SISTEM LAHAN BARONGTONGKOK DI KALIMANTAN: POTENSI, KENDALA, DAN PENGEMBANGANNYA UNTUK PERTANIAN LAHAN KERING Nata Suharta Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
ABSTRAK Konsep sistem lahan menganggap ada hubungan yang erat antara tipe batuan, hidroklimat, landform, tanah, dan organisme. Oleh karena itu, sistem lahan yang sama akan mencerminkan kesamaan potensi serta faktor-faktor pembatasnya di mana pun sistem lahan tersebut dijumpai. Sistem lahan Barongtongkok merupakan salah satu sistem lahan di Kalimantan yang terbentuk dari aliran lava basalt dengan relief datar hingga bergelombang. Sistem lahan ini dijumpai pada kondisi iklim basah dengan ketinggian bervariasi dari 150 m hingga 1.500 m dpl. Tanah pada sistem lahan Barongtongkok tergolong berpelapukan lanjut, dicirikan oleh sifat fisik tanah dalam, gembur, agregat stabil, dan permeabilitas cepat. Kondisi ini sangat sesuai untuk pertanian lahan kering, tetapi untuk pertanian lahan basah (sawah) yang memerlukan adanya lapisan tapak bajak (hardpan) dan struktur lumpur, sifat tanah demikian tidak sesuai. Sifat kimia tanah menunjukkan proses pencucian yang lanjut, diperlihatkan oleh sebagian besar tanah bermuatan neto nol hingga positif, kapasitas tukar kation rendah, dan retensi P tinggi. Oleh karena itu, pengelolaan tanah pada kondisi demikian diarahkan pada peningkatan efisiensi P melalui penggunaan pupuk P yang tidak mudah larut (slow release), dan meningkatkan kapasitas jerapan hara serta mengurangi pencucian hara di dalam tanah melalui penambahan bahan organik (pupuk kandang). Dewasa ini sistem lahan Barongtongkok digunakan untuk pertanian lahan kering baik tanaman pangan maupun perkebunan, tetapi di beberapa wilayah masih belum dimanfaatkan karena aksesibilitas berupa sarana transportasi belum tersedia. Areal tersebut dapat dikembangkan untuk pertanian lahan kering dengan memperhatikan kondisi agroekologinya. Kata kunci: Sistem lahan Barongtongkok, sifat kimia-fisika tanah, lava basalt, agroekosistem, pertanian lahan kering, Kalimantan
ABSTRACT Barongtongkok land system in Kalimantan: Potential, constraint, and its development for dryland agriculture Land system concept assumes that there are close relation between rock type, hydroclimatic, landform, soil, and organism. Therefore the same land system, anywhere, would be characterized by the similarity in agriculture potential and limiting factors. Barongtongkok land system is one of land systems found in Kalimantan developed from basaltic lava flow with flat to rolling terrain. This land system is found in wet climate at altitude varied between 150 m and 1,500 m asl. Soils on Barongtongkok land system are classified as weathered soils characterized by deep solum, friable, stabilized aggregate, and rapid permeability. This condition is highly suitable for dryland agriculture, but for wetland rice development that needs the presence of plow layer and mud structure, these physical soil properties are not suitable. The chemical soil characteristics showed the advanced leaching processes characterized by soil reaction with delta-pH zero to positive, low cation exchange capacity, and high P retention. To solve these problems, soil management should be focused on increasing cation exchange capacity and decreasing leaching processes by adding organic matter (manure). At present, the Barongtongkok land system is used partly as dryland agriculture either food crops or estate crops. The rest areas are not yet occupied due to the lack of accessibility. Those areas, either found in West Kalimantan or in East Kalimantan, are suitable for dryland agriculture by considering the agroecological characteristics. Keywords: Barongtongkok land system, soil chemicophysical properties, basaltic lava, agroecosystems, dryland agriculture, Kalimantan
K
onsep sistem lahan (land system) yang diperkenalkan oleh Christian dan Stewart (1968) didasarkan pada prinsip ekologi dengan menganggap ada hubungan yang erat antara tipe batuan, hidroklimat, landform, tanah, dan organisme. Sistem lahan yang sama akan memJurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007
punyai kombinasi faktor-faktor ekologi atau lingkungan yang sama. Oleh karena itu, sistem lahan bukan merupakan sesuatu yang unik untuk satu tempat saja (spesifik lokasi), tetapi dapat dijumpai di mana pun dengan karakteristik lingkungan yang sama. Lebih lanjut dikemukakan bahwa
satu sistem lahan terdiri atas satu kombinasi batuan induk, tanah, dan topografi, dan hal ini mencerminkan kesamaan potensi dan faktor-faktor pembatasnya. Salah satu sistem lahan yang dijumpai di Pulau Kalimantan adalah sistem lahan Barongtongkok yang diberi kode BTK 1
(RePPProT 1987a). Nama Barongtongkok diambil dari nama kecamatan di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sistem lahan ini tergolong unik dari segi litologi, tanah, dan kondisi terrain, serta memperlihatkan potensi yang berbeda dengan sistem lahan lainnya di Pulau Kalimantan. Suharta et al. (2000), Suharta dan Suratman (2001), serta Suharta dan Suratman (2004) mengemukakan bahwa sistem lahan Barongtongkok mempunyai potensi tinggi untuk pengembangan pertanian lahan kering. Di Kalimantan Barat, pemerintah setempat telah merekomendasikan sistem lahan tersebut sebagai sentra produksi tanaman pangan lahan kering, sayuran, buah-buahan, tanaman tahunan, dan peternakan. Dalam tulisan ini dibahas sistem lahan Barongtongkok di Kalimantan yang meliputi sifat dan karakteristik tanah, potensi pengembangan, serta alternatif pengelolaannya untuk pertanian lahan kering. Dewasa ini baru sebagian dari sistem lahan Barongtongkok yang dimanfaatkan untuk pertanian lahan kering, lainnya masih berupa hutan karena belum tersedia akses jalan untuk pengembangannya.
SISTEM LAHAN BARONGTONGKOK Sistem lahan Barongtongkok mempunyai penyebaran di Pulau Kalimantan, meliputi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Di Kalimantan Barat, sistem lahan ini dijumpai di daerah Sanggauledo, Kabupaten Bengkayang, pada ketinggian 150− 300 m dpl, relief agak datar hingga bergelombang, dengan luas 37.500 ha. Di Kalimantan Timur, sistem lahan ini dijumpai di daerah Melak, Barongtongkok, Long Iram, Long Pahangai, dan Long Nawan, Kabupaten Kutai Barat dan Malinau, pada ketinggian 150−1.500 m dpl, relief agak datar hingga bergelombang, dengan luas total 277.000 ha. Sistem lahan Barongtongkok merupakan plato volkan, terbentuk dari aliran lava basalt sehingga keberadaannya sedikit lebih tinggi dari daerah sekitarnya (RePPProT 1987b). Berdasarkan peta geologi lembar Sanggau (Supriatna et al. 1993), sistem lahan Barongtongkok di Kalimantan Barat berasal dari batuan gunung api Niut. Batuan ini menerobos dan menutupi kelompok Bengkayang yang terdiri atas batu pasir Kayan pada kala pliosen. Di Kalimantan Timur, sistem 2
lahan Barongtongkok berasal dari batuan gunung api lebih tua, berumur miosin tengah dan bawah, bersusunan lava basalt, tufa, dan breksi gunung api (Hartono 1974). Kondisi iklim dicirikan oleh curah hujan rata-rata tahunan 2.500− > 4.000 mm, tipe hujan menurut Schmidt dan Ferguson (1951) tergolong A, dan zona agroklimat (Oldeman et al. 1980) A1.
KOMPOSISI MINERAL Mineral Fraksi Pasir Susunan mineral fraksi pasir dari tanahtanah pada sistem lahan Barongtongkok di daerah Sanggauledo, Kalimantan Barat, dan daerah Barongtongkok, Kalimantan Timur, menunjukkan bahwa jumlah mineral resisten yaitu lapukan mineral, hidrargilit, dan kuarsa jauh lebih tinggi daripada mineral transparan (Tabel 1). Mohr et al. (1972) mengemukakan bahwa kandungan kuarsa yang tinggi menunjukkan bahan induk tanah berasal dari batuan sedimen masam, sedangkan adanya mineral epidot, turmalin, staurolit, aktinolit, enstatit, dan garnet merupakan ciri batuan metamorf. Adanya mineral mudah lapuk seperti hornblende, andesin, hiperstin, augit, dan olivin merupakan ciri tanah dari bahan induk batuan volkan. Subagjo (1993) menilai tingkat pelapukan bahan induk tanah batuan volkan dengan membandingkan jumlah mineral gelap (opak) dengan mineral transparan (hornblende, hiperstin, augit, olivin). Makin tinggi mineral opak atau makin rendah mineral transparan, tingkat pelapukan tanah semakin lanjut. Anda et al. (2000) serta Prasetyo dan Suharta (2004) menyatakan tanah dari batuan volkan yang telah mengalami pelapukan lanjut di Pleihari, Kalimantan Selatan didominasi oleh opak (> 85%), sedikit kuarsa (10%), dan sangat sedikit mineral mudah lapuk. Prasetyo et al. (2005) juga menyatakan tanah berbahan induk volkan andesit yang berpelapukan lanjut memiliki susunan mineral yang didominasi oleh opak > 85%, sedikit kuarsa, dan sangat sedikit mineral mudah lapuk. Berdasarkan susunan mineralnya, tanah dari sistem lahan Barongtongkok di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat kurang mencirikan tanah dari batuan volkan. Kandungan mineral resisten seperti kuarsa dan lapukan mineral jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mineral
opak. Hal tersebut menunjukkan adanya kontaminasi dari batuan sedimen masam terhadap batuan volkan. Kondisi ini dijelaskan oleh Supriatna et al. (1993), bahwa batuan gunung api sistem lahan Barongtongkok terbentuk setelah menerobos formasi batu pasir yang kaya kuarsa di atasnya. Dengan membandingkan susunan mineral tanah dari Sanggauledo dan dari Barongtongkok diketahui bahwa kuarsa mendominasi susunan mineral pada tanah dari Barongtongkok, sedangkan pada tanah dari Sanggauledo, selain didominasi kuarsa juga hidrargilit dan lapukan mineral. Dengan memperhatikan jumlah mineral mudah lapuk maka tanah-tanah pada sistem lahan Barongtongkok di Pulau Kalimantan mempunyai cadangan mineral yang rendah.
Mineral Fraksi Liat Susunan mineral fraksi liat dipengaruhi oleh sifat hidrolik bahan induk tanah dan umur pembentukannya (Vacca et al. 2003). Tanah dengan liat alofan (nonkristalin) berkembang pada tanah muda, porus, di mana gelas volkan melapuk secara cepat melepaskan Si dan Al. Pada tanah tua, kurang porus, mineral yang terbentuk adalah liat kristalin. Suharta et al. (1995) mengemukakan bahwa susunan mineral fraksi liat pada sistem lahan Barongtongkok didominasi liat kristalin yaitu gibsit, kaolinit, haloisit, dan hidroksi Al. Susunan mineral demikian menunjukkan bahwa intensitas pelapukan dan pencucian basa-basa serta pembebasan Al dan Fe dari mineral primer ke larutan tanah tergolong tinggi. Hsu (1977) mengemukakan bahwa gibsit yang cukup dominan mencirikan tingkat pelapukan yang tinggi. Kandungan gibsit yang tinggi juga mempengaruhi karakteristik tanah, antara lain sifat acric (kapasitas jerapan hara rendah), gembur, porositas cepat, daya menahan air rendah, dan fiksasi P tinggi.
SIFAT FISIK Sifat fisik tanah yang menonjol pada sistem lahan Barongtongkok adalah berpenampang dalam, gembur, tekstur halus, tetapi permeabilitas tanah cepat. Subagyono dan Sukardi (1993) menyatakan bahwa berat isi tanah yang rendah mengindikasikan kegemburan tanah Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007
Tabel 1. Susunan mineral fraksi pasir total sistem lahan Barongtongkok. Kedalaman Konkresi Limonit Lapukan Fragmen horizon Opak Zirkon Kuarsa besi Lumonit Hidrargilit mineral batuan Sanidin Muskovit Turmalin Enstatit Monasit (cm) ......................................................................................... (%) ................................................................................................ Anionic Acrudox (TB.46)-Barongtongkok 0−21 9 0 82 sd 49−64 7 sd 89 sd 104−155 8 sd 87 sd 155−200 7 sd 90 sd
− 1 − sd
2 1 2 1
4 1 1 sd
3 1 2 2
− − − −
− − − −
sd sd sd sd
− − − −
− sd sd sd
Anionic Acrudox (RM.51)-Barongtongkok 0−15 1 sd 93 sd 15−42 sd sd 88 1 42−64 sd sd 90 3 64−105 sd 0 93 1 105−140 1 sd 90 1 140−200 1 sd 92 1
− − sd − − sd
1 4 3 1 4 3
4 6 3 4 3 3
1 1 1 1 1 sd
− − − − − −
sd sd sd sd sd sd
sd sd sd sd sd
− − − − − −
sd sd − sd sd sd
Anionic Acrudox (P.1)-Sanggauledo 0−17 5 1 38 17−45 5 1 20 45−80 3 sd 16 80−110 sd sd 3 110−150 1 sd 4
2 2 4 12 7
− − − − −
34 49 53 44 41
17 17 19 39 47
sd sd sd sd sd
3 3 1 1 sd
sd 1 sd sd sd
− − − − −
− − − − −
− − − − −
Humic Acrudox (P.3)-Sanggauledo 0−15 5 sd 32 15−40 6 1 43 40−73 2 sd 46 73−101 5 1 49 101−130 4 1 25 130−150 4 1 14
3 1 3 2 3 2
− − − − − −
14 16 15 25 35 45
43 30 30 16 27 33
sd 1 2 1 2 1
1 1 1 1 1 sd
1 sd 1 sd sd sd
− − − − − −
1 sd sd sd 1 sd
− − − − − −
Typic Acroperox (P.4)-Sanggauledo 0−20 8 1 46 20−43 3 1 52 43−70 27 1 41 70−115 3 sd 45
2 2 1 3
− − − −
24 22 18 33
14 19 10 13
3 sd sd 1
1 1 1 1
sd sd 1 1
− − − −
1 sd sd sd
− − − −
sd = sedikit (< 1%). Sumber: Suharta et al. (1995); Suratman dan Suharta (2001).
sehingga tanah mudah diolah dan perakaran tanaman dapat menembus lapisan dalam (Tabel 2). Pori aerasi tanah, yang dihitung dari persen pori total dikurangi jumlah pori pada pF 2, tergolong rendah dan sedang. Oleh karena itu, untuk tanaman lahan kering, pori aerasi dan kandungan air tersedia perlu ditingkatkan antara lain melalui pemberian bahan organik atau rotasi dengan tanaman berakar dalam. Pori air tersedia yang tergolong tinggi (20−25%), dan didukung oleh curah hujan dan kandungan bahan organik yang juga tinggi sangat menguntungkan untuk tanaman lahan kering karena ketersediaan airnya tinggi. Hidayat et al. (2002) mengemukakan bahwa oksida besi sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air dan indeks plastisitas. Makin tinggi oksida besi, makin tinggi air tersedia, makin rendah indeks plastisitas, dan Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007
Tabel 2. Beberapa sifat fisik tanah pada sistem lahan Barongtongkok di Sanggauledo, Kalimantan Barat. No
Lapisan
Berat Ruang pori Pori Pori isi total aerasi drainase (g/cm 3 ) (% vol) (% vol) (% vol)
Air Permea- Indeks tersedia bilitas stabilitas (% vol) (cm/jam) agregat
Pedon 1
A B
1 0,94
62,30 64,70
7,40 7,40
5,50 4,70
21,10 25,50
0,73 0,43
102 155
Pedon 2
A B
0,92 0,85
65,40 67,90
13,60 14,10
5,90 5,70
20,20 24,70
2,53 1,55
54 85
A = lapisan atas (0−25 cm); B = lapisan bawah (25−50 cm). Sumber: Subagyono dan Sukardi (1993).
makin mudah tanah untuk diolah, serta warna tanah makin merah. Subagyono dan Agus (1994) menyatakan tanah Sanggauledo tidak mudah
melumpur karena agregatnya mantap (indeks stabilitas agregat > 50). Demikian juga laju infiltrasinya tergolong agak cepat sampai sangat cepat (8,73−67,13 cm/jam). 3
Untuk pencetakan lahan sawah yang memerlukan laju infiltrasi lambat dan struktur lumpur, tanah pada sistem lahan Barongtongkok tergolong tidak sesuai.
SIFAT FISIKO-KIMIA Sifat fisiko-kimia tanah pada sistem lahan Barongtongkok di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur berbeda, tetapi keduanya memperlihatkan karakteristik tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut karena nilai delta-pH, susunan dan jumlah kation serta kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa tergolong rendah (Tabel 3). Sesuai dengan umur bahan induk tanah maka sifat kimia tanah Barongtongkok yang berumur miosin menunjukkan tingkat pelapukan yang lebih lanjut daripada tanah Sanggauledo yang berumur lebih muda yaitu pliosin. Perbedaan tersebut antara lain dapat dilihat dari nilai delta-pH tanah Barongtongkok yang berkisar antara -0,1 sampai
0 (sebagian besar bernilai 0), dan pada tanah Sanggauledo antara -0,9 sampai +0,3 (sebagian besar bernilai negatif). Demikian juga susunan dan jumlah kation, KTK, kejenuhan basa, dan kandungan besi bebas tanah Barongtongkok lebih rendah dibandingkan tanah Sanggauledo. Sebaliknya kandungan Al-dd tanah Barongtongkok lebih tinggi. Rendahnya retensi P pada tanah Barongtongkok sejalan dengan kandungan besi bebas yang lebih rendah dibandingkan tanah Sanggauledo. Keadaan ini sejalan dengan hasil penelitian Hidayat et al. (2002) yang menyimpulkan bahwa retensi P meningkat sejalan dengan meningkatnya oksida besi. Tekstur tanah Barongtongkok lebih halus daripada tanah Sanggauledo, walaupun keduanya tergolong dalam kelas tekstur liat. Kandungan fraksi liat yang lebih tinggi pada tanah Barongtongkok menunjukkan terjadinya tingkat pelapukan yang lebih lanjut. Kandungan bahan organik tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata, dan menurun dengan ke-
Tabel 3. Sifat fisik dan kimia tanah Barongtongkok dan Sanggauledo pada sistem lahan Barongtongkok. Tanah Barongtongkok
Tanah Sanggauledo
Tekstur (%) Pasir Debu Liat
3 −8 9 −2 9 6 5 −8 8
4 −2 4 1 4−4 0 3 9−8 0
pH H2 O KCl Delta-pH
4,4−4,9 4,4 −5 -0,1− 0
4,3−6,7 3,9−5,8 -0,9−0,3
C-organik (%) Atas Bawah
1,35 −6,92 0,55 −1,18
1,60−5,41 0,46−1,44
Susunan kation dapat tukar (NH 4OAc pH 7) (me/100 g tanah) Ca Mg K Na Jumlah
0,11 −0,42 0,07 −0,26 0 −0,08 0 −0,06 0,24 −0,76
0,10−3,14 0,10−0,99 0,02−0,43 0,03−0,43 0,40−3,85
KTK-tanah (me/100 g tanah) Atas Bawah
12,07 −22,75 3,31 −8,93
12,30−16,30 4,30−8,39
Al (KCl.1 N) (me/100 g tanah) Kejenuhan basa (%) Fe2O3 (%) Retensi P (%)
0,15 −0,38 2 −1 1 0,15 −0,39 61 −7 8
0−0,19 9−5 4 0,98−2,03 8 0−9 4
Sifat fisiko-kimia
Sumber: Data diolah dari Pusat Penelitian Tanah (1981); Suharta et al. (1995); Suratman dan Suharta (2001).
4
dalaman tanah. Sampai kedalaman 40−60 cm, kandungan bahan organik masih mencapai lebih dari 1%.
KLASIFIKASI TANAH Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah (1981; 1982; 1983), Alkasumah (1994), Alkasumah dan Suharta (1994), Suharta et al. (1995), Suratman dan Suharta (2001), serta Suharta dan Suratman (2004), tanah pada sistem lahan Barongtongkok didominasi oleh Oxisol atau tanah berpelapukan lanjut. Berdasarkan kelembapan tanah dan karakteristik kimianya, pada tingkat subgrup tanah pada sistem lahan Barongtongkok diklasifikasikan sebagai Anionic Acrudox, Humic Acrudox, dan Typic Acrudox. Anionic Acrudox adalah Oxisol dengan rejim kelembapan tanah udik dan mempunyai sifat acric atau KTK efektif < 1,50 cmol(+)/g liat serta nilai pH-KCl > 5. Nama Anionic menunjukkan nilai delta-pH nol atau positif. Humic Acrudox adalah Acrudox dengan nilai delta-pH negatif dan kandungan bahan organik > 16 kg/m2. Typic Acrudox adalah Acrudox yang tidak mempunyai sifat aquic, petroferic, lithic, anionic, plintic, eutric, humic, xanthic, dan rodic.
POTENSI DAN KENDALA PEMANFAATANNYA Sistem lahan Barongtongkok di Pulau Kalimantan meliputi areal 314.500 ha. Kondisi wilayahnya dicirikan oleh relief datar hingga bergelombang sehingga sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi daerah pertanian tanaman pangan maupun perkebunan. Tanah-tanah tersebut mempunyai permeabilitas yang cepat dengan stabilitas agregat yang mantap. Dengan demikian tanah tersebut kurang sesuai untuk pengembangan lahan sawah yang memerlukan lapisan keras (hardpan) untuk menghambat laju infiltrasi dan menciptakan kondisi melumpur. Subagyono dan Agus (1994) mengemukakan bahwa tanah dengan agregat yang mantap tidak mudah dilumpurkan sehingga apabila tanah ini dijadikan sawah irigasi, diduga penggunaan airnya tidak efisien dan air akan banyak hilang melalui perkolasi dan perembesan melalui pematang sawah. Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007
Gambar 1. Penampang tanah Anionic Acrudox pada sistem lahan Barongtongkok di Sanggauledo, Kalimantan Barat.
Tanah pada sistem lahan Barongtongkok bersolum dalam, struktur kersai dan gembur sehingga sistem perakaran tanaman dapat berkembang secara baik hingga menembus lapisan bawah. Karakteristik fisik demikian sangat mendukung untuk pengembangan pertanian lahan kering, baik tanaman pangan, sayuran, buahbuahan maupun tanaman perkebunan. Kandungan karbon organik khususnya pada lapisan atas tergolong tinggi, namun KTK dan kejenuhan basa tergolong rendah. Hal ini menunjukkan proses pencucian basa telah berlangsung cukup lama dan intensif. Rendahnya nilai KTK pada tanah Barongtongkok mengindikasikan kemampuan tanah menjerap hara tergolong rendah sehingga hara yang dimasukkan ke dalam tanah melalui pemupukan mudah tercuci. Oleh karena itu, walaupun kandungan bahan organik pada lapisan atas tinggi, penambahan bahan organik tetap diperlukan untuk meningkatkan kapasitas jerapan hara. Reaksi tanah Barongtongkok tergolong masam, tetapi nilai delta-pH menunjukkan liat bermuatan nol hingga Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007
positif. Kondisi ini akan meningkatkan pencucian basa-basa dan retensi fosfat oleh koloid tanah bermuatan positif. Nilai retensi P pada beberapa pedon tanah bervariasi dari 61% sampai 96% bergantung pada kandungan oksida besi tanah. Kandungan oksida besi pada tanah yang mengalami pelapukan lanjut sangat berpengaruh terhadap air tersedia dan indeks plastisitas. Makin tinggi oksida besi, makin tinggi air tersedia dan makin rendah indeks plastisitas. Kondisi ini menunjukkan tanah makin mudah diolah, tetapi pengaruhnya terhadap jerapan fosfat makin tinggi sehingga kurang menguntungkan tanaman. Salah satu teknologi pengelolaan lahan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi penggunaan pupuk adalah pemberian pupuk tidak mudah larut secara bertahap disertai penambahan bahan organik. Tanah pada sistem lahan Barongtongkok didominasi liat 1:1 dan oksidaoksida dengan daya sangga menahan air (tersedia) tergolong rendah. Oleh karena itu, untuk pengembangan tanaman pangan lahan kering khususnya tanaman berakar dangkal, diperlukan konservasi air melalui penambahan bahan organik atau irigasi.
PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN KERING Mengingat potensi dan kendalanya, sistem lahan Barongtongkok lebih sesuai untuk pengembangan tanaman pertanian lahan kering baik tanaman pangan, sayuran, buah-buahan maupun tanaman tahunan (perkebunan) dibandingkan untuk pertanian lahan basah (sawah). Curah hujan yang tinggi dan merata sepanjang tahun dapat menjamin ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman. Di Sanggauledo, sebagian wilayah telah dimanfaatkan penduduk setempat untuk tanaman pangan dan sayuran seperti jagung, padi gogo, kedelai, ubi jalar, ubi kayu, kacang panjang, kacang tanah, dan tomat serta tanaman tahunan yaitu lada, kopi, karet, kelapa, durian, petai, dan alpokat (Gambar 2 dan 3). Data produksi di lapangan tidak diperoleh, tetapi data sekunder (Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat 2002) memperlihatkan hasil jagung di Kabupaten Bengkayang mencapai 2,83 t/ha dan tertinggi di Kalimantan Barat. Hasil tanaman lainnya yaitu ubi kayu 14,05 t/ha, kacang tanah 1,15 t/ha,
dan kacang hijau 0,69 t/ha. Selain tanaman, peternakan terpadu dengan memanfaatkan limbah pertanian juga dikembangkan di daerah ini. Untuk meningkatkan produksi, petani setempat menggunakan pupuk buatan serta pupuk kandang berupa kotoran sapi atau ayam. Hasil analisis kimia pupuk kandang (Purnomo et al. 1994) menunjukkan kotoran ayam lebih baik kandungan haranya (N, P, Ca) daripada kotoran sapi. Hal tersebut didukung oleh informasi dari petani setempat, bahwa hasil tanaman yang dipupuk kotoran ayam lebih baik. Prasetyo et al. (1999) mengemukakan bahwa peranan pupuk organik atau pupuk kandang pada Oxisol jauh lebih penting dibandingkan pada jenis tanah lainnya, karena Oxisol mempunyai KTK sangat rendah. Pada Oxisol, bahan organik tidak hanya menambah N, P atau Ca, tetapi juga mampu menutupi areal erapan anion dan mengurangi kemampuan tanah meretensi P. Dalam kondisi tanah mempunyai sifat meretensi P tinggi, penggunaan pupuk P yang tidak mudah larut (slow release) sangat disarankan. Anda et al. (2001) mengemukakan perlakuan P, terak baja, bahan organik, dan kapur mampu mengubah muatan koloid positif menjadi negatif, seperti yang ditunjukkan oleh nilai KTK terukur dalam NH4Cl yang lebih tinggi dibanding kontrol. Oleh karena itu, perlakuan P, terak baja, bahan organik, dan kapur dapat meningkatkan kualitas tanah Oxisol, yang ditunjukkan oleh berkurangnya pencucian K dan meningkatnya hasil kedelai secara mencolok dibanding kontrol. Penelitian Sutrisno et al. (1993) pada tanah Oxisol Citayam menunjukkan bahwa kombinasi pupuk P dan pupuk kandang saling menguntungkan. Pupuk kandang dapat meningkatkan efisiensi P, sedangkan pupuk P dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik sehingga mudah tersedia bagi tanaman. Wigena et al. (2001) mengemukakan bahwa pengapuran dapat meningkatkan kualitas biji kacang tanah yang tercermin dari peningkatan kadar asam amino (metionin, sistin, dan sistein). Namun, pemberian kapur yang berlebihan pada lahan kering dapat menurunkan kemampuan tanah menyediakan sulfur sebagai akibat meningkatnya pH tanah dan menurunnya muatan positif liat. Kondisi ini akan berpengaruh negatif terhadap ketersediaan sulfur dari jerapan permukaan liat karena sulfur terlepas ke dalam larutan tanah dan 5
Gambar 2. Tanaman jagung pada sistem lahan Barongtongkok di Sanggauledo, Kalimantan Barat.
99,40 g/m 2/tahun. Dengan demikian, pengolahan tanah minimum atau tanpa olah tanah pada pertanian lahan kering dapat mempertahankan atau meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Di Barongtongkok, Kutai Barat, baru sebagian wilayah dimanfaatkan untuk padi (ladang), jagung, ubi kayu, karet, durian, dan jeruk. Teknologi pengelolaan lahan yang diterapkan masih bersifat tradisional, belum menggunakan pupuk secara intensif seperti di Sanggauledo. Wilayah lainnya seperti di Kabupaten Malinau hingga perbatasan dengan Malaysia yang terletak pada ketinggian 500−1.500 m dpl, belum dimanfaatkan. Oleh karena itu, walaupun terdapat pada sistem lahan yang sama, pemilihan komoditas yang akan dikembangkan perlu disesuaikan dengan kondisi agroekologinya, yaitu dataran tinggi beriklim basah. Jenis komoditas yang dapat dikembangkan pada kondisi agroekologi demikian antara lain adalah sayuran dataran tinggi (tomat, buncis, wortel, kubis, kentang), jagung, dan tanaman perkebunan seperti teh, kopi, kina, dan kayu manis.
KESIMPULAN DAN SARAN
Gambar 3. Tanaman lada pada sistem lahan Barongtongkok di Sanggauledo, Kalimantan Barat.
tercuci. Selain dapat meningkatkan stabilitas agregat tanah, pemberian kapur juga dapat memberikan dampak negatif, yaitu berkurangnya kandungan fraksi ringan pada bahan organik dalam tanah (Chan dan Heenan 1999). Agregat yang stabil terbentuk karena ikatan yang lebih kuat dari tanah berkapur yang menggantikan ikatan organik. Pengaruh pengolahan tanah terhadap kandungan bahan organik diperlihatkan oleh Ding et al. (2002). Pengolahan tanah secara terus-menerus mengakibatkan perubahan kuantitas dan kualitas bahan organik dalam tanah (sifat alifatik dan aromatik). Perubahan tersebut tercermin dari meningkatnya kandungan fraksi 6
ringan dan meningkatnya aktivitas biologi bahan organik tanah. Joao Carlos de M. Sa et al. (2001) menyatakan bahwa tanpa pengolahan tanah, kandungan bahan organik Oxisol Brasil meningkat secara nyata dibandingkan dengan kandungan bahan organik di bawah vegetasi asli atau diolah dalam jangka panjang. Peningkatan bahan organik terjadi karena adanya penambahan residu tanaman (sisa panen) dan tanah tidak terganggu akibat pengolahan. Peningkatan bahan organik lebih nyata pada tanah bertekstur debu atau lebih kasar, walaupun pada tanah bertekstur liat juga terjadi penambahan. Kehilangan bahan organik karena pengolahan pada kedalaman 0−40 cm mencapai
Sistem lahan Barongtongkok di Kalimantan terbentuk dari aliran lava basalt berumur miosin dan pliosin. Perbedaan umur tersebut tercermin dari karakteristik susunan mineral fraksi pasir dan sifat fisiko-kimia tanah yang terbentuk. Sifat unik dari sistem lahan Barongtongkok adalah kondisi terrain dengan relief datar hingga bergelombang dan didominasi oleh tanah berpelapukan lanjut (Oxisol). Sifat fisik tanah pada sistem lahan Barongtongkok adalah berpenampang dalam, gembur, tekstur halus, tetapi mempunyai permeabilitas cepat dengan stabilitas agregat yang mantap. Kondisi ini, ditunjang oleh curah hujan tahunan yang tinggi, sangat sesuai untuk pengembangan pertanian lahan kering. Sifat kimia tanah pada sistem lahan Barongtongkok mencerminkan karakteristik tanah berpelapukan lanjut, seperti ditunjukkan oleh sebagian tanah bermuatan neto nol hingga positif, KTK rendah, dan retensi P tinggi. Dalam kondisi retensi P tinggi, penggunaan pupuk P yang tidak mudah larut sangat disarankan. Kombinasi antara pupuk P dan pupuk kandang atau pupuk organik dalam pengelolaan pertanian lahan kering dapat Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007
saling menguntungkan dalam mempercepat dekomposisi bahan organik dan meningkatkan efisiensi pemupukan P. Komoditas yang dapat dikembangkan pada sistem lahan Barongtongkok adalah tanaman pangan lahan kering (padi, jagung, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar), sayuran dan buah-buahan (buncis, sawi, tomat, kacang panjang, pisang, durian,
alpokat, petai, jambu batu, jeruk), serta tanaman perkebunan (lada, karet, kopi, cengkeh, kakao, kelapa, kelapa sawit, teh, kina, kayu manis). Sistem lahan Barongtongkok dijumpai pada ketinggian 150− 1.500 m dpl sehingga pemilihan komoditas perlu disesuaikan dengan kondisi agroekologinya.
Sistem lahan Barongtongkok di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur belum seluruhnya dimanfaatkan untuk pertanian lahan kering. Lahan yang belum dimanfaatkan masih berupa hutan atau semak belukar yang dapat dikembangkan untuk pertanian lahan kering dengan memperhatikan karakteristik agroekologinya.
Hidayat, A., S. Hardjowigeno, M. Sukardi, dan S. Sabihan. 2002. Peranan oksida besi terhadap beberapa sifat tanah berpelapukan lanjut. Jurnal Tanah dan Iklim (20): 47−55.
Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi. Pusat Penelitian Tanah. No. 17.
DAFTAR PUSTAKA Alkasumah. 1994. Beberapa sifat kimia tanah seri Sanggauledo (Anionic Acroperox), Kalimantan Barat. Risalah Hasil Penelitian Potensi Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Sawah Irigasi di Kalimantan dan Sulawesi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 43−56. Alkasumah dan N. Suharta. 1994. Sifat dan klasifikasi tanah di daerah Sanggauledo, Kalimantan Barat. Risalah Hasil Penelitian Potensi Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Sawah Irigasi di Kalimantan dan Sulawesi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 27−42. Anda, M., A. Kasno, W. Hartatik, Sulaeman, dan J.S. Adiningsih. 2001. Penetapan nilai muatan nol dan pengaruh pemberian P, terak baja, bahan organik, dan kapur terhadap muatan koloid dan kualitas Oxisol. Jurnal Tanah dan Iklim (19): 1−13.
Hsu, P.H. 1977. Aluminium hydroxides and oxyhydroxides. p. 99−143. In J.B. Dixon and S.B. Weed (Eds.). Minerals in Soil Environments. SSSA, Madison, Wisconsin, USA. Joao Carlos de M.Sa, C.C. Cerri, W.A. Dick, R. Lal, S.P.V. Filho, M.C. Piccolo, and B.E. Feigl. 2001. Organic matter dynamic and carbon sequestration rates for tillage cronosequence in Brazilian oxisol. Soil Sci. Soc. Amer. J. 65(5): 1.486−1.499. Mohr, E.C.J., F.A. Van Baren, and J. Van Schuylenborgh. 1972. Tropical Soils. MoutonIchtiar Baru-Van Hoeve, The Hague, Paris, Jakarta.
Pusat Penelitian Tanah. 1983. Survei Kapabilitas Tanah Daerah Sanggauledo WPP III a/SKP C. Provinsi Kalimantan Barat. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi. Pusat Penelitian Tanah. No. 48. RePPProT. 1987a. Review of Phase I Results, East and South Kalimantan. Land Resources Development Centre Overseas Development Administration Foreign and Commonwealth Office, London, England and Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi, Jakarta, Indonesia, Volume I and II.
Oldeman, L.R., I. Las, dan Muladi. 1980. Peta Agroklimat Kalimantan skala 1:2.500.000. Contributions. Central Research Institute of Agriculture No. 60, Bogor.
RePPProT. 1987b. Review of Phase I Results, West Kalimantan. Land Resources Department ODNRI Overseas Development Administration, Foreign and Commonwealth Office, London, England, and Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Penyiapan Pemukiman, Departemen Transmigrasi, Jakarta, Indonesia, Volume I and II.
Prasetyo, B.H., D. Subardja, dan B. Kaslan. 2005. Altisol bahan volkan andesitik: Diferensiasi potensi kesuburan dan pengelolaannya. Jurnal Tanah dan Iklim (23): 1−12.
Schmidt, F.H. and J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall Type Based on Wet and Dry Period Ratio for Indonesia with W.N. Guinea, Verh. 42. Kementrian Perhubungan RI, Jakarta.
Prasetyo, B.H. and N. Suharta. 2004. Properties of low activity clay soils from South Kalimantan. Jurnal Tanah dan Iklim (22): 26−39.
Subagjo, H. 1993. Karakterisasi brown forest soils dari bahan induk abu dan tuf volkan andesitik di daerah Malang, Jawa Timur. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (11): 53−69.
Chan, K.Y. and D.P. Heenan. 1999. Lime induced loss of soil organic carbon and effect on aggregate stability. Soil Sci. Soc. Amer. J. 63(6): 1.841−1.844.
Prasetyo, B.H., N. Suharta, dan H. Subagjo. 1999. Oksisol: Tinjauan mengenai sifat-sifat dan potensinya untuk tanaman pangan dan perkebunan di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 18(3): 83−90.
Christian, C.S. and C.A. Stewart. 1968. Methodology of integrated surveys. In. Aerial Surveys Integrated Studies. Proc. UNESCO Conference on Principles and Methods of Integrating Aerial Surveys of Natural Resources for Development, 21−25 September 1964, Toulouse, France. p. 233−280.
Purnomo, J., Mulyadi, M. Sukardi, dan N. Suharta. 1994. Penilaian kesuburan tanah di Sanggauledo, Kalimantan Barat. Risalah Hasil Penelitian Potensi Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Sawah Irigasi di Kalimantan dan Sulawesi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 91−100.
Subagyono, K. dan F. Agus. 1994. Sifat fisik tanah mineral di beberapa lokasi di Kalimantan dan hubungannya dengan pencetakan sawah. Risalah Hasil Penelitian Potensi Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Sawah Irigasi di Kalimantan dan Sulawesi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. hlm. 143−154.
Ding, G., J.M. Novak, D. Amarasiriwardena, P.G. Hunt, and B. Xing. 2002. Soil organic matter characteristics as affected by tillage management. Soil Sci. Soc. Amer. J. 66(2): 421− 429.
Pusat Penelitian Tanah. 1981. Survei Kapabilitas Tanah Daerah Sanggauledo WPP III a/SKP D. Provinsi Kalimantan Barat. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi. Pusat Penelitian Tanah. No. 46.
Hartono. 1974. Peta Geologi Lembar Longiram skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Pusat Penelitian Tanah. 1982. Survei Kapabilitas Tanah Daerah Sanggauledo WPP XVI/SKP C. Provinsi Kalimantan Barat. Proyek
Anda, M., N. Suharta, and S. Ritung. 2000. Development of soils derived from weathered sedimentary, granitic and ultrabasic rocks in South Kalimantan Province: I. Mineralogical composition and chemical properties. Jurnal Tanah dan Iklim (18): 1−10. Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat. 2002. Kalimantan Barat Dalam Angka. Kerjasama Bappeda Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat dengan Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. Katalog BPS: 1403.61.
Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007
Subagyono, K. dan M. Sukardi. 1993. Sifat fisik tanah. hlm. 36−58. Dalam Survei dan Penelitian Tanah Sanggauledo, Kalimantan Barat. Bagian Proyek Pengembangan Lahan Tanaman Pangan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta. Suharta, N., Suratman, dan M. Hikmat. 2000. Survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau skala 1:250.000 untuk mendukung pengembangan wilayah di Provinsi Kalimantan Timur. Bagian II. Bagian Proyek Sumberdaya Lahan dan Agroklimat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. No. 54/Puslitbangtanak/2000.
7
Suharta, N. dan Suratman. 2001. Survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau skala 1:250.000 untuk mendukung pengembangan wilayah di Provinsi Kalimantan Timur. Bagian IV. Bagian Proyek Sumberdaya Lahan dan Agroklimat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. No. 08/Puslitbangtanak/2001. Suharta, N., M. Sukardi, dan B.H. Prasetyo. 1995. Karakteristik tanah Oxisols sebagai dasar pengelolaan lahan: Studi kasus pada Oxisols Sanggauledo, Provinsi Kalimantan Barat. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (13): 9−20. Suharta, N. dan Suratman. 2004. Karakterisasi dan Analisis Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Wilayah di Kawasan Timur Indonesia (Kalbar. Bagian I). Bagian Proyek
8
Penelitian Sumberdaya Tanah dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif. Balai Penelitian Tanah. No. 03/Balittanah/ 2004. Supriatna, S., U. Margono, Sutrisno, F. de Keyser, R.P. Langford, dan D.S. Trail. 1993. Geologi Lembar Sanggau, Kalimantan (Geology of the Sanggau Sheet Area, Kalimantan). Geological Research and Development Centre, Indonesia. Suratman dan N. Suharta. 2001. Dataran volkan Barongtongkok, Kabupaten Kutai Barat: karakteristik dan potensinya untuk pengembangan pertanian. hlm. 313−315. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Pupuk. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Sutrisno, N.S., S. Djakasutami, dan T. Warsa. 1993. Rehabilitasi tanah Haplorthox terdegradasi secara kimia untuk meningkatkan hasil jagung. hlm. 29−44. Dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bidang Konservasi Tanah dan Air dan Agroklimat, Bogor, 18−21 Februari 1993. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Vacca, A., P. Adamo, M. Pigna, and P. Violante. 2003. Genesis of tephra-derived soils from the roccamonfina volcano. Soil Sci. Soc. Amer. J. 67(1): 198−207. Wigena, I.G.P., A. Rachim, D. Santoso, dan A. Saleh. 2001. Pengaruh kapur terhadap transformasi sulfur-sulfat pada Oxic Dystrudept dan kaitannya dengan hasil kacang tanah. Jurnal Tanah dan Iklim (19): 24−33.
Jurnal Litbang Pertanian, 26(1), 2007