VISI DAN ARAH PEMBANGUNAN PERTANIAN JANGKA PANJANG 2005 – 2025 I. PENDAHULAUN Walaupun peran sektor pertanian dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional tidak sebesar sektor industri, namun peran sektor pertanian harus dilihat lebih luas terutama dalam konteks mendistribusikan hasil-hasil pembangunan utamanya kepada masyarakat miskin di wilayah pedesaan, sehingga sektor pertanian tetap dipandang sebagai sektor strategis dalam pembangunan nasional. Ada lima peran sektor pertanian dalam pembangunan nasional yaitu (a) sebagai sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi penduduk perdesaan sekaligus sebagai penyedia tenaga kerja bagi sektor non-pertanian; (b) sebagai penghasil pangan bagi penduduk yang jumlahnya terus bertambah; (c) sebagai pemacu proses industrialisasi; (d) sebagai penyumbang devisa negara; (e) sebagai pasar bagi produk dan jasa sektor non-pertanian. Walupun peran tersebut sangat besar, namun hingga kini perhatian pemerintah terhadap pengembangan sektor pertanian masih dinilai tidak sebanding dengan peran yang diembannya. Dalam jangka panjang (2005-2025) diharapkan perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian makin meningkat, sehingga pada akhir tahun 2025 sektor pertanian menjadi fondasi yang kuat dalam pembentukan struktur perekonomian nasional menuju tinggal landas.
Kegagalan pemerintah dalam menempatkan
sektor pertanian sebagai fondasi yang kokoh dalam struktur perekonomian nasional
akan
menghilangkan
kesempatan
bangsa
ini
menuju
struktur
perekonomian nasional yang kokoh dan lentur terhadap gejolak eksternal. Tak satupun negara di dunia dapat maju dan kokoh struktur perekonomiannya tanpa ditopang oleh sektor pertanian yang kuat.
Oleh karena itu sasaran akhir
pembangunan pertanian jangka panjang adalah menempatkan sektor pertanian sebagai fondasi struktur perekonomian yang kokoh dan lentur terhadap pengaruh eksternal.
II. LINGKUNGAN STRATEGIS Lingkungan strategis pada tingkat internasional yang paling dominan dalam mendorong perubahan struktur perekonomian dan tatanan masyarakat dunia dalam VI-1
jangka panjang 20 tahun ke depan yang mempengaruhi arah dan pembangunan pertanian ialah: (a) liberalisasi pasar global dan
sasaran
ketidakadilan
perdagangan internasional; (b) perubahan sistem dan manajemen produksi; (c) perhatian pada perwujudan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan (Millenium Development Goals); dan (d) kemajuan pesat dalam penemuan dan pemanfaatan teknologi tinggi. Dilain pihak, lingkungan strategis tingkat nasional yang dominan mempengaruhi perubahan struktur perekonomian dan tatanan masyarakat Indonesia serta diperkirakan sangat berpengaruh terhadap arah dan sasaran pembangunan pertanian di masa mendatang adalah: (a) dinamika permintaan pangan dan bahan baku; (b) kelangkaan dan degradasi kualitas SDA (lahan, air); dan (c) manajemen pembangunan : otonomi daerah dan partisipasi masyarakat. A. Internasional 1. Liberalisasi Pasar Global dan Ketidakadilan Perdagangan Internasional Indonesia sebagai suatu negara yang turut meratifikasi perjanjian General on Tariff and Trade dan World Trade Organization (GATT/WTO) tahun 1995, telah mengurangi seluruh tarif bea masuk komoditi pertanian dan mengurangi semua subsidi kepada petani. Komitmen menghilangkan kebijakan ekonomi dan perdagangan yang dapat menimbulkan distortif pasar ternyata tidak dilaksanakan oleh semua negara, sehingga petani Indonesia dihadapkan pada persaingan yang tidak adil dengan petani dari negara lain yang dengan mudah mendapat perlindungan tarif dan non tarif serta subsidi langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu, ke depan pemerintah masih harus menerapkan kebijakan proteksi sekaligus promosi terhadap produk-produk pertanian strategis, seperti beras dan gula. Kebijakan proteksi yang dapat dilakukan antara lain penetapan tarif impor dan pengaturan impor, sedangkan untuk kebijakan promosi pemerintah dapat memberikan subsidi sarana produksi, subsidi harga output maupun subsidi bunga kredit untuk modal usahatani. Pada akhir tahun 2025 diharapkan seluruh bentuk proteksi ditiadakan seiring dengan mantapnya daya saing produk pertanian. Selain hal di atas, pembentukan ekonomi kawasan seperti North American Free Trade Area (NAFTA), European Union (EU), ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan yang lebih luas lagi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) perlu mendapat perhatian karena akan dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi baru VI-2
yang bukan lagi dalam hubungan antar negara namun dalam cakupan yang lebih luas lagi yaitu antar kawasan/regional. Ketimpangan antar kawasan ini dapat terjadi karena adanya proses pematangan kawasan ekonomi yang berbeda satu dengan lainnya. Salah satu kawasan ekonomi yang diperkirakan akan sangat kuat adalah Uni Eropa (European Union). Kawasan ini sudah mencapai suatu tahapan penyatuan mata uang (mata uang tunggal Euro), yaitu suatu tahapan yang paling maju dalam implementasi integrasi ekonomi. Kondisi ini akan semakin menyulitkan ekspor produk pertanian Indonesia dan negara-negara lain di luar Eropa, karena sudah pasti akan mendapat perlakukan yang berbeda (peraturan ekspor-impor yang sangat ketat) dengan negara-negara yang berada di kawasan yang sama. Untuk menghadapi masalah ini, Indonesia harus mulai mengembangkan produk pertanian olahan dan mengutamakan pangsa pasar dalam negeri yang potensinya juga sangat besar. Selain itu, pemerintah perlu mengembangkan kerjasama perdagangan regional yang bersifat saling mengungtungkan untuk mendapatkan manfaat skala perdagangan. 2. Perubahan Sistem dan Manajemen Produksi Pada awal abad XXI diperkirakan akan terjadi perubahan radikal dalam struktur pasar dan kesempatan kerja yang berimplikasi pada pembentukan pasar baru, yaitu : (1) pada saat itu, kebutuhan dasar manusia telah tercukupi dan selera manusia bergeser pada kebutuhan sekunder dan tersier, sehingga kecenderungan ke depan, pasar jasa akan berkembang lebih cepat dibanding pasar barang; (2) pendapatan masyarakat makin tinggi dan lebih mengutamakan aktualisasi kepuasannya, sehingga segmentasi pasar makin mengarah pada kelompok individu yang makin kecil; dan (3) terjadi pergeseran permintaan antar individu dalam pasar barang dan jasa yang sama. Sejalan dengan semakin ketatnya persaingan untuk memperoleh pangsa pasar, para pelaku usaha mengembangkan strategi pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain Management, SCM) yang mengintegrasikan para pelaku dari semua segmen rantai pasokan secara vertikal ke dalam usaha bersama berlandaskan kesepakatan dan standarisasi proses dan produk yang bersifat spesifik untuk setiap rantai pasokan. Kunci daya saing produk antar rantai pasokan itu adalah efisiensi pada setiap segmen rantai pasokan dan keterkaitan fungsional antar segmen dalam memelihara konsistensi setiap pelaku dalam memenuhi kesepakatan dan standar yang digunakan. Untuk menciptakan hal VI-3
tersebut diperlukan selain integrasi vertikal antar segmen rantai pasokan juga integrasi horizontal antar pelaku dalam satu segmen, misalnya integrasi diantara para produsen, diantara para distributor, dan diantara para pengumpul di dalam satu rantai pasokan yang sama. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian dalam 20 tahun ke depan di arahkan untuk mengembangkan keharmonisan usaha mulai dari hulu sampai hilir dalam bentuk koordinasi yang sinergis antar pelaku usaha agribisnis. 3. Perhatian pada Perwujudan Ketahanan Pangan dan Pengentasan Kemiskinan (Millenium Development Goals) Pada tahun 1996, melalui pertemuan World Food Summit (WFS), dunia telah bersepakat untuk mewujudkan ketahanan pangan bagi setiap orang dan menghapuskan
penduduk
yang
kelaparan
di
seluruh
negara.
Sasaran
kuantitatifnya adalah mengurangi jumlah penduduk rawan pangan menjadi setengahnya paling lambat tahun 2015. karena jumlah rawan pangan di dunia tahun 1996 diperkirakan sekitar 800 juta jiwa, maka sasaran pengurangannya sebesar 400 juta jiwa selama 20 tahun, atau rata-rata 20 juta jiwa per tahun. Pada tahun 2002, melalui pertemuan yang sama di Roma, dunia kembali mempertegas dan memperbarui tekad komitmen global yang dibuat dalam Deklarasi Roma 1996. Karena kinerja pencapaian sasaran dalam lima tahun pertama tidak memuaskan, maka pertemuan WFS 2002 memutuskan untuk meningkatkan sasaran pengurangan penduduk rawan pangan sejak tahun 2002 menjadi ratarata sekitar 22 juta jiwa per tahun. Salah satu komitmen penting dalam Deklarasi Roma 2002 adalah penegasan pentingnya pembangunan pertanian dan pedesaan dalam mengikis kelaparan dan kemiskinan. Dunia menyadari bahwa pembangunan pertanian dan pedesaan mempunyai peran kunci dalam pemantapan ketahanan pangan, karena 70 persen penduduk miskin dunia hidup di pedesaan dan mengandalkan sumber penghidupannya dari sektor pertanian. Gambaran kondisi ini ternyata sangat relevan dengan Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada puncak krisis ekonomi tahun 1998, jumlah penduduk miskin hampir mencapai 50 juta jiwa dan sekitar 64,4 persen tinggal di pedesaan. Pada tahun 1999, saat ekonomi menuju pemulihan, jumlah penduduk miskin turun menjadi sekitar 37 juta jiwa dan sekitar 66,8 persen tinggal di pedesaan. Oleh karena itu, tepat sekali argumen yang menyatakan bahwa pengentasan kemiskinan dan VI-4
pengikisan kelaparan hanya dapat dilakukan melalui pembangunan pertanian dan pedesaan yang berkelanjutan, yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian, produksi pangan dan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, pada akhir tahun 2025 diharapkan tidak lagi dijumpai insiden kemiskinan dan rawan pangan di wilayah pedesaan. 4. Kemajuan Pesat dalam Penemuan dan Pemanfaatan Teknologi Tinggi Kemajuan pesat terjadi di bidang bioteknologi tanaman dan hewan yang didukung
dengan
kemajuan
ilmu
biologi
molekuler
dan
berbagai
ilmu
pendukungnya. Pemetaan genom berbagai organisme, keberhasilan transformasi dan regenerasi organisme hasil rekayasa genetik (genetically modified organism/ GMO) membuka peluang bagi pengembangan industri berbasis sumberdaya hayati. Penggunaan GMO dalam kaitan dengan keamanan pangan dan keamanan hayati masih kontroversial. Namun arah pengembangan teknologi pertanian menuju pada intensitas penggunaan bioteknologi yang makin tinggi. Oleh karena itu, perlu diupayakan untuk mengembangkan bioteknogi secara konsisten dalam bidang pertanian. Secara umum posisi status teknologi Indonesia pada beberapa komoditas pertanian masih relatif tertinggal dibandingkan dengan negara di kawasan ASEAN. Untuk padi dan unggas Indonesia lebih unggul dibanding dengan negaranegara di Asia Tenggara maupun Asia Tengah. Namun demikian untuk komoditas perkebunan relatif tertinggal dari Malaysia dan hortikultura tertinggal dari Thailand. Untuk produk olahan pangan, produk Indonesia relatif tertinggal dibanding dengan Thailand dan Vietnam. Hal tersebut karena adanya perhatian pemerintah yang bersangkutan yang lebih konsisten dalam membangun rantai agribisnis komoditas dari hulu ke hilir sampai dengan kemudahan dalam pemasaran produk segar maupun olahannya.
Ke depan, perhatian pemerintah perlu ditekankan pada
pengembangan teknologi pertanian yang masih tertinggal dan dalam jangka panjang produk unggulan pertanian sudah mempunyai daya saing yang tinggi baik di pasar domestik maupun di pasar internasional. B. Nasional 1. Dinamika Permintaan Pangan dan Bahan Baku Dinamika penduduk Indonesia ditinjau dari kualitas, pasar tenga kerja, tingkat pendidikan, mobilitas, dan aspek gender tentu akan sangat berpengaruh terhadap VI-5
keragaan pembangunan pertanian di masa mendatang. Dalam kaitan ini paling tidak ada 3 (tiga) aspek yang perlu mendapat perhatian lebih yaitu: (a) meningkatnya permintaan terhadap produk-produk pertanian, baik dalam jumlah kualitas, dan keragamannya, (b) meningkatnya ketersediaan tenaga kerja, dan (c) meningkatnya tekanan permintaan terhadap lahan untuk penggunaan non-pertanian (pemukiman, tapak industri, infrastruktur ekonomi). Meningkatnya permintaan terhadap produkproduk pertanian dapat dipandang sebagai suatu peluang sekaligus sebagai tantangan pembangunan pertanian. Peningkatan permintaan mengandung arti tersedianya pasar bagi produk-produk pertanian. Di sisi lain, peningkatan permintaan produk permintaan akan menimbulkan tekanan yang lebih besar untuk memacu peningkatan produksi. Dalam kaitan ini, sasaran pada akhir tahun 2025 semua kebutuhan pangan dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Walau melimpahnya ketersediaan tenaga kerja di pedesaan kondusif bagi pertumbuhan sektor pertanian, namun di sisi lain merupakan beban bagi sektor pertanian karena pendapatan buruh tani dan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian semakin sulit ditingkatkan. Selain itu, melimpahnya tenaga kerja di sektor pertanian justru menciptakan persoalan baru yaitu terjadinya fragmentasi lahan dan menurunnya luas penguasaan lahan per rumah tangga yang akan melahirkan lebih banyak kemiskinan di sektor pertanian untuk masa yang akan datang. Sebagai akibatnya ialah penduduk miskin di sekor pertanian akan melimpah pula. Diperkirakan dalam jangka waktu 10 tahun ke depan penduduk pedesaan mencapai 131 juta sedikit lebih rendah dibanding penduduk perkotaan yang mencapai 133 juta. Kesenjangan perekonomian pedesaan dan perkotaan masih tetap tinggi, sehingga penduduk miskin di pedesaan tetap lebih banyak dibanding perkotaan. Perkiraan ini menunjukkan perlunya pergeseran nyata dalam hal penanganan masalah kemiskinan, ketidaktahanan pangan dan malnutrisi dari pedesaan. Kondisi ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa penanganan masalah kemiskinan dan ketahanan pangan dalam lima tahun ke depan tetap menjadi prioritas utama. 2. Kelangkaan dan Degradasi Kualitas SDA (Lahan, Air) Ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi pemerintah berkaitan dengan masalah konversi lahan. Pertama, sangat timpangnya land rent antar wilayah (Jawa vs Luar Jawa; kota vs desa; sawah vs lahan kering), yang menyebabkan konversi lahan pertanian menjadi terkonsentrasi di Jawa, di lahan VI-6
sawah dan di perkotaan. Kedua, tingginya laju urbanisasi. Meningkatnya permintaan lahan akibat pertumbuhan penduduk selain menyebabkan penurunan luas baku lahan pertanian juga meningkatnya intensitas usahatani di daerah airan sungai (DAS) hulu. Penurunan luas baku lahan pertanian, khususnya lahan sawah, yang telah berlangsung sejak paruh kedua dekade 1980-an, saat ini cenderung semakin besar seiring dengan peningkatan konversi ke non pertanian, khususnya di pulau Jawa. Pada beberapa tahun terakhir, luas baku lahan sawah di luar Jawa juga telah mengalami penurunan pula. Dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan pangan juga meningkat. Untuk
memenuhi
kebutuhan
pangan
telah
dilakukan
intensifikasi
dan
ekstensifikasi lahan pertanian pangan. Salah satu dampak dari ekstensifikasi antara lain adalah penggundulan hutan. Luas hutan Indonesia telah mengalami penurunan dari 65 persen dari total dataran pada tahun 1985 menjadi hanya 47 persen pada tahun 2000. Sementara itu di Pulau Jawa, konversi lahan sawah irigasi menjadi pemukiman dan tapak industri juga terus berlangsung dengan akselerasi yang makin meningkat. Dampak dari penggundulan hutan dan konversi lahan tersebut antara lain berubahnya iklim secara global, erosi, banjir dan kekeringan. Penurunan luas baku sawah di daerah hilir pada kondisi jumlah petani tetap bahkan bertambah mendorong peningkatan intensitas usahatani di daerah hulu yang berakibat pada penurunan kualitas DAS. Penurunan kualitas DAS menyebabkan efisiensi saluran irigasi menurun dan saat ini penurunan efisiensi saluran irigasi tersebut makin bertambah karena kurangnya pemeliharaan dan rehabilitasi yang disebabkan terbatasnya dana pemerintah. Penurunan efisiensi saluran irigasi menyebabkan melambatnya perkembangan produktivitas pangan di lahan sawah. Perpaduan antara penurunan luas baku lahan dan efisiensi saluran irigasi menyebabkan kapasitas produksi pangan nasional mengalami penurunan. 3. Manajemen Pembangunan: Otonomi Daerah dan Partisipasi Masyarakat a. Otonomi Daerah Seiring dengan pelaksanaan era otonomi daerah yang telah dimulai sejak tahun 2001, telah terjadi beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan peran pemerintah pusat dan daerah. Peran pemerintah yang sebelumnya sangat dominan, saat ini berubah menjadi fasilitator, stimulator atau promotor pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian pada era otonomi daerah akan VI-7
lebih mengandalkan kreativitas rakyat di setiap daerah. Selain itu, proses perumusan kebijakan juga akan berubah dari pola top down dan sentralistik menjadi pola bottom up dan desentralistik. Perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan akan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya akan menangani aspek-aspek pembangunan pertanian yang tidak efektif dan efisien ditangani oleh pemerintah daerah atau menangani aspek-aspek pembangunan pertanian yang mencakup kepentingan beberapa daerah dan nasional. Dengan format lembaga pemerintah yang demikian maka pengelolaan ketahanan pangan (food security) akan semakin kompleks. Oleh karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, masalah ketahanan pangan nasional mestinya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Pada akhir tahun 2025, manajemen ketahanan pangan nasional diharapkan semakin mantap dan mandiri. b. Partisipasi Masyarakat Tuntutan jaman menghendaki pergeseran peranan masyarakat yang lebih dominan daripada pemerintah. Dengan demikian, reformasi total menuntut perlunya segera melaksanakan rekonstruksi kelembagaan pemerintahan publik berdasarkan prinsip good governance dengan tiga karakteristik utama, yaitu credibility, accountability, dan transparency. Kebijakan pembangunan dirancang secara transparan dan melalui debat publik, dilaksanakan secara transparan pula dan diawasi oleh publik, sedangkan pejabat pelaksana bertanggung jawab penuh atas
keberhasilan
dari
kebijakan
tersebut.
Dengan
begitu,
kebijakan
pembangunan akan lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak (demokratis) dan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) menjadi semakin sulit dilakukan. Demokratisasi kebijakan pembangunan dan pencegahan KKN melalui good governance sangat bermanfaat untuk meminimalkan biaya ekonomi tinggi (high-cost economy) dan distorsi pasar (monopoli dan monopsoni) akibat kesalahan kebijakan. Dengan demikian, perekonomian akan lebih efisien dan pertumbuhan kegiatan bisnis berdasarkan pada keunggulan kompetitif riilnya, bukan karena proteksi atau dukungan pemerintah. c. Perkembangan IPTEK Nasional Sistem nasional penelitian, pengembangan dan penerapan IPTEK yang dituangkan dalam UU No. 18/2002, menimbulkan paradigma baru bagi penelitian VI-8
pengkajian dan pengembangan serta diseminasi hasil-hasil penelitian, karena: (a) memberikan landasan hukum bagi pertumbuhan kemampuan semua unsur kelembagaan dalam penguasaan, pemajuan dan pemanfaatan IPTEK, (b) mendorong pertumbuhan dan pendayagunaan IPTEK secara lebih efektif, (c) menggalakkan pembentukan jaringan kerjasama antar semua unsur kelembagaan IPTEK secara sinergis sehingga kapasitas dan kemampuannya lebih optimal, (d) mengikat semua pihak pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam pengembangan dan pendayagunaan IPTEK. Paradigma baru yang timbul akibat dari UU No. 18/2002, adalah: a) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga tingkat pusat dan lembaga tingkat daerah digalakkan, b) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga publik dan lembaga swasta dirangsang, c) kerjasama penelitian dan pengembangan antara lembaga nasional dan internasional diberi peluang lebih besar. Sistem IPTEK nasional menjadi peluang bagi Departemen Pertanian untuk secara sungguh-sungguh membangun sistem IPTEK Pertanian mulai dari hulu (penelitian dasar dan teknologi generik) sampai hilir (pengkajian teknologi spesifik lokasi dan diseminasi penelitian kepada petani) secara efisien. Efisiensi sistem IPTEK di sektor pertanian ini perlu dibangun melalui sinkronisasi program litbang pertanian mulai dari hulu sampai hilir dan sinkronisasi program litbang pertanian dengan lembaga penelitian lainnya. Selain itu, efisiensi sistem IPTEK pertanian ini perlu didukung dengan sistem pendidikan pertanian yang mampu menghasilkan peneliti yang berkemampuan (competent) dan (credible). Juga perlu dibangun kembali sistem penyuluhan petani yang lebih efektif dan efisien. Pada akhir tahun 2025, diharapkan tercipta sistem inovasi pertanian yang efisien dan mantap.
III. MASALAH DAN TANTANGAN 1. Kelangkaan Sumberdaya Lahan dan Air a. Sumberdaya Lahan Faktor utama penentu kapasitas produksi pertanian adalah lahan dan air. Luas lahan yang sesuai untuk usaha pertanian baik tanaman pangan dan hortikultura maupun tanaman tahunan/perkebunan 100,8 juta ha dan telah dimanfaatkan 68,8 juta ha, sehingga sisa yang belum dimanfaatkan 32 juta ha. VI-9
Selain itu, terdapat potensi lahan untuk usaha pertanian berupa lahan terlantar 11,5 juta ha dan pekarangan 5,4 juta ha belum termasuk lahan gambut dan lebak yang potensinya cukup besar. Sebagian besar lahan yang belum dimanfaatkan berlokasi di luar Jawa. Untuk pertanian lahan basah (pangan semusim) terdapat di Papua, Sumatera dan Kalimantan, sedangkan untuk pertanian lahan kering (tanaman semusim) terluas terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Untuk tanaman tahunan/perkebunan lahan kering terluas terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua, sedangkan di Jawa pemanfaatan lahan sudah melampui ketersediaannya (over utilization). Selain over utilization, lahan di Jawa mengalami pengurangan akibat konversi ke penggunaan non pertanian dengan laju yang makin tinggi. Pada periode tahun 1981-1999, terjadi konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian seluas 1.627.514 ha dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa. Tingkat kesuburan lahan di Jawa jauh lebih tinggi dibanding di Luar Jawa, selain itu kondisi infrastruktur lahan di Jawa lebih mapan dibanding Luar Jawa. Oleh karena itu, dalam rangka memantapkan kapasitas produksi pangan nasional, maka dalam jangka panjang lahan-lahan produktif di Jawa seperti lahan sawah tetap perlu dipertahankan sebagai lahan pertanian dan diupayakan agar konversi lahan tersebut dapat dicegah. Kondisi lahan di Jawa makin memprihatinkan karena penguasaan lahan oleh petani yang sempit tidak mampu mencapai skala usaha yang ekonomis, sehingga usaha pertanian di Jawa menghadapi ancaman stagnasi. Hasil penelitian PATANAS (2000) menunjukkan bahwa di Jawa, sekitar 88 persen rumah tangga petani menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar dan sekitar 76 persen menguasai lahan sawah kurang dari 0,25 hektar. Data secara nasional menunjukkan bahwa lebih dari 10,5 juta (53%) rumah tangga petani menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar, dan lebih dari 6 juta (30%) menguasai lahan kurang dari 0,25 hektar. Dari Sensus Pertanian (SP) 1993 jumlah rumah tangga tani sebanyak 20 juta rumah tangga (RT), pada SP 2003 meningkat menjadi 25,4 juta RT. Jumlah RT petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, meningkat dari 10,8 juta KK tahun 1993 menjadi 13,7 juta KK tahun 2003 (2,6%/tahun). Persentase RT petani gurem terhadap RT pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7 persen (1993) menjadi 56,5 persen (2003). VI-10
Dengan demikian, dalam jangka panjang Indonesia menghadapi dua ancaman serius yang berkaitan dengan sumberdaya lahan yaitu over utilization di Jawa dan penguasaan lahan yang sempit. Oleh karena itu, dalam jangka panjang diperlukan upaya-upaya untuk mengurangi tekanan pemanfaatan lahan sekaligus meningkatkan produktivitas lahan di Jawa melalui pengembangan produksi komoditas yang bernilai tinggi dengan muatan teknologi yang tinggi pula, sedangkan untuk mencapai skala ekonomi minimum diperlukan upaya rekayasa kelembagaan kerjasama antar petani. b. Sumberdaya Air Kebutuhan air pertanian relatif terpenuhi di wilayah irigasi teknis yang telah dilengkapi dengan bendungan dan saluran-saluran irigasinya. Akhir-akhir ini sumber tersebut mengalami kekurangan air apabila terjadi anomali iklim, yang sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sedangkan pertanian tadah hujan, terutama di wilayah beriklim kering seperti Indonesia Bagian Timur, selalu terancam oleh risiko kekurangan air. Dewasa ini, masalah meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya air di beberapa tempat sudah semakin besar, disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan permintaan akibat pertumbuhan ekonomi dan proses urbanisasi. Lebih lanjut kelangkaan air akibat tekanan demografi, anomali iklim serta rendahnya komitmen pemerintah dan masyarakat dalam mengelola air yang tercemar menyebabkan ketersediaan air secara kualitas cenderung menurun. Penurunan tersebut mempengaruhi pemenuhan air untuk kebutuhan rumah tangga, sektor pertanian, industri, dan lingkungan. Sampai tahun 2020 permintaan air masih dapat dipenuhi. Permintaan air pada tahun 2020 hanya 17.839 m3/detik jauh di bawah ketersediaan air yang mencapai 101.664 m3/detik. Walaupun ketersedian air secara nasional sampai tahun 2025 diperkirakan masih memadai, namun Indonesia dalam jangka panjang akan menghadapi ancaman kekurangan air untuk pertanian bagi wilayah-wilayah yang padat penduduk seperti di Jawa seiring dengan menurunnya fungsi hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS) karena over utilization dan rusaknya jaringan irigasi. Oleh karena itu, dalam jangka panjang diperlukan upaya pengelolaan dan rehabilitasi DAS dan jaringan irigasi yang rusak. Patut dicacat UU Sumberdaya air yang ada saat ini dikuatirkan akan mendorong swastanisasi pemanfaatan air yang dapat mengurangi pasokan air VI-11
untuk pertanian. Untuk itu, Departemen Pertanian bersama Departemen Pekerjaan Umum sudah mengusulkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penggunaan dan Pengelolaan Air Irigasi. 2. Lemahnya Sistem Perbenihan Nasional Selain lahan dan air, benih merupakan faktor esensial untuk peningkatan kapasitas produksi pertanian. Tanpa benih yang baik mustahil kapasitas produksi pertanian tinggi dan berkualitas. Hampir semua sistem perbenihan komoditas kita masih lemah, kecuali sistem perbenihan padi yang sudah relatif kuat. Sistem perbenihan yang lemah tersebut, selain tidak mampu menyediakan benih yang baik dan berkualitas di pasar, juga tidak tersedia media untuk menggandakan teknologi benih yang dihasilkan oleh lembaga penelitian, sehingga terobosan pertanian melalui benih berjalan amat lamban dan stagnasi. Pada akhir tahun 2025, kita akan mempunyai sistem perbenihan yang kuat dan mampu menjadi media pengganda teknologi benih yang dihasilkan oleh lembaga penelitian serta mampu menyediakan benih yang berkualitas di pasar. 3. Lemahnya Infrastruktur Pertanian Daya saing produk pertanian yang tinggi berkelanjutan hanya dapat dicapai dalam kondisi infrastruktur pertanian yang baik. Infrastruktur pertanian meliputi jaringan irigasi, jalan pertanian dan pedesaan, listrik dan telekomunikasi pedesaan serta infrastruktur pasar. Sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai infrastruktur pertanian yang sangat jelek. Oleh karena itu, pada akhir tahun 2025 infrastruktur pertanian harus lengkap di seluruh wilayah pertanian Indonesia,
sehingga mampu mendukung keberlajutan daya saing produk pertanian kita. 4. Lemahnya Penguasaan Bioteknologi dan Teknologi Pascapanen dan Pengolahan Ke depan daya saing suatu komoditas akan ditentukan oleh muatan teknologi dalam komoditas yang bersangkutan dan kemampuan dalam merespon preferensi konsumen. Bioteknologi adalah teknologi yang dapat digunakan dalam pengembangan komoditas pertanian yang mampu merespon preferensi konsumen melalui manipulasi genetika. Dengan demikian, suka atau tidak suka diperlukan penguasaan bioteknologi untuk membangun sistem pertanian yang mampu merespon preferesi konsumen. VI-12
Kaitan dengan kemampuan merespon preferensi konsumen, maka perlu dikembangan produk-produk pertanian (product development) yang sesuai juga preferensi konsumen. Saat ini, kita masih lemah dalam penguasaan teknologi pascapanen dan pengolahan, karena selama ini konsentrasi kita pada teknologi budidaya, khususnya padi. Pada akhir tahun 2025 diharapkan kita telah menguasai bioteknologi dan teknologi pasca panen dan pengolahan untuk mendukung kemampuan produksi dalam merespon preferensi konsumen.
5 Lemahnya Sumberdaya Manusia Pertanian dan Sistem IPTEK Hasil penelitian Word Bank (2002) menunjukkan bahwa di Indonesia, Pilipina dan Thailand, kontribusi kualitas sumberdaya petani terhadap peningkatan produksi pertanian cukup tinggi yaitu antara 11-14 persen. Dengan demikian peningkatan kualitas sumberdaya manusia ini berpotensi untuk meningkatkan produksi pertanian. Dari segi jumlah, sumberdaya manusia (SDM) yang terlibat dalam kegiatan agribisnis relatif sangat banyak, terutama di pedesaan. Namun jika dilihat dari kualitas kemampuan SDM, dukungan untuk menempatkan kegiatan agribisnis atau sektor pertanian menjadi andalan pembangunan nasional masih sangat kurang. Dari segi mutu atau ketrampilan, SDM di pedesaan masih relatif kurang, dan oleh karena itu peningkatan mutu SDM perlu mendapat perhatian serius. Selain faktor ketrampilan, aspek perubahan cara berpikir (rasionalitas), antisipasi ke depan, kemampuan ber-empati, melakukan mobilitas, partisipasi dan motivasi (sikap dan tata nilai) berprestasi juga perlu ditingkatkan. Pengusaha dan pekerja agribisnis modern dicirikan oleh rasionalitas yang tinggi dalam arti senantiasa memahami dan menjelaskan suatu kejadian dan situasi dalam hubungan sebab akibat berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, serta senantiasa menyusun strategi tindakan berdasarkan hubungan cara-tujuan secara sistematis dan dengan penuh perhitungan. Dengan perkataan lain, pengembangan pengusaha dan pekerja agribisnis merupakan proses perubahan cara berpikir dari berdasarkan perasaan menjadi berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, dan perubahan pengambilan keputusan dari (semula) acak menjadi secara sistematis. Hal ini penting untuk disadari, karena merupakan prasyarat keharusan agar suatu teknologi maju atau
VI-13
inovasi dapat diterapkan pada agribisnis dan agar agribisnis itu dapat dikelola secara lebih efisien. Kemampuan antisipasi adalah kemampuan untuk memperkirakan sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang, dan melakukan tindakan penyesuaian (adjustment) yang tepat untuk itu. Pengusaha agribisnis modern dicirikan oleh sikap atau cara berpikir yang tidak mengabaikan kepentingan jangka panjang, mampu mengantisipasi dengan cukup tepat tentang apa yang akan terjadi di masa depan dan melakukan tindakan penyesuaian yang tepat dengan prakiraan perubahan tersebut. Hal yang sebaliknya terjadi pada pengusaha agribisnis tradisional. Kemampuan empati adalah kemampuan untuk memahami cara berpikir, sikap, dan pola tindak orang lain. Kemampuan empati ini sangat penting dimiliki oleh pengusaha agribisnis, karena dengan daya empati seorang pelaku agribisnis dapat menentukan strategi persaingan dan kerjasama bisnis yang lebih tepat, mempunyai kemampuan memimpin perusahaan, dan mampu menentukan pengembangan produk sesuai dengan preferensi konsumen. Mobilitas sosial secara vertikal mengacu pada sikap dan kemampuan untuk meraih status yang lebih baik. Pengusaha dan pekerja agribisnis modern dicirikan oleh kemauan dan kemampuan yang tinggi untuk senantiasa meningkatkan statusnya, baik secara ekonomi maupun sosial. Dengan perkataan lain, pengusaha dan pekerja agribisnis modern harus bersikap dinamis, karena dengan sikap tersebut agribisnis dapat tumbuh dan berkembang cepat. Kemampuan
partisipasi
adalah
kemampuan
untuk
meraih
segala
kesempatan yang ada demi untuk peningkatan status. Pengusaha dan pekerja agribisnis modern dicirikan oleh tingkat partisipasi yang cepat dan tinggi (optimis). Sifat partisipasi yang tinggi merupakan faktor yang sangat menentukan agar suatu teknologi dapat diadopsi secara cepat dan lengkap dan agar suatu kesempatan usaha (pasar) dapat diraih secara cepat. Sikap dan nilai mengacu pada motivasi dan pandangan hidup seseorang. Sikap dan nilai modern dicirikan oleh motivasi untuk senantiasa berupaya meraih kemajuan atau keberhasilan atau sikap untuk senantiasa bekerja keras, tidak atas dasar dorongan imbalan jasa material semata. Hal ini sering disebut sebagai need for achievement atau kebutuhan untuk meraih hasil dan kemajuan. Motivasi untuk meraih kemajuan dapat dipandang sebagai landasan kuat bagi kemajuan usaha. Permasalahan
utama
yang
dihadapi
Indonesia
berkaitan
dengan
pemanfaatan IPTEK Pertanian adalah belum terbangunnya secara efisien sistem VI-14
IPTEK Pertanian mulai dari hulu (penelitian tinggi dan strategis) sampai hilir (pengkajian teknologi spesifik lokasi dan diseminasi penelitian kepada petani). Efisiensi sistem IPTEK di sektor pertanian ini perlu dibangun melalui sinkronisasi program litbang pertanian mulai dari hulu sampai hilir dan sinkronisasi program litbang pertanian dengan lembaga penelitian lainnya. Selain itu, efisiensi sistem IPTEK pertanian ini perlu didukung dengan sistem pendidikan pertanian yang mampu menghasilkan peneliti yang berkemampuan (competent) dan produktif (credible). Juga perlu dibangun kembali sistem penyuluhan petani yang lebih efektif dan efisien. 6. Besarnya Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Pertanian Primer Salah satu ciri dari sektor pertanian primer adalah lentur terhadap penyerapan tenaga kerja, sehingga walaupun penyerapan tenaga kerja sektor pertanian
primer
besar
belum
tentu
mencerminkan
kemampuan
yang
sesungguhnya, sehingga hal tersebut menyebabkan produktivitas tenaga kerja di sektor tersebut terus mengalami penurunan. Saat ini Indonesia mengalami perubahan struktur ekonomi nasional yang tidak matang (immature) di mana penurunan proporsi GDP sektor pertanian primer tidak diikuti secara proporsional oleh penurunan tenaga kerja yang bekerja di sektor tersebut menyebabkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian primer mengalami penurunan. Pada tahun 2000 produktivitas tanaman pangan sebesar 25,21 persen dari produktivitas rata-rata nasional, sementara produktivitas industri kimia mengalami kenaikan dari 280,39 menjadi 417,07 persen. Dengan demikian, faktor yang memicu kesenjangan produktivitas yang makin lebar antara produktivitas sektor pertanian dengan sektor industri (non pertanian) adalah banyaknya angkatan kerja di sektor pertanian, sementara pertumbuhan nilai tambah di sektor tersebut tidak terlalu tinggi. Di sektor industri sebaliknya, di mana tenaga kerja di sektor tersebut tidak terlalu banyak tetapi pertumbuhan nilai tambah sangat tinggi. Kemampuan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mengalami peningkatan yang cukup mengesankan dari 37,35 juta orang per tahun sebelum masa krisis (1992-1997) menjadi 40,35 juta orang per tahun pada masa pemulihan (2000-2002), atau sekitar 40 persen angkatan kerja nasional dan hanya berasal dari kegiatan sektor pertanian primer, belum termasuk sektor sekunder dan tersier sepanjang vertikal sistem komoditasnya. Apabila tenaga kerja yang terserap pada VI-15
sektor sekunder dan tersiernya diperhitungkann, maka kemampuan sektor pertanian tentu akan lebih besar lagi. Namun hal itu justru menjadi beban bagi sektor pertanian dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya. Dalam jangka panjang diharapkan terjadi perubahan struktur perekonomian nasional yang matang dimana pengurangan tenaga kerja di sektor pertanian proporsional dengan peningkatan nilai tambah di sektor tersebut. Secara nasional diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor non pertanian dan sektor pertanian sekunder (pengolahan), sehingga secara perlahan-lahan peran sektor pertanian primer dalam penyerapan tenaga kerja menjadi makin kecil. Pada saat bersamaan dengan adanya pengembangan sektor pengolahan atau agroindustri, maka nilai tambah sektor pertanian secara keseluruhan mengalami peningkatan. 7. Rendahnya Investasi dan Sumber Pembiayaan Sektor Pertanian Investasi merupakan sumber pertumbuhan sektor pertanian. Saat ini investasi di sektor pertanian sangat rendah hanya sekitar 2 persen dari total investasi nasional. Penyebab rendahnya investasi karena usaha di sektor pertanian mempunyai resiko yang sangat besar, sehingga kurang menarik bagi investor. Oleh karena itu, dalam jangka panjang perlu dikembangkan kebijakan insentif investasi sektor pertanian. Selain investasi yang rendah, sumber pembiayaan untuk memperkuat modal petani juga kecil dan sistem perkreditan yang ada yang mensyaratkan keharusan adanya jaminan (collateral) belum sesuai dengan kondisi kecilnya aset yang dimiliki petani. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan sistem perbankan khusus pertanian maupun kelembagan keuangan mikro serta asuransi pertanian yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi petani, sehingga petani mampu memperoleh kebutuhan dana investasi, modal kerja dan perlindungan resiko usaha.
8. Liberalisasi Pasar Global dan Ketidakadilan Perdagangan Internasional Petani Indonesia saat ini menghadapi pasar persaingan yang tidak adil dengan petani dari negara lain yang dengan mudah mendapat perlindungan tarif dan non tarif serta subsidi langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu, ke depan pemerintah akan mencari instrumen kebijakan perlindungan inovatif tidak saja VI-16
berupa tarif tetapi juga perlindungan non-tarif maupun dukungan domestik lainnya dalam rangka memperkuat daya saing produk pertanian, namun di akhir tahun 2025 semua jenis proteksi sudah tidak ada lagi. Selain hal di atas, pembentukan ekonomi kawasan seperti North American Free Trade Area (NAFTA), European Union (EU), ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan yang lebih luas lagi Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) perlu mendapat perhatian karena akan dapat menimbulkan ketimpangan ekonomi baru yang bukan lagi dalam hubungan antar negara namun dalam cakupan yang lebih luas lagi yaitu antar kawasan/regional. Ketimpangan antar kawasan ini dapat terjadi karena adanya proses pematangan kawasan ekonomi yang berbeda satu dengan lainnya. Salah satu kawasan ekonomi yang diperkirakan akan sangat kuat adalah Uni Eropa (European Union). Kawasan ini sudah mencapai suatu tahapan penyatuan mata uang (mata uang tunggal Euro), yaitu suatu tahapan yang paling maju dalam implementasi integrasi ekonomi. Kondisi ini akan semakin menyulitkan ekspor produk pertanian Indonesia dan negara-negara lain di luar Eropa, karena sudah pasti akan mendapat perlakukan yang berbeda (peraturan ekspor-impor yang sangat ketat) dengan negara-negara yang berada di kawasan yang sama. Untuk menghadapi masalah ini, dalam jangka panjang Indonesia harus mulai mengembangkan produk pertanian olahan dan mengutamakan pangsa pasar dalam negeri yang potensinya juga sangat besar.
9. Pola Produksi dan Konsumsi yang Belum Diversifikasi Produksi komoditas pangan utama padi dan jagung baik sebelum krisis ekonomi (1993-1997), masa krisis ekonomi (1998-1999), maupun pada masa pemulihan ekonomi (2000-2004) terus meningkat, sebaliknya untuk komoditas kedelai mengalami penurunan. Sebelum krisis ekonomi rata-rata produksi padi dan jagung di Indonesia masing-masing 49 juta ton dan 7,9 juta ton per tahun, pada masa krisis ekonomi meningkat menjadi 50,1 juta ton dan 9,7 juta ton per tahun, dan pada masa pemulihan ekonomi juga terus meningkat menjadi 51,9 juta ton dan 10,1 juta ton per tahun. Demikian juga pada kelompok komoditas sayursayuran dan buah-buahan utama, kecuali pada komoditas cabai, produksi komoditas kentang, tomat, jeruk, mangga, salak dan rambutan terus meningkat, walaupun pada beberapa komoditas produksinya mengalami penurunan pada masa krisis ekonomi. Namun yang sangat menggembirakan bahwa jumlah VI-17
produksi semua komoditas tersebut (kecuali cabai) pada masa pemulihan ekonomi sudah di atas produksi sebelum krisis ekonomi. Produksi komoditas kelapa sawit, kakao, teh, dan kopi sebagai komoditas perkebunan utama dalam tiga periode (sebelum dan saat krisis ekonomi, serta masa pemulihan ekonomi) juga terus meningkat. Sementara produksi komoditas tebu pada saat krisis ekonomi sempat turun, namun demikian pada masa pemulihan ekonomi kembali meningkat, bahkan sudah menuju ke produksi normal (sebelum krisis ekonomi). Populasi sapi potong, ayam broiler dan ayam petelur sebelum krisis ekonomi semuanya mengalami pertumbuhan yang positif, dan pada masa krisis ekonomi semuanya mengalami pertumbuhan yang negatif. Namun demikian pada masa pemulihan ekonomi kecuali sapi potong bebera komoditas kembali mengalami pertumbuhan yang positif, bahkan rata-rata populasinya sudah melebihi populasi sebelum krisis ekonomi. Dari sisi produksi terlihat juga bahwa produksi daging sapi, susu, daging ayam broiler dan telur sebelum krisis ekonomi mengalami peningkatan dan menurun pada masa krisis ekonomi. Namun demikian padanmasa pemulihan ekonomi kembali meningkat termasuk produksi daging sapi dengan rata-rata produksi lebih tinggi dari sebelum krisis ekonomi. Walaupun secara umum produksi pangan (sumber karbohidrat) terus meningkat dan kondisinya pada masa pemulihan ekonomi sudah lebih baik dari masa sebelum krisis ekonomi, namun laju peningkatannya cenderung menurun dan kondisi tersebut diperparah oleh terjadinya saturasi dalam revolusi hijau. Pada masa datang diperkirakan permintaan terhadap pangan karbohidrat tidak akan mengalami peningkatan secara signifikan, namun tetap perlu diupayakan pemenuhannya untuk mencapai swasembada. Oleh karena itu, dalam jangka panjang tetap diperlukan upaya untuk mempertahankan kapasitas produksi pangan pada tingkat swasembada dan untuk mengurangi ketergantungan pada sumber karbohidrat beras, diperlukan terobosan teknologi pangan sumber karbohidrat non padi secara menyeluruh. Peningkatan pendapatan penduduk dan urbanisasi mendorong perubahan pola konsumsi penduduk ke arah lebih banyak mengkonsumsi produk peternakan, terutama daging, telur dan susu. Permintaan daging terutama daging ayam, dan telor selama dua puluh tahun terakhir meningkat dengan laju di atas 5 persen per tahun, serta daging sapi dengan laju 2,5 persen per tahun. Diperkirakan permintaan produk peternakan ini masih akan cukup tinggi di masa depan yang VI-18
akan mendorong pula peningkatan permintaan pakan ternak terutama jagung. Demikian juga dengan peningkatan permintaan pada minyak nabati dan hortikultura akan cukup tinggi. Diperkirakan dalam jangka panjang akan terjadi revolusi peternakan, perkebunan dan hortikultura yang didorong oleh permintaan. Oleh karena itu, dalam jangka panjang diperlukan upaya inovasi teknologi peternakan dan perkebunan serta hortikultura berorientasi pada permintaan konsumen. 10. Struktur Usaha Pertanian yang Tidak Terkoordinatif Dua sistem kelembagaan yang mempengaruhi produksi pertanian adalah delivery system, dan receiving system. Delivery system merupakan sistem yang memungkinkan pasokan input dari luar wilayah pertanian dan pemasaran output ke luar wilayah pertanian berjalan lancar, sehingga penerapan teknologi oleh petani menjadi optimal. Delivery system yang ada saat ini masih lemah. Contohnya KUD sebagai lembaga penyalur saprodi sekaligus sebagai agen transfer teknologi melalui pengembangan skema kredit paket KUT tidak banyak berfungsi. Akibatnya petani tidak mampu untuk menerapkan teknologi secara optimal. Selain delivery system, receiving system juga lemah. Kelompok tani contohnya belum berfungsi secara maksimal terutama dalam memanfaatkan memanfaatkan skala ekonomi dan harmonisasi kegiatan Dengan demikian, struktur usaha pertanian saat ini masih bersifat dispersal terpenca-pencar dan tidak terkoordinatif baik secara vertikal maupun secara horizontal. Sementara sistem pertanian di negara lain telah mengembangkan strategi pengelolaan rantai pasokan (Supply Chain Management, SCM) yang mengintegrasikan para pelaku dari semua segmen rantai pasokan secara vertikal ke dalam usaha bersama berlandaskan kesepakatan dan standardisasi proses dan produk yang bersifat spesifik untuk setiap rantai pasokan. Diharapkan dalam jangka panjang delivery dan receiving sistem pertanian yang kokoh akan mampu menerapkan SCM. 11. Dukungan Kebijakan Makro yang Lemah Walaupun pemerintah memahami secara detail peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional secara keseluruhan, namun sampai saat ini dukungan kebijakan makro belum sepenuhnya mendorong perkembangan sektor pertanian. Banyak kebijakan makro pemerintah yang justru menguntungkan sektor VI-19
industri. Oleh karena itu, dalam periode 20 tahun ke depan, diharapkan kebijakan makro pemerintah secara konsisten mendukung sektor pertanian sehingga pada akhir 2025 sektor pertanian tumbuh menjadi fondasi sektor ekonomi nasional 12. Kemandirian Pangan Kemandirian pangan pada tataran nasional merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman dan juga halal, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Oleh karena itu, salah satu indikator untuk mengukur kemandirian pangan adalah ketergantungan ketersediaan pangan nasional terhadap impor. Data Neraca Bahan Makanan yang diterbitkan FAO menunjukkan bahwa selama periode 20002002, kemampuan penyediaan pangan Indonesia dalam kalori per kapita per hari mencapai 3.313, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan periode krisis (1998-1999) sebesar 2.832 maupun sebelum krisis (1993-1997) sebesar 2.849. Bahkan kemampuan ekspor pangan Indonesia selama periode 2000-2002 juga meningkat dibandingkan dengan dua periode sebelumnya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nilai net ekspor pangan yang mencapai 1.223 Kkal/kapita/hari. Rata-rata pangsa produksi pangan dalam negeri terhadap total kebutuhan pangan dalam negeri, selama periode 2000-2002 mencapai 111 persen, sementara impor dan ekspornya masing-masing sebesar 13 dan 24 persen, sehingga secara keseluruhan net ekspor pangan Indonesia mencapai 11 persen. Kondisi ini jauh lebih baik dari dua periode sebelumnya, dimana pangsa produksi pangan dalam negeri di bawah 100 persen dan net ekspornya negatif sekitar 1-3 persen. Data BPS juga menunjukkan bahwa impor beberapa bahan pangan pokok, seperti beras, jagung, kedelai dan gula, terhadap total kebutuhan dalam negeri selama periode 2000-2003 relatif kecil. Impor beras masih di bawah 3 persen, sementara impor kedelai dan gula sekitar 2 persen dan impor jagung di bawah 2 persen. Dengan demikian, kekhawatiran sebagian pihak bahwa Indonesia sesungguhnya tidak berada dalam ancaman terperosok ke dalam perangkap ketergantungan impor pangan. Namun demikian, pencapaian Pola Pangan
Harapan (PPH) masih jauh dari harapan dimana saat ini baru mencapai skor 68,4. Inilah tantangan dalam jangka panjang.
VI-20
13. Kesejahteraan Petani Salah satu indikator utama tingkat kesejahteraan umum ialah prevalensi jumlah penduduk miskin. Pada periode sebelum krisis jumlah penduduk miskin di perdesaan Indonesia telah mencapai tingkat yang cukup rendah yaitu 15,3 persen. Namun krisis multidimensi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan jumlah penduduk miskin di perdesaan meningkat kembali menjadi sekitar 26 persen. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin di perdesaan turun drastis menjadi sekitar 20 persen, bahkan BPS memperkirakan pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin di perdesaan turun lagi menjadi sekitar 19.5 persen. Dengan demikian, pada tahun 2004 persentase penduduk miskin di perdesaan hampir sama dengan tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi). Dalam jangka panjang diharapkan seluruh penduduk yang bekerja di sektor pertanian dapat dientaskan dari kemiskinan. Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan pendapatan petani ialah produktivitas tenaga kerja yang diukur sebagai nilai PDB per tenaga kerja di sektor pertanian. Berdasarkan data BPS, pada harga-harga konstan 1993, setelah menurun pada tahun 1998-1999, pendapatan tenaga kerja pertanian meningkat konsisten selama periode tahun 2000-2003 Rata-rata pendapatan tenaga kerja pada periode tahun 2000-2003 sebesar Rp 1,67 juta lebih tinggi dibanding periode sebelum krisis (1993-1997) yang mencapai Rp 1,66 per kapita per tahun. Hal ini merupakan bukti empiris bahwa, kesejahteraan petani pada tahun 2000-2003 telah lebih baik dari pada masa sebelumnya. Data di tingkat mikro menunjukkan perkembangan yang sama dimana tingkat pendapatan riil petani juga mengalami peningkatan. Di Jawa Barat, jika pada tahun 1984 tingkat pendapatan riil Rp 2,13 juta, maka pada tahun 1999 menurun menjadi Rp 2,06 juta dan pada tahun 2002 meningkat lagi menjadi Rp 4,75 juta atau mengalami peningkatan rata-rata 6,82 persen per tahun. Begitu juga dengan di Sulawesi Selatan, dimana pada tahun 1984 tingkat pendapatan riil Rp 1,82 juta, maka pada tahun 1999 meningkat menjadi Rp 3,06 juta dan pada tahun 2002 meningkat lagi menjadi Rp 3,95 juta, atau mengalami peningkatan rata-rata 6,49 persen per tahun. Walaupun ada perbaikan pendapatan, namun tingkat pendapatan petani tersebut masih jauh dari mencukupi. Diharapkan dalam jangka panjang tingkat pendapatan petani dapat mencapai U$ 2500 per kapita per tahun. VI-21
IV. VISI PEMBANGUNAN PERTANIAN JANGKA PANJANG 2005-2025 Tujuan akhir pembangunan pertanian adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat pertanian melalui sistem pertanian industrial. Oleh karena itu, pembangunan jangka panjang sektor pertanian berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat pertanian. Sasaran jangka panjang pembangunan pertanian dapat dirinci sebagai beriktu: 1. Terwujudnya Sistem Pertanian Industrial Yang Berdayasaing Sistem pertanian industrial dicirikan oleh usaha pertanian bernilai tambah tinggi dan terintegrasi dalam satu rantai pasok (supply chain) berdasarkan relasi kemitraan sinergis dan adil dengan bertumpu pada sumberdaya nasional, kearifan lokal serta ilmu pengetahuan dan teknologi berwawasan lingkungan.
Sistem
pertanian industrial adalah sosok pertanian ideal yang merupakan keharusan agar usaha pertanian dapat bertahan hidup dan tumbuh berkembang secara berkelanjutan dalam tatanan lingkungan persaingan global yang makin ketat. 2. Mantapnya Ketahanan Pangan Secara Mandiri Mantapnya ketahanan pangan secara mandiri berarti terpenuhinya pasokan pangan dan terjaminnya akses pangan sesuai kebutuhan bagi seluruh masyarakat dengan mengandalkan produksi dalam negeri dan kemampuan daya beli masyarakat. 3. Terciptanya Kesempatan Kerja Penuh Bagi Masyarakat Pertanian Dalam jangka panjang diharapkan seluruh angkatan kerja pertanian mendapatkan pekerjaan penuh sehingga pengangguran terbuka maupun terselubung tidak lagi terjadi secara permanen. Dengan demikian produktivitas angkatan kerja pertanian meningkat secara nyata yang selanjutnya pendapatan masyarakat tanipun meningkat secara nyata. 4. Terhapusnya Masyarakat Pertanian dari Kemiskinan Pendapatan Petani US$ 2500/kapita/tahun Berkurangnya
jumlah
masyarakat
tani
miskin
dan Tercapainya dan
meningkatnya
pendapatan petani merupakan prasyarat terwujudnya kesejahteraan masyarakat tani yang menjadi sasaran akhir pembangunan pertanian.
VI-22
Mengacu pada sasaran pembangunan jangka panjang di atas, maka visi pembangunan pertanian tahun 2025 dirumuskan sebagai berikut: “Terwujudnya sistem pertanian industrial berdaya saing, berkeadilan dan berkelanjutan guna
menjamin
ketahanan
pangan
dan
kesejahteraan
masyarakat
pertanian”.
V. ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN JANGKA PANJANG 2005-2025 Visi pembangunan pertanian 2025 diimplementasikan melalui kebijakan yang diarahkan untuk mendorong proses transformasi usaha pertanian menuju sistim pertanian dengan peta jalan seperti pada gambar 1. Garis-garis besar kebijakan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Membangun Basis bagi Partisipasi Petani Basis partisipasi petani perlu dibangun dengan kuat agar mereka mampu berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan sehingga mereka mampu memperoleh manfaat hasil-hasil pembangunan secara cukup, adil dan merata. Sektor pertanian merupakan sektor yang sangat strategis untuk dijadikan sebagai instrumen dalam pengentasan penduduk miskin. Kemajuan sektor pertanian akan memberikan kontribusi besar dalam penurunan jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan. Demikian pula, basis bagi partisipasi petani untuk melakukan perencanaan dan pengawasan pembangunan pertanian harus dibangun sehingga petani mampu mengaktualisasikan kegiatan usahataninya secara optimal untuk menunjang pertumbuhan pendapatannya. Hasil-hasil pembangunan harus terdistribusi makin merata antar sektor, antar subsektor dalam sektor pertanian dan antar lapisan masyarakat agar tidak ada lagi lapisan masyarakat yang tertinggal dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan meningkat. 2. Meningkatkan Potensi Basis Produksi dan Skala Usaha Pertanian Lahan pertanian ditingkatkan melalui pembukaan areal baru khususnya di Luar Jawa dengan memacu investasi swasta baik usaha pertanian rakyat maupun perusahaan besar pertanian yang bermitra dengan usaha pertanian rakyat dengan dukungan fasilitasi komplementer dan insentif dari pemerintah.
VI-23
Peningkatan potensi basis produksi dikembangkan dengan sasaran penyeimbangan pemanfaatan lahan antar wilayah di Indonesia.
Peningkatan
skala usaha pertanian dikembangkan melalui implementasi pertanian kooperatif yang kokoh dan kuat baik kerjasama antar petani secara horizontal maupun kerjasama dengan pelaku bisnis sepanjang alur vertikal sistem komoditas yang bersangkutan. 3. Mewujudkan Pemenuhan Kebutuhan Sumberdaya Insani Pertanian Yang Berkualitas Peningkatan
kualitas
sumberdaya
manusia
ini
difokuskan
pada
peningkatan kemampuan penguasaan teknologi, kewirausahaan dan manajemen usaha tani melalui pengembangan sistem pendidikan dan penyuluhan pertanian. Arah kebijakan ini diimplementasikan dalam bentuk revitalisasi sistem pendidikan dan penyuluhan pertanian sehingga sistem tersebut mampu menciptakan
insan
pertanian
yang
berkualitas
mampu
menguasai
dan
menerapkan teknologi dan mampu mengelola usahataninya secara efisien. 4. Mewujudkan Pemenuhan Kebutuhan Infrastruktur Pertanian Kebutuhan infrastruktur pertanian utamanya sarana irigasi, jalan pertanian dan pedesaan, kelistrikan dan telekomunikasi pedesaan serta pasar pertanian yang bersifat publik dibangun selengkap mungkin oleh pemerintah dengan memberikan kesempatan kepada swasta untuk turut berpartisipasi pada bidangbidang tertentu yang mungkin diusahakan secara komersial. Dengan terwujudnya infrastruktur pertanian yang mapan diharapkan daya saing produk pertanian meningkat dan pendapatan petani meningkat pula. 5. Mewujudkan Sistem Pembiayaan Pertanian Tepat Guna Sistem pembiayaan pertanian yang sesuai dengan karakteristik petani dibangun dengan menumbuh kembangkan lembaga keuangan khusus yang melayani pertanian, baik berupa bank pertanian maupun lembaga keuangan mikro. Landasan utama dari sistem keuangan moderen (modern capital market) yang berlaku di Indonesia adalah tambahan modal (capital gain) atau dalam bahasa sehari-hari adalah bunga dari setiap modal atau uang yang dipinjamkan. Oleh karena itu, maka setiap pemodal (lenders) akan menuntut adanya agunan (colleteral)
dari setiap pemimjam (borrowers). VI-24
Dengan demikian, dasar dari
ekonomi moderen adalah agunan bukan kepercayaan, sehingga sistem ekonomi moderen tidak mungkin berkembang dalam masyarakat miskin seperti petani kita karena ketidakmampuan dalam menyediakan agunan. Kalau demikian halnya, maka
perlu
kepercayaan.
dikembangkan
sistem
keuangan
yang
berdasarkan
pada
Sistem ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi Islam
yang dikembangkan berdasarkan kepercayaan yang diimplentasikan ke dalam sistem pembagian keuntungan dan resiko dari setiap usaha bersama. Dengan dengan sistem ekonomi syariah maka petani dapat melakukan akses kepada sistem tersebut sehingga mereka diharapkan mampu mengembangkan teknologi tanpa kendala modal. 6. Mewujudkan Sistem Inovasi Pertanian Sistem inovasi pertanian dibangun dengan lembaga penelitian pemerintah sebagai
penggerak
utamanya
komplementaritasnya.
dan
lembaga
penelitian
swasta
sebagai
Sistem inovasi pertanian mengintegrasikan lembaga
penelitian penghasil IPTEK dasar, lembaga pemerintah atau swasta sebagai pengganda IPTEK, lembaga penyuluhan sebagai fasilitator penyampaian IPTEK tersebut kepada petani. Sistem inovasi pertanian yang efisien akan mempercepat proses adopsi inovasi oleh petani sehingga muatan teknologi dalam produk pertanian makin meningkat dan daya saing menjadi kuat. Penguasaan bioteknologi diperlukan dalam rangka membangun sistem produksi yang mampu merespon preferensi konsumen untuk meningkatkan daya saing produk yang bersangkutan.
Pada akhir tahun 2025, bioteknologi harus
menjadi bagian dalam sistem pertanian industrial. Kebijakan ini juga diarahkan untuk mengembangkan produk-produk pertanian (product development) dalam rangka meningkatkan nilai tambah komoditas melalui pengembangan agroindustri pedesaan.
Selain peningkatan
nilai tambah, pengembangan agroindustri ini mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak di sektor pertanian primer sekaligus menjadi penampung tenaga kerja di sektor pertanian primer sehingga produktivitas pertanian primer secara pasti mengalami peningkatan.
VI-25
7. Penyediaan Sistem Insentif dan Perlindungan Bagi Petani Penyediaan insentif dan perlindungan bagi petani dilakukan untuk merangsang peningkatan produksi, investasi dan efisiensi usaha pertanian melalui kebijakan makro meliputi kebijakan fiskal, moneter dan perdagangan. Kebijakan insentif mencakup pemberian jaminan harga, subsidi dan keringan pajak. Perlindungan bagi petani mencakup praktek perdagangan yang tidak adil dan gagal panen akibat anomali iklim. Kebijakan sistem insentif ini sangat diperlukan untuk meningkatkan aliran investasi ke sektor pertanian untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian. Pada akhir tahun 2025 diharapkan seluruh kapasitas produksi pertanian dapat dimanfaatkan secara penuh.
Pengembangan kapsitas pertanian tidak hanya
menyangkut sumberdaya alam tetapi juga menyangkut teknologi dan managemen. 8. Mewujudkan Sistem Usahatani Bernilai Tinggi Melalui Intensifikasi Diversifikasi dan Pewilayahan Pengembangan Komoditas Unggulan Regionalisasi pengembangan komoditas unggulan diarahkan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya pertanian dan mendorong investasi baru berdasarkan keunggulan komparatif wilayah. Dalam kaitan dengan efisiensi pemanfaatan sumberdaya pertanian, maka untuk mengurangi tekanan penggunaan lahan di Jawa, secara perlahan-lahan, Jawa diarahkan untuk pengembangan komoditas bernilai tinggi (high value commodities development) seperti hortikultura, sedangkan pengembangan komoditas pangan diarahkan ke Kalimantan dan Sulawesi. Pengembangan komoditas perkebunan diarahkan ke Papua dan Maluku. Pengembangan komoditas peternakan berbasis lahan diarahkan ke Bali dan Nusa Tenggara 9. Mewujudkan Agroindustri Berbasis Pertanian Domestik di Pedesaan Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah disepanjang alur vertikal sistem komoditas pertanian melalui pengembangan produk agroindustri yang berbasis sumberdaya domestik dan pedesaan.
Dengan terwujudnya
agroindustri, maka kontribusi sektor pertanian terhadap nilai tambah dan kesempatan
kerja
terhadap
perekonomian
pedesaan
makin
meningkat.
Agroindustri ini salah satu pilar sistem pertanian industrial yang akan menjadi fondasi struktur ekonomi nasional pada akhir tahun 2025.
VI-26
10. Mewujudkan Sistem rantai Pasok Terpadu Berbasis Kelembagaan Pertanian Yang Kokoh Pengembangan rantai pasok terpadu komoditas pertanian secara vertikal dilakukan sistem kemitraan yang sehat dan adil. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan regulator yang kredibel dan adil untuk mewujudkan pertumbuhan sektor pertanian yang berkelanjutan. Pertumbuhan sektor pertanian sangat dibutuhkan untuk mengakselerasi perekonomian pedesaan. Sektor pertanian Indonesia, hingga saat ini masih sangat tergantung pada hasil primer, sehingga nilai tambah yang diperoleh masih rendah dan kurang kompetitif di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Ke depan, pemerintah harus dapat mendorong perkembangan produk pertanian olahan primer, selain untuk meningkatkan nilai tambah juga meningkatkan dan memperluas pangsa pasar di dalam dan luar negeri. Negara berkembang penghasil produk pertanian, saat ini banyak yang melakukan pengembangan produk pertanian untuk mensiasati perdagangan dunia yang tidak adil. Apabila hal ini dapat dilakukan maka sektor pertanian akan tumbuh lebih cepat dan tinggi lagi dibandingkan dengan yang telah dicapai selama ini. Pertumbuhan sektor pertanian yang makin cepat akan memacu pertumbuhan sektor-sektor lain secara lebih cepat melalui kaitan ke belakang dan ke depan dalam kegiatan produksi dan konsumsi. Dengan demikian, sektor pertanian akan lebih dikenal sebagai pengganda tenaga kerja, dan bukan sekedar pencipta kesempatan kerja. Pengembangan rantai pasok tersebut harus berbasis kelembagaan pertanian yang kokoh yang merupakan perekat relasi semua komponen di dalam sistem pertanian industrial. Kelembagan pertanian dibangun berdasarkan prinsip kemitraan setara, sehat dan berkeadilan. 11. Menerapkan Praktek Pertanian dan Manufaktur yang Baik Praktek pertanian yang baik merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan sistem pertanian industrial berdaya saing dan berwawasan lingkungan. Mutu produk pertanian harus dapat dijamin dan ditelusuri sesuai dengan standar pesyaratan internasional. Untuk itu pemerintah akan menyusun protokol teknis dan insentif untuk merangsang penerapannya.
VI-27
12.
Mewujudkan Pemerintahan yang Baik, Bersih dan Berpihak Kepada Petani dan Pertanian Pemerintahan yang baik dan bersih mutlak perlu untuk mewujudkan visi
pertanian di atas. Pemerintah yang berpihak terhadap petani dan pertanian diwujudkan melalui kebijakan fiskal, moneter dan perdagangan yang berpihak untuk mendukung pembangunan pertanian. Cara penyelenggaraan pemerintahan yang
baik
(good
governance)
sangat
diperlukan
dalam
pelaksanaan
pembangunan pertanian, yaitu: bersih (clean), berkemampuan (competent), memberikan hasil positif (credible) dan secara publik dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Pembangunan pertanian akan berhasil jika diawali dengan cara penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dimana pemerintah merupakan
agen
pembangunan
yang
sangat
menentukan
keberhasilan
pencapaian sasaran pembangunan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana membangun pemerintahan yang bersih, berkemampuan, berhasil dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pada akhir tahun 2025 telah terwujud praktek
pemerintahan yang baik, bersih dan berpihak kepada petani.
D:\data\data\Anjak-2005\Visi dan Arah Pemb Pert
VI-28
Pengusaha besar pertanian
Pengusaha Agro Industri Primer Perorangan
Perusahaan Agro Industri Sekunder Terpadu
Konglomerat Agribisnis Terpadu
Perusahaan Agro Industri Sekunder Terkoordinasi
Perusahaan Agribisnis Terkoordinasi
Skala Integrasi Organisasi
Perusahaan Pertanian Skala Menengah
Perusahaan Agro Industri Primer Terkoordinasi
Usaha Tani Skala Kecil / Mikro
Pendorong kunci : ~ Migrasi ke luar ~ Inovasi teknologi ~ Transformasi ekonomi Proses / mekanisme : ~ Perluasan basis produksi ~ Optimalisasi skala usaha
Perusahaan Agro Industri primer Skala Kecil / Mikro
Perusahaan Agro Industri Skala Kecil / Mikro
Rantai Pasok Komoditas Olah Terpadu
Usahatani Multi Komoditas
Usahatani Kooperatif Multi Komoditas
Rantai Pasok Komoditas Primer Terpadu
Peningkatan nilai tambah / pendalaman industri
Pendorong kunci : ~ Inovasi iptek ~ Revalensi “super-hiper market” ~ Revalensi ICT ~ Globalisasi
Gambar 1. Peta jalan proses transformasi “menuju sistim pertanian industrial” VI-29
Proses : ~ Diversifikasi ~ Industrialisasi ~ Konsolidasi, koordinasi integrasi