan Cabang Primer pada Penelitian Klonalisasi di Desa Kembangsari Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli Tahun 2004. Sambungan hidup (%)
Tinggi tunas (cm)
Andongsari
81,75 c
S 795
90,25 a
Lokal (kontrol)
84,63 b
Perlakuan
Jumlah daun (helai)
Cabang primer (btg)
16,89 b
7,37 b
1,80 c
31,97 a
17,90 a
3,98 a
14,88 c
6,52 b
2,80 b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%
Rata-rata Jumlah Sambungan Hidup
Persentase (%)
90,25 92 90 88 86 84 82 80 78 76
84,63 81,75
Andongsari
S795
Lokal (kontrol)
Perlakuan
Gambar 1. Rata-rata sambungan hidup klonalisasi kopi robusta menjadi kopi Arabika.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
336
Seminar Nasional 2005
Rata-rata Tinggi Tunas 31.97
Tinggi Tunas (cm)
35 30 25
16.89
14.88
20 15 10 5 0 Andongsari
S795
Lokal (kontrol)
Perlakuan
Gambar 2. Rata-rata tinggi tunas pada klonalisasi kopi robusta menjadi klon kopi Arabika.
Rata-rata Jumlah Daun
Jumlah Daun
17.90 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
7.37 6.52
Andongsari
S795
Lokal (kontrol)
Perlakuan
Gambar 3. Rata-rata jumlah daun pada klonalisasi kopi robusta menjadi klon kopi Arabika. Rata-rata Jumlah Cabang Primer
Cabang Primer
3.98 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00
2.80 1.80
Andongsari
S795
Lokal (kontrol)
Perlakuan
Gambar 3. Rata-rata jumlah cabang primer pada klonalisasi kopi robusta menjadi klon kopi Arabika.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
337
Seminar Nasional 2005 Keragaan Usahatani Kopi Arabika dan Kopi Robusta Biaya yang dikeluarkan pada usahatani kopi arabika dan kopi robusta mencakup baiya tenaga kerja dan biaya sarana produksi. Untuk biaya tenaga kerja pada usahatani kopi arabika dalam luasan satu hektar mencapai 104,02 HOK yaitu sebesar Rp. 1.560.293,55 sedangkan usahatani kopi robusta sebesar 88,08 HOK yaitu sebesar Rp. 1.321.174,80. Perbedaan terjadi karena pemangkasan pada usahatani kopi robusta tidak terlalu diperhatikan, juga pada panen kopi robusta hanya dilakukan satu kali, sedangkan kopi arabika dapat melakukan panen sampai empat kali dikarenakan memanen kopi gelondong merah. Untuk biaya sarana produksi usahatani kopi arabika sebesar Rp. 1.563.833,81 sedangkan pada usahatani kopi robusta hanya sebesar Rp. 934.717,21. Perbedaan biaya sarana produksi terjadi pada biaya pupuk yaitu pada usahatani kopi arabika sebesar Rp. 1.431.882,79 (6 truk/ha) sedangkan pada usahatani kopi robusta sebesar Rp. 831.600,00 (4 truk/ha). Tabel 2. Analisa Usahatani Kopi Arabika dan Kopi Robusta per Hektar di Desa Kembangsari Kabupaten Bangli Tahun 2004 Uraian Biaya Tenaga Kerja Pemupukan Pemangkasan Panen Pengolahan Penjemuran Total Biaya Tenaga Kerja Biaya Sarana Produksi Pembelian pupuk Swinih Karung Lain-lain Penyusutan alat Pajak tanah Iuran subak Total Biaya Sarana Produksi Total Biaya Usahatani Total Penerimaan Total Pendapatan B/C Ratio
Kopi Arabika (Rp)
Kopi Robusta (Rp)
478.276,05 162.181,05 688.843,95 48.630,00 182.362,50 1.560.293,55
396.138,60 184.080,60 549.390,60 50.430,60 141.134,40 1.321.174,80
1.431.882,79 3.242,00 9.186,21
831.600,00 2.771,60 8.316,00
63.084,46 46.712,36 9.726,00 1.563.833,81 3.124.127,36 9.120.826,67 5.996.699,31 1,92
36.481,10 47.232,50 8.316,00 934.717,21 2.255.892,01 4.506.480,00 2.250.587,98 1,00
Sumber : diolah dari data primer,2004.
Tabel 2 menunjukkan bahwa analisis usahatani kopi arabika dan kopi robusta per hektar penerimaan tertinggi terjadi pada kopi arabika sebesar Rp. 9.120.826,67, sedangkan untuk penerimaan kopi robusta sebesar Rp. 4.506.480,00. Aliran biaya keluar pada usahatani kopi arabika dan kopi robusta mengeluarkan biaya terbesar terjadi pada usahatani kopi arabika sebesar Rp. 3.124.127,36 dan usahatani kopi robusta sebesar Rp. 2.255.892,01 (Tabel 2). Aliran kas bersih adalah selisih antara aliran kas masuk dengan aliran kas keluar. Berdasarkan aliran kas bersih ditunjukkan bahwa usahatani kopi arabika mempunyai tingkat pendapatan tertinggi yaitu sebesar Rp. 5.996.699,31 sedangkan usahatani kopi robusta sebesar Rp. 2.250.587,98 per hektar (Tabel 2). Secara ekonomi rehabilitasi usahatani kopi arabika lebih menguntungkan dibandingkan kopi robusta karna terjadi peningkatan produksi sebesar 166,45 persen. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Malian (2004) bahwa salah satu indikator kelayakan ekonomi suatu teknologi yang diintroduksi adalah bahwa penerimaan bersih usahatani tersebut harus 30 persen lebih tinggi dibandingkan teknologi petani. Secara umum usahatani kopi arabika dan kopi robusta dapat membantu meningkatkan pendapatan petani, ini dapat dilihat dari nilai pendapatan yang diperoleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
338
Seminar Nasional 2005 (Tabel 2). Sedangkan untuk tingkat efisiensi ekonomis usahatani kopi arabika masih lebih baik dibandingkan dengan usahatani kopi robusta. Hal ini dapat diperkuat dari hasil analisa B/C ratio yang diperoleh dari kopi arabika lebih besar dibandingkan kopi robusta yaitu usahatani kopi arabika memperoleh nilai efisiensi sebesar 1,92 sedangkan untuk uasahatani kopi robusta hanya sebesar 1,00, yang berarti secara ekonomi kopi arabika lebih menguntungkan untuk diusahakan dibandingkan kopi robusta. KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil pengamatan jumlah sambungan jadi, tinggi tunas, jumlah daun dan cabang primer, klonalisasi dengan menggunakan varietas kopi arabika S 795 memberikan hasil yang terbaik dibandingkan varietas lainnya. 2. Kelayakan finansial usahatani kopi arabika hasil rehabilitasi memiliki nilai BCR 1,92 lebih tinggi dibandingkan dengan kopi robusta yang hanya 1,00. Berdasarkan aliran kas bersih bahwa usahatani kopi arabika mempunyai tingkat pendapatan tertinggi yaitu sebesar Rp. 5.996.699,31 sedangkan usahatani kopi robusta sebesar Rp. 2.250.587,98 per hektar DAFTAR PUSTAKA Anonim 1999. Statistik Perkebunan Indonesi: Kopi. Perkebunan Direktorat Jenderal Perkebunan. 86 hal
Departemen Kehutanan dan
Anonim 2000. Statistik perkebunan kabupaten Bangli. Dinas Perkebunan kabupaten Bangli. Downey, W.D. dan S.P. Erickson. 1985. Manajemen Agribisnis. Dialihbahasakan oleh Rochidayat, Gonda S dan Alfonsus. Penerbit Erlangga. Jakarta. 516 hal. Hulupi, R. 2002. Budidaya Kopi Arabika. Pedoman Teknis. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 18 hal. Malian, A. H. 2004. Analisis Ekonomi Usahatani dan Kelayakan Finansial Teknologi Pada Skala Pengkajian dalam Modul Pelatihan Analisa Finansial dan Ekonomi Bagi Pengembangan Sistem Usahatani Agribisnis Wilayah. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian - PAATP. Bogor, 29 – 9 Desember 2004. Mawardi, S. 2001. Kendala Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia. Prosiding Semiloka Usaha Pertanian Organik. 11 hal. Mukti Nur A. 1998. Perkembangan Teknologi Dalam Pengelolaan Perkebunan Kopi Arabika. Warta (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao). Jember. Kadariah. 1988. Evaluasi Proyek. Analisis Ekonomi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi (LPFE). Univesitas Indonesia. Jakarta. Suratiyah, K. 1997. Analisis Usahatani. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Soetrisno. 1982. Dasar-dasar Evaluasi Proyek. Jilid II. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta. Winaryo. 2001. Budidaya Tanaman Organik. Prosiding Semiloka Pertanian Organik. 9 hal.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
339
Seminar Nasional 2005 KELAYAKAN USAHATANI POLA TUMPANGSARI TANAMAN KOPI DENGAN JERUK DI DESA BELANTIH KECAMATAN KINTAMANI KABUPATEN BANGLI W. Trisnawati, Mahaputra dan Jemy Renaldi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali Jln. By Pass Ngurah Rai Pesanggaran Denpasar- BALI Tlp. (0361) 720498 ; Fax (0361) 720498
ABSTRAK Tanaman kopi merupakan jenis tanaman keras yang periode panennya tidak sama, tergantung iklim dan letak geografisnya. Terjadinya perbedaan pola produksi dan fluktuasi harga dapat menimbulkan resiko usaha yang cukup besar bagi petani. Untuk memperkecil resiko ini dapat ditempuh dengan peningkatan efisiensi usaha dan diversifikasi usaha. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk. Penelitian dilaksanakan di Desa Belantih, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli pada bulan Maret sampai bulan Juni 2004. Responden yang digunakan sebanyak 40 petani yang tersebar dalam empat dusun. Untuk melihat kelayakan usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk digunakan analisis finansial NPV, IRR dan B/C ratio. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara finansial usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk layak diusahakan yang ditunjukkan oleh nilai NPV>0, IRR>20% dan B/C ratio>1. Berdasarkan analisis sensitivtas apabila terjadi perubahan harga produk dan harga biaya produksi sebesar 20% sampai 30%, maka usaha ini layak untuk dikembangkan. Kata kunci : tanaman kopi, jeruk, tumpangsari, kelayakan usaha
PENDAHULUAN Kopi merupakan salah satu komoditas perdagangan strategis dan memegang peranan penting bagi perekonomian nasional hingga akhir tahun 1990-an, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Namun peranan komoditas kopi tersebut mulai memudar sejak tahun 2000, khususnya setelah perkopian dunia dilanda krisis akibat membanjirnya produksi kopi dunia (Herman, 2003). Pada saat ini Indonesia menjadi negara produsen kopi terbesar setelah Brazil, Kolombia dan Vietnam. Sebelumnya posisi Indonesia berada pada posisi ketiga. Keberhasilan Vietnam antara lain disebabkan tingginya produkstivitas dalam budidaya yang mencapai 1,8 ton/ha, sedangkan Indonesia hanya mencapai 0,58 ton/ha (Herman, 2003). Pada tahun 1994, volume ekspor kopi relatif rendah yaitu 267,3 ribu ton, tetapi dapat menghasilkan nilai ekspor sebesar US$ 696,7 juta. Beberapa tahun terakhir hingga tahun 2000 volume ekspor kopi masih diatas 300 ribu ton, tetapi nilai ekpsornya terus merosot sampai US $ 311,7 juta. Gambaran ini menunjukkan bahwa walaupun areal perkebunan kopi beberapa tahun terakhir tidak mengalami penyusutan yang berarti, tetapi peranan komoditas kopi untuk memberikan pendapatan yang layak bagi petani makin memudar (Anonim, 2003). Terjadinya fluktuasi harga dan situasi pasar kopi yang kurang menentu dapat menimbulkan resiko usaha yang cukup besar bagi petani. Untuk memperkecil resiko ini maka salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keuntungan per satuan luas lahan pertanaman kopi dapat dilakukan dengan peningkatan efisiensi usaha dan diversifikasi usaha yang disebut juga sebagai pola tanam tumpangsari (multiple cropping) (Yotopoulus dan Nugent, 1976). Tumpangsari pada tanaman kopi dapat dilakukan dengan tumpang sari dengan tanaman sela semusim dan tumpang sari dengan tanaman sela tahunan (Wardani dkk, 1999). Tanaman penaung sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan tanaman kopi, disamping itu juga berfungsi untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan. Pemilihan jenis tanaman penaung yang sesuai dengan agroklimat setempat, dapat memberikan konstribusi pendapatan bagi petani. Salah satu jenis tanaman penaung yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman kopi
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
340
Seminar Nasional 2005 dan dapat memberikan peningkatan konstribusi pendapatan bagi petani adalah tanaman jeruk. Tanaman jeruk sangat baik pertumbuhannya tanpa mengurangi produktivitas tanaman kopi per satuan luas (Anonim, 2002). Jeruk (Citrus nobilis Lour) merupakan salah satu jenis buah-buahan yang banyak diusahakan karena mempunyai potensi ekonomi tinggi, disamping merupakan sumber vitamin dan mineral. Jeruk bukan merupakan tanaman asli Indonesia, tetapi berasal dari Asia Tenggara dan Cina. Saat ini tanaman jeruk tersebar luas dan menduduki seluruh dunia. Di Indonesia tanaman jeruk tersebar luas di dataran rendah sampai pegunungan. Jeruk siem dapat tumbuh subur mulai dari dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter diatas permukaan laut (m dpl) Jeruk ini memiliki ciri-ciri bentuk buah bulat, berkulit licin dan mudah dikupas (Sarwono, 1986). Kabupaten Bangli, Kecamatan Kintamani merupakan salah satu sentra perkebunan kopi arabika terluas di Propinsi Bali. Di samping komoditas kopi, komoditas jeruk (jenis siem/ Citrus nobilis Lour) juga merupakan primadona yang diusahakan petani dengan sistem tumpangsari pada tanaman kopi. Luas areal tanaman kopi arabika di Kabupaten Bangli adalah 3.792 ha dengan produksi 1.675,062 ha. Sedangkan luas areal tanaman jeruk siem adalah 122.860 ha dengan produksi 466,256 ton (Anonim, 2003). Tambahan pendapatan dari tanaman jeruk sangat membantu penerimaan petani, untuk mengetahui layak tidaknya usaha perkebunan tersebut maka dilakukan penelitian mengenai analisis Kelayakan usahatani tanaman perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk. METODA PENELITIAN Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Penelitian dilaksanakan di Desa Belantih, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli pada bulan Maret sampai Juni 2004. Populasi dalam penelitian ini adalah petani kopi dengan pola tanam tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk. Karena populasi tersebar dalam beberapa wilayah (cluster) yang masing-masing mempunyai ciri yang sama (mirip), maka salah satu atau beberapa wilayah dapat diambil secara acak sebagai sampel (Gulo, 2002). Sampel diambil pada 4 (empat) dusun dengan 40 petani sampel yang mengusahakan pola tanam tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan, pencatatan dan observasi di lapangan. Untuk mengetahui kelayakan usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk, digunakan analisis kelayakan dari sisi finansial dengan menghitung tingkat imbalan yang diterima atau modal yang telah di investasikan oleh petani. Analisis kelayakan dengan menentukan B/C ratio, internal rate of return (IRR) dan net present value (NPV), yang merupakan selisih antara tambahan penerimaan dengan tambahan biaya dimulai dari awal pengelolaan lahan perkebunan. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan analisis sensitivitas atau analisis berisiko (Soekartawi, 1995). HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis secara finansial, menunjukkan bahwa usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk layak untuk dilaksanakan. Analisa dilakukan dengan metode perhitungan arus tunai berdiskonto dengan tingkat discount 20% (sesuai tingkat suku bunga saat penelitian). Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan nilai NPV, IRR dan B/C ratio pada Tabel 1 dan 2.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
341
Seminar Nasional 2005 Tabel 1. Nilai NPV IRR, dan B/C Ratio Usahatani Perkebunan Pola Tumpangsari Tanaman Kopi dengan Jeruk di Desa Belantih, Kintamani, Bangli, 2003 Kriteria 1. 2. 3.
Nilai
NPV (Rp) IRR B/C ratio
127.702.909 50,39 3,08
Sumber: Diolah dari data primer hasil penelitian (Lampiran 1, 2, dan 3).
Berdasarkan hasil analisis usahatani dengan memasukkan pendapatan bersih pada tingkat DF 20% pada usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk diperoleh nilai NPV sebesar Rp 127.702.909,20. Jadi berdasarkan kriteria investasi maka usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk layak untuk diusahakan karena NPV menunjukkan nilai positif atau lebih besar dari nol. Hasil perhitungan IRR sebesar 50,39%, menunjukkan bahwa nilai ini lebih besar dari suku bunga diskonto 20%. IRR sebesar 50,39%, menunjukkan bahwa nilai sekarang dari keuntungan bersih (NPV) usahatani perkebunan pola tumpangsari tidak akan bernilai nol. Sehingga dari segi IRR, usaha perkebunan pola tumpangsari layak untuk dilakukan mengingat tingkat pengembalian internal kegiatan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan suku bunga komersial yang berlaku di masyarakat. B/C ratio usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk adalah sebesar 4,58. Artinya bahwa untuk setiap pengeluaran satu rupiah pada nilai sekarang akan memberikan tambahan pendapatan bersih sebesar 4,58 rupiah menurut nilai sekarang. Jadi sesuai dengan kriteria kelayakan maka kegiatan usahatani perkebunan pola tumpangsari layak untuk dikembangkan karena nilai B/C ratio > 1. Hasil perhitungan berdasarkan tiga kriteria kelayakan usaha yang digunakan (NPV, IRR dan B/C ratio) pada usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk, ternyata ketiganya menunjukkan hasil yang positif artinya bahwa usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk layak untuk dikembangkan. Analisis sensitivitas pada usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk dilakukan untuk melihat sejauh mana tingkat kepekaan usahatani tersebut terhadap perubahan penurunan harga produk dan perubahan peningkatan harga input yang mungkin terjadi. Dari hasil analisis yang dilakukan diperoleh data yang menunjukkan bahwa usahatani perkebunan pola tumpangsari masih layak dilakukan, seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Analisis Sensitivitas Usahatani Perkebunan Pola Tumpangsari Tanaman Kopi Dengan Jeruk Di Desa Belantih, Kintamani, Bangli, 2003 No 1 2 3
Uraian Harga produk turun Biaya produksi naik Harga produk turun, biaya input naik
NPV (Rp) 20% 89.879.001,71 120.913.916,89 83.090.009,40
IRR (%) 30%
70.967.047,97 117.519.420,73 65.204.212,79
20%
30%
43,54 59,31 40,08
40,81 45,71 37,20
B/C Ratio 20% 2,46 2,77 2,22
30% 2,16 2,64 1,74
Peningkatan biaya produksi, penurunan harga produk, maupun penurunan harga produk yang diikuti dengan peningkatan biaya produksi sampai 30% ternyata masih memberikan nilai IRR yang lebih tinggi dari suku bunga pinjaman sebesar 20%. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk layak untuk dilaksanakan.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
342
Seminar Nasional 2005 Lampiran 1. NPV Usahatani Perkebunan Pola Tumpangsari Tanaman Kopi dengan Jeruk di Desa Belantih, Kintamani, Bangli, 2003 Tahun Ke 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Biaya (Rp)
Penerimaan Bersih Sebelum DF (Rp)
Penerimaan (Rp)
19.555.000,00 9.977.750,00 12.202.750,00 7.502.750,00 8.572.500,00 7.502.750,00 47.572.500,00 7.502.750,00 47.572.500,00 7.502.750,00 51.960.000,00 7.502.750,00 58.080.000,00 7.502.750,00 66.072.000,00 7.502.750,00 103.128.000,00 7.502.750,00 106.320.000,00 7.502.750,00 102.312.000,00 7.502.750,00 98.040.000,00 7.502.750,00 89.760.000,00 7.502.750,00 82.296.000,00 7.502.750,00 76.440.000,00 7.502.750,00 68.448.000,00 7.502.750,00 63.120.000,00 7.502.750,00 55.656.000,00 7.502.750,00 54.600.000,00 7.502.750,00 41.808.000,00 Net Present Value (NPV)
DF 20%
(19.555.000,00) (9.977.750,00) (12.202.750,00) 1.069.750,00 40.069.750,00 40.069.750,00 44.457.250,00 50.577.250,00 58.569.250,00 95.625.250,00 98.817.250,00 94.809.250,00 90.537.250,00 82.257.250,00 74.793.250,00 68.937.250,00 60.945.250,00 55.617.250,00 48.153.250,00 47.097.250,00 34.305.250,00
1,00 0,83 0,69 0,58 0,48 0,40 0,33 0,28 0,23 0,19 0,16 0,13 0,11 0,09 0,08 0,06 0,05 0,05 0,04 0,03 0,03
PV Penerimaan DF 20% (Rp) (19.555.000,00) (8.314.791,67) (8.474.131,94) 619.068,29 19.323.760,61 16.103.133,84 14.888.643,07 14.115.182,24 13.621.335,64 18.532.814,09 15.959.537,56 12.760.185,99 10.154.355,09 7.688.081,66 5.825.389,39 4.474.404,72 3.296.400,16 2.506.849,89 1.808.685,99 1.474.184,62 894.819,97 127.702.909,00
Sumber : Diolah dari data primer
Lampiran 2. IRR Usahatani Perkebunan Pola Tumpangsari Tanaman Kopi dengan Jeruk di Desa Belantih, Kintamani, Bangli, 2003 Tahun Ke 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Penerimaan Bersih (Rp) (19.555.000,00) (9.977.750,00) (12.202.750,00) 1.069.750,00 40.069.750,00 40.069.750,00 44.457.250,00 50.577.250,00 58.569.250,00 95.625.250,00 98.817.250,00 94.809.250,00 90.537.250,00 82.257.250,00 74.793.250,00 68.937.250,00 60.945.250,00 55.617.250,00 48.153.250,00 47.097.250,00 34.305.250,00 NPV IRR =
DF 45% 1,00000 0,68966 0,47562 0,32802 0,22622 0,15601 0,10759 0,07420 0,05117 0,03529 0,02434 0,01679 0,01158 0,00798 0,00551 0,00380 0,00262 0,00181 0,00125 0,00086 0,00059
Penerimaan Bersih DF 45% (Rp) (19.555.000,00) (6.881.206,90) (5.803.923,90) 350.895,90 9.064.516,08 6.251.390,40 4.783.376,68 3.753.005,46 2.997.268,47 3.374.897,31 2.405.208,56 1.591.485,50 1.048.120,64 656.734,99 411.822,79 261.778,47 159.606,96 100.450,82 59.979,32 40.457,92 20.323,60 5.091.189,07
DF 65% 1,00000 0,60606 0,36731 0,22261 0,13492 0,08177 0,04956 0,03003 0,01820 0,01103 0,00669 0,00405 0,00246 0,00149 0,00090 0,00055 0,00033 0,00020 0,00012 0,00007 0,00004
Penerimaan Bersih DF 65% (Rp) (19.555.000,00) (6.047.121,21) (4.482.185,49) 238.138,97 5.406.059,93 3.276.399,96 2.203.123,94 1.519.034,38 1.066.100,41 1.054.914,07 660.683,29 384.173,43 222.341,21 122.428,61 67.466,35 37.687,28 20.192,81 11.168,18 5.860,23 3.473,77 1.533,49 (13.783.526,41)
50,39000
Sumber : Diolah dari data primer
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
343
Seminar Nasional 2005 Lampiran 3. B/C Ratio Usahatani Perkebunan Pola Tumpangsari Tanaman Kopi dengan Jeruk di Desa Belantih. Kintamani. Bangli. 2003 Tahun Ke
Biaya (Rp)
DF 20%
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
19.555.000,00 9.977.750,00 12.202.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 7.502.750,00 Jumlah B/C Ratio =
1,00 0,83 0,69 0,58 0,48 0,40 0,33 0,28 0,23 0,19 0,16 0,13 0,11 0,09 0,08 0,06 0,05 0,05 0,04 0,03 0,03
PV Biaya DF 20% (Rp)
Penerimaan (Rp)
DF 20%
19.555.000,00 8.314.791,67 8.474.131,94 4.341.869,21 3.618.224,34 3.015.186,95 2.512.655,79 2.093.879,83 1.744.899,86 1.454.083,21 1.211.736,01 1.009.780,01 841.483,34 701.236,12 584.363,43 486.969,53 405.807,94 338.173,28 281.811,07 234.842,56 195.702,13 61.416.628,23
8.572.500,00 47.572.500,00 47.572.500,00 51.960.000,00 58.080.000,00 66.072.000,00 103.128.000,00 106.320.000,00 102.312.000,00 98.040.000,00 89.760.000,00 82.296.000,00 76.440.000,00 68.448.000,00 63.120.000,00 55.656.000,00 54.600.000,00 41.808.000,00
1,00 0,83 0,69 0,58 0,48 0,40 0,33 0,28 0,23 0,19 0,16 0,13 0,11 0,09 0,08 0,06 0,05 0,05 0,04 0,03 0,03
PV Penerimaan DF 20% (Rp) 4.960.937,50 22.941.984,95 19.118.320,79 17.401.298,87 16.209.062,07 15.366.235,50 19.986.897,30 17.171.273,57 13.769.966,00 10.995.838,44 8.389.317,78 6.409.752,82 4.961.374,24 3.702.208,10 2.845.023,17 2.090.497,06 1.709.027,17 1.090.522,10 189.119.537,43
3,08
Sumber : Diolah dari data primer
KESIMPULAN 1. Secara finansial usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk layak untuk dikembangkan. karena memenuhi kriteria nilai NPV lebih besar dari nol. IRR lebih besar dari 20% (suku bunga diskonto) dan nilai B/C ratio lebih besar dari 1. 2. Berdasarkan analisis kepekaan menunjukkan bahwa usahatani perkebunan pola tumpangsari tanaman kopi dengan jeruk layak untuk dikembangkan apabila terjadi perubahan harga 20% sampai 30%. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002. Statistik Perkebunan Propinsi Bali. Dinas Perkebunan Propinsi Bali. Denpasar Anonim. 2003. Buletin Informasi Perkebunan. Dinas Perkebunan Propinsi Bali. Denpasar Anonim. 2003. Statistik Pertanian Tanaman Pangan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Propinsi Bali. Denpasar Gulo. W. 2000. Metodologi Penelitian. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta Herman. 2003. Membangkitkan Kembali Peran Komoditas Kopi Bagi Perekonomian Indonesia. (serial online). Dee’s%20poenja\kopi%20 (internet). Soekartawi. 1995. Dasar Penyusunan Evaluasi Proyek. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Sarwono. B. 1986. Jeruk dan Kerabatnya. Penerbit Swadaya. Jakarta
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
344
Seminar Nasional 2005 Wardani. S.. A.M. Nur. Zaenudin. Isoesetyo. A.A. Prawoto. 1999. Diversifikasi Horisontal Pada Perkebunan Kopi. Prosiding Simposium Kopi 1998. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Jember. Yotopoulus. P.A dan J.B Nugent 1976. Economics of Devolopment Emperial Investigation. Harper & Row. New York.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
345
Seminar Nasional 2005 OPTIMALISASI LAHAN VARIETAS JAMBU METE PADA LAHAN KERING DENGAN TANAMAN JAGUNG DI LOMBOK TIMUR NTB Sudarto 1) Arif S.1)dan Hadad 2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB 2) Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor 1)
ABSTRAK Kabupaten Lombok Timur merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan tanaman jambu mete. Secara garis besar wilayah ini terdiri dari agroekosistem sawah irigasi, sawah tadah hujan, lahan kering dan hutan. Luas lahan kering di Kabupaten Lombok Timur mencapai 115.694 ha (6,3%) dari luas lahan kering NTB (1.814.340 ha). Pemanfaatan lahan kering untuk pertanaman jambu mete sampai saat ini seluas 4.238 ha yang berasal dari Proyek IFAD Dinas Perkebunan dan sebagian kecil merupakan swadaya petani. Pengembangan jambu mete yang ada sekarang ini jenisnya sangat beragam sehingga berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan, rata-rata produksi 356 kg/ha (BPS, 2003). Salah satu upaya peningkatan produksi tersebut dapat dilakukan dengan introduksi varietas jambu mete. Pengujian beberapa varietas jambu mete dilakukan di kebun percobaan Sandubaya, Desa Labuan Lombok Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur tahun 2004. Varietas yang dicoba terdiri 14 yaitu 1). MA-2; 2). A-6; 3). C-65; 4). A.3-2; 5). XII/8; 6). S-21; 7). G.31; 8). ND.Fx21.11; 9). F2.10; 10). GG.180; 11). A-9; 12). III/4/5; 13). L.3-3; dan 14). GG.293, menggunakan rancangan acak kelompok dengan 3 kali ulangan. Parameter yang diamati meliputi lingkar batang, tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang. Berdasarkan analisa data ternyata semua parameter yang diamati tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun analisa terhadap lingkar batang hasil tertinggi diperlihatkan pada klon S-21 (1,17 cm); terhadap tinggi tanaman klon A-9 dan L.3-3 (masing-masing 70,33 cm); terhadap jumlah daun diperlihatkan pada klon A-9 (30,33 helai); dan jumlah cabang pada varietas L.3-3 (6,33 cabang). Untuk mengoptimalkan lahan di antara tanaman jambu mete muda maka diusahakan tanaman jagung. Jenis jagung yang diusahakan jenis jagung Lamuru, menggunakan jarak tanam 80 x 40 cm, dosis pupuk Urea 300 kg, SP-36 100 kg dan KCl 50 kg per hektar. Produksi jagung diperoleh sebanyak 3.667 kg/ha sehingga memberi kontribusi pendapatan sebesar Rp. 1.629.300,- (harga jagung pipil Rp. 900/kg). Kata kunci : Optimalisasi, jambu mete, jagung, lahan kering
PENDAHULUAN Kabupaten Lombok Timur yang terletak di P. Lombok merupakan wilayah yang potensial untuk pengembangan tanaman jambu mete. Secara garis besar wilayah ini terbagi menjadi beberapa agroekosistem yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan, lahan kering, hutan, pekarangan dan lain-lain. Luas lahan kering yang yang potensi untuk pertanian di kabupaten ini mencapai 116.765 ha (6,3%) dari luas lahan kering Nusa Tenggara Barat 1.814.340 ha dimana untuk usaha tanaman pangan seluas 6.021 ha, usaha intercroping tanaman pangan dan tanaman perkebunan seluas 46.288 han dan selebihnya untuk monokultur tanaman perkebunan, hortikultura dan kawasan hutan konservasi (Alkasuma et. al, 2004; BPS, 2003). Pemanfaatan lahan kering sebagian besar ditanami tanaman perkebunan dan hortikultura seperti kelapa, mangga, pisang, jambu mete, srikaya dan lain sebagainya. Tanaman jambu mete mulai masuk di wilayah kabupaten Lombok Timur pada tahun 1992 melalui proyek IFAD oleh Dinas Perkebunan Propinsi Tingkat I Nusa Tenggara Barat dan sampai saat ini telah mencapai luas areal 4.238 ha (Disbun, 2003), dari luasan tersebut hanya sebagian kecil yang merupakan swadaya masyarakat. Tanaman jambu mete yang ada sekarang diketahui jenisnya sangat beragam sehingga berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan, rata-rata produksi yang dicapai 356 kg/ha/tahun gelondong. Selain jenisnya yang beragam rendahnya produktivitas jambu mete juga dipengaruhi oleh teknik budidaya yang masih tradisional, pemeliharaan tanaman, pemupukan belum optimal serta belum menggunakan varietas unggul. Penggunaan varietas unggul spesifik lokasi diharapkan mampu mengatasi rendahnya produksi jambu mete, seperti dilaporkan oleh Hadad et.al (2000) pemanfaatan varietas unggul jambu mete nasional atau varietas spesifik lokasi seperti varietas unggul GG 1, MR 851 dan PK 36 mampu berproduksi sekitar 8,59 kg/pohon gelondong atau setara diatas 1000 kg/ha/tahun gelondong.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
346
Seminar Nasional 2005 Tingkat keberhasilan usahatani lahan kering adalah bagaimana mengkondisikan lahan itu dapat dimanfaatkan secara optimal, selain itu juga faktor iklim sangat dominan seperti distribusi curah hujan, sifat tanah, cuaca dan lain-lain. Dilain pihak, penentuan komoditas yang akan diusahakan juga berpengaruh terhadap sosial budaya setempat. Begitu halnya pada pertanaman yang baru ditanam/tanaman muda jambu mete, terdapat lahan kosong sehingga dapat dimanfaatkan dengan menanam jenis tanaman lainnya seperti tanaman pangan dan palawija. Tanaman palawija yang potensial dikembangkan pada lahan kering di kabupaten Lombok Timur umumnya tanaman jagung. Doorenboos dan Pruitts (1977) menyatakan tanaman jagung dan kedelai merupakan komoditi palawija yang membutuhkan air sedikit selama pertumbuhannya, akan tetapi pada fase-fase tertentu sangat memerlukan air. Selanjutnya Russel (1988) juga menyatakan tanaman jagung toleran terhadap kekurangan air dari pada kelebihan. Di Nusa Tenggara Barat komoditas jagung banyak dipasarkan ke luar daerah seperti pulau Jawa dan Bali. Luas panen jagung di NTB pada tahun 2003 adalah 31.459 ha dengan produktivitas rata-rata sebesar 2,003 ton/ha (Dinas Pertanian Provinsi NTB, 2004), sementara luas panen di Lombok Timur mencapai 8.686 ha dengan produktivitas 2,117 ton/ha (BPS, 2003). Produktivitas yang dicapai masih dibawah rata-rata produktivitas nasional yang mencapai 2,81 ton/ha (Deptan, 2002), terdapat kesenjangan hasil jika dibanding dengan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Balitsereal yang dapat mencapai 7-9 ton/ha (Saenong dan Subandi, 2002). Kesenjangan tersebut dikarenakan kebanyakan petani dalam usahatani jagung masih tradisional, tidak menggunakan benih bermutu dan penggunaan pupuk tidak seimbang sehingga kebutuhan hara seringkali tidak tercukupi. BAHAN DAN METODA Pengkajian dilakukan di kebun percobaan Sandubaya desa Labuan Lombok kecamatan Pringgabaya kabupaten Lombok Timur pada tahun 2004. Pada tanaman jambu mete rancangan yang dipergunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan. Varietas yang ditanam terdiri dari 14 varietas yaitu : 1). MA-2; 2). A-6; 3). C-65; 4). A.3-2; 5). XII/8; 6). S-21; 7). G.31; 8). ND.Fx21.11; 9). F2.10; 10). GG.180; 11). A-9; 12). III/4/5; 13). L.3-3; dan 14). GG.293. Jarak tanam 11 m X 8 m, ditanam pada awal musim hujan dengan kedalaman lubang 50 cm X 50 cm X 50 cm dan tanah bekas galian yang bagian atas dicampur dengan pupuk kandang yang sudah matang (terdekomposisi) sebanyak 10 kg/lubang. Setelah selesai ditanam kondisi permukaan pada tanaman jambu mete dibuat agak cekung agar supaya dapat menampung air pada waktu hujan sehingga kelembaban disekitar tanaman diharapkan bertahan lebih lama, selain itu juga diberi mulsa. Untuk mengoptimalkan lahan diantara tanaman jambu mete diusahakan tanaman jagung dengan menggunakan varietas bersari bebas yaitu varietas Lamuru. Jarak tanam yang digunakan 80 X 40 cm dan ditanam secara tugal dengan 2 biji/lubang. Dosis pupuk yang berikan urea 300 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 50 kg/ha. Patameter yang diamati untuk tanaman jambu mete meliputi: tinggi tanaman (cm), lingkar batang (cm), jumlah daun (helai) dan jumlah cabang. HASIL DAN PEMBAHASAN Tanaman Jambu Mete Bibit jambu mete diperoleh dari hasil sambungan dan persilangan yang dilakukan oleh para peneliti Balittro Bogor dan ditanam di kebun percobaan Sandubaya dengan performance relatif seragam. Waktu penanaman dilakukan pada awal musim hujan, untuk memenuhi kebutuhan air pada musim kemarau sumber air diperoleh dari sumur pompa P2AT yang disambungkan melalui outlet-outlet yang terletak dilokasi pengkajian dan interval penyiraman dilakukan berdasarkan kondisi lapang. Pada setiap barisan jambu mete
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
347
Seminar Nasional 2005 dibuatkan saluran irigasi guna memperlancar jalannya air pada saat pengairan. Hasil analisa data dari setiap parameter tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (Tabel 1). Tabel 1. Rata-rata lingkar batang, tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah cabang varietas jambu mete pada umur 6 bulan setelah tanam, tahun 2004. Varietas MA-2 A-6 C-65 A.3-2 XII/8 S-21 G.31 ND.Fx21.11 F2.10 GG.180 A-9 III/4/5 L.3-3 GG.293 Rata-rata
Lk. Batang (cm)
T. tanaman (cm)
Jumlah daun (helai)
Jumlah cabang
1,23 a 1,05 a 1,04 a 1,05 a 1,06 a 1,17 a 0,87 a 0,93 a 1,02 a 1,16 a 0,99 a 0,98 a 1,15 a 1,04 a 1,05
61,33 a 61,66 a 56,66 a 57,66 a 66,00 a 69,66 a 59,66 a 59,66 a 64,00 a 59,66 a 70,33 a 62,66 a 70,33 a 60,33 a 62,83
29,00 a 27,33 a 27,33 a 23,33 a 28,66 a 36,33 a 24,33 a 26,00 a 28,33 a 25,00 a 30,66 a 27,33 a 28,00 a 28,33 a 27,83
4,33 a 5,33 a 4,33 a 4,33 a 4,66 a 5,33 a 5,33 a 6,00 a 5,00 a 6,33 a 6,00 a 5,00 a 6,33 a 5,66 a 5,28
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada variabel yang sama adalah tidak berbeda nyata pada pada uji LSD taraf 5 %.
Tabel di atas tampak bahwa semua parameter yang diamati setelah dilakukan analisa variance (anova) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, akan tetapi hasil analisis statistik data terhadap parameter lingkar batang hasil terbaik diperlihatkan oleh varietas S.21 (1,17 cm); tinggi tanaman oleh varietas A-9 dan L.3-3 yaitu masing-masing 70,33 cm; jumlah daun oleh varietas S.21 (36,33 helai) dan jumlah cabang oleh varietas L.3-3 (6,33). Kedua varietas tersebut ada kecenderungan lebih adaptif pada awal-awal pertumbuhannya dan kemungkinan faktor lingkungan yang favorable serta proses terbentuknya akar-akar baru lebih cepat sehingga unsur hara dalam tanah lebih cepat diserap untuk menstimulir pertumbuhan. Dengan pemberian pupuk kandang sebelum dilakukan penanaman akan memberi dampak pada tanaman. Pupuk organik dalam tanah berperanan penting dalam meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan lengas tanah dan unsur-unsur hara (Pujianto, 1996). Melihat kondisi yang demikian berarti pupuk organik memberi peluang sebagai pupuk utama karena mengandung unsur hara makro dan unsur mikro yang sangat diperlukan oleh tanaman. Tanaman Jagung Tanaman jagung sebagai tanaman sela ditanam diantara lorong-lorong jambu mete yang baru ditanam. Secara visual, tanaman selama pertumbuhannya cukup baik tetapi pada saat pembuahan hari hujan agak jarang dan curah hujannya relatif kecil, sehingga berpengaruh terhadap perkembangan dan produksi yang dihasilkan Tabel 2. Tabel 2. Produksi dan pendapatan bersih usahatani jagung diantara tanaman jambu mete, tahun 2004. Variabel -
Produksi (pipil) kg/ha Biaya sarana produksi (Rp./ha) Biaya tenaga kerja (Rp./ha) Total biaya produksi (Rp./ha) Hasil kotor (Rp./ha) Keuntungan bersih (Rp./ha) B/C ratio
Jumlah 3.667 761.000,910.000,1.671.000,2.750.250,1.079.250,0,64
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
348
Seminar Nasional 2005 Biaya sarana produksi untuk usahatani jagung yang ditanam sebagai tanaman sela sebesar Rp. 761.000,- untuk keperluan pengadaan benih dan pupuk. Sedangkan tenaga kerja yang diperlukan sebanyak 91 HOK (hari orang kerja) sehingga biaya tenaga kerja yang diperkukan sebesar Rp. 910.000,-, jadi total keseluruhan biaya produksi yang diperlukan sebesar Rp. 1.671.000,-. Produksi yang dihasilkan sebanyak 3.667 kg/ha jagung pipil dan dperoleh hasil kotor sebesar Rp. 2.750.250,- dengan harga jagung pada waktu itu ditingkat petani sebesar Rp. 750,- per kilogram. Dari usahatani ersebut diperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 1.079.250,- dengan B/C ratio 0,64%. Rendahnya produksi yang diperoleh dikarenakan pada saat tanaman muncul bunga kondisi lapang kekeringan, hujan yang turun curah hujannya kecil dan interval harinya jarang (Lampiran 1). Selain itu kondisi lahannya juga porous karena tanahnya berstektur debu perpasir sehingga penguapan tanah cepat terjadi. Walaupun dikatakan di atas, tanaman jagung selama pertumbuhannya sedikit perlu air, akan tetapi pada saat periode tertentu sangat memerlukan air seperti halnya pada fase pembungaan. KESIMPULAN Semua parameter yang diamati setelah dilakukan analisa variance (anova) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, akan tetapi hasil analisis statistik data terhadap parameter lingkar batang hasil terbaik diperlihatkan oleh varietas S.21 (1,17 cm); tinggi tanaman oleh varietas A-9 dan L.3-3 yaitu masing-masing 70,33 cm; jumlah daun oleh varietas S.21 (36,33 helai) dan jumlah cabang oleh varietas L.3-3 (6,33). Kedua varietas tersebut ada kecenderungan lebih adaptif pada awal-awal pertumbuhannya dan kemungkinan faktor lingkungan yang favorable serta proses terbentuknya akar-akar baru lebih cepat sehingga unsur hara dalam tanah lebih cepat diserap untuk menstimulir pertumbuhan. Produksi yang dihasilkan sebanyak 3.667 kg/ha jagung pipil dan dperoleh hasil kotor sebesar Rp. 2.750.250,- dengan harga jagung pada waktu itu ditingkat petani sebesar Rp. 750,- per kilogram. Dari usahatani ersebut diperoleh keuntungan bersih sebesar Rp. 1.079.250,- dengan B/C ratio 0,64 %. DAFTAR PUSTAKA Alkasuma, A. Bambang Siswanto, Adi Hermawan dan Asep Iskandar. 2004. Penyusunan eta Pengwilayahan Komoditas Pertanian Berdasarkan Zone Agroekologi Skala 1:50.000 di Kabupaten Lombok Timur. Propinsi Nusa Tenggara Barat. Balai Penelitian Tanah. Puslitbangtanak. Bogor. BPS. 2003. Kabupaten Lombok Timur Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat. Mataram. Deptan. 2002. Agribisnis Jagung. Informasi dan Peluang. Faestival Jagung Pangan Pokok Alternatif. Bogor. 26-27 April 2002. Deptan. 2004. Masyarakat Agribisnis Jagung di NTB. Disampaikan Pada Pertemuan MAJ. Mataram Mei 2004. Disbun. 2003. Statistik Tanaman Perkebunan. Dinas Perkebunan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. Doorenboos, J. And Pruitts, W.O. 1977. Crop Water Requirements, Food and Agricultural Organization of United Nation. Rome. Hadad,E.A., S. Koerniati, N. Bermawi, Hobir, S. Wahyuni dan A. Djisbar. 2000. Pelepasan Jambu mete: Varietas Asem Bagus dan Muktiharjo Hasil Klonal Nomor Harapan Jambu Mete di Muktiharjo Tahun 1995-2000. Balittro.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
349
Seminar Nasional 2005 Pujianto. 1996. Status Bahan Organik Tanah pada Perkebunan Kopi dan Kakao di Jawa Timur. Warta Puslit Kopi Kakao. 12: 115-119. Russel, E.W. 1988. Soil Condition and Plan t Growth. 10 th. Edition Long-man. London. Saenong, S. dan Subandi. 2002. Konsep PTT Pada Tanaman Jagung. Makalah Disampaikan Pada Pembinaan Teknis dan Manajemen PTT Palawija di Balitkabi. Malang 2122 Desember 2002.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
350
Seminar Nasional 2005 Lampiran 1. Data curah hujan (mm) station kebun percobaan Sandubaya, 2004/2005 Tgl.
Des'04
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 CH HH
3,4 54 0 0 13,4 9 5,4 85,2 7
Jan'05 0 0 3 28 39 1,8 6 3,4 2,6 11 30,4 125,2 11
Feb'05 0,4 1 2,2 6 16 12,3 1,4 11,6 0,2 51,1 10
Mar'05 17 2 50,3 0 7 6 20,4 0,2 0 11,6 3 117,5 12
Apr'05
Mei'05
7,4 39 3,4 8,6 37 78,6 7 3 184 8
1,2 4,9 6,1 2
Jun'05 -
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
Jul'05 -
Agt'05 -
Sep'05 -
351
Seminar Nasional 2005 UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI VANILI MELALUI PERBAIKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN PASCA PANEN Yusuf1) dan Nelson H.Kario1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTT
ABSTRAK Sampai saat ini vanili dikenal sebagai salah satu komoditas perkebunan yang banyak dikembangkan petani. Hal ini disebabkan oleh karena komoditas ini memiliki harga jual yang relatif cukup tinggi dibanding komoditas sejenis. Seiring dengan perkembangan tersebut namun kurang didukung oleh teknologi seperti budidaya dan pasca panen. Kedua aspek ini sangat penting untuk diperhatikan karena dikenal sebagai sumber kelemahan yang bersifat mendasar untuk diperbaiki. Teknologi budidaya yang perlu diperbaiki antara lain : pembersihan dan pengolahan tanah (cara dan frekwensi), pohon pelindung (jenis), stek (sumber, ukuran, dan umur), penanaman (jarak tanam, metode penjarangan), penyerbukan (waktu, metode, kwalitas dan kwantitas) pemupukan (metode, bahan, dan frekwensi), pemberantasan hama/penyakit (jenis, metode, waktu), pemeliharaan (sanitasi) dan panen (umur, kwantitas, peralatan dan metode) sedangkan pasca panen yaitu peralatan, bahan pendukung, metode pada aktivitas perebusan, penjemuran, pengering-anginan, pengemasan, dan penyimpanan. Kata kunci : vanili, teknologi budidaya, pasca panen
PENDAHULUAN Sampai saat ini vanili (Vanilla planifolia ANDREWS) merupakan salah satu komoditas pertanian yang masih cukup prospektif untuk dikembangkan. Vanili memiliki harga jual yang relatif lebih tinggi dibanding komoditas lain khususnya di sub sektor perkebunan. Sebagai komoditas bernilai ekonomis tinggi perkembangannya telah meyebar dihampir seluruh Indonesia. Bali yang lebih dikenal sebagai sentra produksi selama ini telah digeser oleh Sulawesi Utara. Indikator makro menunjukkan perkembangan kontribusi pasokan vanili ekport Indonesia di pasar dunia berada pada urutan kedua (15,1 persen) setelah Madagaskar yang mencapai 80,4 persen. Mulai tahun 1989 vanili Indonesia meningkat menjadi 42,11 persen sedangkan Madagaskar turun menjadi 43,50 persen. Posisi ladovesia kembali turun menjadi urutan ke empat (11,8 persen) sedangkan Madagaskar meningkat drastis mencapai 70 persen (Anonim, 1994). Untuk diketahui bahwa harga pasaran dunia hingga tahun 2000 cukup stabil dengan harga jual eksport Indonesia berkisar antara US$ 59.60 – US$ 66.00 sedangkan Madagaskar berkisar antara US$ 70.00 – US$ 74.00 per kilogram kering. Terjadinya perbedaan ini sebagai dampak akibat adanya perbedaan kwalitas eksport dimana Indonesia lebih dominan kwalitas II dan asalan (whole bean) yang berkwalitas rendah, sedangkan Madagaskar umumnya dalam bentuk vanili tua yang berkadar Vanillin tinggi. Untuk itu perubahan ini dapat dipastikan penyebabnya adalah mutu/kualitas akibat pelaksanaan pasca panen yang kurang tepat akibat waktu processing seperti pengeringan dan penyimpanan yang membutuhkan waktu yang agak lama.(USDA, 1989, dalam Mauludi, 1994; Malian, et al. 2004; Anonim, 1994; Risfaheri dan Rusli, 1991). Terlepas dari kendala tersebut diatas budidaya juga masih dianggap sebagai salah satu mata rantai kelemahan yang mutlak perlu diperhatikan untuk mendorong upaya peningkatan pendapatan petani. Bertolak dari kondisi tersebut maka perlu perbaikan yang lebih mendalam apalagi dalam menunjang ke arah agribisnis. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) tanaman ini baru berkembang dengan baik pada satu dekade terakhir terutama di daerah Pulau Flores bagian barat seperti Manggarai, Ngada dan Bajawa serta Pulau Sumba. Namun perkembangannya mengalami stagnasi karena pengaruh ke dua faktor tersebut diatas. Untuk itu dianggap perlu untuk memberikan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
352
Seminar Nasional 2005 informasi yang terkait dengan kendala yang dialami untuk mendukung pengembangan berskala luas dan berorientasi agribisnis. Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan NTT (Tabel 1) terlihat bahwa selama rentang waktu 5 tahun (1998 – 2002) terdapat peningkatan perkembangan luas areal penanaman dan produksi yang signifikan walaupun terjadi penurunan luas penanaman pada 1999 yang tidak berdampak terhadap produksi. Tabel 1. Luas Areal Penanaman dan Produksi Vanili di NTT (1998 – 2002) Tahun
Luas Areal Penanaman (ha)
Produksi (ton)
1998 1999 2000 2001 2002
1.608 1.580 1.740 1.988 2.182
313 331 356 436 440
Sumber : Anonim, (2003).
Tulisan ini merupakan review beberapa hasil penelitian yang terkait dengan kendala yang dihadapi petani di NTT sekaligus sebagai sumber informasi yang diharapkan mampu meminimalisir kebutuhan di tingkat pengguna (stakeholder). UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI Teknologi Budidaya Pembersihan/Pengolahan lahan Lahan dibersihkan dari gulma atau tumbuhan pengganggu. Waktu pelaksanaannya pada akhir musim kemarau atau awal musim hujan. Untuk mempermudah pertumbuhan/ perkembangan akar supaya lebih mudah memperoleh unsur hara dan menekan penyakit seperti cendawan sebaiknya diikuti dengan penggemburan. Upaya ini dilakukan disamping mampu meminimalisir kendala tersebut di atas juga untuk mempermudah air hujan terserap sehingga tidak menimbulkan genangan yang dapat memicu pertumbuhan penyakit. Untuk penggemburan disarankan menggunakan cangkul garpu. Model ini dilakukan dengan membuat parit selebar 510 cm sedalam 20 cm dalam masing-masing barisan. Kegunaan parit dimaksudkan adalah sebagai; (a) media penyimpan limbah untuk dapat dijadikan sebagai sumber pupuk organik terutama yang berasal dari daun atau serasah; (b) Mengurangi genangan air; dan (c) Pengaturan barisan. Penanaman Pohon Pelindung Fungsi dari pohon ini adalah sebagai media panjatan atau pelindung bagi tanaman panili. Beberapa jenis yang dapat digunakan antara lain : Gliricidia, Lamtoro, dadap, jarak pagar dan waru. Waktu penanaman antar jenis pohon pelindung disesuaikan. Untuk gliricidia sebaiknya ditanam pada bulan September sampai Nopember sedangkan lamtoro pada bulan Januari sampai Maret. Adanya perbedaan ini disebabkan karena kecepatan tanaman tersebut dalam membentuk tajuk. Tinggi pohon pelindung antara 1,25 sampai 1,8 meter dan ditanam satu tahun sebelum tanaman panili ditanam dengan maksud agar pada saat penanaman panili tanaman telah memiliki daun yang cukup. Jarak tanam 1,5 x 1 meter. Penanaman dilakukan sebaiknya membujur dari utara ke selatan dengan maksud supaya sinar matahari pagi secara langsung dapat menyinari tanaman panili sampai pada bagian yang terdalam sedangkan disiang hari panili tidak terkena langsung (terlindungi). Beberapa syarat pohon pelindung/panjatan antara lain: (a) Pertumbuhan tidak terlalu besar dan subur sehingga daunnya tidak terlalu rimbun; (b) Mudah dipangkas sehingga mudah diatur dan tidak mudah patah; (c) Tahan rebah dan berakar dalam sehingga tidak
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
353
Seminar Nasional 2005 mengganggu perakaran vanili; dan (d) Tergolong leguminose sehingga berfungsi sebagai sumber bahan penyubur tanah. Untuk membentuk naungan yang tidak terlalui teduh dan gelap sebaiknya menggunakan campuran antara tiga jenis pohon pelindung/panjatan yang tidak berbiji banyak seperti lamtoro diselingi dengan satu batang pohon dadap. Banyaknya naungan yang diperlukan disesuaikan dengan tinggi rendahnya tempat dari permukaan laut. Makin tinggi tempat tumbuh naungan semakin sedikit. Penanaman Stek Penanaman stek dilakukan setelah pohon pelindung/panjatan telah memiliki daun yang cukup. Sumber stek sebaiknya berasal dari sulur yang sehat, kuat dan belum pernah berbuah. Apabila berasal dari tanaman yang telah berbuah maka daya tumbuhnya akan semakin berkurang serta potensial terkena penyakit yang berasal dari tanaman induk. Panjang stek bibit sekurang-kurangnya memiliki 5 – 7 ruas atau setara dengan minimal 70 cm. Sebelum stek ditanam sebanyak tiga buah daun yang terdapat pada bagian pangkal stek yang akan ditanam sebaiknya dibuang dengan maksud untuk menghindari pembusukan. Luka hasil pemotongan daun tersebut selanjutnya dibiarkan mengering barulah stek panili siap ditanam. Stek ditanam dengan membenamkan 3 ruas bagian pangkal stek (kira-kira 10 cm) pada lobang sedalam 10 cm atau disesuaikan dengan panjangnya ruas stek yang tertanam. Lobang tanam diberi kompos secukupnya kemdian tanahnya sedikit ditekan. Ruas empat dan kelima dilekatkan dan diikat pada pohon pelindung/panjatan. Tanah disekitar stek jangan dibiarkan mengering untuk itu dapat diantisipasi dengan penutupan menggunakan mulsa kalau perlu dapat dilakukan penyiraman. Menurut Darwis (1988) mengatakan bahwa tanaman panili juga dapat diusahakan diantara pertanaman kelapa dengan jarak 2 meter dari batang kelapa menggunakan jarak tanam 1,5 meter antar barisan dan 1 meter dalam barisan. Apabila jarak tanam kelapa 9 x 9 meter maka dalam satu hektar terdapat 4000 pohon (10 x 4 x 100). Demikian halnya dengan yang dikemukakan Yoseph, et.al. (1999) panili potensial untuk dikombinasikan dengan tanaman cabe. namun dengan konsekwensi perubahan jarak tanam menjadi 2 x 1,5 meter. Pola tanam ini mampu meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 325.000/ha. Penyerbukan Tanaman panili pertama kali mulai berbunga pada umur 12 – 18 bulan. Biasanya pada bulan agustus sampai September. Dalam satu tandan biasanya terdapat 2 – 3 kuntum bunga yang mekar. Sehingga waktu penyerbukan untuk satu tandan biasanya membutuhkan waktu beberapa hari. Penyerbukan pada umumnya dilakukan dengan bantuan manusia. Hal ini karena kepala putik bunga panili tertutup oleh sebuah bibir (labellum) dari daun bunga yang ke enam. Penyerbukan dapat pula dilakukan melalui serangga tetapi prosentase keberhasilan penyerbukan sangat kecil (1 persen). Waktu penyerbukan sebaiknya dilakukan hanya pada setiap jam 06.00 sampai 10.00 saat bunga telah kering dari embun. Waktu penyerbukan ini sangat penting untuk diperhatikan karena apabila setelah melewati jam 10.00 tersebut bunga yang telah mekar akan mulai layu dan saat berbunga dari tanaman ini hanya berlangsung satu kali setahun. Untuk memperoleh hasil penyerbukan yang baik sebaiknya waktu penyerbukan dilakukan pada kondisi udara yang kering. Alat yang dapat membantu proses penyerbukan antara lain : lidi, sayatan bamboo atau seng yang telah digunting agak panjang (15 cm). Proses ini dapat dilakukan dengan cara tangan kiri memegang bunga sedangkan tangan kanan memegang lidi/plat seng. Alat bantu digunakan untuk menyobek bibir bunga kemudian bagian bunga yang membatasi antara kepala sari dan putik (rostellum) diangkat dengan lidi. Kapala sari dengan menggunakan ibu jari tangan kiri menekan kearah kepala putik sampai serbuk sari keluar dan
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
354
Seminar Nasional 2005 menempel pada kepala putik. Penyerbukan akan berhasil dengan baik ditandai gugurnya tajuk bunga sedangkan tangkai bunga membesar. Banyaknya tandan dalam 1 pohon umumnya bervariasi dengan jumlah maksimal mencapai 15 – 20 dengan banyaknya buah dalam masing-masing tandan 15 – 20 maka dalam satu pohon akan terdapat 225 – 400 polong (Yufdy, 1985). Namun menurut Purseglove, et al. (1981) dalam Yufdy (1995) menyarankan bahwa agar memperoleh mutu hasil produksi yang baik dan seragam sebaiknya jumlah buah dibatasi antara 4 – 8 buah saja per tandan dan untuk satu pohon maksimal 60 buah (Lalit, 1985). Kondisi ini sangat berbeda dengan kebiasaan petani di Indonesia yang membatasi 10 buah per tandan. Penjarangan dapat dilakukan setelah mencapai tujuh bulan dengan membuang buah yang panjangnya kurang dari delapan cm. Upaya ini dapat dilakukan untuk menjaga kwalitas/mutu. Apabila upaya ini tidak dilakukan maka hasil produksi panenan berkwalitas rendah serta tanaman itu sendiri akan menjadi lemah yang berdampak pada penurunan produksi pada musim berikutnya. Pemupukan Perlakuan ini diperlukan untuk mencukupi kebutuhan hara tanaman. Hal ini disebabkan karena salah satu penentu untuk memcapai hasil produksi yang diinginkan salah satunya ditentukan oleh kesuburan/ketersediaan unsure hara (Rusli, 1992). Jenis pupuk yang dibutuhkan adalah organik dan anorganik. Untuk pupuk organik dapat diperoleh melalui pemanfaatan sisa hijauan guguran daun kering pohon pelindung/panjatan serta kompos. diberikan sebanyak dua kali yaitu pada awal musim hujan dan musim kemarau dengan dosis dengan dosis 0,25 kg/pohon (BRI, 1986). Sedangkan untuk anorganik yaitu Urea, SP36 dan KCl dengan perbandingan masing-masing 8 Kg ; 4 Kg SP36 dan 14 KCl diberikan satu kali sesudah panen berlangsung. Untuk pupuk daun seperti gandasil D (daun), flori, bayfolan yang dapat dilakukan melalui daun dengan dosis 2 gram per liter air. Pemberian sebaiknya disesuaikan dengan kondisi alam dan tanaman terutama apabila musim kering cukup panjang dan pembuahan cukup baik. Selanjutnya untuk lebih mengefektifkan penyerapan pupuk daun ini pemupukan sebaiknya dilakukan pada sore atau malam hari karena stomata terbuka. Aplikasi dilakukan setiap dua minggu sekali atau satu bulan sekali. Namun dari berbagai metode aplikasi yang ada Yufdy, (1995) menyampaikan bahwa kombinasi dharmasri + gandasil B mampu memberikan panjang polong terbaik serta Atonik untuk bobot polong (Tabel 1). Untuk PH tanah 5,0 – 5,5 disarankan dilakukan pengapuran untuk mencapai PH ideal 6 -7. Usaha ini dimaksudkan untuk memperkecil terjadinya serangan penyakit busuk batang. Tabel 2. Pengaruh Zat Pegatur Tumbuh dan Pupuk Buah terhadap Panjang dan Bobot Polong Vanili Perlakuan Kontrol Atonik Dharmasri Gandasil B Coplesal Atonik + Gandasil B Atonik + Complesal Dharmasri + Gandasil B Dharmasri + Complesal
Panjang polong (cm)
Bobot polong (gram)
15,12 17,42 16,88 16,82 16,72 17,57 17,55 17,65 17,51
12,26 14,12 12,12 12,57 12,54 13,38 13,36 12,95 13,65
Sumber : Yufdy, (1995).
Pemberantasan Hama/Penyakit Jenis hama yang menyerang tanaman panili adalah bekicot dan belalang. Bagian tanaman yang diserang adalah daun atau pucuk tanaman yang berumur muda. Namun tingkatan serangan kedua jenis hama ini selama ini belum terlalu dianggap berpengaruh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
355
Seminar Nasional 2005 terhadap produktivitas usaha. Namun demikian perlu faktor pengawasan dilakukan secara periodik/berkala. Upaya pencegahan dapat dilakukan secara kimia dan mekanis. Penyakit merupakan ancaman yang paling serius dalam menjalankan usahatani ini. Oleh karena itu maka perlu kewaspadaan yang sangat tinggi terutama pengawasan (controlling) agar tanaman terhindar dari kemungkinan serangan. Jenis penyakit yang menyerang tanaman vanili adalah seperti tertera pada Tabel 2. Tabel 3. Jenis Penyakit Vanili, Indikasi dan Antisipasi Penanggulangannya Jenis penyakit
Penyebab
Bagian tanaman yang terserang
Nectria vanillae (Noda coklat pada batang
Cendawan
batang, sulur kadang-kadang daun
Phytoptora sp
Penyakit
Buah (tua)
Busuk akar (Fusarium sp)
Virus
Calospora vanilla
Cendawan
Cephaleuros henningsii
Lumut
Indikasi
Antisipasi
- Bagian dalam batang yang terserang berwarna coklat - Batang mengkerut kemudian mati - Noda coklat pada buah tua
Potong dan baker bagian tanaman yang terserang
- Potong dan bakar bagian tanaman yang terserang - Dithaen M-45 Akar Akar berwarna hitam, - Tanam campur kopiBagian atas busuk dan panili mongering - Benlate/antracol Daun, batang dan Noda semula licin berubah - Potong/baker bagian buah warna menjadi coklat muda yang terserangsebelum kekuning-kuningan spora terbentuk - Mengurangi tajuk pohon pelindung Daun Noda pada daun membesar - Daun yang terserang hingga 2 cm dibakar
Sumber : Anonim(1988).
Pemeliharaan Kegiatan yang termasuk dalam kegiatan ini antara lain : pemangkasan pohon pelindung/panjatan dan stek, penyiangan, pengaturan perambatan, penyiraman/mulsa, penyulaman, dan pengairan. Pemangkasan pohon pelindung diarahkan untuk mempertahankan iklim mikro lingkungan sehingga tanaman tidak mengalami stress bahkan kematian akibat adanya suhu lingkungan yang tidak sesuai. Upaya yang dapat dilakukan untuk mempertahankan kondisi tersebut adalah melalui pemangkasan untuk mempertahankan prosentase penyinaran yang disesuaikan dengan kondisi iklim. Untuk itu maka Tukijo, (1995) menyarankan bahwa sebaiknya 30% sinar matahari masuk pada musim kemarau sedangkan pada musim penghujan sebesar 50%. Pemangkasan stek terdiri atas dua jenis yaitu pemangkasan produksi dan perawatan/pemeliharaan. Pemangkasan produksi lebih diarahkan untuk percepatan buah sedangkan pemangkasan perawatan/pemeliharaan untuk efisiensi penyerapan unsur hara. Bentuk pemangkasan produksi dapat dilakukan dengan memperhatikan naik-turunnya sulur dimana pemangkasan dilakukan pada batang ke tiga yang turun sebelum mencapai permukaan tanah, sedangkan pada perawatan/pemeliharaan dilakukan dengan membuang sulur yang pernah berbuah dengan tujuan agar tanaman dapat membentuk cabang-cabang baru serta cepat berbuah kembali. Penyiangan dapat dilakukan dengan menggunakan cangkul garpu terutama pada tanah yang agak berat (keras/padat) dengan tujuan penggemburan. Perlunya memperhatikan upaya ini agar tidak mengganggu system perakaran panili dan tidak banyak yang terputus. Pengaturan perambatan disesuaikan kapasitas dan kondisi media rambatan. Hingga saat ini terdapat dua model perambatan yang umum dilakukan yaitu sistem pagar dan tunggal.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
356
Seminar Nasional 2005 Penyulaman dapat dilakukan untuk mengganti stek yang mati setelah berumur 2 – 3 mingu setelah tanam. Upaya ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan keseragaman produksi diareal pertanaman. Menurut Yufdy (1995) vanili tergolong tanaman yang tahan terhadap kekeringan karena memiliki akar udara yang berfungsi sebagai pengambil air. Namun bantuan penyiraman diperlukan apabila tanaman tidak mampu berinteraksi dengan kondisi lingkungan terutama disaat mengalami kekeringan yang sangat ekstrim. Sedangkan mulsa diarahkan untuk mengurangi penguapan dengan menggunakan sabut kelapa atau plastik. Panen Untuk mendapatkan buah panili yang bermutu maka pemanenan hasil sebaiknya dilakukan secara bertahap (petik pilih) sedangkan yang belum masak ditunda. Hal ini supaya memudahkan melakukan proses sortasi. Pemetikan hasil dapat dilakukan dengan tangan (memuntir) atau dengan gunting agar buah yang tertinggal tidak rusak. Ciri buah yang dipanen adalah berwarna hijau muda suram (memudar), terdapat garis-garis kecil berwarna kuning yang makin lama semakin membesar pada kulit buah serta ujung buah telah menguning. Kondisi ini biasanya dicapai pada umur 7 – 9 bulan sejak penyerbukan dilakukan. Apabila tepat umur panen maka akan dihasilkan buah panili kering yang mengkilap, lentur, berdaging, berwarna coklat kehitam-hitaman dengan aroma vanillin yang khas dan tajam. Untuk itu maka umur panen merupakan salah satu penentu mutu. Seperti yang terdapat pada tabel 3 dibawah ini memperlihatkan bahwa semakin tua produksi buah panili kadar vanillinnya semakin meningkat. Tabel 4. Pengaruh Umur Panen terhadap Kadar Vanillin dan Abu Umur panen (hari)
Kadar vanillin (%)
Kadar abu (%)
150 180 210 240
0,85 1,90 2,65 2,95
6,75 5,65 4,91 3,59
Sumber : Darmono, (1987) dalam Risfaheri dan Rusli, (1995).
Teknologi Pasca Panen Pelayuan (Wilthing Treatment) Tujuan dari proses ini adalah untuk mematikan sel-sel buah. Proses ini dilakukan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan oven pada suhu 45 – 50 persen dan dengan air yang hamper mendidih pada suhu 95 oC selama 20 menit. Namun hingga saat ini pelayuan menggunakan air telah banyak dilakukan petani. Pemeraman Proses ini dilakukan setelah pelayuan. Tujuan dari proses ini adalah untuk memperoleh kesesuaian tekstur dan fleksibilitas. Prosedurnya adalah setelah perebusan selesai, buah dikeluarkan dan ditiriskan dengan tapis selama 10 detik sampai seluruh air menetes. Kemudian buah dimasukkan kedalam peti kayu/kotak yang disusun secara teratur dan ditekan kebawah agar udara pada bagian bawah kotak pemeraman terdesak keluar dengan maksud meminimalisir kerusakan akibat serangan jamur. Peti ditutup dengan menggunakan kain agar hawa panas tidak menguap . Proses ini dilakukan selama 48 jam. Buah yang berwarna kecoklatan disertai berminyak mengindikasikan bahwa proses pemeraman (fermentasi) telah berjalan dengan baik. Kotak ini disarankan agar berdinding rangkap yang diberi sekat/isolasi berupa sabut kelapa yang sudah dihaluskan, serbuk gergaji, kain tebal atau karung goni.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
357
Seminar Nasional 2005
Pengeringan Proses ini dilakukan dengan cara meletakkan buah yang telah diperam keatas kain yang merwarna hitam tebal yang bersih bebas debu dan jamur, berukuran 1,5 m x 1,3 m yang dapat membungkus 10 – 15 kg buah panili di bawah sinar matahari. Penjemuran sebaiknya dilakukan menggunakan para-para dari bambu atau papan berukuran 0,9 m (tinggi); 1,5 m (lebar) dan 10 – 12 m (panjang). Lamanya penjemuran disesuaikan dengan panas teriknya matahari selama 2 – 2,5 jam yang dibolak-balik secara merata 3 – 4 kali se hari selama 12 – 15 hari untuk masak petik; 10 -13 hari masak pecah: 10 – 12 hari buah kecil dan tidak normal serta 15 – 20 hari petik muda. Proses ini merupakan tahapan yang paling kritis dibanding tahapan lainnya. Upaya tambahan yang perlu dilakukan pada proses ini adalah penyeleksian buah yang telah kering (kadar air 55 – 60%) berciri: bentuk nampak keriput, lentur dan warnanya berwarna coklat agak kemerah-merahan. Pengeringanginan Tujuan dari tahapan ini adalah pengurangan kandungan kadar air dari 55 – 60% sampai 25 – 30%. Dapat dilakukan dengan mengangin-anginkan ditempat teduh pada anyaman bambu atau kawat yang disusun rapi berukuran 1 m x 1,2 m yang berkapasitas 10– 12 kg. Waktu yang dibutuhkan 3 – 6 minggu. Dalam proses ini buah panili sebaiknya tidak terkena langsung sinar matahari. Untuk itu tempat untuk melaksanakan proses ini sebaiknya ditempat yang agak luas seperti gudang atau tempat yang dianggap layak. Pada proses ini masih pula terdapat pekerjaan sortasi tambahan untuk memilah buah yang telah betul-betul kering. Penyimpanan Proses ini merupakan tahapan proses pascananen terakhir. Tujuannya adalah untuk memperoleh aroma atau rasa vanilli yang khas. Dilakukan dengan mengikat 50 – 100 buah/ikat kemudian dimasukkan kedalam peti yang bagian dalamnya telah dilapisi dengan kertas berminyak dan ditutup rapat. KESIMPULAN Teknologi budidaya yang yang perlu diperbaiki antara lain : pembersihan dan pengolahan tanah (cara dan frekwensi), pohon pelindung (jenis), stek (sumber, ukuran, dan umur), penanaman (jarak tanam, metode, penjarangan), penyerbukan (waktu, metode, kwalitas dan kwantitas) pemupukan (metode, bahan, dan frekwensi), pemberantasan hama/penyakit (jenis, metode, waktu), pemeliharaan (sanitasi) dan panen (umur, kwantitas, peralatan dan metode). Teknologi pasca penen yang dinilai perlu mendapatkan penanganan adalah: peralatan, bahan pendukung, metode pada aktivitas perebusan, penjemuran, pengering-anginan, pengemasan, dan penyimpanan. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1988. Budidaya vanili. BIP NTT Anonim. 1994. Perkembangan Eksport Vanili Indonesia dan Upaya Peningkatan Mutu Hasilnya. Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Vol.XV No. 3 p. 1 Anonim. 2003. Peluang dan Tantangan Kewirausahaan pada Sub Sektor Perkebunan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Program Semi-Que V Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang. Bank Rakyat Indonesia, 1986. Vanili : Suatu Tinjauan terhadap Produksi dan Analisis Financial. Kantor Pusat Bank Rakyat Indonesia, Jakarta.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
358
Seminar Nasional 2005 Darwis, S.N. 1988. Tanaman Sela Diantara Kelapa. Seri Pengembangan : No. 2. Pusat Pengembangan Tanaman Industri Joseph, G.H., R. Kaunang, A.L. Polakitan, D.J. Torar, Y. Tamburian, M.M.M Rumokoi, R.B. Maliangkay, A. Mangkey. 1999. Pengkajian System Usaha Pertanian Berbasis Kelapa di Provinsi Sulawesi Utara. Prosiding Paket Teknologi. Malian, AH., Rachman, A., Djuli. 2004. Permintaan Eksport dan Daya Saing Vanili di Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 22 No. 1 Mei 2004. Mauludi, L. 1994. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Pemasaran Vanili di Propinsi Bali. Buletin Penelitian Tanaman Rempaah nan Obat, Bogor, P. 10 Nuryani Y., Asnawi dan Nasrun. 199. . Panili. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Risfaheri dan S., Rusli. 1991. Pengaruh Cara Pengeringan Tahap II terhadap Mutu Vanili. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. Tombe M., Sukamto, D., Sitepu. 1995. Penanggulangan Penyakit Busuk Batang (BBP) secara Terpadu. Prosiding Temu Tugas Pemanfaatan Budidaya dan Pengolahan vanili di Lampung. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro), Bogor. Tukijo. 1995. Pengalaman Membudidayakan Vanili. Yufdy M. Prama. 1995. Budidaya Vanili Menunjang Mutu Hasil Tinggi. Zaubin, R. dan P., Wahid. Kesesuaian Lingkungan Tanaman Vanili.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian – Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB
359