1 BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah Visi Pembangunan Nasional Jangka Panjang Tahun 2005 – 2025 mengarah pada pencapaian tujuan pembangunan sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) yang telah dijelaskan bahwa Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas asas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, bangsa Indonesia telah melaksanakan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional, dengan salah satu tujuan nasional yang ingin dicapai adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara materiil dan spritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Adapun usaha yang dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dalam bidang ekonomi dan sosial adalah dengan memberikan kredit atau pinjaman bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkannya, baik itu untuk tambahan modal atau perluasan usahanya, dan salah satu wujud adalah koperasi.1
1
R.T Sutantya Raharja Hadhikusuma, 2000, Hukum Koperasi Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 31
2 Koperasi selalu bertindak demi kepentingan anggotanya, secara umum koperasi diartikan sebagai perkumpulan orang yang dengan rela menjadi satu kesatuan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Dasar hukum keberadaan koperasi di Indonesia adalah Pasal 33 UUD 1945 dan UndangUndang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 212 dan Tambahan Lembaran Negara nomor 5355). Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 menyatakan: “Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.” Adanya pertambahan jumlah penduduk, kemajuan teknologi, taraf hidup yang semakin meningkat, keadaan lingkungan, dan tingkat kebudayaan yang meningkat memberi dampak pada kebutuhan terbatas, pendapatan yang diperoleh relatif terbatas pula. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dengan adanya koperasi
sebagai
lembaga
pemberi
kredit
sangatlah
diperlukan
untuk
meningkatkan usaha atau mencukupi kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan hal tersebut salah satu caranya yakni, dengan cara mengajukan pinjaman uang kepada koperasi atau yang dikenal dengan pinjaman kredit. Kata kredit berasal dari Romawi “Credere” artinya percaya. Ketentuan mengenai kredit diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3790) yaitu: “Kredit adalah
3 penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberi bunga.” Sebelum memberikan kredit, pihak kreditur melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap Character (watak), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Collateral (angunan), dan Condition of economic (prospek usaha debitur) atau yang lebih dikenal dengan istilah 5C yaitu :2 1. Character adalah data tentang kepribadian dari calon pelanggan seperti sifat-sifat pribadi, kebiasaan-kebiasaannya, cara hidup, keadaan dan latar belakang keluarga maupun hobinya. Character ini untuk mengetahui apakah nantinya calon nasabah ini jujur berusaha untuk memenuhi kewajibannya. 2. Capacity merupakan kemampuan calon nasabah dalam mengelola usahanya yang dapat dilihat dari pendidikannya, pengalaman mengelola usaha, sejarah perusahaan yang pernah dikelola (pernah mengalami masa sulit apa tidak, bagaimana mengatasi kesulitan). Capacity ini merupakan ukuran dari ability to play atau kemampuan dalam membayar. 3. Capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikelolanya. Hal ini bisa dilihat dari neraca, laporan rugi-laba, struktur permodalan, ratio-ratio keuntungan yang diperoleh seperti return on equity, return on investment. Dari kondisi di atas bisa dinilai apakah layak calon pelanggan diberi pembiayaan, dan beberapa besar plafon pembiayaan yang layak diberikan. 4. Collateral adalah jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata calon pelanggan benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya. Collateral ini diperhitungkan paling akhir, artinya bilamana masih ada suatu kesangsian dalam pertimbangan-pertimbangan yang lain, maka bisa menilai harta yang mungkin bisa dijadikan jaminan. 5. Condition of economic, pembiayaan yang diberikan juga perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi yang dikaitkan dengan prospek usaha calon nasabah. Ada suatu usaha yang sangat tergantung dari kondisi perekonomian, oleh karena itu perlu mengaitkan kondisi ekonomi dengan usaha calon pelanggan. 2
Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, hal. 394
4 Penelitian yang dilakukan oleh bank dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan terjadinya tunggakan atau kredit bermasalah yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan bank itu sendiri. Oleh karena itu maka adanya jaminan dalam pemberian dan perjanjian kredit amatlah penting, karena pada dasarnya setiap perjanjian kredit atau pinjam uang pasti terdapat suatu jaminan. Jaminan merupakan sesuatu yang diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk memberikan keyakinan atau kepastian kepada kreditur, bahwa debitur akan mampu membayar utangnya dengan yang diperjanjikan. Hal ini bisa dimaklumi karena setiap pemberian kredit melalui lembaga perkreditan memerlukan suatu kepastian hukum. Seperti pendapat Sri Soedewi Maschoen Sofwan sebagai berikut : Dalam rangka pembangunan ekonomi yang tidak bisa dilepaskan dari bidang hukum diantaranya ialah lembaga jaminan, karena perkembangan ekonomi dan perdagangan akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan pemberi kredit ini.3 Pembinaan hukum, dalam bidang hukum jaminan adalah sebagai konsekuensi logis dan merupakan suatu perwujudan tanggung jawab pembinaan hukum untuk mengimbangi lajunya kegiatan–kegiatan dalam bidang perdagangan, perindustrian, perseroan, pengangkutan dan kegiatan–kegiatan seperti tersebut di atas sering dilakukan oleh warga negara Indonesia pada umumnya untuk meningkatkan pembangunan ekonomi kerakyatan karena sudah menjadi 3
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, hal. 2.
5 kebutuhan rakyat yang akhirnya kegiatan–kegiatan tersebut memerlukan fasilitas kredit dalam usahanya, para pemberi modal mensyaratkan adanya jaminan bagi pemberian kredit demi keamanan modal dan kepastian hukum. Adapun lembaga jaminan yang ada adalah : 1. Gadai 2. Hak Tanggungan 3. Jaminan Fidusia 4. Hipotek (bukan tanah) 5. Penanggungan/borg tocht (jaminan perorangan)4 Kitab
Undang–Undang
Hukum
Perdata
(selanjutnya
akan
disebut
KUHPerdata), dikenal adanya hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan dan hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan. Hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan senantiasa tertuju kepada benda milik orang lain, yang dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Untuk benda jaminan milik orang lain yang berupa benda bergerak, maka hak kebendaan tersebut adalah hak gadai, sedangkan benda jaminan milik orang lain yang berupa tanah, maka hak kebendaan tersebut adalah hipotik (Hak Tanggungan). Fidusia merupakan sesuatu yang umum terjadi, fidusia adalah termasuk salah satu lembaga jaminan yang dikenal di Indonesia. Undang-undang yang khusus mengaturnya adalah Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dengan demikian, istilah “Fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum di Indonesia. Akan tetapi kadang-kadang dalam bahasa Indonesia untuk fidusia ini disebut juga dengan istilah “penyerahan hak milik secara kepercayaan”, hal ini karena fidusia adalah berdasarkan atas kepercayaan. 4
Khasadi, 2006, Materi Hukum Jaminan, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, hal. 5
6 Fidusia adalah Gadai yang diperluas, Gadai yang berselubung, fidusia tersebut dijalankan dalam usaha supaya barangnya tetap bisa digunakan oleh debitor untuk mendukung usahanya. Supaya peralihan sah dalam konstruksi hukum tentang Fidusia ini, haruslah memenuhi syarat–syarat sebagai berikut : a. Terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk (kebendaan) b. Adanya Title untuk suatu peralihan hak c. Adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang – orang yang menyerahkan benda d. Cara tertentu untuk menyerahkan, yakni dengan cara constitutum possessorium yaitu jaminan yang barang jaminannya masih ada pada pemberi fidusia (debitor) bagi benda yang bergerak yang berwujud atau dengan cessie untuk piutang.5 Pengaturan mengenai Fidusia diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3889) selanjutnya disebut UUJF. Pada Pasal 1 angka (2) UUJF ditentukan bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik itu berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam UndangUndang No. 4 tahun 1996 tentang Hak tanggungan (Lembaran Negara Tahun 1996 nomor 42 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3632) yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
5
Ibid, hal. 152.
7 Ada hal yang harus didasari bahwa pada Pasal 2 UUJF juga memberikan suatu batasan terhadap ruang lingkup berlakunya setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani benda dengan jaminan fidusia. Hal ini kembali dipertegas dalam Pasal 3 UUJF yang menyatakan bahwa Undang-Undang Jaminan Fidusia tidak berlaku terhadap : 1. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftarkan. 2. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua puluh) meter atau lebih. 3. Hipotik atas pesawat terbang. 4. Gadai Berdasarkan penjelasan tersebut tentang jaminan fidusia, maka dalam hal ini lembaga jaminan fidusia ini digunakan secara luas dalam berbagai transaksi pinjam meminjam atau kredit karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah dan cepat, serta adanya kepastian hukum dengan cara mendaftarkan jaminan fidusia tersebut. Pendaftaran jaminan fidusia tersebut memberikan hak yang didahulukan (preferent) kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain. Karena jaminan fidusia memberikan hak kepada pemberi fidusia untuk tetap menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan. Salah satu kredit yang dijalankan oleh bidang perbankan adalah perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia dimana hal tersebut merupakan kebijakan yang diambil dalam rangka untuk menyesuaikan dengan perkembangan dunia usaha dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, dimana debitor untuk menjamin barang jaminannya untuk mendapatkan sejumlah uang yang dipinjam
8 kepada kreditor. Barang jaminan tersebut masih bisa digunakan oleh debitor guna mendukung usahanya. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat dalam memberikan pinjaman pihak perbankan dapat menggunakan Jaminan Fidusia sebagai collateral, sehingga debitur tetap bisa memanfaatkan barang jaminannya untuk mendukung usahanya. Pemberian kredit pada koperasi tidak terlepas dari permasalahan jaminan fidusia seperti: perlindungan hukum terhadap kreditur dengan akta jaminan fidusia yang tidak didaftarkan apabila terjadi wanprestasi, kekuatan mengikat dari perjanjian kredit tersebut dikarenakan akta jaminan fidusia tersebut tidak didaftarkan atau dengan akta fidusia dibuatkan dengan akta notariil tanpa adanya pendaftaran jaminan fidusia. Perjanjian dikatakan telah lahir jika telah ada kata sepakat atau persesuaian kehendak di antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan adanya janji timbul kemauan bagi para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak secara bebas menentukan isi kontrak dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak mereka masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata sepakat (konsensualisme). Dengan adanya konsensus dari para pihak, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undangundang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan hukum menjadi hukum bagi mereka yang membuatnya.
9 Pemberian kredit dikoperasi seringkali tidak mendaftarkan jaminan fidusia pada kantor Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia maka apa yang terjadi didalam faktanya dan apa yang diharapkan oleh Undang-Undang jaminan fidusia tidak tercapai. Dari hal-hal tersebut maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai eksistensi dari jaminan fidusia tersebut. Praktek yang seharusnya dilakukan oleh pihak perbankan tersebut sesuai dengan Undang–Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dalam Pasal 1 angka (5) UUJF yang berbunyi sebagai berikut : “Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia”. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Undang-undang yang khusus mengatur hal ini, yaitu Undang-Undang Jaminan Fidusia yang juga menggunakan istilah “Fidusia”. Dengan demikian, istilah “Fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum di Indonesia. Akan tetapi kadang-kadang dalam bahasa Indonesia untuk fidusia ini disebut juga dengan istilah “penyerahan hak milik secara kepercayaan”. Akta Jaminan Fidusia haruslah memenuhi syarat–syarat sebagaimana tertuang dalam UUJF sebagai berikut : a. Pasal 4 Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. b. Pasal 5 1. Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia. 2. Terhadap pembuatan akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
10 c. Pasal 6 Akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sekurang– kurangnya memuat : 1. Identitas pihak pemberi dan penerima Fidusia; 2. Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia; 3. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia; 4. Nilai penjaminan; dan 5. Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Setelah syarat-syarat tersebut di atas dipenuhi masih ada kewajiban untuk mendaftarkan jaminan fidusia tersebut, hal ini merupakan syarat mutlak supaya akta Jaminan Fidusia mempunyai kepastian hukum seperti yang diamanatkan Undang-Undang Fiducia yang tertuang dalam Pasal 11 yaitu : 1. Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan 2. Dalam hal benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku. Setelah didaftarkan oleh penerima Fidusia Akta Jaminan Fidusia seperti yang tertuang di dalam Pasal 14 UUJF yaitu : 1. Kantor Pendaftaran Fidusia dan menyerahkan kepada penerima Fidusia Sertifikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran. 2. Sertifikat Jaminan Fidusia yang merupakan salinan dari buku daftar Fidusia memuat catatan tentang hal – hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). 3. Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya Jaminan Fidusia dalam buku daftar Fidusia. Untuk Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia diatur dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Dengan telah lahirnya Undang-Undang Fidusia maka setiap Jaminan Fidusia
11 harus dibuat secara akta notariil karena dengan akta notariil maka akta Fidusia tersebut menjadi alat bukti yang otentik untuk suatu pembuktian. Akta Jaminan Fidusia harus dibuat dengan bahasa Indonesia, supaya akta Jaminan Fidusia tersebut mempunyai kepastian hukum bagi debitur (pemberi Fidusia) dan kreditur (penerima Fidusia), maka akta Jaminan Fidusia yang dibuat akta notariil dan dibuat dengan bahasa Indonesia tersebut harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 12 ayat (1) UUJF yaitu : “Pendaftaran Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia”. Pendaftaran Akta Jaminan Fidusia tersebut dilakukan agar supaya kreditor terlindungi dari debitur yang wanprestasi. Sesuai dengan amanat Pasal 13 ayat (1) UUJF menentukan bahwa: “Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia”. Peraturan Undang-Undang Fidusia tersebut merupakan cita–cita yang ingin dicapai yang merupakan Dassolen. Akan tetapi dalam kenyataannya (das sein) banyak sekali Jaminan Fidusia tersebut tidak didaftarkan pada kantor Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam kenyataan yang terjadi dalam praktek di masyarakat keadaanya lain/menyimpang dari aturan yang ada. Dengan demikian atau dengan latar belakang tersebut antara peraturan yang ada dengan kenyataan atau faktanya dalam praktek di masyarakat serta kekuatan mengikatnya perjanjian kredit terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dalam pelaksanaan eksekusi tidak seperti yang diharapkan, dibutuhkan suatu solusi untuk
12 mengakomodasi hal–hal tersebut agar didapat suatu solusi/formula yang cocok untuk menjembatani antara dassolen dan dassein, terjadi pertentangan antara aturan dan kenyataan yang terjadi dalam dunia praktek dan dunia usaha. Jaminan Fidusia merupakan permasalahan yang sangat menarik untuk di kaji dan dijadikan obyek penelitian, karena sarat dengan permasalahan-permasalahan baik dalam bentuk konflik norma, maupun norma kaburnya. Setelah ditelusuri melalui judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui penelusuran dengan media internet ditemukan beberapa judul tesis yang menyangkut jaminan fidusia. Adapun judul-judulnya adalah sebagai berikut : a. Tesis yang berjudul “Kajian Yuridis Perjanjian Kredit dengan Jaminan Fidusia Pada Koperasi Swamitra di Medan”, oleh Rumiris Ramarito Nainggolan, Universitas Sumatra Utara, Jenis Penelitian Yuridis Empiris, dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. bagaimana pelaksanaan perjanjian kredit pada koperasi swamitra dengan menggunakan akta fidusia yang tidak didaftarkan? 2. bagaimana penyelesaian sengketa jika debitur wanprestasi sedangkan akta fidusianya tidak didaftarkan? b. Tesis yang berjudul “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank “, oleh Ni Made Trisnadewi,Universitas Udayana, Penelitian Hukum Normatif, rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank
13 menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia? 2. Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia? Bahwa tesis-tesis yang diuraikan diatas sangat berbeda dengan penulisan tesis ini yang menyangkut kajian yuridis empiris dan pernah dilakukan oleh penulispenulis lainnya tetapi lokasi dan cakupan penelitian berbeda, oleh sebab itu karya ilmiah ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan masih sangat relevan untuk penelitian lebih lanjut. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti, membahas serta mengangkatnya menjadi sebuah karya tulis / tesis yang berjudul “Kekuatan Eksekutorial Perjanjian Kredit Dengan Akta Fidusia Yang Tidak Didaftarkan (Studi Kasus Pada Koperasi Di Wilayah Kota Denpasar)”
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut : 1. Mengapa perjanjian kredit dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan oleh koperasi? 2. Bagaimanakah kekuatan mengikat dari jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dalam perjanjian kredit koperasi? 3. Bagaimanakah eksekusi terhadap benda jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dalam perjanjian kredit koperasi ?
14 1.3.Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Secara umum penelitian atas permasalahan di atas adalah dalam kerangka pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai suatu proses).6 Paradigma ilmu tidak akan berhenti dalam penggaliannya atas kebenaran dalam bidang lembaga jaminan fidusia dan untuk memahami gambaran Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.Hal ini berkaitan dengan kewajiban untuk mendaftarkan jaminan fidusia yang digunakan untuk menjamin hutang piutang dalam perjanjian kredit. b. Tujuan Khusus Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum seperti yang telah disebutkan di atas, juga terdapat tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni: 1. Untuk memahami dan menganalisis yang menyebabkan perjanjian kredit dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan di koperasi; 2. Untuk memahami dan menganalisis kekuatan mengikat dari perjanjian kredit dengan menggunakan akta fidusia yang tidak didaftarkan terhadap koperasi ; 3. Untuk memahami dan menganalisis eksekusi pada perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan .
6
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana,2007, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi,, hal. 30.
15 1.4.Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran-pemikiran khususnya dalam penemuan asas-asas, konsep-konsep dan teori-teori yang berhubungan dengan permasalahan ini. 2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada umumnya, maupun di bidang keperdataan dan jaminan pada khususnya terutama di bidang hukum jaminan fidusia yang keberadaannya sangat dibutuhkan dalam lembaga perbankan. b. Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1. memberikan kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah maupun lembaga perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, terutama ketentuan yang menyangkut akta jaminan fidusia yang di daftarkan dalam perjanjian kredit di koperasi serta perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit dalam bidang perbankan 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta bahan masukan bagi masyarakat.
16
1.5.Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran a. Landasan Teoritis Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.7 Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.8 Menurut Snellbecker teori adalah sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. Sedangkan menurut Kerlinger, teori adalah;“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present asystematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena” . (Teori adalah suatu rangkaian konsep, difinisi, dan proposisi yang dipresentasikan secara sistimatis dengan menspesifikasikan hubungan antara variable, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena).9 dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa teori-teori sebagai landasan untuk menjelaskan fenomena atau sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian merupakan pijakan untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang diperoleh dari rangkaian upaya 7
Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.
19. 8
Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), hal. 30. 9 Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 140
17 penelusuran (controleur baar). Oleh karena itu, dalam suatu penelitian semakin banyak teori-teori, konsep dan asas yang berhasil di identifikasi dan dikemukakan untuk mendukung penelitian yang sedang dikerjakan maka semakin tinggi derajat kebenaran yang bisa dicapai. Landasan Teoritis merupakan landasan berfikir yang bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Begitu pula landasan teori berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian. Dalam setiap penelitian selalu harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan dan pengolahan data, analisa serta konstruksi data. Dalam menganalisa penulisan ini digunakan Teori Efektivitas Hukum, Teori Perlindungan Hukum, dan Teori Perjanjian. 1. Teori Efektivitas Hukum Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur (ajeg). Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sesuai dengan tujuannya atau tidak. Efektivitas hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin dicapai.
18 Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya. Menurut Black’s Law Dictionary, penegakan hukum (law enforcement), diartikan sebagai “the act of putting something such as a law into effect; the execution of a law; the carrying out of a mandate or command”.10 Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya. Aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law making process). Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto, efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor. Pertama; faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihakpihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.11 Relevan dengan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto 10
tersebut,
Romli
Atmasasmita
mengatakan
faktor-faktor
yang
Campbell Black Henry, 1999, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, St. Paul Minesota: West Publishing, hal.578. 11 Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.8
19 menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.12 Berkaitan dengan kepatuhan masyarakat terhadap suatu produk hukum, sangat tepat apa yang dikemukakan Ivor Jennings menyatakan bahwa: The most law-abiding citizen in the world, particulary when the law seem to him to be sensible; but no man is more ready to take offence when it broken. He doesn’t obey orders because they are given by one person in authority; he obeys orders when they are lawful orders, issued by a person who has legal authority to issue them.(Memang penting otoritas hukum itu, tetapi perlu juga didukung oleh kepatuhan terhadap hukum baik oleh pembuat hukum itu sendiri maupun masyarakat). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang ada di belakangnya. Dengan demikian aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law making process),13 untuk menjawab permasalahan yang pertama mengenai hal-hal yang menyebabkan akta jaminan fidusia tidak didaftarkan maka dapat digunakan Teori Efektifitas Hukum sebagai pisau analisa. maka dengan tidak didaftarkannya benda jaminan fidusia akan menimbulkan akibat hukum yaitu penerima fidusia tidak memiliki hak preferece seperti yang dinyatakan dalam Pasal 27 UUJF
12
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal.55 13 Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cet II, Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 69.
20 2. Teori Perjanjian Perjanjian pada umumnya dibuat dengan maksud dan tujuan yang beraneka ragam. Salah satu tujuannya adalah dalam rangka untuk pemberian kredit. Istilah kredit dikenal dalam bahasa yunani yaitu Credere yang berarti kepercayaan. Oleh karena itu dasar pemberian kredit adalah kepercayaan si pemberi kredit ke pada penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya akan dikembalikan sesuai perjanjian, dalam pemberian kredit di Koperasi merupakan perikatan antara pihak pemberi kredit (koperasi) dan pihak penerima kredit yang berdasarkan kepercayaan. Sesuai dengan pengertian dari Pasal 1313 KUH Perdata tentang perjanjian, bahwa yang menjadi dasar hukum mengikatnya suatu perjanjian, adalah “perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya”. Perjanjian diatur dalam buku Ketiga KUHPerdata tentang perikatan yaitu Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Apabila antara dua orang atau lebih tercapai suatu persesuaian kehendak untuk mengadakan suatu ikatan, maka terjadilah antara mereka suatu persetujuan. Lebih lanjut dalam Pasal 1121 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Sedangkan pendapat yang dinyatakan oleh Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum tentang harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana salah satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal
21 atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut dari pelaksanaan janji tersebut.14 Bachsan Mustafa, Bewa Ragawino dan Yaya Priatna memberikan definisi bahwa perjanjian itu adalah hubungan hukum kekayaan antara beberapa pihak, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak menuntut atas suatu jasa (prestasi) sedangkan pihak lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (schuld) dan bertanggung jawab atas prestasi itu.15 Pendapat lain dikemukakan oleh Subekti mendefinisikan pengertian perjanjian sebagai berikut; “perjanjian merupakan suatu peristiwa apabila seseorang berjanji kepada seorang yang lain ataupun jika dua orang tersebut saling berjanji dan mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal”.16 Dari peristiwa ini muncul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. O.W Holmes berpendapat bahwa:“The duty on keep contract in common law means a prediction that you must pay damages if you do not keep it, if you commit a tort, you are liable to pay compensatory”.17(Kewajiban untuk menjaga suatu perjanjian dalam hukum masyarakat diartikan sebagai prediksi bahwa kamu harus membayar kerusakan kerusakan, akan tetapi kalau kamu tidak menjaganya, apabila kamu komit dengan
14
Wirjono Prodjodikoro, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Cet VIII, Sumur, Bandung, hal 11. 15 Bacshan Mustafa, Bewa Ragawino, Yaya Priatna, 1982, Azas-Azas Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Edisi Pertama, Armico, Bandung, hal. 53. 16 R. Soebekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 45 17 M.P Golding, The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia University, Random House, New York, hal. 180
22 gugatan tersebut, maka kamu bertanggung jawab untuk membayar kompensasi tersebut). Dipihak lain menurut Sucitthra Vasu, menberikan pengertian tentang tujuan ditetapkannya kontrak yaitu :“The purpose of setting down the terms of contract are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties. Secondly, in the event of a dispute between parties, it enables the cour to decide which is the defaulting party so that the dispute can be resolved.”18(Tujuan ditetapkannya terminologi kontrak adalah, pertama dengan kontrak akan dapat menunjukkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, kedua suatu saat nanti ada perselisihan antara pihak kontrak ini dapat memutuskan yang mana pihak yang menyalahi kontrak, agar perselisihan itu dapat dipecahkan). Sedangkan menurut R. Subekti, dalam bukunya Law In Indonesia, menyatakan bahwa; “The debtor has done something what is in contravention of the contract, it is obvious that he is in default. Also when in the contract is fixed a time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed this time limit, it is clear that the debtor is in default.” 19
(Debitur yang telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kontrak itu
dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila dalam kontrak ditentukan batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur tidak mengindahkan limit waktu itu, itu jelas debitur dinyatakan bersalah).
18
Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, Singapore, hal 1. 19 R. Subekti, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And Studies, third edition, Jakarta, hal 55
23 Mengenai kapan suatu perjanjian terjadi antara para pihak dalam hukum kontrak mengenal beberapa teori antara lain :20 1. Teori Penawaran dan Penerimaan Pada prinsipnya Suatu kesepakatan baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak dan diikuti dengan penawaran tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut. 2. Teori Kehendak (Wilstheorie) Menurut teori kehendak, perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian kehendak antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah yang menyebabkan terjadinya perjanjian. 3. Teori Pernyataan Menurut teori ini kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui oleh pihak lain dan kehendak merupakan yang menyebabkan terjadinya perjanjian. Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan, perjanjian tetap terjadi. 4. Teori Kepercayaan Menurut teori ini, hanya pernyataan yang menyebabkan kepercayaanyang dapat menimbulkan kepercayaan. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benarbenar dikhendaki.
20
Salim, H.S, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal166-168
24 5. Teori Pengiriman Menurut teori pengiriman, kesepakatan penawaran terjadi jika pihak yang mendapatkan penawaran menerima atau mengirimkan telegram. 6. Teori Pengetahuan Teori pengetahuan berpendapat bahwa perjanjian ada jika salah satu pihak yang menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan, akan tetapi penerimaan itu belum tidak diketahui secara langsung. Pada umumnya suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti jika terjadi permasalahan. Terdapat perjanjian yang ditentukan oleh Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertentu. apabila bentuk itu tidak sesuai, perjanjian tersebut dikatakan tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang, perjanjian dalam bentuk tertulis tidak hanya digunakan sebagai pembuktian saja jika terjadi perselisihan tetapi merupakan hal utama untuk adanya (bestnwaarde) perjanjian tersebut. Perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh pihak kreditur merupakan bentuk dari perjanjian baku, yang melahirkan hukum bagi keduanya. Bahwa pihak kreditur dan debitur terikat untuk melaksanakan isi dari perjanjian yang disepakati. Stein mengemukakan bahwa kontrak baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van will en vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu, jika debitur menerima dokumen itu berarti ia secara
25 sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.21 Selain itu Aser Rutten mengatakan bahwa : Setiap orang yang menanda tangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatangani. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditanda tangani tidak mungkin seorang menanda-tangani apa yang tidak diketahui isinya.22 Kegiatan usaha pinjaman yang dilakukan oleh koperasi sangat erat kaitannya dengan kegiatan usaha kredit. Secara etimologis usaha kredit berasal dari bahasa lain credere, credo, dan creditum yang artinya adalah kepercayaan, yang dalam bahasa inggris disebut faith atau trust.23 Dalam Pasal 1 Angka 11 menyebutkan Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Dengan demikian, dalam perjanjian kredit terdapat kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit dimana akan melahirkan suatu perikatan diantara kedua subjek hukum. Definisi perikatan tidak diatur dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan, tetapi definisi perikatan terdapat dalam pengetahuan ilmu hukum. Perikatan yaitu suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antar dua orang atau lebih, pihak yang satu berkewajiban atas 21
Ibid Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemerintah di bidang Pertanahan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 49. 23 Rachmandi Usman, 2001, Aspek-AspekHukum Perbankan Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.236 22
26 sesuatu dan pihak lain berhak atas prestasi.24 Pinjaman (kreditur) kepada masyarakat sebagai penerima kredit (debitur), yaitu : 1. Kepercayaan: merupakan keyakinan pihak kreditur, atas prestasi yang diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur, yang akan dibayar sesuai dengan waktu diperjanjikan. 2. Waktu: merupakan jangka waktu antara penerimaan kredit dan pembayarannya, jangka waktu tersebut telah terlebih dahulu diperjanjikan dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur. 3. Prestasi: yaitu suatu adanya objek yang diperjanjikan yang berupa prestasi pada saat terjadinya kesepakatan pemberian pinjaman oleh kreditur kepada debitur. 4. Resiko: adalah adanya hal yang mungkin terjadi selama jangka waktu dari penyaluran kredit hingga pelunasan pinjaman tersebut maka diperlukan pengikatan jaminan atau agunan yang dimiliki debitur Suatu perjanjian pinjam meminjam sah apabila kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian itu tidak dapat dipenuhi dapat dipaksakan pelaksanaanya. Apabila pihak yang berkewajiban tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan, maka dapat dikatakan bahwa pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Dari uraian tersebut maka untuk menjawab permasalahan yang kedua dan ketiga sangat relevan digunakan Teori Perjanjian untuk menjawab permasalahan mengenai kekuatan mengikat jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. 24
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, hal.2.
27 Perjanjian kredit, atau pengakuan hutang merupakan perjanjian pokok, dalam praktik perbankan diperlukan suatu Jaminan, salah satunya yaitu jaminan Fidusia yang merupakan perjanjian ikutan (accesoir). UUJF ditentukan Jaminan Fidusia tersebut wajib dibuat dalam bahasa Indonesia dan dibuat dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan Pejabat yang berwenang (notaris) yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Pasal 7 UUJF, fungsi jaminan fidusia adalah untuk menjamin pelunasan hutang yang telah ada maupun hutang yang akan ada dikemudian hari yang sudah diperjanjikan, maksud dari hutang yang telah ada, adalah hutang saat pemberian Jaminan Fidusia sudah ada, sedangkan hutang yang akan ada dikemudian hari berarti hutang-hutang saat pemberian Jaminan Fidusia belum ada,tetapi sudah diperjanjikan. 3. Teori Perlindungan Hukum Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, dalam hubungan antar anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat dijaga kepentingannya. Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk norma atau kaedah. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah.25 Wujud dari peran hukum dalam masyarakat adalah memberikan perlindungan hukum 25
kepada
anggota
masyarakat
yang
kepentingannya
terganggu.
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta hal.39
28 Persengketaan yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan menurut hukum yang berlaku. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum itu bertujuan agar tercapainya ketertiban dalam masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengutamakan pemecahan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Menurut Subekti bahwa tujuan hukum itu mengabdi kepada tujuan Negara, yaitu mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya.26 Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum,
agar
anggota
masyarakat
merasa
aman
dalam
melaksanakan
kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, yang menyebabkan bersangkutan merasa aman. Menurut Philipus M Hadjon perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum berbahasa belanda dikenal dengan sebutan rechtsbescherming van de burgers.27 Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa belanda yakni rechtbescherming. Dari pengertiannya, dalam kata perlindungan terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang 26
Ibid, hal. 57-61 Philipus M hadjon, 1998, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, hal.1 27
29 dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Menurut Fitzgerald, menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan
dan
mengkoordinasikan
berbagai
kepentingan
dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.28 Kepentingan hukum yaitu mengurusi kepentingan dan hak manusia, hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi, Perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan membatasi berbagai kepentingan di pihak lain, hukum memiliki tujuan untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat.29 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan
dengan
pemerintah
yang
dianggap
mewakili
kepentingan
masyarakat. Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra berpendapat bahwa fungsi hukum adalah untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, tetapi juga prediktif dan antisipatif.30 Menurut Sunaryati
28
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.53. 29 Ibid, hal.69 30 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hal. 118.
30 Hartono menyatakan hukum diperlukan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.31 Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang mengikatkan diri, yang menentukan: “Semua Persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. “Kata semua menunjukkan adanya kebebasan bagi orang untuk membuat suatu perjanjian dengan siapa saja dan tentang apa saja asalkan tidak dilarang oleh hukum, artinya bahwa semua ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak mengikat dan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian maka pihak yang dirugikan dapat dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang tidak melaksanakan, sedangkan kalimat yang dibuat secara sah diartikan sebagai bahwa apa yang disepakati berlaku sebagai undangundang, jika tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, apabila kontrak bertentangan, perjanjian batal demi hukum. Ketentuan Pasal 1338 ayat (2) menentukan bahwa: “Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang”. Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) menentukan bahwa : “Persetujuan harus dilaksanakan dengan ektikad baik” yaitu keinginan subjek hukum untuk berbuat sesuatu, merupakan kesepakatan yang terdapat dalam perjanjian yang harus ditaati sebagai suatu peraturan bersama.
31
Sunaryati Hartono, CFG, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, hal 55.
31 Guna mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan dari masing-masing individu yaitu ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kegunaan hukum, keadilan hukum, serta kepastian hukum yang pada dasarnya ketiga nilai dasar harus dijalankan secara bersamaan. Fungsi primer hukum adalah untuk melindungi rakyat dari tindakan yang dapat merugikan hidupnya dari orang lain. Selain itu berfungsi untuk dapat mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat dan untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Keadilan, perlindungan dan kesejahteraan ditujukan kepada setiap orang, tidak terkecuali kaum wanita.32 Menjawab permasalahan ketiga mengenai eksekusi akta fidusia yang tidak didaftarkan pada perjanjian kredit di koperasi dapat digunakan sebagai landasan berpijak yaitu teori Perlindungan Hukum. Sesuai dengan prinsip memberikan kepastian hukum, maka Undang-Undang Jaminan Fidusia mengambil prinsip pendaftaran jaminan fidusia. Fungsi jaminan fidusia adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada pemberi, penerima fidusia dan kepada pihak ketiga. Jaminan Fidusia harus didaftarkan, seperti yang diatur dalam Pasal 11 UUJF. Dengan adanya pendaftaran tersebut maka terpenuhinya asas publisitas. Ketentuan tersebut dibuat bertujuan bahwa benda yang dijadikan obyek fidusia benar merupakan milik debitor (pemberi fidusia), apabila pihak lain yang hendak mengklaim benda tersebut, ia dapat mengetahuinya melalui pengumuman tersebut. 32
Supanto, Perlindungan Hukum Wanita, http//.supanto.staff.hukum.uns.co.id, diakses pada tanggal 07 Oktober 2012
32 Eksekusi adalah pelaksanaan pengambilan barang jaminan debitur untuk pelunasan hutangnya kepada kreditur atau keputusan pengadilan atau akta maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditor melalui hasil penjualan benda-benda tertentu milik debitor. Sedangkan perjanjian fidusia adalah perjanjian jaminan yang merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian utang piutang. Guna menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan dibuatkan dalam bahasa indonesia serta didaftarkan pada kantor Pendaftaran Fidusia (Kementrian Hukum dan HAM), selanjutnya kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung jika debitor wanprestasi (parate eksekusi), sesuai amanat UUJF. Perjanjian yang dibuat di bawah tangan tidak memiliki nilai pembuktian sempurna. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang berwenang serta memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Perjanjian yang dibuat di bawah tangan, jika hendak dijadikan alat bukti harus diotentikan ulang oleh para pihak, misalnya di pengadilan. Jaminan fidusia memiliki sifat kebendaan dan berlaku asas droit de suite, dan perkecualian terhadap pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia hal ini ditegaskan dalam Pasal 20 UUJF menyatakan bahwa: “Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek Jaminan fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda tersebut, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia”.
33 Ketentuan Pasal 27 UUJF mengenai hak atas piutang yang didahulukan yaitu : 1. Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya. 2. Hak didahulukan sebagaimana, dimaksud dalam ayat (1) adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. 3. Hak yang didahulukan dan Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia. Secara keseluruhan, hal yang dapat menunjukkan adanya perlindungan hukum terhadap kreditur (Penerima Fidusia) menurut UUJF antara lain sebagai berikut: a. untuk menjamin kepentingan pihak yang menerima fidusia, maka diadakannya lembaga pendaftaran jaminan fidusia; b. Pasal 17 UUJF yang mengatur adanya larangan pemberi fidusia untuk memfidusiakan ulang obyek jaminan fidusia; c. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa Pemberi Fidusia tidak diperbolehkan untuk mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan; d. Kreditur yang hendak melaksanakan eksekusi atas objek jaminan fidusia maka Pemberi fidusia berkewajiban menyerahkan benda jaminan. e. Pengaturan dalam UUJF mengenai ketentuan pidana.
34 B.Kerangka Berpikir
Bagan Kerangka Berpikir : Latar Belakang
Rumusan Masalah
Landasan Teoritis
1.Jaminan fidusia wajib didaftarka n (Pasal 11 UUJF) 2.Pada kenyataan ya banyak jaminan fidusia yang tidak didaftarka n
1 . Mengapa
Teori Efektifitas Hukum
perjanjian kredit dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan oleh koperasi
2. kekuatan mengikat dari perjanjian kredit pada koperasi dengan menggunakan akta fidusia yang tidak ddidaftarkan
Teori Perjanjian
Teori Perjanjian 3. Bagaimana eksekusi terhadap benda jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dalam perjanjian kredit di koperasi
Teori Perlindungan Hukum
SIMPULAN 1. Tidak dididaftarkannya jaminan fidusia disebakan oleh 2 faktor yaitu faktor internal dan eksternal dari koperasi 2. Jaminan fidusia yang tidak didaftarkan hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian dan kekuatan eksekutorial dari jaminan fidusia yang tidak didaftarkan berlaku jika debitur hanya memiliki satu kreditur, sedangkan jika memiliki lebih dari satu kreditur kekuatan eksekutorial dimiliki oleh kreditur yang mendaftarkan jaminan fidusia tersebut.. 3. Debitur yang memiliki satu kreditur pelaksanaan eksekusi dapat dilakukan dengan musyawarah, sedangkan debitur yang memiliki lebih dari satu kreditur dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka pelaksanaan eksekusi dengan menempuh upaya pengadilan
Metode Penelitian
1.Jenis Penelitian :Yuridis empiris 2.Sifat Penelitian :Deskriptif Analitis 3.Data dan Sumber Data: a.Data Primer (Data Lapangan) b.Data Sekunder(Data Kepustakaan) 4.Lokasi Penelitian, Pengambilan Sampel dan Penetapan Informan a.Lokasi Penelitian :Kota Denpasar. b.Pengambilan Sampel:Teknik Purposive Sampling. c.Penetapan Informan: Teknik Snowball Sampling 5.Teknik Pengumpulan Data a.Data Lapangan : Teknik Wawancara b.Data Kepustakaan : Studi dokumen 6.Teknik Pengolahan dan Analisi Data Setelah semua data terkumpul baik data dari, data kepustakaan maupun lapangan, kemudian diklsifikasikan secara kualitatif sesuai dengan masalah. Data tersebut dianalisa sedemikian rupa dikaitkan dengan teori-teori yang relevan antara lain: Teori Efektivitas Hukum, Teori Perlindungan Hukum, Teori Hukum dan Teori Perjanjian. Kemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Akhirnya data tersebut disajikan secara deskriptif analitis
35 Adapun dari bagan kerangka berpikir tersebut diatas dapat dideskripsikan sebagai berikut: Kredit yang disalurkan Koperasi mengandung resiko, maka harus menggunakan prinsip kehati hatian, karena adanya resiko tersebut, koperasi selalu meminta jaminan untuk memberikan kepastian pelunasan piutang debitur. Timbulnya pengikatan jaminan didasarkan atas adanya perjanjian kredit, perjanjian pengikatan jaminan merupakan perjanjian accesoir atau perjanjian ikutan. Pengikatan jaminan benda bergerak melalui lembaga jaminan fidusia. Untuk pengikatan jaminan fidusia harus dibuat dengan akta notaris dan kemudian wajib di daftarkan pada kantor pendaftaran jaminan Fidusia sesuai dengan Pasal 11 UUJF. Pemberian kredit dikoperasi seringkali tidak mendaftarkan jaminan fidusia pada kantor Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, apa yang terjadi didalam faktanya dan apa yang diharapkan oleh undang-undang jaminan fidusia tidak tercapai. Maka untuk menjawab permasalahan yang pertama tentang faktorfaktor yang menyebabkan akta jaminan fidusia tidak didaftarkan maka digunakan Teori Efektifitas Hukum. Menurut teori efektivitas hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, diberlakukannya hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor yaitu Pertama; faktor hukumnya sendiri. Kedua: faktor penegak hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yaitu tempat hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor kebudayaan, yaitu hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pergaulan hidup manusia.33 33
Soerjono Soekanto, Opcit, hal.8
36 Kekuatan mengikat perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dapat digunakan Teori Perjanjian. Perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh pihak kreditur merupakan bentuk dari perjanjian baku, yang melahirkan hukum bagi keduanya. Pihak kreditur dan debitur terikat untuk melaksanakan isi dari perjanjian yang disepakati. Setiap orang yang menanda tangani perjanjian wajib bertanggung jawab pada disepakati sesuai dengan amanat Undang-Undang Jaminan Fidusia. Permasalahan yang ketiga mengenai eksekusi benda jaminan akta jaminan fidusia yang tidak didaftarkan sangat relevan digunakan Teori Perjanjian dan Teori Perlindungan Hukum. Dasar hukum mengikatnya suatu perjanjian, adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan pihak lainnya. Perikatan yaitu suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antar dua orang atu lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu Prestasi dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu (Pemenuhan prestasi). Dalam Pasal 7 UUJF, jaminan fidusia dapat digunakan untuk menjamin pelunasan hutang yang telah ada maupun hutang yang akan ada dikemudian hari yang sudah diperjanjikan.Agar mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, pembebanan benda dengan akta jaminan fidusia harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak mendapat perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia, apabila benda jaminan dibebankan fidusia dengan akta di bawah tangan, maka kreditor penerima fidusia merupakan kreditor biasa, apabila terjadi wanprestasi
37 1.6. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara dari permasalahan yang diajukan. Berdasarkan landasan teori tersebut di atas, maka dapat diajukan hipotesis sebagai berikut : 1. Jika koperasi tidak mendaftarkan jaminan fidusia dalam perjanjian kredit dikarenakan faktor faktor yaitu memerlukan biaya yang memberatkan debitur yang rata-rata berasal dari golongan kecil dan menengah, pihak koperasi tidak mendaftarkan jaminan fidusia tersebut. 2. Jika perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka kekuatan mengikatnya hanya mengikat para pihak yang ada dalam perjanjian tersebut, kesepakatan tersebut menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana undang-undang (pacta sunt servanda). Hal yang dinyatakan seseorang dalam perjanjian menjadi hukum bagi mereka yang membuatnya. 3. Apabila terjadi wanprestasi oleh pihak debitur maka penyelesaian eksekusi terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dengan upaya mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri hingga turunnya putusan pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi dan dengan upaya perdamaian.
1.7. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Penelitian hukum yuridis empiris adalah penelitian hukum tentang pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi undang-
38 undang atau kontrak) secara in actio pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.34 Jenis penelitian dalam penelitian ini termasuk penelitian hukum yuridis empiris, karena mendekati masalah dari kenyataan yang ada dalam masyarakat kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia mewajibkan adanya pendaftaran jaminan fidusia pada kantor pendaftaran jaminan fidusia sesuai amanat Pasal 11, sedangkan dalam kenyataannya banyak jaminan fidusia tidak didaftarkan oleh koperasi, dalam kenyataan yang terjadi di masyarakat menyimpang dari aturan yang ada. b. Sifat Penelitian Sifat penelitian dalam penulisan karya ilmiah ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis bertujuan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya,35 maka dapat diambil data obyektif karena ingin menggambarkan kenyataan yang terjadi pada Koperasi di Kota Denpasar. c. Data dan sumber data Data dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu data lapangan dan data kepustakaan. Data lapangan atau primer yaitu data yang didapat dari penelitian lapangan dari informan yang mengalami langsung perjanjian kredit
34
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.134 35 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI press, Jakarta, hal. 10.
39 dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dalam hal diperoleh dari Koperasi yang berada di wilayah kota denpasar. Sedangkan data kepustakaan atau data sekunder terdiri dari : 1) Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan, seperti Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia, Undang-Undang Nomor 17 tentang Perkoperasian. Bahan hukum primer yang merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat36. 2) Bahan hukum sekunder yang merupakan bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer,. Dalam penulisan karya ilmiah ini yang digunakan adalah bahan hukum sekunder yang bersumber dari literatur yang ada kaitannya dengan masalah. 3) Bahan Hukum Tersier merupakan data penunjang yakni bahan-bahan yang member petunjuk dan penjelasan terhadap data primer dan data sekunder, diantaranya kamus dan ensiklopedi.37 d. Lokasi Penelitian, Pengambilan Sampel dan Penetapan Responden dan Informan Adapun lokasi penelitian dalam penyusunan penelitian ini pada Koperasi di wilayah Kota Denpasar. Terpilihnya Kota Denpasar sebagai lokasi penelitian 36
Amirudin dan Zainal Asikin, 2006, Penghantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.30 37 Bambang Sunggono, 2003, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.114
40 karena Kota Denpasar merupakan salah satu kota di Bali yang berkembang dan memiliki tingkat kepadatan penduduk dan aktifitas ekonomi tinggi dan memiliki jumlah koperasi terbanyak diantara wilayah lainnya. Populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian, sedangkan sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti, yang dianggap mewakili populasinya. Oleh karena populasi biasanya sangat besar dan luas, maka kerapkali tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi itu tetapi cukup diambil sebagian saja untuk diteliti sebagai sampel yang memberikan gambaran tentang objek penelitian secara tepat dan benar.38 Populasi dalam penelitian ini adalah Koperasi di wilayah Kota Denpasar yang berjumlah 871 unit koperasi yang berdasarkan data perkembangan koperasi sampai periode tahun 2010 oleh Dinas Koperasi dan Usaha kecil dan menengah ,antara lain : No.
Wilayah
Jumlah
1.
Denpasar Utara
128 unit Koperasi
2.
Denpasar Barat
210 unit Koperasi
3.
Denpasar Selatan
230 unit Koperasi
4.
Denpasar Timur
303 unit Koperasi
Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Denpasar Dalam Penelitian ini
metode sampel yang digunakan adalah Purposive
Sampling yaitu teknik yang sengaja dipakai karena memilih karakter tertentu tidak 38
Rony Hatnijo Soemitro, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.10
41 dapat mengambil dalam jumlah besar. Dalam Penelitian ini ditetapkan 4 (empat) Koperasi di Wilayah Kota Denpasar sebagai sampel penelitian yang telah dipilih berdasarkan penelitian awal dan yang didasari dari konteks tingkat berkembang kemajuan dari koperasi tersebut. Maka Koperasi yang dipilih adalah Koperasi Tunas Sari di kecamatan Denpasar Barat, Koperasi Wisuda Guna Raharja di kecamatan Denpasar Timur,Koperasi Pemogan dikecamatan Denpasar Selatan dan Koperasi Bakti Rahayu pada kecamatan Denpasar Utara. Penentuan informan dilakukan dengan teknik penentuan informan dengan menggunakan metode snowball sampling yang dipilih berdasarkan penunjukan atau rekomendasi dari sampel sebelumnya. Sampel pertama yang diteliti ditentukan sendiri oleh peneliti yaitu dengan mencari informan kunci, kemudian informan berikutnya yang akan dijadikan sampel tergantung dari rekomendasi yang diberikan oleh informan kunci,39 yang diawali dengan menunjuk sejumlah informan yaitu informan yang mengetahui, memahami, dan berpengalaman sesuai dengan objek penelitian ini yakni Ketua Koperasi dan Bagian Kredit pada Koperasi di wilayah Kota Denpasar. Sedangkan responden diperoleh dari yang mengalami langsung perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan oleh koperasi dalam hal ini didapat dari informan kunci pada Koperasi di wilayah Kota Denpasar. Penetapan informan dan responden untuk penelitian ini adalah di Koperasi di wilayah kota Denpasar yaitu pada Koperasi Tunas Sari di kecamatan Denpasar 39
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Pedoman Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar, hal.62
42 Barat, Koperasi Wisuda Guna Raharja di kecamatan Denpasar Timur,Koperasi Pemogan dikecamatan Denpasar Selatan dan Koperasi Bakti Rahayu pada kecamatan Denpasar Utara. e. Teknik Pengumpulan Data Untuk pengumpulan data lapangan digunakan teknik wawancara dengan para informan
dan responden di Koperasi di wilayah kota Denpasar, Agar hasil
wawancara memiliki nilai validitas dan reabilitas dalam berwawancara menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide.40 Untuk mengumpulkan data kepustakaan digunakan teknik studi dokumen yaitu dengan penelusuran literatur dan mencatat bahan-bahan dari buku-buku literatur yang terkait dengan masalah. f.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah semua data terkumpul baik data dari, data kepustakaan maupun lapangan, kemudian diklasifikasikan secara kualitatif sesuai dengan masalah. Data tersebut dianalisa sedemikian rupa dikaitkan dengan teori-teori yang relevan antara lain: Teori Efektivitas Hukum, Teori Perlindungan Hukum dan Teori Perjanjian. Kemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan. Akhirnya data tersebut disajikan secara deskriptif analitis. g. Teknik Penulisan atau Penyajian data Dari Hasil pengolahan dan analisis data disusun suatu tulisan dalam bentuk tesis secara deskriptif analitis dalam bentuk narasi atau uraian kata-kata secara kualitatif. 40
ibid, hal.57
43 BAB II TINJAUAN UMUM
2.1.Tinjauan Umum Perjanjian Kredit 2.1.1. Pengertian Perjanjian Kredit Perjanjian
adalah
suatu
hubungan
atas
dasar
hukum
kekayaan
(vermogenscrechtlijke bettrecking) antara dua pihak, dimana pihak yang satu berkewajiban memberikan suatu prestasi atas nama pihak yang lain mempunyai hak terhadap prestasi itu.41 Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi bahwa perjanjian itu merupakan suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.42 Bachsan Mustafa, Bewa Ragawino dan Yaya Priatna memberikan pengertian bahwa perjanjian itu adalah hubungan hukum kekayaan antara beberapa pihak, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak menuntut atas suatu jasa (prestasi) sedangkan pihak lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (schuld) dan bertanggung jawab atas prestasi itu.43 Perjanjian menurut Abdulkadir Muhammad adalah hal yang mengikat antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat tersebut yaitu 41
H. Mashudi dan Moch. Chidir Ali, Pengertian-Pengertian elementer Hukum Perjanjian Perdata, Cet. II, CV. Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.35. 42 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Cet VIII, Sumur, Bandung, 1985, hal. 11. 43 Bacshan Mustafa, Bewa Ragawino, Yaya Priatna, Azas-Azas Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Edisi Pertama, Armico, Bandung, 1982, hal. 53.
44 peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan misalnya jual beli, berupa kejadian misalnya kelahiran, dan dapat juga berupa suatu keadaan misalnya pekarangan yang berdampingan, hal mana semua peristiwa hukum tersebut akan menciptakan suatu hubungan hukum.44 Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan tersebut di atas, maka dapat disebutkan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang satu berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal dan pihak yang lain berhak menuntut hal (prestasi) tersebut. Pasal 1 Angka 7 Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1995, menentukan: “Pinjaman adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar koperasi dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelaha jangka waktu tertentu disertai pembayaran sejumlah imbalan”. Perjanjian pinjam-meminjam uang menurut KUHPerdata pasal 1754 yang berbunyi : Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Kegiatan usaha pinjaman yang dilakukan oleh koperasi sangat erat kaitannya dengan kegiatan usaha kredit. Dalam pengertian yang luas kredit
44
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cet III, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000 (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I), hal. 198.
45 sebagai suatu kepercayaan. Dalam bahasa Latin kredit berarti credere artinya percaya. Maksud dari kepercayaan dari si pemberi kredit (koperasi) yaitu bahwa si penerima kredit yang menerima kredit yang disalurkannya pasti akan mengembalikan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan bagi debitur merupakan penerimaan kepercayaan maka mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai dengan jangka waktu. Pengertian kredit menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 Pasal 1 ayat (1) adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Menurut O.P Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi (uang/barang) dengan kontra prestasi akan terjadi pada waktu mendatang. Prestasi yang dimaksud adalah uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit berfungsi sebagai koperatif antara pemberi kredit dan penerima kredit. Kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan, resiko dan pertukaran ekonomi dimasa mendatang.45 Sedangkan menurut Savelberg arti kredit adalah sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis) dimana seorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain dan sebagai jaminan dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan.46
45
O.P Simorangkir, 1986, Seluk Beluk Bank Komersial, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, hal 91. 46 Edy Putra Tje’Aman, 1986, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, hal.1
46 Berdasarkan pengertian kredit di atas, kredit adalah pemberian pinjaman dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh kreditur. Debitur melunasi pinjamannya kepada kreditur, dengan cara mengembalikan uang pinjaman berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pihak-pihak dalam perjanjian pinjam meminjam, yaitu: a. Pihak yang memberi pinjaman uang yang disebut pemberi kredit (kreditur) b. Pihak yang menerima uang yang disebut penerima kredit (debitur). Seperti yang dijelaskan diatas bahwa pemberian kredit merupakan suatu kepercayaan. Tanpa adanya keyakinan suatu lembaga kredit tidak akan ada pemberian kredit. debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterima sesuai dengan jangka waktu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian kredit pada umumnya dituangkan dalam bentuk dua jenis antara lain : 1. Perjanjian kredit dibawah tangan Perjanjian di bawah tangan adalah perjanjian yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta dengan kata lain perjanjian di bawah tangan adalah perjanjian yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum pembuat akta.47 Mengenai akta di bawah tangan diatur dalam Rbg antara lain dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 dan dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1874 sampai dengan Pasal 1880, dan dalam Stbl. 1867 No. 29. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika 47
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 2004, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta hal. 36.
47 terdapat cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam Pasal 1869 KUH Perdata yang menyebutkan “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya dalam pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.” Ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata mengatur mengenai perjanjian dibawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan pejabat yang berwenang untuk dijadikan alat bukti, dibuat sematamata dibuat para pihak yang berkepentingan. 2. Perjanjian kredit dengan Akta notariil Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd Handwoorddenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” memiliki arti geschrift48 yaitu surat sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya Kamus Hukum, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti perbuatan-perbuatan.49 akta autentik diatur dalam Pasal 165 HIR, yang bersamaan bunyinya dengan Pasal 285 Rbg, yang berbunyi: “Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai 48
S. J. Fockema Andreae, 1951, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek, diterjemahkan oleh Walter Siregar, Bij J. B. Wolter uitgeversmaat schappij, N. V. Gronogen, Jakarta, hal. 9. 49 R. Subekti, dan R. Tjitrosoedibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 9.
48 pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu.50 Pengertian Pasal 165 HIR jo Pasal 285 Rbg memiliki pengertian dan kekuatan pembuktian akta autentik sekaligus. Pasal 1868 KUH Perdata mengatur tentang pengertian akta otentik, yang berbunyi: “suatu akta autentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta itu dibuat. Pengertian dalam Pasal 1868 KUHPerdata akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuat”. Kekuatan pembuktian dari akta itu dapat dibedakan menjadi tiga, antara lain : 1. Kekuatan pembuktian lahir (Uitendige Bewijskracth) Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah suatu surat yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, hingga dibuktikan sebaliknya. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahir, sesuai dengan asas “acta publica probant seseipsa”, yaitu satu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta tersebut harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
50
G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Jakarta, hal. 42.
Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga,
49 Berbeda dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, tanda tangan pejabat itu merupakan jaminan otentisitas dari akta itu, oleh karena itu memiliki kekuatan pembuktian lahir, sedangkan perjanjian di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. Perjanjian di bawah tangan baru berlaku sah, apabila yang menandantanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya tersebut, apabila tanda tangan telah diakui kebenarannya oleh yang para pihak, barulah perjanjian tersebut berlaku sebagai alat bukti sempurna bagi para pihak yang bersangkutan sesuai ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata. 2. Kekuatan pembuktian formil (Formil Bewijskracth) Kekuatan pembuktian formal didasarkan pada pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta itu sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya.51 Pada ambtelijke akten, pejabat yang berwenang membuat akta yang menerangkan apa yang dikonstatir dan dituliskan dalam suatu akta, oleh pejabat tersebut merupakan suatu kepastian bagi siapapun seperti mengenai tanggal pembuatan, tempat pembuatan akta dan keterangan dalam akta itu. Sedangkan partij akten menyatakan apapun yang tertulis diatas tanda tangan para pihak bagi siapapun telah pasti sesuai dengan yang tertulis di atas tanda tangan para pihak tersebut.52 Kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak itu pada hakikatnya hanya pasti antara mereka sendiri. Akta di bawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian formal, jika tanda tangan di bawah akta itu diakui atau tidak disangkal kebenarannya. Dengan diakuinya keaslian tanda tangan pada akta di bawah tangan, maka kekuatan 51 52
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.cit, hal. 111. Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Opcit hal 112
50 pembuktian formal dari akta di bawah tangan itu sama dengan kekuatan pembuktian formal dari akta otentik. 3. Kekuatan pembuktian materil (Materiele Bewijskracth). Kekuatan pembuktian materil mengenai pemberian kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak melakukan seperti apa yang diterangkan dalam akta, pembuktian materiil lebih menyangkut kepada pembuktian materi suatu akta.53 Akta pejabat hanya membuktikan apa yang disaksikan, yakni yang didengar, dilihat dan juga dilakukan sendiri oleh pejabat itu dalam menjalankan jabatannya. Menurut undang-undang, Akta yang dibuat oleh para pihak sebagai bukti yang sempurna bagi para pihak yang membuatnya dan pihak ketiga yang mendapat hak darinya. Akta di bawah tangan, jika tanda tangan di dalam akta itu tidak dimungkiri keasliannya sesuai dengan partij akten, yaitu akta tersebut sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian materil bagi para pihak yang menandatanganinya, ahli warisnya serta pihak ketiga sesuai dengan yang ditentukan dalam Pasal 1875 KUH Perdata (Pasal 288 Rbg). Perjanjian akad kredit yang dilakukan oleh koperasi adalah perjanjian baku karena ditentukan oleh pihak koperasi sendiri.Sedangkan yang dimaksud Kontrak baku adalah kontrak yang dibuat oleh salah satu pihak saja dan dalam bentuk formulir yang berisikan klausula-klausula yang telah ditentukan oleh salah satu pihak, pada umumnya para pihak hanya mengisi data-data informatif saja.Pihak yang diberikan kontrak baku hanya dalam posisi take it or leave it tidak ada
53
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Opcit hal 119
51 kesempatan untuk bernegosiasi. Ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman ialah:54 1. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu 2. Bentuk tertentu (tertulis) 3. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian 4. Dipersiapkan secara massal dan kolektif. 5. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat. Pada asas Kebebasan berkontrak, para pihak dapat mengatur isi perjanjian selama tidak dilarang oleh undang-undang, kepatutan dan yurisprudensi, dalam kontrak tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Memenuhi syarat sebagai kontrak Suatu kontrak untuk mengikat kedua belah pihak, syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain :55 a. Syarat sah umum terdiri dari: 1. Pasal 1320 KUHPerdata mengenai Syarat sah umum ; 2. Syarat sah umum diluar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata
b. Syarat sah yang khusus terdiri dari : 54
H. Salim, 2004, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, Raja Grafindo Persada, hal 22 55 Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Buku Kedua), Citra Aditya Bakti, Bandung,hal 33-34
52 1. Untuk kontrak tertentu diperlukan Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) ; 2. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu; 3. Syarat izin dari yang berwenang. 4. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu; 2. Tidak dilarang oleh Undang-undang yaitu Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 3. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku Ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan. 4. Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan itikad baik. Unsur itikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak tetapi disyaratkan dalam pelaksanaan suatu kontrak, dengan adanya unsur itikad baik dalam suatu kontrak sudah dapat dikatakan bahwa unsur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang klausa yang legal telah terpenuhi. Dapat dikatakan bahwa suatu kontrak telah dibuat secara sah yaitu memenuhi syarat sahnya kontrak sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Jika kontrak dalam pembuatannya telah dibuat dengan iktikad baik oleh para pihak tetapi dalam pelaksanaan isi kontrak tersebut malah merugikan pihak yang berkepentingan maka dapat dikatakan bahwa kontrak tersebut telah dilaksanakan secara bertentangan dengan itikad baik.
53 Seperti halnya perjanjian pinjaman yang bersifat konsensuil, karena perjanjian itu lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yaitu pihak peminjam (koperasi) dan pihak anggota koperasi. Dengan adanya kata sepakat tersebut maka perjanjian pinjaman mengikat kedua belah pihak, yaitu para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian pinjaman tanpa persetujuan pihak lainnya. Apabila perjanjian pinjaman dibatalkan atau diputuskan secara sepihak maka pihak yang lain dapat menuntut. Setelah uang yang menjadi objek yang diperjanjikan tersebut telah diserahkan peminjaman dengan nyata kepada pihak anggota koperasi. Pihak anggota koperasi harus atau mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tepat waktu kepada pihak peminjaman sesuai dengan kesepakatan yang ada dalam perjanjian. Selain bersifat konsensual perjanjian pinjaman juga bersifat riil sebab harus diadakan penyerahan atau dengan kata lain perjanjian tersebut baru dikatakan mengikat apabila telah dilakukan kesepakatan kehendak dan telah dilakukan penyerahan sekaligus antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan, “Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata berarti ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi”. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Selanjutnya menurut Mariam Darus Badrulzaman, “Asas
54 kebebasan berkontrak berhubungan kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata agar memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. 2.1.2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Kredit Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan syarat - syarat, yaitu : a. Kesepakatan mereka yang mengikatan diri (agreement atau consensus). Maksudnya adalah terjadinya persesuaian kehendak. Timbulnya kehendak atau keinginan itu tidak didasarkan atas paksaan, kekhilafan, atau penipuan dari salah satu pihak. b. Kecakapan (Capacity). Setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian apabila ia oleh UndangUndang tidak dinyatakan tidak cakap, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata. Orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian sesuai dengan amanat Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah Pengampuan 3. Orang perempuan yang sudah kawin. Mengenai orang perempuan yang sudah kawin sebagaimana surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 telah dicabut dan sesuai dengan pasal 31 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, perempuan yang sudah kawin
55 berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Jadi yang tidak cakap menurut Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sekarang hanyalah : 1. Orang yang belum dewasa dan ; 2. Yang ditaruh dibawah pengampuan Orang belum dewasa dan yang ditaruh dibawah pengampuan apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka. Menurut Pasal 1330 juncto Pasal 330 KUH Perdata bahwa usia dewasa adalah 21 tahun. Sebaliknya terdapat juga pandangan bahwa usia dewasa adalah usia 18 tahun hal ini berdasarkan rumusan pasal 47 juncto Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa : 1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaanya. 2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Menyebutkan bahwa : 1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orangtua, berada dibawah kekuasaan wali. 2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. c. Hal yang tertentu (certainty of term ) Hal yang menjadi objek perjanjian harus jelas atau paling tidak dapat ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada
56 waktu dibuat perjanjian dengan ketentuan bahwa nanti dapat dihitung atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333 KUHPerdata). Kejelasan mengenai pokok perjanjian atau objek perjanjian ialah untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak. d. Sebab yang halal ( legality ) Dalam membuat suatu perjanjian, isi daripada perjanjian tersebut yang menggambarkan suatu tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak itu, harus dibenarkan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan.56 Keempat syarat tersebut diatas merupakan syarat pokok bagi setiap perjanjian. Setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini apabila ingin menjadi perjanjian yang sah. Selain itu terdapat juga syarat tambahan bagi perjanjian tertentu saja, misalnya perjanjian perdamaian yang diharuskan dibuat secara tertulis.57 Keempat syarat tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan kedalam : a. Unsur subjektif, menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian. b. Unsur objektif, menyangkut objek daripada perjanjian. Unsur subjektif mencakup adanya kesepakatan dari para pihak dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur objektif meliputi keberadaan dari objek yang diperjanjikan dan causa dari objek 56
Zul Afdi Ardian dan An An Chandrawulan,1998, Hukum Perdata dan Dagang, CV. Armico, Bandung, hal. 42. 57 Hardijan Rusli, 1993, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, (Selanjutnya disebut Hardijan Rusli I), hal. 132.
57 berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang oleh undang-undang.58 Perbedaan unsur-unsur atas syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut digunakan untuk mengetahui apakah perjanjian itu batal demi hukum (voib ab initio) atau merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya (voidable).59 Dalam hal unsur subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalanya (voidable). Perjanjian itu sah atau mengikat selama tidak dibatalakan (oleh hakim) oleh karena adanya permintaan pembatalan oleh para pihak yang berkepentingan. Dalam hal syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Perjanjian yang batal demi hukum merupakan perjanjian yang dari awal sudah batal, hal ini berarti tidak pernah ada perjanjian tersebut. Sedangkan perjanjian yang dimintakan pembatalannya (voidable) yaitu perjanjian yang dari awal berlaku tetapi perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya dan apabila tidak dimintakan pembatalnnya maka perjanjian itu tetap berlaku. Dari syarat sahnya perjanjian kredit yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan unsur-unsur dari perjanjian kredit yakni unsur essensialia, unsur naturalia dan unsur accidentalia. Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang harus terdapat dalam perjanjian, tanpa adanya unsur ini maka suatu perjanjian tidak mungkin lahir atau ada. Seperti kecakapan para pihak yang
58
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Cetakan I, P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta, ( selanjutnya disingkat Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II), hal. 91. 59 Hardijan Rusli I, Loc. Cit.
58 mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Unsur naturalia adalah unsur didalam perjanjian yang oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak dapat digantikan. Misalnya pembuatan perjanjian kredit dengan akta notariil tetapi menggunakan akta dibawah tangan. Sedangkan unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, hal ini tidak diatur oleh UndangUndang tetapi para pihak dapat menambahkan dalam perjanjiannya contohnya dalam
penyelesaian
permasalahan
akibat
perjanjian
untuk
diselesaikan
dipengadilan negeri tertentu.60 Menurut Gatot Supramono, kredit perbankan dapat dilihat dari beberapa segi antara lain :61 1. Segi Jangka Waktu, terdapat tiga jenis kredit yaitu : a) Kredit jangka pendek (short term loan) Adalah kredit yang berjangka lama satu tahun, bentuknya dapat berupa rekening koran atau kredit modal kerja. b) Kredit jangka menengah (medium term loan) Adalah kredit yang diberikan bank untuk jangka waktu antara satu tahun hingga tiga tahun. Bentuk dapat berupa kredit investasi jangka menengah. c) Kredit jangka panjang (long term loan) Kredit jangka panjang adalah kredit yang mempunyai jangka waktu melebihi dari jangka menengah, biasanya berupa kredit investasi untuk menambah modal perusahaan. 60
J.Satrio, 2000, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 57. 61 Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta,hal 154
59 2. Berdasarkan Penggunaanya, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu : a) Kredit Modal Kerja Adalah kredit jangka pendek yang diberikan untuk membiayai kebutuhan modal kerja dari suatu perusahan, yang disediakan dalam bentuk kredit rekening Koran. b) Kredit investasi Adalah kredit jangka menengah dan panjang dalam rangka membiayai pengadaan aktiva tetap suatu perusahaan untuk kepentingan penanaman modal yang bersifat ekspansi modernisasi dan rehabilitasi perusahaan. c) Kredit Konsumsi Adalah kredit yang pengembaliannya tidak berdasarkan pada barang yang dibeli melainkan penghasilan debitur.62 3. Berdasarkan sector perekonomian, dapat digolongkan menjadi enam antara lain : a) Kredit pertanian b) Kredit perindustrian c) Kredit pertambangan d) Kredit ekspor import e) Kredit koperasi f) Kredit profesi
62
Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal 5.
60 4. Berdasarkan Penarikan dan pelunasan dapat digolongkan menjadi dua antara lain : a) Kredit Rekening Koran yaitu kredit yang dapat ditarik dan dilunasi setiap saat, besarnya sesuai dengan kebutuhan, bunga dihitung dari penggunaan kredit dan tidak dapat melebihi dari plafon kredit. b) Kredit berjangka yaitu kredit yang sekaligus sebesar plafondnya, pelunasanya dapat dilakukan setelah jangka waktu berakhir dengan cara mengangsur atau mecicil sesuai yang telah disepakati. 5. Segi keberadaan jaminan a) Secured loan, kredit yang dijamin dengan jaminan yang diikat secara preferen b) Unsecured loan, kredit yang tidak dijamin dengan jaminan yang diikat secara preferen. 6. Segi bentuk kredit a) Cash Loan, bentuk kredit dengan berupa uang tunai b) Non cash loan, bentuk kredit tidak berupa dengan uang tunai tetapi jaminan c) Kombinasi, bentuk kredit berupa cash loan maupun non cash loan. 7. Mekanisme penandatanganan perjanjian kredit, dibagi menjadi empat antara lain : a) Bilateral, pemberian kredit yang dilakukan dengan perjanjian kredit antara satu kreditor dengan satu debitur
61 b) Sindikasi, pemberian kredit yang dilandasi perjanjian kredit antara lebih dari satu kreditur dengan satu debitur. c) Club deal, perjanjian kredit antara satu atau lebih kreditur dengan satu debitur, dimana masing-masing kreditur dan debitur menandatangani satu perjanjian kredit. d) Cessie, pemberian kredit yang didasari pengambilalihan salah satu piutang oleh debitur baru. 8. Golongan Ekonomi, dapat dibedakan menjadi dua antara lain : a) Kredit golongan ekonomi lemah (Kredit Usaha Kecil) b) Kredit golongan ekonomi menengah dan konglomerat(kredit yang diberikan untuk usaha besar dan menengah. 9. Dari segi penerimaanya dapat dibedakan menjadi dua antara lain : a) Perorangan b) Korporat Kredit merupakan salah satu jenis fasilitas yang diberikan koperasi simpan pinjam kepada anggotanya untuk mengembangkan atau meningkatkan taraf hidup anggota koperasi menjadi lebih baik. Menurut Arifin Sitio Jenis-jenis kredit pada koperasi simpan pinjam antara lain :63 1. Kredit (Pinjaman) di Bawah Simpanan Suatu fasilitas pinjaman atau kredit yang diberikan oleh koperasi simpan pinjam dimana jumlah kredit yang diberikan adalah sebesar 90% nya dari simpanan wajib calon nasabah tersebut. Penggunaan kredit (Pinjaman) di 63
Arifin Sitio, 2001, Koperasi Teori dan Praktik, Jakarta, hal.119.
62 bawah simpanan biasanya digunakan untuk biaya sekolah, biaya hidup, pembelian rumah, renovasi, biaya pengobatan dan lain-lain. 2. Kredit (Pinjaman di Atas Simpanan). Fasilitas pinjaman atau kredit koperasi simpan pinjam, jumlah kredit yang diberikan sebesar lima kali dari jumlah simpanan wajib calon nasabah tersebut dengan harus menggunakan jaminan. Penggunaan kredit digunakan untuk permodalan, pembelian, dan hal lain yang pengendaliannya cukup besar. Koperasi dalam menjalankan usahanya memberikan Anggota koperasi yang kekurangan modal pinjaman dari koperasi. Koperasi pada umumnya memberikan kredit lunak kepada anggotanya. Kredit lunak artinya pinjaman dengan bunga yang ringan. Uang pinjaman tersebut dapat dipergunakan oleh anggota koperasi untuk mendukung usahanya. Koperasi dalam menjalankan usahanya berbeda dengan badan usaha lainnya. Tidak seperti badan usaha lain, koperasi memiliki karakteristik antara lain: 1. Dalam koperasi yang lebih utama adalah anggota. Oleh sebab itu, setiap anggota dianggap penting dalam koperasi Koperasi merupakan kumpulan orang-orang, dan bukan kumpulan modal. Ini berbeda dengan badan usaha yang lainnya. Bentuk usaha lainnya yang lebih dipentingkan adalah modal. 2. Tidak ada anggota koperasi yang lebih tinggi. Sebaliknya, tidak ada anggota koperasi yang lebih rendah. Kedudukan anggota dalam koperasi sederajat atau setara (sama tinggi). Dengan kesetaraan keanggotaan setiap anggota koperasi mendapatkan perlakuan yang sama. Mereka bekerja
63 bersama-sama dan melakukan tugas masing-masing dengan hak yang sama. 3.
Kegiatan
koperasi
Indonesia
dilaksanakan
atas
kesadaran
para
anggotanya, bukan karena paksaan. Kesadaran akan timbul dengan sendirinya setalah merasakan keuntungan dari koperasi. 4. Tujuan Koperasi Indonesia adalah untuk meningkatkan kemakmuran para anggotanya tujuan koperasi Indonesia merupakan kepentingan bersama anggotanya. Koperasi dalam menyalurkan dananya kepada masyarakat memiliki tujuan yang berbeda dengan lembaga perbankan lainnya, dimana koperasi lebih mengutamakan kesejahteraan anggotanya dan lebih mengedepankan pada penyelesaian secara musyawarah mufakat. 2.1.3. Azas-Azas Perjanjian Kredit Dalam hukum perjanjian, dikenal adanya beberapa azas penting yang merupakan dasar kehendak masing-masing pihak di dalam mencapai tujuannya. Azas-Azas tersebut antara lain : a. Azas Kebebasan berkontrak (freedom of contract/ laissez faire) Setiap orang bebas membuat perjanjian apa saja baik yang sudah diatur atau belum oleh undang-undang, tetapi kebebasan itu dibatasi oleh tiga hal yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
64 Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Ketentuan Undang-Undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak mengkhendaki cara-cara tersendiri, tetapi apabila tidak ditentukan lain maka ketentuan Undang-Undang yang berlaku. b. Azas Konsensualitas Suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat diperoleh kata sepakat antara para pihak mengenai perjanjian. Sejak saat itu, perjanjian dianggap telah mengikat dan mempunyai akibat hukum. Azas konsensualisme suatu perjanjian walaupun dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat, dan telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan (consensus), maka perjanjian yang mengikat dan berlaku diantara para pihak tidak lagi membutuhkan formalitas. Untuk menjaga kepentingan pihak debitur dibuat dalam bentuk-bentuk formal atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu. c. Azas Personalia Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai azas Personalia yang menyatakan “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang
65 dalam kapasitasya sebagai individu (subjek hukum pribadi), hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.64 Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menunjuk pada azas personalia, namun lebih jauh dari itu, ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga menunjuk kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat dan atau mengadakan suatu perjanjian. Dengan kapasitas kewenangan tersebut setiap tindakan, perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan sebagai subjek hukum pribadi yang mandiri, akan mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan perikatan, mengikat seluruh harta kekayaan yang dimliki olehnya secara pribadi. d. Azas Obligator Perjanjian yang dibuat para pihak baru dalam tahap menimbulkan hak dan kewajiban saja dan belum memindahkan hak milik. Hak milik akan berpindah apabila dilakukan dengan perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu melalui upaya levering.65 2.1.4. Pihak-Pihak dalam Perjanjian Kredit Pihak dalam perjanjian disebut sebagai subjek hukum. Subjek hukum tersebut ada dua, yaitu : a. Orang b. Badan Hukum (Legal entity).
64
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia, Rajawali, Jakarta, hal.15 65 Abdulkadir Muhammad I, Op. Cit, hal. 226
66 Perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri atau tidak mengikat pihak lain. Suatu perjanjian hanya meletakkan hakhak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan prestasi disebut debitur sedangkan pihak yang berhak atas pelaksanaan prestasi disebut kreditur. Sebagai pihak yang aktif, kreditur dapat melakukan tindakan-tindakan debitur yang pasif yang tidak mau memenuhi kewajibannya atau wanprestasi. Tindakan kreditur tersebut dapat berupa memberi peringatan-peringatan atau menuntut di muka pengadilan dan lain sebagainya.66 Dalam hal subjek hukum dalam perjanjian tersebut adalah badan hukum, maka akan sangat berkaitan erat dengan kekuasaan (power) dari kapasitas (capacity) badan hukum tersebut. Bila suatu badan hukum tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukan suatu perbuatan hukum, maka hal tersebut menunjukkan bahwa badan hukum itu tidak berkapasitas untuk melakukan perbuatan hukum. Kapasitas suatu perusahaan dibatasi dengan kekuasaan yang terbatas atau ditentukan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan dalam anggaran dasarnya yang dibuat secara bebas dan seluas-luasnya agar dapat mencakup semua perbuatan hukum. Apabila masalah kapasitas dan kekuasaan telah terpenuhi, maka sekarang tinggal masalah otoritas bertindak untuk dan atas nama perusahaan. Para ahli hukum di Indonesia dahulu menyatakan, apabila subjek hukumnya adalah badan
66
Purwahid Parik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Cet I, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal.2.
67 hukum (legal entity), biasanya menampilkan orang yang merupakan wakil dari badan hukumnya. 2.2.Tinjauan Umum Tentang Jaminan Fidusia 2.2.1.Pengertian dan Dasar Hukum Fidusia Undang-Undang Perbankan yang berlaku saat ini masih sangat menekankan pada arti pentingnya collateral sebagai salah satu sumber pemberian kredit dalam rangka pendistribusian dana nasabah yang terkumpul olehnya, serta untuk menggerakkan roda perekonomian. Salah satu bentuk collateral yang sangat dipertimbangkan adalah collateral dalam bentuk jaminan khusus diluar dari jaminan yang berlaku umum menurut ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata. Pranata jaminan yang ada dinegara kita dapat dibedakan kedalam : 1. Cara Terjadinya a. Yang lahir karena undang-undang; b. Yang lahir karena diperjanjikan; 2. Objeknya a. Yang berobjek benda bergerak; b. Yang berobjek benda tidak bergerak/benda tetap;atau; c. Yang berobjek benda berupa tanah; 3. Sifatnya a. Yang termasuk jaminan umum; b. Yang termasuk jaminan khusus; c. Yang bersifat kebendaan; d. Yang bersifat perseorangan;
68 4. Kewenangan menguasai benda jaminannya a. Yang menguasai benda jaminannya; b. Tanpa menguasai benda jaminannya; Jaminan tambahan diperlukan kreditor untuk menjamin utangnya dapat dilunasi oleh debitor. Jika disamping perikatan yang telah ada diantara kreditor dan debitor tidak ada suatu perjanjian tambahan apapun maka sesuai dengan Pasal 1139 dan 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kreditor yang bersangkutan bukanlah kreditor yang diistimewakan. Jika debitor lalai memenuhi kewajibannya dan harta kekayaannya tidak mencukupi untuk melunasi semua hutangnya terhadap beberapa kreditor, sesuai Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kreditor yang demikian hanya memiliki hak atau berkedudukan sebagai kreditur konkuren artinya semua kreditor mempunyai kedudukan yang sama masing-masing memperoleh pembayaran yang proposional dengan besarnya piutangnya masing-masing.67 Pelunasan yang dilakukan secara proposional dapat mengakibatkan kreditor tidak memperoleh kembali seluruh piutangnya. Kondisi ini akan merugikan kreditor, untuk memecahkan masalah tersebut, disamping adanya jaminan yang bersifat umum, kreditor dapat mengadakan perjanjian tambahan dengan debitor yang merupakan perjanjian jaminan khusus dengan menunjuk barang tertentu baik yang merupakan milik debitor maupun pihak ketiga sebagai jaminan pelunasan hutang. Dengan adanya perjanjian jaminan khusus kedudukan kreditor tersebut berubah menjadi kreditor preferent yaitu jika debitor lalai 67
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2007, Grafindo Persada, Jakarta, hal.91.
Jaminan Fidusia, PT Raja
69 memenuhi kewajibannya, maka kreditor berhak menjual barang-barang yang dijaminkan untuk melunasi hutang-hutanya tanpa perlu memperhatikan kreditor lainnya.68 Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie, sedangkan dalam istilah Inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Dalam pelbagai literatur tentang fidusia istilah fidusia digunakan istilah fiduciare eigendom overdracht tot zekerheid (FEO) yaitu penyerahan hak milik berdasarkan atas kepercayaan.69 FEO atas benda bergerak berlaku dengan asas konkordansi di Indonesia berdasarkan Yurisprudensi Arrest Hoggerechtshof (HGH) 18 Agustus 1932 dalam perkara Bataafsche Petroeum Maatschappij (BPM) – Pedro Clignett, fidusia di sini sebagai hak kebendaan yaitu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan berlaku terhadap setiap orang, terutama memberikan hak preferensi kepada seorang Debitor di atas Debitor-Debitor lainnya, hal ini disebabkan karena dalam Hukum Perdata sudah lama dianut suatu sistem bahwa hak kebendaan terbatas jumlahnya dan hanya dapat diciptakan oleh Undang-Undang, berlainan dengan suatu perikatan atau hak perseorangan yang hanya memberikan hak-hak terhadap suatu pihak tertentu saja dan, yang tidak dibatasi jumlahnya karena diserahkan kepada kebebasan para pihak. 70 Eksistensi perjanjian dengan jaminan fidusia, yang disusun dengan konsep fidusia yang lama (fiduciare eigendom overdracht) tetap sah dan mengikat pada 68
Ibid Salim H.S, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 55. 70 R. Subekti, 1982, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Alumni,Bandung, Hal 75-76. 69
70 kedua belah pihak yaitu antara kreditor dan Debitor, namun perjanjian itu tidak lagi memberikan hak mendahului pada sang kreditor untuk mengambil pelunasan terlebih dahulu dibanding kreditor lainnnya, menyebabkan kreditor hanya sebagai kreditor konkuren lainnya. Sesuai asas kebebasan berkontrak para pihak bebas mengikatkan diri selama syarat sahnya perjanjian terpenuhi. 71 Asas Kebebasan berkontrak dasar hukumnya adalah Pasal 1338 KUHPerdata yang tidak lain juga mengandung asas Pacta Sunt Servanda atau disebut juga asas kepastian hukum dimana hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, selayaknya sebuah undangundang.72Dasar eksistensi asas kebebasan kontrak atau kebebasan berkontrak harus juga memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata (syarat sahnya perjanjian) terutama Pasal 1320 angka 4 KUHPerdata Juncto Pasal 1337 KUHPerdata, yakni perjanjian tidak dilarang oleh UndangUndang, Kesusilaan dan Ketertiban Umum.73 Adapun sahnya tiap perjanjian FEO tidak perlu barang jaminan dipindahkan dari tangan Debitor ketangan kreditor dan akta FEO dapat dibuktikan dengan akta notariil atau akta dibawah tangan.74 Pengertian Jaminan Fidusia Menurut Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, adalah “hak
71
Jaminan dan Penagihan Hutang Fidusia, http://www. hukumonline.com, diakses pada tanggal 14 Oktober 2013 72 Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, hal 9-10. 73 Gunawan Widjaja, 2006, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam Hukum Perdata, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 275. 74 H.A. Chalik dan Marhainis Abdul Hay, 1981 Beberapa Segi Hukum Di Bidang Perkreditan, Badan Penerbitan Yayasan Pembinaan Keluarga UPN Veteran, Jakarta, hal 80.
71 jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya” dan Pasal 1 angka (4) UUJF dikemukakan yang dimaksud benda adalah “segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik”. Pengertian fidusia Menurut A. Hamzah dan Senjun Manulang, yaitu Suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (Debitur) berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara juridische levering dan hanya dimiliki oleh kreditor secara kepercayaan saja (sebagai jaminan utang Debitur), sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh Debitur, tetapi bukan lagi sebagai eigenaar (penguasa benda untuk diri sendiri yang diperoleh secara sah) maupun bezitter (penguasa benda untuk diri sendiri yang diperoleh secara cacat), melainkan hanya sebagai detentor (penguasa benda untuk orang lain) atau hauder dan atas nama kreditor eigenaar (definisi ini didasarkan konstruksi hukum adat, karena istilah
72 yang digunakan adalah pengoperan,pengoperan diartikan sebagai suatu proses atau cara mengalihkan hak milik kepada orang lain).75 Menurut Pendapat P.A. Stein, Fidusia merupakan alas hak untuk melakukan perpindahan hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 584 KUHPerdata namun demikian kemungkinan perpindahan hak tersebut sematamata hanya dimaksudkan sebagai pemberian jaminan, tanpa penyerahan nyata dari barangnya dan perpindahan hak demikian tidak memberikan semua akibatakibat hukum sebagaimana yang berlaku pada perpindahan hak milik yang normal.76 Menurut R. Subekti, perkataan fidusia berarti ”secara kepercayaan” ditujukan kepada kepercayaan yang diberikan secara timbal balik oleh salah satu pihak kepada pihak lain, terlihat ditampakkan sebagai pemindahan milik, sebenarnya ke dalam hanya merupakan suatu jaminan saja untuk suatu hutang. Dari pengertian mengenai jaminan fidusia, Undang-Undang Jaminan Fidusia sendiri tidak menyebutkan secara tegas asas-asas hukum jaminan fidusia, Menurut Tan Kamelo terdapat 13 asas hukum jaminan fidusia antara lain : 1. kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan dari kreditur lainnya (Asas Preferensi). 2. Asas jaminan fidusia mengikuti benda menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada. 3. Asas jaminan fidusia ialah perjanjian ikutan dari perjanjian pokoknya yang disebut perjanjian accesoir 4. Asas jaminan fidusia dapat dilekatkan utang yang baru akan ada(kontinjen) 5. Asas jaminan fidusia dapat dibebankan atas bangunan atau rumah yang terdapat diatas tanah milik orang lain (asas pemisahan horizontal). 6. Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia(asas publicitas) 75
Salim H.S, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal56 76 Ibid, hal 56,60.
73 7. Asas jaminan fidusia dibebankan terhadap benda yang akan ada. 8. Asas jaminan fidusia berisikan uraian detail terhadap subjek dan objek jaminan fidusia 9. Asas benda yang dijadikan jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh penerima jaminan fidusia, walaupun hal tersebut telah diperjanjikan sebelumnya. 10. Asas pemberi jaminan fidusia (debitur) memiliki kewenangan atas objek jaminan fidusia. Kewenangan hukum tersebut wajib ada saat jaminan fidusia didaftarkan. 11. Asas ektikad baik dari pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai benda jaminan. 12. Asas hak prioritas terhadap kreditur penerima fidusia yang mendaftarkan terlebih dahulu jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia. 13. Asas jaminan fidusia mudah dieksekusi dikarenakan sertifikat jaminan fidusia mencantumkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap.77 Salah satu jaminan khusus yang memberikan kedudukan yang diutamakan adalah jaminan fidusia.
Jaminan Fidusia sebelum berlakunya undang-undang
Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sering disebut sebagai jaminan penyerahan hak milik secara kepercayaan yang keberadaanya didasarkan pada yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerechtsh of (HGH). Pengaturan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia objek jaminan fidusia meliputi benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan-bangunan hak-hak atas tanah yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. Apabila mengkaji perkembangan yurisprudensi dan peraturan perundangundangan, yang menjadi dasar hukum berlakunya fidusia adalah sebagai berikut:
77
Tan Kamelo, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung hal 161-170.
74 1. Arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 Januari 1929 tentang Bierbrouwerij (negeri Belanda); 2. Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 tentang BPM-Clynet Arrest (Indonesia) dan; 3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan PP Nomor 36 tahun 2000 tentang Tata Cara Jaminan Pendaftaran Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia telah menghapus Pasal 11311132 KUHPerdata berdasarkan asas Lex Posteriore Derogat Lex Priori (peraturan yang berlaku kemudian membatalkan peraturan yang berlaku terlebih dahulu) dan asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis (peraturan yang bersifat khusus membatalkan peraturan yang bersifat umum) apabila jenis dan hal yang diatur adalah sama. 2.2.2. Subyek dan Obyek Jaminan Fidusia Ruang Lingkup berlakunya undang-undang jaminan fidusia menurut Pasal 2 UUJF yang menyatakan bahwa “Undang-Undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian fidusia yang bertujuan untuk membebani jaminan fidusia”. Sedangkan Yang dapat menjadi subyek atau para pihak dari jaminan fidusia adalah orang perorangan atau korporasi.78 Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan fidusia objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang lebih luas antara lain : 1. Benda bergerak yang berwujud; 78
Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum Perikatan, CV. Nuansa Aulia, Bandung, hal 67.
75 2. Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. 3. Benda bergerak yang tidak berwujud; Dalam Pasal 1 Angka (4) UUJF diberikan batasan yang menjadi objek Jaminan Fidusia antara lain: a. Benda tersebut harus dapat dialihkan dan dimiliki secara hukum; b. Benda berwujud dan benda tidak berwujud c. Benda tidak bergerak yang tidak dijaminkan dengan Hak Tanggungan (HT). d. Benda yang sudah ada dan Benda yang akan ada e. Hasil benda yang menjadi Obyek Fidusia f. Klaim Asuransi dari Obyek Fidusia g. Benda Persediaan (Inventory/Stock Perdagangan).79 Dalam ketentuan Pasal 3 UUJF menegaskan mengenai Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap : 1. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. 2. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20M atau lebih; 3. Hipotek atas pesawat terbang dan; 4. Gadai. Dalam penjelasan Pasal 3 huruf (a) dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa “berdasarkan ketentuan ini maka bangunan diatas tanah milik orang lain yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia”.
79
Arikanti Natakusumah, Pemahaman Terhadap Akta Perjanjian Kredit, http://groups.google.co.id/group/NOTARISPPATINDONESIA/msg/fc6c894afef2 6e4b?dmode=ssource
76 2.2.3.Sifat-sifat Jaminan Fidusia: Undang-Undang Jaminan Fidusia menentukan sifat-sifat jaminan fidusia antara lain : a. Jaminan Fidusia memiliki sifat accessoir (ada tidaknya fidusia bergantung dari ada tidaknya perjanjian pokok, misalnya perjanjian kredit) Sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UUJF yang menegaskan bahwa “jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Prestasi sebagaimana dalam Pasal 1234 KUHPerdata berupa berbuat sesuatu, memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Sifat accesoir dari jaminan fidusia memberikan akibat hukum antara lain : 1.
Jaminan fidusia menjadi hapus dengan sendirinya karena hukum, apabila perjanjian pokoknya itu berakhir atau karena sebab lainnya yang menyebabkan perjanjian pokoknya menjadi hapus.
2.
Fidusia yang menjaminnya karena hukum beralih pula kepada penerima fidusia yang baru dengan dialihkannya perjanjian pokoknya kepada pihak lain;
3.
Fidusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari atau selalu melekat pada perjanjian pokoknya, karena itu hapusnya fidusia tidak menyebabkan hapusnya perjanjian pokok.80
80
Rachmadi Usman II, Opcit, hal 165
77 Sebagai suatu perjanjian yang bersifat accesoir, jaminan fidusia memiliki sifat antara lain : 1. Sifat perjanjian ikutan terhadap perjanjian pokok; 2. Keabsahannya ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok; 3. Sebagai perjanjian yang memiliki syarat, maka dapat dilaksanakan apabila ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah dipenuhi.81 b. Perjanjian fidusia merupakan perjanjian obligatoir Sebagaimana keentuan dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia jaminan fidusia merupakan agunan yang bersifat kebendaan yang memberikan kedudukan yang diutamakan atau didahulukan dari penerima fidusia (kreditur) lainnya. Sebagai hak kebendaan, dengan sendirinya sifat dan ciri-ciri hak kebendaan melekat pada jaminan fidusia. Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa jaminan fidusia hanya merupakan perjanjian obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat perseorangan bagi kreditur.82 c. Jaminan Fidusia memberikan Hak Preferent (hak untuk didahulukan) Pasal 27 dan 28 UUJF yang menyatakan bahwa : 1. Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya; 2. Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. 81 82
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani I, Loc.cit Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani I, Opcit, hal 131
78 3. Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia. Pasal 28 UUJF menyebutkan bahwa “Apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian jaminan fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia”. Penjelasan dari Pasal 27 dan 28 UUJF tersebut bahwa Penerima fidusia merupakan kreditur yang memiliki kedudukan yang terkuat yang pelunasan terhadap piutangnya harus dilakukan terlebih dahulu dibandingkan dengan kreditur lainnya, sama halnya dengan pemegang gadai, hipotek dan hak tanggungan. d. Jaminan Fidusia memiliki sifat droit de suite (hak kebendaan senantiasa mengikuti bendanya ditangan siapa saja benda itu berada (Pasal 27 ayat (2) UUJF). Berdasarkan sifast droit de suite pada fidusia maka hak kreditur tetap mengikuti bendanya kedalam siapapun ia berpindah, termasuk terhadap pihakpihak ketiga pemilik baru, yang berkedudukan sebagai pihak ketiga pemberi jaminan.83 Dalam ketentuan Pasal 20 UUJF dinyatakan bahwa “Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia. Pengecualian prinsip droit de suite berlaku bagi semua agunan yang dinyatakan sebagai benda persediaan. Undang-Undang tidak
83
Rachmadi Usman, Opcit, hal 166.
79 mendefinisikan benda apa saja termasuk kategori benda persediaan. Bentuk pembebanan fidusia tidak sesuai Undang-Undang terjadi karena kreditur merasa kepentingannya terlindungi dengan pemblokiran bukti kepemilikan dan tanda tangan kuitansi kosong oleh pemilik jaminan. Undang-Undang tidak mengatur secara tegas dan tidak antisipatif terhadap kebutuhan praktis maka masih ditemukan akta pembebanan tidak didaftar dan bentuk surat kuasa memberikan jaminan fidusia. Undang-Undang seharusnya memberi definisi benda apa saja termasuk benda persediaan, diatur hubungan antara instansi yang menangani bukti kepemilikan suatu benda (seperti Kepolisian) dengan Kantor Pendaftaran Fidusia, hendaknya Undang-Undang lebih tegas menentukan batas waktu pendaftaran dan kemungkinan pengaturan bentuk Surat Kuasa Membebankan Jaminan Fidusia, meniru Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan pada lembaga Hak Tanggungan. e. Fungsi Jaminan Fidusia adalah untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan ada dikemudian hari. f. Pasal 11 ayat (1) UUJF mengatur Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial. g. Pasal 1, 2 UUJF menentukan Jaminan Fidusia mempunya sifat spesialitas dan publisitas. h. Pasal 1 angka (4) menentukan Objek jaminan fidusia berupa benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak yang tidak dibebankan dengan Hak Tanggungan, serta benda yang diperoleh dikemudian hari.
80 2.2.4.Fungsi Pendaftaran Jaminan Fidusia a. Kewajiban Pendaftaran Jaminan Fidusia Sesuai dengan amanat Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan “Benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan”. Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan : “dalam hal benda yang dibebani
dengan
jaminan
fidusia
berada
diluar
wilayah
Republik
Indonesia,kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku. Dari ketentuan Pasal 11 UUJF tersebut agar pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik benda yang berada didalam maupun diluar wilayah Negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas dan merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Tempat pendaftaran jaminan fidusia dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (1) UUJF yang menyatakan : “Pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada kantor pendaftaran Fidusia”. Hal ini lebih lanjut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 12 UUJF yang menurut rencananya secara bertahap dan sesuai keperluan dengan Keputusan Presiden disetiap ibukota daerah kota atau kabupaten akan dibentuk Kantor pendaftaran Fidusia yang diwilayah kerjanya meliputi daerah Kota atau daerah Kabupaten yang bersangkutan. Menurut Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 untuk pertama kali, Kantor pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta dengan wilayah mencakup seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sebelum dibentuk
81 kantor-kantor pendaftaran fidusia lainnya. Penjelasan Pasal 12 tersebut menegaskan bawa dalam hal kantor pendaftaran fidusia belum didirikan di tiap daerah Kota/Kabupaten, maka wilayah kerja kantor pendaftaran fidusia di ibukota Provinsi meliputi seluruh daerah Kota/Kabupaten yang berada di lingkungan wilayahnya. Dalam Pasal 12 ayat (4) yang menyatakan : “ketentuan mengenai pembentukan kantor pendaftaran jaminan fidusia untuk daerah lain dan penetapan wilayah kerjanya diatur dengan keputusan Presiden”. Dalam rangka pembentukan kantor pendaftaran fidusia didaerah lain dan sebagai tindak lanjut ketentuan dalam Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, ditetapkan Keputusan Presiden nomor 139
Tahun 2000 tentang Pembentukan kantor
pendaftaran fidusia disetiap ibukota Provinsi di wilayah Negara Republik Indonesia yang menegaskan bahwa membentuk kantor pendaftaran fidusia disetiap ibukota Provinsi di wilayah Negara Republik Indonesia, yang berada di Kantor Wilayah Kementrian Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Mengenai kedudukan kantor pendaftaran fidusia, ketentuan dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 menegaskan kantor pendaftaran fidusia dalam lingkup tugas Kementrian Kehakiman. Penjelasan atas pasal 12 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 menegaskan pula bahwa kantor pendaftaran fidusia merupakan bagian dalam lingkungan Kementrian Kehakiman bukan institusi yang mandiri atau unit pelaksana teknis84
84
Rachmadi Usman, Opcit, hal. 207
82 b.Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 bahwa: “permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran jaminan fidusia”. Maksud dari ketentuan Pasal 13 angka (1) UUJF adalah pendaftaran jaminan fidusia dengan pengajuan surat permohonan kepada kantor pendaftaran fidusia atau Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, dengan surat pernyataan pendaftaran fidusia. Pelaksanaan pencatatan pendaftaran jaminan fidusia, Kantor pendaftaran fidusia menyediakan buku daftar fidusia. Kewajiban menyediakan Buku daftar fidusia bagi kantor pendaftaran fidusia ini, dinyatakan secara tegas dalam Pasal 13 angka (3) UUJF, bahwa jaminan fidusia dicatat di kantor pendaftaran fidusia dalam suatu register khusus, yang dinamakan dengan buku daftar fidusia. Pejabat pendaftaran jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia yang bersangkutan, mencatat semua data yang berkaitan dengan pendaftaran jaminan fidusia tersebut dalam buku daftar fidusia. c. Fungsi Pendaftaran Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Pada Koperasi Di Denpasar Bertalian dengan kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 11 angka (1) UUJF, yang menyatakan “benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan”. Pendaftaran benda yang dibebani jaminan fidusia dilakukan pada tempat pemberi fidusia dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada didalam maupun diluar
83 wilayah Negara republik Indonesia untuk memenuhi asas publicitas dan jaminan kepastian hukum terhadap kreditur lainnya mengena benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Tujuan dari pendaftaran jaminan fidusia antara lain : 1. Untuk Memberikan kepastian hukum kepada para pihak, terutama terhadap kreditur lain mengenai benda yang telah dibebankan dengan jaminan fidusia. 2. Melahirkan ikatan jaminan fidusia bagi kreditur (penerima fidusia); 3. Memberikan hak yang didahulukan preferen kepada kreditur terhadap kreditur lainnya. 4. Memenuhi asas publicitas.85 Ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUJF merupakan norma yang bersifat regulatif atau mengatur yang harus dipatuhi karena kepastian hukum (legal certainty) diperoleh dari dipatuhinya ketentuan yang telah ditetapkan dalam bentuk undangundang. Menurut H.L.A Hart “the most prominentgeneral feature of the law at all time and places is that its existence means that certain kinds of human conduct are no longer option, but in some sense obligatory.86 (sifat mengatur hukum yang harus dipatuhi menyebabkan tuntutan berprilaku manusia pada situasi tertentu bukan lagi merupakan pilihan melainkan menjadi suatu keharusan). Tidak didaftarkannya jaminan fidusia pada koperasi di kota denpasar, maka harapan dari pembentuk undang-undang untuk mampu memberikan kepastian hukum tidak dapat terwujud oleh karena isi peraturan mengenai syarat pendaftaran jaminan fidusia tersebut tidak dilaksanakan oleh koperasi di wilayah kota denpasar. Dengan tidak adana pendaftaran jaminan fidusia maka tidak akan mendapatkan sertifikat jaminan fidusia yang sama artinya bahwa jaminan fidusia
85 86
Rachmadi Usman II, Opcit, hal. 201 H.L.A Hart, 1972, The Concept of law, Claredon Press, Oxford, hal.6
84 tidak pernah lahir (Pasal 14 angka (3) UUJF). Dengan tidak adanya sertifikat jaminan fidusia menyebabkan koperasi hanya sebagi kreditur konkuren, tidak memiliki hak yang didahulukan pembayaran terhadap kreditur lainnya, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1132 KUH Perdata bahwa “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya, pendapatan-pendapatan, penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangannya yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah ntuk didahulukan”.
2.3.Tinjauan Umum Tentang Koperasi 2.3.1.Pengertian Koperasi Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 ayat (1) menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas
kekeluargaan. Koperasi
membantu
masyarakat
mempunyai
golongan
menengah
peranan kebawah
penting untuk
dalam dapat
meningkatkan kesejahteraan para anggotanya. Undang–undang Nomor 17 tahun 2012, memberikan definisi “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang–orang atau badan hukum koperasi yang melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan”. Koperasi terdapat unsur-unsur untuk golongan ekonomi lemah, kerjasama, tidak mementingkan kepentingan diri sendiri dan adanya unsure demokrasi, yang
85 dapat dilihat dari pernyataan imbalan jasa kepada aggota diberikan sesuai dengan jasa jasa atau partisipasi anggota dalam perkumpulan. Menurut Dr Fay Koperasi adalah suatu perserikatan dengan tujuan berusaha bersama yang terdiri atas mereka yang lemah dan diusahakan selalu dengan semangat tidak memikirkan dari sendiri sedemikian rupa, masing-masing sanggup menjalankan kewajibannya sebagai anggota dan mendapat imbalan sebanding dengan pemanfaatan mereka terhadap organisasi. 87 Menurut R.M Margono Djojohadikoesoemo dalam bukunya berjudul “10 Tahun Koperasi,1941, yang mengatakan bahwa Koperasi adalah perkumpulan manusia orang-seorang yang dengan sukanya sendiri hendak bekerja sama untuk memajukan ekonominya. Sedangkan menurut Prof. R.E. Soeriaatmadja (1957) Koperasi adalah suatu badan usaha yang secara sukarela dimiliki dan dikendalikan oleh anggota yang adalah juga pelanggannya dan dioperasikan oleh mereka dan untuk mereka atas dasar laba atau dasar biaya. Menurut Dr. G Mladenata Didalam bukunya “Histoire des Doctrines Cooperative” mengemukakan bahwa koperasi terdiri atas produsen produsen kecil yang tergabung secara sukarela untuk mencapai tujuan bersama ,dengan saling bertukar jasa secara kolektif dan menanggung resiko bersama dengan mengerjakan sumber sumber yang disumbangkan oleh anggota. Definisi Koperasi menurut Dr. Muhammad Hatta (1947) dalam bukunya “The Movement in Indonesia” koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarka tolong 87
Andjar Pachta dkk, 2008, Hukum Koperasi Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta,hal.16
86 menolong.88 Mereka didorong oleh keinginan memberi jasa pada kawan “ seorang buat semua dan semua buat seorang” inilah yang dinamakan Auto Aktivitas Golongan, terdiri dari: a. Solidaritas b. Individualitas c. Menolong diri sendiri d. Jujur Koperasi adalah terdiri atas produsen-produsen kecil yang tergabung secara sukarela untuk mencapai tujuan bersama dengan saling tukar jasa secara kolektif dan menanggung resiko bersama dengan mengerjakan sumber-sumber yang disumbangkan oleh anggota. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian pada Bab I Pasal 1, yang dimaksud dengan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. 2.3.2. Asas Koperasi Bab IV Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 yang membahas masalah asas dan sendi Dasar Koperasi, dimana dikatakan bahwa asas koperasi adalah kekeluargaan dan kegotongroyongan. 1. Asas kekeluargaan Asas ini mengandung makna adanya kesadaran dari hati nurani setiap anggota koperasi untuk mengerjakan segala sesuatu dalam koperasi yang berguna untuk 88
Andjar Pachta, Opcit, hal.19
87 semua anggota koperasi itu. Jadi bukan untuk diri sendiri maupun beberapa anggota saja dan juga bukan dari satu anggota melainkan mencakup semuanya. Dengan asas yang bersifat seperti ini maka semua anggota akan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. 2. Asas Kegotongroyongan Asas ini mengandung arti bahwa dalam berkoperasi harus memiliki toleransi, sifat mau bekerja sama, dan sifat-sifat lainnya yang mengandung unsur kerja sama, bukan orang perorangan. Rochdale atau lebih dikenal “The Rochdale Society of Equitable Pioneers” terdaftar pada tanggal 24 Oktober 1844 dan memulai usahanya pada tanggal 21 Desember 1844, cita-cita dari Rochdale Pionners, yang dinyatakan sebagai perkumpulan kemudian dikenal sebagai asas Rochdale atau Rochdale Principles, telah menghilhami cara kerja dari gerakan-gerakan koperasi sedunia. Adapun Asas Rochdale tersebut adalah : a. Pengendalian secara demokrasi (Democratic control) b. Keanggotaan yang terbuka) (Open membership) c. Bunga terbatas atas modal (Limited interest on capital) d. Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota proporsional dengan pembeliannya. e. Pembayaran secara tunai atas transanksi perdagangan. f. Tidak boleh menjual barang-barang palsu g. Mengadakan pendidikan bagi anggota-anggotanya tentang asas-asas koperasi dan perdagangan yang saling membantu. h. Netral dalam aliran agama dan politik.
88 Mohammad Hatta dalam Alamanak Koperasi 1957-1958 membagi asas-asas Rochdale tersebut dalam 2 bagian : 1.
Dasar-dasar pokok :
a. Demokrasi koperatif, yang artinya bahwa kemudi (pengeloaan) dan tanggung jawab adalah berada ditangan anggota sendiri. b. Dasar persamaan hak suara c. Tiap orang boleh menjadi anggota. d. Demokrasi ekonomi, keuntungan dibagi kepada anggota menurut jasajasanya. e. Sebagian dari keuntungan diperuntukkan untuk pendidikan anggota. Menurut Dr. Mohammad Hatta, untuk disebut koperasi, suatu organisasi itu setidak-tidaknya harus melaksanakan 4 asas tersebut diatas. 2.
Dasar-dasar moral :
a. Tidak boleh dijual dan dikedaikan barang-barang palsu. b. Harga barang harus sama dengan harga pasar setempat. c. Ukuran dan timbangan barang harus benar dan terjamin. d. Jual beli dengan tunai. Kredit dilarang karena menggerakkan hati orang untuk membeli diluar kemampuannya 2.3.3. Jenis Jenis Koperasi Penjenisan koperasi dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor.12 tahun 1967, penjenisan koperasi didasarkan pada kebutuhan dari dan untuk efisiensi suatu
golongan
dalam
masyarakat
yang
homogen
karena
kesamaan
aktifitas/kepentingan ekonominya guna mencapai tujuan bersama. Untuk efisiensi
89 dan ketertiban guna perkembangan dan kepentingan koperasi Indonesia di tiap daerah kerja hanya terdapat 1 koperasi yang sejenis dan setingkat, secara hukum keberadaan koperasi dapat dibenarkan karena Undang-Undang Nomor 19 tahun 1967 mengatakan penjenisan koperasi didasarkan pada kebutuhan dari dan untuk efisiensi suatu golongan yang homogen karena mempunyai kesamaan dan kepentingan ekonominya. Dalam Pasal 2 PP Nomor 60 tahun 1959 tentang perkembangan gerakan koperasi yaitu : 1. pada dasarnya yang dimaksud dengan penjenisan koperasi adalah perbedaan yang didasarkan pada golongan dan fungsi prinsip koperasi. 2. Penjenisan koperasi ditekan pada lapangan usaha atau atau tempat tinggal para anggota. 3. Berdasarkan ketentuan poin diatas maka terdapat 7 jenis koperasi didalam pasal
3 PP No. 60 tahun 1959
a. Koperasi desa b. Koperasi pertanian c. Koperasi pertenakan d. Koperasi perikanan e. Koperasi kerajinan/produksi f. Koperasi simpan pinjam g. Koperasi konsumsi89
89
Andjar Pachta, Opcit, hal25
90 Di dalam bukunya Dra. Ninik Widiyanti dan Y.W. Sunindhia (2003) yang berjudul “Koperasi dan Prekonomian Indonesia” bahwa koperasi dapat dibagi menjadi 5 antara lain : 1. Koperasi Konsumsi Jenis koperasi yang menyediakan untuk kebutuhan sehari hari misalnya : barang-barang pangan (beras, gula, minyak goreng, garam), barang-barang sandang (kain, tekstil), maupun barang-barang lainnya seperti sabun, minyak tanah maupun perabot rumah tangga Tujuan koperasi konsumsi ini agar para anggota dapat membeli barang-barang dengan harga yang layak. 2. Koperasi Kredit/Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Koperasi kredit ini didirikan untuk memberi kesempatan kepada para anggota-anggotanya memperoleh pinjaman dengan mudah dengan bunga yang rendah. Kecuali itu kopersasi ini juga memberi kesempatan kepada anggotanya untuk menyimpan uangnya secara bersama dan untuk dipinjamkan kembali kepada anggota lainnya yang membutuhkan.Tujuan Koperasi Kredit/Simpan Pinjam adalah : a. Membantu keperluan kredit para anggotanya yang sangat membutuhkan dengan syarat-syarat yang ringan. b. Mendidik para anggota agar giat dalam menyimpan/menabung secara teratur untuk membentuk modal sendiri. c. Mendidik anggota untuk hidup hemat, dengan menyisihkan sebagian dari pendapatan mereka. d. Menambah pengetahuan tentang perkoperasian.
91 3. Koperasi Produksi Koperasi produksi yaitu koperasi yang bergerak dibidang ekonomi pembuatan dan penjualan barang-barang yang dilakukan oleh Koperasi sebagai organisasi maupun orang-orang anggota koperasi. Contohnya : Koperasi Peternak Sapi Perah, Koperasi Tahu Tempe, Koperasi Pembuat Sepatu, Batik maupun Koperasi Pertanian. 4. Koperasi Jasa Koperasi jasa adalah Koperasi yang berusaha dibidang penyediaan jasa tertentu bagi para anggotanya maupun masyarakat umum. Contonya : Koperasi Angkutan, Koperasi jasa untuk mengurus SIM, STNK, Paspor dan lain-lain. 5. Koperasi Serba Usaha Koperasi Serba Usaha adalah koperasi yang bidang usahanya bermacam-macam. Misalnya, unit usaha simpan pinjam, unit pertokoan untuk melayani kebutuhan sehari-hari anggota juga masyarakat, unit produksi, unit wartel. 2.3.4. Bentuk Koperasi Dalam PP Nomor 60 Tahun 1959 (Pasal 13 Bab IV) dikatakan bahwa yang dimaksud dengan bentuk koperasi ialah tingkat-tingkat koperasi yang didasarkan pada cara-cara pemusatan, penggabungan dan perindukannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapatlah 4 bentuk koperasi yaitu: 1. Primer. 2. Pusat 3. Gabungan. 4. Induk.
92 Keberadaan dari masing-masing bentuk koperasi tersebut, disesuaikan dengan wilayah administrasi pemerintahan, seperti tersebut dalam pasal 18 dari PP 60 Nomor 59, yang menyatakan bahwa: a. Di tiap-tiap desa ditumbuhkan koperasi desa. b. Di tiap-tiap daerah tingkat II ditumbuhkan pusat koperasi. c. Di tiap-tiap daerah tingkat I ditumbuhkan gabungan induk koperasi. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perkoperasian masih mengaitkan bentuk-bentuk koperasi itu dengan wilayah administrasi pemerintahan (Pasal 16) tetapi tidak secara ekpresif mengatakan bahwa koperasi pusat harus berada di ibukota kabupaten dan koperasi gabungan harus berada di tingkat propinsi seperti yang tertera dalam PP Nomor 60 tahun 1959. Pasal 16 butir (1) Undang-undang No. 12 Tahun 67 hanya mengatakan daerah kerja koperasi Indonesia pada dasarnya, didasarkan pada kesatuan wilayah administrasi pemerintahan dengan memperhatikan kepentingan ekonomi. 2.3.5.Permodalan Koperasi Pengertian modal dalam sebuah organisasi perusahaan termasuk badan koperasi adalah sama, yaitu modal yang digunakan untuk menjalankan usaha. Koperasi merupakan kumpulan dari orang-orang yang mengumpulkan modal untu modal usaha dan setiap orang mempunyai hak yang sama. Sumber - Sumber Modal Koperasi antara lain : 1. Modal Dasar
93 Tujuan utama mendirikan sebuah organisasi koperasi adalah untuk mengakumulasikan potensi keuangan para pendiri dan anggotanya yang meskipun pada awalnya berjumlah kecil tetapi tetap ada. 2. Modal Sendiri a. Simpanan Pokok Simpanan pokok adalah sejumlah uang yang wajib disetorkan ke dalam kas koperasi oleh para pendiri atau anggota koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok tidak dapat ditarik kembali oleh anggota koperasi tersebut selama yang bersangkutan masih tercatat menjadi anggota koperasi. b. Simpanan Wajib Konsekwensi dari simpanan ini adalah harus dilakukan oleh semua anggota koperasi yang dapat disesuaikan besar kecilnya dengan tujuan usaha koperasi dan kebutuhan dana yang hendak dikumpulkan, arena itu akumulasi simpanan wajib para anggota harus diarahkan mencapai jumlah tertentu agar dapat menunjang kebutuhan dana yang akan digunakan menjalankan usaha koperasi. c. Dana Cadangan Dana cadangan ialah sejumlah uang yang diperoleh dari sebagian hasil usaha yang tidak dibagikan kepad anggota; tujuannya adalah untuk memupuk modal
sendiri
yang
dapat
digunakan
sewaktu-waktu
apabila
koperasi
membutuhkan dana secara mendadak atau menutup kerugian dalam usaha. d. Hibah Hibah adalah bantuan, sumbangan atau pemberian cuma-cuma yang tidak mengharapkan pengembalian atau pembalasan dalam bentuk apapun. Siapa pun
94 dapat memberikan hibah kepada koperasi dalam bentuk apapun sepanjang memiliki pengertian seperti itu; untuk menghindarkan koperasi menjadi tergantung dengan pemberi hibah yang dapat mengganggu prinsip-prinsip dan asas koperasi. 3. Modal Pinjaman a. Pinjaman dari Anggota Pinjaman yang diperoleh dari anggota koperasi dapat disamakan dengan simpanan sukarela anggota. Kalau dalam simpanan sukarela, maka besar kecil dari nilai yang disimpan tergantung dari kerelaan anggota. sebaliknya dalam pinjaman, koperasi meminjam senilai uang atau yang dapat dinilai dengan uang yang berasal dari anggota. b. Pinjaman dari Koperasi Lain Pada dasarnya diawali dengan adanya kerja sama yang dibuat oleh sesama badan usaha koperasi untuk saling membantu dalam bidang kebutuhan modal. Bentuk dan lingkup kerja sama yang dibuat bisa dalam lingkup yang luas atau dalam lingkup yang sempit; tergantung dari kebutuhan modal yang diperlukan. c. Pinjaman dari Lembaga Keuangan Pinjaman komersial dari lembaga keuangan untuk badan usaha koperasi mendapat prioritas dalam persyaratan. Prioritas tersebut diberikan kepada koperasi sebetulnya merupakan komitmen pemerintah dari negara-negara yang bersangkutan untuk mengangkat kemampuan ekonomi rakyat khususnya usaha koperasi.
95 d. Obligasi dan Surat Utang Untuk menambah modal koperasi juga dapat menjual obligasi atau surat utang kepada masyarakat investor untuk mencari dana segar dari masyarakat umum diluar anggota koperasi. Mengenai persyaratan untuk menjual obligasi dan surat utang tersebut diatur dalam ketentuan otoritas pasar modal yang ada. e. Sumber Keuangan Lain Semua sumber keuangan, kecuali sumber keuangan yang berasal dari dana yang tidak sah dapat dijadikan tempat untuk meminjam modal.90
90
Andjar Pachta,Opcit, hal.117
96 BAB III PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN OLEH KOPERASI DI DENPASAR
3.1. Perjanjian Kredit Pada Koperasi di Denpasar Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensual yang artinya dengan ditandatanganinya
perjanjian
kredit
antara
debitur
dan
kreditur
tidak
menyebabkan debitur langsung dapat mengambil kredit melainkan harus memenuhi syarat-syarat penarikan terlebih dahulu (pengikatan dan penyerahan barang jaminan). Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok karena tanpa adanya perjanjian pokok maka tidak terdapat perjanjian pengikatan jaminan. Menurut H. Moh Tjoekam unsur-unsur kredit antara lain : 1. Waktu, yaitu ada jarak antara saat persetujuan pemberian kredit dan pelunasan. 2. Kepercayaan, merupakan dasar utama yang dijadikan pegangan oleh krditur kepada debitur dalam pemberian kredit yaitu pihak kreditur memberikan kredit kepada debitur dan dalam jangka waktu tertentu debitur akan mengembalikannya sesuai kesepakatan yang telah dibuat diantara para pihak. 3. Penyerahan, yaitu pihak kreditur memberikan nilai ekonomi kepada debitur yang harus dikembalikan setelah jangka waktu tertentu. 4. Resiko, yaitu adanya resiko yang timbul antara jarak saat memberikan dan pengembalian kredit. 5. Perjanjian yang menyatakan antara kreditur dan debitur terdapat suatu kesepakatan yang dibuktikan dengan suatu perjanjian.91 Mengingat pemberian kredit mengandung resiko maka pemberian kredit harus dilandasi dengan kehati-hatian kreditur dalam pemberian kredit kepada
91
H. Moh Tjoekam, 1999, Perkreditan Inti Bisnis Bank Komersial, Gramedia Pustaka Utama, hal.2-3
97 debitur, prinsip-prinsip yang dipegang koperasi dalam pemberian kredit antara lain : a. Prinsip Kepercayaan Dalam pemberian kredit dibarengi dengan kepercayaan dari kreditur bahwa debitur akan mengembalikan kreditnya dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati dan bermanfaatnya kredit bagi debitur b. Prinsip Kehati-hatian Prinsip ini merupakan salah satu wujud dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Sebelum menyalurkan kredit, dilakukan beberapa persyaratan dalam pemberian kredit, antara lain dengan melakukan pengumpulan informasi, penilaian (analisis) kredit, keputusan kredit, pelaksanaan (pencairan) kredit.92 Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan terutama dalam hal penyaluran kredit karena dana tersebut berasal dari masyarakat, Penerapan dalam pemberian kredit harus dengan analisa yang mendalam dan akurat, perjanjian yang sah menurut hukum, pengawasan yang baik dan pengikatan jaminan yang sesuai dengan Undang-Undang.93 Prinsip kehati-hatian memiliki tujuan agar kredit tersebut tidak macet dan dapat kembali dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit. Jika kredit tersebut mengalami kendala dengan tidak dibayar sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan, maka kredit
92
Muchdarsyah Sinungan, 1992, Manajemen Dana Bank, Bumi Aksara, Jakarta, hal 240. 93 https://susansutardjo.wordpress.com/tag/pengawasan-koperasi, diunduh pada tanggal 22 Agustus tahun 2013
98 masuk dalam kriteria Non Performing Loan (NPL) Non Performing Loan (NPL). Non Performing Loan (NPL) untuk unit koperasi hanya ada 4 (empat) yaitu : 1. 2. 3. 4.
Lancar (tidak ada tunggakan selama 3 kali) Kurang Lancar (jika ada tunggakan sebanyak 4 sampai dengan 6 kali) Diragukan (jika ada tunggakan sebanyak 7 sampai dengan. 9 kali) Macet (jika memiliki tunggakan di atas 9 kali periode angsuran). Penerapan prinsip kehati-hatian, memang tidak menjamin 100% tidak akan timbul kredit macet (bermasalah), tapi setidaknya bisa meminimalisir terjadinya kredit macet (bermasalah). 94 Lembaga keuangan termasuk koperasi memang sudah seharusnya
memiliki karakteristik kehati-hatian yang tinggi dan kesehatan koperasi yang dapat meningkatkan kepercayaan dan memberikan manfaat pada para anggota koperasi dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu koperasi tidak cukup jika hanya berpedoman pada Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga koperasi. Koperasi perlu upaya-upaya seperti pengawasan dalam penyelenggaraan organisasi dan usaha Koperasi Simpan Pinjam (KSP) koperasi. Langkah tersebut dilakukan untuk koperasi agar lebih memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit sekaligus menjaga keberlangsungan koperasi yang bersangkutan. Peraturan dalam koperasi seharusnya terdapat point penting untuk menjaga kesehatan dari koperasi yaitu aturan mengenai pengawasan dan pengendalian koperasi baik dilakukan secara internal maupun eksternal oleh badan pengawas maupun pemerintah.95 Prinsip kehati-hatian dalam koperasi simpan pinjam diatur berdasarkan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 14/Per/M.KUKM/XII/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan 94
https://repository.usu.ac.id/Siagian, penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, diunduh pada tanggal 22 Agustus tahun 2013 95 https://susansutardjo. wordpress.com/tag/pengawasan-koperasi, diunduh tanggal 22 Agustus 2013
99 Menteri
Negara
Koperasi
dan
Usaha
Kecil
dan
Menengah
Nomor
21/Per/M.KUKM/XI/2008 tentang Pedoman Penilaian Kesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi, diterangkan dalam hal menimbang butir a yang menyebutkan bahwa : Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi merupakan lembaga koperasi yang melakukan kegiatan usaha penghimpunan dan penyaluran dana dari dan untuk anggota, calon anggota, koperasi lain dan atau anggotanya yang perlu dikelola secara professional sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan kesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi, yang dapat meningkatkan kepercayaan dan memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada anggota dan masyarakat sekitarnya. Prinsip kehati-hatian Koperasi tersebut ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 14/Per/M.KUKM/XII/2009 yang menyatakan bahwa : Pedoman Penilaian Kesehatan KSP dan USP Koperasi bertujuan untuk memberikan pedoman kepada pejabat penilai, gerakan koperasi dan masyarakat agar KSP dan USP Koperasi dapat melakukan kegiatan usaha simpan pinjam, berdasarkan prinsip koperasi secara professional, sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan kesehatan, yang dapat meningkatkan kepercayaan dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada anggota dan masyarakat di sekitarnya. c. Prisip 7P yaitu : 1. Personality 2. Purpose (Data tentang Penggunaan kredit) 3. Prospect (harapan masa datang bidang usaha kegiatan usaha peminjam) 4. Payment (bagaimana pembayaran kembali pinjaman)
100 5. Party (mengklasifikasikan nasabah kedalam identifikasi atau golongan tertentu berdasarkan moral,karakter dan loyalitas) 6. Profitability (menganalisis kemampuan nasabah mendapatkan laba diukur perperiode). 7. Protection (Usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan). d. Prinsip 5C antara lain : 1. Character (Watak) 2. Capacity (Kemampuan) 3. Capital (Modal) 4. Collateral (Agunan) 5. Condition of economic Pada proses perjanjian pinjaman pada Koperasi, pihak Koperasi perlu melakukan
penilaian
terhadap
kemampuan
anggota
koperasi
untuk
mengembalikan pinjaman atau melunasi pinjaman secara tepat waktu. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam memberikan pinjaman koperasi dimaksudkan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan melindungi koperasi serta anggota koperasi sebagai penyimpan dana, Koperasi diharapkan senantiasa tetap berada dalam kondisi yang sehat dan dapat memenuhi kewajibannya kepada anggota koperasi penyimpan dana. Pemberian pinjaman dan melakukan usaha lainnya, koperasi wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan kepentingan koperasi itu sendiri dan anggota koperasi yang mempercayakan dananya kepada
101 Koperasi.96 Jadi dalam menyalurkan suatu pinjaman kepada anggota koperasi, Koperasi di Kota Denpasar harus memperhatikan aspek keamanan bagi kembalinya pinjaman tersebut. Setelah pinjaman diberikan Koperasi perlu melakukan pemantauan terhadap penggunaan dana peminjaman tersebut, serta kemampuan dan kepatuhan anggota koperasi tersebut dalam memenuhi kewajibannya. Menghindari adanya kendala dalam pengembalian suatu pinjaman maka dalam perjanjian disebutkan bahwa Koperasi Denpasar selalu meminta jaminan yang berguna untuk keamanan suatu dana pinjaman yang diberikan Koperasi. Jaminan dapat dikatakan sebagai sarana dalam mengupayakan suatu pencegahan atau merupakan upaya preventif dalam perjanjian pinjaman yang sangat berisiko tinggi. Dalam memberikan pinjaman, Koperasi di denpasar wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan anggota koperasi untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Setiap permohonan pinjaman yang diajukan oleh anggota koperasi, Koperasi senantiasa memperhatikan hal-hal yang menyangkut keadaan internal koperasi dan keadaan anggota koperasi (peminjam). Setelah Koperasi memperhatikan keadaan internalnya dan mampu menyediakan dana
untuk
pemohon
pinjaman,
maka
langkah
selanjutnya
adalah
mempertimbangkan permohonan pinjaman yang diajukan anggota koperasi. Halhal yang perlu dipertimbangkan peminjaman di Koperasi di Denpasar adalah : 1. Pribadi peminjam; 96
Wawancara A.A.Ketut Nuraja, Ketua Koperasi Tunas Sari tanggal 21 Agustus 2013
102 2. Usahanya; 3. Kemampuan dan kesanggupan membayar kembali pinjaman dan hal-hal lain; 4. Jaminan pinjaman. 97 Koperasi di Kota Denpasar mempunyai pertimbangan tertentu dalam memberikan pinjaman kepada anggota koperasi. Koperai umumnya berpikir dan bertindak dalam memberikan pinjaman setelah menilai persyaratan kredit dengan analisa 5 C yang dimiliki calon debitur (anggota koperaasi), yakni collaterals, capitals, capacities, caracters dan condition of economics. Seorang anggota koperasi yang hendak meminjam dana dapat dikabulkan permohonannya jika memiliki jaminan atau agunan (collateral) yang nilainya melebihi dari jumlah pinjaman. Pemberian kredit oleh koperasi tidak akan melebihi 70% dari agunan pada saat uang pinjaman koperasi telah diterima oleh debitur, anggota koperasi harus menyerahkan bukti kepemilikan agunan tersebut kepada Koperasi. Bila terjadi kemacetan dalam pengembalian kredit, agunan tersebut dijadikan Koperasi Wisuda Guna Raharja merupakan pembayaran atas utang-utang atau agunan tersebut akan dijual kepada pihak lain untuk melunasinya. Koperasi akan memberikan pinjaman kepada calon anggota koperasi yang memiliki modal (capital) walaupun hanya sedikit dan bukan kepada anggota koperasi yang tidak mempunyai modal sama sekali. Pinjaman yang diberikan kreditur berfungsi sebagai tambahan modal untuk memperlancar kegiatan produktif yang 97
Wawancara dengan Bapak Ketut Landuh Kepala Operasional Kredit Koperasi Tunas Sari Tanggal 21 Agustus 2013
103 menyebabkan kegiatan tersebut semakin efektif dan efisien. Anggota koperasi harus memiliki sejumlah dana yang dialokasikan secara khusus sebagai modal awal bagi kegiatan produktif tersebut. Kemampuan (capacities) anggota koperasi dalam memanfaatkan dan mengembalikan pinjaman akan dinilai oleh koperasi yang akan menyalurkan kredit. Koperasi menilai kemampuan calon anggota koperasi dengan menganalisis kelayakan
proposal
yang
anggota
koperasi
buat
sewaktu
mengajukan
permohonan. Bila anggota koperasi mengajukan pinjaman untuk usaha, kemampuan anggota koperasi juga dinilai dari perjalanan usaha yang telah anggota koperasi lakukan selama ini berdasarkan laporan keuangan yang anggota koperasi miliki. Koperasi
juga akan menilai sifat-sifat (characters) anggota koperasi
dalam mengelola uang, kebiasaan dalam mengatur cash flow serta kejujuran, kedisiplinan dalam membayar. Buku tabungan yang dimiliki oleh anggota koperasi dapat pula sebagai sumber informasi bagi Koperasi dalam menilai sifatsifat anggota koperasi dalam mengelola uang. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pertimbangan Koperasi terhadap kondisi ekonomi (condition of economic) yang dihadapi oleh debitur. Kondisi ekonomi yang baik menyebabkan koperasi memberikan kemudahan dalam pemberian kredit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang sedang sulit mengakibatkan Koperasi agak ketat dalam memberikan pinjaman kepada para anggota koperasi.98
98
Wawancara dengan staff kredit Koperasi Wisuda Guna Raharja tanggal 20 Agustus 2013
104 Koperasi dapat dikatakan sebagai suatu lembaga keuangan memiliki lapangan usaha dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Koperasi simpan pinjam sebagai salah satu jenis koperasi yang memiliki usaha menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan simpan pinjam. Kegiatan usaha simpan pinjam koperasi Tunas Sari dari dan untuk anggotanya dan anggota koperasi lain. Dalam melakukan kegiatan usaha simpan pinjam khususnya pinjaman terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota untuk memperoleh pinjaman antara lain :99 1. Menjadi anggota minimun 1 tahun; Dalam hal keanggotaan, calon anggota dapat diterima sebagai anggota jika memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Bersedia menerima dan mematuhi anggaran dasar (AD)/anggaran rapat anggota(ART) serta peraturan lainnya dilingkungan koperasi simpan pinjam Tunas Sari ; b. Mengisi formulir yang telah disediakan; c. Mendapatkan rekomendasi sekurang-kurangnya 1(satu) orang anggota; d. Melampirkan kartu tanda penduduk, kartu keluarga dan pas foto ukuran 3x4 sebanyak 2 lembar; e. Wajib mengikuti pendidikan dasar koperasi; f. Melunasi simpanan pokok, simpanan wajib, biaya administrasi, dan biaya pendidikan dasar koperasi. 99
Wawancara A.A. Ketut Nuraja, SE, Ketua Koperasi Tunas Sari tanggal 21 Agustus 2013
105 2. Mengisi formulir permohonan pinjaman; 3. Fotokopi kartu Tanda Penduduk (KTP) suami dan istri; 4. Fotocopy Kartu Keluarga (KK); 5. Slipgaji asli 3 bulan terakhir; 6. Jaminan; Dalam hal ini, jaminan dapat berupa sertifikat tanah atau bukti pemilikan kendaraan bermotor (BPKB). Jika jaminan yang diberikan adlah jaminan sertifikat tanah maka harus menyertakan : fotocopy serifikat, SPPT/pajak tahun terakhir dan ijin mendirikan bangunan (IMB). Jika jaminan yang diberikan adalah jaminan berupa barang bergerak seperti sepeda motor dan mobil maka harus menyertakan : fotocopy Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), fotocoy Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan cek fisik kendaraan. 7. Laporan keuangan 3 bulan terakhir bagi pengusaha. Tatacara permohonan kredit dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain tahap persiapan yang meliputi segala kegiatan untuk mengumpulkan informasi mengenai data-data tentang calon anggota yang akan meminjam uang yang berguna bagi penilaian kredit. Dalam menimbulkan kepercayaan Koperasi kepada anggota, maka terlebih dahulu meneliti tentang keadaan dan diri dari anggota yang akan meminjam uang. Pada umumnya untuk menjadi peminjam di Koperasi, pemohon harus menjadi anggota koperasi terlebih dahulu. Nasabah dari Koperasi Tunas Sari bahwa anggota koperasi memiliki kemudahan-kemudahan dalam meminjam uang pada koperasi dibandingkan dengan lembaga perbankan
106 lainnya dikarenakan
koperasi bersifat kekeluargaan dan mengutamakan
kesejahteraan anggotanya.100 Anggota Koperasi yang ingin melakukan peminjaman di Koperasi, maka yang bersangkutan harus mengajukan permohonan dalam bentuk pengisian permohonan pinjaman yang memuat hal-hal yang diperlukan antara lain : a. Nama, alamat, nomor telepon, dan pekerjaan dari pemohon, yang turut menyetujui suami atau istri dari penjamin; b. Jenis Pinjaman; c. Jangka Waktu Pinjaman; d. Tujuan Pinjaman atau jenis penggunaan pinjaman; e. Fotocopy KTP suami atau istri, Kartu Keluarga, fotocopy jaminan, daftar rincian gaji atau penghasilan 3 bulan terakhir. Setelah mengisi permohonan pinjaman, anggota mengisi proposal pinjaman yang didalamnya memuat : a. Identitas calon peminjam (nama, alamat, nomor telepon, pekerjaan, alamat kantor, status keanggotaan, status peminjam, status perkawinan, status tempat tinggal, tanggungan dalam keluarga); b. Informasi dasar (jumlah pinjaman, jangka waktu pinjaman, tujuan pinjaman, kemampuan membayar perbulan, fasilitas pinjaman atau kredit yang diperoleh dari pihak lain);
100
Wawancara A.A.Putu Hestiani (Anggota Koperasi Tunas Sari), Wawancara 8 Agustus 2013
107 c. Aspek keuangan (total penghasilan, total biaya pengeluaran, saldo sisa penghasilan yang telah dikurangi oleh biaya pengeluaran).101 d. Apabila anggota ingin mengajukan permohonan pinjaman, maka si pemohon dapat mengajukan permohonan pinjaman secaraa tertulis yang telah dilengkapi dengan syarat-syarat sesuai dengan tujuan pinjaman itu sendiri ke bagian pinjaman. Bagian pinjaman mencatatnya dalam dalam buku administrasi pengajuan permohonan pinjaman. Sebagai bukti, bagian pinjaman melaksanakan analisis keuangan dan survei jaminan. Adapun jaminan yang dapat dijaminkan di koperasi berupa jaminan barang tidak bergerak seperti tanah dan rumah dan jaminan barang bergerak seperti kendaraan bermotor dan mobil. Berdasarkan hasil analisa keuangan dan survei, maka bagian pinjaman dapat menentukan layak atau tidaknya pemohon memperoleh pinjaman. Bagi mereka yang tidak layak mendapat bantuan pinjaman, bagian pinjaman melalui komunikasi via telepon dengan bahasa yang membuat
pemohon
tidak
tersinggung
atas
penolakannya.
Bagi
permohonan pinjaman yang layak mendapat bantuan pinjaman, hasil analisa keuangan dan survei diajukan kepengurus, setelah mendapat persetujuan dari pengurus proses dilanjutkan ke bagian administrasi. Setelah proses administrasi selesai, bagian peminjam mengundang peminjam untuk menandatangani perjanjian pinjaman. Setelah perjanjian 101
Wawancara A.A.Ketut Nuraja (Ketua Koperasi Tunas Sari), wawancara pada tanggal 18 April 2013
108 ditandatangani maka dana baru dapat dicairkan. Pada Koperasi Tunas Sari pemberian pinjaman paling sedikit sebesar Rp. 500.000,00 dengan jaminan
buku
tabungan
dan
pinjaman
paling
banyak
sebesar
Rp.15.000.000,00. Besarnya pinjaman ditentukan oleh kemampuan membayar debitur untuk mengembalikan.102 Dari hasil wawancara dengan informan pada koperasi denpasar, menurut penulis, Walaupun undang-undang menjamin kebebasan berkontrak bagi para pihak namun dalam praktek, dalam pembuatan perjanjian pinjaman, kedudukan para pihak umumnya tidak seimbang dimana kedudukan anggota koperasi lebih lemah dibandingkan kedudukan peminjam sebagai pemilik dana. Pada Koperasi juga menerapkan prinsip 5 C dalam pemberian kredit hal ini merupakan kehatihatian dari pihak koperasi agar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari yang dapat merugikan Koperasi.
3.2 Perjanjian Kredit dengan Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan Kebutuhan dana oleh masyarakat adalah untuk memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari baik untuk kebutuhan konsumtif maupun diberbagai bidang lainnya. Dari sinilah timbul perjanjian kredit
untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang kekurangan dana. Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja melalui perjanjian utang piutang antara kreditur dengan debitur. Dengan adanya perjanjian
102
Wawancara Sebastianus Hayong (Ketua Koperasi Wisuda Guna Raharja), wawancara pada tanggal 13 April 2013
109 utang piutang tersebut menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Pihak kreditur lahir kewajiban untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada debitur dan debitur lair kewajiban untuk mengembalikan uang tersebut tepat pada waktunya disertai dengan bunga yang telah disepakati. Dalam Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”. Sedangkan dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikatakan mengenai perjanjian pinjam meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak kesatu meberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. Pada prinsipnya pemberian kredit koperasi
mengandung empat unsur
yaitu : 1. Kepercayaan 2. Waktu 3. Degree of risk 4. Prestasi atau objek kredit. Pada Koperasi di denpasar meminjam dana dapat dilakukan apabila debitur adalah anggota koperasi, dikarenakan koperasi sendiri lebih mengutamakan
110 kesejahteraan anggotanya. Dalam pemberian kredit koperasi untuk mengurangi resiko dalam pemberian kredit selalu diikuti dengan pemberian jaminan oleh debitur, sebagai jaminan bahwa debitur akan membayar hutang-hutangnya. Jaminan berasal dari kata jamin yang berarti tanggung. Dalam hal ini yang dimaksud tanggungan adalah segala perikatan seseorang. Tanggungan atas segala perikatan seseorang disebut sebagai jaminan secara umum sedangkan tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang disebut jaminan secara khusus.103 Pengaturan umum tentang jaminan datur dalam ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana ditentukan bahwa segala kebendaan pihak yang berutang (debitur) baik yang bergerak mapun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Jaminan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diberi arti sebagai keyakinan akan iktikad baik dari debitur untuk melunasi hutangnya dan kemampuan serta kesanggupan mengembalikan pinjamannya sesuai dengan yang diperjanjikan.104 Barang-barang yang diterima kreditur sebagai jaminan harus diikat secara yuridis, kegunaan jaminan antara lain : 1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur apabila debitur cidera janji tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang diperjanjikan 2. Membuat debitur berperan dalam mengurus usahanya, untuk merugikan diri sendiri dapat diperkecil terjadinya. 103
Oey Hoey Tiong, 1984, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.14 104 Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.282
111 3. Memberikan dorongan kepada debitur untuk melakukan pembayaran utangnya sesuai dengan perjanjian dan untuk agar debitur tidak kehilangan kekayaan yang dijaminkan.105 Menurut sifatnya ada jaminan yang bersifat umum yaitu jaminan dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan jaminan yang bersifat khusus yaitu jaminan atas pelunasan kewajiban hutang debitur kepada kreditur. Jaminan khusus timbul karena adanya perjanjian khusus antara debitur dan kreditur yaitu : 1. Jaminan Perorangan merupakan perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajibankewajiban si berhutang (debitur). 2. Jaminan kebendaan adalah suatu bagian dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan dan menyediakannya guna pemenuhan (pembayaran) kewajiban (hutang) seseorang debitur, baik berupa kekayaan si debitur sendiri atau kekayaan kekayaan orang ketiga. Salah bentuk jaminan khusus dalam pemberian kredit koperasi adalah jaminan fidusia. Jaminan fidusia merupakan hak kebendaan yang memberikan jaminan pelunasan (pembayaran) utang debitur kepada kreditur. Utang debitur kepada kreditur dimaksud bisa teradi karena perjanjian maupun undang-undang yang berupa : 1. Utang yang telah ada;
105
Thomas Suyatno, 1998, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta hal 88
112 2. Utang yang timbul dikemudian hari telah diperjanjikan oleh para pihak dalam jumlah tertentu; 3. Utang saat dieksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.106 Pembebanan jaminan fidusia secara operasional dilakukan dengan dua tahap yaitu tahap pertama pemberian jaminan fidusia dan tahap kedua pendaftaran jaminan fidusia. Tahap pemberian jaminan fidusia dituangkan dalam bentuk akta notaris sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UUJF. Sedangkan untuk tahap pendaftaran jaminan fidusia sesuai dengan amanat Pasal 11 UUJF. Dalam praktek pemberian kredit dikoperasi tidak melakukan pendaftaran jaminan fidusia mengingat jumlah pinjaman yang diberikan oleh koperasi tidak besar dan anggota koperasi tidak mau mendaftarkan jaminan fidusia tersebut karena akan membutuhkan biaya lagi yang menyebabkan jumlah pinjaman dari anggota koperasi berkurang. Hal ini tidak sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 3 Undang Undang Perkoperasian yaitu koperasi bertujuan memajukan koperasi dengan tujuan mensejahterakan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut menyelaraskan
pembangunan ekonomi nasional dalam
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.107 Persetujuan antara debitur dengan kreditur atas pemberian kredit yang diberikan oleh pihak kreditur (koperasi) dengan jaminan fidusia telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka debitur harus menyerahkan surat asli dan fotokopi 106
Ridwan Syahrani, Opcit, hal.149-150 Wawancara Bapak Agung, Kepala Bagian Kredit Koperasi Pemogan,19 April 2013 107
113 benda yang dijadikan jaminan fidusia berupa BPKB, STNK kepada pihak kreditur.108 Menurut hemat penulis, jika melihat dari aspek yuridis kewenangan dari penerima fidusia (koperasi) untuk memproteksi dirinya dengan mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk memperoleh sertifikat fidusia yang dapat memiliki hak preferent dibandingkan dengan kreditur lainnya dan memiliki kekuatan eksekutorial dalam mengeksekusi jaminan fidusia apabila terjadi wanprestasi, pendaftaran jaminan fidusia adalah untuk melindungi hak-hak dari kreditur (koperasi) 3.3.Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Jaminan Fidusia Yang tidak Didaftarkan Oleh Koperasi Di Denpasar Jaminan Fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Jaminan fidusia sangat populer dalam bidang perbankan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari masalah perkreditan, hal ini dikarenakan objek jaminan hutang secara fisik masih tetap dalam penguasaan Debitur. Fungsi pendaftaran fidusia bagi masyarakat khususnya untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam hal pelunasan hutang bagi kepentingan kreditur. Sedangkan penerima fidusia yang
mendaftarkan jaminan fidusia di
kantor Pendaftaran Fidusia mendapatkan hak yang sudah diberikan Undangundang yakni memiliki kekuatan eksekutorial yang legal apabila terjadi 108
Wawancara Responden Yulia Rahadyanti Pada Koperasi Wisuda Guna Raharja, tanggal 8 Agustus 2013
114 wanprestasi. Oleh sebab itu kreditur harus jeli dan sungguh-sungguh dalam memanfaatkan lembaga pendaftaran yang telah disediakan dan diatur didalam Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Adanya kewajiban untuk mendaftarkan fidusia sesuai dengan yang diatur pada Pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, tetapi dalam praktek yang terjadi di masyarakat banyak jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Perjanjian kredit dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan lagi oleh koperasi ke Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia dikarenakan peminjam kredit adalah anggota koperasi sendiri, anggota koperasi tidak mau mendaftarkan jaminan fidusia tersebut karena koperasi adalah milik mereka juga. Selain itu biaya pendaftaran memberatkan debitur, dikarenakan debitur sendiri biasanya sudah kena potongan-potongan dalam meminjam kredit, seperti pemotongan provisi, biaya administrasi dan lainnya. Selain itu Undang-Undang terkait jaminan Fidusia perlu disosialisasikan kepada koperasi-koperasi agar masyarakat mengetahui pentingnya pendaftaran jaminan fidusia.109 Jaminan fidusia tidak didaftarkan lagi oleh koperasi di kantor departemen hukum dan hak asasi manusia dikarenakan dana yang disalurkan oleh koperasi adalah untuk anggota, dengan lingkup wilayah yang sudah jelas, mengetahui anggota koperasinya dengan sangat baik dan apabila terjadi permasalahan dapat diselesaikan dengan kekeluargaan. 110
109
Wawancara dengan Bapak A.A Made Subur (Kepala Bagian Kredit Koperasi Pemogan), tanggal 8 Mei 2013 110 Wawancara Bapak I Dewa Bagus Putu Budha, SE (Ketua Koperasi Pemogan), tanggal 8 Mei 2013
115 Selain itu Faktor tidak efektifnya pendaftaran fidusia lainnya ialah masalah lamanya waktu pengurusan. Kreditur-kreditur banyak yang mengeluhkan bahwa pelaksanaan pengurusan pendaftaran fidusia tersebut memerlukan waktu yang lama. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya ialah kurang lebih 3 Bulan,
waktu-waktu
tersebut
meliputi
waktu
yang
diperlukan
untuk
menandatangani akta, pembuatan akta, pendaftaran akta dan menunggu hasil pendaftaran akta yaitu terbitnya sertifikat fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia. dikarenakan hambatan-hambatan dalam pendaftaran fidusia berasal dari faktor ekstern pihak koperasi oleh karena itu koperasi lebih memilih perjanjian fidusia dibawah tangan yang lebih mudah, cepat, dan tidak memerlukan biaya tinggi daripada melaksanakan pendaftaran fidusia sebagaimana yang ditentukan didalam Pasal 11 ayat 1 Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia111, tetapi dengan pembaharuan sistem dalam pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan secara online seharusnya faktor mengenai lamanya waktu pengurusan tidak lagi menjadi kendala dalam pendaftaran jaminan fidusia. Faktor tidak efektifnya pendaftaran jaminan fidusia dikarenakan tidak ada batas waktu masa berlaku akta jaminan fidusia yang harus didaftarkan, menimbulkan persepsi bahwa jaminan fidusia baru akan didaftarkan apabila terdapat permasalahan kredit yang dialami oleh koperasi. Hal ini berbeda dengan SKMHT yang memiliki jangka waktu untuk pembebananya.112, dari hasil penelitian di koperasi hal ini sesuai dengan hipotesis yang pertama yaitu koperasi 111
Wawancara Bapak A.A. Ketut Nuraja (Ketua Koperasi Tunas Sari), Tanggal 9 Juni 2013 112 Wawancara A.A. Ketut Nuraja (Ketua Koperasi Tunas Sari), tanggal 27 juni 2013
116 tidak mendaftarkan jaminan fidusia dalam perjanjian kredit dikarenakan faktor faktor yaitu memerlukan biaya yang memberatkan debitur yang rata-rata berasal dari golongan kecil dan menengah, pihak koperasi tidak mendaftarkan jaminan fidusia tersebut. Melihat efektif atau tidaknya suatu jaminan fidusia didaftarkan pada Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia digunakan teori efektivitas hukum. Efektifitas hukum dapat diketahui jika suatu kaidah hukum berpengaruh mengatur sikap atau tindak perilaku masyarakat sesuai dengan tujuan hukum tersebut. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat dua faktor yang menyebabkan pendaftaran jaminan fidusia tidak dilakukan oleh koperasi yakni faktor internal dan faktor eksternal koperasi. Dalam Faktor internal dikarenakan pihak koperasi kurang mengetahui mengenai pentingnya pendaftaran jaminan fidusia karena pihak koperasi hanya menyerahkan pada Notaris untuk dibuatkan akta jaminan fidusia tetapi tidak didaftarkan pada kantor pendaftaran jaminan fidusia. Faktor eksternal yang mempengaruhi tidak didaftarkannya jaminan fidusia oleh koperasi antara lain : 1.
Faktor Masyarakat.
Salah satu tujuan hukum adalah untuk menciptakan kedamaian dalam masyarakat, dan penegakan hukum berasal dari masyarakat. Oleh karena itu, maka masyarakat turut mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Sedangkan fidusia sendiri lahir karena kebutuhan masyarakat. Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat yang eksistensi dan perkembangannya selalu dikaitkan dengan civil law. Dalam menanggapi kehadiran lembaga fidusia
117 pada saat itu, ada 3 hal yang dapat disimpulkan oleh beberapa ahli hukum yaitu: Pertama,
perkembangan
masyarakat
dibidang
perkreditan
lebih
tepat
dibandingkan dengan pengaturan hukum jaminan. Hukum jaminan harus mengikuti faktor realita yang terjadi dalam masyarakat agar tidak terjadi kekosongan hukum. Kedua, hukum jaminan dan masyarakat merupakan dua variabel yang saling berkaitan satu sama lain dan bersifat saling pengaruh mempengaruhi. Artinya, perubahan dalam masyarakat akan selalu diikuti oleh perubahan hukum jaminan. Perubahan itu meliputi dua dimensi hukum yakni dimensi realitas hukum merupakan bahan yang membentuk hubungan diantara masyarakat dan lingkungannya dan dimensi idealitas hukum termuat cita hukum, asas hukum yang dijadikan pedoman atau petunjuk arah dalam penyusunan hukum positif. Kesimpulan yang ketiga adalah adanya penemuan hukum oleh hakim. Hakim menemukan konstruksi baru dalam memecahkan problem hukum yang memperluas kaidah hukum dari jaminan gadai. Sejak saat itu lembaga fidusia menjadi populer dalam masyarakat yang memerlukan kredit dengan jaminan benda bergerak tanpa melepaskan kekuasaan atas barang jaminan itu secara fisik. Hal ini berarti merupakan sikap responsif dari kalangan perbankan terhadap kebutuhan masyarakat. Lahirnya Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia merupakan bukti betapa cepatnya perkembangan bidang hukum ini didalam masyarakat Indonesia. Dengan adanya Undang-Undang Fidusia ini diharapkan dapat menampung permasalahan-permasalahan pengaturan
Jaminan
yang
Fidusia
terdapat
untuk
didalam
memberikan
masyarakat
kepastian
tentang
hukum
dan
118 perlindungan hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Masyarakat dalam hal
ini
adalah
seluruh
masyarakat
Indonesia
khususnya
pihak
yang
berkepentingan yaitu Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia. Kesadaran masyarakat untuk melaksanakan pendaftaran fidusia sangat berpengaruh terhadap efektifitas pendaftaran fidusia sesuai dengan yang diamanatkan didalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999. Pada koperasi di wilayah kota denpasar , masyarakat yang meminjam kredit tidak mau mendaftarkan jaminan fidusia dikarenakan tidak mau menambah biaya lagi untuk pendaftaran jaminan fidusia, kesadaran masyarakat dalam hal pendaftaran jaminan fidusia masih kurang. 2. Faktor Efektifitas Hukum dalam masyarakat. Sebagai suatu sistem, menurut Hans Kelsen hukum mencakup struktur, subtansi, dan budaya. Struktur terdiri dari bentuk dari sistem tersebut yang mencakup tatanan lembaga lembaga tersebut, hak-hak dan kewajibankewajibannya.
Substansi
terdiri
dari
isi
norma-norma
hukum
beserta
perumusannya serta cara untuk menegakkan hukum yang berlaku dan apabila Dikaitkan dengan masalah efektifitas pendaftaran fidusia ini sangat berkaitan erat, Dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat masih awam dengan masalah fidusia dan cenderung tidak mengerti mengenai jaminan fidusia.113 Permasalahan tersebut disebabkan oleh masih kurang maksimal budaya hukum yang diciptakan oleh petugas Kantor Pendaftaran Fidusia (Depkumham). Hal tersebut menunjukkan
113
Wawancara Bapak A.A. Ketut Nuraja (Ketua Koperasi Tunas Sari), tanggal 30 Mei 2013
119 kesadaran hukum relatif masih rendah untuk menegakkan sistem Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 khususnya Pasal 11 ayat ( 1 ). Sedangkan upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulaginya yaitu dengan cara mengadakan penerangan dan penyuluhan yang dilakukan secara berulang kali, yang menimbulkan suatu penghargaan tertentu terhadap pentingnya dilakukan pendaftaran fidusia (cara ini lazimnya dikenal dengan sebutan pervasion). Cara lainnya yaitu dengan cara Compulsion yang menciptakan situasi tertentu yang menyebabkan masyarakat tidak memiliki pilihan kecuali mematuhi hukum yang berlaku yaitu melakukan pendaftaran fidusia dan semua itu bertujuan agar warga masyarakat secara mantap mengetahui dan memahami mengenai pentingnya melakukan pendaftaran fidusia sesuai dengan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 pasal 11. 3. Tidak adanya jangka waktu jaminan kapan jaminan fidusia wajib untuk didaftarkan Faktor penghambatan tidak efektifnya pendaftaran fidusia lainnya ialah masalah kapan jangka waktu jaminan fidusia tersebut wajib didaftarkan, akan menimbulkan persepsi
bahwa jaminan fidusia baru akan didaftarkan apabila
terdapat permasalahan kredit yang dialami oleh koperasi, dikarenakan hambatanhambatan dalam pendaftaran fidusia berasal dari faktor ekstern pihak koperasi, koperasi lebih memilih perjanjian fidusia dibawah tangan yang lebih mudah, cepat, dan tidak memerlukan biaya tinggi daripada melaksanakan pendaftaran fidusia sebagaimana yang ditentukan didalam Pasal 11 ayat (1) Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia.
120 Dengan tidak adanya
pendaftaran jaminan fidusia menimbulkan
ketidakpastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Hal ini jelas bertentangan dengan amanat dari UUJF sendiri. Jika dikaitkan dengan keberlakuan suatu hukum menurut menurut J.J.H. Bruggink, hukum yang baik harus memenuhi tiga aspek yaitu memenuhi syarat sosiologis, yuridis dan filosofis.114 Syarat Yuridis terpenuhi apabila persyaratan formal suatu undangundang terbentuk telah dipenuhi, syarat filosofis apabila hukum mempunyai kekuatan hukum apabila normanya sudah sesuai dengan ciri hukum (rechtsidee), dan memenuhi syarat sosiologis apabila hukum diterima dalam kehidupan bermasyarakat.115 Menurut D beriyck Beyleveld dan Roger brownsword, “a norm which can not be effective (applied and obeyed) can not be a valid norm (norma yang tidak dapat diterapkan dan dipatuhi secara efektif bukanlah norma yang valid). Selain itu dengan tidak didaftarkannya jaminan fidusia tidak akan memenuhi asas publicitas yang dengan demikian tidak melahirkan kepastian hukum apabila terjadi permasalahan dikemudian hari.
114
J.J.H. Bruggink, 1996, Refleksi tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta, Citra Aditya, Bandung, hal. 147 115 Sudikno Mertokusumo, Opcit, hal 87
121 BAB IV KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN KREDIT YANG MENGGUNAKAN AKTA FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN
4.1.Kekuatan Mengikat Perjanjian Pasal 1315 KUH Perdata memberikan penjelasan tentang terhadap siapa sajakah suatu perjanjian mempunyai pengaruh langsung. Bahwa perjanjian mengikat para pihak sendiri adalah logis, dalam arti, bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari adanya suatu perjanjian hanyalah untuk para pihak saja. Menurut Pasal 1315 KUH Perdata :“Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk diri sendiri.” Jadi orang bebas membuat perjanjian, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuknya perjanjian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya”, Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik Azas kekuatan mengikat dari perjanjian, bahwa pihak-pihak harus memenuhi apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata; bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak. Sedangkan Azas kebebasan berkontrak, dalam hal ini orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat
122 perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.116 Dapat ditarik kesimpulan dalam perjanjian mengandung asas kekuatan mengikat. Para pihak yang terlibat pada perjanjian tidak hanya terikat pada apa yang diperjanjikan akan tetapi terhadap beberapa unsur lain sepanjang tidak bertentangan denga peraturan perundang-undangan, moral dan kepatutan, maka asas-kepatutan, kebiasaan dan moral yang mengikat para pihak.117 Menurut Pasal 1339 KUH Perdata: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undangundang”. Suatu perjanjian tidak diperkenankan merugikan pihak ketiga, hal ini sesuai dengan Pasal 1340 KUH Perdata yaitu “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata". Pihak ketiga adalah mereka yang bukan merupakan pihak dalam suatu perjanjian dan juga bukan penerima/pengoper hak (rechtsverkrijgenden), baik berdasarkan alas hak umum maupun alasan hak khusus.
116
Rutten dalam Purwahid Patrik, 1986, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP Semarang, hal. 3 117 Mariam Darus Badrulzaman et.al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan (Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 87-88
123 Suatu perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak. Isi hak dan kewajiban tersebut selain ditentukan oleh hukum yang memaksa juga sudah tentu oleh sepakat para pihak. Namun disamping itu hukum yang menambah juga mengisi kekosongan dalam perjanjian mereka, yaitu apabila mereka tidak secara tegas mengaturnya secara menyimpang. Adanya kesempatan kepada para pihak untuk menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah itu, ada kalanya memberikan kesempatan kepada si kuat untuk menyingkirkan tanggung jawab tertentu, bahkan ada kalanya menggesernya kepihak lawan janjinya, dengan memperjanjikan suatu klausula, yang biasa disebut exoneratie-clausul. Dengan adanya kesempatan seperti itu sudah dapat diduga, bahwa kemungkinan terjadi, bahwa klausula exoneratie mempunyai kaitan dengan penyalahgunaan keadaan.
4.2.Kekuatan Mengikat
Akta Jaminan Fidusia Yang Tidak didaftarkan
dalam Perjanjian Kredit Koperasi Perjanjian kredit pada umumnya melahirkan suatu perikatan. Istilah Verbintenis dan Overeekomst dikenal Dalam hukum Belanda, sedangkan dalam istilah bahasa Inggris dinamakan Agreement. Perjanjian kredit koperasi adalah perjanjian yang dibuat oleh debitur dengan kreditur dalam bentuk perjanjian baku, tetapi dalam bentuk perjanjian baku tidak menghilangkan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam undang-undang. Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu : 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
124 3. suatu hal tertentu; 4.
suatu sebab yang halal; Perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian kredit antara kreditor dengan
debitur yang terdapat jaminan dan Jaminan tersebut kedudukanya terdapat dalam penguasaan debitur, untuk adanya perlindungan hukum dan kepastiaan hukum bagi kreditur,maka dibuat akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan yang kemudian terbit sertifikat jaminan fidusia yang telah memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitur melakukan wanprestasi (parate eksekusi), sesuai amanat Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Akta dibawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat oleh para pihak yang tidak memerlukan pejabat pembuat akta (notaris) Akta dibawah tangan tidak memiliki nilai pembuktian yang sempurna. Akta yang dilakukan dibawah tangan biasanya harus di otentikan ulang oleh para pihak jika akan dijadikan alat bukti yang sah, misalnya dalam pengadilan. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang Undang dan yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Pelaksanaan perjanjian pinjaman pada Koperasi di denpasar mangacu pada Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang. Sedangkan definisi pinjam meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang meminjam akan mengembalikan sejumlah yang
125 sama dari barang-barang tersebut”. Dengan demikian perjanjian pinjaman menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak, atau dapat pula dikatakan perjanjian tersebut berisi perikatan. Dasar hukum yang dijadikan landasan dalam perjanjian pinjaman pada Koperasi di Kota Denpasar adalah dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Pemberian pinjaman merupakan salah satu sumber perjanjian, dan perjanjian merupakan sumber terpenting lahirnya suatu perikatan. Dalam Pasal 1233 KUHperdata mengatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang. Oleh karena itu sumber suatu perikatan ada dua yaitu perjanjian dan undang-undang. Selain itu perikatan tersebut sah apabila perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang telah memenuhi syarat-syarat terbentuknya perjanjian. Syarat-syarat tersebut tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata, Hal ini disebabkan pemberian pinjaman dilakukan dengan cara melalukan perjanjian terlebih dahulu. Dengan demikian perjanjian pinjaman yang dibuat oleh para pihak telah melahirkan perikatan yang mengikat para pihak yang terkait. Selain itu dasar hukum dalam perjanjian pinjaman Koperasi diatur pula dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha
Kecil
dan
Menengah
Republik
Indonesia
Nomor
14/Per/M.KUKM/XII/2009. Perjanjian pinjaman antara koperasi simpan pinjam dengan anggota koperasi merupakan suatu hubungan hukum yang didasari unsur kepercayaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia di atas mengenai pengertian jaminan fidusia, Undang-Undang Jaminan Fidusia secara tegas menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan
126 atau jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan kepada penerima fidusia yaitu hak yang didahulukan terhadap peminjaman lainnya, Fidusia sebagai jaminan adalah sebagai penerapan pengamanan peminjaman kredit Koperasi Simpan Pinjam, yang dilahirkan dengan diawali oleh perjanjian pinjaman Koperasi Simpan Pinjam. Hal ini melihat bahwa perjanjian jaminan fidusia mempunyai karakter accessoir yaitu pemberian perjanjian jaminan diikuti dengan adanya perjanjian kredit yang disebut dengan perjanjian pokok. Jaminan fidusia tidak dapat berdiri sendiri harus mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokok berakhir maka perjanjian jaminan fidusia akan berakhir. Kekuatan mengikat akta fidusia yang tidak didaftaran di dalam perjanjian kredit koperasi menggunakan Teori Perjanjian sebagai pisau analisa. Dalam teori perjanjian pada perjanjian kredit yang dibuat oleh para pihak sah apabila kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian kredit bersifat konsensuil, karena perjanjian itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yaitu pihak peminjaman dan pihak anggota koperasi. Dengan adanya kata sepakat tersebut maka perjanjian pinjaman mengikat kedua belah pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian pinjaman tanpa persetujuan pihak lainnya. Apabila perjanjian pinjaman dibatalkan atau diputuskan secara sepihak maka pihak yang lain dapat menuntut. Setelah uang yang menjadi objek yang diperjanjikan tersebut telah diserahkan peminjaman dengan nyata kepada pihak anggota koperasi. Pihak anggota koperasi harus atau mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tepat waktu kepada pihak peminjaman sesuai dengan
127 kesepakatan yang ada dalam perjanjian. Selain bersifat konsensual perjanjian pinjaman juga bersifat riil sebab harus diadakan penyerahan atau dengan kata lain perjanjian tersebut baru dikatakan mengikat apabila telah dilakukan kesepakatan kehendak dan telah dilakukan penyerahan sekaligus antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan, “Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti “kemauan” (will) para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi”. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menentukan: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Selanjutnya menurut Mariam Darus Badrulzaman, “Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat”. Kekuatan mengikat perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan tetap memiliki kekuatan mengikat yang sah dikarenakan dibuat berdasarkan kesepakatan oleh para pihak. Pada Koperasi pemogan jaminan fidusia sudah dibuatkan dengan akta notariil dan dianggap telah memiliki kekuatan
128 hukum untuk menarik benda jaminan apabila terjadi wanprestasi.118 Pendapat lainnya kekuatan mengikat akta fidusia dalam perjanjian kredit yang dibuatkan secara akta notariil sudah cukup kuat apabila terjadi wanprestasi dan biasanya pada koperasi diselesaikan secara kekeluargaan, karena koperasi adalah milik anggota dan untuk anggota.119 Kekuatan mengikat dari perjanjian kredit dipermasalahkan apabila terjadi wanprestasi dari pihak debitur dengan tidak memenuhi kewajibannya khususnya dalam hal penarikan benda jaminan fidusia karena jaminan fidusia tersebut tidak didaftarkan oleh penerima fidusia (koperasi). Kekuatan mengikat akad kredit yang dibuat oleh koperasi, menurut saya akta Jaminan fidusia tetap memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan eksekutorial muncul apabila didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia jika tidak didaftarkan maka tidak memiliki kekuatan Eksekutorial. Secara yuridis bahwa munculnya sertifikat jaminan fidusia apabila akta jaminan fidusia didaftarkan guna kepastian hukum untuk memiliki kekuatan eksekutorial yang sempurna. Dengan tidak adanya Sertifkat jaminan Fidusia tidak akan melahirkan hak preferen bagi kreditur (koperasi), seharusnya tidak dapat melakukan eksekusi secara langsung, maka dari hasil penelitian mengenai kekuatan mengikat akta fidusia yang tidak didaftarkan dalam perjanjian kredit, hipotesis permasalahan kedua sesuai karena perjanjian kredit mengikat diantara para pihak yang membuatnya sedangkan untuk kekuatan eksekutorialnya dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan tidak sesuai dengan aturan hukum terutama 118
Wawancara Bapak A.A. Made Subur (Kepala Bagian Kredit Koperasi Pemogan), tanggal 20 Agustus 2013 119 Wawancara Bapak I Dewa Bagus Putu Budha, SE (Ketua Koperasi Pemogan), 20 Agustus 2013
129 dalam Pasal 11 UUJF dan tatacara pelaksanaan eksekusi apabila terjadi wanprestasi.
130 BAB V EKSEKUSI TERHADAP PERJANJIAN KREDIT YANG MENGGUNAKAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN
5.1.Eksekusi Jaminan Fidusia Pada Koperasi di Denpasar 5.1.1.Pengertian dan Dasar Hukum Eksekusi Eksekusi dalam bahasa belanda uitvoering, sedangkan bahasa Inggris disebut executie yang artinya pelaksanaan putusan pengadilan. Eksekusi menurut Subekti yaitu upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan umum (polisi, militer) guna memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan. Sedangkan Sudikno, eksekusi adalah pelaksanaan dari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut. Eksekusi dalam pengertian di atas adalah eksekusi putusan hakim (pengadilan). Selain putusan hakim, akta notariil memiliki pengertian yang sama dengan eksekusi dalam pengertian putusan hakim yang memiliki kekuatan yang sama dengan putusan hakim yang didalam akta tersebut terdapat irah-irah”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Pedoman pelaksanaan eksekusi harus sesuai dengan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam HIR dan RBG. Tata cara pelaksanaan eksekusi diatur lebih lanjut dalam Pasal 195 sampai dengan 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai dengan Pasal 240 dan Pasal 258 HIR. Selain pasal-pasal tersebut, terdapat pasal mengatur eksekusi tentang putusan. pengadilan yang menghukum
131 Tergugat untuk melakukan suatu ”perbuatan tertentu” Pasal 225 HIR atau 259 HIR. Pasal 180 HIR atau Pasal 1919 HIR, yang mengatur pelaksanaan putusan secara ”serta merta” (uitoverbaar bij voorraad) meskipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 5.1.2. Macam-Macam Eksekusi Macam-macam eksekusi menurut Peraturan Perundang-Undangan dalam HIR dan Rbg antara lain : a. Berdasarkan Obyeknya (apa yang dapat dieksekusi), dibedakan menjadi : 1. Eksekusi putusan hakim. 2. Eksekusi grosse surat utang notaril. 3. Eksekusi benda jaminan (Objek Gadai, Hak Tanggungan, Fidusia, Cessie, Sewa Beli, Leasing). 4. Eksekusi piutang negara, baik yang timbul dari kewajiban (utang pajak, utang bea masuk) maupun perjanjian kredit (bank pemerintah yang macet, piutang BUMN maupun BUMD). 5. Eksekusi
putusan
lembaga
yang
memiliki
wewenang
untuk
menyelesaikan sengketa. 6. Eksekusi terhadap sesuatu yang mengganggu hak atau kepentingan. 7. Eksekusi terhadap bangunan yang melanggar Izin Mendirikan Bangunan. b. Berdasarkan prosedur, eksekusi dibedakan menjadi : 1. Eksekusi tidak langsung, terdiri dari :
132 a) Sanksi atau hukum membayar uang paksa, berdasar perjanjian atau putusan hukum. b) Sandera (gijzeling), Pasal 209-223 HIR. c) Penghentian atau pencabutan langganan, ini didasarkan pada perjanjian yang dapat ditemukan dalam perjanjian langganan telepon, listrik, air minum dan lain sebagainya. 2. Eksekusi langsung, terdiri dari : a) Eksekusi biasa (membayar sejumlah uang). b) Eksekusi riil terhadap : 1) Putusan pengadilan; 2) Objek lelang. c) Eksekusi melakukan perbuatan. d) Eksekusi dengan pertolongan hakim. e) Eksekusi parat. f) Eksekusi penjualan di bawah tangan atas benda. g) Eksekusi piutang sebagai jaminan (berdasarkan perjanjian). h) Eksekusi dengan izin hakim. i) Eksekusi oleh diri sendiri. Adanya perbedaan eksekusi langsung dan tidak langsung didasarkan pada hasil yang didapatkan setelah dilakukan paksaan terhadap debitur yang tidak mau memenuhi kewajibannya. Dalam hal ini paksaan terhadap debitur menjadikan hak kreditur langsung terealisasi, maka eksekusi tersebut dinamakan eksekusi langsung. Sebaliknya jika dengan paksaan terhadap debitur hasilnya berupa
133 dorongan kepada debitur untuk segera memenuhi kewajibannya, maka eksekusi tersebut dikategorikan ke dalam eksekusi tidak langsung. 5.1.3Proses Eksekusi Fidusia Secara umum Eksekusi artinya menurut Kamus Basar Bahasa Indonesia adalah pelaksanaan putusan hakim; pelaksanaan hukuman badan peradilan khususnya hukuman mati atau pengertian lainnnya yaitu penjualan harta orang karena berdasarkan penyitaan. Menurut Munir Fuady, salah satu ciri dari jaminan hutang kebendaan yang baik adalah apabila pelaksanaan dieksekusi dengan prinsip secara cepat dengan proses yang sederhana, efisien dan mengandung kepastian hukum, misalnya Barang tersebut boleh dijual dimuka umum, atau dijual di bawah tangan, asalkan dilakukan dengan beritikad baik dengan cara yang commercially reasonable.120 Pengaturan pelaksanaan eksekusi dalam KUHPerdata dapat dilihat dalam Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata dan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata. Dalam Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa : Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka siberpiutang adalah berhak jika siberutang atau sipemberi gadai bercidera janji, setelah tenggang waktu yang diberikan lampau, stelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar, menyuruh menjual barangnya gadai dimuka umum menurut kebiasan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku dengan maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut. Pengaturan mengenai pelaksanaan eksekusi dalam ketentuan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa : 120
Munir Fuady, 2003, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.57
134 Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang Hipotek pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotek, dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika uang pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutan tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan dimuka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta biaya, dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut harus dilakukan menurut cara sebagaiamana diatur dalam Pasal 1211. Fidusia sebagai salah satu jenis jaminan hutang juga harus memenuhi unsur-unsur : cepat, murah dan pasti tersebut. Inilah yang sudah dikeluhkan sejak lama dalam praktek, sebab selama ini (sebelum berlakunya UUJF), Pelaksanaan tatacara eksekusi tidak jelas pengaturannya, banyak terjadi penafsiran. Oleh karena itu UUJF mengambil pola eksekusi hak tanggungan yang dikembangkan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 yaitu dengan mengatur eksekusi fidusia dengan cara yang bermacam-macam maka para pihak dapat memilih cara eksekusi yang mereka sepakati. Model-model eksekusi jaminan fidusia menurut UUJF Nomor 42 Tahun 1999 adalah sebagai berikut : 1. Secara Fiat eksekusi (dengan memakai titel eksekutorial) yakni lewat penetapan pengadilan. Pasal 15 UUJF Nomor 42 Tahun 1999 menyatakan “sertipikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum penuh, fiat eksekusi artinya eksekusi atas akta seperti mengeksekusi suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti”. 2. Secara parate eksekusi, yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan pengadilan) didepan pelelangan umum. 3. Dijual di bawah tangan oleh pihak kreditor sendiri.
135 Menurut Pasal 29 UUJF Nomor 42 Tahun 1999, syarat agar suatu fidusia dapat dieksekusi secara di bawah tangan yang eksekusinya tanpa lewat pengadilan (secara parate eksekusi) adalah sebagai berikut: a. Dilakukan dengan kesepakatan. b. Jika dengan cara penjualan dibawah tangan dicapai harga tertinggi. c. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan. d. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu bulan sejak pemberitahuan secara tertulis. Selain eksekusi fidusia secara parate eksekusi berjualan dibawah tangan dikenal juga istilah eksekusi secara mendaku yaitu eksekusi fidusia dengan cara mengambil barang fidusia menjadi milik kreditor secara langsung tanpa lewat suatu transaksi apapun, dan ketentuan Pasal 33 UUJF Nomor 42 Tahun 1999 melarang secara tegas eksekusi mendaku ini sebagaimana dikemukakan bahwa setiap janji yang memberikan kewenangan pada penerima fidusia (kreditur) untuk memiliki benda jaminan apabila Debitur cidera janji akan batal demi hukum (null and void) akan tetapi apabila ketentuan tersebut dikaitkan dengan institusi hukum fidusia sebagai penyerahan hak milik secara kepercayaan, maka benda obyek fidusia sudah berpindah kepemilikannya kepada kreditur, sementara pihak kreditur menyerahkan penguasaan benda obyek fidusia tersebut kepada Debitur (constitutum possessorium) secara kepercayaan, mestinya larangan mendaku dalam eksekusi tidak perlu ada.121 Terkait dengan fidusia yang dapat dieksekusi secara di bawah tangan, pada prakteknya koperasi dalam meyalurkan kredit menggunakan jaminan fidusia, 121
Ibid, hal 57-62.
136 Tetapi tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat jaminan fidusia. Akta tersebut dapat digolongkan sebagai akta jaminan fidusia dibawah tangan. Berdasarkan Pasal 1874 KUHPerdata yang dimaksud akta dibawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh pihak-pihak tanpa perantara seorang pegawai resmi dan keberadaan fidusia dibawah tangan ini, Bank Indonesia Direktorat Bank Perkreditan Rakyat tahun 2007 mengeluarkan surat edaran No.9/1/DpG/DPBPR tanggal 2 Mei 2007 mengenai solusi untuk mengatasi pengikatan jaminan yang lebih low cost.
5.2.Akibat Hukun Terhadap Akta Fidusia Yang tidak Didaftarkan Pada Perjanjian Kredit Koperasi Hubungan antar subjek hukum harus dilindungi oleh hukum, agar masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya dalam melakukan tindakan yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Hal tersebut diatas dapat menunjukkan bahwa perlindungan hukum para pihak aman untuk melaksanakan kepentingannya oleh karena itu suatu pemberian jaminan atau kepastian seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi kewajiban dan haknya, Didalam konsideran UUJF menyatakan tujuan dibentuknya pengaturan mengenai jaminan fidusia adalah memberikan perlindungan yang lebih baik bagi yang berkepentingan, untuk mewujudkan hal tersebut benda yang telah dibebani jaminan fidusia harus didaftarkan pada kantor pendaftaran jaminan fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia telah diatur didalam Pasal 11 sampai Pasal 18 UUJF dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 tahun 2000 tentang Tata Cara
137 Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Didalam Pasal tersebut menjelaskan mengenai benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan, tempat pendaftaran jaminan fidusia, cara pendafataran hingga lahirnya sertipikat jaminan fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia merupakan perwujudan dari asas publicitas dankepastian hukum. 122 Tujuan daripada UUJF adanya pendaftaran jaminan fidusia antara lain: a. Untuk memberikan perlindungan hukum kepada kreditor; b. Memberikan hak yang didahulukan kepada penerima fidusia terhadap kreditor yang lain c. Memenuhi asas publisitas Didalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mensyarat bahwa benda yang dibebankan jaminan fidusia wajib didaftarkan, manfat yang didapat dengan adanya pendafataran antara lain : 1. Mempunyai hak mendahului (preferent) Jaminan yang memiliki hak mendahului artinya kreditor sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap kreditor lainnya untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 UUJF.
122
Tan Karmelo, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni, Bandung, hal 213.
138 Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam suatu perikatan.123 Seseorang dapat dikatakan wanprestasi, jika : a. Tidak melakukan apa yang diperjanjikan b. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat c. Melakukan yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana mestinya; d. Melakukan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan berdasarkan perjanjian. 2. Mempunyai kekuatan eksekutorial Penerima fidusia memiliki hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda jaminan apabila debitur wanprestasi. Eksekusi dapat dilakukan sendiri tanpa menunggu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan adanya pendaftaran jaminan fidusia akan lahir sertifikat jaminan fidusia yangmemiliki irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang menyebabkan sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam Pasal 15 ayat (1) menyatakan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan dalam Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan bahwa “sertifikat jaminan fidusia sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) UUJF telah memberikan kekuatan eksekutorial bagi sertifikat jaminan fidusia, oleh karena itu pemegang sertifikat 123
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 241.
139 jaminan fidusia berkedudukan sama dengan orang yang telah memegang putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, pemegang sertifikat jaminan fidusia dapat melakukan eksekusi apabila terjadi wanprestasi. Pendaftaran jaminan fidusia telah memberikan banyak keuntungan yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak kreditur. Perlindungan hukum yang dimaksd yaitu terdapat usaha untuk memberikan hak-hak para pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Dengan adanya UndangUndang jaminan fidusia merupakan usaha dari pemerintah untuk melindungi kreditur dengan memberikan hak seperti hak mendahului, dan memiliki keuatan eksekutorial sesuai amanat Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1) UUJF Perlindungan hukum ada 2 yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Pendaftaran jamian fidusia merupakan termasuk perlindungan hukum preventif, hal ini dimasudkan untuk melindungi hak-hak dari kreditur sebagai penerima fidusia sebelum terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh debitur, karena jika terjadi wanprestasi pihak kreditur sudah memiliki hak untuk mengeksekusi objek yang menjadi jaminan fidusia dengan adanya sertifikat jaminan fidusia dan juga hak didahulukan dari kreditur lain dimana hak tersebut tidak akan mungkin didapat jika kreditur tidak mendaftarkan benda yang dibebani jaminan fidusia. Pembebanan terhadap jaminan fidusia dilakukan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan “pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia”. Dari ketentuan Pasal 5 ayat (1) setiap perbuatan jaminan fidusia membebani benda
140 dengan jaminan fidusia dibuat dengan bentuk akta notaris. Tetapi dalam prakteknya banyak sekali pihak kreditur tidak membebankan jaminan fidusia kedalam akta notariil, maka jaminan fidusia tidak didaftarkan dan sudah barang tertentu apabila jaminan fidusia tidak didaftarkan
5.3. Eksekusi Perjanjian Kredit Koperasi Dengan Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 menyatakan bahwa : apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara : a. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) oleh penerima fidusia; b. Penjualan benda yang menjadi jaminan fidusia berdasarkan kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan. c. Penjualan dibawah tangan dengan harga tertinggi yang menguntungkan para pihak berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUJF telah mengatur beberapa model pelaksanaan eksekusi atas benda yang menjadi jaminan fidusia antara lain : a. Eksekusi berdasarkan grosse akta jaminan fidusia atau title eksekutorial (secara fiat eksekusi) yang terdapat dalam sertipikat jaminan fidusia, yang dilakukan oleh penerima fidusia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) sub a UUJF, maka eksekusi terhadap objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan grosse akta sertifikat jaminan fidusia atau dengan title eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Dalam ketentuan pasal 15 ayat (2) UUJF, sertipikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan
141 eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena sertipikat fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang tetap dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap maka pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia atau dengan title eksekutorial sertifikat jaminan fidusia mengikuti pelaksanaan suatu putusan pengadilan.124 Ada beberapa akta yang mempunyai title ekskutorial, yakni yang disebut grosse akta, yaitu : 1. Akta Hipotek (pasal 224 HIR) 2. Akta Pengakuan Hutang (Pasal 224 HIR) 3. Akta Hak Tanggungan (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan) 4. Akta Fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia) Pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan grosse akta atau title eksekutorial sertifikat jaminan fidusia, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 196 HIR/207 Rbg, diawali dengan pengajuan permohonan pelaksanaan eksekusi oleh kreditor (penerima fidusia) kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk menjalankan eksekusi objek jaminan fidusia. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan memanggil debitur dan memerintahkan segera mungkin dalam tempo 8 hari supaya memenuhi kewajibannya. Apabila dalam jangka waktu 8 Hari tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 197/209 Rbg, Ketua 124
Rachmadi Usman, Opcit, hal.232
142 Pengadilan akan memerintahkan kepada juru sita dengan surat perintah untuk menyita sejumlah benda yang menjadi objek jaminan fidusia. b. Eksekusi Berdasarkan pelaksanaan parate eksekusi melalui pelelangan umum oleh penerima fidusia. Selain pelaksanaan eksekusi dengan grosse akta dapat pula dilakukan dengan parate eksekusi (eksekusi langsung), yaitu para pemegang gadai atau hipotek dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dapat melaksanakan haknya secara langsung tanpa melalui keputusan hakim atau grosse akta notaris.125 Kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri pada gadai timbul karena ditetapkan oleh undang-undang. Kewenangan pada hipotek timbul karena memang diperjanjikan lebih dahulu. Janji yang demikian tercantum dalam akta hipotek dan jika didaftarkan mempunyai sifat hak kebendaan. Salah satu wujudnya dapat dilihat dalam pasal 29 ayat (1) sub b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, maka diberikan hak kepadanya untuk melakukan penjualan terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia, asalkan debitur (pemberi fidusia) cidera janji dan itu pun harus dilakukan lewat pelelangan umum tanpa memerlukan lagi persetujuan dari debitur.126 Berdasarkan ketentuan dalam asal 29 ayat (1) sub b juncto pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Fidusia, yang memberikan hak atau wewenang kepada kreditor atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi) untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia guna mendapatkan pelunasan piutangnya. Dari ketentuan tersebut mengandung makna yaitu tanpa meminta bantuan ketua atau 125 126
Sri soedewi Maschoen III, Opcit, hal 32 Rachmadi Usman, Opcit, hal 235
143 juru sita dari Pengadilan Negeri yang bersangkutan kreditur dapat mengeksekusi langsung jaminan fidusia dengan cara meminta bantuan kantor lelang untuk melakukan penjualan secara umum atau lelang atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia.127 c. Eksekusi secara penjualan di bawah tangan oleh kreditor pemberi fidusia sendiri. Pelaksanaan eksekusi
benda jaminan fidusia dapat dilakukan melalui
penjualan di bawah tangan, sepanjang ada kesepakatan antara kreditor dengan debitur. Pada parate eksekusi penjualan yang menjadi objek jaminan fidusia melalui pelelangan umum, namun belum dapat memberikan keuntungan bagi para pihak. Ini berarti eksekusi terhadap benda yang menjadi jaminan fidusia secara parate eksekusi tidak harus melalui pelelangan umum, diberi kemungkinan untuk melakukan eksekusi atas benda objek jaminan fidusia melalui penjualan dibawah tangan.128 Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) sub c UUJF, dapat diketahui bahwa eksekusi atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan berdasarkan parate eksekusi secara penjualan dibawah tangan. Penjualan dibawah tangan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut dapat dilakukan bila memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana telah diatur dalam ketentuan pasal 29 ayat 1 huruf c dan pasal 29 ayat (2) UUJF. Syarat-syarat yang dimaksud antara lain :
127 128
Rachmadi Usman, Loc.cit Rachmadi Usman, Opcit, hal 236-237
144 1. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi fidusia dan penerima fidusia ; 2. Dapat diperoleh harga yang tertinggi menguntungkan para pihak; 3. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan; 4. Diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar didaerah yang bersangkutan, dan; 5. Pelaksanaan penjualan dibawah angan tersebut dilakukan setelah waktu 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis. Menurut Kitab Undang-undang Hukum acara Perdata, setiap akta yang mempunyai title eksekutorial dapat dilakukan fiat eksekusi. Pasal 224 HIR tersebut menyatakan bahwa grosse akta dari akta hipotek dan surat hutang yang dibuat dihadapan notaris dan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan kekuatan suatu putusan hakim. Jika tidak dengan jalan damai, maka surat yang demikian dieksekusi dengan perintah dibawah pimpinan ketua pengadilan Negeri, yang dalam daerah kedudukannya yang dipilihnya yaitu menurut tata cara yang dinyatakan dalam pasal-pasal sebelumnya.129 UUJF menyatakan dalam sertifikat jaminan fidusia terdapat katakata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Sertifikat jaminan fidusia tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada dasarnya sebelum terjadinya eksekusi barang jaminan dalam perjanjian kredit koperasi melakukan upaya-upaya agar debitur dapat membayar, upaya-upaya tersebut antara lain : 1. Rescheduling a. Memperpanjang jangka waktu pengembalian kredit 129
Munir Fuady, Opcit, hal 159
145 Dalam hal ini debitur diberikan kelonggaran dalam jangka waktu kredit contohnya memberikan perpanjangan jangka waktu kredit dari 3 bulan menjadi 9 bulan. b. Memperpanjang jangka waktu angsuran Keringanan Pengembalian kredit dengan jangka waktu angsuran kredit diperpanjang pembayarannya contoh 20 kali menjadi 50 kali 2. Reconditioning Pengubahan berbagai persyaratan kredit agar debitur dapat membayar utangnya seperti; a) Kapitalisasi bunga, yaitu perubahan bunga dijadikan hutang pokok. b) Penundaan pembayaran bunga dalam waktu tertentu. Hanya bunga yang dapat ditunda pembayarannya, sedangkan pokok pinjamannya tetap wajib dibayar yang dilakukan untuk meringankan debitur. c) Penurunan suku bunga. Penurunan suku bunga bertujuan untuk meringankan beban debitur. contoh bunga per tahun sebelumnya dibebankan 10 % diturunkan menjadi 8 %. Hal ini tergantung dari pertimbangan dari koperasi. d) Pembebasan bunga. Pembebasan suku bunga dapat dilakukan apabila debitur sudah tidak mampu lagi membayar bunga tetapi tetapi berkewajiban untuk membayar pokok pinjamannya . 3. Restructuring a. Dengan menambah jumlah kredit
146 b. Dengan menambah equity: - dengan menyetor uang tunai - tambahan dari pemilik 4. Penyitaan jaminan Penyitaan jaminan terjadi jika debitur tidak memiliki itikad baik ataupun sudah tidak mampu lagi untuk membayar semua hutangnya.130 Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang tidak didaftarkan menggunakan teori perjanjian dan teori perlindungan hukum. Teori perjanjian digunakan untuk pelaksanaan eksekusi dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh para pihak, sedangkan untuk teori perlindungan hukum, hukum dilakukan dengan membatasi berbagai kepentingan pihak lain, hukum memiliki tujuan untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan masyarakat. Cara penyelesaian terhadap debitur yang tidak melaksanakan prestasinya dapat dilakukan dengan penyitaan jaminan, dimana jaminan tersebut akan dijual untuk melunasi hutang debitur. Penyitaan jaminan merupakan jalan terakhir apabila debitur tidak memiliki itikad baik ataupun sudah tidak mampu lagi untuk membayar semua hutang-hutangnya. Penyitaan jaminan dapat dilakukan bukan hanya barangbarang yang telah dijadikan jaminan tapi juga seluruh harta kekayaan yang telah dimiliki debitur apabila terjadi ketidaksanggupan membayar sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Penyitaan jaminan terhadap barang debitur dilakukan oleh Bagian Kredit Koperasi Tunas Sari dan barang jaminan tersebut dijual dan hasil penjualan diambil sebagai pelunasan utang debitur dan sisa penjualan 130
http://en.Wikipedia.org/wiki/blog.com, diakses pada hari Minggu, 5 September 2010.
Wikipedia
Foundation
Inc,
147 dikembalikan kepada debitur. Penjualan barang jaminan disesuaikan dengan harga pasar dari jaminan tersebut, agar tidak merugikan debitur.131 Pada Koperasi diwilayah kota denpasar pelaksanaan eksekusi biasanya dilakukan dengan kekeluargaan dikarenakan jika dilanjutkan hingga tingkat pengadilan menambah biaya yang relatif besar. Pelaksanaan eksekusi dapat dilakukan dengan penjualan sendiri oleh debitur atau koperasi membantu menjualkan barang jaminan tersebut dengan harga yang sesuai. Dari hasil penjualan jaminan fidusia tersebut digunakan untuk pelunasan seluruh hutanghutang debitur kepada koperasi. Apabila terdapat ada sisa dari hasil penjualan barang jaminan dikembalikan kepada debitur, sedangkan apabila terjadi kekurangan bayar dari hasil penjualan barang jaminan debitur wajib untuk melunasi sisa dari kekurangan tersebut.132 Apabila terjadi permasalahan dalam penyelesaian
tunggakan
kredit
maka
diselesaikan
secara
kekeluargaan
dikarenakan koperasi merupakan milik seluruh anggota koperasi yang memiliki tujuan untuk mensejahterakan anggotanya.133 Dari hasil penelitian pada koperasi di wilayah denpasar yang melaksanakan eksekusi dengan cara kekeluargaan,maka hasil hipotesis permasalahan yang ketiga yaitu Apabila terjadi wanprestasi oleh pihak debitur maka penyelesaian eksekusi terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dengan upaya mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri
131
Wawancara Bapak I Wayan Landuh (Operasional Manajer Koperasi Tunas Sari), Tanggal 30 Mei 2013 132 Wawancara Bapak A.A. Made Subur, (Kepala Bagian Kredit Koperasi Pemogan), tanggal 8 Mei 2013 133 Wawancara Yulia Rahadyanti (anggota koperasi Wisuda Guna Raharja) tanggal 8 Agustus 2013
148 hingga turunnya putusan pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi tidak sesuai dengan pelaksanaan dilapangan. Eksekusi pada perjanjian kredit pada koperasi dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan, seharusnya tidak dapat dieksekusi sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat (1) UUJF yaitu dengan adanya pendaftaran jaminan fidusia kreditor sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap kreditor lainnya untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur wanprestasi serta memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan, tetapi dalam kenyataanya jaminan fidusia yang tidak didaftarkan pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, tetap dapat dilakukan eksekusi oleh koperasi dengan cara kekeluargaan.
149 BAB VI PENUTUP 6.1. Simpulan Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian pembahasan diatas adalah : 1. Tidak didaftarkannya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit koperasi disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari koperasi. Pada faktor internal dikarenakan pihak koperasi kurang mengetahui pentingnya pendaftaran jaminan fidusia dalam perjanjian kredit yang dilakukan oleh koperasi untuk adanya jaminan kepastian hukum dan kekuatan mengikat eksekutorial pada perjanjian tersebut. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi tidak didaftarkannya jaminan fidusia antara lain : a. Faktor Masyarakat : Adanya biaya tambahan dalam pembuatan akta notaris dan dilanjutkan dengan biaya pendaftaran jaminan fidusia yang dirasa membebani debitur yang merupakan anggota koperasi dan pendaftaran jaminan fidusia membutuhkan biaya lagi selain biayabiaya administrasi yang telah dikurangi sebelumnya, oleh karena itu tidak sesuai dengan amanat Pasal 3 Undang-Undang Pekoperasian yang koperasi bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya b. Faktor Penegak Hukum : Kurang efektifnya sosialisasi yang dilakukan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai pentingnya pendaftaran jaminan fidusia.
150 c. Faktor Hukumnya Sendiri :Tidak Adanya ketentuan jangka waktu yang pasti terhadap pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dalam Pasal 11 UUJF mengatur mengenai kewajiban pendaftaran jaminan fidusia 2. Jaminan fidusia yang tidak didaftarkan hanya mengikat para pihak yang membuat perjanjian dan kekuatan eksekutorial dari jaminan fidusia yang tidak didaftarkan berlaku jika debitur hanya memiliki satu kreditur, sedangkan jika memiliki lebih dari satu kreditur kekuatan eksekutorial dimiliki oleh kreditur yang mendaftarkan jaminan fidusia tersebut. 3. Debitur yang memiliki satu kreditur pelaksanaan eksekusi dapat dilakukan dengan musyawarah, sedangkan debitur yang memiliki lebih dari satu kreditur dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka pelaksanaan eksekusi dengan menempuh upaya pengadilan. 6.2.Saran Berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Bagi Pemerintah : hendaknya pihak pemerintah lebih giat lagi melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pendaftaran jaminan fidusia untuk menjamin adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para pihak. 2. Bagi Koperasi : untuk menjamin adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum hendaknya koperasi dikota denpasar dalam melakukan perjanjian kredit yang diikat dengan jaminan fidusia haruslah
151 dibuat dengan akta notariil dan melakukan pendaftaran jaminan fidusia pada kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia agar koperasi memiliki jaminan kepastian hukum dan memiliki kedudukan yang preferen dari kreditur lainnya 3. Bagi debitur : Hendaknya pihak debitur mau untuk melakukan pendaftaran jaminan fidusia, untuk adanya jaminan kepastian hukum dan memiliki kekuatan eksekutorial, dalam melaksanakan eksekusi atas jaminan fidusia apabila terjadi wanprestasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
152 DAFTAR PUSTAKA
A.BUKU : Amirudin dan Zainal Asikin, 2006, Penghantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Atmasasmita, Romli, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, Mandar Maju,Bandung. Baswir, Revrisond, 2000, Koperasi Indonesia, BPFE , Yogyakarta. Pusat Bahasa, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Campbell, Black Henry, 1999, Black’s Law Dictionary. Edisi VI. St. Paul Minesota: West Publishing Fuady, Munir, 2005, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Globalisasi, Citra Aditya Bakti, Bandung. ______, 2003, Jaminan Fidusia , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Golding, M.P, The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia University, Random House, New York. Hadjon, Philipus M, 1998, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya. Hadhikusuma, R.T Sutantya Raharja, 2000 Hukum Koperasi Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Hart, H.L.A, 1972, The Concept of Law,Claredon Press,Oxford. Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemeerintah di bidang Pertanahan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Bruggink, J.J.H, 1996, Refleksi tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta, Citra Aditya, Bandung Kansil, CST, 2002, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Kartasapoetra dan A. G Kartasanoetra dan kawan, 2001, Koperasi Indonesia yang Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, PT Rineka Cipta, Jakarta.
153
Kelsen, Hans sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, 2006, Teori Hukum Murni, Nuansa dan Nusamedia, Bandung. _______, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, 2007, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, BEE Media Indonesia, Jakarta. Khasadi, 2006, Materi Hukum Jaminan, Progaram Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang. Manullang,Hamzah Senjum, 1987, Indonesia, Indhill Co.Jakarta.
Lembaga Fidusia dan Penerapannya di
Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan (Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta Miru, Ahmadi, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo, Jakarta. Sinungan, Muchdarsyah, 1992, Manajemen Dana Bank, Bumi Aksara, Jakarta Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Muhammad Abdulkadir, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Mustafa Bacshan, Bewa Ragawino, Yaya Priatna, 2004, Azas-Azas Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Edisi Pertama, Armico, Bandung. Muladi. 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Cetakan Kedua, Universitas Diponegoro, Semarang. Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi, 2007, Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
154 Pound,Roscoe, 1996, Pengantar Filsafat Hukum (An Introduction to the philosophy of Law) diterjemahkan oleh Mohammad Radjab, Bhratara Niaga Media, Jakarta. Prodjodikoro,Wirjono, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Cet VIII, Sumur, Bandung. Rahardjo,Satjipto, 2006, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Patrik Purwahid, 1986, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP Semarang. Soebekti, R, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. ________, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And Studies, third edition, Jakarta. Soemitro, Rony Hatnijo, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta Soekanto, Soerjono, 2008, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta Sunaryati CFG, Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Alumni, Bandung Sunggono, Bambang, 2003, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia PokokPokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Penerbit Liberty, Yogyakarta. Karmelo Tan, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, Alumni, Bandung. Vasu, Sucitthra, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books, Singapore.
155 B.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 R.Soebekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita, Jakarta. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790). Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3632) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 212 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5355).
C. INTERNET Supanto, Perlindungan Hukum Wanita, http//.supanto.staff.hukum.uns.co.id Arikanti Natakusumah, Pemahaman Terhadap Akta Perjanjian Kredit, http://groups.google.co.id/group/NOTARISPPATINDONESIA/msg/fc6c894 afef26e4b?dmode=ssource http://en. Wikipedia.org/wiki/blog.com, Wikipedia Foundation Inc., diakses pada hari Minggu, 5 September 2010. https://susansutardjo.wordpress.com/tag/pengawasan-koperasi, diunduh tanggal 22 Agustus 2013 https://susansutardjo.wordpress.com/tag/pengawasan-koperasi, tanggal 22 Agustus tahun 2013
diunduh
https://repository.usu.ac.id/Siagian:penerapan prinsip kehati-hatian pemberian kredit,diunduh pada tanggal 22 Agustus tahun 2013
pada
dalam