Analisis Kebijakan
33
Pelaksanaan Revitalisasi Pertanian Pendahuluan Revitalisasi pertanian dan pedesaan, merupakan salah satu strategi yang dipilih oleh Kabinet Indonesia Bersatu dalam upaya mewujudkan pembangunan masyarakat Indonesia, dengan sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penyediaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Revitalisasi pertanian diartikan sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, melalui peningkatan kinerja sektor pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain. Revitalisasi pertanian juga dimaksudkan untuk menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat dalam melihat pertanian, tidak hanya sekedar penghasil komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian harus dilihat sebagai sektor yang multi-fungsi dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia. Pertanian merupakan penghasil pangan dan bahan baku industri, basis bagi pembangunan daerah dan pedesaan, penyangga di masa krisis, perekat persatuan bangsa dalam keberagaman sumberdaya yang dimiliki dan sumber penghasilan utama bagi lebih dari 25,5 juta keluarga. Kinerja Pembangunan Pertanian Sampai dengan saat ini sektor pertanian masih memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional, terutama dalam penyediaan bahan pangan utama dan penyerapan tenaga kerja serta mendukung pengembangan sektor lain melalui penyediaan bahan baku. Selama tahun 2004 Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian tumbuh 4,02 persen dan nilai tukar petani berada pada level 119,19. Keadaan tersebut terus menunjukkan perbaikan selama tahun 2005, dengan terjadinya peningkatan sumbangan sub-sektor yang ada dalam PDB pertanian. Selama tahun 2004-2005 PDB sub-sektor pangan meningkat dari 96,68 triliyun menjadi 98,74 triliyun, demikian juga pada sub-sektor perkebunan terjadi peningkatan dari 24,01 triliyun menjadi 27,36 triliyun dan peternakan dari 23,99 triliyun menjadi 26,38 triliyun. Pada saat yang bersamaan jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian, diperkirakan meningkat dari 40,61 juta menjadi 41,81 juta orang. Walaupun selama tahun 2005 diperkirakan terjadi penurunan produksi padi sebesar 0,19 persen, namun jumlah tersebut masih dapat mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga impor yang dilakukan selama tahun ini lebih ditujukan untuk memperkuat cadangan penyangga yang dibutuhkan BULOG. Untuk komoditi pangan utama lainnya, seperti jagung dan kedele, selama tahun 2005 keadaannya relatif lebih baik, produksi jagung meningkat dari 11,23 juta ton menjadi 12,01 juta ton, sementara produksi kedele meningkat dari 0,723 juta ton menjadi 0,797 juta ton. Selama tahun 2004-2005 diperkirakan terjadi peningkatan surplus perdagangan produk pertanian Indonesia di pasar internasional, dari 1,99 US$
34
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
milyar menjadi 2,55 US$ milyar. Peningkatan surplus ini utamanya disebabkan oleh peningkatan nilai ekspor dari 4,35 US$ milyar menjadi 5,16 US$ milyar. Ekspor produk pertanian Indonesia masih bertumpu pada minyak sawit, karet, kopi, kakao dan bahan baku industri lainnya. Sementara itu impor yang juga mengalami peningkatan dari 2,36 US$ milyar menjadi 2,61 US$ milyar, terutama untuk komoditi beras, gula dan bahan makanan ternak serta daging dan susu. Harga pembelian gabah ditingkat petani, selama tahun 2005 relatif stabil dan umumnya berada di atas harga pokok pembelian yang ditetapkan pemerintah. Harga gabah kering panen per-kilogram berkisar antara Rp 1.393 dan Rp 1.473 dengan harga rata-rata sekitar Rp 1.433. Untuk mempertahankan harga di tingkat petani, pada tanggal 1 Januari 2006 nanti pemerintah berencana meningkatkan harga pembelian gabah di tingkat petani oleh BULOG menjadi Rp 1.750/kilogram. Masalah dan Tantangan Kedepan Transformasi struktur perekonomian nasional yang ditunjukkan oleh penurunan peran sektor pertanian, tidak diikuti oleh menurunnya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Akibatnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian terus menunjukan penurunan dibandingkan sektor lain seperti industri dan jasa. Kondisi ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan sektor pertanian dalam menciptakan lapangan kerja baru, karena tidak berkembangnya industri pertanian dan kegiatan non-pertanian di daerah pedesaan. Kegiatan pertanian masih bertumpu pada usaha budidaya dan ditopang oleh sumberdaya manusia pertanian dengan pendidikan sekitar 81 persen tidak sekolah atau hanya menamatkan pendidikan dasar. Peningkatan jumlah penduduk rata-rata sekitar 1,5 persen per-tahun, menyebabkan semakin tingginya tekanan terhadap sumberdaya lahan. Kondisi ini diperburuk oleh makin derasnya konversi lahan pertanian menjadi areal pemukiman dan industri, sehingga penguasaan lahan per-keluarga terus menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu. Selama tahun 1993-2003, jumlah petani gurem (dengan luas garapan kurang dari 0,5 hektar) meningkat rata-rata sekitar 2.6% per-tahun. Pengembangan lahan marjinal sebagai sumber pertumbuhan baru belum dikembangkan secara optimal, saat ini terdapat sekitar 9 juta hektar lahan terlantar yang ditutupi semak belukar dan alang-alang yang belum dimanfaatkan dengan baik. Disamping itu, sekitar 36 juta hektar lahan, terutama di luar Jawa, sesuai dan berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Seperti halnya sumberdaya lahan, sumberdaya air juga semakin terbatas dan mengalami degradasi. Pertumbuhan penduduk dan industrialisasi telah menimbulkan kompetisi penggunaan air antara pertanian dan non-pertanian. Pada kondisi demikian maka penggunaan untuk pertanian selalu merupakan prioritas terakhir. Pada bagian lain, berbagai kesulitan yang dialami pemerintah dan masyarakat telah menyebabkan terbengkalainya pemeliharaan jaringan irigasi. Kondisi ini menyebabkan menurunnya effisiensi penggunaan air yang pada akhirnya menurunkan intensitas tanam dan produktivitas pertanian.
Analisis Kebijakan
35
Selain makin sempitnya luas penguasaan lahan, rumah tangga pertanian makin kesulitan dalam akses terhadap berbagai sumberdaya pertanian seperti air, informasi, teknologi, pasar dan modal. Berkaitan dengan modal atau pembiayaan pertanian, kemampuan petani dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan masih sangat terbatas. Terdapat kesenjangan antara kebutuhan petani dan ketersedian skim kredit untuk pertanian, karena usaha di sektor pertanian masih dianggap beresiko tinggi oleh para investor. Dari aspek produk yang dihasilkan petani dan ekspor, kontribusi terbesar terhadap penerimaan devisa masih diperoleh dari produk segar (primer). Hal ini disebabkan masih dominannya pendekatan produksi dari pada pendekatan bisnis dalam pembangunan pertanian.di Indonesia, dan belum berkembangnya agroindustri di pedesaan. Perdagangan dan ekspor produk primer ini tidak memberikan nilai tambah maksimal bagi petani yang mengusahakannya. Dengan ekspor produk primer maka nilai tambah yang besar akan berada di luar negeri. Secara umum terjadi pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari penyediaannya. Permintaan pangan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat dan perubahan selera. Sementara itu kapasitas produksi pangan nasional, pertumbuhannya lambat atau malahan stagnan karena adanya kompetisi pemanfaatan dan penurunan kualitas sumberdaya alam. Apabila persoalan ini tidak dapat segera diatasi, maka ketergantungan pada pangan impor akan semakin besar. Strategi dan Kebijakan Kebijakan Makro dan Lintas Sub Sektor Secara umum peran penting sektor pertanian telah terbukti dari keberhasilan sektor ini pada saat krisis ekonomi yang lalu dalam menyediakan kebutuhan pangan pokok dalam jumlah yang memadai, dan tingkat pertumbuhannya yang positif dalam menjaga laju pertumbuhan nasional. Keadaan ini menjadi pertimbangan utama dirumuskannya kebijakan yang memiliki keberpihakan terhadap sektor pertanian, dalam memperluas lapangan kerja, menghapus kemiskinan dan mendorong pembangunan ekonomi yang lebih luas. Beberapa kebijakan strategis dari berbagai sektor yang perlu ditekankan dalam menunjang pengembangan sektor pertanian adalah; (a) kebijakan ekonomi makro yang kondusif, yaitu inflasi yang rendah, nilai tukar yang stabil dan suku bunga riil yang positif, (b) pembangunan infrastruktur pertanian yang berkelanjutan, terutama yang berkaitan dengan rehabilitasi jaringan irigasi dan sarana pertanian lainnya, (c) kebijakan pembiayaan, (d) kebijakan yang sesuai dengan karakteristik usaha pertanian, perdagangan dan investasi yang menunjang pengembangan industri yang lebih menekankan pada agroindustri skala kecil di pedesaan, dan (e) dukungan pemerintah daerah pada pembangunan pertanian melalui alokasi APBD yang memadai dan pengembangan institusi pertanian di daerah. Prioritas Departemen Pertanian
36
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
Departemen Pertanian sebagai fasilitator dan inisiator pembangunan pertanian di Indonesia, terus melakukan reformasi melalui perbaikan dalam manajemen pembangunan pertanian yang lebih partisipatif dan transparan. Selain itu kebijakan yang dikeluarkan diarahkan pada upaya peningkatan koordinasi dalam penyusunan program pembangunan pertanian, peningkatan kapasitas dan pemberdayaan sumberdaya manusia pertanian, peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian dan peningkatan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna. Beberapa kebijakan prioritas yang menjadi inisiatif Departemen Pertanian adalah : (a) pendayagunaan sumberdaya lahan pertanian, (b) revitalisasi penyuluhan pertanian, (c) pembiayaan pertanian, (d) pengembangan ekspor produk pertanian, (e) peningkatan ketahanan pangan, (f) akselerasi inovasi dan penerapan teknologi pertanian, (g) revitalisasi perbenihan dan (h) pengembangan produk baru pertanian. Dari sisi sumberdaya lahan, strategi dan kebijakan pertanian ke depan diarahkan untuk dapat memanfaatkan lahan terlantar secara optimal di 13 propinsi, pengendalian konversi lahan pertanian dan peningkatan luas penguasaan lahan oleh petani. Tujuan pemanfaatan lahan terlantar adalah memfasilitasi masyarakat untuk menggunakan lahan tersebut untuk pertanian, dengan bimbingan teknis, bantuan langsung dan kredit yang disediakan pemerintah. Peta lahan terlantar tersebut sudah tersedia dalam skala 1 : 50.000. Pengendalian konversi lahan pertanian diprogramkan melalui penetapan dan pemberlakuan peraturan perundang-undangan. Peraturan tersebut harus menjelaskan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya, terutama ditujukan untuk pengembang, instansi pemerintah serta swasta. Peraturan tersebut antara lain memuat diktum bahwa bagi setiap pengembang yang akan mengkonversi lahan sawah, diharuskan terlebih dahulu mencetak lahan sawah seluas tiga kali luas lahan sawah yang dikonversi, lengkap dengan sarana irigasi dan sarana penunjang lainnya. Untuk mencapai kelayakan usahatani per kepala keluarga (KK), luas lahan usahatani yang diperlukan, terutama di luar Jawa, adalah sekitar 5 hektar per KK (3 hektar komoditas perkebunan dan pakan ternak, 1,5 hektar tanaman pangan dan 0,5 hektar pekarangan dan ternak), disertai penggunaan alsintan. Usaha tani diarahkan untuk mendorong berkembangnya agroindustri pedesaan yang atraktif . Sementara itu untuk Jawa dan Bali perlu diupayakan agar luas lahan yang diusahakan petani minimal sekitar 1,0 hektar. Tanah negara yang berpotensi untuk perluasan pertanian (terutama yang hutannya sudah dibuka dan sudah digunakan selama lebih dari 20 tahun oleh penduduk setempat), perlu diatur sertifikasi hak guna usaha jangka menengah (10 tahun) dan jangka panjang (30 tahun) untuk merangsang pengembangan agroindustri pedesaan. Sertifikasi hak guna lahan ini dapat diperpanjang dan diwariskan kepada keturunannya, apabila lahan dikelola secara baik dan ramah lingkungan. Pengembangan pembiayaan pertanian diarahkan pada penyediaan berbagai skim kredit yang sesuai dengan karakteristik produk pertanian, dan pengembangannya lebih pada usaha diluar kegiatan budidaya pertanian, yang akan memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi pelakunya. Sementara itu
Analisis Kebijakan
37
akan terus diupayakan peningkatan kemampuan petani dalam mengakses sumbersumber pembiayaan yang ada, dengan mempermudah prosedur penyaluran kredit. Strategi yang ditempuh dalam rangka mengembangkan pembiayaan pertanian adalah mengembangkan pola subsidi bunga kredit agar kredit perbankan terjangkau oleh petani kecil di pedesaan. Selain itu akan dikembangkan pola penjaminan kredit dan pola pendampingan bagi usaha kecil dan menengah. Dalam jangka menengah akan dikembangkan lembaga keuangan khusus pertanian dan lembaga keuangan mikro pedesaan untuk pembiayaan usaha agribisnis dan agroindustri. Ekspor komoditas pangan, perkebunan dan peternakan diharapkan dapat tumbuh rata-rata sebesar 5 persen per tahun, sehingga pada tahun 2009 total ekspor produk pertanian dapat mencapai 12 miliar dolar AS. Strategi pengembangan ekspor yang perlu ditempuh adalah melalui peningkatan daya saing produksi dalam negeri dan peningkatan pangsa pasar ekspor. Peningkatan daya saing produksi dalam negeri ditempuh melalui pemberdayaan petani dan pelaku usaha pertanian untuk mampu mengakses teknologi pengolahan hasil dan informasi pasar. Selain itu ditumbuhkembangkan industri pengolahan hasil pertanian di pedesaan dengan meningkatkan volume, nilai dan keragaman produk baik segar maupun olahan. Harmonisasi tarif, pajak dan pungutan ekspor serta standarisasi mutu produk terus diupayakan. Peningkatan pangsa ekspor dilakukan melalui pengembangan informasi pasar dan market intelligence serta penguatan diplomasi dan negosiasi dalam membuka pasar di luar negeri. Peningkatan kerjasama internasional dalam berbagai wadah seperti WTO dan AFTA, diharapkan dapat memperjuangkan berbagai kepentingan produk pertanian Indonesia dalam persaingan global. Untuk memperkuat ketahanan pangan masyarakat maka upaya yang dilakukan diarahkan pada (a) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (b) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (c) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan. Ketersediaan pangan dibangun melalui peningkatan kemampuan produksi di dalam negeri, peningkatan pengelolaan cadangan, serta impor untuk mengisi kesenjangan antara produksi dan kebutuhan. Namun diharapkan impor tidak lebih dari 10 persen dari total kebutuhan. Distribusi pangan dilakukan untuk menjamin stabilitas pasokan dan harga pangan antar wilayah dan antar waktu, yang memungkinkan masyarakat seluruh pelosok dapat mengakses pangan secara fisik dan ekonomi. Konsumsi pangan dibangun dengan meningkatkan kemampuan rumah tangga mengakses pangan yang cukup melalui kegiatan ekonomi produktifnya, baik dari usaha agribisnis pangan atau dari usaha lainnya, yang memungkinkan masyarakat menghasilkan pendapatan untuk membeli pangan. Selain itu berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam mengkonsumsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang.
38
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
Menyadari keberagaman potensi sumber daya pangan antar daerah dan keberagaman selera serta permintaan pangan yang semakin mengglobal, kemandirian pangan dalam konteks ketahanan pangan dapat diwujudkan melalui upaya memanfaatkan potensi dan keragaman sumber daya lokal. Hal ini dilaksanakan secara efisien dengan memanfaatkan teknologi spesifik wilayah. Untuk mempercepat peningkatan nilai tambah yang pada gilirannya akan berdampak kepada peningkatan kesejahteraan pelakunya, maka strategi pengembangan komoditi pertanian harus difokuskan kepada produk hilir agroindustri. Mengingat besarnya investasi untuk mengembangkan produk hilir, maka komoditi yang akan dikembangkan produk hilirnya harus dipilih yang mempunyai nilai tambah besar, investasinya tidak terlalu besar, pasar produknya cukup luas, penguasaan sumberdaya manusia mencukupi dan tersedianya berbagai prasyarat normatif lain yang mampu dipenuhi. Sistem perbenihan nasional menghadapi berbagai masalah dalam pengembangannya, terutama karena lemahnya keterkaitan dan sinergi antara berbagai institusi yang menanganinya (lembaga penelitian, lembaga produksi, distribusi benih, dan lembaga sertifikasi dan pengawasan serta unit-unit penyuluhan). Selain itu belum tertatanya dengan baik sistem perencanaan produksi, distribusi dan penyebaran benih serta promosi dan pengawasan mutu. Akibatnya tingkat adopsi benih bermutu ditingkat petani relatif masih sangat rendah. Menghadapi persoalan di atas, dalam jangka pendek Departemen Pertanian merencanakan untuk melakukan penyempurnaan dalam sistem pengujian, penilaian, penglepasan dan penarikan varietas. Selain itu juga akan dilakukan penyempurnaan pada sistem produksi, distribusi, sertifikasi dan pengawasan benih serta aturan dalam pengelolaan dan pemanfaatan plasmanutfah. Penyempurnaan pada berbagai sistem tersebut dibarengi dengan pembentukan kelembagaan baru. Dalam jangka panjang diharapkan berbagai kelembagaan yang dibentuk dapat menyiapkan konsep-konsep akademis tentang peraturan perundangan yang perlu disesuaikan dan disempurnakan serta yang dibutuhkan pada waktu mendatang. Dalam upaya percepatan penerapan inovasi pertanian di tingkat petani, mulai tahun 2004 Departemen Pertanian telah menyusun kebijakan mengenai percepatan diseminasi/adopsi teknologi (PRIMA TANI). Implementasinya telah dimulai pada tahun 2005 yang difokuskan pada tujuh sub agroekosistem, yaitu: (1) Lahan sawah intensif; (2) Lahan sawah semi-intensif; (3) Lahan kering dataran rendah beriklim kering; (4) Lahan kering dataran tinggi beriklim kering; (5) Lahan kering dataran rendah beriklim basah; (6) Lahan kering dataran tinggi beriklim basah; dan (7) Lahan rawa pasang surut. Peningkatan Produksi Beras masih menjadi sumber utama bahan pangan pokok masyarakat Indonesia, karenanya upaya pengembangannya masih menjadi prioritas utama saat ini. Selama periode 2005-2025 diharapkan akan tercapai peningkatan produksi rata-rata 0,85 persen, produktivitas 0,48 persen dan luas panen 0,37 persen, sehingga pada tahun 2025 produksi bisa mencapai 64,90 juta ton.
Analisis Kebijakan
39
Pengembangan wilayah sentra produksi padi diarahkan pada subsektor onfarm yang terpadu dengan subsektor hulu dan hilir.Pengembangan sub sektor hilir diarahkan pada peningkatan nilai tambah dan daya saing. Dengan demikian, swasembada beras yang telah dimulai tahun 2004 dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Komoditi palawija utama, jagung dan kedele, diarahkan untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri serta ekspor. Untuk jagung, ditargetkan selama tahun 2005-2025, produksi meningkat rata-rata sebesar 4,26 persen. Dengan trend produksi tersebut, swasembada jagung ditargetkan tercapai pada tahun 2007 dan terus ditingkatkan daya saingnya untuk dapat menembus pasar ekspor. Sementara kedelai ditargetkan terjadi peningkatan produksi sebesar 7 persen per-tahun, terutama pada periode 2005-2009. Pada tahun 2010 diharapkan 65 persen dari produksi kedelai dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri dan swasembada dapat dicapai tahun 2015. Pada kedua komoditas ini pengembangannya diarahkan untuk dilakukan pihak swasta dengan melakukan kemitraan dengan petani dan kelompok tani. Pengembangan komoditas buah-buahan diarahkan pada pisang dan jeruk, karena kedua komoditas ini kontribusinya lebih dari 30 persen terhadap total konsumsi buah-buahan. Pengembangan yang dilakukan selama ini masih tradisional dan belum menerapkan teknologi budidaya yang sesuai standar teknik budidaya (SOP). Produksi pisang dan jeruk ditargetkan sekitar 11.266.000 ton dan 4.238.000 ton pada tahun 2025 nanti. Pengembangan dilakukan melalui pengembangan kebun jeruk skala besar oleh investor dan skala komersial (5-10 hektar) oleh petani dan pengembangan kebun buah rakyat dengan penerapan teknologi maju. Komoditas hortikultura diprioritaskan pada bawang merah dan anggrek. Usahatani bawang merah permasalahannya adalah stabilitas harga produk dan ketersediaan benih pada saat musim tanam raya. Saat ini produksi bawang merah masih sekitar 725.000 ton dan ditargetkan pada tahun 2025 produksi menjadi 1.626.672 ton. Pengembangan varietas unggul dan industri perbenihan merupakan prioritas utama pengembangan bawang merah. Komoditas perkebunan utama seperti kelapa sawit, karet, kakao, kelapa dan tebu diarahkan pada pengembangan produktivitas serta pemberdayaan di hulu dan memperkuat di hilir. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, swasembada gula diharapkan tercapai tahun 2009. Untuk itu diperlukan dukungan penuh pihak swasta dan petani, sebagai pelaku utama bisnis perkebunan. Pengembangan kegiatan hilir diharapkan dapat makin meningkatkan nilai tambah produk perkebunan di dalam negeri, dan membuka peluang kerja dan peluang usaha baru bagi masyarakat pedesaan. Pengembangan sapi dan ayam sebagai sumber protein hewani utama diarahkan pada tercukupinya permintaan dalam negeri. Saat ini lebih dari 30 persen kebutuhan daging dalam negeri diimpor dari luar negeri. Dengan berbagai upaya yang dilakukan, pada tahun 2010 ditargetkan tercapai swasembada daging sapi. Dominannya pengusahaan sapi oleh petani dalam skala kecil dan kurangnya insentif bagi swasta untuk bergerak dalam usaha ini akan menyulitkan upaya pengembangan yang bisa dilakukan. Pada industri perunggasan, keadaannya
40
Bab IV.Analisis Dampak dan Pencapaian Hasil Pembangunan Pertanian
justru terbalik, dominannya beberapa usaha swasta besar telah menyulitkan pengembangan usaha peternak kecil. Pengembangan kedua komoditi dilakukan dengan pola pendekatan yang berbeda, pada usaha penggemukan sapi pemerintah perlu memberikan berbagai insentif untuk menarik swasta bergerak di usaha ini. Pada usaha perunggasan, terciptanya persaingan yang sehat merupakan prasyarat bagi pengembangannya ke depan. Prioritas Program 2006 Pada tahun 2006 kegiatan Departemen Pertanian lebih difokuskan pada beberapa upaya strategis antara lain, penataan sitem pasar komoditas pertanian dan pengembangan kelembagaan usaha dan ekonomi petani. Melalui upaya ini diharapkan terjadi perbaikan harga jual produk pertanian yang diterima petani dan tercipta stabilitas harga dalam jangka panjang. Berkaitan dengan infrastruktur pertanian, terutama yang terkait dengan masalah lahan, air dan jalan produksi akan dilakukan pembenahan yang menyeluruh, sehingga terjadi perbaikan akses petani terhadap berbagai sumberdaya tersebut. Pengembangan sumberdaya manusia yang bekerja di pertanian akan di lanjutkan melalui pembenahan kegiatan penyuluhan dan tenaga penyuluh itu sendiri. Keberadaan penyuluh di lapangan tidak hanya sebatas pendamping pemberi semangat, namun juga akan diarahkan untuk terciptanya good agricultural practices. Dalam hal pembiayaan pertanian, pengembangan skim kredit yang sesuai dengan karkteristik produk pertanian akan terus diupayakan, selain tetap memperjuangkan adanya subsidi bunga kredit bagi petani. Semua upaya ini diharapkan dapt meningkatkan akses petani terhadap lembaga permodalan. Berkaitan dengan upaya meningkatkan ketahanan pangan masyarakat, pada tahun 2006 kegiatan Departemen Pertanian difokuskan pada wilayah rawan pangan dan daerah perbatasan. Pemetaan wilayah rawan pangan akan terus dilakukan, bersamaan dengan itu akan dilakukan upaya-upaya khusus yang terkait dengan peningkatan produksi bahan pangan di wilayah ini, serta membangun sistem peringatan dini untuk medeteksi berbagai persoalan dalam ketersedian dan ketercukupan bahan pangan di tengah masyarakat. Penutup Keberhasilan revitalisasi pertanian dapat diukur dengan beberapa indikator, diantaranya terjadinya perubahan pola pikir dan komitmen berupa dukungan dari stakeholders terkait tentang pentingnya pertanian. Sementara itu dari output pembangunan pertanian diindikasikan oleh : (a) disepakatinya lahan pertanian abadi pada beberapa sentra produksi pertanian, dan terpenuhinya luas lahan minimal oleh petani, terutama petani yang berada di Jawa dan Bali, (b) terjaganya swasembada beras secara berkelanjutan, swasembada jagung tahun 2007, tercapainya produksi kedelai 65 persen dari kebutuhan pada tahun 2010, swasembada gula tahun 2009 dan swasembada daging sapi tahun 2010, (c) tercapainya pendapatan per-kapita petani sekitar 2500 US $ per-kapita/tahun, dan (d) menurunnya jumlah penduduk miskin dari 19 persen menjadi 15 persen
Analisis Kebijakan
41
pada tahun 2009, serta meningkatnya penyerapan tenaga kerja menjadi 44,5 juta orang tahun 2009.