ARAH, STRATEGI DAN PROGRAM PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005 - 2009 RINGKASAN EKSEKUTIF
1.
Dokumen ini berisikan pemikiran awal mengenai visi, misi, strategi dan program pembangunan Pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Pertanian 2005-2009. Program lima tahunan (2005-2009) disusun berdasarkan kinerja sektor Pertanian dalam lima tahun terakhir, serta analisis dinamika lingkungan strategis dalam perspektif visi pembangunan jangka panjang (2005-2025). Dokumen ini hendaklah dipandang sebagai draft awal yang masih harus dilengkapi dan disempurnakan lebih lanjut.
Kinerja Pembangunan Pertanian 2000-2003
2.
Selama periode 2000-2003, sektor pertanian (tidak termasuk kehutanan dan perikanan) diterpa dua gejolak eksternal beruntun dan luar biasa, yaitu : (a) anomali iklim El-Nino (1997-1998) dan yang berulang dalam tenggang waktu singkat (2001); dan (b) krisis multidimensi ekonomi-sosial dan politik yang berkepanjangan (1997-1999). Kedua kondisi abnormal tersebut tidak saja membuat kinerja sektor pertanian pada tahun 2000-2003 menjadi terpuruk, tetapi juga menciptakan pesimisme dan resiko ketidakpastian berusaha sehingga sektor pertanian berada dalam ancaman stagnasi berkelanjutan.
3.
Berdasarkan PDB riil, sektor pertanian telah pulih ke level sebelum krisis sejak tahun 1999, empat tahun lebih cepat dari perekonomian agregat yang baru pulih pada tahun 2003. subsektor tanaman pangan pulih pada tahun 1999, subsektor perkebunan tidak pernah mengalami kontraksi, sementara subsektor peternakan pulih pada tahun 2002. Tidak saja pulih, rata-rata laju pertumbuhan subsektor tanaman pangan dan perkebunan juga telah jauh lebih tinggi daripada periode sebelum krisis. Laju pertumbuhan tahunan subsektor perkebunan meningkat dari 4,30 persen sebelum krisis, menjadi 5,02 persen pada periode tahun 2000-2003, sementara laju pertumbuhan subsektor peternakan masih belum pulih ke level sebelum krisis.
4.
Dibanding sebelum krisis, selama periode 2000-2003, hampir semua produksi komoditas pertanian mengalami peningkatan, insiden kemiskinan di wilayah pedesaan menurun konsisten, kesejahteraan petani meningkat, ketahanan pangan makin mantap, kesempatan kerja di sektor pertanian meningkat, dan
497
sumbangan sektor pertanian terhadap penerimaan devisa bertambah. Sektor pertanian telah berhasil berbalik dari ancaman kontraksi berkelanjutan (19971999), melepaskan diri dari perangkap “spiral pertumbuhan rendah” (19992002), dan sejak tahun 2003 telah berada pada fase percepatan pertumbuhan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Arah, Strategi dan Program Pembangunan Pertanian 2005-2009
5.
Relatif cepat pulihnya sektor pertanian semakin memberikan rasa optimisme bahwa sektor pertanian akan mampu menjalankan lima peran vitalnya, yaitu : (a) sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi penduduk pedesaan, (b) penghasil pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus bertambah, (c) pemacu proses industrialisasi, (d) penyumbang devisa negara, dan (e) pasar bagi produk dan jasa sektor non pertanian. Untuk mengoptimalkan peran vital tersebut, maka arah dan strategi pembangunan pertanian disusun dengan mempertimbangkan perubahan lingkungan strategis yang melingkupinya. Pengaruh lingkungan strategis internasional, antara lain : (a) liberalisasi pasar global dan ketidakadilan perdagangan internasional; (b) perubahan sistem dan manajemen produksi; (c) perhatian pada perwujudan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan (Millenium Development Goals); dan (d) kemajuan pesat dalam penemuan dan pemanfaatan teknologi tinggi. Sementara itu, pengaruh lingkungan strategis nasional antara lain : (a) penduduk dan pola permintaan pangan dan bahan baku; (b) kelangkaan dan degradasi kualitas SDA (lahan, air); (c) karakteristik pertanian dan pedesaan Indonesia; (d) manajemen pembangunan : otonomi daerah dan partisipasi masyarakat; dan (e) perkembangan IPTEK Nasional.
6.
Pembangunan pertanian diartikan sebagai rangkaian berbagai upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan kemiskinan, memantapkan ketahanan pangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Pemerintah melaksanakan perannya sebagai stimulator dan fasilitator yang mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi dan sosial para petani agar
memberikan
manfaat
bagi
peningkatan
pendapatan
dan
kesejahteraannya. Untuk dapat mewujudkan peran tersebut, maka visi pembangunan pertanian tahun 2005-2009 adalah “upaya mengangkat harkat derajat, kemampuan dan kesejahteraan petani dengan mewujudkan sektor pertanian yang memiliki nilai tambah tinggi, berdaya saing dan menjadi landasan kokoh pembangunan ekonomi nasional”. Sementara itu, misinya antara lain : (a) mengembangkan dan memfasilitasi organisasi petani
498
untuk meningkatkan posisi tawar petani, (b) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, kesempatan kerja produktif dan memposisikan petani sebagai subyek pembangunan pertanian, (c) mengoptimalkan peran sektor pertanian sebagai penyedia bahan pangan dan
bahan baku industri, (d)
membangun sarana dan prasarana pertanian, termasuk lembaga pembiayaan pertanian, dan (e) melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan.
7.
Sasaran pembangunan pertanian selama kurun waktu lima tahun ke depan (2005-2009) dengan asumsi ekonomi nasional tumbuh 6 persen per tahun, antara lain : (a) Produk Domestik Bruto sektor pertanian berdasarkan harga berlaku ditargetkan akan tumbuh sekitar 4,37 persen per tahun, (b) investasi di bidang pertanian ditargetkan meningkat 5,20 persen per tahun, (c) penyerapan tenaga kerja sektor pertanian ditargetkan hanya sekitar 0,91 persen per tahun, (d) pendapatan petani per kapita per tahun ditargetkan akan meningkat 3,37 persen per tahun, sehingga pada tahun 2009 akan mencapai Rp. 7,7 juta, (e) jumlah penduduk miskin ditargetkan akan menurun sekitar 5,77 persen per tahun, sehingga pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di pedesaan diperkirakan hanya sebesar 6,52 persen, dan (f) produksi tanaman pangan ditargetkan meningkat sekitar 0,68-6,71 persen per tahun, tanaman hortikultura sayuran dan buah-buahan ditargetkan meningkat di atas 3 dan 2 persen per tahun, tanaman perkebunan ditargetkan meningkat sekitar 2,0-8,0 persen per tahun, dan komoditas peternakan ditargetkan meningkat sekitar 1,5-9,0 persen per tahun.
8.
Sesuai dengan Visi, Misi dan Sasaran, maka Program Pembangunan Pertanian lima tahun ke depan, dirumuskan dalam dua program utama, yaitu Program Pengembangan Agribisnis dan Program Peningkatan Ketahanan Pangan.
9.
Program pengembangan agribisnis dilaksanakan dengan memposisikan para pelaku usaha di sektor pertanian sebagai aktor utama pembangunan pertanian, sedangkan pemerintah sebagai fasilitator untuk menciptakan kondisi kondusif bagi berkembangnya investasi dan bisnis di sektor pertanian. Tujuan program ini adalah mendorong berkembangnya usaha pertanian dari sub sistem hulu hingga hilir dengan wawasan bisnis yang mampu menghasilkan produk pertanian dan industri pertanian primer yang berdaya saing, sehingga menghasilkan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi wilayah dan nasional.
499
10. Sasaran Program Pengembangan Agribisnis adalah : (a) meningkatnya produktivitas, kualitas dan produksi komoditas pertanian yang dapat dipasarkan sebagai bahan baku industri pengolahan maupun ekspor; (b) meningkatnya volume dan penerimaan ekspor, serta meningkatnya produk-produk substitusi impor; (c) meningkatnya kesempatan kerja produktif di pedesaan pada on farm dan off farm yang memberikan imbalan (return to factor) yang layak; (d) berkembangnya berbagai kegiatan usaha berbasis pertanian dengan wawasan agribisnis yang mampu memberikan keuntungan yang wajar; (e) meningkatnya partisipasi masyarakat dan investasi swasta dalam pengembangan agribisnis dan memajukan perekonomian pedesaan; dan (f) terpeliharanya produktivitas sumberdaya
alam,
berkembangnya
usaha
pertanian
konservasi,
dan
terjaganya kualitas lingkungan hidup.
11. Berdasarkan tujuan dan sasaran tersebut di atas, pengembangan agribisnis komoditas akan difokuskan pada komoditas strategis, mempunyai prospek untuk dikembangkan berdasarkan basis sumberdaya yang dimiliki dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Untuk dapat mewujudkan program pengembangan komoditas pertanian tersebut, perlu adanya dukungan antara lain: (a) pengembangan sumberdaya manusia dan kelembagaan usaha agribisnis; (b) pengembangan kelembagaan pelayanan penunjang agribisnis; (c) penciptaan dan percepatan penerapan inovasi teknologi agribisnis spesifik lokasi; (d) Pendayagunaan secara optimal dan perlindungan sumberdaya hayati; dan (e) pengembangan sistem informasi dan jaringan kerja agribisnis.
12. Program
peningkatan
ketahanan
pangan
dimaksudkan
untuk
mengoperasionalkan pembangunan dalam rangka mengembangkan sistem ketahanan pangan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat masyarakat. Tujuan dari program ini adalah: (i) menciptakan iklim yang kondusif bagi berfungsinya sub sistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan, (ii) mendorong peningkatan ketersediaan pangan dalam jumlah, mutu dan keragaman, (iii) mendorong penganekaragaman produksi/ketersediaan pangan dan konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang berbasis sumberdaya lokal, dan (iv) meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam menangani kerawanan dan permasalahan pangan guna mewujudkan ketahanan pangan.
13. Sasaran yang ingin dicapai dari Program Peningkatan Ketahanan Pangan adalah: (a) dicapainya ketersediaan pangan tingkat nasional dan rumah tangga yang cukup untuk hidup sehat dan produktif; (b) berkembangnya konsumsi
500
pangan
beragam,
bergizi,
berimbang,
seiring
dengan
menurunnya
ketergantungan pada pangan pokok beras; dan (c) meningkatnya kemampuan masyarakat, aparat dan pemerintah dalam mengantisipasi masalah kerawanan pangan. Dari tujuan dan sasaran tersebut, program ketahanan pangan dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa sub program utama, yaitu : (a) Sub program peningkatan ketersediaan pangan; (b) Sub program distribusi pangan; (c) Sub program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan; dan (d) Sub program stabilisasi produksi dan penanggulangan rawan pangan dan gizi.
14. Sejalan dengan Program Pembangunan Pertanian 2005-2009 yang terdiri dari Program Pengembangan Agribisnis dan Program Peningkatan Ketahanan Pangan, Kegiatan Rencana Aksi yang perlu dilaksanakan antara lain : (a) Peningkatan Produksi dan Produktivitas, (b) Perlindungan kepada Petani dan Sektor Pertanian, dan (c) Pemantapan Ketahanan Pangan.
15. Ketiga Kegiatan Rencana Aksi tersebut di atas, dijabarkan lebih lanjut ke dalam kegiatan-kegiatan antara lain : (a) Pengembangan sistem perbenihan, (b) Peningkatan ketersediaan pupuk, (c) Rehabilitasi Jaringan Irigasi, (d) Pengendalian konversi lahan dan perluasan lahan pertanian, (e) Kredit Usaha Agribisnis, (f)
Akselerasi Penerapan Teknologi, (g) Kebijakan Subsidi, (h)
Kebijakan Tarif Impor, dan (i) Swasembada dan Kemandirian Pangan.
I. PENDAHULUAN Walaupun cenderung menurun, sebagai implikasi normal dari proses transformasi struktural seiring dengan kemajuan pembangunan, peranan sektor pertanian dalam indikator fundamental ekonomi makro, seperti pertumbuhan produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja atau tingkat pengangguran, inflasi dan neraca perdagangan masih, tetap amat besar. Peranan sektor pertanian tidak saja berupa kontribusi langsung, tetapi juga melalui kontribusi tidak langsung melalui dampak pengganda (multiplier) berspektrum luas; keterkaitan input-output antar industri, konsumsi dan investasi. Sektor pertanian memiliki dampak pengganda yang relatif lebih besar dari sektor-sektor lain dalam perekonomian, sehingga termasuk kategori sektor kunci (key sector), yang berarti memenuhi syarat sebagai mesin penggerak perekonomian nasional. Tidak saja untuk kesehatan fundamental ekonomi makro, peranan sektor pertanian yang lebih strategis lagi ialah untuk pemantapan ketahanan pangan dan
501
pengentasan penduduk dari kemiskinan, dua sasaran akhir pembangunan nasional yang paling mendesak untuk segera diatasi saat ini maupun hingga lima tahun ke depan. Oleh karena itulah sektor pertanian masih akan tetap menjadi andalan perekonomian nasional. Krisis multi-dimensi tahun 1998-1999 telah membuktikan betapa handalnya sektor pertanian. Sektor pertanian terbukti paling tangguh menghadapi tekanan depresi, sehingga dapat berfungsi sebagai jangkar penopang dari ambruknya perekonomian. Sektor pertanian juga terbukti paling cepat pulih dari terpaan krisis sehingga berfungsi sebagai pelopor pemulihan sektor-sektor lainnya. Setelah mengalami sedikit kontraksi pada tahun 1998, PDB telah pulih dan bahkan melampaui level sebelum krisis pada tahun 1999. Sektor pertanian telah terlepas dari perangkap spiral pertumbuhan rendah yang berlangsung pada periode tahun 19981999, dan sejak tahun 2003 telah berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth). Agenda
ke
depan,
ialah
bagaimana
mempertahankan
momentum
”accelerating growth” sektor pertanian tersebut. Hal ini amat penting karena sektorsektor lain, khususnya sektor industri pengolahan, masih tetap berada pada fase pertumbuhan rendah sehingga belum dapat diandalkan sebagai kekuatan pendorong untuk mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran dan ancaman ketahanan pangan, tiga masalah pokok pembangunan yang dihadapi Indonesia saat ini. Dengan demikian, memposisikan sektor pertanian dalam strategi pembangunan nasional 2005-2009 merupakan masalah amat mendesak dan harus segera kita sepakati bersama-sama secara politis. Dokumen ini berisikan pemikiran awal mengenai visi, misi, strategi dan program pembangunan pertanian, yang dapat digunakan sebagai salah satu rujukan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Pertanian 2005-2009. Program lima tahunan (2005-2009) disusun berdasarkan kinerja sektor pertanian dalam lima tahun terakhir serta analisis dinamika lingkungan strategis dalam perspektif visi pembangunan jangka panjang (2005-2025). Dokumen ini hendaklah dipandang sebagai draft awal yang masih harus dilengkapi dan disempurnakan lebih lanjut.
II. KINERJA PEMBANGUNAN PERTANIAN 2000-2003 Kinerja pembangunan pertanian periode 2000-2003 tidak terlepas dari kondisi pertanian
pada masa krisis multidimensi yang terjadi pada periode 1998-1999.
502
Pada waktu itu telah terjadi perubahan besar, mendadak bahkan kacau balau dalam pertanian kita. Kredit program pertanian dicabut, suku bunga kredit membumbung tinggi sehingga terjadi kelangkaan kredit untuk sektor pertanian. Karena desakan IMF waktu itu, subsidi pertanian (pupuk, benih, dan lain-lain) juga dicabut dan tarif impor komoditi khususnya pertanian sebagian besar dikurangi bahkan dihapus. Infrastruktur pertanian pedesaan khususnya irigasi banyak yang rusak karena biaya pemeliharaan tidak ada. Penyuluh pertanian juga kacau balau, karena terlalu mendadak didaerahkan. Dalam kondisi seperti itulah Kabinet Reformasi
dan kemudian Kabinet
Gorong Royong dibentuk. Tugas pertama Menteri Pertanian saat itu
adalah
bagaimana “memadamkan kebakaran”, yakni menyelamatkan, memulihkan dan menstabilkan kembali landasan pembangunan pertanian. Dengan memperhatikan kondisi dan perubahan yang terjadi pada waktu itu, Departemen Pertanian bersama stake holder pembangunan lainnya merumuskan dan
mengimplementasikan
“pembangunan
sistem
paradigma dan
baru
usaha
pembangunan
agribisnis
yang
pertanian berdaya
yakni saing,
berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi”. Karena kondisi dan perubahan yang ada adalah persoalan sistem, maka strategi pemulihan maupun pembangunan kembali landasan pembangunan tidak boleh sepotong-sepotong, melainkan harus dilakukan secara sistem, yakni sistem agribisnis. Paradigma baru pembangunan pertanian tersebut dalam 4 tahun terakhir ini dimplementasikan dengan strategi dasar yakni berupa perlindungan dan promosi agribisnis (protection and promotion agribusiness policy). Prinsip kebijakan ini adalah pemerintah memfasilitasi dan membantu tumbuh kembangnya usaha agribisnis khususnya petani di seluruh daerah dan sekaligus melindungi agribisnis domestik dari praktek unfair-trade dari negara lain. Indonesia pada prinsipnya setuju dengan semangat free trade yang diprakarsai WTO tapi harus fair trade (perdagangan yang adil). Kalau negara lain masih melakukan perlindungan pada agribisnisnya, Indonesia juga berhak melindungi agribisnisnya sesuai dengan prinsip-prinsip asas kesetaraan WTO. Alasan Indonesia menaikkan tarif impor beberapa komoditi agribisnis penting seperti gula dan beras selama tiga tahun terakhir adalah bagian dari kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut telah berhasil di yakinkan kepada negara lain dalam forum-forum multilateral. Instrumen kebijakan promosi pembangunan agribisnis tersebut ditempuh baik melalui instrumen budgeter maupun non-budgeter. Instrumen budgeter dilakukan antara lain melalui dekonsentrasi. APBN Deptan langsung di salurkan ke kabupaten/kota dan provinsi, bantuan langsung ke kelompok tani, rehabilitasi dan
503
pembangunan infrastruktur pertanian-pedesaan, bantuan barang-barang modal, subsidi pupuk dan benih, bantuan pembinaan SDM dan penyuluhan dan lain-lain. Sedangkan instrumen non-budgeter dilakukan antara lain melalui deregulasi pupuk, pestisida, bibit, alat mesin pertanian, penghapusan PPn pertanian, penyediaan skim perkreditan bersubsidi seperti Kredit Ketahanan Pangan (KKP), asistensi pemerintah daerah dan pelaku agribisnis, dan sebagainya. Setelah tiga tahun implementasi paradigma baru dan strategi dasar tersebut, tanpa diperkirakan semula, ternyata pertanian Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan. Semula targetnya adalah “memadamkan kebakaran”, memulihkan dan meletakkan pondasi pembangunan agribisnis, ternyata kemajuan yang dicapai pertanian Indonesia melampaui apa yang pernah dicapai sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sektor pertanian telah lepas dari krisis dan saat ini sedang menuju pada stabilitas pertumbuhan tinggi.
Ke depan pembangunan sektor
pertanian juga diarahkan untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan peran sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Berikut ini diuraikan secara lebih rinci indikator kinerja sektor pertanian sebagai berikut: A. Produk Domestik Bruto Keragaan sektor pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan) selama periode tahun 2000-2003 telah mengalami pemulihan menuju pertumbuhan berkelanjutan. Selama periode tersebut, rata-rata laju pertumbuhan tahunan Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian mencapai 1,83 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode krisis (1998-1999) yang hanya mencapai 0,88 persen, bahkan dibanding periode tahun 1993-1997 (sebelum krisis ekonomi) yang mencapai 1,57 persen. Subsektor tanaman bahan makanan menunjukkan kinerja yang semakin membaik, terlihat dari laju pertumbuhannya sebesar 0,58 persen, lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan selama periode sebelum krisis ekonomi yang hanya mencapai 0,13 persen. Hal yang sama juga terjadi pada subsektor perkebunan yang tumbuh sebesar 5,02 persen, lebih tinggi dari periode sebelum krisis yang tumbuh sebesar 4,30 persen, sedangkan subsektor peternakan walaupun telah tumbuh positif sebesar 3,13 persen, namun masih lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelum krisis yang mencapai 5,01 persen. Setelah mengalami sedikit kontraksi (tumbuh negatif 0,74%) pada tahun 1998, PDB sektor pertanian telah pulih, melampaui level sebelum krisis, pada tahun 1999. Sebagai perbandingan, pada tahun 1998, total perekonomian mengalami
504
kontraksi luar biasa, yaitu negatif 13,13 persen dan baru pulih ke level di atas sebelum krisis pada tahun 2003. Selain jauh lebih mampu bertahan, sektor pertanian juga mampu pulih jauh
lebih cepat dari perekonomian secara umum. Namun
demikian, pertumbuhan sektor pertanian pasca krisis masih belum sepenuhnya stabil. Dengan demikian secara umum disimpulkan bahwa sektor pertanian telah terlepas dari “perangkap spiral pertumbuhan rendah” yang berlangsung selama periode tahun 1998 – 1999.
Sektor pertanian telah melewati fase pertumbuhan
rendah (1998 – 1999), dan kini (2003) tengah berada pada fase percepatan pertumbuhan (accelerating growth) sebagai masa transisi menuju pertumbuhan berkelanjutan (sustaining growth). Berdasarkan perkembangan indeks PDB terbukti bahwa sektor pertanian mampu pulih lebih awal dibanding sektor ekonomi secara keseluruhan. Walaupun telah pulih ke level sebelum krisis, laju pertumbuhan subsektor perkebunan dan subsektor peternakan, yang merupakan sumber pertumbuhan tinggi dalam sektor pertanian,
masih labil dan belum sepenuhnya
pulih. Kedua subsektor ini amat tergantung pada kondisi perekonomian nasional maupun global. B. Produksi Komoditas Pertanian Selama periode 2000-2003 kinerja komoditas pangan secara umum mengalami perbaikan. Produksi komoditas padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu, dan ubi jalar mengalami peningkatan masing-masing 0,53; 3,38; 3,22; 2,81 dan 2,35 persen per tahun, namun rata-rata laju pertumbuhan komoditas kedelai mengalami penurunan
sebesar 18,48 persen per tahun. Sumber pertumbuhan produksi
komoditas pangan praktis hanyalah peningkatan produktivitas, sementara luas panen cenderung menurun untuk semua komoditas. Produktivitas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar mengalami pertumbuhan positif masing-masing 1,59; 4,95; 1,16; 2,34; 4,72 dan 2,76 persen per tahun, sedangkan luas panen semua komoditas pangan tersebut mengalami penurunan masingmasing 1,06; 1,57; 19,36; 1,36 dan 0,38 persen per tahun, kecuali kacang tanah yang mengalami peningkatan sebesar 0,85 persen per tahun. Sudah sejak lama kelompok komoditas sayuran sebagai salah satu sumber pertumbuhan tinggi sektor pertanian. Sebagai gambaran, pada tahun 1993-1997, produksi komoditas sayuran tersebut tumbuh amat pesat dengan laju 3,70–20,46 persen per tahun. Krisis ekonomi 1998 tidak membuat produksi sayuran mengalami
505
kontraksi, bahkan sebagian besar komoditas sayuran justru mengalami akselerasi pertumbuhan produksi. Hal ini terjadi karena harga jual produk sayuran justru membumbung pada masa krisis tersebut. Perpaduan antara penurunan harga dan insiden anomali iklim pasca krisis telah membuat pertumbuhan produksi sayuran anjlok dan bahkan beberapa mengalami kontraksi pada periode tahun 2000–2002. Namun demikian, pada tahun 2002–2003, komoditas sayuran telah kembali ke fase pertumbuhan tinggi. Pada tahun 2003, komoditas utama sayuran, bawang merah, kubis, kentang, cabai dan tomat, tumbuh amat pesat dengan laju 10-36 persen. Pada periode tahun 2000-2003, produksi buah-buahan tumbuh amat pesat, hampir seluruhnya jauh di atas pertumbuhan pada periode tahun 1993-1997, dengan laju pertumbuhan rata-rata 7,34-28,95 persen per tahun. Ini merupakan bukti tak terbantahkan,
bahwa
buah-buahan
merupakan
salah
satu
sumber
utama
pertumbuhan tinggi bagi sektor Pertanian. Subsektor perkebunan juga merupakan salah satu andalan sumber pertumbuhan tinggi bagi sektor pertanian. Pertumbuhan amat tinggi terutama dialami oleh komoditas kelapa sawit dan kakao yang pada tahun 1993-1997 tumbuh dengan laju di atas 10 persen per tahun. Produksi komoditas perkebunan tradisional lainnya, yakni tebu/gula, teh, kopi, dan karet, sudah sejak lama tumbuh lambat, stagnan atau bahkan menurun (tebu/gula). Krisis ekonomi tahun 1998-1999 tidak berdampak negatif, tetapi ternyata justru berdampak positif terhadap komoditas perkebunan, kecuali tebu/gula. Alasan utamanya ialah depresiasi rupiah terhadap dollar Amerika menyebabkan harga komoditas perkebunan melonjak tajam yang selanjutnya mendorong peningkatan volume ekspor komoditas tersebut. Pada tahun 2000-2003, kinerja komoditas perkebunan seluruhnya membaik, jauh lebih baik dibanding pada periode 1993-1997, kecuali untuk kakao. Subsektor peternakan, juga merupakan andalan utama sumber pertumbuhan tinggi sektor pertanian. Bahkan sudah menjadi fenomena global bahwa subsektor peternakan merupakan sektor penggerak pertumbuhan sektor pertanian melalui apa yang disebut dengan “Revolusi Peternakan“ (Livestock Revolution). Indonesia pun tidak ketinggalan, “Revolusi Peternakan” telah berlangsung sejak awal tahun 1980’an melalui perkembangan amat pesat industri peternakan ayam ras. Pada periode tahun 1992-1993, populasi ayam pedaging dan telur meningkat bertambah pesat dengan laju rata-rata 12,74 dan 6,76 persen per tahun. Kedua komoditas inilah yang menjadi sumber utama pertumbuhan tinggi subsektor peternakan.
506
Namun pada saat krisis tahun 1998-1999, industri ayam benar-benar terpuruk, produksi ayam pedaging anjlok dari tumbuh positif 12,74 persen per tahun pada periode tahun 1993-1997 menjadi tumbuh negatif 28,23 per per tahun pada periode tahun 1998-1999. Produksi telur anjlok dari tumbuh positif 6,76 persen per tahun pada periode tahun 1993-1997 menjadi tumbuh negatif 8,92 persen pada periode tahun 1998-1999. Kecuali kuda, seluruh produk peternakan mengalami anjlok produksi pada masa krisis 1997-1998. Penyebabnya ialah perpaduan antara “dorongan ke belakang penawaran“ (supply push back) dan tarikan ke bawah dari lonjakan ongkos produksi dan anjlok permintaan pasar. Seiring dengan pulihnya perekonomian nasional, subsektor peternakan mengalami pemulihan dengan cukup pesat. Dapat dikatakan, pada tahun 2003 subsektor peternakan sudah sepenuhnya pulih dari terpaan krisis tahun 1998-1999. Pada tahun 2003, level produksi seluruh komoditas peternakan sudah melampaui level tertinggi periode sebelum krisis, kecuali untuk daging kerbau dan kuda yang memang sudah sejak lama stagnan atau menurun berkelanjutan. Kontraksi produksi daging unggas diperkirakan terjadi pada tahun 2004 karena adanya wabah flu burung.
C. Kesejahteraan Petani dan Penduduk Pedesaan Tujuan
akhir
utama
pembangunan
pertanian
ialah
meningkatkan
kesejahteraan petani dan penduduk pedesaan secara khusus serta seluruh rakyat Indonesia secara umum. Salah satu indikator utama tingkat kesejahteraan umum ialah prevalensi jumlah penduduk miskin. Salah satu prestasi luar biasa pembangunan Indonesia ialah keberhasilannya dalam menurunkan jumlah penduduk miskin baik di pedesaan maupun di perkotaan. Pada masa pemerintahan Orde Baru, jumlah penduduk miskin di pedesaan menurun tajam dari 44,2 juta orang atau 40,4 persen pada tahun 1978 menjadi 13,3 persen atau 15,3 juta orang pada tahun 1996, sementara di perkotaan menurun dari 38,8 persen atau 10,0 juta orang pada tahun 1978 menjadi 9,7 persen atau 7,2 juta orang. Krisis multi dimensi telah menyebabkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak menjadi 26 persen atau sekitar 32 juta orang di pedesaan dan 22 persen atau hampir 18 juta orang. Namun pada tahun 2002, jumlah penduduk miskin telah menurun drastis menjadi 21,1 persen atau 25 juta orang di pedesaan dan 14,5 persen atau 13 juta orang di perkotaan. Berdasarkan data prevalensi kemiskinan, dapat disimpulkan bahwa pada periode tahun 2000-2002 kesejehtaraan penduduk pedesaan maupun perkotaan jauh lebih baik dari pada periode tahun 1998-1999 (masa krisis), dan sudah
507
mendekati keadaan tahun 1996. Berbagai penelitian, termasuk oleh lembaga penelitian independen, konsisten menyimpulkan bahwa yang paling berkontribusi dalam penurunan jumlah penduduk miskin, baik di desa maupun di kota ialah pertumbuhan sektor pertanian. Salah satu studi menunjukkan bahwa kontribusi pertumbuhan sektor pertanian dalam menurunkan total jumlah penduduk miskin mencapai 66 persen, dengan rincian 74 persen di pedesaan dan 55 persen di perkotaan. Dengan demikian, penurunan signifikan jumlah penduduk miskin atau peningkatan kesejahteraan umum selama periode tahun 1998-2002 terutama merupakan kontribusi dari hasil pembangunan sektor pertanian. Walaupun sesungguhnya kurang valid, variabel lain yang kerap digunakan pengamat di Indonesia sebagai indikator kesejahteraan petani ialah indeks nilai tukar petani (NTP), yakni indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar rumah tangga tani. Setelah anjlok sejak tahun 1998 hingga tahun 2000, nilai tukar petani secara nasional menunjukkan perbaikan signifikan pada tahun 2001 dan terus meningkat hingga tahun 2003. Nilai tukar petani pada tahun 2003 telah jauh melampaui titik tertinggi pada masa Orde Baru (tahun 1995). Namun patut dicatat bahwa perbaikan NTP tersebut tidak merata antar wilayah. Perbaikan NTP di Jawa lebih awal dan lebih cepat dibandingkan dengan di luar Jawa. Di pulau Jawa, perbaikan NTP terjadi sejak tahun 2001 dengan laju ratarata 5,07 persen per tahun selama periode tahun 2001-2003. Sedangkan di luar Jawa perbaikan NTP baru terjadi pada tahun 2002 dengan laju rata-rata 2,90 persen per tahun pada periode tahun 2001-2003. Perbaikan kesejahteraan petani di Jawa lebih awal dan lebih besar daripada di luar Jawa.
D. Ketahanan Pangan Nasional Selama periode tahun 2000-2003, Indonesia tidak pernah mengalami masalah kekurangan ketersediaan pangan. Berdasarkan perhitungan rasio impor beberapa bahan pangan penting terhadap total penyediaan pangan menunjukkan bahwa ketergantungan impor dalam bentuk kalori per jenis bahan pangan terhadap total penyediaan kalori, secara umum relatif kecil. Pada tahun 2003, ketergantungan terhadap impor (kalori) yang berasal dari bahan pangan, berkisar antara 0 persen pada daging ayam, telur, ubi jalar, dan ubikayu hingga 2,2 persen pada beras. Angka ketergantungan yang relatif tinggi adalah gula 1,69 persen, kedelai 1,51 persen, dan jagung 1,25 persen. Perkembangan ketergantungan tersebut berfluktuasi, namun
508
cenderung menurun. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan nasional semakin mantap. Kekhawatiran sebagian pihak bahwa Indonesia semakin terancam terperosok ke dalam perangkap ketergantungan impor pangan tidak didukung oleh data yang ada. Selama periode 2000-2003, aksesibilitas masyarakat terhadap pangan juga semakin baik sebagai hasil perpaduan dari peningkatan pendapatan dan penurunan harga riil bahan pangan. Dibandingkan dengan periode krisis tahun 1998-1999 harga harga riil beras telah menurun tajam dan semakin stabil. Secara umum, harga riil bahan makanan cenderung menurun dan semakin stabil sehingga ketahanan pangan nasional semakin mantap. Membaiknya indikator ketahanan pangan makro (nasional) juga diikuti oleh perbaikan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Setelah menurun cukup signifikan dari 2002 kalori/kapita/hari pada tahun 1996 menjadi 1852 kalori/kapita/hari pada tahun 1999, asupan energi pada tahun 2002 meningkat cukup signifikan menjadi 1986 kalori/kapita/hari. Fenomena yang sama berlaku untuk asupan protein. Setelah menurun dari 54,41 gram/kapita/hari pada tahun 1996 menjadi 48,67 gram/kapita/hari pada tahun 1999, asupan protein meningkat menjadi 54,42 gram/kapita/hari pada tahun 2002. Asupan protein pada tahun 2002 sudah di atas norma kebutuhan dan praktis sama seperti pada tahun 1996 (sebelum krisis).
E. Kesempatan Kerja Salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia adalah defisit neraca pembayaran (balance of payment) dan pengangguran kronis. Kebijakan yang paling superior untuk mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan penerimaan devisa melalui ekspor karena kebijakan tersebut mampu mengatasi defisit neraca pembayaran
sekaligus
mampu
pula
menurunkan
pengangguran.
Kebijakan
ekspansif melalui peningkatan output justru akan menambah defisit neraca pembayaran
dan
sebaliknya
kebijakan
kontraktif
akan
gagal
mengatasi
pengangguran. Seiring dengan perbaikan ekonomi nasional, kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor Pertanian mengalami peningkatan yang cukup mengesankan dari 37,35 juta orang per tahun sebelum masa krisis (1992-1997) menjadi 40,35 juta orang per tahun pada masa pemulihan (2000-2002). Peningkatan kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian terutama terjadi pada tenaga kerja yang bekerja
509
penuh. Ini merupakan bukti tak terbantahkan bahwa sektor Pertanian sudah lepas dari cengkraman krisis ekonomi sejak tahun 2000 dan sektor Pertanian masih menjadi andalan penyerapan kesempatan kerja nasional. Kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tersebut adalah sekitar 40 persen angkatan kerja nasional hanya berasal dari kegiatan sektor pertanian primer, belum termasuk sektor sekunder dan tersier sepanjang vertikal sistem dan usaha agribisnis. Apabila tenaga kerja yang terserap pada sektor sekunder dan tersiernya, maka kemampuan sektor pertanian tentu akan lebih besar lagi. Walaupun kemampuan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja nasional sangat besar, namun di sisi lain justru menjadi beban bagi sektor Pertanian dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya. Oleh karena itu, Departemen Pertanian perlu mengupayakan semaksimal mungkin menciptakan nilai tambah di luar kegiatan pertanian primer yang mampu dinikmati oleh rumah tangga tani.
F. Neraca Perdagangan Peningkatan penerimaan devisa negara melalui ekspor merupakan suatu yang amat penting untuk mengatasi masalah defisit neraca pembayaran. Kinerja neraca perdagangan (balance of trade) komoditas pertanian mengalami peningkatan secara konsisten selama periode 1993 - 2002. Nilai ekspor komoditas pertanian selama periode sebelum krisis ekonomi (1993-1997) sebesar US$ 5.166 juta meningkat menjadi US$ 5.596 juta pada periode 1998-1999 dan meningkat lagi mejadi US$ 5.676 juta. Sedangkan nilai impor komoditas pertanian sebelum krisis ekonomi tidak banyak mengalami perubahan berarti dibanding masa pemulihan ekonomi. Hal tersebut menyebabkan neraca perdagangan komoditas pertanian mengalami surplus dan cenderung meningkat. Kalau pada periode sebelum krisis ekonomi (1993-1997) neraca perdagangan sebesar US$ 2.243 juta, maka pada periode 1998-1999 meningkat menjadi US$ 2.509 juta dan pada periode 2000 - 2002 meningkat lagi menjadi US$ 2.710. Surplus neraca perdagangan di atas bukan semata-mata disebabkan oleh penekanan impor tetapi lebih disebabkan oleh peningkatan ekspor. Surplus tersebut merupakan kontribusi sektor pertanian dalam perbaikan neraca pembayaran. Faktafakta tersebut merupakan bukti tak terbantahkan, bahwa selain sektor pertanian mampu mengatasi masalah pengangguran nasional, sektor pertanian juga mampu memberikan kontribusi pada perbaikan neraca pembayaran. Fakta tersebut juga
510
merupakan bukti bahwa daya saing komoditas pertanian di pasar internasional sudah mulai mengalami perbaikan secara konsisten sejak periode 2000 - 2002.
III. SASARAN PEMBANGUNAN PERTANIAN JANGKA PANJANG 2025 Walaupun selama periode 2000-2003 pembangunan pertanian telah berhasil meletakkan kembali landasan pembangunannnya, namun dalam lima tahun ke depan masih banyak masalah yang dihadapi pembangunan pertanian terutama berkaitan dengan ketahanan pangan dan kemiskinan.
Diperkirakan masalah-
masalah tersebut dapat dipecahkan secara tuntas dalam 10 tahun ke depan dan dalam 10 tahun setelah itu pembangunan pertanian diarahkan untuk memantapkan kemandirian ketahanan pangan dan penyelesaian konstruksi pembangunan wilayah miskin, sehingga diharapkan dalam 20 tahun ke depan sektor pertanian menjadi basis perekonomian nasional. A. Visi Pertanian 2025 Visi Pertanian tahun 2025 adalah tercapainya pertanian tangguh yang dicirikan oleh kemandirian ekonomi nasional yang berbasis pada sektor pertanian, kemandirian pangan dan hapusnya kemiskinan di wilayah pedesaaan. 1. Kemandirian Ekonomi Tercapainya kemandirian ekonomi nasional
berarti bahwa basis produksi
akan makin bertumpu pada kekuatan atau sumberdaya domestik (sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya modal). Oleh karena sektor pertanian berbasis pada sumberdaya domestik, maka kemandirian ekonomi nasional dapat diartikan bahwa struktur ekonomi nasional lebih berbasis pada sektor pertanian. 2. Kemandirian Pangan Tercapainya kemandirian pangan berarti terpenuhinya kebutuhan kalori dan protein berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) untuk seluruh penduduk Indonesia yang berasal dari produksi sendiri tanpa bergantung pada sumber-sumber pangan dari luar negeri, utamanya beras, gula, jagung, kedelai, daging ayam dan daging sapi.
511
3. Hapusnya Kemiskinan di Wilayah Pedesaan Hapusnya kemiskinan di wilayah pedesaan berarti bahwa selama periode 2005-2025 ke depan terjadi penurunan secara signifikan jumlah penduduk
di
wilayah pedesaan yang hidup di bawah garis kemiskinan (menurut kriteria Bank Dunia adalah penduduk yang pendapatan lebih kecil 1 dolar AS per kapita per hari). B. Sasaran Jangka Panjang
1. Indikator Makro PDB pertanian pada tahun 2025 ditargetkan akan mencapai Rp 649,2 triliun, yang terdiri dari subsektor pangan Rp 179,3 triliun, subsektor hortikultura Rp 157,6 triliun, subsektor perkebunan Rp 168,9 triliun dan subsektor peternakan Rp 143,4 triliun (Tabel 1). Investasi di bidang pertanian akan naik menjadi Rp 33,8 triliun, yang terdiri dari subsektor pangan Rp 3,5 triliun, subsektor hortikultura Rp 6,1 triliun, subsektor perkebunan Rp 18,1 triliun dan subsektor peternakan Rp 6,1 triliun. Jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian akan meningkat menjadi 61,4 juta orang, yang terdiri dari subsektor tanaman 10,7 juta orang (turun dibanding 2009), subsektor hortikultura 13,1 juta orang, subsektor perkebunan 27,9 juta orang dan subsektor peternakan 9,8 juta orang. Pendapatan petani per kapita per tahun untuk subsektor pangan akan meningkat menjadi Rp 13,1 juta, subsektor hortikultura Rp 12 juta, subsektor perkebunan Rp 10,5 juta dan subsektor peternakan Rp 14,7 juta. Jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan ditargetkan akan turun dari 16,87% pada tahun 2009 menjadi 6,52% pada tahun 2025.
2. Indikator Produksi Produksi komoditas pertanian utama pada tahun 2025 ditargetkan akan meningkat (Tabel 2). Untuk komoditas pangan adalah : beras 38,3 juta ton, jagung 16,1 juta ton, kedelai 2,8 juta ton, kacang tanah 2,1 juta ton, ubi kayu 39,1 juta ton dan ubi jalar 4,2 juta ton. Untuk komoditas sayuran adalah : bawang merah 1,8 juta ton, kentang 2,0 juta ton, kubis 2,8 juta ton, tomat 2,2 juta ton dan cabe 0,5 juta ton. Untuk komoditas buah-buahan adalah : alpukat 0,5 juta ton, pisang 10,9 juta ton, mangga 1,6 juta ton, jeruk 1,6 juta ton dan pepaya 1 juta ton. Untuk komoditas perkebunan adalah : kelapa sawit 68 juta ton, karet 5,3 juta ton, kopi 1 juta ton, kakao 2,2 juta ton, teh 0,3 juta ton dan gula tebu 3,3 juta ton. Untuk komoditas peternakan adalah : daging sapi 0,6 juta ton, daging ayam 2,2 juta ton, telur 4,2 juta ton dan susu 3,5 juta ton.
512
C. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Sektor pertanian, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia, sangat penting dalam pembentukan struktur perekonomian nasional yang kokoh berbasis pada sumberdaya domestik dan lentur terhadap gangguan eksternal. Sektor pertanian tidak hanya berperan dalam akselerasi perekonomian pedesaan yang berbasis pada pertanian tetapi juga berperan dalam akselerasi perekonomian perkotaan yang berbasis pada sektor industri (non pertanian). Dengan demikian tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sektor pertanian sangat berperan dalam akselerasi perekonomian nasional. Secara rinci ada enam peran vital sektor pertanian dalam perekonomian nasional yaitu sebagai berikut. 1.
Sebagai Sumber Pendapatan dan Kesempatan Kerja bagi Penduduk Pedesaan Sektor pertanian merupakan tumpuan hidup bagi sebagian besar penduduk
Indonesia, dimana hampir setengah dari angkatan kerja di Indonesia bekerja di sektor ini. Oleh karena itu, upaya menghapus kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi seluruh rakyat Indonesia akan lebih efektif jika dilakukan melalui pembangunan pertanian. 2. Sebagai Penghasil Pangan bagi Penduduk yang Jumlahnya Terus Bertambah Sektor pertanian merupakan penghasil bahan makanan pokok, dimana ketahanan pangan merupakan prakondisi utama bagi tercapainya ketahanan ekonomi dan politik. Dalam kondisi perekonomian global dan domestik yang belum stabil, ketahanan pangan yang paling mantap adalah melalui pencapaian swasembada pangan. Oleh karena itu, peningkatan produksi pangan untuk mewujudkan, memulihkan dan mempertahankan swasembada merupakan upaya strategis untuk memantapkan ketahanan pangan yang merupakan pilar utama ketahanan nasional. 3.
Sebagai Pemacu Proses Industrialisasi Kegiatan agroindustri, yang merupakan bagian integral dari sektor pertanian,
mempunyai kontribusi penting dalam proses industrialisasi, terutama di wilayah pedesaan. Efek agroindustri tidak hanya mentransformasikan produk primer menjadi produk olahan, tetapi juga mentransformasikan budaya kerja dari agraris-tradisional
513
yang menciptakan nilai tambah rendah menjadi budaya kerja industrial-modern yang menciptakan nilai tambah tinggi. Dengan demikian, perekonomian menjadi makin efisien dengan produktifitas makin tinggi. 4. Sebagai Penyumbang Devisa Negara Sektor pertanian merupakan penyumbang devisa relatif besar. Oleh karena produksinya berbasis pada sumberdaya domestik, maka ekspor produk pertanian relatif lebih tangguh dalam menghadapi gejolak ekonomi dunia. Devisa asal pertanian disamping dapat digunakan untuk mengimpor barang-barang modal (peralatan, mesin-mesin, dan lain-lain) yang diperlukan untuk kegiatan produktif, juga dapat mendukung perbaikan neraca pembayaran (balance of payment).
5. Sebagai Pasar bagi Produk dan Jasa Sektor Non-Pertanian Sektor pertanian berikut masyarakat pedesaan merupakan pasar yang sangat besar bagi produk dan jasa sektor non-pertanian melalui kaitan ke belakang dan kedepan. Produksi pupuk, pestisida, alsintan dan jasa-jasa akan makin berkembang dengan berkembangnya kegiatan pertanian. Demikian pula produksi barang dan jasa untuk konsumsi seperti pakaian, perumahan, perabotan rumah tangga, barang-barang elektronik, listrik, pendidikan, kesehatan, perhubungan dan perdagangan akan meningkat jika pendapatan petani yang sebagian berasal dari pertaian meningkat. Dengan demikian, ekonomi nasional secara keseluruhan akan tertarik dan terdorong untuk tumbuh lebih cepat.
IV. STRATEGI PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005 – 2009 A. Perubahan Lingkungan Strategis Sektor Pertanian Lingkungan strategis pada tingkat internasional yang paling dominan dalam mendorong perubahan struktur perekonomian dan tatanan masyarakat dunia di masa mendatang yang mempengaruhi arah dan sasaran penelitian dan pengembangan di bidang pertanian ialah: (a) liberalisasi pasar global dan ketidakadilan perdagangan internacional; (b) perubahan sistem dan manajemen produksi; (c) perwujudan
ketahanan
pangan
dan
pengentasan
perhatian pada
kemiskinan
(Millenium
Development Goals); dan (d) kemajuan pesat dalam penemuan dan pemanfaatan teknologi tinggi. Dilain pihak, lingkungan strategis tingkat nasional yang dominan mempengaruhi perubahan struktur perekonomian dan tatanan masyarakat Indonesia
514
serta diperkirakan sangat berpengaruh terhadap arah dan sasaran penelitian dan pengembangan pertanian di masa mendatang adalah: (a) penduduk dan pola permintaan pangan dan bahan baku; (b) kelangkaan dan degradasi kualitas SDA (lahan, air); (c) karakteristik Pertanian dan pedesaan Indonesia; (d) manajemen pembangunan : otonomi daerah dan partisipasi masyarakat; dan (e) perkembangan IPTEK Nasional. Berbagai faktor tersebut perlu dicermati dalam menyusun kebijakan pembangunan pertanian di masa mendatang . A.1. Internasional a. Liberalisasi Pasar Global dan Ketidakadilan Perdagangan Internacional a.1. Ketimpangan Antar Kawasan Ekonomi Kesadaran
akan
manfaat
peranan
perdagangan
internasional
bagi
kesejahteraan penduduknya mendorong sejumlah negara bertetangga membentuk organisasi kerja sama ekonomi regional yang memiliki kepentingan untuk membangun kekuatan ekonomi bersama. Beberapa kerjasama ekonomi negara yang menonjol yaitu North American Free Trade Area (NAFTA), European Union (EU), ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan yang lebih luas lagi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC). Melalui integrasi ekonomi, diharapkan hambatanhambatan perdagangan (trade barriers), baik yang bersifat tariff barrier maupun non tariff barrier, yang mungkin ada di antara sesama negara anggota dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan, sehingga lalu lintas atau mobilitas perdagangan barang dan jasa serta investasi antar negara di dalam suatu kawasan menjadi semakin lancar (borderless). Pembentukan ekonomi kawasan ini patut mendapat perhatian karena akan dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi baru yang bukan lagi dalam hubungan antar
negara
namun
dalam
cakupan
yang
lebih
luas
lagi
yaitu
antar
kawasan/regional. Ketimpangan antar kawasan ini dapat terjadi karena adanya proses pematangan kawasan ekonomi yang berbeda satu dengan lainnya. Salah satu kawasan ekonomi yang diperkirakan akan sangat kuat adalah Uni Eropa (European Union). Kawasan ini sudah mencapai suatu tahapan penyatuan mata uang (mata uang tunggal Euro), yaitu suatu tahapan yang paling maju dalam implementasi integrasi ekonomi. Kondisi ini akan semakin menyulitkan ekspor produk pertanian Indonesia dan negara-negara lain di luar Eropa, karena sudah pasti akan mendapat perlakukan yang berbeda (peraturan ekspor-impor yang sangat ketat) dengan negara-negara yang berada di kawasan yang sama. Untuk menghadapi masalah ini, Indonesia harus mulai mengembangkan produk pertanian
515
olahan dan mengutamakan pangsa pasar dalam negeri yang potensinya juga sangat besar. a.2. Ketidakadilan Pasar (Unfair Trade) Sebagai konsekuensi dari negara yang turut meratifikasi perjanjian General on Tariff and Trade dan World Trade Organization (GATT/WTO), Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1998 telah mengurangi seluruh tarif bea masuk komoditi pertanian dan menghapus semua subsidi kepada petani, kecuali Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras. Komitmen menghilangkan kebijakan ekonomi dan perdagangan yang dapat menimbulkan distortif pasar ternyata tidak dilaksanakan oleh semua negara, sehingga petani Indonesia dihadapkan pada persaingan yang tidak adil dengan petani dari negara lain yang dengan mudah mendapat perlindungan tarif dan non tarif serta subsidi langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu, ke depan pemerintah masih harus menerapkan kebijakan proteksi sekaligus promosi terhadap produk-produk pertanian strategis, seperti beras dan gula. Kebijakan proteksi yang dapat dilakukan antara lain penetapan tarif impor dan pengaturan
impor,
sedangkan
untuk
kebijakan
promosi
pemerintah
dapat
memberikan subsidi sarana produksi, subsidi harga output maupun subsidi bunga kredit untuk modal usahatani. b. Perubahan Sistem dan Manajemen Produksi Pada awal abad XXI diperkirakan akan terjadi perubahan radikal dalam struktur pasar dan kesempatan kerja yang berimplikasi pada pembentukan pasar baru, yaitu : (1) pada saat itu, kebutuhan dasar manusia telah tercukupi dan selera manusia bergeser pada kebutuhan sekunder dan tersier, sehingga kecenderungan ke depan, pasar jasa akan berkembang lebih cepat dibanding pasar barang; (2) pendapatan masyarakat makin tinggi dan lebih mengutamakan aktualisasi kepuasannya, sehingga segmentasi pasar makin mengarah pada kelompok individu yang makin kecil; dan (3) terjadi pergeseran permintaan antar individu dalam pasar barang dan jasa yang sama. Sejalan dengan semakin ketatnya persaingan untuk memperoleh pangsa pasar, para pelaku usaha mengembangkan strategi pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain Management, SCM) yang mengintegrasikan para pelaku dari semua segmen rantai pasokan secara vertikal ke dalam usaha bersama berlandaskan kesepakatan dan standarisasi proses dan produk yang bersifat spesifik untuk setiap rantai pasokan. Kunci daya saing produk antar rantai pasokan itu adalah efisiensi
516
pada setiap segmen rantai pasokan dan keterkaitan fungsional antar segmen dalam memelihara konsistensi setiap pelaku dalam memenuhi kesepakatan dan standar yang digunakan. Untuk menciptakan hal tersebut diperlukan selain integrasi vertikal antar segmen rantai pasokan juga integrasi horizontal antar pelaku dalam satu segmen, misalnya integrasi diantara para produsen, diantara para distributor, dan diantara para pengumpul di dalam satu rantai pasokan yang sama. Kesepakatan internasional tentang perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual (HaKI) melarang perusahaan domestik untuk meniru teknologi dan merek dagang yang telah dipasarkan oleh perusahaan asing. Hal ini akan mendorong komersialisasi HaKI secara global. Perusahaan domestik yang menggunakan HaKI dan merek dagang asing harus membayar royalti berdasarkan kesepakatan bersama. Sebagai implikasinya, perusahaan-perusahaan multinasional akan merambah ke pasar domestik baik melalui investasi langsung maupun melalui kemitraan rantai-usaha (franchising), maupun dalam bentuk sewa-menyewa merek dagang. Usaha franchising dan sewa merek dagang dalam bidang produksi barang-barang konsumsi domestik, seperti ayam goreng dan hamburger, akan meningkatkan perubahan pola konsumsi dan menimbulkan persaingan ketat dengan produk asli nasional. Mekanisme ini juga merupakan salah satu wahana baru bagi perusahaan multinasional untuk menguasai atau mengendalikan sektor agribisnis Indonesia. Disamping mengandung aspek negatif, franchising dan sewa merek dagang dapat bermanfaat dalam meningkatkan daya saing dan perluasan pangsa pasar produk-produk pertanian, yang berarti berdampak positif bagi perkembangan agribisnis di dalam negeri. c. Perhatian
pada
Perwujudan
Ketahanan
Pangan
dan
Pengentasan
Kemiskinan (Millenium Development Goals) Pada tahun 1996, melalui pertemuan World Food Summit (WFS), dunia telah bersepakat untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap orang dan menghapuskan penduduk yang kelaparan di seluruh negara. Sasaran kuantitatifnya adalah mengurangi jumlah penduduk rawan pangan menjadi setengahnya paling lambat tahun 2015. karena jumlah rawan pangan di dunia tahun 1996 diperkirakan sekitar 800 juta jiwa, maka sasaran pengurangannya sebesar 400 juta jiwa selama 20 tahun, atau rata-rata 20 juta jiwa per tahun. Pada tahun 2002, melalui pertemuan yang sama di Roma, dunia kembali mempertegas dan memperbarui tekad komitmen global yang dibuat dalam Deklarasi Roma 1996. Karena kinerja pencapaian sasaran dalam lima tahun pertama tidak memuaskan, maka pertemuan WFS 2002 memutuskan untuk meningkatkan sasaran pengurangan penduduk rawan pangan sejak tahun 2002 menjadi rata-rata sekitar 22 juta jiwa per tahun.
517
Salah satu komitmen penting dalam Deklarasi Roma 2002 adalah penegasan pentingnya pembangunan pertanian dan pedesaan dalam mengikis kelaparan dan kemiskinan. Dunia menyadari bahwa pembangunan pertanian dan pedesaan mempunyai peran kunci dalam pemantapan ketahanan pangan, karena 70 persen penduduk
miskin
dunia
hidup
di
pedesaan
dan
mengandalkan
sumber
penghidupannya dari sektor pertanian. Gambaran kondisi ini ternyata sangat relevan dengan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada puncak krisis ekonomi tahun 1998, jumlah penduduk miskin hampir mencapai 50 juta jiwa dan sekitar 64,4 persen tinggal di pedesaan. Pada tahun 1999, saat ekonomi menuju pemulihan, jumlah penduduk miskin turun menjadi sekitar 37 juta jiwa dan sekitar 66,8 persen tinggal di pedesaan. Oleh karena itu, tepat sekali argumen yang menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan dan pengikisan kelaparan hanya dapat dilakukan melalui pembangunan pertanian dan pedesaan yang berkelanjutan, yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian, produksi pangan dan daya beli masyarakat. d. Kemajuan Pesat dalam Penemuan dan Pemanfaatan Teknologi Tinggi Kemajuan pesat terjadi di bidang bioteknologi tanaman dan hewan yang didukung dengan kemajuan ilmu biologi molekuler dan berbagai ilmu pendukungnya. Pemetaan genom berbagai organisme, keberhasilan transformasi dan regenerasi organisme hasil rekayasa genetik (genetically modified organism/GMO) membuka peluang bagi pengembangan industri berbasis sumberdaya hayati. Penggunaan GMO dalam kaitan dengan keamanan pangan dan keamanan hayati masih kontroversial. Tiadanya pengetahuan konseptual dan empiris yang kuat dan meyakinkan menghasilkan sikap ragu-ragu dari penentu kebijakan terhadap GMO. Maka negara-negara di dunia menempuh kebijakan permissive policy atau precautionary policy terhadap penggunaan GMO. Situasi yang kontroversial tersebut menyulitkan posisi negara-negara berkembang, berupa tekanan dari negara-negara donor, organisasi dan perusahaan swasta multinasional. Di bidang alat dan mesin pertanian, dalam menghadapi persaingan telah dikembangkan alat dan mesin untuk budidaya yang telah mencapai tingkat penggunaan robot. Di bidang pasca panen telah dikembangkan teknologi tinggi seperti penginderaan mutu produk tanpa merusak produk tersebut dengan menggunakan image analyzer
untuk produk pertanian bernilai komersial tinggi.
Ekspansi cepat dari penggunaan satelit dalam pengumpulan data, termasuk Geographical Information System (GIS), dapat digunakan dalam penelitian tata
518
ruang kaitannya dengan produksi dan distribusi komoditas pertanian, pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan pengentasan kemiskinan. Secara umum posisi status teknologi Indonesia pada beberapa komoditas pertanian masih relatif tertinggal dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN. Untuk padi dan unggas Indonesia lebih unggul dibanding dengan negara-negara di Asia Tenggara maupun Asia Tengah. Namun demikian untuk komoditas perkebunan relatif tertinggal dari Malaysia dan hortikultura tertinggal dari Thailand. Untuk produk olahan pangan, produk Indonesia relatif tertinggal dibanding dengan Thailand dan Vietnam. Hal tersebut karena adanya perhatian pemerintah yang bersangkutan yang lebih konsisten dalam membangun rantai agribisnis komoditas dari hulu ke hilir sampai dengan kemudahan dalam pemasaran produk segar maupun olahannya. A.2. Nasional a. Penduduk dan Pola Permintaan Pangan dan Bahan Baku Dinamika penduduk Indonesia ditinjau dari kualitas, pasar tenga kerja, tingkat pendidikan, mobilitas, dan aspek gender tentu akan sangat berpengaruh terhadap keragaan pembangunan pertanian di masa mendatang. Dalam kaitan ini paling tidak ada 3 (tiga) aspek yang perlu mendapat perhatian lebih yaitu:
(a) meningkatnya
permintaan terhadap produk-produk pertanian, baik dalam jumlah kualitas, dan keragamannya, (b) meningkatnya ketersediaan tenaga kerja, dan (c) meningkatnya tekanan permintaan terhadap lahan untuk penggunaan non-pertanian (pemukiman, tapak industri, infrastruktur ekonomi). Meningkatnya permintaan terhadap produkproduk pertanian dapat dipandang sebagai suatu peluang sekaligus sebagai tantangan pembangunan pertanian. Peningkatan permintaan mengandung arti tersedianya pasar bagi produk-produk pertanian. Di sisi lain, peningkatan permintaan produk permintaan akan menimbulkan tekanan yang lebih besar untuk memacu peningkatan produksi. Walau melimpahnya ketersediaan tenaga kerja di pedesaan kondusif bagi pertumbuhan sektor pertanian, namun di sisi lain merupakan beban bagi sektor pertanian karena pendapatan buruh tani dan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian semakin sulit ditingkatkan. Selain itu, melimpahnya tenaga kerja di sektor pertanian justru menciptakan persoalan baru yaitu terjadinya fragmentasi lahan dan menurunnya luas penguasaan lahan per rumah tangga yang akan melahirkan lebih banyak kemiskinan di sektor pertanian untuk masa yang akan datang. Sebagai akibatnya ialah penduduk miskin di sekor pertanian akan melimpah pula. Diperkirakan dalam jangka waktu 10 tahun ke depan penduduk pedesaan mencapai 131 juta sedikit lebih rendah dibanding penduduk perkotaan yang mencapai 133 juta. Kesenjangan perekonomian pedesaan dan perkotaan masih tetap tinggi, sehingga
519
penduduk miskin di pedesaan tetap lebih banyak dibanding perkotaan. Perkiraan ini menunjukkan perlunya pergeseran nyata dalam hal penanganan masalah kemiskinan, ketidaktahanan pangan dan malnutrisi dari pedesaan. Kondisi ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa penanganan masalah kemiskinan dan ketahanan pangan dalam lima tahun ke depan tetap menjadi prioritas utama. b. Kelangkaan dan Degradasi Kualitas SDA (Lahan, Air) Ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi pemerintah berkaitan dengan masalah konversi lahan. Pertama, sangat timpangnya land rent antar wilayah (Jawa vs Luar Jawa; kota vs desa; sawah vs lahan kering), yang menyebabkan konversi lahan pertanian menjadi terkonsentrasi di Jawa, di lahan sawah dan di perkotaan. Kedua, tingginya laju urbanisasi. Meningkatnya permintaan lahan akibat pertumbuhan penduduk selain menyebabkan penurunan luas baku lahan pertanian juga meningkatnya intensisitas usahatani di daerah airan sungai (DAS) hulu. Penurunan luas baku lahan pertanian, khususnya lahan sawah, yang telah berlangsung sejak paruh kedua dekade 1980-an, saat ini cenderung semakin besar seiring dengan peningkatan konversi ke non pertanian, khususnya di pulau Jawa. Pada beberapa tahun terakhir, luas baku lahan sawah di luar Jawa juga telah mengalami penurunan pula. Dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan pangan juga meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian pangan. Salah satu dampak dari ekstensifikasi antara lain adalah penggundulan hutan. Luas hutan Indonesia menurun dari 65 persen dari total dataran pada tahun 1985 menjadi hanya 47 persen pada tahun 2000. Namun di Pulau Jawa, konversi lahan sawah irigasi menjadi pemukiman dan tapak industri terus berlangsung dengan akselerasi yang makin meningkat. Dampak dari penggundulan hutan dan konversi lahan tersebut antara lain berubahnya iklim secara global, erosi, banjir dan kekeringan. Penurunan luas baku sawah di daerah hilir pada kondisi jumlah petani tetap bahkan bertambah mendorong peningkatan intensitas usahatani di daerah hulu yang berakibat pada penurunan kualitas DAS. Penurunan kualitas DAS menyebabkan efisiensi saluran irigasi menurun dan saat ini penurunan efisiensi saluran irigasi tersebut makin bertambah karena kurangnya pemeliharaan dan rehabilitasi yang disebabkan terbatasnya dana pemerintah. Penurunan efisiensi saluran irigasi menyebabkan melambatnya perkembangan produktivitas pangan di lahan sawah. Perpaduan antara penurunan luas baku lahan dan efisiensi saluran irigasi menyebabkan kapasitas produksi pangan nasional mengalami penurunan.
520
c. Karakteristik Pertanian dan Pedesaan Indonesia Sensus Pertanian 2003 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga petani gurem (kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar) meningkat dari 10,9 juta RT pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta RT pada tahun 2003. Dengan pemilikan lahan rata-rata kurang dari 0,5 hektar dan tanpa adanya manajemen pengelolaan lahan yang memungkinkan tercapainya skala usaha, akan mengakibatkan usahatani menjadi kurang menarik secara ekonomis, karena tidak dapat memberikan jaminan sebagai sumber pendapatan yang mampu memberikan penghidupan yang layak. Fragmentasi lahan telah mengakibatkan inefisiensi yang tinggi dalam usahatani dan kegiatan ekonomi terkait di sektor hilirnya. Dalam hal ini, tantangan yang dihadapi adalah menciptakan sistem kelembagaan pengelolaan lahan yang mampu menjamin petani memenuhi skala usaha yang efisien dalam menghasilkan produk-produk unggulan guna meningkatkan pendapatan dan taraf hidup mereka. Dalam jangka panjang tantangannya adalah bagaimana menciptakan situasi kondusif agar terjadi konsolidasi penguasaan dan pengusahaan lahan oleh petani atau kelompok tani. Prakiraan profil pedesaan Indonesia menjelang 2020 adalah adanya pertumbuhan pendapatan dengan laju 6 persen per tahun di tingkat nasional dan regional, peningkatan dua kali lipat PDB pertanian (4,5% per tahun), penurunan separuhnya tingkat kemiskinan, penurunan separuhnya anak balita kekurangan gizi, 90 persen masyarakat pedesaan mendapat pelayanan air bersih, 80 persen masyarakat mendapat penyempurnaan sanitasi lingkungan, semua anak-anak desa memperoleh pendidikan dasar, 75 persen anak-anak desa memperoleh pendidikan menengah termasuk anak perempuan, dan 90 persen angkatan kerja memperoleh kesempatan kerja produktif. Pada tingkat masyarakat pedesaan, sebagian besar masyarakat aktif dan berpartisipasi aktif pada kegiatan produktif pertanian dan nonpertanian, masyarakat pedesaan menyadari dan diberdayakan mengenai hak dan kewajiban secara bertanggung jawab, dan memiliki kesadaran sosial yang diwujudkan dalam partisipasinya pada kelembagaan sosial pedesaan dan pada kelembagaan pemerintahan pedesaan. Realisasi dari prakiraan profil pedesaan di atas memerlukan kemajuan yang nyata dari enam bidang prioritas strategi, yang harus diimplementasikan oleh Departemen Pertanian, bersama dengan Departemen lainnya, pemerintahan dan aparat daerah, dunia usaha, dan organisasi masyarakat. Keenam prioritas strategi tersebut
terdiri dari : (1) percepatan pemberdayaan sumberdaya manusia dan
kewirausahaan; (2) pemberdayaan kelembagaan modal sosial melalui pemantapan
521
desentralisasi, kegotong-royongan, dan pemberdayaan kelembagaan masyarakat; (3) revitalisasi peningkatan produktivitas pertanian berspektrum luas melalui penelitian dan pengembangan pertanian serta diversifikasi; (4) mendukung agribisnis dan sistem usahatani yang kompetitif dan efisien serta pengembangan kawasan industri
terkait
yang
menguntungkan;
(5)
pemberdayaan
dan
penguatan
pertumbuhan dan produktivitas sektor non-pertanian pedesaan; dan (6) memperkuat pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan. Strategi prioritas tersebut harus didasari oleh kebijakan ekonomi makro yang kokoh. d. Manajemen Pembangunan : Otonomi Daerah dan Partisipasi Masyarakat d.1. Otonomi Daerah Seiring dengan pelaksanaan era otonomi daerah yang telah dimulai sejak tahun 2001, telah terjadi beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan peran pemerintah pusat dan daerah. Peran pemerintah yang sebelumnya sangat dominan, saat ini berubah menjadi fasilitator, stimulator atau promotor pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian pada era otonomi daerah akan lebih mengandalkan kreativitas rakyat di setiap daerah. Selain itu, proses perumusan kebijakan juga akan berubah dari pola top down dan sentralistik menjadi pola bottom up dan desentralistik. Perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan akan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya akan menangani aspek-aspek pembangunan pertanian yang tidak efektif dan efisien ditangani oleh pemerintah daerah atau menangani aspek-aspek pembangunan pertanian yang kepentingan beberapa daerah dan nasional. Dengan format lembaga pemerintah yang demikian maka pengelolaan ketahanan pangan (food security) akan semakin kompleks. Oleh karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, masalah ketahanan pangan nasional mestinya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Pemantapan sistem ketahanan pangan merupakan salah satu tantangan serius di masa mendatang.
d.2. Partisipasi Masyarakat Tuntutan jaman menghendaki pergeseran peranan masyarakat yang lebih dominan daripada masyarakat. Dengan demikian, reformasi total menuntut perlunya segera melaksanakan rekonstruksi kelembagaan pemerintahan publik berdasarkan prinsip good governance dengan tiga karakteristik utama, yaitu credibility, accountability, dan transparency. Kebijakan pembangunan dirancang secara
522
transparan dan melalui debat publik, dilaksanakan secara transparan pula dan diawasi oleh publik, sedangkan pejabat pelaksana bertanggung jawab penuh atas keberhasilan dari kebijakan tersebut. Dengan begitu, kebijakan pembangunan akan lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak (demokratis) dan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) menjadi semakin sulit dilakukan. Demokratisasi kebijakan pembangunan dan pencegahan KKN melalui good governance sangat bermanfaat untuk meminimalkan biaya ekonomi tinggi (high-cost economy) dan distorsi pasar (monopoli dan monopsoni) akibat kesalahan kebijakan. Dengan demikian, perekonomian akan lebih efisien dan pertumbuhan kegiatan bisnis berdasarkan pada keunggulan kompetitif riilnya, bukan karena proteksi atau dukungan pemerintah. e. Perkembangan IPTEK Nasional Sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan IPTEK yang dituangkan dalam UU No. 18/2002, menimbulkan paradigma baru bagi penelitian pengkajian dan pengembangan serta diseminasi hasil-hasil penelitian, karena: (a) memberikan landasan hukum bagi pertumbuhan kemampuan semua unsur kelembagaan dalam penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan IPTEK, (b) mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan IPTEK secara lebih efektif, (c) menggalakkan pembentukan jaringan kerjasama antar semua unsur kelembagaan IPTEK secara sinergis sehingga kapasitas dan kemampuannya lebih optimal, (d) mengikat semua pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam pengembangan dan pendayagunaan IPTEK. Paradigma baru yang timbul akibat dari UU No. 18/2002, adalah: a) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga tingkat pusat dan lembaga tingkat daerah digalakkan, b) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga publik dan lembaga swasta dirangsang, c) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga nasional dan internasional diberi peluang lebih besar.
B. Masalah dan Tantangan Paling sedikit ada enam tantangan (challenges) yang akan dihadapi dalam pembangunan pertanian periode 2005 – 2009 mendatang. Tiga tantangan di antaranya
telah menjadi perhatian masyarakat dunia yang dituangkan dalam
Millenium Development Goals yaitu : (1) penurunan proporsi jumlah penduduk miskin dengan pendapatan kurang dari 1 dolar AS per kapita per hari sebesar 50 persen selama periode 1990-2015; dan (2) penurunan proporsi jumlah penduduk yang
523
kelaparan sebesar 50 persen selama periode 1990-2015 dan (3)
pengelolaan
lingkungan hidup yang lebih baik. 1. Membangun Pemerintahan yang Baik dan Memposisikan Pertanian sebagai Sektor Andalan Perekonomian Nasional Cara penyelengaraan pemerintahan yang baik (good governance) sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan pertanian, yaitu : bersih (clean), berkemampuan (competent), memberikan hasil positif (credible) dan secara publik dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Pembangunan pertanian akan berhasil jika diawali dengan cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dimana pemerintah merupakan agen pembangunan yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana membangunan pemerintahan yang bersih, berkemampuan, berhasil dan dapat dipertanggungjawabkan. Disamping itu, politik pertanian kita masih lemah.
Walaupun semua
komponen bangsa menyadari akan pentingnnya sektor pertanian dalam memperkuat struktur perekonomian nasional, perhatian pemerintah dan elit politik belum sebesar peran sektor pertanian itu sendiri.
2. Mewujudkan Kemandirian Pangan dalam Tatanan Perdagangan Dunia yang Bebas dan Tidak Adil Kecukupan pangan merupakan masalah hidup dan matinya suatu bangsa, sehingga kemandirian pangan merupakan prioritas tujuan pembangunan pertanian. Tantangan ke depan yang dihadapi dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan adalah meningkatnya derajat globalisasi pergangan dunia yang tidak adil. Sebagai anggota WTO, Indonesia merupakan salah satu negara yang paling patuh menjalankan komitmen untuk mewujudkan perdagangan bebas. Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1998 telah mengurangi seluruh tarif bea masuk komoditi pertanian dan menghapus semua subsidi kepada petani, kecuali kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras. Namun banyak negara, khususnya negara maju, ternyata belum/tidak melaksanakan komitmen tersebut dengan baik, sehingga petani Indonesia dihadapkan pada persaingan tidak adil dengan petani dari negara-negara lain yang dengan mudah mendapat perlindungan tarif dan non tarif serta subsidi langsung dan tidak langsung dari pemerintahnya. Serbuan impor beberapa komoditas pangan utama meningkat, seperti
beras, gula, kedelai, jagung dan daging sapi.
524
Akibatnya komoditas pangan Indonesia kalah bersaing dengan komoditas pangan negara lain. Kalau ini dibiarkan terus, maka keberlanjutan pertanian pangan akan tidak terjamin yang berarti jutaan petani pangan akan kehilangan mata pencaharian. Indonesia juga menghadapi permasalahan dalam negeri yang berkaitan dengan produksi pangan yaitu : (1) upaya meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi jumlah petani gurem, sementara pada saat bersamaan muncul gejala pelambatan
produktivitas
dan
penurunan
nilai
tukar
petani;
(2)
upaya
mempertahankan momentum pertumbuhan tinggi produksi pangan dan membalikkan kecenderungan deselerasi pertumbuhan produksi menjadi akselerasi; (3) upaya mengatasi fenomena ketidakstabilan produksi; dan (4) upaya meningkatkan daya saing produk pangan. 3. Mengurangi Jumlah Petani Miskin, Membangun Basis bagi Partisipasi Petani, dan Pemerataan Hasil Pembangunan Krisis multi dimensi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan jumlah penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak menjadi sekitar 32 juta orang (26%) di pedesaan dan sekitar 18 juta orang (22%) di perkotaan. Namun pada tahun 2002, jumlah tersebut telah menurun drastis menjadi sekitar 25 juta orang (21,1%) di pedesaan dan sekitar 13 juta orang (14,5%) di perkotaan. Dengan mengacu pada target tujuan pembangunan era milenium, maka pada tahun 2015 proporsi penduduk miskin akan menjadi 8,54 juta orang (7,15%) di pedesaan dan 4,52 juta orang (8,40%) di perkotaan. Oleh karena itu, selama periode 2002 – 2015, Indonesia harus mampu mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 16,46 juta orang (13,94%) di pedesaan dan 8,48 juta orang (6,10%) di perkotaan. Apabila hal ini dikaitkan dengan fakta bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk di wilayah pedesaan bergantung pada sektor pertanian, maka hal ini berarti bahwa permasalahan kemiskinan sangat terkait dengan sektor pertanian. Dalam kaitan itu, sektor pertanian berperan sangat strategis dalam pengentasan penduduk miskin di wilayah pedesaan karena sebagian besar penduduk miskin di wilayah pedesaan bergantung pada sektor tersebut. Dengan kata lain, sektor pertanian merupakan sektor yang sangat strategis untuk dijadikan sebagai instrumen dalam pengentasan penduduk miskin. Kemajuan sektor pertanian akan memberikan kontribusi besar dalam penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan. Demikian pula, basis bagi partisipasi petani untuk melakukan perencanaan dan pengawasan pembangunan pertanian harus dibangun sehingga petani mampu mengaktualisasikan kegiatan usahataninya secara optimal untuk
525
menunjang
pertumbuhan
pendapatannya.
Hasil-hasil
pembangunan
harus
terdistribusi makin merata antar sektor, antar subsektor dalam sektor pertanian dan antar lapisan masyarakat agar tidak ada lagi lapisan masyarakat yang tertinggal dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan meningkat. 4. Meningkatkan Pertumbuhan Sektor Pertanian Pertumbuhan sektor pertanian sangat dibutuhkan untuk mengakselerasi perekonomian pedesaan. Sektor pertanian Indonesia, hingga saat ini masih sangat tergantung pada hasil primer, sehingga nilai tambah yang diperoleh masih rendah dan kurang kompetitif di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Ke depan, pemerintah harus dapat mendorong perkembangan produk pertanian olahan primer, selain untuk meningkatkan nilai tambah juga meningkatkan dan memperluas pangsa pasar di dalam dan luar negeri. Negara berkembang penghasil produk pertanian, saat ini banyak yang melakukan pengembangan produk pertanian untuk mensiasati perdagangan dunia yang tidak adil. Apabila hal dapat dilakukan maka sektor pertanian akan tumbuh lebih cepat dan tinggi lagi dibandingkan dengan yang telah dicapai selama ini. Pertumbuhan sektor pertanian yang makin cepat akan memacu pertumbuhan sektor-sektor lain secara lebih cepat melalui kaitan ke belakang dan ke depan dalam kegiatan produksi dan konsumsi. Dengan demikian, sektor pertanian akan lebih dikenal sebagai pengganda tenaga kerja, dan bukan sekedar pencipta kesempatan kerja. 5. Melestarikan Sumberdaya Alam dan Fungsi Lingkungan Hidup Permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi banyak berkaitan dengan penurunan kualitas lingkungan di wilayah hulu yang berakibat langsung pada kualitas lingkungan di wilayah hilir. Meningkatnya permintaan lahan akibat pertumbuhan penduduk selain menyebabkan penurunan luas baku lahan pertanian juga meningkatnya intensisitas usahatani di daerah aliran sungai (DAS) hulu. Penurunan luas baku lahan pertanian, khususnya lahan sawah, yang telah berlangsung sejak paruh kedua dekade 1980-an, saat ini cenderung makin besar seiring dengan peningkatan konversi ke non pertanian, khususnya di pulau Jawa. Pada beberapa tahun terakhir, luas baku lahan sawah di luar Jawa juga telah mengalami penurunan. Dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan pangan juga meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian pangan. Salah satu dampak dari ekstensifikasi antara lain adalah penggundulan hutan. Luas hutan Indonesia menurun dari 65% dari total daratan
526
pada tahun 1985 menjadi hanya 47% pada tahun 2000. Di Pulau Jawa, konversi lahan sawah irigasi menjadi pemukiman dan tapak industri terus berlangsung dengan akselerasi yang meningkat. Dampak dari penggundulan hutan dan konversi lahan tersebut antara lain adalah berubahnya iklim secara global serta meningkatnya erosi, banjir dan kekeringan. Penurunan luas baku sawah di daerah hilir pada kondisi jumlah petani tetap bahkan bertambah telah mendorong peningkatan intensitas usahatani di daerah hulu yang berakibat pada penurunan kualitas DAS. Penurunan kualitas DAS menyebabkan efisiensi saluran irigasi menurun dan penurunan efsiensi ini makin cepat karena kurangnya pemeliharaan dan rehabilitasi sebagai akibat terbatasnya dana pemerintah. 6. Membangun Sistem IPTEK yang Efisien Permasalahan
utama
yang
dihadapi
Indonesia
berkaitan
dengan
pemanfaatan IPTEK Pertanian adalah belum terbangunnya secara efisien sistem IPTEK Pertanian mulai dari hulu (penelitian tinggi dan strategis) sampai hilir (pengkajian teknologi spesifik lokasi dan diseminasi penelitian kepada petani). Efisiensi sistem IPTEK di sektor pertanian ini perlu dibangun melalui sinkronisasi program litbang pertanian mulai dari hulu sampai hilir dan sinkronisasi program litbang pertanian dengan lembaga penelitian lainnya. Selain itu, efisiensi sistem IPTEK pertanian ini perlu didukung dengan sistem pendidikan pertanian yang mampu menghasilkan peneliti yang berkemampuan (competent) dan produktif (credible). Juga perlu dibangun kembali sistem penyuluhan petani yang lebih efektif dan efisien.
C. Penajaman Arah Kajian mendalam dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa selama lebih dari 30 tahun pertanian selalu diidentikan dengan proses budidaya atau agronomi, sehingga pembangunan pertanian, sadar atau tidak sadar, dipandang hanya terbatas pada upaya peningkatan produksi suatu komoditas, baik itu sebagai bahan pangan, bahan baku industri ataupun komoditas ekspor. Jenis komoditas hasil-hasil pertanian tersebut juga didefinisikan terbatas sebagai komoditas primer, sehingga proses pengolahan/agroindustri dipersepsikan pembinaannya terlepas dari sektor pertanian. Pembangunan pertanian juga dipandang sebagai pembangunan sektoral, bahkan sub sektoral, sehingga dipersepsikan dengan kuat terlepas dari upaya pembangunan yang terpadu dengan pembangunan wilayah atau pedesaan.
527
Persepsi yang keliru terhadap lingkup pertanian dan pembangunan pertanian seperti itu direfleksikan oleh adanya fragmentasi dalam pelayanan pemerintah bagi pembangunan sektor pertanian, dimana pengertian pertanian dibatasi hanya pada proses kegiatan agronomi atau subsistem produksi saja. Pendekatan ini tercermin dari terbatasnya tugas dan fungsi Departemen Pertanian selama ini dikonsentrasikan hanya pada upaya peningkatan produksi pertanian komoditas primer. Pembinaan dan pelayanan pemerintah dalam bentuk regulator, fasilitator dan promotor untuk pengembangan industri pertanian, usaha pemasaran dan perdagangan pertanian, sistem
distribusi
dan
logistik
pangan,
pengembangan
koperasi
pertanian,
penanganan irigasi pertanian, dan pembukaan atau perluasan areal pertanian termasuk pencetakan lahan sawah, berada pada berbagai departemen atau instansi yang terpisah-pisah. Memang benar, koordinasi akan harus menjadi perekat dalam setiap upaya pembangunan yang sifatnya lintas sektoral/departemen, dan melalui koordinasi lintas sector,
seharusnya
keterpaduan
pembangunan
dapat
diwujudkan.
Namun
pengalaman lebih dari tiga dasawarsa menunjukkan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan, apalagi dalam implementasinya di lapangan tidak pernah dapat terwujud dengan baik sesuai harapan, walaupun kesepakatan telah dicapai dalam berbagai pertemuan koordinasi. Hal ini dapat dimengerti, karena dalam kondisi sumberdaya terbatas, dan dengan perbedaan skala prioritas antar departemen ataupun instansi, maka upaya untuk membangun pertanian modern, tangguh, dan efisien sangat sulit diwujudkan. Atas dasar pemikiran di atas, maka pembangunan pertanian lima tahun ke depan (2004 – 2009) perlu ada penajaman pendekatan dan arah, atau perlu ada reorientasi dan reposisi pertanian dalam pembangunan nasional, yaitu dalam hal : a. Pembangunan pertanian harus dipandang sebagai proses yang berkelanjutan, sehingga tidak harus membuat atau menyusun kebijakan dan program pembangunan pertanian yang sama sekali baru. Penyusunan program pembangunan pertanian yang sama sekali baru akan kontra produktif, karena “proses penyesuaian” dalam implementasi di lapangan akan memakan waktu lama, dan dengan demikian akan kehilangan waktu membangun 1 – 2 tahun dari 5 tahunan periode pembangunan. Dengan demikian, yang perlu dilakukan adalah melanjutkan, mempertajam dan menyempurnakan program pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan oleh pemerintahan terdahulu.
528
b. Pembangunan pertanian dengan wawasan agribisnis harus dipandang sebagai suatu pendekatan pembangunan pertanian. Dengan pendekatan ini, pandangan bahwa pertanian hanya sebagai kegiatan budidaya atau agronomi akan dengan sendirinya terhapus. Pembangunan pertanian dengan wawasan agribisnis mencakup keseluruhan sub sistem agribisnis yang harus dilaksanakan secara terpadu mulai dari sub sistem pengembangan prasarana dan sarana pertanian, sub sistem budidaya/produksi, sub sistem pengolahan hasil/agroindustri, sub sistem
pemasaran
dan
distribusi,
dan
sub
sistem
pendukung
seperti
pengembangan SDM, penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dan pelayanan informasi pasar. c. Pembangunan pertanian harus dipandang bukan sebagai pembangunan parsial pengembangan
komoditas,
tetapi
dalam
implementasinya
pembangunan
pertanian sangat terkait dengan pembangunan wilayah khususnya pedesaan, guna meningkatkan pendapatan masyarakat pertanian dan mengentaskan kemiskinan di wilayah yang bersangkutan. Reorientasi pendekatan ini didasarkan pada kenyataan bahwa resource endowment para petani, khususnya lahan sangat terbatas, sehingga yang terjadi selama bertahun-tahun petani telah mempraktekan usaha pertanian yang mengoptimalkan sumberdaya lahan tersebut dengan berdiversifikasi usaha. Dalam satu bidang lahan yang diusahakannya,
mereka
membudidayakan
tanaman
pangan,
hortikultura,
perkebunan serta mengusahakan ternak dan ikan. Lebih jauh lagi, dalam satu unit terkecil wilayah binaan seperti suatu desa atau ekonomi, pasti akan dijumpai berbagai jenis tanaman atau hewan yang diusahakan secara terpadu. Dari ketiga reorientasi pendekatan tersebut sudah sangat jelas bahwa pembangunan pertanian harus dipandang sebagai proses pembangunan yang berkelanjutan dengan mengimplementasikan konsep agribisnis secara utuh dan terkait erat dengan pembangunan wilayah pedesaan berbasiskan pengembangan tanaman dan ternak secara terpadu dengan memanfaatkan sumberdaya dan budaya lokal.
D. Visi dan Misi Pembangunan Pertanian 2005 – 2009 1. Visi Memperhatikan permasalahan dan tantangan pembangunan pertanian dan lingkungan
strategis
domestik
dan
internasional
yang
dihadapi,
maka
visi
pembangunan pertanian tahun 2005-2009 adalah upaya mengangkat harkat derajat,
529
kemampuan dan kesejahteraan petani dengan mewujudkan sektor pertanian yang memiliki nilai tambah tinggi, berdaya saing dan menjadi landasan kokoh pembangunan ekonomi nasional. 2. Misi Sesuai dengan visi pembangunan pertanian 2005-2009, maka misi pembangunan pertanian dalam kerangka pembangunan ekonomi nasional dapat dirumuskan sebagai berikut : (a)
Mengembangkan dan memfasilitasi organisasi petani untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) dalam kerangka meningkatkan harkat, derajad dan kemampuan petani;
(b)
Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani serta kesempatan kerja produktif dan memposisikan petani sebagai subyek dalam pembangunan pertanian;
(c)
Menyediakan bahan pangan dan produk pertanian bernilai tambah tinggi, berdaya saing serta memantapkan ketahanan dan keamanan pangan sesuai dengan permintaan pasar domestik dan internasional;
(d)
Membangun dan mengembangkan agroindustri di pedesaan dan infrastruktur yang menghubungkan pedesaan dan perkotaan;
(e)
Menyediakan bahan baku sektor industri dan jasa secara dinamis dan berkelanjutan;
(f)
Mengembangkan lembaga pembiayaan pertanian di pedesaan sesuai dengan kebutuhan petani; dan
(g)
Melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan hidup untuk pembangunan pertanian berkelanjutan. Untuk melaksanakan misi tersebut, beberapa prasyarat perlu diwujudkan
terlebih dahulu yaitu : (a)
Terbangunnya citra (image) di kalangan legislatif dan adanya kesepahaman dari setiap komponen pelaku pembangunan untuk menempatkan pertanian sebagai persoalan negara dan bukan hanya persoalan sektoral;
(b)
Dengan kesepahaman tersebut, perbaikan sarana dan infrastruktur pertanian perlu mendapat prioritas;
530
(c)
Sistem dan struktur penganggaran harus mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
(d)
Peraturan perundangan yang menghambat pertanian perlu ditinjau ulang dan dirumuskan kembali sehingga tercipta situasi kondusif untuk pembangunan pertanian.
E. Sasaran dan Strategi Dasar E.1. Sasaran 1. Indikator Makro a. Produk Domestik Bruto Dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6% per tahun selama kurun waktu 2005 – 2009, PDB sektor pertanian (tidak termasuk perikanan dan kehutanan) berdasarkan harga yang berlaku ditargetkan akan tumbuh 4,37% per tahun (Tabel 1). Subsektor perkebunan dan subsektor peternakan akan menjadi sumber penting pertumbuhan sektor pertanian cukup penting, yang masingmasing ditargetkan akan tumbuh 6,0% per tahun, sedangkan subsektor tanaman pangan dan subsektor hortikultura ditargetkan akan tumbuh masing-masing 2,50% dan 5,0% per tahun. Dengan target laju pertumbuhan di atas, maka pada tahun 2009 PDB sektor pertanian akan menjadi Rp 315,9 triliun, yang terdiri dari subsektor pangan Rp 120,8 triliun, subsektor hortikultura Rp 72,2 triliun, subsektor perkebunan Rp 66,5 triliun dan subsektor peternakan 56,5 triliun. Apabila sasaran pertumbuhan PDB sektor pertanian ini dapat dicapai (dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk masih sekitar 1,4% per tahun), maka sektor pertanian ke depan akan sangat berperan dalam penurunan jumlah penduduk miskin, khususnya di pedesaan. b. Investasi Untuk memacu pertumbuhan PDB pertanian, ivestasi di bidang pertanian ditargetkan akan meningkat 5,20% per tahun selama kurun waktu 2005 – 2009. Investasi untuk bidang perkebunan dan peternakan akan tumbuh 6,0% per tahun, sedangkan untuk tanaman pangan dan hortikultura akan tumbuh masing-masing 2,49% dan 5,0% per tahun (Tabel 1). Dengan laju pertumbuhan tersebut, jumlah investasi di sektor pertanian pada tahun 2009 ditargetkan akan mencapai Rp 14,7
531
triliun, yang terdiri dari subsektor pangan Rp 2,4 triliun, subsektor hortikultura Rp 2,8 triliun, subsektor perkebunan Rp 7,1 triliun dan subsektor peternakan Rp 2,4 triliun. c. Penyerapan Tenaga Kerja Untuk meningkatkan produktivitas pertanian, sebagian tenaga kerja harus masuk ke sektor non-pertanian. Oleh karena itu, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian selama 2005 – 2009 ditargetkan hanya mencapai 0,91% per tahun. Untuk subsektor tanaman pangan, penyerapan tenaga kerja ditargetkan akan menurun 2,66% per tahun, sedangkan untuk subsektor hortikultura, subsektor perkebunan dan subsektor peternakan ditargetkan masing-masing akan tumbuh 0,80%, 7,77% dan 4,80%. Dengan laju peningkatan tersebut, jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pertanian pada tahun 2009 ditargetkan akan mencapai 41,0 juta orang, yang terdiri dari subsektor pangan 16,4 juta orang, subsektor hortikultura 11,6 juta orang, subsektor perkebunan 8,4 juta orang dan subsektor peternakan 4,6 juta orang. d. Pendapatan Petani Pendapatan petani per kapita per tahun ditargetkan akan meningkat 3,37% per tahun sehingga pada tahun 2009 akan mencapai Rp 7,7 juta. Jika diperinci lebih lanjut, petani tanaman pangan, petani hortikultura, petani perkebunan dan peternak ditargetkan akan meningkat masing-masing 5,30%, 4,17%, 1,08% dan 1,14% per tahun. Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka pada tahun 2009 pendapatan petani tanaman pangan akan mencapai Rp 7,4 juta, petani hortikultura Rp 6,3 juta, petani perkebunan Rp 8,8 juta dan peternak Rp 12,3 juta per kapita per tahun. Dengan makin banyaknya tenaga kerja pertanian pangan yang keluar untuk bekerja di sektor non pertanian (industri), diharapkan skala usahatani pangan per petani akan meningkat. Apabila sasaran-sasaran tersebut di atas dapat dicapai maka arah transformasi struktur perekonomian nasional akan dapat berjalan seperti yang diharapkan, yaitu struktur perekonomian yang lebih berimbang, dimana peranan sektor industri dan jasa makin besar, sedangkan sektor pertanian makin kecil. Selama kurun waktu 2005-2009, pangsa sektor pertanian terhadap PDB nasional dan penyerapan tenaga kerja ditargetkan masing-masing akan menurun 1,67% dan 4,17% per tahun. Dengan skenario seperti ini diharapkan kesejahteraan petani akan meningkat dan senjang pendapatan dengan sektor non pertanian (khususnya sektor industri) akan menurun.
532
e. Jumlah Penduduk Miskin Selama kuru waktu 2005 – 2009, jumlah penduduk miskin ditargetkan akan menurun 5,77% per tahun. Jika target ini dapat dicapai, maka jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan pada tahun 2009 akan menjadi 6,52% dari posisi 16,87% pada tahun 2005 dan 21,40% pada tahun 2003. Dengan demikian maka tingkat kesejahteraan penduduk pedesaan akan meningkat pada tahun 2009. 2. Indikator Produksi a. Komoditas Pangan Kebutuhan pangan akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Idealnya, laju pertumbuhan produksi pangan harus lebih tinggi daripada laju pertumbuhan penduduk. Untuk itu, produksi pangan perlu dipacu dengan memanfaatkan sumberdaya domestik secara lebih optimal. Sasaran peningkatan produksi pangan utama berdasarkan kapasitas sumberdaya alam, kemampuan inovasi teknologi, laju pertumbuhan penduduk dan dinamika pasar (dalam dan luar negeri) adalah sebagai berikut. Beras, sebagai komoditas strategis dan pangan pokok penduduk Indonesia, akan tetap menjadi fokus utama dalam pembangunan pertanian selama lima tahun ke depan. Laju pertumbuhan produksi beras selama kurun waktu 2005-2009 ditargetkan sekitar 0,68% per tahun sehingga produksi pada tahun 2009 akan mencapai 34,4 juta ton (Tabel 2). Dengan asumsi pola pangan penduduk Indonesia akan makin beragam, bergizi dan berimbang, tingkat konsumsi beras akan turun menjadi sekitar 135 kg per kapita per tahun, maka jumlah produksi tersebut sudah cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Produksi komoditas palawija juga ditargetkan akan meningkat. Jagung, sebagai bahan pangan dan bahan baku industri pakan ternak di dalam negeri, produksinya selama kurun waktu yang sama diproyeksikan akan tumbuh 1,78% per tahun. Produksi palawija lainnya juga akan meningkat, yaitu kedelai 6,71%, kacang tanah 4,50% dan ubi-ubian (ubi kayu dan ubi jalar) 3,36% per tahun. Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka produksi jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu dan ubi jalar pada tahun 2009 masing-masing akan menjadi 12,1 juta ton, 1 juta ton, 1 juta ton, 23,1 juta ton dan 2,5 juta ton
533
b. Komoditas Hortikultura Selain untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, upaya peningkatan produk tanaman hortikultura juga diarahkan untuk meningkatkan ekspor. Upaya peningkatan produksi tanaman hortikultura yang mempunyai nilai tinggi ini diharapkan juga mampu membantu meningkatkan pendapatan petani. Selama kurun waktu 20052009, laju pertumbuhan produksi sayuran ditargetkan meningkat di atas 3% per tahun, yaitu bawang merah 3,93%, kentang 4,12%, kubis 3,96%, tomat 5,76% dan cabe 4,26% (Tabel 2). Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka produksi bawang merah, kentang, kubis, tomat dan cabe pada tahun 2009 masing-maisng akan menjadi 1 juta ton, 1,1 juta ton, 1,5 juta ton, 0,9 juta ton dan 0,2 juta ton. Dalam kurun waktu yang sama, laju pertumbuhan produksi buah-buahan ditargetkan akan meningkat di atas 2% per tahun, yaitu alpukat 4,94%, pisang 4,84%, mangga 2,49%, jeruk 3,87% dan pepaya 3,03%. Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka produksi alpukat, pisang, mangga, jeruk dan pepaya pada tahun 2009 masing-masing akan menjadi 0,2 juta ton, 5,1 juta ton, 1,1 juta ton, 0,8 juta ton dan 0,6 juta ton. c. Komoditas Perkebunan Komoditas perkebunan selama ini dikenal sebagai penghasil devisa utama di sektor pertanian. Selama berabad-abad yang lalu, Indonesia telah dikenal sebagai salah satu penghasil dan eksportir komoditas perkebunan utama dunia. Industri teh dan gula tebu telah berkembang sejak jaman kolonial, namun akhir-akhir ini produksinya menurun. Bahkan untuk gula tebu, Indonesia telah berubah dari pengekspor utama dunia menjadi pengimpor utama dunia saat ini. Oleh karena itu, untuk kurun waktu 2005–2009, produksi kedua komoditas tersebut ditargetkan akan meningkat 2,40% untuk teh dan 2,20 % untuk gula tebu per tahun (Tabel 2). Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka produksi teh dan gula tebu pada tahun 2009 masing-masing akan mencapai 0,2 juta ton dan 2,3 juta ton. Berbeda dengan teh dan gula tebu, Indonesia saat ini merupakan salah satu penghasil minyak sawit (CPO) terbesar di dunia. Dengan ketersediaan lahan yang masih cukup luas di luar Jawa, produksi minyak kelapa sawit ditargetkan akan meningkat 8,80 % per tahun. Dengan laju pertumbuhan tersebut, produksi minyak sawit pada tahun 2009 akan meningkat menjadi 68,0 juta ton dan Indonesia akan menjadi negara penghasil CPO terbesar di dunia menggantikan Malaysia. Produksi komoditas perkebunan lainnya juga ditargetkan akan meningkat yaitu karet 3,01%, kopi 2,31% dan kakao 7,41% per tahun. Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka
534
produksi karet, kopi dan kakao pada tahun 2009 masing-masing akan mencapai 3,3 juta ton, 0,7 juta ton dan 0,7 juta ton. d. Komoditas Peternakan Produksi komoditas peternakan sebagai sumber protein hewani juga ditargetkan akan meningkat cukup tinggi guna memenuhi kebutuhan konsumsi protein hewani yang makin tinggi. Produksi daging sapi ditargetkan akan meningkat lambat yaitu sekitar 1,69 %, sedangkan produksi daging ayam (khususnya ayam broiler) ditargetkan akan meningkat lebih cepat yaitu 4,18%, dan bahkan produksi telur dan susu akan meningkat lebih cepat dibanding dagung sapi dan ayam, masing-masing 7,24% dan 8,49% (Tabel 2). Dengan laju pertumbuhan tersebut, maka produksi daging sapi, daging ayam, telur dan susu pada tahun 2009 masingmaisng akan menjadi 0,5 juta ton, 1,2 juta ton, 1,4 juta ton dan 1 juta ton
E.2. Strategi Dasar Strategi
pembangunan
pertanian
harus
mampu
memberikan
solusi
permasalahan di tingkat internasional, inter-regional, regional, nasional, antar sektor dan antar subsektor pertanian. Secara umum pembangunan pertanian diarahkan untuk memanfaatkan semua potensi dan kemampuan sumberdaya manusia pertanian, utamanya petani, menuju industrialisasi pertanian. Dengan kata lain kebijakan industri harus diarahkan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan agroindustri. Pembangunan pertanian itu sendiri harus dipacu secara integratif dengan pembangunan agroindustri dengan mengedepankan pemanfaatan semua potensi dan kemampuan petani. Dengan kerangka seperti itu, terdapat tiga strategi dasar yang perlu ditempuh, yaitu: (1) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia; (2) Peningkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan perolehan manfaat pembangunan pertanian; dan (3) Peningkatan kapasitas sumberdaya dan fasilitas agribisnis. 1. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia Dari segi jumlah, sumberdaya manusia (SDM) yang terlibat dalam kegiatan agribisnis relatif sangat banyak, terutama di pedesaan. Namun jika dilihat dari kualitas kemampuan SDM, dukungan untuk menempatkan kegiatan agribisnis atau sektor pertanian menjadi andalan pembangunan nasional masih sangat kurang. Dari segi mutu atau ketrampilan, SDM di pedesaan masih relatif kurang, dan oleh karena itu
535
peningkatan mutu SDM perlu mendapat perhatian serius. Selain faktor ketrampilan, aspek perubahan cara berpikir (rasionalitas), antisipasi ke depan, kemampuan berempati, melakukan mobilitas, partisipasi dan motivasi (sikap dan tata nilai) berprestasi juga perlu ditingkatkan. Pengusaha dan pekerja agribisnis modern dicirikan oleh rasionalitas yang tinggi dalam arti senantiasa memahami dan menjelaskan suatu kejadian dan situasi dalam hubungan sebab akibat berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, serta senantiasa menyusun strategi tindakan berdasarkan hubungan cara-tujuan secara sistematis dan dengan penuh perhitungan. Dengan perkataan lain, pengembangan pengusaha dan pekerja agribisnis merupakan proses perubahan cara berpikir dari berdasarkan perasaan menjadi berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, dan perubahan pengambilan keputusan dari (semula) acak menjadi secara sistematis. Hal ini penting untuk disadari, karena merupakan prasyarat keharusan agar suatu teknologi maju atau inovasi dapat diterapkan pada agribisnis dan agar agribisnis itu dapat dikelola secara lebih efisien. Kemampuan antisipasi adalah kemampuan untuk memperkirakan sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang, dan melakukan tindakan penyesuaian (adjustment) yang tepat untuk itu. Pengusaha agribisnis modern dicirikan oleh sikap atau cara berpikir yang tidak mengabaikan kepentingan jangka panjang, mampu mengantisipasi dengan cukup tepat tentang apa yang akan terjadi di masa depan dan melakukan tindakan penyesuaian yang tepat dengan prakiraan perubahan tersebut. Hal yang sebaliknya terjadi pada pengusaha agribisnis tradisional. Kemampuan empati adalah kemampuan untuk memahami cara berpikir, sikap, dan pola tindak orang lain. Kemampuan empati ini sangat penting dimiliki oleh pengusaha agribisnis, karena dengan daya empati seorang pelaku agribisnis dapat menentukan strategi persaingan dan kerjasama bisnis yang lebih tepat, mempunyai kemampuan memimpin perusahaan, dan mampu menentukan pengembangan produk sesuai dengan preferensi konsumen. Mobilitas sosial secara vertikal mengacu pada sikap dan kemampuan untuk meraih status yang lebih baik. Pengusaha dan pekerja agribisnis modern dicirikan oleh kemauan dan kemampuan yang tinggi untuk senantiasa meningkatkan statusnya, baik secara ekonomi maupun sosial. Dengan perkataan lain, pengusaha dan pekerja agribisnis modern harus bersikap dinamis, karena dengan sikap tersebut agribisnis dapat tumbuh dan berkembang cepat. Kemampuan partisipasi adalah kemampuan untuk meraih segala kesempatan yang ada demi untuk peningkatan status. Pengusaha dan pekerja agribisnis modern
536
dicirikan oleh tingkat partisipasi yang cepat dan tinggi (optimis). Sifat partisipasi yang tinggi merupakan faktor yang sangat menentukan agar suatu teknologi dapat diadopsi secara cepat dan lengkap dan agar suatu kesempatan usaha (pasar) dapat diraih secara cepat. Sikap dan nilai mengacu pada motivasi dan pandangan hidup seseorang. Sikap dan nilai modern dicirikan oleh motivasi untuk senantiasa berupaya meraih kemajuan atau keberhasilan atau sikap untuk senantiasa bekerja keras, tidak atas dasar dorongan imbalan jasa material semata. Hal ini sering disebut sebagai need for achievement atau kebutuhan untuk meraih hasil dan kemajuan. Motivasi untuk meraih kemajuan dapat dipandang sebagai landasan kuat bagi kemajuan usaha. 2. Peningkatan Partisipasi Masyarakat Tuntutan jaman menghendaki pergeseran peranan masyarakat yang lebih dominan daripada pemerintah. Dengan demikian, reformasi total menuntut perlunya segera melaksanakan rekonstruksi kelembagaan pemerintahan publik berdasarkan prinsip good governance dengan tiga karakteristik utama, yaitu credibility, accountability dan transparency. Kebijakan pembangunan dirancang secara transparan dan melalui debat publik, dilaksanakan secara transparan dan diawasi oleh publik, sedangkan pejabat pelaksana bertanggung jawab penuh atas keberhasilan dari kebijakan tersebut. Dengan begitu, kebijakan pembangunan (pertanian)
akan
lebih
berorientasi
pada
kepentingan
masyarakat
banyak
(demokratis) dan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) menjadi semakin sulit dilakukan. Demokratisasi kebijakan pembangunan dan pencegahan KKN melalui good governance sangat bermanfaat untuk meminimalkan biaya ekonomi tinggi (high-cost economy) dan distorsi pasar (monopoli dan monopsoni) akibat kesalahan kebijakan. Dengan demikian, perekonomian akan lebih efisien dan pertumbuhan kegiatan bisnis berdasarkan pada keunggulan kompetitif riilnya, bukan karena proteksi atau dukungan pemerintah. Untuk mewujudkan hal itu, maka peningkatan partisipasi masyarakat pada proses pembangunan sejak perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan perolehan manfaat pembangunan pertanian merupakan strategi dasar yang perlu ditempuh. 3. Peningkatan Kapasitas Sumberdaya dan Fasilitas Agribisnis Jumlah penduduk Indonesia yang besar dan potensi sumberdaya alam yang luas dan subur untuk pertanian merupakan keunggulan komparatif bagi Indonesia. Oleh karena itu, strategi pembangunan nasional harus dititikberatkan pada
537
pembangunan ekonomi yang berbasis pada peningkatan kapasitas sumberdaya alam, padat karya dan berorientasi pada pasar domestik. Secara nasional, sektor pertanian paling
tepat
dijadikan
sebagai
prioritas
pembangunan
ekonomi
Indonesia.
Pembangunan pertanian mempunyai efek sinergis yaitu adanya dampak akselerasi dan peningkatan kegiatan sektor lain, dan pembangunan pertanian juga berarti pembangunan pedesaan. Sehubungan dengan memposisikan sektor pertanian sebagai sektor andalan maka kebijakan ekonomi makro harus sejalan dan mendukung kebijakan ekonomi mikro. Termasuk dalam ini adalah kebijakan anggaran pembangunan yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebijakan investasi nasional harus mempunyai sasaran agar investasi di sektor pertanian menjadi lebih kompetitif dibanding sektor non pertanian. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa investasi pemerintah dalam sektor pertanian dapat merupakan biaya sosial (social cost) yang memberikan dampak positip terhadap pemerataan distribusi pendapatan masyarakat. Oleh karena itu upaya meningkatkan kapasitas sumberdaya dan fasilitas agribisnis merupakan salah satu strategi dasar yang perlu ditempuh Strategi dasar yang dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya dan fasilitas agribisnis adalah sebagai berikut : a. Perbaikan dan peningkatan efisiensi sistem investasi, pembiayaan dan insentif pertanian Untuk mempercepat investasi di sektor pertanian perlu didirikan bank pertanian di pedesaan, sehingga petani mempunyai akses lebih besar pada pasar modal. Namun kebijakan ini harus disertai dengan program-program pelatihan tentang
usaha-usaha
agribisnis
yang
menguntungkan.
Pelatihan
bertujuan
meningkatkan ketrampilan serta kemampuan daya saing golongan lemah yang bersangkutan agar dapat menggunakan modal secara optimal. Dalam peningkatan dan perbaikan investasi ini termasuk di dalammya adalah membangun infrastruktur yang bertujuan memanfaatkan sumberdaya pertanian dan membangun pertanian komersial. Berdasarkan pertimbangan sosial, ekonomi dan politik nasional, maka pemerintah adalah pihak utama yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur pertanian sebagai investasi publik. Strategi pembangunan infrastruktur harus mampu menjawab permasalahan berikut : (a) Prasarana jalan di pedesaan dan di daerah produksi serta antara daerah produsen (pedesaan) dan konsumen di perkotaan; (b) Prasarana produksi seperti waduk, dam,
538
jaringan irigasi termasuk perbaikan jaringan irigasi yang sudah ada serta pembangunan sistem irigasi untuk daerah potensial; (c) Prasarana komunikasi dan transportasi, termasuk pelabuhan dan terminal untuk komoditas pertanian serta tranposrtasi yang memungkinkan pasar inter-insuler dapat berjalan; dan (d) Prasarana kegiatan pasca panen, termasuk pasar komoditas pertanian, pasar induk, kawasan industri pertanian, gudang serta laboratorium pengujian mutu produk dan bahan. Selain itu, penataan sistem insentif yang mampu mendorong usaha dan investasi pertanian yang kondusif penting dilakukan. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah : (a) Menata sistem perizinan sehingga kondusif bagi petani dan investor pertanian; (b) Mengembangkan dan menerapkan kombinasi sistem pajak, provisi dan retribusi pemanfaatan sumberdaya pertanian; dan (c) Menata kebijakan fiskal berupa pajak progresif serta, dalam hal tertentu, diskriminasi yang memihak pada pembangunan sektor pertanian. b. Pengembangan pasar dan pengelolaan pola konsumsi Meningkatnya kualitas hidup, pendapatan, dan terbukanya sistem informasi dan pasar global mendorong kesadaran dan pergeseran selera konsumen dalam memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa. Dalam hal ini terjadi peningkatan bahan konsumsi dan perubahan preferensi konsumen dari permintaan terhadap komoditas menjadi permintaan terhadap produk. Konsep permintaan terhadap produk mengacu pada sifat permintaan yang didasarkan pada karateristik dari produk, termasuk aspek keamanan dan kesehatan. Karakteristik yang dimiliki oleh produk merupakan faktor penentu kualitas dan harga produk tersebut. Kemampuan untuk menghasilkan produk dengan karateristik yang sesuai dengan keinginan konsumen merupakan salah satu sumber keunggulan kompetitif di masa datang. Atas dasar itu, strategi
pendekatan produksi dan harga
pokok produksi
minimum tidak sesuai lagi sebagai strategi pembagunan pertanian atau usaha pertanian di masa datang. Strategi yang akan datang harus berlandaskan pada orientasi konsumen (pasar). Dalam hal ini kegiatan usahatani, panen, pasca panen dan pengolahan hasil-hasil pertanian harus dikoordinasikan secara vertikal dan terpadu dengan agribisnis terkait. Seiring dengan itu untuk memperluas pasar bagi komoditas dan produk pertanian penting pula dilakukan pengembangan dan penciptaan produk pertanian baru yang memiliki nilai tambah tinggi, berdaya saing dan sesuai dengan selera konsumen.
539
Preferensi konsumen juga berubah dari konsumsi food crops ke arah non food crops. Perubahan ini juga akan menjadi alasan penting mengapa diversikasi produksi pangan antara food crops dan non food crops menjadi penting. Hal ini searah dengan pentingnya mendorong upaya diversifikasi pola konsumsi. Hasil penghitungan pencapaian Pola Pangan Harapan (PPH) juga menunjukkan bahwa kualitas konsumsi tahun 2002 (skor PPH = 68,4) lebih baik dari kualitas konsumsi tahun 1999 (skor PPH = 62,6), meskipun konsumsi energi penduduk baru mencapai 90,3% dari Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (2.200 kkal). Hal ini mengindikasikan bahwa kecukupan gizi dan mutu pangan penduduk masih belum sesuai dengan anjuran PPH, atau belum beragam, bergizi dan berimbang. c. Inovasi teknologi dan pengembangan sumber-sumber pertumbuhan baru Mengembangkan sistem IPTEK pertanian merupakan lokomotif penggerak sistem agribisnis. Terobosan IPTEK mutlak diperlukan untuk mewujudkan revolusi pertanian generasi ketiga yang merupakan kunci keberhasilan strategi industrialisasi berbasis pertanian. Dalam konteks ini, bioteknologi yang sudah berada dalam tahap uji kelayakan pengembangan akan menjadi basis revolusi pertanian generasi ketiga. Mengendornya penemuan teknologi baru (invention) dan pengembangan teknologi yang sudah ada (innovation) telah menyebabkan terjadinya kelelahan teknologi (technology fatigue). Produktivitas tanaman dan ternak sudah mendatar dan malahan cenderung menurun. Oleh karena itu, perlu penemuan teknologi baru yang mampu meningkatkan kapasitas produksi dan kualitas hasil dan menurunkan total biaya produksi suatu komoditas pertanian. Teknologi yang mampu meningkatkan kapasitas produksi dan kualitas hasil adalah sifat-sifat genetis benih yang makin unggul. Teknologi yang mampu menurunkan total biaya produksi adalah penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan) seperti traktor, perontok, pemipil dan lain-lain. Saat ini, penemuan benih dan alsintan yang mempunyai sifat-sifat unggul baru sudah mengalami stagnasi. Kegiatan ke depan yang sangat diperlukan adalah melakukan penemuan teknologi baru atau perbaikan teknologi yang sudah ada oleh lembagalembaga penelitian pemerintah dan swasta, baik untuk meningkatkan kapasitas produksi dan kualitas hasil maupun menurunkan total biaya produksi, secara partisipatif tanpa mengabaikan teknologi lokal (indigenous technology) dan sistem pengetahuan asli (SPA) yang ada di masyarakat. Teknologi untuk pengembangan produk (product development) masih kurang, sehingga produk utama ekspor masih berupa produk primer yang mempunyai kualitas rendah, tidak seragam, tidak tahan lama disimpan dan nilai tambah yang dapat
540
diterima produsen di dalam negeri tetap rendah. Teknologi yang diperlukan di masa datang harus mampu menciptakan produk-produk yang karakteristiknya lebih disukai oleh masyarakat konsumen, baik di luar maupun dalam negeri. Kebijakan pengembangan komoditas pangan, termasuk teknologinya yang terfokus pada beras, telah mengabaikan potensi sumber-sumber pangan karbohidrat lainnya, dan lambatnya pengembangan produksi komoditas pangan sumber protein seperti serealia, daging, telur, susu serta sumber zat gizi mikro yaitu sayuran dan buah-buahan. Hal ini menyebabkan rendahnya keanekaragaman bahan pangan yang tersedia bagi konsumen. Selanjutnya apabila teknologi pengembangan aneka pangan lokal tidak cepat dilakukan, maka bahan pangan lokal akan tertekan oleh membanjirnya anekaragam pangan olahan impor. Teknologi pasca panen belum diterapkan secara baik sehingga tingkat kehilangan hasil dan degradasi mutu hasil panen masih cukup tinggi. Demikian pula agroindustri di pedesaan sebagai wahana untuk meningkatkan nilai tambah dan penghasilan bagi keluarga petani belum berkembang. Peningkatan pelayanan teknologi tepat guna dan penyediaan prasarana usaha harus diupayakan untuk menunjang pengembangan usaha pasca panen dan agroindustri di pedesaan dalam rangka menghasilkan produk pertanian bernilai tambah tinggi. Pemberian hak atas kekayaan intelektual (HAKI) memberikan dorongan kuat bagi para peneliti untuk melakukan penemuan-penemuan baru. Namun karena teknologi tertentu hasil penelitian pada umumnya merupakan barang publik (public good), seringkali sulit bagi peneliti untuk memperoleh HAKI. Di masa yang akan datang, pemberian HAKI akan menjadi sangat penting karena akan makin banyak tuntutan terhadap peneliti untuk melakukan penemuan produk-produk baru pertanian yang mempunyai prospek makin baik untuk pasar internasional dan domestik dalam rangka globalisasi. Produsen pertanian pada umumnya adalah petani kecil dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang terbatas karena tingkat pendidikannya yang masih sangat rendah. Teknologi pertanian yang diterapkan pada umumnya adalah teknologi konvensional warisan orang tua atau para pendahulunya secara turun-temurun. Teknologi baru yang diperkenalkan kepada mereka harus memberikan bukti nyata lebih dahulu tentang keunggulannya dibanding teknologi yang selama ini mereka terapkan,
terutama
dalam
kepastian
hasilnya,
sebelum
mereka
bersedia
mengadopsinya. Oleh karena itu, proses atau metode transfer teknologi dari sumber
541
teknologi kepada petani merupakan kunci keberhasilan bagi perbaikan teknologi di masa datang. d. Pengembangan perdagangan regional, inter-regional, dan internasional Dalam perdagangan di pasar internasional, strategi yang diperlukan dalam menegakkan kesepakatan WTO adalah Indonesia harus lebih banyak melakukan kerjasama dengan berbagai negara berkembang lainnya dan bersama-sama berjuang menuntut kesamaan hak dan kewajiban setiap anggota WTO terutama terhadap perlakuan tidak adil oleh negara maju. Jika kesepakatan WTO tetap tidak dapat ditegakkan maka sebaiknya pemerintah lebih banyak mengembangkan kerjasama perdagangan secara regional atau bilateral, meskipun kerjasama ini dianggap menyimpang dari apa yang diperjuangkan oleh WTO. Oleh karena itu selama kesepakatan WTO tidak dilaksanakan oleh semua negara anggota WTO, maka kebijakan pemerintah dalam pembangunan sektor pertanian perlu mempertimbangkan kembali pemberian subsidi kepada petani karena akan sangat membantu dalam peningkatan produksi dan ketahanan pangan. Kebijakan subsidi yang tepat akan dapat meningkatkan kemampuan petani untuk menghasilkan produk yang dapat bersaing dengan produk impor. Subsidi seyogyanya tidak diartikan sebagai cara memanjakan petani tetapi cara memberikan jaminan agar petani selalu berproduksi dan mencegah alih fungsi lahan dan menjamin ketahanan pangan di dalam negeri. Untuk mengatasi masalah ketidakadilan pasar global terhadap sektor pertanian, upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah antara lain adalah : (a) Menerapkan kebijakan proteksi terhadap komoditas pertanian strategis melalui penerapan pengenaan tarif impor, pengaturan impor dan pengawasan SPS (sanitary and phytosanitary); (b) Pemberian subsidi harga sarana produksi secara selektif, khususnya pupuk, benih dan modal usahatani; dan (c) Harus ada kemauan politik (political will) kuat dari pemerintah untuk mencegah terjadinya impor produk pertanian secara ilegal dengan memberikan sanksi hukum yang berat kepada pelaku penyelundupan. Dalam kerangka liberalisasi, modal asing (PMA) juga dapat masuk ke Indonesia
Pemerintah harus berhati-hati dalam menerima modal asing terutama
dampak negatif yang ditimbulkannya harus dicegah, antara lain : (a) Terhambatnya pengembangan modal dalam negeri sebagai akibat kalah bersaing dalam penggunaan IPTEK; (b) Tertutupnya lapangan kerja karena IPTEK yang padat modal sehingga
542
tidak sesuai dengan keunggulan komparatif Indonesia; dan (c) Tertekannya efek pengganda karena sebagian besar keuntungan ditarik ke negara asal modal. e. Pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan Kualitas lahan pertanian di beberapa wilayah Indonesia menurun atau masih tetap rendah sehingga daya dukungnya terhadap produktivitas pertanian menurun atau tetap rendah. Penggunaan lahan di lereng-lereng gunung dengan tingkat kemiringan tajam untuk pertanian tanaman semusim menyebabkan terjadinya penurunan kesuburan lahan yang bersangkutan karena proses erosi yang cepat. Endapan tanah yang timbul karena erosi di daerah hulu menyebabkan siltasi berat pada jaringan-jaringan irigisi dan lahan-lahan pertanian di daerah hilir yang mengurangi daya tampung air dari jaringan irigasi dan mengurangi kesuburan lahan pertanian. Suplesi unsur hara pada lahan masih mengutamakan penggunaan pupuk anorganik dan kurang menggunakan pupuk organik yang bersifat alamiah. Disamping
memerlukan
biaya
mahal,
pemupukan
anorganik
tidak
mampu
memperbaiki sifat fisik tanah, yang merupakan salah satu unsur penting dalam menjaga tingkat kesuburan tanah. Berlanjutnya konversi lahan pertanian untuk kegiatan non pertanian, khususnya pada lahan pertanian kelas satu di Jawa, menyebabkan makin sempitnya basis produksi pertanian, sedangkan lahan bukaan baru di luar Jawa mempunyai kesuburan relatif rendah. Demikian pula, ketersediaan sumber daya air untuk pertanian juga makin langka. Dalam kaitan ini sektor pertanian perlu menetapkan strategi dasar dalam menghadapi tantangan untuk meningkatkan efisiensi dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan dan air secara lestari (berkelanjutan) dan mengantisipasi persaingan dengan aktifitas perekonomian dan pemukiman yang terkonsentrasi di Pulau Jawa.
F. Program Program pembangunan pertanian pada hakekatnya adalah rangkaian upaya untuk memfasilitasi, melayani, dan mendorong berkembangnya agribisnis guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat pertanian. Sesuai dengan Visi, Misi, dan Tujuan, maka Program Pembangunan Pertanian lima tahun ke depan, dirumuskan dalam dua program utama yang merupakan keberlanjutan
543
dari program pembangunan pertanian saat ini, yaitu Program Pengembangan Agribisnis dan Program Peningkatan Ketahanan Pangan. 1. Program Pengembangan Agribisnis Pengembangan agribisnis dilaksanakan dengan memposisikan para pelaku usaha di sektor pertanian sebagai aktor utama pembangunan pertanian, sedangkan pemerintah
sebagai
fasilitator
untuk
menciptakan
kondisi
kondusif
bagi
berkembangnya investasi dan bisnis di sektor pertanian. Untuk membangun pertanian berwawasan agribisnis, upaya pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kemampuan mengidentifikasi peluang pasar termasuk menganalisis dinamika permintaan pasar. Produk-produk pertanian, baik dalam arti kuantitas maupun kualitas perlu disesuaikan dengan kebutuhan pasar, sehingga dapat terhindar dari permasalahan “market glut” (harga turun drastis pada saat panen raya) yang sampai dengan saat ini masih merupakan dilema klasik sektor pertanian. Hasil identifikasi pasar ini dikaitkan dengan keunggulan komparatif sumberdaya dan infrastruktur daerah, merupakan dasar pertimbangan untuk menentukan jenis usaha yang akan dikembangkan, menyangkut komoditas yang akan diproduksi, teknologi budidaya dan pengolahan yang dipakai, proses penyediaan input produksi dan pemasarannya, serta prasarana penunjang yang dibutuhkan. Untuk itu dibangun kemampuan kerja yang sinergis antara aparat dan para pelaku usaha agar penyelidikan dan analisis pasar serta penyediaan prasarana publik dapat dilakukan secara efektif dan berkelanjutan untuk menjamin keberhasilan pengembangan agribisnis. Upaya meningkatkan daya saing komoditas pertanian agar mampu bersaing dengan produk-produk sejenis yang dihasilkan oleh negara lain mutlak diperlukan. Peningkatan daya saing tersebut dicapai melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Pengembangan usaha berbasis sumberdaya dan wilayah serta penerapan manajemen modern. Untuk itu, kerjasama yang efektif antara pelaku usaha dan lembaga penelitian terapan perlu ditingkatkan, agar menghasilkan teknologi tepat guna untuk mencapai efisiensi tinggi, dan jika perlu dengan pemanfaatan teknologi tinggi dan padat modal sesuai dengan ciri pertanian modern. Keragaman sumberdaya antar wilayah merupakan sumber untuk meningkatkan daya saing dengan mengembangkan usaha yang didukung penerapan Iptek berbasis sumberdaya spesifik lokasi. Meningkatkan kemampuan para pelaku usaha untuk memenuhi skala usaha yang efisien merupakan faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan agribisnis.
544
Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan kemitraan antar petani membentuk kelompok usaha bersama, atau kemitraan petani dengan pengusaha besar dengan aturan maing yang saling menguntungkan. Selain itu, kemampuan petani ataupun para
pelaku
usaha
dilakukan
melalui
peningkatan
kemampuan
teknis,
kewirausahaan, berorganisasi dalam kelompok sehingga mempunyai kemampuan mengembankan usaha dengan kreativitas dan daya inovasi tinggi. Tujuan Program ini adalah mendorong berkembangnya usaha pertanian dari sub sistem hulu hingga hilir dengan wawasan bisnis yang mampu menghasilkan produk pertanian dan industri pertanian primer yang berdaya saing, sehingga menghasilkan nilai tambah bagi peningkatan pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi wilayah dan nasional. Sasaran Program Pengembangan Agribisnis ini adalah: (a)
Meningkatnya produktivitas, kualitas dan produksi komoditas pertanian yang dapat dipasarkan sebagai bahan baku industri pengolahan maupun ekspor.
(b)
Meningkatnya volume dan penerimaan ekspor, serta meningkatnya produkproduk substitusi impor.
(c)
Meningkatnya kesempatan kerja produktif di pedesaan pada on farm dan off farm yang memberikan imbalan (return to factor) yang layak.
(d)
Berkembangnya berbagai kegiatan usaha berbasis pertanian dengan wawasan agribisnis yang mampu meberikan keuntungan yang wajar.
(e)
Meningkatnya
partisipasi
masyarakat
dan
investasi
swasta
dalam
pengembangan agribisnis dan memajukan perekonomian pedesaan. (f)
Terpeliharanya
produktivitas
sumberdaya
alam,
berkembangnya
usaha
pertanian konservasi, dan terjaganya kualitas lingkungan hidup. Berdasarkan tujuan dan sasaran tersebut di atas, pengembangan agribisnis komoditas difokuskan pada komoditas strategis, mempunyai prospek untuk dikembangkan berdasarkan basis sumberdaya yang dimiliki dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Komoditas tanaman pangan yang dikembangkan meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu dan kacang tanah; komoditas hortikultura meliputi cabe, bawang merah, kubis, manggis, salak, mangga dan rambutan; komoditas perkebunan meliputi kelapa sawit, kakao, kopi, teh dan karet; komoditas peternakan meliputi ternak sapi potong, sapi perah, dan ternak unggas (ayam ras pedaging, ayam ras petelur, ayam bukan ras dan itik).
545
Untuk dapat mewujudkan program pengembangan komoditas pertanian yang telah diuraikan di atas, perlu adanya dukungan antara lain: a.
Pengembangan sumberdaya manusia dan kelembagaan usaha agribisnis.
b.
Pengembangan kelembagaan pelayanan penunjang agribisnis.
c.
Penciptaan dan percepatan penerapan inovasi teknologi agribisnis spesifik lokasi.
d.
Pendayagunaan secara optimal dan perlindungan sumberdaya hayati.
e.
Pengembangan sistem informasi dan jaringan kerja agribisnis.
2. Program Peningkatan Ketahanan Pangan Ketahanan pangan diartikan sebagai tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang memadai, mudah diakses setiap saat dan di semua daerah, aman dan halal dikonsumsi, dan harga yang terjangkau. Ketahanan pangan rumah tangga berkaitan dengan kemampuan rumah tangga untuk dapat mengakses atas pangan baik dari produksi sendiri, dari pasar, atu dari sumber-sumber lainnya. Ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh kemampuan daya beli, dan kemampuan daya beli rumahtangga ditentukan oleh tingkat pendapatan. Dengan demikian maka peningkatan pendapatan rumahtangga merupakan faktor kunci dari peningkatan ketahanan pangan rumahtangga. Program
Peningkatan
mengoperasionalkan
Ketahanan
pembangunan
dalam
Pangan rangka
dimaksudkan
untuk
mengembangkan
sistem
ketahanan pangan baik di tingkat nasional maupun di tingkat masyarakat. Pangan dalam arti luas bukan hanya beras, tetapi mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan. Tujuan dari program ini adalah: (i) Menciptakan iklim yang kondusif bagi berfungsinya sub sistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan, (ii) Mendorong peningkatan ketersediaan pangan dalam jumlah, mutu dan keragaman, (iii) Mendorong penganekaragaman produksi/ketersediaan pangan dan konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang berbasis sumberdaya lokal, dan (iv) Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam menangani kerawanan dan permasalahan pangan guna mewujudkan ketahanan pangan. Sasaran yang ingin dicapai adalah:
546
a.
Dicapainya ketersediaan pangan tingkat nasional dan rumah tangga yang cukup untuk hidup sehat dan produktif.
b.
Berkembangnya konsumsi pangan beragam, bergizi, berimbang, seiring dengan menurunnya ketergantungan pada pangan pokok beras.
c.
Meningkatnya
kemampuan
masyarakat,
aparat
dan
pemerintah
dalam
mengantisipasi masalah kerawanan pangan.
Dari tujuan dan sasaran program ketahanan pangan maka dapat dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa sub program utama, yaitu : a.
Sub program peningkatan ketersediaan pangan.
b.
Sub program distribusi pangan.
c.
Sub program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan.
d.
Sub program stabilisasi produksi dan penanggulangan rawan pangan dan gizi.
G. Rencana Aksi 1. Prioritas/Isu Utama Prioritas kegiatan pembangunan pertanian 2005-2009 dilaksanakan dalam kerangka pelaksanaan Program Agribisnis atau Ketahanan Pangan atau keduaduanya, yang ditujukan untuk menangani secara serius persoalan bangsa yang terkait dengan/atau harus diselesaikan oleh sektor pertanian dalam jangka pendek. Mengingat pelaksanaan pembangunan saat ini ada di daerah, maka prioritas kegiatan yang disusun harus dapat dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Beberapa prioritas kegiatan yang perlu segera dilaksanakan pada tahun 2005-2009, antara lain : a.
Menjamin keberlanjutan pencapaian ketahanan dan kemandirian pangan melalui peningkatan produksi komoditas pangan strategis, yaitu padi/beras, gula, jagung, kedelai, ternak unggas (daging dan telur), minyak makan (sawit dan kelapa), dan hortikultura (cabe dan bawang merah).
b.
Mengupayakan ketersediaan dan aksesibilitas terhadap sarana produksi, khususnya pupuk dan kredit usaha pertanian yang terjangkau oleh petani, melalui penyempurnaan distribusi dan penyediaan subsidi.
547
c.
Perbaikan prasarana ekonomi pertanian, khususnya rehabilitasi irigasi yang saat ini kondisinya sangat parah, rehabilitasi sumber air di daerah hulu, dan jalan usahatani yang rusak.
d.
Menghidupkan kembali atau revitalisasi sistem penyuluhan pertanian yang mampu memberdayakan kekuatan sistem pemerintahan otonomi daerah dan partisipasi peran stakeholders yang lebih luas.
e.
Meningkatkan pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian spesifik lokasi yang telah dihasilkan lembaga-lembaga penelitian untuk dapat dimanfaatkan para pengguna (petani, swasta) dalam rangka meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan daya saing.
f.
Meningkatkan upaya perbaikan penanganan panen dan pasca panen untuk mengurangi kehilangan hasil melalui pemanfaatan alat dan mesin pertanian yang tepat guna.
g.
Memfasilitasi sektor swasta untuk melakukan investasi agribisnis dengan pembuatan
dan/atau
peninjauan
peraturan
perundangan
yang
dapat
masyarakat
untuk
dapat
memberikan situasi kondusif bagi investor. h.
Meningkatkan
pemberdayaan
dan
partisipasi
“menolong dirinya sendiri” dengan pendekatan partisipatif dan kerja bersama dalam kelompok/lembaga sosial ekonomi masyarakat. i.
Menjamin ketersediaan dan stabilisasi harga komoditas pangan strategis, yaitu beras, gula, minyak goreng, jagung dan kedelai, dengan mendorong para pengusaha untuk menyangga harga dan distribusi.
j.
Pengendalian laju konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, khususnya di Pulau Jawa, melalui peraturan perundang-undangan yang sangat ketat dan tegas.
2. Kegiatan Rencana Aksi a. Peningkatan Produksi dan Produktivitas a.1. Perbenihan Pengembangan industri perbenihan/perbibitan sangat mendesak karena benih/bibut merupakan salah satu sumber penting pertumbuhan produktivitas usahatani. Saat ini industri perbenihan/perbibitan merupakan salah satu mata rantai sistem
agribisnis
(sub-sistem
sarana
produksi)
yang
lemah.
Kekayaan
keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia merupakan modal dasar yang dapat
548
didayagunakan untuk membangun suatu industri perbenihan/perbibitan yang mampu memenuhi kebutuhan petani. Program pembangunan sistem perbenihan/perbibitan yang menjadi fokus lima tahun ke depan antara lain adalah : (i)
Mendorong penelitian yang dapat menghasilkan benih/bibit unggul/bermutu tinggi dengan memanfaatkan secara optimal teknologi tinggi, termasuk bioteknologi.
(ii)
Mendorong
pengembangan
industri
benih/bibit
melalui
penumbuhan
kemampuan para penangkar dan perusahaan benih. a.2. Ketersediaan Pupuk Guna mencapai sasaran produksi komoditas pertanian melalui peningkatan produktivitas diperlukan dukungan ketersediaan sarana produksi, khususnya pupuk, di tingkat petani yang memenuhi enam tepat, yaitu tepat jenis, tepat jumlah, tepat mutu, tepat harga, tepat waktu, dan tepat lokasi. Pupuk merupakan sarana produksi yang sangat dibutuhkan petani dalam mendukung kegiatan usahataninya. Oleh karena itu, kelangkaan/keterlambatan penyediaan pupuk akan dapat mengganggu stabilitas ketersediaan pangan yang disebabkan oleh menurunnya produktivitas akibat dari kurang atau tidak digunakannya pupuk. Agar ketersediaan pupuk di tingkat petani terjamin, di masa datang perlu dilakukan beberapa upaya sebagai berikut : (i)
Memperbaiki dan mengawasi secara ketat sistem distribusi pupuk mulai dari pabrik pupuk hingga ke tingkat petani.
(ii)
Menerapkan kebijakan subsidi yang lebih efektif dapat dirasakan petani.
(iii)
Mewajibkan pabrik pupuk untuk memprioritaskan alokasi produksinya untuk memenuhi kebutuhan pupuk dalam negeri.
a.3. Rehabilitasi Jaringan Irigasi Fakta empiris membuktikan bahwa sumber utama pertumbuhan komoditi pertanian, khususnya padi, adalah perluasan lahan beririgasi. Aplikasi teknologi baru dengan pemanfaatan benih unggul, penggunaan pupuk buatan, mekanisasi pertanian dan lain sebagainya juga merupakan sumber-sumber pertumbuhan penting, namun dalam penerapannya tetap mensyaratkan ketersediaan air irigasi yang memadai. Pembangunan jaringan irigasi di Indonesia sudah dimulai sejak jaman kolonial Belanda dan terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1980-an. Hasil yang dicapai dari pembangunan jaringan irigasi secara besar-besaran tersebut
549
adalah dicapainya swasembada beras pada tahun 1984. Namun dekade terakhir menunjukkan
kondisi
jaringan
irigasi
sudah
mengalami
banyak kerusakan
(diperkirakan mencapai 40%), sebagai akibat dari makin terbatasnya anggaran untuk pemeliharaan. Untuk itu, upaya yang perlu dilakukan adalah : (i)
Memperbaiki jaringan irigasi yang telah rusak, utamanya di pantai utara Pulau Jawa.
(ii)
Mengoptimalkan pemanfaatan dan pembangunan jaringan irigasi baru di luar Jawa.
(iii)
Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang saat ini telah banyak mengalami sedimentasi.
(iv)
Merevitalisasi kelembagaan pengelolaan air di tingkat petani.
a.4. Konversi dan Perluasan Lahan Ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi pemerintah berkaitan dengan masalah konversi lahan, yaitu sangat timpangnya land rent antar wilayah (Jawa versus Luar Jawa; kota versus desa; sawah versus lahan kering), yang menyebabkan konversi lahan pertanian terkonsentrasi di Jawa, di lahan sawah dan di perkotaan, dan tingginya laju urbanisasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan upaya antara lain : (i)
Mengkaji
kembali
seluruh
produk
hukum
dan
membuat
peraturan
pengendalian baru yang konsisten dan operasional. (ii)
Mengembangkan infrastruktur berupa jaringan jalan, jaringan komunikasi dan lain-lain agar pusat-pusat pengembangan industri dan kota baru makin tersebar ke wilayah di luar Jawa, pedesaan dan lahan kering.
(iii)
Membuat kebijakan pengembangan bangunan yang hemat lahan dengan memberikan kemudahan ijin bagi pembangunan bangunan bertingkat seperti rumah, kantor, toko, pasar dan lain-lain.
(iv)
Membuat kebijakan kompensasi melalui sistem saham bagi pemilik lahan pertanian yang terkonversi untuk penggunaan non pertanian.
(v)
Pembukaan lahan pertanian baru di luar Jawa serta memberikan insentif bagi usaha swasta untuk melakukan hal yang sama.
550
a.5. Kredit Usaha Agribisnis Salah satu permasalahan utama yang dihadapi petani adalah keterbatasan modal. Kebijakan penyediaan modal yang sifatnya langsung berupa bantuan modal saja dapat menyebabkan ketergantungan para pelaku agribisnis pada uluran tangan pemerintah. Oleh karena itu, fokus kebijakan mendatang perlu lebih ditujukan untuk pengembangan lembaga keuangan untuk menjadi sumber permodalan bagi usahausaha agribisnis. Khusus bagi petani sebagai pelaku agribisnis perlu diupayakan kredit dengan prosedur sederhana, suku bunga yang dapat memberikan insentif serta sistem agunan yang secara mudah dapat dipenuhi oleh petani. Untuk itu, skim permodalan yang akan dikembangkan ke depan harus memiliki karakteristik sebagai berikut : (i)
Dapat mengakomodasi besaran kredit yang diperlukan bagi pengembangan usahatani yang beraneka ragam.
(ii)
Mampu melayani tidak hanya pada subsistem produksi saja, tetapi juga pada subsistem lainnya (pengolahan dan pemasaran).
(iii)
Fleksibel dalam hal waktu pelayanan dan penyaluran sesuai dengan musim tanam.
(iv)
Prosedur pengajuan, penyaluran dan pengembalian sederhana.
(v)
Mampu memberikan pelayanan, monitoring penggunaan pinjaman dan kontrol dalam penyaluran kredit, yang menjamin kredit disalurkan kepada sasaran dalam jumlah dan waktu yang tepat;
(vi)
Mampu menumbuhkan pembentukan modal (capital formation) melalui tabungan petani atau kelompok tani yang pada gilirannya dapat mengurangi ketergantungan petani pada sumber pembiayaan dari luar.
a.6. Akselerasi Penerapan Teknologi Banyak pihak menilai bahwa salah satu penyebab utama melambatnya peningkatan produksi komoditas pertanian adalah terjadinya stagnasi inovasi teknologi pertanian. Namun apabila dikaji lebih lanjut, inovasi teknologi pertanian sebenarnya telah banyak dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian di Indonesia. Permasalahan yang mungkin terjadi adalah kurang progesifnya petani dalam mengadopsi teknologi yang telah dihasilkan tersebut. Ada tiga faktor yang menyebabkan petani kurang progesif dalam mengadopsi teknologi, yaitu : (a) Faktor internal, seperti sikap petani yang cenderung kurang berani menanggung resiko
551
akibat perubahan teknologi; (b) Faktor eksternal, seperti kurangnya dukungan infrastruktur (receiving and delivery system) untuk adopsi teknologi baru; dan (c) Teknologi yang telah dihasilkan tidak tersedia di pasar karena agen multiplikasi teknologi belum/tidak ada. Oleh karena itu, di masa datang akselerasi penerapan teknologi akan menjadi prioritas utama untuk dilakukan, melalui : (i)
Pemberdayaan lembaga penelitian yang ada di daerah untuk merakit teknologi spesifik lokasi.
(ii)
Revitalisasi sistem dan kelembagaan penyuluhan/transfer teknologi.
(iii)
Meningkatkan peran swasta dalam memperbanyak (multiplikasi) teknologi pertanian yang telah dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian.
b.
Perlindungan kepada Petani dan Sektor Pertanian Seperti yang telah diuraikan di muka, salah satu permasalahan utama yang
dihadapi oleh petani dan sektor pertanian Indonesia saat ini adalah perdagangan dunia yang bebas dan tidak adil. Produk pertanian Indonesia dihadapkan dengan produk pertanian dari negara-negara lain yang masih memberikan perlindungan kepada petaninya melalui hambatan tarif dan non tariff, subsidi domestik dan subsidi ekspor. Di masa datang, petani dan sektor pertanian Indonesia harus mendapatkan perlindungan yang setara melalui kebijakan subsidi dan kebijakan tarif impor. b.1. Kebijakan Subsidi Sejak tahun 1998 praktis petani Indonesia sudah tidak lagi mendapat subsidi untuk mendukung kegiatan usahataninya. Satu-satunya kebijakan subsidi yang tersisa adalah penetapan Harga Dasar Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras, dan itupun tidak dapat dimplementasikan secara efektif karena pilar-pilar yang mendukung kebijakan tersebut sudah tidak ada lagi. Dalam dua tahun terakhir, baru diterapkan kembali subsidi pupuk, namun pelaksanaannya juga tidak berjalan baik. Terbatasnya bantuan subsidi ternyata membuat sektor pertanian Indonesia makin tidak berdaya, karena adanya tekanan produk pertanian impor yang sarat dengan subsidi dari pemerintahnya. Untuk mendukung peningkatan produktivitas dan produksi pertanian, ada tiga komponen penting yang perlu mendapat subsidi pemerintah, yaitu benih, pupuk dan modal usahatani.
552
(i) Subsidi Benih : Subsidi benih yang diberikan pemerintah kepada BUMN selama ini ternyata masih belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh petani. Hal ini diindikasikan oleh masih rendahnya penggunaan benih berlabel oleh petani dengan alasan harga yang masih terlalu tinggi dan tidak selalu tersedia di pasar. Oleh karena itu, di masa depan subsidi benih harus dialokasikan tidak hanya ke BUMN saja, tetapi juga kepada petani penangkar benih. Pemberian subsidi benih ke petani penangkar dilakukan melalui pemberian bantuan modal kerja dan subsidi harga output. Apabila hal ini dapat terlaksana secara baik maka ketersediaan benih unggul akan meningkat sehingga mudah diakses oleh petani dengan harga terjangkau. (ii) Subsidi Pupuk : Subsidi pupuk yang diberikan oleh pemerintah hingga mencapai Rp 1,3 trilyun saat ini ternyata masih belum mampu mengatasi gejolak harga di tingkat petani. Sebagian besar petani yang seharusnya mendapatkan harga pupuk bersubsidi masih harus membayar jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah. Penyaluran dana subsidi kepada pabrik pupuk dalam bentuk subsidi harga gas hanya karena alasan untuk kemudahan operasional harus ditinjau lagi. D masa datang, subsidi pupuk harus benar-benar dapat dinikmati oleh petani. Mekanisme penyaluran pupuk yang telah berjalan sangat baik pada era 1980-an kiranya dapat dikaji ulang dan dipertimbangkan untuk dilaksanakan selama kurun waktu lima tahun ke depan. (iii) Subsidi Bunga Pinjaman : Pemerintah saat ini memang telah mengalokasikan dana pinjaman untuk modal kerja usahatani dengan bunga di bawah bunga pasar sekitar Rp 2,7 trilyun. Namun karena pola pinjamannya disamakan dengan kredit komersial (bank sebagai executing bukan chanelling), maka hanya sebagian kecil petani saja yang mampu mengakses modal kerja tersebut dengan total pinjaman sekitar Rp 400 milyar. Untuk meningkatkan akses petani terhadap pinjaman modal kerja maka peran pihak perbankan yang saat ini sebagai executing perlu diubah kembali menjadi chanelling. Dan untuk menghindari permasalahan tunggakan kredit seperti yang terjadi dalam pola Kredit Usahatani (KUT), maka pola bantuan pengelolaan pinjaman model LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan) dapat diadopsi. Dalam model LUEP, penyaluran, penggunaan dan pengembalian pinjaman diawasi secara ketat sehingga tingkat pengembaliannya hingga saat ini dapat mencapai di atas 90%.
553
b.2. Kebijakan Tarif Impor Selain subsidi, kebijakan proteksi lain yang diperlukan agar harga yang diterima petani dapat memberikan keuntungan dan insentif usaha yang wajar adalah pengenaan tarif impor yang didukung oleh penerapan yang efektif di lapangan. Fenomena membanjirnya produk pertanian impor yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh kebijakan perdagangan dengan proteksi minimal bagi produsen domestik. Subsidi sarana produksi sudah lama dihilangkan dan tarif yang dikenakan berada pada tingkat minimum. Sementara itu, di berbagai negara eksportir pangan, subsidi bagi para petaninya cukup besar dengan tingkat proteksi yang cukup tinggi, termasuk pengenaan tarif dan hambatan teknis bagi impor produk-produk pangan dari negara berkembang. Di masa datang, kebijakan proteksi perlu ditingkatkan pada level optimal, sehingga diharapkan besarnya surplus perdagangan internasional pangan akan meningkat pula. Ada empat kelompok komoditas utama yang perlu mendapat proteksi dari pemerintah melalui kebijakan tarif impor optimal, yaitu : (i) beras; (ii) jagung, kedelai, gula; (iii) tanaman hortikultura tropis terpilih (berdasarkan kriteria kepentingan strategis); dan (iv) produk peternakan (daging ayam, daging sapi dan telur). Besaran tarif impor yang dikenakan untuk masing-masing kelompok komoditas berbeda-beda, tergantung pada perannya dalam perekonomian nasional dan upaya pemantapan ketahanan pangan. Secara operasional besaran tarif yang akan dikenakan untuk masing-masing kelompok komoditas adala sebagai berikut. (i)
Untuk beras sebagai komoditas strategis, tarif impornya perlu ditetapkan minimal 30%. Tingkat tarif impor sebesar itu diperlukan untuk melindungi petani padi yang hingga kini masih diusahakan oleh sekitar lebih dari 21 juta rumah tangga petani.
(ii)
Tariff impor jagung dan kedelai ditetapkan sekitar 15-20%, sedangkan untuk gula minimal sebesar 30%. Penetapan tarif impor jagung dan kedelai yang cukup moderat dimaksudkan selain untuk melindungi petani agar tetap mendapat insentif untuk melaksanakan usahatani jagung dan kedelai, juga tetap memberikan peluang kepada para pengusaha pakan ternak dan pangan olahan untuk mendapatkan bahan baku jagung dan kedelai impor dengan harga terjangkau. Penetapan tarif impor gula yang cukup tinggi dimaksudkan untuk melindungi industri gula dan petani tebu yang melibatkan ratusan ribu rumah tangga, baik petani maupun pegawai pabrik gula.
554
(iii)
Indonesia memiliki beberapa produk hortikultura tropis, seperti kentang, kubis, bawang merah, bawang putih, pisang, nenas dan jamur yang selama ini merupakan sumber utama penghasil devisa dari sektor pertanian. Namun akhirakhir ini beberapa produk hortikultura utama tersebut mendapat tekanan dari produk impor sejenis yang harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga domestik. Untuk melindungi petani dalam negeri agar tetap memperoleh pendapatan yang memadai dari kegiatan usahataninya, impor beberapa produk hortikultura tropis terpilih tersebut perlu dikenakan tarif impor sekitar 15-20%. Sementara itu, untuk komoditas hortikultura sub tropis walaupun tidak dapat dihasilkan oleh Indonesia, tetap perlu juga dikenakan tarif impor yang berkisar 5-10%. Hal ini perlu dilakukan untuk menciptakan segmentasi pasar sekaligus mengurangi tekanan konsumsi buah-buahan impor yang saat ini makin merambah ke pasar-pasar tradisional.
(iv) Impor produk peternakan, seperti daging ayam, daging sapi dan telur perlu dikenai tarif impor yang berkisar 10-15%. Hal ini perlu dilakukan untuk melindungi industri peternakan dalam negeri, khususnya peternak rakyat, yang jumlahnya cukup besar dan selama ini telah memberikan kontribusi sangat signifikan terhadap konsumsi protein hewani. c. Pemantapan Ketahanan Pangan Untuk membangun sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas perlu upaya untuk mendorong perilaku dan kebiasaan masyarakat agar memiliki budaya makan dan hidup sehat. Penganekaragaman konsumsi pangan dapat diartikan sebagai mengkonsumsi anekaragam pangan dari berbagai kelompok pangan, baik pangan pokok, lauk pauk, sayuran maupun buah-buahan dalam jumlah yang cukup, beragam dan berimbang. Makin beragam komposisi pangan yang dikonsumsi, akan makin baik kualitas gizinya, karena pada hakekatnya tidak ada satu jenis pangan yang mempunyai kandungan gizi lengkap dan cukup dalam jumlah dan jenisnya. Apabila upaya ini dapat diwujudkan maka tujuan utama penganekaragaman konsumsi pangan, yaitu meningkatkan mutu gizi konsumsi pangan dan mengurangi ketergantungan konsumsi pangan pada salah satu jenis atau kelompok pangan, khususnya beras, dapat tercapai. Hasil akhir yang ingin dicapai dari upaya penganekaragaman pangan ini adalah terwujudnya ketahanan pangan yang mantap melalui pencapaian swasembada dan kemandirian pangan dan diversifikasi pangan ke arah beragam, bergizi dan berimbang.
555
Untuk itu dipandang perlu menggalakkan penganekaragaman pangan melalui upaya penyediaan pangan yang beragam, bergizi dan berimbang, mengembangkan perilaku dan sikap keluarga dan masyarakat agar tetap menyukai pangan lokal, serta upaya lainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Disamping itu, juga perlu upaya meningkatkan daya beli masyarakat dan merubah pola kebiasaan konsumsi masyarakat. Cara yang dapat ditempuh untuk mendukung terlaksananya upaya penganekargaman pangan adalah melalui diversifikasi produksi/ketersediaan dan diversifikasi konsumsi. Diversifikasi produksi dilakukan melalui : (i) Pengembangan pangan karbohidrat khas Nusantara spesifik lokasi, seperti sukun, talas, sagu, jagung, garut, dan lain-lain; (ii) Pengembangan produk (product development) melalui peran industri pengolahan (khususnya usaha kecil menengah) untuk meningkatkan cita ras dan citra produk pangan khas Nusantara (product image); dan (iii) Peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein (ikan, ternak) dan zat gizi mikro (hortikultura). Diversifikasi konsumsi pangan terkait dengan upaya merubah selera dan kebiasaan makan. Karena itu, pokok kegiatan ini berupa peningkatan pengetahuan, sosialisasi, dan promosi mengenai pola pangan beragam, bergizi dan berimbang. Pendekatan pengembangan diversifikasi konsumsi pangan jangan diidentikan dengan kegiatan pengentasan kemiskinan, tapi merupakan upaya perbaikan konsumsi gizi dan kesehatan. c.1. Swasembada dan Kemandirian Pangan : Akhir-akhir ini istilah kemandirian pangan menjadi populer karena istilah tersebut dirasakan lebih dapat membangkitkan rasa nasionalisme, sehingga dapat dijadikan alternatif yang lebih sesuai bagi konsep ketahanan pangan yang ada. Kemandirian pangan mengandung arti kebutuhan pangan nasional harus dipenuhi secara mandiri dengan memberdayakan modal manusia, modal sosial dan ekonomi yang dimiliki petani Indonesia, yang pada gilirannya harus berdampak pada peningkatan kehidupan sosial dan ekonomi petani dan masyarakat lainnya. Dalam operasionalisasinya,
konsep
mandiri
diskenariokan
sebagai
kondisi
dimana
kebutuhan pangan nasional minimal 90% dipenuhi dari produksi dalam negeri. Dengan pengertian tersebut, konsep kemandirian pangan sebenarnya merupakan salah satu varian dari konsep swasembada pangan, yang utamanya adalah swasembada absolut dan swasembada on trend. Swasembada absolut adalah kebutuhan pangan seluruhnya (100%) dipenuhi dari produksi dalam negeri, sementara swasembada on trend adalah bahwa dalam beberapa tahun tertentu ada
556
kalanya mengimpor pangan, tetapi pada tahun lainnya mengekspor, sehingga rataratanya dalam jangka menengah tetap memenuhi swasembada. Dalam rangka ketahanan pangan, Indonesia telah menerapkan kebijakan pangan absolut, khususnya untuk beras sampai awal dekade 1990, dan menganut swasembada on trend sesudahnya. Untuk memantapkan ketahanan pangan ke depan, konsep kemandirian pangan dapat dipakai sebagai acuan dengan definisi : “pemenuhan kebutuhan pangan nasional yang bertumpu seoptimal mungkin pada kemampuan sumberdaya domestik, yang dapat meningkatkan kesejahteraan konsumen dan/atau melindungi produsen, khususnya usaha skala kecil”. Dengan demikian, perdagangan internasional pangan harus dikelola bagi sebesar-besarnya untuk kepentingan mewujudkan ketahanan pangan nasional. Sebagai contoh, tarif bea masuk rendah dapat dikenakan bagi komoditas pangan yang tidak mempunyai keunggulan kompetitif, sehingga dapat memperbaiki kualitas dan keragaman pola konsumsi masyarakat. Namun, untuk komoditas pangan yang mempunyai keunggulan kompetitif dan basis bagi sumber pendapatan masyarakat banyak, proteksi melalui tingkat tarif yang signifikan diperlukan. Angka kemandirian 90% dapat dipakai acuan bagi pemenuhan pangan secara agregat atau dalam arti luas. Pencapaian angka kemandirian tersebut dapat dipenuhi melalui agregasi kinerja masing-masing kelompok komoditas yang dibedakan berdasarkan kriteria kepentingan strategis, yaitu sebagai berikut : (a)
Secara ekonomis, beras masih tetap merupakan komoditas strategis dalam perekonomian
nasional,
karena
:
(i)
Usahatani
padi
menyediakan
kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi lebih dari 21 juta rumah tangga tani; (ii) Merupakan bahan pangan pokok bagi 95% penduduk Indonesia yang jumlahnya saat ini sekitar 212 juta jiwa, dengan pangsa konsumsi energi dan protein yang berasal dari beras lebih dari 55%; dan (iii) Sekitar 30% dari total pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk beras. Dengan demikian, kemandirian pangan beras yang akan diwujudkan di masa datang adalah 100% harus dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri (swasembada). (b)
Jagung, kedelai dan gula, yang merupakan salah satu kelompok pangan sumber protein dan energi utama serta bahan baku industri, di masa datang harus diupayakan peningkatan produksinya, minimal mencapai 90%, sehingga impor ketiga jenis pangan tersebut dapat dikurangi.
557
(c)
Indonesia mempunyai potensi sumberdaya alam yang cukup besar (bahkan yang terbesar di Asia Tenggara) untuk menghasilkan produk pangan hortikultura tropis, sehingga di masa datang pemerintah perlu mengupayakan pencapaian
kemandirian
pangan
hortikultura
tropis
sebesar
100%
(swasembada) atau bahkan lebih untuk keperluan ekspor. (d)
Data neraca bahan makanan pangan dari Food Agriculture Organization (FAO) menunjukkan bahwa ketergantungan pangan produk peternakan Indonesia terhadap impor adalah sekitar 13%. Untuk memenuhi kebutuhan pangan produk peternakan dalam negeri yang terus meningkat, di masa datang perlu diupayakan peningkatan produksi peternakan, khususnya daging ayam, daging sapi, telur, dan susu. Upaya peningkatan produksi peternakan ini diharapkan dapat mengurangi laju pertumbuhan impor yang akhir-akhir ini cenderung terus meningkat.
(e)
Indonesia merupakan salah satu penghasil minyak sawit terbesar di dunia, bahkan banyak pihak meramalkan 3-5 tahun ke depan akan menjadi yang terbesar di dunia, menggeser Malaysia. Untuk itu, di masa datang Indonesia harus diupayakan untuk menjadi eksportir minyak goreng utama dunia tanpa mengganggu pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Apabila upaya-upaya tersebut di atas dapat diwujudkan, maka secara
nasional Indonesia akan mempunyai kemandirian pangan yang cukup tinggi, yang berarti juga ketahanan pangan secara agregat dapat terpelihara. Dengan demikian, sinyalemen yang menyatakan bahwa Indonesia saat ini telah berada dalam perangkap pangan impor, di masa datang dapat dihilangkan.
558
Tabel 1. Sasaran Produk Domestik Bruto, Investasi, Penyerapan Tenaga Kerja, Pendapatan Petani dan Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2005, 2009 dan 2025. Uraian PRODUK DOMESTIK BRUTO (Rp milyar) Sektor Pertanian - Subsektor Pangan - Subsektor Hortikultura - Subsektor Perkebunan - Subsektor Peternakan
2005
2009
2025
266.198 109.398 59.408 52.664 44.727
316.064 120.755 72.211 66.487 56.467
628.141 179.263 157.633 168.898 143.447
4.39 2.50 5.00 6.00 6.00
INVESTASI (Rp milyar) Sektor Pertanian - Subsektor Pangan - Subsektor Hortikultura - Subsektor Perkebunan - Subsektor Peternakan
11.975 2.153 2.282 5.643 1.897
14.673 2.376 2.774 7.124 2.395
33.078 3.523 6.059 18.092 6.088
5.21 2.49 5.00 6.00 6.00
TENAGA KERJA (000 hok) Sektor Pertanian - Subsektor Pangan - Subsektor Hortikultura - Subsektor Perkebunan - Subsektor Peternakan
39.545 18.271 11.217 6.239 3.818
41.128 16.402 11.580 8.415 4.606
48.122 10.654 13.155 27.854 9.754
0.99 -2.66 0.80 7.77 4.80
PENDAPATAN (Rp'000/kap/th) Sektor Pertanian - Subsektor Pangan - Subsektor Hortikultura - Subsektor Perkebunan - Subsektor Peternakan
6.731 5.987 5.296 8.441 11.715
7.685 7.362 6.236 8.810 12.261
13.059 16.828 11.988 10.456 14.710
3.37 5.30 4.17 1.08 1.14
21,40
16,87
6,52
-5,77
JUMLAH PENDUDUK MISKIN (%)
559
Laju(%/th)
Tabel 2. Sasaran Produksi Komoditas Pertanian Utama Tahun 2005, 2009 dan 2025. Komoditas A. Pangan Utama - Beras - Jagung - Kedelai - Kacang tanah - Ubi kayu - Ubi jalar B. Hortikultura a. Sayuran - Bawang merah - Kentang - Kubis - Tomat - Cabe b. Buah-buahan - Alpukat - Pisang - Mangga - Jeruk - Pepaya C. Perkebunan - Kelapa sawit - Karet - Kopi - Kakao - Teh - Gula tebu D. Peternakan - Daging sapi - Daging ayam - Telur - Susu
2005
Produksi (000 ton) 2009 2025
Laju (%/th)
33.432 11.277 765 857 20.229 2.174
34.355 12.102 992 1.022 23.084 2.481
38.309 16.051 2.805 2.067 39.143 4.208
0,68 1,78 6,71 4,50 3,36 3,36
852 895 1.297 689 209
994 1.052 1.515 862 247
1.842 2.008 2.820 2.112 482
3,93 4,12 3,96 5,76 4,26
174 4.245 959 726 537
211 5.129 1.058 845 605
456 10.931 1.567 1.551 975
4,94 4,84 2,49 3,87 3,03
12.596 2.919 618 520 181 2.138
17.650 3.286 677 692 199 2.332
68.044 5.277 975 2.170 291 3.301
8,80 3,01 2,31 7,41 2,40 2,20
448 984 1.042 693
479 1.159 1.378 960
626 2.231 4.215 3.535
1,69 4,18 7,24 8,49
560