TINJAUAN PUSTAKA
Kendala dan potensi pemanfataan lahan kering untuk produksi pertanian Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS), sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air.
Pengembangan
pertanian
lahan
kering
seringkali
menghadapi
berbagai kendala, seperti fisik, kimia dan biologi tanah serta ketersediaan air, yang semuanya menyebabkan produktivitasnya sangat rendah. Lahan kering dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) jenis penggunaan, meliputi usaha tani lahan kering (tegalan/kebun, padang rumput, tanah tidak diusahakan, tanah hutan rakyat dan perkebunan) dan usaha tani lainnya (pekarangan/ bangunan, tanah rawa, tambak dan kolam/empang) (BPS 2009; Adimihardja et al. 2005; Notohadiprawiro 2006 dan Minardi 2009). Beberapa pengertian lahan kering diantaranya adalah lahan yang dalam keadaan alamiah, bagian atas dan bawah tubuh tanah sepanjang tidak jenuh air atau tidak tergenang dan sepanjang tahun di bawah kapasitas lapang. Kelembaban tanah tersebut dipengaruhi oleh kondisi cuaca, fisiografis dan edafis. Diperkirakan dari hampir 200 juta hektar luas daratan di Indoensia, sekitar 124 juta hektar berupa lahan kering (Satari et al. 1991; Kartono 1998). Menurut Prasad dan Power (1997) lahan kering di Indonesia menurut sifatnya merupakan areal yang dibatasi oleh kendala-kendala sebagai berikut : topografi yang tajam dengan penutupan vegetasi yang rawan, sehingga laju infiltrasi dan erosi tanah cukup tinggi; hujan yang tidak tersebar secara merata, dan kemampuan tanah yang rendah untuk menyimpan air. Kaidah umum yang dinyatakan untuk dikembangkan adalah lahan kering antara kemiringan 0-15 %. Secara ideal lahan kering untuk budidaya tanaman pangan terbatas pada daerah dengan relatif datar hingga berombak (kemiringan < 8%). Namun di atas kemiringan 8% perlu persyaratan-persyaratan penanggulangan erosi (Kusmana 1988 dan Sitorus 2001).
10
Rendahnya kandungan bahan organik pada lahan kering merupakan salah satu kendala dalam meningkatkan produktivitasnya. Sisa dari tanaman yang tumbuh di atasnya serta kotoran hewan merupakan sumber utama bahan organik (Brady 1990). Sumberdaya lahan kering dan air secara ekonomi maupun fisik merupakan sumberdaya terbatas yang kemanfaataannya sangat ditentukan oleh kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup layak. Kondisi fisik lahan kering umumnya lahan tadah hujan berciri khas agroekologi lahan yang amat beragam karena ketersediaan, tingkat erosi, tingkat adopsi teknologi masih rendah dan ketersediaan modal sangat terbatas dan peka terhadap erosi. Penggunaan air dalam bidang pertanian sampai saat ini masih mengandalkan air yang bersumber dari curah hujan dengan sedikit dalam bentuk irigasi (Momuat dan Wahid 1997; Badrun 1998). Lahan kering umumnya dijumpai di bagian hulu dan tengah daerah aliran sungai dengan lereng yang curam, tanahnya kurang subur dan dangkal, sehingga menjadi kendala dalam pengembangan potensinya untuk usaha pertanian. Lahan kering yang secara topografis umumnya terdapat di DAS sangat mempengaruhi daur hidrologi dan fungsi DAS. Keanekaragaman topografi menjadikan keragaman pada jenis tanah, kesuburan iklim mikro dan vegetasi dalam wilayah yang sempit. (Partorahardjo et al. 1997; Arsyad 2000; Adimihardja et al. 2005 ). Ciri penting dari pengelolaan sistem pertanian lahan kering di daerah beriklim kering adalah pembukaan lahan umumnya dilakukan dengan cara tebas bakar.
Pembersihan lahan dilakukan dengan cara pembabatan dan
pembakaran serasah atau sisa-sisa tanaman; kondisi permukaan tanah relatif terbuka sepanjang tahun; terbatasnya penggunaan pupuk dan bahan organik serta bibit unggul; dan belum diterapkannya teknik konservasi (Solahuddin dan Ladamay 1997) Bentuk-bentuk konservasi sesuai dengan kondisi
lahan yang
diusahakan, untuk daerah lahan kering miring masalah erosi adalah faktor utama yang menyebabkan lahan menjadi marjinal dan produktivitasnya menjadi turun, maka usaha konservasi yang dilakukan adalah mengurangi laju
11
erosi yang terjadi dengan cara memperpendek panjang lereng dan tingkat kemiringan lereng (Sitorus 2001). Pengelolaan
lahan
kering
bertujuan
untuk
memantapkan
dan
melestarikan produktivitas serta mempertahankan keanekaragaman alami masyarakat biotik dalam batas-batas daya dukung lingkungan, pengawetan tanah dan air. Pengembangan pertanian di lahan kering berpotensi untuk swasembada pangan. Potensi tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lahan kering yang tersebar cukup luas di Indonesia (Sinukaban 1994).
Sistem Agroforestri dan Optimalisasi Penggunaan Lahan Agroforestri diartikan secara luas terhadap suatu sistem usaha tani yang mengintegrasikan secara spatial atau temporal tanaman pohon-pohonan di dalam produksi tanaman rendah atau ikan, pada sebidang tanah yang sama. Agroforestri
merupakan
bentuk
penggunaan
lahan
yang
dapat
mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan dan pertanian baik
secara bersama-sama atau secara bergilir dengan menggunakan
manajemen praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat. (King dan Chandler 1978; Wijayanto 2002; Widaningsih 1991; Arsyad 2000 ; Arifin 2005). Sistem usahatani agroforestri secara garis besarnya dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu : (1). Sistem agroforestri sederhana, merupakan perpaduan satu jenis tanaman tahunan dan satu atau beberapa jenis tanaman semusim. Jenis pohon yang ditanam bisa bernilai ekonomi tinggi seperti kelapa, karet, cengkeh, jati dan lain lain; atau bernilai ekonomi rendah seperti dadap, lamtoro, kaliandra. Tanaman semusim biasanya padi, jagung, palawija, sayur-mayur dan rerumputan; atau jenis tanaman lain seperti pisang, kopi, coklat. Contoh: budidaya pagar (alley cropping) lamtoro dengan padi atau jagung, pohon kelapa ditanam pada pematang mengelilingi sawah dan lain-lain. (2). Sistem agroforestri kompleks, merupakan suatu sistem pertanian menetap yang berisi banyak jenis tanaman (berbasis pohon) yang ditanam dan dirawat oleh penduduk setempat, dengan pola tanam dan
12
ekosistem menyerupai dengan yang dijumpai di hutan. Sistem ini mencakup sejumlah besar komponen pepohonan, perdu, tanaman musiman dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam baik primer maupun sekunder. Sistim agroforestri kompleks ini dibedakan atas (a) pekarangan berbasis pepohonan dan (b) agroforest kompleks. Pekarangan, biasanya terletak di sekitar tempat tinggal dan luasnya hanya sekitar 0.1 – 0.3 ha; dengan demikian sistem ini lebih mudah dibedakan dengan hutan. Contoh: kebun talun dan sebagainya. Agroforest kompleks, merupakan hutan masif yang merupakan mosaic(gabungan) dari beberapa kebun berukuran 1-2 ha milik perorangan atau berkelompok, letaknya jauh dari tempat tinggal bahkan terletak pada perbatasan desa, dan biasanya tidak dikelola secara intensif (Hairiah et al. 2003; Sardjono et al. 2003). Agroforestri mempunyai banyak bentuk, bila ditinjau dari segi ruang dan waktu. Ditinjau dari segi ruang agroforestri mencakup dua dimensi yaitu vertikal dan horizontal. Pada dimensi vertikal, peran agroforestri terutama berhubungan
erat
dengan
pengaruhnya
terhadap
ketersediaan
hara,
penggunaan dan penyelamatan (capture) sumber daya alam. Bila ditinjau dari segi waktu, dua komponen agroforestri yang berbeda dapat ditanam bersamaan atau bergiliran. Pola Kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian sistem agroforestri harus memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah terutama dari segi pemilihan jenis dan pergiliran tanaman pertanian. Agar tanah tidak terkuras unsur hara maka perlu dibuat pergiliran tanaman pertanian yang dikombinasikan dengan tanaman kehutanan. Setelah beberapa kali penanaman dan panen tanaman pertanian perlu digantikan dengan tanaman kacang-kacangan yang termasuk dalam jenis leguminosae. Jenis ini dapat bersimbiosis dengan bakteri penambat nitrogen untuk menyuburkan tanah kembali. (Ong dalam Suprayogo et al. (2003) Pengembangan agroforestri merupakan salah satu jawaban dalam memahami masalah degradasi lahan dan penurunan produktivitas. Menurut Cruz dan Vergera (1987) penerapan agroforestri dapat bermanfaat : aspek perlindungan yaitu menekan erosi, tanah longsor, run off dan kehilangan hara;
13
aspek rehabilitasi yaitu status hara, bahan organik, pH tanah; dan periode jangka panjang yaitu meningkatkan produktivitas tanaman,sosial ekonomi, gizi dan kesehatan. Sistem agroforestri mencakup bentuk-bentuk agroforestri atau cara pemanfaatan lahan seperti yang umum dilakukan oleh masyarakat Indonesia seperti kebun talun, pekarangan dan kebun campuran. Teknologi agroforestri merupakan pelaksanaan agroforestri yang memanfaatkan teknik perbaikan atau inovasi baru yang biasanya dari hasil penelitian seperti tumpangsari, sistem tiga strata dan sebagainya (Nair 1989). Pada lahan kering
atau lahan marginal sistem agroforestri akan
berhadapan dengan banyak kendala, baik dari segi fisik, teknis, budaya maupun ekonomi masyarakat yang terlibat. Hambatan dari segi fisik antara lain kesuburan lahan, kemiringan lereng lapangan, ketinggian tempat, iklim dan ketersediaan air. Kendala dari segi sosial ekonomi adalah kebutuhan yang mendesak, kurangnya jiwa wiraswasta, tingkat pengetahuan dan tingkat pendapatan yang rendah (Hadipoernomo 1983 dan Kusmana 1988). Menentukan jenis tanaman yang akan ditanam pada sebidang lahan, maka haruslah diketahui sifat-sifat jenis tanaman dalam hubungannya dengan faktor-faktor iklim, tanah dan kecepatan tumbuhnya. (Arsyad 2000 dan Sitorus 2001).
Menurut Nair (1984) sifat tanaman yang digunakan dalam pola
agroforestri harus memenuhi persyaratan sebagai berikiut : 1) Tanaman sampingan/semusim yang digunakan harus tidak lebih tinggi dari tanaman pokok (kehutanan) serta dalam pengambilan zat hara pada tempat yang sama di dalam horizon tanah. 2) Tanaman sampingan yang digunakan tahan terhadap hama dan penyakit dibandingkan dengan tanaman pokok. 3) Dalam penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman sampingan tidak merusak tanaman pokok. 4) Tanaman sampingan yang diusahakan mempunyai nilai ekonomis yang baik. 5) Tidak menimbulkan erosi serta merusak struktur tanah setelah tanaman sampingan di panen.
14
Menurut Kusmana (1988) sistem agroforestri akan memberikan optimalisasi dalam penggunaan lahan dan penerapan sistem ini di lahan yang berproduktivitas rendah seperti lahan kering akan memberikan manfaat sebagai berikut : 1) Pada sistem agrofoerstri dapat tanaman yang heterogen dan tidak seumur yang terdiri dari atas dua strata atau lebih. Bentuk pola tanam seperti ini, tajuk tegakan dapat menutup tanah, sehingga tanah terhindar dari erosi dan produktivitas tanah dapat dipertahankan serta pemanfaatan energi surya oleh tanaman dapat maksimal. 2) Sistem agroforestri merupakan usahatani terpadu kawasan hutan yang dapat memenuhi kebutuhan majemuk seperti hijauan makanan ternak, kayu dan lingkungan sehat, sehingga sistem ini dapat meningkatkan produktivitas lahan. Bowo (1989) menyatakan bahwa agroforestri merupakan teknologi tepat guna untuk mengusahakan usahatani di lahan kering, khususnya dalam rangka diversifikasi dan optimalisasi penggunaan lahan. Hasil dari sistem ini telah memberikan banyak manfaat baik untuk pelestarian sumberdaya alam dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Pengusahaan
lahan
dengan
sistem
agroforestri
mengarahkan
penggunaan dan produktivitas yang lebih tinggi yaitu memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal, lestari dan sosial-ekonomi serta ekologis. Walaupun
sistem agroforestri memiliki manfaat yang besar dalam usaha
perbaikan lahan kritis dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan, namun tidak mudah untuk diterapkan di dalam masyarakat. Keterbatasan utama adalah penempatan pohon dalam usahatani menyebabkan persaingan tempat dengan tanaman pertanian (Kusmana 1988 dan Kartasubrata 1992) Pola pengembangan lahan pertanian di Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu hamparan wilayah yang dibatasi oleh pembatas topografi yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai (sub DAS) dan keluar melalui satu titik (outlet). DAS merupakan suatu ekosistem
15
yang terdiri dari berbagai komponen dan unsur, yang mana unsur utamanya adalah vegetasi, tanah, air dan manusia dengan segala apa yang dilakukan di daerah tersebut. Komponen vegetasi, tanah dan air membentuk subsistem biofisik, sedangkan komponen manusia dengan perilakunya membentuk sub sistem sosial, kedua subsistem ini berinteraksi dalam bentuk ekosistem DAS (Syarief 1997, Arsyad 2000, dan Sinukaban 2003). Terdapat tiga unsur pokok dalam pengelolaan DAS yaitu lahan, air dan pengelolaan (manipulasi). Lahan meliputi semua komponen dari suatu unit geografis dan atmosfer tertentu seperti tanah, air, batuan, vegetasi, kehidupan mahluk hidup serta perkembangannya. Pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai pengelolaan dari lahan untuk produk air dengan kuantitas optimum, pengaturan produk air dan stabilitas tanah yang maksimum (Arsyad 2000) Tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan pembangunan dalam suatu DAS seharusnya sama, yaitu
untuk memberikan kontribusi pada :
pembangunan ekonomi nasional, pembangunan daerah atau wilayah dan usaha memperbaiki meningkatkan kualitas lingkungan (Sinukaban 2003). Hasil akhir yang menjadi titik sentral perhatian dalam pengelolaan DAS adalah kondisi tata air dari wilayah DAS. Hal ini dapat diukur dari kondisi tata air tersebut yakni tersedianya air yang cukup sepanjang waktu, baik kuantitas maupun kualitas. Untuk menciptakan tata air tersebut unsur yang paling menonjol adalah air yang diperoleh dari air hujan maupun dari sumber-sumber air yang terjadi karena interaksi antara vegetasi permanen yang terdapat dalam kawasan tersebut, terutama pohon-pohon yang rimbun (Sukmana, Syam dan Adimihardja 1990, Pretty and Shah 1989, Wambeke 1992 dan Reijntjes, Havercort and Bayer 1992). Pola pengembangan lahan pertanian di DAS sangat tergantung kepada tujuan yang akan dicapai.
Besar kecilnya potensi penggunaan lahan
tergantung pada dua hal, yaitu kemiringan lereng dan tinggi tempat yang erat kaitannya dengan zona agroklimat. Makin terjal sebidang lahan, makin sedikit penggunaannya, sebaliknya permukaan dengan kemiringan tertentu yang mendekati datar penggunaannya akan semakin intensif, namun biasanya letaknya jauh dari jangkauan air. Menurut Sinukaban (2003) memperlakukan
16
DAS sebagai suatu sistem dan pengembangannya bertujuan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan, maka sasaran pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri sebagai berikut : 1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi 2. Mampu menjamin kelestarian DAS,
yaitu mampu menjamin
produktivitas yang tinggi erosi/sedimen yang rendah dan fungsi DAS sebagai penyimpan air dapat memberikan “water yield” yang cukup tinggi dan merata sepanjang tahun. 3. Mampu menjaga adanya pemerataan pendapatan petani (equity) 4. Mampu mempertahankan kelenturan DAS terhadap goncangan yang terjadi (resilient) Pengelolaan DAS pada dasarnya adalah usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam di suatu
DAS secara rasional untuk mencapai tujuan
produksi yang maksimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan
upaya untuk menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga
distribusi aliran sungai dapat berjalan sepanjang tahun, satuan pengembangan sosial-ekonomi dan satuan pengaturan tata ruang wilayah. Pengelolaan DAS juga ditujukan untuk produksi dan perlindungan sumberdaya air termasuk di dalamnya pengendalian erosi dan banjir (Sinukaban 1997). Menurut Sitorus (2001) pengelolaan dan penggunaan lahan akan dipengaruhi oleh tipe usahatani
yang dijalankan
dan jenis kelas tanah.
Lahan-lahan klas I (kemiringan 0% – 5 %), II (kemiringan 5% – 15 %), klas III (kemiringan 15 % - 25 %) dan klas IV (kemiringan 25% – 35 %) sesuai untuk usahatani dengan memberikan perlakuan tertentu apabila diperlukan persyaratan agro-tehnis. Sedangkan lahan di atas kemiringan 35 % - 65 %, umumnya diperuntukkan untuk padang rumput, tanaman tahunan
atau
dijadikan sebagai cagar alam atau hutan lindung. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengelolaan daerah aliran sungai adalah faktor iklim terutama hujan. Intensitas, jumlah dan penyebaran hujan akan menentukan kecepatan dan volume aliran permukaan. Jumlah curah hujan rata-rata yang tinggi dalam satu periode
kemungkinan tidak akan
menyebabkan aliran permukaan jika intensitasnya rendah. Demikian pula jika
17
hujan intensitasnya tinggi, tetapi dalam waktu
atau periode singkat,
kemungkinan tidak akan menyebabkan banjir atau erosi tanah (Haryati, Abdurrahman dan Setiani 1993 dan Arsyad 2000). Berbagai sistem pola tanam dapat diterapkan di DAS. Pola tanam diartikan sebagai sistem pertanaman yang diusahakan di atas sebidang lahan yang meliputi cara tanam, jenis tanaman serta jadwal tanam. Sistem pertanaman tersebut diselenggarakan dalam periode waktu tertentu, baik semusim maupun sepanjang tahun. Secara garis besar pola tanam dibagi menjadi : pola tanam tunggal (monocropping) dan pola tanam ganda (multiple cropping). Pada pola tanam ganda dibagi lagi menjadi pola tanam campuran dan tumpang sari, dimana kedua pola tanam ini terdapat lagi berbagai jenisjenis pola tanam tergantung dari tujuan usahatani dan kondisi lahan setempat (Sukmana et al. 1990, dan Haryati et al. 1993). Perkembangan penduduk yang cukup pesat pada wilayah DAS akan berakibat kepada intensitas penggunaan lahan yang semakin tinggi dan kecenderungan meluasnya lahan untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan. Dengan demikian, pola penggunaan lahan akan cenderung lebih memperhatikan faktor peningkatan produksi pertanian dan kurang perhatian kepada faktor konservasi lahan. Apabila kondisi ini tidak segera ditangani, maka kegiatan yang dilakukan penduduk di wilayah DAS dalam mencari nafkah tersebut dapat merusak sumberdaya air dan tanah. Pemanfaatan lahan yang kurang bijaksana oleh masyarakat yang bermukim pada wilayah DAS akan menimbulkan berbagai gangguan ekosistem antara lain terganggunya tata air DAS yang mengakibatkan banjir dan erosi.
Kondisi ini akan
mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan, penurunan produktivitas dan produksi usahatani, serta kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Untuk mencegah terjadinya gangguan tersebut di atas, maka perlu dilakukan pengelolaan DAS dengan melibatkan masyarakat yang bermukim pada DAS yang
bersangkutan.
Pengelolaan
DAS
dimaksudkan
agar
terjadi
keseimbangan antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya, sehingga diharapkan dapat terwujud kondisi tata air yang optimal, baik dari segi kualitas, kuantitas maupun distribusinya, serta
18
terkendalinya erosi pada tingkat yang diperkenankan (Hidayat 2008, Nuryanto et al. 2003 dan Sinukaban 2003). Zona agroklimat dan pertumbuhan tanaman Secara garis besar unsur iklim dibagi menjadi dua bagian yaitu unsur iklim utama (seperti radiasi surya, suhu udara, kelembaban udara, angin, tekanan udara, curah hujan panjang hari), dan unsur iklim tetap seperti topografi, ketinggian tempat, slope antara arah kemiringan dengan posisi surya serta jarak dekatnya dari lautan (Baharsyah 1991). Daerah tropik dicirikan oleh keadaan iklim yang hampir seragam. Namun demikian adanya perbedaan keadaan geografik seperti perbedaan ketinggian tempat dari permukaan laut akan menimbulkan perbedaan pada keadaan cuaca dan iklim secara keseluruhan seperti curah hujan dan suhu udara, yang umumnya memiliki karakteristik sangat nyata berbeda antara dataran rendah dan dataran tinggi (Baharsyah 1991, Koesmaryono 1999 dan Barry 1976). Perbedaan zona agroklimat khususnya yang disebabkan oleh ketinggian tempat umumnya terjadi penurunan suhu udara. Penyebab utama dari penurunan suhu di dataran tinggi adalah karena menipisnya lapisan udara pada ketinggian dan rendahnya kadar gas rumah kaca sehingga penyerapan panas menjadi berkurang.
Meskipun pada dataran tinggi suhu udaranya
rendah, namun radiasi matahari bebas masuk menembus kerapatan udara yang tipis dan memanasi permukaan tanah. Variasi suhu harian di dataran tinggi lebih kecil dibandingkan dataran rendah karena sering adanya awan di daerah pegunungan,
selain juga adanya angin yang berhembus lebih kencang
sehingga panas lebih mudah menyebar di udara (Suharsono, 1982 dan Rozari 1987). Agroekosistem merupakan konsep analisis yang mengadopsi konsep sistem dengan tujuan mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi keragaman sistem usahatani sehingga antara satu tempat dengan tempat yang lain terjadi perbedaan terhadap : produktivitas (productivity), stabilitas
19
produksi (stability), keberlanjutan produksi (sustainability) dan pemerataan distribusi produksi atau pendapatan (equilibilty) (Bey dan Las, 1991). Konsep agroecological zones merupakan pendekatan membagi wilayah ke dalam zona-zona fisik yang kurang lebih homogen, dan untuk evaluasi lahan konsep ini adalah syarat perlu, bukan syarat cukup untuk pengambilan keputusan penggunaan lahan. Menggunakan parameter lahan yang lebih banyak di pakai yakni : fisiografi, unsur iklim, ketinggian tempat, vegetasi dan sebaran tanah sampai tingkat sub group (Rositter, 1994). Curah hujan berperan sebagai masukan sistem dan sebagai parameter iklim yang dapat menerangkan kondisi lingkungan suatu wilayah. Disamping curah hujan parameter lain adalah suhu dan radiasi matahari yang akan menentukan laju evaporasi dan transpirasi. Variasi dan radiasi netto suatu permukaan akan ditentukan oleh sifat tutupan permukaan lahan. Klasifikasi iklim yang banyak digunakan di Indonesia, khususnya untuk penggunaan lahan pertanian adalah sistem sistem klasifikasi Oldeman. Klasifikasi ini menghubungkan dengan aktivitas pertanian
menggunakan
unsur iklim hujan. Kriteria yang digunakan dalam sistem klasifikasi iklim Oldeman didasarkan pada perhitungan bulan basah (BB), bulan lembab (BL dan bulan kering (BK) yang batasannya memperhatikan peluang curah hujan, hujan efektif dan kebutuhan air tanaman. Batasan tersebut adalah : 1. Bulan Basah (BB) : bulan dengan rata-rata curah hujan > 200 mm 2. Bulan Lembab (BL) : bulan dengan rata-rata curah hujan 100-200 mm 3. Bulan Kering (BK) : bulan dengan rata-rata curah huja < 100 mm Penentuan pola tanam dan masa tanam pada lahan kering merupakan tahapan yang penting dari beberapa tahapan yang ada dalam usaha pengaturan (perencanaan) budidaya tanaman pangan untuk meningkatkan produksi dengan memanfaatkan sumberdaya iklim secara efisien. Berdasarkan hasil penelitian Oldeman (1975) bahwa penanaman dengan tanaman palawija dapat didasarkan pada curah hujan 100 mm atau lebih, ketentuan ini didasarkan bahwa : 1. Tanaman di lahan kering sebagian besar membutuhkan air paling kurang 100 mm/bulan untuk evapotranspirasi
20
2. Selama periode pertumbuhan daerah persawahan memerlukan air 150 – 200 mm/bulan 3. Daerah alluvial yang ditanami padi mengalami kekurangan air karena perkolasi yang terjadi sekitar 30 mm/bulan. Masa tanam pada lahan kering dengan iklim yang agak kering (semi arid) harus dikaitkan dengan pemanfaatan air secara efisien dan pola perkembangan tanaman yang disesuaikan pada pola curah hujan atau kelembaban tanah yang tersedia. Iklim agak kering (semi arid) pada suatu daerah dimaksudkan adalah yang mempunyai periode basah dan kering secara bergantian. Khususnya pada periode basah terdapat tiga sub periode sebagai berikut: periode “pra humid” berlangsung pada presipitasi awal dan ditandai dengan evapotranspirasi potesnsial (PE) yang relatif kecil; (humid), berlangsung apabila presipitasi melebihi
periode basah
PE dan PE
AE
(evapotraspirasi aktual); periode pasca basah, jumlah presipitasi lebih kecil dari PE, pada akhir musim penghujan, AE menurun terus sampai sumber air di dalam tanah selama peiode basah (Sagi et al. 1988) Tanaman akan mengubah keadaan iklim mikto. Perubahan ini disebabkan oleh besarnya tanaman, jarak tanam satu dengan tanaman yang lainnya, bentuk serta besarnya percabangan. Dengan demikian terdapat proses turbulensi pergerakan udara dan pola yang tidak beraturan dalam penerimaan radiasi surya. Iklim mikro merupakan struktur renik dari ruang udara yang dimulai dari permukaan bumi hingga ketinggian yang tidak lagi mengalami akibat langsung dari permukaan yang di bawahnya, serta perbedaannya dengan iklim setempat sudah tidak terasa. Salah satu yang terpenting dari Iklim mikro adalah penyerapan energi surya pada siang hari dan kehilangan bahang (panas) pada malam hari. Pemindahan bahang dari permukaan dapat terjadi dalam bentuk radiasi, konduksi, konveksi dan adveksi (Rozari 1987 dan Squire 1990). Pengaruh tajuk terhadap radiasi yang diterima, dipantulkan, dan ditransmisikan menyebabkan suhu dalam komunitas tanaman siang hari menjadi lebih rendah dan malam hari menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan keadaan pada lapisan terbuka. Pengaruh vegetasi itu sendiri
21
dipengaruhi oleh kerapatan, tinggi, bentuk, warna, susunan dan jumlah daun, serta tajuk tanaman. Peranan radiasi surya bagi pertumbuhan tanaman dapat dibagi dalam dua cara yaitu efek kuantitatif dan efek kualitatif. Secara kuantitafif total radiasi diperlukan
untuk aktivitas
semaksimal mungkin, sedangkan
fotosintesis agar diperoleh
assimilat
secara kualitatif berperan terhadap
fotomorfogenesis. Respon tanaman terhadap tanaman yang ternaungi, seperti pada usahatani sistem agroforestri akan tergantung pada jenis tanamannya, karena ada tanaman yang senang radiasi langsung dan jenis tanaman yang senang pada keadaan ternaungi (Kreating dan Carberry 1993). Smith (1982) mengelompokkan tanaman menjadi tiga golongan yaitu tanaman suka cahaya (sun plant); tanaman suka naungan (shade plant); dan tanaman naungan yang fakultatif (toleran terhadap naungan). Hale dan Orcutt (1987) menyatakan bahwa adaptasi tanaman terhadap naungan melalui 2 (dua) cara yaitu : (a) meningkatkan luas daun sebagai upaya mengurangi metabolit dan (b) mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan. Pada golongan rumput-rumputan naungan dapat menyebabkan perubahan (partisi) bahan kering untuk mempertahankan atau meningkatkan luas daun dan panjang batang (Allard et al. 1991 dan Kephart et al. 1982). Radiasi surya merupakan unsur iklim yang sangat berperan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, baik secara langsung melalui pemasokan energi untuk proses fotosintesis maupun secara tidak langsung melalui unsur iklim lainnya. Radiasi surya berpengaruh terhadap klorofil, jumlah dan komposisi kloroplas, struktur daun dan gerak membuka dan menutupnya stomata serta
dapat mengontrol laju transpirasi, sehingga berpengaruh
terhadap serapan air dan hara Pada proses fotosintesis, klorofil daun menyerap
energi
radiasi
pada
kisaran
panjang
gelombang
PAR
(Photosynthetic Active Radiation) yaitu 0.38 – 0.68 µm. Tanaman dalam proses fotosintesis tidak dapat memanfaatkan semua pancaran radiasi matahari yang sampai pada permukaan bumi, tetapi hanya radiasi yang terletak pada batas panjang gelombang 400 - 700 nm. Bagian radiasi inilah
22
yang disebut radiasi nampak (visible radiation) atau cahaya yang juga dikenal dengan istilah Radiasi Aktif Fotosintesis (PAR = photosynthetically active radiation). Pembentukan karbohidrat dalam proses fotosintesis terjadi dalam khloroplas yang umumnya terdapat dalam organ daun, dan berlangsung melalui dua rangkaian peristiwa yang umum dikenal dengan reaksi cahaya dan reaksi gelap. Energi cahaya yang diabsorbsi oleh sistem pigmen terutama khlorofil pada reaksi cahaya mengakibatkan eksitasi electron (e-) yaitu elektron terangkat dari kedudukan dasar ke kedudukan eksitasi I atau II pada sistem pigmen tersebut Pada keadaan ini, pigmen berada dalam keadaan reduksi. Eklektron yang tereksitasi tidak kuat terikat pada atom atau molekul pigmen yang merupakan fungsi dari daya tarik inti. Sebagai konsekuensinya, elektron ini akan mudah ditransfer ke molekul lain di sekitarnya yang terdapat pada keadaan oksidatif. (Sitompul dan Guritno 1995 dan Salisbury and Ros 1995). Laju fotosintesis daun akan meningkat dengan bertambahnya intensitas PAR karena peningkatan reaksi kimia. Konduksi stomata terhadap CO 2 sangat besar pengaruhnya terhadap laju fotosintesis maksimum yang dicapai pada kondisi cahaya tinggi. Sedangkan pada intensitas cahaya rendah hampir tidak ada penyerapan CO 2 karena laju penyerapan CO 2 melalui fotosintesis lebih rendah daripada laju evolusi CO 2 dari respirasi mitokondria. Respons fotosintesis terhadap cahaya sangat bervariasi menurut species tanaman dan antara daun pada satu tanaman (Koesmaryono 1999). Suhu merupakan faktor iklim yang mempunyai peranan utama dalam proses pertumbuhan tanaman, dari segi fisiologis, pertumbuhan vegetatif maupun generatif hingga pemasakan biji. Suhu udara berpengaruh juga pada proses fotosintesis, respirasi, permeabilitas dinding sel, absorbsi air dan hara, transpirasi, aktivitas enzim dan koagulasi protein (Bey dan Las 1991). Sistem budidaya tanaman erat kaitannya dengan berbagai unsur dari ekosistem seperti agroklimat, tanah, vegetasi, teknologi dan sosial-ekonomi. Sasaran budidaya adalah produksi maksimal, optimum secara ekonomis dan ekologis lestari.
Terdapat tiga macam pengaruh antara tanaman , yakni
pengaruh interspesifik (antara jenis yang berbeda), pengaruh intraspesifik
23
(antara jenis yang sama) dan pengaruh inter spesifik (antara bagian yang berbeda dari jenis yang sama) (Baharsyah 1991 dan Koesmaryono 1999).
Iklim mikro dan adaptasi tanaman terhadap cahaya rendah Tanaman yang diusahakan dengan sistem agroforestri akan mengalami kekurangan cahaya untuk proses pertumbuhan dan perkembangan, karena itu diperlukan adanya cahaya yang optimal. Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh naungan atau stes cahaya telah dilakukan pada berbagai komoditi antara lain padi gogo (Chozin et al. 2000), talas (Djukri 2003), iles-iles (Sumarwoto 2004) dan kedelai (Sopandie et al. 2006). Pengaruh cahaya rendah pada tanaman padi gogo, secara umum ambang batas sekitar 50% atau setara dengan naungan buatan berupa paranet 50% (Chozin et al. 2000; Sopandie et al. 2003). Laju pertumbuhan tanaman dalam kondisi ternaungi pada dasarnya tergantung kepada kemampuan tanaman beradaptasi terhadap naungan sercara agronomi. Pada kondisi ternaungi genotype/varietas pada gogo yang toleran umumnya mempertahankan pertumbuhan dengan hasil dan komponen hasil yang lebih tinggi terhadap yang peka ( Sasmita et al. 2006; Lautt 2003, dan Sulistyiono 1999, Chozin 2006). Pemanfatan lahan di bawah tegakan tanaman diharapkan dapat mencukupi kebutuhan pangan nasional. Hal ini didasari karena berbagai program paket teknologi dilakukan pemerintah yang bertujuan untuk untuk meningkatkan produktivitas pertanian misalnya program intensifikasi lahan pada lahan sawah, menunjukkan hasilnya tidak terlalu signifikan lagi terhadap peningkatan produksi. Hal ini diduga peningkatan produktivitas telah mencapai titik jenuh (levelling off) dan produktivitas yang terjadi justru cenderung menurun. Penurunan produksi juga disebabkan oleh rusaknya sifat fisik dan kimia tanah akibat pemakaian sarana produksi berlebihan yang berlangsung cukup lama.
Penelitian tentang eksplorasi potensi genetik
beberapa jenis tanaman pangan dan hortikultura masih belum optimal. Hal ini masih terjadi adanya kesenjangan hasil petani dan potensi hasil yang diharapkan. Laju produksi beberapa bahan pangan dan hortikultura strategis di Indonesia cenderung tidak terjadi peningkatan. Peningkatan produksi
24
yang tidak sejalan dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang masih cukup tinggi menyebabkan meningkatnya impor beberapa bahan pangan dan hortikultura. Tanaman memiliki mekanisme toleransi terhadap cahaya rendah agar dapat tumbuh dan berkembang. Mekanisme tersebut dapat melalui penghindaran dengan meningkatkan efisiensi penangkapan cahaya. Pada tanaman yang toleran cahaya rendah dapat menurunkan titik kompensasi cahaya dan laju respirasi. Kemampuan tanaman mengatasi untuk mengatasi cekaman cahaya rendah umumnya tergantung pada kemampuannya melanjutkan fotosintesis. Kemampuan tersebut dapat melalui peningkatan luas daun sebagai cara mengurangi penggunaan metabolit serta mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan dan yang direfleksikan (Hale dan Orchut 1987). Pada sistem agroforestri, cahaya yang sampai pada strata tanaman di bawahnya sangat terbatas, sehingga keserasian antara source (sumber) sink (rosot) dapat terganggu. Pertumbuhan dari organ penyimpan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor ini secara langsung dapat mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini sebagai akibat menutupnya stomata, meningkatnya resistensi mesofil, memperkecil fotosintesis dan terganggunya proses metabolisme (Salisburi dan Ross 1995; Murty et al. 1992; Chaturvedi et al. 1994; Chozin et al. 2000).
25